Salah Satu Atribut Allah yang Terlalu Penting untuk Diabaikan

Penulis_artikel: 
Matthew Barrett
Tanggal_artikel: 
16 Mei 2023
Isi_artikel: 

Kembali ke masa saya di seminari, keluarga kami tinggal di Louisville, Kentucky. Salah satu keuntungan tinggal di Louisville adalah kesempatan sesekali ke Homemade Pie and Ice Cream, yang memiliki pai paling nikmat di kota itu. Setiap tahun, orang-orang dari seluruh negeri, bahkan dunia, melakukan perjalanan ke Louisville untuk Kentucky Derby (pacuan kuda - Red.) yang terkenal. Sebelum perlombaan, perayaan tidak hanya ditandai dengan topi flamboyan dan minuman mint julep, tetapi juga terjual habisnya pai Derby dari kebanyakan toko-toko roti yang ada.

Saya menikmati pai Derby klasik, tetapi ada satu pai yang saya sukai lebih lagi: pai karamel apel Belanda dari Homemade Pie and Ice Cream yang kerap memenangkan penghargaan. Sejujurnya, karamel pada painya sangat tebal sehingga Anda membutuhkan pisau daging untuk memotongnya. Tapi katakanlah Anda telah menemukan pisau Anda dan Anda mulai membagi pai -- potongan yang cukup besar untuk saya, terima kasih, dan mungkin potongan yang lebih kecil untuk orang lain.

Saya sangat sedih mengungkapkan hal ini, memang seorang teolog selalu mencari ilustrasi yang beragam di mana pun dia dapat menemukannya, tetapi pai karamel apel Belanda adalah ilustrasi yang buruk tentang seperti apa Allah itu. Ya, itu benar-benar buruk. Namun banyak orang berpikir seperti itu tentang atribut-atribut Allah. Sebenarnya, itulah yang membuat saya khawatir untuk menulis tentang atribut-atribut Allah yang berbeda, seolah-olah kita sedang mengiris pai yang diumpamakan sebagai "Allah".

Kesempurnaan Allah tidak seperti pai, seolah kita memotong pai menjadi beberapa potongan yang berbeda: kasih 10 persen, kekudusan 15 persen, kemahakuasaan 7 persen, dan seterusnya. Sayangnya, begitu banyak orang Kristen berbicara tentang Allah hari ini, seolah-olah kasih, kekudusan, dan kemahakuasaan adalah bagian yang berbeda dari Allah, seolah Allah dapat dibagi secara merata sejumlah atribut-atribut-Nya. Beberapa bahkan melakukan lebih jauh, meyakini beberapa atribut lebih penting daripada yang lain. Hal ini paling sering terjadi dengan kasih ilahi, yang menurut beberapa orang adalah atribut yang paling penting, yang mereka sebut sebagai potongan pai paling besar.

Gambar: Tritunggal

Tetapi pendekatan seperti itu sangat bermasalah, karena mengubah Allah menjadi kumpulan atribut. Bahkan terdengar seolah-olah Allah adalah satu hal dan atribut-atribut-Nya adalah hal lain, sesuatu yang ditambahkan kepada-Nya, melekat pada siapa Dia. Pendekatan ini tidak hanya membagi-bagi esensi Allah, tetapi juga berpotensi menimbulkan pertentangan satu bagian dari Allah terhadap bagian yang lain. (Misalnya, mungkinkah kasih-Nya menentang keadilan-Nya?) Terkadang kesalahan ini dapat dimengerti; itu secara tidak sengaja menyelinap ke dalam pembicaraan kita mengenai Allah. Kita mungkin berkata, "Allah memiliki kasih" atau "Allah memiliki semua kuasa." Kita semua mengerti apa yang sedang dikomunikasikan, tetapi terminologinya dapat menyesatkan. Akan jauh lebih baik untuk mengatakan, "Allah adalah kasih" atau "Allah itu mahakuasa." Dengan mengutak-atik terminologi kita, kita melindungi kesatuan esensi Allah. Melakukan hal itu berarti menjaga kesederhanaan Allah.

KESEDERHANAAN DAN KEBIJAKSANAAN TIM A

Kesederhanaan mungkin merupakan konsep yang baru dalam kosakata teologis Anda, tetapi itu adalah salah satu hal yang telah ditekankan oleh mayoritas leluhur Kristen kita selama dua ribu tahun terakhir sejarah gereja, bahkan oleh beberapa bapa gereja paling awal. Dan untuk alasan yang bagus juga. Mari berkonsultasi dengan Agustinus, Anselmus dari Canterbury, dan Thomas Aquinas.

Rupanya, saya bukan satu-satunya yang mengandalkan ilustrasi untuk menunjukkan seperti apa Allah itu. Pada abad kelima, bapa gereja Agustinus melakukan hal yang sama, meskipun itu bukan pai karamel apel Belanda. Sebaliknya, Agustinus mengusulkan cairan, tubuh manusia, dan sinar matahari. Sifat Allah Tritunggal disebut sederhana karena "tidak dapat kehilangan atribut apa pun yang dimilikinya", dan karena "tidak ada perbedaan antara keberadaannya dan apa yang terkandung di dalamnya, seperti misalnya, antara bejana [cawan] dan cairan yang ada di dalamnya, tubuh dan warnanya, atmosfer dan cahaya atau panasnya, jiwa dan kebijaksanaannya." Agustinus menyimpulkan, "Tidak satu pun dari contoh tersebut merupakan apa yang dikandungnya."[1] Sebuah cangkir dan cairan, tubuh dan warnanya, atmosfer dan cahaya atau panasnya, jiwa dan kebijaksanaannya -- apa persamaan dari semua ini? Jawaban: pemisahan.

Akan tetapi, tidak demikian dengan Allah dan atribut-atribut-Nya.

Atribut-atribut Allah tidak berada di luar esensi-Nya, seolah-olah atribut-atribut itu menambahkan kualitas pada diri-Nya yang tidak akan dimiliki-Nya tanpa atribut-atribut tersebut. Bukan berarti seolah-olah ada atribut-atribut yang kebetulan bagi Allah, bisa ditambah atau dikurangi, hilang dan kemudian ditemukan, seolah-olah itu tidak seharusnya ada sejak semula. Sebaliknya, Allah adalah atribut-atribut-Nya. Alih-alih penambahan dan pemisahan, ada kesatuan yang mutlak. Esensi-Nya adalah atribut-atribut-Nya, dan atribut-atribut-Nya adalah esensi-Nya. Atau seperti yang dikatakan Agustinus, "Allah bukannya memiliki atribut tetapi adalah esensi murni. ... Atribut-atribut itu tidak berbeda dari esensi-Nya dan juga tidak berbeda secara materi satu sama lain."[2]

Agustinus tidak sendiri dalam berpendapat seperti itu. Anselmus, contohnya. Jika sesuatu "terdiri dari bagian-bagian," katanya, maka itu tidak bisa menjadi "satu keseluruhan." Setiap kali ada pluralitas bagian, apa yang terdiri dari bagian-bagian itu memiliki kemungkinan untuk hilang. Betapa ini akan menjadi bencana bagi Allah! Sebaliknya, Allah adalah "benar-benar keberadaan yang bersatu," Dia yang "identik dengan" diri-Nya dan "tak terpisahkan." Oleh karenanya, "Hidup dan kebijaksanaan dan [atribut-atribut] lainnya, bukan bagian dari Engkau, tetapi semuanya adalah satu dan masing-masing dari mereka sepenuhnya adalah Engkau dan begitu juga semua atribut yang lain."[3]

Atau pertimbangkan pendapat Thomas Aquinas. Karena Allah tidak memiliki tubuh (seperti kita), Dia "tidak terdiri dari bagian-bagian yang ditambahkan", seolah-olah Dia terdiri dari "bentuk dan materi". Bukan seolah-olah Allah adalah sesuatu yang berbeda dari "sifat-Nya sendiri." Juga bukan karena sifat-Nya adalah hal yang berbeda dari keberadaan-Nya. Kita juga tidak boleh mengira bahwa Allah adalah sejenis zat, zat yang memiliki kebetulan, sifat yang dapat dihilangkan atau tidak ada lagi. "Allah sama sekali bukan suatu campuran. Sebaliknya, Dia sangat sederhana."[4]

KESEMPURNAAN TUNGGAL

Sementara Aquinas menggunakan kata "campuran" dan "komposisi" untuk menjelaskan apa yang bukan Allah, bapa gereja Irenaeus menggunakan kata "majemuk" untuk menjelaskan apa yang bukan Allah. Jika sesuatu digabungkan, itu berarti ia memiliki lebih dari satu bagian, masing-masing bagian terpisah dari yang lain. Sebaliknya, karena Allah sederhana, Allah adalah "Keberadaan yang tidak terbagi", tidak memiliki "anggota" yang berbeda. Dia benar-benar "setara dengan diri-Nya sendiri." Maka, mungkin tepat untuk menempatkan kata "seutuhnya" di depan setiap atribut-Nya untuk menekankan hal ini. "Allah tidak seperti manusia," Ireneus menjelaskan.

Karena Bapa dari segalanya sangat jauh berbeda dari kasih sayang dan keinginan yang ada di antara manusia. Dia adalah Keberadaan yang sederhana dan tidak terbagi, tanpa anggota yang beragam, dan seluruhnya serupa, dan setara dengan diri-Nya sendiri, karena Dia seutuhnya pemahaman, dan seutuhnya roh, dan seutuhnya pikiran, dan seutuhnya kecerdasan, dan seutuhnya penalaran, ... seutuhnya terang, dan sumber sempurna dari semua yang baik.[5]

Dengan tim-A di pihak kita, adalah tepat untuk menyimpulkan bahwa kesederhanaan tidaklah hanya digunakan dalam pernyataan negatif -- Allah tidak memiliki bagian -- tetapi juga dalam pernyataan positif: Allah identik dengan semua keberadaan-Nya dan diri-Nya. Dalam pengertian yang paling murni, Allah adalah satu; Dia adalah kesempurnaan tunggal.

Dalam Kitab Suci, hal ini tidak dapat diterapkan kepada dewa-dewa buatan manusia, dewa-dewa itu terdiri dari bagian-bagian. Mengingat keunikan Allah, maka sudah seharusnya umat Allah bersama-sama mengakui, seperti halnya Israel, bahwa "TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!" (Ul. 6:4, AYT).

SEBERAPA FATALNYA PENOLAKAN AKAN KESEDERHANAAN?

Penolakan terhadap kesederhanaan adalah hal yang fatal -- begitu fatalnya sehingga seorang penulis mengatakan bahwa hal itu "sama saja dengan ateisme."[6] Kedengarannya ekstrem. Namun sampai abad kesembilan belas, sebagian besar orang setuju akan hal ini.

Mengingat keunikan Allah, maka sudah seharusnya umat Allah bersama-sama mengakui, seperti halnya Israel, bahwa "TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!" (Ul. 6:4, AYT).

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Sayangnya, terlalu banyak orang Kristen saat ini yang menganut monopoliteisme (atau personalisme teistik) -- yaitu, kepercayaan bahwa ada satu Allah, tetapi Dia sangat mirip dengan dewa-dewa mitologi, yang memiliki atribut manusia, hanya dalam ukuran yang lebih besar. Namun, jika monopoliteisme benar, maka Allah tidak hanya terdiri dari berbagai bagian atau atribut, tetapi Dia juga akan "secara logika bergantung pada realitas yang lebih komprehensif yang menopang Dia dan makhluk lainnya."[7] Dan jika Allah bergantung pada sesuatu atau orang lain, maka Dia akan kehilangan keilahian-Nya sama sekali, karena apa pun yang Dia andalkan akan menjadi sesuatu yang lebih besar dari segalanya, sesuatu yang lebih komprehensif daripada diri-Nya sendiri. Hal itu sangatlah fatal.

Kesimpulannya, kesederhanaan adalah atribut yang terlalu penting untuk diabaikan. (t/Jing-Jing)

Audio: Salah Satu Atribut Allah yang Terlalu Penting untuk Diabaikan

  1. Augustine, City of God, 11.10. (https://tabletalkmagazine.com/posts/an-attribute-of-god-simply-too-serious-to-ignore-2019-05/#ffn1)
  2. Augustine, Trinity, 6.7. (https://tabletalkmagazine.com/posts/an-attribute-of-god-simply-too-serious-to-ignore-2019-05/#ffn2)
  3. Anselm of Canterbury, Proslogion, 18. (https://tabletalkmagazine.com/posts/an-attribute-of-god-simply-too-serious-to-ignore-2019-05/#ffn3)
  4. Aquinas, Summa Theologiae, 1a.3.7. (https://tabletalkmagazine.com/posts/an-attribute-of-god-simply-too-serious-to-ignore-2019-05/#ffn4)
  5. Irenaeus, Against Heresies, 2.13.3; emphasis added. (https://tabletalkmagazine.com/posts/an-attribute-of-god-simply-too-serious-to-ignore-2019-05/#ffn5)
  6. David Bentley Hart, Experience of God (New Haven, Conn.: Yale University Press, 2014), 128. (https://tabletalkmagazine.com/posts/an-attribute-of-god-simply-too-serious-to-ignore-2019-05/#ffn6)
  7. Hart, Experience of God. (https://tabletalkmagazine.com/posts/an-attribute-of-god-simply-too-serious-to-ignore-2019-05/#ffn7)
Sumber Artikel: 
Diterjemahkan dari:
Nama situs : Tabletalk Magazine
Alamat situs : https://tabletalkmagazine.com/posts/an-attribute-of-god-simply-too-serious-to-ignore-2019-05
Judul asli artikel : An Attribute of God Simply Too Serious to Ignore
Penulis artikel : Matthew Barrett

Komentar