Dari Gulungan Perkamen Hingga Penggunaan Layar Gawai: Bagaimana Teknologi Telah Mengubah Pembacaan Alkitab Kita

Penulis_artikel: 
Dr Stephen Holmes
Tanggal_artikel: 
10 Juni 2019
Isi_artikel: 

Cara kita membaca Alkitab berubah, tetapi apakah itu penting, dan jika ya, mengapa? Dr. Stephen Holmes menyelidiki.

Teknologi

Saya memiliki sebuah Alkitab bersampul kulit yang bagus, sebuah pemberian, tetapi di masa kini saya membaca Kitab Suci dari layar jauh lebih sering daripada buku.

Ketika saya melihat ke sekeling keluarga gereja saya pada hari Minggu pagi, saya jauh dari ketidaklaziman dalam hal ini. Kita telah berubah dalam cara melihat lagu-lagu dan himne-himne dari buku menjadi ke layar proyektor; tampaknya kita pun berubah dalam cara kita melihat Kitab Suci dari buku ke layar hp atau tablet. Kita mungkin bertanya apakah ini penting.

Di satu sisi, kita mungkin menyatakan bahwa bukan tentang hal mendasar yaitu kata-katanya adalah sama dari mana pun kita membacanya. Memang benar bahwa kata-kata itu, kurang lebih, adalah sama (saya akan kembali kepada 'kurang lebih' itu), tetapi Allah menciptakan alam semesta secara fisik dan mengatakan bahwa itu adalah baik, dan demikian pula relasi kita dengan itu, dan penggunaannya, benda fisik bukan hanya tidak relevan. Bentuk fisik bisa penting dan demikian pula teknologi yang kita pakai untuk melihat teks Alkitab bisa penting juga. Kata-kata di Kitab Suci adalah, tentu saja, hal yang vital, tetapi kata-kata yang disampaikan dalam bentuk itu memiliki potensi mengubah relasi kita dengan kata-katanya.

Ada cara umum berkaitan dengan hal ini, yang disalahmengerti: kita mudah beranggapan bahwa iPad yang baru adalah 'teknologi', sedangkan buku yang kuno hanyalah biasa, jadi tidak ada bedanya. Tentu saja, ini adalah salah: buku yang dicetak dan dijilid adalah teknologi membaca yang sama baiknya dengan tablet layar sentuh. Kenyataannya, kita telah mengalami perubahan teknologi membaca beberapa kali dalam sejarah gereja Kristen, dan setiap kalinya itu telah mengubah pandangan kita dan cara kita menggunakan Kitab Suci.

Mungkin 2 Timotius 4:13 adalah ayat yang paling jarang dikhotbahkan dari seluruh kumpulan tulisan Paulus.1 "Jika kamu datang, bawalah jubah yang kutinggalkan kepada Karpus di Troas dan juga buku-bukuku, terutama semua perkamen itu." Dua kata yang tidak diterjemahkan menunjuk kepada teknologi membaca. NRSV menuliskan 'juga buku-buku, dan terutama semua perkamen' tetapi ini adalah bahaya yang bisa menyesatkan. Biblion memiliki akar yang berkaitan dengan papirus, namun umumnya penggunaan bahasa Yunani menunjuk ke dokumen apa saja dan semua, bagaimana pun itu ditulis, dan apa pun yang dituliskan. Jadi Paulus - saya tidak menyatakan tentang kepengarangan 2 Timotius, tetapi ayat ini begitu bersifat pribadi sehingga saya terdorong berpendapat bahkan jika sebagain besar dari surat itu adalah karya yang secara keliru dikaitkan dengan nama yang bukan penulis sebenarnya, atau sebuah karya yang oleh penulis sejati dikaitkan dengan sosok tokoh masa lalu, terdapat setitik teks asli di sini - Paulus meminta jubah dan beberapa dokumen yang dia tinggalkan agar dikirim kepadanya - tetapi kemudian menekankan pentingnya dia memiliki membranai di antara dokumen-dokumen itu.

Nah, kata dasar membrana artinya kertas kulit 'perkamen', yaitu materi menulis yang mahal dan tahan lama yang terbuat dari kulit binatang, kebalikan dari materi yang terbuat dari papirus; mungkin karena itulah, Paulus menginginkan buku-bukunya yang bersampul keras terutama karena dia mendapatkannya dengan harga yang lebih mahal. Akan tetapi, ada sebuah pendapat yang bagus bahwa membrana, meskipun aslinya ada di perkamen, biasanya diartikan sebagai sesuatu yang tertulis pada bentuk 'codex', kebalikan dari sesuatu yang ditulis dalam bentuk 'gulungan'. Sebuah gulungan adalah sebuah lembaran papirus atau perkamen panjang yang digulung sehingga bisa dibaca sedikit demi sedikit; sebuah codex adalah kumpulan lembaran papirus atau perkamen (atau bahkan kayu parafin) yang dijadikan satu di ujungnya - atau istilah kita, sebuah buku. Paulus menginginkan semua perpustakaannya dikirimkan, tetapi terutama buku-buku, bukan gulungan-gulungan.

Ini menarik karena nilainya adalah terbalik. Gulungan adalah buku yang bersampul keras pada zaman itu; hal-hal yang penting dituliskan pada gulungan; buku adalah pencatat bagi murid-murid untuk dipraktikkan. Seorang penulis merekomendasikan menyusun sebuah buku, karena materinya dapat ditambahkan ke dalamnya dengan lebih mudah. Akan tetapi, dia bersikeras, ketika pekerjaan itu selesai, maka harus disalin ke sebuah gulungan. Jadi, mengapa Paulus begitu khawatir dengan buku-bukunya?

Ini jadi lebih membingungkan ketika kita menyadari bahwa pilihan pada buku ini berurat akar dalam jemaat mula-mula. Para perintis iman kita membuat pilihan perjumpaan-kultural mengenai pilihan teknologi membaca mereka; dalam sebuah dunia yang menghargai gulungan, mereka memilih buku. Permanent Display koleksi British Library menyimpan banyak benda yang berharga, termasuk Codex Sinaiticus, salah satu naskah Perjanjian Baru paling kuno yang lengkap. Di antara banyaknya hal-hal menakjubkan tentang codex, buku; sesuatu yang benar-benar penting seharusnya adalah sebuah gulungan.

Mengapa jemaat Kristen mula-mula, mulai dari Paulus dan selanjutnya, menghargai buku? Kita bisa memikirkan berbagai argumen: mungkin karena buku lebih murah, atau lebih mudah dibawa-bawa, misalnya. Akan tetapi, Francis Watson berpendapat bahwa itu berkaitan dengan bentuk teknologi membaca buku, codex, yang ditawarkan. Kita tahu bahwa jemaat Kristen mula-mula menyebutkan hal-hal yang Yesus pernah katakan; menyebutkan ayat-ayat di Kitab Suci Ibrani yang kelihatannya merupakan nubuat-nubuat tentang kehidupan Yesus, dan seterusnya. Buku adalah baik untuk daftar-daftar, khususnya, buku adalah baik untuk daftar-daftar jika Anda ingin melihat sedikit demi sedikit dan potongan-potongan, bukan dalam urutan. Sebuah gulungan baik untuk dibaca dari hal 1 sampai ke hal 329; jika Anda ingin membaca hal 2, lalu 312, lalu 154, lalu 83, maka sebuah buku adalah jauh lebih mudah. Demikian juga buku adalah bagus untuk semacam materi yang sebagian besar bernilai bagi jemaat Kristen mula-mula, hal-hal yang mereka katakan mengenai Tuhan. Kita mungkin mengira bahwa Paulus menginginkan buku-bukunya terutama karena berisikan daftar-daftarnya, tautan-tautannya yang sangat penting tentang Yesus.

Entah untuk alasan ini atau yang lainnya, gereja Kristen menerima sebuah bentuk teknologi membaca yang baru, buku (yang tertulis). Hanya dalam beberapa abad kita lupa bahwa selalu ada pilihan, dan buku menjadi satu-satunya bentuk teknologi membaca yang kita semua ketahui. Akan tetapi, buku-buku yang tertulis itu tebal; seluruh Alkitab sayangnya adalah tebal. Jadi kitab-kitab lebih pendek, atau dijadikan beberapa bagian. Ini artinya tidak seorang pun yang memiliki sebuah 'Alkitab'. Sebagian besar orang buta huruf, tentu saja, tetapi seseorang yang bisa membaca, dan yang kebetulan tinggal di suatu tempat dengan sebuah perpustakaan akan mendapati bahwa perpustakaan yang berisikan buku-buku yang sekarang kita sebut 'alkitabiah' dan juga buku-buku lainnya, ditempatkan tanpa pemisahan yang jelas. Sehingga ada sesuatu yang kurang seperti mengembangkan pemahaman tentang apa yang alkitabiah dan apa yang tidak.

Kita bisa melihat bukti akan hal ini dalam karya Hugh of St Victor, Didascalion, sebuah teks standar abad kedua puluh, yang ditulis sebagai sebuah panduan bacaan seni bagi murid-murid pemula. Tiga buku pertamanya wajib dibaca secara umum; tiga buku berikutnya bacaan tentang ayat-ayat Kitab Suci. Daftar Hugh di buku-buku itu yang dianggap sebagai ayat-ayat Kitab suci adalah mengagumkan, tidak termasuk buku-buku seperti Wisdom, Tobit, Judith, dan Makabe, tetapi meliputi hampir semua bapa gereja sampai ke Augustine di abad keempat dan seterusnya. Dia memasukkan Origen, dengan sedikit tanda tanya; untuk beberapa alasan dia secara khusus mengeluarkan Shepherd of Hermas. Akan tetapi, sebagian besar tulisan-tulisan Kristen, bagi Hugh, adalah Kitab Suci, sama seperti Roma dan Yohanes adalah Kitab Suci.

Scroll

Disebutkannya Makabe dan seterusnya mungkin memunculkan pertanyaan yang terkadang diajukan murid-murid ketika mempelajari Reformasi: apa kanon Perjanjian Lama sebelum abad keenam belas, daftar Roma - dengan Makabe, kesimpulan- atau daftar Reformasi, tanpa mereka? Jawaban yang paling jujur dalam sejarah adalah itu tidak ditetapkan; tidak ada keputusan kanonikal di gereja Barat. (Gereja Yunani membuat keputusan untuk Septuaginta, terjemahan bahasa Yunani untuk beberapa teks bahasa Ibrani, sehingga memiliki sebuah daftar.) Terdapat sebuah kanon Yahudi, yang nantinya diadopsi oleh kaum Reformasi, tetapi gereja Kristen Barat tidak membuat keputusan formal. Yang menarik, kanon Yahudi, kelihatannya, ditetapkan dengan teknologi-teknologi membaca: pemahaman terbaik kita mengenai asal mula kanon Yahudi berdasarkan model penyimpanan gulungan-gulungan. Buku-buku yang dimasukkan sebagai kanon disimpan di rak yang berbeda, atau di ruangan yang berbeda, di perpustakaan bait suci atau sinagoge. Kanonisasi merupakan sebuah konsep bergantung, di bawah Allah, bagian dari pengaturan mode teknologi membaca.

Apa komitmen Reformasi untuk sola scriptura? Terlalu sering itu membicarakan sesuatu yang seolah-olah baru, tetapi sola scriptura adalah sebuah doktrin abad ketiga belas, yang dikembangkan oleh para ahli teologi Katolik, sebagian untuk menyatakan posisi mereka menentang para pembela kanon. Pembacaan Kitab Suci Reformed sama sekali berbeda dari apa yang telah ada sebelumnya, tetapi bukan karena adanya sebuah komitmen pada otoritas Kitab suci, atau karena komitmen pada satu-satunya otoritas Kitab Suci. Para ahli sejarah berbicara tentang komitmen Reformed pada 'hermeneutika humanistik'.

Ini adalah sebuah tindakan membaca keseluruhan buku dalam bahasa asli mereka, daripada berfokus pada satu kalimat demi satu kalimat, seringkali cukup dalam terjemahan. Perubahan lain dalam teknologi membaca adalah bagian yang signifikan dari hal ini. Ketika orang-orang hanya memiliki buku-buku yang tertulis, dan sedikit jumlahnya, maka tidaklah mengejutkan bahwa mereka berfokus pada kalimat-kalimat tertentu. (kita tahu bahwa bahkan para ahli terbesar di abad pertengahan mengakses penulis-penulis kuno melalui daftar kalimat-kalimat yang signifikan). Ketika buku-buku cetak tersedia maka itu memungkinkan kita dan mendorong kita untuk membaca teks seluruhnya.

Hugh menulis sekitar tiga abad sebelum Reformasi; jika kita melihat seabad seblumnya atau lebih, pertanyaan tentang kanon, yang bagi Hugh adalah berubah-ubah, telah menjadi tetap. Saya mengajarkan tentang pertanyaan-pertanyaan mengenai Kitab Suci dan interpretasi sebagai bagian dari perayaan 400 gerakan Baptis beberapa waktu yang lalu di Oxford. Kemudian seseorang bertanya apakah ada orang Baptis pada zaman dulu yang bertanya tentang kanon, yang meragukan apakah kitab-kitab di dalam Alkitab itu benar? Saya tidak tahu (dan belum menemukan sejak itu) apakah ada sebuah contoh, dan demikian juga tidak seorang pun yang lain di ruangan ini yang tahu. Kaum Baptist itu meniadakan hubungan negara-gereja, menolak bentuk pemerintahan gereja yang ada, mengabaikan rangkaian liturgi, bahkan membunuh seorang raja; mereka menantang dan mempertanyakan segala hal - mengapa mereka tidak mempertanyakan kanon juga?

Jawabannya sekali lagi terletak pada teknologi membaca. Di perpustakaan Hugh di St Victor semua buku alkitabiah dan belasan buku lainnya ditempatkan di rak yang sama; tidak ada batasan yang jelas yang memisahkan satu dengan yang lainnya. Kaum Baptis awal memiliki buku-buku cetak dengan sampul kulit hitam dengan dicap 'Kitab Suci' di lapisannya yang berkilat. Bahkan jika mereka mencoba untuk mempertanyakan segala hal, mereka terkalahkan oleh tersedianya buku yang dijilid itu. Penemuan mesin cetak menjadikan 'Alkitab' benda yang mungkin, dan setelah itu ada, maka tidak bisa diragukan. Lebih dari sekitar dua abad, pertanyaan seputar kanon telah berubah dari yang tidak terbayangkan menjadi dapat dibayangkan.

Bagi orang-orang di antara kita yang tumbuh besar dengan Alkitab yang dicetak tahu apa itu 'sebuah Alkitab'; isinya adalah tetap dan pasti. Dan, isinya yang tetap itu - sebuah produk, pemberitahuan, tentang teknologi membaca yang baru - mengubah cara kita berhubungan dengan teks lagi. Dalam Sejarah Kekristenan modern, ada bagian dari sejarah perdebatan terhadap hal-hal kecil tentang inspirasi Alkitab: di Eropa pada abad ketujuh belas muncul sebuah perdebatan mengenai titik-titik huruf hidup bahasa Ibrani. (Bahasa Ibrani ditulis tanpa ada huruf hidup, dan pada beberapa kasus pilihan huruf hidup dapat mengubah arti agak signifikan; lama setelah teks Alkitab bahasa Ibrani ditulis, ahli-ahli Farisi Yahudi yang disebut Kaum Masoret mengembangkan sebuah sistem tanda-tanda untuk menunjukkan huruf-huruf hidup mana yang seharusnya dimasukkan, dan pertanyaan pun diajukan, apakah ini diinspirasi oleh Allah atau bukan? Pada abad kesembilan belas seorang Skot yang eksentrik dalam pengasingan di Geneva mengembangkan sebuah teori tentang pleno inspirasi verbal, yang berpendapat bahwa setiap kata diinspirasikan; pada abad kedua puluh beberapa orang di USA sampai pada pandangan bahwa Allah menginspirasi satu terjemahan hanya dalam sebuah bahasa yang diberikan, sehingga orang-orang yang menggunakan bahasa Inggris harus membaca King James Bible saja. Pada setiap kasus, pertanyaan-pertanyaannya hanya dapat dibayangkan karena cetakan memungkinkan adanya teks yang pasti.

Saya memiliki sebuah teori bahwa fundamentalisme yang benar bergantung pada mesin cetak. Sikap seorang fundamentalis terhadap Kitab Suci, adalah, bergantung pada teks tertulis yang tetap; jika setiap Alkitab (atau Quran, atau apa pun) sedikit berbeda, pembaca bisa menjadi marah, susah, dan berbahaya dengan mengetahui beberapa arahan yang berbeda, tetapi mereka tidak akan pernah menjadi seorang fundamentalis; posisi tertentu itu tidak dimungkinkan jika teksnya tidak stabil. Akan tetapi, Alkitab Elektronik di-update secara teratur, membetulkan yang salah, atau mengembangkan versi, sehingga mereka tidak stabil. Steve Jobs mungkin belum mengetahui telah membunuh fundamentalisme Amerika!

Bagaimana perubahan ke teks elektronik akan mengubah sikap kita terhadap Kitab Suci? Saya kira, pertama, kita akan dipaksa untuk belajar lagi semangat dari teksnya. Seorang teman saya, seorang pendeta Presbiterian di Highlands, memiliki kebiasaan membaca dari aplikasi Alkitabnya saat dia memimpin ibadah; gerejanya memakai NIV. Dia memberitahu saya baru-baru ini tentang kengeriannya saat dia mulai membaca di gereja dan menyadari kata-katanya telah berubah - aplikasinya diam-diam telah di-update dari NIV 1984 ke NIV 2011. Dan, jika itu tampak seperti hal yang kecil, ingatlah bahwa ini adalah update ke versi bahasa gender-inklusif, sesuatu yang tidak selalu diketahui oleh gereja-gereja konservatif Preabyterian di Highlands supaya bisa ditoleransi.

semua teknologi membaca kita yang beragam memiliki keterbatasan, dan kita selalu memodifikasi dan mengembangkan teknologi untuk berusaha mengatasi keterbatasan-keterbatasan itu.

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Akan tetapi, berbicara tentang 'NIV 1984' dan 'NIV 2011' masih ada dalam teknologi mesin cetak; sebuah versi elektronik bisa di-update setiap minggu atau setiap hari. Sebuah Alkitab yang benar-benar digital dapat menerima semua kemajuan dalam ilmu pengetahuan tekstual pada hari itu dibuat, atau dapat mengulas dan meng-update satu buku setiap bulan. Sebuah teks secara aslinya akan ada dalam sebuah keadaan yang berubah terus-menerus - sama tidak stabilnya dengan salinan teks yang semua orang dalam dunia Kristen lakukan sebelum abad kelima belas. Dan mengapa tetap dengan NIV? Aplikasi laptop saya bisa memiliki beberapa jendela yang dibuka sekaligus - saya sering membuka terjemahan bahasa Inggris, bahasa Yunani atau Ibrani asli, sebuah tafsiran, dan leksikon Yunani/Ibrani di depan saya. Saya bisa segera melihat variasi dan terjemahan-terjemahan yang diperdebatkan. Kesulitan-kesulitan tekstual tidak bisa lagi disembunyikan oleh suatu pernyataan yang mensahkan penerbitan sebuah buku oleh komite editorial; kerapian buatan yang dipaksakan melalui teknologi membaca buku itu akan hilang; dan kita akan tahu sekali lagi rapuhnya Firman yang menghidupkan dengan perbedaan-perbedaan bacaan dan adalah sulit-untuk-menerjemahkan kalimat-kalimat.

Tentu saja, kembali ke menggunakan layar akan membuatnya jadi lebih sulit untuk menandai Kitab Suci; di gereja lokal saya seorang anggota dari tim pengkhotbah tertentu akan sering mengajak kita untuk dengan cepat beralih ke teks ini lalu ke teks itu; semua mahasiswa kami duduk di sana, jari jempol mereka bergerak dengan sangat cepat, saat mereka berusaha untuk tetap mengikuti pergerakan di layar. Ini merupakan sebuah kerugian, mungkin: Paulus terutama menginginkan membranai, buku-bukunya karena menggunakan gulungan adalah berat. Apakah ini sebuah argumen untuk menolak perubahan teknologi, untuk tetap pada buku? Bukan; semua teknologi membaca kita yang beragam memiliki keterbatasan, dan kita selalu memodifikasi dan mengembangkan teknologi untuk berusaha mengatasi keterbatasan-keterbatasan itu.

Kaum Masoret memberi angka dan tanda pada gulungan-gulungan mereka, yang menunjukkan berapa jauh kita sedang ada di buku, berapa banyak kata, bahkan huruf, telah dilewati dan berapa banyak yang akan datang. Ketika kita beralih ke buku, kita segera memiliki tabel korespondensi, daftar isi, lalu jumlah pasal dan jumlah ayat dan konkordansi untuk membantu kita membaca buku. Kita membuat/melakukan pemberian tanda-tanda baca. Dan catatan-catatan kaki. Dan sistem lintas-referensi. Dan pita, dimasukkan ke dalam punggung buku sehingga kita bisa membuat beberapa tempat terbuka sekaligus. Kita membuat konkordansi, dan sinopsis. Kita memodifikasi untuk membuat Alkitab kita lebih menarik tanpa henti untuk membuat mereka menjadi mesin yang berkadar oktan tinggi.

Saya membaca dari layar karena bagi saya, dengan memakai aplikasi yang saya gunakan (yang sangat bagus; membuat universitas saya membayar dengan mahal) keuntungannya lebih banyak daripada kerugiannya. Terdapat kelemahan, ya, tetapi aplikasi akan diperbarui minggu depan, dan akan mengatasi beberapa kelemahannya. Cara itu update, teknologi baru, akan membentuk keterlibatan saya dengan Kitab Suci-sama seperti buku cetak yang saya beli ketika baru saja diganti di akhir tahun 1980-an, dan sama seperti gulungan dan codex yang Paulus baca dan pelajari dengan teliti. (t/Jing-Jing)

Audio: Dari Gulungan Perkamen Hingga Penggunaan Layar Gawai

Sumber Artikel: 
Diterjemahkan dari:
Nama situs : Bible Society.org
URL : https://www.biblesociety.org.uk/explore-the-bible/bible-articles/from-scrolls-to-scrolling-how-technology-has-shaped-our-bible-reading/
Judul asli artikel : From scrolls to scrolling: how technology has shaped our Bible reading
Penulis artikel : Dr Stephen Holmes

Komentar