Apakah Teologia Reformed Saya Sakit?

Penulis_artikel: 
Marshall Segal
Tanggal_artikel: 
02 Oktober 2018
Isi_artikel: 
Ujian Terbaik untuk Integritas Rohani

Kita tidak akan mengalami kehidupan dan harapan dan kebahagiaan yang sesungguhnya tanpa teologia yang baik. Akan tetapi, karena hati kita yang menyimpang, kita sering mencintai apa yang kita pelajari tentang Allah lebih daripada kita mencintai Allah itu sendiri. Kita sering lebih banyak tahu tentang Dia tanpa mengenal dan menikmati Dia dengan lebih baik. Dengan mudahnya terjadi putus hubungan antara kepala dan hati kita, dan jika dibiarkan tanpa diperiksa, itu bisa semakin parah saat kita semakin banyak tahu dan belajar.

Bertambah pengetahuan tentang Allah – lebih banyak teologia – bisa memenuhi iman kita dengan kasih sayang dan pengabdian dan rasa takjub yang lebih besar. Karena itu, teologia tidak ternilai. Akan tetapi, ketika kesombongan dan ketamakan dan rasa takut mengendalikan pengetahuan, pengetahuan yang sama itu bisa membutakan dan menyuramkan dan menggembungkan kita (1 Korintus 8:1). Bukannya lebih memahami Yesus, lebih mengenal akan Dia, teologia yang digunakan secara berdosa, membuat kita ingin menyaksikan hal yang lain. Kita mengganti saluran hati kita. Biasanya ke sesuatu yang lebih tentang kita, sesuatu yang membuat kita sedikit lebih mencintai diri kita sendiri. Karena itu, teologia juga bisa berbahaya.

Kita harus memberikan setiap hari yang kita miliki di bumi untuk lebih mengenal Allah yang besar, berdaulat, dan mulia – untuk mempelajari teologia yang baik. Dan, segala sesuatu yang kita pelajari seharusnya membuat kita lebih rendah hati dan lebih mengasihi Dia.

Ujian Terbaik

Jika lebih banyak mempelajari tentang Allah menjadikan kita kurang berdoa, maka mungkin kita membaca dan belajar dan tahu, tetapi tidak dengan hati kita. Apakah pengetahuan akan Allah yang lebih besar – lebih banyak khotbah, lebih banyak buku, lebih banyak podcast, lebih banyak kelas – membuat Anda lebih banyak berdoa?

Mungkin, ujian paling pasti tentang apakah teologia kita penuh ataukah kosong adalah apakah itu menghasilkan keintiman dengan Allah dalam doa yang lebih dalam. Tidak ada yang perlu mengoreksi Yesus dalam apa pun tentang pengenalan-Nya akan Allah, tetapi itu tidak menghilangkan kebutuhan-Nya atau keinginan-Nya untuk berdoa. Markus menulis, “Pagi-pagi benar, ketika hari masih gelap, Yesus bangun dan pergi ke sebuah tempat yang sunyi, lalu Ia berdoa di sana” (Markus 1:35). Dia berdoa dengan semakin bergairah, bukan kurang atau malah sambil lalu.

Tim Keller berkata, "ujian yang sempurna untuk integritas rohani, kata Yesus, adalah kehidupan doa pribadi Anda. Banyak orang akan berdoa ketika mereka dituntut secara budaya atau sosial, atau mungkin karena takut dengan keadaan yang mengganggu. Mereka yang sungguh-sungguh menjalani relasi dengan Allah sebagai Bapa, bagaimanapun, di dalam dirinya akan ingin berdoa dan karena itu akan berdoa meskipun tidak ada apa pun dari luar dirinya yang memaksanya untuk melakukannya." (Doa)

Semakin kita mengenal dan mencintai Allah ini, semakin kita menyapih diri kita sendiri dari dunia ini dan pusat hati kita, ambisi kita, dan mendambakan Dia. Semakin banyak waktu dan tenaga yang kita pakai untuk mendengar dan melihat Dia. Semakin banyak kita berdoa.

Apa yang Anda ketahui tentang Allah yang membuat Anda lebih dekat kepada-Nya?

Mata Hati Anda

Jika kita mulai merasakan putusnya hubungan antara kepala kita dan hati kita – antara pembelajaran kita dan doa kita – solusinya bukan sekadar lebih banyak pengetahuan. Lebih banyak membaca. Lebih banyak mengikuti kelas. Lebih banyak definisi dan penjelasan dari Google. Pengetahuan tentang Allah adalah penting, tetapi itu bukan kunci untuk membangkitkan hati kita. Allah sendirilah yang melakukan itu. Pengetahuan saja tidak membuka mata dan telinga kita, tetapi dengan mengenal Allah.

Rasul Paulus berdoa, "aku tidak henti-hentinya mengucap syukur untukmu saat aku mengingat kamu dalam doa-doaku. Aku berdoa agar Allah dari Tuhan kita, Kristus Yesus, Bapa dari kemuliaan, memberimu roh hikmat dan penyataan dalam pengetahuan akan Dia. Aku berdoa supaya mata hatimu diterangi sehingga kamu dapat mengerti pengharapan yang terkandung dalam panggilan-Nya, kekayaan yang terkandung dalam warisan yang mulia bagi orang-orang kudus." (Efesus 1:16-18)

Paulus tidak berkata singkirkan wahyu Allah, atau abaikan teologia, dan pelajari tentang Allah, atau buang pertanyaan-pertanyaan sulit di Alkitab. Tidak, dia hanya berdoa agar Allah membuat semua pemikiran itu berkobar di dalam hati kita untuk mengenal-Nya.

Allah tidak mau Anda merasa bersalah dengan buku-buku yang telah Anda baca, pelajaran yang Anda ambil (atau pikirkan), atau ayat Alkitab yang telah Anda hafalkan. Namun, Dia tidak dihormati dengan pengetahuan akan Dia, kecuali pengetahuan kita dipenuhi dengan kasih. Paulus berkata, “Jika aku mengetahui semua rahasia dan pengetahuan….tetapi tidak mempunyai kasih, aku bukanlah apa-apa” (1 Korintus 13:2) Semua rahasia dan pengetahuan – dan bukan apa-apa. Tujuan teologia kita, karenanya, bukanlah pengetahuan itu sendiri, tetapi mengenal dan mengasihi Allah.

Hati yang Lebih Lapang, Sukacita yang Lebih Dalam

Jika kita serius tentang realita dan kekekalan, kita tidak mau membaca Alkitab untuk sepuluh tahun lagi, dan berakhir dengan agak lebih bosan dengan Allah. Kita tidak ingin hanya menetap di dalam gereja hari Minggu demi hari Minggu, dan secara diam-diam berharap kita ada di tempat lain, melakukan hal lain. Kita tidak mau menghadap Allah untuk berdoa besok, dan merasakan itu lebih seperti melakukan kewajiban daripada menggunakan waktu dengan Bapa Anda di surga yang mengasihi Anda. Kita tidak mau belajar lebih banyak tentang “misi gereja di Perjanjian Baru,” dan tetap mengabaikan dan menghindari jiwa yang terhilang yang tinggal di sebelah rumah kita. Kita tidak mau mengerti bacaan di Alkitab yang sulit, atau bisa menjelaskan doktrin yang sulit, tetapi kurang kagum dan takjub terhadap Allah.

Kita ingin teologia kita menjadi sehat dan hidup. Kita ingin setiap hal yang kita pelajari tentang Allah minggu ini, dan selama sisa hidup kita, lebih menambah-nambah kasih kita kepada Dia. Dan lebih meningkatkan sukacita kita di dalam Yesus. Dan lebih menghancurkan hati kita terhadap dosa. Dan lebih menumbuhkan kasih kita kepada orang lain.

Kaum Farisi (di Perjanjian Baru dan hari ini di gereja kita) tahu apa yang harus dibaca dan dikatakan, tetapi kebenaran tidak ada pada mereka – teologia yang baik dipagari di luar hati mereka. Yang gagal dilihat oleh orang-orang Farisi adalah bahwa Kitab Suci ditulis untuk menolong kita mengasihi Yesus. Yesus berkata kepada mereka, “Kamu mempelajari Kitab Suci karena kamu menyangka bahwa di dalam Kitab Suci kamu akan mendapatkan hidup yang kekal; dan Kitab Suci itu juga memberi kesaksian tentang Aku” (Yohanes 5:39). Kita harus melihat lebih dalam daripada yang mau dilihat oleh Kaum Farisi – ke dalam diri kita sendiri dan ke dalam Akitab, dan ke dalam Allah kita yang besar. Jika kita tidak lebih mencari Yesus saat kita mempelajari Alkitab dan belajar teologia, kita meleset dari tujuannya, dan bukan hanya menyia-nyiakan waktu kita, tetapi menjadi lebih buruk dengan itu.

Belajarlah untuk mengasihi. Membacalah untuk mengenal Dia. Belajarlah untuk menikmati Dia. Menghafallah untuk mengasihi Dia. Lakukanlah itu semua untuk manfaat yang lebih dari mengenal Dia. (t/Jing-Jing)

Sumber Artikel: 

Diterjemahkan dari:

Nama situs: Desiring God
URL: https://www.desiringgod.org/articles/is-my-reformed-theology-sick
Judul asli artikel: Is My Reformed Theology Sick?
Penulis artikel: Marshall Segal
Tanggal akses: 9 Mei 2018

Teologi Reformed dan Apresiasi Seni

Editorial: 

Dear Pembaca e-Reformed,

Seorang negarawan dan tokoh Calvinisme dari Belanda, Abraham Kuyper, pernah menyampaikan bahwa "para seniman dipanggil untuk menemukan keindahan yang alami untuk memuliakan Allah". Pandangan Kuyper menegaskan bahwa teologi Reformed tidak anti terhadap karya seni, justru seni adalah alat untuk menunjukkan keagungan Allah kepada banyak orang. Pertanyaannya, ketika kita melihat karya seni yang indah, apakah kita takjub pada keindahan karya seni tersebut atau kepada Tuhan semesta alam yang memanggil dan menginspirasi para seniman untuk dapat menghasilkan karya seni yang indah dan mampu bertahan puluhan, ratusan, bahkan ribuan tahun?

Seni menyangkut keahlian yang khusus. Seni yang baik dapat digunakan untuk memuliakan Allah. Sama seperti Johann Sebastian Bach yang menghasilkan sebuah karya dalam kantata gereja dan Fanny J. Crosby, seorang yang tidak dapat melihat, tetapi mampu menghasilkan ratusan kidung yang masih dinyanyikan dalam ibadah gereja sampai hari ini. Karena itu, marilah kita bersama-sama belajar untuk memahami lebih dalam "Teologi Reformed dan Apresiasi Seni". Kiranya kita boleh mempelajari seni dan mengembangkannya bagi kemuliaan Allah. Soli Deo gloria!

Amidya

Redaksi Tamu e-Reformed,
Amidya

Edisi: 
Edisi 204/September 2018
Isi: 

Dalam perjalanan sejarah gereja, seni terus mengalami pasang surut dengan beberapa perubahan signifikan terjadi dalamnya. Hal ini bisa kita lihat mulai dari masa sebelum Reformasi terjadi. Gereja Barat, yang diwakili oleh gereja Katolik, memiliki nuansa ibadah yang sangat kental dengan seni. Ketika terjadi Reformasi, bukan hanya ajaran dan doktrin yang mengalami perubahan dalam gereja Protestan, tetapi juga aspek seni ini. Berbagai usaha menghancurkan patung-patung di dalam gereja, yang dikenal sebagai iconoclasm, membuat gereja Protestan, khususnya Calvinisme, terkesan sebagai gereja yang anti terhadap seni. Sekalipun karya seni seperti lukisan tidak mengalami banyak serangan, tetapi dalam perjalanannya, karya seni ini pun tidak lagi menjadi hal yang diperhatikan dalam gereja Protestan. Lantas, apakah benar Calvinisme anti terhadap seni? Bagaimana sebenarnya teologi Reformed memandang seni?

Apa Itu Seni?

Lukisan penciptaan

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), seni adalah keahlian membuat karya yang bermutu atau karya yang diciptakan dengan keahlian yang luar biasa. Berdasarkan pengertian ini, bisa kita katakan bahwa tidak semua orang dapat menciptakan karya seni. Sebab, untuk menciptakan karya seni, seseorang harus memiliki keahlian khusus yang sesuai dengan bidang seni yang ingin diciptakannya. Keahlian atau kemampuan tersebut tentu saja didapatkan melalui proses belajar dan berlatih. Seorang seniman mungkin tidak memerlukan waktu yang lama untuk menghasilkan karya seni yang indah karena memiliki bakat, sedangkan seniman yang lain mungkin memerlukan waktu dan pengalaman yang banyak untuk menghasilkan karya seni yang indah. Akan tetapi, proses mana pun yang dilalui, sebuah karya seni pasti dihasilkan oleh seseorang yang memiliki kemampuan khusus dalam bidang seni tersebut. Pemahaman ini penting untuk kita pegang agar kita tidak sembarangan menerima sebuah karya yang dibuat oleh orang lain dan kita anggap sebagai seni tanpa melihat latar belakang orang yang membuatnya, apalagi jika karya seni tersebut adalah karya yang akan kita bawa ke dalam ibadah gereja, baik musik maupun seni lainnya.

Dalam Alkitab, seni sangat erat hubungannya dengan ekspresi manusia untuk berelasi dengan Tuhan. Daud, sebagai pemazmur, menggunakan seni musik dan syair untuk memuji Tuhan, menyatakan keluh kesah, dan untuk menaikkan doa. Ketika Tabut Perjanjian dibawa masuk ke Yerusalem, Daud menggunakan seni tari untuk menyatakan sukacitanya, dan memuji Allah (2 Samuel 6:14). Kemudian, ketika Salomo membangun Bait Allah, bangunan Bait Allah dipenuhi dengan ornamen-ornamen yang sangat indah. Dinding-dinding Bait Allah diukir dengan gambar kerub, pohon kurma, dan bunga mengembang (1 Raja-Raja 6:29). Berbagai perabotan dibentuk sedemikian rupa dengan keindahan yang luar biasa. Belum lagi, dua buah patung kerub yang sayapnya membentang sepanjang lebar Bait Allah.

Daud, sang pemazmur

Uniknya, karya seni pertama yang tercatat dibuat di dalam Alkitab justru diperintahkan oleh Allah sendiri, yaitu ketika Musa diperintahkan untuk membangun Kemah Suci beserta berbagai perabotnya dengan bentuk yang sama seperti yang diperlihatkan oleh Allah. Jadi, jelas bahwa Allah tidak menentang, melainkan Dia berkenan dengan karya seni yang dibuat oleh manusia untuk memuliakan Allah. Akan tetapi, harus kita ingat bahwa seni hanyalah alat untuk menunjukkan kemuliaan Allah. Ketika kita kehilangan pengertian ini dan lebih kagum terhadap keagungan karya seni ketimbang kemuliaan Allah yang ditampilkannya, maka kita telah jatuh ke dalam penyembahan berhala. Seperti yang terjadi pada bangsa Israel. Ketika mereka menyembah patung ular tembaga yang seharusnya mengingatkan mereka akan pemeliharaan Allah di padang gurun, maka patung ular tersebut dihancurkan karena tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya (2 Raja-Raja 18:4).

Pandangan John Calvin Mengenai Seni

Sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Alkitab, Calvin pun tidak anti terhadap seni. Abraham Kuyper dalam bukunya yang berjudul Calvinism and Art mengatakan bahwa Calvinisme memberikan sebuah cara pandang terhadap seni yang menginspirasi para seniman untuk menginterpretasi dunia dengan cara tertentu. Menurut Kuyper, inspirasi tersebut muncul oleh karena cara pandang Calvin terhadap peristiwa penciptaan dalam Alkitab. Menurutnya, para seniman dipanggil untuk menemukan keindahan dalam bentuk alami, memperkaya keindahan tersebut dengan pengetahuan yang lebih tinggi, dan menghasilkan sebuah dunia yang indah yang melebihi keindahan natural. Panggilan ini sesuai dengan pengertian seni yang dibahas sebelumnya, yaitu bahwa untuk membuat karya seni, dibutuhkan sebuah keahlian khusus. Maka dari itu, dalam hal ini, keahlian khusus tersebut mencakup pengetahuan yang lebih tinggi. Seni yang baik yang dapat digunakan untuk memuliakan Tuhan tidak hanya dibuat berdasarkan keterampilan, tetapi juga pengetahuan yang tinggi, baik dalam bidang seni tersebut maupun dalam bidang teologi. Maka dari itu, tidak semua orang dapat menghasilkan lukisan yang indah dan dapat diinterpretasikan dengan baik untuk memuliakan Tuhan. Demikian juga, tidak semua orang dapat menghasilkan musik yang indah dan agung yang dapat dipakai untuk memuji dan memuliakan Tuhan. Berdasarkan panggilan seorang seniman yang dijelaskan oleh Kuyper, karya seni juga berperan untuk mengingatkan kita bahwa kita sedang hidup di dalam dunia yang telah terkutuk dan bahwa ada pengharapan yang telah diberikan bagi kita untuk hidup di dunia yang akan disempurnakan pada kedatangan Kristus yang kedua.

John Calvin tidak hanya memberikan inspirasi kepada para seniman melalui teologinya, tetapi juga membebaskan para seniman dari kurungan gereja pada saat itu. Sebelum masa Reformasi, karya seni yang dibuat di luar konteks gereja dan ibadah dianggap sebagai seni rendahan. Tentu saja, hal ini membuat seniman hanya mengerjakan karya seni untuk gereja dan akhirnya mereka seperti menjadi budak-budak gereja. Akan tetapi, Reformasi telah membuat para seniman Protestan menjadi lebih bebas dalam berekspresi dan menghasilkan karya seni. Lalu, apakah karya seni yang dibuat di luar konteks gereja tidak lagi memuliakan Tuhan? Tidak. Justru ketika seni dikurung oleh konteks gereja saja, karya seni menjadi sempit dan terbatas kelimpahannya. Seni yang berlimpah dan luas adalah seni yang dapat menggunakan seluruh bagian dunia sebagai inspirasi untuk menciptakan keindahan yang transenden. Toh, seperti yang Calvin katakan, tidak ada bagian dari dunia ini yang tidak menunjukkan kemuliaan Allah. Dunia ini seperti panggung pertunjukan yang mempertontonkan kemuliaan dan kebesaran Allah. Selain itu, karena para seniman lebih leluasa menginterpretasikan ciptaan Tuhan, sebuah karya seni menjadi lebih relevan dengan masyarakat. Bukan hanya karena karya seni tersebut dibuat berdasarkan hal-hal di sekitar, tetapi juga karena seniman tersebut menjadi wakil dari orang-orang sezamannya sehingga karya seni yang dihasilkan akan sesuai dengan konteks zaman yang sedang dihadapi. Sekalipun gereja tidak lagi membatasi seni, gereja tetap dapat membentuk genre seni tersendiri yang berpusat pada kisah Alkitab. Akan tetapi, genre ini tidak lagi menjadi satu-satunya, melainkan salah satu bagian genre dalam seni yang utuh dan yang harus menceritakan kemuliaan Allah dari pelbagai aspek.

Pandangan Abraham Kuyper Mengenai Seni

Abraham Kuyper sendiri punya pandangan yang unik mengenai seni. Dia mengatakan, “The arts exist to elevate the Beautiful and the Sublime in its eternal significance.” Menarik untuk diperhatikan, Kuyper menggunakan awalan huruf kapital untuk menuliskan Beautiful (Keindahan) dan Sublime (Mahamulia) yang menunjukkan bahwa kedua kata tersebut tidak hanya sedang menggambarkan suatu sifat saja, tetapi juga sedang menunjuk kepada Pribadi.

Seni ada bukan hanya untuk menunjukkan keindahan dan keagungan dunia, tetapi keindahan dan keagungan Allah yang menciptakan dunia ini. Seni adalah salah satu pemberian Tuhan yang paling melimpah kepada umat manusia. Kuyper percaya bahwa seni mempunyai peranan dalam membantu membangun kerohanian yang tepat sehingga membantu kita, sebagai jemaat, menyadari manfaat atau pentingnya agama yang sejati. Walaupun begitu, Kuyper tetap menentang kecenderungan untuk membuang pembentukan kerohanian yang demikian hanya karena kecintaan terhadap seni yang berlebihan. Kecintaan terhadap seni yang berlebihan inilah yang membuat gereja Protestan mula-mula melakukan aksi ikonoklasme. Banyak praktik ibadah saat itu yang lebih condong kepada penyembahan berhala. Oleh karena itu, untuk mencegah hal yang sama terjadi, jemaat gereja Protestan melakukan pembersihan patung-patung dari dalam gereja.

Teologi Reformed dan Seni dalam Konteks Postmodernisme

Kewaspadaan yang sama juga harus dimiliki oleh diri kita, sebagai umat Tuhan, pada zaman ini. Kita memang lebih sulit untuk jatuh ke kesalahan praktik penyembahan patung karena gereja-gereja Protestan saat ini sangat jarang menggunakan ornamen patung di dalam gedung gereja. Akan tetapi, kita sangat rawan untuk jatuh dalam aspek musik. Musik adalah alat yang kita gunakan dalam ibadah untuk mempermudah kita memuji Tuhan secara komunal. Ketika kita bernyanyi, kita harus menghayati setiap kata dalam pujian yang kita nyanyikan karena kata-kata tersebutlah yang menjadi isi doa kita kepada Tuhan. Jangan sampai kita terlalu menikmati alunan musik tersebut sehingga kita tidak lagi berfokus mengucapkan setiap syair pujian. Kita harus sanggup membedakan antara syair, respons, atau bahkan doa kita melalui nyanyian tersebut dan alunan musik yang bersifat iringan. Kita harus sanggup membedakan antara menyenangkan jiwa kita melalui alunan musiknya atau menyenangkan Tuhan melalui respons kita yang benar di hadapan-Nya.

Dalam zaman postmodern ini, kita harus berhati-hati terhadap semangat penilaian estetikanya yang terfragmentasi. Kita diajarkan untuk menikmati suatu karya seni tidak secara utuh, tetapi hanya melihat bagian tertentu, dan menikmati fragmen itu, lalu memberikan penilaian atas karya seni tersebut berdasarkan standar penilaian diri kita yang subjektif. Kalau dalam konteks musik, sering kali suatu lagu dinilai dari aspek alunan melodinya yang bisa memberikan perasaan "feel good” atau tidak.

Lukisan Starry Night

Di satu sisi, keahlian atau kepiawaian hasil karya seni dari manusia harus kita hargai dan kita syukuri. Sebab, keahlian ini pun adalah anugerah Tuhan. Akan tetapi, kita harus berhati-hati agar tidak terbawa untuk menikmati seni secara instan dan parsial. Dalam teologi Reformed, kita diajarkan untuk melihat kebenaran dalam keutuhan dan keluasan, dan hal ini berlaku juga dalam bidang seni. Kita harus melihat seni itu dalam keutuhan dan keluasannya. Melihat karya itu bukan hanya untuk dinikmati secara parsial. Dalam keluasan kebenaran, kita diajak untuk mengapresiasi seni, baik di luar maupun di dalam gereja. Akan tetapi, dengan keutuhan, kita diajak untuk menikmati seni secara komprehensif dalam relasinya dengan Allah.

Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa teologi Reformed tidak hanya memperbolehkan dan mendukung seni, tetapi juga telah memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan seni dalam sejarah umat manusia. Memang tidak bisa kita mungkiri bahwa diperlukan waktu agar seni dapat diterima sepenuhnya setelah terjadinya ikonoklasme. Kita bersyukur bahwa pada zaman ini, dalam Gerakan Reformed Injili , Tuhan mengizinkan kita terus didorong dalam mempelajari seni dan terus mengembangkannya demi kemuliaan Allah yang kita sembah.

Teologi Reformed dan Apresiasi Seni

Diambil dari:
Nama situs : Buletin Pillar
URL : http://www.buletinpillar.org/artikel/theologi-reformed-dan-apresiasi-seni
Judul asli artikel : Teologi Reformed dan Apresiasi Seni
Penulis artikel : Dedy Welsan
Tanggal akses : 3 September 2018

Salah Satu Dosa Terbesar Gereja

Editorial: 

Dear Pembaca e-Reformed,

Gereja ada karena dibentuk dan didirikan oleh Tuhan Yesus (lihat Mat. 16:18), dan gereja-Nya ini bersifat kekal. Namun, gereja bukanlah institusi yang berdiri sebagai menara gading yang jauh dari peradaban dan masyarakat. Gereja justru dipanggil untuk berada di tengah masyarakat, yaitu masyarakat yang bersifat majemuk, yang di satu pihak memiliki perbedaan (ras, agama, dan budaya), tetapi di lain pihak memiliki kesamaan (kehidupan bersama sebagai manusia sosial yang saling membutuhkan dan dibutuhkan). Apakah dalam keberadaan yang demikian ini, jemaat Tuhan, yang menjadi inti gereja, dapat menjalankan fungsinya sebagai garam yang harus mengasinkan lingkungan tanpa harus bersikap arogan dan merendahkan mereka yang belum mengenal kebenaran?

Simak dan renungkanlah sajian e-Reformed bulan ini yang memuat sebuah artikel berjudul Salah Satu Dosa Terbesar Gereja. Kiranya Allah Roh Kudus memampukan kita untuk menjadi jemaat-Nya yang setia dan tidak terkikis oleh sikap yang justru tidak memuliakan Allah. Selamat menyimak. Soli Deo gloria!

Yulia Oeniyati

Redaksi e-Reformed,
Yulia Oeniyati

Edisi: 
Edisi 203/Agustus 2018
Isi: 

Di tengah-tengah berbagai macam masalah yang melanda kehidupan manusia pada era globalisasi ini, tanpa dapat dimungkiri, ada salah satu dosa terbesar yang dilakukan gereja: kepongahan rohani! Dosa yang satu ini memiliki berbagai muka.

Muka pertama: kita tanpa menyadari menjadi merasa paling suci, paling benar, paling sempurna dalam kehidupan keagamaan yang pluralistis dalam masyarakat yang majemuk ini!

Jangan salah mengerti! Bukan tujuan tulisan ini untuk membatalkan apa yang telah dinyatakan dalam Alkitab bahwa keselamatan hanya ada dalam Yesus Kristus (Yoh. 14:6; Kis. 4:12; Rm. 10:4-17; 1 Tim. 2:5). Justru di tengah-tengah era globalisasi ketika tembok-tembok pemisah antarnegara, bahasa, dan kebudayaan menjadi paling tidak lebih transparan, kita harus waspada agar kita jangan sampai mengorbankan atau menggadaikan kebenaran demi kerukunan atau persahabatan itu sendiri.

Meski demikian, kita juga harus berhati-hati agar kita mengingat dan memberlakukan secara jujur hukum emas yang dinyatakan oleh Tuhan kita:

The Golden Rule

"Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi." (Mat. 7:12)

Kebenaran jelas tidak boleh dikompromikan. Akan tetapi, hal itu tidak sama dengan memaksa orang lain harus menerima dan mengikuti apa yang kita yakini, apalagi dengan cara dan jiwa yang arogan!

Kita dapat belajar dari seorang yang kasar dan impulsif semacam Petrus. Pada hakikatnya, dia makin memahami hati Tuhannya. Dia meninggalkan warisan yang sangat indah dan penting untuk kita laksanakan dalam hidup bermasyarakat. Bobot nasihat Petrus ini menjadi makin penting untuk dipahami dalam konteks riil ketika dia menulis suratnya:

"Dan siapakah yang akan berbuat jahat terhadap kamu, jika kamu rajin berbuat baik? Tetapi sekalipun kamu harus menderita juga karena kebenaran, kamu akan berbahagia. Sebab itu janganlah kamu takuti apa yang mereka takuti dan janganlah gentar. Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat, dan dengan hati nurani yang murni, supaya mereka, yang memfitnah kamu karena hidupmu yang saleh dalam Kristus, menjadi malu karena fitnahan mereka itu." (1 Ptr. 3:13-16)

Jelas, globalisasi menuntut kita agar kita tidak berpandangan sempit dan picik, tidak dapat mendengar dan tidak mau menghargai keyakinan atau kepercayaan orang lain. Kita harus dapat membedakan antara menghargai dan menghormati dari menerima, mengaminkan, dan mengimani! Agama dan kepercayaan boleh saja berbeda, tetapi janganlah kita membenci atau memusuhi mereka yang berbeda agama dan keyakinan dengan kita. Kita malah harus berupaya agar kita tetap mengasihi dia, menolong dia secara praktis, bahkan apabila kita dibenci, difitnah, bahkan dimusuhi sekalipun.

Petrus akhirnya benar-benar mengerti apa yang dikehendaki Tuhannya. Dia pernah mengayunkan pedang dan sempat memotong telinga orang yang menangkap Yesus, tetapi pada hari tuanya, bukan karena dia telah berubah atau menjadi lemah, bukan juga karena dia mau berkompromi, tetapi sebaliknya, dia malah menjadi begitu mantap dan menghayati ajaran Tuhan dan Gurunya sehingga dia sanggup mengungkapkan kebenaran yang begitu indah dan mulianya. Petrus telah belajar untuk memberlakukan perintah Tuhan agar dia mengasihi, bahkan musuhnya, dan mendoakan orang yang menganiayanya (bdk. Mat. 5:43-44).

Muka yang lain dari salah satu dosa gereja yang terbesar adalah menjadi begitu sombong dan merasa paling benar dan paling sempurna dengan keyakinan dan denominasinya.

Kita tidak jarang mengecap orang (Kristen) lain yang tidak memiliki keyakinan dan ajaran yang persis sama dengan kita sebagai orang sesat! Barangkali kita perlu belajar dari seorang tokoh bapa gereja, Agustinus. Dia memberikan ajaran yang bijaksana:

"Dalam hal yang mendasar (prinsip), jangan berkompromi; dalam hal yang tidak mendasar, biarlah kita tidak menjadi dogmatis (kaku); dalam segala hal, kasih!"

Kadang-kadang, tanpa terlalu disadari sepenuhnya, kita malah membuat kaum awam yang sudah bingung dengan berbagai macam masalah mereka menjadi lebih bingung karena sebagai orang yang dianggap dapat memberi terang kepada yang gelap, justru kita, meminjam bahasa Ayub, "menggelapkan keputusan dengan perkataan-perkataan yang tidak berpengetahuan" (Ayb. 38:1).

Sering kali, kita memperdebatkan masalah (cara) baptisan, masalah berbagai macam karunia rohani, masalah kedatangan Yesus yang kedua kali (antimilenialis, remilenialis, pascamilenialis), atau masalah tetek bengek lainnya dengan begitu bersemangat dan berapi-api sehingga kadang kala, kita tidak mampu mengendalikan diri kita, lalu saling menuding dan menyerang antarsesama gereja.

Gereja yang memang sudah terpisah-pisah karena kedaerahan, kesukuan, adat istiadat, dan karena sejarah misa makin kita tercabik-cabik lagi menjadi sempalan-sempalan kecil denominasi (yang makna aslinya berarti "pecahan") -- jikalau perlu, kita buat denominasi baru lagi yang diimbuhi dengan label "Injili".

Sekali lagi, kita perlu mengundang seorang hamba Tuhan senior yang "karismatik", yang telah berhasil mendirikan dan membangun banyak gereja dengan harga yang sangat mahal untuk bersaksi.

Mercy&Justice

Kita tahu bahwa Paulus bukan sembarang orang. Dia mantan Farisi, dan salah seorang murid Gamaliel. Dia menerima penyataan langsung dari Tuhan sendiri (1 Kor. 2:13-16; Gal. 1:17; 2 Kor. 12:1-4). Dia menulis banyak surat. Dia memiliki iman yang begitu kuat dan mantap sehingga dia berani mengungkapkan kesaksian yang sangat menantang semacam Gal. 2:19,20; Flp. 1:6,21; dan sebagainya. Namun, toh orang yang sama tersebut pandai "ilmu padi", makin berisi, makin tunduk!

Siapakah yang menduga bahwa dia sampai menulis sebagai berikut:

"Ketika kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu. Karena sekarang (walaupun sudah dewasa) kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar; tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka. Sekarang aku (yang sudah dewasa) hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal." (1 Kor. 13:11-12)

Bolehkah kita menyimpulkan bahwa seorang Rasul Paulus hanya berani mengklaim bahwa pengetahuan serta pengenalannya (sekarang) hanya parsial, belum lengkap dan belum sempurna sepenuhnya? Mungkinkah sekarang ini banyak di antara kita yang lebih hebat dari dia?

Kalau kesimpulan di atas barangkali terlalu sembrono, marilah kita bandingkan apa yang dia tulis kepada jemaat Efesus:

"Aku berdoa supaya Ia, menurut kekayaan kemuliaan-Nya, menguatkan dan meneguhkan kamu oleh RohNya di dalam batinmu, sehingga oleh imanmu Kristus diam di dalam hatimu dan kamu berakar serta berdasar di dalam kasih. Aku berdoa, supaya kamu bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus, dan dapat mengenal kasih itu, sekalipun ia melampaui segala pengetahuan. Aku berdoa, supaya kamu dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah." (Ef. 3:16-19)

Yang tersirat dari doa Paulus ialah agar jemaat Efesus, yang bukan hanya dilayani oleh Paulus, tetapi juga oleh hamba Tuhan lainnya (Apolos), jangan terjebak ke dalam polarisasi teologi Paulus atau teologi Apolos saja. Belajarlah pula dengan rendah hati dari dan dengan semua orang kudus!

Rupanya, Paulus begitu konsisten. Dia juga menulis sekaligus bersaksi kepada jemaat di Filipi dengan jiwa yang sama:

"Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, ...." (Flp. 3:10)

Jelas bahwa Paulus tidak pernah merasa sudah mengenal Yesus begitu rupa sehingga dia tidak perlu belajar lagi untuk mengenal-Nya secara lebih mendalam. Herankah kita bahwa dari buah penanya, tentunya berkat bimbingan Roh Kudus, gereja kita mewarisi banyak bukunya?

Tulisan ini memang bukan dimaksudkan untuk membahas permasalahan oikumene. Akan tetapi, di tengah-tengah semangat toleransi dan keterbukaan yang makin melonggar, bagaimana mungkin kita menjadi makin sempit dan kaku? Mengapa kita cenderung menjadi kian sektarian dan menjurus kepada "pemujaan" primordial?

Sekali lagi, rupanya bukan hanya bangsa Israel yang tidak dapat belajar dari sejarah! Gereja-gereja juga tidak dapat belajar dari sejarah gereja. Kita tahu bahwa tidak semua bapa gereja memiliki teologi yang selalu sama. Sekolah Alexandria berbeda dari bapa gereja Latin. Sejarah gereja mencatat bukan saja dengan tinta hitam, melainkan juga merah bersimbah darah karena masing-masing merasa paling benar, saling mengucilkan, dan saling membantai lawannya. Di antara para reformator yang besar-besar sekalipun, sering terjadi selisih pendapat dan keyakinan, khususnya dalam soal-soal yang periferal. Bagaimana mungkin kita berani begitu dogmatis (buldog-matis) tentang hal-hal tertentu sehingga nyaris menjadikannya doktrin denominasi?

Kita sering kali mengejek gerakan ekumenis yang tidak pernah berhasil untuk bersatu. Paling-paling hanya semu. Bukan kesatuan, melainkan keserupaan, dan itupun sejauh atau secetek naskah-naskah tertulis. Bagaimana dengan so-called 'evangelical churches'?

Kesatuan Gereja

Kalau dunia yang memasuki era globalisasi ini harus mendengar kesaksian kita, paling tidak kita harus semakin serius dalam menjiwai dan menghayati harapan dan doa Tuhan untuk gereja.

"Dan bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka; supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku." (Yoh. 17:20-21)

Audio Salah Satu Dosa Terbesar Gereja

Diambil dari:
Nama situs : Alkitab SABDA
Alamat URL : http://alkitab.sabda.org/resource.php
Judul asli artikel : Salah Satu Dosa Terbesar Gereja
Penulis artikel : Charles Christano
Tanggal akses : 23 Oktober 2017

Hati yang Luas

Penulis_artikel: 
Howard Louis
Tanggal_artikel: 
14 Agustus 2018
Isi_artikel: 

Daud adalah seorang yang berkenan di hati Tuhan. Dia bahkan mendapat julukan “a man after His own heart” dari Tuhan sendiri. Ketika kita menelusuri perjalanan hidup orang yang berkenan di hati Tuhan ini, kita akan menyadari bahwa ternyata perjalanan hidupnya bukanlah sesuatu yang sempurna dan tidak bercacat. Daud adalah seorang yang pernah jatuh ke dalam dosa yang begitu jahat dan keji, bahkan patut diberi hukuman mati jika mengikuti aturan dari Taurat. Selain itu, Daud juga pernah mengalami penderitaan yang sangat besar semasa hidupnya. Ia dipandang sebelah mata dan dikejar-kejar oleh Saul, bahkan Absalom, anaknya, pun mengejar untuk membunuhnya. Ia juga harus hidup di tengah relasi politik dalam keluarganya sendiri yang berusaha merebut takhtanya. Pergumulan yang ia hadapi dalam hidupnya sangat banyak dan seakan tidak pernah berakhir. Statusnya sebagai seorang tentara, panglima, raja, gembala, penyair, dan nabi menjadikannya harus dengan setia menggumulkan setiap aspek hidupnya demi Tuhan.

Namun, hidupnya tidak hanya penuh dengan kesusahan, sebab kita juga melihat bahwa Daud memegang peranan yang begitu besar dalam Kerajaan Israel. Dia mempersatukan Israel, mendidik mereka menjadi negara yang begitu berkuasa, menaklukkan Tanah Kanaan seluruhnya melalui perang dengan bangsa Filistin (tidak diselesaikan dari zaman Yosua), dan mengusir penyembahan berhala dari Israel. Alkitab mempresentasikan seluruhnya dengan gamblang agar kita melihat hidup seseorang yang diperkenan Tuhan. Bahwa hidup seseorang yang berkenan di hati Tuhan adalah ketika seseorang rela melakukan segala sesuatunya demi Tuhan. Hatinya hanya berpaut kepada Tuhan, memiliki iman yang absolut kepada Tuhan, mencintai firman-Nya, dan mengenal isi hati Tuhan.

Dalam artikel singkat ini, kita akan sejenak merenungkan kembali salah satu bagian hidup Daud, yaitu mengenai hatinya yang luas.

Konteks Bangsa Israel

Bangsa Israel memiliki posisi yang sangat penting di dalam Perjanjian Lama. Israel bukanlah sebuah bangsa di antara bangsa-bangsa lain di dunia saja, melainkan mereka adalah bangsa yang dimiliki oleh Tuhan. Tuhan memakai Israel untuk menjadi wakil-Nya di bumi. Oleh sebab itu, Tuhan membentuk Israel dari nol. Tuhan tidak mengambil suatu bangsa yang sudah ada, tetapi memilih untuk menjadikan suatu bangsa yang baru. Dapat dikatakan Israel adalah bangsa yang dilahirkan oleh Tuhan. Ia memulai pembentukan bangsa Israel dari perjanjian-Nya dengan seorang yang bernama Abraham. Abraham dijanjikan oleh Tuhan untuk memiliki keturunan yang banyak dan mereka akan mendiami sebuah Tanah Perjanjian yaitu Kanaan. Melalui keturunan inilah Tuhan akan memberkati banyak bangsa.

Keturunan-keturunan ini akan menjadi sebuah bangsa yang disebut sebagai umat Allah, di mana Allah sendiri akan menjadi Rajanya. Ini adalah perjanjian yang dibuat setelah keturunan Abraham dipanggil keluar dari Mesir sebagai simbol pembebasan. Perjanjian ini dibuat di Gunung Sinai melalui Musa. Di sana Tuhan memberikan Hukum Taurat sebagai hukum yang berlaku di Israel. Hukum ini memiliki banyak aturan yang berkaitan dengan identitas bangsa Israel di tengah-tengah bangsa lain. Segala bentuk simbol dan pekerjaan yang dianggap sama dengan bangsa lain, dilarang oleh Tuhan.Di sini, Tuhan sedang melatih umat-Nya menjadi umat yang kudus, yang dipisahkan dari dunia, yang berbeda dari dunia. Bangsa ini dilatih untuk hidup dipimpin oleh Tuhan dan menjalankan perintah-Nya dengan baik. Dalam kehidupan berbangsa, Israel pun dilatih secara berbeda dibanding dengan bangsa yang lain, sebab Tuhan sendirilah yang menjadi Raja mereka. Imam dan nabi diangkat sebagai wakil Tuhan, tetapi posisi raja dipegang oleh Tuhan sendiri.

Hal ini terlihat sejak perjalanan 40 tahun bangsa Israel ke Kanaan. Bangsa Israel dipimpin oleh tiang awan dan tiang api yang melambangkan kehadiran Tuhan. Hal ini berarti Tuhan memimpin kapan dan ke mana bangsa Israel harus berjalan. Ketika tiang itu diam, dengan taat Isreal pun harus diam. Ketika tiang itu berjalan, dalam kondisi apa pun bangsa Israel harus siap mengikuti pimpinan dari Sang Raja. Selain itu, Musa juga mengatur seluruh kehidupan berbangsa di Israel agar selalu melihat kepada keputusan Tuhan. Segala perintah yang Tuhan berikan kepada Musa, harus ia beri tahukan kepada bangsa Israel untuk dilaksanakan. Sehingga, bangsa Israel adalah bangsa yang dipimpin secara langsung oleh Tuhan.

Pada zaman Yosua, bangsa Israel harus menaklukkan Kanaan yang adalah Tanah Perjanjian. Tuhan telah mempersiapkan tanah tersebut bagi bangsa Israel, tetapi mereka harus bekerja keras untuk menumpas segala bangsa yang mendiami tanah tersebut.

Penumpasan ini harus dibarengi dengan menghabiskan seluruh budaya penyembahan berhala yang ada di sana. Akan tetapi, pekerjaan ini tidak terselesaikan di zaman Yosua. Israel di bawah kepemimpinan Yosua telah menaklukkan banyak daerah, namun belum sempurna. Masih ada daerah-daerah yang belum ditaklukkan oleh mereka. Perjuangan ini tidak pernah terselesaikan di zaman hakim-hakim.

Namun, Israel masih melakukan hal yang jahat di mata Tuhan. Mereka mengompromikan iman dan budaya mereka dengan konsep kafir. Hal ini menjadikan Tuhan begitu sedih hingga berulang kali memberikan hukuman. Akan tetapi, melalui kemurahan Tuhan, Israel terus mendapat pengampunan ketika mereka bertobat, kembali kepada Tuhan.

Kitab Hakim-hakim memperlihatkan bagaimana kondisi bangsa Israel yang begitu merosot dari hakim pertama hingga terakhir. Mereka sudah sangat jauh dari Tuhan, tetapi Ia masih menunjukkan belas kasihan-Nya dan tetap memimpin mereka.

Kebobrokan Israel menuju tingkat yang sangat parah ketika mereka meminta seorang raja kepada Tuhan melalui Samuel, dengan alasan agar mereka sama seperti bangsa lain. Ini adalah permintaan yang begitu kurang ajar dan tidak tahu diri. Keinginan mereka untuk memiliki raja lain yang dapat dilihat oleh mata sama seperti memberontak kepada Tuhan yang adalah Raja mereka pada saat itu. Mereka ingin memiliki seorang raja, mereka ingin sama seperti bangsa lain, ketika Tuhan ingin membentuk umat-Nya menjadi bangsa yang berbeda dengan dunia. Mereka tidak mau dipimpin langsung oleh Tuhan melainkan dipimpin oleh seorang raja yang terlihat. Meskipun memang, dalam sejarah kita dapat melihat bahwa Tuhan menghendaki seorang Raja yang akan memerintah di Israel sebagai penggenapan janji-Nya yang akan mengukuhkan takhta dari suku Yehuda. Namun, posisi itu seharusnya dipersiapkan bagi Sang Mesias yang akan memerintah bangsa-bangsa. Akhirnya Tuhan membiarkan mereka mengangkat seorang raja yang sangat “terlihat”. Saul memiliki kualitas yang terlihat (visible qualities) untuk menjadi seorang raja. Perawakannya yang tinggi besar dan parasnya yang elok menjadi idaman bagi rakyat, tetapi akhir hidupnya jauh dari Tuhan.

Pemilihan Daud

Ketika kehidupan Saul semakin lalim, Tuhan mengangkat Daud sebagai raja yang baru. Pengangkatan Daud ini adalah sebuah kisah yang unik karena kehidupannya dikontraskan dengan Saul. Bermula dari Samuel yang diutus oleh Tuhan kepada Isai, seorang dari Betlehem. Samuel membawa tabung tanduknya dengan minyak sebagai persiapan untuk mengurapi seorang raja. Di sana dia mempersembahkan korban melalui upacara pengorbanan dan menyucikan Isai beserta anak-anaknya laki-laki. Ketika ia melihat Eliab, seseorang yang gagah dengan perawakan yang tinggi, Samuel langsung merasa orang inilah yang ditentukan oleh Tuhan. Namun, kali ini Tuhan menyatakan dengan spesifik bahwa Tuhan tidak melihat apa yang manusia lihat, Tuhan melihat hati. Satu per satu anak dari Isai keluar dan tidak ada satu pun yang diperkenan oleh Tuhan. Hingga ketujuh anaknya lewat di depan Samuel, tetap Tuhan tidak berkenan kepada satu pun dari antara mereka.

Ternyata, Isai menyembunyikan seorang anaknya yang paling bungsu. Di dalam kebudayaan Yahudi, angka adalah simbol yang penting. Angka tujuh merupakan angka yang melambangkan kesempurnaan. Sehingga, tujuh anak dianggap sebagai lambang dari kesempurnaan. Hal ini terlihat seperti di kisah Ayub. Ayub diceritakan memiliki 7 anak laki-laki dan 3 anak perempuan. Angka tujuh melambangkan kesempurnaan dan angka sepuluh melambangkan kegenapan. Sehingga memiliki 7 anak laki-laki dan 3 anak perempuan berarti Ayub memiliki keluarga yang sempurna. Isai pun demikian, ia menganggap ketujuh anak laki-laki pertama sebagai yang baik, sehingga anak kedelapan menjadi anak yang dipandang sebelah mata. Daud adalah anak kedelapan dan di dalam keluarganya, ia tidak mendapatkan penerimaan yang baik. Dia diberikan tugas sebagai gembala kambing domba, sebuah pekerjaan yang rendah di Israel, sedangkan kakak-kakaknya diutus menjadi prajurit yang berperang bagi bangsa Israel. Akan tetapi, Tuhan malah berkenan kepada Daud, dan bukan kepada kakak-kakaknya. Akhirnya, Samuel mengurapi Daud menjadi raja dan sejak hari itu Roh Tuhan berkuasa atas Daud.

Ini menjadi prinsip dan standar Tuhan dalam melihat seseorang. Raja Saul dipilih oleh rakyat karena perawakan dan parasnya, namun Tuhan memilih seorang raja bukan dengan standar manusia. Tuhan menggunakan ukuran-Nya untuk menentukan siapa yang layak menjadi raja. Zaman kita sangat menekankan apa yang dapat dipamerkan kepada mata. Kita sering kali mempunyai penilaian (prejudice) terhadap orang seturut apa yang terlihat oleh mata. Sedikit banyak, kita telah dipengaruhi budaya yang begitu pragmatis-hedonis ini sehingga seluruh standar nilai kita bergeser. Kita lebih mengutamakan hal-hal yang menempel di tubuh kita atau pada nama kita. Pengakuan dan penilaian orang kita kejar. Status sosial menjadi hal yang kita cari. Akan tetapi, Tuhan memilih orang yang secara status sosial dipandang rendah dan hina, bahkan di dalam lingkungan keluarga sendiri. Dengan cara ini, Tuhan mendidik kita untuk melihat dengan cara Tuhan melihat agar kita mempunyai hati yang luas. Hati yang luas berarti tidak menggunakan cara pandang dunia ini untuk menilai manusia, melainkan menggunakan penilaian Tuhan untuk menilai.

Karakter Daud

Daud pun memiliki hati yang luas untuk menerima panggilan Tuhan. Dia tidak merasa minder atau mengalami inferiority complex. Dia rela taat dan mau menjalankan apa yang Tuhan kehendaki. Meskipun Daud sudah diurapi menjadi raja atas Israel, dia harus menunggu terlebih dahulu. Dia tidak dengan otoritas mengklaim takhta yang sedang diduduki oleh Saul. Dia rela menunggu dengan hati yang luas akan rencana Tuhan. Terlebih lagi, dia rela menjadi pelayan dari Saul. Daud tidak mengambil sikap yang melawan Saul meskipun dia berhak melakukannya. Namun, dia tetap rendah hati dan mau taat di bawah pimpinan Saul. Sikap ini terlihat di sepanjang hidupnya. Ketika Daud dikejar oleh Saul, Daud tidak mengangkat senjata untuk melawan Saul. Daud pun tidak menggunakan urapannya sebagai raja menjadi cara untuk memenangkan rakyat agar berbalik melawan Saul. Dia melarikan diri dan harus hidup tanpa mempunyai tempat tinggal.

Salah satu alasan mengapa Daud tidak melakukan demikian adalah karena Daud mengetahui siapa yang seharusnya menjadi musuhnya. Daud tidak ingin terjadi perpecahan di dalam bangsa Israel sendiri. Selain itu, Daud juga mengetahui posisi penting yang Israel emban sebagai umat Tuhan. Dia melihat bangsanya sebagai umat Tuhan dan Daud sangat berhati-hati dalam memperlakukan mereka. Daud tidak berdebat dengan Saul mengenai siapa yang berhak menjadi raja, melainkan dia tetap tunduk dan tidak memberontak. Dia menghargai Saul sebagai orang yang telah ditunjuk Tuhan menjadi raja sebelum dia. Dia juga menghargai Saul sebagai seorang keturunan Israel, sebagai umat milik Tuhan. Daud pun tidak mengambil nyawa Saul ketika dia memiliki kesempatan itu. Daud menghargai umat Tuhan dan menilai mereka sesuai dengan penilaian Tuhan. Meskipun umat Tuhan begitu rusak dan bobrok, Daud tidak menjadikan mereka musuh. Dia rela menanggung masa pelarian itu dan dia tidak ingin memusuhi umat Tuhan.

Namun demikian, Daud bukanlah seorang yang penakut. Sebab, Daud berani berhadapan dengan Goliat ketika tidak ada pasukan yang berani berhadapan dengannya. Mengapa Daud berani menghadapi Goliat? Hal ini juga berkaitan dengan penilaian Daud terhadap orang-orang di sekitarnya. Daud memiliki sikap yang berbeda ketika berelasi dengan umat Tuhan dibandingkan dengan umat lain, khususnya bangsa Filistin dalam konteks ini. Dia sadar bagaimana tugas Israel belum selesai untuk menghabisi orang Filistin dan menyatukan Israel. Daud hanya berpegang kepada janji Tuhan bahwa seluruh Kanaan akan menjadi tanah yang sepenuhnya milik Israel. Sehingga dengan berani Daud menantang Goliat dan berperang melawannya. Keberanian ini keluar bukan dari kekuatannya, bukan dari kelihaiannya berperang. Melainkan keberanian yang keluar dari pengenalannya akan Tuhan dan janji-Nya. Keberanian ini juga keluar dari hati yang luas menerima rencana Tuhan dan taat kepada Tuhan. Tuhan akhirnya memberkati Daud dengan mengizinkannya membunuh Goliat. Peristiwa ini menjadi simbol bahwa Daud adalah orang yang dibangkitkan Tuhan untuk menghabisi bangsa Filistin dan mempersatukan bangsa Israel. Daud berhasil dalam menjalankan panggilannya sebagai raja Israel.

Refleksi

Hati seperti Daud sangat jarang kita temukan di zaman sekarang. Setelah Kristus membuka keselamatan bagi banyak bangsa, posisi bangsa Israel sekarang diteruskan bukan lagi oleh sebuah bangsa secara fisik, melainkan diteruskan oleh gereja Tuhan. Gereja Tuhan memiliki posisi sebagai pernyataan wakil Tuhan di bumi ini. Di satu sisi sebagai orang Kristen, kita sering kali salah memilih musuh. Kita sangat sering berselisih paham dan bertengkar dengan gereja Tuhan sendiri. Kita mempermasalahkan hal-hal yang sangat remeh. Karena kepentingan diri atau kelompok, gereja Tuhan terpecah. Karena hal-hal yang tidak penting, gereja-gereja saling bertengkar. Dan penyakit itu sedikit banyak ada pada sikap iri hati kita masing-masing. Sering kali pertikaian dengan orang lain bermotifkan egoisme diri, bukan karena adanya perbedaan prinsip kebenaran. Malahan, prinsip kebenaran dijadikan sebagai rasionalisasi motif egois kita. Sehingga, terlihatnya kita memperdebatkan prinsip kebenaran, padahal di baliknya adalah perjuangan membela egoisme masing-masing. Ini bukanlah semangat dari kekristenan. Musuh kita adalah kefasikan dan kelaliman, tetapi orang fasik dan orang lalim adalah objek dari pemberitaan Injil kita, yang harus kita sampaikan dengan kasih. Kristus di atas kayu salib mengerti siapa musuh-Nya. Dosa dan si Jahatlah musuh-Nya. Karena itu di atas kayu salib Ia rela menghadapi maut sampai tuntas. Kristus tidak membenci orang-orang yang menyalibkan-Nya, bahkan Ia begitu mengasihi mereka dan memohon kepada Bapa yang di sorga untuk mengampuni mereka karena ketidakmengertian mereka. Oleh sebab itu, kita harus belajar memiliki hati yang luas seperti Kristus dan Daud dalam bersikap kepada sesama umat manusia. Jangan sampai egoisme kita menjadikan kita seperti orang Farisi yang memiliki self-righteousness yang begitu besar tetapi menyelubunginya dengan memanfaatkan kalimat-kalimat kebenaran, padahal sebenarnya hanyalah sebuah tipuan. Sikap demikian menjauhkan kita dari salib yang seharusnya kita junjung tinggi.

Di sisi yang lain kita juga harus melihat bahwa ketika keselamatan terbuka bagi bangsa-bangsa, hal ini menjadikan kita manusia yang siap menerima bangsa apa pun di dalam segala keberagaman mereka. Karena perbedaan batas ini disingkirkan, kita harus juga menerima satu dengan yang lainnya dengan hati yang luas. Sebab, mungkin dalam waktu ini, mereka masih menyembah berhala atau melakukan praktik agama yang salah. Akan tetapi, suatu saat nanti mungkin Tuhan akan menggerakkan hati mereka untuk kembali kepada Tuhan. Dengan latar belakang apa pun, gereja Tuhan harus siap menerima setiap orang yang ingin kembali kepada Tuhan dan hal ini perlu dilatih dengan baik.

Karena itu, kita harus memiliki pengertian yang benar mengenai siapa musuh kita di dalam dunia ini. Bangsa lain tidak lagi menjadi musuh kita, apalagi umat Tuhan di dalam gereja. Yang menjadi musuh kita adalah penguasa di angkasa dan dosa. Dengan berfokus kepada panggilan kita masing-masing untuk membereskan pengaruh dosa di dalam konteks kita, kita akan menjauhkan diri dari segala permasalahan yang tidak perlu. Kiranya kita belajar dari Daud untuk memiliki hati yang luas. Hati yang siap menunggu pimpinan Tuhan, yang tidak dicemari dengan prasangka dan penilaian yang salah dari tradisi dan budaya, melainkan yang dengan tepat mengerti isi hati Tuhan dan melawan apa yang keji di hadapan Tuhan.

Diambil dari:

Nama situs: Buletin Pillar.org
URL: http://www.buletinpillar.org/artikel/hati-yang-luas#hal-1
Judul asli artikel: Hati yang Luas
Penulis artikel: Howard Louis
Tanggal akses: 14 Agustus 2018

Pengalaman Saya dengan Rasisme dan Teologia Reformed

Penulis_artikel: 
John Piper
Tanggal_artikel: 
1 Agustus 2018
Isi_artikel: 

Alkitab dan iman Reformed telah digunakan untuk membela rasisme dan perbudakan. Akan tetapi, jika Anda melihat dengan pandangan yang jauh, dalam setiap kasus, tiba saatnya ketika Alkitab yang sama, iman yang sama, yang dulu pernah memaafkan rasisme dan perbudakan, akhirnya digunakan sebagai bagian dari kehancurannya.

Inilah tepatnya kasus yang saya alami sendiri. Bukan teologia Reformed yang sepertinya memacu dan mempertajam rasisme saat saya remaja. Pada waktu itu saya sangat menentang teologia tentang predestinasi dan juga sangat menentang integrasi ras.

Bagi saya, setidaknya, teologia Reformed bukan alasan untuk rasisme saya, tetapi berperan besar dalam memperbaikinya. Terbebasnya saya dari paham berpusat pada manusia, gebukan kehendak bebas, kesalehan rasionalistik terjadi bersama-sama dengan terbebasnya saya dari pandangan yang merendahkan ras lain. Saya tidak mengatakan bahwa menerima Calvinisme dan menolak pandangan rasis terjadi bersamaan pada semua orang. Namun, itu terjadi pada diri saya.

Dan, tidak mengherankan, selama berabad-abad ada orang-orang Afrika Amerika yang menemukan dalam pandangan Reformed tentang Allah, bukan sebagai sebuah kebenaran yang membebani, tetapi kebenaran yang memerdekakan dan memberi kekuatan. Thabiti Anyabwile menyampaikan beberapa kisah ini di dalam The Decline of African American Theology, serta The Faithful Preacher: Recapturing the Vision of Three Pioneering African-American Pastors.

Pada zaman kita sendiri ada semacam kebangkitan di antara banyak orang Kristen kulit hitam terhadap kebenaran dan keindahan dari Allah di Alkitab. Anthony Carter menunjukkan kepada kita dengan baik dalam bukunya yang memperkenalkan hal baru, On Being Black and Reformed: A New Perspective on the African-American Christian Experience. Dan, dia mengikutsertakan 9 orang Afrika Amerika lainnya dalam menggambarkan perjalanan teologia mereka dalam Glory Road: The Journeys of 10 African Americans into Reformed Christianity. (Diambil dari Bloodlines, 132). (t/Jing-Jing)

Diterjemahkan dari:

Nama situs: Desiring God
URL: https://www.desiringgod.org/articles/my-experience-with-racism-and-reformed-theology
Judul asli artikel: My Experience with Racism and Reformed Theology
Penulis artikel: John Piper
Tanggal akses: 31 Juli 2018

You are What You Love -- The Power of Spiritual Habit

Oleh: Rode P.

Judul progsif kali ini sangat menarik bagi kaum muda karena berkenaan dengan cinta. Hal itu terbukti dari kebanyakan peserta yang hadir dalam progsif adalah anak muda. Vikaris Heru Lin, hamba Tuhan, sebagai pembicara, memulai seminar dengan menunjukkan tiga gambar ilusi kepada peserta, yang membuat kami berpikir melihat hal yang berbeda dari gambar yang terlihat.

Kehendak Allah dalam Kristus

Editorial: 

Dear Pembaca e-Reformed,

Dalam artikel ini, Pdt. Stephen Tong menjelaskan dengan sangat baik tentang dua pemahaman penting dalam kekristenan, yaitu "dalam Adam" dan "dalam Kristus". Dengan mengerti dua pemahaman ini, kita akan menjadi orang Kristen yang rendah hati karena kita menjadi sadar siapakah kita sebenarnya. Melalui kematian Kristus di atas kayu salib, kita, yang percaya kepada-Nya, dipindahkan dari "dalam Adam" menjadi "dalam Kristus". Ini mengubah esensi kita selamanya, yang dahulu pantas untuk menuju kepada kebinasaan, sekarang dibenarkan dan ditinggikan dalam Kristus sehingga memperbolehkan kita masuk ke dalam kekekalan bersama dengan Dia. Ini merupakan hak istimewa yang luar biasa yang diberikan Kristus bagi kita, anak-anak-Nya yang percaya.

Selain dua pemahaman di atas, Pdt. Stephen Tong juga menjelaskan tentang dua pemahaman lain yang sama pentingnya dalam kekristenan, yaitu "kasih yang digenapi" dan "keadilan yang digenapi". Dua pemahaman yang kelihatannya bertolak belakang, tetapi sebenarnya tidak. Inilah salah satu paradoks dalam kekristenan yang sering disalahmengerti oleh orang Kristen yang tidak belajar Alkitab dengan baik. Tidak seharusnya kita menitikberatkan pada "kasih" saja karena konsep "keadilan" yang dijalankan dalam "kasih" merupakan pemahaman yang ada dalam esensi iman Kristen yang benar. Oleh karena itu, saya mengajak para pembaca menyimak baik-baik penjelasan yang diberikan oleh Pdt. Stephen Tong ini. Memang tidak mudah untuk mencernanya, tetapi bukan berarti tidak bisa dicerna. Mari kita mohon agar Roh Kudus membuka pikiran kita sehingga kita dimampukan untuk mengerti dengan benar. To God be the glory!

Yulia Oeniyati

Redaksi e-Reformed,
Yulia Oeniyati

Edisi: 
Edisi 202/Juli 2018
Isi: 

Istilah "dalam" Kristus muncul beratus-ratus kali di Perjanjian Baru. Ini merupakan satu istilah khusus dalam iman kepercayaan orang Kristen. Di hadapan Allah, hanya ada dua lingkungan yang disebut sebagai "dalam". Pertama, "dalam Adam", kedua "dalam Kristus".

Di hadapan Allah, manusia hanya diakui dalam dua kategori ini. Dalam Adam, manusia adalah manusia berdosa yang belum diselamatkan, yang mengikuti wakil mereka, yaitu Adam, yang memberontak kepada Allah. Dalam Kristus, manusia adalah manusia berdosa yang sudah mengaku dosa dan diselamatkan, yang mengikuti wakil mereka, yaitu Kristus, yang taat kepada Allah. Adam pertama melawan kehendak Allah; Adam kedua menjalankan kehendak Allah.

Di dalam Adam dan di dalam Kristus

Kita menyimpulkan seluruh hidup Adam dengan dua kalimat. Demikian juga dengan seluruh hidup Kristus. Adam berkata: Not Your will, God. But my will be done. -- Bukan kehendak-Mu, tetapi kehendakku yang jadi." Kristus berkata sebaliknya: Not My will, But Thy will be done. -- Bukan kehendak-Ku, tetapi kehendak-Mu yang jadi."

Dalam teladan yang diberikan Adam kepada kita, manusia mengumumkan otonominya sendiri. No, God! I don't need Your guidance. I don't need Your law. I don't need Your commandments. -- "Aku tidak perlu pimpinan-Mu. Aku tidak perlu hukum-Mu. Aku tidak perlu perintah-Mu." Dan, "Aku mengklaim bahwa diriku sendiri cukup mampu. Aku dewasa, berotonomi, dan tidak perlu lagi dikuasai oleh Roh-Mu yang kudus." Inilah teladan Adam. Akan tetapi, pada waktu Kristus datang ke dalam dunia, bagaimana Dia menjadi contoh?

Di Getsemani, Yesus mencurahkan keringat seperti darah. Itu merupakan satu kesedihan yang luar biasa. Pergumulan. Tetesan keringat yang keluar seperti darah hanya dialami oleh mereka yang sedang dalam kesedihan yang luar biasa. Di situ, Kristus berdoa: "Ya, Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini daripada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku melainkan kehendak-Mulah yang terjadi" (Lukas 22:42). Kitab Yesaya mencatat bahwa cawan itu adalah cawan murka Allah (Yesaya 51:17).

Inilah satu lembaran baru yang berbeda dari lembaran hidup manusia lain, berbeda dari semua pendiri agama yang lain, berbeda dari semua keturunan Adam yang lain. Lembaran baru mencatat bahwa Anak Allah menjadi standar, menjadi contoh moral bagi Saudara dan saya. Bukan kehendak manusia yang jadi, melainkan kehendak Pencipta manusia yang jadi.

Jika membandingkan antara taman Getsemani dengan taman Eden, Getsemani terlalu gersang, tetapi Eden sangat subur. Di Getsemani terlalu sakit, di Eden terlalu enak. Akan tetapi, pada waktu Adam berada di taman yang enak, dia justru jatuh. Sebaliknya, Kristus di taman yang penuh sengsara, tetapi justru sukses. Yang satu memaksa Allah mengikuti kehendaknya, sedangkan yang lain menaklukkan kehendak-Nya di hadapan kehendak Allah. Berbeda, sama sekali berbeda!

Kita menjadi orang Kristen yang macam mana? Macam Adam atau mau mengikut Kristus? Mengapa kita berdoa memaksa Tuhan? Apakah kita berdoa: "Tuhan, Engkau harus menyembuhkan aku! Tuhan, Engkau harus menjalankan ini, menjalankan itu. Kalau tidak, aku tidak akan percaya kepada-Mu"? Ataukah, kita berdoa: "Tuhan, sebagai anak-Mu, saya meminta kesembuhan, tetapi kehendak-Mu yang jadi, bukan kehendakku yang jadi"?

Jika tidak berhati-hati, kita mudah mengubah seluruh situasi dan menjadikan Tuhan yang kita sebut Tuhan sebagai pembantu kita. Apakah kita berusaha menaklukkan Tuhan di bawah kehendak kita? Siapakah Tuhan? Jikalau Tuhan Saudara adalah TUHAN, biarlah Saudara menaklukkan diri di bawah kehendak-Nya, bukan berusaha menaklukkan Dia di bawah kehendak Saudara.

Yesus berkata: "Kehendak-Mu yang jadi." Apakah kehendak Bapa? Kehendak Bapa ialah agar Yesus Kristus mati, dipisahkan dari Bapa. Perpisahan antara Allah Bapa dan Allah Anak merupakan satu kepahitan terbesar dan Sumber segala kebijaksanaan, kasih, dan segala persatuan! Bapa, Anak, dan Roh Kudus, adalah Allah Tritunggal. Di Getsemani, terjadi satu keharusan yang pahit, yaitu perpisahan. Maka, Kristus mengatakan: "Kalau mungkin, singkirkan cawan ini." Akan tetapi, Bapa mengatakan: "Engkau harus menerima cawan ini karena inilah kehendak-Ku untuk menyelamatkan umat manusia yang diciptakan menurut peta dan teladan-Ku."

Puji Tuhan! Yesus Kristus meminum cawan itu sampai habis. Lalu, Dia dipaku di atas kayu salib. Maka, Alkitab berkata: "Allah menetapkan untuk meremukkan Dia. Menurut kehendak Allah, Kristus menyerahkan diri-Nya untuk mati bagi kita! Inilah satu-satunya kematian yang menurut kehendak Allah! Satu-satunya kematian yang direncanakan dalam kehendak Allah yang asli. Dalam kematian Kristus, kita melihat kehendak Allah terlaksana."

a. Kasih Allah digenapi.

Mercy&Justice

Kasih Allah harus dinyatakan kepada manusia karena Dia adalah kasih. God is love. Di manakah kita bisa melihat kehendak Allah yang mengasihi kita itu? Dalam pengorbanan. Tanpa pengorbanan, tidak ada kasih! Istilah "cinta", sudah menjadi begitu murah, sudah membanjiri zaman ini. Namun, setiap kali kita mengucapkan "cinta", mari kita uji dengan pengorbanan. Every love should be tested by sacrifice. Pengorbanan menyatakan kasih yang sungguh-sungguh.

Allah itu kasih adanya. Pemikiran ini ada secara samar-samar dalam agama-agama. Akan tetapi, ini menjadi suatu realitas kekristenan, di mana Anak Allah yang tunggal dikaruniakan untuk mati di atas kayu salib menggantikan dosa Saudara dan saya. Ini konkret, bukan abstrak. Bukan pula mimpi atau ilusi. Bukan imajinasi, tetapi riil. Kristus mati untuk Saudara dan saya. Ini kehendak Tuhan!

b. Keadilan Allah digenapi.

Apakah artinya keadilan Tuhan? Keadilan Tuhan berarti: yang berdosa harus dihukum! Jikalau yang berdosa tidak dihukum, berarti Allah tidak adil! Jikalau dosa harus dihukum, siapakah yang bisa menanggung hukuman yang berat ini? Saya mati untuk diri saya. Saya mati karena saya berdosa. Kematian saya tidak bisa menyelesaikan ataupun membenarkan segala kesalahan saya. Dosa begitu besar. Kematian tidak cukup untuk membayar utang dosa yang sudah kita lakukan.

Bayangkan saja jika seorang gila membunuh dua puluh orang sekaligus dengan pistol, dan orang gila itu akhirnya dihukum mati. Bukankah dia yang dihukum mati hanya mempunyai satu nyawa? Akan tetapi, bukankah dia sudah menghabiskan nyawa dua puluh orang? Bagaimana kematian seseorang bisa membayar utang dosanya? Meskipun kita sampai mati, tulang kita hancur menjadi bubuk pun tak mungkin kita bisa membalas cinta kasih Tuhan Yesus. Sebab, keadilan Allah menghukum dosa begitu besar, begitu dahsyat.

Kita belum sadar berapa besar keadilan itu. Saya menangisi zaman ini, ketika Liberalisme mengajarkan tentang Allah yang kasih, tetapi mereka menghindari khotbah tentang keadilan dan kesucian Allah. Sedangkan, aliran-aliran yang murahan, yang hanya mau emosi, yang hanya mau berkat Tuhan saja, jarang berkhotbah tentang hukuman Allah terhadap orang berdosa.

For you and for me, to be saved is free. Tuhan tidak menuntut apa-apa dari kita supaya kita diselamatkan. Untuk menjadi orang Kristen, kita tidak harus membayar harga apa-apa. Akan tetapi, jangan lupa: supaya Saudara dan saya bisa diselamatkan, Kristus sudah membayar harga yang sangat besar, yaitu harga dari kematian Anak Allah! The death of the Son of God! Anak Allah yang tunggal mati untuk Saudara dan saya. Ini kehendak Allah. Ini suatu tuntutan keadilan yang dilunaskan.

Pelunasan itu memerlukan satu jiwa yang lebih dari sekadar jiwa yang terbatas oleh waktu dan tempat. Pelunasan itu memerlukan satu hidup yang lebih dari hidup yang diciptakan. Yesus Kristus bukan diciptakan, tetapi Dia adalah Pencipta itu sendiri. Yang tidak terbatas datang ke dalam dunia. Itu sebabnya, dalam keadaan hidup yang tidak terbatas, Dia rela menanggung dosa seluruh umat manusia. Kita melihat "The Unlimited is substituting the limited once -- Yang tidak terbatas menggantikan yang terbatas." Itu sebabnya, Dialah yang sanggup menanggung dosa kita yang begitu banyak. Dialah yang mampu melunasi utang kematian kekal yang seharusnya ditimpakan kepada kita masing-masing.

Puji Tuhan! Inilah keselamatan dari Tuhan Allah. Kehendak yang Allah tetapkan sebelum dunia diciptakan. Paulus mengatakan bahwa dalam Kristus, kita sudah direncanakan dan ditetapkan sebelum dunia diciptakan.

Orang yang belum diselamatkan dan orang yang belum mengetahui kehendak Allah dengan sungguh-sungguh menonjolkan diri dan merebut kemuliaan Tuhan dalam pelayanan dan bukannya datang untuk sungguh-sungguh melayani. Akan tetapi, jika Saudara betul-betul mengerti kehendak Allah dalam Kristus, yang dijadikan Allah sebagai titik kontak, contoh standar, dan manusia kedua yang mengalahkan dosa dan kematian serta membawa kita kembali kepada Tuhan, maka Saudara akan mengetahui bagaimana seharusnya melayani Tuhan. Kristus datang ke dalam dunia untuk menggenapkan hal ini: (1) Datang untuk menyalurkan kasih Allah, dan (2) datang untuk menanggung hukuman murka Allah berdasarkan keadilan Allah.

Kehendak Allah

Kedua hal ini kita temui di atas kayu salib. Di atas kayu salib Kristus, kita melihat dua kutub dan dua hal yang paralel, yang ada dalam kekekalan sifat Allah, yakni cinta Allah yang kekal dan keadilan Allah yang kekal, bertemu. Pertemuan ini penting sekali.

Saya kira kita harus belajar satu pelajaran, yaitu bagaimana menjadi seorang Kristen yang bisa mempertemukan keadilan dan cinta kasih! Orang Kristen yang hanya mempunyai cinta, tetapi tidak mempunyai keadilan, tidak dapat melayani Tuhan dengan baik. Sebaliknya, orang yang hanya mempunyai keadilan, ketegasan, dan otoritas yang tinggi tanpa cinta kasih, tak bisa memerintah dengan baik. Kedua hal ini dipertemukan di atas kayu salib Kristus. Karena itu, Kristus adalah standar dan contoh bagi kita masing-masing. Ada cinta, tetapi tidak ada keadilan, akan menjadi banjir yang mengakibatkan kecelakaan. Ada keadilan, tetapi tidak ada cinta, akan menjadi kejam dan tanpa perikemanusiaan. Pertemuan antara cinta dan keadilan menjadi satu memang merupakan satu kesulitan yang besar.

Semua nabi menegur bangsa Israel yang berbuat dosa. Mereka menegur bukan dengan kuasa, bukan dengan senapan, tetapi mereka menegur dengan air mata! Itu karena mereka bukan hanya memainkan wewenang saja; mereka sedang menjalankan kehendak Allah. Setiap teguran dikeluarkan dengan suara gemetar yang dibubuhi dengan air mata. Di sinilah, cinta dan keadilan bertemu.

Pukulan ibu kepada anaknya berlainan dengan pukulan dari seorang musuh. Jika musuh memukul Saudara, musuh memukul dan mengharapkan Saudara mati. Akan tetapi, waktu seorang ibu memukul anaknya, dia memang memukul badan anaknya, tetapi rasa sakit ada dalam hati sang ibu. Inilah paradoks! Di situlah, timbul satu kesulitan yang berkombinasi. Karena apa? Karena di situlah kasih dan keadilan bertemu.

Kasih Allah dan keadilan Allah bertemu di satu titik pusat yang paling klimaks, di Golgota. Allah yang mencintai manusia adalah Allah yang harus melemparkan manusia berdosa ke dalam neraka. Kedua hal yang berbeda kutub ini berjumpa di atas Golgota. Kristus mati bagi Saudara dan saya. Dasar dari pertemuan kedua hal ini saya sebut sebagai kebijaksanaan, dan akibat dari pertemuan kedua hal ini saya sebut sebagai kuasa dan keselamatan.

Orang yang bisa menggabungkan kedua hal ini pasti mempunyai kuasa luar biasa dalam pemerintahan dan pelayanan. Seorang raja, pendeta, atau pemimpin yang memerintah secara administratif, kalau hanya mempunyai cinta tanpa keadilan, tidak akan menjalankan tugasnya dengan benar. Demikian pula, jika dia hanya mempunyai keadilan tanpa cinta, dia tidak akan menjalankan tugasnya dengan benar.

Waktu kedua hal ini bertemu, orang yang mempunyainya akan mempunyai kuasa yang luar biasa. Mempertemukan dua hal ini memerlukan kebijaksanaan yang luar biasa dari kehendak Tuhan Allah. Tuhan Yesus menjadi contoh kita dalam segala sesuatu. Kehendak Allah ialah mempertemukan kita dengan Dia, bersatu dengan Dia, dalam diri Kristus yang mati dalam kehendak Allah. Tuhan memberikan kekuatan kepada kita untuk mempunyai pikiran yang lebih mendalam dan lebih cinta kepada Kristus, dan menjalankan kehendak Tuhan sampai tahap kematian kita.

Apakah Saudara mengerti siapakah Kristus? Apakah Saudara mengerti apa artinya menjadi orang yang beriman kepada Kristus? Apakah mengerti arti Kristus sudah mati dalam kehendak Allah bagi kita masing-masing? Sudahkah Saudara menerima Kristus dalam hati Saudara?

Audio Kehendak Allah dalam Kristus

Diambil dari:
Judul buku : Mengetahui Kehendak Allah
Judul artikel : Kehendak Allah dalam Kristus
Penulis : Pdt. Dr. Stephen Tong
Penerbit : Momentum, Surabaya: 2017
Halaman : 117 -- 125

Kehidupan Kristen Biasa

Editorial: 

Dear Pembaca e-Reformed,

Apabila Saudara mendapatkan pilihan antara "biasa" dan "luar biasa", manakah yang akan Saudara pilih? Benarkah kekristenan pun dibagi ke dalam dua kubu tersebut? Kita perlu memperoleh paradigma yang baru bahwa Allah bekerja dengan cara-cara yang biasa dan luar biasa menurut ketetapan dan kehendak-Nya. Sekalipun Allah bekerja dengan cara yang biasa, Dia tetap Allah yang kudus dan agung. Iman kita dalam Kristus seharusnya tidak tergantung dari hal-hal yang lahiriah. Kekristenan pun seharusnya juga tidak tergantung pada hal-hal lahiriah. Kekristenan bergantung mutlak kepada Kristus dan firman-Nya. Apabila seseorang sakit keras, lalu dia menerima mukjizat kesembuhan, bukan berarti Allah tidak bekerja dalam hidup umat-Nya yang sehat dan tidak mengalami masalah. Allah kita adalah Pribadi yang bekerja, Dia bekerja dari masa sekarang, saat ini, sampai seterusnya. Satu hal yang harus kita tanamkan dalam hati kita adalah bahwa Allah memanggil kita untuk tetap beriman di dalam dunia milik-Nya. Maukah kita memenuhi panggilan agung-Nya? Marilah kita terus memandang kepada Allah dengan iman, mengasihi sesama kita, dan terus berjuang dalam langkah iman. Selamat merenungkan. Soli Deo gloria!

Amidya

Pemimpin Redaksi e-Reformed,
Amidya

Edisi: 
Edisi 201/Juni 2018
Isi: 

Radikal. Epik. Revolusioner. Transformatif. Berdampak besar. Mengubah hidup. Tertinggi. Ekstrem. Menakjubkan. Sangat penting. Alternatif. Inovatif. Genting. Hal besar berikutnya. Terobosan eksplosif.

Anda mungkin bisa menambahkan unsur-unsur penjelas lain yang, ironisnya, telah menjadi bagian dari percakapan umum dalam masyarakat dan di gereja pada masa kini. Sebagian besar dari kita sudah terlalu sering mendengar ungkapan-ungkapan seperti ini sehingga ungkapan-ungkapan tersebut menjadi suara latar. Meskipun kita mungkin agak letih dengan iklan-iklan tersebut, kita ingin sekali membawa keadaan ke "tingkat yang benar-benar baru".

Ordinary Christian Life

"Biasa" pasti merupakan salah satu kata yang paling kesepian dalam kosakata kita hari ini. Siapa yang mau punya stiker bemper mobil yang mengumumkan ke tetangga sekitar, "Anak saya adalah murid biasa di Bubbling Brook Elementary"? Siapa yang mau menjadi orang biasa yang tinggal di kota yang biasa saja, menjadi anggota dari gereja yang biasa saja, memiliki teman-teman yang biasa saja, dan melakukan pekerjaan yang biasa saja? Hidup kita harus berarti. Kita harus menggoreskan jejak kita, meninggalkan warisan, dan membuat perbedaan. Kita perlu menjadi murid yang radikal, membawa iman kita ke tingkat yang benar-benar baru. Semua ini harus merupakan sesuatu yang bisa dikelola, diukur, dan dipelihara. Kita harus menghayati profil Facebook kita.

Meski demikian, saya merasakan kegelisahan yang semakin bertambah dengan kegelisahan ini. Beberapa orang sudah letih dengan ajakan terus-menerus untuk adanya perubahan yang radikal melalui skema-skema yang baru dan yang ditingkatkan. Mereka semakin tidak yakin apabila mereka ingin terjun menuju tren selanjutnya atau membuka jalan baru menuju kejayaan. Rod Dreher mengamati:

"Keseharian adalah masalah saya. Mudah untuk memikirkan apa yang akan Anda lakukan pada masa perang, atau jika topan melanda, atau jika Anda menghabiskan waktu satu bulan di Paris, atau jika teman Anda memenangkan pemilihan, atau jika Anda memenangkan lotre, atau membeli barang yang benar-benar Anda inginkan. Jauh lebih sulit untuk menentukan bagaimana Anda akan melewati hari ini tanpa merasa putus asa."

Dalam buku yang ditulisnya tentang saudarinya, The Little Way of Ruthie Leming, Dreher memberi isyarat akan adanya kekhawatiran yang semakin besar dengan budaya mengagung-agungkan hal-hal yang luar biasa.

Gelisah terhadap Hal Besar Berikutnya

Saya yakin bahwa salah satu alasan pendorong obsesi kita untuk menjadi luar biasa adalah adanya budaya revivalisme yang telah membentuk Protestanisme Amerika. Terutama oleh penginjil Charles G. Finney (1792 -- 1875), revivalisme memeluk teologi yang berpusat pada manusia, dan menemukan metode-metode yang sesuai dengan teologi tersebut. Menempatkan keselamatan di tangan masing-masing individu yang belum dewasa, sang penginjil memerlukan "reka-reka baru yang cukup untuk menimbulkan pertobatan". Sebagaimana Richard Hofstadter mengamati, "Sistem kebintangan tidak lahir di Hollywood, melainkan di jalanan yang berdebu." Fokusnya bukan pada Injil dan cara-cara anugerah yang ditetapkan oleh Allah, melainkan pada penginjil dan metode-metodenya untuk menghasilkan kebangunan rohani.

Pemikiran itu menggagas bahwa pesan dan metode-metode yang dilakukan oleh Kristus itu terlalu lemah -- terlalu biasa. Yang terpenting bukanlah apa yang terjadi dalam gereja dan di rumah sepanjang minggu. Yang penting adalah hari ketika kebangunan rohani terjadi di kota, dan Anda "diselamatkan dengan mulia", seperti cara nenek saya menggambarkannya.

Pendeta dan teolog Reformed, John W. Nevin, yang sezaman dengan Finney mengontraskan "sistem bangku" (pendahulu dari panggilan altar) dan "sistem katekismus":

John W. Nevin

Iman Presbiterian kuno, yang di dalamnya saya dilahirkan, didasarkan pada gagasan tentang agama keluarga perjanjian, keanggotaan gereja melalui tindakan kudus Allah dalam pembaptisan, dan perihal mengikuti pelatihan katekisasi rutin bagi kaum muda, dengan petunjuk langsung tentang kedatangan mereka ke meja perjamuan Tuhan. Dalam satu kata, semua mengarah ke teori agama yang bersifat sakramen dan membina.

Dua sistem ini, Nevin menyimpulkan, "Pada dasarnya melibatkan dua teori agama yang berbeda." Kesimpulan Nevin dibenarkan oleh perkembangan-perkembangan yang menyusul.

Menjelang akhir pelayanannya, ketika dia memperhatikan kondisi banyak orang yang telah mengalami kebangunan rohani yang diselenggarakannya, Finney sendiri bertanya-tanya apabila hasrat tanpa henti akan pengalaman-pengalaman yang lebih besar ini bisa menuntun ke arah keletihan rohani. Kekhawatirannya ini beralasan. Daerah tempat kebangunan rohani Finney terjadi besar-besaran sekarang disebut oleh ahli sejarah sebagai burned-over district (wilayah barat dan tengah New York pada awal abad ke-19, tempat terjadinya kebangunan rohani dan terbentuknya gerakan religius baru pada masa Kebangunan Besar Kedua - Red.), daerah persemaian kekecewaan dan perkembangbiakan sekte-sekte esoteris. Ini telah menjadi lingkaran tak berujung dari kebangunan penginjilan sejak saat itu: sebuah pendulum yang berayun antara antusiasme dan kekecewaan, alih-alih kedewasaan yang teguh dalam Kristus melalui partisipasi dalam kehidupan sehari-hari sebagai komunitas perjanjian.

Jika pertumbuhan bertahap dalam Kristus digantikan oleh pengalaman yang radikal, tidaklah mengherankan jika banyak orang mulai mencari Hal Besar Berikutnya ketika pengalaman krisis paling baru yang mereka alami mulai memudar. Bahkan, dalam masa hidup saya sendiri, saya menyaksikan -- dan ikut serta dalam -- suatu parade pergerakan radikal. Sekarang, menurut majalah Time, "kalvinisme baru" merupakan salah satu tren teratas yang sedang mengubah dunia. Pergerakan ini juga dikenal sebagai "Muda, Gelisah, Dibaharui". Akan tetapi, selama ditentukan oleh kegelisahan kaum muda, itu bisa cenderung membengkokkan apa artinya menjadi Dibaharui.

Ketika masih menjadi nelayan muda, anak-anak saya tidak bisa membiarkan tali pancing mereka berada di dalam air cukup lama untuk menangkap makhluk hidup. Mereka selalu menggulung talinya untuk melihat apakah mereka telah menangkap sesuatu. Kemudian, ketika mereka ingin menanam strawberry bersama istri saya, kegembiraan mula-mula yang mereka punya segera berubah menjadi rasa bosan ketika, setelah hanya beberapa hari, mereka tidak melihat ada satu buah pun.

Tentu saja, Allah sama sekali tidak biasa saja, tetapi Dia suka bekerja dengan cara-cara yang biasa.

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Usia muda adalah usia ketika kita gelisah. Kita tersesat dalam rasa ingin tahu yang tidak sabar dan dorongan hati yang mementingkan diri sendiri. Namun, dalam Perjanjian Baru, kita berulang kali diajarkan untuk bertumbuh, untuk menjadi dewasa, untuk meninggalkan kekanak-kanakan kita. Kita diajarkan untuk taat kepada orang yang lebih tua, untuk menghargai hikmat yang terbentang bukan hanya dalam rentang tahun ke tahun, tetapi dari generasi ke generasi, dan untuk menyadari bahwa kita tidak memiliki jawaban atas segala sesuatu. Kita bukanlah bintang dalam film kita sendiri. Jika semua perlengkapan kehidupan gereja dirancang oleh dan untuk budaya masa muda, kita tidak akan pernah bertumbuh menjadi dewasa.

Jadi, dalam beberapa hal, setidaknya, ketidaksabaran gelisah yang kita alami terhadap hal yang biasa bukan hanya merupakan pengaruh dari budaya kita, tetapi juga pengaruh dari pandangan yang tidak baik tentang pemuridan Kristen yang telah membentuk budaya itu dari generasi ke generasi.

Memperbarui Rasa Menghargai untuk Hal yang Biasa

Pertama dan terutama, semua penghargaan yang diperbarui terhadap hal yang biasa diawali dengan Allah. Tentu saja, Allah sama sekali tidak biasa saja, tetapi Dia suka bekerja dengan cara-cara yang biasa. Allah Tritunggal kita bisa melakukan segala sesuatunya sendiri, secara langsung dan dengan segera. Lagi pula, Dia berkata, "Jadilah terang," dan terang itu jadi (Kejadian 1:3). Namun, Dia juga berkata, "Hendaklah tanah menumbuhkan tunas-tunas muda" dan "tanah itu menumbuhkan tunas-tunas muda" (ayat 12). Allah tidaklah lebih kurang dalam posisi-Nya sebagai sumber utama realitas ketika Dia bekerja dalam penciptaan untuk "melaksanakan" tujuan-tujuan-Nya daripada ketika Dia memfirmankan segala sesuatu menjadi ada.

Dalam pemeliharaan, cara bekerja Allah yang biasa pastinya mengejutkan kita dengan keheranan. Apa yang lebih biasa daripada kelahiran seorang anak? Kita tidak perlu menyebutnya keajaiban untuk merasa takjub pada karya Allah. Bahkan, cara kerja Allah yang wajar pun menakjubkan. Meskipun para nabi dan para rasul dipanggil untuk melakukan pekerjaan yang luar biasa, mereka adalah orang-orang biasa yang menyampaikan firman Allah dalam bahasa yang biasa.

Kita melihat keragaman ini bahkan dalam inkarnasi. Allah yang menjadi daging di dalam rahim seorang perawan tidak lain adalah campur tangan langsung dan ajaib dalam sejarah. Meski demikian, Dia mengambil kemanusiaan-Nya dari Maria dalam cara yang biasa, melalui kehamilan selama 9 bulan. Cara Maria melahirkan Allah yang berinkarnasi pun bukanlah sesuatu yang ajaib. Allah bahkan bertumbuh besar dalam cara yang biasa, melalui cara-cara yang biasa: "Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia" (Lukas 2:52).

Grace of Christ

Lagi pula, keajaiban luar biasa dari kelahiran baru kita berasal dari atas, tetapi kita dipersatukan dengan Kristus melalui pemberitaan Injil yang biasa. Beberapa pertobatan memang radikal; beberapa yang lain bertahap. Dalam kedua kasus tersebut, pekerjaan Allah yang ajaib terjadi melalui sarana anugerah yang biasa.

Dalam semuanya ini, Allah adalah aktornya, bahkan ketika Dia bertindak melalui sarana ciptaan. Bukan kita yang naik kepada Allah, melainkan Dialah yang turun kepada kita, dan menyampaikan anugerah-Nya kepada kita melalui kata-kata dan perbuatan yang bisa kita pahami.

Hal yang biasa bukan berarti hal yang rata-rata. Atlet, arsitek, humanis, dan seniman dapat menjamin bahwa pentingnya kesetiaan sehari-hari terhadap tugas-tugas dunia yang biasa mengarah pada keunggulan. Namun, meskipun kita bukanlah yang paling hebat dalam berbagai panggilan kita, cukuplah untuk mengetahui bahwa kita dipanggil ke sana oleh Allah untuk tetap beriman di dalam dunia milik-Nya. Kita memandang kepada Allah dengan iman dan memperhatikan sesama kita dalam kasih dan melalui pekerjaan baik. Anda tidak perlu mengubah dunia untuk menjadi seorang ibu atau ayah, saudara kandung, anggota gereja, atau tetangga yang beriman.

Siapa tahu? Mungkin jika kita menemukan peluang dari hal-hal yang biasa, kesukaan terhadap hal yang biasa, dan rasa takjub terhadap hal yang biasa, kita akan menjadi radikal juga pada akhirnya. (t/Jing-Jing)

Audio Kehidupan Kristen Biasa

Diterjemahkan dari:
Nama situs : Ligonier Ministries
Alamat situs : http://www.ligonier.org/learn/articles/ordinary-christian-life/
Judul asli artikel : The Ordinary Christian Life
Penulis : Michael Horton
Tanggal akses : 24 Oktober 2017

Seminar "NARASI SUBVERSIF EKSODUS"


Oleh: Roma

"Kitab Keluaran merupakan salah satu narasi besar yang telah menjadi nadi identitas umat Israel. Sayangnya, orang Kristen saat ini cenderung jarang menghayati narasi ini sebagaimana mestinya, yaitu sebagai narasi subversif. Seminar ini akan mencoba melihat narasi Keluaran dalam konteks dekat revolusi Israel serta penghayatan kontemporernya pada masa kini." selengkapnya...»

Pendidikan yang Berpusat kepada Allah

Editorial: 

Dear e-Reformed Warganet,

Abad pertengahan dalam sejarah gereja, berlangsung dari abad ke-5 sampai abad ke-15 M. Masa ini dimulai dengan runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat dan berlangsung hingga sebelum Reformasi Luther pada tahun 1517. Pendidikan pada masa itu adalah pendidikan yang didasarkan pada perenungan dalam hidup biara, dan para teolognya cenderung melakukan askese. Perenungan hidup di biara dan beraskese dinilai dapat mencapai pengenalan akan Allah dan mendapatkan kebahagiaan. Mengapa pendidikan pada masa abad pertengahan justru menjadi tolok ukur "Pendidikan yang berpusat kepada Allah"?

Nicholas P. Wolterstorff dalam bukunya yang berjudul Mendidik untuk Kehidupan menjelaskan bahwa pendidikan yang berpusat pada Allah akan menghasilkan Shalom. Apa maksudnya? Dapatkan jawabannya dengan membaca artikel di bawah ini. Harapan kami, para pembaca akan mendapatkan wawasan yang semakin luas tentang pentingnya pendidikan yang berpusat pada Allah yang menghasilkan Shalom dalam hidup kita. Selamat merenungkan.

Amidya

Pemimpin Redaksi e-Reformed,
Amidya

Edisi: 
Edisi 200/Mei 2018
Isi: 

Kita harus memahami ungkapan "pendidikan yang berpusat kepada Allah" dengan benar, karena kalau tidak, kita akan menyimpang. Menurut visi Abad Pertengahan tentang cara hidup orang Kristen di dunia, kehidupan bermeditasi lebih baik daripada kehidupan yang aktif. Segenap umat manusia mencari kebahagiaan; dalam hal ini, demikian pendapat orang-orang Abad Pertengahan, tidak ada perbedaan dalam masing-masing pribadi. Yang berbeda adalah isu di mana letaknya kebahagiaan kita. Kebanyakan pemikir Abad Pertengahan meyakini bahwa kita diciptakan sedemikian rupa hingga kebahagiaan kita terletak dalam kehidupan akal budi, terfokus pada hal yang paling berharga -- Allah. Tujuan sejati manusia terletak dalam memalingkan diri dari dunia ini untuk masuk ke dalam meditasi yang didasari oleh pengenalan dan kasih akan Allah. Di sini, dan hanya di sinilah, terletak kebahagiaan tertinggi. Adapun pendidikan yang dirancang untuk memupuk cara hidup seperti itu di dunia -- yang dirancang untuk mendorong orang berpaling dari dunia untuk merenungkan Allah -- saya rasa patut dinamakan, "pendidikan yang berpusat pada Allah". Namun, bukan ini yang saya maksudkan dengan ungkapan ini, sebab pengertian saya mengenai cara hidup orang Kristen yang sejati di dunia, sejujurnya, adalah pengertian Reformasi -- sekalipun saya sama sekali tidak ingin menyiratkan bahwa hal ini tidak didapati di luar gereja-gereja Reformasi karena memang ada.

Tidak diragukan bahwa alternatifnya dapat didekati dari berbagai arah yang berbeda. Dahulu, saya mendekatinya dengan menyelidiki natur iman. Akan tetapi, di sini, pada kesempatan ini, saya ingin mencapainya dari sudut yang berbeda.

Alfa dan Omega

"Aku adalah Alfa dan Omega," firman Allah dalam kitab Wahyu. Dia "yang ada dan yang sudah ada dan yang akan datang". Gambaran Allah dalam persepsi teolog-teolog Abad Pertengahan ialah bahwa Allah berada di luar waktu, berdiam dalam kekekalan, senantiasa hadir, tanpa masa lampau dan tanpa masa depan, tidak beremosi, tidak berubah. Gambaran penulis-penulis Alkitab sangat berbeda: Allah ialah masa lampau dan masa mendatang seperti juga masa kini, sebab perbuatan-perbuatan-Nya adalah masa lampau dan masa mendatang seperti juga masa kini. Perbuatan-Nya tercatat dalam sejarah kita, dan membentuk dasar sejarah kita. Inti dari natur cara hidup orang Kristen di dunia adalah fakta bahwa Allah yang diakuinya terlibat dalam sejarah yang merupakan milik Allah dan milik kita, tetapi dalam sejarah ini, Allah adalah Tuhan, dan kita bukan.

Ingatlah pidato perpisahan Musa kepada umat Israel yang kita baca di kitab Ulangan. Seperti gong raksasa yang dipukul berulang kali, tiga tema terjalin di seluruh pidato itu: ingatlah, berharaplah, dan berhati-hatilah. Israel harus senantiasa ingat bahwa Allah yang menciptakan langit dan bumi telah membebaskan mereka dari perbudakan kerja paksa di tempat pembuatan batu bata di Mesir. Mereka harus senantiasa hidup dalam pengharapan yang teguh bahwa Allah akan setia akan janji-Nya untuk memberkati umat-Nya, dan memberi mereka tanah tempat tinggal. Dan, dalam lingkup di antara tidak pernah lupa dan tidak henti-hentinya berharap, Israel harus memperhatikan perintah-perintah Allah, perintah yang tidak membebankan suatu kewajiban asing, tetapi untuk kebaikan umat sendiri (Ulangan 10:13) agar mereka hidup (Ulangan 4:1). Dalam masyarakat, mereka tidak boleh memutarbalikkan keadilan; keadilan dan semata-mata keadilanlah yang harus mereka kejar (Ulangan 16:19-20). Dan, mereka akan bersujud di hadapan Tuhan Allah, bersukaria karena segala yang baik yang diberikan-Nya kepada mereka (Ulangan 26:10-11).

Yang unik dalam kehidupan umat Israel ialah bahwa pekerjaan dan ibadah mereka menjadi cara mereka memelihara iman kepada Allah, yang perbuatan-Nya dalam membebaskan dan memberkati mereka harus diingat dan diharapkan sampai selamanya. Menurut saya, cara hidup orang Kristen di dunia, meskipun berbeda dalam substansi, harus sama dalam strukturnya. Inti perbedaannya, tentu saja, adalah bahwa Mesias yang diramalkan dan diharapkan oleh Israel telah ditemukan oleh orang Kristen dalam diri Yesus dari Nazaret. Teologi Kristen sepenuh adalah teologi yang berharap dan mengingat, di samping teologi yang memelihara iman kepada Allah yang diingat dan diharapkan oleh manusia.

Saya yakin Anda telah mulai melihat beberapa implikasi bagi visi pendidikan. Sasaran tertinggi pendidikan, dalam pandangan orang Kristen, bukanlah pendewasaan murid, meskipun pendewasaan memang akan terjadi; bukan sosialisasi murid, meskipun sosialisasi juga akan terjadi; bukan pula perenungan tentang Allah, kendati itu pun akan terjadi. Sasarannya adalah membimbing anak ke dalam kehidupan yang memelihara iman kepada Allah yang kita ingat dan harapkan.

Marilah saya paparkan lebih lanjut tentang hal memelihara iman. Gambaran cara hidup Kristen di dunia yang baru saja saya kemukakan kepada Anda jelas merupakan gambaran yang sakramental. Dunia kita adalah sakramen Allah. Dalam alam dan sejarah, kita berjumpa dengan Allah. Realitas dipenuhi dengan sakralitas (perlambangan). Baik dalam keseluruhannya sebagai kosmos maupun sebagai sejarah, realitas merupakan "epifani" Allah, sarana penyataan, hadirat, dan kuasa-Nya. (Realitas) benar-benar 'berbicara' tentang Dia dan dalam dirinya sendiri, merupakan sarana yang penting bagi pengenalan akan Allah dan persekutuan dengan-Nya, dan itulah natur sejati dan destiny tertinggi dari realitas".

Yesus Mengajar

Dan, apakah respons kita yang sepatutnya setelah kita menyadari bahwa dalam perjalanan kita di dunia, kita harus berurusan dengan Allah? Saya menyukai apa yang dikatakan John Calvin tentang hal ini. Rasa syukur, katanya, adalah respons kita yang sepatutnya: rasa syukur dalam ketaatan, penyembahan, dan apresiasi. Marilah saya tekankan setiap kualitas ini: Rasa syukur akan mewujudkan dirinya dalam ketaatan terhadap kehendak Allah, terhadap hukum-hukum Allah. Rasa syukur juga akan mewujudkan diri dalam penyembahan kepada Allah. Memang, penyembahan sendiri juga merupakan tindakan ketaatan, tetapi alasan paling kuat bagi orang Kristen untuk menyembah Allah bukanlah karena mereka diperintahkan menyembah, melainkan karena terdorong oleh rasa syukur; mereka dengan spontan menyembah. Dan, yang ketiga, rasa syukur mewujudkan dirinya dalam apresiasi ketika kita memakai benda-benda di sekeliling kita dalam kesukaan yang membahagiakan dan kebahagiaan yang menyukakan. Kata Calvin, "Bila kita merenungkan apa tujuan Allah menciptakan makanan kita, akan mendapati bahwa Ia bukan hanya menyediakannya demi memenuhi kebutuhan, tetapi juga untuk kenikmatan dan kesenangan kita .... Dalam rumput-rumputan, pepohonan, dan buah-buahan, di samping berbagai kegunaannya, ada keindahan dalam penampilannya serta aroma yang menyenangkan."

Jikalau orang-orang Kristen yang berpegang pada tradisi Reformasi berupaya mencapai inti dari memelihara iman kepada Allah, kerap ketaatanlah yang mereka tekankan. Allah dipandang terutama sebagai pemberi hukum dan kita terpanggil untuk taat. Kita mempunyai tugas di dunia. Pada dasarnya, menjadi manusia berarti memiliki tanggung jawab. Dahulu, saya sendiri terkadang berbicara seperti itu. Akan tetapi, hari ini, saya ingin menampilkan gambaran yang lain. Ketaatan tentu saja ada. Saya sama sekali tidak menyangkali, atau mengabaikan, pentingnya hukum, norma-norma, tugas, dan tanggung jawab. Namun, menurut saya, ada sesuatu yang lebih bermakna dalam cara hidup Kristen di dunia selain daripada ketaatan kepada Allah, yang terutama dipandang sebagai pemberi hukum. Sesuatu yang lebih bermakna itu adalah rasa syukur kepada Allah yang mengasihi anak-anak-Nya. Mungkin sebaiknya saya tambahkan, rasa syukur yang ditimbulkan oleh hajaran, sebab orang Kristen juga menyadari murka Allah kepada barangsiapa yang menghinakan pemberian-Nya dan Sang Pemberi sendiri. Jadi, ketaatan adalah perwujudan dari rasa syukur, tetapi hanya salah satunya, sebab ada pula penyembahan, serta apresiasi terhadap dunia sekitar kita dalam kesukaan dan kebahagiaan. Sekali lagi, saya percaya bahwa Anda telah melihat sekilas dari pandangan-pandangan yang terbentang bagi pendidikan. Beberapa tahun yang silam, saya menulis sebuah buku berjudul Educating for Responsible Action. Saya menegaskan bahwa teori pendidikan Kristen adalah salah satu versi dari teori tanggung jawab. Saya masih tetap memegang pendapat ini. Akan tetapi, ini belum mencakup gambaran selengkapnya. Cara hidup Kristen di dunia ialah kehidupan dengan rasa syukur yang disertai tanggung jawab, penyembahan, dan apresiasi. Itulah tujuan pendidikan.

Mendidik untuk Shalom

Shalom

Dan, kini, saya ingin meninjau topik kita dari sebuah sudut lain lagi, kali ini bukan dari sudut memelihara iman, melainkan dari sudut perbuatan Allah kepada Siapa kita beriman. Allah yang ada dan yang sudah ada dan yang akan datang, Allah yang perbuatan-Nya kita ingat dan harapkan dan kenali -- seperti apakah pola perbuatan-perbuatan-Nya? Apakah sasaran yang dituju-Nya? Satu jawaban yang menonjol dalam Perjanjian Baru adalah bahwa Allah bekerja untuk meneguhkan pemerintahan-Nya, kerajaan-Nya. Saya ingin bertanya pada kesempatan ini, apakah isi dari pemerintahan Allah?

Menurut saya, para penulis Alkitab menjawab bahwa isi pemerintahan Allah ialah damai sejahtera -- atau biarlah kita memakai kata Ibrani yang lebih tepat, yakni shalom. Komunitas tempat Kristus adalah Tuhan adalah komunitas shalom. Ya, tetapi apakah Shalom itu? Shalom ada bilamana seseorang hidup dalam damai sejahtera dalam semua hubungannya: dengan Allah, dengan diri sendiri, dengan sesama manusia, dengan alam. Apabila ada Shalom, maka:


Serigala akan tinggal bersama domba
dan macan tutul akan berbaring di samping kambing.
Anak lembu dan anak singa akan makan rumput bersama-sama,
dan seorang anak kecil akan menggiringnya.
Lembu dan beruang akan sama-sama makan rumput
dan anaknya akan sama-sama berbaring,
sedang singa akan makan jerami seperti lembu.
Anak yang menyusu akan bermain-main dekat liang ular tedung
dan anak yang cerai susu akan mengulurkan tangannya
ke sarang ular beludak.
(Yesaya 11:6-8)

Namun, untuk hidup dalam damai sejahtera dalam semua hubungan bukan hanya berarti tidak ada permusuhan, itu belum cukup. Membiarkan orang hidup belum berarti shalom. Shalom ialah kesukaan dalam setiap hubungan. Sebuah bangsa bisa saja hidup dalam damai dengan semua bangsa di sekitarnya, tetapi tetap hidup sengsara dalam kemiskinan. Hidup dalam shalom artinya menikmati hidup di hadapan Allah, menikmati hidup dalam lingkungan fisiknya, menikmati hidup dengan sesama manusianya, menikmati hidup dengan dirinya sendiri.

Pertama, shalom mencakup hubungan yang benar dan selaras dengan Allah, dan sukacita dalam penyembahan dan pelayanan kepada Allah. Ketika para nabi berbicara tentang shalom, mereka berbicara tentang suatu hari ketika umat manusia tidak lagi akan melarikan diri dari Allah sepanjang masa, suatu hari ketika mereka tidak lagi akan berbalik untuk melawan pengejar ilahi mereka. Shalom disempurnakan apabila umat manusia mengakui bahwa dalam pelayanannya kepada Allah-lah didapati kesukaan sejati. "Gunung rumah TUHAN", demikian kata nabi:


akan berdiri tegak mengatasi gunung-gunung
dan menjulang tinggi di atas bukit-bukit;
bangsa-bangsa akan berduyun-duyun ke sana.
(Mikha 4:1)

Yang kedua, shalom mencakup hubungan yang benar dan selaras dengan sesama manusia lainnya dan kesukaan dalam komunitas manusia. Shalom tidak ada bilamana masyarakat merupakan sekumpulan individu yang masing-masing hendak memperjuangkan jalannya sendiri di dunia. Dan, tentu saja, kesukaan dalam masyarakat bisa ada hanya bila keadilan berkuasa, hanya bila manusia tidak lagi saling menindas. Hanya bila "di padang gurun selalu akan berlaku keadilan dan di kebun buah-buahan akan tetap ada kebenaran" -- maka "di mana ada kebenaran akan tumbuh damai sejahtera (shalom), dan akibat kebenaran ialah ketenangan dan ketenteraman untuk selama-lamanya" (Yesaya 32:16-17). Dalam shalom:

Kasih dan kesetiaan akan bertemu,
keadilan dan damai sejahtera akan bercium-ciuman.
Kesetiaan akan tumbuh dari bumi,
dan keadilan akan menjenguk dari langit.
(Mazmur 85:11-12)

Ketiga, shalom mencakup hubungan yang benar dan selaras dengan alam dan kesukaan dalam alam jasmani di sekeliling kita. Shalom datang bila kita, makhluk-makhluk badani, dan bukan jiwa-jiwa tanpa raga, membentuk dunia dengan pekerjaan kita dan menemukan pemuasan di dalamnya dan sukacita dalam hasilnya. Ketika berbicara tentang shalom, nabi berbicara tentang suatu hari ketika Tuhan akan menyediakan bagi segala bangsa:

suatu perjamuan dengan masakan yang bergemuk,
suatu perjamuan dengan anggur yang tua benar,
anggur yang tua yang disaring endapannya.
(Yesaya 25:6)

Audio Pendidikan yang Berpusat kepada Allah

Diambil dari:
Judul buku : Mendidik untuk Kehidupan
Judul asli artikel : Pendidikan yang Berpusat kepada Allah
Penulis : Nicholas P. Wolterstorff
Penerbit : Momentum, Surabaya 2014
Halaman : 119 -- 125

Komentar


Syndicate content