Dari Gulungan Perkamen Hingga Penggunaan Layar Gawai: Bagaimana Teknologi Telah Mengubah Pembacaan Alkitab Kita

Penulis_artikel: 
Dr Stephen Holmes
Tanggal_artikel: 
10 Juni 2019
Isi_artikel: 

Cara kita membaca Alkitab berubah, tetapi apakah itu penting, dan jika ya, mengapa? Dr. Stephen Holmes menyelidiki.

Teknologi

Saya memiliki sebuah Alkitab bersampul kulit yang bagus, sebuah pemberian, tetapi di masa kini saya membaca Kitab Suci dari layar jauh lebih sering daripada buku.

Ketika saya melihat ke sekeling keluarga gereja saya pada hari Minggu pagi, saya jauh dari ketidaklaziman dalam hal ini. Kita telah berubah dalam cara melihat lagu-lagu dan himne-himne dari buku menjadi ke layar proyektor; tampaknya kita pun berubah dalam cara kita melihat Kitab Suci dari buku ke layar hp atau tablet. Kita mungkin bertanya apakah ini penting.

Di satu sisi, kita mungkin menyatakan bahwa bukan tentang hal mendasar yaitu kata-katanya adalah sama dari mana pun kita membacanya. Memang benar bahwa kata-kata itu, kurang lebih, adalah sama (saya akan kembali kepada 'kurang lebih' itu), tetapi Allah menciptakan alam semesta secara fisik dan mengatakan bahwa itu adalah baik, dan demikian pula relasi kita dengan itu, dan penggunaannya, benda fisik bukan hanya tidak relevan. Bentuk fisik bisa penting dan demikian pula teknologi yang kita pakai untuk melihat teks Alkitab bisa penting juga. Kata-kata di Kitab Suci adalah, tentu saja, hal yang vital, tetapi kata-kata yang disampaikan dalam bentuk itu memiliki potensi mengubah relasi kita dengan kata-katanya.

Ada cara umum berkaitan dengan hal ini, yang disalahmengerti: kita mudah beranggapan bahwa iPad yang baru adalah 'teknologi', sedangkan buku yang kuno hanyalah biasa, jadi tidak ada bedanya. Tentu saja, ini adalah salah: buku yang dicetak dan dijilid adalah teknologi membaca yang sama baiknya dengan tablet layar sentuh. Kenyataannya, kita telah mengalami perubahan teknologi membaca beberapa kali dalam sejarah gereja Kristen, dan setiap kalinya itu telah mengubah pandangan kita dan cara kita menggunakan Kitab Suci.

Mungkin 2 Timotius 4:13 adalah ayat yang paling jarang dikhotbahkan dari seluruh kumpulan tulisan Paulus.1 "Jika kamu datang, bawalah jubah yang kutinggalkan kepada Karpus di Troas dan juga buku-bukuku, terutama semua perkamen itu." Dua kata yang tidak diterjemahkan menunjuk kepada teknologi membaca. NRSV menuliskan 'juga buku-buku, dan terutama semua perkamen' tetapi ini adalah bahaya yang bisa menyesatkan. Biblion memiliki akar yang berkaitan dengan papirus, namun umumnya penggunaan bahasa Yunani menunjuk ke dokumen apa saja dan semua, bagaimana pun itu ditulis, dan apa pun yang dituliskan. Jadi Paulus - saya tidak menyatakan tentang kepengarangan 2 Timotius, tetapi ayat ini begitu bersifat pribadi sehingga saya terdorong berpendapat bahkan jika sebagain besar dari surat itu adalah karya yang secara keliru dikaitkan dengan nama yang bukan penulis sebenarnya, atau sebuah karya yang oleh penulis sejati dikaitkan dengan sosok tokoh masa lalu, terdapat setitik teks asli di sini - Paulus meminta jubah dan beberapa dokumen yang dia tinggalkan agar dikirim kepadanya - tetapi kemudian menekankan pentingnya dia memiliki membranai di antara dokumen-dokumen itu.

Nah, kata dasar membrana artinya kertas kulit 'perkamen', yaitu materi menulis yang mahal dan tahan lama yang terbuat dari kulit binatang, kebalikan dari materi yang terbuat dari papirus; mungkin karena itulah, Paulus menginginkan buku-bukunya yang bersampul keras terutama karena dia mendapatkannya dengan harga yang lebih mahal. Akan tetapi, ada sebuah pendapat yang bagus bahwa membrana, meskipun aslinya ada di perkamen, biasanya diartikan sebagai sesuatu yang tertulis pada bentuk 'codex', kebalikan dari sesuatu yang ditulis dalam bentuk 'gulungan'. Sebuah gulungan adalah sebuah lembaran papirus atau perkamen panjang yang digulung sehingga bisa dibaca sedikit demi sedikit; sebuah codex adalah kumpulan lembaran papirus atau perkamen (atau bahkan kayu parafin) yang dijadikan satu di ujungnya - atau istilah kita, sebuah buku. Paulus menginginkan semua perpustakaannya dikirimkan, tetapi terutama buku-buku, bukan gulungan-gulungan.

Ini menarik karena nilainya adalah terbalik. Gulungan adalah buku yang bersampul keras pada zaman itu; hal-hal yang penting dituliskan pada gulungan; buku adalah pencatat bagi murid-murid untuk dipraktikkan. Seorang penulis merekomendasikan menyusun sebuah buku, karena materinya dapat ditambahkan ke dalamnya dengan lebih mudah. Akan tetapi, dia bersikeras, ketika pekerjaan itu selesai, maka harus disalin ke sebuah gulungan. Jadi, mengapa Paulus begitu khawatir dengan buku-bukunya?

Ini jadi lebih membingungkan ketika kita menyadari bahwa pilihan pada buku ini berurat akar dalam jemaat mula-mula. Para perintis iman kita membuat pilihan perjumpaan-kultural mengenai pilihan teknologi membaca mereka; dalam sebuah dunia yang menghargai gulungan, mereka memilih buku. Permanent Display koleksi British Library menyimpan banyak benda yang berharga, termasuk Codex Sinaiticus, salah satu naskah Perjanjian Baru paling kuno yang lengkap. Di antara banyaknya hal-hal menakjubkan tentang codex, buku; sesuatu yang benar-benar penting seharusnya adalah sebuah gulungan.

Mengapa jemaat Kristen mula-mula, mulai dari Paulus dan selanjutnya, menghargai buku? Kita bisa memikirkan berbagai argumen: mungkin karena buku lebih murah, atau lebih mudah dibawa-bawa, misalnya. Akan tetapi, Francis Watson berpendapat bahwa itu berkaitan dengan bentuk teknologi membaca buku, codex, yang ditawarkan. Kita tahu bahwa jemaat Kristen mula-mula menyebutkan hal-hal yang Yesus pernah katakan; menyebutkan ayat-ayat di Kitab Suci Ibrani yang kelihatannya merupakan nubuat-nubuat tentang kehidupan Yesus, dan seterusnya. Buku adalah baik untuk daftar-daftar, khususnya, buku adalah baik untuk daftar-daftar jika Anda ingin melihat sedikit demi sedikit dan potongan-potongan, bukan dalam urutan. Sebuah gulungan baik untuk dibaca dari hal 1 sampai ke hal 329; jika Anda ingin membaca hal 2, lalu 312, lalu 154, lalu 83, maka sebuah buku adalah jauh lebih mudah. Demikian juga buku adalah bagus untuk semacam materi yang sebagian besar bernilai bagi jemaat Kristen mula-mula, hal-hal yang mereka katakan mengenai Tuhan. Kita mungkin mengira bahwa Paulus menginginkan buku-bukunya terutama karena berisikan daftar-daftarnya, tautan-tautannya yang sangat penting tentang Yesus.

Entah untuk alasan ini atau yang lainnya, gereja Kristen menerima sebuah bentuk teknologi membaca yang baru, buku (yang tertulis). Hanya dalam beberapa abad kita lupa bahwa selalu ada pilihan, dan buku menjadi satu-satunya bentuk teknologi membaca yang kita semua ketahui. Akan tetapi, buku-buku yang tertulis itu tebal; seluruh Alkitab sayangnya adalah tebal. Jadi kitab-kitab lebih pendek, atau dijadikan beberapa bagian. Ini artinya tidak seorang pun yang memiliki sebuah 'Alkitab'. Sebagian besar orang buta huruf, tentu saja, tetapi seseorang yang bisa membaca, dan yang kebetulan tinggal di suatu tempat dengan sebuah perpustakaan akan mendapati bahwa perpustakaan yang berisikan buku-buku yang sekarang kita sebut 'alkitabiah' dan juga buku-buku lainnya, ditempatkan tanpa pemisahan yang jelas. Sehingga ada sesuatu yang kurang seperti mengembangkan pemahaman tentang apa yang alkitabiah dan apa yang tidak.

Kita bisa melihat bukti akan hal ini dalam karya Hugh of St Victor, Didascalion, sebuah teks standar abad kedua puluh, yang ditulis sebagai sebuah panduan bacaan seni bagi murid-murid pemula. Tiga buku pertamanya wajib dibaca secara umum; tiga buku berikutnya bacaan tentang ayat-ayat Kitab Suci. Daftar Hugh di buku-buku itu yang dianggap sebagai ayat-ayat Kitab suci adalah mengagumkan, tidak termasuk buku-buku seperti Wisdom, Tobit, Judith, dan Makabe, tetapi meliputi hampir semua bapa gereja sampai ke Augustine di abad keempat dan seterusnya. Dia memasukkan Origen, dengan sedikit tanda tanya; untuk beberapa alasan dia secara khusus mengeluarkan Shepherd of Hermas. Akan tetapi, sebagian besar tulisan-tulisan Kristen, bagi Hugh, adalah Kitab Suci, sama seperti Roma dan Yohanes adalah Kitab Suci.

Scroll

Disebutkannya Makabe dan seterusnya mungkin memunculkan pertanyaan yang terkadang diajukan murid-murid ketika mempelajari Reformasi: apa kanon Perjanjian Lama sebelum abad keenam belas, daftar Roma - dengan Makabe, kesimpulan- atau daftar Reformasi, tanpa mereka? Jawaban yang paling jujur dalam sejarah adalah itu tidak ditetapkan; tidak ada keputusan kanonikal di gereja Barat. (Gereja Yunani membuat keputusan untuk Septuaginta, terjemahan bahasa Yunani untuk beberapa teks bahasa Ibrani, sehingga memiliki sebuah daftar.) Terdapat sebuah kanon Yahudi, yang nantinya diadopsi oleh kaum Reformasi, tetapi gereja Kristen Barat tidak membuat keputusan formal. Yang menarik, kanon Yahudi, kelihatannya, ditetapkan dengan teknologi-teknologi membaca: pemahaman terbaik kita mengenai asal mula kanon Yahudi berdasarkan model penyimpanan gulungan-gulungan. Buku-buku yang dimasukkan sebagai kanon disimpan di rak yang berbeda, atau di ruangan yang berbeda, di perpustakaan bait suci atau sinagoge. Kanonisasi merupakan sebuah konsep bergantung, di bawah Allah, bagian dari pengaturan mode teknologi membaca.

Apa komitmen Reformasi untuk sola scriptura? Terlalu sering itu membicarakan sesuatu yang seolah-olah baru, tetapi sola scriptura adalah sebuah doktrin abad ketiga belas, yang dikembangkan oleh para ahli teologi Katolik, sebagian untuk menyatakan posisi mereka menentang para pembela kanon. Pembacaan Kitab Suci Reformed sama sekali berbeda dari apa yang telah ada sebelumnya, tetapi bukan karena adanya sebuah komitmen pada otoritas Kitab suci, atau karena komitmen pada satu-satunya otoritas Kitab Suci. Para ahli sejarah berbicara tentang komitmen Reformed pada 'hermeneutika humanistik'.

Ini adalah sebuah tindakan membaca keseluruhan buku dalam bahasa asli mereka, daripada berfokus pada satu kalimat demi satu kalimat, seringkali cukup dalam terjemahan. Perubahan lain dalam teknologi membaca adalah bagian yang signifikan dari hal ini. Ketika orang-orang hanya memiliki buku-buku yang tertulis, dan sedikit jumlahnya, maka tidaklah mengejutkan bahwa mereka berfokus pada kalimat-kalimat tertentu. (kita tahu bahwa bahkan para ahli terbesar di abad pertengahan mengakses penulis-penulis kuno melalui daftar kalimat-kalimat yang signifikan). Ketika buku-buku cetak tersedia maka itu memungkinkan kita dan mendorong kita untuk membaca teks seluruhnya.

Hugh menulis sekitar tiga abad sebelum Reformasi; jika kita melihat seabad seblumnya atau lebih, pertanyaan tentang kanon, yang bagi Hugh adalah berubah-ubah, telah menjadi tetap. Saya mengajarkan tentang pertanyaan-pertanyaan mengenai Kitab Suci dan interpretasi sebagai bagian dari perayaan 400 gerakan Baptis beberapa waktu yang lalu di Oxford. Kemudian seseorang bertanya apakah ada orang Baptis pada zaman dulu yang bertanya tentang kanon, yang meragukan apakah kitab-kitab di dalam Alkitab itu benar? Saya tidak tahu (dan belum menemukan sejak itu) apakah ada sebuah contoh, dan demikian juga tidak seorang pun yang lain di ruangan ini yang tahu. Kaum Baptist itu meniadakan hubungan negara-gereja, menolak bentuk pemerintahan gereja yang ada, mengabaikan rangkaian liturgi, bahkan membunuh seorang raja; mereka menantang dan mempertanyakan segala hal - mengapa mereka tidak mempertanyakan kanon juga?

Jawabannya sekali lagi terletak pada teknologi membaca. Di perpustakaan Hugh di St Victor semua buku alkitabiah dan belasan buku lainnya ditempatkan di rak yang sama; tidak ada batasan yang jelas yang memisahkan satu dengan yang lainnya. Kaum Baptis awal memiliki buku-buku cetak dengan sampul kulit hitam dengan dicap 'Kitab Suci' di lapisannya yang berkilat. Bahkan jika mereka mencoba untuk mempertanyakan segala hal, mereka terkalahkan oleh tersedianya buku yang dijilid itu. Penemuan mesin cetak menjadikan 'Alkitab' benda yang mungkin, dan setelah itu ada, maka tidak bisa diragukan. Lebih dari sekitar dua abad, pertanyaan seputar kanon telah berubah dari yang tidak terbayangkan menjadi dapat dibayangkan.

Bagi orang-orang di antara kita yang tumbuh besar dengan Alkitab yang dicetak tahu apa itu 'sebuah Alkitab'; isinya adalah tetap dan pasti. Dan, isinya yang tetap itu - sebuah produk, pemberitahuan, tentang teknologi membaca yang baru - mengubah cara kita berhubungan dengan teks lagi. Dalam Sejarah Kekristenan modern, ada bagian dari sejarah perdebatan terhadap hal-hal kecil tentang inspirasi Alkitab: di Eropa pada abad ketujuh belas muncul sebuah perdebatan mengenai titik-titik huruf hidup bahasa Ibrani. (Bahasa Ibrani ditulis tanpa ada huruf hidup, dan pada beberapa kasus pilihan huruf hidup dapat mengubah arti agak signifikan; lama setelah teks Alkitab bahasa Ibrani ditulis, ahli-ahli Farisi Yahudi yang disebut Kaum Masoret mengembangkan sebuah sistem tanda-tanda untuk menunjukkan huruf-huruf hidup mana yang seharusnya dimasukkan, dan pertanyaan pun diajukan, apakah ini diinspirasi oleh Allah atau bukan? Pada abad kesembilan belas seorang Skot yang eksentrik dalam pengasingan di Geneva mengembangkan sebuah teori tentang pleno inspirasi verbal, yang berpendapat bahwa setiap kata diinspirasikan; pada abad kedua puluh beberapa orang di USA sampai pada pandangan bahwa Allah menginspirasi satu terjemahan hanya dalam sebuah bahasa yang diberikan, sehingga orang-orang yang menggunakan bahasa Inggris harus membaca King James Bible saja. Pada setiap kasus, pertanyaan-pertanyaannya hanya dapat dibayangkan karena cetakan memungkinkan adanya teks yang pasti.

Saya memiliki sebuah teori bahwa fundamentalisme yang benar bergantung pada mesin cetak. Sikap seorang fundamentalis terhadap Kitab Suci, adalah, bergantung pada teks tertulis yang tetap; jika setiap Alkitab (atau Quran, atau apa pun) sedikit berbeda, pembaca bisa menjadi marah, susah, dan berbahaya dengan mengetahui beberapa arahan yang berbeda, tetapi mereka tidak akan pernah menjadi seorang fundamentalis; posisi tertentu itu tidak dimungkinkan jika teksnya tidak stabil. Akan tetapi, Alkitab Elektronik di-update secara teratur, membetulkan yang salah, atau mengembangkan versi, sehingga mereka tidak stabil. Steve Jobs mungkin belum mengetahui telah membunuh fundamentalisme Amerika!

Bagaimana perubahan ke teks elektronik akan mengubah sikap kita terhadap Kitab Suci? Saya kira, pertama, kita akan dipaksa untuk belajar lagi semangat dari teksnya. Seorang teman saya, seorang pendeta Presbiterian di Highlands, memiliki kebiasaan membaca dari aplikasi Alkitabnya saat dia memimpin ibadah; gerejanya memakai NIV. Dia memberitahu saya baru-baru ini tentang kengeriannya saat dia mulai membaca di gereja dan menyadari kata-katanya telah berubah - aplikasinya diam-diam telah di-update dari NIV 1984 ke NIV 2011. Dan, jika itu tampak seperti hal yang kecil, ingatlah bahwa ini adalah update ke versi bahasa gender-inklusif, sesuatu yang tidak selalu diketahui oleh gereja-gereja konservatif Preabyterian di Highlands supaya bisa ditoleransi.

semua teknologi membaca kita yang beragam memiliki keterbatasan, dan kita selalu memodifikasi dan mengembangkan teknologi untuk berusaha mengatasi keterbatasan-keterbatasan itu.

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Akan tetapi, berbicara tentang 'NIV 1984' dan 'NIV 2011' masih ada dalam teknologi mesin cetak; sebuah versi elektronik bisa di-update setiap minggu atau setiap hari. Sebuah Alkitab yang benar-benar digital dapat menerima semua kemajuan dalam ilmu pengetahuan tekstual pada hari itu dibuat, atau dapat mengulas dan meng-update satu buku setiap bulan. Sebuah teks secara aslinya akan ada dalam sebuah keadaan yang berubah terus-menerus - sama tidak stabilnya dengan salinan teks yang semua orang dalam dunia Kristen lakukan sebelum abad kelima belas. Dan mengapa tetap dengan NIV? Aplikasi laptop saya bisa memiliki beberapa jendela yang dibuka sekaligus - saya sering membuka terjemahan bahasa Inggris, bahasa Yunani atau Ibrani asli, sebuah tafsiran, dan leksikon Yunani/Ibrani di depan saya. Saya bisa segera melihat variasi dan terjemahan-terjemahan yang diperdebatkan. Kesulitan-kesulitan tekstual tidak bisa lagi disembunyikan oleh suatu pernyataan yang mensahkan penerbitan sebuah buku oleh komite editorial; kerapian buatan yang dipaksakan melalui teknologi membaca buku itu akan hilang; dan kita akan tahu sekali lagi rapuhnya Firman yang menghidupkan dengan perbedaan-perbedaan bacaan dan adalah sulit-untuk-menerjemahkan kalimat-kalimat.

Tentu saja, kembali ke menggunakan layar akan membuatnya jadi lebih sulit untuk menandai Kitab Suci; di gereja lokal saya seorang anggota dari tim pengkhotbah tertentu akan sering mengajak kita untuk dengan cepat beralih ke teks ini lalu ke teks itu; semua mahasiswa kami duduk di sana, jari jempol mereka bergerak dengan sangat cepat, saat mereka berusaha untuk tetap mengikuti pergerakan di layar. Ini merupakan sebuah kerugian, mungkin: Paulus terutama menginginkan membranai, buku-bukunya karena menggunakan gulungan adalah berat. Apakah ini sebuah argumen untuk menolak perubahan teknologi, untuk tetap pada buku? Bukan; semua teknologi membaca kita yang beragam memiliki keterbatasan, dan kita selalu memodifikasi dan mengembangkan teknologi untuk berusaha mengatasi keterbatasan-keterbatasan itu.

Kaum Masoret memberi angka dan tanda pada gulungan-gulungan mereka, yang menunjukkan berapa jauh kita sedang ada di buku, berapa banyak kata, bahkan huruf, telah dilewati dan berapa banyak yang akan datang. Ketika kita beralih ke buku, kita segera memiliki tabel korespondensi, daftar isi, lalu jumlah pasal dan jumlah ayat dan konkordansi untuk membantu kita membaca buku. Kita membuat/melakukan pemberian tanda-tanda baca. Dan catatan-catatan kaki. Dan sistem lintas-referensi. Dan pita, dimasukkan ke dalam punggung buku sehingga kita bisa membuat beberapa tempat terbuka sekaligus. Kita membuat konkordansi, dan sinopsis. Kita memodifikasi untuk membuat Alkitab kita lebih menarik tanpa henti untuk membuat mereka menjadi mesin yang berkadar oktan tinggi.

Saya membaca dari layar karena bagi saya, dengan memakai aplikasi yang saya gunakan (yang sangat bagus; membuat universitas saya membayar dengan mahal) keuntungannya lebih banyak daripada kerugiannya. Terdapat kelemahan, ya, tetapi aplikasi akan diperbarui minggu depan, dan akan mengatasi beberapa kelemahannya. Cara itu update, teknologi baru, akan membentuk keterlibatan saya dengan Kitab Suci-sama seperti buku cetak yang saya beli ketika baru saja diganti di akhir tahun 1980-an, dan sama seperti gulungan dan codex yang Paulus baca dan pelajari dengan teliti. (t/Jing-Jing)

Audio: Dari Gulungan Perkamen Hingga Penggunaan Layar Gawai

Sumber Artikel: 
Diterjemahkan dari:
Nama situs : Bible Society.org
URL : https://www.biblesociety.org.uk/explore-the-bible/bible-articles/from-scrolls-to-scrolling-how-technology-has-shaped-our-bible-reading/
Judul asli artikel : From scrolls to scrolling: how technology has shaped our Bible reading
Penulis artikel : Dr Stephen Holmes

"Kamu Harus Dilahirkan Kembali"

Penulis_artikel: 
Keith Mathison
Tanggal_artikel: 
31 Mei 2019
Isi_artikel: 
"Kamu Harus Dilahirkan Kembali"

"Kamu Harus Dilahirkan Kembali"

Nikodemus

Saya mengingat dengan jelas kelahiran kedua anak saya. Meskipun mereka lahir terpaut enam tahun, saya ingat persiapan masing-masing perjalanan ke rumah sakit. Perjalanan ke sana. Menemani istri saya ke lift. Ruangan-ruangan, alat-alat monitor, suster-suster, dokter-dokter, dan para anggota keluarga. Antisipasi dan penantian. Lebih dari semuanya itu, saya ingat memandangi anak saya untuk pertama kalinya dan melihat wajah istri saya ketika suster menyerahkan kepadanya pribadi yang mungil ini. Sekarang, saya melihat sebuah foto saya yang sedang menggendong putri saya yang baru lahir 12,5 tahun yang lalu. Kelahiran seorang anak benar-benar merupakan sebuah pengalaman yang menakjubkan dan tak terlupakan.

Sama menakjubkannya dengan kelahiran seorang anak, penting untuk dibandingkan dengan ajaibnya kelahiran rohani. Anak-anak saya lahir sehat secara fisik, dan untuk itu saya berterima kasih kepada Allah. Namun mereka, sama halnya seperti semua keturunan Adam, lahir dalam keadaan mati secara rohani. Mereka lahir dalam keadaan mati secara rohani, dan mereka tidak sendirian. Anda dan saya dan semua orang dilahirkan dalam keadaan mati -- mati dalam keberdosaan (lihat Ef. 2:1). Kita lahir dalam keadaan mati karena dosa dari bapa kita, dosa Adam. Rasul Paulus mengajarkan kepada kita bahwa "dosa telah masuk ke dalam dunia ini melalui satu orang dan maut masuk melalui dosa, begitu juga maut menyebar kepada semua orang karena semuanya telah berdosa" (Rm. 5:12 AYT). Dan, kematian rohani bukanlah akhir. Bahkan jika kita lahir sehat secara fisik, kematian rohani kita akan diikuti dengan kematian fisik: "Sebab, kamu adalah debu, dan kamu akan kembali kepada debu" (Kej. 3:19).

Untuk alasan inilah Yesus berkata kepada Nikodemus, "Kamu harus dilahirkan kembali" (Yoh. 3:7). Orang yang mati secara rohani tidak bisa memasuki hadirat Allah yang suci. "Jika seseorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan Allah" (Yoh. 3:3). Untuk melihat Kerajaan Allah, maka, kelahiran dalam keadaan mati secara rohani harus dihidupkan. Harus ada kebangkitan rohani.

Kita tidak percaya dengan tujuan untuk diperbarui; kita harus diperbarui supaya kita bisa percaya.

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Harus ada hidup yang baru, hidup yang kekal. "Kamu harus dilahirkan kembali." Perkataan Yesus membuat Nikodemus bingung. Dia berkata kepada Yesus, "Bagaimana mungkin seseorang dapat dilahirkan kembali kalau ia sudah tua? Dapatkah ia masuk lagi ke dalam rahim ibunya dan dilahirkan kembali?" (Yoh. 3:4). Di sini Nikodemus memberi kita sebuah contoh jelas tentang ketidakpahaman.

Nikodemus tidak sendirian. Ada banyak orang yang mengaku Kristen tetapi tidak mengerti. Mendengar beberapa orang mengatakan hal itu, Anda mungkin mengira Yesus hanya berkata, "Kamu harus menjadi baik kembali." Menurut banyak orang, kita tidak mati rohani tetapi hanya sakit. Kita berada di ranjang sakit kita, dan Yesus menawarkan obat. Yang kita harus lakukan hanyalah meraih itu dan menerimanya. Atau, kita sedang tenggelam dan Yesus menawarkan pelampung, dan yang harus kita lakukan hanyalah menangkapnya untuk menyelamatkan nyawa kita. Gambaran yang diberikan oleh Yesus dan para rasul, bagaimana pun, adalah jauh lebih suram. Dalam status kita sebagai keturunan Adam, kita bukan ada di ranjang sebagai orang sakit. Kita ada di dalam kubur. Kita bukan sedang menggapai-gapai di permukaan laut. Kita dalam keadaan tak bernyawa di dalam dasar lautan. Kita mati.

Inilah poin yang Nikodemus dan kita harus pahami. Ketika Yesus memberitahu Nikodemus bahwa dia harus dilahirkan kembali, Dia sedang menunjukkan bahwa ini bukanlah sesuatu yang Nikodemus mampu lakukan sendiri. Sama seperti kita tidak memiliki kendali atas kelahiran fisik kita, kita tidak mengendalikan kelahiran rohani kita. Ini adalah pekerjaan Roh Kudus yang berdaulat. Orang-orang yang mengatakan bahwa kita hanya terluka secara rohani akan berkata bahwa kita bisa diperbarui, dilahirkan kembali, dengan menaruh iman kita kepada Kristus. Akan tetapi, hal ini meletakkan segala sesuatunya secara benar-benar terbalik. Kita tidak percaya dengan tujuan untuk diperbarui; kita harus diperbarui supaya kita bisa percaya. Pembaruan mendahului iman.

Keadaan rohani kita dalam beberapa hal sama dengan keadaan Lazarus di dalam kubur (lihat Yoh. 11). Lazarus mati. Dia tidak bisa berbuat apa-apa dalam dan dari dirinya sendiri untuk memperoleh kehidupan yang baru. Yesus menyuruh Lazarus untuk keluar dari kubur, tetapi Lazarus tidak bisa menanggapi kecuali Allah terlebih dahulu memberinya kehidupan. Demikian pula, kita mati secara rohani dan tidak bisa berbuat apa-apa untuk memperoleh kehidupan rohani. Yesus menyuruh kita untuk percaya kepada-Nya, tetapi kita tidak bisa menanggapi kecuali Allah terlebih dahulu memberi kita kehidupan rohani. Yesus memberi kita kehidupan baru ini karena Dia telah mengalahkan kematian, sekali dan untuk semua orang. Sebagaimana Petrus menjelaskan, "yang sesuai dengan anugerah-Nya yang sangat besar, telah melahirkan kita kembali ke dalam pengharapan yang hidup melalui kebangkitan Kristus Yesus dari antara orang mati." (1 Ptr. 1:3).

Jika Anda seorang Kristen, pikirkan apa yang sudah Allah lakukan untuk Anda. Perhatikan fakta bahwa Anda dilahirkan dengan keadaan mati dalam dosa. Yesus datang ke kubur Anda. Dia menyuruh Anda untuk keluar dan memberi Anda kehidupan rohani dan iman. Sekarang, Anda telah dilahirkan kembali dan diangkat menjadi anak Allah (Yoh. 1:12). Anda adalah ahli waris bersama dengan Kristus. Dan, meskipun tubuh fisik Anda akan tetap mati, Anda bisa beristirahat dengan tenang dalam pengharapan akan kebangkitan. Mereka yang ada di dalam Kristus akan dihidupkan (1 Kor. 15:22). Tubuh kita yang sekarang ini dapat binasa, tetapi akan dibangkitkan menjadi tidak dapat binasa, tidak akan mati lagi. Ketika Allah membangkitkan kita, kematian pada akhirnya akan ditelan dalam kemenangan. (t/Jing-Jing)

Audio: Kamu Harus Dilahirkan Kembali

Sumber Artikel: 
Diterjemahkan dari:
Nama situs : Ligonier
URL : https://www.ligonier.org/blog/you-must-be-born-again/
Judul asli artikel : You Must Be Born Again
Penulis artikel : Keith Mathison
Tanggal akses : 10 april 2019

Singkirkan Beban Tidak Bersyukur

Penulis_artikel: 
Jon Bloom
Tanggal_artikel: 
31 Mei 2019
Isi_artikel: 
Singkirkan Beban Tidak Bersyukur

Singkirkan Beban Tidak Bersyukur

Gambar: kehendak Allah

"Bapa Surgawi, tolong beritahukan aku kehendak-Mu. Aku benar-benar harus tahu apa yang Kau inginkan untuk kulakukan … "

Inilah kehendak-Ku untukmu: "Mengucap syukurlah dalam segala hal. Sebab, itulah kehendak Allah bagimu di dalam Kristus Yesus" (1 Tesalonika 5:18).

"Terima kasih, Tuhan, untuk pengingat ini. Aku sungguh-sungguh harus lebih bersyukur -- tetapi kembali ke permintaanku, aku tidak yakin apa yang Engkau inginkan untuk kulakukan …"

"Aku ingin kamu untuk "mengucap syukur dalam segala hal."

"Aku tahu, Tuhan, aku tahu. Itu penting dan aku tahu di mana aku telah mengabaikan hal itu. Tetapi, mengucap syukur adalah semacam kebutuhan yang terus-menerus, bukan? Maksudku, semua orang perlu untuk lebih mengucap syukur, bukan? Jujur, ini mendesak, dan aku tidak mendapatkan kejelasan dari-Mu. Aku perlu arahan dari-Mu. Apa yang Kau inginkan untuk kulakukan?"

"Aku serius dan tegas. Aku mau kamu "mengucap syukur dalam segala hal," dan saat ini juga, dalam keadaan khusus ini.

(Kegusaran yang tak terkatakan)

"Kecuali kamu belajar untuk "mengucap syukur dalam segala hal," banyak kehendak-Ku yang akan terselubung. Aku membimbing dan menyediakan anugerah yang tidak dapat kamu lihat sekarang karena kau tidak bersyukur. Setialah untuk menaati kehendak-Ku yang dinyatakan bagimu, dan Aku akan setia membimbing (Mazmur 32:8) dan menyediakan (Filipi 4:19) bagimu.

Ingatlah untuk Mengucapkan "Terima Kasih"

Harga rohani yang kita bayarkan karena tidak mengucap syukur jauh lebih besar daripada yang kita kira. Tidak mengucap syukur bukan hanya sekadar tidak adanya ucapan "terima kasih." Itu merupakan sebuah gejala kesuraman rohani, atau kemiskinan rohani. Karena itu berarti menganggap sepele dan tidak menghargai anugerah yang ditunjukkan kepada kita.

Orang tua tahu seperti apa rasanya hal ini. Anak-anak, yang dilahirkan sebagai orang-orang berdosa yang berpusat pada diri sendiri, secara alamiah menganggap sepele darah, keringat, air mata, dan uang yang orang tua mereka investasikan pada diri mereka. Jadi, orang tua sering mengingatkan anak-anak mereka untuk mengucapkan terima kasih.

"Ingatlah untuk berterima kasih kepada ibumu karena membuatkan makan malam."

"Berterima kasihlah kepada kakekmu untuk hadiah ulang tahun yang bagus itu."

"Sudahkah kamu menyelesaikan kartu ucapan 'terima kasih' atas kelulusanmu?"

Mengapa orang tua melakukan ini? Bagi sebagian besar, itu hanyalah untuk mengajarkan anak-anak mereka berkelakukan sopan secara sosial. Yang mereka inginkan untuk anak-anak mereka adalah supaya mereka melihat anugerah dan merasa bersyukur. Secara naluri, mereka mengetahui bahwa melihat anugerah dan merasa bersyukur merupakan sebuah tanda dari seseorang yang sehat secara rohani, dan tentu saja mereka ingin anak-anak mereka sehat secara rohani. Dan, mereka secara naluri tahu ada sesuatu yang salah, sesuatu yang tidak sehat dengan seseorang yang tidak mengungkapkan rasa terima kasih untuk anugerah yang telah mereka terima.

Tidak mengucap syukur bukan hanya sekadar tidak adanya ucapan "terima kasih." Itu merupakan sebuah gejala kesuraman rohani, atau kemiskinan rohani.

Facebook TwitterWhatsAppTelegram

Allah Mengingatkan Kita untuk Mengucapkan "Terima Kasih"

Pada orang tua seperti ini, kita melihat gambaran akan hati Allah untuk kita. Allah tidak memerintah dan memperingatkan kita untuk berterima kasih kepada-Nya karena Dia suka mendengar "kata-kata menyenangkan" atau menyaksikan kita melakukan kesopanan ilahi saja. Dia menghendaki kita sehat dan berlimpah secara rohani. Dia tidak ingin kita sakit dan miskin secara rohani. Dia memberi tahu kita bahwa tidak mengucap syukur adalah tanda dari orang yang tidak percaya (Roma 1:21). Namun, mengucap syukur adalah tanda dari orang beriman, bukti bahwa kita sungguh-sungguh melihat anugerah-Nya dan merasakan dampaknya. Itulah yang Dia kehendaki bagi kita.

Dan, itulah sebabnya mengapa Allah sering memerintahkan dan memperingatkan kita melalui para penulis di Alkitab agar mengucap syukur kepada-Nya. Pikirkan tentang Mazmur; kalimat-kalimat seperti ini keluar melalui Mazmur:

"Aku akan bersyukur kepada TUHAN" (Mzm. 7:17; 9:1; 30:12, dan banyak lagi).
"Bersyukurlah kepada TUHAN" (Mzm. 105:1; 106:1; 107:1; 118:1 dan banyak lagi).
"Masuklah gerbang-Nya dengan ucapan syukur" (Mzm. 100:4).
"Sungguh, orang-orang benar akan bersyukur kepada nama-Mu" (Mzm. 140:13).

Dan, perhatikan tentang bagaimana Paulus menyusun referensi mengenai berterima kasih kepada Allah di semua suratnya:

"Aku selalu mengucap syukur kepada Allahku mengenai kamu" (1 Korintus 1:4).
"Aku tidak henti-hentinya mengucap syukur untukmu" (Efesus 1:16).
"Aku bersyukur kepada Allahku setiap kali aku mengingat kamu" (Filipi 1:3).
"Kami harus selalu bersyukur kepada Allah untuk kamu" (2 Tesalonika 1:3).
Dan, tentu saja, "mengucap syukurlah (kepada Allah) dalam segala hal" (1 Tesalonika 5:18).

Itu semua bukanlah perintah dan peringatan tentang keilahian yang egois. Itu adalah petunjuk penuh kasih dari Tabib Agung; itu semua adalah pengingat penuh kasih dari Bapa kita yang menunjukkan kebaikan. Sama seperti orang tua yang menolong seorang anak untuk bertumbuh dalam pengucapan syukur melalui pengingat yang terus-menerus, Allah menghendaki pengingat-Nya yang terus-menerus bagi kita untuk mengucap syukur kepada-Nya menolong kita untuk mengalami sukacita yang sangat sehat dan mendalam dari melihat anugerah dan merasa bersyukur.

Dan, sama seperti semua berkat Allah yang terbesar, Dia menjadikan ucapan syukur kita sebagai sesuatu yang memuliakan Dia dan membuat kita bersukacita! Dia mendapatkan kemuliaan karena Dia adalah Pemberi-anugerah, dan kita bersukacita karena kita adalah orang-orang yang menerima anugerah dan yang merasa bersyukur.

Singkirkan Beban Tidak Bersyukur

Dalam memandang hal-hal lain dalam kehidupan kita yang terasa seperti prioritas yang mendesak, kita mungkin tidak mengira bahwa "mengucap syukur dalam segala hal" berada di peringkat yang cukup tinggi. Kita mungkin tergoda untuk mengira bahwa mengucap syukur adalah semacam pilihan mewah dalam kendaraan iman Kristen -- itu adalah fitur yang bagus, tetapi kita dapat mengemudikan kendaraan dengan baik tanpa itu. Itu adalah kesalahan yang sangat besar. Mengucap syukur bukanlah pilihan mewah; itu adalah bagian dari mesin kendaraan kita. Kendaraan iman tidak berfungsi dengan baik tanpa itu.

hati bersyukur

Oleh karena itu, adalah sangat mungkin bahwa jawaban Allah atas doa-doa kita yang memohon bimbingan dan pemenuhan kebutuhan sesungguhnya adalah, "mengucap syukur dalam segala keadaan." Itu mungkin bukan kebutuhan paling besar yang kita rasakan, tetapi itu mungkin adalah kebutuhan kita yang sesungguhnya saat ini. Dan, jika demikian, jawaban Allah yang mungkin membuat frustrasi, merupakan belas kasihan yang besar dan memulihkan bagi kita.

Tidak mengucap syukur adalah beban rohani yang tidak sehat yang memperlambat kebanyakan dari kita dalam perlombaan iman, jauh lebih daripada yang kita tahu (Ibrani 12:1). Allah memiliki lebih banyak anugerah yang membimbing dan menyediakan bagi kita, yang akan kita temukan jika kita menyingkirkan beban itu dan berlari dengan sukacita penuh ucapan syukur.

Bagaimana kita melakukan ini? Dengan mulai menaati perintah Allah yang sederhana dan mendatangkan-kesehatan: "Mengucap syukurlah dalam segala keadaan" (1 Tesalonika 5:18). (t/Jing-Jing)

Audio:Singkirkan Beban Tidak Bersyukur

Sumber Artikel: 
Diterjemahkan dari:
Nama situs : Desiring God
URL : https://www.desiringgod.org/articles/lay-aside-the-weight-of-thanklessness
Judul asli artikel : Lay Aside the Weight of Thanklessness
Penulis artikel : Jon Bloom

Seminar Doktrin Predestinasi dan Kebebasan

Seminar Doktrin Predestinasi dan Kebebasan

"Datang ya, ke seminar 'Doktrin Predestinasi dan Keselamatan' besok …," kata Evie mengingatkan kami semua pada akhir persekutuan staf Jumat siang itu.

Mengejar Kebahagiaan

Penulis_artikel: 
Ken Myers
Tanggal_artikel: 
6 Mei 2019
Isi_artikel: 
Mengejar Kebahagiaan

Mengejar Kebahagiaan

Kebahagiaan

Ketika Thomas Jefferson memilih frasa “mengejar kebahagiaan” untuk menggambarkan salah satu hak manusia yang tidak dapat diambil orang lain, dia mengambil ide yang memiliki sejarah yang sangat panjang. Sejak zaman Aristoteles dan sebelumnya, kebahagiaan dipahami sebagai suatu kondisi yang pantas diinginkan oleh semua orang. Akan tetapi, bagi orang Yunani, dan juga para penulis Alkitab, kebahagiaan adalah realitas obyektif, bukan hanya perasaan atau keadaan emosional. Frasa “apa pun yang membuat Anda bahagia,” begitu umum diucapkan hari ini, akan menjadi omong kosong bagi orang Ibrani, Yunani, dan Kristen juga, karena itu menyatakan tidak ada urutan moral yang tetap yang di dalamnya terletak kebahagiaan.

Kebahagiaan kira-kira sama dengan gagasan dalam Alkitab tentang “diberkati”. Dalam etika klasik dan pertengahan orang Kristen, kebahagiaan menunjuk kepada keadaan kemajuan atau kesejahteraan manusia yang berkaitan dengan hidup seseorang, yang memiliki kebaikan yang paling sejati. Tindakan, pikiran, keinginan, dan ambisi haruslah diperintah dalam kaitan dengan tujuan akhir yang tepat dari umat manusia bagi seseorang untuk benar-benar bahagia. Oleh karena itu, kebahagiaan bersifat etis, bukan proyek psikologis. Untuk mengejar kebahagiaan berarti mengejar seluruh tujuan keberadaan seseorang, tetapi itu berarti mengenali bahwa keinginan seseorang dan tindakan seseorang membutuhkan koreksi. Itu berarti menilai fakta bahwa manusia tidak secara naluri mengejar kebaikan yang paling sejati, bahwa beberapa kenikmatan yang sangat menarik tidak benar-benar selaras dengan bentuk luar natur kita yang paling esensial. Menurut istilah orang Kristen, mengejar kebahagiaan berarti mengakui bahwa Allah telah menciptakan kita untuk bertumbuh dalam konteks menaati Dia sehingga natur gambar dan rupa yang kita sandang bisa memperlihatkan kemuliaan-Nya. Karena dosa kita dan sifat melawan kita yang menjauhkan kita dari identitas kita yang terdalam dan paling sejati, maka pengejaran kebahagiaan hanya dimungkinkan oleh adanya anugerah, karena dengan kekuatan sendiri kita tidak mungkin bisa menolak dampak kerusakan akibat dosa dalam hidup kita.

Jadi, kebahagiaan berdasarkan catatan sejarah ini sebenarnya adalah terjadinya kepuasan, pertumbuhan dalam ketaatan yang kudus. Formulasi ini tidak diragukan akan terlihat sebagai kejutan bagi sebagian besar orang pada masa kita saat ini, mungkin bahkan bagi banyak orang Kristen, meskipun mungkin itu disebabkan oleh anggukan penegasan dari sebagian besar ahli filsafat pagan. Bagaimana kemudian sebuah negara yang seringkali dianggap Kristen, sebuah negara yang juga terobsesi untuk mengejar kebahagiaan, mendapatkan pemahaman anti-Kristen seperti itu tentang apa artinya menjadi bahagia?

Bagian dari jawabannya berkaitan erat dengan inovasi radikal dalam pemikiran etis yang memberi pengaruh selama abad ke-18, budaya Pencerahan ketika Jefferson hidup. Pada zaman itulah ketika para ahli filsafat membuang gagasan tentang natur manusia yang esensial yang mendefinisikan tujuan manusia. Pada satu sisi, itu adalah ditinggalkannya gagasan tentang dosa, karena para pemikir Pencerahan ini agak senang berbicara tentang (menurut kata-kata Alasdair MacIntyre) “natur manusia yang tidak tidak berbudaya, secara apa adanya,” dan mendasarkan pemahaman mereka tentang etika dan politik pada sebuah gambaran tentang natur manusia yang pada dasarnya tidak berpengalaman. Ini adalah zaman ketika kebebasan individu menjadi kebaikan yang paling tinggi, bagi individu maupun masyarakat. Filosofi pada zaman itu ketika bangsa kita didirikan berkomitmen pada gagasan tentang individu sebagai yang berdaulat dalam otoritas moralnya (lihat MacIntyre, After Virtue, hal. 62).

Dalam konteks seperti itu, gagasan mulia dari mengejar kebahagiaan mendapatkan arti yang benar-benar baru. Kebahagiaan kemudian dimengerti sebagai apa pun yang dipahami oleh setiap individu. Karena tidak lagi didefinisikan secara obyektif dalam hubungannya dengan tujuan yang pasti untuk natur manusia, mengejar kebahagiaan pun segera diartikan dengan mengejar kenikmatan, pencarian kesenangan tak henti-hentinya, untuk keadaan emosional kebahagiaan yang tidak dipikirkan sama sekali. Dan, keadaan ini tidak perlu berkaitan dengan pilihan etis yang dibuat oleh seseorang, dengan cara seseorang menjalani kehidupannya. Bahkan, banyak orang Amerika yang tampaknya mengejar kebahagiaan semacam ini dengan cara melakukan pilihan etis yang buruk: berzinah, tidak menghormati orang tua, membunuh anak-anak mereka yang belum terlahir, menyalahgunakan tubuh mereka sendiri. Ketika kebahagiaan hanya menjadi sebuah suasana hati, mempertahankannya adalah kebaikan yang paling sejati, maka aturan cenderung dilanggar, seperti telur dalam telur dadar Lenin.

Pada abad ke-20, ditambah dengan meningkatnya media massa dan bentuk hiburan yang ada di mana-mana, mengejar kebahagiaan sebagai kesenangan menjadi dirasakan sebagai semacam perintah moral yang penting sekali. Menulis pada pertengahan tahun 1950-an, ahli psikologi Martha Wolfenstein memperhatikan munculnya apa yang disebutnya sebagai “moralitas bersenang-senang,” sebuah etika yang menggantikan moralitas kebaikan gaya-lama “yang menekankan campur tangan dengan apa yang menggerakkan hati. Tidak bersenang-senang berarti waktunya untuk memeriksa diri sendiri: 'Apa yang salah pada diri saya?' …. Sedangkan kepuasan dari gerak hati yang dilarang biasanya menimbulkan rasa bersalah, gagal untuk bersenang-senang sekarang menurunkan harga diri seseorang.” Bukan hanya kebahagiaan sekarang dilepaskan dari tujuan obyektif manusia dan diidentifikasi secara tidak tepat dari kenikmatan seseorang, kenikmatan dianggap sebagai sumber kebahagiaan yang paling sepele dan berlalu dengan sangat cepat. Menuruti perintah moralitas bersenang-senang membuat konsumsi hiburan secara pasif semakin menjadi jalan yang masuk akal menuju kebahagiaan daripada yang kenikmatan yang tidak kentara, dan kesenangan yang lebih menuntut seperti belajar memainkan biola, mencintai kesusasteraan, atau mengelola taman yang indah.

Saat itu terjadi, anggapan yang menonjol bahwa kebahagiaan adalah sebuah proyek yang dibuat berdasarkan pesanan dengan hasil instan yang diharapkan, tampaknya tidak membuat sebagian besar orang lebih bahagia. Di dalam sebuah esai baru-baru ini yang berjudul The Pursuit of Emptiness, (Mengejar Kehampaan - Red.) John Perry Barlow mengamati: Dari banyaknya teman-teman dan kenalan saya yang mengonsumsi Prozac (nama dagang dari obat fluoxetine, digunakan sebagai antidepresi atau untuk mengatasi depresi - Red.), saya tidak pernah mendengar seorang pun dari mereka yang menyatakan jika obat-obatan ini membuat mereka lebih dekat dengan kebahagiaan yang sesungguhnya. Melainkan, mereka berbisik dengan rasa terima kasih yang tidak bergairah, anti depresi telah mendorong mereka ke jurang yang dalam sekali. Mereka bukan sedang mengejar kebahagiaan. Mereka sedang bunuh diri.” Barlow melaporkan tentang sebuah ekperimen yang mencari senyuman dalam wajah orang-orang yang ada di dalam “supermarket organik mewah” di San Francisco tempat dia sering berbelanja. Dalam 11 bulan, melihat ribuan wajah, “hampir semua di antara mereka sehat, cantik, dan memiliki penampilan yang sangat rapi,” dia menghitung 7 senyuman, 3 di antaranya dia menilai tidak tulus. Malahan, di supermarket-supermarket dan di mana-mana, dia melihat karakeristik “ekspresi dari kegelisahan-diri sendiri (yang) telah menjadi hampir semua topeng universal.” Berusaha untuk menemukan kebahagiaan menurut pemahaman kita sendiri, daripada menurut Pencipta kita yang sudah dibangun di dalam natur kita, adalah usaha yang melelahkan dan mengecewakan.

Carl Elliott, penulis buku Better than Well, dengan cerdas mendokumentasikan berapa banyak orang Amerika yang memakai berbagai “tingginya teknologi” dalam upaya untuk merasa lebih baik tentang diri mereka sendiri (yang mungkin merupakan definisi kebahagiaan bagi banyak orang saat ini). Elliot merasakan bahwa proyek orang Amerika untuk mengejar kebahagiaan telah menjadi begitu menyedihkan sehingga sekarang tampaknya membutuhkan “bukan hanya saya mengejar kebahagiaan, tetapi saya mengejarnya dengan agresif, memakukannya ke alam bawah sadar, dan mengikatnya kencang-kencang di ruang bawah tanah saya.” Lamanya orang-orang menahan kebahagiaan itu mengherankan: obat-obatan yang mereka konsumsi; fantasi yang terus mereka pertahankan; uang yang mereka keluarkan; relasi yang mereka racuni.

"Kebahagiaan kita bukanlah sebuah hak, tetapi pemberian dari Dia yang pernah mengalami kesengsaraan dan kedukaan." (Ken Myers)

Facebook Telegram Twitter WhatsApp

Ada sesuatu dari serangan balasan terhadap pencari-kebahagiaan yang militan ini, rezim keren yang tak berbelas kasihan ini. Pada awal tahun ini, manifesto lemah dari Eric Wilson, Against Happiness: In Praise of Melancholy, disambut dengan simpati orang banyak. Wilson mempertanyakan nilai dari berjuang untuk pukulan yang terus-menerus, mengingatkan para pembaca bahwa terkadang adalah agak sehat secara emosional untuk menanggapi tragedi-tragedi dalam kehidupan dengan perasaan yang lebih suram. Buku-buku lain baru-baru ini mempertanyakan kecenderungan untuk memperlakukan kesedihan sebagai sakit mental. Protes-protes ini baik-baik saja selama ini, tetapi mereka masih menganggap bahwa kebahagiaan adalah keadaan yang subyektif.

Penemuan kembali akan visi yang lebih kaya mengenai kebahagiaan manusia adalah sebuah proyek yang untuk itu orang Kristen secara unik ditempatkan. Kita percaya, tidak sama seperti orang-orang di zaman sekarang, bahwa kita diciptakan untuk bersuka dalam pengenalan akan Allah dan mengasihi Allah, untuk mendapatkan kepenuhan kita sebagai ciptaan hanya ketika kita berjalan di dalam jalan-Nya. Juga, mengetahui bahwa kita hidup di dalam dunia yang dirusak oleh dosa, kita menyadari bahwa berkat yang sesungguhnya akan seringkali, sampai Kristus datang kembali, mencakup penderitaan, penganiayaan, dan pengorbanan. Kebahagiaan kita bukanlah sebuah hak, tetapi pemberian dari Dia yang pernah mengalami kesengsaraan dan kedukaan. Yang jelas kita ketahui, Yesus tidak pernah bertanya kepada para murid: “Apakah kita bersenang-senang?” Tetapi Dia mengajar mereka bahwa hamba-hamba yang setia akan masuk ke dalam kebahagiaan tuan mereka. Kebahagiaan adalah buah dari menyelaraskan hidup kita dengan tujuan Allah bagi kita. “Jika kamu menaati semua perintah-Ku,” Yesus berjanji, “kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, sama seperti Aku telah menaati perintah Bapa dan tinggal di dalam kasih-Nya. Hal-hal ini Aku katakan kepadamu supaya sukacita-Ku ada di dalammu, sehingga sukacitamu menjadi penuh” (Yohanes 15:10–11). Mengejar kesetiaan dengan sungguh seperti itu, bukan berfokus pada kesenangan, merupakan jalan yang sesungguhnya menuju kebahagiaan manusia. (t/Jing-Jing)

Mengejar Kebahagiaan

Diterjemahkan dari:
Nama situs : Ligonier
URL : https://www.ligonier.org/learn/articles/pursuit-happiness/
Judul asli artikel : The Pursuit of Happiness
Penulis artikel : Ken Myers
Tanggal akses : 14 Agustus 2018

Bekerja adalah Ibadah

Penulis_artikel: 
Darren Bosch
Tanggal_artikel: 
6 Mei 2019
Isi_artikel: 
Bekerja adalah Ibadah

Bekerja adalah Ibadah

Bekerja

Bertindak Benar, adalah Sebuah Ekspresi Karakter dan Keindahan Allah

Di sana, kami duduk di bawah langit berbintang, berbicara tentang iman, keluarga, kesenangan, dan pekerjaan. Suatu tempat yang familiar. Seperti banyak dari Anda, saya menikmati percakapan di tenda yang nyaman di setiap musim panas. Akan tetapi, malam khusus ini menantang saya. Tidak membutuhkan waktu yang lama bagi percakapan tentang pekerjaan dari teman yang mengaku percaya Kristus dan pemimpin tempat jual beli ini membuat saya bersedih. “Kami berusaha berinvestasi pada orang-orang selama bertahun-tahun, bahkan mempekerjakan konsultan untuk membantu kami! Pada akhirnya, tidak ada yang berhasil. Kami baru saja mengundurkan diri sehingga hanya ada satu alasan bagi kami berada dalam pekerjaan: untuk menghasilkan uang. Pada dasarnya, semua ini adalah tentang itu.”

Mirip dengan itu, seorang pemilik bisnis Kristen baru-baru ini memberitahu saya tujuan dari bisnisnya adalah pensiun dengan tabungan yang banyak supaya dia tidak perlu kuatir. Itu adalah cara bisnis yang umum dari Penipu besar.

Pandangan yang Miring

Lihat, banyak orang Kristen memegang pandangan yang miring tentang kerja. Beberapa orang memandangnya sesederhana kutukan yang ada di Kitab Kejadian 3. Yang lain, membuat pemisahan yang salah antara apa yang mereka rasa sebagai yang kudus (Allah), dan yang sekuler (hal lainnya), memisahkan ibadah hari Minggu dari pekerjaan pada hari Senin.

Masalah tentang ini adalah bahwa pandangan tentang kerja seperti ini selalu mengecewakan. Mereka memaksa kita untuk memandang Allah sebagai pemberi tugas yang jahat dan Anda hanya harus bersemangat karena “itulah jatah Anda dalam hidup.” Atau, ketika identitas saya tidak mencerminkan karakter dan rancangan Allah, itu adalah karena saya memilih untuk menjalani bagian dari hidup saya sendirian, terima kasih banyak.

Kedua pendekatan untuk pekerjaan ini akan membuat Anda berusaha terus-menerus tanpa hasil apa pun – kita mendambakan sesuatu yang lebih, karena kita tidak tidak melibatkan Allah.

Pekerjaan adalah Sebuah Karunia

Pekerjaan adalah karunia Allah untuk kita. Itu bukanlah akibat kejatuhan dalam dosa. Ketika memberikan kepada Adam dan Hawa pekerjaan untuk mengembangkan dan merawat taman, Dia bukan hanya membuatkan mereka lapangan pertamanya, Dia merancang DNA mereka sehingga apa pun yang kepala mereka, hati mereka, dan tangan mereka taruh, itu merupakan bentuk ibadah. Hal yang sama berlaku atas kita. Diciptakan menurut gambar dan rupa-Nya, pekerjaan merupakan perluasan pekerjaan Allah untuk memelihara dan mencukupi kebutuhan ciptaan-Nya, mendatangkan kemuliaan-Nya dan menikmati Dia.

Ratusan kali di dalam Alkitab kata bahasa Ibrani avodah digunakan untuk mengartikan “bekerja” dan juga “beribadah”. Pekerjaan kita dimaksudkan untuk melayani tujuan Allah lebih daripada tujuan diri kita sendiri, yang menghalangi kita untuk bisa melihat pekerjaan sebagai alat untuk memenuhi peti simpanan kita, mempersiapkan diri kita untuk pensiun, atau hanya terus bekerja keras karena itu adalah beban kebutuhan.

Sederhananya, bekerja adalah beribadah. Injil sebenarnya memberi kita lensa yang baru untuk melihat melaluinya: kita sebenarnya bekerja untuk Allah itu sendiri! Perhatikan Efesus 6:

“Budak-budak, taatilah tuanmu yang ada di dunia ini dengan hormat dan gentar, dan dengan ketulusan hati seperti untuk Kristus. Jangan seperti orang-orang yang mengerjakan pekerjaan hanya untuk dilihat orang – untuk menyenangkan manusia, tetapi sebagai hamba-hamba Kristus yang melakukan kehendak Allah dari hati. Melayani dengan sepenuh hati seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia .... ”

Nah, sekarang, ada alasan untuk bangun di pagi hari!

Mengapa itu Penting?

Martin Luther berkata bahwa Anda bisa memerah susu sapi untuk kemuliaan Allah. Mengapa? Sikap Andalah yang menyatakan, “Tuhan, aku melakukannya untuk-Mu.” Jadi, entah Anda memotong ubin batu besar atau memotong rambut seseorang hari ini, pekerjaan tangan Anda, bahkan yang tidak sempurna, adalah untuk kemuliaan Allah. Anda dan pekerjaan Anda adalah sebuah ekspresi dari kreativitas-Nya, karena kita diciptakan menurut gambar dan rupa-Nya. Itu adalah sebuah panggilan. Itu adalah ibadah!

Pekerjaan Anda adalah ibadah. Itu adalah hidup yang mengubahkan.

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Jadi, mengapa memiliki pemahaman yang benar tentang pekerjaan itu penting? Karena hanya ketika kita memahaminya dengan benar maka kita bisa memaksimalkan hal itu:
BERIKAN KEMULIAAN BAGI ALLAH: sebuah respons syukur atas apa yang Dia lakukan bagi kita.
MENCERMINKAN KARAKTER-NYA: diciptakan menurut gambar dan rupa-Nya, kita perlu menunjukkan ini kepada orang lain.
MELAYANI ORANG-ORANG: kita harus menjadi saluran untuk anugerah Allah dan memperluas kerajaan Allah.
MEMBERI: kita menghasilkan supaya kita bisa memberi kepada orang lain.
MEMENUHI KEBUTUHAN KITA DAN MENGINVESTASIKAN TALENTA KITA: dengan mengembangkan karunia yang diberi oleh Allah yang Dia sediakan bagi kita.

Jadi, lain kali ketika Anda sampai ke kantor Anda, di lantai Anda sendiri atau di tempat klien Anda, ingatlah siapa diri Anda, lalu perhatikan apa yang akan Anda lakukan. Kehidupan rohani Anda dinyatakan melalui pekerjaan Anda. Pekerjaan Anda adalah ibadah. Itu adalah hidup yang mengubahkan.

Kol. 3:23 berkata, “Apa saja yang kamu lakukan, lakukanlah dengan segenap hati seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” Doa saya adalah agar Anda memandang pekerjaan Anda penting dan melihat pentingnya itu menurut perkenan dan rencana Allah. Kita diciptakan untuk mengenal Allah dengan intim, memuliakan Dia dan menikmati Dia selama-lamanya. Mari lakukan itu dalam pekerjaan kita!

Membahas Aplikasi:

Bagaimana melihat pekerjaan sebagai bentuk dari ibadah mengubah tujuan dan nilai perusahaan saya? Jika saya mulai melakukan segala hal “seperti saya bekerja untuk Tuhan dan bukan untuk manusia” (diri sendiri atau orang lain), bagaimana itu akan mengubah cara saya bekerja?

Karena Allah menyukai bisnis dan perdagangan, dan karena kita disebut peniru-peniru Allah (Efesus 5:1) mari kita pikirkan, bagaimana Yesus akan melakukan pekerjaan saya? Orang mana yang akan Dia layani? Apakah yang akan menjadi visi atau tujuan S.M.A.R.T (atau specific (khusus), measurable (dapat diukur), achievable (dapat dicapai), relevant (relevan), dan time (waktu))

Ketika kita menyelesaikan sebuah pekerjaan, dapatkah kita berkata, “Terima kasih Bapa, karena menciptakanku untuk tujuan ini”? (t/Jing-Jing)

Audio: Bekerja adalah Ibadah

Diambil dari:
Nama situs : Reformed Perspectives
URL : https://reformedperspective.ca/work-is-worship/
Judul asli artikel : Work is Worship
Penulis artikel : Darren Bosch
Tanggal akses : 16 Agustus 2018

Semper Reformanda

Penulis_artikel: 
Michael Horton
Tanggal_artikel: 
6 Mei 2019
Isi_artikel: 
Semper Reformanda (Selalu Diperbaharui)

Semper Reformanda (Selalu Diperbaharui)

Semper Reformanda

Kalau Anda telah lama berada dalam lingkungan Protestan, baik konservatif maupun liberal, kemungkinan Anda pernah mendengar slogan “diperbaharui dan selalu memperbaharui” atau kadang hanya “selalu memperbaharui.” Saya sering mendengarnya akhir-akhir ini, terutama dari kawan-kawan yang menghendaki agar gereja Reformed kami lebih terbuka untuk bergerak melampaui keyakinan dan praktik yang dinyatakan dalam standar doktrin kami. Bahkan, dalam lingkungan Reformed belakangan ini, telah bangkit beragam pergerakan yang menantang standar tersebut. Bagaimana pengakuan iman dan katekismus yang ditulis pada abad ke-16 dan 17 bisa membentuk doktrin, kehidupan, dan ibadah pada abad 21? Kaum Protestan Liberal kerap mengutip slogan tadi untuk membenarkan diri mereka yang menganut semangat zaman ini, tetapi sejumlah Protestan konservatif juga memakainya untuk mendukung pengertian yang lebih luas tentang arti menjadi Reformed.

Namun, dari mana frasa itu berasal? Frasa itu pertama kali muncul pada 1674 dalam renungan karya Jodocus van Lodenstein, seorang figur penting dalam aliran pietisme Reformed Belanda -- suatu gerakan yang dikenal sebagai Reformasi Belanda Kedua. Menurut para penulis itu, Reformasi telah memperbaharui doktrin gereja, tetapi kehidupan dan praktik umat Allah senantiasa memerlukan perubahan lebih lanjut.

Van Lodenstein dan kawan-kawan berpegang teguh pada pengakuan iman dan katekismus Reformed; mereka hanya ingin melihat pengajaran itu diterapkan lebih menyeluruh dan juga dipahami. Akan tetapi, kalimat lengkap darinya berbunyi demikian: “Gereja sudah diperbaharui dan senantiasa (memerlukan) pembaharuan berdasarkan firman Allah.” Bentuk kata kerjanya pasif: gereja bukan “selalu memperbaharui,” melainkan “selalu diperbaharui” oleh Roh Allah melalui firman. Kendati para Reformator sendiri tidak memakai slogan tersebut, kalimat itu jelas mencerminkan maksud mereka; jika dikutip seluruhnya!

Setiap klausanya penting. Pertama, gereja sudah diperbaharui (Reformed), dan ini seharusnya ditulis dengan huruf R kapital. Kalau Yesus sungguh bangkit dari antara orang mati dua ribu tahun lalu di Palestina, maka hal itu juga benar pada zaman dan tempat kita sekarang. Kredo oikumene menegaskan iman yang kita semua anut dalam beragam budaya dan zaman. Demikian pula, standar-standar Reformed (misalnya Tiga Bentuk Kesatuan serta Pengakuan Iman dan Katekismus Westminster) merangkumkan apa yang diyakini oleh Kristen Reformed sebagai ajaran firman Allah yang jelas. Gereja-gereja akan senantiasa mengalami perubahan penting berdasarkan zaman dan tempatnya, tetapi pengakuan bersama tentang Kristus tetap menjadi ringkasan yang setia tentang “iman yang telah diserahkan sekali untuk selamanya kepada orang-orang kudus” (Yudas 3).

Para pendahulu kita yang menyerukan slogan tersebut memikirkan konsolidasi (kesatuan) yang am dan injili terwujud dalam pengakuan iman dan katekismus Reformed. Ada alasan mengapa sayap (kubu) Reformasi ini menyebut diri mereka Reformed. Tidak seperti kaum Anabaptis, gereja-gereja Reformed memahami dirinya sebagai cabang terusan dari gereja yang am. Pada saat yang sama, kaum Reformed ingin memperbaharui segala sesuatu “berdasarkan firman Allah.” Tidak hanya doktrin, tetapi ibadah dan kehidupan kita juga harus ditetapkan berdasarkan Alkitab, bukan berdasarkan keinginan maupun kreativitas manusiawi.

Menariknya, yang membuat slogan itu menjadi sorotan adalah seorang teolog Presbiterian arus utama, Anna Case-Winters. Dia menyebut slogan itu “slogan yang disalahgunakan.” Winters menunjukkan bahwa “dalam konteks abad ke-16, semangat yang dinyatakan dalam slogan itu bukan liberal maupun konservatif, melainkan radikal, dalam arti kembali ke ‘akarnya'.” Hal ini tercermin dalam seruan kesatuan, sola Scriptura (hanya Alkitab). Gerakan Reformasi tidak tertarik pada “perubahan” sebagai akhir dari dirinya sendiri. Seperti pendapat Calvin dalam risalahnya berjudul The Necessity of Reforming the Church (Perlunya Memperbarui Gereja - Red.), para Reformator penuh dengan inovasi, padahal yang memerlukan pemulihan Kekristenan rasuli adalah distorsi (pembengkokan) iman Kristen dalam gereja abad pertengahan.” Gereja Roma berpura-pura seolah “tetap sama”, padahal mereka telah menggabungkan sejumlah besar doktrin dan praktik yang tidak ada dalam gereja mula-mula, apalagi dalam Perjanjian Baru.

Sebagian orang zaman ini mengabaikan bagian Reformed, atau setidaknya hanya menafsirkannya sebagai "diperbaharui” belaka (dengan huruf "r" kecil) : gereja “senantiasa diperbaharui berdasarkan firman Allah.” Berarti, menjadi kaum Reformed hanya sekadar diperbaharui, dan diperbaharui pasti menjadi alkitabiah. Jadi, semua orang yang melandaskan keyakinannya pada Alkitab pasti reformed, (diperbaharui), tak peduli apakah tafsiran mereka sesuai dengan pengakuan iman gereja Reformed pada umumnya. Namun, hal ini bertentangan dengan makna asli dari slogan tersebut. Tidak diragukan, memang banyak kepercayaan dan praktik kaum Reformed yang sama dengan orang percaya dari kaum non-Reformed yang setia kepada firman Allah. Kita harus selalu terbuka menerima koreksi dari saudara seiman dalam gereja lain yang menafsirkan Alkitab secara berbeda. Namun demikian, gereja Reformed adalah bagian dari tradisi Kekristenan yang khusus, dengan definisi tentang iman dan praktiknya sendiri. Kami percaya bahwa pengakuan iman dan katekismus kami setia mewakili sistem doktrin yang ada dalam Kitab Suci.

Secara pribadi maupun bersama-sama, gereja terbentuk dan bertahan hidup dengan mendengarkan Injil.

Facebook Telegram Twitter WhatsApp

Kita percaya bahwa menjadi Reformed bukan sekadar menjadi alkitabiah, menjadi alkitabiah berarti menjadi Reformed. Penting untuk mempertahankan kata Reformed dalam slogan tadi, tetapi ada pula kelalaian yang lebih berbahaya di antara kaum Protestan yang lebih liberal, mereka mengabaikan (meniadakan) klausa “berdasarkan firman Allah.” Lagipula, yang biasa dipakai adalah slogan “senantiasa memperbaharui”, bukannya “senantiasa diperbaharui.” Dalam pandangan itu, gereja menjadi pihak pelaku (yang aktif), menentukan sendiri doktrin, ibadah, dan disiplinnya dalam konteks budaya yang terus berubah. Progresifisme menjadi tujuan itu sendiri, dan gereja pun menjadi cermin dunia ini.

Namun, kita yang berada dalam gereja Reformed yang mengaku juga harus berhati-hati untuk tidak melupakan bahwa patokan doktrin kita berada di bawah firman Allah. Gereja Kristus diperbaharui oleh firman Allah sepanjang era Reformasi dan pasca-Reformasi. Gereja dibawa kembali kepada firman Allah, dan buah dari karya besar Roh Kudus itu tetap menuntun kita melalui pengakuan iman dan katekismus. Jadi, gereja itu bukan hanya Reformed; tetapi senantiasa perlu diperbaharui.” Sama seperti pengudusan kita masing-masing, kesetiaan kita bersama sebagai jemaat juga selalu bercacat. Kita tidak perlu bergerak melebihi pencapaian Reformasi, tetapi kita memang membutuhkan perubahan lebih lanjut. Namun, inilah pamungkas dari klausa terakhir: “senantiasa diperbaharui berdasarkan firman Allah.”

Gereja tidak pernah bisa mandek (tinggal diam), bukan karena kebudayaan selalu berubah dan kita harus menyesuaikan diri dengan zaman, melainkan karena kita selalu perlu diarahkan kembali kepada Firman yang menaungi kita, baik secara individu maupun sebagai jemaat. Gereja harus selalu mendengar. “Iman datang dari pendengaran, pendengaran akan firman Kristus.” (Roma 10:17) Secara pribadi maupun bersama-sama, gereja terbentuk dan bertahan hidup dengan mendengarkan Injil. Gereja selalu menjadi pihak penerima karunia Allah sekaligus teguran-Nya. Roh Kudus tidak menuntun kita menjauh dari firman, melainkan mengarahkan kita kembali kepada Kristus yang dinyatakan dalam Kitab Suci. Kita senantiasa perlu kembali kepada suara Sang Gembala. Injil yang sama, yang melahirkan gereja, juga menopang dan memperbaharuinya. Kesesuaian diri kita dengan Firman, seperti yang Paulus ajarkan dalam Roma 12 tidak pernah selesai dalam kehidupan ini, demikian pula dengan gereja pada zaman ini.

Cara pandang ini menjaga kita agar tidak memutlakkan tradisi (menganggap tradisi tidak mungkin salah - Red), tetapi menjaga tradisi tetap proporsional, agar kita tidak menyerap obsesi Protestan radikal, dengan memulainya dari awal pada tiap generasi. Ketika firman Allah menjadi sumber kehidupan kita, maka kesetiaan hakiki kita tidak terletak pada masa lalu seperti tradisi, ataupun pada masa kini dan masa depan, tetapi kepada “Firman yang melampaui segala kuasa dunia,” kalimat ini diambil dari himne terkenal karya Luther. Tuhan kita yang berdaulat memerintah atas tubuh-Nya sepanjang zaman dan tempat, bukan di belakang atau di depan kita, melainkan di atas kita. Saat kita mengutip slogan itu secara utuh -- “gereja sudah diperbaharui (Reformed) dan senantiasa sedang diperbaharui berdasarkan firman Allah” -- berarti kita mengaku bahwa kita adalah milik (bagian dari) gereja, bukan milik diri kita sendiri, dan bahwa gereja ini senantiasa dicipta dan diperbaharui oleh firman Allah, bukan oleh pergerakan zaman. (t/Aji)

Semper Reformanda

Diambil dari:
Nama situs : Ligonier Ministries
URL : https://www.ligonier.org/learn/articles/semper-reformanda/
Judul asli artikel : Semper Reformanda
Penulis artikel : Michael Horton
Tanggal akses : 1 Oktober 2018

Kekristenan dan Kesejahteraan Sosial

Penulis_artikel: 
Steffie Jessica
Tanggal_artikel: 
8 April 2019
Isi_artikel: 
Kekristenan dan Kesejahteraan Sosial

Kekristenan dan Kesejahteraan Sosial

Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu.

Suatu fakta yang begitu ironis dalam zaman ini adalah kota metropolitan dengan gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi dengan megahnya tetapi pengemis berkeliaran hampir di setiap sudut kota. Perekonomian yang semakin bertumbuh, kebudayaan yang semakin maju, teknologi yang semakin canggih, tidak menghapuskan fakta kemiskinan dalam masyarakat. Baik pengemis, maupun kemiskinan adalah realitas yang akan terus kita jumpai pada segala zaman maupun tempat. Inilah permasalahan sosial yang akan terus kita jumpai dalam hidup kita. Lalu, bagaimana teologi Reformed menjawab tantangan ini?

kondisi sosial

Sumber Permasalahan

Permasalahan sosial yang muncul di tengah kehidupan manusia merupakan buah dari kemerosotan rohani yang semakin lama semakin buruk. Menurut Kuyper, permasalahan ini berawal dari keinginan untuk memiliki kebebasan. Kebebasan hidup yang menolak pandangan bahwa kita harus senantiasa mengutamakan Allah di dalam setiap segi kehidupan ini. Kebebasan hidup semu yang membawa manusia terjerat oleh kemiskinan dan ketidakadilan baik jasmani maupun rohani. Mengapa hal ini dapat terjadi? Hal ini tidak terlepas dari fakta penciptaan dan juga kejatuhan manusia ke dalam dosa.

Allah menciptakan manusia dengan segala kemampuan dan potensi untuk dapat mengusahakan dan memelihara alam. Bekerja adalah sebuah tugas mulia yang telah diberikan oleh Allah kepada kita manusia. Dengan bekerja dan berusaha manusia menyingkapkan kekayaan serta keajaiban dari alam yang telah Tuhan ciptakan. Namun, kejatuhan manusia ke dalam dosa telah membuat manusia kehilangan makna bekerja yang sesungguhnya. Bekerja menjadi suatu hal yang membebani dan membosankan. Tuhan tidak lagi menjadi tujuan utama dalam bekerja, tetapi diri manusia menjadi pusat dari segala yang mereka lakukan. Pekerjaan tidak lagi diperuntukkan bagi kemuliaan Allah melainkan kemuliaan diri, manusia memilih untuk menyembah hasil pekerjaannya sendiri dibandingkan Allah yang memberikan mereka kemampuan untuk bekerja. Pekerjaan tidak lagi dilihat sebagai panggilan, melainkan hanya sebuah sarana untuk mendapatkan materi semata. Harta yang paling berharga bukan lagi Allah, tetapi telah berubah menjadi angka yang menunjukkan berapa jumlah kekayaan materi masing-masing manusia.

Dosa telah membutakan manusia, menjadikan mereka makhluk-makhluk serakah yang rela menempuh segala cara untuk mendapatkan harta, bahkan bila mereka harus meninggalkan kemanusiaan mereka sekalipun. Manusia lain di luar diri ini tidak lagi dipandang sebagai sesama gambar dan rupa Allah, melainkan sebagai anak tangga yang harus diinjak untuk mencapai posisi kekayaan dan kekuasaan yang lebih tinggi. Kaum berkuasa menyalahgunakan posisinya untuk menekan mereka yang tidak berdaya. Kemalasan menimbulkan pertumbuhan yang cepat bagi praktik korupsi, segala sesuatu bisa dipercepat dan dipermudah dengan adanya uang tambahan. Rakyat kecil tidak dipandang sebagai pihak yang harus dilayani melainkan sebagai kantong-kantong uang yang harus diperas demi keuntungan diri sendiri.

Panggilan

Mengapa kita harus memerhatikan kesejahteraan sosial di tempat kita berada? Setiap orang Kristen dipanggil untuk menjadi garam dunia, menjadi pencegah kebusukan yang disebabkan kuasa dosa. Setiap orang Kristen dipanggil untuk menjadi terang di mana ia ditempatkan, berperan serta mengusir kegelapan yang menyelimuti kehidupan manusia. Setiap kita dipanggil untuk mengasihi Allah serta sesama, membagikan kasih yang telah terlebih dahulu kita terima kepada gambar dan rupa Allah di sekitar kita. Setiap kita juga dipanggil untuk mengusahakan dan berdoa bagi kesejahteraan kota di mana kita berada (Yer. 29:7).

Kekristenan dan Kesejahteraan Sosial

Pdt. Dr. Stephen Tong menjelaskan teologi Reformed berarti berakar ke dalam firman Tuhan dengan kokoh dan kuat sehingga tidak mudah digoyahkan, Injili artinya berbuah lebat keluar. Kita tidak dipanggil untuk menjadi seperti sebatang kayu yang semakin ditanam ke dalam semakin tidak terlihat di bagian luar dan semakin tidak leluasa bergerak ke arah mana pun. Kita dipanggil untuk menjadi seperti pohon, yang semakin berakar, semakin mampu menyerap nutrisi dan semakin bertumbuh serta berbuah sehingga menjadi berkat di tempat ia ditanam. Pelita yang diletakkan di bawah gantang tidak akan berguna berapa pun mahal dan baiknya pelita tersebut. Pelita yang terletak di atas kaki dian akan jauh lebih berguna dan lebih dihargai karena pelita tersebut mendatangkan kebaikan bagi seisi rumah.

Teladan Kristus

Lalu, apakah penyelesaian masalah dari semua krisis yang cukup mengerikan ini? Permasalahan sosial yang berasal dari kerusakan moral ini tidak akan cukup terselesaikan dengan mengatasi fenomena-fenomena yang muncul saja. Kerusakan moral harus diselesaikan secara tuntas agar masalah-masalah sosial yang ada dapat dihapuskan.

Bagaimana caranya merestorasi moral manusia yang sudah bobrok ini? Tak lain adalah dengan membawa mereka kepada Kristus. Kuyper mengatakan bahwa Kristus adalah seorang pembaru sosial. Akar kerusakan moral adalah kebutaan terhadap kebenaran. Dengan mengenal Kristus manusia mengenal kebenaran, dengan mengenal Kristus manusia mengenal keselamatan dan kebebasan dari dosa. Dengan mengenal kasih Kristus yang begitu besar manusia mampu mengasihi sesamanya. Dengan melihat kerelaan Kristus berkorban di atas kayu salib manusia mendapat kekuatan untuk berbelaskasihan terhadap sesamanya.

Memuliakan Tuhan dengan Harta

Ajaran Kristus tentang mengumpulkan harta di sorga tidaklah menjadi alasan bagi kita untuk bermalas-malasan bekerja mencari uang di dunia. Manusia membutuhkan uang untuk bertahan hidup. Manusia membutuhkan uang untuk terus mengembangkan mandat Allah. Manusia membutuhkan uang untuk melaksanakan kehendak Allah. Tetapi uang bukanlah segalanya, uang tidak dapat disamakan dengan kehidupan itu sendiri.

Karena itu, kehidupan di dunia bukanlah suatu hal yang dapat disia-siakan begitu saja. Kristus pun menghargai kehidupan manusia dengan kerelaan-Nya datang berinkarnasi dan menjalani hidup sebagai manusia di bumi ini. Memiliki banyak harta di dunia ini bukanlah suatu hal yang salah, Tuhan menciptakan manusia dengan potensi yang begitu menakjubkan dan bervariasi. Kemampuan untuk mengatur harta benda dan bekerja dengan baik merupakan anugerah dari Tuhan kepada kita yang harus kita pertanggungjawabkan pula dengan benar di hadapan-Nya. Paulus mengatakan di 1 Korintus 6:12, “Segala sesuatu halal bagiku, tetapi bukan semuanya berguna. Segala sesuatu halal bagiku, tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh suatu apa pun.”

Demikian juga di dalam surat Paulus kepada jemaat di Efesus berisi sebuah nasihat agar manusia tidak mencuri, melainkan manusia harus bekerja dengan tangannya sendiri, agar ia dapat memberi kepada mereka yang berkekurangan (Ef. 4: 28). Terdapat tiga buah cara hidup manusia yang disebutkan di sini:
1. Mencuri untuk mendapatkan segala sesuatu
2. Bekerja untuk mendapatkan segala sesuatu
3. Bekerja untuk mendapatkan kemungkinan dapat memberi

Cara pertama adalah cara yang ilegal untuk memenuhi keinginan manusia, sedangkan cara kedua merupakan cara hidup yang lebih baik untuk memuaskan kebutuhan manusia yaitu dengan melakukan apa yang menjadi panggilannya di dunia ini. Paulus berkata siapa yang tidak bekerja janganlah ia makan (2 Tes. 3:10). Dalam setiap jerih payah yang manusia lakukan pastilah ada keuntungan yang didapatkan untuk mencukupi kebutuhan manusia (Ams. 14:23). Namun, cara kedua ini sering kali menjadi budak kapitalisme yang memberhalakan pekerjaan untuk mencapai ambisi pribadi. Cara hidup yang ketiga merupakan cara hidup seorang yang telah mengenal Kristus, yaitu bekerja untuk memberi. Diri ini tidak lagi menjadi fokus, tetapi kehendak Allahlah yang menjadi tujuan utama hidup. Panggilan untuk menjadi terang dan garam dunia, perintah untuk mengasihi sesama manusia, perintah untuk tidak khawatir tetapi menyerahkan segalanya kepada Bapa yang memelihara diri ini. Perintah untuk “Jangan seorang pun yang mencari keuntungannya sendiri, tetapi hendaklah tiap-tiap orang mencari keuntungan orang lain” (1 Kor. 10:24).

Memberi Bantuan

Saat kita memiliki Tuhan yang begitu berharga di dalam hidup ini, tidak ada harta benda yang dapat mengalahkan kekayaan dan kemuliaan-Nya. Saat kita menyembah Tuhan di dalam segala segi kehidupan kita, seperti yang dikatakan Abraham Kuyper, tidak ada satu inci pun dari kehidupan kita yang tidak dimiliki oleh Allah, termasuk harta benda hasil jerih payah yang kita miliki. Karena itu setiap harta yang kita pakai, baiklah dipakai oleh Tuhan, bukan hanya dipakai bagi Tuhan. Apa yang Tuhan kehendaki dari harta yang kita hasilkan? Tuhan menghendaki kita semakin memper-Tuhan-kan Dia melaluinya, semakin berani menjalankan perintah-Nya, semakin rela memberikan diri untuk dipakai sebagai alat-Nya, semakin berani dan rela untuk memberi bagi mereka yang berkekurangan karena Tuhan menginginkannya.

Mungkin beberapa dari kita enggan memberi sedekah kepada pengemis di jalan karena beranggapan bahwa mereka hanyalah organisasi terstruktur yang mempermainkan empati manusia untuk mendapatkan uang. Bagaimanakah kita seharusnya memberi? Pada era John Calvin, bantuan diberikan untuk memungkinkan mereka memiliki cara hidup yang benar di hadapan Tuhan. Bantuan haruslah diberikan untuk memungkinkan seorang manusia hidup sebagai gambar dan rupa Allah. Seseorang manusia harus mampu hidup memenuhi panggilannya untuk bekerja dan mencukupi kebutuhan hidupnya. Tujuan ini diwujudkan dengan memberikan pelatihan keterampilan agar mereka dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka. Hal ini dilakukan dengan mengomunikasikan tujuan yang jelas sebelum memberikan bantuan tersebut. Pelayanan lainnya yang dilakukan termasuk melayani orang-orang yang sakit, merawat anak-anak mereka yang tidak mendapat perawatan yang layak, serta pelayanan bagi para janda.

"Dengan melihat kerelaan Kristus berkorban di atas kayu salib manusia mendapat kekuatan untuk berbelaskasihan terhadap sesamanya."

Facebook Telegram Twitter WhatsApp

Setiap bantuan yang diberikan merupakan sebuah kesempatan untuk memperkenalkan Kristus kepada manusia, kesempatan untuk memperbaiki kebobrokan moral yang sudah terlalu menyedihkan, kesempatan untuk mengurangi krisis kemanusiaan di tengah masyarakat yang telah buta terhadap kebenaran, kesempatan membawa manusia kembali hidup sebagai gambar dan rupa Allah di hadapan Sang Pencipta, karena itu hendaklah setiap bantuan diberikan dengan semangat pelayanan yang tulus serta motivasi untuk memuliakan Tuhan lewat apa yang kita lakukan.

Memberi tidaklah terbatas dalam bentuk materi, memberikan waktu, pikiran, perhatian, bahkan sebatas senyuman kepada mereka merupakan sebuah pemberian yang sungguh berarti bagi mereka yang membutuhkannya. Perkataan yang menyenangkan adalah seperti sarang madu, manis bagi hati dan obat bagi tulang-tulang (Ams. 16:24). Manusia tidak hanya membutuhkan roti untuk bertahan hidup, mereka juga membutuhkan Injil untuk dapat hidup di dalam kebenaran, untuk mengenal kekekalan. Karena itu sekadar bantuan materi tidaklah cukup, jika tidak mencapai tujuan akhir seperti dibahas di atas.

Memberi bantuan materi tanpa memberikan sentuhan kemanusiaan sama halnya seperti orang tua yang bekerja menafkahi anaknya, tetapi terlalu sibuk untuk menyisihkan waktu untuk memberi perhatian kepada anaknya. Anak ini akan tumbuh sehat secara jasmani, tetapi tidak secara rohani. Sama seperti orang-orang yang sekadar menerima bantuan materi, mungkin mereka akan sehat secara finansial, tetapi mereka tetap mengalami kerusakan moral.

Terdapat begitu banyak permasalahan sosial di sekitar kita, terdapat pula kerusakan moral yang begitu serius tetapi tidak jarang terlewatkan oleh kebanyakan orang. Yohanes 12:8 dengan jelas mengatakan bahwa orang miskin akan terus bersama dengan kita. Inilah bagian dari kehidupan yang kita semua harus pertanggungjawabkan juga di hadapan-Nya. Menjadikan diri kita berkat rohani maupun jasmani secara simultan adalah langkah yang paling tepat dan harus kita jalankan. John Calvin adalah contoh dari seorang yang menjalankan panggilan hidupnya dan menjadi berkat baik rohani maupun jasmani.

Marilah kita menghidupi panggilan hidup ini sebagai garam yang mencegah terjadinya kebusukan di dalam setiap manusia ciptaan Tuhan di sekitar kita, marilah kita menghidupi panggilan hidup sebagai terang yang membawa cahaya kebenaran ke dalam kehidupan mereka yang telah dibutakan oleh kekayaan duniawi. Marilah kita memperkenalkan kasih Kristus yang melimpah dengan membagikannya kepada gambar dan rupa Allah yang kita temui, marilah kita memberitakan Sang Kebenaran melalui setiap inci dari kehidupan kita di dunia ini.

Audio: Kekristenan dan Kesejahteraan Sosial

Sumber Artikel: 
Diambil dari:
Nama situs : Buletin Pillar
Alamat Situs : http://www.buletinpillar.org/artikel/kekristenan-dan-kesejahteraan-sosial
Judul asli artikel : Kekristenan dan Kesejahteraan Sosial
Penulis artikel : Steffie Jessica

Pembuat Sepatu

Penulis_artikel: 
Les Lanphere
Tanggal_artikel: 
16 Agustus 2018
Isi_artikel: 

Seorang yang baru saja menjadi Kristen berlari mengejar Martin Luther dengan semangat dan bertanya kepadanya tentang apa yang harus dia lakukan sekarang dengan hidupnya yang telah ditebus. Dia membayangkan akan mendapatkan jawaban yang akan membuat dirinya memakai jubah biarawan atau membagikan anggur kepada jemaat yang menerima komuni.

Luther bertanya kepadanya, “Apa pekerjaanmu saat ini?”

“Saya pembuat sepatu.”

Luther menjawab, “Kalau begitu, buatlah sepatu yang bagus, dan juallah dengan harga yang pantas.”

Pembuat sepatu

Ini adalah kisah terkenal yang menjelaskan indahnya doktrin reformed tentang pekerjaan. Anda lihat, sebelum reformasi Protestan, seorang rohaniwan tidak hanya dihormati oleh manusia, tetapi juga dianggap memiliki keuntungan rohani di hadapan Allah. Jika kebenaran diibaratkan sebagai sebuah tangga, menjadi seorang imam adalah anak tangga yang dekat ujung atas, dan pembuat sepatu rendahan mungkin masih berdiri di tanah.

Ketika keindahan Injil ditunjukkan pada abad ke-16, memiliki karier yang baik di dunia diakui sebagai hal yang tidak kurang menyenangkan di hadapan Tuhan dibandingkan menjadi seorang pendeta. Anda bisa menjadi petugas pajak, membersihkan toilet, atau membuat sepatu, dan tetap dengan sempurna dibenarkan di hadapan Allah melalui iman dalam Kristus. Apa pun posisi tempat Tuhan menempatkan Anda harus digunakan untuk menghormati Dia dan melayani sesama Anda.

Pembuat sepatu tidak harus selalu membuat sandal seperti yang dipakai oleh Yesus. Dia tidak perlu membubuhkan cap bentuk salib di setiap sisi sepatu untuk menyucikannya. Bahkan, dia tidak perlu menulis Yohanes 3:16 di dalam lidah sepatu supaya orang-orang yang memakainya secara diam-diam membawa firman Allah. Dia dipanggil untuk menghidupi kehidupannya, bekerja keras dan jujur, dan melakukannya bagi kemuliaan Allah.

“Kamu telah ditebus dengan harga lunas, karena itu janganlah kamu menjadi budak manusia. Saudara-saudara, hendaklah setiap orang tetap tinggal bersama Allah, dalam keadaan ketika ia dipanggil.” (1 Kor. 7:24)

Kata “R”

Luther menyuruh si pembuat sepatu melakukan pekerjaannya sedemikian rupa sehingga menyenangkan Allah dan melayani sesamanya. Buatlah produk yang terbaik dan juallah dengan harga yang pantas. Ini termasuk bersentuhan dengan teknologi sepatu dan teknik membuat sepatu yang baru. Orang Kristen bertanggung jawab untuk hadir di pasar tempat dia melayani. Jika dia tidak memperhatikan tren sepatu, selambat apa pun tren itu berkembang saat itu, bisnisnya akan rugi, dan dia akan gagal untuk mengikuti perintah Luther. Pada zaman modern, kita mungkin bisa mengatakan bahwa si pembuat sepatu, dalam beberapa hal, diminta untuk tetap “relevan” dengan industrinya.

Ya. Saya menggunakan kata yang tercela itu, dan suara gaduh yang Anda dengar adalah suara dari 10.000 blogger sesama orang Kristen yang secara bersamaan memutar mata untuk menunjukkan ketidaksukaan mereka. Bagaimanapun, ini adalah blog teologi reformed, dan kata “relevan” adalah kata yang memalukan dalam dunia kecil kita. Mengapa? Sebab, kata itu telah disalahgunakan.

Ada penggunaan kata "relevan" di kalangan Kristen Injili yang berarti sesuatu yang sama dengan menarik ulur pesan dan praktik kekristenan sampai terlihat dan terasa seperti budaya di sekitar kita. Karena Injil adalah benar dan bermakna terlepas dari ruang dan waktu, lanjut pemikiran itu, Injil bisa dilihat dan dirasakan benar di rumah, di klub hiburan malam, atau di jalanan pinggir kota.

Relevan

Ini benar, tetapi hanya sebagian. Injil itu benar dan bermakna untuk semua wilayah kehidupan, tetapi hanya sejauh saat Injil itu dikomunikasikan sebagaimana seharusnya. Apakah budaya ini menuruti dosa dan membutuhkan penebusan dan pengajaran tentang kekudusan? Sempurna, kita mendapatkan hal yang tepat. Injil bersifat objektif, dan tidak terentang serta berkembang terhadap hal-hal di sekitarnya. Injil bersifat universal karena dosa dan nilai manusia bersifat universal, dan Injil adalah satu-satunya solusi. Satu-satunya pemahaman untuk pernyataan kekristenan “relevan secara budaya” adalah bahwa firman Allah yang tidak berubah adalah selalu dan satu-satunya alat yang membawa keselamatan apa pun batasan kulturalnya.

Kita tidak dipanggil untuk menjadikan kekristenan relevan melalui penemuan manusia. Kita membiarkan kekristenan seperti ketika itu disampaikan kepada kita, sebagai hal sempurna, yang cukup untuk mendakwa dan menyelamatkan orang-orang berdosa, lalu mengajar mereka untuk menjalani hidup yang kudus.

Jadi, Injil tidak berubah. Akan tetapi, budaya berubah. Dunia tempat pekerjaan kita dilakukan selalu berubah sehingga kita harus selalu memperhatikannya. Dalam pengertian ini, menjadi relevan bagi dunia itu baik dan perlu. Bukan relevan secara religius, tetapi relevan dalam pekerjaan, sambil membawa Injil yang murni bersama dengan kita.

Apa pun posisi tempat Tuhan menempatkan Anda harus digunakan untuk menghormati Dia dan melayani sesama Anda.

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Misalnya, saya seorang perancang desain, dan saya juga bekerja dalam industri film. Agar menjadi sukses dalam industri saya, saya harus mengikuti tren. Mungkin lebih daripada yang dilakukan si pembuat sepatu, saya perlu melihat apa yang sudah dikerjakan baru-baru ini dalam dunia desain, apa yang terjadi dalam industri film, tren apa yang digunakan dalam efek visual, dst.. Sebagai seorang suami dan ayah, yang diberi talenta dan gairah tertentu, saya bertanggung jawab untuk bekerja keras dan secara aktif mengasah keterampilan saya. Jika tidak, saya akan menjadi tidak relevan dengan industri saya, menghasilkan sedikit uang, dan mungkin kehilangan pekerjaan saya sekaligus.

Tentu saja, kecermatan harus digunakan dan standar alkitabiah harus diterapkan dalam kehidupan kita di lingkungan sosial. Bagaimanapun, kita adalah orang Kristen, dan kita harusnya paling dikenali melalui gaya hidup kita yang unik dan saleh.

Jika Anda Tetap Relevan, Gereja Tersebar Luas

Tetap relevan secara budaya sebenarnya merupakan bagian yang sangat penting dari kebebasan alkitabiah yang indah ketika kita harus menjadi garam dan terang dunia. Bukan dengan membuat Injil menjadi relevan, tetapi dengan menghidupi doktrin tentang pekerjaan dengan baik. Melakukan pekerjaan yang baik, dan dengan jujur. Mengasihi dan melayani sesama Anda sambil menghormati Allah. Gagal memahami dunia pekerjaan yang harus dilakukan secara jelas merupakan penatalayanan yang buruk dari pekerjaan yang menjadi panggilan Allah untuk Anda.

“Janganlah menjadi sama dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu,” (Roma 12:2a)

Memahami dan berinteraksi dengan dunia bukanlah sesuatu yang memalukan selama Anda tidak hidup dalam dosa atau menyukai apa yang dibenci oleh Allah. Panggilan seorang Kristen adalah benar-benar hidup di dalam dunia, tetapi tidak menjadi sama dengan dunia.

Tidak serupa dunia

Mengajarkan bahwa menjadi relevan secara budaya adalah hal yang tidak saleh dalam cara tertentu berarti anti-reformed karena itu merendahkan seluruh doktrin tentang pekerjaan. Ini merupakan sebuah tindakan yang melampaui batas bagi mereka yang ingin menyesuaikan kekristenan dengan kebudayaan. Pada intinya, penolakan mentah-mentah atas “relevansi” mengomunikasikan bahwa kecuali Anda menjalani setiap detik kehidupan Anda mempelajari Kitab Suci, mendengar dan mempersiapkan khotbah, atau melayani gereja, maka Anda tidak menyenangkan Allah. Mempelajari budaya itu buruk. Mencari tahu cara untuk menjual produk Anda itu buruk. Memahami tren itu buruk. Hal-hal ini secara tidak kentara berarti kembali ke sistem tangga kependetaan itu.

Sangat mudah untuk mengatakan bahwa gereja itu baik dan dunia itu buruk. Yang lebih sulit, dan membutuhkan pemikiran serta pemilahan secara cermat, adalah untuk mengetahui bagaimana seharusnya kita berada di dunia, tetapi bukan berasal dari dunia.

Pembuat sepatu itu relevan secara budaya, dan Allah berkenan kepadanya. (t/Jing-Jing)

Pembuat Sepatu

Diterjemahkan dari:
Nama Situs : Reformedpub.com
Alamat situs : http://reformedpub.com/cultural-relevance-and-the-doctrine-of-vocation/
Judul asli artikel : Cultural Relevance and The Doctrine of Vocation
Penulis artikel : Les Lanphere
Tanggal akses : 16 Agustus 2018

Paradoks Kasih dan Keadilan Allah: Predestinasi

Oleh: Ayub

Seminar Pembinaan Iman Kristen (SPIK), atau sering disebut “Progsif”, merupakan salah satu kegiatan pembelajaran rohani yang saya nantikan dalam beberapa bulan terakhir. Sudah beberapa waktu lamanya, saya merindukan untuk belajar sesuatu, dan puji Tuhan, pada 23 — 24 Januari 2017, kegiatan ini diadakan kembali. Tema kali ini sangat menarik, “Paradoks: Kasih dan Keadilan Allah“. Rekan saya, Okti, sudah menulis blog tentang progsif ini untuk hari pertama, tanggal 23 Januari 2017. Nah, sekarang saya membahas untuk hari yang kedua.

Komentar


Syndicate content