Tentang KamiArtikel TerbaruUpdate Terakhir |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SOTeRI Besarlah AllahkuPenulis_artikel:
Haryono Tafianoto
Tanggal_artikel:
20 Juli 2018
Isi_artikel:
Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada mereka. Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dari keilahian-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih. (Roma 1:19-20) Mengunjungi berbagai wilayah di Nusantara adalah salah satu kegiatan yang paling menarik bagi sebagian orang. Melihat keindahan budaya, dan yang terutama, alam Nusantara yang tidak ada bandingannya adalah pengalaman yang tak ternilai. Banyak wisatawan yang sengaja bangun pagi-pagi buta untuk melihat fajar di Kelimutu atau Bromo. Atau, berjam-jam berkendaraan melewati jalan yang rusak untuk menuju Kiluan. Atau, menempuh perjalanan jauh, termasuk menggunakan kapal berjam-jam menyeberang lautan demi mencapai Derawan. Juga, menginap di kapal beberapa malam demi menikmati berbagai kepulauan di sekitar Flores dan Komodo. Tak tertinggal, menelusuri Samosir untuk menikmati keindahan alam di sekitar Danau Toba. Lalu, pengalaman apa yang mereka dapatkan dari perjalanan tersebut? Mungkin ada yang tidak bisa menikmati perjalanan demikian. Namun, bagi yang melakukannya, paling sedikit ada dua respons yang diberikan. Yang pertama adalah mungkin seperti, “Wow! Indah!” “Keren!” “Luar biasa!” Tidak berhenti di situ, karena dianggap sebagai situs-situs instagrammable, banyak yang foto selfie untuk dipajang di akun sosmed mereka. Setelah puas dengan hasilnya, mereka pun beralih ke objek wisata lainnya sebagai target selfie. Mungkin wisatawan yang lebih sophisticated akan memandang sejenak dan mempelajari apa yang terjadi dengan alam sekitarnya untuk menambah wawasan. Namun, respons yang satu lagi adalah kekaguman yang tak terkatakan. Bukan hanya takjub dengan pemandangan alam yang ada, rasa takjub itu justru ditujukan kepada Sang Seniman Agung, yaitu Allah Pencipta. Seperti lagu Besarlah Allahku, refrainnya berbunyi, “Maka jiwaku pun memuji-Mu, sungguh besar Kau Allahku.” Bukankah ketika melihat sebuah hasil karya yang sangat indah, sang seniman akan dikagumi lebih daripada karyanya? Demikianlah nyanyian yang muncul ketika melihat keindahan alam. Sebagai orang yang mengaku percaya kepada Allah pencipta langit dan bumi, hal pertama yang muncul di benak kita seharusnya kekaguman kepada Allah ketika melihat ciptaan-Nya. Atau mungkin kita juga ber-selfie ria mengikuti hip kekinian? Jadi apa yang Anda pikirkan ketika melihat alam Nusantara nan indah? Semoga rasa kagum kita tidak berhenti hanya pada ciptaan-Nya saja, tapi melihat kemuliaan Sang Pencipta di dalamnya. How great Thou art! Soli Deo Gloria. Sumber Artikel:
JulukanPenulis_artikel:
Haryono Tafianoto
Tanggal_artikel:
18 Juli 2018
Isi_artikel:
Salah satu bentuk perundungan yang sering terjadi di sekolah adalah memanggil seseorang dengan julukan atau istilah tertentu. Sadar atau tidak sadar, kita pasti pernah melakukannya. Biasanya tindakan ini, mengejek atau melabel, dianggap sebagai candaan, bukan satu hal yang serius. Namun, bisa juga dengan sengaja hinaan diberikan untuk merendahkan seseorang. Tidak jarang, orang-orang dewasa juga melakukannya baik terhadap rekannya maupun terhadap yang lebih muda darinya. Ironisnya, ini juga terjadi di lingkungan sekolah Kristen, atau bahkan di gereja. Jika kita melihat pada Kisah Penciptaan, Kejadian 1:27, manusia dicipta di dalam gambar rupa Allah, imago Dei. Manusia sebagai representasi Allah adalah wakil-Nya atas seluruh ciptaan, dan membawa gambar Allah di dalam dirinya ke mana pun ia pergi. Sebagai gambar Allah, kita memiliki sifat-sifat Allah, di antaranya kekudusan, kasih, kebaikan, dan keadilan. Dalam menjalankan mandat budaya dan mandat Injil, manusia dipanggil memancarkan sifat- sifat Allah. Lalu apa hubungannya imago Dei dengan menjuluki seseorang? Objek yang sedang dipermainkan adalah gambar Allah, ciptaan tertinggi yang menjadi wakil Allah untuk menaklukkan dan menguasai seluruh ciptaan (Kej. 1:28). Bayangkan jika Anda menghina penguasa sebuah negara. Tentunya akan ada konsekuensi hukum yang Anda alami. Namun, sekarang yang memberi mandat adalah Allah sendiri, dan yang dihina adalah gambar-Nya! Sebagaimana penghinaan terhadap perwakilan sebuah negara dianggap sebagai penghinaan terhadap negara tersebut, maka julukan yang ditujukan pada wakil Allah adalah penghinaan terhadap Allah! Sebagaimana disebut di atas, manusia dipanggil untuk memancarkan sifat-sifat Allah, maka seharusnya yang kita pancarkan bukanlah ejekan, hinaan, dan pelabelan untuk merendahkan dan mem-bully sesama kita. Namun, kasih, kebaikan, kekudusan, dan keadilanlah yang seharusnya menjadi refleksi dari tindakan dan ucapan kita. Sudah pasti ejekan tidak memancarkan sifat Allah, bukan? Ketika menyaksikan tindakan perundungan terjadi, sebagai gambar Allah, kita tidak bisa hanya diam saja. Sebagai pernyataan kasih dan keadilan, kita patut membela sang korban dan menegur si pelaku. Bukankah itu yang Yesus Kristus, sebagai gambar Allah yang sejati, lakukan, membela mereka yang tertindas dengan kasih. Ia bahkan menyatakan kasih dan keadilan Allah Bapa di atas kayu salib untuk melepaskan kita dari cengkraman penindasan si jahat. Mengikuti teladan Yesus Kristus, marilah kita menghidupi natur kita yang seharusnya sebagai gambar dan rupa Allah. Bagaimana Anda akan memperlakukan sesamamu, gambar dan rupa Allah, mulai hari ini? Kiranya cinta kasih Allah terpancar dari hidup kita semua. Soli Deo gloria. Sumber Artikel:
Progsif "Roh Kudus, Malaikat, dan Roh Jahat"Oleh: N. Risanti Senin, 25 Juni 2018, saya dan beberapa teman mengikuti acara progsif (program intensif) bertema Roh Kudus, Malaikat, dan Roh Jahat yang diadakan oleh STRIS (Sekolah Tinggi Reformed Injili Surakarta) di Hotel Adiwangsa. Progsif yang berlangsung sekitar 2,5 jam ini dibawakan oleh Pendeta Jimmy Pardede dari Jakarta, yang juga adalah dosen Perjanjian Lama. Berikut adalah beberapa hal yang saya dapatkan dari acara progsif tersebut. selengkapnya...» Teologia Reformed adalah Teologia PerjanjianPenulis_artikel:
Richard Pratt Jr.
Tanggal_artikel:
10 Januari 2018
Isi_artikel:
Teologia Reformed adalah Teologia Perjanjian Teologia Reformed sering kali dikaitkan dengan "teologia perjanjian". Jika Anda menyimak baik-baik, kerap akan Anda dengar para pendeta dan pengajar menyebut diri mereka (penganut aliran) "Reformed dan perjanjian." Istilah Reformed dan perjanjian secara umum digunakan berbarengan sehingga memaksa kita memahami mengapa keduanya terkait. Teologia perjanjian merujuk pada salah satu kepercayaan mendasar yang dianut oleh Calvinis mengenai Alkitab. Semua orang Protestan yang tetap setia pada warisan (doktrin) mereka mengakui Sola Scriptura, yaitu keyakinan bahwa Alkitab merupakan otoritas tertinggi dan tak perlu diragukan. Akan tetapi, teologia perjanjian membedakan pandangan Reformed terhadap Alkitab dari pandangan aliran Protestan lain, dengan menekankan bahwa perjanjian ilahi mempersatukan semua ajaran dalam seluruh Alkitab. Perkembangan yang lebih awal dalam Reformed, pengertian perjanjian Kitab Suci mencapai titik krusial pada abad ketujuh belas di Inggris dengan adanya Pengakuan Iman Westminster (1646), Deklarasi Savoy (1658), Pengakuan Gereja Baptis London 1689, masing-masing mewakili penganut Calvinist berbahasa Inggris dari kelompok yang berbeda. Dengan hanya sedikit perbedaan di antara mereka, dokumen-dokumen tersebut mendedikasikan satu bab utuh untuk membahas bagaimana perjanjian Allah dengan umat manusia menyingkapkan kesatuan seluruh pengajaran Alkitab. Misalnya, Pengakuan Iman Westminster berbicara mengenai turunnya Allah untuk mewahyukan Diri kepada manusia dengan jalan perjanjian. Hal tersebut kemudian membagi seluruh sejarah dalam Alkitab menjadi hanya dua perjanjian: "Perjanjian kerja" dalam Adam dan "perjanjian anugrah" dalam Kristus. Perjanjian kerja merupakan kesepakatan Allah dengan Adam dan Hawa sebelum mereka jatuh dalam dosa. Perjanjian anugrah menguasai seluruh kisah Alkitab selebihnya. Menurut pandangan ini, semua tahap dalam perjanjian anugerah adalah sama secara substansi. Perbedaannya hanyalah bagaimana Allah menyelenggarakan satu perjanjian anugerah tersebut dalam Kristus dengan berbagai cara sepanjang sejarah Alkitab. Selama itu juga, sejumlah teolog Reformed yang terkemudian menegaskan kesatuan perjanjian dalam Kitab Suci dengan menghubungkan perjanjian-perjanjian Alkitabiah dengan "Kerajaan Allah", sebagaiamana Perjanjian Baru menyebutnya. Yesus menunjukkan pentingnya Kerajaan Allah dalam kata-kata pembuka Doa Bapa Kami: "Bapa kami yang di surga, dikuduskanlah Nama-Mu. Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga" (Wahyu 11:15, pada akhir zaman, "Seluruh kerajaan dunia (akan) menjadi milik Tuhan kita dan Kristus, dan Ia akan memerintah selama-lamanya." Penemuan arkeologis terbaru menunjukkan bagaimana perjanjian Allah terkait dengan kerajaan-Nya di bumi. Pada zaman alkitab, banyak raja-raja negeri sekeliling Israel menyelenggarakan ekspansi kerajaan mereka melalui perjanjian internasional. Para ahli biblika menemukan kesamaan yang mengagumkan antara kesepakatan kuno ini dan perjanjian alkitab dengan Adam, Nuh, Abraham, Musa, Daud, dan Kristus. Kesamaan ini menyatakan bahwa Kitab Suci menghadirkan perjanjian sebagai cara Allah memperluas kerajaan-Nya di bumi. Perjanjian Alkitab menekankan apa yang dibutuhkan pada setiap tahap Kerajaan Allah dengan mengembangkan prinsip perjanjian sebelumnya. Dimulai dengan Adam, Allah menyatakan Diri-Nya sebagai raja, peran umat manusia, dan tujuan akhir yang telah Ia rencakanakan bagi bumi (Kejadian 6, 9). Allah kemudian mengembangkan perjanjian sebelumnya dengan menjanjikan bahwa keturunan Abraham akan menjadi besar dan menyebarkan berkat-berkat Allah kepada bangsa-bangsa lain (Kejadian 15, 17). Di atas perjanjian-perjanjian tersebut, Allah memberkati Israel dengan memberikan hukum-Nya pada zaman Musa (Keluaran 19-24). Setiap perjanjian sebelumnya terus diperjelas selagi Allah mendirikan kerajaan Daud serta menjanjikan bahwa salah satu dari anaknya akan memerintah dengan keadilan atas Israel dan seluruh dunia (Mazmur 72; 89; 132). Semua perjanjian yang diadakan pada era Perjanjian Lama kemudian diteruskan dan digenapi dalam Kristus (Yeremia 31:31; 2 Korintus 1:19-20). Sebagai Anak Daud yang besar, kehidupan, kematian, kebangkitan, kenaikan, dan kedatangan Kristus yang kedua menjamin kepastian transformasi seluruh bumi menjadi Kerajaan Allah yang mulia. Banyak orang Kristen Injili saat ini kesulitan untuk percaya bahwa segala sesuatu dalam Kitab Suci setelah Kejadian 3:15 ialah berkenaan dengan Kerajaan Allah yang dikelola melalui penyingkapan perjanjian anugerah. Mayoritas kaum Injili Amerika memandang Kitab Suci terbagi menjadi periode-periode waktu terpisah yang masing-masing diatur oleh prinsip teologis yang berbeda secara substansi. Bila orang Kristen mengikuti pandangan populer terhadap Alkitab ini, mereka akan segera terpengaruh bahwa perjanjian yang baru di zaman kita bertentangan dengan banyak aspek Perjanjian Lama. Setidaknya ada tiga isu yang kerap diangkat: perbuatan dan anugerah, iman jemaat dan iman pribadi, serta perkara duniawi dan rohani. Pertama, banyak kaum injili meyakini bahwa penekanan Perjanjian Lama akan perbuatan baik tidak sesuai dengan keselamatan oleh anugerah melalui iman dalam Kristus. Kedua, hubungan jemaah Israel sebagai satu kesatuan komunitas dengan Allah tampaknya telah diganti dengan fokus pada hubungan tiap individu secara pribadi dengan Allah. Ketiga, banyak orang injili percaya bahwa panggilan Perjanjian Lama untuk mendirikan kerajaan Allah secara fisik di bumi kontras dengan penekanan Perjanjian Baru terhadap kerajaan rohani dalam Kristus. Teologia perjanjian memampukan para teolog Reformed untuk melihat bahwa sesungguhnya Perjanjian Baru (PB) dan Perjanjian Lama (PL) sangat serupa dalam ketiga hal ini. Pertama, pandangan bahwa keselamatan oleh anugerah melalui iman dalam Kristus merupakan satu-satunya jalan keselamatan dalam PB maupun PL. Seluruh Alkitab menuntut perbuatan baik karena iman yang menyelamatkan selalu menghasilkan buah ketaatan kepada Allah. Kedua, teologia perjanjian membantu kita melihat bahwa baik PL maupun PB berbicara tentang relasi dengan Allah secara pribadi dan korporat. Seluruh perjanjian Allah meliputi kedua tataran tersebut. Ketiga, teologia perjanjian menunjukkan bahwa Kerajaan Allah sejak semula senantiasa bersifat rohani sekaligus berada di bumi. PL dan PB berfokus pada pelayanan kita dalam kedua ranah tersebut. Dalam hal-hal itu dan juga yang lain, teologia perjanjian memiliki pandangan yang lebih luas bagi kaum injili. Lebih lagi, kita mendapati bahwa teologia Reformed telah dipersempit menjadi sesuatu yang sering kita sebut doktrin anugerah - kepercayaan terkenal seperti kerusakan total, pemilihan tak bersyarat, penebusan terbatas, anugerah yang tidak dapat ditolak, dan ketekunan orang kudus. Tentu kita harus menghargai nilai kebenaran Kitab Suci ini, tetapi, ketika gagal menekankan kerangka pikir teologia perjanjian yang lebih luas, pengertian kita tentang Alkitab akan segera jatuh ke dalam tiga area ini. Pertama, doktrin anugerah tanpa teologia perjanjian telah membuat sebagian orang meyakini bahwa teologia Reformed terutama mengajarkan bahwa anugerah Allah menopang kehidupan orang Kristen sejak awal hingga akhir. Tentu saja hal ini benar. Namun, perjanjian dalam PL dan PB secara konsisten mengajarkan bahwa Allah selalu menuntut usaha sepenuh hati dari umat-Nya sebagai respon terhadap anugerah-Nya, dan bahwa Ia akan memberikan upah bagi ketaatan dan menghukum ketidaktaatan. Kedua, terlepas dari teologia perjanjian, banyak orang dalam lingkaran kita tampaknya berpikir bahwa teologia kita hanyalah tentang mencari cara-cara Reformed yang unik bagi individu untuk meningkatkan hubungan mereka dengan Allah. Pada zaman kita, sejumlah jalan menuju kekudusan dan saat teduh pribadi telah dianggap fitur sentral dalam teologia Reformed. Padahal, teologia perjanjian juga menekankan relasi komunal kita dengan Allah, sama pentingnya seperti nilai seorang individu dalam Alkitab. Tidak ada perjanjian dalam Alkitab yang dibuat dengan satu orang saja. Perjanjian-perjanjian tersebut juga melibatkan relasi yang dibangun Allah dengan sekelompok orang. Karena alasan ini, kedua perjanjian mengajarkan bahwa keluarga umat percaya merupakan komunitas perjanjian yang di dalamnya anugerah Allah diteruskan dari generasi ke generasi. Selain itu, gereja yang kelihatan (visible church) dalam PL dan PB merupakan komunitas perjanjian yang melaluinya kita menerima injil dan anugerah.
Ketiga, doktrin anugerah dengan mudah memberikan kesan bahwa teologia Reformed hanya mengurusi hal-hal spiritual. Banyak orang dalam lingkungan kita begitu peduli dengan transformasi batin melalui pengertian Kitab Suci yang benar. Namun, sering kali kita mengabaikan dampak fisik dan sosial dari dosa dan keselamatan. Teologia perjanjian memberi kita visi (pandangan) yang jauh lebih luas serta mengagumkan mengenai pengharapan kita sebagai orang Kristen. Dalam PL dan PB, orang percaya memperluas Kerajaan Allah baik secara rohani maupun jasmani. Kita harus mengajarkan Injil Kristus kepada segala bangsa supaya orang diubahkan dalam hal spiritual, tetapi pembaharuan spiritual ini ialah bagi perluasan kerajaan Kristus kepada setiap faset dan kultur di seluruh dunia. Semua pembahasan di atas menyatakan bahwa teologia perjanjian memiliki banyak hal untuk ditawarkan kepada setiap orang Kristen. Jadi, ketika kita bertanya pada diri sendiri, "Apakah teologia Reformed itu?" kita dapat dengan yakin menjawab, "Teologia Reformed adalah teologia perjanjian."(t/joy)
Memperingati HUT e-Reformed ke-14 dan Hari Reformasi GerejaDua hari ini adalah hari yang bersejarah bagi e-Reformed.
HUT e-Reformed ke-14 dan Hari Reformasi Gereja : Mengingat Lima SolaHari ini adalah Hari Ulang Tahun e-Reformed ke-14 dan besok adalah Hari Reformasi Gereja. Kami redaksi e-Reformed mengucap syukur atas penyertaan Tuhan sejak 1517, Martin Luther, John Calvin, dan tokoh-tokoh reformasi lainnya memperjuangkan kebenaran di tengah kesesatan gereja pada masa itu, hingga hari ini perjuangan tersebut masih boleh diperingati sebagai Hari Reformasi Gereja tgl 31 Oktober. Gerakan Reformed inilah yang juga menjadi dasar lahirnya publikasi e-reformed tgl 30 Oktober 1999. selengkapnya...» PERAYAAN 15 TAHUN SABDA(1994 -- 2009) Merayakan kebaikan Tuhan adalah keharusan bagi orang-orang yang mengasihi Tuhan, demikian juga bagi Yayasan Lembaga SABDA (YLSA). Tahun 1994 adalah tahun istimewa karena walaupun organisasi YLSA belum lahir (akta resmi tahun 1995) tapi benih visi pelayanan YLSA dalam bidang "Biblical Computing" telah diberikan Tuhan kepada pendiri YLSA pada awal tahun itu. Dengan ditandai oleh hadirnya produk pertama pada bulan Oktober 1994, yaitu modul teks digital Alkitab TB dan BIS dari LAI yang dikerjakan untuk proyek OnLine Bible -- maka sejak itu YLSA dengan setia menjalankan visi "Biblical Computing" yang Tuhan taruh dalam hati kami. Tahun 2009 bulan Oktober menjadi peringatan 15 tahun sejak benih visi YLSA itu ditanamkan dan akhirnya menjelma menjadi SABDA, software Alkitab lengkap pertama dalam bahasa Indonesia yang sampai sekarang menjadi alat tercanggih yang sangat berguna untuk mempelajari Alkitab. Puji Tuhan! selengkapnya...» Welcome Letter Situs SOTeRISelamat datang di Situs SOTeRI! Doa dan harapan kami, bahan-bahan yang terdapat dalam situs ini dapat memberikan wawasan tentang corak pemahaman teologia Reformed yang alkitabiah. Biarlah dengan memiliki pengajaran Alkitab yang benar maka hidup kerohanian kita juga semakin berbuah dan memberikan kemuliaan hanya bagi Tuhan saja. Soli Deo gloria!Perspektif Alkitab tentang AborsiPenulis_artikel:
Ed Walsh
Tanggal_artikel:
26/02/2025
Isi_artikel:
Aborsi mungkin merupakan masalah sosial yang paling banyak diperdebatkan pada zaman kita. sekitar 879.000 aborsi terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2017. Tingkat aborsi pada tahun 2015 adalah 11,8 aborsi per 1.000 wanita berusia 15 -- 44 tahun, dan rasio aborsi adalah 188 aborsi per 1.000 kelahiran hidup. Menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2013, hanya sembilan negara di dunia yang memiliki tingkat aborsi yang dilaporkan lebih tinggi daripada Amerika Serikat. Mereka adalah: Bulgaria, Kuba, Estonia, Georgia, Kazakhstan, Rumania, Rusia, Swedia, dan Ukraina. Dengan lebih dari 61 juta aborsi yang terjadi sejak tahun 1973, hampir setiap orang memiliki pendapat tentang masalah ini. Isu aborsi telah digunakan sebagai simbol kemerdekaan dalam gerakan feminis, dan telah diselimuti oleh banyak isu lain seperti pemerkosaan dan inses. Namun, untuk mendapatkan pandangan Alkitabiah tentang aborsi, seseorang harus menghilangkan noda yang mengaburkan pertanyaan utama tentang aborsi, dan memusatkan perhatian pada esensi masalah tersebut.
Titik utama konflik dalam seluruh perdebatan aborsi adalah pertanyaan kapan kehidupan dimulai. Jika memang kehidupan dimulai sejak dalam kandungan, maka tidak ada yang bisa membantah bahwa fetus (Latin: 'anak kecil') adalah manusia, dan tunduk pada hak-hak (hukum Allah tentang kemanusiaan) yang selayaknya manusia. Pertama, Alkitab menetapkan bahwa Allah mengenali seseorang bahkan sebelum ia dilahirkan. "Tuhan telah memanggil aku sejak dalam kandungan" (Yesaya 49:1, AYT). Keluaran 21:22-23 menggambarkan situasi ketika seorang pria memukul seorang wanita hamil dan menyebabkan perempuan itu melahirkan sebelum waktunya. Jika "tidak ada luka berat", laki-laki itu diharuskan membayar denda, tetapi jika ada "luka berat" baik pada ibu atau anak, maka laki-laki itu bersalah atas pembunuhan dan diancam hukuman mati. Perintah ini dengan sendirinya melegitimasi kemanusiaan anak yang belum lahir, dan menempatkan anak pada tingkat yang setara dengan laki-laki dewasa yang menyebabkan keguguran. Dukungan Alkitab berlimpah bagi status kemanusiaan seorang anak yang belum lahir. "Sebab Engkau membentuk bagian dalam tubuhku, Engkau menenun aku di dalam rahim ibuku. Aku hendak mengucap syukur kepada-Mu karena aku dibuat dengan dahsyat dan ajaib . . . mata-Mu telah melihat janinku, di dalam kitab-Mu semua tertulis, hari-hari yang akan disusun bagiku, ketika belum ada satu pun darinya" (Mzm. 139:13-16, AYT). Alkitab, pada kenyataannya, menggunakan kata Yunani yang sama untuk menggambarkan Yohanes Pembaptis yang belum lahir (Lukas 1:41,44), bayi Yesus yang baru lahir (Lukas 2:12,16), dan anak-anak kecil yang dibawa kepada Yesus untuk mendapat berkat-Nya (Lukas 18:15). Mungkin, penyataan Alkitab yang paling gamblang tentang status manusia dari bayi yang belum lahir terdapat dalam Yeremia 20, selama tangisan kesedihan Yeremia saat dia menyesali bahwa dia berharap dia tidak pernah dilahirkan, "Terkutuklah orang yang membawa berita kepada ayahku, yang berkata, 'Seorang bayi laki-laki telah dilahirkan bagimu,' yang membuatnya sangat bahagia ... karena dia tidak membunuhku sejak dalam rahim, sehingga ibuku akan menjadi kuburanku" (Yeremia 20:15-17, AYT). Dalam ayat-ayat yang disebutkan di atas, dan dalam ayat-ayat lain yang tak terhitung jumlahnya, Alkitab benar-benar mengonfirmasi bahwa seorang anak yang belum lahir di mata Allah adalah sama seperti kita sendiri. Ini menunjukkan bahwa perintah "Jangan Membunuh" (Keluaran 20:13) tentu berlaku untuk yang belum lahir maupun yang sudah lahir. Jadi, ketika kita membaca Kejadian 9:6, realisasi penuh dari apa artinya pembunuhan menjadi fokus, "Siapa pun yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan ditumpahkan oleh manusia. Sebab, Allah menciptakan manusia sesuai dengan rupa-Nya sendiri." Pembunuhan adalah kekejian di hadapan Allah karena itu adalah pembunuhan yang tidak sah terhadap makhluk yang diciptakan menurut gambar-Nya sendiri, dan pengaburan perbedaan pencipta/makhluk (lih. Roma 1).
Kekristenan yang alkitabiah tidak hanya menawarkan penghakiman atas masalah tersebut, dan kemudian menentangnya.
Meskipun pertanyaan tentang kapan kehidupan dimulai penting bagi banyak orang, pertanyaan yang lebih mewakili pandangan hari ini adalah "kualitas hidup seperti apa yang harus dipertahankan?" Apakah janin telah memperoleh kualitas hidup yang layak dipertahankan? Ini adalah pertanyaan yang berbahaya, memang. Siapa di antara kita, yang sudah lahir, yang dapat memutuskan pertanyaan seperti itu? Apakah kita menerapkan pertanyaan ini pada setiap manusia? Apakah janin, atau bahkan bayi dengan Down syndrome memiliki kualitas hidup yang setara dengan kualitas hidup normal? Pertanyaan-pertanyaan ini hanya mengarah pada semacam elitisme genetik, dan bahkan tidak boleh diajukan dengan hati nurani yang baik. Mungkin, ironi terbesar yang ditemui saat menilai mereka yang ingin menjadikan aborsi sebagai masalah keadilan sosial adalah bahwa banyak dari keadilan sosial ditujukan untuk memberikan pertolongan dan keadilan bagi mereka yang tidak mampu berbicara dan berbuat untuk diri mereka sendiri -- mereka yang lemah lembut. Namun, dari mulut yang sama yang mengatakan kita harus melindungi para tunawisma, yang tidak punya uang, hewan dan lingkungan muncul kata-kata yang berbicara tentang membunuh manusia yang belum lahir! Kontradiksi ini tidak boleh diabaikan, jangan sampai kita gagal melihat kekejaman, merendahkan kemanusiaan, dan pelanggaran ketetapan Allah yang benar didukung oleh mereka yang bersembunyi di balik naungan pembelaan-pilihan. Ibu Teresa, mungkin salah satu pejuang paling terkenal di dunia dari orang-orang kurang mampu mengatakan dalam sebuah pidato baru-baru ini di Washington, "Jika kita menerima bahwa seorang ibu bahkan dapat membunuh anaknya sendiri, bagaimana kita bisa memberitahu orang lain untuk tidak membunuh satu sama lain? ... Setiap negara yang menerima aborsi tidak mengajarkan rakyatnya untuk mencintai, tetapi menggunakan kekerasan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan." Juga, hasil logis dari keinginan untuk "aborsi sesuai permintaan" adalah pembunuhan bayi dan eutanasia -- membunuh bayi yang baru lahir jika memiliki kelainan fisik atau mental, dan membunuh mereka yang dirasa menyusahkan untuk dirawat. Ketika nyawa manusia direndahkan sampai-sampai rahim, simbol ketenangan dan kedamaian, menjadi tempat kematian; bahkan yang sudah lahir akan mulai kurang menghargai kehidupan satu sama lain. Kekristenan yang alkitabiah tidak hanya menawarkan penghakiman atas masalah tersebut, dan kemudian menentangnya. Tentu saja ada beberapa situasi sulit yang dialami kaum wanita, dan komunitas Kristen menawarkan banyak saluran untuk membantu para wanita ini yang sering tidak mampu memiliki anak, atau yang tidak memiliki situasi yang sangat baik untuk membesarkan anak seperti Bethany Christian Services. Adopsi bayi-bayi ini mungkin yang paling jelas. Alternatif lain adalah sebuah keluarga menyediakan kamar dan pondokan untuk seorang ibu selama dia melahirkan bayinya. Pandangan Kristen adalah bahwa seorang wanita seharusnya tidak pernah membuat pilihan antara bayinya dan dirinya sendiri. Bahkan, ada daftar tunggu orang-orang yang ingin mengadopsi anak penderita Down Syndrome. Ya, Firman Allah memberi kita pernyataan yang jelas dan dapat dimengerti tentang pandangan Allah mengenai anak yang belum lahir menjadi manusia yang tunduk pada perlindungan hukum kebenaran-Nya. (t/Jing-jing) Bibliografi
Sumber Artikel:
Dua Tesis Luther tentang Orang KristenDua Tesis Saya ingin mengajukan dua tesis supaya kita dapat memiliki pemahaman mendasar tentang apa itu seorang Kristen dan apa yang telah dilakukan [untuk mencapai] kebebasan yang telah dimenangkan dan diberikan Kristus untuknya, yang tentang hal itu banyak ditulis oleh Rasul Paulus. : Seorang Kristen adalah tuan yang bebas atas segala sesuatu, dan tidak tunduk pada siapa pun. selengkapnya...» Komentar![]() |
Publikasi e-ReformedRSS Blog SABDA
|