Tentang KamiArtikel TerbaruUpdate Terakhir |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SOTeRI Kehidupan Kristen Biasa
Editorial:
Dear Pembaca e-Reformed, Apabila Saudara mendapatkan pilihan antara "biasa" dan "luar biasa", manakah yang akan Saudara pilih? Benarkah kekristenan pun dibagi ke dalam dua kubu tersebut? Kita perlu memperoleh paradigma yang baru bahwa Allah bekerja dengan cara-cara yang biasa dan luar biasa menurut ketetapan dan kehendak-Nya. Sekalipun Allah bekerja dengan cara yang biasa, Dia tetap Allah yang kudus dan agung. Iman kita dalam Kristus seharusnya tidak tergantung dari hal-hal yang lahiriah. Kekristenan pun seharusnya juga tidak tergantung pada hal-hal lahiriah. Kekristenan bergantung mutlak kepada Kristus dan firman-Nya. Apabila seseorang sakit keras, lalu dia menerima mukjizat kesembuhan, bukan berarti Allah tidak bekerja dalam hidup umat-Nya yang sehat dan tidak mengalami masalah. Allah kita adalah Pribadi yang bekerja, Dia bekerja dari masa sekarang, saat ini, sampai seterusnya. Satu hal yang harus kita tanamkan dalam hati kita adalah bahwa Allah memanggil kita untuk tetap beriman di dalam dunia milik-Nya. Maukah kita memenuhi panggilan agung-Nya? Marilah kita terus memandang kepada Allah dengan iman, mengasihi sesama kita, dan terus berjuang dalam langkah iman. Selamat merenungkan. Soli Deo gloria!
Edisi:
Edisi 201/Juni 2018
Isi:
Radikal. Epik. Revolusioner. Transformatif. Berdampak besar. Mengubah hidup. Tertinggi. Ekstrem. Menakjubkan. Sangat penting. Alternatif. Inovatif. Genting. Hal besar berikutnya. Terobosan eksplosif. Anda mungkin bisa menambahkan unsur-unsur penjelas lain yang, ironisnya, telah menjadi bagian dari percakapan umum dalam masyarakat dan di gereja pada masa kini. Sebagian besar dari kita sudah terlalu sering mendengar ungkapan-ungkapan seperti ini sehingga ungkapan-ungkapan tersebut menjadi suara latar. Meskipun kita mungkin agak letih dengan iklan-iklan tersebut, kita ingin sekali membawa keadaan ke "tingkat yang benar-benar baru". "Biasa" pasti merupakan salah satu kata yang paling kesepian dalam kosakata kita hari ini. Siapa yang mau punya stiker bemper mobil yang mengumumkan ke tetangga sekitar, "Anak saya adalah murid biasa di Bubbling Brook Elementary"? Siapa yang mau menjadi orang biasa yang tinggal di kota yang biasa saja, menjadi anggota dari gereja yang biasa saja, memiliki teman-teman yang biasa saja, dan melakukan pekerjaan yang biasa saja? Hidup kita harus berarti. Kita harus menggoreskan jejak kita, meninggalkan warisan, dan membuat perbedaan. Kita perlu menjadi murid yang radikal, membawa iman kita ke tingkat yang benar-benar baru. Semua ini harus merupakan sesuatu yang bisa dikelola, diukur, dan dipelihara. Kita harus menghayati profil Facebook kita. Meski demikian, saya merasakan kegelisahan yang semakin bertambah dengan kegelisahan ini. Beberapa orang sudah letih dengan ajakan terus-menerus untuk adanya perubahan yang radikal melalui skema-skema yang baru dan yang ditingkatkan. Mereka semakin tidak yakin apabila mereka ingin terjun menuju tren selanjutnya atau membuka jalan baru menuju kejayaan. Rod Dreher mengamati: "Keseharian adalah masalah saya. Mudah untuk memikirkan apa yang akan Anda lakukan pada masa perang, atau jika topan melanda, atau jika Anda menghabiskan waktu satu bulan di Paris, atau jika teman Anda memenangkan pemilihan, atau jika Anda memenangkan lotre, atau membeli barang yang benar-benar Anda inginkan. Jauh lebih sulit untuk menentukan bagaimana Anda akan melewati hari ini tanpa merasa putus asa." Dalam buku yang ditulisnya tentang saudarinya, The Little Way of Ruthie Leming, Dreher memberi isyarat akan adanya kekhawatiran yang semakin besar dengan budaya mengagung-agungkan hal-hal yang luar biasa. Gelisah terhadap Hal Besar Berikutnya Saya yakin bahwa salah satu alasan pendorong obsesi kita untuk menjadi luar biasa adalah adanya budaya revivalisme yang telah membentuk Protestanisme Amerika. Terutama oleh penginjil Charles G. Finney (1792 -- 1875), revivalisme memeluk teologi yang berpusat pada manusia, dan menemukan metode-metode yang sesuai dengan teologi tersebut. Menempatkan keselamatan di tangan masing-masing individu yang belum dewasa, sang penginjil memerlukan "reka-reka baru yang cukup untuk menimbulkan pertobatan". Sebagaimana Richard Hofstadter mengamati, "Sistem kebintangan tidak lahir di Hollywood, melainkan di jalanan yang berdebu." Fokusnya bukan pada Injil dan cara-cara anugerah yang ditetapkan oleh Allah, melainkan pada penginjil dan metode-metodenya untuk menghasilkan kebangunan rohani. Pemikiran itu menggagas bahwa pesan dan metode-metode yang dilakukan oleh Kristus itu terlalu lemah -- terlalu biasa. Yang terpenting bukanlah apa yang terjadi dalam gereja dan di rumah sepanjang minggu. Yang penting adalah hari ketika kebangunan rohani terjadi di kota, dan Anda "diselamatkan dengan mulia", seperti cara nenek saya menggambarkannya. Pendeta dan teolog Reformed, John W. Nevin, yang sezaman dengan Finney mengontraskan "sistem bangku" (pendahulu dari panggilan altar) dan "sistem katekismus": Iman Presbiterian kuno, yang di dalamnya saya dilahirkan, didasarkan pada gagasan tentang agama keluarga perjanjian, keanggotaan gereja melalui tindakan kudus Allah dalam pembaptisan, dan perihal mengikuti pelatihan katekisasi rutin bagi kaum muda, dengan petunjuk langsung tentang kedatangan mereka ke meja perjamuan Tuhan. Dalam satu kata, semua mengarah ke teori agama yang bersifat sakramen dan membina. Dua sistem ini, Nevin menyimpulkan, "Pada dasarnya melibatkan dua teori agama yang berbeda." Kesimpulan Nevin dibenarkan oleh perkembangan-perkembangan yang menyusul. Menjelang akhir pelayanannya, ketika dia memperhatikan kondisi banyak orang yang telah mengalami kebangunan rohani yang diselenggarakannya, Finney sendiri bertanya-tanya apabila hasrat tanpa henti akan pengalaman-pengalaman yang lebih besar ini bisa menuntun ke arah keletihan rohani. Kekhawatirannya ini beralasan. Daerah tempat kebangunan rohani Finney terjadi besar-besaran sekarang disebut oleh ahli sejarah sebagai burned-over district (wilayah barat dan tengah New York pada awal abad ke-19, tempat terjadinya kebangunan rohani dan terbentuknya gerakan religius baru pada masa Kebangunan Besar Kedua - Red.), daerah persemaian kekecewaan dan perkembangbiakan sekte-sekte esoteris. Ini telah menjadi lingkaran tak berujung dari kebangunan penginjilan sejak saat itu: sebuah pendulum yang berayun antara antusiasme dan kekecewaan, alih-alih kedewasaan yang teguh dalam Kristus melalui partisipasi dalam kehidupan sehari-hari sebagai komunitas perjanjian. Jika pertumbuhan bertahap dalam Kristus digantikan oleh pengalaman yang radikal, tidaklah mengherankan jika banyak orang mulai mencari Hal Besar Berikutnya ketika pengalaman krisis paling baru yang mereka alami mulai memudar. Bahkan, dalam masa hidup saya sendiri, saya menyaksikan -- dan ikut serta dalam -- suatu parade pergerakan radikal. Sekarang, menurut majalah Time, "kalvinisme baru" merupakan salah satu tren teratas yang sedang mengubah dunia. Pergerakan ini juga dikenal sebagai "Muda, Gelisah, Dibaharui". Akan tetapi, selama ditentukan oleh kegelisahan kaum muda, itu bisa cenderung membengkokkan apa artinya menjadi Dibaharui. Ketika masih menjadi nelayan muda, anak-anak saya tidak bisa membiarkan tali pancing mereka berada di dalam air cukup lama untuk menangkap makhluk hidup. Mereka selalu menggulung talinya untuk melihat apakah mereka telah menangkap sesuatu. Kemudian, ketika mereka ingin menanam strawberry bersama istri saya, kegembiraan mula-mula yang mereka punya segera berubah menjadi rasa bosan ketika, setelah hanya beberapa hari, mereka tidak melihat ada satu buah pun. Usia muda adalah usia ketika kita gelisah. Kita tersesat dalam rasa ingin tahu yang tidak sabar dan dorongan hati yang mementingkan diri sendiri. Namun, dalam Perjanjian Baru, kita berulang kali diajarkan untuk bertumbuh, untuk menjadi dewasa, untuk meninggalkan kekanak-kanakan kita. Kita diajarkan untuk taat kepada orang yang lebih tua, untuk menghargai hikmat yang terbentang bukan hanya dalam rentang tahun ke tahun, tetapi dari generasi ke generasi, dan untuk menyadari bahwa kita tidak memiliki jawaban atas segala sesuatu. Kita bukanlah bintang dalam film kita sendiri. Jika semua perlengkapan kehidupan gereja dirancang oleh dan untuk budaya masa muda, kita tidak akan pernah bertumbuh menjadi dewasa. Jadi, dalam beberapa hal, setidaknya, ketidaksabaran gelisah yang kita alami terhadap hal yang biasa bukan hanya merupakan pengaruh dari budaya kita, tetapi juga pengaruh dari pandangan yang tidak baik tentang pemuridan Kristen yang telah membentuk budaya itu dari generasi ke generasi. Memperbarui Rasa Menghargai untuk Hal yang Biasa Pertama dan terutama, semua penghargaan yang diperbarui terhadap hal yang biasa diawali dengan Allah. Tentu saja, Allah sama sekali tidak biasa saja, tetapi Dia suka bekerja dengan cara-cara yang biasa. Allah Tritunggal kita bisa melakukan segala sesuatunya sendiri, secara langsung dan dengan segera. Lagi pula, Dia berkata, "Jadilah terang," dan terang itu jadi (Kejadian 1:3). Namun, Dia juga berkata, "Hendaklah tanah menumbuhkan tunas-tunas muda" dan "tanah itu menumbuhkan tunas-tunas muda" (ayat 12). Allah tidaklah lebih kurang dalam posisi-Nya sebagai sumber utama realitas ketika Dia bekerja dalam penciptaan untuk "melaksanakan" tujuan-tujuan-Nya daripada ketika Dia memfirmankan segala sesuatu menjadi ada. Dalam pemeliharaan, cara bekerja Allah yang biasa pastinya mengejutkan kita dengan keheranan. Apa yang lebih biasa daripada kelahiran seorang anak? Kita tidak perlu menyebutnya keajaiban untuk merasa takjub pada karya Allah. Bahkan, cara kerja Allah yang wajar pun menakjubkan. Meskipun para nabi dan para rasul dipanggil untuk melakukan pekerjaan yang luar biasa, mereka adalah orang-orang biasa yang menyampaikan firman Allah dalam bahasa yang biasa. Kita melihat keragaman ini bahkan dalam inkarnasi. Allah yang menjadi daging di dalam rahim seorang perawan tidak lain adalah campur tangan langsung dan ajaib dalam sejarah. Meski demikian, Dia mengambil kemanusiaan-Nya dari Maria dalam cara yang biasa, melalui kehamilan selama 9 bulan. Cara Maria melahirkan Allah yang berinkarnasi pun bukanlah sesuatu yang ajaib. Allah bahkan bertumbuh besar dalam cara yang biasa, melalui cara-cara yang biasa: "Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia" (Lukas 2:52). Lagi pula, keajaiban luar biasa dari kelahiran baru kita berasal dari atas, tetapi kita dipersatukan dengan Kristus melalui pemberitaan Injil yang biasa. Beberapa pertobatan memang radikal; beberapa yang lain bertahap. Dalam kedua kasus tersebut, pekerjaan Allah yang ajaib terjadi melalui sarana anugerah yang biasa. Dalam semuanya ini, Allah adalah aktornya, bahkan ketika Dia bertindak melalui sarana ciptaan. Bukan kita yang naik kepada Allah, melainkan Dialah yang turun kepada kita, dan menyampaikan anugerah-Nya kepada kita melalui kata-kata dan perbuatan yang bisa kita pahami. Hal yang biasa bukan berarti hal yang rata-rata. Atlet, arsitek, humanis, dan seniman dapat menjamin bahwa pentingnya kesetiaan sehari-hari terhadap tugas-tugas dunia yang biasa mengarah pada keunggulan. Namun, meskipun kita bukanlah yang paling hebat dalam berbagai panggilan kita, cukuplah untuk mengetahui bahwa kita dipanggil ke sana oleh Allah untuk tetap beriman di dalam dunia milik-Nya. Kita memandang kepada Allah dengan iman dan memperhatikan sesama kita dalam kasih dan melalui pekerjaan baik. Anda tidak perlu mengubah dunia untuk menjadi seorang ibu atau ayah, saudara kandung, anggota gereja, atau tetangga yang beriman. Siapa tahu? Mungkin jika kita menemukan peluang dari hal-hal yang biasa, kesukaan terhadap hal yang biasa, dan rasa takjub terhadap hal yang biasa, kita akan menjadi radikal juga pada akhirnya. (t/Jing-Jing)
Seminar "NARASI SUBVERSIF EKSODUS"Oleh: Roma "Kitab Keluaran merupakan salah satu narasi besar yang telah menjadi nadi identitas umat Israel. Sayangnya, orang Kristen saat ini cenderung jarang menghayati narasi ini sebagaimana mestinya, yaitu sebagai narasi subversif. Seminar ini akan mencoba melihat narasi Keluaran dalam konteks dekat revolusi Israel serta penghayatan kontemporernya pada masa kini." selengkapnya...» Pendidikan yang Berpusat kepada Allah
Editorial:
Dear e-Reformed Warganet, Abad pertengahan dalam sejarah gereja, berlangsung dari abad ke-5 sampai abad ke-15 M. Masa ini dimulai dengan runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat dan berlangsung hingga sebelum Reformasi Luther pada tahun 1517. Pendidikan pada masa itu adalah pendidikan yang didasarkan pada perenungan dalam hidup biara, dan para teolognya cenderung melakukan askese. Perenungan hidup di biara dan beraskese dinilai dapat mencapai pengenalan akan Allah dan mendapatkan kebahagiaan. Mengapa pendidikan pada masa abad pertengahan justru menjadi tolok ukur "Pendidikan yang berpusat kepada Allah"? Nicholas P. Wolterstorff dalam bukunya yang berjudul Mendidik untuk Kehidupan menjelaskan bahwa pendidikan yang berpusat pada Allah akan menghasilkan Shalom. Apa maksudnya? Dapatkan jawabannya dengan membaca artikel di bawah ini. Harapan kami, para pembaca akan mendapatkan wawasan yang semakin luas tentang pentingnya pendidikan yang berpusat pada Allah yang menghasilkan Shalom dalam hidup kita. Selamat merenungkan.
Edisi:
Edisi 200/Mei 2018
Isi:
Kita harus memahami ungkapan "pendidikan yang berpusat kepada Allah" dengan benar, karena kalau tidak, kita akan menyimpang. Menurut visi Abad Pertengahan tentang cara hidup orang Kristen di dunia, kehidupan bermeditasi lebih baik daripada kehidupan yang aktif. Segenap umat manusia mencari kebahagiaan; dalam hal ini, demikian pendapat orang-orang Abad Pertengahan, tidak ada perbedaan dalam masing-masing pribadi. Yang berbeda adalah isu di mana letaknya kebahagiaan kita. Kebanyakan pemikir Abad Pertengahan meyakini bahwa kita diciptakan sedemikian rupa hingga kebahagiaan kita terletak dalam kehidupan akal budi, terfokus pada hal yang paling berharga -- Allah. Tujuan sejati manusia terletak dalam memalingkan diri dari dunia ini untuk masuk ke dalam meditasi yang didasari oleh pengenalan dan kasih akan Allah. Di sini, dan hanya di sinilah, terletak kebahagiaan tertinggi. Adapun pendidikan yang dirancang untuk memupuk cara hidup seperti itu di dunia -- yang dirancang untuk mendorong orang berpaling dari dunia untuk merenungkan Allah -- saya rasa patut dinamakan, "pendidikan yang berpusat pada Allah". Namun, bukan ini yang saya maksudkan dengan ungkapan ini, sebab pengertian saya mengenai cara hidup orang Kristen yang sejati di dunia, sejujurnya, adalah pengertian Reformasi -- sekalipun saya sama sekali tidak ingin menyiratkan bahwa hal ini tidak didapati di luar gereja-gereja Reformasi karena memang ada. Tidak diragukan bahwa alternatifnya dapat didekati dari berbagai arah yang berbeda. Dahulu, saya mendekatinya dengan menyelidiki natur iman. Akan tetapi, di sini, pada kesempatan ini, saya ingin mencapainya dari sudut yang berbeda. "Aku adalah Alfa dan Omega," firman Allah dalam kitab Wahyu. Dia "yang ada dan yang sudah ada dan yang akan datang". Gambaran Allah dalam persepsi teolog-teolog Abad Pertengahan ialah bahwa Allah berada di luar waktu, berdiam dalam kekekalan, senantiasa hadir, tanpa masa lampau dan tanpa masa depan, tidak beremosi, tidak berubah. Gambaran penulis-penulis Alkitab sangat berbeda: Allah ialah masa lampau dan masa mendatang seperti juga masa kini, sebab perbuatan-perbuatan-Nya adalah masa lampau dan masa mendatang seperti juga masa kini. Perbuatan-Nya tercatat dalam sejarah kita, dan membentuk dasar sejarah kita. Inti dari natur cara hidup orang Kristen di dunia adalah fakta bahwa Allah yang diakuinya terlibat dalam sejarah yang merupakan milik Allah dan milik kita, tetapi dalam sejarah ini, Allah adalah Tuhan, dan kita bukan. Ingatlah pidato perpisahan Musa kepada umat Israel yang kita baca di kitab Ulangan. Seperti gong raksasa yang dipukul berulang kali, tiga tema terjalin di seluruh pidato itu: ingatlah, berharaplah, dan berhati-hatilah. Israel harus senantiasa ingat bahwa Allah yang menciptakan langit dan bumi telah membebaskan mereka dari perbudakan kerja paksa di tempat pembuatan batu bata di Mesir. Mereka harus senantiasa hidup dalam pengharapan yang teguh bahwa Allah akan setia akan janji-Nya untuk memberkati umat-Nya, dan memberi mereka tanah tempat tinggal. Dan, dalam lingkup di antara tidak pernah lupa dan tidak henti-hentinya berharap, Israel harus memperhatikan perintah-perintah Allah, perintah yang tidak membebankan suatu kewajiban asing, tetapi untuk kebaikan umat sendiri (Ulangan 10:13) agar mereka hidup (Ulangan 4:1). Dalam masyarakat, mereka tidak boleh memutarbalikkan keadilan; keadilan dan semata-mata keadilanlah yang harus mereka kejar (Ulangan 16:19-20). Dan, mereka akan bersujud di hadapan Tuhan Allah, bersukaria karena segala yang baik yang diberikan-Nya kepada mereka (Ulangan 26:10-11). Yang unik dalam kehidupan umat Israel ialah bahwa pekerjaan dan ibadah mereka menjadi cara mereka memelihara iman kepada Allah, yang perbuatan-Nya dalam membebaskan dan memberkati mereka harus diingat dan diharapkan sampai selamanya. Menurut saya, cara hidup orang Kristen di dunia, meskipun berbeda dalam substansi, harus sama dalam strukturnya. Inti perbedaannya, tentu saja, adalah bahwa Mesias yang diramalkan dan diharapkan oleh Israel telah ditemukan oleh orang Kristen dalam diri Yesus dari Nazaret. Teologi Kristen sepenuh adalah teologi yang berharap dan mengingat, di samping teologi yang memelihara iman kepada Allah yang diingat dan diharapkan oleh manusia. Saya yakin Anda telah mulai melihat beberapa implikasi bagi visi pendidikan. Sasaran tertinggi pendidikan, dalam pandangan orang Kristen, bukanlah pendewasaan murid, meskipun pendewasaan memang akan terjadi; bukan sosialisasi murid, meskipun sosialisasi juga akan terjadi; bukan pula perenungan tentang Allah, kendati itu pun akan terjadi. Sasarannya adalah membimbing anak ke dalam kehidupan yang memelihara iman kepada Allah yang kita ingat dan harapkan. Marilah saya paparkan lebih lanjut tentang hal memelihara iman. Gambaran cara hidup Kristen di dunia yang baru saja saya kemukakan kepada Anda jelas merupakan gambaran yang sakramental. Dunia kita adalah sakramen Allah. Dalam alam dan sejarah, kita berjumpa dengan Allah. Realitas dipenuhi dengan sakralitas (perlambangan). Baik dalam keseluruhannya sebagai kosmos maupun sebagai sejarah, realitas merupakan "epifani" Allah, sarana penyataan, hadirat, dan kuasa-Nya. (Realitas) benar-benar 'berbicara' tentang Dia dan dalam dirinya sendiri, merupakan sarana yang penting bagi pengenalan akan Allah dan persekutuan dengan-Nya, dan itulah natur sejati dan destiny tertinggi dari realitas". Dan, apakah respons kita yang sepatutnya setelah kita menyadari bahwa dalam perjalanan kita di dunia, kita harus berurusan dengan Allah? Saya menyukai apa yang dikatakan John Calvin tentang hal ini. Rasa syukur, katanya, adalah respons kita yang sepatutnya: rasa syukur dalam ketaatan, penyembahan, dan apresiasi. Marilah saya tekankan setiap kualitas ini: Rasa syukur akan mewujudkan dirinya dalam ketaatan terhadap kehendak Allah, terhadap hukum-hukum Allah. Rasa syukur juga akan mewujudkan diri dalam penyembahan kepada Allah. Memang, penyembahan sendiri juga merupakan tindakan ketaatan, tetapi alasan paling kuat bagi orang Kristen untuk menyembah Allah bukanlah karena mereka diperintahkan menyembah, melainkan karena terdorong oleh rasa syukur; mereka dengan spontan menyembah. Dan, yang ketiga, rasa syukur mewujudkan dirinya dalam apresiasi ketika kita memakai benda-benda di sekeliling kita dalam kesukaan yang membahagiakan dan kebahagiaan yang menyukakan. Kata Calvin, "Bila kita merenungkan apa tujuan Allah menciptakan makanan kita, akan mendapati bahwa Ia bukan hanya menyediakannya demi memenuhi kebutuhan, tetapi juga untuk kenikmatan dan kesenangan kita .... Dalam rumput-rumputan, pepohonan, dan buah-buahan, di samping berbagai kegunaannya, ada keindahan dalam penampilannya serta aroma yang menyenangkan." Jikalau orang-orang Kristen yang berpegang pada tradisi Reformasi berupaya mencapai inti dari memelihara iman kepada Allah, kerap ketaatanlah yang mereka tekankan. Allah dipandang terutama sebagai pemberi hukum dan kita terpanggil untuk taat. Kita mempunyai tugas di dunia. Pada dasarnya, menjadi manusia berarti memiliki tanggung jawab. Dahulu, saya sendiri terkadang berbicara seperti itu. Akan tetapi, hari ini, saya ingin menampilkan gambaran yang lain. Ketaatan tentu saja ada. Saya sama sekali tidak menyangkali, atau mengabaikan, pentingnya hukum, norma-norma, tugas, dan tanggung jawab. Namun, menurut saya, ada sesuatu yang lebih bermakna dalam cara hidup Kristen di dunia selain daripada ketaatan kepada Allah, yang terutama dipandang sebagai pemberi hukum. Sesuatu yang lebih bermakna itu adalah rasa syukur kepada Allah yang mengasihi anak-anak-Nya. Mungkin sebaiknya saya tambahkan, rasa syukur yang ditimbulkan oleh hajaran, sebab orang Kristen juga menyadari murka Allah kepada barangsiapa yang menghinakan pemberian-Nya dan Sang Pemberi sendiri. Jadi, ketaatan adalah perwujudan dari rasa syukur, tetapi hanya salah satunya, sebab ada pula penyembahan, serta apresiasi terhadap dunia sekitar kita dalam kesukaan dan kebahagiaan. Sekali lagi, saya percaya bahwa Anda telah melihat sekilas dari pandangan-pandangan yang terbentang bagi pendidikan. Beberapa tahun yang silam, saya menulis sebuah buku berjudul Educating for Responsible Action. Saya menegaskan bahwa teori pendidikan Kristen adalah salah satu versi dari teori tanggung jawab. Saya masih tetap memegang pendapat ini. Akan tetapi, ini belum mencakup gambaran selengkapnya. Cara hidup Kristen di dunia ialah kehidupan dengan rasa syukur yang disertai tanggung jawab, penyembahan, dan apresiasi. Itulah tujuan pendidikan. Mendidik untuk Shalom Dan, kini, saya ingin meninjau topik kita dari sebuah sudut lain lagi, kali ini bukan dari sudut memelihara iman, melainkan dari sudut perbuatan Allah kepada Siapa kita beriman. Allah yang ada dan yang sudah ada dan yang akan datang, Allah yang perbuatan-Nya kita ingat dan harapkan dan kenali -- seperti apakah pola perbuatan-perbuatan-Nya? Apakah sasaran yang dituju-Nya? Satu jawaban yang menonjol dalam Perjanjian Baru adalah bahwa Allah bekerja untuk meneguhkan pemerintahan-Nya, kerajaan-Nya. Saya ingin bertanya pada kesempatan ini, apakah isi dari pemerintahan Allah? Menurut saya, para penulis Alkitab menjawab bahwa isi pemerintahan Allah ialah damai sejahtera -- atau biarlah kita memakai kata Ibrani yang lebih tepat, yakni shalom. Komunitas tempat Kristus adalah Tuhan adalah komunitas shalom. Ya, tetapi apakah Shalom itu? Shalom ada bilamana seseorang hidup dalam damai sejahtera dalam semua hubungannya: dengan Allah, dengan diri sendiri, dengan sesama manusia, dengan alam. Apabila ada Shalom, maka:
Namun, untuk hidup dalam damai sejahtera dalam semua hubungan bukan hanya berarti tidak ada permusuhan, itu belum cukup. Membiarkan orang hidup belum berarti shalom. Shalom ialah kesukaan dalam setiap hubungan. Sebuah bangsa bisa saja hidup dalam damai dengan semua bangsa di sekitarnya, tetapi tetap hidup sengsara dalam kemiskinan. Hidup dalam shalom artinya menikmati hidup di hadapan Allah, menikmati hidup dalam lingkungan fisiknya, menikmati hidup dengan sesama manusianya, menikmati hidup dengan dirinya sendiri. Pertama, shalom mencakup hubungan yang benar dan selaras dengan Allah, dan sukacita dalam penyembahan dan pelayanan kepada Allah. Ketika para nabi berbicara tentang shalom, mereka berbicara tentang suatu hari ketika umat manusia tidak lagi akan melarikan diri dari Allah sepanjang masa, suatu hari ketika mereka tidak lagi akan berbalik untuk melawan pengejar ilahi mereka. Shalom disempurnakan apabila umat manusia mengakui bahwa dalam pelayanannya kepada Allah-lah didapati kesukaan sejati. "Gunung rumah TUHAN", demikian kata nabi:
Yang kedua, shalom mencakup hubungan yang benar dan selaras dengan sesama manusia lainnya dan kesukaan dalam komunitas manusia. Shalom tidak ada bilamana masyarakat merupakan sekumpulan individu yang masing-masing hendak memperjuangkan jalannya sendiri di dunia. Dan, tentu saja, kesukaan dalam masyarakat bisa ada hanya bila keadilan berkuasa, hanya bila manusia tidak lagi saling menindas. Hanya bila "di padang gurun selalu akan berlaku keadilan dan di kebun buah-buahan akan tetap ada kebenaran" -- maka "di mana ada kebenaran akan tumbuh damai sejahtera (shalom), dan akibat kebenaran ialah ketenangan dan ketenteraman untuk selama-lamanya" (Yesaya 32:16-17). Dalam shalom: Kasih dan kesetiaan akan bertemu, Ketiga, shalom mencakup hubungan yang benar dan selaras dengan alam dan kesukaan dalam alam jasmani di sekeliling kita. Shalom datang bila kita, makhluk-makhluk badani, dan bukan jiwa-jiwa tanpa raga, membentuk dunia dengan pekerjaan kita dan menemukan pemuasan di dalamnya dan sukacita dalam hasilnya. Ketika berbicara tentang shalom, nabi berbicara tentang suatu hari ketika Tuhan akan menyediakan bagi segala bangsa: suatu perjamuan dengan masakan yang bergemuk, Audio Pendidikan yang Berpusat kepada Allah
Motivasi Bagi Penginjilan
Editorial:
Dear Netters, Dalam melayani Tuhan dibutuhkan motivasi yang murni sehingga hati dan jiwa kita tetap lurus dan tidak ada unsur-unsur campuran yang menghalangi pelayanan kita. Bagaimana cara kita memiliki motivasi yang murni? Dalam artikel yang dibawakan oleh Pdt. Stephen Tong di bawah ini kita akan belajar bahwa motivasi melayani sangat penting dalam pelayanan supaya kita dapat bertahan menghadapi kesulitan apapun yang menghadang kita, terkhusus ketika kita menjalankan tugas penginjilan. Lalu, apa hubungan motivasi dan kehendak Allah dalam penginjilan? Allah dalam kehendak-Nya yang kudus dan agung memercayakan kepada kita tugas pemberitaan Injil supaya orang-orang yang belum mendengar Injil tidak berjalan menuju kebinasaan, tetapi bertobat dan menjadi anak-anak Allah. Saya berharap melalui artikel yang kami siapkan bulan ini, para pembaca akan semakin sadar bahwa memberitakan Injil adalah kehendak Allah. Jika semakin hari semakin banyak kita melihat jiwa yang berjalan menuju kebinasaan, apa yang akan kita lakukan? Termotivasikah kita untuk menjangkau mereka dan menjalankan kehendak Allah? Karena itu, marilah kita sungguh-sungguh menggunakan waktu dan kesempatan yang ada untuk memberitakan Injil dengan serius dan meminta anugerah Tuhan agar kehendak-Nya terjadi. Soli Deo gloria!
Edisi:
Edisi 199/April 2018
Isi:
Kita harus terlebih dahulu mengerti dengan jelas tentang istilah motivasi. Motivasi bukanlah tujuan, dan tujuan bukan motivasi. Motivasi adalah penyebab yang menghasilkan suatu tindakan, sedangkan tujuan adalah hasil yang diharapkan dapat tercapai melalui tindakan itu. Sering kali, kita mencampuradukkan kedua istilah tersebut. Misalnya, orang yang percaya kepada Yesus memperoleh hidup yang kekal. Hidup yang kekal adalah istilah hasil dari percaya, bukan motivasi untuk percaya. Motivasinya adalah: karena kasih karunia Allah telah dicurahkan kepada kita, Kristus telah mati bagi kita, dan telah menebus kita supaya kita menjadi milik-Nya; karena terdorong oleh kasih-Nya itulah, kita mau kembali kepada-Nya. Itulah motivasi untuk percaya, sedangkan masuk surga merupakan akibatnya atau hasilnya, bukan motivasinya. Demikian pula, motivasi dan tujuan pemberitaan Injil berbeda. Jika seseorang memiliki motivasi yang murni, dia pasti memiliki jiwa yang lurus, baik antara Allah dan manusia, maupun antara langit dan bumi. Sebaliknya, jika seseorang tidak memiliki motivasi yang murni, betapa pun banyaknya bakat dan talenta yang dia miliki, dia tidak akan dapat mencapai hasil yang positif secara menyeluruh. Motivasi memang sangat penting. Allah tidak akan menerima pelayanan yang bermotivasi campuran. Oleh karena itu, kita harus meniadakan unsur-unsur campuran dalam motivasi pelayanan kita. Dalam dunia kekristenan, banyak orang berbakat yang tidak mencapai hasil pelayanan yang seharusnya dicapainya. Salah satu penyebab utama ialah motivasi yang tidak murni. Paulus berkata, "Aku telah mempertunangkan kamu kepada satu laki-laki untuk membawa kamu sebagai perawan suci kepada Kristus" (2 Korintus 11:2). Kesucian dan kemurnian adalah hal yang terpenting pada saat kita melayani. Motivasi yang paling dasar dan paling minimal ini haruslah kita pertahankan. Seorang yang bermotivasi murni tidak mudah mengalami depresi pada saat putus asa, tidak mudah berkompromi pada saat menghadapi musuh yang kuat, dan tidak mudah goyah pada saat menghadapi banyak godaan. Sebaliknya, motivasi yang benar memberi kekuatan yang besar pada saat yang paling melelahkan, memberi keteguhan pada waktu penganiayaan menimpa, dan memberi sukacita pada waktu sengsara menekan; pada saat lingkungan menunjukkan kegelapan yang paling dahsyat, cahaya dalam hati kita menjadi makin terang. Maka dari itu, motivasi yang murni dan hati nurani yang suci adalah salah satu penyebab paling penting bagi suksesnya pelayanan kita. Kalau begitu, apakah sebenarnya motivasi yang murni dalam penginjilan? A. Kehendak Allah Kehendak Allah adalah unsur yang menentukan eksistensi dari segala sesuatu. Selain Allah sendiri, tidak ada hal lain yang lebih besar dari kehendak-Nya. Apakah kehendak Allah? Yaitu segala sesuatu yang telah ditetapkan dalam hati Allah. Allah adalah Allah yang kekal, yang melampaui sejarah, yang menciptakan waktu dan ruang. Segala sesuatu yang telah direncanakan dan ditetapkan dalam hati Allah melampaui waktu dan ruang adalah hal-hal yang berhubungan dengan kekekalan. Kehendak Allah tidak perlu dirundingkan dengan manusia. Keterlaksanaannya juga tidak perlu tergantung pada kerja sama manusia dengan-Nya. Dia adalah Allah yang melakukan segala sesuatu menurut kehendak sendiri. Sebagaimana perintah Raja harus dilaksanakan, terlebih lagi kehendak Allah pasti Dia genapi. Orang Tionghoa menyebut perintah raja sebagai perintah atau kehendak kudus. Karena itu, ketika utusan raja membawa perintah raja dan memasuki sebuah kota, juga disebut perintah kudus, maka berlututlah kepala daerah dan semua orang kepadanya. Bolehkah mereka berkata, "Perintah raja yang bagaimana? Dapatkah kita mendiskusikannya sebentar supaya kita tahu apakah perintah itu dapat dilaksanakan atau tidak?" Tentu tidak mungkin hal seperti itu terjadi. Yang ada hanya kewajiban untuk mematuhi. Rakyat tidak diberi kesempatan untuk berdiskusi. Jika raja dunia yang salah berbuat demikian, lalu bagaimanakah sikap kita terhadap Allah yang tidak mungkin berbuat salah? Saya tidak terlalu sering menggunakan istilah "kehendak" karena banyak orang Kristen yang ceroboh memakai istilah "kehendak Allah" atau "pimpinan Roh Kudus". "Dunia ini sedang lenyap dengan keinginannya, tetapi orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup selama-lamanya" (1 Yohanes 2:17). Oleh sebab itu, kita harus membedakan dengan tegas antara kehendak dan pimpinan. Kehendak Allah berbeda dengan pimpinan Roh Kudus, tetapi keduanya mempunyai hubungan. Pimpinan Roh Kudus akan membawa manusia memasuki kehendak Allah yang kekal; pimpinan adalah proses, sedangkan kehendak adalah ketetapan. Segala sesuatu yang direncanakan Allah dalam kekekalan merupakan keputusan yang tidak dapat diubah, tetapi bagaimana mungkin manusia yang berdosa dapat masuk ke dalam kehendak Allah? Untuk itu, diperlukan pimpinan Roh Kudus. Siapakah yang dapat dipimpin oleh Roh Kudus kecuali anak-anak Allah? (Roma 8:14) Roh bukan saja memperanakkan kita, tetapi Ia juga memimpin kita yang diperanakkan-Nya masuk ke dalam kehendak Allah untuk disempurnakan-Nya. Karena memberitakan Injil adalah hal yang sudah Allah tetapkan dalam kekekalan dan dipercayakan kepada kita untuk melaksanakannya, maka orang-orang yang dipredestinasikan oleh Allah akan menerima Injil, dan menjadi anak-anak Allah. Apakah doktrin ini menghambat pemberitaan Injil? Tidak! Sebab, predestinasi Allahlah yang menjamin kita berhasil dalam pemberitaan Injil. Jika kita sungguh-sungguh tahu bahwa penginjilan adalah menjalankan kehendak Allah, kita tidak terpengaruh oleh hasil kita. Bukankah Nuh sudah menjadi contoh bagi kita? Setelah 120 tahun memberitakan firman, yang menerima hanya keluarganya sendiri. Itu sebabnya, saya menganggap Nuh sebagai penginjil yang teragung sepanjang sejarah karena dia memberitakan berdasarkan kehendak Allah, bukan terpengaruh oleh hasil pemberitaannya. Sekalipun demikian, faktanya, pada saat kita memberitakan Injil, tidak mungkin tanpa ada hasil. B. Pengutusan Kristus Setelah Tuhan Yesus menang atas kuasa maut, Dia lalu mengutus gereja-Nya untuk memberitakan Injil. Jadi, kita memberitakan Injil karena Raja di atas segala raja dan Tuan di atas segala tuan telah memercayakan tugas penginjilan kepada kita. Paulus berkata, "Kalau andaikata aku melakukannya menurut kehendakku sendiri, ... pemberitaan itu adalah tugas penyelenggaraan yang ditanggungkan kepadaku" (1 Korintus 9:17). Tuhan memercayakan tugas itu kepada diri kita. Betapa mulia hal ini, dan menakutkan! Siapakah yang telah menyerahkan tugas ini kepada kita? Pencipta semesta alam, Tuhan yang telah menyelamatkan saya, yang akan menghakimi saya, bahkan menghakimi seluruh dunia! Tuhan yang begitu terhormat dan mulia menyerahkan tugas itu kepada kita, maka kita pun patut memiliki rasa tanggung jawab yang serius terhadapnya. Gerakan penginjilan sepanjang sejarah merupakan kepatuhan anak-anak Tuhan kepada pengutusan Kristus ini. Sejak saat rasul-rasul menerima Amanat Agung di bukit Galilea sampai sekarang, kita melihat dalil yang tidak pernah berubah, yaitu barang siapa mematuhi pengutusan ini, mereka menerima pertolongan Roh Kudus. Mereka menikmati penyertaan Allah, dan mereka menjadi rekan Allah untuk memberitakan Injil kepada umat manusia. C. Dorongan Kasih Kristus Paulus menyebutkan dengan jelas, "Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa" (Roma 5:8). Di sini terlihat bahwa "Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka" (2 Korintus 5:15). Ketika kasih hadir dalam hidup seseorang, dia akan menemukan bahwa hidupnya dilingkungi, dipegang, dan diliputi oleh kasih. Kasih telah menguasai kebebasannya, juga telah menentukan arah langkahnya. Oleh sebab itu, dirinya sendiri rela ia serahkan kepada Tuhan, dan segenap potensi yang ada pada dirinya ia serahkan sepenuhnya. Dengan kasih Allah inilah, beribu-ribu misionaris rela meninggalkan keluarga mereka, bangsa mereka, dan menuju tempat yang jauh untuk memberitakan Injil. Pada tahun 1969, saya pertama kali melintasi benua Asia menuju Eropa. Pada saat melewati Turki, karena terdorong oleh rasa ingin tahu, saya melihat keadaan di bawah melalui jendela pesawat terbang. Di situ terbentang provinsi Galatia, Atalia, dan daerah-daerah lain yang pernah dijelajahi oleh Paulus. Baru saya tahu bahwa daerah itu begitu tandus, begitu luas, begitu kering. Di daerah padang belantara yang kering kerontang semacam ini, bisakah kita membayangkan bagaimana Paulus telah pergi dengan kaki sebagai kendaraannya untuk memberitakan Injil? Jika bukan kasih Kristus yang mendorongnya, mungkinkah Paulus rela berkorban seperti ini? Dalam hati para rasul, terdapat suatu tekad yang agung, yaitu pergi, pergi! Paulus pergi, Petrus pergi, Yohanes pergi, Tomas pergi; pergi ke Afrika Utara, ke Arab, ke Eropa, ke India, ke Asia kecil; baik di padang belantara, di hutan rimba, mereka hanya tahu pergi, tanpa bertanya ke mana mereka harus pergi, kapan mereka kembali, apakah dijamin dapat kembali. Asalkan bisa pergi, hati mereka sudah cukup puas. Bagi orang yang rela mati di tangan Tuhan, adakah tempat yang tidak dapat dikunjunginya? Manusia semacam ini, semakin berat jatuhnya, semakin besar aniaya yang dideritanya, justru mendesak dia untuk menyelinap ke dalam lengan Tuhan yang penuh kasih dan kelembutan. Itulah sebabnya, mereka rela pergi. Di sinilah, letak rahasia rohani: berapa besar kasih seseorang terhadap Tuhan tergantung sampai berapa dalam dia menyelami kasih dan pengorbanan Tuhan di bukit Golgota. Bila seseorang sudah mengalami kasih itu dan menyelaminya dengan sungguh-sungguh, dengan sendirinya dia dapat mengasihi Tuhan dengan lebih mendalam. Paulus mengalami pelbagai mara bahaya, baik yang berasal dari banjir, penyamun, saudara-saudara palsu, di darat, di laut, dari orang Yahudi, dan bukan Yahudi; dalam keadaan telanjang, dihina, sengsara, kedinginan, diadili dan dipukul, mengalami penganiayaan dan penderitaan, tetapi dia tetap memberitakan Injil. Apakah sebabnya dia rela menanggung semua itu? Gilakah dia? Bodohkah dia? Sama sekali tidak! Sebaliknya, Paulus tergolong kaum intelektual agung pada zaman itu. Sampai hari ini, dia tetap termasuk salah seorang dari puluhan pemikir yang paling besar pengaruhnya terhadap umat manusia dalam sejarah. Tokoh yang demikian besar ternyata telah melalui suatu kehidupan yang amat sangat menderita -- dia dipukuli, dicaci maki, dan dianiaya. Apakah sebabnya dia mau menderita penganiayaan dunia yang sementara ini? Paulus sendiri pasti merasa heran sehingga dia menjawab, "Sebab kasih Kristus yang menguasai kami ...." (2 Korintus 5:14; dalam terjemahan lain: menggerakkan dan mendorong). Sebagaimana seorang ibu yang melahirkan tidak lagi bisa tahan ketika saatnya sudah tiba, demikian juga orang yang didorong oleh kasih Tuhan tidak mungkin menahan diri untuk memberitakan Injil. Itulah arti dari "menggerakkan dan mendorong". D. Perasaan Berutang Orang Kristen adalah orang yang menuju kesempurnaan melalui perasaan berutang. Dalam Alkitab, kita melihat utang kemuliaan kita terhadap Allah, utang kasih kita terhadap sesama, dan lebih dari itu, kita masih mempunyai utang terhadap dunia, yaitu utang Injil. Bila gereja hari ini tidak maju, itu adalah karena gereja tidak memiliki perasaan berutang. Paulus berkata, "Aku berhutang baik kepada orang Yunani, maupun kepada orang bukan Yunani, baik kepada orang terpelajar, maupun kepada orang tidak terpelajar" (Roma 1:14). Perasaan berutang semacam inilah yang selalu mendesak Paulus memberitakan Injil kepada manusia dari lapisan mana saja. Bagaimanakah dengan kita? Apakah kita juga menuju kesempurnaan melalui perasaan berutang ini, atau merasa diri sudah kaya sehingga menuju kepada kemiskinan rohani kita? Bukankah kita yang seharusnya menginjili dunia, tidak peduli siapa mereka, baik kaum miskin, kaum kaya, orang intelektual, maupun rakyat jelata, yang sama-sama membutuhkan Injil? Bukankah perasaan berutang ini harus diikuti oleh pembayarannya, yakni melaksanakan penginjilan? Apakah kita sudah memperlengkapi diri untuk mengisi kebutuhan setiap lapisan masyarakat dengan Injil secara relevan? E. Pengharapan Manusia Alkitab dengan jelas memberitakan bahwa, "Injil Kerajaan ini akan diberitakan di seluruh dunia menjadi kesaksian bagi semua bangsa, sesudah itu barulah tiba kesudahannya" (Matius 24:14). Jadi, apakah yang harus dilakukan oleh orang-orang yang mengharapkan kedatangan Tuhan kembali? Ada dua hal yang harus kita lakukan: yang pertama, menyucikan diri, dan yang kedua, menyelesaikan pekerjaan-Nya melalui pemberitaan Injil. Bagaimanakah kita harus menyambut kedatangan Tuhan kembali? Bukankah dengan hati yang bersih dan tangan yang suci? Dengan demikian, kita harus meniadakan kejahatan dari hati kita, dan menghapus tipu daya dari tangan kita, menghapus segala kenajisan dan hati yang bercabang, supaya kita dapat menantikan kedatangan Yesus Kristus kembali dengan tulus, dengan tekad yang bulat, dengan hati nurani yang bersih, dengan kehidupan yang suci. Alkitab hampir tidak menyinggung berdasarkan apakah kita dipakai oleh Tuhan, kecuali menjadi kudus. "Jika orang menyucikan dirinya dengan hal-hal yang jahat, ia akan menjadi perabot rumah untuk maksud yang mulia, ia dikuduskan, dipandang layak untuk dipakai tuannya dan disediakan untuk setiap pekerjaan yang mulia" (2 Timotius 2:21). Taat kepada Roh Kudus, membiarkan Roh Kudus bekerja dalam diri kita. Dengan itulah, baru kita dapat mempunyai kehidupan yang kudus dan menghasilkan buah-buah Roh Kudus. Hal yang kedua, yaitu memberitakan Injil sampai Kristus datang kembali. Sebab, kedatangan Kristus yang kedua kali itu bukan dengan status Juru Selamat, bukan lagi sebagai utusan perdamaian, melainkan sebagai Hakim yang terakhir, penghakiman dari yang Maha Kuasa. Itu sebabnya, kita harus memberitakan firman Tuhan dengan serius, menasihati orang agar bertobat kembali kepada Kristus. Audio Motivasi Bagi Penginjilan
Allah yang Pemurah
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Peristiwa Keluaran, yakni seluruh kisah Musa memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir dan berjalan melintasi padang gurun selama empat puluh tahun, cenderung identik dengan kemahakuasaan Allah yang menghancurkan musuh-Nya serta keadilan Allah yang menuntut manusia untuk hidup kudus sempurna. Namun, ada satu aspek di dalamnya yang kerap terlupakan -- suatu atribut kekal Allah yang seolah tertimbun di bawah tumpukan hukum Taurat yang ketat -- yakni kemahahadiran Allah, kesetiaan-Nya yang lembut. Inilah sisi yang secara unik diangkat dalam artikel di bawah. Dalam tulisannya ini, Sinclair Ferguson mengajak kita menjelajahi kisah Keluaran yang dahsyat dan riuh dengan kembali pada suatu hari yang tampak biasa di Gunung Horeb, saat Musa sedang sendirian di tengah keheningan alam bersama kambing domba mertuanya. Peristiwa nyala api di atas semak duri yang telah familiar ini dikaji sedemikian hingga kita melihat kedalaman karakter ilahi yang jarang digali dari kisah ini. Allah bukan saja tiang api raksasa yang bisa menyelubungi ribuan orang, tetapi Ia juga bisa mewahyukan diri dalam bentuk kobaran api yang kelihatannya tidak berbahaya sehingga menarik perhatian Musa untuk datang mendekat. Itulah Tuhan kita, akbar tak terukur, tetapi bisa dan mau mengecilkan diri sedemikian rupa untuk ada bersama manusia. Merendahkan diri hingga seolah hilang kemegahan-Nya supaya bisa didekati umat-Nya. Inilah Allah pemurah. Eksposisi terhadap episode pemanggilan Musa dalam artikel ini secara jeli menyibakkan kesinambungan antara penyingkapan pribadi Allah dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, terutama dalam aspek kemahahadiran-Nya yang senantiasa setia di tengah umat manusia. Ia mendengar jerit pilu penderitaan anak-anak-Nya di bawah perbudakan, sehingga, sekalipun bersemayam dalam surga tanpa duka, Ia memilih untuk turun ke dunia penuh nestapa untuk hadir bersama kita yang dikasihi-Nya.
Edisi:
Edisi 1976/Februari 2018
Isi:
Musa sangat terpesona dengan api yang nyalanya tak tergantung dari semak duri yang di atasnya ia menyala. Akan tetapi, ada satu hal lagi yang menarik perhatian Musa. Musa berkata, "Baiklah aku menyimpang ke sana untuk memeriksa penglihatan yang hebat itu. Mengapakah tidak terbakar semak duri itu?" (Kel. 3:3) Kenyataan ini berlawanan dengan apa yang Musa ingin lihat: Api itu tidak menghanguskan semak duri. ![]()
"Moses before the Burning Bush" karya Domenico Fetti
Musa tidak menyadari hal ini sampai pada akhirnya Allah memberitahukan apa maksud dari semua itu. Dia bermaksud untuk diam di tengah-tengah umat-Nya -- Allah yang adalah api yang menghanguskan (Ibr. 12:29) -- tetapi umat-Nya itu dapat tetap selamat dan tidak turut dihanguskan. Mereka akan belajar untuk berkata, "Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya" (Rat. 3:22). Maksud Allah dalam peristiwa ini digarisbawahi lebih lanjut oleh Musa pada waktu Allah menyatakan nama-Nya. Berbagai terjemahan modern mengindikasikan bahwa nama itu dapat diterjemahkan dengan lebih dari satu cara. Nama itu memang mengandung lebih dari satu arti penting. Nama itu tidak hanya berarti "AKU ADALAH AKU", tetapi juga dapat berarti "Aku akan menjadi seperti apa Aku mau menjadi". Allah juga mengatakan kepada Musa bahwa hal itu akan tampak dalam karya penyelamatan dan penghukuman Allah pada saat Ia melepaskan Israel dari tangan bangsa Mesir, yang melaluinya Allah akan menunjukkan siapa Ia sebenarnya dan apa yang sedang Ia rencanakan. Lebih lanjut Allah berkata: TUHAN berfirman: "Aku telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umat-Ku di tanah Mesir, dan Aku telah mendengar seruan mereka yang disebabkan oleh pengerah-pengerah mereka, ya, Aku mengetahui penderitaan mereka. Sebab itu Aku telah turun untuk melepaskan mereka dari tangan orang Mesir dan menuntun mereka keluar dari negeri itu ke suatu negeri yang baik dan luas, suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya, ke tempat orang Kanaan, orang Het, orang Amori, orang Feris, orang Hewi, dan orang Yebus. Sekarang seruan orang Israel telah sampai kepada-Ku; juga telah Kulihat, betapa kerasnya orang Mesir menindas mereka. Jadi sekarang, pergilah, Aku mengutus engkau kepada Firaun untuk membawa umat-Ku, orang Israel, keluar dari Mesir. (Kel. 3:7-10) Kata kerja yang dipakai di ayat ini memberikan banyak pengertian penting kepada kita. Berulang kali, kata kerja yang dipakai ialah kata kerja orang pertama tunggal -- "Aku telah ...." Musa tidak banyak diberi tahu mengenai apa sebenarnya yang akan ia kerjakan, tetapi apa yang akan Allah kerjakan dalam kuasa-Nya yang berdaulat. Allah berencana untuk menyelamatkan umat-Nya dengan tangan-Nya sendiri. Dia sendiri yang akan mengalahkan musuh mereka dan membebaskan mereka. (Pada pasal berikutnya dari kitab Keluaran, ilustrasi lain digunakan untuk menggambarkan pembebasan ini: Allah menukik bagaikan rajawali, merampas umat-Nya dari tangan Firaun, dan membawa mereka keluar dari Mesir di atas kepakan sayap-Nya -- Kel. 19:4. Dia melakukan apa yang tidak dapat mereka lakukan sendiri.) Perhatikan, ada beberapa jenis aktivitas Allah yang disebutkan di sini; Dia melihat penderitaan mereka, Dia mendengar tangisan mereka, Dia memperhatikan penderitaan mereka; Dia turun untuk menyelamatkan mereka. Semuanya ini menunjukkan perhatian Allah Kita juga harus melihat bagian Alkitab lain yang mungkin merupakan gambaran paling hidup mengenai perhatian yang diberikan oleh "AKU ADALAH AKU" kepada umat-Nya saat Ia melepaskan mereka dari tangan Mesir. Adalah Nabi Yehezkiel, yang mengajarkan kepada kita untuk tidak menyalahartikan ketidaktergantungan Allah dalam keberadaan-Nya yang kekal dan ketidakacuhan-Nya terhadap kebutuhan umat-Nya. Justru sebaliknyalah yang terbukti benar: Kelahiranmu begini: Waktu engkau dilahirkan, pusatmu tidak dipotong dan engkau tidak dibasuh dengan air supaya bersih; juga dengan garampun engkau tidak digosok atau dibedungi dengan lampin. Tidak seorang pun merasa sayang kepadamu sehingga diperbuatnya hal-hal itu kepadamu dari rasa belas kasihan; malahan engkau dibuang ke ladang oleh karena orang pandang enteng kepadamu pada hari lahirmu. Maka Aku lalu dari situ dan Kulihat engkau menendang-nendang dengan kakimu sambil berlumuran darah dan Aku berkata kepadamu dalam keadaan berlumuran darah itu: Engkau harus hidup dan jadilah besar seperti tumbuh-tumbuhan di ladang! Engkau menjadi besar dan sudah cukup umur, bahkan sudah sampai masa mudamu. Maka buah dadamu sudah montok, rambutmu sudah tumbuh .... (Yeh. 16:4-7) Ya, Musa akan menyaksikan kedahsyatan kuasa Allah yang menyelamatkan. Akan tetapi, kuasa itu juga mengekspresikan kelembutan dan keindahan kasih dari rahmat Allah yang tak berkesudahan. Allah kita adalah Allah yang menghanguskan (lihat Ul. 4:24; Yes. 33:14; Ibr. 12:29). Dia tampil sebagai Api yang menyala untuk selama-lamanya, dan tinggal di tengah-tengah umat-Nya. Namun, Dia tidak menghanguskan mereka, Dia menyelamatkan mereka! Api itu tidak bergantung pada semak duri; Api itu tidak menghanguskan semak duri, tetapi api itu hadir di dalam semak duri. Semua ini menunjuk pada karakter ilahi ketiga Allah memang berkata kepada Musa, "Aku akan beserta denganmu." Akan tetapi, dengan cara bagaimana Allah akan menyertai Musa? Jawabannya kembali terdapat pada peristiwa keluarnya orang Israel dari Mesir. Arti dari peristiwa itu adalah bahwa Allah mengingat perjanjian yang telah diadakan-Nya dengan bangsa ini (Kel. 2:24 dan 6:5). Dia akan tetap memegang janji yang telah Dia ikat dengan Abraham, Ishak, dan Yakub. Inti perjanjian itu (sebagaimana inti dari seluruh perjanjian yang terdapat di Alkitab) adalah "Aku akan menyertai engkau" (Kel. 3:12). Penyertaan Allah atas kita adalah inti dari apa yang Ia janjikan kepada kita. Kita dapat merasa yakin atas penyertaan Allah karena Dia telah memberikan kepada kita janji ini. Terlebih lagi, apabila Allah beserta kita, tak ada suatu apa pun yang dapat melawan kita! Semakin lama kita menjadi seorang Kristen, semakin kita melihat dengan jelas betapa penting kebenaran yang tampaknya sederhana ini. Dalam beberapa hal, inilah pusat dari Injil -- "Imanuel, Allah beserta kita". Ini juga merupakan fakta yang paling dasar dari pengalaman hidup kita sebagai orang Kristen. Ketika Anda membaca cerita "semak duri yang terbakar", pernahkah Anda memperhatikan siapa yang berbicara kepada Musa dan berjanji untuk menyertainya? Dia yang berbicara kepada Musa di dalam Keluaran 3:2 digambarkan sebagai "Malaikat TUHAN". "Malaikat TUHAN" inilah yang menyingkapkan nama-Nya, yang berjanji untuk membebaskan Israel dan menebus mereka dari perbudakan. Siapakah sebenarnya Malaikat TUHAN ini? Apakah Ia adalah pesuruh yang diutus oleh Allah ataukah Allah sendiri? Bagian Alkitab selanjutnya akan memberikan jawabnya bagi kita. ![]()
"The Transfiguration of Christ" karya Tiziano Vecellio
Malaikat yang muncul di hadapan Musa di dalam semak duri adalah sama dengan Bayi yang muncul di hadapan manusia di sebuah palungan di kota Betlehem. Malaikat yang berbicara kepada Musa di padang gurun untuk membawa keluar orang Israel dari perbudakan Mesir adalah juga Dia yang berbicara dengan Musa dan Elia ketika mereka berdua menampakkan diri di hadapan-Nya di atas gunung dan berbicara dengan-Nya mengenai kematian-Nya untuk membawa keluar umat-Nya dari perbudakan dosa. Seperti yang telah kita bicarakan sebelumnya, kata Yunani yang dipakai dalam Lukas 9:31 mempunyai makna yang sama dengan kata yang dipakai dalam Keluaran. Dia yang "menamakan" diri-Nya "AKU ADALAH AKU" sama dengan Dia yang menyebut diri-Nya: Roti Hidup; Jalan dan Kebenaran dan Hidup; Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa kalau tidak melalui Aku; Kebangkitan dan Hidup. Dialah Pribadi yang pada saat berkata, "Akulah Dia," membuat jatuh para tentara yang bertanya kepada-Nya, "Apakah Engkau Yesus?" Mereka jatuh karena terkena dampak dari perkataan-Nya ketika Ia menyatakan identitas-Nya sebagai sang Kekal (Yoh. 18:6). Musa melihat dalam kekaburan, tetapi sekarang kita dapat melihat dengan jelas. Yesus telah menggenapi perjanjian Allah. Di dalam-Nya, kita menemukan hadirat Allah, Imanuel, Allah beserta kita. Saat kita menyadari kebenaran ini, yaitu bahwa hadirat Allah beserta dengan kita, beberapa hal penting seharusnya mengikuti kehidupan kita, seperti halnya itu mengikuti kehidupan Musa. Kita seharusnya dipenuhi dengan kerendahan hati yang baru karena kita telah bertemu dengan Allah. Kita seharusnya mempunyai rasa aman di dalam diri kita karena kita telah bertemu dengan Allah dan tetap hidup. Apa lagi yang perlu ditakuti? Kita seharusnya penuh dengan perasaan syukur karena Allah telah bekerja bagi kepentingan kita. Inikah Allah yang Anda kenal? Dengan cara inikah Anda mengenal-Nya? Jika ya, tak ada hal lain apa pun yang menjadi masalah bagi kita. Segala sesuatu yang lain akan berada di tempat yang seharusnya untuk melayani Allah. Pada akhirnya, inilah lagu yang baik sekali untuk dinyanyikan:
Allah menyatakan kehadiran-Nya
Kristus sebagai Nabi, Imam, dan Raja
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Frasa "Kristus sebagai Nabi, Imam, dan Raja" sudah tidak asing lagi di telinga kita, bahkan mungkin sudah sangat lekat dalam benak setiap orang percaya. Perjanjian Lama menubuatkan kedatangan Sang Nabi Agung, Imam Besar, dan Raja Semesta ini, sementara Perjanjian Baru menceritakan penggenapannya. Dalam Surat Ibrani dijelaskan dengan gamblang bagaimana Kristus menggenapkan jabatan imam besar; kepada Rasul Yohanes, Ia menyatakan kedaulatan-Nya sebagai Raja, yang ditulis dalam kitab Wahyu; sementara itu, Injil-Injil sinoptik menceritakan bagaimana Yesus melayani sebagai Nabi. Tentu saja, kita mengimani ketiga peranan Kristus tersebut sebagai suatu fungsi ilahi yang memungkinkan tersampaikannya firman Allah kepada dunia, subsitusi dan penebusan dosa manusia, serta pemerintahan Allah yang absolut. Kita bersyukur atas hal-hal tersebut, mengagungkan Dia, serta menghayati karya-Nya dalam menggenapi ketiga fungsi itu. Lebih jauh lagi, kita bahkan menyebut diri sebagai imamat rajani, sebab demikianlah predikat yang Alkitab katakan mengenai jemaat-Nya (1 Petrus 2:9). Hal itu berarti jabatan Kristus sebagai Nabi, Imam, dan Raja tidak berhenti pada pribadi Yesus saja, tetapi memiliki implikasi terhadap diri kita sebagai umat-Nya. Bagaimana doktrin Kristologi, yang tampaknya begitu transenden dan baka ini, terkait dengan kehidupan praktis manusia setiap hari? Bagaimana konsep ini seharusnya membentuk kita, orang Kristen, untuk menghidupi teladan Tuhan kita yang adalah nabi, imam, dan raja? Edisi pertama pada tahun yang baru ini mengajak kita berefleksi pada sebuah kebenaran hakiki sehingga kita mampu menghidupinya di tengah tantangan zaman.
Edisi:
Edisi 196/Januari 2018
Isi:
Sekilas Konteks HistorisBibit pemikiran mengenai Kristus sebagai Nabi, Imam, dan Raja diduga sudah muncul dalam pemikiran Bapa Gereja Eusebius dari Kaisarea. Memang, sebelum Reformasi, ada beberapa pembahasan yang menyoroti aspek-aspek dari raja, imam, atau nabi secara terpisah. Namun, Johanes Calvin yang kemudian diakui sebagai tokoh yang secara unik mengembangkan pemahaman ini secara komprehensif dan terstruktur, khususnya dalam melihat Kristus sebagai penggenapan sempurna dari tiga jabatan penting ini. Dengan demikian, orang-orang percaya sudah sewajarnya hidup dengan meneladani Kristus sebagai contoh yang sempurna. Pengertian mengenai nabi, imam, dan raja kemudian terus muncul dalam pengakuan-pengakuan iman Kristen sepanjang sejarah: Heidelberg Catechism Heidelberg Catechism Heidelberg Catechism Heidelberg Catechism Heidelberg Catechism Dari perspektif teolog A.A. Hodge, Kristus memiliki jabatan (office) sebagai mediator. Kemudian, dalam jabatan ini, Kristus memiliki tiga fungsi, yakni nabi, imam, dan raja. A.A. Hodge tidak terlalu setuju untuk memisah-misahkan ketiga fungsi ini. Ketiga fungsi ini bagaikan organ-organ tubuh yang mendukung dan berkontribusi untuk kesatuan tubuh. Bagi Hodge, “Christ is always a prophetical Priest and a priestly Prophet, and he is always a royal Priest and a priestly King, and together they accomplish one redemption, to which all are equally essential.”[1] Tantangan Saat Ini[2]Sebelum merenungkan berbagai prinsip dan aspek aplikasi, penulis sedikit memikirkan berbagai tantangan yang kerap kita hadapi sebagai orang Kristen pada zaman ini sehingga aspek aplikasi yang dibagikan bisa relevan dalam menjawab tantangan-tantangan ini. Pertama, zaman ini sangat menekankan aspek pluralisme dan relativisme. Secara khusus, dengan maraknya media dan dukungan kemajuan teknologi, orang-orang dengan berbagai latar belakang dan kepercayaan bisa berinteraksi dan membagikan pendapat atau pemikirannya. Dalam konteks seperti ini, menjadi sulit untuk mengakui ada satu pemikiran yang paling benar (kebenaran absolut). Setiap orang dianggap berhak untuk menentukan kebenaran bagi dirinya sendiri, memiliki cara pandangnya sendiri, dan kemudian mengekspresikannya. Kedua, zaman ini sangat menekankan aspek individu yang cenderung egois dan self-centered. Yang diidamkan adalah kesenangan, kemajuan, dan kenikmatan bagi diri sendiri. Dengan kondisi seperti ini, menjadi sulit untuk menghayati hidup yang dipersembahkan seutuhnya kepada Tuhan, dan memberikan kontribusi positif bagi komunitas atau masyarakat. NabiJabatan nabi memiliki penekanan kuat pada hati yang peka terhadap suara Tuhan sekaligus keberanian untuk memberitakannya. Nabi harus sangat sensitif dalam membedakan suara Tuhan dengan suara hati, pikirannya sendiri, dan bahkan suara setan. Ketika seorang nabi sudah berfirman atas nama Tuhan, jika yang dinyatakan tidak benar atau tidak terjadi, nabi harus siap menanggung konsekuensi hukuman mati. Ketika pesan dari Tuhan sudah jelas, nabi harus berani memberitakan pesan itu dengan tegas dan setia tanpa ditambah ataupun dikurangi, tidak peduli seberapa keras atau buruk pesan tersebut, dan tidak peduli kepada siapa pesan itu harus dinyatakan (baik kepada imam, ahli Taurat, tua-tua, panglima, bahkan raja sekalipun). Ketika Kristus di dunia, berkali-kali Ia dituliskan senantiasa mengkhususkan waktu untuk berelasi dengan Bapa-Nya. Kristus dituliskan selalu pergi ke tempat yang sunyi saat pagi-pagi benar untuk berdoa dan bersekutu dengan Bapa. Penulis percaya bahwa kepekaan kita sebagai orang Kristen sangat ditentukan melalui momen-momen seperti ini. Dalam bagian lain dalam Injil, perkataan yang begitu keras dan menusuk juga kerap Kristus lontarkan kepada orang-orang Farisi, misalnya dalam Yohanes 8:44 ketika Yesus mengatakan kepada orang-orang Farisi bahwa bapa mereka adalah Iblis. Dalam menghayati fungsi nabi, kita bisa memikirkan seberapa jauh kerinduan dan kepekaan kita dalam mendengar suara Allah. Hal ini bisa dimulai dari seberapa sungguh kita mengkhususkan waktu untuk membaca, merenungkan, dan merindukan firman Tuhan. Hal ini juga terefleksi dalam keseriusan dan kesungguhan kita dalam berkata-kata. Sebab, apa yang terpancar keluar melalui perkataan bersumber dari kedalaman hati. Melalui lidah yang kecil, terkandung kuasa yang begitu besar, baik itu kuasa untuk membangun maupun kuasa untuk menghancurkan. Dalam konteks masyarakat yang plural dan relatif, ini tentunya menjadi tantangan frontal dalam memberitakan keunikan pribadi Kristus. Pribadi Kristus sebagai satu-satunya jalan, kebenaran, dan hidup menjadi suatu kesulitan besar untuk diterima dan dimengerti bagi masyarakat plural dengan rupa-rupa pandangannya. Penghayatan kita akan fungsi nabi seharusnya memberikan kita dorongan dan keberanian dalam memberitakan Injil. ImamJabatan imam sangat terkait dengan aspek kekudusan dan sifat pengantara. Imam harus memisahkan dirinya dan mendedikasikan seluruh hidupnya untuk Allah, secara spesifik pelayanan dalam konteks Bait Allah. Imam harus siap untuk hidup secara berbeda dengan orang-orang lain secara umum, misalnya: tidak boleh minum anggur, menikahi janda, menyentuh mayat, dan lain-lain. Imam juga harus sadar dan peka akan keberdosaan masyarakat. Di sana, ia berperan sebagai pengantara untuk berdoa bagi masyarakat dan mempersiapkan kurban untuk pengampunan dosa. Dalam hidup Kristus sendiri, sebagai imam, Kristus memiliki dorongan kuat untuk mendoakan orang lain, secara khusus murid-murid-Nya, misalkan saja doa yang begitu indah yang tertulis dalam Yohanes 17, suatu doa agar murid-murid-Nya dikuatkan untuk hidup dan bersaksi di dalam dunia. Yesus juga dituliskan menangisi Yerusalem, kota yang begitu kejam, yang telah menolak Kristus dan pelayan-pelayan yang Tuhan utus pada zaman sebelumnya. Dalam menghayati fungsi imam, kita harus siap untuk hidup berbeda di hadapan Allah. Ketika lingkungan atau komunitas sekeliling kita sudah menganggap lumrah dosa tertentu, kita harus memiliki ketegasan untuk hidup berbeda sebagai umat Allah, misalnya dosa keserakahan (yang diberi topeng sebagai niat atau dorongan untuk maju), dan sikap apatis atau tidak peduli (yang diberi topeng fokus atau prioritas terhadap hal-hal yang kita anggap ‘penting’). Selama kita hidup di dunia, kelemahan demi kelemahan akan terus-menerus kita saksikan, baik dalam lingkup keluarga, sekolah, gereja, perusahaan, maupun negara. Memang mudah untuk menyebarkan gosip, mengolok-olok, atau sekadar mengutuki kelemahan-kelemahan tersebut. Namun, bukan itu reaksi yang sepatutnya jika kita menjalankan fungsi imam. Dalam menjalankan fungsi imam, kita sudah seharusnya memiliki hati yang sensitif, kesedihan dalam melihat realitas dunia berdosa, dan mendoakan hal-hal tersebut. RajaJabatan raja memiliki keunikan dalam menjalankan keadilan dan melakukan pengelolaan, baik itu mengelola pemerintahan, masyarakat, militer, maupun sumber daya alam. Ketika aspek-aspek tersebut dikelola dengan baik, akan tercapai kesejahteraan dalam masyarakat, misalnya dalam pemerintahan Daud dan masa-masa awal pemerintahan Salomo. Sangatlah penting bagi seorang raja untuk mengetahui prinsip kebenaran dan keadilan sehingga seorang raja dapat menilai suatu perkara atau situasi, lantas mengambil suatu keputusan yang benar dan adil. Lebih jauh lagi, kita juga percaya bahwa Kristus adalah Raja yang sejati, Raja yang berhak menerima segala kemuliaan, puji, dan hormat. Kristus, Sang Pencipta, yang bertakhta dan berkuasa atas seluruh ciptaan. Seperti yang juga dinyatakan dalam Kitab Daniel, kerajaan dunia akan naik dan turun, datang dan pergi. Namun, akan datang Kerajaan Allah yang kekal sampai selama-lamanya. Pengertian Kristus sebagai raja sangat bertentangan dengan konsep zaman ini yang mengajarkan bahwa diri sendirilah yang menjadi pusat. Kita hidup tidak semata-mata untuk diri sendiri. Keseluruhan hidup kita adalah persembahan hidup bagi Allah. Terlebih lagi, dengan meneladani Allah yang memerintah dengan adil, kita juga sudah selayaknya mengerjakan tanggung jawab kita dengan sungguh-sungguh di hadapan Allah. Allah telah memberikan kepada setiap kita takaran yang berbeda-beda dalam mengelola sesuatu, baik itu mengelola waktu, studi, pekerjaan, maupun anak-anak. Segala hal yang ada pada kita bukan semata-mata hak milik kita. Itu semua harus dikelola dengan sungguh-sungguh dan dipertanggungjawabkan kembali kepada Allah sebagai Sang Pemberi Anugerah. Keyakinan akan otoritas dan kekuasaan Kristus juga akan memberikan kita kestabilan dan ketenangan dalam menghadapi hiruk pikuk dunia yang sudah jatuh dalam dosa ini. Dalam keseharian kita, kerap kita mendengar dan menyaksikan berita mengenai peperangan, bencana, tragedi, penyakit, dan berbagai kesulitan. Hanya ketika kita memiliki pengharapan akan Kerajaan Allah yang kekal, kita bisa menghadapi itu semua dengan penuh ketabahan dan pengharapan. Endnotes: Audio Kristus sebagai Nabi, Imam, dan Raja
Inkarnasi Yesus
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Terdapat suatu perbandingan yang menarik dalam Ibrani pasal 1 dan pasal 2 yang perlu kita telaah bersama. Dalam Ibrani pasal 1, dikatakan bahwa Kristus lebih tinggi dari para malaikat, sementara dalam pasal 2 dikatakan bahwa dalam sekejap waktu, Allah Bapa menjadikan Kristus sedikit lebih rendah daripada malaikat. Apa arti dan tujuan penulis kitab Ibrani menuliskan hal ini? Inilah makna mendalam dari "Inkarnasi Kristus". Melalui artikel sajian e-Reformed Desember 2017, Pdt. Stephen Tong menjelaskan arti "Inkarnasi Kristus" dengan sangat baik untuk kita semua. Allah rela menjadi manusia, inilah inti Natal. Suatu momentum untuk kembali mengingat dan mengucap syukur bahwa Allah yang berkuasa dan tidak terbatas rela memberikan diri-Nya dengan sukarela untuk turun ke dunia menjadi manusia yang terbatas. Jika selama ini kita memaknai Natal dengan pesta pora dan hadiah-hadiah, marilah kita bertobat dan melihat dengan cara pandang Alkitab. Sebab, hal sebaliknya yang terjadi dengan Kristus, Natal adalah permulaan dari penderitaan Kristus. Kehadiran-Nya di dunia disambut dengan kehinaan. Namun, Ia rela menjalani kehinaan supaya bisa hidup dengan manusia dan menyertai manusia (Imanuel). Inilah bukti nyata cinta kasih Allah, inilah Natal. Selamat menyambut dan merayakan Natal kepada seluruh pembaca setia publikasi e-Reformed. Biarlah kita selalu merasakan penyertaan dan cinta kasih Allah dalam hidup kita, dan kita terus didorong untuk mengasihi sesama dan mengabarkan Injil Kristus Yesus kepada mereka yang belum mendengar-Nya. Imanuel - Soli Deo Gloria! Semoga Natal tahun ini menolong kita untuk semakin dekat kepada-Nya.
Edisi:
Edisi 195/Desember 2017
Isi:
Karena kepada siapakah di antara malaikat-malaikat itu pernah Ia katakan: "Anak-Ku Engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini?" dan "Aku akan menjadi Bapa-Nya, dan Ia akan menjadi Anak-Ku?" (Ibrani 1:5) "Karena anak-anak itu adalah anak-anak dari darah dan daging, maka Ia juga menjadi sama dengan mereka dan mendapat bagian dalam keadaan mereka, supaya oleh kematian-Nya, Ia memusnahkan dia, yaitu Iblis, yang berkuasa atas maut; dan supaya dengan jalan demikian Ia membebaskan mereka yang seumur hidupnya berada dalam perhambaan oleh karena takut-Nya kepada maut. Sebab sesungguhnya, bukan malaikat-malaikat yang Ia kasihani, tetapi keturunan Abraham yang Ia kasihani." (Ibrani 2:14-16) Ibrani merupakan kitab yang memberikan pengertian mengenai Kristologi yang mendalam kepada kita. Dalam pasal pertama, kitab Ibrani memberikan perbandingan Kristus dengan malaikat dengan cara kualitatif, bukan kuantitatif. Karena tidak pernah ada seorang malaikat pun yang menerima perkataan dari Allah Bapa seperti ini, "Anak-Ku Engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini.” Perkataan "hari ini" berarti everlasting present. Suatu keberadaan yang kekal, yang tidak pernah berubah, yang terus-menerus. Kristus dilahirkan dalam kekekalan. Ia menerima kelahiran kekekalan sebagai Anak Allah Yang Tunggal. Dia satu-satunya yang disebut Anak, Kristus Anak Tunggal Allah. Akan tetapi, Anak Tunggal Allah ini pernah diberikan ke dalam dunia dengan cara dilahirkan sebagai manusia dan berada di tengah-tengah manusia. Itu sebabnya, pada Ibrani pasal 2, dikatakan bahwa Dia berlainan dari semua malaikat, bahkan pernah menjadi lebih rendah sedikit daripada malaikat, untuk sekejap waktu. Bukankah kedua pasal yang membandingkan Kristus dengan malaikat menarik perhatian kita secara luar biasa? Di dalam Ibrani pasal 1 dikatakan, "Kristus jauh lebih tinggi daripada semua malaikat." Ibrani pasal 2 mengatakan, "Dia lebih rendah sedikit daripada malaikat." Apakah artinya? Dalam Ibrani pasal pertama dikatakan bahwa Kristus adalah Allah, dan dalam pasal dua dikatakan bahwa Kristus adalah manusia. Jikalau Kristus adalah Allah, tetapi bukan manusia, tidak ada pengharapan bagi manusia yang sudah berdosa untuk diselamatkan. Jikalau Kristus adalah manusia, tetapi bukan Allah, tidak ada pengharapan bagi Dia yang begitu agung dan baik, tetapi mati dan akhirnya tidak mungkin bangkit. Justru Kristus lebih tinggi daripada malaikat menyatakan bahwa Dia adalah Allah, maka Dia mempunyai kuasa penyelamatan yang tidak terbatas. Sebaliknya, karena Kristus adalah manusia, maka Dia mempunyai kemungkinan untuk mewakili kita masing-masing, menerima hukuman dari Allah yang adil dan suci di tempat yang Mahatinggi, serta menanggung dosa kita dalam tubuh-Nya sebagai manusia. Ini merupakan suatu rahasia dari kemenangan sifat manusia sebagai wakil manusia yang kedua (Roma 5; 1 Korintus 15). Dua macam eksistensi manusia menurut pandangan Allah adalah: 1. Eksistensi manusia di dalam Adam 2. Eksistensi manusia di dalam Kristus Di dalam Adam, seluruh manusia dianggap sebagai kaum pemberontak oleh Allah. Anak-anak durhaka yang tidak taat kepada perintah Allah. Akan tetapi, semua orang yang ada di dalam Kristus diterima-Nya sebagai kaum yang taat. Karena Kristus menyatakan ketaatan yang mutlak mewakili manusia, maka setiap manusia, yang taat kepada Kristus, menunjukkan ketaatannya dalam ketaatan Kristus yang diterima oleh Allah. Oleh karena itu, Kristus boleh dijadikan sebagai Sumber Keselamatan Yang Kekal (Ibrani 5:9-10). Kristus pernah untuk sementara lebih rendah sedikit dari malaikat. Sebuah kutipan dari Perjanjian Lama. Mazmur 8 merupakan suatu penilaian atas identitas manusia di dalam alam semesta. "Allah telah menciptakan manusia lebih rendah sedikit daripada Allah." Terjemahan lain yang lebih tepat ialah, "Lebih rendah sedikit daripada malaikat". Manusia bukan Allah, manusia juga bukan binatang. Manusia bukan malaikat, bukan makhluk yang lain. Manusia adalah manusia. Manusia memiliki identitas yang khas dan tidak ada bandingannya dalam urutan rencana penciptaan alam semesta dan keselamatan. Hewan mempunyai seks, tetapi tidak ada kasih; malaikat memiliki kasih, tetapi tidak ada seks. Pada manusia, ada kasih dan seks. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang menggunakan kasih untuk mengendalikan seks, dapat mempersembahkan seks menjadi suatu pengutaraan kasih yang luar biasa untuk menikmati hidup yang diciptakan Tuhan. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mewakili Allah untuk menguasai alam. Dan, manusia adalah satu-satunya makhluk yang mewakili alam untuk bersembah sujud kepada Allah. Keunikan dan kekhasan dari sifat manusia ini dikarenakan manusia diciptakan menurut peta dan teladan Allah. Manusia adalah wakil alam semesta, yang diwakili oleh Adam. Di dalam Adamlah, manusia diciptakan dan mewarisi ciptaan; menurut peta dan teladan Allah. Ketika Adam gagal, semua manusia keturunan Adam dipandang gagal oleh Tuhan Allah. Karena Adam memberontak, maka semua manusia dipandang sebagai pemberontak. Ketika Adam tidak taat, maka semua manusia dipandang tidak taat. Akibat dari kegagalan itu adalah kebinasaan. Namun, Tuhan Allah yang tidak ingin melihat kebinasaan dari ciptaan yang berdasarkan peta dan teladan-Nya ini, maka Ia harus memberikan wakil kedua, yaitu Yesus Kristus. Allah tidak memilih dari antara malaikat atau dari kalangan orang suci yang terbaik. Bukankah Tiongkok memiliki Konfusius, Lao Tze, Muti? Bukankah India sudah mempunyai Tagore, Ratna Khrisnan? Bukankah Yunani mempunyai Socrates, Empedokles, dan Seneca? Bukankah Roma mempunyai orang-orang yang hebat seperti Epikurus? Bukankah India mempunyai Budha, menghasilkan Upanisad, buku agung dalam bidang agama? Bukankah Jepang mempunyai Sintoisme, sementara Persia dengan Zoroaterismenya? Mengapa semua itu tidak cukup? Mengapa Kristus masih perlu dikirim ke dalam dunia ini? Karena seorang Juru Selamat tidak dipilih dari seorang manusia dan bukan pula dari malaikat. Allah memilih Juru Selamat melalui Oknum Kedua dari Allah Tritunggal sendiri. Tidak ada malaikat yang cukup memenuhi syarat untuk menjadi Juru Selamat, demikian juga dari kalangan manusia. Malaikat seperti Uriel, Mikhael, Gabriel yang berkuasa luar biasa, tetapi mereka tetap ciptaan yang terbatas, created and limited. Karena mereka ciptaan, maka mereka terbatas. Karena keterbatasan itu, tidak mungkin mereka dapat menyelamatkan manusia. Sekalipun bermoral sangat tinggi, tetapi di hadapan Allah, mereka sendiri menunjukkan diri tetap sebagai orang berdosa yang saleh, orang baik yang bercacat cela. Konfusius mengatakan, "Berilah tambahan umur kepadaku 5-10 tahun untuk mempelajari buku kitab perubahan, maka aku akan menghindarkan diri dari perbuatan dosa yang besar." Mengapa Muhammad perlu minta kepada pengikutnya, orang-orang yang paling dekat dengannya, "Doakan saya, supaya memperoleh tempat baik di sisi Tuhan?" Dia perlu pengantara yang berdoa syafaat baginya. Perlu ada orang lain yang menolongnya. Akan tetapi, hal ini tidak pernah terjadi pada Kristus. Ia tidak memerlukan penolong, melainkan Dialah sendiri Penolong itu. Terlalu agung kalimat ini, "Allah menjadi manusia." Mungkinkah ini? Apakah ini fakta? Inkarnasi tidak mustahil dan merupakan fakta sehingga dunia mengalami perubahan yang besar. Di mana Injil dikabarkan, di sana ada perubahan moral. Ada orang-orang saleh yang sungguh-sungguh bertobat, meninggalkan dosa dan kembali kepada Yesus. Imanuel, Allah beserta kita, Allah menjadi manusia. Berarti Allah mencintai manusia sehingga Ia sendiri datang menjadi manusia dan berpartisipasi dalam umat manusia. Menjadi seorang bayi dalam rahim ibu, berdarah dan berdaging. Maukah engkau menyamakan diri dengan orang-orang yang dipenjara karena berdosa yang mengakibatkan hukuman mati? Kalaupun engkau mau, engkau belum dapat mengerti cinta Yesus yang rela menjadi manusia. Di antara kita dengan pencuri dan perampok ada kesamaan sifat manusia. Bagaimanapun, kita tidak dapat mengerti dengan otak yang adalah ciptaan dan terbatas ini bahwa Allah rela menjadi manusia. Itulah Imanuel. Itulah cinta Tuhan. Inilah arti Natal. Puji Tuhan! Yesus rela menjadi lebih rendah sedikit dari malaikat. Ia dilahirkan dalam rumah bapa pemelihara-Nya, bukan bapa asli-Nya, yang adalah seorang tukang kayu. Dia tinggal dengan kondisi ekonomi tingkat rendah. Ia memulai karya teragung dengan suatu permulaan yang kecil. Orang mengumpat Dia haram. Kehinaan menjadi titik permulaan kekristenan dan keselamatan umat manusia. Di dalam Ibrani 2 dikatakan, bukan seluruh umat manusia masuk surga, tetapi anak-anak Abraham saja. Maksudnya mereka yang beriman seperti bapak beriman Abraham, yaitu kaum pilihan. Kaum ini beriman kepada Yesus Kristus. Dalam ketaatan Kristus, ketaatan kita diresmikan dan diterima Allah. Yesus datang menjadi manusia untuk menyelamatkan manusia, bukan malaikat. Semangat inkarnasi ini adalah semangat rela merendahkan diri, menyamakan diri dengan mereka yang menerima pelayanan kita. Manusia berdarah daging, maka Yesus mengambil bagian dalam darah daging tersebut. Kita bisa menangis dan mengeluh, merasa dibuang, dikecewakan, dan dipojokkan. Dia pun ikut mengalami hal seperti itu. Yesus melayani dalam semangat inkarnasi. Biarlah setiap orang yang berjiwa melayani mengambil partisipasi dan menerima kesulitan bersama-sama dengan orang yang kau layani. Lebih banyak mengerti dan tidak lebih banyak mengkritik. Lebih banyak memikul beban bersama-sama, bukan lebih banyak memerintah dan menghakimi.
Rasul untuk Bangsa-Bangsa Lain
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Menjadi rasul yang gigih dan tidak kenal lelah memberitakan Kabar Baik, bahkan menderita bagi Injil Kristus, menjadi gaya hidup Paulus sejak pertobatannya yang bersejarah di jalan menuju Damsyik. Siapa yang tidak familiar dengan kiprahnya yang mendominasi Kisah Para Rasul tulisan Lukas? Namun, sementara terpukau merenungkan sepak terjang sang rasul dalam pemberitaan Injil ke luar Palestina dengan segala tantangannya pada abad pertama, pernahkah kita berpikir mengapa Paulus yang dikhususkan untuk tugas tersebut? Baiklah, mungkin itu terlalu jauh, sebab kita percaya bahwa segala misteri "karena" adalah milik Tuhan, dan tidak semua pertanyaan "mengapa" yang kita ajukan harus mendapat jawaban komprehensif. Pada akhirnya, soal pemilihan adalah pertimbangan dan kedaulatan Allah sendiri, pemerintah semesta satu-satunya. Akan tetapi, setidaknya kita bisa melihat bagaimana latar belakang Paulus -- cara Allah mempersiapkannya -- dan pengaruhnya terhadap pemahaman serta Kabar yang ia bawa. Terlepas dari segala kekaguman kita pada sosok manusia Paulus, ia hanyalah sepotong kecil alat yang dilibatkan Allah dalam proyek besar-Nya. Dalam gambar besar inilah, kita semestinya memahami kisah Paulus. Seorang "mantan" Farisi garis keras dengan semangat membara membela kepercayaannya, berubah drastis setelah berjumpa dengan Kristus. Latar belakangnya dipakai Allah untuk mempersiapkan Paulus menjadi rasul dengan pemahaman yang solid. Mari merenung sejenak. Setting seperti apa yang telah diatur Allah, yang Dia izinkan terjadi dalam kehidupan kita, baik yang lalu maupun sekarang? Tentunya, semua itu juga merupakan persiapan Allah untuk panggilan hidup kita masing-masing. Sebab, seperti Paulus, kita juga adalah potongan-potongan kecil dalam proyek besar, pemain-pemain pendukung dalam skenario ilahi yang dirancang Allah, dengan Diri-Nya sendiri sebagai pemeran utama. Selamat membaca.
Edisi:
Edisi 194/November 2017
Isi:
Pertobatan Paulus di Jalan Damsyik menunjukkan juga panggilannya untuk melayani sebagai misionaris bagi bangsa-bangsa. Ketika Paulus bertobat, Tuhan menjelaskan bahwa dia adalah "alat yang Kupilih untuk membawa nama-Ku ke hadapan bangsa-bangsa lain dan raja-raja serta bangsa Israel" (Kisah Para Rasul 9:15). Peran Paulus sebagai misionaris ditangkap melalui kata-kata yang diucapkan Yesus kepadanya di Jalan Damsyik sesuai dengan Kisah Para Rasul 26:18: "... untuk membuka mata mereka, sehingga mereka berbalik dari kegelapan kepada terang dan dari kuasa Iblis kepada Allah, supaya mereka dapat menerima pengampunan atas dosa-dosa serta menerima bagian di antara orang-orang yang dikuduskan oleh iman di dalam Aku." Paulus adalah alat pilihan Allah untuk membawa berita keselamatan Allah ke ujung bumi. Sangat penting untuk melihat bahwa peran Paulus sebagai misionaris bagi bangsa-bangsa menggenapi nubuat Perjanjian Lama. Setelah "genap waktunya", Allah mengutus Anak-Nya, Yesus Kristus (Galatia 4:4). Pelayanan, kematian, dan kebangkitan Kristus memenuhi janji yang dinubuatkan dalam Perjanjian Lama. Namun, tidak pernah menjadi tujuan Allah bahwa berita keselamatan itu terbatas untuk bangsa Israel. Ketika Allah memilih Abraham, Ishak, dan Yakub, Dia menekankan bahwa semua bangsa akan diberkati melalui mereka (Kejadian 12:3; 18:18; 26:4; 28:14). Berkat universal yang dijanjikan ini belum tergenapi selama masa Perjanjian Lama. Memang, Tuhan tidak memaksudkan agar bangsa-bangsa diselamatkan dalam skala besar sebelum kedatangan Kristus karena kemuliaan Yesus dimaksimalkan saat bangsa-bangsa di dunia diselamatkan dengan memanggil nama-Nya dan mengetahui keselamatan besar yang diselesaikan-Nya. Maka dari itu, Paulus menikmati hak istimewa yang luar biasa, sebagai orang yang tinggal di sisi lain salib, untuk membawa kabar baik tentang Yesus Kristus kepada orang Yahudi dan orang bukan Yahudi. Dalam kitab Kisah Para Rasul, tiga perjalanan misi yang berbeda dicatat: Perjalanan Paulus yang pertama berlangsung pada tahun 47 -- 48 M (bersama dengan Barnabas) ke pulau Siprus dan ke kota-kota di Turki modern (Kisah Para Rasul 13-14). Perjalanan kedua (tahun 49 -- 52 M) mencakup gereja-gereja yang dikunjungi kembali yang didirikan pada perjalanan misi pertama di Turki modern, kemudian Paulus dan rekan-rekannya menyeberangi Laut Aegea dan membangun gereja-gereja di Makedonia dan Yunani (Kisah Para Rasul 15:36-18:22). Perjalanan ketiga (Kisah Para Rasul 18:23-21:36, tahun 52 -- 55 M) termasuk mengunjungi gereja-gereja yang sudah mapan, dan termasuk ketika Paulus tinggal lebih lama di Efesus. Ketika Paulus kembali ke Yerusalem, suatu kerusuhan mulai terjadi di kota, dan dia dipenjara selama beberapa tahun di Kaisarea (tahun 57 -- 59 M) dan Roma (tahun 60 -- 62 M). Bahkan, selama pemenjaraannya, Paulus terus memberitakan Injil di hadapan raja-raja dan penguasa dan semua orang yang berhubungan dengannya. Ada alasan kuat untuk memercayai tradisi bahwa Paulus dibebaskan dari penjara setelah pemenjaraan pertama oleh Romawi, dan bahwa dia terus memberitakan Injil di berbagai tempat, dan mungkin pergi ke Spanyol untuk memberitakan Injil di sana. Kita tidak tahu detailnya, tetapi kemungkinan Paulus ditangkap lagi dan dipancung di Roma sekitar tahun 65 M. Janganlah kita mengira bahwa Paulus adalah satu-satunya rasul yang memberitakan Injil di luar tanah Israel, atau bahwa dia adalah satu-satunya yang membawa Kabar Baik itu kepada orang-orang bukan Yahudi. Kita perlu mengingat bahwa Kisah Para Rasul bukanlah cerita komprehensif tentang aktivitas misi para rasul. Memang, satu-satunya rasul yang mendapat perhatian penting dalam Kisah Para Rasul adalah Petrus dan Paulus. Bukan berarti bahwa berdasarkan hal ini, para rasul yang lain gagal dan tidak terlibat dalam pelayanan. Memang, ada bukti signifikan dari sejarah bahwa banyak rasul memproklamasikan Injil di luar Israel. Lukas tidak pernah bermaksud untuk menulis laporan lengkap tentang pekerjaan misionaris gereja mula-mula. Namun, fokus pada misi Paulus kepada orang-orang bukan Yahudi dalam Perjanjian Baru sangat penting karena setelah genap waktunya, Tuhan membangkitkan Paulus sebagai pengusaha teologi misi yang baru. Paulus dilatih secara teologis sebagai orang Farisi, dan oleh karenanya memiliki pengetahuan yang mendalam tentang Perjanjian Lama. Dia memahami bahwa pelayanan, kematian, dan kebangkitan Yesus Kristus menggenapi janji yang diberikan kepada Abraham bahwa semua bangsa akan diberkati melalui keturunan Abraham. Paulus mengerti bahwa Yesus adalah keturunan Abraham (Galatia 3:16). Dengan kebangkitan-Nya, Dia ditahbiskan sebagai Raja Mesianik sehingga Dia jelas-jelas adalah pewaris takhta Daud, Mesias yang dijanjikan, dan Anak Allah (Roma 1:3-4; 2 Timotius 2:8). Pencurahan Roh Kudus kepada bangsa-bangsa lain (lihat Galatia 3:1-5, 14) menunjukkan penggenapan janji Allah bahwa pada zaman akhir, Dia akan mencurahkan Roh-Nya. Banyak nubuat Perjanjian Lama mengajarkan bahwa ketika masa penggenapan tiba, Tuhan akan memberkati umat-Nya dengan Roh Kudus (misalnya, Yesaya 32:15; 44:3; Yehezkiel 11:18-19; 36:26-27; Yoel 2:28). Pencurahan Roh Kudus kepada orang-orang Yahudi dan bukan Yahudi berdasarkan kehidupan, kematian, kebangkitan, dan kenaikan Kristus menandakan bahwa hari-hari akhir telah tiba. Ketika Paulus memproklamasikan Injil dalam perjalanan misionarisnya, dia berpendapat bahwa pemenuhan semua sejarah penyelamatan telah tiba di dalam Yesus. Perjanjian Baru sekarang menjadi kenyataan di dalam Yesus (Yeremia 31:31-34). Hukum Taurat tidak lagi ditulis hanya di atas loh batu, tetapi Roh Kudus sekarang ditanamkan ke dalam hati manusia (2 Korintus 3). Pengampunan dosa yang dijanjikan oleh Yeremia sekarang menjadi kenyataan berdasarkan kematian penebusan Yesus Kristus. Paulus dengan teliti memahami pentingnya penggenapan janji keselamatan dalam Yesus Kristus. Pada era lama, orang Yahudi dan orang bukan Yahudi dipisahkan satu sama lain. Orang-orang Yahudi adalah umat perjanjian Allah, dan bangsa-bangsa lain berada di luar lingkaran janji keselamatan Allah (Efesus 2:11-12). Akan tetapi, dengan kedatangan Yesus, era lama telah berakhir. Sekarang, orang Yahudi dan bukan Yahudi dipersatukan sebagai anggota keluarga Allah berdasarkan karya Kristus di kayu salib (Efesus 2:13-22). Sekarang, mereka adalah anggota tubuh yang sama dan ahli waris dari janji yang sama (Efesus 3:6). Keselamatan orang bukan Yahudi di dalam Kristus bukanlah rencana B, melainkan pemenuhan atas apa yang Allah maksudkan saat Dia berjanji untuk menyelamatkan banyak bangsa melalui Abraham. Paulus juga menyadari di Jalan Damsyik bahwa pesan untuk misinya adalah pembenaran hanya melalui iman. Orang bukan Yahudi tidak menjadi anggota umat Allah dengan mematuhi hukum Musa dan mematuhi perjanjian Sinai. Memang, tidak ada yang bisa menjadi orang benar dengan melakukan hukum Taurat karena "semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah" (Roma 3:23). Dia menyatakan kepada bangsa-bangsa lain bahwa satu-satunya cara untuk didamaikan dengan Allah adalah melalui iman kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan yang disalibkan dan bangkit. Selain itu, Paulus memahami bahwa perjanjian Musa tidak lagi berlaku karena kedatangan Yesus Kristus (Roma 7:4-6; 2 Korintus 3:4-18; Galatia 3:15-4:7). Perjanjian Musa adalah perjanjian sementara, yang dimaksudkan untuk mengatur orang-orang Yahudi sampai munculnya iman kepada Kristus. Oleh karena itu, ketika guru-guru palsu yang mengikuti jejak misi Paulus berkeras agar orang-orang yang baru bertobat itu mematuhi hukum Musa dan melakukan sunat, Paulus mencela mereka karena memberitakan Injil palsu. Mereka memundurkan waktu dalam sejarah penyelamatan dan bersikeras supaya orang-orang bukan Yahudi bersikap seperti orang Yahudi untuk bergabung dengan umat Allah. Lebih jauh lagi, mereka memutarbalikkan Injil dengan mengajarkan bahwa orang didamaikan dengan Allah melalui perbuatan, bukan iman. Satu dimensi terakhir dari kehidupan Paulus sebagai misionaris harus disebutkan. Bagian yang mencolok dari pelayanan Paulus adalah penderitaan yang dia alami sebagai misionaris. Tentu saja, penderitaan Paulus tidak untuk menebus seperti penderitaan Yesus Kristus. Namun, penderitaan yang dialami Paulus adalah sarana yang melaluinya Injil diperluas kepada bangsa-bangsa. Meskipun penderitaan Paulus tidak untuk menebus seperti Kristus, semua itu adalah akibat wajar dari penderitaan Kristus. Mereka bersaksi tentang keanggunan dan keindahan Injil karena Paulus bersedia memberikan hidupnya dan bahkan menghancurkan tubuhnya untuk membawa Injil ke bangsa-bangsa. Seperti yang Paulus ajarkan dalam Kolose 1:24-29, Allah menetapkan bahwa penderitaan Paulus akan menjadi sarana yang dengannya mereka yang belum menerima pesan tersebut akan mendengar kabar baik itu. Paulus percaya bahwa memberitakan Injil kepada semua orang benar-benar penting. Tidak ada manusia yang bisa diselamatkan melalui wahyu yang datang melalui alam karena semua orang menolak kesaksian ini dan oleh sebab itu ditinggalkan tanpa alasan (Roma 1:18-32). Satu-satunya jalan menuju keselamatan adalah lewat mendengar dan percaya kabar baik tentang Yesus Kristus (Roma 10:13-17). Orang harus memanggil nama Tuhan untuk diselamatkan. Oleh karena itu, Paulus begitu rela menderita untuk membawa pesan kehidupan kepada bangsa-bangsa. Paulus secara unik dipanggil oleh Allah setelah genap waktunya. Dia memahami pentingnya Injil dihubungkan dengan Perjanjian Lama. Paulus bukanlah teolog menara gading. Dia adalah seorang misionaris yang mengambil risiko, yang menderita untuk membawa kabar baik yang diwahyukan kepadanya di Jalan Damsyik sampai ke ujung bumi. (t/Jing-Jing)
Mengenang Reformasi
Editorial:
Dear Netters, Saya terkesan dengan cara Prof. Brooks menjelaskan sang Maskot Reformasi kepada mahasiswa yang diajarnya. Walaupun beberapa orang memandang sejarah reformasi hanya bagian dari sejarah, tidak bisa dimungkiri bahwa seorang Martin Luther telah membawa angin segar perubahan dalam sejarah kekristenan. Reformasi gereja tidak akan pernah terjadi jika tidak ada orang-orang yang bergerak untuk memperjuangkan prinsip-prinsip alkitabiah dan menolak tradisi agamawi yang bertentangan dengan Kitab Suci. Saya percaya bahwa Reformasi Gereja adalah kairos Tuhan untuk mengembalikan gereja pada tatanan yang benar dan membawa seluruh jemaat untuk berpegang pada Alkitab sebagai pilar utama kebenaran iman Kristen. Saya mengingat dan menyetujui perkataan John Piper, "Reformasi Gereja bukanlah tentang Luther; Reformasi Gereja yang sejati hanyalah tentang Kristus." Luther hanyalah alat yang Tuhan pakai untuk membawa dan mengembalikan tatanan gereja ke posisinya yang semula. Akan tetapi, tujuan reformasi adalah untuk kemuliaan Kristus saja. Inilah saatnya kita mengenang reformasi dan bergerak bersama untuk mewujudkan cita-cita besar Luther dan para reformator. Saatnya kita mengisi reformasi dengan membawa semangat Reformasi untuk menjadi saksi Kristus pada era teknologi masa kini. Reformasi bukan bagian dari sejarah kekristenan 500 tahun yang lalu. Reformasi adalah gerakan yang harus dan terus diperjuangkan oleh umat Allah. Selamat memperingati 500 tahun reformasi gereja. Ecclesia Reformata Semper Reformanda!
Edisi:
Edisi 193/Oktober 2017
Isi:
PENDAHULUAN Pada tahun 1983, untuk peringatan 500 tahun kelahiran Martin Luther, Michael Mathias Prechtl melukis sebuah potret Luther berjudul "Martin Luther, inwendig voller Figur", "Martin Luther: Pribadi yang Penuh Figur". Pertama kali, saya melihat cetakannya ini di kantor Peter Newman Brooks di Cambridge (sekarang gambar itu ada di Gereja Lutheran Injili di England’s Westfield House, sebagai hadiah dari Prof. Brooks). Prof. Brooks sering menggelar kuliah tentang sejarah Reformasi di kantornya, dan ia memiliki kebiasaan yang menyenangkan, yaitu meninggalkan catatannya sebentar lantas melakukan dialog singkat dengan potret Luther yang tergantung di belakang kami, di bagian belakang ruangan. Saya bahkan ingat, pernah sekali waktu ia bangkit dari kursinya dan tersungkur berlutut di lantai dalam hormat kepada lukisan Luther, sang maskot Reformasi. Tentu saja, semua hal itu dilakukan dengan senda gurau, tetapi benar-benar membangkitkan sebuah pertanyaan menarik -- masih dapatkah seseorang bercakap dengan Luther? Apakah ia memiliki sesuatu yang relevan untuk disampaikan kepada kita pada era teknologi dan Twitter ini, atau apakah kita hanya bisa memandang Luther dengan kekaguman dari jauh dan berlutut kepada suatu relik dari masa lalu? ![]()
Martin Luther memakukan 95 tesisnya di pintu gereja All Saints' Church di Wittenberg.
Peringatan lain sekarang sedang menanti di ambang pintu. Pada 31 Oktober 2017, seluruh dunia akan mengenang 500 tahun dari apa yang kerap dikenal sebagai permulaan Reformasi Protestan: deklarasi Martin Luther berisi 95 Tesis Menentang Indulgensia di Wittenberg. Karena berbagai alasan, momen ini melejitkan Luther ke mata publik, dan ia menjadi cambuk petir bagi reformasi gereja. Seperti halnya dengan banyak peristiwa peringatan besar, pertanyaan tentang relevansi kembali timbul: Mengapa reformasi penting? Apakah yang dipertaruhkan? Tentang apakah semuanya itu? Sepadankah hal tersebut? Apakah yang Luther katakan atau ajarkan bermakna bagi kita sekarang? Bagaimana kaum Lutheran dan pewaris Reformasi Protestan memandang Luther? Selagi hari peringatan 500 tahun Reformasi semakin mendekat, pertanyaan semacam itu bahkan akan mulai menarik mereka yang tidak memiliki komitmen religius pada apa yang terjadi pada waktu itu. CITRA LUTHER DAN REFORMASI Pada 1529, Johannes Cochaleus, salah satu lawan yang vokal bagi Luther, memublikasikan pamflet berjudul "Seven-headed Luther" (Luther Berkepala Tujuh). Di dalamnya, ia menggambarkan Luther sebagai binatang buas dengan kepala dokter, orang suci, penyesat, orang enthusiast (sebutan untuk penganut sekte Protestan dengan nama yang sama pada abad ke-16 dan ke-17 - Red.), imam, jemaat gereja, dan Barabas. Semuanya diinterpretasikan sedemikian hingga membuat Luther terlihat tidak terpercaya dan berbahaya. Sejak itu, ada banyak gambaran dan interpretasi tentang sang reformator -- sebagian memuji, yang lainnya tidak. Saat ini, dengan lebih banyaknya buku yang telah ditulis tentang Luther daripada figur historis lain (kecuali Kristus), Anda dapat memastikan bahwa "kepala" Luther telah bertambah lebih banyak daripada tujuh. Pada zamannya sendiri, pengagum dan pengikut Luther meninggikannya sebagai nabi, alat yang dipakai Allah, dan pahlawan Jerman, dan sosok Hercules yang melawan tirani Roma. Namun, baik saat itu maupun setelah kematiannya, penekanan generasi Lutheran selanjutnya bukan lagi pada pribadi atau kehidupan Luther -- ia tidak seharusnya disegani atau ditiru, dan tentu saja tidak ada kisah mukjizat seperti cerita-cerita orang kudus abad pertengahan. Sebaliknya, fokusnya diarahkan pada pengajaran Luther, kekuatan pesannya, pemikirannya dalam Kitab Suci, dan penemuan kembali Injil sejati -- suatu hal yang diperkenan. Abad-abad selanjutnya memandang Luther dan Reformasi melalui kacamata yang berbeda. Kaum rasionalis dari Abad Pencerahan pada abad ke-18 -- yang hanya punya sedikit waktu untuk bergumul tentang agama dalam bentuk apa pun -- meratapi bahwa begitu banyak kekacauan di Jerman disebabkan oleh "takhayul" dari Luther, dan di Inggris oleh cinta Raja Henry VIII kepada mata Anne Boleyn yang berwarna cokelat tua. Meski demikian, pihak lain bisa saja mengekspresikan pandangan yang lebih romantis, menempatkan Luther sebagai bapa kebebasan individu, yang melemparkan belenggu tradisi dan kuasa institusi gereja. Misalnya, penilaian oleh François Guizot, yang hidup tepat setelah Revolusi Perancis: "Reformasi adalah usaha sangat besar yang dilakukan oleh umat manusia untuk mempertahankan kebebasannya; sebuah kerinduan baru untuk berpikir dan menilai dengan bebas terlepas dari gagasan dan pendapat lain, yang kemudian diterima oleh Eropa, dan dipaksa untuk menerimanya dari era terdahulu. Reformasi adalah upaya besar untuk menyejajarkan umat manusia dan untuk memberi nama yang layak bagi berbagai hal. Reformasi adalah pemberontakan dari pikiran manusia melawan kuasa absolut strata spiritual." Di Jerman, Luther menjadi simbol patriot dan pahlawan nasional. Reformasi dianggap sebagai "pencapaian sempurna" Jerman, dan Luther adalah sang pemimpin kebebasan bagi kehidupan masyarakat Eropa. Hingga abad ke-19 dan awal abad ke-20, Reformasi sering diartikan sebagai gerakan tidak terhindarkan yang lebih dikendalikan oleh kekuatan sosial dan ekonomi daripada oleh pemikiran religius. Perang Petani tahun 1525 lebih signifikan bagi arah kehidupan abad ke-16 daripada khotbah Luther di hadapan kaisar di Diet of Worms (Sidang kekaisaran dari Kekaisaran Romawi Suci yang diadakan di Taman Heylshof di Worms, yang pada waktu itu adalah Kota Kekaisaran Bebas milik Kekaisaran Romawi - Red.). ![]()
Luther Before the Diet of Worms oleh Anton von Werner (1843–1915).
Jadi, mana yang benar? Tentunya, Reformasi adalah suatu masa dan gerakan yang terlalu kompleks untuk dipahami sekadar sebagai satu tokoh atau satu persoalan. Sebab dan akibatnya menyentuh cakupan faktor sosial politik yang luas, gagasan teologis, pribadi-pribadi yang unik, dan tekanan gerejawi. Bahkan, beberapa orang mungkin akan berpendapat bahwa lebih baik menyebutnya "Reformations" (jamak) daripada gerakan tunggal dan terpadu. Namun, terlepas dari kompleksitas Reformasi, 31 Oktober 1517 menandai suatu peristiwa spesifik dengan lingkup yang relatif sempit. Luther memublikasikan 95 tesisnya diakui sebagai pemantik yang menyalakan kobaran api, tetapi natur dari peristiwa ini sering kali dikaburkan oleh keributan yang muncul belakangan, bukan oleh tujuannya semula. Secara singkat, padat, dan jelas, 95 tesis Luther ditulis sebagai protes melawan pelayanan pastoral yang buruk, dan dari perspektif inilah orang semestinya mencoba memahami apa yang sebenarnya Luther lakukan pada tahun-tahun pertama Reformasi. Seperti dikatakan dengan amat baik oleh Jane Strohl, seorang ahli Reformasi, "Orang dapat mendeskripsikan karier Luther sebagai tindakan mengajukan gugatan malapraktik pastoral seumur hidup terhadap otoritas gereja pada tiap tingkatan hierarki." "Pro re theologica et salute fratrum" -- "Demi teologi dan keselamatan saudara-saudara." Luther menulis perkataan ini dalam sebuah surat kepada kawannya, Georg Spalatin, pada 19 Oktober 1516, hampir setahun sebelum proklamasi 95 tesisnya. Surat tersebut merupakan penilaian kritis terhadap seorang ahli terkenal, Erasmus, dan bukunya Perjanjian Baru berbahasa Yunani yang baru saja diterbitkan. Di satu sisi, Luther sangat menghargai karya Erasmus -- Luther baru saja menyelesaikan ceramahnya tentang surat Roma, yang semasa pengerjaannya, ia dipandu oleh teks Erasmus, dan baru saja hendak memulai seri ceramah baru tentang surat Galatia. Namun, ia tidak terlalu sependapat dengan pemahaman dan penafsiran Erasmus mengenai Rasul Paulus. Luther ingin Spalatin menyampaikan keberatannya terhadap Erasmus meskipun ia tahu bahwa kritiknya mungkin saja tidak akan didengar. Bagaimanapun, ia "bukan siapa-siapa", sedangkan Erasmus dikenal di seluruh Eropa sebagai "orang paling terpelajar". Meski demikian, Luther mengatakan bahwa ia merasa terdorong untuk menyampaikan sesuatu, sebab hal ini bukan semata persoalan perbedaan pendapat akademis -- suatu poin kabur yang bisa diperdebatkan di menara gading universitas. Tidak, Luther hanya tertarik pada hal-hal yang menyentuh jantung segala sesuatu -- seluruh teologi dan keselamatan semua orang sedang dipertaruhkan. Ketika Luther mulai mengubah beberapa hal dalam kurikulum Universitas Wittenberg tempat ia mengajar, ia melakukannya karena bagaimana hal itu dapat memengaruhi khotbah mingguan, pengajaran, dan pelayanan pastoral pada tingkat jemaat. Itulah tujuan reformasi bagi Luther. Namun, apakah arti pelayanan pastoral sebelum Reformasi? Terdiri dari apa saja? Aspek kependetaan yang formal dan gerejawi dari pelayanan pastoral secara garis besar dapat dibagi menjadi: (1) sakramen pengakuan dosa, (2) penjualan/pembelian surat indulgensia, dan (3) massa yang tertutup. Di sisi lain, ada banyak praktik yang tidak terlalu formal, tetapi tersebar luas, yang tujuannya adalah merawat dan menentramkan jiwa: kisah kebajikan dan kejahatan, literatur renungan, seperti The Fourteen Consolations, The Art of Dying (Ars Moriendi), dan The Lives of the Saints, di samping sejumlah praktik spiritual lain, misalnya relik, ziarah, dan doa yang mengikuti pola kehidupan biara. "Geistlichkeiten" tersebut (secara harfiah: "spiritualitas"), demikian Luther menyebutnya, menjadi fokus dari banyak perjuangan reformasi Luther. Lebih lazim untuk menganggap Luther sebagai reformator doktrin (mungkin doktrin spesifik, seperti pembenaran atau Perjamuan Terakhir) dan sebagai lawan yang kuat bagi otoritas kepausan. Akan tetapi, pertanyaan tentang doktrin dan otoritas teologis bangkit bagi Luther sebagai sarana menuju akhir yang lebih besar: pelayanan pastoral yang membina kehidupan Kristen murni. Dimulai dengan pencarian pribadinya akan penghiburan dan pengharapan, Luther mendorong dirinya melakukan praktik yang dapat memenuhi kehidupan orang dengan Firman Kristus. Hanya pada hubungan yang mendalam dengan Kristus inilah, Luther menemukan kebebasan dan kekuatan untuk hidup dalam dunia yang diwarnai pertentangan antara pemeliharaan Allah dan kehadiran dosa dan penderitaan terus-menerus. Demikianlah kita melihat Luther secara berulang-ulang dan terprogram menyerang apa yang ia yakini sebagai “Geistlichkeiten” palsu -- praktik spiritual yang dengan berbagai cara mencoba mengatasi kontradiksi keberadaan kristiani dengan mendorong Allah kembali ke surga nun jauh terpisah dari dunia, dan mengurangi realitas hidup yang tidak menyenangkan dengan ilah-ilah yang lebih rendah, yaitu para orang kudus serta keamanan spiritual lainnya. Posisi orang kudus sebagai penengah memiliki manfaat ganda, yakni menjaga agar Allah tidak dipersalahkan atas adanya dosa dan melindungi orang dari penderitaan. Luther memublikasikan 95 Tesisnya tepat sebelum Hari Raya Semua Orang Kudus mungkin merupakan kebetulan, tetapi ada kepatutan tertentu dalam dekatnya serangannya terhadap (doktrin) perbendaharaan pahala orang kudus dan perayaan para orang suci tersebut. Bagi Luther, usaha menutup-nutupi Allah dan realitas penderitaan adalah pemikiran yang tidak rasional serta membangun cara hidup yang membuat iman kepada Allah yang baik dan Bapa yang setia menjadi tidak jelas, bahkan mungkin tidak penting. Namun, karena dalam Kristus Luther menemukan (figur) Allah yang memasuki celah antara kebaikan dan dosa, penderitaan, dan keselamatan, Luther juga mampu menarik status para orang kudus kembali sebagai manusia biasa. Bagi Luther, orang kudus itulah yang kini menemukan harapan dalam pertentangan hidup dengan berpegang erat pada janji Allah, yang telah merendahkan diri untuk menderita bagi dan dengan manusia. Dan, dalam pengharapan tersebut, orang-orang kudus menemukan kekuatan untuk menghidupi kehidupan dalam ciptaan Allah -- untuk mengaguminya, menemukan keindahan padanya, menanam, memanen, menikah, dan membesarkan anak-anak -- meski wabah dan perang buruh berkecamuk. Di sinilah, kita menyentuh hal yang mungkin merupakan dampak terluas Reformasi, yaitu subversinya mengenai orang kudus, pemaknaan ulang kehidupan religius, dan penyakralan sekuler. Dan, Luther melakukan hal ini dengan satu pernyataan tegas yang brilian, baik penahbisan maupun nazar agamawi tidak membuat orang menjadi spiritual atau religius, melainkan baptisan dan iman. Berlawanan dengan kesalehan yang berlaku secara umum, orang biasa adalah manusia spiritual. Orang biasa adalah imamat. Dalam konteks abad pertengahan akhir, umat Kristen dapat dibagi menjadi dua tingkat kekristenan secara esensi. Tingkat yang atas adalah para elit spiritual, diwakili oleh anggota kehidupan biara, dan secara turunan, jajaran para imam. Setelah kemartiran, kehidupan biara telah lama dianggap sebagai bentuk religius Kristen yang ideal. Dalam usaha mewujudkan ajaran Injil yang lebih bersifat pengorbanan dan radikal, biarawan memisahkan dirinya dari orang Kristen biasa dengan sumpah kefakiran, kesucian, dan ketaatan. Sepuluh Hukum memang penting, tetapi "jika engkau hendak menjadi sempurna," kata Tuhan, "juallah segala milikmu, berikanlah kepada orang miskin, lalu datang dan ikutlah aku," padahal, berkata secara adil, biara tidak membedakan orang Kristen biasa dengan yang "sempurna"; ia menganggap sumpah dan kehidupannya sebagai bagian intrinsik pada panggilan pemuridan. Bagi biarawan, kekristenan sejati terlihat seperti monastisisme (kehidupan biara). Hal itu akan menjadi kesadaran gereja, sesuatu yang ideal di tengah kekristenan yang biasa-biasa saja. Dengan pengertian tersebut, monastisisme sering kali merupakan katalis sekaligus tanda permanen bagi reformasi. Lebih seringnya, reformasi bukan sekadar menetapkan susunan monastik baru, melainkan terkadang akan tertumpah meliputi cakupan gereja yang lebih luas. Sebagai contoh, Reformasi Cluniac pada abad ke-10, di antara hal lainnya, membawa pentingnya sumpah hidup selibat ke dalam kehidupan kependetaan, memberi para pendeta kesetaraan kondisi spiritual yang lebih dalam. Demikian juga orang awam, ketika menghendaki kehidupan yang lebih religius dan beribadat, mereka menjadikan biara sebagai standar. Pada abad ke-15 dan ke-16, kesalehan biasa bertumbuh menjadi "ibadah modern" (devotio moderna), mengikuti kebiasaan dan praktik tertentu yang ada di biara. Singkatnya, kehidupan religius dahulu bukanlah kehidupan awam. Orang awam dan orang biasa secara de facto tidaklah spiritual. Oleh karena itu, adalah suatu tuntutan yang revolusioner ketika Martin Luther (seorang biarawan Agustinian!) menyatakan bahwa semua orang Kristen awam bersifat spiritual dan religius. Hanya iman yang membuat seseorang spiritual, dan kehidupan dari seorang awam biasa adalah pengorbanan dan penyembahan religius sejati apabila dibentuk oleh perintah Allah. Hidup sebagai ayah atau ibu yang setia, pegawai yang taat, warga negara, atau pejabat temporal yang bertanggung jawab merupakan kehidupan religius sejati, lebih menyenangkan Allah daripada semua sumpah dan pelayanan harian bersama-sama. Monastisisme (kebiaraan) bukanlah bentuk ideal maupun pengantara moral bagi gereja, demikian pula kependetaan. Orang Kristen awam tidak membutuhkan pendeta untuk berdiri di antara yang biasa dan yang kudus. Dalam baptisan, semua orang Kristen turut serta dalam keimaman spiritual (1 Petrus 2:9), memiliki akses langsung kepada Allah melalui iman. Hasilnya adalah kesalehan awam yang murni dengan kehidupan sekuler sebagai spiritualitas yang menunjukkan dirinya sendiri. Tanggung jawab sehari-hari merupakan panggilan ilahi. Ketika dikoordinasikan dengan tanggung jawab lain dan pekerjaan biasa, sesama dilayani dan dikasihi, dan komunitas bertumbuh. Tubuh Kristus memiliki banyak anggota dengan fungsi dan peranan masing-masing. Bahkan, yang terkecil dan terlemah harus dihormati sebagai bagian yang istimewa dan penting dari satu tubuh Kristus yang sama. LUTHER PRAMODERN BAGI DUNIA PASCAMODERN Penggambaran Luther tentang kehidupan Kristen di dunia terlihat indah meski kita tahu bahwa kehidupan tidaklah seperti itu. Kontradiksi antara kehadiran Allah, kehadiran dosa, dan kehadiran penderitaan terus ada. Panggilan hidup sehari-hari telah kehilangan arahan moral dan terus dimaknai ulang oleh norma sosial dan berbagai "-isme" -- kapitalisme, individualisme, konsumerisme, materialisme, dan ... pascamodernisme. Pascamodernisme adalah kata yang sering digunakan untuk mendeskripsikan keadaan kita di dunia barat saat ini meski tidak selalu dimengerti. Sering kali, pascamodernisme didefinisikan sebagai relativisme -- tidak ada yang benar selain apa yang benar bagi saya. Namun, relativisme semacam itu bukan benar-benar gagasan baru. Kita dapat menemukan pandangan serupa dalam berbagai gerakan zaman dahulu, Renaisans dan Pencerahan -- kerap disebut Skeptisisme. Meskipun pascamodernisme dapat menuntun ke arah skeptisisme, ada yang lebih daripada itu. Secara sederhana, pascamodernisme menyatakan bahwa, entah kita menyukainya atau tidak, norma-norma lama yang terpercaya kini telah dipertanyakan. Apa yang kita sebut "fondasi" -- hal-hal yang dianggap menjadi dasar otoritas dan struktur kekuasaan, klaim kebenaran dan etis -- "fondasi" ini telah gugur. Dalam konteks ini, tidak ada yang objektif; segala sesuatu tergantung cara pandang kita; segala sesuatu hanyalah interpretasi; semua kesimpulan bersifat sementara. Tidak ada lagi satu bingkai referensi tunggal bagi pemahaman kita tentang diri sendiri atau dunia; sebaliknya, terus meningkat argumentasi bahwa kita hidup dalam jaringan narasi dan cerita, yang masing-masing saling bersaing untuk memberi makna bagi kita dan menjelaskan dunia. Kita memiliki kisah individual pribadi, tetapi juga cerita dan narasi budaya dan masyarakat -- metanarasi yang besar. Semua narasi dan kisah tersebut membentuk kita, mendefinisikan kita, memberi kita makna dan identitas, bahkan jika "kebenaran"nya tidak dapat dibuktikan sekalipun. ![]()
The Eclipse of Biblical Narrative oleh Hans W. Frei.
Kebanyakan dari hal ini adalah reaksi terhadap keyakinan diri akan modernitas (itulah alasan kata "pasca" dari pascamodernisme) yang membangun fondasi rasio dan apa yang diketahui melalui observasi dan indra kita, mengabaikan pentingnya narasi dan kisah secara keseluruhan. Sebaliknya, narasi -- termasuk narasi Alkitab -- dianggap sebagai penghalang. Orang harus mencoba melihat apa yang ada di balik cerita untuk dapat menemukan kebenaran yang dapat diverifikasi, bersifat historis, rasional, dan dapat dipercaya. Hans Frei dalam bukunya The Eclipse of Biblical Narrative, secara mendasar menyebut pendekatan modern terhadap narasi sebagai "pembalikan penempatan". Dahulu, pada masa Reformasi, sebelum Abad Pencerahan, pembaca pramodern memandang Alkitab sebagai deskripsi yang akurat atas dunia mereka -- seperti yang ditekankan Frei, pembaca melihat "keberadaan dirinya, tindakan dan semangatnya, bentuk kehidupannya sendiri sebagaimana peristiwa dalam zamannya sebagai figur yang membentuk kisah dunia" dalam Alkitab. Dengan demikian, pembaca pada era pramodern menempatkan dunianya dan kisahnya dalam cerita Alkitab. Namun, pergeseran modernitas besar-besaran adalah "pembalikan penempatan": "Segala sesuatu sepanjang spektrum teologis telah mengalami pembalikan besar," kata Frei. "Interpretasi adalah soal menempatkan cerita Alkitab ke dalam dunia lain dengan kisah yang lain, bukannya menjadikan dunia lain tersebut sebagai bagian dari kisah Alkitab." Keberadaan kita saat ini menjadi hakim dan norma dan kunci interpretasi kisah Alkitab. Namun, kita diperintahkan untuk hidup dalam "pascamodernitas". Dan, dalam konteks ini, sekali lagi kita sedang melihat pendekatan narasi dan cerita, dan kita dapat menyaksikannya dalam hampir tiap area: filsafat, etika, dan politik, serta -- dalam seperempat abad terakhir -- narasi juga menempati posisi sentral dalam teologi. Narasi, cerita, tampaknya sangat penting bagi kondisi pascamodern ... cerita adalah raja. Namun, Luther telah sejak dahulu mengetahui hal ini. Atau, setidaknya, ia menjadi tahu sepenuhnya tatkala ia berjuang melawan keraguan dan ketidakpastiannya sendiri. Pada akhirnya, hanya kisah Kitab Suci, kisah Allah dan umat-Nya, kisah Kristus, yang memenuhi wawasan Luther dan menggantikan rasa aman palsu dan fondasi zamannya yang sedang runtuh dengan kepastian baru. Saya hendak mengajukan pendapat bahwa natur penggunaan Kitab Suci oleh Luther sebagai narasi -- sebagai kisah yang membentuk identitas -- adalah poin relevan yang layak diangkat kembali bagi zaman kita. Dalam banyak hal, Luther adalah tipe penafsir Alkitab pramodern (meski intensitas pekerjaannya dengan Kitab Suci memisahkannya dari tradisi biara). Tetap saja, seperti orang sezamannya, Luther menemukan kesatuan narasi Alkitab sebagai penjelasan definitif bagi dunianya sendiri. Hubungan antara sejarah dunia dan sejarah keselamatan sudah diasumsikan meskipun tidak selalu terlihat jelas. Pada awalnya, ia mengikuti metode tradisional penafsiran Alkitab rangkap empat yang mencoba menghubungkan keduanya melalui serangkaian pembacaan Alkitab secara figuratif dan alegoris. Namun, belakangan, Luther menghindarinya karena metode tersebut mendukung pandangan sejarah keselamatan yang secara kontinu berubah, yakni bahwa Kristus dan Injil muncul hanya sebagai versi baru yang lebih baik dari Musa dan Taurat. Sebaliknya, Luther mulai menemukan metanarasi berbeda yang menjalar sepanjang Kitab Suci mengatasi pandangan tentang sekadar figur dan pemenuhan, atau kesesuaian dan pertentangan. ![]()
Alkitab yang terbuka.
Dalam peristiwa apa pun, Luther memberikan pemikiran yang lebih terencana mengenai bagaimana Kitab Suci berperan sebagai Firman Allah. Ada pepatah mengatakan "ada buku yang Anda baca, ada juga buku yang membaca Anda". Bagi Luther, Alkitab adalah jenis yang kedua. Ia tidak memandang Kitab Suci terutama sebagai objek penafsiran kita, sebaliknya, kitalah objek yang diinterpretasikan oleh Kitab Suci. Hal ini bukan untuk mengatakan bahwa Luther menganggap tidak perlu mencoba memahami teks (Alkitab), atau bahwa Kitab Suci tidak menuntut pembelajaran dan penjelasan. Hanya saja bahwa bagi Luther, fungsi utama Kitab Suci ialah untuk membentuk (menempa) kita, menyusun diri kita, memimpin kita menjadi ciptaan baru, mematikan dan menghidupkan kita kembali. Ia menulis, "Ingatlah baik-baik, bahwa kuasa Kitab Suci ialah: ia tidak akan berubah oleh karena seseorang mempelajarinya; sebaliknya ia mentransformasi orang yang mencintainya. Ia menarik seseorang ke dalam -- kepada dirinya -- dan kepada kuasanya". Kitab Suci menarik Anda -- ke dalam dunianya, sejarahnya, kisahnya -- sehingga kita membaca dunia kita, sejarah kita, kisah kita menurut latar belakang Alkitab. Narasi Alkitab menjadi kunci untuk memahami kehidupan kita, kisah yang mendefinisikan dan menginterpretasikan dunia kita. Bukan berarti kita melihat Alkitab bermakna bagi kehidupan kita, melainkan sebaliknya, makna kehidupan kita didapat dari Alkitab. Hal ini, tentu saja, sepenuhnya berlawanan dengan pendekatan modern, tetapi menariknya, tidak terlalu asing bagi pemahaman pascamodern mengenai narasi. Bagi Luther, Kitab Suci bukan sekadar cadangan kebenaran ilahi yang proporsional. Memang ia berisi kebenaran, tetapi Kitab Suci lebih dari itu. Ia adalah kisah Allah Israel yang hidup, yang membuat raja-raja dan orang-orang besar menjadi tidak berarti, serta meninggikan orang kecil dan anak yatim, yang mengeluarkan mata air di padang gurun dan taman di tempat gersang, yang menjadikan bapa-bapa leluhur dari bangsa yang sesat, yang memangkas pohon zaitun dan membuat tunggulnya bertunas, yang memilih hal-hal yang diremehkan, membuat yang terpandang menjadi remeh. Dan, lebih lagi, kisah ini mengonfrontasi kita dengan klaim mencengangkan bahwa itu merupakan kisah kita juga. Kita dapat melihat pandangan terhadap Kitab Suci ini dalam bagaimana Luther terus memahami peristiwa-peristiwa kontemporer di sekitarnya dalam terang sejarah keselamatan. Luther selalu melihat lebih daripada sekadar kaisar dan pembesar, buruh dan paus. Ia memandang tindakan mereka serta tindakannya sendiri dengan eskatalogi sebagai latar belakang sejarah keselamatan yang di dalamnya, seperti dikatakan Rasul Paulus, perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, melainkan melawan pemerintah-pemerintah, penguasa-penguasa ... melawan kegelapan saat ini -- Luther melihat dunia penuh dengan manusia, tetapi juga penuh dengan kuasa jahat! Pertimbangkanlah potret Prechtl tentang Luther lagi -- Luther penuh dengan figur dari sejarahnya sendiri -- buruh tani berbaris melawan prajurit bersenjata: Perang Petani yang mengerikan pada tahun 1525! Namun, bagi Luther, ini bukan kebangkitan sosial semata, pertempuran kelas sosial -- membaca sejarahnya dengan latar belakang kisah Alkitab, Luther melihat peristiwa ini dalam bentuk apokaliptik. Memang, apa yang bisa lebih apokaliptik daripada kekerasan besar yang mengubah dunia dan tatanannya? (Seorang ahli teologi Luther, Oswald Bayer, telah menunjukkan bahwa hal ini tidak meluputkan sang seniman yang melukis para ksatria dengan gaya lukisan Four Horsemen of the Apocalypse (Empat Penunggang Kuda Akhir Zaman) karya Albrecht Dürer.) Akan tetapi, tidakkah paham apokaliptik Luther biasanya disoroti sebagai bukti jarak yang terbentang antara ia dan kita daripada sebagai relevansi kontemporer zamannya? Dan, bukankah pandangan terhadap sejarah semacam itu berbahaya? Bagaimanapun, inilah yang dilakukan salah satu orang sezamannya, Thomas Müntzer, dalam memimpin Perang Petani. Müntzer menggunakan Kitab Suci untuk menafsirkan peristiwa pada masanya secara apokaliptik, terinspirasi oleh kisah-kisah Alkitab yang menggambarkan perang yang akan pecah antara kebaikan dan kejahatan pada hari-hari terakhir. Sesungguhnya, kadang terlihat bahwa Luther juga dapat terjatuh dalam bahaya penafsiran apokaliptik semacam itu -- penilaiannya terhadap orang Yahudi menjadi contoh yang paling mengejutkan. Namun, lebih sering, paham apokaliptik Luther tidak seperti Müntzer atau figur-figur profetik lain dari abad ke-16 yang mencoba mencengkeram kekang sejarah politik dalam nama Allah. Kata "apokalips" artinya membukakan apa yang tersembunyi, menyatakan apa yang sebelumnya tidak diketahui dunia. Hal tersebut menyatakan bahwa tanpa penyataan seperti itu, makna dunia yang sesungguhnya akan tetap tersembunyi. Dalam Disputation Against Scholastic Theology (Disputasi Melawan Teologi Skolastik) karyanya pada tahun 1517, dan bahkan lebih jelas lagi dalam Heidelberg Disputation (Disputasi Heidelberg) pada tahun 1518, Luther menolak teologi yang dibentuk tanpa apokalips, tanpa pewahyuan -- ketika seseorang dapat dengan mudah melihat hal dari Tuhan yang tersembunyi dan tidak terlihat. "Teologi kemuliaan" seperti itu, demikian ia menyebutnya, menekan dunia Alkitab menjadi dunia yang dipahami dengan logika, filsafat, dan pengalaman manusia. Dampaknya, pandangan semacam itu berusaha mencocokkan kisah Alkitab dengan kisah dunia, entah dunia filsafat dan sains, atau dunia buruh dan pembesar. Dengan pembalikan rasio dan pewahyuan, dialektik dan apokaliptik, kaum skolastik akan berusaha menyesuaikan kebenaran Allah dengan kebenaran manusia, dan orang seperti Thomas Müntzer akan mencari kekuatan eskatologis Allah dalam kekuatan tentara buruh. Namun, pandangan apokaliptik Luther mengenai peristiwa pada sejarahnya sendiri sama sekali tidak dikendalikan oleh ketidakadilan paus atau pembesar, ancaman buruh maupun wabah, perang dan rumor perang, bahkan bukan oleh amukan kuasa jahat, melainkan itulah misteri yang tersimpan selama berabad-abad, hikmat yang disembunyikan dari orang bijak, tetapi dinyatakan pada orang-orang kecil, sebuah "teologi salib" yang menyatakan bahwa akhir zaman telah tiba dengan adanya Kristus yang Tersalib. Inilah apokalips yang, bagi Luther, menafsirkan dunianya dan akhir zaman: Yang Tersalib telah mengenakan seluruh kejahatan dan dosa pada Diri-Nya dan mengalahkan mereka di kayu salib. Mengikuti rangkuman Paulus tentang narasi Alkitab, khususnya sapuan sejarah besar keselamatan yang diceritakan dalam Surat Roma dan ditunjukkan dalam Surat Galatia, Luther berfokus pada kisah janji -- janji Allah. Sejak permulaan kisah Alkitab sampai akhir, Luther menyaksikan janji Allah secara terus-menerus, menembus kehidupan umat-Nya untuk mengklaim kata terakhir supaya segala sesuatu berakhir -- dosa, maut, iblis -- bahkan hukum. Hanya oleh janjilah Israel hidup dalam iman, dan hanya melalui iman dalam janji (Allah) orang non-Yahudi menemukan perhentian spiritual mereka, karena "Kristus adalah penggenapan seluruh janji Allah" (2 Korintus 1:20). Dan, kisah janji ini menantang kita sebagaimana sebuah janji -- Kristus bagi kita. Jadi, Kitab Suci menantang kita sebagai sebuah janji, menuntut dan menghasilkan iman. Karena itu, di tengah kehancuran, ketakutan akan maut, keraguan, dan pencobaan yang tampak bertentangan dengan kuasa dan belas kasih dan keadilan Allah, kematian dan kebangkitan Kristuslah yang tetap menjanjikan pengharapan dan memberi makna serta tujuan bagi kisah hidup tiap orang. ![]()
Katharina von Bora, istri Luther, oleh Lucas Cranach the Elder, 1526.
Tanpa adanya penyingkapan janji ini, tanpa kisah yang lain ini -- pernyataan dan tindakan Luther dapat terdengar absurd. Tentu Anda pernah mendengar pepatah yang secara tidak benar diatasnamakan kepada Luther, "Bila saya tahu dunia akan berakhir besok, saya akan menanam pohon apel hari ini." Kalimat ini bukanlah perkataan Luther, tetapi tampaknya mirip dengan pemikirannya. Yang mungkin lebih mengejutkan ialah kalimat berikut, yang benar-benar pernah ia katakan: di tengah kegelapan dan kebisingan Perang Petani, Luther melakukan sesuatu yang lebih absurd daripada menanam pohon apel -- ia memutuskan untuk menikah. Sembari menulis surat kepada seorang kerabat tentang kemungkinan kematiannya di tangan para petani, ia berhenti sejenak dan berkata, "Bila saya dapat mengaturnya, sebelum mati, saya tetap akan menikahi Katie untuk menghina sang Iblis, meski saya harus mendengar perang petani berlanjut. Saya percaya mereka tidak akan mencuri semangat dan sukacita saya." Suatu momen yang mengagumkan: secara paradoks, Luther memamerkan undur dirinya dari tengah dunia sekaligus pada saat yang sama keyakinan dan kebebasannya untuk hidup dan berinvestasi di dunia. Ia melakukan hal ini karena kisah Kitab Suci -- yang dibubuhkan pada tiap halaman dengan darah Kristus! -- menjanjikan padanya bahwa Allah yang menghancurkan kuasa dosa, maut, dan Iblis adalah Allahnya. Dalam iman ini, kisah keselamatan dari Alkitab menjadi kisahnya sendiri, memaknai dan membentuk setiap momen dalam hidupnya. Hanya dengan "kesadaran yang ditawan oleh Firman Allah" ia benar-benar menemukan kebebasan sejati. Supaya jelas, Luther tidak memaksudkan agar setiap kisah dalam Kitab Suci harus disederhanakan menjadi peringatan "bertobatlah" dan "percayalah". Janji Allah dan iman yang dipanggil menjadi nyata tidak datang secara umum, melainkan di tengah kekhususan kehidupan dan sejarah manusia. (Pepatah "iblis berada dalam detail" betul-betul salah -- iblis jauh lebih baik dalam pernyataan yang bersifat umum; Allah itulah yang merendahkan diri ke dalam keringat dan darah sejarah manusia -- seperti dikatakan Luther, "Ke dalam debu dan kerja yang membuat kulitnya terbakar.") Dalam kehidupan nyata, dengan segala pertentangan dan ketidakpastiannya, Allah berbicara kepada kita, Ia mendekat kepada kita dalam inkarnasi Allah Anak. Di sinilah, dalam kisah janji Allah, saya hendak mengajukan bahwa teologi Luther bahkan lebih penting dan mendesak bagi zaman kita. Meski benar bahwa penghancuran yang dilakukan pascamodernisme terhadap asumsi dan fondasi tradisional menyatakan kenaifan dan kesombongan manusia modern, hal tersebut juga telah meninggalkan masyarakat kita dalam keadaan hilang arah, kekecewaan, kecemasan. Tampaknya, ada budaya "Anfechtung" yang terus bertumbuh, yang secara simultan menolak segala otoritas, tetapi masih mendambakan kepastian. Di tengah iklim yang tidak pasti dengan segala kontradiksi dan keraguan hidup, hal itu meninggikan autentisitas melebihi otoritas, dan kepenuhan akan kebenaran melebihi kebenaran, teologi Luther menunjuk pada -- bukan seperangkat rasa aman, pegangan, atau fondasi objektif lain yang dapat diverifikasi -- melainkan sebuah janji, Firman yang sepenuhnya bergantung pada kasih dan kesetiaan Dia yang menyatakannya. Himne Luther Benteng yang Teguh mengatakan bahwa itu hanya "sepatah kata", tetapi kata dan cerita adalah satu-satunya yang kita miliki -- dan "penuh pun dunia dengan setan", terhadap pemerintah dunia ini, "kuasanya ditebang dengan sepatah kata". Kisah dan janji -- tentunya, yang kita bicarakan tentang teologi Luther adalah Firman. Lagi pula, jika Luther memang masih berbicara kepada kita pada saat ini, bukan karena kata-katanya sedemikian penting, melainkan karena ia mengarahkan kita untuk mendengar Dia yang Firman-Nya menjanjikan pengharapan dan kehidupan bagi dunia. Di hadapan Firman inilah, kita, demikian tulis Luther dalam kata-kata terakhirnya, "aller Bettler" -- kita semua pengemis. Hal ini benar adanya. (t/Joy)
Anugerah Ditegaskan Melalui Perjanjian Lama
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Banyak orang Kristen yang tidak suka membaca kitab-kitab Perjanjian Lama dengan alasan bahwa Perjanjian Lama hanya untuk orang Israel. Oleh karena itu, orang Kristen hanya tahu tentang isi Perjanjian Baru dan tidak memperhatikan Perjanjian Lama. Alhasil, pemahaman orang Kristen terhadap keselamatan dalam Yesus Kristus menjadi sangat tidak lengkap, bahkan mungkin bisa salah. Seluruh dasar rencana keselamatan Allah justru didasarkan dari Perjanjian Lama, khususnya melalui hukum-hukum-Nya. Kalau tidak mempelajari Perjanjian Lama dengan baik, orang Kristen tidak melihat adanya konsep anugerah yang solid dalam Perjanjian Lama. Melalui hukum-hukum-Nya, terutama Hukum Taurat, kita bisa melihat sifat-sifat Allah yang sempurna. Mengapa bisa demikian? Silakan temukan jawabannya dalam artikel berikut ini. Saudara yang terkasih, mari kita belajar tentang anugerah Allah dalam Perjanjian Lama melalui sajian publikasi e-Reformed ini. Biarlah Allah yang Pribadi dan yang telah berinisiatif untuk melimpahkan anugerah-Nya berkenan menyatakan diri-Nya secara lengkap kepada kita. Soli Deo Gloria!
Edisi:
Edisi 192/September 2017
Isi:
ARTIKEL Anugerah Ditegaskan Melalui Perjanjian Lama Bacaan: Galatia 3:6-29 Pengantar Ulaslah perbedaan antara pesan Paulus dan penganut Yudaisme. Mengapa orang Yahudi begitu berhasil menyesatkan orang Kristen di Galatia? Sebagian dari jawabannya adalah karena sepertinya Perjanjian Lama sejalan dengan mereka dan bukan dengan Paulus. Perjanjian Lama memberi penekanan besar pada Hukum Allah. Empat dari lima kitab pertama di Perjanjian Lama berfokus pada Hukum Taurat, dan sebagian besar Perjanjian Lama lainnya berfokus pada bagaimana Allah memberkati Israel karena ketaatan mereka terhadap Hukum Taurat, atau menghukum mereka karena ketidaktaatan mereka. Mengapa Allah begitu menekankan hal ini jika mematuhi Hukum Allah tidak penting bagi keselamatan kita? Hukum Taurat sebenarnya menyatakan "Lakukan ini dan hiduplah" (Imamat 18:5) -- yang setidaknya menyiratkan bahwa kita dapat memperoleh penerimaan Allah dengan mematuhi Hukum-Nya. Jadi, Paulus harus menunjukkan dari Perjanjian Lama bahwa Tuhan selalu menerima orang oleh anugerah melalui iman saja dan bukan dengan perbuatan. Dan, dia harus menjelaskan mengapa Allah memberikan Hukum Taurat jika Dia tidak menginginkannya menjadi sarana untuk mendapatkan penerimaan-Nya. Inilah yang dilakukannya dalam Galatia 3:6-24. Ini adalah bagian yang sangat rumit -- dipenuhi dengan kutipan Perjanjian Lama dan kiasan mengenai prinsip-prinsip Perjanjian Lama yang tidak kita kenal. Kita tidak punya waktu untuk memeriksanya secara rinci -- tetapi kita bisa mendapatkan pokok-pokok argumen Paulus. Dia menjawab dua pertanyaan penting dalam bagian ini. 1. "Bagaimana orang mendapatkan penerimaan Allah di masa Perjanjian Lama?" (Galatia 3:6-14) Bacalah Galatia 3:6-14. Apakah Anda melihat apa yang tadi saya maksud dengan "rumit"? Namun, poin utamanya cukup mudah dimengerti. Allah selalu menerima orang melalui iman dan bukan perbuatan. Paulus membuktikan hal ini dengan dua cara:
Apa yang tersirat oleh teladan Abraham secara tegas dinyatakan oleh Allah melalui nabi Habakuk (Galatia 3:11; Habakuk 2:4) -- setiap orang dibenarkan di hadapan Allah oleh iman. Allah tidak pernah menerima siapa pun melalui perbuatan. Ya, Hukum Taurat mengajarkan "Lakukanlah ini (yaitu, melakukan Hukum Taurat) dan kamu akan hidup" (Galatia 3:12; Imamat 18:5). Namun, itu ternyata hanya sebuah kemungkinan teoritis -- bukan sesuatu yang bisa dicapai siapa pun. Mengapa? Sebab, Hukum Taurat itu sendiri menyatakan bahwa Allah menuntut ketaatan sempurna atas semua hukum-Nya, dan bahwa setiap ketidaktaatan menjadikan seseorang ada di bawah penghukuman/kutukan Allah (Galatia 3:10, 11a; Ulangan 27:26). Karena standar yang sempurna ini, satu-satunya hal yang diberikan Hukum Taurat kepada seseorang adalah kutukan Allah! Inilah sebabnya Yesus datang -- untuk menyelamatkan kita dari kutuk Hukum Taurat dengan mengutuk diri-Nya sendiri (Galatia 3:13). Ya, Hukum Taurat tersebut dengan tegas menyatakan bahwa penjahat besar (dilempari batu dan kemudian digantung) berada di bawah penghukuman Allah (Ulangan 21:23). Ya, fakta bahwa Yesus "digantung" membuktikan bahwa ia berada di bawah penghukuman Allah. Akan tetapi, Dia dikutuk oleh Tuhan bukan karena dosa-dosa-Nya sendiri, melainkan karena Dia dengan sukarela mengambil penghukuman kita untuk diri-Nya sendiri. Dengan melakukannya, Dia memenuhi sistem pengorbanan dalam Perjanjian Lama (di mana Allah menyediakan pengganti yang tidak bersalah, kematian-Nya membayar dosa-dosa kita) dan juga nubuat dalam Yesaya 53 (baca Yesaya 53:4b, 5a, 6b). Jadi, pesan Paulus sejalan -- tidak bertentangan -- dengan Perjanjian Lama! Orang-orang dalam Perjanjian Lama tidak pernah bisa mendapatkan penerimaan Allah dengan mematuhi Hukum Taurat-Nya. Sebaliknya, orang-orang di Perjanjian Lama mendapatkan penerimaan Allah dengan cara yang sama seperti sekarang -- dengan hanya memercayai janji Allah. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa mereka menaruh kepercayaan mereka pada janji Allah sebelum Dia memenuhinya melalui kematian Yesus (dibantu dengan keadaan dan nubuat), sementara kita menaruh kepercayaan kita kepada janji Allah setelah Dia memenuhinya dalam sejarah. 2. "Mengapa Tuhan memberikan Hukum Taurat?" (Galatia 3:15-24) Hal ini menimbulkan pertanyaan yang jelas, bukan? Jika Allah tidak memberikan Hukum Taurat sebagai sarana untuk memperoleh penerimaan-Nya, mengapa Ia memberikannya? Paulus menjawab pertanyaan ini dengan dua cara:
Dalam hukum Romawi, begitu seseorang menunjuk ahli warisnya sesuai kehendaknya dan mengesahkannya, hal itu tidak dapat diubah oleh kondisi apa pun. Mereka bisa masuk ke dalam pengaturan hukum lain dengan ahli warisnya untuk tujuan yang berbeda -- tetapi pengaturan itu tidak dapat mengubah warisan mereka. Dengan cara yang sama, Paulus mengatakan, Allah memberikan janji-Nya untuk menerima orang melalui iman jauh sebelum Dia memberikan Hukum Taurat (Kejadian 15:6). Oleh karena itu, apa pun tujuan-Nya atas Hukum Taurat, hal tersebut tidak mungkin dimaksudkan untuk mengubah landasan cara-Nya menerima orang -- karena janji Allah tidak dapat diubah. Ini sangat ironis. Kaum Yudaisme mengatakan bahwa pesan Paulus tidak mungkin benar karena itu berarti bahwa Tuhan berubah pikiran tentang bagaimana menerima orang. Sebenarnya, Paulus mengatakan, pesan Yudaismelah yang mengubah pikiran-Nya, bukan Tuhan! Lalu, mengapa Allah memberikan Hukum Taurat?
Masalah terbesar kita bukanlah dosa/pelanggaran kita -- Allah telah memberikan solusi untuk hal ini melalui Yesus. Masalahnya adalah kecenderungan terdalam kita untuk tidak mengakui bahwa kita membutuhkan solusi dari Allah. Ini seperti yang dokter sebut sebagai "penyangkalan". Seorang pasien sakit parah, tetapi dokter memiliki pengobatan untuk menyembuhkan pasien. Masalahnya, si pasien berada dalam penyangkalan. Jadi, sebelum pasien itu mau menerima pengobatan, dokter harus terlebih dahulu meyakinkannya bahwa dia membutuhkannya. Bagaimana dokter bisa melakukan ini? Dengan menunjukkan kepadanya bukti penyakitnya, dengan menunjukkan kepadanya kasus yang terjadi pada orang-orang yang menolak pengobatan, dst.. Dengan cara yang sama, Allah menggunakan Hukum Taurat untuk menerobos penyangkalan kita atas pelanggaran radikal kita sehingga kita mau menerima pengampunan-Nya melalui Yesus. Paulus menjelaskan bagaimana Hukum Taurat memenuhi tujuan ini (bagi Israel secara historis, dan bagi kita masing-masing) dalam tiga cara: 1. Hukum Taurat "menunjukkan kepada manusia dosa-dosa mereka" (Galatia 3:19). Hukum Taurat memberikan gambaran objektif tentang kebenaran sempurna Allah dan bagaimana kita melanggarnya. Hukum Taurat itu seperti X-Ray atau tes darah. Mereka tidak menyembuhkan kita -- mereka menyingkapkan masalah yang membutuhkan penyembuhan Kristus. 2. Hukum Taurat "menempatkan kita di bawah pengawasan sebagai tahanan" (Galatia 3:22, 23). Hukum Taurat tidak hanya mendakwa dosa dan kesalahan kita -- juga membuat kita tetap berada dalam tahanan sebagai terdakwa penjahat yang menunggu penghakiman Allah. 3. Hukum Taurat "adalah penjaga kita" (Galatia 3:24). Ini adalah terjemahan yang buruk. Seorang "penjaga" (paidagogos) adalah "pengawas-anak" -- seorang pendisiplin yang keras, seperti pengasuh super ketat, yang pergi ke mana-mana dengan anak-anak kecil dan menghukum mereka setiap kali mereka tidak taat. Hukum Taurat itu seperti pengasuh super ketat yang selalu menangkap kita dan mengeluarkan deklarasi baru atas kesalahan kita. Dipahami secara demikian, hukum sangatlah penting. Hukum tidak bisa menyembuhkan kita, tetapi bisa menerobos penyangkalan kita dan meyakinkan bahwa kita sakit dan perlu disembuhkan oleh dokter. Hukum tidak bisa menyelamatkan kita, tetapi bisa menerobos kebenaran diri sendiri dan meyakinkan kita bahwa kita membutuhkan keselamatan dari Allah. Apa yang terjadi bila Anda meletakkan iman Anda dalam Kristus? Begitu Hukum Taurat membawa Anda menuju iman dalam Kristus, lalu apa? Kemudian, Anda menjadi manusia baru! Paulus menjelaskan tiga perubahan besar yang terjadi saat Anda menerima Kristus.
Saya dapat mengatakan bahwa menaruh iman saya pada Kristus telah membawa ketiga perubahan ini dalam hidup saya. Saya diterima oleh Allah, yang memberi saya rasa aman yang mendalam. Saya memiliki kesetaraan dan persatuan yang nyata dengan saudara-saudari saya di dalam Kristus, yang memberi saya komunitas sesungguhnya. Dan, saya memiliki peranan unik dalam rencana Allah, yang mengisi hidup saya dengan hal yang benar-benar penting. Allah berkata, "Barangsiapa yang percaya kepada-Ku tidak akan kecewa." Saya telah mengalami pemenuhan janji itu. Dan Anda juga bisa. Sebenarnya, ada beberapa jawaban untuk pertanyaan ini. Allah memberikan Hukum Taurat untuk mengungkapkan karakter moral-Nya dan kehendak moral-Nya untuk hidup kita. Dia memberikannya untuk menyediakan gambaran tentang kematian penebusan Kristus di masa depan. Dia memberikannya untuk menyediakan kondisi bagi Israel untuk bisa tinggal di tanah Kanaan. Dia memberikannya untuk menyediakan sebuah pemerintahan sipil bagi orang Israel. Di sinilah Paulus menjelaskan tujuan Hukum Allah secara khusus sehubungan dengan bagaimana kita mendapatkan penerimaan-Nya. (t/Jing-Jing)
Komentar![]() |
Publikasi e-ReformedRSS Blog SABDA
|