Bagaimana Kita Tahu Bahwa Alkitab Itu Benar?

Penulis_artikel: 
R.C. Sproul
Tanggal_artikel: 
1 Februari 2021
Isi_artikel: 

Itu pertanyaan yang sangat bagus, karena begitu banyak yang dipertaruhkan dalam iman Kristen berkaitan dengan kebenaran Kitab Suci. Alkitab adalah sumber utama informasi kita tentang Yesus dan tentang semua hal yang kita terima sebagai unsur iman kita. Tentu saja, jika Alkitab tidak benar, maka orang yang mengaku Kristen berada dalam masalah serius. Saya percaya Alkitab itu benar. Saya percaya itu adalah firman Tuhan. Seperti yang Yesus Sendiri nyatakan dalam Kitab Suci, "Firman-Mu adalah kebenaran." Akan tetapi, mengapa saya yakin bahwa Alkitab adalah kebenaran?

Alkitab

Kita perlu mengajukan pertanyaan yang lebih luas dulu. Bagaimana kita tahu bahwa ada yang benar? Kita mengajukan pertanyaan teknis dalam epistemologi. Bagaimana kita menguji klaim kebenaran? Ada jenis kebenaran tertentu yang kita uji melalui observasi, eksperimen, saksi mata, pemeriksaan, dan bukti ilmiah. Sejauh menyangkut sejarah Yesus, sejauh yang kita tahu sejarahnya, kita akan memeriksa cerita-cerita Kitab Suci dengan menggunakan cara-cara yang dengan itu bukti sejarah dapat diuji — melalui arkeologi, misalnya. Ada unsur-unsur tertentu dari Kitab Suci, seperti klaim sejarah, yang harus diukur dengan standar umum historiografi. Saya mengajak orang-orang untuk melakukan itu — untuk memeriksanya.

Kedua, kita ingin menguji klaim kebenaran melalui uji rasionalitas. Apakah itu konsisten secara logis, atau apakah itu berbicara dengan -- lidah bercabang-? Kita memeriksa isi Kitab Suci untuk melihat apakah itu koheren. Itu ujian kebenaran lainnya. Salah satu hal yang paling mencengangkan, tentu saja, adalah bahwa Alkitab secara harfiah memiliki ribuan nubuatan sejarah yang dapat diuji, kasus-kasus di mana peristiwa-peristiwa dengan jelas dinubuatkan, dan baik peramalan maupun penggenapannya adalah teks catatan sejarah. Dimensi dari penggenapan nubuatan dalam Kitab Suci Perjanjian Lama seharusnya cukup untuk meyakinkan siapa pun bahwa kita berhadapan dengan sebuah literatur supernatural.

Tentu saja, beberapa teolog mengatakan bahwa dengan semua bukti yang ada bahwa Kitab Suci itu benar, kita benar-benar dapat menerimanya hanya dengan Roh Kudus yang bekerja di dalam kita untuk mengatasi bias dan prasangka kita terhadap Kitab Suci, melawan Allah. Dalam teologi, ini disebut kesaksian internal Roh Kudus. Saya ingin menekankan pada poin ini bahwa ketika Roh Kudus menolong saya untuk melihat kebenaran Kitab Suci dan menerima kebenaran Kitab Suci, itu bukan karena Roh Kudus memberi saya wawasan khusus yang tidak Dia berikan kepada orang lain atau memberi saya informasi khusus yang tidak dapat dimiliki orang lain. Yang dilakukan Roh Kudus hanyalah mengubah hati saya, mengubah kerangka berpikir saya terhadap bukti-bukti yang sudah ada. Saya pikir Allah sendiri telah menanamkan di dalam Alkitab suatu konsistensi internal yang menjadi saksi bahwa ini adalah Firman-Nya. (t/Jing-Jing)

Audio: Bagaimana Kita Tahu Bahwa Alkitab Itu Benar?

Sumber Artikel: 
Diterjemahkan dari:
Nama situs : Ligonier
URL : https://www.ligonier.org/blog/how-do-we-know-bible-true/
Judul asli artikel : How Do We Know the Bible Is True?
Penulis artikel : R.C. Sproul

Kita Memerlukan Teologi Teknologi

Penulis_artikel: 
Will Sorell
Tanggal_artikel: 
4 Desember 2020
Isi_artikel: 
Kita Memerlukan Teologi Teknologi

Kita Memerlukan Teologi Teknologi

Awal bulan ini, Judah Smith mengumumkan dibukanya Churchome Global. Lokasi terbaru dari gereja raksasanya dalam berbagai tempat adalah telepon dalam kantong Anda. Tidak sama seperti aplikasi gereja tradisional yang menawarkan pesan dan informasi, Churchome Global mengutamakan label untuk membentuk kelompok komunitas secara daring, memberi untuk tujuan-tujuan dunia, dan bersekutu dengan orang lain sebelum ibadah di ruang masuk virtual. Pada label doa Anda bisa menaruh dua jari di layar untuk memberi tanda Anda sedang mendoakan pokok-pokok doa tertentu pada waktu sekarang. Tweet asli Smith menerima lebih dari 250 komentar, banyak yang mengkritisi -- cara bergereja yang baru -- ini.-

Perdebatan-perdebatannya adalah mengenai bagaimana dan mengapa menyediakan teknologi baru bukanlah hal yang baru. Percetakan, listrik, dan jaringan telah membantu Injil diberitakan secara internasional. Akan tetapi, banyak yang takut internet secara khusus menjadi sebuah ancaman bagi pelayanan yang bersifat inkarnasi. Satu kritik menanyakan tombol mana yang mengeluarkan perjamuan kudus.

Teknologi dapat membangkitkan jiwa atau sebaliknya membuat hati nurani takut dengan kemungkinan-kemungkinan yang tampak tidak berakhir. Kita perlu menemukan pijakan di tengah antara menerima dan tidak menghiraukan. Pertama-tama, kita harus mengerti apa itu teknologi dan apa yang bukan teknologi. Kedua, kita harus bertanya bagaimana Firman Tuhan mendorong kita untuk meresponi.

Teknologi itu Tidak Bermoral

teknologi

Teknologi bukanlah akar dari semua kejahatan. Sama seperti kita bisa menggunakan uang untuk tujuan diri sendiri atau orang lain, cara-cara baru untuk berkomunikasi dan berinteraksi tidak memiliki nilai moral dalam dan dari dirinya sendiri. Teknologi mengandung energi potensial, baik bagi pengharapan maupun rasa takut, tetapi kita memberikan energi kinetis.

Kemajuan teknologi seringkali berusaha untuk memberikan tiga macam kenyamanan:

1. Teknologi membuat perdagangan nyaman.

Entah itu kendaraan yang dirakit robot, pertukaran uang via Venmo atau Vanguard, atau sistem pencatatan mata uang untuk memenangkan pasar, teknologi membuat pasar semakin efisien. Ini bisa mengurangi kendala-kendala untuk mencatat, meningkatkan persaingan, dan membantu pelanggan menikmati kualitas hidup yang lebih baik. Ini juga dapat menyebabkan para pekerja digantikan dan mengakibatkan terjadinya kecurangan.

2. Teknologi membuat perjalanan nyaman.

Otomotif dan perjalanan udara membuat dunia tampak kecil. Orang-orang bisa berkunjung ke sanak saudara yang tinggalnya jauh, mengawasi proyek melintasi lautan, dan menyelidiki ciptaan dengan cara yang belum pernah ada sebelumnya. Demikian pula, kemajuan dalam perjalanan memampukan perdagangan seks, kecelakaan mobil dan kendaraan di udara yang mengerikan, dan meningkatkan polusi.

3. Teknologi membuat komunikasi nyaman.

Facebook baru-baru ini memperkenalkan Portal, sistem pesan-video yang baru dengan Alexa Amazon yang dibangun di dalamnya. Kata-kata pengenalnya – -Jika Anda tidak bisa hadir di sana, rasakan di sana- – melambangkan pengharapan bahwa keintiman manusia akan meningkat seiring dengan meningkatnya teknologi. Hal ini merupakan pengharapan Churchome yang ditekankan, juga. Akan tetapi, jika -- merasa di sana -- itu begitu mudahnya, akankah orang-orang jadi kurang termotivasi untuk hadir ketika mereka bisa hadir?

Energi potensial teknologi tidak dapat terus menjadi potensial selamanya. Saat agen moral menggunakannya, kita memberikan muatan moral kepadanya.

Kita Menggunakan Teknologi Secara Moral

Roma 6:13 memperingatkan semua orang percaya untuk mempersembahkan -- anggota-anggota tubuh -- mereka – setiap bagian dari diri mereka – tidak lagi kepada dosa tetapi bagi Allah. Saat penggunaan teknologi menjadi perluasan dari diri, kita membutuhkan teologi teknologi. Sekali lagi, teknologi itu tidak bermoral, seperti uang. Akan tetapi, saat kita menggunakannya, maka kita menghormati kerajaan atau menghalanginya. Kita menyembah Allah atau menyembah diri sendiri.

Apakah kita sedang melewati orang yang melakukan perjalanan yang dirampok dan terluka karena kita terlalu terobsesi dengan kelekatan kita pada tweet terbaru? Apakah kita memberikan persepuluhan secara digital untuk menghindari pertanggungjawaban pribadi pada hari Minggu? Apakah kita mengonsumsi -- konten paling baru setiap harinya,- atau apakah kita tunduk pada Firman Tuhan agar berlaku dalam konteks masyarakat?

Lalu, Bagaimana Kita Akan Memulai?

Churchome Global hanyalah ujung dari gunung es teknologi. Kita membutuhkan tanggapan dari studi gereja terhadap realita virtual, dan kita membutuhkannya sekarang.

Itu berarti, kita harus proaktif membentuk teologi teknologi kita, bukan sekadar reaktif. Ibadah yang disiarkan langsung melalui internet, misalnya, bisa menjadi sebuah berkat bagi para misionaris yang kesepian. Akan tetapi, itu bisa menjadi sebuah kutukan bagi orang tua yang gagal untuk membangunkan anak-anak mereka dan kemudian memperkenalkan headset sebagai pengganti komunitas.

Jadi, kepentingan apa yang kita miliki ketika kita dan gereja kita membuat keputusan yang berkaitan dengan teknologi? Berikut adalah tiga pedoman yang bermanfaat dalam membentuk sebuah teologi teknologi.

1. Prioritaskan belas kasih lebih daripada rasa nyaman.

Teknologi mengandung energi potensial, baik bagi pengharapan maupun rasa takut, tetapi kita memberikan energi kinetis.
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Apakah penggunaan teknologi di gereja Anda memperbesar empati dan aksi bagi para janda, yatim-piatu, dan pendatang? Pendeta, apakah Anda mengeluarkan sebuah khotbah podcast karena Anda ingin meninggalkan warisan, atau karena hati Anda rindu kepada orang-orang yang sakit dan yang dipenjara?

Kita sebaiknya berfokus pada menjadi tangan dan kaki Kristus kepada orang-orang yang sakit daripada sekadar (membuat) video dan audio kepada orang-orang yang sehat.

Meskipun teknologi merupakan alat yang luar biasa untuk menyampaikan Firman Tuhan baik secara lokal maupun global, kita sebaiknya berfokus untuk menjadi tangan dan kaki Kristus kepada orang-orang yang sakit daripada sekadar video dan audio untuk orang-orang yang sehat.

2. Prioritaskan kehadiran lebih daripada kedekatan.

Jika Kristus sendiri menganggap adalah prioritas untuk ada di tengah-tengah umat-Nya, maka kita juga harus memprioritaskan kehadiran (Mat. 18:20; 28:20). Pendeta, apakah jemaat Anda membaca postingan Anda dan mendengarkan khotbah Anda karena mereka adalah bagian dari gereja Anda, atau karena mereka ingin merasa dimasukkan tanpa komitmen janji? Apakah penggunaan media sosial gereja Anda mendorong orang-orang untuk berpartisipasi dalam studi Alkitab, pertemuan ibadah, dan waktu persekutuan, atau apakah Anda mempromosikan postingan untuk menambah jumlah kehadiran dan arus pendapatan?

Adalah jauh lebih mudah untuk menyembunyikan patah hati kita dan rasa malu kita di balik aplikasi pesan daripada menyampaikannya waktu makan malam bersama.

Keintiman paling baik dilakukan dengan bertemu langsung. Adalah jauh lebih mudah untuk menyembunyikan patah hati kita dan rasa malu kita di balik aplikasi pesan daripada menyampaikannya waktu makan malam bersama. Kita ingin melihat orang-orang secara langsung sekarang karena kita ingin mereka melihat Yesus – dan menjadi seperti Dia – pada zaman akhir (1 Yoh. 3:1–3).

3. Prioritaskan komunitas lebih daripada konten.

Saya pernah mendengar seorang pendeta yang mengurangi perjamuan kudus menjadi sekali dalam tiga bulan dalam ibadah sore yang kurang banyak dihadiri orang-orang, karena ia -- merasa terpanggil untuk mendahulukan pelayanan televisinya.- Dia lebih peduli dengan khotbah hari Minggunya pada stasiun lokal daripada dia bersama dengan orang-orang yang dipersatukan untuk menerima tanda dan meterai kematian Kristus dan janji kedatangan-Nya kembali. Kristus berjanji untuk membangun gereja-Nya dan menyerahkan gereja kepada diri-Nya dalam kemegahan (Mat. 6:18; Why. 21:2), bukan menyampaikan khotbah yang sempurna dan serinya. Marilah berpegang pada perkataan-Nya dan berinvestasi satu terhadap yang lain.

Kenyamanan, kedekatan, dan konten adalah hal-hal baik yang bisa menolong untuk membawa jiwa-jiwa kepada pembenaran dan pengudusan. Akan tetapi, tidak ada pengganti tiruan untuk belas kasih, kehadiran, dan komunitas. Prioritas Yesus harus menjadi prioritas gereja-Nya.(t/Jing-Jing)

Audio: Kita Memerlukan Teologi Teknologi

Sumber Artikel: 
Diterjemahkan dari:
Nama situs : The Gospel Coalition
URL : https://www.thegospelcoalition.org/article/need-theology-technology/
Judul asli artikel : We Need a Theology of Technology
Penulis artikel : Will Sorell

Pekerjaan Anda Dilakukan dengan Baik

Penulis_artikel: 
Dan Doriani
Tanggal_artikel: 
3 Desember 2020
Isi_artikel: 

Mengapa Pekerjaan Baik Penting bagi Tuhan

Saat mewawancarai ratusan orang untuk buku saya "Work: Its Purpose, Dignity, and Transformation", saya memerhatikan berapa banyak orang yang mulai mendeskripsikan pekerjaan mereka dengan dua kata: "Saya hanya".

Para pendidik berkata, "Saya hanya mengajar matematika," dan para pemimpin mengatakan mereka "hanya" mengklarifikasi masalah atau membentuk tim. Beberapa dari kita mengatakan "Saya hanya" karena kita ingin tetap rendah hati. Yang lain berkata "Saya hanya" karena kita tidak pernah mendengar "Kerja yang bagus" atau karena kita tidak dapat melihat nilai dari pekerjaan kita. Yang lain lagi mengatakan "Saya hanya" karena kita hanya bekerja untuk uang atau karena kita kurang arah dan hanya melakukan apa yang diperintahkan. Akan tetapi, kita harus melihat lebih tinggi dan melihat bahwa Allah sendiri mengarahkan kita untuk melakukan pekerjaan yang menyenangkan Dia saat kita melayani sesama kita – apa pun jenis pekerjaan yang kita miliki.

Untuk menyenangkan Tuhan kita dengan pekerjaan kita, kita menyadari bahwa pandangan kita tentang pekerjaan dimulai dari Tuhan sendiri. Kita bekerja karena Allah bekerja, membentuk dan memajukan dunia ini. Dia adalah Pencipta, Raja, dan Gembala yang Baik. Keinginan kita untuk memperbaiki apa yang rusak, menggemakan tujuan Allah untuk menebus ciptaan-Nya yang jatuh. Dorongan kita untuk membuat dan memenuhi rencana adalah mengikuti Tuhan kita, yang merencanakan dan menyelesaikan penebusan. Ketika kita menerima sebuah proyek dan bersukacita atas penyelesaiannya, kita meniru Yesus, yang berkata, "Makanan-Ku adalah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya." (Yohanes 4:34). Umat manusia bekerja karena Tuhan menciptakan kita menurut gambar-Nya, dan Dia bekerja.

Menyenangkan Allah dari jam 9 pagi sampai jam 5 sore

bekerja

Saya mengusulkan lima prinsip untuk mengasihi dan melayani sesama kita di tempat kerja. Masing-masing didasarkan pada karakter dan hikmat Allah, sehingga kita menyenangkan Dia ketika kita -(berjalan) di jalannya- (Ulangan 8:6; Mazmur 128:1). Urutannya penting: kita mengasihi dan melayani sesama kita hanya sebagaimana Allah menyesuaikan kita dengan gambar Yesus (Roma 8:29).

1. Mengupayakan keadilan, kesetiaan, dan kasih.

Kita menyenangkan Allah ketika kita menunjukkan keadilan, kesetiaan, dan kasih seperti Allah. Kita melakukan keadilan bagi semua orang, dan dengan perhatian khusus kepada yang lemah dan tidak berdaya, kepada para janda dan yatim piatu. Kita setia ketika kita bertahan, bukannya menyerah, saat menghadapi tentangan atau sabotase.

Arsitek dan desainer mengasihi orang yang tidak akan pernah mereka temui ketika mereka merencanakan lingkungan kerja yang ruang dan pencahayaannya menumbuhkan ketenangan dan energi selama satu abad. Pengrajin kayu mengasihi sesama yang jauh saat mereka membuat kursi yang sesuai dengan bentuk tubuh, tidak pernah berderit, dan bertahan puluhan tahun. Bahkan, jika seseorang membuat gitar atau cello sendirian di toko, alat musik yang bagus melayani pria dan wanita yang akan memainkan dan mendengarkannya bertahun-tahun kemudian dan bermil-mil jauhnya.

2. Menerapkan hukum Allah dalam pekerjaan Anda.

Kita menyenangkan Allah ketika kita mengikuti hukum-Nya dalam pekerjaan kita. Hukum mengalir dari karakter Tuhan. Jadi, kita tidak membunuh, karena Allah memberi hidup, dan kita tidak mencuri atau mengingini, karena Dia murah hati.

Allah selalu mengatakan kebenaran, dan Kitab Suci adalah -- firman kebenaran- (2 Timotius 2:15; Yohanes 17:17). Oleh karena itu, pekerja media menyenangkan Allah ketika mereka berbicara kebenaran dengan kasih, untuk membangun mereka yang mendengar (Efesus 4:15, 29). Mereka melaporkan berita secara akurat dan memperlakukan narasumber secara bertanggung jawab – misalnya, dengan menetapkan konteks ucapan dan komentar. Mereka menolak untuk mempublikasikan tuduhan tidak berdasar atau dengan sembrono merusak orang yang tidak bersalah. Mereka membuat kebenaran yang penting menjadi menarik.

Kita lebih suka berita semacam ini karena media tergoda untuk meningkatkan peringkat dan keuntungan dengan menarik perhatian sebisa mungkin, seringkali dengan memicu ketakutan atau kemarahan. Kita telah melihat ini dalam laporan tentang COVID-19, karena outlet media menyebarkan berita menakutkan yang hampir saling bertentangan. Satu bagian berteori tentang angka kematian yang mengerikan setelah kembali ke bisnis normal, dan bagian berikutnya meratapi kematian ekonomi dan kehancuran para pengangguran.

3. Mengejar tujuan yang mulia.

Kita menyenangkan Allah ketika kita membangun motif dan tujuan yang mulia. Konselor dan terapis fisik mengembangkan pemulihan ketika mereka menyesuaikan bantuan mereka dengan karakter dan kapasitas klien mereka. Mereka memajukan tujuan klien ketika mereka memberikan semua nasihat yang mereka bisa, dan kemudian mengirim klien kepada orang lain untuk fase berikutnya.

Para pemimpin yang saleh dengan hati-hati memilih tujuan yang akan mereka kejar bersama orang-orangnya. Misalnya, pelatih atletik menetapkan tujuan yang baik ketika mereka memberi tahu para pemainnya bahwa kebugaran, kemajuan, dan kerja tim adalah lebih penting daripada menang. Mereka mengembangkan permainan yang intens, tetapi adil, tekun, dengan sifat sportiv, kegembiraan dalam permainan dan rekan satu tim, menghormati lawan, dan memiliki keanggunan dalam kemenangan dan kekalahan. Mereka mengajari para pemain bahwa olahraga itu penting, tetapi hal-hal kekal lebih penting.

4. Mencari orang untuk dilayani dan dilindungi.

Kita menyenangkan Allah saat kita mencari orang untuk dilayani dan dilindungi. Yesus berkata, -Anak Manusia datang bukan untuk dilayani tetapi untuk melayani dan memberikan nyawa-Nya sebagai tebusan bagi banyak orang,- dan Dia senang ketika kita melayani orang lain (Matius 20:25–28). Pada hari terakhir, Yesus akan berkata, "Bagus sekali," kepada setiap orang yang melayani "saudara-saudara-Ku yang paling hina ini," membawakan makanan bagi yang lapar, air bagi yang haus, mengundang masuk orang asing, dan memberi pakaian bagi yang telanjang (Matius 25:23, 34–40).

Dalam resesi khusus, banyak yang memiliki peran kecil dalam kelompok dengan membawa makanan, air, tempat berteduh, dan kesehatan. Jika kita tidak melihat keseluruhan usaha, kita kehilangan pentingnya tenaga kerja kita. Seorang pengemudi mungkin berpikir, -Saya tidak menghasilkan apa-apa; saya hanya mengirim roti." Namun, tanpa pengiriman, tidak ada yang makan. Agen keuangan mungkin mengeluh bahwa mereka hanya menghitung angka, lupa bahwa pinjaman yang baik memungkinkan orang untuk membeli rumah, dan memulai bisnis. Memang, mereka mungkin melatih klien untuk meningkatkan peluang keberhasilan bisnis mereka dan memberikan pinjaman yang adil kepada kelompok etnis yang dapat dikecualikan dari pasar modal.

5. Menemukan orang yang layak untuk ditiru.

Kita menyenangkan Allah ketika kita mengikuti teladan para pahlawan. Ibrani 11 mengajar kita untuk mencari pahlawan dalam iman, Yesus mengajar para murid untuk belajar dari Daud (Matius 12:3–4), dan Paulus menyajikan Timotius sebagai teladan tidak mementingkan diri sendiri (Filipi 2:19–24). Karena kita selalu pemula, kita tetap membuka mata terhadap pahlawan masa kini. Perhatikan, misalnya, dua kisah singkat tentang orang-orang yang mewujudkan prinsip-prinsip ini di tempat kerja.

Mike si Pemilik Restoran

Mike Perez memiliki beberapa restoran ramah keluarga yang menyajikan hamburger, pizza, dan makanan serupa. Dia mungkin tergoda untuk mengatakan, "Saya hanya membuat hamburger," tetapi Mike melakukan lebih banyak lagi. Dalam hal paling sederhana, dia mengatakan yang benar, menyajikan makanan enak, dan membayar upah yang adil. Dia memastikan bahwa keluarga memiliki tempat yang aman untuk menikmati makanan yang memuaskan.

Akan tetapi, Mike juga menjadi kreatif dalam cara dia melayani pelanggan dan stafnya. Dia menjadi tuan rumah studi Alkitab dan diskusi mengeksplorasi iman. Dia secara sadar bertindak sebagai figur ayah, memastikan semua stafnya diperlakukan dengan hormat. Dia memanfaatkan kesempatan untuk melatih para pekerja mudanya, menanamkan etos kerja yang baik sebelum mereka melanjutkan karir mereka. Akhirnya, dia mempekerjakan dan melatih mantan narapidana untuk memberi mereka kesempatan untuk memiliki pekerjaan yang layak dan menjalani kehidupan yang jujur. Sekilas, orang bisa berpikir Mike "hanya" menyajikan hamburger, tetapi pada setiap langkah, dia berusaha untuk melayani Tuhannya dan mengasihi sesamanya.

Jonathan sang Manajer

Jonathan Byrd mengepalai perusahaan yang tidak memiliki bisnis inti. Jonathan mengidentifikasi dan memperoleh aset dan organisasi yang menurun karena kelalaian, manajemen yang buruk, atau kekurangan modal. Dia menginvestasikan uang dan keterampilan manajemen untuk memperbarui dan mengisi gedung-gedung tua yang kokoh. Dia mengakuisisi produsen yang salah urus yang masih bisa memproduksi barang yang melayani kepentingan publik. Kesuksesan Jonathan telah membuatnya menjadi investor yang membantu mengurangi risiko.

... Allah sendiri mengarahkan kita untuk melakukan pekerjaan yang menyenangkan Dia saat kita melayani sesama kita – apa pun jenis pekerjaan yang kita miliki.
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Pada tahun 2018, Jonathan mengakuisisi perusahaan kecil yang memproduksi ventilator. Pada Januari 2020, perusahaan baru saja memulai kembali proses tersebut dan belum memperoleh keuntungan. Jonathan siap menjual ke produsen yang lebih besar untuk mendapat untung besar ketika pandemi virus corona melanda. Sejak COVID-19 menyerang paru-paru, dunia tiba-tiba menghadapi kekurangan ventilator. Saat kekhawatiran akan penurunan ekonomi mulai terjadi, rencana Jonathan untuk penjualan yang sederhana dan menguntungkan menghilang.

Pada satu sisi, dia dapat mencoba meningkatkan produksi lima puluh kali lipat untuk memenuhi kebutuhan saat ini. Jika semuanya berhasil, mereka dapat memperoleh keuntungan, tetapi mereka tidak memiliki staf untuk peningkatan yang cepat, dan mereka kekurangan dana yang memadai, jadi itu berisiko. Selanjutnya, pemerintah federal ikut terlibat, dan masalah utang pun membayangi.

Jonathan tiba-tiba menghadapi kemungkinan kerugian besar, keuntungan besar, atau keuntungan jangka pendek diikuti dengan kerugian yang lebih besar jika penyakitnya berlalu dengan cepat. Dalam ekonomi yang menyusut dengan cepat, beberapa investor perlu meminimalkan risiko mereka, sama seperti proyek menjadi tidak stabil. Di sisi lain, Jonathan juga memiliki opsi untuk output rendah dan keuntungan kecil yang aman.

Akhirnya, Jonathan dan investornya setuju untuk mengutamakan kasih pada orang asing. Mereka akan menerima risiko pertumbuhan besar-besaran, investor baru, dan campur tangan federal untuk meningkatkan produksi dan menyelamatkan ribuan nyawa di seluruh dunia. Meneliti ketidakpastian keuangan, Jonathan berkata,

"Ini adalah kesempatan seumur hidup untuk melakukan hal yang hampir sempurna; risiko ekonomi adalah sekunder. Kami telah mengabaikan ekspektasi profitabilitas. Fokusnya adalah membantu orang. Kami akan membuat dan mengirimkan ventilator selama diperlukan, di mana saja, atau sampai kami kehabisan uang. Semua orang percaya mereka akan membantu teman mereka saat dibutuhkan. Saya suka bahwa kami membantu orang yang tidak akan pernah kami temui."

Jonathan adalah seorang pengusaha, bukan seorang teolog, tetapi dia melihat kesempatan untuk menyenangkan Allah dengan mengasihi orang asing dan orang luar yang tidak memiliki tuntutan padanya. Dengan cara itu, dia menggemakan kasih Allah. Kita meniru pahlawan masa kini seperti Mike Perez dan Jonathan Byrd ketika kita juga melihat tugas di depan kita bukan sebagai "hanya" pekerjaan, tetapi sebagai cara untuk meniru Kristus, melayani orang yang dekat dan jauh, dan menyenangkan Bapa kita. (t/Jing-Jing)

Sumber Artikel: 
Diterjemahkan dari:
Nama situs : Desiring God
URL : https://www.desiringgod.org/articles/your-job-well-done
Judul asli artikel : Pekerjaan Anda Dilakukan dengan Baik
Penulis artikel : Dan Doriani

Pesona Akhir Zaman dan Penerapannya Saat Ini

Oleh: Romauli

Beberapa bulan lalu, saya dan beberapa staf SABDA berkesempatan mengikuti progsif (program intensif) di Hotel Adhiwangsa, Surakarta. Progsif ini disampaikan oleh Pdt. Jimmy Pardede, M.Th. dengan tema "Pesona Akhir Zaman dan Penerapannya Saat Ini." Tema ini sangat menarik dan membuka banyak wawasan tentang akhir zaman yang sesuai dengan kebenaran firman Tuhan. selengkapnya...»

Memahami Kedaulatan Allah

Penulis_artikel: 
Antonio Coppola
Tanggal_artikel: 
2 Maret 2020
Isi_artikel: 
Memahami Kedaulatan Allah

Gambar: kedaulatan Allah

Kita hidup pada zaman yang sangat tidak pasti. Baik secara lokal maupun global, ada banyak volatilitas/ketidakstabilan politik dan ekonomi. Sangat mudah untuk menjadi muram dan merasa tidak aman pada saat-saat seperti ini. Namun, sebagai orang Kristen, harapan utama kita bukanlah pada penguasa zaman ini, atau dalam keadaan ekonomi kita, tetapi pada Pencipta alam semesta yang berdaulat.

Kebenaran bahwa Allah memang berdaulat harus menjadi penghiburan luar biasa dan sumber kekuatan bagi kita. Apa sebenarnya arti kedaulatan Tuhan? Singkatnya - Allah yang berkuasa, Dia yang memegang kendali. Mari kita melihat empat hal yang dinyatakan Alkitab tentang kedaulatan Allah.

Karena Allah berdaulat, Dia melakukan apa yang Dia inginkan dan mencapai semua tujuan-Nya. Tidak ada yang bisa menghentikan Allah melakukan kehendak-Nya. Mazmur 115: 3 menyatakan dengan jelas, "Allah kami ada di surga, Dia melakukan semua yang disukai-Nya." Allah sendiri berbicara dalam Yesaya 46:10, firman-Nya, "Rencana-Ku akan tetap teguh dan Aku akan menyelesaikan semua kehendak-Ku." Allah tidak dibatasi oleh apa pun di luar diri-Nya, juga tidak ada yang dapat menggagalkan kehendak-Nya, baik itu dosa manusia, pemberontakan atau kurangnya iman, atau bahkan rancangan jahat Iblis. Allah kita melakukan apa yang Dia inginkan dan akan selalu mewujudkan tujuan-Nya, hanya karena Dia adalah Allah!

Karena Allah berdaulat, Dia mengendalikan urusan dunia ini. Daniel 2:21 berkata bahwa "Dialah yang mengubah waktu dan masa; Dia memecat raja dan mengangkat raja. Dialah yang memberi hikmat kepada orang-orang bijaksana dan akal budi diberitahukan-Nya kepada orang yang memahami pengertian." Tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang terjadi secara kebetulan, Allah juga tidak membiarkan kita bergantung pada kemampuan kita sendiri untuk melanjutkan hidup secara mandiri tanpa Dia. Dia adalah penguasa dunia ini, dan sungguh, Dia berkuasa atas perubahan musim, membangkitkan raja dan presiden, dan juga mengawasi kejatuhan mereka - Allah membuat semuanya terjadi. Kita dapat bersandar pada kebenaran yang luar biasa ini bahwa pemerintahan memang terletak di bahu Tuhan (Yesaya 9:6).

Dia mampu menggunakan setiap keadaan untuk bekerja demi kebaikan dan kemuliaan-Nya.

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Karena Allah berdaulat, Dia telah memilih umat untuk diri-Nya sendiri "sebelum dunia dijadikan." (Efesus 1: 4). Terlepas dari tiadanya kebaikan atau iman yang melekat di dalam diri kita, melainkan semata-mata karena Dia memilih untuk menetapkan kasih-Nya kepada kita, "Ia menetapkan kita dari semula untuk diangkat menjadi anak-anak-Nya melalui Kristus Yesus sesuai dengan kesukaan kehendak-Nya." (Efesus 1: 5). Allah dengan berdaulat memilih kita untuk memperoleh karya penebusan di dalam Kristus, terlepas dari (kehendak) diri kita sendiri! Allah tetap sepenuhnya berdaulat atas keselamatan kita - itu semua adalah pekerjaan-Nya - dan karena itu Dia tidak akan pernah membiarkan kita lepas; dan memang, tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kasih-Nya di dalam Kristus Yesus. Ini adalah kabar baik bagi kita!

Karena Allah berdaulat, Dia tetap memegang kendali bahkan dalam menghadapi kejahatan, penderitaan dan ketidakadilan. Kisah Para Rasul 2:23 menyatakan, "Yesus ini, yang diserahkan menurut rencana yang sudah ditentukan dan pengetahuan Allah sebelumnya, kamu bunuh dengan menyalibkan-Nya melalui tangan orang-orang durhaka." Meski Allah tidak pernah menjadi pencipta atau sumber dari kejahatan, Dia mengizinkan hal itu terjadi. Penyaliban Kristus adalah contoh sempurna dari hal tersebut. Ketidakadilan terbesar dalam sejarah dilakukan oleh orang-orang jahat; tetapi itu terjadi sesuai dengan "rencana dan pengetahuan pasti" Allah. Ketidakadilan terbesar dalam sejarah akhirnya menjadi kemenangan terbesar Allah dalam menebus umat-Nya. Meskipun sulit untuk menanggung penderitaan, fakta bahwa Allah tetap berdaulat, kenyataan itu harus sangat menghibur kita. Dia mampu menggunakan setiap keadaan untuk bekerja demi kebaikan dan kemuliaan-Nya. (t/N.Risanti)

Audio:Memahami Kedaulatan Allah

Diterjemahkan dari:
Nama situs : klooftheology.org
URL : https://www.klooftheology.org/understanding-the-sovereignty-of-god.html
Judul asli artikel : Understanding the Sovereignty of God
Penulis artikel : Antonio Coppola

Progsif: Jonathan, A Man Who Knows His Calling in Life

Setelah cukup lama tidak mengikuti progsif, pada Senin, 29 Juli 2019 lalu, saya berangkat untuk menghadiri progsif bertema Jonathan, A Man Who Knows His Calling in Life (Yonatan, Seseorang yang Mengetahui Panggilannya dalam Hidup) di Hotel Adhiwangsa, Solo, bersama dengan teman-teman staf YLSA lainnya. Pembawa materi dalam seminar pembinaan iman Kristen kali ini adalah Ev. Inawaty Teddy. Beliau adalah dosen tetap di STT Reformed Indonesia untuk bidang Perjanjian Lama yang tentunya sangat menguasai topik yang beliau bawakan malam itu. selengkapnya...»

Yeremia dan Doa

Penulis_artikel: 
Juan Intan Kanggrawan
Tanggal_artikel: 
3 Juli 2019
Isi_artikel: 
Yeremia dan Doa

Yeremia dan Doa

Yeremia

"Engkau telah membujuk aku, ya TUHAN, dan aku telah membiarkan diriku dibujuk; Engkau terlalu kuat bagiku dan Engkau menundukkan aku. Aku telah menjadi tertawaan sepanjang hari, semuanya mereka mengolok-olokkan aku. Sebab setiap kali aku berbicara, terpaksa aku berteriak, terpaksa berseru: “Kelaliman! Aniaya!” Sebab firman TUHAN telah menjadi cela dan cemooh bagiku, sepanjang hari. Tetapi apabila aku berpikir: “Aku tidak mau mengingat Dia dan tidak mau mengucapkan firman lagi demi nama-Nya”, maka dalam hatiku ada sesuatu yang seperti api yang menyala-nyala, terkurung dalam tulang-tulangku; aku berlelah-lelah untuk menahannya, tetapi aku tidak sanggup." (Yeremia 20:7-9).

Konteks Umum mengenai Doa

Dalam buku A Theological Guide to Calvin’s Institutes: Essays and Analysis, dijelaskan bahwa salah satu cara menakar kematangan seorang teolog (dalam konteks tersebut sedang membicarakan bidang Theologi Sistematika) adalah dengan memperhatikan berapa banyak tulisan yang didedikasikannya untuk topik doa. Buku tersebut kemudian memberikan apresiasi mendalam terhadap Yohanes Calvin yang mengalokasikan sekitar 52 sections (dalam Book 3, Chapter 20: Of Prayer – A Perpetual Exercise of Faith. The Daily Benefits Derived from It.) untuk membahas satu topik ini. Sedikit merujuk kepada tokoh-tokoh lain seperti Martin Luther, Billy Graham, dan Timothy Keller, mereka juga pernah mengeluarkan kalimat-kalimat pendek namun padat mengenai signifikansi doa. Luther mengidentikkan doa dengan nafas dalam kehidupan rohani orang Kristen. Tanpa doa, orang Kristen tidak mungkin bisa hidup kerohaniannya. Billy Graham juga pernah ditanyai mengenai momen-momen yang begitu sulit dalam hidupnya. Ia menjawab, "The Christian life is not a constant high. I have my moments of deep discouragement. I have to go to God in prayer with tears in my eyes, and say, ‘O God, forgive me,’ or, ‘Help me.’” Dalam satu kesempatan diskusi panel, Timothy Keller diminta menceritakan kegagalannya yang paling fatal dalam pelayanannya selama 20-30 tahun terakhir. Terlepas dari berbagai terobosan, pencapaian, dan kesuksesan pelayanannya di kota New York melalui Redeemer Presbyterian Church, Keller memberikan sebuah jawaban yang membuat saya merenung, "My biggest failure in ministry has been, it took me decades before I learn to pray, really pray. For good 20 years I was a hypocrite. You are telling people God is great. It is your job. But you are not finding God great yourself. Your prayer life is nowhere.”

Sosok Yeremia

Sedikit menyinggung konteks tema Buletin PILLAR, dalam waktu-waktu ke depan, tema yang akan dibahas adalah mengenai aspek kerohanian dari berbagai tokoh Alkitab. Aspek kerohanian ini bisa mencakup perjuangan, kegagalan, pembentukan, perubahan hidup, teladan, ataupun rajutan pimpinan Tuhan dalam tokoh-tokoh di Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Dalam waktu-waktu terakhir, penulis sendiri sedang membaca dan merenungkan sosok Yeremia. Penulis kagum akan ketaatan, pergumulan, dan terutama kejujuran dari seorang Yeremia. Dalam peliknya kesulitan pelayanan dan perjalanan mengikuti kehendak Tuhan, Yeremia tidak menutup-nutupi kelelahan, erangan, rintihan, dan pergolakan jiwanya di hadapan Allah. Karena begitu banyaknya kesedihan serta ratap tangis yang keluar dari diri Yeremia, ia pun dikenal dengan sebutan “the weeping prophet”. Melalui artikel singkat ini, penulis akan secara spesifik menyoroti aspek doa dari konteks hidup seorang Yeremia.

Sebagai gambaran singkat, Yeremia adalah anak dari Hilkia, seorang imam Yahudi yang berasal dari Anatot (daerah suku Benyamin). Pada awalnya ia menolak panggilan Tuhan karena ia masih merasa dirinya terlalu muda. Sebagai tanggapan akan keberatan Yeremia, Tuhan menjanjikan penyertaan-Nya, juga konfirmasi untuk menaruh firman dalam mulut Yeremia. Tuhan mengangkat Yeremia atas bangsa-bangsa dan atas kerajaan-kerajaan, untuk mencabut dan merobohkan, untuk membinasakan dan meruntuhkan, untuk membangun dan menanam. Inilah konteks panggilan Yeremia yang begitu jelas dan serius. Namun, tidak berhenti di sana, Tuhan juga menyatakan bahwa pelayanan Yeremia akan penuh dengan tantangan dan kesulitan. Ia harus “berperang” dengan Israel, bangsanya sendiri, yang sudah begitu jauh meninggalkan Tuhan dan menyembah Baal.

Kesulitan hidup Yeremia semakin menjadi-jadi ketika ia harus memproklamasikan kebejatan dan kehancuran Yerusalem. Kalimat-kalimat yang pedas dan tajam berhamburan keluar dari mulut Nabi Yeremia: (i) bangsa dari utara akan datang dan menghancurkan Yerusalem, (ii) umat Israel telah melanggar dan memutuskan perjanjian (covenant) dengan Allah, (iii) Israel sudah begitu meninggalkan Allah dan menyembah dewa-dewa lain, bahkan membunuh anak-anak mereka untuk dikorbankan kepada ilah-ilah tersebut, (iv) dosa kesombongan, tipu muslihat, kemunafikan, penindasan, keserakahan, percabulan, dan ketidakadilan sudah begitu mendarah daging dalam keseharian umat Israel, (v) Israel akan dilanda oleh bencana kelaparan, perampasan, dan penjajahan. Sampai titik ini, pembaca Buletin PILLAR bisa berhenti membaca dan sedikit membayangkan konteks pergumulan hidup Yeremia. Setelah melontarkan kalimat-kalimat seperti itu, sikap dan reaksi seperti apa yang diberikan oleh orang Israel? Tekanan batin Yeremia semakin “lengkap” ketika bahkan di rumahnya sendiri, ia menerima ancaman pembunuhan dan sanak keluarga sendiri berusaha mengkhianati dan meringkusnya.

Doa, Tangisan, dan Ratapan

Bahkan dalam kondisi yang begitu sulit sekalipun, Yeremia tetap berjuang untuk tetap mengingat kasih setia Allah dan kembali mengarahkan hidupnya kepada Allah.

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Pdt. Dr. Stephen Tong pernah berkhotbah bahwa dalam momen-momen kesendirian dan kekelaman yang tidak bisa dimengerti oleh orang lain, apa yang kita pikirkan, refleksikan, dan katakan kepada Tuhan dan diri sendiri akan menentukan arah hidup kita selanjutnya. Ekspresi seperti ini kerap dapat kita baca dalam Kitab Yeremia dan Ratapan. Lebih tragis lagi, yang menjadi salah satu kesedihan besar bagi Yeremia adalah ketika ia sendiri harus menjadi saksi hidup akan segala nubuat bencana, kutukan, dan malapetaka atas bangsanya sendiri.

Dalam pergumulan pelayanannya, Yeremia tidak menghantarkan doa sekadar dengan kata-kata yang manis dan “steril”. Seperti Ayub yang juga pernah menderita begitu rupa, Yeremia dengan terbuka mengutarakan kalimat-kalimat yang sepertinya kurang pantas kepada Allah. Yeremia pernah berseru bahwa baginya, Allah seperti berlaku curang dan sulit dipercaya. Dalam momen lain, Yeremia pernah berpikir untuk menyerah dan berhenti. Ia mau menetapkan hati untuk berhenti memberitakan firman Tuhan. Namun, kemudian ia mengaku bahwa ia tidak berdaya. Firman Tuhan, yang telah dinyatakan kepadanya, bergelora seperti api di dalam tulang dan ia tidak sanggup menahannya.

Berikut adalah beberapa penggalan ayat yang merefleksikan seruan-seruan Yeremia kepada Tuhan:

Engkau memang benar, ya TUHAN, bilamana aku berbantah dengan Engkau! Tetapi aku mau berbicara dengan Engkau tentang keadilan: Mengapakah mujur hidup orang-orang fasik, sentosa semua orang yang berlaku tidak setia? (Yeremia 12:1)

Celaka aku, ya ibuku, bahwa engkau melahirkan aku, seorang yang menjadi buah perbantahan dan buah percederaan bagi seluruh negeri. Aku bukan orang yang menghutangkan ataupun orang yang menghutang kepada siapa pun, tetapi mereka semuanya mengutuki aku. (Yeremia 15:10)

Mengapakah penderitaanku tidak berkesudahan, dan lukaku sangat payah, sukar disembuhkan? Sungguh, Engkau seperti sungai yang curang bagiku, air yang tidak dapat dipercayai. (Yeremia 15:18)

Tetapi apabila aku berpikir: “Aku tidak mau mengingat Dia dan tidak mau mengucapkan firman lagi demi nama-Nya”, maka dalam hatiku ada sesuatu yang seperti api yang menyala-nyala, terkurung dalam tulang-tulangku; aku berlelah-lelah untuk menahannya, tetapi aku tidak sanggup. (Yeremia 20:9)

Dalam perjalanan kehidupan doa Yeremia, ia juga pernah merasakan bahwa sepertinya Allah tidak mendengarkan doa yang ia panjatkan. Ketika ia mengerang dan menjerit, Allah sepertinya diam membisu. Ia pun bertanya mengapa Allah tidak menggubrisnya. Suatu pertanyaan dan ekspresi yang begitu jujur dan nyata dari si nabi. Namun perenungan kita mengenai doa Yeremia tidak bisa sekadar berhenti di sini. Yeremia berseru seperti demikian bukan hanya untuk melampiaskan emosi semata. Sebab jika hanya berhenti di sana, apa yang membedakan seruan umat Allah dengan orang-orang di luar Tuhan yang juga bisa berdukacita atau berkabung dengan cara yang begitu ekspresif? Yang membedakan, seruan-seruan dari Yeremia sebetulnya juga “memaksa” dirinya untuk dapat mengarahkan matanya untuk kembali tertuju kepada Allah. Doa dan ratapan Yeremia tidak sekadar terapung-apung atau mengambang dalam ketidakjelasan. Bahkan dalam kondisi yang begitu sulit sekalipun, Yeremia tetap berjuang untuk tetap mengingat kasih setia Allah dan kembali mengarahkan hidupnya kepada Allah.

Refleksi dan Penutup

Dalam bagian akhir artikel ini, penulis hanya ingin memberikan pertanyaan dan ajakan sederhana untuk pembaca Buletin PILLAR. Bagaimanakah kehidupan doa kita di hadapan Tuhan? Jangan-jangan setelah puluhan tahun melayani Tuhan, kita kembali menyesali kurangnya kesungguhan doa sebagai kegagalan utama kita dalam pelayanan. Semoga kehidupan doa Nabi Yeremia bisa mendorong kita untuk berdoa secara jujur, terbuka, dan sepenuh hati di hadapan Tuhan.

Sebagai penutup, penulis tergerak membagikan penggalan lirik lagu yang dinyanyikan di ibadah sore GRII Singapura, sekitar 3-4 minggu sebelum dimulainya penulisan artikel ini. Lagu yang mengingatkan kita bahwa ada masa-masa di mana kita sulit dan tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun untuk berdoa. Namun dalam keadaan demikian, Roh Kudus yang membantu kita untuk berdoa di tengah-tengah segala kelemahan kita.

My voice is weak from calling to You both night and day.
How long will You be silent? Why do You turn away?
Spirit, come and rest Your ear upon my heart;
Come and hear my wordless prayer,
my silent plea and take them far away from me.
Take them from this heart of mine to the Father’s heart divine.
Speak in tones unknown to man that God may hear and understand.

(My Wordless Prayer)

Referensi:

Grant Skeldon Interviews: https://www.youtube.com/watch?v=OIBoLLUauWI.

Jeremiah the Weeping Prophet: https://www.ligonier.org/learn/devotionals/jeremiah-weeping-prophet/.

Matthew Henry Commentary, Book of Jeremiah: https://www.ccel.org/ccel/henry/mhc4.Jer.i.html.

You Cannot Handle Your Pain, Looking for God in Lament: https://www.desiringgod.org/articles/you-cannot-handle-your-pain.

Audio: Yeremia dan Doa

Sumber Artikel: 
Diambil dari:
Nama situs : Buletin Pillar
URL : http://www.buletinpillar.org/artikel/yeremia-dan-doa#hal-1
Judul asli artikel : Yeremia dan Doa
Penulis artikel : Juan Intan Kanggrawan
Tanggal akses : 8 Agustus 2018

Teknologi dan Kehidupan Kristen

Penulis_artikel: 
Tim Challies
Tanggal_artikel: 
14 Juni 2019
Isi_artikel: 
Teknologi dan Kehidupan Kristen

Teknologi dan Kehidupan Kristen

Membuka Alkitab adalah melangkah menuju sebuah dunia tempat penggembalaan domba, pertanian, dan mata bajak adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Pesan Injil dibubuhkan pada gambaran-gambaran semacam itu melalui perumpamaan dan metafora, tetapi tidak menjadi fosil dalam kebudayaan kuno. Justru, perumpamaan kuno Alkitab berperan sebagai pengingat akan betapa abadinya firman Allah. Saya masih menanti hari ketika bangsa-bangsa akan menempa pedang-pedang mereka menjadi mata-mata bajak, dan saya tahu bahwa janji kuno ini tetap, bahkan jika teknologi kuno itu tidak ada lagi.

Pelaksanaan kekuasaan atas bumi mengharuskan kita membangun, mengeksplorasi, menciptakan, dan menemukan. Dengan kata lain, hal itu menuntut adanya teknologi. Seperti halnya sebagian besar hal lainnya, bagaimanapun teknologi dapat digunakan untuk kebaikan atau kejahatan, jadi kita harus selalu berpikir dengan hati-hati tentang tujuan yang untuknya kita menerapkan teknologi. Sejak Menara Babel dibangun, teknologi menjadi sumber dan ungkapan kesombongan manusia. Di sisi lain, Bait Suci Salomo dan Terowongan Hizkia bergantung pada teknologi terbaik pada masa itu. World Wide Web yang sama yang membuka pandangan-pandangan baru bagi penyebaran Injil juga membawa pornografi masuk ke dalam jutaan rumah tangga. Teknologi bisa menjadi kekuatan yang berbahaya atau berkat yang sejati; kuncinya (seperti halnya dengan segala hal lainnya) adalah dengan membawanya ke bawah kekuasaan Yesus Kristus.

Teknologi

Hanya dalam waktu sekitar dua puluh tahun, pengalaman sehari-hari kita terhadap teknologi tumbuh dengan pesat sehingga komputer, ponsel pintar, media sosial, dan email adalah bagian-bagian standar dari rutinitas kita sehari-hari. Hidup menjadi lebih cepat karena hal-hal tersebut, tetapi kecepatan itu punya kelemahan. Sebagai contoh, kita bisa menggunakan banyak teknologi dalam kehidupan sehari-hari untuk mempersingkat waktu, tetapi kita jarang bertanya kepada diri kita sendiri -- mempersingkat waktu untuk apa? Apakah supaya kita bisa menebus waktu kita dengan cara tertentu bagi kemuliaan Allah (Ef. 5:15), atau supaya kita bisa membuang-buang waktu tersebut secara lebih kreatif? Tetap saja, saya menduga bahwa banyak dari teknologi penghemat waktu yang kita punya hanya menjadikan kita semakin sibuk, terkadang sampai merugikan kehidupan rohani kita.

Tidaklah melebih-lebihkan jika kita mengatakan bahwa media sosial telah menjadi gangguan budaya dari kehidupan nyata, bahkan menjadi suatu obsesi. Jarang sekali kita pergi ke mana pun dan tidak melihat seseorang dengan marah-marah berbicara dengan jempolnya, atau Facebook-an dalam waktu luang apa pun. Tetap terhubung menjadi jauh lebih mudah daripada sebelumnya, dan hal itu merupakan suatu berkat, tetapi apakah menggunakan media sosial menjadikan kita semakin sosial atau kurang sosial? Apakah media sosial menjadikan hubungan-hubungan kita semakin mendalam atau lebih berarti? Menghabiskan berjam-jam di media sosial adalah pertanda pasti bahwa alat yang berguna telah berubah menjadi tuan yang mengganggu. Dalam terang semua teknologi komunikasi modern ini, kritik Henry David Thoreau pada abad ke-19 tentang kantor pos membawa senyum pada wajah saya: "Bagi saya, saya bisa dengan mudah hidup tanpa kantor pos. Saya kira ada sedikit sekali komunikasi penting yang dilakukan melaluinya. Saya tidak pernah menerima lebih dari satu atau dua surat dalam hidup saya yang senilai dengan ongkos kirimnya." Orang pasti bertanya-tanya, berapa banyak dari tujuh triliun pesan teks yang dikirim tahun lalu saja yang "senilai dengan ongkos kirimnya". Kitab Amsal punya pendapat tentang "banyak bicara", dan itu tidaklah baik (Ams. 10:19).

Bagaimanapun, salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh seorang Kristen di dalam dunia modern adalah untuk berpikir jelas tentang penggunaan mereka terhadap teknologi. Apakah teknologi menolong Anda mencapai tujuan-tujuan yang baik dalam panggilan surgawi dan pelayanan Anda kepada Kristus, ataukah ia adalah jalan bagi gangguan dan godaan? Akankah Yesus melihat dan berkata, "Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia"?

Apakah teknologi menolong Anda mencapai tujuan-tujuan yang baik dalam panggilan surgawi dan pelayanan Anda kepada Kristus, ataukah ia adalah jalan bagi gangguan dan godaan?

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Kata "teknologi" menyulap gambaran-gambaran tentang sesuatu yang kompleks dan rumit; hidup kita merefleksikan gambaran yang sama pada era teknologi ini. Namun, Alkitab, yang tenggelam dalam kesederhanaan dari zaman yang lain, mengingatkan kita bahwa iman yang hidup bergantung pada sesuatu yang kekal dan sederhana, yaitu kasih karunia Allah yang hidup. Bapa-bapa iman kita -- para gembala, petani, dan nelayan -- mengingatkan kita bahwa hidup yang taat tidak perlu menjadi hidup yang rumit. Bersama-sama dengan mereka, kita masih bersukacita dalam janji itu, dan menanti hari ketika kita akan menempa pedang-pedang kita menjadi mata-mata bajak (satu ungkapan yang berarti mengubah segala sesuatu yang merugikan menjadi berguna - Red.). Sampai waktu itu tiba, adalah hal yang baik untuk merangkul pesan Injil dalam segala kesederhanaannya yang mulia, dan menjalani hidup kita seturut dengannya. (t/Odysius)

Audio: Teknologi dan Kehidupan Kristen

Diterjemahkan dari:
Nama situs : CHALLIES
Alamat URL : https://www.challies.com/sponsored/technology-and-the-christian-life/
Judul asli artikel : Technology and the Christian Life
Penulis artikel : Tim Challies

Redeeming the Youth through Social Media

Penulis_artikel: 
Izzaura Abidin
Tanggal_artikel: 
10 Juni 2019
Isi_artikel: 
Redeeming the Youth through Social Media

Redeeming the Youth through Social Media

"Hari gini gak punya Facebook?" Mungkin kalimat ini yang akan kita lontarkan apabila mengetahui bahwa seseorang tidak (atau belum) memiliki akun Facebook. Kalau tidak punya akun Facebook itu rasanya "aneh" – apalagi kalau ia adalah seorang anak muda. Bahkan mungkin pada era digital dan internet ini seorang anak muda yang paling kuper sekalipun paling tidak memiliki akun Facebook (terlepas dari ia menggunakannya secara aktif atau tidak). Hidup kita hari ini, entah kita sadari atau tidak, sudah begitu dekat dengan apa yang disebut sebagai media sosial (dan budaya internet) – Facebook, Twitter, dan tak lupa pula situs video sharing yang begitu fenomenal, Youtube. Pulang dari kantor, kuliah atau sekolah, mungkin banyak dari kita akan duduk di depan laptop atau komputer dan secara otomatis membuka Facebook -- atau setidaknya Facebook menjadi salah satu dari sekian banyak tab yang kita buka. Atau bagi pengguna smartphone seperti Blackberry, aplikasi Facebook atau Twitter for Blackberry menjadi penting untuk ada dan setiap hari (atau bahkan setiap jam, setiap menit) kita bisa begitu tergerak untuk membukanya, meng-update status, dan sebagainya.

Mungkin beberapa dari Anda berpikir bahwa yang akan dibahas di sini adalah bagaimana situs-situs jejaring sosial seperti Facebook ini dapat mengalihkan perhatian kita dari kehidupan kerohanian, menimbulkan adiksi, dan distraksi besar-besaran. Akan tetapi, isu yang hendak diangkat adalah bukanlah kampanye stop menggunakan media sosial, tetapi kalau pun kita menggunakannya, untuk apa dan bagaimana kita menggunakannya? Fenomena media sosial memang tak terelakkan dan nyaris tak bisa dibendung, maka dari itu pertanyaannya adalah bagaimana kita sebagai orang Kristen -- khususnya pemuda Kristen Reformed -- menggunakannya? Apakah selama ini kita menggunakan media sosial sama saja (atau bahkan lebih buruk) daripada orang-orang dunia?

Social Media

Pertama-tama, sebelum menelaah media sosial itu sendiri, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu, mengapa sih anak muda dapat begitu dekat dengan media sosial dan budaya internet lainnya? Hal ini disebabkan oleh karena kita sebagai anak muda, khususnya Generasi Y (generasi yang lahir pada akhir tahun 1970-an hingga tahun 1994), dan termasuk juga Generasi Z (lahir mulai dari tahun 1995 hingga hari ini) disebut sebagai the digital natives. Generasi Y-Z lahir pada era saat internet lahir ke dalam dunia; ibarat kata, kita lahir ke dalam dunia digital. Maka dari itu, kita sebagai anak-anak muda disebut sebagai "warga pribumi" dalam dunia digital, sedangkan generasi yang lahir sebelum internet ada disebut sebagai the digital immigrants (warga digital yang imigran). Tak heran, umumnya anak-anak muda (dan bahkan anak-anak zaman sekarang kebanyakan) lebih fasih dalam menggunakan gadgets dan memahami bahasa digital -- karena memang itu adalah "bahasa ibu" kita. Di sisi lain, anak muda memiliki kecenderungan untuk suka mencoba sesuatu yang baru, dan hal ini membuat kita sebagai anak muda menjadi kelompok early adopters (pengguna pertama) dari internet maupun media sosial.

What Can be Done with Social Media?

Walaupun sudah menggunakan media sosial sekian lama, mungkin kita tidak begitu menyadari apa-apa saja yang media sosial ini telah lakukan dalam kehidupan kita. Yang pasti, kehadiran media sosial dan sebenarnya internet itu sendiri telah menciptakan begitu banyak kemungkinan baru yang hampir tidak dapat dilakukan dalam kehidupan nyata. Yang mungkin paling jelas dan nyata adalah kemampuan media sosial untuk "menghilangkan" batasan ruang dan waktu, sehingga kita dapat berinteraksi dengan siapapun, kapan pun, di mana pun. Juga kemampuannya untuk menghubungkan orang-orang yang sudah terpisah sekian lama, menjadi ajang mencari teman baru, dan sebagainya. Akan tetapi, ada begitu banyak batasan lain yang menjadi runtuh atau bahkan hilang berkat adanya media sosial maupun internet secara umum. Batasan pertama yang diruntuhkan adalah batasan bahwa seseorang hanya bisa memiliki satu identitas saja. Dalam dunia nyata, seseorang memiliki keterbatasan dalam menunjukkan identitasnya. Kadang dibatasi atau terhalang oleh opini orang, norma sosial, dan lain sebagainya. Namun, dalam dunia maya, hal ini tidak terjadi oleh karena semua orang dapat menjadi siapa pun yang ia mau. Seseorang dapat menampilkan dirinya segamblang mungkin atau justru seminim mungkin. Seseorang dapat dengan baik mengatur dan menyeleksi apa-apa saja dari dalam dirinya yang mau ditampilkan dalam dunia maya -- yang mana sering kali dalam kehidupan nyata hal ini cukup sulit dilakukan. Hal ini disebut sebagai selective self-disclosure yaitu ketika seseorang dengan begitu selektif mengatur bagian-bagian mana saja dari dirinya yang akan diungkap lewat media sosial. Selain itu, melalui media sosial seseorang juga dapat memiliki identitas lebih dari satu, di mana setiap identitas itu dapat benar-benar berbeda dari kehidupan nyatanya. Oleh karena ada begitu beragamnya platform media sosial -- mulai dari Facebook, Twitter, Blogger, Tumblr, dan sekarang terdapat Instagram, Path, dan lain sebagainya -- maka yang dapat terjadi adalah identitas diri yang beragam.

Kemudian, batasan kedua yang hilang semenjak adanya media sosial adalah batasan antara ranah privat dan publik. Sesuatu yang kita share yang sebenarnya bersifat pribadi, di media sosial akhirnya menjadi konsumsi publik dan sebaliknya. Yang ketiga, batasan yang hilang adalah batasan antara produsen dan konsumen. Yang dimaksud dengan hal ini adalah keberadaan media sosial dan internet secara umum meruntuhkan batasan antara produsen dan konsumen pesan: seseorang dapat menjadi produsen pesan/konten sekaligus konsumennya. Misalnya, dengan kita mem-post status terbaru di Facebook atau Twitter, sebenarnya kita telah menjadi produsen sebuah konten -- dan pada saat yang sama kita dapat "mengonsumsi" konten yang kita sendiri telah buat. Sama halnya dengan kita menulis sebuah tulisan di Blog atau Tumblr, ataupun mengunggah video di Youtube. Dahulu, hanya orang-orang tertentu yang dikatakan sebagai profesional dengan kredibilitas tertentu yang ibarat kata "layak" untuk menciptakan suatu konten. Sedangkan sekarang, hal ini tidak lagi terjadi, orang-orang awam dapat dengan bebas menciptakan konten yang diinginkannya tanpa penghalang yang berarti. Contohnya adalah fenomena citizen journalism (jurnalisme warga),di mana warga biasa dapat menciptakan suatu konten beritanya sendiri, dengan mengambil gambar atau video sendiri, menulis beritanya sendiri, dan sebagainya. Fenomena ini disebut oleh Marshall McLuhan sebagai "prosumer" (akronim dari produser-consumer atau juga professional-consumer). Dan tak lupa pula yang terakhir, media sosial memiliki sifat yang begitu viral alias begitu cepat penyebarannya.

Media Sosial Pedang Bermata Dua

Namun ternyata, kelebihan-kelebihan yang media sosial tawarkan seperti yang sudah disinggung sebelumnya ini menghasilkan ekses-ekses negatif. Kelebihan-kelebihan tersebut ternyata di sisi lain dapat sekaligus menjadi kekurangan atau bumerang: ibarat pedang bermata dua. Segala batasan-batasan yang runtuh tersebut pertama-tama menghasilkan adanya identitas yang terfragmentasi. Adanya kemungkinan bagi kita untuk menjadi apa pun yang kita mau telah menghasilkan suatu identitas diri yang dualistik atau bahkan lebih -- identitas yang ditampilkan dalam dunia maya berbeda dengan apa yang ada di dunia nyata, atau bahkan dalam dunia maya itu sendiri dapat terjadi fragmentasi identitas yang lebih banyak lagi. Saya dalam Facebook berbeda dengan saya yang ada di Twitter, berbeda dengan saya yang ada di Blog, berbeda dengan saya yang ada di dunia nyata. Film Surrogates (2009) yang dibintangi Bruce Willis cukup baik dalam menggambarkan hal ini walaupun dengan ekstrem. Dalam film ini digambarkan bagaimana kehidupan manusia sudah begitu terisolasi dan berinteraksi dengan dunia luar menggunakan robot-robot surrogate yang sebenarnya merupakan hasil proyeksi dari keinginan terdalam seseorang. Misalnya, dalam film tersebut digambarkan bagaimana seorang pria tua yang gemuk dan tidak menarik menampilkan robot surrogate-nya sebagai seorang wanita cantik yang menarik -- identitas diri yang asli sangatlah bertolak belakang dengan identitas yang ditampilkan dalam dunia maya. Media sosial dapat menjadi sarana proyeksi akan identitas diri yang mungkin tak dapat terlampiaskan dalam dunia nyata. Misalkan kita ingin orang lain melihat diri kita sebagai orang yang populer dan banyak teman, maka kita akan dengan giat menambah teman kita di Facebook hingga ribuan lebih -- padahal dalam kenyataannya kita adalah orang yang susah bergaul. Hal ini dapat disebut juga sebagai "manajemen impresi", kita mengatur kesan orang terhadap kita sedemikian rupa. Dalam kasus lain misalnya, di dunia nyata kita terkenal begitu rohani dan anak yang taat, akan tetapi sebenarnya dalam diri kita yang terdalam tersimpan suatu keinginan untuk melampiaskan segala kesenangan, "kegilaan", ataupun "ke-galau-an" – media sosial pun dapat mengakomodasi hal ini. Tentu saja hal ini tidak dapat sejalan dengan prinsip Reformed yang senantiasa dikumandangkan yaitu kehidupan yang utuh dan integratif. Hidup kita yang sudah cukup terfragmentasi sekarang semakin terfragmentasi dengan adanya media sosial. Kehidupan di dunia nyata yang tidak sejalan dengan yang di dunia maya ini menghasilkan dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah kehidupan dunia maya kita terlihat lebih baik dan "suci" dibanding kehidupan nyata kita. Hal ini misalnya menimbulkan selentingan: "Ah, dia mah keliatannya aja di Facebook nge-share ayat-ayat Alkitab, I Love Jesus, dan lain-lain, tetapi kelakuannya minta ampun." Atau kemungkinan kedua, media sosial menjadi ajang di mana kita melampiaskan kehidupan "lama" kita yang berdosa yang belum dibereskan, yang dalam dunia nyata tak mungkin kita tampilkan oleh karena terhalang oleh opini orang lain. Misalnya X yang terkenal aktif pelayanan di gereja, tetapi ternyata di Facebook: foto-foto clubbing, atau di Twitter: keluar semua kata-kata kebun binatang, dan sebagainya.

Sadarkah kita, bahwa kemudahan sebagai prosumer untuk menciptakan konten sendiri yang bersifat viral ini adalah suatu peluang besar dalam menyebarkan Injil, teologi Reformed, maupun mandat budaya?

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Ekses negatif lainnya adalah dengan adanya kebebasan untuk menghasilkan pesan/konten apa pun, membuat kebebasan ini menjadi tidak terkendali. Bahkan kita sebagai orang Kristen pun akhirnya sama saja dengan dunia yang mem-post apa pun di media sosial, secara suka-suka gue tanpa memikirkan dampak dari apa yang kita posting. Sering kali yang terjadi adalah kita akhirnya menganggap sepele hal ini dan dengan kurang berpikir matang menampilkan pesan atau konten apa pun lewat media sosial. Maka dari itu tak heran berkat adanya media sosial, segala sesuatu apa pun itu ada dan dapat muncul. Status Facebook berisi curhat "galau" cinta, tweet-tweet dalam Twitter yang isinya hanya, duh gue laper nih, video Youtube tentang seorang polisi yang kurang kerjaan menari-nari India, dan lain sebagainya. Kemudian, kebebasan sebagai seorang prosumer ini menghasilkan berbagai macam tipe karakter anak muda di media sosial yang bervariasi entah itu Kristen ataupun non-Kristen. Adapun ini contoh-contoh tipe karakter anak muda di media sosial berdasarkan pengamatan pribadi:

Tipe Narsisistik: hampir selalu menampilkan foto-foto dirinya sendiri.

Tipe Gamer: 90% kegiatannya di Facebook adalah bermain game dan mem-post pencapaian skornya yang tertinggi.

Tipe Sosialita: sering sekali mengunggah foto-foto dirinya yang sedang nongkrong-nongkrong asyik di cafe atau bar bersama teman se-geng-nya.

Tipe Mr./Ms. Sibuk: senantiasa meng-update kegiatan-kegiatannya sehari-hari.

Tipe Pujangga: anak-anak muda yang begitu mahirnya dalam berpuisi dan menumpahkan isi perasaannya lewat media sosial (ada kemungkinan tipe ini sedikit mirip dengan anak-anak muda yang doyannya "galau").

Dan, masih banyak lagi tipe-tipe karakter anak muda dalam media sosial.

Jika kita mengamati pengguna media sosial secara umum, rata-rata para pengguna media sosial memiliki kecenderungan untuk menggunakannya untuk hal-hal trivial. Hal ini disebabkan oleh karena media sosial dilihat sebagai salah satu bentuk "pelarian" dari hiruk-pikuknya kegiatan di dunia nyata, sebagai ajang untuk fun semata,dan meluangkan waktu senggang atau sekadar untuk hobi serta minat pribadi. Hal ini tentu saja tidaklah salah, akan tetapi dengan kemampuan media sosial yang memungkinkan kita menjadi seorang prosumer dan sifatnya yang viral, bukankah justru kita dapat melakukan sesuatu yang "lebih" dari sekadar hal-hal trivial yang sebenarnya kurang penting?

Redeeming the Social Media & Our Lives

Setelah melihat semua hal ini, lantas apa yang harus kita lakukan? Bukan menerima dan mengakomodasinya secara mentah-mentah, bukan pula menutup diri dan menolaknya, tetapi menebusnya. Kembali lagi ke pertanyaan awal, sebagai seorang pemuda Reformed bagaimanakah kita selama ini menggunakan media sosial? Dunia sendiri mengakui bahwa keberadaan media sosial dan internet telah menciptakan pribadi-pribadi yang terfragmentasi. Dunia mengatakan bahwa Anda bisa menjadi siapa pun, mem-post apa pun sesuka Anda. Lalu, apakah kita sebagai orang-orang yang sudah ditebus oleh Tuhan dan berprinsip hidup "tidak boleh sama seperti dunia ini" pun turut melakukan apa yang dunia katakan? Seorang hamba Tuhan GRII suatu kali menyatakan bahwa ketika dunia ini memiliki sebatas average spirit (semangat yang sedang-sedang saja), kita sebagai orang Kristen seharusnya melampaui itu. Dengan anugerah Tuhan yang begitu besar dalam kehidupan kita, kita tidak boleh hanya memiliki average spirit. Sama halnya dengan menggunakan media sosial, ketika dunia ini menggunakannya hanya sebatas pada hal-hal yang average maupun trivial, kita sebagai orang-orang Reformed -- khususnya pemuda/i -- seharusnya dapat menggunakannya untuk sesuatu yang "lebih" dan beyond average. Generasi kita sekarang ini telah mendapatkan anugerah double: anugerah sorgawi yakni pemahaman firman Tuhan yang kuat dan Injil yang sejati serta anugerah "duniawi" yaitu teknologi informasi dan komunikasi berupa media sosial yang memberi kita banyak kemudahan. Akankah kita menyia-nyiakan anugerah double ini dengan hanya menggunakan Facebook untuk berlomba-lomba mengunggah foto narsis terbaik, atau menggunakan Twitter untuk memberi tahu seluruh dunia bahwa kita sedang galau, atau mengunggah video-video tidak bermakna ke Youtube? Sadarkah kita, bahwa kemudahan sebagai prosumer untuk menciptakan konten sendiri yang bersifat viral ini adalah suatu peluang besar dalam menyebarkan Injil, teologi Reformed, maupun mandat budaya? Kita sering kali mengeluh, tidak berani penginjilan karena takut ditolak, tidak ada waktu, malu, sibuk, dan beribu alasan lainnya. media sosial dan internet yang sifatnya bukan komunikasi face-to-face bisa dimanfaatkan untuk mengatasi persoalan ini (walaupun tetap saja, komunikasi tatap muka tidak bisa sepenuhnya digantikan dengan komunikasi yang dimediasi oleh komputer).

Social Media

Kemudian, selain kesaksian verbal dan kesaksian dari hidup kita di dunia nyata, "gerak-gerik" kita dalam media sosial pun dapat menjadi sarana kesaksian hidup, di mana orang-orang luar juga turut memerhatikan hidup kita melalui media sosial. Bukan berarti kita melakukan sesuatu demi agar dilihat orang lain, akan tetapi adalah suatu fakta yang tak dapat dipungkiri bahwa kehidupan orang Kristen menjadi "tontonan" dunia -- termasuk kehidupan di dunia maya. Adalah hal yang sangat disayangkan apabila kita menjadi batu sandungan bukan melalui perkataan kita, tindakan kita, tetapi melalui apa yang kita posting di media sosial, bukan?

Maka, kembali ke persoalan yang sudah disinggung sebelumnya, bagaimana kita menampilkan identitas kita sebagai pemuda Kristen, Reformed di media sosial? Sejalankah dengan apa yang kita yakini dan pelajari selama ini? Apakah jangan-jangan media sosial menjadi ajang pelampiasan kehidupan lama kita yang belum ditebus? Atau, jangan-jangan kita menampilkan diri dengan begitu rohaninya di media sosial hanya sebatas pencitraan, padahal diri sendiri belum sepenuhnya beres? Pada akhirnya, yang pertama perlu dibereskan adalah diri kita sendiri terlebih dahulu, khususnya hati, karena dari hatilah terpancar segala sesuatu. Jika hati kita sendiri belum beres, apa pun yang keluar dari dalam diri kita tidak akan beres -- termasuk dengan apa yang kita tampilkan dalam media sosial. Kiranya kemuliaan Tuhan pun juga dapat tampak bukan hanya di dunia nyata, melainkan pula di dunia maya. Ketika semua orang di dunia ini menggunakan media sosial dengan cara-cara yang average maupun trivial, hendaknya kita sebagai pemuda Reformed bangkit melawan arus ini dan menciptakan suatu budaya baru yang sesuai dengan firman Tuhan. Jangan sampai anugerah sorgawi dan "duniawi" yang sudah kita dapatkan ini disia-siakan begitu saja. Kiranya kita boleh menjadi pemuda dan pemudi yang terus berjuang memperjuangkan suatu kehidupan yang utuh serta menebus kebudayaan ini menjadi suatu sarana di mana kemuliaan Tuhan dapat tampak. Soli Deo Gloria!

Audio: Redeeming the Youth through Social Media

Sumber Artikel: 
Diambil dari:
Nama situs : Buletin Pillar
URL : http://www.buletinpillar.org/artikel/redeeming-the-youth-through-social-media#hal-1
Judul asli artikel : Redeeming The Youth Through Social Media
Penulis artikel : Izzaura Abidin

Komentar


Syndicate content