Tentang KamiArtikel TerbaruUpdate Terakhir |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SOTeRI Mengejar KebahagiaanPenulis_artikel:
Ken Myers
Tanggal_artikel:
6 Mei 2019
Isi_artikel:
Mengejar KebahagiaanKetika Thomas Jefferson memilih frasa “mengejar kebahagiaan” untuk menggambarkan salah satu hak manusia yang tidak dapat diambil orang lain, dia mengambil ide yang memiliki sejarah yang sangat panjang. Sejak zaman Aristoteles dan sebelumnya, kebahagiaan dipahami sebagai suatu kondisi yang pantas diinginkan oleh semua orang. Akan tetapi, bagi orang Yunani, dan juga para penulis Alkitab, kebahagiaan adalah realitas obyektif, bukan hanya perasaan atau keadaan emosional. Frasa “apa pun yang membuat Anda bahagia,” begitu umum diucapkan hari ini, akan menjadi omong kosong bagi orang Ibrani, Yunani, dan Kristen juga, karena itu menyatakan tidak ada urutan moral yang tetap yang di dalamnya terletak kebahagiaan. Kebahagiaan kira-kira sama dengan gagasan dalam Alkitab tentang “diberkati”. Dalam etika klasik dan pertengahan orang Kristen, kebahagiaan menunjuk kepada keadaan kemajuan atau kesejahteraan manusia yang berkaitan dengan hidup seseorang, yang memiliki kebaikan yang paling sejati. Tindakan, pikiran, keinginan, dan ambisi haruslah diperintah dalam kaitan dengan tujuan akhir yang tepat dari umat manusia bagi seseorang untuk benar-benar bahagia. Oleh karena itu, kebahagiaan bersifat etis, bukan proyek psikologis. Untuk mengejar kebahagiaan berarti mengejar seluruh tujuan keberadaan seseorang, tetapi itu berarti mengenali bahwa keinginan seseorang dan tindakan seseorang membutuhkan koreksi. Itu berarti menilai fakta bahwa manusia tidak secara naluri mengejar kebaikan yang paling sejati, bahwa beberapa kenikmatan yang sangat menarik tidak benar-benar selaras dengan bentuk luar natur kita yang paling esensial. Menurut istilah orang Kristen, mengejar kebahagiaan berarti mengakui bahwa Allah telah menciptakan kita untuk bertumbuh dalam konteks menaati Dia sehingga natur gambar dan rupa yang kita sandang bisa memperlihatkan kemuliaan-Nya. Karena dosa kita dan sifat melawan kita yang menjauhkan kita dari identitas kita yang terdalam dan paling sejati, maka pengejaran kebahagiaan hanya dimungkinkan oleh adanya anugerah, karena dengan kekuatan sendiri kita tidak mungkin bisa menolak dampak kerusakan akibat dosa dalam hidup kita. Jadi, kebahagiaan berdasarkan catatan sejarah ini sebenarnya adalah terjadinya kepuasan, pertumbuhan dalam ketaatan yang kudus. Formulasi ini tidak diragukan akan terlihat sebagai kejutan bagi sebagian besar orang pada masa kita saat ini, mungkin bahkan bagi banyak orang Kristen, meskipun mungkin itu disebabkan oleh anggukan penegasan dari sebagian besar ahli filsafat pagan. Bagaimana kemudian sebuah negara yang seringkali dianggap Kristen, sebuah negara yang juga terobsesi untuk mengejar kebahagiaan, mendapatkan pemahaman anti-Kristen seperti itu tentang apa artinya menjadi bahagia? Bagian dari jawabannya berkaitan erat dengan inovasi radikal dalam pemikiran etis yang memberi pengaruh selama abad ke-18, budaya Pencerahan ketika Jefferson hidup. Pada zaman itulah ketika para ahli filsafat membuang gagasan tentang natur manusia yang esensial yang mendefinisikan tujuan manusia. Pada satu sisi, itu adalah ditinggalkannya gagasan tentang dosa, karena para pemikir Pencerahan ini agak senang berbicara tentang (menurut kata-kata Alasdair MacIntyre) “natur manusia yang tidak tidak berbudaya, secara apa adanya,” dan mendasarkan pemahaman mereka tentang etika dan politik pada sebuah gambaran tentang natur manusia yang pada dasarnya tidak berpengalaman. Ini adalah zaman ketika kebebasan individu menjadi kebaikan yang paling tinggi, bagi individu maupun masyarakat. Filosofi pada zaman itu ketika bangsa kita didirikan berkomitmen pada gagasan tentang individu sebagai yang berdaulat dalam otoritas moralnya (lihat MacIntyre, After Virtue, hal. 62). Dalam konteks seperti itu, gagasan mulia dari mengejar kebahagiaan mendapatkan arti yang benar-benar baru. Kebahagiaan kemudian dimengerti sebagai apa pun yang dipahami oleh setiap individu. Karena tidak lagi didefinisikan secara obyektif dalam hubungannya dengan tujuan yang pasti untuk natur manusia, mengejar kebahagiaan pun segera diartikan dengan mengejar kenikmatan, pencarian kesenangan tak henti-hentinya, untuk keadaan emosional kebahagiaan yang tidak dipikirkan sama sekali. Dan, keadaan ini tidak perlu berkaitan dengan pilihan etis yang dibuat oleh seseorang, dengan cara seseorang menjalani kehidupannya. Bahkan, banyak orang Amerika yang tampaknya mengejar kebahagiaan semacam ini dengan cara melakukan pilihan etis yang buruk: berzinah, tidak menghormati orang tua, membunuh anak-anak mereka yang belum terlahir, menyalahgunakan tubuh mereka sendiri. Ketika kebahagiaan hanya menjadi sebuah suasana hati, mempertahankannya adalah kebaikan yang paling sejati, maka aturan cenderung dilanggar, seperti telur dalam telur dadar Lenin. Pada abad ke-20, ditambah dengan meningkatnya media massa dan bentuk hiburan yang ada di mana-mana, mengejar kebahagiaan sebagai kesenangan menjadi dirasakan sebagai semacam perintah moral yang penting sekali. Menulis pada pertengahan tahun 1950-an, ahli psikologi Martha Wolfenstein memperhatikan munculnya apa yang disebutnya sebagai “moralitas bersenang-senang,” sebuah etika yang menggantikan moralitas kebaikan gaya-lama “yang menekankan campur tangan dengan apa yang menggerakkan hati. Tidak bersenang-senang berarti waktunya untuk memeriksa diri sendiri: 'Apa yang salah pada diri saya?' …. Sedangkan kepuasan dari gerak hati yang dilarang biasanya menimbulkan rasa bersalah, gagal untuk bersenang-senang sekarang menurunkan harga diri seseorang.” Bukan hanya kebahagiaan sekarang dilepaskan dari tujuan obyektif manusia dan diidentifikasi secara tidak tepat dari kenikmatan seseorang, kenikmatan dianggap sebagai sumber kebahagiaan yang paling sepele dan berlalu dengan sangat cepat. Menuruti perintah moralitas bersenang-senang membuat konsumsi hiburan secara pasif semakin menjadi jalan yang masuk akal menuju kebahagiaan daripada yang kenikmatan yang tidak kentara, dan kesenangan yang lebih menuntut seperti belajar memainkan biola, mencintai kesusasteraan, atau mengelola taman yang indah. Saat itu terjadi, anggapan yang menonjol bahwa kebahagiaan adalah sebuah proyek yang dibuat berdasarkan pesanan dengan hasil instan yang diharapkan, tampaknya tidak membuat sebagian besar orang lebih bahagia. Di dalam sebuah esai baru-baru ini yang berjudul The Pursuit of Emptiness, (Mengejar Kehampaan - Red.) John Perry Barlow mengamati: Dari banyaknya teman-teman dan kenalan saya yang mengonsumsi Prozac (nama dagang dari obat fluoxetine, digunakan sebagai antidepresi atau untuk mengatasi depresi - Red.), saya tidak pernah mendengar seorang pun dari mereka yang menyatakan jika obat-obatan ini membuat mereka lebih dekat dengan kebahagiaan yang sesungguhnya. Melainkan, mereka berbisik dengan rasa terima kasih yang tidak bergairah, anti depresi telah mendorong mereka ke jurang yang dalam sekali. Mereka bukan sedang mengejar kebahagiaan. Mereka sedang bunuh diri.” Barlow melaporkan tentang sebuah ekperimen yang mencari senyuman dalam wajah orang-orang yang ada di dalam “supermarket organik mewah” di San Francisco tempat dia sering berbelanja. Dalam 11 bulan, melihat ribuan wajah, “hampir semua di antara mereka sehat, cantik, dan memiliki penampilan yang sangat rapi,” dia menghitung 7 senyuman, 3 di antaranya dia menilai tidak tulus. Malahan, di supermarket-supermarket dan di mana-mana, dia melihat karakeristik “ekspresi dari kegelisahan-diri sendiri (yang) telah menjadi hampir semua topeng universal.” Berusaha untuk menemukan kebahagiaan menurut pemahaman kita sendiri, daripada menurut Pencipta kita yang sudah dibangun di dalam natur kita, adalah usaha yang melelahkan dan mengecewakan. Carl Elliott, penulis buku Better than Well, dengan cerdas mendokumentasikan berapa banyak orang Amerika yang memakai berbagai “tingginya teknologi” dalam upaya untuk merasa lebih baik tentang diri mereka sendiri (yang mungkin merupakan definisi kebahagiaan bagi banyak orang saat ini). Elliot merasakan bahwa proyek orang Amerika untuk mengejar kebahagiaan telah menjadi begitu menyedihkan sehingga sekarang tampaknya membutuhkan “bukan hanya saya mengejar kebahagiaan, tetapi saya mengejarnya dengan agresif, memakukannya ke alam bawah sadar, dan mengikatnya kencang-kencang di ruang bawah tanah saya.” Lamanya orang-orang menahan kebahagiaan itu mengherankan: obat-obatan yang mereka konsumsi; fantasi yang terus mereka pertahankan; uang yang mereka keluarkan; relasi yang mereka racuni. Ada sesuatu dari serangan balasan terhadap pencari-kebahagiaan yang militan ini, rezim keren yang tak berbelas kasihan ini. Pada awal tahun ini, manifesto lemah dari Eric Wilson, Against Happiness: In Praise of Melancholy, disambut dengan simpati orang banyak. Wilson mempertanyakan nilai dari berjuang untuk pukulan yang terus-menerus, mengingatkan para pembaca bahwa terkadang adalah agak sehat secara emosional untuk menanggapi tragedi-tragedi dalam kehidupan dengan perasaan yang lebih suram. Buku-buku lain baru-baru ini mempertanyakan kecenderungan untuk memperlakukan kesedihan sebagai sakit mental. Protes-protes ini baik-baik saja selama ini, tetapi mereka masih menganggap bahwa kebahagiaan adalah keadaan yang subyektif. Penemuan kembali akan visi yang lebih kaya mengenai kebahagiaan manusia adalah sebuah proyek yang untuk itu orang Kristen secara unik ditempatkan. Kita percaya, tidak sama seperti orang-orang di zaman sekarang, bahwa kita diciptakan untuk bersuka dalam pengenalan akan Allah dan mengasihi Allah, untuk mendapatkan kepenuhan kita sebagai ciptaan hanya ketika kita berjalan di dalam jalan-Nya. Juga, mengetahui bahwa kita hidup di dalam dunia yang dirusak oleh dosa, kita menyadari bahwa berkat yang sesungguhnya akan seringkali, sampai Kristus datang kembali, mencakup penderitaan, penganiayaan, dan pengorbanan. Kebahagiaan kita bukanlah sebuah hak, tetapi pemberian dari Dia yang pernah mengalami kesengsaraan dan kedukaan. Yang jelas kita ketahui, Yesus tidak pernah bertanya kepada para murid: “Apakah kita bersenang-senang?” Tetapi Dia mengajar mereka bahwa hamba-hamba yang setia akan masuk ke dalam kebahagiaan tuan mereka. Kebahagiaan adalah buah dari menyelaraskan hidup kita dengan tujuan Allah bagi kita. “Jika kamu menaati semua perintah-Ku,” Yesus berjanji, “kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, sama seperti Aku telah menaati perintah Bapa dan tinggal di dalam kasih-Nya. Hal-hal ini Aku katakan kepadamu supaya sukacita-Ku ada di dalammu, sehingga sukacitamu menjadi penuh” (Yohanes 15:10–11). Mengejar kesetiaan dengan sungguh seperti itu, bukan berfokus pada kesenangan, merupakan jalan yang sesungguhnya menuju kebahagiaan manusia. (t/Jing-Jing)
Komentar |
Publikasi e-Reformed |