Seminar Doktrin Predestinasi dan Kebebasan

Seminar Doktrin Predestinasi dan Kebebasan

"Datang ya, ke seminar 'Doktrin Predestinasi dan Keselamatan' besok …," kata Evie mengingatkan kami semua pada akhir persekutuan staf Jumat siang itu.

Mengejar Kebahagiaan

Penulis_artikel: 
Ken Myers
Tanggal_artikel: 
6 Mei 2019
Isi_artikel: 
Mengejar Kebahagiaan

Mengejar Kebahagiaan

Kebahagiaan

Ketika Thomas Jefferson memilih frasa “mengejar kebahagiaan” untuk menggambarkan salah satu hak manusia yang tidak dapat diambil orang lain, dia mengambil ide yang memiliki sejarah yang sangat panjang. Sejak zaman Aristoteles dan sebelumnya, kebahagiaan dipahami sebagai suatu kondisi yang pantas diinginkan oleh semua orang. Akan tetapi, bagi orang Yunani, dan juga para penulis Alkitab, kebahagiaan adalah realitas obyektif, bukan hanya perasaan atau keadaan emosional. Frasa “apa pun yang membuat Anda bahagia,” begitu umum diucapkan hari ini, akan menjadi omong kosong bagi orang Ibrani, Yunani, dan Kristen juga, karena itu menyatakan tidak ada urutan moral yang tetap yang di dalamnya terletak kebahagiaan.

Kebahagiaan kira-kira sama dengan gagasan dalam Alkitab tentang “diberkati”. Dalam etika klasik dan pertengahan orang Kristen, kebahagiaan menunjuk kepada keadaan kemajuan atau kesejahteraan manusia yang berkaitan dengan hidup seseorang, yang memiliki kebaikan yang paling sejati. Tindakan, pikiran, keinginan, dan ambisi haruslah diperintah dalam kaitan dengan tujuan akhir yang tepat dari umat manusia bagi seseorang untuk benar-benar bahagia. Oleh karena itu, kebahagiaan bersifat etis, bukan proyek psikologis. Untuk mengejar kebahagiaan berarti mengejar seluruh tujuan keberadaan seseorang, tetapi itu berarti mengenali bahwa keinginan seseorang dan tindakan seseorang membutuhkan koreksi. Itu berarti menilai fakta bahwa manusia tidak secara naluri mengejar kebaikan yang paling sejati, bahwa beberapa kenikmatan yang sangat menarik tidak benar-benar selaras dengan bentuk luar natur kita yang paling esensial. Menurut istilah orang Kristen, mengejar kebahagiaan berarti mengakui bahwa Allah telah menciptakan kita untuk bertumbuh dalam konteks menaati Dia sehingga natur gambar dan rupa yang kita sandang bisa memperlihatkan kemuliaan-Nya. Karena dosa kita dan sifat melawan kita yang menjauhkan kita dari identitas kita yang terdalam dan paling sejati, maka pengejaran kebahagiaan hanya dimungkinkan oleh adanya anugerah, karena dengan kekuatan sendiri kita tidak mungkin bisa menolak dampak kerusakan akibat dosa dalam hidup kita.

Jadi, kebahagiaan berdasarkan catatan sejarah ini sebenarnya adalah terjadinya kepuasan, pertumbuhan dalam ketaatan yang kudus. Formulasi ini tidak diragukan akan terlihat sebagai kejutan bagi sebagian besar orang pada masa kita saat ini, mungkin bahkan bagi banyak orang Kristen, meskipun mungkin itu disebabkan oleh anggukan penegasan dari sebagian besar ahli filsafat pagan. Bagaimana kemudian sebuah negara yang seringkali dianggap Kristen, sebuah negara yang juga terobsesi untuk mengejar kebahagiaan, mendapatkan pemahaman anti-Kristen seperti itu tentang apa artinya menjadi bahagia?

Bagian dari jawabannya berkaitan erat dengan inovasi radikal dalam pemikiran etis yang memberi pengaruh selama abad ke-18, budaya Pencerahan ketika Jefferson hidup. Pada zaman itulah ketika para ahli filsafat membuang gagasan tentang natur manusia yang esensial yang mendefinisikan tujuan manusia. Pada satu sisi, itu adalah ditinggalkannya gagasan tentang dosa, karena para pemikir Pencerahan ini agak senang berbicara tentang (menurut kata-kata Alasdair MacIntyre) “natur manusia yang tidak tidak berbudaya, secara apa adanya,” dan mendasarkan pemahaman mereka tentang etika dan politik pada sebuah gambaran tentang natur manusia yang pada dasarnya tidak berpengalaman. Ini adalah zaman ketika kebebasan individu menjadi kebaikan yang paling tinggi, bagi individu maupun masyarakat. Filosofi pada zaman itu ketika bangsa kita didirikan berkomitmen pada gagasan tentang individu sebagai yang berdaulat dalam otoritas moralnya (lihat MacIntyre, After Virtue, hal. 62).

Dalam konteks seperti itu, gagasan mulia dari mengejar kebahagiaan mendapatkan arti yang benar-benar baru. Kebahagiaan kemudian dimengerti sebagai apa pun yang dipahami oleh setiap individu. Karena tidak lagi didefinisikan secara obyektif dalam hubungannya dengan tujuan yang pasti untuk natur manusia, mengejar kebahagiaan pun segera diartikan dengan mengejar kenikmatan, pencarian kesenangan tak henti-hentinya, untuk keadaan emosional kebahagiaan yang tidak dipikirkan sama sekali. Dan, keadaan ini tidak perlu berkaitan dengan pilihan etis yang dibuat oleh seseorang, dengan cara seseorang menjalani kehidupannya. Bahkan, banyak orang Amerika yang tampaknya mengejar kebahagiaan semacam ini dengan cara melakukan pilihan etis yang buruk: berzinah, tidak menghormati orang tua, membunuh anak-anak mereka yang belum terlahir, menyalahgunakan tubuh mereka sendiri. Ketika kebahagiaan hanya menjadi sebuah suasana hati, mempertahankannya adalah kebaikan yang paling sejati, maka aturan cenderung dilanggar, seperti telur dalam telur dadar Lenin.

Pada abad ke-20, ditambah dengan meningkatnya media massa dan bentuk hiburan yang ada di mana-mana, mengejar kebahagiaan sebagai kesenangan menjadi dirasakan sebagai semacam perintah moral yang penting sekali. Menulis pada pertengahan tahun 1950-an, ahli psikologi Martha Wolfenstein memperhatikan munculnya apa yang disebutnya sebagai “moralitas bersenang-senang,” sebuah etika yang menggantikan moralitas kebaikan gaya-lama “yang menekankan campur tangan dengan apa yang menggerakkan hati. Tidak bersenang-senang berarti waktunya untuk memeriksa diri sendiri: 'Apa yang salah pada diri saya?' …. Sedangkan kepuasan dari gerak hati yang dilarang biasanya menimbulkan rasa bersalah, gagal untuk bersenang-senang sekarang menurunkan harga diri seseorang.” Bukan hanya kebahagiaan sekarang dilepaskan dari tujuan obyektif manusia dan diidentifikasi secara tidak tepat dari kenikmatan seseorang, kenikmatan dianggap sebagai sumber kebahagiaan yang paling sepele dan berlalu dengan sangat cepat. Menuruti perintah moralitas bersenang-senang membuat konsumsi hiburan secara pasif semakin menjadi jalan yang masuk akal menuju kebahagiaan daripada yang kenikmatan yang tidak kentara, dan kesenangan yang lebih menuntut seperti belajar memainkan biola, mencintai kesusasteraan, atau mengelola taman yang indah.

Saat itu terjadi, anggapan yang menonjol bahwa kebahagiaan adalah sebuah proyek yang dibuat berdasarkan pesanan dengan hasil instan yang diharapkan, tampaknya tidak membuat sebagian besar orang lebih bahagia. Di dalam sebuah esai baru-baru ini yang berjudul The Pursuit of Emptiness, (Mengejar Kehampaan - Red.) John Perry Barlow mengamati: Dari banyaknya teman-teman dan kenalan saya yang mengonsumsi Prozac (nama dagang dari obat fluoxetine, digunakan sebagai antidepresi atau untuk mengatasi depresi - Red.), saya tidak pernah mendengar seorang pun dari mereka yang menyatakan jika obat-obatan ini membuat mereka lebih dekat dengan kebahagiaan yang sesungguhnya. Melainkan, mereka berbisik dengan rasa terima kasih yang tidak bergairah, anti depresi telah mendorong mereka ke jurang yang dalam sekali. Mereka bukan sedang mengejar kebahagiaan. Mereka sedang bunuh diri.” Barlow melaporkan tentang sebuah ekperimen yang mencari senyuman dalam wajah orang-orang yang ada di dalam “supermarket organik mewah” di San Francisco tempat dia sering berbelanja. Dalam 11 bulan, melihat ribuan wajah, “hampir semua di antara mereka sehat, cantik, dan memiliki penampilan yang sangat rapi,” dia menghitung 7 senyuman, 3 di antaranya dia menilai tidak tulus. Malahan, di supermarket-supermarket dan di mana-mana, dia melihat karakeristik “ekspresi dari kegelisahan-diri sendiri (yang) telah menjadi hampir semua topeng universal.” Berusaha untuk menemukan kebahagiaan menurut pemahaman kita sendiri, daripada menurut Pencipta kita yang sudah dibangun di dalam natur kita, adalah usaha yang melelahkan dan mengecewakan.

Carl Elliott, penulis buku Better than Well, dengan cerdas mendokumentasikan berapa banyak orang Amerika yang memakai berbagai “tingginya teknologi” dalam upaya untuk merasa lebih baik tentang diri mereka sendiri (yang mungkin merupakan definisi kebahagiaan bagi banyak orang saat ini). Elliot merasakan bahwa proyek orang Amerika untuk mengejar kebahagiaan telah menjadi begitu menyedihkan sehingga sekarang tampaknya membutuhkan “bukan hanya saya mengejar kebahagiaan, tetapi saya mengejarnya dengan agresif, memakukannya ke alam bawah sadar, dan mengikatnya kencang-kencang di ruang bawah tanah saya.” Lamanya orang-orang menahan kebahagiaan itu mengherankan: obat-obatan yang mereka konsumsi; fantasi yang terus mereka pertahankan; uang yang mereka keluarkan; relasi yang mereka racuni.

"Kebahagiaan kita bukanlah sebuah hak, tetapi pemberian dari Dia yang pernah mengalami kesengsaraan dan kedukaan." (Ken Myers)

Facebook Telegram Twitter WhatsApp

Ada sesuatu dari serangan balasan terhadap pencari-kebahagiaan yang militan ini, rezim keren yang tak berbelas kasihan ini. Pada awal tahun ini, manifesto lemah dari Eric Wilson, Against Happiness: In Praise of Melancholy, disambut dengan simpati orang banyak. Wilson mempertanyakan nilai dari berjuang untuk pukulan yang terus-menerus, mengingatkan para pembaca bahwa terkadang adalah agak sehat secara emosional untuk menanggapi tragedi-tragedi dalam kehidupan dengan perasaan yang lebih suram. Buku-buku lain baru-baru ini mempertanyakan kecenderungan untuk memperlakukan kesedihan sebagai sakit mental. Protes-protes ini baik-baik saja selama ini, tetapi mereka masih menganggap bahwa kebahagiaan adalah keadaan yang subyektif.

Penemuan kembali akan visi yang lebih kaya mengenai kebahagiaan manusia adalah sebuah proyek yang untuk itu orang Kristen secara unik ditempatkan. Kita percaya, tidak sama seperti orang-orang di zaman sekarang, bahwa kita diciptakan untuk bersuka dalam pengenalan akan Allah dan mengasihi Allah, untuk mendapatkan kepenuhan kita sebagai ciptaan hanya ketika kita berjalan di dalam jalan-Nya. Juga, mengetahui bahwa kita hidup di dalam dunia yang dirusak oleh dosa, kita menyadari bahwa berkat yang sesungguhnya akan seringkali, sampai Kristus datang kembali, mencakup penderitaan, penganiayaan, dan pengorbanan. Kebahagiaan kita bukanlah sebuah hak, tetapi pemberian dari Dia yang pernah mengalami kesengsaraan dan kedukaan. Yang jelas kita ketahui, Yesus tidak pernah bertanya kepada para murid: “Apakah kita bersenang-senang?” Tetapi Dia mengajar mereka bahwa hamba-hamba yang setia akan masuk ke dalam kebahagiaan tuan mereka. Kebahagiaan adalah buah dari menyelaraskan hidup kita dengan tujuan Allah bagi kita. “Jika kamu menaati semua perintah-Ku,” Yesus berjanji, “kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, sama seperti Aku telah menaati perintah Bapa dan tinggal di dalam kasih-Nya. Hal-hal ini Aku katakan kepadamu supaya sukacita-Ku ada di dalammu, sehingga sukacitamu menjadi penuh” (Yohanes 15:10–11). Mengejar kesetiaan dengan sungguh seperti itu, bukan berfokus pada kesenangan, merupakan jalan yang sesungguhnya menuju kebahagiaan manusia. (t/Jing-Jing)

Mengejar Kebahagiaan

Diterjemahkan dari:
Nama situs : Ligonier
URL : https://www.ligonier.org/learn/articles/pursuit-happiness/
Judul asli artikel : The Pursuit of Happiness
Penulis artikel : Ken Myers
Tanggal akses : 14 Agustus 2018

Bekerja adalah Ibadah

Penulis_artikel: 
Darren Bosch
Tanggal_artikel: 
6 Mei 2019
Isi_artikel: 
Bekerja adalah Ibadah

Bekerja adalah Ibadah

Bekerja

Bertindak Benar, adalah Sebuah Ekspresi Karakter dan Keindahan Allah

Di sana, kami duduk di bawah langit berbintang, berbicara tentang iman, keluarga, kesenangan, dan pekerjaan. Suatu tempat yang familiar. Seperti banyak dari Anda, saya menikmati percakapan di tenda yang nyaman di setiap musim panas. Akan tetapi, malam khusus ini menantang saya. Tidak membutuhkan waktu yang lama bagi percakapan tentang pekerjaan dari teman yang mengaku percaya Kristus dan pemimpin tempat jual beli ini membuat saya bersedih. “Kami berusaha berinvestasi pada orang-orang selama bertahun-tahun, bahkan mempekerjakan konsultan untuk membantu kami! Pada akhirnya, tidak ada yang berhasil. Kami baru saja mengundurkan diri sehingga hanya ada satu alasan bagi kami berada dalam pekerjaan: untuk menghasilkan uang. Pada dasarnya, semua ini adalah tentang itu.”

Mirip dengan itu, seorang pemilik bisnis Kristen baru-baru ini memberitahu saya tujuan dari bisnisnya adalah pensiun dengan tabungan yang banyak supaya dia tidak perlu kuatir. Itu adalah cara bisnis yang umum dari Penipu besar.

Pandangan yang Miring

Lihat, banyak orang Kristen memegang pandangan yang miring tentang kerja. Beberapa orang memandangnya sesederhana kutukan yang ada di Kitab Kejadian 3. Yang lain, membuat pemisahan yang salah antara apa yang mereka rasa sebagai yang kudus (Allah), dan yang sekuler (hal lainnya), memisahkan ibadah hari Minggu dari pekerjaan pada hari Senin.

Masalah tentang ini adalah bahwa pandangan tentang kerja seperti ini selalu mengecewakan. Mereka memaksa kita untuk memandang Allah sebagai pemberi tugas yang jahat dan Anda hanya harus bersemangat karena “itulah jatah Anda dalam hidup.” Atau, ketika identitas saya tidak mencerminkan karakter dan rancangan Allah, itu adalah karena saya memilih untuk menjalani bagian dari hidup saya sendirian, terima kasih banyak.

Kedua pendekatan untuk pekerjaan ini akan membuat Anda berusaha terus-menerus tanpa hasil apa pun – kita mendambakan sesuatu yang lebih, karena kita tidak tidak melibatkan Allah.

Pekerjaan adalah Sebuah Karunia

Pekerjaan adalah karunia Allah untuk kita. Itu bukanlah akibat kejatuhan dalam dosa. Ketika memberikan kepada Adam dan Hawa pekerjaan untuk mengembangkan dan merawat taman, Dia bukan hanya membuatkan mereka lapangan pertamanya, Dia merancang DNA mereka sehingga apa pun yang kepala mereka, hati mereka, dan tangan mereka taruh, itu merupakan bentuk ibadah. Hal yang sama berlaku atas kita. Diciptakan menurut gambar dan rupa-Nya, pekerjaan merupakan perluasan pekerjaan Allah untuk memelihara dan mencukupi kebutuhan ciptaan-Nya, mendatangkan kemuliaan-Nya dan menikmati Dia.

Ratusan kali di dalam Alkitab kata bahasa Ibrani avodah digunakan untuk mengartikan “bekerja” dan juga “beribadah”. Pekerjaan kita dimaksudkan untuk melayani tujuan Allah lebih daripada tujuan diri kita sendiri, yang menghalangi kita untuk bisa melihat pekerjaan sebagai alat untuk memenuhi peti simpanan kita, mempersiapkan diri kita untuk pensiun, atau hanya terus bekerja keras karena itu adalah beban kebutuhan.

Sederhananya, bekerja adalah beribadah. Injil sebenarnya memberi kita lensa yang baru untuk melihat melaluinya: kita sebenarnya bekerja untuk Allah itu sendiri! Perhatikan Efesus 6:

“Budak-budak, taatilah tuanmu yang ada di dunia ini dengan hormat dan gentar, dan dengan ketulusan hati seperti untuk Kristus. Jangan seperti orang-orang yang mengerjakan pekerjaan hanya untuk dilihat orang – untuk menyenangkan manusia, tetapi sebagai hamba-hamba Kristus yang melakukan kehendak Allah dari hati. Melayani dengan sepenuh hati seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia .... ”

Nah, sekarang, ada alasan untuk bangun di pagi hari!

Mengapa itu Penting?

Martin Luther berkata bahwa Anda bisa memerah susu sapi untuk kemuliaan Allah. Mengapa? Sikap Andalah yang menyatakan, “Tuhan, aku melakukannya untuk-Mu.” Jadi, entah Anda memotong ubin batu besar atau memotong rambut seseorang hari ini, pekerjaan tangan Anda, bahkan yang tidak sempurna, adalah untuk kemuliaan Allah. Anda dan pekerjaan Anda adalah sebuah ekspresi dari kreativitas-Nya, karena kita diciptakan menurut gambar dan rupa-Nya. Itu adalah sebuah panggilan. Itu adalah ibadah!

Pekerjaan Anda adalah ibadah. Itu adalah hidup yang mengubahkan.

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Jadi, mengapa memiliki pemahaman yang benar tentang pekerjaan itu penting? Karena hanya ketika kita memahaminya dengan benar maka kita bisa memaksimalkan hal itu:
BERIKAN KEMULIAAN BAGI ALLAH: sebuah respons syukur atas apa yang Dia lakukan bagi kita.
MENCERMINKAN KARAKTER-NYA: diciptakan menurut gambar dan rupa-Nya, kita perlu menunjukkan ini kepada orang lain.
MELAYANI ORANG-ORANG: kita harus menjadi saluran untuk anugerah Allah dan memperluas kerajaan Allah.
MEMBERI: kita menghasilkan supaya kita bisa memberi kepada orang lain.
MEMENUHI KEBUTUHAN KITA DAN MENGINVESTASIKAN TALENTA KITA: dengan mengembangkan karunia yang diberi oleh Allah yang Dia sediakan bagi kita.

Jadi, lain kali ketika Anda sampai ke kantor Anda, di lantai Anda sendiri atau di tempat klien Anda, ingatlah siapa diri Anda, lalu perhatikan apa yang akan Anda lakukan. Kehidupan rohani Anda dinyatakan melalui pekerjaan Anda. Pekerjaan Anda adalah ibadah. Itu adalah hidup yang mengubahkan.

Kol. 3:23 berkata, “Apa saja yang kamu lakukan, lakukanlah dengan segenap hati seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” Doa saya adalah agar Anda memandang pekerjaan Anda penting dan melihat pentingnya itu menurut perkenan dan rencana Allah. Kita diciptakan untuk mengenal Allah dengan intim, memuliakan Dia dan menikmati Dia selama-lamanya. Mari lakukan itu dalam pekerjaan kita!

Membahas Aplikasi:

Bagaimana melihat pekerjaan sebagai bentuk dari ibadah mengubah tujuan dan nilai perusahaan saya? Jika saya mulai melakukan segala hal “seperti saya bekerja untuk Tuhan dan bukan untuk manusia” (diri sendiri atau orang lain), bagaimana itu akan mengubah cara saya bekerja?

Karena Allah menyukai bisnis dan perdagangan, dan karena kita disebut peniru-peniru Allah (Efesus 5:1) mari kita pikirkan, bagaimana Yesus akan melakukan pekerjaan saya? Orang mana yang akan Dia layani? Apakah yang akan menjadi visi atau tujuan S.M.A.R.T (atau specific (khusus), measurable (dapat diukur), achievable (dapat dicapai), relevant (relevan), dan time (waktu))

Ketika kita menyelesaikan sebuah pekerjaan, dapatkah kita berkata, “Terima kasih Bapa, karena menciptakanku untuk tujuan ini”? (t/Jing-Jing)

Audio: Bekerja adalah Ibadah

Diambil dari:
Nama situs : Reformed Perspectives
URL : https://reformedperspective.ca/work-is-worship/
Judul asli artikel : Work is Worship
Penulis artikel : Darren Bosch
Tanggal akses : 16 Agustus 2018

Semper Reformanda

Penulis_artikel: 
Michael Horton
Tanggal_artikel: 
6 Mei 2019
Isi_artikel: 
Semper Reformanda (Selalu Diperbaharui)

Semper Reformanda (Selalu Diperbaharui)

Semper Reformanda

Kalau Anda telah lama berada dalam lingkungan Protestan, baik konservatif maupun liberal, kemungkinan Anda pernah mendengar slogan “diperbaharui dan selalu memperbaharui” atau kadang hanya “selalu memperbaharui.” Saya sering mendengarnya akhir-akhir ini, terutama dari kawan-kawan yang menghendaki agar gereja Reformed kami lebih terbuka untuk bergerak melampaui keyakinan dan praktik yang dinyatakan dalam standar doktrin kami. Bahkan, dalam lingkungan Reformed belakangan ini, telah bangkit beragam pergerakan yang menantang standar tersebut. Bagaimana pengakuan iman dan katekismus yang ditulis pada abad ke-16 dan 17 bisa membentuk doktrin, kehidupan, dan ibadah pada abad 21? Kaum Protestan Liberal kerap mengutip slogan tadi untuk membenarkan diri mereka yang menganut semangat zaman ini, tetapi sejumlah Protestan konservatif juga memakainya untuk mendukung pengertian yang lebih luas tentang arti menjadi Reformed.

Namun, dari mana frasa itu berasal? Frasa itu pertama kali muncul pada 1674 dalam renungan karya Jodocus van Lodenstein, seorang figur penting dalam aliran pietisme Reformed Belanda -- suatu gerakan yang dikenal sebagai Reformasi Belanda Kedua. Menurut para penulis itu, Reformasi telah memperbaharui doktrin gereja, tetapi kehidupan dan praktik umat Allah senantiasa memerlukan perubahan lebih lanjut.

Van Lodenstein dan kawan-kawan berpegang teguh pada pengakuan iman dan katekismus Reformed; mereka hanya ingin melihat pengajaran itu diterapkan lebih menyeluruh dan juga dipahami. Akan tetapi, kalimat lengkap darinya berbunyi demikian: “Gereja sudah diperbaharui dan senantiasa (memerlukan) pembaharuan berdasarkan firman Allah.” Bentuk kata kerjanya pasif: gereja bukan “selalu memperbaharui,” melainkan “selalu diperbaharui” oleh Roh Allah melalui firman. Kendati para Reformator sendiri tidak memakai slogan tersebut, kalimat itu jelas mencerminkan maksud mereka; jika dikutip seluruhnya!

Setiap klausanya penting. Pertama, gereja sudah diperbaharui (Reformed), dan ini seharusnya ditulis dengan huruf R kapital. Kalau Yesus sungguh bangkit dari antara orang mati dua ribu tahun lalu di Palestina, maka hal itu juga benar pada zaman dan tempat kita sekarang. Kredo oikumene menegaskan iman yang kita semua anut dalam beragam budaya dan zaman. Demikian pula, standar-standar Reformed (misalnya Tiga Bentuk Kesatuan serta Pengakuan Iman dan Katekismus Westminster) merangkumkan apa yang diyakini oleh Kristen Reformed sebagai ajaran firman Allah yang jelas. Gereja-gereja akan senantiasa mengalami perubahan penting berdasarkan zaman dan tempatnya, tetapi pengakuan bersama tentang Kristus tetap menjadi ringkasan yang setia tentang “iman yang telah diserahkan sekali untuk selamanya kepada orang-orang kudus” (Yudas 3).

Para pendahulu kita yang menyerukan slogan tersebut memikirkan konsolidasi (kesatuan) yang am dan injili terwujud dalam pengakuan iman dan katekismus Reformed. Ada alasan mengapa sayap (kubu) Reformasi ini menyebut diri mereka Reformed. Tidak seperti kaum Anabaptis, gereja-gereja Reformed memahami dirinya sebagai cabang terusan dari gereja yang am. Pada saat yang sama, kaum Reformed ingin memperbaharui segala sesuatu “berdasarkan firman Allah.” Tidak hanya doktrin, tetapi ibadah dan kehidupan kita juga harus ditetapkan berdasarkan Alkitab, bukan berdasarkan keinginan maupun kreativitas manusiawi.

Menariknya, yang membuat slogan itu menjadi sorotan adalah seorang teolog Presbiterian arus utama, Anna Case-Winters. Dia menyebut slogan itu “slogan yang disalahgunakan.” Winters menunjukkan bahwa “dalam konteks abad ke-16, semangat yang dinyatakan dalam slogan itu bukan liberal maupun konservatif, melainkan radikal, dalam arti kembali ke ‘akarnya'.” Hal ini tercermin dalam seruan kesatuan, sola Scriptura (hanya Alkitab). Gerakan Reformasi tidak tertarik pada “perubahan” sebagai akhir dari dirinya sendiri. Seperti pendapat Calvin dalam risalahnya berjudul The Necessity of Reforming the Church (Perlunya Memperbarui Gereja - Red.), para Reformator penuh dengan inovasi, padahal yang memerlukan pemulihan Kekristenan rasuli adalah distorsi (pembengkokan) iman Kristen dalam gereja abad pertengahan.” Gereja Roma berpura-pura seolah “tetap sama”, padahal mereka telah menggabungkan sejumlah besar doktrin dan praktik yang tidak ada dalam gereja mula-mula, apalagi dalam Perjanjian Baru.

Sebagian orang zaman ini mengabaikan bagian Reformed, atau setidaknya hanya menafsirkannya sebagai "diperbaharui” belaka (dengan huruf "r" kecil) : gereja “senantiasa diperbaharui berdasarkan firman Allah.” Berarti, menjadi kaum Reformed hanya sekadar diperbaharui, dan diperbaharui pasti menjadi alkitabiah. Jadi, semua orang yang melandaskan keyakinannya pada Alkitab pasti reformed, (diperbaharui), tak peduli apakah tafsiran mereka sesuai dengan pengakuan iman gereja Reformed pada umumnya. Namun, hal ini bertentangan dengan makna asli dari slogan tersebut. Tidak diragukan, memang banyak kepercayaan dan praktik kaum Reformed yang sama dengan orang percaya dari kaum non-Reformed yang setia kepada firman Allah. Kita harus selalu terbuka menerima koreksi dari saudara seiman dalam gereja lain yang menafsirkan Alkitab secara berbeda. Namun demikian, gereja Reformed adalah bagian dari tradisi Kekristenan yang khusus, dengan definisi tentang iman dan praktiknya sendiri. Kami percaya bahwa pengakuan iman dan katekismus kami setia mewakili sistem doktrin yang ada dalam Kitab Suci.

Secara pribadi maupun bersama-sama, gereja terbentuk dan bertahan hidup dengan mendengarkan Injil.

Facebook Telegram Twitter WhatsApp

Kita percaya bahwa menjadi Reformed bukan sekadar menjadi alkitabiah, menjadi alkitabiah berarti menjadi Reformed. Penting untuk mempertahankan kata Reformed dalam slogan tadi, tetapi ada pula kelalaian yang lebih berbahaya di antara kaum Protestan yang lebih liberal, mereka mengabaikan (meniadakan) klausa “berdasarkan firman Allah.” Lagipula, yang biasa dipakai adalah slogan “senantiasa memperbaharui”, bukannya “senantiasa diperbaharui.” Dalam pandangan itu, gereja menjadi pihak pelaku (yang aktif), menentukan sendiri doktrin, ibadah, dan disiplinnya dalam konteks budaya yang terus berubah. Progresifisme menjadi tujuan itu sendiri, dan gereja pun menjadi cermin dunia ini.

Namun, kita yang berada dalam gereja Reformed yang mengaku juga harus berhati-hati untuk tidak melupakan bahwa patokan doktrin kita berada di bawah firman Allah. Gereja Kristus diperbaharui oleh firman Allah sepanjang era Reformasi dan pasca-Reformasi. Gereja dibawa kembali kepada firman Allah, dan buah dari karya besar Roh Kudus itu tetap menuntun kita melalui pengakuan iman dan katekismus. Jadi, gereja itu bukan hanya Reformed; tetapi senantiasa perlu diperbaharui.” Sama seperti pengudusan kita masing-masing, kesetiaan kita bersama sebagai jemaat juga selalu bercacat. Kita tidak perlu bergerak melebihi pencapaian Reformasi, tetapi kita memang membutuhkan perubahan lebih lanjut. Namun, inilah pamungkas dari klausa terakhir: “senantiasa diperbaharui berdasarkan firman Allah.”

Gereja tidak pernah bisa mandek (tinggal diam), bukan karena kebudayaan selalu berubah dan kita harus menyesuaikan diri dengan zaman, melainkan karena kita selalu perlu diarahkan kembali kepada Firman yang menaungi kita, baik secara individu maupun sebagai jemaat. Gereja harus selalu mendengar. “Iman datang dari pendengaran, pendengaran akan firman Kristus.” (Roma 10:17) Secara pribadi maupun bersama-sama, gereja terbentuk dan bertahan hidup dengan mendengarkan Injil. Gereja selalu menjadi pihak penerima karunia Allah sekaligus teguran-Nya. Roh Kudus tidak menuntun kita menjauh dari firman, melainkan mengarahkan kita kembali kepada Kristus yang dinyatakan dalam Kitab Suci. Kita senantiasa perlu kembali kepada suara Sang Gembala. Injil yang sama, yang melahirkan gereja, juga menopang dan memperbaharuinya. Kesesuaian diri kita dengan Firman, seperti yang Paulus ajarkan dalam Roma 12 tidak pernah selesai dalam kehidupan ini, demikian pula dengan gereja pada zaman ini.

Cara pandang ini menjaga kita agar tidak memutlakkan tradisi (menganggap tradisi tidak mungkin salah - Red), tetapi menjaga tradisi tetap proporsional, agar kita tidak menyerap obsesi Protestan radikal, dengan memulainya dari awal pada tiap generasi. Ketika firman Allah menjadi sumber kehidupan kita, maka kesetiaan hakiki kita tidak terletak pada masa lalu seperti tradisi, ataupun pada masa kini dan masa depan, tetapi kepada “Firman yang melampaui segala kuasa dunia,” kalimat ini diambil dari himne terkenal karya Luther. Tuhan kita yang berdaulat memerintah atas tubuh-Nya sepanjang zaman dan tempat, bukan di belakang atau di depan kita, melainkan di atas kita. Saat kita mengutip slogan itu secara utuh -- “gereja sudah diperbaharui (Reformed) dan senantiasa sedang diperbaharui berdasarkan firman Allah” -- berarti kita mengaku bahwa kita adalah milik (bagian dari) gereja, bukan milik diri kita sendiri, dan bahwa gereja ini senantiasa dicipta dan diperbaharui oleh firman Allah, bukan oleh pergerakan zaman. (t/Aji)

Semper Reformanda

Diambil dari:
Nama situs : Ligonier Ministries
URL : https://www.ligonier.org/learn/articles/semper-reformanda/
Judul asli artikel : Semper Reformanda
Penulis artikel : Michael Horton
Tanggal akses : 1 Oktober 2018

Kekristenan dan Kesejahteraan Sosial

Penulis_artikel: 
Steffie Jessica
Tanggal_artikel: 
8 April 2019
Isi_artikel: 
Kekristenan dan Kesejahteraan Sosial

Kekristenan dan Kesejahteraan Sosial

Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu.

Suatu fakta yang begitu ironis dalam zaman ini adalah kota metropolitan dengan gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi dengan megahnya tetapi pengemis berkeliaran hampir di setiap sudut kota. Perekonomian yang semakin bertumbuh, kebudayaan yang semakin maju, teknologi yang semakin canggih, tidak menghapuskan fakta kemiskinan dalam masyarakat. Baik pengemis, maupun kemiskinan adalah realitas yang akan terus kita jumpai pada segala zaman maupun tempat. Inilah permasalahan sosial yang akan terus kita jumpai dalam hidup kita. Lalu, bagaimana teologi Reformed menjawab tantangan ini?

kondisi sosial

Sumber Permasalahan

Permasalahan sosial yang muncul di tengah kehidupan manusia merupakan buah dari kemerosotan rohani yang semakin lama semakin buruk. Menurut Kuyper, permasalahan ini berawal dari keinginan untuk memiliki kebebasan. Kebebasan hidup yang menolak pandangan bahwa kita harus senantiasa mengutamakan Allah di dalam setiap segi kehidupan ini. Kebebasan hidup semu yang membawa manusia terjerat oleh kemiskinan dan ketidakadilan baik jasmani maupun rohani. Mengapa hal ini dapat terjadi? Hal ini tidak terlepas dari fakta penciptaan dan juga kejatuhan manusia ke dalam dosa.

Allah menciptakan manusia dengan segala kemampuan dan potensi untuk dapat mengusahakan dan memelihara alam. Bekerja adalah sebuah tugas mulia yang telah diberikan oleh Allah kepada kita manusia. Dengan bekerja dan berusaha manusia menyingkapkan kekayaan serta keajaiban dari alam yang telah Tuhan ciptakan. Namun, kejatuhan manusia ke dalam dosa telah membuat manusia kehilangan makna bekerja yang sesungguhnya. Bekerja menjadi suatu hal yang membebani dan membosankan. Tuhan tidak lagi menjadi tujuan utama dalam bekerja, tetapi diri manusia menjadi pusat dari segala yang mereka lakukan. Pekerjaan tidak lagi diperuntukkan bagi kemuliaan Allah melainkan kemuliaan diri, manusia memilih untuk menyembah hasil pekerjaannya sendiri dibandingkan Allah yang memberikan mereka kemampuan untuk bekerja. Pekerjaan tidak lagi dilihat sebagai panggilan, melainkan hanya sebuah sarana untuk mendapatkan materi semata. Harta yang paling berharga bukan lagi Allah, tetapi telah berubah menjadi angka yang menunjukkan berapa jumlah kekayaan materi masing-masing manusia.

Dosa telah membutakan manusia, menjadikan mereka makhluk-makhluk serakah yang rela menempuh segala cara untuk mendapatkan harta, bahkan bila mereka harus meninggalkan kemanusiaan mereka sekalipun. Manusia lain di luar diri ini tidak lagi dipandang sebagai sesama gambar dan rupa Allah, melainkan sebagai anak tangga yang harus diinjak untuk mencapai posisi kekayaan dan kekuasaan yang lebih tinggi. Kaum berkuasa menyalahgunakan posisinya untuk menekan mereka yang tidak berdaya. Kemalasan menimbulkan pertumbuhan yang cepat bagi praktik korupsi, segala sesuatu bisa dipercepat dan dipermudah dengan adanya uang tambahan. Rakyat kecil tidak dipandang sebagai pihak yang harus dilayani melainkan sebagai kantong-kantong uang yang harus diperas demi keuntungan diri sendiri.

Panggilan

Mengapa kita harus memerhatikan kesejahteraan sosial di tempat kita berada? Setiap orang Kristen dipanggil untuk menjadi garam dunia, menjadi pencegah kebusukan yang disebabkan kuasa dosa. Setiap orang Kristen dipanggil untuk menjadi terang di mana ia ditempatkan, berperan serta mengusir kegelapan yang menyelimuti kehidupan manusia. Setiap kita dipanggil untuk mengasihi Allah serta sesama, membagikan kasih yang telah terlebih dahulu kita terima kepada gambar dan rupa Allah di sekitar kita. Setiap kita juga dipanggil untuk mengusahakan dan berdoa bagi kesejahteraan kota di mana kita berada (Yer. 29:7).

Kekristenan dan Kesejahteraan Sosial

Pdt. Dr. Stephen Tong menjelaskan teologi Reformed berarti berakar ke dalam firman Tuhan dengan kokoh dan kuat sehingga tidak mudah digoyahkan, Injili artinya berbuah lebat keluar. Kita tidak dipanggil untuk menjadi seperti sebatang kayu yang semakin ditanam ke dalam semakin tidak terlihat di bagian luar dan semakin tidak leluasa bergerak ke arah mana pun. Kita dipanggil untuk menjadi seperti pohon, yang semakin berakar, semakin mampu menyerap nutrisi dan semakin bertumbuh serta berbuah sehingga menjadi berkat di tempat ia ditanam. Pelita yang diletakkan di bawah gantang tidak akan berguna berapa pun mahal dan baiknya pelita tersebut. Pelita yang terletak di atas kaki dian akan jauh lebih berguna dan lebih dihargai karena pelita tersebut mendatangkan kebaikan bagi seisi rumah.

Teladan Kristus

Lalu, apakah penyelesaian masalah dari semua krisis yang cukup mengerikan ini? Permasalahan sosial yang berasal dari kerusakan moral ini tidak akan cukup terselesaikan dengan mengatasi fenomena-fenomena yang muncul saja. Kerusakan moral harus diselesaikan secara tuntas agar masalah-masalah sosial yang ada dapat dihapuskan.

Bagaimana caranya merestorasi moral manusia yang sudah bobrok ini? Tak lain adalah dengan membawa mereka kepada Kristus. Kuyper mengatakan bahwa Kristus adalah seorang pembaru sosial. Akar kerusakan moral adalah kebutaan terhadap kebenaran. Dengan mengenal Kristus manusia mengenal kebenaran, dengan mengenal Kristus manusia mengenal keselamatan dan kebebasan dari dosa. Dengan mengenal kasih Kristus yang begitu besar manusia mampu mengasihi sesamanya. Dengan melihat kerelaan Kristus berkorban di atas kayu salib manusia mendapat kekuatan untuk berbelaskasihan terhadap sesamanya.

Memuliakan Tuhan dengan Harta

Ajaran Kristus tentang mengumpulkan harta di sorga tidaklah menjadi alasan bagi kita untuk bermalas-malasan bekerja mencari uang di dunia. Manusia membutuhkan uang untuk bertahan hidup. Manusia membutuhkan uang untuk terus mengembangkan mandat Allah. Manusia membutuhkan uang untuk melaksanakan kehendak Allah. Tetapi uang bukanlah segalanya, uang tidak dapat disamakan dengan kehidupan itu sendiri.

Karena itu, kehidupan di dunia bukanlah suatu hal yang dapat disia-siakan begitu saja. Kristus pun menghargai kehidupan manusia dengan kerelaan-Nya datang berinkarnasi dan menjalani hidup sebagai manusia di bumi ini. Memiliki banyak harta di dunia ini bukanlah suatu hal yang salah, Tuhan menciptakan manusia dengan potensi yang begitu menakjubkan dan bervariasi. Kemampuan untuk mengatur harta benda dan bekerja dengan baik merupakan anugerah dari Tuhan kepada kita yang harus kita pertanggungjawabkan pula dengan benar di hadapan-Nya. Paulus mengatakan di 1 Korintus 6:12, “Segala sesuatu halal bagiku, tetapi bukan semuanya berguna. Segala sesuatu halal bagiku, tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh suatu apa pun.”

Demikian juga di dalam surat Paulus kepada jemaat di Efesus berisi sebuah nasihat agar manusia tidak mencuri, melainkan manusia harus bekerja dengan tangannya sendiri, agar ia dapat memberi kepada mereka yang berkekurangan (Ef. 4: 28). Terdapat tiga buah cara hidup manusia yang disebutkan di sini:
1. Mencuri untuk mendapatkan segala sesuatu
2. Bekerja untuk mendapatkan segala sesuatu
3. Bekerja untuk mendapatkan kemungkinan dapat memberi

Cara pertama adalah cara yang ilegal untuk memenuhi keinginan manusia, sedangkan cara kedua merupakan cara hidup yang lebih baik untuk memuaskan kebutuhan manusia yaitu dengan melakukan apa yang menjadi panggilannya di dunia ini. Paulus berkata siapa yang tidak bekerja janganlah ia makan (2 Tes. 3:10). Dalam setiap jerih payah yang manusia lakukan pastilah ada keuntungan yang didapatkan untuk mencukupi kebutuhan manusia (Ams. 14:23). Namun, cara kedua ini sering kali menjadi budak kapitalisme yang memberhalakan pekerjaan untuk mencapai ambisi pribadi. Cara hidup yang ketiga merupakan cara hidup seorang yang telah mengenal Kristus, yaitu bekerja untuk memberi. Diri ini tidak lagi menjadi fokus, tetapi kehendak Allahlah yang menjadi tujuan utama hidup. Panggilan untuk menjadi terang dan garam dunia, perintah untuk mengasihi sesama manusia, perintah untuk tidak khawatir tetapi menyerahkan segalanya kepada Bapa yang memelihara diri ini. Perintah untuk “Jangan seorang pun yang mencari keuntungannya sendiri, tetapi hendaklah tiap-tiap orang mencari keuntungan orang lain” (1 Kor. 10:24).

Memberi Bantuan

Saat kita memiliki Tuhan yang begitu berharga di dalam hidup ini, tidak ada harta benda yang dapat mengalahkan kekayaan dan kemuliaan-Nya. Saat kita menyembah Tuhan di dalam segala segi kehidupan kita, seperti yang dikatakan Abraham Kuyper, tidak ada satu inci pun dari kehidupan kita yang tidak dimiliki oleh Allah, termasuk harta benda hasil jerih payah yang kita miliki. Karena itu setiap harta yang kita pakai, baiklah dipakai oleh Tuhan, bukan hanya dipakai bagi Tuhan. Apa yang Tuhan kehendaki dari harta yang kita hasilkan? Tuhan menghendaki kita semakin memper-Tuhan-kan Dia melaluinya, semakin berani menjalankan perintah-Nya, semakin rela memberikan diri untuk dipakai sebagai alat-Nya, semakin berani dan rela untuk memberi bagi mereka yang berkekurangan karena Tuhan menginginkannya.

Mungkin beberapa dari kita enggan memberi sedekah kepada pengemis di jalan karena beranggapan bahwa mereka hanyalah organisasi terstruktur yang mempermainkan empati manusia untuk mendapatkan uang. Bagaimanakah kita seharusnya memberi? Pada era John Calvin, bantuan diberikan untuk memungkinkan mereka memiliki cara hidup yang benar di hadapan Tuhan. Bantuan haruslah diberikan untuk memungkinkan seorang manusia hidup sebagai gambar dan rupa Allah. Seseorang manusia harus mampu hidup memenuhi panggilannya untuk bekerja dan mencukupi kebutuhan hidupnya. Tujuan ini diwujudkan dengan memberikan pelatihan keterampilan agar mereka dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka. Hal ini dilakukan dengan mengomunikasikan tujuan yang jelas sebelum memberikan bantuan tersebut. Pelayanan lainnya yang dilakukan termasuk melayani orang-orang yang sakit, merawat anak-anak mereka yang tidak mendapat perawatan yang layak, serta pelayanan bagi para janda.

"Dengan melihat kerelaan Kristus berkorban di atas kayu salib manusia mendapat kekuatan untuk berbelaskasihan terhadap sesamanya."

Facebook Telegram Twitter WhatsApp

Setiap bantuan yang diberikan merupakan sebuah kesempatan untuk memperkenalkan Kristus kepada manusia, kesempatan untuk memperbaiki kebobrokan moral yang sudah terlalu menyedihkan, kesempatan untuk mengurangi krisis kemanusiaan di tengah masyarakat yang telah buta terhadap kebenaran, kesempatan membawa manusia kembali hidup sebagai gambar dan rupa Allah di hadapan Sang Pencipta, karena itu hendaklah setiap bantuan diberikan dengan semangat pelayanan yang tulus serta motivasi untuk memuliakan Tuhan lewat apa yang kita lakukan.

Memberi tidaklah terbatas dalam bentuk materi, memberikan waktu, pikiran, perhatian, bahkan sebatas senyuman kepada mereka merupakan sebuah pemberian yang sungguh berarti bagi mereka yang membutuhkannya. Perkataan yang menyenangkan adalah seperti sarang madu, manis bagi hati dan obat bagi tulang-tulang (Ams. 16:24). Manusia tidak hanya membutuhkan roti untuk bertahan hidup, mereka juga membutuhkan Injil untuk dapat hidup di dalam kebenaran, untuk mengenal kekekalan. Karena itu sekadar bantuan materi tidaklah cukup, jika tidak mencapai tujuan akhir seperti dibahas di atas.

Memberi bantuan materi tanpa memberikan sentuhan kemanusiaan sama halnya seperti orang tua yang bekerja menafkahi anaknya, tetapi terlalu sibuk untuk menyisihkan waktu untuk memberi perhatian kepada anaknya. Anak ini akan tumbuh sehat secara jasmani, tetapi tidak secara rohani. Sama seperti orang-orang yang sekadar menerima bantuan materi, mungkin mereka akan sehat secara finansial, tetapi mereka tetap mengalami kerusakan moral.

Terdapat begitu banyak permasalahan sosial di sekitar kita, terdapat pula kerusakan moral yang begitu serius tetapi tidak jarang terlewatkan oleh kebanyakan orang. Yohanes 12:8 dengan jelas mengatakan bahwa orang miskin akan terus bersama dengan kita. Inilah bagian dari kehidupan yang kita semua harus pertanggungjawabkan juga di hadapan-Nya. Menjadikan diri kita berkat rohani maupun jasmani secara simultan adalah langkah yang paling tepat dan harus kita jalankan. John Calvin adalah contoh dari seorang yang menjalankan panggilan hidupnya dan menjadi berkat baik rohani maupun jasmani.

Marilah kita menghidupi panggilan hidup ini sebagai garam yang mencegah terjadinya kebusukan di dalam setiap manusia ciptaan Tuhan di sekitar kita, marilah kita menghidupi panggilan hidup sebagai terang yang membawa cahaya kebenaran ke dalam kehidupan mereka yang telah dibutakan oleh kekayaan duniawi. Marilah kita memperkenalkan kasih Kristus yang melimpah dengan membagikannya kepada gambar dan rupa Allah yang kita temui, marilah kita memberitakan Sang Kebenaran melalui setiap inci dari kehidupan kita di dunia ini.

Audio: Kekristenan dan Kesejahteraan Sosial

Sumber Artikel: 
Diambil dari:
Nama situs : Buletin Pillar
Alamat Situs : http://www.buletinpillar.org/artikel/kekristenan-dan-kesejahteraan-sosial
Judul asli artikel : Kekristenan dan Kesejahteraan Sosial
Penulis artikel : Steffie Jessica

Pembuat Sepatu

Penulis_artikel: 
Les Lanphere
Tanggal_artikel: 
16 Agustus 2018
Isi_artikel: 

Seorang yang baru saja menjadi Kristen berlari mengejar Martin Luther dengan semangat dan bertanya kepadanya tentang apa yang harus dia lakukan sekarang dengan hidupnya yang telah ditebus. Dia membayangkan akan mendapatkan jawaban yang akan membuat dirinya memakai jubah biarawan atau membagikan anggur kepada jemaat yang menerima komuni.

Luther bertanya kepadanya, “Apa pekerjaanmu saat ini?”

“Saya pembuat sepatu.”

Luther menjawab, “Kalau begitu, buatlah sepatu yang bagus, dan juallah dengan harga yang pantas.”

Pembuat sepatu

Ini adalah kisah terkenal yang menjelaskan indahnya doktrin reformed tentang pekerjaan. Anda lihat, sebelum reformasi Protestan, seorang rohaniwan tidak hanya dihormati oleh manusia, tetapi juga dianggap memiliki keuntungan rohani di hadapan Allah. Jika kebenaran diibaratkan sebagai sebuah tangga, menjadi seorang imam adalah anak tangga yang dekat ujung atas, dan pembuat sepatu rendahan mungkin masih berdiri di tanah.

Ketika keindahan Injil ditunjukkan pada abad ke-16, memiliki karier yang baik di dunia diakui sebagai hal yang tidak kurang menyenangkan di hadapan Tuhan dibandingkan menjadi seorang pendeta. Anda bisa menjadi petugas pajak, membersihkan toilet, atau membuat sepatu, dan tetap dengan sempurna dibenarkan di hadapan Allah melalui iman dalam Kristus. Apa pun posisi tempat Tuhan menempatkan Anda harus digunakan untuk menghormati Dia dan melayani sesama Anda.

Pembuat sepatu tidak harus selalu membuat sandal seperti yang dipakai oleh Yesus. Dia tidak perlu membubuhkan cap bentuk salib di setiap sisi sepatu untuk menyucikannya. Bahkan, dia tidak perlu menulis Yohanes 3:16 di dalam lidah sepatu supaya orang-orang yang memakainya secara diam-diam membawa firman Allah. Dia dipanggil untuk menghidupi kehidupannya, bekerja keras dan jujur, dan melakukannya bagi kemuliaan Allah.

“Kamu telah ditebus dengan harga lunas, karena itu janganlah kamu menjadi budak manusia. Saudara-saudara, hendaklah setiap orang tetap tinggal bersama Allah, dalam keadaan ketika ia dipanggil.” (1 Kor. 7:24)

Kata “R”

Luther menyuruh si pembuat sepatu melakukan pekerjaannya sedemikian rupa sehingga menyenangkan Allah dan melayani sesamanya. Buatlah produk yang terbaik dan juallah dengan harga yang pantas. Ini termasuk bersentuhan dengan teknologi sepatu dan teknik membuat sepatu yang baru. Orang Kristen bertanggung jawab untuk hadir di pasar tempat dia melayani. Jika dia tidak memperhatikan tren sepatu, selambat apa pun tren itu berkembang saat itu, bisnisnya akan rugi, dan dia akan gagal untuk mengikuti perintah Luther. Pada zaman modern, kita mungkin bisa mengatakan bahwa si pembuat sepatu, dalam beberapa hal, diminta untuk tetap “relevan” dengan industrinya.

Ya. Saya menggunakan kata yang tercela itu, dan suara gaduh yang Anda dengar adalah suara dari 10.000 blogger sesama orang Kristen yang secara bersamaan memutar mata untuk menunjukkan ketidaksukaan mereka. Bagaimanapun, ini adalah blog teologi reformed, dan kata “relevan” adalah kata yang memalukan dalam dunia kecil kita. Mengapa? Sebab, kata itu telah disalahgunakan.

Ada penggunaan kata "relevan" di kalangan Kristen Injili yang berarti sesuatu yang sama dengan menarik ulur pesan dan praktik kekristenan sampai terlihat dan terasa seperti budaya di sekitar kita. Karena Injil adalah benar dan bermakna terlepas dari ruang dan waktu, lanjut pemikiran itu, Injil bisa dilihat dan dirasakan benar di rumah, di klub hiburan malam, atau di jalanan pinggir kota.

Relevan

Ini benar, tetapi hanya sebagian. Injil itu benar dan bermakna untuk semua wilayah kehidupan, tetapi hanya sejauh saat Injil itu dikomunikasikan sebagaimana seharusnya. Apakah budaya ini menuruti dosa dan membutuhkan penebusan dan pengajaran tentang kekudusan? Sempurna, kita mendapatkan hal yang tepat. Injil bersifat objektif, dan tidak terentang serta berkembang terhadap hal-hal di sekitarnya. Injil bersifat universal karena dosa dan nilai manusia bersifat universal, dan Injil adalah satu-satunya solusi. Satu-satunya pemahaman untuk pernyataan kekristenan “relevan secara budaya” adalah bahwa firman Allah yang tidak berubah adalah selalu dan satu-satunya alat yang membawa keselamatan apa pun batasan kulturalnya.

Kita tidak dipanggil untuk menjadikan kekristenan relevan melalui penemuan manusia. Kita membiarkan kekristenan seperti ketika itu disampaikan kepada kita, sebagai hal sempurna, yang cukup untuk mendakwa dan menyelamatkan orang-orang berdosa, lalu mengajar mereka untuk menjalani hidup yang kudus.

Jadi, Injil tidak berubah. Akan tetapi, budaya berubah. Dunia tempat pekerjaan kita dilakukan selalu berubah sehingga kita harus selalu memperhatikannya. Dalam pengertian ini, menjadi relevan bagi dunia itu baik dan perlu. Bukan relevan secara religius, tetapi relevan dalam pekerjaan, sambil membawa Injil yang murni bersama dengan kita.

Apa pun posisi tempat Tuhan menempatkan Anda harus digunakan untuk menghormati Dia dan melayani sesama Anda.

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Misalnya, saya seorang perancang desain, dan saya juga bekerja dalam industri film. Agar menjadi sukses dalam industri saya, saya harus mengikuti tren. Mungkin lebih daripada yang dilakukan si pembuat sepatu, saya perlu melihat apa yang sudah dikerjakan baru-baru ini dalam dunia desain, apa yang terjadi dalam industri film, tren apa yang digunakan dalam efek visual, dst.. Sebagai seorang suami dan ayah, yang diberi talenta dan gairah tertentu, saya bertanggung jawab untuk bekerja keras dan secara aktif mengasah keterampilan saya. Jika tidak, saya akan menjadi tidak relevan dengan industri saya, menghasilkan sedikit uang, dan mungkin kehilangan pekerjaan saya sekaligus.

Tentu saja, kecermatan harus digunakan dan standar alkitabiah harus diterapkan dalam kehidupan kita di lingkungan sosial. Bagaimanapun, kita adalah orang Kristen, dan kita harusnya paling dikenali melalui gaya hidup kita yang unik dan saleh.

Jika Anda Tetap Relevan, Gereja Tersebar Luas

Tetap relevan secara budaya sebenarnya merupakan bagian yang sangat penting dari kebebasan alkitabiah yang indah ketika kita harus menjadi garam dan terang dunia. Bukan dengan membuat Injil menjadi relevan, tetapi dengan menghidupi doktrin tentang pekerjaan dengan baik. Melakukan pekerjaan yang baik, dan dengan jujur. Mengasihi dan melayani sesama Anda sambil menghormati Allah. Gagal memahami dunia pekerjaan yang harus dilakukan secara jelas merupakan penatalayanan yang buruk dari pekerjaan yang menjadi panggilan Allah untuk Anda.

“Janganlah menjadi sama dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu,” (Roma 12:2a)

Memahami dan berinteraksi dengan dunia bukanlah sesuatu yang memalukan selama Anda tidak hidup dalam dosa atau menyukai apa yang dibenci oleh Allah. Panggilan seorang Kristen adalah benar-benar hidup di dalam dunia, tetapi tidak menjadi sama dengan dunia.

Tidak serupa dunia

Mengajarkan bahwa menjadi relevan secara budaya adalah hal yang tidak saleh dalam cara tertentu berarti anti-reformed karena itu merendahkan seluruh doktrin tentang pekerjaan. Ini merupakan sebuah tindakan yang melampaui batas bagi mereka yang ingin menyesuaikan kekristenan dengan kebudayaan. Pada intinya, penolakan mentah-mentah atas “relevansi” mengomunikasikan bahwa kecuali Anda menjalani setiap detik kehidupan Anda mempelajari Kitab Suci, mendengar dan mempersiapkan khotbah, atau melayani gereja, maka Anda tidak menyenangkan Allah. Mempelajari budaya itu buruk. Mencari tahu cara untuk menjual produk Anda itu buruk. Memahami tren itu buruk. Hal-hal ini secara tidak kentara berarti kembali ke sistem tangga kependetaan itu.

Sangat mudah untuk mengatakan bahwa gereja itu baik dan dunia itu buruk. Yang lebih sulit, dan membutuhkan pemikiran serta pemilahan secara cermat, adalah untuk mengetahui bagaimana seharusnya kita berada di dunia, tetapi bukan berasal dari dunia.

Pembuat sepatu itu relevan secara budaya, dan Allah berkenan kepadanya. (t/Jing-Jing)

Pembuat Sepatu

Diterjemahkan dari:
Nama Situs : Reformedpub.com
Alamat situs : http://reformedpub.com/cultural-relevance-and-the-doctrine-of-vocation/
Judul asli artikel : Cultural Relevance and The Doctrine of Vocation
Penulis artikel : Les Lanphere
Tanggal akses : 16 Agustus 2018

Paradoks Kasih dan Keadilan Allah: Predestinasi

Oleh: Ayub

Seminar Pembinaan Iman Kristen (SPIK), atau sering disebut “Progsif”, merupakan salah satu kegiatan pembelajaran rohani yang saya nantikan dalam beberapa bulan terakhir. Sudah beberapa waktu lamanya, saya merindukan untuk belajar sesuatu, dan puji Tuhan, pada 23 — 24 Januari 2017, kegiatan ini diadakan kembali. Tema kali ini sangat menarik, “Paradoks: Kasih dan Keadilan Allah“. Rekan saya, Okti, sudah menulis blog tentang progsif ini untuk hari pertama, tanggal 23 Januari 2017. Nah, sekarang saya membahas untuk hari yang kedua.

Seminar Pembinaan Kristen: Paradoks: Kasih dan Keadilan Allah

Oleh: Okti

Senin sore itu, 23 Januari 2017, sebenarnya saya urung berangkat ke Seminar Pembinaan Iman yang diadakan oleh MRII, Surakarta. Selain karena cuaca buruk akibat sering diguyur hujan, saya juga enggan meninggalkan anak sendirian di rumah. Namun, karena keinginan untuk belajar mengenai “Paradoks: Kasih dan Keadilan Allah” lebih besar dan adanya seseorang yang dapat menemani anak saya di rumah, maka saya pun berangkat. Bersama dengan teman-teman sekantor, Liza, Maskunarti, Hadi, Ayub, Aji, Pioneer, Andre, dan Danang, kami berangkat ke Orient Resto, tempat seminar diadakan.

Progsif: Abraham, Ishak, dan Yakub

Penulis: Yuni

Untuk pertama kalinya, saya mengikuti kegiatan Program Intensif (progsif) pada 7 — 8 Juli 2015 di Erigo Resto. Progsif ini diselenggarakan oleh MRII Solo dan biasanya diadakan selama 2 hari, sebulan sekali dengan topik/materi yang berbeda-beda. Materi bulan Juni adalah “Abraham, Ishak, Yakub”, yang disampaikan oleh Pdt. Aiter dari Jakarta. Saya sungguh bersyukur dapat mengikuti acara ini bersama dengan teman-teman dari Yayasan Lembaga SABDA. Materi yang disajikan sangat menarik, dan Pdt.

Progsif tentang Alkitab vs Deuterokanonika

Oleh: Jovita

Hari pertama Agustus 2017 belum berakhir, tetapi beberapa staf YLSA beserta enam mahasiswa magang dari Universitas Kristen Petra telah bersiap di depan kantor SABDA begitu jam menunjukkan pukul 18.00 WIB. Program Seminar Pembinaan Iman Kristen (SPIK) memang terlalu berharga untuk dilewatkan. Di jalanan yang tidak begitu ramai, kami meluncur menuju hotel Megaland Solo, tempat acara diadakan.

Komentar


Syndicate content