Tentang KamiArtikel TerbaruUpdate Terakhir |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SOTeRI Kebebasan Kristen
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Kebebasan adalah privilege yang Tuhan berikan kepada manusia, yang membuat manusia memiliki kehendak bebas untuk mencipta, merasa, dan berkarya. Namun, dalam praktiknya, kebebasan itulah yang justru menjerumuskan manusia ke dalam kejatuhan. Mengapa manusia sering salah mengerti tentang arti kebebasan? Banyak orang mengidamkan kebebasan dalam arti yang liar, yaitu sebebas-bebasnya tanpa ikatan atau batasan. Tahukah kita bahwa kebebasan seperti itu justru akan menjerumuskan kita ke pengertian yang salah dan tidak alkitabiah. Melalui artikel yang berjudul "Kebebasan Kristen", yang merupakan refleksi teologis dari kitab 1 Korintus 9:1-6, mari kita belajar tentang arti sesungguhnya dari kebebasan. Selamat membaca. Salam MERDEKA! Tuhan memberkati Indonesia.
Edisi:
Edisi 191/Agustus 2017
Isi:
Kata kebebasan dalam bahasa Inggris ada dua macam, yaitu freedom dan liberty. Karl Barth lebih suka memakai kata freedom. Kata liberty mempunyai nuansa yang lebih bersifat sekuler. Patung Liberty di New York berasal dari Prancis, yang menghadiahkan patung tersebut dalam semangat revolusi dengan mereka mengangkat slogan egalite (equality/kesejajaran), fraternite (brotherhood/persaudaraan), dan liberte (liberty/kebebasan). Kebebasan maksudnya adalah bebas dari otoritas gereja, agama, dan kekuasaan dari raja atau bangsawan yang tidak mereka sukai. Semboyan ini adalah semboyan humanisme suatu konsep kebebasan yang liar, tanpa ada ikatan apa-apa, tidak dibatasi, dan tidak ada atasan atau otoritas. Dalam konsep kekristenan, freedom (kebebasan) itu mempunyai batasan; dan kita juga mengatakan bahwa Tuhan pun dalam kebebasan-Nya rela "membatasi" diri. Sebebas-bebasnya Tuhan, tetap tidak mungkin Ia berbuat dosa. Ini berarti Tuhan juga tidak menggunakan kebebasan dalam pengertian bebas melakukan apa saja karena Tuhan tidak mungkin bertindak melawan natur-Nya. Kita percaya bahwa kebebasan ini adalah kebebasan yang rela membatasi diri. Bahkan, Tuhan Yesus turun menjadi manusia merupakan suatu ekspresi kebebasan yang luar biasa, ketika kita justru menjadi kagum, ketika Allah yang Mahabebas rela membatasi diri. Kebebasan yang tidak bisa membatasi diri bukanlah kebebasan. Dengan kata lain, orang yang demikian sebenarnya terikat. Kalau saya betul-betul mengatakan diri saya adalah orang yang bebas, saya juga bebas untuk membatasi diri -- itu baru dikatakan bebas. Kalau saya tidak mau dibatasi, berarti saya terikat oleh ketidakmauan membatasi diri. Itu adalah suatu hal yang keliru. Kita bisa melihat teladan Yesus Kristus sendiri yang walaupun bebas, rela membatasi diri. Bebas yang rela membatasi diri itulah yang dibahas oleh Rasul Paulus mengenai kebebasan Kristen (Christian freedom). Dalam 1 Korintus 9 tertulis bahwa ia belajar untuk menahan diri dalam kebebasan Kristen yang dimilikinya. 1 Korintus 9:1 berkata, "Bukankah aku rasul? Bukankah aku orang bebas?" Paulus bukan hanya memiliki pengetahuan, ia bahkan seorang rasul yang mempunyai jangkauan pengetahuan yang lebih luas dan dalam daripada banyak orang di Korintus. Ia mengatakan bahwa ia adalah seorang rasul dan ia juga mempunyai kebebasan. Kebebasan Paulus sebagai seorang rasul sebetulnya lebih dari sekadar kebebasan Kristen biasa karena jika kebebasan itu dikaitkan dengan pengetahuan, ia sesungguhnya sangat bebas. Pada zaman dahulu, seseorang yang dianggap rasul harus mempunyai pergaulan yang langsung dengan Tuhan Yesus, seperti Petrus, Yakobus, dan Yohanes. Kapan Paulus melihat Yesus? Pada saat ia dalam perjalanan ke Damsyik. Dalam Surat Galatia dikatakan bahwa Paulus pernah belajar di tanah Arab selama tiga tahun, saat Paulus mempunyai pergaulan yang erat dengan Tuhan (Galatia 1:15-18). Catatan tentang hal ini sangat minim dan kita tidak bisa mengutarakan terlalu banyak, tetapi ia mempunyai hubungan dan pergaulan yang erat dengan Yesus Kristus. Paulus telah melihat Yesus, dan kerasulannya sah -- bukan kerasulan yang dimeteraikan dan diteguhkan oleh manusia, tetapi dipanggil oleh Yesus Kristus sendiri. Akan tetapi, dalam pelayanannya di Korintus, ada sebagian orang yang tidak mengakui kerasulan Paulus. Mereka meragukan dan mempertanyakan apakah Paulus adalah seorang rasul. 1 Korintus 9:2 mengatakan, "Sekalipun bagi orang lain aku bukanlah rasul, tetapi bagi kamu aku adalah rasul." Paulus tidak terpanggil untuk menyatakan keuniversalan kerasulannya. Ini adalah poin yang penting. Ia adalah rasul sejati di hadapan Tuhan, maka di hadapan seluruh dunia ia adalah rasul. Ia tidak terpanggil dan tidak merasa perlu membuktikan bahwa ia benar-benar rasul dan harus diterima oleh seluruh dunia atau oleh mereka yang menolak kerasulannya. Demikian juga dengan kehidupan orang percaya. Meskipun kita sudah hidup benar, mungkin orang lain tidak mengakui kebenaran kehidupan kita sebagai seorang Kristen, mungkin kita dibenci, atau dikatakan fanatik. Itu adalah sesuatu yang wajar. Sebagaimana Tuhan Yesus datang ke dalam dunia, banyak orang tidak menerima Dia sebagai Tuhan. Hanya sebagian kecil yang mengakui Dia sebagai Tuhan. Begitu juga dengan pelayanan Paulus. Hanya sebagian orang yang menganggapnya rasul, dan Paulus memang tidak terpanggil untuk menyatakan dirinya sebagai rasul yang harus diterima oleh setiap orang. Lalu, Paulus berkata, "Sebab hidupmu dalam Tuhan adalah meterai dari kerasulanku" (1 Korintus 9:2). Ini merupakan suatu gambaran yang luar biasa. Paulus menunjuk dengan sangat tepat. Mengapa ia tidak mengacu pada penglihatan yang ia terima secara langsung? Banyak orang mau mengakui kebesaran seorang hamba Tuhan jika hamba Tuhan itu mengatakan ia sudah banyak mendapatkan penglihatan dari Tuhan dan bisa melakukan mukjizat yang orang lain tidak bisa. Pada zaman ini, hal ini sering dianggap sebagai validitas seorang hamba Tuhan. Paulus mempunyai banyak alasan untuk mengacu kepada hal tersebut. Ia telah mendapatkan penglihatan yang khusus dari Tuhan pada saat ia dalam perjalanan ke Damsyik, dan juga pembentukan dari Tuhan selama tiga tahun di tanah Arab. Ini merupakan suatu pergaulan yang indah dengan Tuhan, tetapi Paulus tidak mengacu kepada hal itu. Ia tidak berargumentasi dengan menggunakan hal-hal tersebut karena itu bukan kebanggaannya. Paulus tidak menggunakan hak istimewa tersebut karena bagi Paulus kemegahan kerasulannya adalah jemaat Korintus. Ini merupakan suatu hal yang sangat menarik. Mengapa Paulus mengacu kepada jemaat Korintus, bukan mengacu kepada kekhususan hubungannya dengan Tuhan? Paulus ingin kemegahannya dibangun dengan benar. Kemegahan yang sesungguhnya adalah pelayanannya yang dikerjakan pada orang-orang Korintus. Ketika orang-orang Korintus mendengar hal tersebut, mereka tidak bisa berdalih lebih lanjut lagi. Andai kata Paulus mengatakan bahwa ia bisa berbahasa lidah, mungkin orang Korintus mengatakan bahwa mereka juga bisa berbahasa lidah. Itu bukan sesuatu yang unik. Atau, jika Paulus mengatakan ia sudah bertemu dengan Tuhan Yesus, orang Korintus dapat mengatakan mungkin itu penglihatan yang palsu. Akan tetapi, ketika Paulus mengatakan bahwa meterai kerasulannya adalah orang Korintus, mereka tidak bisa menghina diri sendiri. Orang-orang Korintus yang sombong tidak berani menghina diri mereka sendiri. Alangkah bijaksananya Paulus yang meletakkan validitasnya justru pada jemaat Korintus! Zinzendorf, seorang tokoh pietis yang penting, yang dipakai Tuhan secara luar biasa. Semenjak umur empat tahun, ia sudah berpikir untuk menjadi penginjil, dan Tuhan memakainya sebagai seorang misionaris. Setelah kematian istri pertamanya, ia menikah lagi. Istri keduanya punya kecenderungan mistik yang kurang sehat. Ia terpengaruh dan menekankan suatu "persatuan mistik" dalam luka-luka Kristus sampai akhirnya lalai menjalankan panggilan penginjilan. Hal ini tidak sesuai dengan Alkitab. Musa berbicara dengan Tuhan muka dengan muka selama 40 hari 40 malam, begitu khusus, begitu dekat, sampai wajahnya bercahaya. Namun, setelah itu Musa mengerjakan pekerjaan Tuhan. Lain halnya dengan Petrus yang kurang mengerti, di mana pada peristiwa transfigurasi Tuhan Yesus (yang disertai panampakan Musa dan Elia), ia begitu bahagianya sampai enggan kalau harus turun dari gunung. Ini sama dengan orang-orang yang hanya mau menikmati karunia tanpa mau melayani orang lain. Akan tetapi, kesejatian kerasulan Paulus adalah dalam pelayanannya, bukan pada "pengalaman mistiknya". Dalam 1 Korintus 9:3 dikatakan bahwa Paulus melakukan suatu pembelaan bukan untuk mengharapkan orang lain akhirnya menerima dia. Pledoi sedemikian pada dasarnya bersifat menjelaskan supaya tidak didiskreditkan dan supaya orang mengetahui bahwa apa yang dikerjakan bisa dipertanggungjawabkan. Paulus melakukan pembelaan bukan dengan harapan agar orang-orang yang tidak percaya kerasulannya akhirnya menyesal. Pada intinya, Paulus hendak mengajar mereka yang tidak meragukan kerasulannya mengenai penyangkalan kebebasan Kristen. Validitas kerasulan Paulus adalah jemaat Korintus, buah pelayanannya, dan juga semangat menyangkal diri. Kesejatian kerasulannya adalah penyangkalan dirinya. Banyak karunia, tetapi tidak mau menyangkal diri tidak membuktikan kesejatian seorang hamba Tuhan. Demikian juga, kesejatian dari kekristenan kita adalah kehidupan penyangkalan diri. Paulus juga tidak mengambil upah dari jemaat. Paulus bekerja dan melayani jemaat Korintus, tetapi ia tidak mau menjadi beban bagi jemaat (1 Korintus 9:6). Demikian juga dengan urusan makan dan minum, Paulus menyangkal untuk makan makanan yang paling wajar sekalipun karena tidak mau menjadi batu sandungan (1 Korintus 9:4). Spiritualitas yang benar adalah spiritualitas yang diekspresikan dalam seluruh aspek hidup kita, termasuk cara kita makan dan minum. Kedua, tentang hal menikah (1 Korintus 9:5). Meskipun menikah bukan dosa dan itu wajar, Paulus menyangkal dirinya untuk mengambil seorang istri. Banyak cerita dalam kehidupan para misionaris yang mengalami kehidupan keluarga yang tidak wajar. Ada yang demi pekerjaan Tuhan, akhirnya harus berpisah dengan keluarga untuk jangka waku yang cukup panjang. Orang-orang yang melayani Tuhan, tetapi tidak bertanggung jawab pada keluarga merupakan kehidupan yang tidak sesuai dengan firman Tuhan. Sebaliknya, kita tidak boleh begitu terikat dengan keluarga hingga akhirnya kita gagal berbuah bagi Tuhan. Bagi kita -- orang-orang yang "wajar" -- kehidupan para misionaris itu tampak sangat tidak wajar (atau jangan-jangan kita mengategorikan mereka sebagai cacat dalam kehidupan keluarganya); di hadapan Tuhan, mungkin mereka lebih mengerti bagaimana mengasihi Tuhan. Kita sering terjerat untuk lebih mementingkan diri kita dan segala sesuatu yang ada pada kita melebihi Tuhan sehingga pelayanan kita tidak berkuasa. Dalam suatu konseling pranikah, seorang hamba Tuhan mengatakan bahwa dalam melayani Tuhan, seorang pelayan Tuhan memang harus belajar mengorbankan keluarga, dan begitu juga sebaliknya; pasangannya harus bisa mengorbankan suami/istri yang sedang melayani. Kita berkorban untuk Tuhan, dan di sisi yang lain, keluarga kita juga harus belajar mengorbankan kita. Pengorbanan harus terjadi pada kedua belah pihak. Saya bukan hanya mengorbankan diri saya bagi Tuhan, tetapi juga harus berani mengorbankan anggota keluarga saya bagi Tuhan. Ini dua hal yang berbeda. Yang berkorban aktif meninggalkan, tetapi yang ditinggalkan bukan berarti tidak memikul salib, mungkin justru salibnya lebih berat. Paulus adalah seseorang yang menyangkal diri, no family at all. Kehidupan yang dipersembahkan kepada Tuhan berhak dipimpin oleh Tuhan dengan cara bagaimanapun. Hak yang terbesar adalah hak untuk menyangkal hak (ini adalah kesimpulan sebuah buku yang ditulis oleh seorang misionaris; buku ini sekarang menjadi bacaan wajib dalam suatu badan misi). Kalau kita menjalankan kewajiban, wajar jika kita menuntut hak. Akan tetapi, dalam kekristenan, hak yang dimiliki oleh orang Kristen adalah hak untuk menyangkal hak tersebut. Paulus bukan saja menyangkal hak untuk makan dan minum, tetapi ia juga menyangkal hak untuk menikah dan mendapat upah dari pelayanannya. Bagaimana dengan hidup kita? Marilah kita minta pada Tuhan untuk menolong kita belajar menyangkal diri sebagai meterai kesejatian pengikutan kita kepada Kristus. Orang yang sungguh-sungguh mengasihi Tuhan adalah orang yang bersedia kehilangan haknya. Tuhan Yesus, Paulus, dan semua hamba Tuhan di sepanjang sejarah telah belajar menyangkal diri. Kiranya kita belajar taat mengerjakan bagian yang dipercayakan kepada kita. Kiranya Tuhan memakai kita untuk menjadi berkat bagi banyak orang.
Penyebaran Reformasi Zwingli
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Ulrich Zwingli adalah seorang pembina Protestanisme dan reformis pertama di Swiss. Dia tidak seterkenal Calvin ataupun Luther, tetapi dia adalah reformator yang berhasil masuk ke dalam pemerintahan. Reformasi yang dilakukan Zwingli didukung oleh pemerintah dan penduduk Zürich. Zwingli membawa perubahan-perubahan penting dalam kehidupan masyarakat dan urusan-urusan negara di Zürich. Pengaruh aksinya dalam reformasi gereja membawa dampak yang besar bagi Swiss serta penyebarannya ke daerah Eropa lain. Dalam edisi yang tersaji kali ini, kita akan bersama-sama melihat karya reformasi oleh Zwingli di Eropa dan gagasan penting Zwingli yang berhasil mengusik beberapa pengikutnya: Bullinger, Schlatter, dan Schaff -- yang telah membawa gagasan-gagasan Zwingli untuk dapat tersebar ke berbagai penjuru Eropa. Selamat membaca. Tuhan Yesus memberkati.
Edisi:
Edisi 190/Juli 2017
Isi:
Zwingli meninggal sebelum mimpinya terpenuhi, tetapi pengikutnya, terutama Heinrich Bullinger, menyebarkan pengaruh Reformed ke seluruh Eropa, ke Inggris, dan akhirnya ke Amerika. [Christian History awalnya menerbitkan artikel ini dalam Christian History Edisi 4 pada tahun 1984.] Ulrich Zwingli adalah bapak Reformasi Reformed di Swiss, tetapi sosoknya merupakan yang paling tidak diingat oleh para reformator generasi pertama. Dia selalu dibayangi oleh Luther. Dan, fakta bahwa dia meninggal dalam pertempuran telah meninggalkan banyak pertanyaan tak terjawab tentang karier Zwingli. Zwingli berharap, pertama-tama mendirikan gereja di Kanton (bagian dari suatu negara - Red.) Zürich yang akan menjadi model bagi Gereja Protestan Nasional Swiss. Setelah hal itu dilakukan, dia berencana untuk menyebarkan doktrin reformasi di seluruh Eropa sehingga sebuah gereja Protestan internasional akan didirikan, yang akan mempertahankan tradisi terbaik dari gereja universal Abad Pertengahan, tetapi pada saat bersamaan akan terbebas gereja dari pelanggaran terburuk lama dan tidak lagi diperintah oleh Paus dan pengadilannya yang korup di Roma. Gereja Katolik yang direformasi di seluruh Eropa yang dibayangkan Zwingli tidak pernah didirikan. Namun, Zwingli berhasil memperkenalkan konsepsi tentang reformasi gereja yang tepat ke dalam Kanton-kanton Perkotaan utama, Kanton-kanton yang didominasi oleh kota-kota Swiss Jerman. Di Berne, Basel, Shafthausen, dan Zürich, konsepsi Zwingli tentang bagaimana gereja harus direformasi diikuti. Bagi Zwingli, hal ini, tentu saja, hanyalah langkah awal, dan untuk sementara waktu sepertinya program Zwingli akan berhasil di tempat lain di Swiss. Perdamaian di Kappel pada tahun 1529 membuat orang-orang Protestan bebas menyebarkan doktrin mereka di wilayah Konfederasi Swiss yang dikelola bersama oleh anggota asli konfederasi. Masing-masing jemaat di daerah ini diberi kebebasan untuk memutuskan apakah akan menerima reformasi atau tidak. Secara teori, kebebasan yang sama harus diperluas ke kongregasi Kanton-kanton Hutan atau Pegunungan dari Konfederasi: Schwyz, Uri, Niedwald, dan Lucerne dan sekutu mereka, Kanton Zug. Solusi ini sebenarnya tidak dapat diterima oleh umat Katolik. Yang juga tidak dapat diterima adalah keinginan orang-orang Protestan untuk mengakhiri kebiasaan menjual tentara untuk dinas bayaran ke Perancis dan Kepausan. Tanpa uang yang diperoleh dari praktik ini, Kanton-kanton Hutan percaya bahwa mereka tidak dapat membeli gandum yang diperlukan untuk memberi makan penduduk di negara-negara bagian mereka yang bergunung-gunung. Yang lebih buruk lagi, Kanton-kanton Protestan mulai memblokade pengiriman gandum ke wilayah-wilayah Katolik untuk memaksa mereka menerima penyebaran Protestanisme di wilayah mereka. Zwingli menentang kebijakan ini dan menegaskan bahwa akan lebih bijaksana untuk berperang dengan wilayah Katolik daripada menundukkan mereka dengan kelaparan yang berjalan lambat. Karena putus asa, Kanton-kanton Katolik memutuskan untuk berperang melawan orang-orang Protestan. Mereka meluncurkan serangan mereka ke pusat Protestanisme di Swiss, Kanton Zürich, pada awal Oktober 1531. Kanton-kanton Protestan telah menandatangani sebuah aliansi militer (the Christian Civic Union) untuk melindungi diri mereka dari perkembangan semacam itu, tetapi mereka tidak siap untuk perang dan terdapat perpecahan internal di antara orang-orang Protestan. Mimpi Zwingli Tidak Terpenuhi Pada tahun-tahun sebelum pecahnya apa yang umumnya disebut Perang Kappel Kedua pada bulan Oktober 1531, Zwingli pernah bermimpi untuk menciptakan aliansi luas Eropa melawan Hapsburg, dan bahkan percaya bahwa orang Perancis Katolik di bawah Raja Francis I akan bergabung dengan aliansi ini. Skema ini sangat tidak realistis dan menunjukkan pemahaman terbatas yang dimiliki Zwingli atas situasi diplomatik di Eropa dan bagaimana dia meremehkan ketidaksukaan para penguasa Katolik, seperti Francis I, terhadap ajaran Protestanisme. Dalam mengejar harapan ini dan dengan dorongan dari Landgrave Philip of Hesse, dia juga mengusahakan pangeran liansi dengan para Protestan di Jerman. Kondisi untuk aliansi semacam itu merupakan kesepakatan teologis antara Kanton Swiss, yang adalah negara-negara teritorial Protestan dan Lutheran. Landgrave Philip of Hesse mengatur pertemuan antara Zwingli dan Luther di Marburg pada tahun 1529, yang dikenal sebagai Marburg Colloquy. Zwingli dan Luther menyetujui empat belas poin doktrin, tetapi tidak dengan poin yang ke-15 yang melibatkan kehadiran Kristus dalam Perjamuan Tuhan. Ketidaksepakatan mendasar ini mencegah aliansi dengan negara-negara bagian Lutheran. Kecuali Berne, orang-orang Protestan Swiss tidak beraliansi dengan Hesse, Strassburg, dan Constance yang bukan bagian dari Konfederasi Swiss, tetapi Swiss Protestan sebenarnya diasingkan pada saat Hapsburg berdiri tepat di belakang Kanton-kanton Katolik sebagai sesama Anggota Aliansi Kristen. Zwingli juga salah memperhitungkan situasi di Swiss. Berne adalah kunci bagi aliansi Protestan, the Christian Civic Union, karena ia adalah Kanton militer besar dari Konfederasi lama. Zwingli bergantung pada temannya di Berne, Nicholas Manuel, untuk tetap mengendalikan urusan di Berne dan untuk menjaga kota tetap kuat dalam aliansi Protestan. Manuel meninggal pada bulan Maret 1530, dan Zwingli kehilangan kontak dengan situasi di Berne. Mayoritas orang Berne memilih kebijakan ekspansi ke arah barat dengan mengorbankan Duke of Savoy dan sebuah aliansi dengan Perancis. Mereka juga tidak antusias untuk berperang dengan Kanton Katolik karena mereka merasa bahwa hal ini hanya akan memperkuat Zürich dengan menambah wilayah dan kekuatan militernya. Ketika serangan Katolik dimulai, Zürich pada awalnya sendirian. Sebelum Berne datang membantunya, Zürich dikalahkan oleh umat Katolik. Zwingli meninggal dalam pertempuran kedua dalam Pertempuran Kappel Kedua bersama tiga puluh pastor lainnya di gereja Kanton. Zürich dan Berne berdamai dengan orang-orang Katolik dan penyebaran Protestanisme selanjutnya dihentikan di Swiss Jerman. Rencana Zwingli akan pembentukan aliansi anti-Hapsburg Eropa dan sebuah gereja Protestan Eropa mati bersamanya. Hasil akhir dari perang yang kalah adalah bahwa Berne bebas untuk melanjutkan penaklukan Kanton Vaud yang diduduki pada tahun 1536. Kemajuan ini menyebarkan ajaran Protestan ke perbatasan kota Jenewa, yang penguasanya adalah Duke of Savoy. Sebagai hasil dari perkembangan ini, mengenalkan Protestanisme ke Jenewa menjadi dimungkinkan dengan bantuan orang Berne. Tanpa dukungan Berne, Jenewa tidak akan pernah bisa menjadi pusat Protestanisme internasional di bawah kepemimpinan John Calvin. Memang, pada akhirnya Jenewa menjadi lebih penting bagi pengembangan Protestanisme yang direformasi internasional daripada Zürich. Bullinger Menyebarkan Gagasan Zwingli Itu diserahkan kepada penerus Zwingli sebagai Uskup Zürich, Heinrich Bullinger, yang bertugas selama empat dasawarsa antara 1531 dan 1575, untuk membangun Zürich sebagai pusat Protestanisme internasional. Sampai berdirinya Genevan Academy pada tahun 1556, Carolinum di Zürich adalah satu-satunya sekolah tinggi teologi di Eropa tempat para siswa dapat mempelajari teologi Reformed. Di kemudian hari, Zürich dan Jenewa dibayangi oleh Heidelberg dan universitas-universitas Belanda yang menjadi pusat pemikiran Reformed pada awal abad ke-17. Kendati demikian, kepemimpinan Bullinger memberi kontribusi penting bagi Protestanisme Reformed. Decades of Sermons (Dekade Khotbah) oleh Bullinger, yang mulai muncul pada tahun 1549, lebih banyak dibaca di beberapa wilayah di Eropa daripada Institutio karya Calvin. Setelah 1586, karya itu menjadi bacaan wajib bagi pendeta Inggris yang belum mengambil gelar universitas. Kapal-kapal dari Perusahaan Hindia Timur Belanda membawa Decades sejauh Jawa dan Sumatra. Commentaries on the Pauline Epistles (Tafsiran Surat-Surat Paulus) oleh Bullinger terbit sampai tujuh edisi dan kemungkinan besar lebih luas disebarluaskan daripada milik Calvin. Teologi perjanjian baru yang ada dalam tulisan-tulisan Zwingli diuraikan lebih lanjut dalam De Testamento dan Der alte Gloub oleh Bullinger. Konsepsi Bullinger mengenai teologi perjanjian tidak diragukan lagi memainkan peranannya dalam pengembangan teologi perjanjian Reformed normatif, yaitu teologi federal pada awal Abad ke-17. Teologi ini dibawa ke Amerika Utara oleh kaum Puritan. Bullinger juga memperdalam teologi Ekaristi Zwingli yang tentu saja memengaruhi perkembangan doktrin Anglikan tentang Perjamuan Tuhan. Bullinger juga menerima gagasan Zwingli bahwa kontrol ekskomunikasi harus berada di tangan hakim. Upaya Bullinger untuk menyebarkan doktrin ini di Rhineland-Palatinate melalui teman dan sesama orang Aargau, sang dokter, Thomas Erastus, berakhir dengan kegagalan. Konflik dengan Jenewa mengenai konsep ekskomunikasi Jenewa yang berarti bahwa gereja tersebut harus melarang pelaku kejahatan mengikuti Perjamuan Tuhan membayangi tahun-tahun terakhir Bullinger sebagai Uskup Zürich. Empat belas tahun setelah kematiannya, pembelaan Erastus terhadap konsepsi ekskomunikasi Zürich diterbitkan di London dengan bantuan Uskup Agung Canterbury, John Whitgift. Hubungan Bullinger dengan Inggris dan Hongaria sangat berhasil. Keberhasilan ini sebagian merupakan hasil korespondensi luar biasa yang dilakukan Bullinger dengan para teolog dan pemimpin politik di seluruh wilayah Eropa. Hal itu menjadikannya sebagai salah satu orang dengan informasi terbaik pada masanya. Pada bulan Februari 1567, Sinode pertama Gereja Reformed Hungaria bertemu di Debrecen, yang dipersiapkan untuk menjadi pusat pendidikan Reformed utama, dan menerima pengakuan Confessio Helvetica Posterior oleh Bullinger sebagai pengakuan gereja nasional mereka. Kontak Bullinger dengan Inggris memperluas awal kecil yang telah dibuat menjelang akhir kehidupan Zwingli, ketika para artis Zürich diminta memberikan pendapatnya tentang validitas pernikahan Henry VIII dengan Catherine of Aragon. Pada tahun 1538, Bullinger telah mendedikasikan karyanya, De Scripturae Sanctoe Authoritate dan De Episcoparum qui verbi ministri sunt, kepada Raja Henry VIII. Kontak awal ini tentu didorong oleh wakil bupati Henry, Thomas Cromwell, meskipun tidak ada kontak langsung antara Bullinger dan Cromwell. Decades of Sermons ketiga dan keempat yang disusun oleh Bullinger kemudian dipersembahkan kepada putra Henry, Edward VI (1547 -- 1553), yang merupakan indikasi bahwa hubungan antara Zürich dan Inggris semakin dalam seiring berjalannya waktu. Keramahan Bullinger kepada sekelompok orang Marian exile (orang-orang Protestan Inggris yang melarikan diri dari Eropa pada masa pemerintahan Ratu Mary I yang beragama Katolik - Red.) antara tahun 1553 dan 1558 memperkuat hubungan dekatnya dengan Gereja Inggris. Kelompok ini di dalamnya termasuk ahli apologi masa depan untuk Gereja Inggris, John Jewel, yang kemudian menjadi Uskup Salisbury, dan Archbishop York, Edmund Sandys, serta Cox of Ely, dan Parkhurst of Norwich, dan Earl of the Bedford yang berpengaruh. Bullinger bekerja sama dengan para uskup ini untuk menjaga agar pengikut doktrin Luther tentang Perjamuan Tuhan tidak musnah di paroki Gereja Elizabeth. Dia juga membantu dan mendukung mereka dalam setiap cara dalam perjuangan melawan orang-orang Puritan yang dipimpin oleh Thomas Cartwright, seperti juga ajudannya, Rudolph Gwalther. Dasar untuk kerja sama mereka adalah kepercayaan bersama bahwa negara harus mengendalikan urusan eksternal gereja dan sebuah keyakinan dari pihak Bullinger dan para uskup Inggris bahwa keuskupan yang direformasi adalah bentuk pemerintahan yang tepat untuk Gereja Kristus. Orang Inggris tidak mengadopsi konsepsi Zürich tentang peran hakim dan pendeta dalam mengatur masyarakat Kristen seperti yang diklaim beberapa orang. Mereka telah mengembangkan konsepsi serupa sebelum mereka mengetahui bagaimana Gereja Zürich diperintah. Setelah kematian Bullinger, hubungan Swiss dengan Inggris pun berakhir. Schlatter dan Schaff Dua pendeta Reformed Swiss memiliki pengaruh yang penting dalam sejarah gereja Amerika Utara. Michael Schlatter (1716 -- 1790) adalah penduduk asli St. Gall dan datang ke Amerika pada tahun 1746 sebagai perwakilan dari klasis Reformed orang Belanda dari Amsterdam. Karyanya dalam mengorganisir coetus (sinode) Gereja Reformed Jerman di Koloni Tengah berhasil. Namun, kesediaannya untuk bekerja sama dengan Anglican Society for the Propagation of the Knowledge of God (Masyarakat Anglikan untuk Penambahan Pengetahuan tentang Tuhan) untuk membantu orang-orang Reformed Jerman, dan kesulitannya dengan kaum pietis radikal yang dipimpin oleh Philip William Otterbein (1726 -- 1813) banyak memberikan pengaruh pada tahun-tahun terakhirnya di koloni. Pendeta Reformed Swiss yang kedua sekaligus ilmuwan yang berpengaruh adalah Philip Schaff (1819 -- 1893), yang datang dari Berlin ke Mercersburg pada tahun 1843 dan bersama-sama dengan John Williamson Nevin (1803 -- 1886) mengembangkan Teologi Mercersburg. Teologi ini benar-benar teologi Amerika pertama yang memperhitungkan kontribusi teologi Jerman dan kritik alkitabiah terhadap pemikiran religius modern. Fakta ini tidak membuatnya populer di Amerika dan pernyataan Schaff dalam bukunya The Principe of Protestantism, as Related to the Present State of the Church bahwa Reformasi mencerminkan tumbuhnya Katolik Abad Pertengahan membuat banyak orang marah. Schaff benar-benar adalah bapak dari studi "ilmiah" tentang sejarah gereja di Amerika. Karyanya, What Is Church History? A Vindication of the Idea of Historical Development (Apa Itu Sejarah Gereja? Pemulihan Nama Baik Gagasan tentang Perkembangan Historis), sangat penting bagi sejarawan gereja Amerika. Volume 7 dari History of the Christian Church: Modern Christianity The Swiss Reformation (Sejarah tentang Gereja Kristen: Kekristenan Modern Reformasi Swiss) oleh Schaff mengingatkan orang Amerika akan pentingnya moderasi dalam teologi Zwingli. Gambaran Schaff tentang Zwingli menawarkan sebuah alternatif terhadap konsep teologi Reformed yang lebih kaku yang diajukan oleh penganut Calvin dan para pengikutnya. Berkat Schaff, Zwingli akhirnya mulai memainkan peran kecil dalam pemikiran religius Amerika. (t/Jing-Jing) Audio Penyebaran Reformasi Zwingli
Situs Ayo-PA.net: Komunitas PA Abad ke-21!
Penghiburan dan Pergumulan Pengikut Kristus
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Sebagai seorang pengikut Kristus, kita senantiasa dituntut untuk berjuang hingga garis akhir. Menjadi seorang murid bukan berarti bahwa kita berada di dalam zona aman dan nyaman. Justru ketika menjadi murid Kristus, kita ditantang untuk melakukan apa yang Yesus telah lakukan. Sebagaimana yang dituliskan dalam Yohanes 1:12-13, menjadi murid Kristus berarti kita beroleh status yang baru, yaitu status bahwa kita bukan lagi diperanakkan melalui darah dan daging, melainkan kita telah diberi-Nya kuasa untuk menjadi anak-anak Allah. Untuk itu, keberadaan kita "dalam Kristus" menjadi satu penghiburan sejati untuk bergumul menjalani hari-hari sebagai pengikut Kristus. Apabila hidup tidak seturut dengan yang Tuhan kehendaki, ajaran sesat telah mengintip dan dapat menjerat kita kapan saja. Apakah kita ingin menjadi serupa dengan dunia ini dan kehilangan penghiburan dalam penderitaan dan salib Kristus? Hendaknya kita bisa terus hidup berpadanan dengan firman Tuhan setiap hari hingga Tuhan mendapati kita setia di hadapan-Nya. Soli Deo Gloria!
Edisi:
Edisi 189/Juni 2017
Isi:
ARTIKEL Penghiburan dan Pergumulan Pengikut Kristus Pernahkah engkau merasa letih dalam perjuanganmu sebagai pengikut Kristus? Engkau melihat guru-guru di sekolahmu mengajarkan hal-hal yang melawan firman Allah, engkau melihat hidup sahabat-sahabatmu yang tidak kudus, dan engkau ditolak oleh mereka ketika engkau mau hidup kudus. Engkau melihat kecurangan di kantormu, tetapi engkau merasa tidak bisa berbuat apa-apa karena kecurangan itu telah menjadi sistem. Bahkan, engkau melihat dengan jelas dalam dirimu sendiri bahwa ketika engkau ingin mengikut Kristus, terdapat kekuatan yang menarik engkau untuk berdosa lagi, berdosa lagi, berdosa lagi, sehingga dalam bebanmu yang berat, engkau berteriak kepada Allah, "Ya Allah, saya letih!" Wajarkah pergumulan-pergumulan yang demikian? Ya, pergumulan-pergumulan di atas adalah pergumulan-pergumulan yang wajar dialami orang Kristen di dunia ini. Dan, sebenarnya pergumulan-pergumulan tersebut adalah tanda kehidupan rohani kita -- tanda kehidupan yang menunjukkan adanya ketegangan antara hidup kita yang sudah dihidupkan dengan dunia berdosa yang mati, antara diri kita yang sudah ditebus dengan kehidupan lama kita yang masih bercokol. Dalam Yohanes 17:14-16, Tuhan Yesus mengatakan bahwa pengikut-Nya bukan berasal dari dunia, tetapi mereka berada di dalam dunia. Kita telah diberikan hidup yang baru, kesadaran yang baru, hati yang baru oleh Allah. Hidup yang baru ini betul-betul bertolak belakang dengan hidup lama yang dari dunia. Inilah penyebab pergumulan dan konflik kita dengan dunia yang kita hidupi saat ini. Jika kita masih dapat merasakan sakit, tandanya kita masih hidup. Orang mati tidak merasa sakit, tetapi orang hidup merasa sakit jika ada sesuatu yang merusak tubuhnya. Begitu juga dengan hidup rohani kita. Kita perlu bersyukur jika kita mengalami pergumulan karena justru orang yang mati rohani yang tidak mungkin bergumul karena ketegangan antara hidup baru dan dunia yang mati tidak ada. Jika demikian, apakah penghiburan kita ketika kita bergumul melawan dosa, baik di dalam maupun di luar diri kita? Terpujilah Allah yang telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, Allah sejati, untuk menjadi manusia seperti kita. Anak Allah bukanlah Allah yang jauh, melainkan Immanuel, Allah yang dekat dengan kita. Anak Allah rela menjadi manusia, rela dibatasi, untuk menjadi Imam Besar yang dapat menaruh belas kasihan kepada kita. Ia mengalami pergumulan-pergumulan yang kita alami, bahkan dalam takaran yang jauh lebih berat daripada yang kita alami. Sebelum Yesus menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi kita, Ia telah mengalami pencobaan, penghinaan, dan ketersendirian; segala pergumulan yang kita alami, Ia mengalaminya, karena Ia adalah manusia sejati. Tuhan Yesus memiliki tubuh, sama seperti kita memiliki tubuh. Ia memiliki perut yang bisa lapar ketika tidak makan selama 40 hari; Ia memiliki kulit kepala yang bisa luka ketika tertusuk-tusuk mahkota duri; Ia memiliki tubuh yang bisa letih ketika Ia membawa kayu besar "terkutuk" di atas pundak-Nya. He is the man of sorrow and acquainted with grief. Anak Allah tidaklah berpura-pura karena Ia adalah Kebenaran. Tuhan Yesus adalah manusia sejati yang sungguh dapat mengalami kesakitan seperti kita karena Ia tidak mungkin berbohong. Ajaran sesat yang mengajarkan bahwa Yesus bukan betul-betul manusia bersumber dari filsafat Yunani Gnosticism. Orang-orang yang percaya ajaran sesat inilah yang disebut anti-Kristus oleh Rasul Yohanes dalam suratnya: "Demikianlah kita mengenal Roh Allah: setiap roh yang mengaku, bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai manusia (KJV: Jesus Christ is come in the flesh), berasal dari Allah, dan setiap roh, yang tidak mengaku Yesus, tidak berasal dari Allah. Roh itu adalah roh antikristus ...." (1 Yohanes 4:2-3) Ajaran Gnosticism secara umum mengajarkan bahwa jiwa/roh itu suci, sedangkan materi itu jahat. Maka berdasarkan asumsi sesat itu, mereka mengatakan bahwa tidaklah mungkin Allah sejati menjadi manusia sejati. Manusia sejati mempunyai tubuh yang berupa materi, dan materi itu pada dasarnya jahat. Maka ajaran sesat kekristenan yang dipengaruhi Gnosticism, mengajarkan bahwa Tuhan Yesus bukan betul-betul Allah menjadi manusia. Ada dua macam ajaran sesat Kristen yang dipengaruhi Gnosticism: 1. Docetism Docetism berasal dari bahasa Yunani dokeo, yang artinya "kelihatannya". Ajaran ini mengajarkan bahwa Tuhan Yesus hanya "kelihatannya" memiliki tubuh, padahal tidak. 2. Cerinthianism Cerinthianism mengajarkan bahwa Kristus yang ilahi bergabung dengan manusia Yesus pada saat peristiwa pembaptisan, dan meninggalkan manusia Yesus sebelum Dia mati. Cerinthianism berasal dari kata Cerinthus, yang merupakan pengajar utama dari ajaran sesat ini. Berbeda mutlak dengan ajaran Gnosticism, Alkitab dari Perjanjian Lama sampai Perjanjian Baru mengajarkan bahwa segala ciptaan Tuhan itu baik, termasuk materi. Tubuh bukanlah penjara jiwa, seperti diajarkan oleh Gnosticism. Tubuh adalah ciptaan Allah yang indah untuk melaksanakan kehendak Allah. Itulah tujuan Yesus datang ke dunia ini menjadi manusia sejati, yaitu untuk melaksanakan kehendak Allah Bapa. Tubuh mencapai tujuan eksistensinya yang ultima ketika dipakai untuk menggenapkan kehendak Allah. Tuhan Yesus berkata: "Korban dan persembahan tidak Engkau kehendaki -- tetapi Engkau telah menyediakan tubuh bagiku, ... untuk melakukan kehendak-Mu, ya Allah-Ku." (Ibrani 10:5,7) Jika kita betul-betul menghayati hal ini, kita akan lebih menghargai hidup ini dengan penuh ucapan syukur. Kita juga lebih mudah mengerti pentingnya mandat budaya jika kita mengerti bahwa materi itu dikehendaki Allah. Orang-orang Kristen yang hanya memikirkan tentang kehidupan di sana (other worldly) tanpa mau bekerja di sini (this worldly) mungkin dipengaruhi Gnosticism atau Platonism. Teknologi, pendidikan, politik, dan lain-lain adalah aspek-aspek kehidupan yang perlu direbut kembali bagi ketuhanan Kristus, bukan hanya jiwa/roh manusia. Kita baru bisa mendapat penghiburan yang sejati untuk menjalani kehidupan Kristen kita jika mengerti bahwa Yesus Kristus juga adalah manusia sejati, yang bertubuh materi untuk menjalankan dan menggenapi kehendak Bapa di surga, serta yang mengalami pergumulan dan kesakitan yang kita alami. Penulis kitab Ibrani mengatakan bahwa Anak Allah menjadi manusia adalah suatu keharusan, "supaya Ia menjadi Imam Besar yang menaruh belas kasihan dan yang setia kepada Allah untuk mendamaikan dosa seluruh bangsa". Tuhan Yesus menaruh belas kasihan terhadap kita. Ia mengerti pergumulan kita dalam usaha kita menjalankan kehendak Bapa karena Ia telah mengalami pergumulan-pergumulan di dunia dalam keberadaan-Nya sebagai manusia seperti kita. Apakah pergumulanmu seberat pergumulan Kristus? Adakah kesedihan yang lebih besar dari kesedihan Pencipta yang ditolak oleh kepunyaan-Nya sendiri? Adakah pergumulan yang lebih besar dari pergumulan yang Mahakudus untuk hidup di tengah-tengah dunia yang penuh dengan dosa dan kejijikan? Dalam pergumulan, kamu melawan dosa kamu belum sampai mencucurkan darah! Pandanglah kepada Kristus dalam waktu-waktu pergumulanmu; di sanalah letak penghiburanmu. Pandanglah salib Kristus, tempat tubuh-Nya dipaku sebagai tebusan dosa kita; di sanalah letak kekuatan imanmu. Pandanglah kubur Kristus, tempat Yesus dibangkitkan dengan tubuh yang baru; di sanalah letak pengharapanmu. Dan, terlebih lagi sekarang, Tuhan kita yang sudah bangkit sedang berdoa dan terus berdoa bagi kita di surga. Tuhan Yesus terus-menerus menjadi satu-satunya Pengantara kita kepada Allah Bapa; Ia terus-menerus bersyafaat bagi kita. Apakah yang kurang dari sukacita hidup orang Kristen? Tidaklah mungkin kita mengerti apa artinya sukacita berjalan bersama dengan Tuhan tanpa kita mengerti apa artinya bergumul dalam pimpinan Tuhan. Dalam letihnya perjuangan kita, ada penghiburan yang teguh: We do not struggle alone, the LORD Himself became man and struggled like us. The LORD understands our struggle and now He is watching and praying for us. What a wonderful Savior the LORD is!
Injil dan Kuasa Roh Kudus
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Sebagai orang percaya, kita pasti tidak asing dengan istilah Amanat Agung. Sebelum Yesus terangkat ke surga, Ia memerintahkan kepada para murid agar mereka pergi memberitakan Injil. Kita, sebagai murid Kristus, juga mengemban tugas yang sama, yaitu memberitakan Injil. Namun, tanpa kita sadari, terkadang yang menjadi hambatan Injil didengar oleh orang lain datang dari dalam diri orang Kristen sendiri. Saat pemimpin gereja memilih diam, Tuhan membangkitkan organisasi-organisasi paragereja untuk mengerjakan apa yang belum dikerjakan oleh gereja. Pemberitaan Injil juga tidak terlepas dari tuntunan Roh Kudus. Roh Kudus yang akan memperlengkapi kita dan memberi hikmat kepada kita saat kita mengabarkan Injil. Di mana kita diurapi oleh kuasa Roh Kudus, di sana padang belantara menjadi tanah yang subur. Akan tetapi, jika kita tidak memiliki urapan dari Roh Kudus, Bait Allah di Yerusalem pun bisa menjadi tanah yang tandus. Kiranya melalui artikel yang kami sajikan ini, kita dapat lebih mengerti tentang hambatan yang mencegah Injil diberitakan dan pentingnya kuasa Roh Kudus yang bekerja saat kita memberitakan Injil. Penginjilan tidak dapat terlepas dari kuasa Roh Kudus. Selamat membaca. Tuhan Yesus memberkati.
Edisi:
Edisi 188/Mei 2017
Isi:
Injil bukan untuk kalangan sendiri Karena orang-orang Israel tidak setuju dengan Injil Yesus Kristus, mereka berusaha menangkap para rasul. Setelah Yesus naik ke surga, para rasul berdoa. Mereka takut. Meskipun Yesus sudah bangkit, tetapi mereka tidak tahu apakah kebangkitan-Nya menjadi jaminan penyertaan-Nya. Mereka tidak punya pegangan dan tidak ada kepastian sehingga mereka mengunci semua pintu dari dalam, bukan dari luar. Petrus, Yohanes, Yakobus, dan rasul-rasul lain yang mengunci diri itu tidak bijaksana. Itu penakut. Itu keadaan kurang beriman, kurang percaya. Dari peristiwa yang penting ini, terlihatlah bahwa pintu Injil tidak pernah ditutup dari luar; Injil selalu ditutup oleh orang Kristen sendiri. Pintu Injil tidak bisa ditutup oleh komunisme, liberalisme, ataupun musuh-musuh dari luar. Pintu lnjil selalu ditutup oleh pemimpin-pemimpin gereja yang tidak berani mengabarkan Injil. Sampai kapankah kita begitu takut? Mengapa yang menginjili di Irian Jaya adalah orang-orang berkulit putih, bukan orang yang berkulit sawo matang? Apa sebabnya kita belum sadar? Kita masih berada pada tahap kita melihat: sudah mempunyai gereja yang sejarahnya cukup lama, organisasinya cukup kuat, dan segala sesuatu cukup sistematis, lalu merasa puas. Di Taiwan, seorang pendeta berkata kepada saya, "Pak Stephen Tong, gereja saya sangat penuh." Saya bertanya, "Apa sebab gerejamu penuh?" Dia bilang, sebab mereka hebat. Hati saya sedih sekali. Saya berkata, "Maaf pendeta, jawabanmu kurang baik." "Oh, maaf! Sebab, saudara-saudara kita giat sekali." "Saya kira jawaban ini lebih baik, tetapi masih kurang." Dia pikir, pikir, "Oh, sebab anugerah Tuhan." Saya bilang itu sudah lebih baik, tetapi masih kurang. Setelah tiga kali saya menjawab kurang baik, dia menjadi marah. "Kalau begitu jawaban apa yang paling baik menurutmu?" Saya berkata, "Gerejamu bisa penuh karena ada empat dinding. Coba bongkar dindingmu. Penuh tidak?" Saudara mau gerejamu penuh, gampang sekali: bikin lebih kecil, pasti penuh; lebih kecil lagi, lebih penuh. Akan tetapi, Tuhan Yesus berkata, "Aku masih memiliki domba di sana, bukan di sini. Aku harus membawa mereka masuk ke dalam kandang domba ini." Apa artinya gereja dan misi, misi dan gereja? Hanya menggembalakan gereja dan anggota yang ada belum berarti mengerjakan pekerjaan Tuhan secara sempurna. Kita harus pergi mencari domba-domba yang tersesat. Billy Graham mengatakan bahwa karena gereja-gereja mempunyai cukup banyak kesibukan sehingga mereka kekurangan waktu, Tuhan membangkitkan organisasi-organisasi "parachurch" untuk mengisi apa yang belum dikerjakan oleh gereja-gereja. Berapa banyak gereja tidak pernah mengirim uang ke lembaga Alkitab, ke seminari-seminari, ke siaran radio Kristen, dan menunjang pekerjaan penginjilan yang lain? Mereka hanya mementingkan gerejanya saja. Kalau ada uang, bikin lebih besar, bikin lebih besar lagi, untuk membanggakan diri, seolah-olah mereka memonopoli pekerjaan Tuhan. Akan tetapi, Saudara, siapakah yang memberitakan Injil melalui siaran radio ke RRC, ke Rusia, ke Jerman Timur, ke Polandia, ke Cekoslowakia, dan ke tempat-tempat lain yang tidak bisa dikunjungi oleh para penginjil karena mereka dilarang masuk ke sana? Tentu harus ada orang yang membuat program, yang menerjemahkan Alkitab, yang menyiarkan, dan yang memberikan daya listrik yang cukup untuk mendukung penyiaran itu. Banyak gereja kurang memperhatikan hal-hal demikian sehingga Tuhan membangkitkan yang lain. Marilah kita bekerja sama, baik dalam penggembalaan maupun dalam organisasi "parachurch", dengan tidak lagi memisahkan engkau-engkau, saya-saya, karena kerajaan Allah lebih penting dari denominasi dan dinding-dinding yang mengelilingi domba-domba yang diberikan Tuhan kepada saya. Dengan demikian, hati kita akan menjadi lebih lapang, dan pandangan kita pun akan menjadi lebih luas. Saudara perhatikan, di desa-desa yang paling kecil ada coca-cola, tetapi tidak ada Injil; ada sampo dan kosmetik apa saja, tetapi belum ada guru Injil; ada onderdil-onderdil mobil dari Jepang, tetapi tidak terdengar ada orang memberitakan Injil di sana. Sampai kapankah kekristenan harus tertinggal begitu jauh? Roh Kudus dalam penginjilan Di mana engkau diurapi oleh kuasa Roh Kudus, di sana padang belantara menjadi tanah yang subur. Akan tetapi, jika engkau tidak memiliki urapan dari Roh Kudus, Bait Allah di Yerusalem pun bisa menjadi tanah yang tandus. Dalam Lukas 3 tertulis, "Pada waktu Herodes menjadi raja wilayah Galilea, pada waktu Hanas dan Kayafas menjadi imam besar, pada waktu mereka di tanah Yudea, Roh Allah turun kepada Yohanes Pembaptis di padang belantara. Mengapa Yohanes Pembaptis tidak berkhotbah di Bait Allah di Yerusalem? Bukankah di sana ada mimbar yang tinggi, ada orang-orang yang terlatih dalam Talmud, Misnah, dan teologi orang Israel? Namun, Alkitab mengatakan bahwa Roh Tuhan bukan turun di sana, melainkan di padang belantara sehingga Yohanes Pembaptis menjadikan padang belantara tempat ratusan ribu orang menerima Tuhan Yesus. Stephen Tong, Thomas Wong, atau Chris Marantika tidak berarti apa-apa, tetapi pada waktu Roh Kudus turun dan mengurapi mereka, barulah penginjilan yang mereka lakukan bisa sukses. Oleh sebab itu, demi nama Tuhan Yesus, saya berkata kepada para pemuda-pemudi yang masih duduk di bangku SMP, SMA, ataupun universitas, "Engkau yang tidak punya uang, yang belum memiliki gelar dan pengalaman, jika engkau mau datang dan berkata kepada Tuhan, "Di sini saya, saya mau menyerahkan diri, mau dipakai oleh-Mu, Tuhan. Saya mau mempelajari Injil baik-baik dan mau dipenuhi oleh Roh-Mu yang kudus," engkau akan menjadi orang yang dipakai oleh Tuhan. Dalam Amanat Agung, Yesus memerintahkan, "Pergilah, jadikanlah segala bangsa murid-Ku." Semangat lnjil adalah pergi, pergi! Akan tetapi, dalam Kisah Para Rasul, Yesus memerintahkan mereka untuk menunggu di Yerusalem, jangan pergi dulu, sampai Roh Kudus turun ke atasmu. Inilah yang disebut paradoks (seolah-olah bertentangan, tetapi tidak). Mereka menunggu dan menunggu, lalu Roh Kudus turun dan memenuhi mereka pada hari Pentakosta yang hanya terjadi satu kali dalam sejarah dan tidak pernah terulang lagi. Hari Pentakosta adalah hari jadi gereja. Pada hari itu, umat Tuhan berkumpul bersama menjadi tubuh Kristus, dan Roh Kudus yang dikirim pada hari itu tidak ditarik kembali untuk selama-lamanya sampai kita berjumpa dengan Yesus Kristus. Sebagaimana janji Yesus, "Adalah lebih berguna bagi kamu jika Aku pergi kepada Bapa. Sebab, jika Aku tidak pergi, Roh Kudus tidak akan datang kepadamu, tetapi jika Aku pergi, Aku akan mengutus Dia kepadamu, dan Ia beserta denganmu sampai selama-lamanya." Roh Kudus sudah turun satu kali dan tidak turun lagi; lalu bagaimana dengan orang-orang Kristen dalam setiap zaman? Kita menerima Roh yang sudah diberikan kepada gereja untuk memenuhi kita. Kelahiran baru yang sejati mencakup juga baptisan Roh Kudus secara otomatis. Pada waktu engkau lahir baru, statusmu sebagai orang berdosa berubah menjadi orang suci, maka Roh Kudus pun akan berdiam dalam hatimu dan menjadi Tuan dalam hidupmu. Dia akan menguasai seluruh pikiran, emosi, dan kemauanmu. Setelah Roh Kudus memenuhi engkau, engkau diberi kuasa, diberi urapan, diberi kekuatan, diberi perlengkapan, dan dipersiapkan untuk menjadi saksi Kristus. Mengapa penginjilan tidak dapat terlepas dari kuasa Roh Kudus? Perhatikan dengan teliti perkataan Petrus, "Kami (rasul-rasul) adalah saksi dari segala sesuatu itu (yaitu kematian dan kebangkitan Kristus, dua hal yang paling penting, yang merupakan inti dan fondasi dari Injil Yesus Kristus, yang menjadi pengharapan satu-satunya bagi manusia yang berdosa untuk kembali kepada Tuhan), kami dan Roh Kudus, yang dikaruniakan Allah kepada semua orang yang menaati Dia" (Kis. 5:32). Puji Tuhan! Barangsiapa betul-betul setia dan taat kepada injil serta meninggikan Kristus dengan motivasi yang murni, tidak mungkin tidak didampingi oleh Roh Kudus. Penginjilan bukan pidato, bukan pertambahan anggota gereja, bukan juga kemegahan supaya orang lain melihat denominasi saya berkembang. Penginjilan adalah peperangan rohani untuk merebut manusia yang diciptakan menurut peta dan teladan Allah yang berada di dalam tangan setan, agar ia keluar dari situ dan masuk ke dalam kerajaan Anak Allah yang kekal. Dengan demikian, tidak boleh ada seorang pun mengabarkan Injil tanpa kuasa Roh Kudus karena setan tidak takut gerejamu besar, tidak takut engkau punya teologi yang hebat dan pengetahuan yang kuat, tetapi setan paling takut engkau memiliki kuasa Roh Kudus. Sejak bulan Maret 1957 sampai sekarang, sudah 20.000 kali saya berkhotbah, tetapi tidak satu kali pun saya berani naik ke atas mimbar tanpa Roh Kudus memimpin saya. Setiap kali sebelum naik saya berkata kepada Tuhan dengan gemetar, "Tuhan jika Engkau tidak naik, saya juga tidak mau naik."
Memperlengkapi Diri Melalui Bahan-Bahan dari Situs Apps4GodTeknologi merupakan anugerah dari Allah yang dapat kita manfaatkan untuk melayani sesama, mengabarkan Injil, serta mendukung pertumbuhan rohani kita. Lantas, sejauh manakah perkembangan teknologi yang bisa digunakan, dan bagaimanakah kita bisa menerapkannya dalam pelayanan kita secara maksimal? Dapatkan berbagai materi dan bahan seputar pelayanan digital dan pemanfaatan teknologi yang sesuai dengan prinsip-prinsip firman Tuhan di situs Apps4God.org. selengkapnya...» Penderitaan yang Tak Tertandingi
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Yesaya 53 telah menubuatkan penderitaan tubuh dan jiwa yang akan diderita Sang Anak. Keadaan Sang Anak digambarkan seperti domba yang sedang diseret ke pembantaian dan siap dibantai dalam ketidakberdayaannya. Hati kita akan bergidik ketika membayangkan apa yang terjadi saat seseorang dijatuhi hukuman salib di Roma pada waktu itu. Salib merupakan simbol hukuman hina dan kerendahan derajat manusia yang harus Ia tanggung, penderitaan yang tidak seharusnya diterima oleh seorang manusia yang sama sekali tidak bersalah. Betapa mengerikan hukuman tersebut, meremukkan tubuh dan jiwa. Banyak arkeolog dan sejarawan membuktikan bahwa salib adalah salah satu hukuman paling menyiksa di seluruh bumi. Bagaimana tidak, efek yang ditimbulkan akan menghancurkan seseorang, meremukkan daging dan bahkan tulang manusia karena cambukan dan serangan-serangan fisik lainnya. Beroleh salib berarti mendapat tekanan yang sangat besar bagi jiwa seseorang. Disalib berarti pantas diludahi, dihina, dicaci maki, dipukul, dan diperlakukan selayaknya hewan. Bahkan, Yesus sendiri telah sampai pada titik depresi secara lahiriah. Dalam kesakitan-Nya, Dia mengerang dan berseru, "Bapa-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?" Dia menangis. Dia menjerit. Dia kesakitan. Dia berada dalam keadaan yang memalukan. Inilah rasa dosa yang harus Dia tanggung bagi saya dan saudara. Dia telah ditimpa murka Elohim yang mahadahsyat sebagai konsekuensi menggantikan kita sekalian dari murka-Nya, menelan maut bagi semua orang berdosa. Gereja pada hari ini sungguh sangat nyaman dengan segala sesuatu. Ingat! Ada harga yang sangat mahal dan menyakitkan untuk mencapai masa anugerah ini, dan Kristuslah yang membayarnya dengan lunas tanpa meninggalkan utang sedikit pun. Keselamatan tidaklah cuma-cuma. Bapa mengirimkan Anak-Nya sendiri sebagai Korban yang siap menderita dan mati sebagai harga yang harus dibayar. Darah-Nya membasuh setiap pelanggaran dan dosa kita. Pada bulan Paskah ini, marilah kita merenungkan sedikit dari fakta besar penderitaan Yesus dalam hukuman salib. Untuk itu, redaksi e-Reformed menyajikan satu artikel untuk Anda baca. Kematian-Nya membawa Anda kembali untuk beroleh kesempatan hidup dalam anugerah. Mari bersyukur kepada-Nya. Tuhan yang Hidup memberkati.
Edisi:
Edisi 187/April 2017
Isi:
Penderitaan Yesus Kristus Penderitaan Anak Allah tidak tertandingi. Tidak ada yang pernah menderita seperti Pria ini. Melalui kekekalan, kita akan merenungkan pembunuhan Anak Allah dan bernyanyi, "Layaklah Anak Domba, yang telah disembelih itu" (Wahyu 5:12, AYT). Count Zinzendorf (1700 -- 1760) dan rakyat Moravia mengembangkan teologi yang didasarkan pada luka dan darah Yesus, yang dipercaya oleh beberapa orang telah menjadi lebih menitikberatkan pada "lima luka" Kristus dalam fokusnya. Namun, saat ini, kita tidak sedang berada dalam keadaan euforia berlebihan yang mengkhawatirkan tentang penderitaan Yesus. Jadi, datanglah dan menyembah bersama-sama dengan saya atas keagungan penderitaan Kristus. Tidak pernah ada seorang pun yang sebenarnya pantas mengalami lebih sedikit penderitaan, tetapi justru menerima begitu banyak. Stempel Tuhan dalam kehidupan yang sempurna ini ditemukan dalam dua kata: "tidak berdosa" (Ibrani 4:15, AYT). Satu-satunya pribadi dalam sejarah yang tidak layak menderita, justru adalah yang paling menderita. Dia yang "tidak berbuat dosa, dan tipu daya tidak ada di mulut-Nya" (1 Petrus 2:22, AYT). Tak satu pun dari kesakitan Yesus adalah hukuman bagi dosa-Nya. Dia tidak memiliki dosa. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang pernah sungguh-sungguh memiliki hak lebih besar untuk menawar, tetapi menggunakannya dengan sangat sedikit. Dia memiliki kuasa yang tidak terbatas, yang bisa Ia pakai kapan saja, untuk membalas dendam setiap saat Ia mau dalam penderitaan-Nya. "Kamu pikir aku tidak mampu memohon kepada Bapa-Ku, dan Ia, sekarang juga, akan memberi lebih dua belas pasukan malaikat untuk-Ku?" (Matius 26:53, AYT), tetapi Ia tidak melakukannya. Ketika setiap sentimen peradilan di alam semesta berteriak "tidak adil!" Yesus diam. "Namun, Yesus tidak menjawab Pilatus, bahkan untuk satu tuduhan pun." (Matius 27:14, AYT) Dia juga tidak membantah ejekan palsu: "Ketika Ia diejek, Ia tidak membalas dengan ejekan; ketika Ia menderita, Ia tidak mengancam" (1 Petrus 2:23, AYT). Dia juga tidak membela diri dalam menanggapi interogasi Herodes: "Yesus tidak memberi jawaban apa pun" (Lukas 23:9, AYT). Tidak ada yang pernah menanggung begitu banyak ketidakadilan dengan begitu sedikit pembalasan dendam. Hal itu bukan karena siksaan tersebut dapat ditanggung. Jika kita terpaksa menyaksikannya, kita mungkin akan jatuh pingsan. Di taman, "keringat-Nya menjadi seperti tetesan darah yang menetes ke tanah" (Lukas 22:44, AYT). Pada tengah malam, di hadapan imam besar, "mereka meludahi muka-Nya dan meninju-Nya. Dan, yang lain menampar-Nya" (Matius 26:67, AYT). Di hadapan gubernur, mereka "mencambuki" Dia (Matius 27:26, AYT). Eusebius (Sekitar tahun 300 M) menjelaskan pencambukan Romawi terhadap orang-orang Kristen seperti ini: "Pada suatu waktu mereka terluka oleh cambuk sampai ke dalam pembuluh darah vena dan arteri sehingga isi yang tersembunyi dari relung tubuh mereka, yaitu isi perut dan organ mereka, terlihat oleh mata." Dalam penderitaan-Nya, para tentara mempermainkan-Nya. Mereka mengenakan jubah kebesaran tiruan kepada-Nya. Mereka mulai "menutup muka-Nya, dan meninju-Nya, dan berkata kepada-Nya, 'Bernubuatlah!' Para pengawal menerima-Nya dengan menampar-Nya" (Markus 14:65, AYT). Sebuah mahkota duri ditekan di atas kepala-Nya -- yang diperparah dengan didorong ke dalam tengkoraknya dengan pukulan. "Dan, mereka memukul kepala-Nya dengan sebuah buluh dan meludahi-Nya, lalu sujud menyembah-Nya." (Markus 15:19, AYT) Dalam kondisi ini, Ia tidak mampu memikul salib-Nya sendiri (Matius 27:32). Penyiksaan dan upaya mempermalukan terus berlanjut. Ia ditelanjangi. Tangan dan kakinya dipaku di kayu salib (Kisah Para Rasul 2:23; Mazmur 22:16). Ejekan itu tak ada henti-hentinya di sepanjang pagi yang mengerikan itu. "Salam, Raja orang Yahudi!" "Engkau yang akan merobohkan Bait Allah dan membangunnya kembali dalam tiga hari, selamatkanlah diri-Mu sendiri! Jika Engkau Anak Allah, turunlah dari salib itu!" (Matius 27:29,40, AYT) Bahkan, salah satu penjahat "menghina Yesus" (Lukas 23:39, AYT). Itu adalah kematian yang mengerikan. The International Standard Bible Encyclopedia, menyatakan, "Luka-luka-Nya membengkak di sekitar kuku yang kasar, dan tendon serta saraf-Nya yang robek dan terkoyak menyebabkan penderitaan yang menyiksa. Arteri di kepala dan perut dibanjiri oleh darah dan sakit kepala yang berdenyut-denyut dengan hebat pun terjadi. .... Korban penyaliban secara harafiah mengalami seribu kematian. .... Penderitaan itu begitu mengerikan sehingga 'bahkan, di antara orang-orang yang penuh dengan hasrat berperang yang hebat sekalipun, rasa kasihan mereka terkadang terangsang." Semuanya itu menimpa sang "Teman orang-orang berdosa", bukan dengan saudara-saudara-Nya berada di sisinya, melainkan dengan benar-benar ditinggalkan. Yudas mengkhianati-Nya dengan ciuman (Lukas 22:48). Petrus menyangkal Dia sebanyak tiga kali (Matius 26:75). "Semua murid meninggalkan-Nya dan melarikan diri." (Matius 26:56, AYT) Dan, pada saat yang paling gelap dari sejarah dunia, Allah Bapa memberikan hukuman kita kepada Anak-Nya sendiri. "Padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah." (Yesaya 53:4) Satu-satunya orang di dunia yang benar-benar mengenal Allah (Matius 11:27) berseru, "Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?" (Matius 27:46, AYT). Baik sebelum maupun sesudahnya, tidak pernah ada penderitaan seperti itu karena dalam seluruh tingkat keparahan yang mengerikan, itu adalah penderitaan yang direncanakan. Hal itu direncanakan oleh Allah Bapa dan diterima oleh Allah Anak. "Tetapi TUHAN berkehendak meremukkan dia dengan kesakitan." (Yesaya 53:10) Yesus "diserahkan menurut rencana yang sudah ditentukan dan pengetahuan Allah sebelumnya" (Kisah Para Rasul 2:23, AYT). Herodes, Pilatus, para tentara, dan orang-orang Yahudi melakukan terhadap Yesus "segala sesuatu yang oleh tangan-Mu dan rencana-Mu telah ditentukan sebelumnya untuk terjadi" (Kisah Para Rasul 4:28, AYT). Dengan mendetail, penderitaan Anak ditulis dalam Kitab Suci. "Setelah itu, Yesus, yang mengetahui bahwa semuanya sudah terlaksana, untuk menggenapi Kitab Suci, Ia berkata, 'Aku haus!'" (Yohanes 19:28, AYT) Tidak hanya penderitaan itu telah direncanakan, tetapi juga dengan ketaatan. Yesus menerima rasa sakit itu. Ia memilihnya -- "taat sampai mati, bahkan mati di atas kayu salib" (Filipi 2:8, AYT). Dan, kepatuhan-Nya ditopang oleh iman dalam Bapa-Nya. "Ketika Ia menderita, Ia tidak mengancam, tetapi menyerahkan diri-Nya kepada Allah yang akan menghakimi dengan adil." (1 Petrus 2:23, AYT) "Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku." (Lukas 23:46, AYT) Dalam iman tersebut, "Ia meneguhkan hati untuk pergi ke Yerusalem" (Lukas 9:51, AYT). Mengapa? "Karena tidak mungkin seorang nabi mati di luar Yerusalem." (Lukas 13:33, AYT) Dia telah meneguhkan hati-Nya untuk mati. "Apa yang akan Kukatakan? 'Bapa, selamatkanlah Aku dari saat ini?' Akan tetapi, untuk tujuan inilah Aku datang saat ini." (Yohanes 12:27, AYT) Ia hidup untuk mati. Oleh karena itu, penderitaan dan kelemahan Yesus adalah sebuah karya kekuasaan-Nya yang berdaulat. "Tidak seorang pun telah mengambilnya dari-Ku, melainkan Akulah yang memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri." (Yohanes 10:18, AYT) Ia dengan bebas memilih untuk mengikuti rencana Bapa bagi penderitaan dan kematian-Nya sendiri. Dan, apakah rencana itu? Untuk menjadi pengganti bagi kita supaya kita hidup. "Anak Manusia pun datang ... untuk memberikan nyawa-Nya sebagai tebusan bagi banyak orang." (Markus 10:45, AYT) "Ia sendiri telah menanggung dosa kita pada tubuh-Nya di kayu salib." (1 Petrus 2:24, AYT) "TUHAN telah membebankan ke atasnya seluruh kejahatan kita." (Yesaya 53:6) Dan, tujuan dari itu semua? "Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seseorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya" (Yohanes 15:13, AYT). Ya, tetapi untuk apa pada akhirnya? Apa yang menjadi tujuan kasih? Dua tujuan besar telah dicapai dalam penderitaan Kristus, yang benar-benar merupakan satu tujuan. Pertama, "Karena Kristus juga telah menderita karena dosa-dosa, sekali untuk semua orang, yang benar mati untuk yang tidak benar, sehingga Ia dapat membawa kita kepada Allah" (1 Petrus 3:18, AYT). Penderitaan Yesus membawa kita kepada Allah yang penuh dengan sukacita dan kesenangan selama-lamanya. Kedua, tepat pada saat kematian, Bapa dan Anak dimuliakan. "Sekaranglah saatnya Anak Manusia dimuliakan dan Allah dimuliakan melalui Dia." (Yohanes 13:31, AYT) Sukacita kita dalam menikmati Allah dan kemuliaan-Nya dalam menyelamatkan kita adalah satu. Itulah kemuliaan dari penderitaan Kristus yang tak tertandingi. Sebuah DOA Bapa, apa yang dapat kami katakan? Kami merasa benar-benar tidak layak di hadapan penderitaan Kristus yang tak terkatakan. Kami memohon ampun. Dosa kamilah yang membawa hal itu untuk dilalui-Nya. Kamilah yang memukul dan meludahi dan mengejek-Nya. Ya Bapa, kami sangat menyesal. Kami menundukkan diri menghadap kotoran dan menutup mulut dari jiwa kami yang kecil, gelap, picik, dan berdosa. Ya Bapa, sentuhlah kami dengan iman yang segar sehingga kami percaya secara luar biasa. Kenyerian yang sangat dari Kristus itu sendiri yang membuat kami takut adalah keselamatan kami. Bukalah hati kami yang takut supaya kami bisa menerima Injil. Bangunkanlah bagian yang mati dari hati kami yang tidak bisa merasakan apa yang harus dirasakan -- bahwa kami dicintai dengan kasih terdalam, terkuat, termurni di alam semesta. Oh, berilah kami agar kami memiliki kekuatan untuk memahami, bersama-sama dengan semua orang kudus, akan betapa tinggi dan dalam dan panjang dan luasnya kasih Kristus yang melampaui pengetahuan, dan kiranya kami akan dipenuhi dengan seluruh kepenuhan Allah. Berperanglah bagi kami, Ya Tuhan, sehingga kami tidak menjadi mati rasa dan buta dan bodoh dalam kesenangan yang sia-sia dan kosong. Hidup ini terlalu singkat, terlalu berharga, terlalu menyakitkan untuk dihabiskan pada gelembung-gelembung duniawi yang meledak. Surga terlalu besar, neraka terlalu mengerikan, kekekalan terlalu panjang sehingga kami harus ada di sekitar teras keabadian. Ya Allah, bukalah mata kami terhadap luasnya penderitaan Kristus dan apa artinya itu bagi dosa dan kekudusan dan harapan dan surga. Kami takut akan kecenderungan kami terhadap hal-hal yang sepele. Buatlah kami terjaga dengan beban kemuliaan -- kemuliaan dari penderitaan Kristus yang tak tertandingi. Dalam nama-Nya yang agung dan ajaib. Amin.
Kumpulan Bahan Paskah dari YLSAApakah Anda sedang mempersiapkan acara Paskah di gereja, persekutuan, atau komunitas Anda? Kunjungilah situs Paskah Indonesia! Situs Paskah Indonesia berisi bahan-bahan seputar Paskah berupa artikel, drama, puisi, kesaksian, buku, humor, tip Paskah, lagu Paskah, dll.. Racun Kesetaraan Moral
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Dosa adalah masalah serius yang berusia sangat tua. Dosa telah ada sebelum manusia ada. Dosa membawa keterpisahan antara Sang Pencipta dan ciptaan. Dosa merusak alam semesta dan meracuni moralitas ilahi yang Tuhan tempatkan dalam peradaban manusia. Apakah semua dosa sama di mata Allah? Apakah berbohong punya nilai yang sama buruk dengan membunuh? Bagaimana kekristenan melihat hal ini? Samakah nilai semua dosa? Apakah konsekuensi yang ditanggung sama besarnya dengan orang bukan percaya? Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin menjadi pertanyaan kita selama ini. Ketika kita melihat kisah nyata dalam Perjanjian Lama, dosa kecil yang dilakukan umat Israel membawa dampak yang begitu besar bagi diri mereka sendiri dan orang lain, bahkan lingkungan tempat mereka berada. Tuhan kita adalah Tuhan yang kudus. Dosa akan hancur ketika bertemu Dia, dan Dia adalah pribadi yang sangat mudah murka ketika mendapati umat-Nya berdosa. Dalam Perjanjian Baru, akar segala masalah paling krusial dari segala masalah telah diselesaikan oleh Yesus Kristus di atas kayu salib. Darah suci-Nya telah siap membasuh setiap dosa. Darah Kristus berlaku sampai kapan pun. Anugerah pengampunan dari Tuhan membawa manusia untuk bisa kembali berelasi dengan Tuhan. Dalam edisi berikut, kita akan bersama-sama melihat dua permasalahan mendasar yang menimbulkan kesalahpahaman terkait perspektif yang salah dari kebanyakan orang Kristen dalam memandang dosa dan bagaimana merespons konsekuensi dosa yang selalu berdampak melemahkan relasi orang percaya dengan Tuhan. Marilah memohon Roh Kudus menilik setiap diri kita dan kiranya kita mau dikoreksi dan dibersihkan dari setiap dosa yang masih mengikat kita. Selamat membaca, Soli Deo Gloria.
Edisi:
Edisi 186/Maret 2017
Isi:
Ada dua kesalahpahaman mengenai sanktifikasi yang perlu kita perjelas dalam bab ini. Kesalahan yang pertama adalah bahwa semua dosa adalah sama di mata Allah. Pemahaman ini umum di kalangan orang Kristen. Bagi beberapa orang, pemahaman ini terlihat seperti sebuah kerendahan hati--"Saya juga selayaknya dimurkai oleh Allah. Jadi, apa hak saya menghakimi Anda?" Bagi orang lain, alasan ini dipakai untuk menghindari kritik terhadap isu tertentu--"Ya, menurut saya homoseksual itu salah, tetapi dosa itu tidak lebih buruk dari dosa-dosa yang lain." Bagi yang lain lagi, kesamaan itu adalah suatu bentuk relativisme yang dilunakkan--"Mereka yang tinggal dalam rumah kaca tidak seharusnya melempar batu." Seperti banyak pepatah pada umumnya, konsep bahwa semua dosa itu sama saja tidaklah sepenuhnya salah. Setiap dosa adalah pelanggaran terhadap hukum Allah yang kudus. "Sebab barangsiapa menuruti seluruh hukum itu, tetapi mengabaikan satu bagian dari padanya ia bersalah terhadap seluruhnya" (Yak. 2:10). Setiap dosa yang dilakukan untuk melawan Allah layak untuk mendapatkan penghukuman. Kita semua terlahir berdosa. Kita semua berbuat dosa. Setiap upah dosa adalah maut. Itulah mengapa konsep ini setengahnya benar. Namun, konsep ini juga setengahnya tidak benar. R. C. Sproul berkata, "Konsep gradasi dosa penting untuk kita pahami agar kita dapat lebih memahami perbedaan antara dosa umum dengan dosa kotor." Semua dosa melawan Allah dan memerlukan pengampunan. Namun, berulang kali Alkitab mengajarkan bahwa ada beberapa dosa yang jauh lebih parah dari dosa yang lain.
Inilah masalahnya: biarpun semua dosa dianggap sama, kita sendiri belum tentu bergumul melawan dosa. Mengapa saya harus berhenti meniduri pacar saya selama hati saya masih penuh dengan hawa nafsu? Mengapa saya harus mengejar kekudusan jika satu dosa dalam hidup saya saja membuat saya sama seperti Osama bin Hitler di mata Allah? Sekali lagi, memang terlihat rendah hati jika kita bersikap seolah tidak ada dosa yang lebih berat dari dosa yang lain. Namun, kita akan kehilangan alasan untuk berjuang serta kesanggupan untuk mengoreksi satu sama lain jika kita menyamakan semua bobot moralitas. Seorang kakek yang bergumul melawan keinginan untuk melihat katalog Lands' End yang erotis menjadi tidak berani untuk menegakkan disiplin gerejawi kepada seorang anak muda yang berbuat cabul. Ketika kita tidak lagi dapat melihat gradasi tingkatan dosa, maka kita gagal mengerti keburukan kita sendiri. Kita telah menganggap murah kebaikan Allah. Jika sistem moral kita membedakan jenis pelanggaran, pastinya Allah juga tahu bahwa ada dosa-dosa yang lebih berat dari dosa-dosa yang lain. Jika kita mengerti perbedaannya, maka kita akan sanggup menghindari dosa-dosa yang paling menjijikkan di mata Allah. Anak-Anak Sejati, Bukan Anak-Anak Gampang Kesalahpahaman kedua yang perlu diperjelas adalah apakah orang Kristen yang sudah lahir baru dan telah diampuni, dibenarkan diperdamaikan, dan diadopsi dapat membuat hati Allah sedih. Logikanya berjalan sebagai berikut: "Saya telah mengenakan pakaian kebenaran Kristus. Tidak ada yang dapat memisahkan saya dari kasih Allah. Apa pun yang saya lakukan, Allah akan selalu melihat saya sebagai anak yang murni dan tidak bercacat." Memang benar jika dikatakan sudah tidak ada lagi penghakiman bagi mereka yang ada dalam Kristus Yesus (Rm. 8:1), tetapi tidak berarti bahwa Allah akan membenarkan setiap pikiran dan tindakan kita. Walaupun Dia tidak lagi menganggap dosa-dosa kita secara yudisial, tetapi bukan berarti Allah menutup mata. Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa Allah tidak suka ketika umat-Nya melakukan dosa. Kita dapat membuat Roh Kudus "berduka" (Ef. 4:30). Biarpun Allah selalu ada di pihak kita karena Kristus (Rm. 8:31-34), tetapi Kristus masih dapat menuntut kita (Why. 2:4). Fakta bahwa Allah mendisiplinkan anak-anakNya (Ibr. 12:7) berarti bahwa Allah dapat merasa kecewa dengan mereka. Akan tetapi, fakta ini adalah sebuah mata uang. Di sisi lain, fakta ini berarti bahwa Allah memberikan disiplin karena Dia mengasihi kita. Jika Allah tidak pernah peduli dengan dosa yang kita lakukan, maka Allah tidak akan mau repot-repot memberikan pendisiplinan. Jika Allah tidak memberikan pendisiplinan, maka kita adalah anak-anak gampang (ay. 8). Kasih tidak sama dengan persetujuan tanpa syarat. Kebaikan kita selalu bertumbuh dalam kekudusan. "Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah," kata Yesus kepada jemaat di Laodikia (Why. 3:19). Mungkin pemahaman teologis berikut dapat menolong. Melalui iman kita dipersatukan dengan Kristus dan bersekutu dengan Dia. Ikatan tersebut tidak dapat diputuskan. Persekutuan kita dengan Kristus adalah sebuah fakta yang teguh dan dijamin untuk selama-lamanya oleh Roh Kudus. Ketika kita berbuat dosa, ikatan kita dengan Kristus tidak putus. Yang terganggu adalah persekutuan kita dengan-Nya. Ada orang Kristen yang mendapat perkenanan yang lebih dari Allah. Kita dapat memiliki persekutuan yang indah dengan Allah, tetapi kita juga dapat mengalami hukuman dari-Nya. Hukuman ini bukanlah hukuman yang menghancurkan, melainkan hukuman yang mendidik kita untuk mengasihi dan berbuat baik (Ibr. 10:24). Saya suka dengan istilah John Calvin. Allah tidak berhenti untuk mengasihi anak-anak-Nya, namun Dia dapat menunjukkan "kemarahan yang indah" kepada mereka. Allah tidak akan pernah membenci kita, tetapi Dia akan membuat kita gentar dengan murka-Nya agar kita dapat "terlepas dari kemalasan". Allah memberi disiplin demi kebaikan kita, agar kita dapat hidup kudus (Ibrani 12:10). Sebagaimana yang dikatakan Konfesi Westminster, mereka yang sudah dibenarkan namun berbuat dosa "akan ada di bawah kekecewaan Allah Bapa dan tidak sanggup merasakan kehadiran-Nya sebelum mereka merendahkan diri, mengakui dosa, meminta pengampunan, dan memperbarui iman di dalam pertobatan" (Konfesi Westminster 11.5). Salah satu motivasi ketaatan kita adalah menyenangkan Allah. Jika kita dengan sengaja bersikap seolah Allah tidak peduli dengan dosa kita karena pembenaran kita tidak dapat diganggu gugat, maka kita sedang menghambat diri kita untuk mengejar kekudusan. Allah adalah Bapa surgawi kita. Dia telah mengangkat kita oleh karena anugerah. Dia akan selalu mengasihi anak-anak-Nya. Jika kita adalah anak-anak-Nya, maka kita akan rindu untuk menyenangkan hati-Nya. Adalah sukacita bagi kita untuk bersukacita di dalam-Nya serta menyadari bahwa Allah pun juga bersukacita di dalam kita.
Komentar![]() |
Publikasi e-ReformedRSS Blog SABDA
|