Skip to main content

Oleh: N. Risanti

Senin, 25 Juni 2018, saya dan beberapa teman mengikuti acara progsif (program intensif) bertema Roh Kudus, Malaikat, dan Roh Jahat yang diadakan oleh STRIS (Sekolah Tinggi Reformed Injili Surakarta) di Hotel Adiwangsa. Progsif yang berlangsung sekitar 2,5 jam ini dibawakan oleh Pendeta Jimmy Pardede dari Jakarta, yang juga adalah dosen Perjanjian Lama. Berikut adalah beberapa hal yang saya dapatkan dari acara progsif tersebut.

Penulis_artikel
Richard Pratt Jr.
Tanggal_artikel
10 Januari 2018
Isi_artikel

Teologia Reformed adalah Teologia Perjanjian

Teologia Reformed sering kali dikaitkan dengan "teologia perjanjian". Jika Anda menyimak baik-baik, kerap akan Anda dengar para pendeta dan pengajar menyebut diri mereka (penganut aliran) "Reformed dan perjanjian." Istilah Reformed dan perjanjian secara umum digunakan berbarengan sehingga memaksa kita memahami mengapa keduanya terkait.

Teologia perjanjian merujuk pada salah satu kepercayaan mendasar yang dianut oleh Calvinis mengenai Alkitab. Semua orang Protestan yang tetap setia pada warisan (doktrin) mereka mengakui Sola Scriptura, yaitu keyakinan bahwa Alkitab merupakan otoritas tertinggi dan tak perlu diragukan. Akan tetapi, teologia perjanjian membedakan pandangan Reformed terhadap Alkitab dari pandangan aliran Protestan lain, dengan menekankan bahwa perjanjian ilahi mempersatukan semua ajaran dalam seluruh Alkitab.

Perkembangan yang lebih awal dalam Reformed, pengertian perjanjian Kitab Suci mencapai titik krusial pada abad ketujuh belas di Inggris dengan adanya Pengakuan Iman Westminster (1646), Deklarasi Savoy (1658), Pengakuan Gereja Baptis London 1689, masing-masing mewakili penganut Calvinist berbahasa Inggris dari kelompok yang berbeda. Dengan hanya sedikit perbedaan di antara mereka, dokumen-dokumen tersebut mendedikasikan satu bab utuh untuk membahas bagaimana perjanjian Allah dengan umat manusia menyingkapkan kesatuan seluruh pengajaran Alkitab.

Misalnya, Pengakuan Iman Westminster berbicara mengenai turunnya Allah untuk mewahyukan Diri kepada manusia dengan jalan perjanjian. Hal tersebut kemudian membagi seluruh sejarah dalam Alkitab menjadi hanya dua perjanjian: "Perjanjian kerja" dalam Adam dan "perjanjian anugrah" dalam Kristus. Perjanjian kerja merupakan kesepakatan Allah dengan Adam dan Hawa sebelum mereka jatuh dalam dosa. Perjanjian anugrah menguasai seluruh kisah Alkitab selebihnya. Menurut pandangan ini, semua tahap dalam perjanjian anugerah adalah sama secara substansi. Perbedaannya hanyalah bagaimana Allah menyelenggarakan satu perjanjian anugerah tersebut dalam Kristus dengan berbagai cara sepanjang sejarah Alkitab.

Selama itu juga, sejumlah teolog Reformed yang terkemudian menegaskan kesatuan perjanjian dalam Kitab Suci dengan menghubungkan perjanjian-perjanjian Alkitabiah dengan "Kerajaan Allah", sebagaiamana Perjanjian Baru menyebutnya. Yesus menunjukkan pentingnya Kerajaan Allah dalam kata-kata pembuka Doa Bapa Kami: "Bapa kami yang di surga, dikuduskanlah Nama-Mu. Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga" (Wahyu 11:15, pada akhir zaman, "Seluruh kerajaan dunia (akan) menjadi milik Tuhan kita dan Kristus, dan Ia akan memerintah selama-lamanya."

Penemuan arkeologis terbaru menunjukkan bagaimana perjanjian Allah terkait dengan kerajaan-Nya di bumi. Pada zaman alkitab, banyak raja-raja negeri sekeliling Israel menyelenggarakan ekspansi kerajaan mereka melalui perjanjian internasional. Para ahli biblika menemukan kesamaan yang mengagumkan antara kesepakatan kuno ini dan perjanjian alkitab dengan Adam, Nuh, Abraham, Musa, Daud, dan Kristus. Kesamaan ini menyatakan bahwa Kitab Suci menghadirkan perjanjian sebagai cara Allah memperluas kerajaan-Nya di bumi.

Perjanjian Alkitab menekankan apa yang dibutuhkan pada setiap tahap Kerajaan Allah dengan mengembangkan prinsip perjanjian sebelumnya. Dimulai dengan Adam, Allah menyatakan Diri-Nya sebagai raja, peran umat manusia, dan tujuan akhir yang telah Ia rencakanakan bagi bumi (Kejadian 6, 9). Allah kemudian mengembangkan perjanjian sebelumnya dengan menjanjikan bahwa keturunan Abraham akan menjadi besar dan menyebarkan berkat-berkat Allah kepada bangsa-bangsa lain (Kejadian 15, 17). Di atas perjanjian-perjanjian tersebut, Allah memberkati Israel dengan memberikan hukum-Nya pada zaman Musa (Keluaran 19-24). Setiap perjanjian sebelumnya terus diperjelas selagi Allah mendirikan kerajaan Daud serta menjanjikan bahwa salah satu dari anaknya akan memerintah dengan keadilan atas Israel dan seluruh dunia (Mazmur 72; 89; 132). Semua perjanjian yang diadakan pada era Perjanjian Lama kemudian diteruskan dan digenapi dalam Kristus (Yeremia 31:31; 2 Korintus 1:19-20). Sebagai Anak Daud yang besar, kehidupan, kematian, kebangkitan, kenaikan, dan kedatangan Kristus yang kedua menjamin kepastian transformasi seluruh bumi menjadi Kerajaan Allah yang mulia.

Banyak orang Kristen Injili saat ini kesulitan untuk percaya bahwa segala sesuatu dalam Kitab Suci setelah Kejadian 3:15 ialah berkenaan dengan Kerajaan Allah yang dikelola melalui penyingkapan perjanjian anugerah. Mayoritas kaum Injili Amerika memandang Kitab Suci terbagi menjadi periode-periode waktu terpisah yang masing-masing diatur oleh prinsip teologis yang berbeda secara substansi. Bila orang Kristen mengikuti pandangan populer terhadap Alkitab ini, mereka akan segera terpengaruh bahwa perjanjian yang baru di zaman kita bertentangan dengan banyak aspek Perjanjian Lama.

Setidaknya ada tiga isu yang kerap diangkat: perbuatan dan anugerah, iman jemaat dan iman pribadi, serta perkara duniawi dan rohani. Pertama, banyak kaum injili meyakini bahwa penekanan Perjanjian Lama akan perbuatan baik tidak sesuai dengan keselamatan oleh anugerah melalui iman dalam Kristus. Kedua, hubungan jemaah Israel sebagai satu kesatuan komunitas dengan Allah tampaknya telah diganti dengan fokus pada hubungan tiap individu secara pribadi dengan Allah. Ketiga, banyak orang injili percaya bahwa panggilan Perjanjian Lama untuk mendirikan kerajaan Allah secara fisik di bumi kontras dengan penekanan Perjanjian Baru terhadap kerajaan rohani dalam Kristus.

Teologia perjanjian memampukan para teolog Reformed untuk melihat bahwa sesungguhnya Perjanjian Baru (PB) dan Perjanjian Lama (PL) sangat serupa dalam ketiga hal ini. Pertama, pandangan bahwa keselamatan oleh anugerah melalui iman dalam Kristus merupakan satu-satunya jalan keselamatan dalam PB maupun PL. Seluruh Alkitab menuntut perbuatan baik karena iman yang menyelamatkan selalu menghasilkan buah ketaatan kepada Allah. Kedua, teologia perjanjian membantu kita melihat bahwa baik PL maupun PB berbicara tentang relasi dengan Allah secara pribadi dan korporat. Seluruh perjanjian Allah meliputi kedua tataran tersebut. Ketiga, teologia perjanjian menunjukkan bahwa Kerajaan Allah sejak semula senantiasa bersifat rohani sekaligus berada di bumi. PL dan PB berfokus pada pelayanan kita dalam kedua ranah tersebut. Dalam hal-hal itu dan juga yang lain, teologia perjanjian memiliki pandangan yang lebih luas bagi kaum injili.

Lebih lagi, kita mendapati bahwa teologia Reformed telah dipersempit menjadi sesuatu yang sering kita sebut doktrin anugerah - kepercayaan terkenal seperti kerusakan total, pemilihan tak bersyarat, penebusan terbatas, anugerah yang tidak dapat ditolak, dan ketekunan orang kudus. Tentu kita harus menghargai nilai kebenaran Kitab Suci ini, tetapi, ketika gagal menekankan kerangka pikir teologia perjanjian yang lebih luas, pengertian kita tentang Alkitab akan segera jatuh ke dalam tiga area ini.

Pertama, doktrin anugerah tanpa teologia perjanjian telah membuat sebagian orang meyakini bahwa teologia Reformed terutama mengajarkan bahwa anugerah Allah menopang kehidupan orang Kristen sejak awal hingga akhir. Tentu saja hal ini benar. Namun, perjanjian dalam PL dan PB secara konsisten mengajarkan bahwa Allah selalu menuntut usaha sepenuh hati dari umat-Nya sebagai respon terhadap anugerah-Nya, dan bahwa Ia akan memberikan upah bagi ketaatan dan menghukum ketidaktaatan.

Kedua, terlepas dari teologia perjanjian, banyak orang dalam lingkaran kita tampaknya berpikir bahwa teologia kita hanyalah tentang mencari cara-cara Reformed yang unik bagi individu untuk meningkatkan hubungan mereka dengan Allah. Pada zaman kita, sejumlah jalan menuju kekudusan dan saat teduh pribadi telah dianggap fitur sentral dalam teologia Reformed. Padahal, teologia perjanjian juga menekankan relasi komunal kita dengan Allah, sama pentingnya seperti nilai seorang individu dalam Alkitab. Tidak ada perjanjian dalam Alkitab yang dibuat dengan satu orang saja. Perjanjian-perjanjian tersebut juga melibatkan relasi yang dibangun Allah dengan sekelompok orang. Karena alasan ini, kedua perjanjian mengajarkan bahwa keluarga umat percaya merupakan komunitas perjanjian yang di dalamnya anugerah Allah diteruskan dari generasi ke generasi. Selain itu, gereja yang kelihatan (visible church) dalam PL dan PB merupakan komunitas perjanjian yang melaluinya kita menerima injil dan anugerah.

Ketiga, doktrin anugerah dengan mudah memberikan kesan bahwa teologia Reformed hanya mengurusi hal-hal spiritual. Banyak orang dalam lingkungan kita begitu peduli dengan transformasi batin melalui pengertian Kitab Suci yang benar. Namun, sering kali kita mengabaikan dampak fisik dan sosial dari dosa dan keselamatan. Teologia perjanjian memberi kita visi (pandangan) yang jauh lebih luas serta mengagumkan mengenai pengharapan kita sebagai orang Kristen. Dalam PL dan PB, orang percaya memperluas Kerajaan Allah baik secara rohani maupun jasmani. Kita harus mengajarkan Injil Kristus kepada segala bangsa supaya orang diubahkan dalam hal spiritual, tetapi pembaharuan spiritual ini ialah bagi perluasan kerajaan Kristus kepada setiap faset dan kultur di seluruh dunia.

Semua pembahasan di atas menyatakan bahwa teologia perjanjian memiliki banyak hal untuk ditawarkan kepada setiap orang Kristen. Jadi, ketika kita bertanya pada diri sendiri, "Apakah teologia Reformed itu?" kita dapat dengan yakin menjawab, "Teologia Reformed adalah teologia perjanjian."(t/joy)

Diambil dari:
Nama situs: Ligonier
Alamat: https://www.ligonier.org/learn/articles/reformed-theology-covenant-theology/
Judul asli: Reformed Theology is Covenant Theology
Penulis: Richard Pratt Jr.
Tanggal akses: 10 Januari 2018

Hari ini adalah Hari Ulang Tahun e-Reformed ke-14 dan besok adalah Hari Reformasi Gereja. Kami redaksi e-Reformed mengucap syukur atas penyertaan Tuhan sejak 1517, Martin Luther, John Calvin, dan tokoh-tokoh reformasi lainnya memperjuangkan kebenaran di tengah kesesatan gereja pada masa itu, hingga hari ini perjuangan tersebut masih boleh diperingati sebagai Hari Reformasi Gereja tgl 31 Oktober. Gerakan Reformed inilah yang juga menjadi dasar lahirnya publikasi e-reformed tgl 30 Oktober 1999.

Penulis_artikel
Ed Walsh
Tanggal_artikel
26/02/2025
Isi_artikel

Aborsi mungkin merupakan masalah sosial yang paling banyak diperdebatkan pada zaman kita. sekitar 879.000 aborsi terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2017. Tingkat aborsi pada tahun 2015 adalah 11,8 aborsi per 1.000 wanita berusia 15 -- 44 tahun, dan rasio aborsi adalah 188 aborsi per 1.000 kelahiran hidup. Menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2013, hanya sembilan negara di dunia yang memiliki tingkat aborsi yang dilaporkan lebih tinggi daripada Amerika Serikat. Mereka adalah: Bulgaria, Kuba, Estonia, Georgia, Kazakhstan, Rumania, Rusia, Swedia, dan Ukraina. Dengan lebih dari 61 juta aborsi yang terjadi sejak tahun 1973, hampir setiap orang memiliki pendapat tentang masalah ini. Isu aborsi telah digunakan sebagai simbol kemerdekaan dalam gerakan feminis, dan telah diselimuti oleh banyak isu lain seperti pemerkosaan dan inses. Namun, untuk mendapatkan pandangan Alkitabiah tentang aborsi, seseorang harus menghilangkan noda yang mengaburkan pertanyaan utama tentang aborsi, dan memusatkan perhatian pada esensi masalah tersebut.

Gambar: bersyukur

Titik utama konflik dalam seluruh perdebatan aborsi adalah pertanyaan kapan kehidupan dimulai. Jika memang kehidupan dimulai sejak dalam kandungan, maka tidak ada yang bisa membantah bahwa fetus (Latin: 'anak kecil') adalah manusia, dan tunduk pada hak-hak (hukum Allah tentang kemanusiaan) yang selayaknya manusia. Pertama, Alkitab menetapkan bahwa Allah mengenali seseorang bahkan sebelum ia dilahirkan. "Tuhan telah memanggil aku sejak dalam kandungan" (Yesaya 49:1, AYT). Keluaran 21:22-23 menggambarkan situasi ketika seorang pria memukul seorang wanita hamil dan menyebabkan perempuan itu melahirkan sebelum waktunya. Jika "tidak ada luka berat", laki-laki itu diharuskan membayar denda, tetapi jika ada "luka berat" baik pada ibu atau anak, maka laki-laki itu bersalah atas pembunuhan dan diancam hukuman mati. Perintah ini dengan sendirinya melegitimasi kemanusiaan anak yang belum lahir, dan menempatkan anak pada tingkat yang setara dengan laki-laki dewasa yang menyebabkan keguguran. Dukungan Alkitab berlimpah bagi status kemanusiaan seorang anak yang belum lahir. "Sebab Engkau membentuk bagian dalam tubuhku, Engkau menenun aku di dalam rahim ibuku. Aku hendak mengucap syukur kepada-Mu karena aku dibuat dengan dahsyat dan ajaib . . . mata-Mu telah melihat janinku, di dalam kitab-Mu semua tertulis, hari-hari yang akan disusun bagiku, ketika belum ada satu pun darinya" (Mzm. 139:13-16, AYT). Alkitab, pada kenyataannya, menggunakan kata Yunani yang sama untuk menggambarkan Yohanes Pembaptis yang belum lahir (Lukas 1:41,44), bayi Yesus yang baru lahir (Lukas 2:12,16), dan anak-anak kecil yang dibawa kepada Yesus untuk mendapat berkat-Nya (Lukas 18:15).

Mungkin, penyataan Alkitab yang paling gamblang tentang status manusia dari bayi yang belum lahir terdapat dalam Yeremia 20, selama tangisan kesedihan Yeremia saat dia menyesali bahwa dia berharap dia tidak pernah dilahirkan, "Terkutuklah orang yang membawa berita kepada ayahku, yang berkata, 'Seorang bayi laki-laki telah dilahirkan bagimu,' yang membuatnya sangat bahagia ... karena dia tidak membunuhku sejak dalam rahim, sehingga ibuku akan menjadi kuburanku" (Yeremia 20:15-17, AYT).

Dalam ayat-ayat yang disebutkan di atas, dan dalam ayat-ayat lain yang tak terhitung jumlahnya, Alkitab benar-benar mengonfirmasi bahwa seorang anak yang belum lahir di mata Allah adalah sama seperti kita sendiri. Ini menunjukkan bahwa perintah "Jangan Membunuh" (Keluaran 20:13) tentu berlaku untuk yang belum lahir maupun yang sudah lahir. Jadi, ketika kita membaca Kejadian 9:6, realisasi penuh dari apa artinya pembunuhan menjadi fokus, "Siapa pun yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan ditumpahkan oleh manusia. Sebab, Allah menciptakan manusia sesuai dengan rupa-Nya sendiri." Pembunuhan adalah kekejian di hadapan Allah karena itu adalah pembunuhan yang tidak sah terhadap makhluk yang diciptakan menurut gambar-Nya sendiri, dan pengaburan perbedaan pencipta/makhluk (lih. Roma 1).

Kekristenan yang alkitabiah tidak hanya menawarkan penghakiman atas masalah tersebut, dan kemudian menentangnya.

Meskipun pertanyaan tentang kapan kehidupan dimulai penting bagi banyak orang, pertanyaan yang lebih mewakili pandangan hari ini adalah "kualitas hidup seperti apa yang harus dipertahankan?" Apakah janin telah memperoleh kualitas hidup yang layak dipertahankan? Ini adalah pertanyaan yang berbahaya, memang. Siapa di antara kita, yang sudah lahir, yang dapat memutuskan pertanyaan seperti itu? Apakah kita menerapkan pertanyaan ini pada setiap manusia? Apakah janin, atau bahkan bayi dengan Down syndrome memiliki kualitas hidup yang setara dengan kualitas hidup normal? Pertanyaan-pertanyaan ini hanya mengarah pada semacam elitisme genetik, dan bahkan tidak boleh diajukan dengan hati nurani yang baik. Mungkin, ironi terbesar yang ditemui saat menilai mereka yang ingin menjadikan aborsi sebagai masalah keadilan sosial adalah bahwa banyak dari keadilan sosial ditujukan untuk memberikan pertolongan dan keadilan bagi mereka yang tidak mampu berbicara dan berbuat untuk diri mereka sendiri -- mereka yang lemah lembut. Namun, dari mulut yang sama yang mengatakan kita harus melindungi para tunawisma, yang tidak punya uang, hewan dan lingkungan muncul kata-kata yang berbicara tentang membunuh manusia yang belum lahir! Kontradiksi ini tidak boleh diabaikan, jangan sampai kita gagal melihat kekejaman, merendahkan kemanusiaan, dan pelanggaran ketetapan Allah yang benar didukung oleh mereka yang bersembunyi di balik naungan pembelaan-pilihan.

Ibu Teresa, mungkin salah satu pejuang paling terkenal di dunia dari orang-orang kurang mampu mengatakan dalam sebuah pidato baru-baru ini di Washington, "Jika kita menerima bahwa seorang ibu bahkan dapat membunuh anaknya sendiri, bagaimana kita bisa memberitahu orang lain untuk tidak membunuh satu sama lain? ... Setiap negara yang menerima aborsi tidak mengajarkan rakyatnya untuk mencintai, tetapi menggunakan kekerasan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan." Juga, hasil logis dari keinginan untuk "aborsi sesuai permintaan" adalah pembunuhan bayi dan eutanasia -- membunuh bayi yang baru lahir jika memiliki kelainan fisik atau mental, dan membunuh mereka yang dirasa menyusahkan untuk dirawat. Ketika nyawa manusia direndahkan sampai-sampai rahim, simbol ketenangan dan kedamaian, menjadi tempat kematian; bahkan yang sudah lahir akan mulai kurang menghargai kehidupan satu sama lain.

Kekristenan yang alkitabiah tidak hanya menawarkan penghakiman atas masalah tersebut, dan kemudian menentangnya. Tentu saja ada beberapa situasi sulit yang dialami kaum wanita, dan komunitas Kristen menawarkan banyak saluran untuk membantu para wanita ini yang sering tidak mampu memiliki anak, atau yang tidak memiliki situasi yang sangat baik untuk membesarkan anak seperti Bethany Christian Services. Adopsi bayi-bayi ini mungkin yang paling jelas. Alternatif lain adalah sebuah keluarga menyediakan kamar dan pondokan untuk seorang ibu selama dia melahirkan bayinya. Pandangan Kristen adalah bahwa seorang wanita seharusnya tidak pernah membuat pilihan antara bayinya dan dirinya sendiri. Bahkan, ada daftar tunggu orang-orang yang ingin mengadopsi anak penderita Down Syndrome.

Ya, Firman Allah memberi kita pernyataan yang jelas dan dapat dimengerti tentang pandangan Allah mengenai anak yang belum lahir menjadi manusia yang tunduk pada perlindungan hukum kebenaran-Nya. (t/Jing-jing)

Bibliografi

  1. Francis A. Schaeffer dan C. Everett Koop, Whatever Happened To The Human Race?Apa yang Terjadi Pada Ras Manusia?
  2. Peter Barnes, Open Your Mouth For the Dumb, Abortion and the Christian.Buka Mulutmu Untuk Orang Bodoh, Aborsi dan Orang Kristen.
  3. Francis A. Schaeffer, A Christian Manifesto.Sebuah Manifesto Kristen.
  4. Steven A. Carr & Franklin A. Meyer,Celebrate Life, Hope For a Culture Preoccupied With Death. Rayakan Kehidupan, Harapan Akan Budaya yang Disibukkan Dengan Kematian.
Sumber Artikel
Diterjemahkan dari:
Nama situs : Reformed.org
Alamat situs : https://reformed.org/ethics/a-biblical-perspective-on-abortion-by-ed-walsh
Judul asli artikel : A Biblical Perspective on Abortion
Penulis artikel : Ed Walsh

Penulis_artikel
Joel R. Beeke dan Paul M. Smalley
Tanggal_artikel
13-11-23
Isi_artikel

Apa itu Predestinasi?

Doktrin predestinasi adalah ajaran bahwa sebelum penciptaan dunia, Allah memutuskan takdir kekal dari semua makhluk rasional, yaitu semua malaikat dan semua manusia. "Beberapa manusia dan malaikat ditentukan untuk hidup kekal, dan yang lain ditentukan sebelumnya untuk kematian kekal."[1] Pilihan Allah untuk menyelamatkan orang-orang berdosa tertentu melalui anugerah disebut pemilihan, dan pilihan-Nya untuk menyerahkan orang-orang berdosa tertentu pada hukuman yang pantas mereka terima adalah reprobasi. Predestinasi adalah bagian dari ketetapan Allah, dalam tujuan kekal-Nya Dia telah memutuskan semua yang akan terjadi, menetapkan segalanya bagi manifestasi kemuliaan-Nya.

Jika Anda bergumul dengan doktrin ini, Anda tidak sendirian. Seorang pemuda brilian bernama Jonathan Edwards pernah bergumul dengan apa yang kemudian dia pandang sebagai "doktrin yang menakutkan," meskipun dia kemudian menjadi sepenuhnya yakin dengan itu dan mendapati dirinya diliputi oleh keilahian yang melimpah tentang "Raja yang kekal" (1Tim. 1:17). Ada berbagai alasan mengapa orang merasa sulit untuk menerima gagasan bahwa Allah menakdirkan beberapa orang pada surga dan yang lainnya ke neraka. Seperti yang akan kita lihat, masing-masing alasan ini dimulai dengan kebenaran alkitabiah tentang predestinasi dan menarik darinya kesimpulan salah yang mengarah pada pergumulan iman melalui pengalaman.

Spekulasi yang memecah belah dan tidak alkitabiah?

Doktrin predestinasi bukanlah tema sentral dari Alkitab; pusatnya adalah Kristus dan keselamatan melalui pertobatan dan iman di dalam Dia (Luk. 24:44-47; 2Tim. 3:15). Lebih jauh lagi, perdebatan tentang predestinasi terkadang memecah-belah umat Kristen dan bahkan memecah-belah gereja. Oleh karena itu, orang mungkin menyimpulkan bahwa itu adalah doktrin yang sebaiknya dihindari.

Gambar: bersyukur

Orang Kristen mungkin bernalar, kita tidak dapat memahami pertanyaan teologis yang begitu dalam. Mari kita berpegang teguh pada apa yang Alkitab katakan. Orang Kristen harus berhenti berdebat tentang teologi dan memberi tahu dunia tentang Yesus. Penalaran seperti itu membuat orang takut akan predestinasi dan menghindari mempelajari apa yang firman Allah katakan mengenai hal itu.

Raja yang Tidak Peduli?

Doktrin predestinasi menggambarkan Allah sebagai raja absolut yang melakukan apa yang dikehendaki-Nya dalam semua ciptaan (Mzm. 135:6) dan menentukan nasib kekal setiap orang (Rm. 9:22-23). Secara khusus, pemilihan Allah untuk keselamatan sama sekali tidak bergantung pada apa yang dilakukan atau diputuskan oleh orang-orang pilihan (Rm. 9:11). Beberapa orang mungkin berpikir bahwa doktrin ini menyiratkan bahwa Allah tidak peduli dengan manusia atau keadilan. Allah, dikatakan, membuang orang yang tak terhitung jumlahnya ke neraka terlepas dari apakah mereka menjalani kehidupan yang benar atau jahat.

Akibatnya, seseorang mungkin mempertanyakan apakah Allah atas predestinasi adalah Allah yang baik dan penuh kasih. Mengapa Dia tidak memilih untuk menyelamatkan semua orang jika Dia memiliki kuasa untuk melakukannya? Keraguan seperti itu dapat menyebabkan seseorang mengalami kesulitan berdoa kepada Allah atau bersukacita dalam kasih-Nya. Lebih buruk lagi, seseorang mungkin menganggap Allah atas predestinasi lebih seperti iblis daripada Juru Selamat ilahi, dan dengan demikian mungkin menolak Dia.

Fatalisme Tanpa Tempat untuk Pilihan dan Upaya Manusia?

Menurut doktrin predestinasi, adalah kehendak Allah, bukan kehendak manusia, yang mengendalikan segala sesuatu dalam ruang dan waktu (Ul. 4:35; Ef. 1:11), termasuk sejarah individu setiap orang (Kis. 13:48; Rm. 8:30). Orang terkadang menyimpulkan bahwa predestinasi mutlak menyiratkan fatalisme: pilihan kita adalah ilusi, dan upaya kita untuk mengubah diri kita sendiri dan dunia kita adalah sia-sia.

Fatalisme menghancurkan motivasi. Seseorang mungkin berkata, saya tidak perlu bertobat dari dosa-dosa saya dan percaya kepada Kristus. Jika Allah telah menentukan saya untuk keselamatan, maka saya akan diselamatkan terlepas dari apa yang saya lakukan. Demikian pula, mengapa orang percaya harus berjuang melawan dosa dan kerja keras untuk bertumbuh dalam kekudusan, padahal semuanya sudah ditentukan sebelumnya? Orang lain mungkin berpendapat, kita seharusnya tidak memaksakan diri untuk memanggil orang berdosa kepada Kristus. Allah pasti akan menyelamatkan orang-orang pilihan-Nya. Buah beracun dari fatalisme adalah kematian rohani dan kemunduran ke dalam dosa, yang sangat mencemarkan Injil.

Ketidakpastian yang Merongrong Jaminan Keselamatan?

Doktrin predestinasi mengajarkan bahwa setiap orang yang diselamatkan dipilih oleh Allah sebelum dunia dijadikan (Ef. 1:4; 2Tes. 2:13). Orang mungkin menyimpulkan bahwa tidak seorang pun dapat mengetahui dengan pasti apakah dia diselamatkan dan akan masuk surga. Mereka mungkin bernalar sebagai berikut: Hanya orang-orang pilihan Allah yang akan diselamatkan. Keputusan pemilihan Allah tersembunyi dalam kehendak rahasia atau rencana kekal-Nya. Oleh karena itu, tidak mungkin untuk mengetahui apakah Anda diselamatkan, kecuali jika Anda menerima tanda khusus dari Allah.

Akibatnya, beberapa orang Kristen yang percaya pada predestinasi mungkin sangat menderita karena kecemasan akan takdir kekal mereka. Mereka mungkin mencari kepastian dalam pengalaman mistik atau pengejaran kesempurnaan yang legalistik. Atau, mereka mungkin tenggelam dalam keputusasaan.

Betapa mengerikan pergumulan yang bisa dialami orang-orang atas doktrin predestinasi! Namun, setiap pergumulan ini didasarkan pada pemahaman yang salah tentang apa yang Alkitab ajarkan tentang predestinasi Allah atas orang-orang kudus-Nya. Doktrin alkitabiah memelihara kerendahan hati, damai sejahtera, kepastian, dan pengharapan di dalam Kristus. Mari kita kembali ke masing-masing poin ini dan melihat bagaimana hal ini dengan benar.

Predestinasi: Ajaran Utama Alkitab tentang Keselamatan oleh Anugerah Saja

Memang benar bahwa predestinasi bukanlah tema sentral dari Kitab Suci, itu adalah doktrin utama alkitabiah, bukan spekulasi manusia. Kita menemukan referensi untuk predestinasi dan pemilihan untuk keselamatan di seluruh Perjanjian Baru (Mat. 22:14; 24:22, 24, 31; Mrk. 4:11-12; Luk. 10:21-22; 18:7; Yoh. 15:16, 19; Kis. 4:28; 13:48; Rm. 8:29-30, 33; 9:6-23; 11:5, 7, 28; 16:13; 1Kor. 1:27-28; Gal. 1:15; Ef. 1:4-5; Kol. 3:12; 1Tes. 1:4; 2Tes. 2:13; 2Tim. 2:10; Tit. 1:1; Yak. 2:5; 1Ptr. 1:2; 2:9; 2Ptr. 1:10; 2Yoh. 1, 13; Why. 17:14). Roh Kudus tidak malu dengan doktrin ini ketika Ia mengilhami penulisan firman Allah; kita juga tidak perlu malu karenanya.

Predestinasi adalah karakteristik penting dari doktrin keselamatan yang lebih besar oleh anugerah saja (Rm. 11:5-6). Jelaslah bahwa Allah menyelamatkan hanya dengan kuasa, hikmat, dan kebenaran-Nya, bukan manusia. Jika ajaran anugerah yang penuh kasih dan setia saja telah menyakiti hati orang -- dan kita harus bermurah hati dalam menyampaikan doktrin anugerah -- maka kita tidak boleh mundur dari ajaran ini untuk menyenangkan manusia, karena penting untuk menunjukkan bahwa keselamatan adalah demi kemuliaan Allah saja.

Predestinasi oleh Bapa Tuhan kita Yesus Kristus

Predestinasi adalah tindakan kasih Bapa yang tak terbatas, membawa orang luar ke dalam keluarga-Nya selamanya.

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Allah yang menentukan adalah benar-benar Raja yang maha kuasa, tetapi juga Bapa yang pengasih dan adil yang "menetapkan kita dari semula untuk diangkat menjadi anak-anak" (Ef. 1:5, AYT). Predestinasi adalah tindakan kasih Bapa yang tak terbatas, membawa orang luar ke dalam keluarga-Nya selamanya. Pemilihan Allah atas orang-orang berdosa terlepas dari jasa mereka sendiri mengarahkan keselamatan "bagi kepujian kemuliaan anugerah-Nya" (Ef. 1:6, AYT). Akan tetapi, Allah bukan tidak peduli pada keadilan. Jauh dari itu! Karena Ia telah menentukan orang-orang pilihan-Nya untuk diselamatkan "melalui Kristus Yesus" (Ef. 1:5, AYT), yang menuntut agar Kristus memenuhi keadilan-Nya dengan "penebusan melalui darah-Nya" (Ef. 1:7, AYT).

Kita tidak mengerti mengapa Allah memilih beberapa dan bukan yang lain. Namun, Mengapa Allah tidak memilih untuk menyelamatkan semua orang? adalah pertanyaan yang salah untuk ditanyakan. Mengingat pemberontakan manusia yang keji terhadap Penciptanya, kita harus bertanya, mengapa Allah tidak membuang semua orang ke neraka? Fakta yang mencengangkan bukanlah bahwa Allah menghukum orang berdosa ke neraka, tetapi bahwa Ia menyelamatkan dan mendamaikan orang berdosa dengan diri-Nya sendiri. Pemilihan tanpa syarat adalah sahabat -- bukan musuh -- para pendosa, karena tanpanya tidak seorang pun akan diselamatkan. Namun, pada akhirnya, kita harus tunduk pada hak-hak Allah sebagai Pencipta kita. Ketika orang menuduh Allah tidak adil karena predestinasi, Paulus menjawab, "Apakah tukang tembikar tidak memiliki hak atas tanah liat?" (Rm. 9:21, AYT). Sang Pencipta berhak melakukan apa yang dikehendaki-Nya terhadap ciptaan-Nya.

Predestinasi Dilaksanakan melalui Pilihan dan Upaya Manusia

Bagi mereka yang bergumul dengan predestinasi karena mereka berpikir bahwa itu menyiratkan fatalisme, kita mengakui bahwa kehendak Allah mengendalikan semua ciptaan-Nya dan semua tindakan mereka, tetapi juga menegaskan bahwa Allah tidak hanya menentukan tujuan melainkan juga cara untuk mencapai tujuan itu. Paulus berkata, "Allah telah memilih kamu sejak semula untuk diselamatkan melalui pengudusan oleh Roh dan iman dalam kebenaran. Untuk itulah Allah memanggil kamu melalui Injil yang kami beritakan" (2Tes. 2:13, AYT). Cara Allah menyelamatkan orang-orang pilihan-Nya mencakup perbuatan lahiriah memberitakan Injil, dan pekerjaan Roh dalam pikiran, hati, dan kehendak mereka yang mendengar Injil diberitakan.

Jauh dari menghilangkan pilihan dan tindakan manusia dari semua signifikansi, predestinasi menanamkan mereka dengan makna kekal. Paulus memanggil orang-orang percaya untuk "mengerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar. Sebab, Allahlah yang bekerja di dalam kamu, baik untuk mengingini maupun untuk mengerjakan apa yang menyenangkan-Nya" (Flp. 2:12-13, AYT). Kita dapat bersukacita ketika orang berpaling kepada Tuhan, karena kuasa Injil untuk menghasilkan iman, kasih, dan harapan yang bertahan lama menunjukkan "pilihan Allah" mereka (1Tes. 1:3). Setiap langkah ketaatan orang Kristen ditopang oleh tujuan kedaulatan Allah, karena "Ia memilih kita ... supaya kita menjadi kudus" (Ef. 1:4, AYT). Pasukan Anak Domba mengalahkan dunia ini, karena mereka "dipanggil, dipilih, dan setia" (Why. 17:14, AYT).

Predestinasi Menjamin Kepastian Sekarang dan Selamanya

Doktrin predestinasi memang mengajarkan bahwa hanya orang-orang pilihan Allah yang akan diselamatkan. Itu tidak berarti bahwa kita tidak dapat mengetahui dengan pasti apakah kita telah diselamatkan. Sebaliknya, pemberian cuma-cuma Allah dari "segala sesuatu yang berkenaan dengan hidup dan kesalehan, melalui pengetahuan akan Dia [yaitu, Kristus Yesus] yang telah memanggil kita menuju kemuliaan dan kebajikan-Nya" memungkinkan orang percaya untuk "memastikan bahwa kamu benar-benar dipanggil dan dipilih" dengan bertumbuh dalam pengetahuan, iman, dan kekudusan praktis (2Ptr. 1:3-10).

Paulus menjelaskan bahwa predestinasi memulai rantai emas tindakan ilahi yang terikat bersama dalam tujuan Allah: "siapa yang Dia tentukan sejak semula, juga Dia panggil, juga Dia benarkan, dan siapa yang Dia benarkan, juga Dia muliakan" (Rm. 8:30, AYT). Jika Allah telah dengan jelas "memanggil" seseorang melalui Injil dan "membenarkan" dia melalui iman, maka dia dapat yakin bahwa dia akan "dimuliakan" bersama Kristus.

Oleh karena itu, meskipun kita memahami mengapa orang mungkin bergumul dengan doktrin predestinasi, iman yang diterangi Roh dalam doktrin ini menuntun anak-anak Allah untuk menerima janji-janji Allah, mematuhi kehendak Allah, dan bersukacita dalam pengharapan akan kemuliaan Allah melalui Yesus Kristus, Tuhan kita. Untuk alasan ini, kita harus berusaha untuk mengetahui dengan akurat dan jelas semua yang telah Allah ungkapkan tentang kebenaran yang berharga ini dan mengajarkannya kepada orang lain. (t/Jing-Jing)

Catatan:

[1] Pengakuan Iman Westminster, 3.3

Sumber Artikel
Diterjemahkan dari:
Nama situs : Crossway
Alamat situs : https://crossway.org/articles/help-im-struggling-with-the-doctrine-of-predestination
Judul asli artikel : Help! I'm Struggling with the Doctrine of Predestination
Penulis artikel : Joel R. Beeke dan Paul M. Smalley

Audio: Tanda-Tanda Hari Pentakosta

Apakah kita semua memiliki kehendak bebas? Tidak -- tetapi kita adalah agen moral yang bebas. Ada perbedaan besar.

Penulis_artikel
David Murray
Tanggal_artikel
24-05-23
Isi_artikel

Sering kali, ketika dunia luar kita mulai retak, berderit, dan hancur, begitu juga dunia internal kita. Bagi banyak dari kita orang Kristen, kita mulai meragukan kebaikan Allah dan kedaulatan-Nya. Kecemasan, ketakutan, dan kemarahan dapat melemahkan kepercayaan banyak orang percaya kepada Allah, terutama kepercayaan mereka pada kedaulatan Allah. Pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu menghantui banyak dari kita: "Apakah Allah masih memegang kendali? Jika ya, apakah Dia tahu apa yang Dia lakukan?" "Apakah Dia sebaik yang Dia katakan?" Ke mana kita berpaling untuk memperkuat diri kita sendiri dan membuang pertanyaan-pertanyaan menakutkan seperti itu?

Kebesaran Allah yang Luar Biasa

Nabi Yesaya mengarahkan kita pada kedaulatan Allah dalam pasal 40 nubuatannya. Dalam situasi bencana nasional yang serupa, Yesaya mempersiapkan umat Allah untuk menghadapi bencana pembuangan nasional yang akan segera terjadi dengan melipatgandakan gambaran yang menghibur tentang kedaulatan Allah. Mari kita saksikan saat ia menguatkan dunia batiniah umat Allah dengan kuasa kedaulatan Allah yang ditunjukkan-Nya di dunia luar.

Tangan Allah: "Siapakah yang telah menakar air dalam telapak tangan-Nya?" tanya Yesaya dalam ayat 12 (AYT). Ini adalah salah satu dari serangkaian pertanyaan retorik yang mengharapkan jawaban, "Allah kami yang berdaulat." Diperkirakan ada 332.519.000 mil kubik air di planet ini, tetapi Allah kita yang berdaulat memegangnya di telapak tangan-Nya.

Jengkal Allah: "Siapakah yang ... mengukur langit dengan jengkal" (ay. 12, AYT). Rentang tangan manusia yang besar adalah sekitar 8 -- 9 inci (20,32 -- 22,86 cm - Red.). Itu tidak bisa mengukur banyak, bukan? Akan tetapi, Allah dapat mengukur langit hanya dengan rentangan tangan-Nya. Bintang terdekat berjarak empat tahun cahaya. Dengan kata lain, dibutuhkan empat tahun untuk sampai ke sana dengan kecepatan 186.000 mil per jam. Akan tetapi, Allah dapat mengukur bintang terjauh hanya dengan ibu jari dan jari kelingking-Nya.

Gambar:gambar

Cawan Allah: "Siapakah yang ... menghitung debu tanah dengan ukuran?" (ay. 12, AYT). Bisakah Anda mengukur berapa banyak pasir yang ada di pantai? Tentu saja tidak. Kita tidak dapat menemukan wadah yang cukup besar atau cukup kuat. Namun, dapur Allah memiliki gelas ukur yang dapat menampung pasir dari setiap pantai dan setiap gurun di dunia.

Timbangan Allah: "Siapakah yang ... menimbang gunung-gunung dengan timbangan dan bukit-bukit dengan neraca?" (ay. 12, AYT). Pernah mencoba mengangkat batu besar? Namun, Allah dapat mengangkat Pegunungan Alpen, Himalaya, Andes, dan Rockies tanpa kesulitan dengan timbangan-Nya.

Guru Allah: "Siapakah yang menjadi penasihat-Nya dan memberi tahu Dia?" (ay. 13, AYT). Serangkaian pertanyaan yang mengingatkan kita bahwa Allah tidak memiliki atau membutuhkan guru. Allah tidak pernah duduk dengan makhluk ciptaan-Nya dan bertanya, "Jadi, menurutmu apa yang harus Kulakukan?"

Ember Allah: "Sesungguhnya, bangsa-bangsa seperti setitik air dalam ember." (ay. 15, AYT). Kita melihat populasi China, kekuatan militer Rusia, dan ancaman Korea Utara saat negara-negara ini beradu kekuatan dengan negara adidaya AS. Namun, tak satu pun dari mereka merupakan saingan bagi Allah; mereka bahkan bukan tetesan air yang kuat.

Kalkulator Allah: "Semua bangsa seperti bukan apa-apa di hadapan-Nya, mereka dianggap seperti kehampaan dan tidak berarti." (ay. 17, AYT). Meskipun kita melihat angka PDB (Produk Domestik Bruto) di tabel ekonomi dunia, ketika Allah menjumlahkan semua angka triliunan ini, kalkulator-Nya akan memberikan jawaban "kurang dari nol."

Cermin Allah: "Jika demikian, dengan siapakah kamu akan menyamakan Allah? Atau, kesamaan apa yang akan kamu bandingkan dengan Dia?" (ay. 18, AYT). Allah yang membuat manusia melihat semua dewa buatan manusia, lalu melihat diri-Nya sendiri dan berkata, "Benarkah? Itukah yang terbaik yang kamu punya?" Tidak ada persaingan dan tidak ada perbandingan.

Takhta Allah "Dia yang duduk di atas bulatan bumi" (ay. 22, AYT). Cakrawala tampaknya membentang dari tak terhingga ke tak terhingga. Namun, itu hanyalah bangku kecil bagi Allah.

Belalang Allah: "yang penduduknya seperti belalang" (ay. 22, AYT). Kita melihat para presiden, perdana menteri, raja, dan raksasa teknologi sebagai pihak yang sangat kuat. Allah melihat mereka semua dan berkata, "Hanya belalang."

Tirai Allah: "Yang membentangkan langit seperti tirai" (ay. 22, AYT). Setiap malam Allah dengan mudah menurunkan tirai dan membuat dunia tertidur.

Teleskop Allah: "Arahkan pandanganmu ke tempat tinggi dan lihatlah, siapakah yang menciptakan semua itu, yang mengeluarkan benda-benda angkasa menurut jumlahnya, dan memanggil mereka menurut nama mereka dengan kebesaran kekuasaan-Nya dan kekuatan kuasa-Nya tidak ada satu pun dari mereka yang hilang." (ay. 26, AYT). Allah menciptakan, menomori, menamai, dan menopang semua bintang. Hitungan terakhir manusia terdapat sepuluh triliun galaksi, masing-masing berisi seratus miliar bintang. Namun, itu hanyalah perkiraan. Allah mengetahui jumlahnya dengan tepat dan mengetahui semua nama mereka.

Ingat pertanyaan Anda? "Apakah Allah masih memegang kendali? Jika ya, apakah Dia tahu apa yang Dia lakukan?" Sudahkah Yesaya menjawab mereka dengan gambaran visual tentang kedaulatan Allah yang luar biasa? Alih-alih kekacauan, apakah Anda melihat dan merasakan kendali, ketenangan, kenyamanan, dan keberanian? Apakah masa depan terlihat tidak terlalu menakutkan sekarang? Ketika dunia eksternal dan internal kita runtuh, kita harus melihat ke dunia lain untuk menjadi tetap yakin.

Kelembutan Allah yang Luar Biasa

Dia adalah Penguasa dan Gembala yang luar biasa. Dia luar biasa hebat dan sangat lembut. Sungguh, Dia menempatkan kebesaran-Nya yang luar biasa dalam melayani kelembutan-Nya yang luar biasa.

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Namun, Yesaya belum selesai. Dia melukiskan gambaran-gambaran yang luar biasa tentang kebesaran Allah, tetapi dia memperkenalkan semuanya di dalam gambaran besar yang luar biasa tentang kelembutan Allah. "Seperti seorang gembala, Dia akan menggembalakan kawanan-Nya. Dia akan mengumpulkan anak-anak domba dengan lengan-Nya dan membawa mereka di dada-Nya. Dia akan memelihara dan membimbing mereka." (ay. 11, AYT). Dia adalah Penguasa dan Gembala yang luar biasa. Dia luar biasa hebat dan sangat lembut. Sungguh, Dia menempatkan kebesaran-Nya yang luar biasa dalam melayani kelembutan-Nya yang luar biasa. Gembala kita adalah penguasa, dan Penguasa kita adalah gembala. Dia mengangkat dan menyingkirkan para pemimpin, dan Dia mengangkat dan memimpin domba. Pandanglah Allahmu dan alami kenyamanan serta keberanian baru untuk apa pun yang ada di depan. (t/N. Risanti)

Diterjemahkan dari:
Nama situs : Ligonier
Alamat situs : https://ligonier.org/learn/articles/comfort-gods-sovereignty
Judul asli artikel : The Comfort of God's Sovereignty
Penulis artikel : David Murray

Penulis_artikel
Matthew Barrett
Tanggal_artikel
16 Mei 2023
Isi_artikel

Kembali ke masa saya di seminari, keluarga kami tinggal di Louisville, Kentucky. Salah satu keuntungan tinggal di Louisville adalah kesempatan sesekali ke Homemade Pie and Ice Cream, yang memiliki pai paling nikmat di kota itu. Setiap tahun, orang-orang dari seluruh negeri, bahkan dunia, melakukan perjalanan ke Louisville untuk Kentucky Derby (pacuan kuda - Red.) yang terkenal. Sebelum perlombaan, perayaan tidak hanya ditandai dengan topi flamboyan dan minuman mint julep, tetapi juga terjual habisnya pai Derby dari kebanyakan toko-toko roti yang ada.

Saya menikmati pai Derby klasik, tetapi ada satu pai yang saya sukai lebih lagi: pai karamel apel Belanda dari Homemade Pie and Ice Cream yang kerap memenangkan penghargaan. Sejujurnya, karamel pada painya sangat tebal sehingga Anda membutuhkan pisau daging untuk memotongnya. Tapi katakanlah Anda telah menemukan pisau Anda dan Anda mulai membagi pai -- potongan yang cukup besar untuk saya, terima kasih, dan mungkin potongan yang lebih kecil untuk orang lain.

Saya sangat sedih mengungkapkan hal ini, memang seorang teolog selalu mencari ilustrasi yang beragam di mana pun dia dapat menemukannya, tetapi pai karamel apel Belanda adalah ilustrasi yang buruk tentang seperti apa Allah itu. Ya, itu benar-benar buruk. Namun banyak orang berpikir seperti itu tentang atribut-atribut Allah. Sebenarnya, itulah yang membuat saya khawatir untuk menulis tentang atribut-atribut Allah yang berbeda, seolah-olah kita sedang mengiris pai yang diumpamakan sebagai "Allah".

Kesempurnaan Allah tidak seperti pai, seolah kita memotong pai menjadi beberapa potongan yang berbeda: kasih 10 persen, kekudusan 15 persen, kemahakuasaan 7 persen, dan seterusnya. Sayangnya, begitu banyak orang Kristen berbicara tentang Allah hari ini, seolah-olah kasih, kekudusan, dan kemahakuasaan adalah bagian yang berbeda dari Allah, seolah Allah dapat dibagi secara merata sejumlah atribut-atribut-Nya. Beberapa bahkan melakukan lebih jauh, meyakini beberapa atribut lebih penting daripada yang lain. Hal ini paling sering terjadi dengan kasih ilahi, yang menurut beberapa orang adalah atribut yang paling penting, yang mereka sebut sebagai potongan pai paling besar.

Gambar: Tritunggal

Tetapi pendekatan seperti itu sangat bermasalah, karena mengubah Allah menjadi kumpulan atribut. Bahkan terdengar seolah-olah Allah adalah satu hal dan atribut-atribut-Nya adalah hal lain, sesuatu yang ditambahkan kepada-Nya, melekat pada siapa Dia. Pendekatan ini tidak hanya membagi-bagi esensi Allah, tetapi juga berpotensi menimbulkan pertentangan satu bagian dari Allah terhadap bagian yang lain. (Misalnya, mungkinkah kasih-Nya menentang keadilan-Nya?) Terkadang kesalahan ini dapat dimengerti; itu secara tidak sengaja menyelinap ke dalam pembicaraan kita mengenai Allah. Kita mungkin berkata, "Allah memiliki kasih" atau "Allah memiliki semua kuasa." Kita semua mengerti apa yang sedang dikomunikasikan, tetapi terminologinya dapat menyesatkan. Akan jauh lebih baik untuk mengatakan, "Allah adalah kasih" atau "Allah itu mahakuasa." Dengan mengutak-atik terminologi kita, kita melindungi kesatuan esensi Allah. Melakukan hal itu berarti menjaga kesederhanaan Allah.

KESEDERHANAAN DAN KEBIJAKSANAAN TIM A

Kesederhanaan mungkin merupakan konsep yang baru dalam kosakata teologis Anda, tetapi itu adalah salah satu hal yang telah ditekankan oleh mayoritas leluhur Kristen kita selama dua ribu tahun terakhir sejarah gereja, bahkan oleh beberapa bapa gereja paling awal. Dan untuk alasan yang bagus juga. Mari berkonsultasi dengan Agustinus, Anselmus dari Canterbury, dan Thomas Aquinas.

Rupanya, saya bukan satu-satunya yang mengandalkan ilustrasi untuk menunjukkan seperti apa Allah itu. Pada abad kelima, bapa gereja Agustinus melakukan hal yang sama, meskipun itu bukan pai karamel apel Belanda. Sebaliknya, Agustinus mengusulkan cairan, tubuh manusia, dan sinar matahari. Sifat Allah Tritunggal disebut sederhana karena "tidak dapat kehilangan atribut apa pun yang dimilikinya", dan karena "tidak ada perbedaan antara keberadaannya dan apa yang terkandung di dalamnya, seperti misalnya, antara bejana [cawan] dan cairan yang ada di dalamnya, tubuh dan warnanya, atmosfer dan cahaya atau panasnya, jiwa dan kebijaksanaannya." Agustinus menyimpulkan, "Tidak satu pun dari contoh tersebut merupakan apa yang dikandungnya."[1] Sebuah cangkir dan cairan, tubuh dan warnanya, atmosfer dan cahaya atau panasnya, jiwa dan kebijaksanaannya -- apa persamaan dari semua ini? Jawaban: pemisahan.

Akan tetapi, tidak demikian dengan Allah dan atribut-atribut-Nya.

Atribut-atribut Allah tidak berada di luar esensi-Nya, seolah-olah atribut-atribut itu menambahkan kualitas pada diri-Nya yang tidak akan dimiliki-Nya tanpa atribut-atribut tersebut. Bukan berarti seolah-olah ada atribut-atribut yang kebetulan bagi Allah, bisa ditambah atau dikurangi, hilang dan kemudian ditemukan, seolah-olah itu tidak seharusnya ada sejak semula. Sebaliknya, Allah adalah atribut-atribut-Nya. Alih-alih penambahan dan pemisahan, ada kesatuan yang mutlak. Esensi-Nya adalah atribut-atribut-Nya, dan atribut-atribut-Nya adalah esensi-Nya. Atau seperti yang dikatakan Agustinus, "Allah bukannya memiliki atribut tetapi adalah esensi murni. ... Atribut-atribut itu tidak berbeda dari esensi-Nya dan juga tidak berbeda secara materi satu sama lain."[2]

Agustinus tidak sendiri dalam berpendapat seperti itu. Anselmus, contohnya. Jika sesuatu "terdiri dari bagian-bagian," katanya, maka itu tidak bisa menjadi "satu keseluruhan." Setiap kali ada pluralitas bagian, apa yang terdiri dari bagian-bagian itu memiliki kemungkinan untuk hilang. Betapa ini akan menjadi bencana bagi Allah! Sebaliknya, Allah adalah "benar-benar keberadaan yang bersatu," Dia yang "identik dengan" diri-Nya dan "tak terpisahkan." Oleh karenanya, "Hidup dan kebijaksanaan dan [atribut-atribut] lainnya, bukan bagian dari Engkau, tetapi semuanya adalah satu dan masing-masing dari mereka sepenuhnya adalah Engkau dan begitu juga semua atribut yang lain."[3]

Atau pertimbangkan pendapat Thomas Aquinas. Karena Allah tidak memiliki tubuh (seperti kita), Dia "tidak terdiri dari bagian-bagian yang ditambahkan", seolah-olah Dia terdiri dari "bentuk dan materi". Bukan seolah-olah Allah adalah sesuatu yang berbeda dari "sifat-Nya sendiri." Juga bukan karena sifat-Nya adalah hal yang berbeda dari keberadaan-Nya. Kita juga tidak boleh mengira bahwa Allah adalah sejenis zat, zat yang memiliki kebetulan, sifat yang dapat dihilangkan atau tidak ada lagi. "Allah sama sekali bukan suatu campuran. Sebaliknya, Dia sangat sederhana."[4]

KESEMPURNAAN TUNGGAL

Sementara Aquinas menggunakan kata "campuran" dan "komposisi" untuk menjelaskan apa yang bukan Allah, bapa gereja Irenaeus menggunakan kata "majemuk" untuk menjelaskan apa yang bukan Allah. Jika sesuatu digabungkan, itu berarti ia memiliki lebih dari satu bagian, masing-masing bagian terpisah dari yang lain. Sebaliknya, karena Allah sederhana, Allah adalah "Keberadaan yang tidak terbagi", tidak memiliki "anggota" yang berbeda. Dia benar-benar "setara dengan diri-Nya sendiri." Maka, mungkin tepat untuk menempatkan kata "seutuhnya" di depan setiap atribut-Nya untuk menekankan hal ini. "Allah tidak seperti manusia," Ireneus menjelaskan.

Karena Bapa dari segalanya sangat jauh berbeda dari kasih sayang dan keinginan yang ada di antara manusia. Dia adalah Keberadaan yang sederhana dan tidak terbagi, tanpa anggota yang beragam, dan seluruhnya serupa, dan setara dengan diri-Nya sendiri, karena Dia seutuhnya pemahaman, dan seutuhnya roh, dan seutuhnya pikiran, dan seutuhnya kecerdasan, dan seutuhnya penalaran, ... seutuhnya terang, dan sumber sempurna dari semua yang baik.[5]

Dengan tim-A di pihak kita, adalah tepat untuk menyimpulkan bahwa kesederhanaan tidaklah hanya digunakan dalam pernyataan negatif -- Allah tidak memiliki bagian -- tetapi juga dalam pernyataan positif: Allah identik dengan semua keberadaan-Nya dan diri-Nya. Dalam pengertian yang paling murni, Allah adalah satu; Dia adalah kesempurnaan tunggal.

Dalam Kitab Suci, hal ini tidak dapat diterapkan kepada dewa-dewa buatan manusia, dewa-dewa itu terdiri dari bagian-bagian. Mengingat keunikan Allah, maka sudah seharusnya umat Allah bersama-sama mengakui, seperti halnya Israel, bahwa "TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!" (Ul. 6:4, AYT).

SEBERAPA FATALNYA PENOLAKAN AKAN KESEDERHANAAN?

Penolakan terhadap kesederhanaan adalah hal yang fatal -- begitu fatalnya sehingga seorang penulis mengatakan bahwa hal itu "sama saja dengan ateisme."[6] Kedengarannya ekstrem. Namun sampai abad kesembilan belas, sebagian besar orang setuju akan hal ini.

Mengingat keunikan Allah, maka sudah seharusnya umat Allah bersama-sama mengakui, seperti halnya Israel, bahwa "TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!" (Ul. 6:4, AYT).

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Sayangnya, terlalu banyak orang Kristen saat ini yang menganut monopoliteisme (atau personalisme teistik) -- yaitu, kepercayaan bahwa ada satu Allah, tetapi Dia sangat mirip dengan dewa-dewa mitologi, yang memiliki atribut manusia, hanya dalam ukuran yang lebih besar. Namun, jika monopoliteisme benar, maka Allah tidak hanya terdiri dari berbagai bagian atau atribut, tetapi Dia juga akan "secara logika bergantung pada realitas yang lebih komprehensif yang menopang Dia dan makhluk lainnya."[7] Dan jika Allah bergantung pada sesuatu atau orang lain, maka Dia akan kehilangan keilahian-Nya sama sekali, karena apa pun yang Dia andalkan akan menjadi sesuatu yang lebih besar dari segalanya, sesuatu yang lebih komprehensif daripada diri-Nya sendiri. Hal itu sangatlah fatal.

Kesimpulannya, kesederhanaan adalah atribut yang terlalu penting untuk diabaikan. (t/Jing-Jing)

Audio: Salah Satu Atribut Allah yang Terlalu Penting untuk Diabaikan

  1. Augustine, City of God, 11.10. (https://tabletalkmagazine.com/posts/an-attribute-of-god-simply-too-serious-to-ignore-2019-05/#ffn1)
  2. Augustine, Trinity, 6.7. (https://tabletalkmagazine.com/posts/an-attribute-of-god-simply-too-serious-to-ignore-2019-05/#ffn2)
  3. Anselm of Canterbury, Proslogion, 18. (https://tabletalkmagazine.com/posts/an-attribute-of-god-simply-too-serious-to-ignore-2019-05/#ffn3)
  4. Aquinas, Summa Theologiae, 1a.3.7. (https://tabletalkmagazine.com/posts/an-attribute-of-god-simply-too-serious-to-ignore-2019-05/#ffn4)
  5. Irenaeus, Against Heresies, 2.13.3; emphasis added. (https://tabletalkmagazine.com/posts/an-attribute-of-god-simply-too-serious-to-ignore-2019-05/#ffn5)
  6. David Bentley Hart, Experience of God (New Haven, Conn.: Yale University Press, 2014), 128. (https://tabletalkmagazine.com/posts/an-attribute-of-god-simply-too-serious-to-ignore-2019-05/#ffn6)
  7. Hart, Experience of God. (https://tabletalkmagazine.com/posts/an-attribute-of-god-simply-too-serious-to-ignore-2019-05/#ffn7)
Sumber Artikel
Diterjemahkan dari:
Nama situs : Tabletalk Magazine
Alamat situs : https://tabletalkmagazine.com/posts/an-attribute-of-god-simply-too-serious-to-ignore-2019-05
Judul asli artikel : An Attribute of God Simply Too Serious to Ignore
Penulis artikel : Matthew Barrett