Tentang KamiArtikel TerbaruUpdate Terakhir |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SOTeRI Tolong! Saya Bergumul dengan Doktrin PredestinasiPenulis_artikel:
Joel R. Beeke dan Paul M. Smalley
Tanggal_artikel:
13-11-23
Isi_artikel:
Apa itu Predestinasi? Doktrin predestinasi adalah ajaran bahwa sebelum penciptaan dunia, Allah memutuskan takdir kekal dari semua makhluk rasional, yaitu semua malaikat dan semua manusia. "Beberapa manusia dan malaikat ditentukan untuk hidup kekal, dan yang lain ditentukan sebelumnya untuk kematian kekal."[1] Pilihan Allah untuk menyelamatkan orang-orang berdosa tertentu melalui anugerah disebut pemilihan, dan pilihan-Nya untuk menyerahkan orang-orang berdosa tertentu pada hukuman yang pantas mereka terima adalah reprobasi. Predestinasi adalah bagian dari ketetapan Allah, dalam tujuan kekal-Nya Dia telah memutuskan semua yang akan terjadi, menetapkan segalanya bagi manifestasi kemuliaan-Nya. Jika Anda bergumul dengan doktrin ini, Anda tidak sendirian. Seorang pemuda brilian bernama Jonathan Edwards pernah bergumul dengan apa yang kemudian dia pandang sebagai "doktrin yang menakutkan," meskipun dia kemudian menjadi sepenuhnya yakin dengan itu dan mendapati dirinya diliputi oleh keilahian yang melimpah tentang "Raja yang kekal" (1Tim. 1:17). Ada berbagai alasan mengapa orang merasa sulit untuk menerima gagasan bahwa Allah menakdirkan beberapa orang pada surga dan yang lainnya ke neraka. Seperti yang akan kita lihat, masing-masing alasan ini dimulai dengan kebenaran alkitabiah tentang predestinasi dan menarik darinya kesimpulan salah yang mengarah pada pergumulan iman melalui pengalaman. Spekulasi yang memecah belah dan tidak alkitabiah? Doktrin predestinasi bukanlah tema sentral dari Alkitab; pusatnya adalah Kristus dan keselamatan melalui pertobatan dan iman di dalam Dia (Luk. 24:44-47; 2Tim. 3:15). Lebih jauh lagi, perdebatan tentang predestinasi terkadang memecah-belah umat Kristen dan bahkan memecah-belah gereja. Oleh karena itu, orang mungkin menyimpulkan bahwa itu adalah doktrin yang sebaiknya dihindari.
Orang Kristen mungkin bernalar, kita tidak dapat memahami pertanyaan teologis yang begitu dalam. Mari kita berpegang teguh pada apa yang Alkitab katakan. Orang Kristen harus berhenti berdebat tentang teologi dan memberi tahu dunia tentang Yesus. Penalaran seperti itu membuat orang takut akan predestinasi dan menghindari mempelajari apa yang firman Allah katakan mengenai hal itu. Raja yang Tidak Peduli? Doktrin predestinasi menggambarkan Allah sebagai raja absolut yang melakukan apa yang dikehendaki-Nya dalam semua ciptaan (Mzm. 135:6) dan menentukan nasib kekal setiap orang (Rm. 9:22-23). Secara khusus, pemilihan Allah untuk keselamatan sama sekali tidak bergantung pada apa yang dilakukan atau diputuskan oleh orang-orang pilihan (Rm. 9:11). Beberapa orang mungkin berpikir bahwa doktrin ini menyiratkan bahwa Allah tidak peduli dengan manusia atau keadilan. Allah, dikatakan, membuang orang yang tak terhitung jumlahnya ke neraka terlepas dari apakah mereka menjalani kehidupan yang benar atau jahat. Akibatnya, seseorang mungkin mempertanyakan apakah Allah atas predestinasi adalah Allah yang baik dan penuh kasih. Mengapa Dia tidak memilih untuk menyelamatkan semua orang jika Dia memiliki kuasa untuk melakukannya? Keraguan seperti itu dapat menyebabkan seseorang mengalami kesulitan berdoa kepada Allah atau bersukacita dalam kasih-Nya. Lebih buruk lagi, seseorang mungkin menganggap Allah atas predestinasi lebih seperti iblis daripada Juru Selamat ilahi, dan dengan demikian mungkin menolak Dia. Fatalisme Tanpa Tempat untuk Pilihan dan Upaya Manusia? Menurut doktrin predestinasi, adalah kehendak Allah, bukan kehendak manusia, yang mengendalikan segala sesuatu dalam ruang dan waktu (Ul. 4:35; Ef. 1:11), termasuk sejarah individu setiap orang (Kis. 13:48; Rm. 8:30). Orang terkadang menyimpulkan bahwa predestinasi mutlak menyiratkan fatalisme: pilihan kita adalah ilusi, dan upaya kita untuk mengubah diri kita sendiri dan dunia kita adalah sia-sia. Fatalisme menghancurkan motivasi. Seseorang mungkin berkata, saya tidak perlu bertobat dari dosa-dosa saya dan percaya kepada Kristus. Jika Allah telah menentukan saya untuk keselamatan, maka saya akan diselamatkan terlepas dari apa yang saya lakukan. Demikian pula, mengapa orang percaya harus berjuang melawan dosa dan kerja keras untuk bertumbuh dalam kekudusan, padahal semuanya sudah ditentukan sebelumnya? Orang lain mungkin berpendapat, kita seharusnya tidak memaksakan diri untuk memanggil orang berdosa kepada Kristus. Allah pasti akan menyelamatkan orang-orang pilihan-Nya. Buah beracun dari fatalisme adalah kematian rohani dan kemunduran ke dalam dosa, yang sangat mencemarkan Injil. Ketidakpastian yang Merongrong Jaminan Keselamatan? Doktrin predestinasi mengajarkan bahwa setiap orang yang diselamatkan dipilih oleh Allah sebelum dunia dijadikan (Ef. 1:4; 2Tes. 2:13). Orang mungkin menyimpulkan bahwa tidak seorang pun dapat mengetahui dengan pasti apakah dia diselamatkan dan akan masuk surga. Mereka mungkin bernalar sebagai berikut: Hanya orang-orang pilihan Allah yang akan diselamatkan. Keputusan pemilihan Allah tersembunyi dalam kehendak rahasia atau rencana kekal-Nya. Oleh karena itu, tidak mungkin untuk mengetahui apakah Anda diselamatkan, kecuali jika Anda menerima tanda khusus dari Allah. Akibatnya, beberapa orang Kristen yang percaya pada predestinasi mungkin sangat menderita karena kecemasan akan takdir kekal mereka. Mereka mungkin mencari kepastian dalam pengalaman mistik atau pengejaran kesempurnaan yang legalistik. Atau, mereka mungkin tenggelam dalam keputusasaan. Betapa mengerikan pergumulan yang bisa dialami orang-orang atas doktrin predestinasi! Namun, setiap pergumulan ini didasarkan pada pemahaman yang salah tentang apa yang Alkitab ajarkan tentang predestinasi Allah atas orang-orang kudus-Nya. Doktrin alkitabiah memelihara kerendahan hati, damai sejahtera, kepastian, dan pengharapan di dalam Kristus. Mari kita kembali ke masing-masing poin ini dan melihat bagaimana hal ini dengan benar. Predestinasi: Ajaran Utama Alkitab tentang Keselamatan oleh Anugerah Saja Memang benar bahwa predestinasi bukanlah tema sentral dari Kitab Suci, itu adalah doktrin utama alkitabiah, bukan spekulasi manusia. Kita menemukan referensi untuk predestinasi dan pemilihan untuk keselamatan di seluruh Perjanjian Baru (Mat. 22:14; 24:22, 24, 31; Mrk. 4:11-12; Luk. 10:21-22; 18:7; Yoh. 15:16, 19; Kis. 4:28; 13:48; Rm. 8:29-30, 33; 9:6-23; 11:5, 7, 28; 16:13; 1Kor. 1:27-28; Gal. 1:15; Ef. 1:4-5; Kol. 3:12; 1Tes. 1:4; 2Tes. 2:13; 2Tim. 2:10; Tit. 1:1; Yak. 2:5; 1Ptr. 1:2; 2:9; 2Ptr. 1:10; 2Yoh. 1, 13; Why. 17:14). Roh Kudus tidak malu dengan doktrin ini ketika Ia mengilhami penulisan firman Allah; kita juga tidak perlu malu karenanya. Predestinasi adalah karakteristik penting dari doktrin keselamatan yang lebih besar oleh anugerah saja (Rm. 11:5-6). Jelaslah bahwa Allah menyelamatkan hanya dengan kuasa, hikmat, dan kebenaran-Nya, bukan manusia. Jika ajaran anugerah yang penuh kasih dan setia saja telah menyakiti hati orang -- dan kita harus bermurah hati dalam menyampaikan doktrin anugerah -- maka kita tidak boleh mundur dari ajaran ini untuk menyenangkan manusia, karena penting untuk menunjukkan bahwa keselamatan adalah demi kemuliaan Allah saja. Predestinasi oleh Bapa Tuhan kita Yesus Kristus Allah yang menentukan adalah benar-benar Raja yang maha kuasa, tetapi juga Bapa yang pengasih dan adil yang "menetapkan kita dari semula untuk diangkat menjadi anak-anak" (Ef. 1:5, AYT). Predestinasi adalah tindakan kasih Bapa yang tak terbatas, membawa orang luar ke dalam keluarga-Nya selamanya. Pemilihan Allah atas orang-orang berdosa terlepas dari jasa mereka sendiri mengarahkan keselamatan "bagi kepujian kemuliaan anugerah-Nya" (Ef. 1:6, AYT). Akan tetapi, Allah bukan tidak peduli pada keadilan. Jauh dari itu! Karena Ia telah menentukan orang-orang pilihan-Nya untuk diselamatkan "melalui Kristus Yesus" (Ef. 1:5, AYT), yang menuntut agar Kristus memenuhi keadilan-Nya dengan "penebusan melalui darah-Nya" (Ef. 1:7, AYT). Kita tidak mengerti mengapa Allah memilih beberapa dan bukan yang lain. Namun, Mengapa Allah tidak memilih untuk menyelamatkan semua orang? adalah pertanyaan yang salah untuk ditanyakan. Mengingat pemberontakan manusia yang keji terhadap Penciptanya, kita harus bertanya, mengapa Allah tidak membuang semua orang ke neraka? Fakta yang mencengangkan bukanlah bahwa Allah menghukum orang berdosa ke neraka, tetapi bahwa Ia menyelamatkan dan mendamaikan orang berdosa dengan diri-Nya sendiri. Pemilihan tanpa syarat adalah sahabat -- bukan musuh -- para pendosa, karena tanpanya tidak seorang pun akan diselamatkan. Namun, pada akhirnya, kita harus tunduk pada hak-hak Allah sebagai Pencipta kita. Ketika orang menuduh Allah tidak adil karena predestinasi, Paulus menjawab, "Apakah tukang tembikar tidak memiliki hak atas tanah liat?" (Rm. 9:21, AYT). Sang Pencipta berhak melakukan apa yang dikehendaki-Nya terhadap ciptaan-Nya. Predestinasi Dilaksanakan melalui Pilihan dan Upaya Manusia Bagi mereka yang bergumul dengan predestinasi karena mereka berpikir bahwa itu menyiratkan fatalisme, kita mengakui bahwa kehendak Allah mengendalikan semua ciptaan-Nya dan semua tindakan mereka, tetapi juga menegaskan bahwa Allah tidak hanya menentukan tujuan melainkan juga cara untuk mencapai tujuan itu. Paulus berkata, "Allah telah memilih kamu sejak semula untuk diselamatkan melalui pengudusan oleh Roh dan iman dalam kebenaran. Untuk itulah Allah memanggil kamu melalui Injil yang kami beritakan" (2Tes. 2:13, AYT). Cara Allah menyelamatkan orang-orang pilihan-Nya mencakup perbuatan lahiriah memberitakan Injil, dan pekerjaan Roh dalam pikiran, hati, dan kehendak mereka yang mendengar Injil diberitakan. Jauh dari menghilangkan pilihan dan tindakan manusia dari semua signifikansi, predestinasi menanamkan mereka dengan makna kekal. Paulus memanggil orang-orang percaya untuk "mengerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar. Sebab, Allahlah yang bekerja di dalam kamu, baik untuk mengingini maupun untuk mengerjakan apa yang menyenangkan-Nya" (Flp. 2:12-13, AYT). Kita dapat bersukacita ketika orang berpaling kepada Tuhan, karena kuasa Injil untuk menghasilkan iman, kasih, dan harapan yang bertahan lama menunjukkan "pilihan Allah" mereka (1Tes. 1:3). Setiap langkah ketaatan orang Kristen ditopang oleh tujuan kedaulatan Allah, karena "Ia memilih kita ... supaya kita menjadi kudus" (Ef. 1:4, AYT). Pasukan Anak Domba mengalahkan dunia ini, karena mereka "dipanggil, dipilih, dan setia" (Why. 17:14, AYT). Predestinasi Menjamin Kepastian Sekarang dan Selamanya Doktrin predestinasi memang mengajarkan bahwa hanya orang-orang pilihan Allah yang akan diselamatkan. Itu tidak berarti bahwa kita tidak dapat mengetahui dengan pasti apakah kita telah diselamatkan. Sebaliknya, pemberian cuma-cuma Allah dari "segala sesuatu yang berkenaan dengan hidup dan kesalehan, melalui pengetahuan akan Dia [yaitu, Kristus Yesus] yang telah memanggil kita menuju kemuliaan dan kebajikan-Nya" memungkinkan orang percaya untuk "memastikan bahwa kamu benar-benar dipanggil dan dipilih" dengan bertumbuh dalam pengetahuan, iman, dan kekudusan praktis (2Ptr. 1:3-10). Paulus menjelaskan bahwa predestinasi memulai rantai emas tindakan ilahi yang terikat bersama dalam tujuan Allah: "siapa yang Dia tentukan sejak semula, juga Dia panggil, juga Dia benarkan, dan siapa yang Dia benarkan, juga Dia muliakan" (Rm. 8:30, AYT). Jika Allah telah dengan jelas "memanggil" seseorang melalui Injil dan "membenarkan" dia melalui iman, maka dia dapat yakin bahwa dia akan "dimuliakan" bersama Kristus. Oleh karena itu, meskipun kita memahami mengapa orang mungkin bergumul dengan doktrin predestinasi, iman yang diterangi Roh dalam doktrin ini menuntun anak-anak Allah untuk menerima janji-janji Allah, mematuhi kehendak Allah, dan bersukacita dalam pengharapan akan kemuliaan Allah melalui Yesus Kristus, Tuhan kita. Untuk alasan ini, kita harus berusaha untuk mengetahui dengan akurat dan jelas semua yang telah Allah ungkapkan tentang kebenaran yang berharga ini dan mengajarkannya kepada orang lain. (t/Jing-Jing) Catatan: [1] Pengakuan Iman Westminster, 3.3 Sumber Artikel:
Apa Artinya Allah Memilih Kita Sebelum Permulaan Dunia? Efesus 1Baca ayatnya (AYT) 3 Terpujilah Allah dan Bapa dari Tuhan kita Kristus Yesus, yang telah memberkati kita dalam Kristus dengan setiap berkat rohani di tempat surgawi. 4 Sebab, Ia memilih kita dalam Kristus sebelum permulaan dunia supaya kita menjadi kudus dan tidak bercela di hadapan-Nya. Dalam kasih, 5 Ia menetapkan kita dari semula untuk diangkat menjadi anak-anak-Nya melalui Kristus Yesus sesuai dengan kesukaan kehendak-Nya. selengkapnya...» Bagaimana Menolong Mereka yang Percaya Injil KemakmuranJelaskan Injil yang Benar Bagaimana kita membantu anggota keluarga, teman, rekan kerja, atau bahkan sesama anggota gereja kita yang terpikat oleh Injil kemakmuran? Berikut adalah beberapa ide sederhana yang bisa dilakukan sambil Anda dengan sungguh-sungguh berusaha meluruskan kesalahan mereka. selengkapnya...» Apakah Kita Memiliki Kehendak Bebas?Apakah kita semua memiliki kehendak bebas? Tidak -- tetapi kita adalah agen moral yang bebas. Ada perbedaan besar. selengkapnya...» Apa Itu Doktrin Pemilihan?Rencana Allah dalam Keselamatan selengkapnya...» Penghiburan dari Kedaulatan AllahPenulis_artikel:
David Murray
Tanggal_artikel:
24-05-23
Isi_artikel:
Sering kali, ketika dunia luar kita mulai retak, berderit, dan hancur, begitu juga dunia internal kita. Bagi banyak dari kita orang Kristen, kita mulai meragukan kebaikan Allah dan kedaulatan-Nya. Kecemasan, ketakutan, dan kemarahan dapat melemahkan kepercayaan banyak orang percaya kepada Allah, terutama kepercayaan mereka pada kedaulatan Allah. Pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu menghantui banyak dari kita: "Apakah Allah masih memegang kendali? Jika ya, apakah Dia tahu apa yang Dia lakukan?" "Apakah Dia sebaik yang Dia katakan?" Ke mana kita berpaling untuk memperkuat diri kita sendiri dan membuang pertanyaan-pertanyaan menakutkan seperti itu? Kebesaran Allah yang Luar Biasa Nabi Yesaya mengarahkan kita pada kedaulatan Allah dalam pasal 40 nubuatannya. Dalam situasi bencana nasional yang serupa, Yesaya mempersiapkan umat Allah untuk menghadapi bencana pembuangan nasional yang akan segera terjadi dengan melipatgandakan gambaran yang menghibur tentang kedaulatan Allah. Mari kita saksikan saat ia menguatkan dunia batiniah umat Allah dengan kuasa kedaulatan Allah yang ditunjukkan-Nya di dunia luar. Tangan Allah: "Siapakah yang telah menakar air dalam telapak tangan-Nya?" tanya Yesaya dalam ayat 12 (AYT). Ini adalah salah satu dari serangkaian pertanyaan retorik yang mengharapkan jawaban, "Allah kami yang berdaulat." Diperkirakan ada 332.519.000 mil kubik air di planet ini, tetapi Allah kita yang berdaulat memegangnya di telapak tangan-Nya. Jengkal Allah: "Siapakah yang ... mengukur langit dengan jengkal" (ay. 12, AYT). Rentang tangan manusia yang besar adalah sekitar 8 -- 9 inci (20,32 -- 22,86 cm - Red.). Itu tidak bisa mengukur banyak, bukan? Akan tetapi, Allah dapat mengukur langit hanya dengan rentangan tangan-Nya. Bintang terdekat berjarak empat tahun cahaya. Dengan kata lain, dibutuhkan empat tahun untuk sampai ke sana dengan kecepatan 186.000 mil per jam. Akan tetapi, Allah dapat mengukur bintang terjauh hanya dengan ibu jari dan jari kelingking-Nya.
Cawan Allah: "Siapakah yang ... menghitung debu tanah dengan ukuran?" (ay. 12, AYT). Bisakah Anda mengukur berapa banyak pasir yang ada di pantai? Tentu saja tidak. Kita tidak dapat menemukan wadah yang cukup besar atau cukup kuat. Namun, dapur Allah memiliki gelas ukur yang dapat menampung pasir dari setiap pantai dan setiap gurun di dunia. Timbangan Allah: "Siapakah yang ... menimbang gunung-gunung dengan timbangan dan bukit-bukit dengan neraca?" (ay. 12, AYT). Pernah mencoba mengangkat batu besar? Namun, Allah dapat mengangkat Pegunungan Alpen, Himalaya, Andes, dan Rockies tanpa kesulitan dengan timbangan-Nya. Guru Allah: "Siapakah yang menjadi penasihat-Nya dan memberi tahu Dia?" (ay. 13, AYT). Serangkaian pertanyaan yang mengingatkan kita bahwa Allah tidak memiliki atau membutuhkan guru. Allah tidak pernah duduk dengan makhluk ciptaan-Nya dan bertanya, "Jadi, menurutmu apa yang harus Kulakukan?" Ember Allah: "Sesungguhnya, bangsa-bangsa seperti setitik air dalam ember." (ay. 15, AYT). Kita melihat populasi China, kekuatan militer Rusia, dan ancaman Korea Utara saat negara-negara ini beradu kekuatan dengan negara adidaya AS. Namun, tak satu pun dari mereka merupakan saingan bagi Allah; mereka bahkan bukan tetesan air yang kuat. Kalkulator Allah: "Semua bangsa seperti bukan apa-apa di hadapan-Nya, mereka dianggap seperti kehampaan dan tidak berarti." (ay. 17, AYT). Meskipun kita melihat angka PDB (Produk Domestik Bruto) di tabel ekonomi dunia, ketika Allah menjumlahkan semua angka triliunan ini, kalkulator-Nya akan memberikan jawaban "kurang dari nol." Cermin Allah: "Jika demikian, dengan siapakah kamu akan menyamakan Allah? Atau, kesamaan apa yang akan kamu bandingkan dengan Dia?" (ay. 18, AYT). Allah yang membuat manusia melihat semua dewa buatan manusia, lalu melihat diri-Nya sendiri dan berkata, "Benarkah? Itukah yang terbaik yang kamu punya?" Tidak ada persaingan dan tidak ada perbandingan. Takhta Allah "Dia yang duduk di atas bulatan bumi" (ay. 22, AYT). Cakrawala tampaknya membentang dari tak terhingga ke tak terhingga. Namun, itu hanyalah bangku kecil bagi Allah. Belalang Allah: "yang penduduknya seperti belalang" (ay. 22, AYT). Kita melihat para presiden, perdana menteri, raja, dan raksasa teknologi sebagai pihak yang sangat kuat. Allah melihat mereka semua dan berkata, "Hanya belalang." Tirai Allah: "Yang membentangkan langit seperti tirai" (ay. 22, AYT). Setiap malam Allah dengan mudah menurunkan tirai dan membuat dunia tertidur. Teleskop Allah: "Arahkan pandanganmu ke tempat tinggi dan lihatlah, siapakah yang menciptakan semua itu, yang mengeluarkan benda-benda angkasa menurut jumlahnya, dan memanggil mereka menurut nama mereka dengan kebesaran kekuasaan-Nya dan kekuatan kuasa-Nya tidak ada satu pun dari mereka yang hilang." (ay. 26, AYT). Allah menciptakan, menomori, menamai, dan menopang semua bintang. Hitungan terakhir manusia terdapat sepuluh triliun galaksi, masing-masing berisi seratus miliar bintang. Namun, itu hanyalah perkiraan. Allah mengetahui jumlahnya dengan tepat dan mengetahui semua nama mereka. Ingat pertanyaan Anda? "Apakah Allah masih memegang kendali? Jika ya, apakah Dia tahu apa yang Dia lakukan?" Sudahkah Yesaya menjawab mereka dengan gambaran visual tentang kedaulatan Allah yang luar biasa? Alih-alih kekacauan, apakah Anda melihat dan merasakan kendali, ketenangan, kenyamanan, dan keberanian? Apakah masa depan terlihat tidak terlalu menakutkan sekarang? Ketika dunia eksternal dan internal kita runtuh, kita harus melihat ke dunia lain untuk menjadi tetap yakin. Kelembutan Allah yang Luar Biasa Namun, Yesaya belum selesai. Dia melukiskan gambaran-gambaran yang luar biasa tentang kebesaran Allah, tetapi dia memperkenalkan semuanya di dalam gambaran besar yang luar biasa tentang kelembutan Allah. "Seperti seorang gembala, Dia akan menggembalakan kawanan-Nya. Dia akan mengumpulkan anak-anak domba dengan lengan-Nya dan membawa mereka di dada-Nya. Dia akan memelihara dan membimbing mereka." (ay. 11, AYT). Dia adalah Penguasa dan Gembala yang luar biasa. Dia luar biasa hebat dan sangat lembut. Sungguh, Dia menempatkan kebesaran-Nya yang luar biasa dalam melayani kelembutan-Nya yang luar biasa. Gembala kita adalah penguasa, dan Penguasa kita adalah gembala. Dia mengangkat dan menyingkirkan para pemimpin, dan Dia mengangkat dan memimpin domba. Pandanglah Allahmu dan alami kenyamanan serta keberanian baru untuk apa pun yang ada di depan. (t/N. Risanti)
Salah Satu Atribut Allah yang Terlalu Penting untuk DiabaikanPenulis_artikel:
Matthew Barrett
Tanggal_artikel:
16 Mei 2023
Isi_artikel:
Kembali ke masa saya di seminari, keluarga kami tinggal di Louisville, Kentucky. Salah satu keuntungan tinggal di Louisville adalah kesempatan sesekali ke Homemade Pie and Ice Cream, yang memiliki pai paling nikmat di kota itu. Setiap tahun, orang-orang dari seluruh negeri, bahkan dunia, melakukan perjalanan ke Louisville untuk Kentucky Derby (pacuan kuda - Red.) yang terkenal. Sebelum perlombaan, perayaan tidak hanya ditandai dengan topi flamboyan dan minuman mint julep, tetapi juga terjual habisnya pai Derby dari kebanyakan toko-toko roti yang ada. Saya menikmati pai Derby klasik, tetapi ada satu pai yang saya sukai lebih lagi: pai karamel apel Belanda dari Homemade Pie and Ice Cream yang kerap memenangkan penghargaan. Sejujurnya, karamel pada painya sangat tebal sehingga Anda membutuhkan pisau daging untuk memotongnya. Tapi katakanlah Anda telah menemukan pisau Anda dan Anda mulai membagi pai -- potongan yang cukup besar untuk saya, terima kasih, dan mungkin potongan yang lebih kecil untuk orang lain. Saya sangat sedih mengungkapkan hal ini, memang seorang teolog selalu mencari ilustrasi yang beragam di mana pun dia dapat menemukannya, tetapi pai karamel apel Belanda adalah ilustrasi yang buruk tentang seperti apa Allah itu. Ya, itu benar-benar buruk. Namun banyak orang berpikir seperti itu tentang atribut-atribut Allah. Sebenarnya, itulah yang membuat saya khawatir untuk menulis tentang atribut-atribut Allah yang berbeda, seolah-olah kita sedang mengiris pai yang diumpamakan sebagai "Allah". Kesempurnaan Allah tidak seperti pai, seolah kita memotong pai menjadi beberapa potongan yang berbeda: kasih 10 persen, kekudusan 15 persen, kemahakuasaan 7 persen, dan seterusnya. Sayangnya, begitu banyak orang Kristen berbicara tentang Allah hari ini, seolah-olah kasih, kekudusan, dan kemahakuasaan adalah bagian yang berbeda dari Allah, seolah Allah dapat dibagi secara merata sejumlah atribut-atribut-Nya. Beberapa bahkan melakukan lebih jauh, meyakini beberapa atribut lebih penting daripada yang lain. Hal ini paling sering terjadi dengan kasih ilahi, yang menurut beberapa orang adalah atribut yang paling penting, yang mereka sebut sebagai potongan pai paling besar.
Tetapi pendekatan seperti itu sangat bermasalah, karena mengubah Allah menjadi kumpulan atribut. Bahkan terdengar seolah-olah Allah adalah satu hal dan atribut-atribut-Nya adalah hal lain, sesuatu yang ditambahkan kepada-Nya, melekat pada siapa Dia. Pendekatan ini tidak hanya membagi-bagi esensi Allah, tetapi juga berpotensi menimbulkan pertentangan satu bagian dari Allah terhadap bagian yang lain. (Misalnya, mungkinkah kasih-Nya menentang keadilan-Nya?) Terkadang kesalahan ini dapat dimengerti; itu secara tidak sengaja menyelinap ke dalam pembicaraan kita mengenai Allah. Kita mungkin berkata, "Allah memiliki kasih" atau "Allah memiliki semua kuasa." Kita semua mengerti apa yang sedang dikomunikasikan, tetapi terminologinya dapat menyesatkan. Akan jauh lebih baik untuk mengatakan, "Allah adalah kasih" atau "Allah itu mahakuasa." Dengan mengutak-atik terminologi kita, kita melindungi kesatuan esensi Allah. Melakukan hal itu berarti menjaga kesederhanaan Allah. KESEDERHANAAN DAN KEBIJAKSANAAN TIM A Kesederhanaan mungkin merupakan konsep yang baru dalam kosakata teologis Anda, tetapi itu adalah salah satu hal yang telah ditekankan oleh mayoritas leluhur Kristen kita selama dua ribu tahun terakhir sejarah gereja, bahkan oleh beberapa bapa gereja paling awal. Dan untuk alasan yang bagus juga. Mari berkonsultasi dengan Agustinus, Anselmus dari Canterbury, dan Thomas Aquinas. Rupanya, saya bukan satu-satunya yang mengandalkan ilustrasi untuk menunjukkan seperti apa Allah itu. Pada abad kelima, bapa gereja Agustinus melakukan hal yang sama, meskipun itu bukan pai karamel apel Belanda. Sebaliknya, Agustinus mengusulkan cairan, tubuh manusia, dan sinar matahari. Sifat Allah Tritunggal disebut sederhana karena "tidak dapat kehilangan atribut apa pun yang dimilikinya", dan karena "tidak ada perbedaan antara keberadaannya dan apa yang terkandung di dalamnya, seperti misalnya, antara bejana [cawan] dan cairan yang ada di dalamnya, tubuh dan warnanya, atmosfer dan cahaya atau panasnya, jiwa dan kebijaksanaannya." Agustinus menyimpulkan, "Tidak satu pun dari contoh tersebut merupakan apa yang dikandungnya."[1] Sebuah cangkir dan cairan, tubuh dan warnanya, atmosfer dan cahaya atau panasnya, jiwa dan kebijaksanaannya -- apa persamaan dari semua ini? Jawaban: pemisahan. Akan tetapi, tidak demikian dengan Allah dan atribut-atribut-Nya. Atribut-atribut Allah tidak berada di luar esensi-Nya, seolah-olah atribut-atribut itu menambahkan kualitas pada diri-Nya yang tidak akan dimiliki-Nya tanpa atribut-atribut tersebut. Bukan berarti seolah-olah ada atribut-atribut yang kebetulan bagi Allah, bisa ditambah atau dikurangi, hilang dan kemudian ditemukan, seolah-olah itu tidak seharusnya ada sejak semula. Sebaliknya, Allah adalah atribut-atribut-Nya. Alih-alih penambahan dan pemisahan, ada kesatuan yang mutlak. Esensi-Nya adalah atribut-atribut-Nya, dan atribut-atribut-Nya adalah esensi-Nya. Atau seperti yang dikatakan Agustinus, "Allah bukannya memiliki atribut tetapi adalah esensi murni. ... Atribut-atribut itu tidak berbeda dari esensi-Nya dan juga tidak berbeda secara materi satu sama lain."[2] Agustinus tidak sendiri dalam berpendapat seperti itu. Anselmus, contohnya. Jika sesuatu "terdiri dari bagian-bagian," katanya, maka itu tidak bisa menjadi "satu keseluruhan." Setiap kali ada pluralitas bagian, apa yang terdiri dari bagian-bagian itu memiliki kemungkinan untuk hilang. Betapa ini akan menjadi bencana bagi Allah! Sebaliknya, Allah adalah "benar-benar keberadaan yang bersatu," Dia yang "identik dengan" diri-Nya dan "tak terpisahkan." Oleh karenanya, "Hidup dan kebijaksanaan dan [atribut-atribut] lainnya, bukan bagian dari Engkau, tetapi semuanya adalah satu dan masing-masing dari mereka sepenuhnya adalah Engkau dan begitu juga semua atribut yang lain."[3] Atau pertimbangkan pendapat Thomas Aquinas. Karena Allah tidak memiliki tubuh (seperti kita), Dia "tidak terdiri dari bagian-bagian yang ditambahkan", seolah-olah Dia terdiri dari "bentuk dan materi". Bukan seolah-olah Allah adalah sesuatu yang berbeda dari "sifat-Nya sendiri." Juga bukan karena sifat-Nya adalah hal yang berbeda dari keberadaan-Nya. Kita juga tidak boleh mengira bahwa Allah adalah sejenis zat, zat yang memiliki kebetulan, sifat yang dapat dihilangkan atau tidak ada lagi. "Allah sama sekali bukan suatu campuran. Sebaliknya, Dia sangat sederhana."[4] KESEMPURNAAN TUNGGAL Sementara Aquinas menggunakan kata "campuran" dan "komposisi" untuk menjelaskan apa yang bukan Allah, bapa gereja Irenaeus menggunakan kata "majemuk" untuk menjelaskan apa yang bukan Allah. Jika sesuatu digabungkan, itu berarti ia memiliki lebih dari satu bagian, masing-masing bagian terpisah dari yang lain. Sebaliknya, karena Allah sederhana, Allah adalah "Keberadaan yang tidak terbagi", tidak memiliki "anggota" yang berbeda. Dia benar-benar "setara dengan diri-Nya sendiri." Maka, mungkin tepat untuk menempatkan kata "seutuhnya" di depan setiap atribut-Nya untuk menekankan hal ini. "Allah tidak seperti manusia," Ireneus menjelaskan. Karena Bapa dari segalanya sangat jauh berbeda dari kasih sayang dan keinginan yang ada di antara manusia. Dia adalah Keberadaan yang sederhana dan tidak terbagi, tanpa anggota yang beragam, dan seluruhnya serupa, dan setara dengan diri-Nya sendiri, karena Dia seutuhnya pemahaman, dan seutuhnya roh, dan seutuhnya pikiran, dan seutuhnya kecerdasan, dan seutuhnya penalaran, ... seutuhnya terang, dan sumber sempurna dari semua yang baik.[5] Dengan tim-A di pihak kita, adalah tepat untuk menyimpulkan bahwa kesederhanaan tidaklah hanya digunakan dalam pernyataan negatif -- Allah tidak memiliki bagian -- tetapi juga dalam pernyataan positif: Allah identik dengan semua keberadaan-Nya dan diri-Nya. Dalam pengertian yang paling murni, Allah adalah satu; Dia adalah kesempurnaan tunggal. Dalam Kitab Suci, hal ini tidak dapat diterapkan kepada dewa-dewa buatan manusia, dewa-dewa itu terdiri dari bagian-bagian. Mengingat keunikan Allah, maka sudah seharusnya umat Allah bersama-sama mengakui, seperti halnya Israel, bahwa "TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!" (Ul. 6:4, AYT). SEBERAPA FATALNYA PENOLAKAN AKAN KESEDERHANAAN? Penolakan terhadap kesederhanaan adalah hal yang fatal -- begitu fatalnya sehingga seorang penulis mengatakan bahwa hal itu "sama saja dengan ateisme."[6] Kedengarannya ekstrem. Namun sampai abad kesembilan belas, sebagian besar orang setuju akan hal ini. Sayangnya, terlalu banyak orang Kristen saat ini yang menganut monopoliteisme (atau personalisme teistik) -- yaitu, kepercayaan bahwa ada satu Allah, tetapi Dia sangat mirip dengan dewa-dewa mitologi, yang memiliki atribut manusia, hanya dalam ukuran yang lebih besar. Namun, jika monopoliteisme benar, maka Allah tidak hanya terdiri dari berbagai bagian atau atribut, tetapi Dia juga akan "secara logika bergantung pada realitas yang lebih komprehensif yang menopang Dia dan makhluk lainnya."[7] Dan jika Allah bergantung pada sesuatu atau orang lain, maka Dia akan kehilangan keilahian-Nya sama sekali, karena apa pun yang Dia andalkan akan menjadi sesuatu yang lebih besar dari segalanya, sesuatu yang lebih komprehensif daripada diri-Nya sendiri. Hal itu sangatlah fatal. Kesimpulannya, kesederhanaan adalah atribut yang terlalu penting untuk diabaikan. (t/Jing-Jing) Audio: Salah Satu Atribut Allah yang Terlalu Penting untuk Diabaikan
Sumber Artikel:
Tempat Apakah Salib Itu?Penulis_artikel:
STEMI
Tanggal_artikel:
16 Maret 2016
Isi_artikel:
1. Salib adalah tempat di mana orang tidak dapat membela diri. Pada saat Yesus Kristus digantung di salib, Dia tidak pernah mengucapkan sepatah kata pun untuk membela diri. Yesus Kristus selama di dalam dunia telah mengucapkan banyak perkataan yang membangun orang lain. Perkataan-perkataan-Nya menunjukan pengharapan dan jalan. Namun, ketika Kristus berada di atas salib justru Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun untuk membela diri. 2. Salib adalah tempat di mana tidak ada terang. Yesus adalah Terang Dunia. Akan tetapi, di atas salib, kegelapan dunia justru menutup dirinya. 3. Salib adalah tempat di mana tidak ada kasih. Kristus menyatakan kasih Allah. Akan tetapi, kasih Allah justru meninggalkan Dia sehingga Kristus harus berteriak, "Allahku! Allah! Mengapa Engkau meninggalkan Aku?" (Matius 27:46). Setiap helai rumput dan batang pohon menyaksikan kasih Allah. Hanya saliblah tempat di mana sama sekali tidak ada kasih. Salib adalah ruang hampa kasih. Tidak ada kasih Allah. Juga tidak ada kasih manusia. Murid-murid sekali pun yang mengasihi Yesus dan berada di sekeliling-Nya, kasih mereka tetap tidak dapat Yesus terima karena Dia harus terlebih dahulu menanggung dosa mereka. 4. Salib adalah tempat di mana tidak ada mukjizat. Alkitab memberitahu kita bahwa Tuhan Yesus pernah melakukan tiga puluh lima kali mukjizat. Namun, tidak satu mukjizat pun yang dilakukan demi kepentingan-Nya sendiri. Tidak ada satu mukjizat pun yang dilakukan-Nya yang bukan demi kemuliaan Allah. Bahkan, di atas kayu salib, saat di mana Kritus paling perlu untuk melakukan mukjizat, Dia juga rela melepaskan hak-Nya untuk melakukan mukjizat. Kristus melepaskan kesempatan untuk membela diri. 5. Salib adalah tempat di mana belas kasihan tidak dapat diterima.
Pada saat Yesus memikul salib dari Yerusalem menuju ke atas Golgota, ada beberapa wanita yang sangat tergerak hatinya. Mereka ingin melihat guru yang paling mereka kasihi sedang memikul salib yang begitu berat. Alkitab mencatat bahwa mereka menangis dan mengalirkan air mata karena hal itu. Adakah Yesus Kristus menerima belas kasihan mereka? Tidak. Tuhan Yesus berkata pada mereka, "Janganlah kamu menangisi Aku. Tetapi tangisilah"(Lukas) 23:28. Salib adalah suatu tempat yang tidak menerima belas kasihan. Kita tidak perlu berbelas kasihan kepada Yesus. Dialah yang berebelas kasihan kepada kita. Jika Tuhan Yesus tidak dipaku di atas kayu salib, bagaimana mungkin dosa kita dapat diampuni? Bagaimana mungkin tuntutan hati nurani dapat disingkirkan? Bagaimana catatan dosa kita dapat diselesaikan? 6. Salib adalah tempat di mana tidak ada perlindungan. Ketika Yesus Kristus berada di dalam taman Getsemani, Dia berdoa berkata, "Ya Bapa-Ku! Jikalau sekiranyan mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku" (Matius 26:39). Cawan pahit ini adalah cawan yang memisahkan Dia dengan Allah Bapa. Hal ini adalah sebuah rahasia yang sangat besar. Sebuah paradoks sangat besar yang terjadi dalam sekejap. Selanjutnya Yesus Kristus berkata, "Tetapi janganlah seperti yang kukehendaki. Melainkan jadilah seperti yang Engkau kehendaki" Tidak lama kemudian Yudas membawa sekelompok orang. Mereka membawa pedang, pentung, dan obor api masuk ke tempat dimana Yesus berdoa di taman Getsemani. Petrus menjadi sangat marah. Ia mencabut pedangnya kepada kelompok orang itu. Lalu, Petrus memotong telinga dari hamba Imam besar. Akan tetapi, Tuhan Yesus bukan hanya tidak mendukung dia untuk terus membunuh. Yesus Kristus bahkan menyalahkan dia dan berkata, "Simon! Masukan pedang itu kembali ke dalam sarungnya. Sebab barangsiapa menggunakan pedang, dia akan binasa oleh pedang." (Matius 26:52). Di sini nyata bagaimana Yesus Kristus menolak perlindungan yang berasal dari manusia. 7. Salib adalah tempat di mana tidak ada naik banding. Pada saat Tuhan Yesus ditangkap, Dia bertanya pada orang-orang yang datang menangkap Dia, katanya, "Siapakah yang kalian cari?" Jawab mereka, "Yesus dari Nazaret." Kata-Nya kepada mereka, "Akulah Dia." (Yohanes 18:4-5). Suara-Nya tenang dan lembut. Orang-orang itu sangat terkejut. Mereka tidak mengerti mengapa pada saat ada bahaya besar di depan mata, Yesus Kristus masih dapat sedemikian tenang. Mereka ketakutan hingga bergerak mundur. Tuhan Yesus jelas dapat meminta pertolongan dari Allah supaya tanah bergoncang hingga pecah terbuka supaya orang-orang itu jatuh terperosok ke bawah. Atau, seperti perkataan Tuhan Yesus yang lain, "Kau sangka bahwa Aku tidak dapat berseru kepada Bapaku supaya Ia segera mengirim lebih dari dua belas pasukan malaikat untuk membantu Aku?" (Matius 26:53). Akan tetapi, Tuhan Yesus tidak berbuat demikian karena salib adalah tempat di mana orang tidak dapat menerima naik banding. 8. Salib adalah tempat di mana orang tidak dapat menerima hasutan. Orang-orang sekeliling Yesus Kristus yang sedang dipaku di atas kayu salib berkata kepada-Nya, "Jikalau Engkau Anak Allah, turunlah dari salib itu!" (Matius 27:40). "Engkau menolong orang lain tetapi Engkau tidak dapat menolong diri sendiri. Engkau menyembuhkan orang lain tetapi dirimu sendiri justru digantung di atas kayu salib. Engkau mengatakan bahwa Engkau adalah Anak Allah. Bagaimana mungkin kami dapat percaya? Hahaha!" Mereka meludahi wajah-Nya. Menertawakan Dia. Mengejek Dia. Namun Yesus Kristus tak membalas sepatah kata pun. Dia tahu tujuan kedatangan-Nya ke dalam dunia ini. Dunia ini penuh dengan dosa, ketamakan, niat yang jahat, iri hati. Yudas menjual Tuhan karena hati yang tamak. Orang Farisi memaku Tuhan hanya karena hati yang iri. Kita juga orang berdosa yang membuat yang menyebabkan Yesus dipaku di atas kayu salib. Anak Allah datang ke dunia hanya karena dosa kita. Jika kita dipaku di atas kayu salib, setelah mendengar kata-kata hasutan seperti itu, pastilah di dalam hati kita penuh dengan kemarahan. Kita ingin cepat-cepat turun untuk membuktikan diri kita. Jika Tuhan Yesus benar-benar turun dan berlutut kepada setan maka seluruh dunia akan menjadi Kristen. Mungkin setelah itu kita tidak perlu mengabarkan Injil sampai sekujur tubuh penuh dengan keringat. Akan tetapi, jika demikian, apa yang manusia akan percayai justru adalah seorang Yesus Kristus yang tidak disalibkan. Mereka akan mendapatkan Kristus Yesus yang tidak mati untuk orang berdosa dan tidak menggenapi rencana Allah Bapa. Hal seperti ini bukanlah Injil. Tuhan Yesus tidak dapat dihasut. Dia tahu bahwa merekalah yang melawan Dia. Bukan hanya diri mereka sendiri yang melawan. Akan tetapi, di balik itu ada kuasa Iblis yang sedang bekerja. Kita melawan. Kita menyerang. Dan, kita salah paham kepada Tuhan Yesus karena kita mengenal Dia. Karena di dalam hati kita ada dosa. Namun, Tuhan Yesus justru mati di atas kayu salib demi dosa kita yang seperti itu. 9. Salib adalah tempat di mana orang tidak dapat menerima pembiusan. Sebelum seorang dipaku di atas kayu salib yang demikian menakutkan dan kejam, ia perlu terlebih dahulu melalui proses pembiusan. Sejarah mencatat dan memberitahukan kepada kita bahwa orang yang dipaku di kayu salib tidak akan mati pada hari itu. Melainkan Ia harus melewati pergumulan kesakitan selama dua-tiga hari. Ia menangis sengsara. Pelan-pelan ia dibiarkan di atas sana sampai mati. Oleh sebab itu, di dalam situasi demikian, orang yang disalib perlu diberi arak. Ia perlu diberi cuka supaya tidak merasa sakit. Namun, saat Tuhan Yesus dipaku di atas kayu salib, tidak ada orang yang melakukan hal demikian. Sehingga pada saat Dia berkata,"Aku haus!" hanya ada satu orang yang berbaik hati mengasihi Tuhan. Orang yang mengambil busa yang dicelupkan ke dalam cuka dan menyodorkannya ke mulut Tuhan Yesus. Akan tetapi, Alkitab memberitahukan bahwa Tuhan tidak mau meminumnya. Tuhan hanya mencicipi sebentar. Mencicipi adalah untuk menjalankan sopan santun di antara manusia. Yesus Kristus tidak meminumnya karena Dia tidak dapat menerima pembiusan. Dia mau tetap berada di dalam keadaan yang masih memiliki kesadaran. Dia mau untuk masih bisa memaksakannya dengan tuntas dan jelas. Dia mau untuk mengalami penderitaan demi menanggung dosa umat manusia. Banyak orang mengira bahwa karena Yesus adalah Tuhan, Dia dapat pura-pura merasa kesakitan padahal sesungguhnya tidak. Mereka mengira bahwa Tuhan Yesus hanya pura-pura mati saja. Akan tetapi, mereka sungguh-sungguh salah. Yesus Kristus datang ke dunia menjadi manusia. Dia menanggung dosa kita di dalam kedagingan. Dengan jelas dan tuntas Kristus menerima semua kemarahan Allah atas dosa di dalam kedagingan. Salib adalah suatu tempat yang tidak menerima penghiburan. Tidak menerima perlindungan. Tidak menerima pembiusan. Tidak menerima hasutan. Setelah Yesus Kristus mengalami semuanya, ketika orang banyak melihat dengan seksama, tiba-tiba Dia mengangkat kepala-Nya menghadap ke langit dan mengatakan sebuah kalimat, "Ya Bapa, ampunilah mereka. Sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat." (Lukas23:34). Mereka berdosa tetapi tidak tahu bahwa diri mereka terjebak di tengah dosa. Sambil mereka melawan Allah, sambil mereka menikmati kesenangan diri dan mengagumi diri sendiri. Sokrates berkata, "Seseorang berbuat dosa karena dia tidak mengetahuinya. Orang memiliki pengetahuan pasti ia memiliki moral." Apakah bedanya dengan perkataan Yesus? Seseorang yang berbuat dosa karena tidak tahu apakah boleh mendapat pengampunan? Jika benar demikian maka orang yang tidak tahu itu lebih beruntung daripada orang yang tahu. Selain itu ketika Sokrates mengucapkan kalimat itu, dia sedang duduk di kamarnya dengan nyaman. Pada saat Yesus Kristus mengucapkan kalimat tersebut, tubuhnya sendiri sedang digantung di atas kayu salib menanggung dosa umat manusia. Kristus datang untuk memberitahu kita bahwa manusia harus bertobat supaya dosa-dosanya dapat diampuni. Tidak ada dosa yang tidak dapat diampuni. Tetapi dosa yang tidak melalui pertobatan tidak dapat diselesaikan. Kita harus bertobat dengan datang ke hadapan Allah Bapa. Kita sendiri tidak dapat menyelesaikan dosa kita. Yesus Kristus akan berdoa untuk kita dan memancarkan kasih dari Allah. |