Pembuat Sepatu

Penulis_artikel: 
Les Lanphere
Tanggal_artikel: 
16 Agustus 2018
Isi_artikel: 

Seorang yang baru saja menjadi Kristen berlari mengejar Martin Luther dengan semangat dan bertanya kepadanya tentang apa yang harus dia lakukan sekarang dengan hidupnya yang telah ditebus. Dia membayangkan akan mendapatkan jawaban yang akan membuat dirinya memakai jubah biarawan atau membagikan anggur kepada jemaat yang menerima komuni.

Luther bertanya kepadanya, “Apa pekerjaanmu saat ini?”

“Saya pembuat sepatu.”

Luther menjawab, “Kalau begitu, buatlah sepatu yang bagus, dan juallah dengan harga yang pantas.”

Pembuat sepatu

Ini adalah kisah terkenal yang menjelaskan indahnya doktrin reformed tentang pekerjaan. Anda lihat, sebelum reformasi Protestan, seorang rohaniwan tidak hanya dihormati oleh manusia, tetapi juga dianggap memiliki keuntungan rohani di hadapan Allah. Jika kebenaran diibaratkan sebagai sebuah tangga, menjadi seorang imam adalah anak tangga yang dekat ujung atas, dan pembuat sepatu rendahan mungkin masih berdiri di tanah.

Ketika keindahan Injil ditunjukkan pada abad ke-16, memiliki karier yang baik di dunia diakui sebagai hal yang tidak kurang menyenangkan di hadapan Tuhan dibandingkan menjadi seorang pendeta. Anda bisa menjadi petugas pajak, membersihkan toilet, atau membuat sepatu, dan tetap dengan sempurna dibenarkan di hadapan Allah melalui iman dalam Kristus. Apa pun posisi tempat Tuhan menempatkan Anda harus digunakan untuk menghormati Dia dan melayani sesama Anda.

Pembuat sepatu tidak harus selalu membuat sandal seperti yang dipakai oleh Yesus. Dia tidak perlu membubuhkan cap bentuk salib di setiap sisi sepatu untuk menyucikannya. Bahkan, dia tidak perlu menulis Yohanes 3:16 di dalam lidah sepatu supaya orang-orang yang memakainya secara diam-diam membawa firman Allah. Dia dipanggil untuk menghidupi kehidupannya, bekerja keras dan jujur, dan melakukannya bagi kemuliaan Allah.

“Kamu telah ditebus dengan harga lunas, karena itu janganlah kamu menjadi budak manusia. Saudara-saudara, hendaklah setiap orang tetap tinggal bersama Allah, dalam keadaan ketika ia dipanggil.” (1 Kor. 7:24)

Kata “R”

Luther menyuruh si pembuat sepatu melakukan pekerjaannya sedemikian rupa sehingga menyenangkan Allah dan melayani sesamanya. Buatlah produk yang terbaik dan juallah dengan harga yang pantas. Ini termasuk bersentuhan dengan teknologi sepatu dan teknik membuat sepatu yang baru. Orang Kristen bertanggung jawab untuk hadir di pasar tempat dia melayani. Jika dia tidak memperhatikan tren sepatu, selambat apa pun tren itu berkembang saat itu, bisnisnya akan rugi, dan dia akan gagal untuk mengikuti perintah Luther. Pada zaman modern, kita mungkin bisa mengatakan bahwa si pembuat sepatu, dalam beberapa hal, diminta untuk tetap “relevan” dengan industrinya.

Ya. Saya menggunakan kata yang tercela itu, dan suara gaduh yang Anda dengar adalah suara dari 10.000 blogger sesama orang Kristen yang secara bersamaan memutar mata untuk menunjukkan ketidaksukaan mereka. Bagaimanapun, ini adalah blog teologi reformed, dan kata “relevan” adalah kata yang memalukan dalam dunia kecil kita. Mengapa? Sebab, kata itu telah disalahgunakan.

Ada penggunaan kata "relevan" di kalangan Kristen Injili yang berarti sesuatu yang sama dengan menarik ulur pesan dan praktik kekristenan sampai terlihat dan terasa seperti budaya di sekitar kita. Karena Injil adalah benar dan bermakna terlepas dari ruang dan waktu, lanjut pemikiran itu, Injil bisa dilihat dan dirasakan benar di rumah, di klub hiburan malam, atau di jalanan pinggir kota.

Relevan

Ini benar, tetapi hanya sebagian. Injil itu benar dan bermakna untuk semua wilayah kehidupan, tetapi hanya sejauh saat Injil itu dikomunikasikan sebagaimana seharusnya. Apakah budaya ini menuruti dosa dan membutuhkan penebusan dan pengajaran tentang kekudusan? Sempurna, kita mendapatkan hal yang tepat. Injil bersifat objektif, dan tidak terentang serta berkembang terhadap hal-hal di sekitarnya. Injil bersifat universal karena dosa dan nilai manusia bersifat universal, dan Injil adalah satu-satunya solusi. Satu-satunya pemahaman untuk pernyataan kekristenan “relevan secara budaya” adalah bahwa firman Allah yang tidak berubah adalah selalu dan satu-satunya alat yang membawa keselamatan apa pun batasan kulturalnya.

Kita tidak dipanggil untuk menjadikan kekristenan relevan melalui penemuan manusia. Kita membiarkan kekristenan seperti ketika itu disampaikan kepada kita, sebagai hal sempurna, yang cukup untuk mendakwa dan menyelamatkan orang-orang berdosa, lalu mengajar mereka untuk menjalani hidup yang kudus.

Jadi, Injil tidak berubah. Akan tetapi, budaya berubah. Dunia tempat pekerjaan kita dilakukan selalu berubah sehingga kita harus selalu memperhatikannya. Dalam pengertian ini, menjadi relevan bagi dunia itu baik dan perlu. Bukan relevan secara religius, tetapi relevan dalam pekerjaan, sambil membawa Injil yang murni bersama dengan kita.

Apa pun posisi tempat Tuhan menempatkan Anda harus digunakan untuk menghormati Dia dan melayani sesama Anda.

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Misalnya, saya seorang perancang desain, dan saya juga bekerja dalam industri film. Agar menjadi sukses dalam industri saya, saya harus mengikuti tren. Mungkin lebih daripada yang dilakukan si pembuat sepatu, saya perlu melihat apa yang sudah dikerjakan baru-baru ini dalam dunia desain, apa yang terjadi dalam industri film, tren apa yang digunakan dalam efek visual, dst.. Sebagai seorang suami dan ayah, yang diberi talenta dan gairah tertentu, saya bertanggung jawab untuk bekerja keras dan secara aktif mengasah keterampilan saya. Jika tidak, saya akan menjadi tidak relevan dengan industri saya, menghasilkan sedikit uang, dan mungkin kehilangan pekerjaan saya sekaligus.

Tentu saja, kecermatan harus digunakan dan standar alkitabiah harus diterapkan dalam kehidupan kita di lingkungan sosial. Bagaimanapun, kita adalah orang Kristen, dan kita harusnya paling dikenali melalui gaya hidup kita yang unik dan saleh.

Jika Anda Tetap Relevan, Gereja Tersebar Luas

Tetap relevan secara budaya sebenarnya merupakan bagian yang sangat penting dari kebebasan alkitabiah yang indah ketika kita harus menjadi garam dan terang dunia. Bukan dengan membuat Injil menjadi relevan, tetapi dengan menghidupi doktrin tentang pekerjaan dengan baik. Melakukan pekerjaan yang baik, dan dengan jujur. Mengasihi dan melayani sesama Anda sambil menghormati Allah. Gagal memahami dunia pekerjaan yang harus dilakukan secara jelas merupakan penatalayanan yang buruk dari pekerjaan yang menjadi panggilan Allah untuk Anda.

“Janganlah menjadi sama dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu,” (Roma 12:2a)

Memahami dan berinteraksi dengan dunia bukanlah sesuatu yang memalukan selama Anda tidak hidup dalam dosa atau menyukai apa yang dibenci oleh Allah. Panggilan seorang Kristen adalah benar-benar hidup di dalam dunia, tetapi tidak menjadi sama dengan dunia.

Tidak serupa dunia

Mengajarkan bahwa menjadi relevan secara budaya adalah hal yang tidak saleh dalam cara tertentu berarti anti-reformed karena itu merendahkan seluruh doktrin tentang pekerjaan. Ini merupakan sebuah tindakan yang melampaui batas bagi mereka yang ingin menyesuaikan kekristenan dengan kebudayaan. Pada intinya, penolakan mentah-mentah atas “relevansi” mengomunikasikan bahwa kecuali Anda menjalani setiap detik kehidupan Anda mempelajari Kitab Suci, mendengar dan mempersiapkan khotbah, atau melayani gereja, maka Anda tidak menyenangkan Allah. Mempelajari budaya itu buruk. Mencari tahu cara untuk menjual produk Anda itu buruk. Memahami tren itu buruk. Hal-hal ini secara tidak kentara berarti kembali ke sistem tangga kependetaan itu.

Sangat mudah untuk mengatakan bahwa gereja itu baik dan dunia itu buruk. Yang lebih sulit, dan membutuhkan pemikiran serta pemilahan secara cermat, adalah untuk mengetahui bagaimana seharusnya kita berada di dunia, tetapi bukan berasal dari dunia.

Pembuat sepatu itu relevan secara budaya, dan Allah berkenan kepadanya. (t/Jing-Jing)

Pembuat Sepatu

Diterjemahkan dari:
Nama Situs : Reformedpub.com
Alamat situs : http://reformedpub.com/cultural-relevance-and-the-doctrine-of-vocation/
Judul asli artikel : Cultural Relevance and The Doctrine of Vocation
Penulis artikel : Les Lanphere
Tanggal akses : 16 Agustus 2018

Komentar