Tentang KamiArtikel TerbaruUpdate Terakhir |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SOTeRI Semper ReformandaPenulis_artikel:
Michael Horton
Tanggal_artikel:
6 Mei 2019
Isi_artikel:
Semper Reformanda (Selalu Diperbaharui)Kalau Anda telah lama berada dalam lingkungan Protestan, baik konservatif maupun liberal, kemungkinan Anda pernah mendengar slogan “diperbaharui dan selalu memperbaharui” atau kadang hanya “selalu memperbaharui.” Saya sering mendengarnya akhir-akhir ini, terutama dari kawan-kawan yang menghendaki agar gereja Reformed kami lebih terbuka untuk bergerak melampaui keyakinan dan praktik yang dinyatakan dalam standar doktrin kami. Bahkan, dalam lingkungan Reformed belakangan ini, telah bangkit beragam pergerakan yang menantang standar tersebut. Bagaimana pengakuan iman dan katekismus yang ditulis pada abad ke-16 dan 17 bisa membentuk doktrin, kehidupan, dan ibadah pada abad 21? Kaum Protestan Liberal kerap mengutip slogan tadi untuk membenarkan diri mereka yang menganut semangat zaman ini, tetapi sejumlah Protestan konservatif juga memakainya untuk mendukung pengertian yang lebih luas tentang arti menjadi Reformed. Namun, dari mana frasa itu berasal? Frasa itu pertama kali muncul pada 1674 dalam renungan karya Jodocus van Lodenstein, seorang figur penting dalam aliran pietisme Reformed Belanda -- suatu gerakan yang dikenal sebagai Reformasi Belanda Kedua. Menurut para penulis itu, Reformasi telah memperbaharui doktrin gereja, tetapi kehidupan dan praktik umat Allah senantiasa memerlukan perubahan lebih lanjut. Van Lodenstein dan kawan-kawan berpegang teguh pada pengakuan iman dan katekismus Reformed; mereka hanya ingin melihat pengajaran itu diterapkan lebih menyeluruh dan juga dipahami. Akan tetapi, kalimat lengkap darinya berbunyi demikian: “Gereja sudah diperbaharui dan senantiasa (memerlukan) pembaharuan berdasarkan firman Allah.” Bentuk kata kerjanya pasif: gereja bukan “selalu memperbaharui,” melainkan “selalu diperbaharui” oleh Roh Allah melalui firman. Kendati para Reformator sendiri tidak memakai slogan tersebut, kalimat itu jelas mencerminkan maksud mereka; jika dikutip seluruhnya! Setiap klausanya penting. Pertama, gereja sudah diperbaharui (Reformed), dan ini seharusnya ditulis dengan huruf R kapital. Kalau Yesus sungguh bangkit dari antara orang mati dua ribu tahun lalu di Palestina, maka hal itu juga benar pada zaman dan tempat kita sekarang. Kredo oikumene menegaskan iman yang kita semua anut dalam beragam budaya dan zaman. Demikian pula, standar-standar Reformed (misalnya Tiga Bentuk Kesatuan serta Pengakuan Iman dan Katekismus Westminster) merangkumkan apa yang diyakini oleh Kristen Reformed sebagai ajaran firman Allah yang jelas. Gereja-gereja akan senantiasa mengalami perubahan penting berdasarkan zaman dan tempatnya, tetapi pengakuan bersama tentang Kristus tetap menjadi ringkasan yang setia tentang “iman yang telah diserahkan sekali untuk selamanya kepada orang-orang kudus” (Yudas 3). Para pendahulu kita yang menyerukan slogan tersebut memikirkan konsolidasi (kesatuan) yang am dan injili terwujud dalam pengakuan iman dan katekismus Reformed. Ada alasan mengapa sayap (kubu) Reformasi ini menyebut diri mereka Reformed. Tidak seperti kaum Anabaptis, gereja-gereja Reformed memahami dirinya sebagai cabang terusan dari gereja yang am. Pada saat yang sama, kaum Reformed ingin memperbaharui segala sesuatu “berdasarkan firman Allah.” Tidak hanya doktrin, tetapi ibadah dan kehidupan kita juga harus ditetapkan berdasarkan Alkitab, bukan berdasarkan keinginan maupun kreativitas manusiawi. Menariknya, yang membuat slogan itu menjadi sorotan adalah seorang teolog Presbiterian arus utama, Anna Case-Winters. Dia menyebut slogan itu “slogan yang disalahgunakan.” Winters menunjukkan bahwa “dalam konteks abad ke-16, semangat yang dinyatakan dalam slogan itu bukan liberal maupun konservatif, melainkan radikal, dalam arti kembali ke ‘akarnya'.” Hal ini tercermin dalam seruan kesatuan, sola Scriptura (hanya Alkitab). Gerakan Reformasi tidak tertarik pada “perubahan” sebagai akhir dari dirinya sendiri. Seperti pendapat Calvin dalam risalahnya berjudul The Necessity of Reforming the Church (Perlunya Memperbarui Gereja - Red.), para Reformator penuh dengan inovasi, padahal yang memerlukan pemulihan Kekristenan rasuli adalah distorsi (pembengkokan) iman Kristen dalam gereja abad pertengahan.” Gereja Roma berpura-pura seolah “tetap sama”, padahal mereka telah menggabungkan sejumlah besar doktrin dan praktik yang tidak ada dalam gereja mula-mula, apalagi dalam Perjanjian Baru. Sebagian orang zaman ini mengabaikan bagian Reformed, atau setidaknya hanya menafsirkannya sebagai "diperbaharui” belaka (dengan huruf "r" kecil) : gereja “senantiasa diperbaharui berdasarkan firman Allah.” Berarti, menjadi kaum Reformed hanya sekadar diperbaharui, dan diperbaharui pasti menjadi alkitabiah. Jadi, semua orang yang melandaskan keyakinannya pada Alkitab pasti reformed, (diperbaharui), tak peduli apakah tafsiran mereka sesuai dengan pengakuan iman gereja Reformed pada umumnya. Namun, hal ini bertentangan dengan makna asli dari slogan tersebut. Tidak diragukan, memang banyak kepercayaan dan praktik kaum Reformed yang sama dengan orang percaya dari kaum non-Reformed yang setia kepada firman Allah. Kita harus selalu terbuka menerima koreksi dari saudara seiman dalam gereja lain yang menafsirkan Alkitab secara berbeda. Namun demikian, gereja Reformed adalah bagian dari tradisi Kekristenan yang khusus, dengan definisi tentang iman dan praktiknya sendiri. Kami percaya bahwa pengakuan iman dan katekismus kami setia mewakili sistem doktrin yang ada dalam Kitab Suci. Kita percaya bahwa menjadi Reformed bukan sekadar menjadi alkitabiah, menjadi alkitabiah berarti menjadi Reformed. Penting untuk mempertahankan kata Reformed dalam slogan tadi, tetapi ada pula kelalaian yang lebih berbahaya di antara kaum Protestan yang lebih liberal, mereka mengabaikan (meniadakan) klausa “berdasarkan firman Allah.” Lagipula, yang biasa dipakai adalah slogan “senantiasa memperbaharui”, bukannya “senantiasa diperbaharui.” Dalam pandangan itu, gereja menjadi pihak pelaku (yang aktif), menentukan sendiri doktrin, ibadah, dan disiplinnya dalam konteks budaya yang terus berubah. Progresifisme menjadi tujuan itu sendiri, dan gereja pun menjadi cermin dunia ini. Namun, kita yang berada dalam gereja Reformed yang mengaku juga harus berhati-hati untuk tidak melupakan bahwa patokan doktrin kita berada di bawah firman Allah. Gereja Kristus diperbaharui oleh firman Allah sepanjang era Reformasi dan pasca-Reformasi. Gereja dibawa kembali kepada firman Allah, dan buah dari karya besar Roh Kudus itu tetap menuntun kita melalui pengakuan iman dan katekismus. Jadi, gereja itu bukan hanya Reformed; tetapi senantiasa perlu diperbaharui.” Sama seperti pengudusan kita masing-masing, kesetiaan kita bersama sebagai jemaat juga selalu bercacat. Kita tidak perlu bergerak melebihi pencapaian Reformasi, tetapi kita memang membutuhkan perubahan lebih lanjut. Namun, inilah pamungkas dari klausa terakhir: “senantiasa diperbaharui berdasarkan firman Allah.” Gereja tidak pernah bisa mandek (tinggal diam), bukan karena kebudayaan selalu berubah dan kita harus menyesuaikan diri dengan zaman, melainkan karena kita selalu perlu diarahkan kembali kepada Firman yang menaungi kita, baik secara individu maupun sebagai jemaat. Gereja harus selalu mendengar. “Iman datang dari pendengaran, pendengaran akan firman Kristus.” (Roma 10:17) Secara pribadi maupun bersama-sama, gereja terbentuk dan bertahan hidup dengan mendengarkan Injil. Gereja selalu menjadi pihak penerima karunia Allah sekaligus teguran-Nya. Roh Kudus tidak menuntun kita menjauh dari firman, melainkan mengarahkan kita kembali kepada Kristus yang dinyatakan dalam Kitab Suci. Kita senantiasa perlu kembali kepada suara Sang Gembala. Injil yang sama, yang melahirkan gereja, juga menopang dan memperbaharuinya. Kesesuaian diri kita dengan Firman, seperti yang Paulus ajarkan dalam Roma 12 tidak pernah selesai dalam kehidupan ini, demikian pula dengan gereja pada zaman ini. Cara pandang ini menjaga kita agar tidak memutlakkan tradisi (menganggap tradisi tidak mungkin salah - Red), tetapi menjaga tradisi tetap proporsional, agar kita tidak menyerap obsesi Protestan radikal, dengan memulainya dari awal pada tiap generasi. Ketika firman Allah menjadi sumber kehidupan kita, maka kesetiaan hakiki kita tidak terletak pada masa lalu seperti tradisi, ataupun pada masa kini dan masa depan, tetapi kepada “Firman yang melampaui segala kuasa dunia,” kalimat ini diambil dari himne terkenal karya Luther. Tuhan kita yang berdaulat memerintah atas tubuh-Nya sepanjang zaman dan tempat, bukan di belakang atau di depan kita, melainkan di atas kita. Saat kita mengutip slogan itu secara utuh -- “gereja sudah diperbaharui (Reformed) dan senantiasa sedang diperbaharui berdasarkan firman Allah” -- berarti kita mengaku bahwa kita adalah milik (bagian dari) gereja, bukan milik diri kita sendiri, dan bahwa gereja ini senantiasa dicipta dan diperbaharui oleh firman Allah, bukan oleh pergerakan zaman. (t/Aji)
Komentar |
Publikasi e-Reformed |