Tentang KamiArtikel TerbaruUpdate Terakhir |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SOTeRI HistorikaTeologia Historika adalah teologia yang dilihat menurut sejarah umat Allah dan Alkitab serta gereja sejak zaman Kristus.
Misteri Inkarnasi
Editorial:
Dear Pembaca e-Reformed, Iman Kristen penuh dengan berbagai misteri karya Allah. Peristiwa penciptaan, sejarah umat Allah, kelahiran Kristus sampai kepada kebangkitan-Nya, merupakan beberapa misteri iman kita. Tentu saja, semua hal tersebut menjadi misteri karena keterbatasan kita yang tidak mampu menyelami maksud dan cara Allah. Kelahiran Kristus -- yang menjadi awal dari karya keselamatan dan penebusan -- menjadi misteri yang besar. Dalam pemikiran manusia secara umum, bahkan dalam wacana agama apa pun, Allah dikenal begitu transenden dan berjarak dari umat-Nya. Sementara itu, pada peristiwa Natal, Allah berinkarnasi menjadi manusia. Allah yang transenden itu menjadi imanen. Yang kekal menjadi fana dan diam bersama kita. Jika bukan karena karya Roh Kudus, kita pasti akan sulit memercayai karya keselamatan Allah, bahkan mungkin menganggapnya absurd dan sesat. Menyambut masa Adven yang akan segera tiba, publikasi e-Reformed bulan ini akan menyajikan artikel tentang misteri inkarnasi Kristus yang dinyatakan oleh Paulus dalam surat-suratnya. Melalui artikel ini, kita akan diajak melihat tentang betapa dalamnya makna dari inkarnasi Kristus beserta implikasinya bagi iman Kristen. Kristus, Allah yang menjadi manusia itu, sungguh patut kita muliakan dalam segala aspek kehidupan ini. Kiranya dengan semakin bertambahnya pemahaman kita dalam memaknai inkarnasi Kristus, semakin bertambah dalam penyembahan kita terhadap Dia, Raja di atas segala raja. Soli Deo gloria!
Edisi:
Edisi 206/November 2018
Isi:
Ada banyak hal dalam hidup yang membuat kita terheran-heran; dunia kita penuh dengan misteri yang dalam, tetapi misteri terbesar dari semua itu adalah misteri inkarnasi. Salah satu pernyataan paling mendalam dari misteri ini terdapat dalam 1 Timotius 3:16: “Kita mengakui betapa besarnya rahasia kesalehan itu: ‘Ia, dinyatakan dalam daging, dibenarkan oleh Roh, dilihat oleh malaikat-malaikat, diberitakan di antara bangsa-bangsa, dipercaya dalam dunia, diangkat kepada kemuliaan.’” (1) Ayat ini merangkum sebuah bagian yang di dalamnya Paulus membahas gereja dan majelis jemaatnya. Karena gereja adalah pilar dan penopang kebenaran, maka fokus dari hidup dan pesan gereja adalah Tuhan Yesus Kristus. Paulus memulai dengan sebuah pernyataan tentang misteri kesalehan: “Kita mengakui betapa besarnya rahasia kesalehan itu.” Dengan frasa “kita mengakui”, dia mengatakan bahwa misteri ini harusnya menjadi fondasi kesaksian gereja. Dengan frasa ini, dia mengajarkan bahwa hal itu adalah tanpa kontroversi; sesuatu yang telah diakui benar. Dia tidak mengacu kepada pengakuan gereja, tetapi kepada sebuah keyakinan inti yang tidak perlu diperdebatkan. Dengan perkataan lain, jika seseorang adalah Kristen, dia harus berkomitmen terhadap kebenaran yang dinyatakan dalam kalimat ini. Paulus menyebut kebenaran yang tidak dapat disangkal ini dengan “rahasia kesalehan”. Dalam Roma 16:25-26, Paulus menjelaskan apa yang dia maksudkan dengan misteri: “Bagi Dia yang sanggup meneguhkan kamu sesuai Injil yang kubawa dan pemberitaanku tentang Yesus Kristus, dan yang sesuai dengan penyingkapan rahasia yang telah disembunyikan selama berabad-abad, tetapi yang sekarang telah dinyatakan melalui kitab-kitab para nabi, sesuai dengan perintah Allah yang kekal yang telah diberitahukan kepada segala bangsa untuk memimpin menuju ketaatan iman”. Rahasia ilahi bukanlah fenomena yang hanya diketahui dan dipahami oleh beberapa orang tertentu, melainkan kebenaran yang disabdakan sejak kekekalan dan dinubuatkan dalam Perjanjian Lama, tetapi hanya benar-benar digenapi melalui wahyu kerasulan. Misteri tertentu yang dibukakan secara samar dalam Perjanjian Lama ini adalah kerendahan dan kemuliaan Allah berinkarnasi, yang dengan itu orang-orang bukan Yahudi pun masuk ke dalam gereja. Pikiran kita meragukan misteri inkarnasi dan implikasinya ini; itu ada di luar batas kemampuan pemahaman kita. Injil adalah sebuah misteri, tetapi misteri yang dibukakan secara jelas dalam Perjanjian Baru. Perhatikan juga tujuan dari pesan ini. Sebelumnya, Paulus menulis, “Namun, tujuan dari perintah itu adalah kasih yang berasal dari hati yang murni, nurani yang baik, serta iman yang tulus” (1 Timotius 1:5). Oleh karena itu, dia menyebut kebenaran ini “rahasia kesalehan”. Ini bukanlah misteri yang menggelitik otak orang pintar atau sekelompok orang saja; ini bukanlah misteri yang menimbulkan diskusi abstrak meski pikiran kita direntangkan dengan kebenaran-kebenaran Kitab Suci dan kita suka memikirkan tentang doktrin-doktrin firman Allah yang indah. Kebenaran ini, seperti semua kebenaran Allah, mendatangkan kesalehan. Di sini, kita mendapati esensi dari apa yang kita sebut Calvinisme praktis. Semua kebenaran Alkitab harus diterima sedemikian rupa sehingga menghasilkan kesalehan dan penyembahan. Maka dari itu, perenungan akan misteri ini seharusnya mengubahkan. Paulus menyingkapkan misteri itu dalam paruh kedua dari ayatnya: “Ia, dinyatakan dalam daging, dibenarkan oleh Roh, dilihat oleh malaikat-malaikat, diberitakan di antara bangsa-bangsa, dipercaya dalam dunia, diangkat kepada kemuliaan.” Format kalimat ini sendiri menarik karena tampak seperti kalimat liturgis -- entah itu sebuah pengakuan atau himne. Barangkali, itu merupakan potongan puisi yang paling menggugah rasa ingin tahu dalam Perjanjian Baru. Kita melihat rancangan artistik paling teliti di ayat ini dalam penyusunan tata bahasanya, 3 bait dalam 6 baris, dengan masing-masing baris memiliki susunan tata bahasa yang sama. Bait pertama berkenaan dengan karya Kristus yang diselesaikan; bait kedua, diberitakan; dan bait ketiga, diakui. Lagi pula, masing-masing bait menyatakan kontras antara bumi dan surga: “dinyatakan dalam daging” -- duniawi, “dibenarkan oleh Roh” -- surgawi; “dilihat oleh malaikat-malaikat” -- surgawi, “diberitakan di antara bangsa-bangsa” -- duniawi; “dipercaya dalam dunia” -- duniawi, “diangkat kepada kemuliaan” -- surgawi. Yang terakhir, kalimat ini dimulai dengan kerendahan Kristus dan diakhiri dengan kemuliaan-Nya. Lebih dari semua itu, struktur yang disesuaikan ini menjadi pernyataan yang mengesankan tentang inkarnasi. Apakah pernyataan dan pengakuan gereja yang terbesar? Seperti yang ditulis di atas, bait pertama berkenaan dengan kerendahan dan kemuliaan Juru Selamat yang berinkarnasi: Ia, dinyatakan dalam daging, dibenarkan oleh Roh. Di sini, terdapat perbedaan secara teks antara teks di New King James Version dan NASB atau ESV. Dua yang disebutkan terakhir menulis “yang dinyatakan (dimanifestasikan) dalam daging”. NKJ menulis “Allah dimanifestasikan (dinyatakan) dalam daging”. Sebenarnya, tidak ada perbedaan secara doktrin. Istilah “Ia” menunjuk kepada Kristus; Dia adalah Allah yang telah menjadi daging. NKJ membuat implikasinya lebih jelas dengan menyatakan bahwa Allah telah datang dalam daging. Banyak di antara kita yang sudah lama mengetahui kebenaran ini dan cenderung cepat-cepat melewatkannya; meski demikian, ini benar-benar sebuah misteri yang dalam. Kata dinyatakan (dimanifestasikan) menandakan keberadaan tertinggi Yesus Kristus. Paulus lebih jauh menyatakan keberadaan-Nya yang tertinggi dalam Galatia 4:4: “Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan lahir di bawah Hukum Taurat”. Dengan kata-kata sederhana ini, Paulus menyatakan keilahian Juru Selamat kita. Sebab, anak kalimat “Allah mengutus Anak-Nya”, menyatakan secara tidak langsung ketuhanan dan kekekalan Sang Anak. Ketika kita memberitahukan kelahiran seorang bayi, kita tidak berkata, “Kami dengan bahagia memberitahukan bahwa Allah telah mengutus Jacob Belden ke dalam dunia.” Paulus memakai kalimat yang menuntut kita mengerti bahwa Dia yang lahir dari seorang wanita sudah ada. Sang Anak ada bersama dengan Bapa, dan Bapa mengutus Dia ke dalam dunia. Sang Anak bukanlah seseorang yang baru ada setelah Dia lahir. Allah mengutus Anak-Nya ke bumi (bandingkan Yohanes 3:16). Dia datang ke bumi dengan lahir melalui seorang wanita. Dalam hal ini, Paulus menekankan catatan yang mulia tentang kehamilan perawan, yang dinyatakan di Lukas 1:26-38. Dua frasa sederhana ini -- “diutus” dan “lahir dari wanita” -- merangkum misteri inkarnasi. Anak Allah yang kekal diutus ke dalam dunia melalui proses yang memakai natur manusia di dalam rahim Perawan Maria. Maka dari itu, Dia adalah pribadi yang memiliki dua natur yang sangat berbeda. Luther menyatakan pemahamannya tentang ini dalam himne adven yang dia buat, “Semua memuji Engkau, Tuhan yang kekal”. Dulu langit bersujud di hadapan-Mu; Kita menyatakan kebenaran ini dengan istilah inkarnasi. Sebagaimana yang ditulis oleh Rasul Yohanes dalam Yohanes 1:14, “Firman itu telah menjadi daging dan tinggal di antara kita. Kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan Anak Tunggal Bapa, penuh dengan anugerah dan kebenaran.” Katekismus Kecil Westminster merangkum peristiwa tersebut demikian: “Bagaimana Kristus, yang adalah Anak Allah, menjadi manusia? Kristus, Anak Allah, menjadi manusia dengan cara mengenakan tubuh yang sejati, dan jiwa yang berakal. Dia dikandung oleh kuasa Roh Kudus, dalam kandungan anak dara Maria, dan lahir dari dia, kendati tanpa dosa.” (S.C. 22) Yang tersirat dalam pernyataan di dalam daging ini adalah kerendahan-Nya. Allah merendahkan diri untuk mengenakan natur manusia, daging. Paulus menyatakan hal yang sama dalam kalimat sederhana di Galatia 4:4, “Dia lahir di bawah Hukum Taurat.” Meski Yesus adalah pewaris atas segala sesuatu, Dia lahir di bawah Kovenan Musa (Inggris: Mosaic Covenants) dengan semua kewajibannya. Dia merendahkan diri-Nya sendiri dan tunduk pada aturan-aturan ketentuan Musa. Dia menggenapi semua nubuat dan tanda-tandanya. Dia adalah nabi, imam, dan raja yang sempurna. Dia memberikan nyawa-Nya sebagai korban persembahan yang sempurna. Sekali lagi, Katekismus Kecil Westminster menjelaskan hal-hal ini sebagai kerendahan atas diri-Nya, “Apa yang tercakup dalam kerendahan Kristus? Apa yang tercakup dalam kerendahan Kristus ialah yang ini. Dia lahir, bahkan dalam kedudukan yang hina, dibuat takluk pada Hukum Taurat, mengalami kemalangan kehidupan ini, murka Allah, dan kematian di kayu salib, yang terkutuk. Dia dikuburkan, dan selama beberapa waktu, Dia berada di bawah kuasa maut.” (S.C. 27) Dengan tunduk pada hukum sebagai Kovenan Karya (Inggris: Covenant of Works), Kristus ada dalam perjanjian untuk menaati hukum Allah yang sempurna dan menanggung kutukan setiap pelanggaran hukum. Khususnya, Dia menaati perintah moral dengan sempurna (ketaatan-Nya yang aktif) dan Dia memenuhi kutukan penghakiman Allah (ketaatan-Nya yang pasif). Dalam kapasitasnya, sebagai seseorang yang dilahirkan di bawah hukum, Yesus menebus umat-Nya. Galatia 4:5 mengandung dua tujuan anak kalimat, “untuk menebus mereka yang ada di bawah Hukum Taurat supaya kita dapat menerima pengangkatan sebagai anak-anak-Nya”. Kata Bahasa Yunani yang sama yang dipakai untuk kata “untuk” dan kata “supaya”. Kalimat tujuan pertama menjelaskan karya Kristus: Dia datang untuk menebus. Anda tidak boleh memisahkan kebenaran inkarnasi dari penebusan. Ada dua aspek utama yang ada dalam penebusan kita: penghapusan kutukan dan pemulihan warisan. Paulus menjelaskan aspek pertama tentang karya penebusan Kristus dalam Galatia 3:13, “Kristus menebus kita dari kutuk Hukum Taurat dengan menjadi kutuk bagi kita, sebab ada tertulis, ‘Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!’” Juru Selamat kita menggenapi murka dan kutuk Allah terhadap orang berdosa untuk menyelamatkan kita dari hukuman kekal akibat dosa. Berdasarkan karya ini, Allah membenarkan umat-Nya. Katekismus Kecil 33 mendefinisikan pembenaran dengan baik: “Pembenaran adalah tindakan rahmat Allah yang bebas. Dengannya, Dia mengampuni segala dosa kita dan menerima kita sebagai orang yang benar dalam pandangan-Nya, hanya karena kebenaran Kristus yang diperhitungkan kepada kita dan yang diterima hanya oleh iman.” Kita tahu bahwa Allah melakukan dua hal ini dalam pembenaran kita: Dia mengampuni dosa-dosa kita dan mengangkat kita menjadi orang yang benar secara sah. Dalam Galatia 4:5, rasul mengacu ke aspek kedua dari karya penebusan Kristus, yaitu pemulihan warisan yang hilang. Aspek kedua ini dinyatakan dalam Imamat 25:25, “Jika seseorang di negerimu menjadi miskin dan terpaksa menjual sebagian tanahnya, keluarga terdekatnya harus datang dan menebus tanah itu kembali.” Allah menggambarkan transaksi ini dengan indah dalam kisah Rut dan Boas. Naomi telah kehilangan warisannya akibat kematian suaminya, Elimelekh. Keluarga terdekatnya, Boas, membayar utang (tebusan) itu dan memulihkan warisan itu. Ketika Adam jatuh ke dalam dosa, kita semua kehilangan warisan kita. Dia memiliki kesempatan untuk diadopsi menjadi anak Allah, tetapi pemberontakan-Nya menjadikan dia anak Setan, anggota kerajaan kegelapan. Sebagai akibatnya, tidak ada seorang pun di antara kita yang berdasarkan kelahiran adalah para pewaris Allah, tetapi kita semua adalah anak Setan. Agar warisan dipulihkan, pembayaran penuh harus ditebus. Pembayaran ini adalah ketaatan Kristus yang aktif dan pasif. Kristus menaati Hukum Taurat dengan sempurna dan membebaskan kita dari kutuk; Dia membayar utang itu. Karena karya penebusan-Nya, kita memperoleh warisan itu. Paulus mengembangkan kebenaran ini dalam anak kalimat tujuan kedua: supaya kita diterima menjadi anak. Dengan pengangkatan sebagai anak, Paulus menjelaskan relasi unik yang Allah berikan kepada semua orang yang dibenarkan dalam Kristus. Katekismus Kecil 34 mendefinisikan pengangkatan sebagai anak demikian: “Pengangkatan sebagai anak adalah tindakan rahmat Allah yang bebas. Dengannya, kita terhisab anak-anak Allah dan berhak menerima semua hak yang mereka miliki”. Kita bukan saja dimasukkan sebagai anggota keluarga, tetapi kita juga memiliki semua hak istimewa sebagai anak Allah. Hak-hak istimewa ini adalah warisan kita. Namun, jika Kristus tetap mati, perkiraan musuh-musuh-Nya akan terbukti benar, tetapi bagian kedua bait itu berbunyi, “Dia dibenarkan oleh Roh”. Istilah dibenarkan (Inggris: vindicated) adalah kata yang biasanya diterjemahkan sebagai 'dibenarkan' (Inggris: justified). Pembenaran Kristus adalah pernyataan Allah bahwa Dia menerima korban yang dipersembahkan. Dia dibenarkan, dinyatakan sebagai Anak Allah yang kudus. Dalam pembenaran-Nya terdapat pembenaran kita: “Yaitu, Yesus yang telah diserahkan untuk mati karena dosa kita, dan yang telah dibangkitkan demi pembenaran kita” (Roma 4:25). Dengan istilah Roh, Paulus menunjuk kepada Roh Kudus, menyejajarkannya dengan apa yang dia tulis dalam Roma 1:4, “dan yang dinyatakan sebagai Anak Allah yang berkuasa melalui kebangkitan dari antara orang mati menurut Roh Kekudusan, yaitu Kristus Yesus, Tuhan kita”. Kebangkitan terjadi oleh kuasa Roh. Karena itu, di bait pertama, Paulus mengajarkan bahwa Juru Selamat yang berinkarnasi menuntaskan penebusan dengan sempurna. Perhatikan, Dia haruslah seorang manusia supaya bisa menebus manusia yang cemar, penuh dosa (Ibrani 2:14, 15); Dia haruslah Allah supaya bisa memberikan keampuhan yang tak terbatas dan kekal pada karya-Nya (Kisah Para Rasul 20:28). Bait kedua berkenaan dengan pemberitaan karya Kristus: “dilihat oleh malaikat-malaikat, diberitakan di antara bangsa-bangsa”. Bait ini diawali di surga; kebangkitan Kristus disaksikan oleh para malaikat. Tentu saja, sepanjang hidup-Nya, Dia dilihat oleh para malaikat. Mereka memberitakan berita tentang kelahiran-Nya sebelum itu terjadi kepada Maria dan Zakharia (Lukas 1:18-21, 26-38) dan pada hari kelahiran-Nya, mereka mengabarkan kepada para gembala (Lukas 2:8-14). Mereka melayani Dia di padang gurun (Matius 4:11) dan mereka adalah saksi bisu atas kematian-Nya (Matius 26:53). Namun, para malaikat juga adalah saksi atas kemuliaan-Nya: mereka adalah yang pertama mengabarkan kebangkitan-Nya (Matius 28:2-7); mereka melihat Dia penuh kemenangan masuk ke istana surga pada hari kenaikan-Nya (Mazmur 68:17, 18; Efesus 4:8-10); saat ini, mereka terus-menerus berkumpul di depan takhta-Nya, memuji-muji Dia (Wahyu 5:11-14). Bersama dengan proklamasi surgawi ini adalah: “diberitakan di antara bangsa-bangsa” yang duniawi. Kristus kita yang mulia harus dikabarkan sampai ke ujung bumi. Di sini, kita memperhatikan kaitan kalimat ini dengan tujuan gereja di ayat 15. Gereja telah menerima misteri yang mulia ini sehingga gereja bisa memproklamasikan keunggulan Kristus. Bagi Paulus, bagian dari misteri ilahi adalah dimasukkannya orang bukan Yahudi ke dalam gereja. Separuh kedua di bait kedua adalah mandat Gereja; kita mengabarkan Kristus yang mulia sampai ke ujung bumi sampai Dia datang kembali. Karena itu, inkarnasi mencakup misi mandat gereja (Matius 28:18-20). Bait ketiga berkenaan dengan diterimanya karya Kristus: “Dipercaya di dunia, diangkat kepada kemuliaan.” Tugas kita bukan tidak pasti; Dia dipercaya di dunia. Gereja, pada dekade-dekade pertamanya, bisa mengakui bahwa Kristus telah dipercaya di dunia (Kolose 1:6, 23). Keyakinan ini didasarkan pada bagian surgawi-Nya: “diangkat kepada kemuliaan.” Dia dimuliakan di surga di sebelah kanan Allah Bapa (Mazmur 110:1; Efesus 1:20; Kolose 3:1). Segala otoritas telah diberikan kepada-Nya (Mazmur 2:8, 9; Matius 28:18); oleh karena itu, gereja dengan yakin memproklamasikan Injil kepada bangsa-bangsa, mengetahui bahwa berdasarkan karya inkarnasi Juru Selamat, Allah akan menyelamatkan semua umat pilihan-Nya. Terlebih lagi, karena Kristus ada di surga, Dia adalah penjamin kemuliaan kita. Karena Dia telah naik ke surga dan disambut dalam kemuliaan, kita akan bersama dengan Dia. Suatu hari kelak, kita akan melihat Dia dan menjadi serupa dengan Dia (1 Yohanes 3:2). Sungguh, ini adalah rahasia kesalehan! Pada akhir zaman, Juru Selamat yang berinkarnasi dan mulia itu akan menyempurnakan kita dalam kemuliaan. Ketika kita merenungkan kemuliaan inkarnasi Kristus, kita berseru bersama Yohanes, “Bagi Dia, yang mengasihi kita dan melepaskan kita dari dosa-dosa kita dengan darah-Nya -- dan telah menjadikan kita satu kerajaan, imam-imam bagi Allah dan Bapa-Nya, bagi Dialah kemuliaan dan kekuasaan sampai selama-lamanya! Amin” (Wahyu 1:5, 6)! (t/Jing-Jing) NOTES:
Calvinisme dan Transformasi Politik
Editorial:
Dear Pembaca e-Reformed, Jika pada edisi sebelumnya kita sudah melihat bagaimana pandangan teologi Reformed terhadap seni, pada edisi ini, kita akan melihat cara pandang Calvin dalam sistem politik. Seperti kita ketahui bersama, Reformasi Protestan membawa berbagai transformasi sosial di dunia, termasuk dalam sistem politik modern. Sistem republik menjadi salah satu warisan dari gelombang reformasi yang dibawa oleh Calvin. Sebagaimana pandangannya yang positif terhadap seni, Calvin juga memandang positif pemerintah yang dilihatnya sebagai bagian dalam ordo penciptaan. Dalam pandangannya, pemerintah merupakan wakil Allah yang berfungsi untuk menjaga relasi manusia dengan Allah dan sesama sehingga terjadi keadilan sosial. Pemerintahan demokratis dalam bentuk republik menjadi ide Calvin dalam membentuk pemerintahan yang ideal, yang kemudian diterapkan oleh Jenewa, dan 147 negara di dunia pada saat ini. Calvinisme, dengan demikian, menjadi prinsip yang membawa dunia terlepas dari pemerintahan kerajaan yang bersifat feodal dan cenderung tiran dari abad-abad sebelumnya. Untuk mengetahui lebih dalam tentang bagaimana transformasi politik dari calvinisme mengubah sistem politik dan pemerintahan dunia serta perkembangannya sekarang, mari kita bersama-sama menyimak publikasi e-Reformed bulan ini. Kiranya setelah membaca sajian kami, kita akan tergerak untuk melakukan transformasi sosial di negara kita, di tengah-tengah situasi sosial dan politik yang kian carut-marut akan hikmat duniawi.
Edisi:
Edisi 205/Oktober 2018
Isi:
Salah satu transformasi sosial yang paling terasa dari Reformasi Protestan (khususnya calvinisme) terlihat dari sistem perpolitikan modern. Hampir seluruh pemerintahan di dunia saat ini memakai sistem demokrasi yang berformat republik. Tercatat bahwa 147 dari 206 negara di dunia memakai republik sebagai nama resminya, belum lagi negara yang tidak memakai istilah republik, tetapi faktanya melakukan sistem perpolitikan ini. Sistem republik telah dikenal sejak zaman Yunani kuno, tetapi corak perpolitikan republik modern adalah bentuk khas milik calvinisme. Prinsip pemerintahan Jenewa diakui oleh kaum Puritan sebagai model pemerintahan Kristen yang hampir sempurna. Bisa dibilang, warisan paling abadi dari tradisi calvinisme adalah penekanan pada kedaulatan rakyat dan hak melawan tirani. Setelah hadirnya Calvin, pandangan politik ini diterima secara luas di seluruh dunia, yang pada abad-abad sebelumnya dipandang sebagai pandangan yang radikal. Bisa dibilang, prinsip calvinismelah yang telah melepaskan seluruh dunia dari ikatan tirani para raja pada abad-abad sebelumnya, dan membawa seluruh sejarah umat manusia memasuki zaman demokrasi modern. "Reformasi" Sebelum Reformasi, posisi gereja sangatlah dominan dan disertai aktivitas-aktivitas korup dari para rohaniwan dan pemerintah. Sebenarnya, pada masa ini, mulai muncul republik-republik kecil yang berusaha melawan pola sentralisasi dan monarki yang telah bertahan selama berabad-abad. Namun, salah satu penyebab sulitnya perubahan dilakukan adalah akibat ajaran gereja yang mewajibkan ketundukan mutlak umat Kristen kepada pemerintahan yang berkuasa. Ajaran gereja Abad Pertengahan didominasi oleh sosok Thomas Aquinas yang juga menulis beberapa karya tentang perpolitikan. Dia berpendapat bahwa pemerintahan tunggal oleh raja adalah bentuk pemerintahan terbaik. Ditambah lagi, kuatnya campur tangan gereja dalam setiap bidang kehidupan telah menyebabkan peradaban manusia tertinggal selama berabad-abad. Maka, Reformasi Protestan yang dimulai dengan melakukan reformasi doktrin berakhir pada reformasi seluruh tatanan masyarakat. Tokoh awal yang memulai Reformasi ini adalah Martin Luther. Bagi Luther, terdapat dua “kerajaan” yang harus dipisahkan, yaitu gereja dan pemerintah. Allah memimpin gereja melalui Injil-Nya, dan memimpin dunia melalui anugerah umum-Nya. Luther menyebutnya dengan kerajaan tangan kiri dan kerajaan tangan kanan karena keduanya dipimpin oleh tangan Allah. Bagi Luther, pemerintah hadir karena dosa. Allah yang melindungi Kain dari ancaman pembunuhan, setelah dia membunuh Habel. Maka, konsekuensinya, Luther merasa bahwa pemerintahan lebih bertujuan untuk mengatur orang tidak percaya daripada orang percaya. Pandangan lebih negatif terhadap pemerintah membuat Luther gagal memberikan kontribusi signifikan pada transformasi politik seperti yang dilakukan oleh Calvin. Ditambah lagi, Luther juga menekankan passive obedience di mana orang Kristen harus rela dianiaya oleh pemerintah yang zalim. Tokoh Reformasi kedua adalah Zwingli. Senada dengan Luther, Zwingli menekankan pemisahan kekuasaan antara gereja dan pemerintah. Jadi, bisa kita lihat, tokoh-tokoh sebelum Calvin belum mampu membuat terobosan berarti selain pemisahan kekuasaan. Berbeda dengan Luther yang dikaburkan oleh konsep kejatuhan, Calvin melihat pemerintahan memiliki nilai dan fungsi sebelum kejatuhan. Calvin membuat terobosan dengan menyebut dunia sebagai “teater kemuliaan Allah”. Terobosan ini tidak hanya membebaskan wilayah-wilayah sekuler dari cengkeraman gereja, tetapi juga membuat dunia sekuler dengan bebas memanifestasikan kemuliaan Allah. Ada beberapa tema penting dalam tulisan Calvin yang membuat sistem politiknya begitu kukuh. Pertama, pandangan positif terhadap pemerintah sebagai bagian dalam ordo penciptaan. Calvin menyebut para pemimpin sebagai "wakil-wakil Allah" yang ditetapkan Allah untuk menjaga dan mendorong penyembahan kepada Allah maupun mengatur harmoni antarmanusia agar terjadi keadilan sosial. Calvin berpendapat bahwa pelayanan dalam pemerintahan adalah panggilan paling sakral dan terhormat dari semua panggilan manusia. Kedua, doktrin mengenai kerusakan total manusia. Jika manusia dibiarkan tanpa hukum, mereka pasti akan terus berdosa dan mengacaukan tatanan masyarakat. Dengan masuknya dosa, pemerintah mempunyai tugas untuk melaksanakan penghakiman Allah dengan menyandang pedang bagi para pelanggar hukum. Begitu juga dengan pemerintahan yang berdosa, jika dibiarkan tanpa pengawasan, ia akan menjadi korup. Ini menjadi dasar dari prinsip Check and Balance. Selain itu, Calvin juga berpendapat bahwa rakyat kadang perlu mengangkat senjata untuk melaksanakan hukuman Allah kepada pemerintahan yang korup. Ketiga, mengenai prinsip penebusan serta transformasi segala sesuatu. Pemerintahan tiran yang gagal menjalankan fungsinya akan digulingkan Allah. Calvin lebih mendukung transformasi secara damai dan progresif untuk menghindari revolusi. Calvin mendorong rakyat untuk mendoakan pemerintah karena Allah dapat mengubah hati pemimpin dan agar pejabat-pejabat yang lebih rendah melakukan reformasi dan mengendalikan ketidakbermoralan para raja. "Republik dan Demokrasi" Terinspirasi dari kitab Keluaran 18, Calvin lebih memilih prinsip demokrasi secara republik. Musa dan rakyat memilih beberapa perwakilan pemimpin untuk menyampaikan aspirasi mereka. Calvin menyadari bahwa selama di Mesir, bangsa Israel hanya mengetahui kekuasaan mutlak seorang Firaun, jadi corak republik ini tidak mungkin berasal dari pikiran manusia. Konsep pemerintahan republik versi Israel ini adalah konsep orisinal dalam peradaban manusia jauh sebelum bangsa Yunani mengembangkan konsep republik versi mereka. Prinsip demokrasi ditekankan Calvin dalam penggunaan hak suara di mana para perwakilan dipilih tidak hanya oleh keinginan Musa, tetapi oleh suara rakyat. Calvin juga belajar banyak melalui prinsip hukum Perjanjian Lama di mana dalam sebuah republik, undang-undang adalah pengikat paling penting. Namun, berbeda dengan kaum theonomis maupun pendukung theokrasi, bagi Calvin, hukum Perjanjian Lama tidak harus dipaksakan di semua negara. Pandangan ini terlihat jelas terutama ketika Calvin melihat bahwa hukum-hukum ritual bangsa Israel sudah tidak berlaku. Tiap bangsa bebas membuat hukumnya sendiri-sendiri, asalkan hukumnya sesuai hukum kasih. Dalam aplikasinya, Calvin merekomendasikan pembatasan-pembatasan hak pejabat melalui undang-undang, misalnya batas dalam penarikan pajak, terutama agar tidak memboroskan uang rakyat untuk hidup mewah. Inovasi-inovasi radikal dari Calvin lalu dieksperimenkan pada kota Jenewa dan membawa kemajuan pesat dalam kota tersebut. Jenewa sampai sekarang masih merupakan republik tertua yang masih bertahan sampai sekarang. Maka, tidaklah salah jika Calvin disebut perintis republik yang pertama. Prinsip-prinsip ini kemudian menyebar ke negara Eropa lain dan terutama ke Skotlandia melalui prinsip presbiterian John Knox. Skotlandia mengadopsi model gereja presbiterian yang mengalir dari keluarga, ke komunitas melalui sinode regional, lalu menuju ke wilayah nasional melalui parlemen federal sampai ke sinode internasional. Kaum Puritan yang terinspirasi calvinisme kemudian memengaruhi politik Inggris melalui traktat-traktat politik mereka sampai akhirnya mereka berhasil memengaruhi konstitusi untuk membatasi kekuasaan raja dan pemerintah pada zaman Cromwell melalui sebuah manifesto yang disebut an agreement of people. David Hume, seorang atheis, mengakui bahwa konstitusi Inggris berutang pada inovasi calvinisme Puritan. Kaum Puritan Inggris kemudian membawa prinsip ini ke Amerika karena penganiayaan kaum Anglikan terhadap hak beribadah mereka. Perkembangan politik di Inggris dan Amerika agak berbeda karena kaum Puritan Inggris yang mengalami penganiayaan lebih menekankan pemisahan kekuasaan total antara gereja dan negara, sedang prinsip Puritan Amerika sangat mirip terhadap politik Jenewa karena mereka lebih bebas berekspresi tanpa tekanan. Ditambah lagi, dengan khotbah-khotbah calvinisme yang mendominasi Amerika maupun tulisan-tulisan akademis dari Harvard, Yale, dan Princeton membuat ide-ide calvinisme yang berasal dari Eropa mencapai puncaknya di Amerika. Bisa dibilang, revolusi kemerdekaan Amerika (bahkan Indonesia dan negara-negara yang lain) secara tidak langsung berutang pada tulisan murid-murid Calvin, seperti Beza dan Knox, di mana mereka mengizinkan pemberontakan rakyat terhadap pemerintahan yang korup. Hanya dalam beberapa abad, prinsip-prinsip calvinisme tentang kovenan, demokrasi, kedaulatan rakyat, perwakilan rakyat, undang-undang, check and balance, sistem republik, dan lain-lain, mulai dipakai oleh mayoritas negara, baik negara agama maupun sekuler. "Tantangan" Namun, dominasi calvinisme tidak bertahan lama. Zaman enlightenment telah mendorong manusia untuk mencari teori-teori alternatif di luar calvinisme. Dalam beberapa tahun terakhir, orang-orang lebih tertarik pada model Revolusi Perancis yang bersumber dari teori kontrak sosial daripada model Jenewa yang bersumber dari Calvin. Fondasi-fondasi negara mereka yang bercorak calvinisme mulai diganti dengan paham humanistik. Pemisahan total antara pemerintah dan gereja membuat pemerintahan kehilangan identitasnya untuk memuliakan Tuhan. Selain itu, posisi gereja pun ditekan sampai ke wilayah privat. Ditambah lagi, sekularisasi di segala bidang dalam dekade terakhir telah menyebabkan lunturnya nilai-nilai calvinisme di dunia Barat. Pajak yang dibayarkan orang-orang Kristen dengan hati tulus pada akhirnya malah digunakan untuk mendukung proses sekularisasi tersebut. Merosotnya nilai-nilai kekristenan disertai kekalahan demi kekalahan terus dialami oleh orang-orang Kristen di Amerika, yang pada tahun lalu, konstitusi Amerika melegalkan LGBT. Invasi humanisme dan sekularisme belum berhenti. Usaha-usaha melegalkan praktik aborsi dengan slogan pro-choice meredefinisi konsep pernikahan tradisional. Penghapusan kata "Tuhan" dalam area-area yang strategis serta pelunturan nilai-nilai Kristen yang lainnya terus gencar dilakukan. David Hall menyebutkan ada lima hal yang menjadi penyebab kekalahan calvinisme terhadap sekularisme di dunia Barat. Pertama, penyebaran pemikiran enlightenment dalam dunia intelektual. Kedua, munculnya alternatif filosofis yang lebih bersifat humanistik. Ketiga, revolusi industri yang mengubah struktur komunal keluarga tradisional. Keempat, darwinisme yang merelativisasi nilai-nilai moral manusia. Kelima, dominasi arminianisme di kalangan injili yang menekankan kehidupan rohani secara pribadi sehingga individualisme dengan cepat menembus gereja. Kekalahan demi kekalahan di panggung politik membuat Kristen kontemporer terlalu berfokus pada isu politik sehingga merelativisasi posisi institusi gereja yang menyebabkan kedangkalan kehidupan gerejawi. Ironisnya, bukannya melakukan pembenahan, beberapa teolog Reformed melalui Two Kingdom Theology memilih menyerah pada sekularisme, dan berfokus untuk mengembalikan kehidupan gerejawi yang sudah hancur berantakan. Van Drunen dan kawan-kawan menganjurkan agar umat Kristen tidak ikut campur dalam politik, tetapi berfokus pada panggilan utamanya di gereja. Menurut mereka, Allah tidak menebus seluruh ciptaan (creation regained) karena penebusan hanya dikhususkan untuk umat pilihan (re-creation gained). Salah satu paradoks dalam pemikiran Calvin adalah di satu sisi, Kerajaan Allah bersifat spiritual, tetapi di sisi lain, Kerajaan Allah akan membawa transformasi total dunia. Pelarian spiritual ke dalam gedung gereja maupun usaha-usaha menciptakan negara Kristen (theokrasi) adalah kegagalan menyeimbangkan paradigma Calvin. Di tengah gelapnya situasi politik maupun gereja, kita harus tetap percaya janji di dalam Alkitab bahwa kerajaan dunia akan berubah menjadi kerajaan Kristus. Oleh karena itu, kita perlu optimis dan memikirkan kembali langkah-langkah untuk berperang dan merebut kembali lembaga-lembaga dunia. Semoga keberhasilan Calvin dalam memengaruhi dunia dapat terus menginspirasi perjuangan politik Kristen pada masa depan. Audio Calvinisme dan Transformasi Politik
Teologi Reformed dan Apresiasi Seni
Editorial:
Dear Pembaca e-Reformed, Seorang negarawan dan tokoh Calvinisme dari Belanda, Abraham Kuyper, pernah menyampaikan bahwa "para seniman dipanggil untuk menemukan keindahan yang alami untuk memuliakan Allah". Pandangan Kuyper menegaskan bahwa teologi Reformed tidak anti terhadap karya seni, justru seni adalah alat untuk menunjukkan keagungan Allah kepada banyak orang. Pertanyaannya, ketika kita melihat karya seni yang indah, apakah kita takjub pada keindahan karya seni tersebut atau kepada Tuhan semesta alam yang memanggil dan menginspirasi para seniman untuk dapat menghasilkan karya seni yang indah dan mampu bertahan puluhan, ratusan, bahkan ribuan tahun? Seni menyangkut keahlian yang khusus. Seni yang baik dapat digunakan untuk memuliakan Allah. Sama seperti Johann Sebastian Bach yang menghasilkan sebuah karya dalam kantata gereja dan Fanny J. Crosby, seorang yang tidak dapat melihat, tetapi mampu menghasilkan ratusan kidung yang masih dinyanyikan dalam ibadah gereja sampai hari ini. Karena itu, marilah kita bersama-sama belajar untuk memahami lebih dalam "Teologi Reformed dan Apresiasi Seni". Kiranya kita boleh mempelajari seni dan mengembangkannya bagi kemuliaan Allah. Soli Deo gloria!
Edisi:
Edisi 204/September 2018
Isi:
Dalam perjalanan sejarah gereja, seni terus mengalami pasang surut dengan beberapa perubahan signifikan terjadi dalamnya. Hal ini bisa kita lihat mulai dari masa sebelum Reformasi terjadi. Gereja Barat, yang diwakili oleh gereja Katolik, memiliki nuansa ibadah yang sangat kental dengan seni. Ketika terjadi Reformasi, bukan hanya ajaran dan doktrin yang mengalami perubahan dalam gereja Protestan, tetapi juga aspek seni ini. Berbagai usaha menghancurkan patung-patung di dalam gereja, yang dikenal sebagai iconoclasm, membuat gereja Protestan, khususnya Calvinisme, terkesan sebagai gereja yang anti terhadap seni. Sekalipun karya seni seperti lukisan tidak mengalami banyak serangan, tetapi dalam perjalanannya, karya seni ini pun tidak lagi menjadi hal yang diperhatikan dalam gereja Protestan. Lantas, apakah benar Calvinisme anti terhadap seni? Bagaimana sebenarnya teologi Reformed memandang seni? Apa Itu Seni? Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), seni adalah keahlian membuat karya yang bermutu atau karya yang diciptakan dengan keahlian yang luar biasa. Berdasarkan pengertian ini, bisa kita katakan bahwa tidak semua orang dapat menciptakan karya seni. Sebab, untuk menciptakan karya seni, seseorang harus memiliki keahlian khusus yang sesuai dengan bidang seni yang ingin diciptakannya. Keahlian atau kemampuan tersebut tentu saja didapatkan melalui proses belajar dan berlatih. Seorang seniman mungkin tidak memerlukan waktu yang lama untuk menghasilkan karya seni yang indah karena memiliki bakat, sedangkan seniman yang lain mungkin memerlukan waktu dan pengalaman yang banyak untuk menghasilkan karya seni yang indah. Akan tetapi, proses mana pun yang dilalui, sebuah karya seni pasti dihasilkan oleh seseorang yang memiliki kemampuan khusus dalam bidang seni tersebut. Pemahaman ini penting untuk kita pegang agar kita tidak sembarangan menerima sebuah karya yang dibuat oleh orang lain dan kita anggap sebagai seni tanpa melihat latar belakang orang yang membuatnya, apalagi jika karya seni tersebut adalah karya yang akan kita bawa ke dalam ibadah gereja, baik musik maupun seni lainnya. Dalam Alkitab, seni sangat erat hubungannya dengan ekspresi manusia untuk berelasi dengan Tuhan. Daud, sebagai pemazmur, menggunakan seni musik dan syair untuk memuji Tuhan, menyatakan keluh kesah, dan untuk menaikkan doa. Ketika Tabut Perjanjian dibawa masuk ke Yerusalem, Daud menggunakan seni tari untuk menyatakan sukacitanya, dan memuji Allah (2 Samuel 6:14). Kemudian, ketika Salomo membangun Bait Allah, bangunan Bait Allah dipenuhi dengan ornamen-ornamen yang sangat indah. Dinding-dinding Bait Allah diukir dengan gambar kerub, pohon kurma, dan bunga mengembang (1 Raja-Raja 6:29). Berbagai perabotan dibentuk sedemikian rupa dengan keindahan yang luar biasa. Belum lagi, dua buah patung kerub yang sayapnya membentang sepanjang lebar Bait Allah. Uniknya, karya seni pertama yang tercatat dibuat di dalam Alkitab justru diperintahkan oleh Allah sendiri, yaitu ketika Musa diperintahkan untuk membangun Kemah Suci beserta berbagai perabotnya dengan bentuk yang sama seperti yang diperlihatkan oleh Allah. Jadi, jelas bahwa Allah tidak menentang, melainkan Dia berkenan dengan karya seni yang dibuat oleh manusia untuk memuliakan Allah. Akan tetapi, harus kita ingat bahwa seni hanyalah alat untuk menunjukkan kemuliaan Allah. Ketika kita kehilangan pengertian ini dan lebih kagum terhadap keagungan karya seni ketimbang kemuliaan Allah yang ditampilkannya, maka kita telah jatuh ke dalam penyembahan berhala. Seperti yang terjadi pada bangsa Israel. Ketika mereka menyembah patung ular tembaga yang seharusnya mengingatkan mereka akan pemeliharaan Allah di padang gurun, maka patung ular tersebut dihancurkan karena tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya (2 Raja-Raja 18:4). Pandangan John Calvin Mengenai Seni Sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Alkitab, Calvin pun tidak anti terhadap seni. Abraham Kuyper dalam bukunya yang berjudul Calvinism and Art mengatakan bahwa Calvinisme memberikan sebuah cara pandang terhadap seni yang menginspirasi para seniman untuk menginterpretasi dunia dengan cara tertentu. Menurut Kuyper, inspirasi tersebut muncul oleh karena cara pandang Calvin terhadap peristiwa penciptaan dalam Alkitab. Menurutnya, para seniman dipanggil untuk menemukan keindahan dalam bentuk alami, memperkaya keindahan tersebut dengan pengetahuan yang lebih tinggi, dan menghasilkan sebuah dunia yang indah yang melebihi keindahan natural. Panggilan ini sesuai dengan pengertian seni yang dibahas sebelumnya, yaitu bahwa untuk membuat karya seni, dibutuhkan sebuah keahlian khusus. Maka dari itu, dalam hal ini, keahlian khusus tersebut mencakup pengetahuan yang lebih tinggi. Seni yang baik yang dapat digunakan untuk memuliakan Tuhan tidak hanya dibuat berdasarkan keterampilan, tetapi juga pengetahuan yang tinggi, baik dalam bidang seni tersebut maupun dalam bidang teologi. Maka dari itu, tidak semua orang dapat menghasilkan lukisan yang indah dan dapat diinterpretasikan dengan baik untuk memuliakan Tuhan. Demikian juga, tidak semua orang dapat menghasilkan musik yang indah dan agung yang dapat dipakai untuk memuji dan memuliakan Tuhan. Berdasarkan panggilan seorang seniman yang dijelaskan oleh Kuyper, karya seni juga berperan untuk mengingatkan kita bahwa kita sedang hidup di dalam dunia yang telah terkutuk dan bahwa ada pengharapan yang telah diberikan bagi kita untuk hidup di dunia yang akan disempurnakan pada kedatangan Kristus yang kedua. John Calvin tidak hanya memberikan inspirasi kepada para seniman melalui teologinya, tetapi juga membebaskan para seniman dari kurungan gereja pada saat itu. Sebelum masa Reformasi, karya seni yang dibuat di luar konteks gereja dan ibadah dianggap sebagai seni rendahan. Tentu saja, hal ini membuat seniman hanya mengerjakan karya seni untuk gereja dan akhirnya mereka seperti menjadi budak-budak gereja. Akan tetapi, Reformasi telah membuat para seniman Protestan menjadi lebih bebas dalam berekspresi dan menghasilkan karya seni. Lalu, apakah karya seni yang dibuat di luar konteks gereja tidak lagi memuliakan Tuhan? Tidak. Justru ketika seni dikurung oleh konteks gereja saja, karya seni menjadi sempit dan terbatas kelimpahannya. Seni yang berlimpah dan luas adalah seni yang dapat menggunakan seluruh bagian dunia sebagai inspirasi untuk menciptakan keindahan yang transenden. Toh, seperti yang Calvin katakan, tidak ada bagian dari dunia ini yang tidak menunjukkan kemuliaan Allah. Dunia ini seperti panggung pertunjukan yang mempertontonkan kemuliaan dan kebesaran Allah. Selain itu, karena para seniman lebih leluasa menginterpretasikan ciptaan Tuhan, sebuah karya seni menjadi lebih relevan dengan masyarakat. Bukan hanya karena karya seni tersebut dibuat berdasarkan hal-hal di sekitar, tetapi juga karena seniman tersebut menjadi wakil dari orang-orang sezamannya sehingga karya seni yang dihasilkan akan sesuai dengan konteks zaman yang sedang dihadapi. Sekalipun gereja tidak lagi membatasi seni, gereja tetap dapat membentuk genre seni tersendiri yang berpusat pada kisah Alkitab. Akan tetapi, genre ini tidak lagi menjadi satu-satunya, melainkan salah satu bagian genre dalam seni yang utuh dan yang harus menceritakan kemuliaan Allah dari pelbagai aspek. Pandangan Abraham Kuyper Mengenai Seni Abraham Kuyper sendiri punya pandangan yang unik mengenai seni. Dia mengatakan, “The arts exist to elevate the Beautiful and the Sublime in its eternal significance.” Menarik untuk diperhatikan, Kuyper menggunakan awalan huruf kapital untuk menuliskan Beautiful (Keindahan) dan Sublime (Mahamulia) yang menunjukkan bahwa kedua kata tersebut tidak hanya sedang menggambarkan suatu sifat saja, tetapi juga sedang menunjuk kepada Pribadi. Seni ada bukan hanya untuk menunjukkan keindahan dan keagungan dunia, tetapi keindahan dan keagungan Allah yang menciptakan dunia ini. Seni adalah salah satu pemberian Tuhan yang paling melimpah kepada umat manusia. Kuyper percaya bahwa seni mempunyai peranan dalam membantu membangun kerohanian yang tepat sehingga membantu kita, sebagai jemaat, menyadari manfaat atau pentingnya agama yang sejati. Walaupun begitu, Kuyper tetap menentang kecenderungan untuk membuang pembentukan kerohanian yang demikian hanya karena kecintaan terhadap seni yang berlebihan. Kecintaan terhadap seni yang berlebihan inilah yang membuat gereja Protestan mula-mula melakukan aksi ikonoklasme. Banyak praktik ibadah saat itu yang lebih condong kepada penyembahan berhala. Oleh karena itu, untuk mencegah hal yang sama terjadi, jemaat gereja Protestan melakukan pembersihan patung-patung dari dalam gereja. Teologi Reformed dan Seni dalam Konteks Postmodernisme Kewaspadaan yang sama juga harus dimiliki oleh diri kita, sebagai umat Tuhan, pada zaman ini. Kita memang lebih sulit untuk jatuh ke kesalahan praktik penyembahan patung karena gereja-gereja Protestan saat ini sangat jarang menggunakan ornamen patung di dalam gedung gereja. Akan tetapi, kita sangat rawan untuk jatuh dalam aspek musik. Musik adalah alat yang kita gunakan dalam ibadah untuk mempermudah kita memuji Tuhan secara komunal. Ketika kita bernyanyi, kita harus menghayati setiap kata dalam pujian yang kita nyanyikan karena kata-kata tersebutlah yang menjadi isi doa kita kepada Tuhan. Jangan sampai kita terlalu menikmati alunan musik tersebut sehingga kita tidak lagi berfokus mengucapkan setiap syair pujian. Kita harus sanggup membedakan antara syair, respons, atau bahkan doa kita melalui nyanyian tersebut dan alunan musik yang bersifat iringan. Kita harus sanggup membedakan antara menyenangkan jiwa kita melalui alunan musiknya atau menyenangkan Tuhan melalui respons kita yang benar di hadapan-Nya. Dalam zaman postmodern ini, kita harus berhati-hati terhadap semangat penilaian estetikanya yang terfragmentasi. Kita diajarkan untuk menikmati suatu karya seni tidak secara utuh, tetapi hanya melihat bagian tertentu, dan menikmati fragmen itu, lalu memberikan penilaian atas karya seni tersebut berdasarkan standar penilaian diri kita yang subjektif. Kalau dalam konteks musik, sering kali suatu lagu dinilai dari aspek alunan melodinya yang bisa memberikan perasaan "feel good” atau tidak. Di satu sisi, keahlian atau kepiawaian hasil karya seni dari manusia harus kita hargai dan kita syukuri. Sebab, keahlian ini pun adalah anugerah Tuhan. Akan tetapi, kita harus berhati-hati agar tidak terbawa untuk menikmati seni secara instan dan parsial. Dalam teologi Reformed, kita diajarkan untuk melihat kebenaran dalam keutuhan dan keluasan, dan hal ini berlaku juga dalam bidang seni. Kita harus melihat seni itu dalam keutuhan dan keluasannya. Melihat karya itu bukan hanya untuk dinikmati secara parsial. Dalam keluasan kebenaran, kita diajak untuk mengapresiasi seni, baik di luar maupun di dalam gereja. Akan tetapi, dengan keutuhan, kita diajak untuk menikmati seni secara komprehensif dalam relasinya dengan Allah. Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa teologi Reformed tidak hanya memperbolehkan dan mendukung seni, tetapi juga telah memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan seni dalam sejarah umat manusia. Memang tidak bisa kita mungkiri bahwa diperlukan waktu agar seni dapat diterima sepenuhnya setelah terjadinya ikonoklasme. Kita bersyukur bahwa pada zaman ini, dalam Gerakan Reformed Injili , Tuhan mengizinkan kita terus didorong dalam mempelajari seni dan terus mengembangkannya demi kemuliaan Allah yang kita sembah. Teologi Reformed dan Apresiasi Seni
Salah Satu Dosa Terbesar Gereja
Editorial:
Dear Pembaca e-Reformed, Gereja ada karena dibentuk dan didirikan oleh Tuhan Yesus (lihat Mat. 16:18), dan gereja-Nya ini bersifat kekal. Namun, gereja bukanlah institusi yang berdiri sebagai menara gading yang jauh dari peradaban dan masyarakat. Gereja justru dipanggil untuk berada di tengah masyarakat, yaitu masyarakat yang bersifat majemuk, yang di satu pihak memiliki perbedaan (ras, agama, dan budaya), tetapi di lain pihak memiliki kesamaan (kehidupan bersama sebagai manusia sosial yang saling membutuhkan dan dibutuhkan). Apakah dalam keberadaan yang demikian ini, jemaat Tuhan, yang menjadi inti gereja, dapat menjalankan fungsinya sebagai garam yang harus mengasinkan lingkungan tanpa harus bersikap arogan dan merendahkan mereka yang belum mengenal kebenaran? Simak dan renungkanlah sajian e-Reformed bulan ini yang memuat sebuah artikel berjudul Salah Satu Dosa Terbesar Gereja. Kiranya Allah Roh Kudus memampukan kita untuk menjadi jemaat-Nya yang setia dan tidak terkikis oleh sikap yang justru tidak memuliakan Allah. Selamat menyimak. Soli Deo gloria!
Edisi:
Edisi 203/Agustus 2018
Isi:
Di tengah-tengah berbagai macam masalah yang melanda kehidupan manusia pada era globalisasi ini, tanpa dapat dimungkiri, ada salah satu dosa terbesar yang dilakukan gereja: kepongahan rohani! Dosa yang satu ini memiliki berbagai muka. Muka pertama: kita tanpa menyadari menjadi merasa paling suci, paling benar, paling sempurna dalam kehidupan keagamaan yang pluralistis dalam masyarakat yang majemuk ini! Jangan salah mengerti! Bukan tujuan tulisan ini untuk membatalkan apa yang telah dinyatakan dalam Alkitab bahwa keselamatan hanya ada dalam Yesus Kristus (Yoh. 14:6; Kis. 4:12; Rm. 10:4-17; 1 Tim. 2:5). Justru di tengah-tengah era globalisasi ketika tembok-tembok pemisah antarnegara, bahasa, dan kebudayaan menjadi paling tidak lebih transparan, kita harus waspada agar kita jangan sampai mengorbankan atau menggadaikan kebenaran demi kerukunan atau persahabatan itu sendiri. Meski demikian, kita juga harus berhati-hati agar kita mengingat dan memberlakukan secara jujur hukum emas yang dinyatakan oleh Tuhan kita: "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi." (Mat. 7:12) Kebenaran jelas tidak boleh dikompromikan. Akan tetapi, hal itu tidak sama dengan memaksa orang lain harus menerima dan mengikuti apa yang kita yakini, apalagi dengan cara dan jiwa yang arogan! Kita dapat belajar dari seorang yang kasar dan impulsif semacam Petrus. Pada hakikatnya, dia makin memahami hati Tuhannya. Dia meninggalkan warisan yang sangat indah dan penting untuk kita laksanakan dalam hidup bermasyarakat. Bobot nasihat Petrus ini menjadi makin penting untuk dipahami dalam konteks riil ketika dia menulis suratnya: "Dan siapakah yang akan berbuat jahat terhadap kamu, jika kamu rajin berbuat baik? Tetapi sekalipun kamu harus menderita juga karena kebenaran, kamu akan berbahagia. Sebab itu janganlah kamu takuti apa yang mereka takuti dan janganlah gentar. Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat, dan dengan hati nurani yang murni, supaya mereka, yang memfitnah kamu karena hidupmu yang saleh dalam Kristus, menjadi malu karena fitnahan mereka itu." (1 Ptr. 3:13-16) Jelas, globalisasi menuntut kita agar kita tidak berpandangan sempit dan picik, tidak dapat mendengar dan tidak mau menghargai keyakinan atau kepercayaan orang lain. Kita harus dapat membedakan antara menghargai dan menghormati dari menerima, mengaminkan, dan mengimani! Agama dan kepercayaan boleh saja berbeda, tetapi janganlah kita membenci atau memusuhi mereka yang berbeda agama dan keyakinan dengan kita. Kita malah harus berupaya agar kita tetap mengasihi dia, menolong dia secara praktis, bahkan apabila kita dibenci, difitnah, bahkan dimusuhi sekalipun. Petrus akhirnya benar-benar mengerti apa yang dikehendaki Tuhannya. Dia pernah mengayunkan pedang dan sempat memotong telinga orang yang menangkap Yesus, tetapi pada hari tuanya, bukan karena dia telah berubah atau menjadi lemah, bukan juga karena dia mau berkompromi, tetapi sebaliknya, dia malah menjadi begitu mantap dan menghayati ajaran Tuhan dan Gurunya sehingga dia sanggup mengungkapkan kebenaran yang begitu indah dan mulianya. Petrus telah belajar untuk memberlakukan perintah Tuhan agar dia mengasihi, bahkan musuhnya, dan mendoakan orang yang menganiayanya (bdk. Mat. 5:43-44). Muka yang lain dari salah satu dosa gereja yang terbesar adalah menjadi begitu sombong dan merasa paling benar dan paling sempurna dengan keyakinan dan denominasinya. Kita tidak jarang mengecap orang (Kristen) lain yang tidak memiliki keyakinan dan ajaran yang persis sama dengan kita sebagai orang sesat! Barangkali kita perlu belajar dari seorang tokoh bapa gereja, Agustinus. Dia memberikan ajaran yang bijaksana: "Dalam hal yang mendasar (prinsip), jangan berkompromi; dalam hal yang tidak mendasar, biarlah kita tidak menjadi dogmatis (kaku); dalam segala hal, kasih!" Kadang-kadang, tanpa terlalu disadari sepenuhnya, kita malah membuat kaum awam yang sudah bingung dengan berbagai macam masalah mereka menjadi lebih bingung karena sebagai orang yang dianggap dapat memberi terang kepada yang gelap, justru kita, meminjam bahasa Ayub, "menggelapkan keputusan dengan perkataan-perkataan yang tidak berpengetahuan" (Ayb. 38:1). Sering kali, kita memperdebatkan masalah (cara) baptisan, masalah berbagai macam karunia rohani, masalah kedatangan Yesus yang kedua kali (antimilenialis, remilenialis, pascamilenialis), atau masalah tetek bengek lainnya dengan begitu bersemangat dan berapi-api sehingga kadang kala, kita tidak mampu mengendalikan diri kita, lalu saling menuding dan menyerang antarsesama gereja. Gereja yang memang sudah terpisah-pisah karena kedaerahan, kesukuan, adat istiadat, dan karena sejarah misa makin kita tercabik-cabik lagi menjadi sempalan-sempalan kecil denominasi (yang makna aslinya berarti "pecahan") -- jikalau perlu, kita buat denominasi baru lagi yang diimbuhi dengan label "Injili". Sekali lagi, kita perlu mengundang seorang hamba Tuhan senior yang "karismatik", yang telah berhasil mendirikan dan membangun banyak gereja dengan harga yang sangat mahal untuk bersaksi. Kita tahu bahwa Paulus bukan sembarang orang. Dia mantan Farisi, dan salah seorang murid Gamaliel. Dia menerima penyataan langsung dari Tuhan sendiri (1 Kor. 2:13-16; Gal. 1:17; 2 Kor. 12:1-4). Dia menulis banyak surat. Dia memiliki iman yang begitu kuat dan mantap sehingga dia berani mengungkapkan kesaksian yang sangat menantang semacam Gal. 2:19,20; Flp. 1:6,21; dan sebagainya. Namun, toh orang yang sama tersebut pandai "ilmu padi", makin berisi, makin tunduk! Siapakah yang menduga bahwa dia sampai menulis sebagai berikut: "Ketika kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu. Karena sekarang (walaupun sudah dewasa) kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar; tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka. Sekarang aku (yang sudah dewasa) hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal." (1 Kor. 13:11-12) Bolehkah kita menyimpulkan bahwa seorang Rasul Paulus hanya berani mengklaim bahwa pengetahuan serta pengenalannya (sekarang) hanya parsial, belum lengkap dan belum sempurna sepenuhnya? Mungkinkah sekarang ini banyak di antara kita yang lebih hebat dari dia? Kalau kesimpulan di atas barangkali terlalu sembrono, marilah kita bandingkan apa yang dia tulis kepada jemaat Efesus: "Aku berdoa supaya Ia, menurut kekayaan kemuliaan-Nya, menguatkan dan meneguhkan kamu oleh RohNya di dalam batinmu, sehingga oleh imanmu Kristus diam di dalam hatimu dan kamu berakar serta berdasar di dalam kasih. Aku berdoa, supaya kamu bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus, dan dapat mengenal kasih itu, sekalipun ia melampaui segala pengetahuan. Aku berdoa, supaya kamu dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah." (Ef. 3:16-19) Yang tersirat dari doa Paulus ialah agar jemaat Efesus, yang bukan hanya dilayani oleh Paulus, tetapi juga oleh hamba Tuhan lainnya (Apolos), jangan terjebak ke dalam polarisasi teologi Paulus atau teologi Apolos saja. Belajarlah pula dengan rendah hati dari dan dengan semua orang kudus! Rupanya, Paulus begitu konsisten. Dia juga menulis sekaligus bersaksi kepada jemaat di Filipi dengan jiwa yang sama: "Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, ...." (Flp. 3:10) Jelas bahwa Paulus tidak pernah merasa sudah mengenal Yesus begitu rupa sehingga dia tidak perlu belajar lagi untuk mengenal-Nya secara lebih mendalam. Herankah kita bahwa dari buah penanya, tentunya berkat bimbingan Roh Kudus, gereja kita mewarisi banyak bukunya? Tulisan ini memang bukan dimaksudkan untuk membahas permasalahan oikumene. Akan tetapi, di tengah-tengah semangat toleransi dan keterbukaan yang makin melonggar, bagaimana mungkin kita menjadi makin sempit dan kaku? Mengapa kita cenderung menjadi kian sektarian dan menjurus kepada "pemujaan" primordial? Sekali lagi, rupanya bukan hanya bangsa Israel yang tidak dapat belajar dari sejarah! Gereja-gereja juga tidak dapat belajar dari sejarah gereja. Kita tahu bahwa tidak semua bapa gereja memiliki teologi yang selalu sama. Sekolah Alexandria berbeda dari bapa gereja Latin. Sejarah gereja mencatat bukan saja dengan tinta hitam, melainkan juga merah bersimbah darah karena masing-masing merasa paling benar, saling mengucilkan, dan saling membantai lawannya. Di antara para reformator yang besar-besar sekalipun, sering terjadi selisih pendapat dan keyakinan, khususnya dalam soal-soal yang periferal. Bagaimana mungkin kita berani begitu dogmatis (buldog-matis) tentang hal-hal tertentu sehingga nyaris menjadikannya doktrin denominasi? Kita sering kali mengejek gerakan ekumenis yang tidak pernah berhasil untuk bersatu. Paling-paling hanya semu. Bukan kesatuan, melainkan keserupaan, dan itupun sejauh atau secetek naskah-naskah tertulis. Bagaimana dengan so-called 'evangelical churches'? Kalau dunia yang memasuki era globalisasi ini harus mendengar kesaksian kita, paling tidak kita harus semakin serius dalam menjiwai dan menghayati harapan dan doa Tuhan untuk gereja. "Dan bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka; supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku." (Yoh. 17:20-21) Audio Salah Satu Dosa Terbesar Gereja
Kehendak Allah dalam Kristus
Editorial:
Dear Pembaca e-Reformed, Dalam artikel ini, Pdt. Stephen Tong menjelaskan dengan sangat baik tentang dua pemahaman penting dalam kekristenan, yaitu "dalam Adam" dan "dalam Kristus". Dengan mengerti dua pemahaman ini, kita akan menjadi orang Kristen yang rendah hati karena kita menjadi sadar siapakah kita sebenarnya. Melalui kematian Kristus di atas kayu salib, kita, yang percaya kepada-Nya, dipindahkan dari "dalam Adam" menjadi "dalam Kristus". Ini mengubah esensi kita selamanya, yang dahulu pantas untuk menuju kepada kebinasaan, sekarang dibenarkan dan ditinggikan dalam Kristus sehingga memperbolehkan kita masuk ke dalam kekekalan bersama dengan Dia. Ini merupakan hak istimewa yang luar biasa yang diberikan Kristus bagi kita, anak-anak-Nya yang percaya. Selain dua pemahaman di atas, Pdt. Stephen Tong juga menjelaskan tentang dua pemahaman lain yang sama pentingnya dalam kekristenan, yaitu "kasih yang digenapi" dan "keadilan yang digenapi". Dua pemahaman yang kelihatannya bertolak belakang, tetapi sebenarnya tidak. Inilah salah satu paradoks dalam kekristenan yang sering disalahmengerti oleh orang Kristen yang tidak belajar Alkitab dengan baik. Tidak seharusnya kita menitikberatkan pada "kasih" saja karena konsep "keadilan" yang dijalankan dalam "kasih" merupakan pemahaman yang ada dalam esensi iman Kristen yang benar. Oleh karena itu, saya mengajak para pembaca menyimak baik-baik penjelasan yang diberikan oleh Pdt. Stephen Tong ini. Memang tidak mudah untuk mencernanya, tetapi bukan berarti tidak bisa dicerna. Mari kita mohon agar Roh Kudus membuka pikiran kita sehingga kita dimampukan untuk mengerti dengan benar. To God be the glory!
Edisi:
Edisi 202/Juli 2018
Isi:
Istilah "dalam" Kristus muncul beratus-ratus kali di Perjanjian Baru. Ini merupakan satu istilah khusus dalam iman kepercayaan orang Kristen. Di hadapan Allah, hanya ada dua lingkungan yang disebut sebagai "dalam". Pertama, "dalam Adam", kedua "dalam Kristus". Di hadapan Allah, manusia hanya diakui dalam dua kategori ini. Dalam Adam, manusia adalah manusia berdosa yang belum diselamatkan, yang mengikuti wakil mereka, yaitu Adam, yang memberontak kepada Allah. Dalam Kristus, manusia adalah manusia berdosa yang sudah mengaku dosa dan diselamatkan, yang mengikuti wakil mereka, yaitu Kristus, yang taat kepada Allah. Adam pertama melawan kehendak Allah; Adam kedua menjalankan kehendak Allah. Kita menyimpulkan seluruh hidup Adam dengan dua kalimat. Demikian juga dengan seluruh hidup Kristus. Adam berkata: Not Your will, God. But my will be done. -- Bukan kehendak-Mu, tetapi kehendakku yang jadi." Kristus berkata sebaliknya: Not My will, But Thy will be done. -- Bukan kehendak-Ku, tetapi kehendak-Mu yang jadi." Dalam teladan yang diberikan Adam kepada kita, manusia mengumumkan otonominya sendiri. No, God! I don't need Your guidance. I don't need Your law. I don't need Your commandments. -- "Aku tidak perlu pimpinan-Mu. Aku tidak perlu hukum-Mu. Aku tidak perlu perintah-Mu." Dan, "Aku mengklaim bahwa diriku sendiri cukup mampu. Aku dewasa, berotonomi, dan tidak perlu lagi dikuasai oleh Roh-Mu yang kudus." Inilah teladan Adam. Akan tetapi, pada waktu Kristus datang ke dalam dunia, bagaimana Dia menjadi contoh? Di Getsemani, Yesus mencurahkan keringat seperti darah. Itu merupakan satu kesedihan yang luar biasa. Pergumulan. Tetesan keringat yang keluar seperti darah hanya dialami oleh mereka yang sedang dalam kesedihan yang luar biasa. Di situ, Kristus berdoa: "Ya, Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini daripada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku melainkan kehendak-Mulah yang terjadi" (Lukas 22:42). Kitab Yesaya mencatat bahwa cawan itu adalah cawan murka Allah (Yesaya 51:17). Inilah satu lembaran baru yang berbeda dari lembaran hidup manusia lain, berbeda dari semua pendiri agama yang lain, berbeda dari semua keturunan Adam yang lain. Lembaran baru mencatat bahwa Anak Allah menjadi standar, menjadi contoh moral bagi Saudara dan saya. Bukan kehendak manusia yang jadi, melainkan kehendak Pencipta manusia yang jadi. Jika membandingkan antara taman Getsemani dengan taman Eden, Getsemani terlalu gersang, tetapi Eden sangat subur. Di Getsemani terlalu sakit, di Eden terlalu enak. Akan tetapi, pada waktu Adam berada di taman yang enak, dia justru jatuh. Sebaliknya, Kristus di taman yang penuh sengsara, tetapi justru sukses. Yang satu memaksa Allah mengikuti kehendaknya, sedangkan yang lain menaklukkan kehendak-Nya di hadapan kehendak Allah. Berbeda, sama sekali berbeda! Kita menjadi orang Kristen yang macam mana? Macam Adam atau mau mengikut Kristus? Mengapa kita berdoa memaksa Tuhan? Apakah kita berdoa: "Tuhan, Engkau harus menyembuhkan aku! Tuhan, Engkau harus menjalankan ini, menjalankan itu. Kalau tidak, aku tidak akan percaya kepada-Mu"? Ataukah, kita berdoa: "Tuhan, sebagai anak-Mu, saya meminta kesembuhan, tetapi kehendak-Mu yang jadi, bukan kehendakku yang jadi"? Jika tidak berhati-hati, kita mudah mengubah seluruh situasi dan menjadikan Tuhan yang kita sebut Tuhan sebagai pembantu kita. Apakah kita berusaha menaklukkan Tuhan di bawah kehendak kita? Siapakah Tuhan? Jikalau Tuhan Saudara adalah TUHAN, biarlah Saudara menaklukkan diri di bawah kehendak-Nya, bukan berusaha menaklukkan Dia di bawah kehendak Saudara. Yesus berkata: "Kehendak-Mu yang jadi." Apakah kehendak Bapa? Kehendak Bapa ialah agar Yesus Kristus mati, dipisahkan dari Bapa. Perpisahan antara Allah Bapa dan Allah Anak merupakan satu kepahitan terbesar dan Sumber segala kebijaksanaan, kasih, dan segala persatuan! Bapa, Anak, dan Roh Kudus, adalah Allah Tritunggal. Di Getsemani, terjadi satu keharusan yang pahit, yaitu perpisahan. Maka, Kristus mengatakan: "Kalau mungkin, singkirkan cawan ini." Akan tetapi, Bapa mengatakan: "Engkau harus menerima cawan ini karena inilah kehendak-Ku untuk menyelamatkan umat manusia yang diciptakan menurut peta dan teladan-Ku." Puji Tuhan! Yesus Kristus meminum cawan itu sampai habis. Lalu, Dia dipaku di atas kayu salib. Maka, Alkitab berkata: "Allah menetapkan untuk meremukkan Dia. Menurut kehendak Allah, Kristus menyerahkan diri-Nya untuk mati bagi kita! Inilah satu-satunya kematian yang menurut kehendak Allah! Satu-satunya kematian yang direncanakan dalam kehendak Allah yang asli. Dalam kematian Kristus, kita melihat kehendak Allah terlaksana." a. Kasih Allah digenapi. Kasih Allah harus dinyatakan kepada manusia karena Dia adalah kasih. God is love. Di manakah kita bisa melihat kehendak Allah yang mengasihi kita itu? Dalam pengorbanan. Tanpa pengorbanan, tidak ada kasih! Istilah "cinta", sudah menjadi begitu murah, sudah membanjiri zaman ini. Namun, setiap kali kita mengucapkan "cinta", mari kita uji dengan pengorbanan. Every love should be tested by sacrifice. Pengorbanan menyatakan kasih yang sungguh-sungguh. Allah itu kasih adanya. Pemikiran ini ada secara samar-samar dalam agama-agama. Akan tetapi, ini menjadi suatu realitas kekristenan, di mana Anak Allah yang tunggal dikaruniakan untuk mati di atas kayu salib menggantikan dosa Saudara dan saya. Ini konkret, bukan abstrak. Bukan pula mimpi atau ilusi. Bukan imajinasi, tetapi riil. Kristus mati untuk Saudara dan saya. Ini kehendak Tuhan! b. Keadilan Allah digenapi. Apakah artinya keadilan Tuhan? Keadilan Tuhan berarti: yang berdosa harus dihukum! Jikalau yang berdosa tidak dihukum, berarti Allah tidak adil! Jikalau dosa harus dihukum, siapakah yang bisa menanggung hukuman yang berat ini? Saya mati untuk diri saya. Saya mati karena saya berdosa. Kematian saya tidak bisa menyelesaikan ataupun membenarkan segala kesalahan saya. Dosa begitu besar. Kematian tidak cukup untuk membayar utang dosa yang sudah kita lakukan. Bayangkan saja jika seorang gila membunuh dua puluh orang sekaligus dengan pistol, dan orang gila itu akhirnya dihukum mati. Bukankah dia yang dihukum mati hanya mempunyai satu nyawa? Akan tetapi, bukankah dia sudah menghabiskan nyawa dua puluh orang? Bagaimana kematian seseorang bisa membayar utang dosanya? Meskipun kita sampai mati, tulang kita hancur menjadi bubuk pun tak mungkin kita bisa membalas cinta kasih Tuhan Yesus. Sebab, keadilan Allah menghukum dosa begitu besar, begitu dahsyat. Kita belum sadar berapa besar keadilan itu. Saya menangisi zaman ini, ketika Liberalisme mengajarkan tentang Allah yang kasih, tetapi mereka menghindari khotbah tentang keadilan dan kesucian Allah. Sedangkan, aliran-aliran yang murahan, yang hanya mau emosi, yang hanya mau berkat Tuhan saja, jarang berkhotbah tentang hukuman Allah terhadap orang berdosa. For you and for me, to be saved is free. Tuhan tidak menuntut apa-apa dari kita supaya kita diselamatkan. Untuk menjadi orang Kristen, kita tidak harus membayar harga apa-apa. Akan tetapi, jangan lupa: supaya Saudara dan saya bisa diselamatkan, Kristus sudah membayar harga yang sangat besar, yaitu harga dari kematian Anak Allah! The death of the Son of God! Anak Allah yang tunggal mati untuk Saudara dan saya. Ini kehendak Allah. Ini suatu tuntutan keadilan yang dilunaskan. Pelunasan itu memerlukan satu jiwa yang lebih dari sekadar jiwa yang terbatas oleh waktu dan tempat. Pelunasan itu memerlukan satu hidup yang lebih dari hidup yang diciptakan. Yesus Kristus bukan diciptakan, tetapi Dia adalah Pencipta itu sendiri. Yang tidak terbatas datang ke dalam dunia. Itu sebabnya, dalam keadaan hidup yang tidak terbatas, Dia rela menanggung dosa seluruh umat manusia. Kita melihat "The Unlimited is substituting the limited once -- Yang tidak terbatas menggantikan yang terbatas." Itu sebabnya, Dialah yang sanggup menanggung dosa kita yang begitu banyak. Dialah yang mampu melunasi utang kematian kekal yang seharusnya ditimpakan kepada kita masing-masing. Puji Tuhan! Inilah keselamatan dari Tuhan Allah. Kehendak yang Allah tetapkan sebelum dunia diciptakan. Paulus mengatakan bahwa dalam Kristus, kita sudah direncanakan dan ditetapkan sebelum dunia diciptakan. Orang yang belum diselamatkan dan orang yang belum mengetahui kehendak Allah dengan sungguh-sungguh menonjolkan diri dan merebut kemuliaan Tuhan dalam pelayanan dan bukannya datang untuk sungguh-sungguh melayani. Akan tetapi, jika Saudara betul-betul mengerti kehendak Allah dalam Kristus, yang dijadikan Allah sebagai titik kontak, contoh standar, dan manusia kedua yang mengalahkan dosa dan kematian serta membawa kita kembali kepada Tuhan, maka Saudara akan mengetahui bagaimana seharusnya melayani Tuhan. Kristus datang ke dalam dunia untuk menggenapkan hal ini: (1) Datang untuk menyalurkan kasih Allah, dan (2) datang untuk menanggung hukuman murka Allah berdasarkan keadilan Allah. Kedua hal ini kita temui di atas kayu salib. Di atas kayu salib Kristus, kita melihat dua kutub dan dua hal yang paralel, yang ada dalam kekekalan sifat Allah, yakni cinta Allah yang kekal dan keadilan Allah yang kekal, bertemu. Pertemuan ini penting sekali. Saya kira kita harus belajar satu pelajaran, yaitu bagaimana menjadi seorang Kristen yang bisa mempertemukan keadilan dan cinta kasih! Orang Kristen yang hanya mempunyai cinta, tetapi tidak mempunyai keadilan, tidak dapat melayani Tuhan dengan baik. Sebaliknya, orang yang hanya mempunyai keadilan, ketegasan, dan otoritas yang tinggi tanpa cinta kasih, tak bisa memerintah dengan baik. Kedua hal ini dipertemukan di atas kayu salib Kristus. Karena itu, Kristus adalah standar dan contoh bagi kita masing-masing. Ada cinta, tetapi tidak ada keadilan, akan menjadi banjir yang mengakibatkan kecelakaan. Ada keadilan, tetapi tidak ada cinta, akan menjadi kejam dan tanpa perikemanusiaan. Pertemuan antara cinta dan keadilan menjadi satu memang merupakan satu kesulitan yang besar. Semua nabi menegur bangsa Israel yang berbuat dosa. Mereka menegur bukan dengan kuasa, bukan dengan senapan, tetapi mereka menegur dengan air mata! Itu karena mereka bukan hanya memainkan wewenang saja; mereka sedang menjalankan kehendak Allah. Setiap teguran dikeluarkan dengan suara gemetar yang dibubuhi dengan air mata. Di sinilah, cinta dan keadilan bertemu. Pukulan ibu kepada anaknya berlainan dengan pukulan dari seorang musuh. Jika musuh memukul Saudara, musuh memukul dan mengharapkan Saudara mati. Akan tetapi, waktu seorang ibu memukul anaknya, dia memang memukul badan anaknya, tetapi rasa sakit ada dalam hati sang ibu. Inilah paradoks! Di situlah, timbul satu kesulitan yang berkombinasi. Karena apa? Karena di situlah kasih dan keadilan bertemu. Kasih Allah dan keadilan Allah bertemu di satu titik pusat yang paling klimaks, di Golgota. Allah yang mencintai manusia adalah Allah yang harus melemparkan manusia berdosa ke dalam neraka. Kedua hal yang berbeda kutub ini berjumpa di atas Golgota. Kristus mati bagi Saudara dan saya. Dasar dari pertemuan kedua hal ini saya sebut sebagai kebijaksanaan, dan akibat dari pertemuan kedua hal ini saya sebut sebagai kuasa dan keselamatan. Orang yang bisa menggabungkan kedua hal ini pasti mempunyai kuasa luar biasa dalam pemerintahan dan pelayanan. Seorang raja, pendeta, atau pemimpin yang memerintah secara administratif, kalau hanya mempunyai cinta tanpa keadilan, tidak akan menjalankan tugasnya dengan benar. Demikian pula, jika dia hanya mempunyai keadilan tanpa cinta, dia tidak akan menjalankan tugasnya dengan benar. Waktu kedua hal ini bertemu, orang yang mempunyainya akan mempunyai kuasa yang luar biasa. Mempertemukan dua hal ini memerlukan kebijaksanaan yang luar biasa dari kehendak Tuhan Allah. Tuhan Yesus menjadi contoh kita dalam segala sesuatu. Kehendak Allah ialah mempertemukan kita dengan Dia, bersatu dengan Dia, dalam diri Kristus yang mati dalam kehendak Allah. Tuhan memberikan kekuatan kepada kita untuk mempunyai pikiran yang lebih mendalam dan lebih cinta kepada Kristus, dan menjalankan kehendak Tuhan sampai tahap kematian kita. Apakah Saudara mengerti siapakah Kristus? Apakah Saudara mengerti apa artinya menjadi orang yang beriman kepada Kristus? Apakah mengerti arti Kristus sudah mati dalam kehendak Allah bagi kita masing-masing? Sudahkah Saudara menerima Kristus dalam hati Saudara? Audio Kehendak Allah dalam Kristus
Kehidupan Kristen Biasa
Editorial:
Dear Pembaca e-Reformed, Apabila Saudara mendapatkan pilihan antara "biasa" dan "luar biasa", manakah yang akan Saudara pilih? Benarkah kekristenan pun dibagi ke dalam dua kubu tersebut? Kita perlu memperoleh paradigma yang baru bahwa Allah bekerja dengan cara-cara yang biasa dan luar biasa menurut ketetapan dan kehendak-Nya. Sekalipun Allah bekerja dengan cara yang biasa, Dia tetap Allah yang kudus dan agung. Iman kita dalam Kristus seharusnya tidak tergantung dari hal-hal yang lahiriah. Kekristenan pun seharusnya juga tidak tergantung pada hal-hal lahiriah. Kekristenan bergantung mutlak kepada Kristus dan firman-Nya. Apabila seseorang sakit keras, lalu dia menerima mukjizat kesembuhan, bukan berarti Allah tidak bekerja dalam hidup umat-Nya yang sehat dan tidak mengalami masalah. Allah kita adalah Pribadi yang bekerja, Dia bekerja dari masa sekarang, saat ini, sampai seterusnya. Satu hal yang harus kita tanamkan dalam hati kita adalah bahwa Allah memanggil kita untuk tetap beriman di dalam dunia milik-Nya. Maukah kita memenuhi panggilan agung-Nya? Marilah kita terus memandang kepada Allah dengan iman, mengasihi sesama kita, dan terus berjuang dalam langkah iman. Selamat merenungkan. Soli Deo gloria!
Edisi:
Edisi 201/Juni 2018
Isi:
Radikal. Epik. Revolusioner. Transformatif. Berdampak besar. Mengubah hidup. Tertinggi. Ekstrem. Menakjubkan. Sangat penting. Alternatif. Inovatif. Genting. Hal besar berikutnya. Terobosan eksplosif. Anda mungkin bisa menambahkan unsur-unsur penjelas lain yang, ironisnya, telah menjadi bagian dari percakapan umum dalam masyarakat dan di gereja pada masa kini. Sebagian besar dari kita sudah terlalu sering mendengar ungkapan-ungkapan seperti ini sehingga ungkapan-ungkapan tersebut menjadi suara latar. Meskipun kita mungkin agak letih dengan iklan-iklan tersebut, kita ingin sekali membawa keadaan ke "tingkat yang benar-benar baru". "Biasa" pasti merupakan salah satu kata yang paling kesepian dalam kosakata kita hari ini. Siapa yang mau punya stiker bemper mobil yang mengumumkan ke tetangga sekitar, "Anak saya adalah murid biasa di Bubbling Brook Elementary"? Siapa yang mau menjadi orang biasa yang tinggal di kota yang biasa saja, menjadi anggota dari gereja yang biasa saja, memiliki teman-teman yang biasa saja, dan melakukan pekerjaan yang biasa saja? Hidup kita harus berarti. Kita harus menggoreskan jejak kita, meninggalkan warisan, dan membuat perbedaan. Kita perlu menjadi murid yang radikal, membawa iman kita ke tingkat yang benar-benar baru. Semua ini harus merupakan sesuatu yang bisa dikelola, diukur, dan dipelihara. Kita harus menghayati profil Facebook kita. Meski demikian, saya merasakan kegelisahan yang semakin bertambah dengan kegelisahan ini. Beberapa orang sudah letih dengan ajakan terus-menerus untuk adanya perubahan yang radikal melalui skema-skema yang baru dan yang ditingkatkan. Mereka semakin tidak yakin apabila mereka ingin terjun menuju tren selanjutnya atau membuka jalan baru menuju kejayaan. Rod Dreher mengamati: "Keseharian adalah masalah saya. Mudah untuk memikirkan apa yang akan Anda lakukan pada masa perang, atau jika topan melanda, atau jika Anda menghabiskan waktu satu bulan di Paris, atau jika teman Anda memenangkan pemilihan, atau jika Anda memenangkan lotre, atau membeli barang yang benar-benar Anda inginkan. Jauh lebih sulit untuk menentukan bagaimana Anda akan melewati hari ini tanpa merasa putus asa." Dalam buku yang ditulisnya tentang saudarinya, The Little Way of Ruthie Leming, Dreher memberi isyarat akan adanya kekhawatiran yang semakin besar dengan budaya mengagung-agungkan hal-hal yang luar biasa. Gelisah terhadap Hal Besar Berikutnya Saya yakin bahwa salah satu alasan pendorong obsesi kita untuk menjadi luar biasa adalah adanya budaya revivalisme yang telah membentuk Protestanisme Amerika. Terutama oleh penginjil Charles G. Finney (1792 -- 1875), revivalisme memeluk teologi yang berpusat pada manusia, dan menemukan metode-metode yang sesuai dengan teologi tersebut. Menempatkan keselamatan di tangan masing-masing individu yang belum dewasa, sang penginjil memerlukan "reka-reka baru yang cukup untuk menimbulkan pertobatan". Sebagaimana Richard Hofstadter mengamati, "Sistem kebintangan tidak lahir di Hollywood, melainkan di jalanan yang berdebu." Fokusnya bukan pada Injil dan cara-cara anugerah yang ditetapkan oleh Allah, melainkan pada penginjil dan metode-metodenya untuk menghasilkan kebangunan rohani. Pemikiran itu menggagas bahwa pesan dan metode-metode yang dilakukan oleh Kristus itu terlalu lemah -- terlalu biasa. Yang terpenting bukanlah apa yang terjadi dalam gereja dan di rumah sepanjang minggu. Yang penting adalah hari ketika kebangunan rohani terjadi di kota, dan Anda "diselamatkan dengan mulia", seperti cara nenek saya menggambarkannya. Pendeta dan teolog Reformed, John W. Nevin, yang sezaman dengan Finney mengontraskan "sistem bangku" (pendahulu dari panggilan altar) dan "sistem katekismus": Iman Presbiterian kuno, yang di dalamnya saya dilahirkan, didasarkan pada gagasan tentang agama keluarga perjanjian, keanggotaan gereja melalui tindakan kudus Allah dalam pembaptisan, dan perihal mengikuti pelatihan katekisasi rutin bagi kaum muda, dengan petunjuk langsung tentang kedatangan mereka ke meja perjamuan Tuhan. Dalam satu kata, semua mengarah ke teori agama yang bersifat sakramen dan membina. Dua sistem ini, Nevin menyimpulkan, "Pada dasarnya melibatkan dua teori agama yang berbeda." Kesimpulan Nevin dibenarkan oleh perkembangan-perkembangan yang menyusul. Menjelang akhir pelayanannya, ketika dia memperhatikan kondisi banyak orang yang telah mengalami kebangunan rohani yang diselenggarakannya, Finney sendiri bertanya-tanya apabila hasrat tanpa henti akan pengalaman-pengalaman yang lebih besar ini bisa menuntun ke arah keletihan rohani. Kekhawatirannya ini beralasan. Daerah tempat kebangunan rohani Finney terjadi besar-besaran sekarang disebut oleh ahli sejarah sebagai burned-over district (wilayah barat dan tengah New York pada awal abad ke-19, tempat terjadinya kebangunan rohani dan terbentuknya gerakan religius baru pada masa Kebangunan Besar Kedua - Red.), daerah persemaian kekecewaan dan perkembangbiakan sekte-sekte esoteris. Ini telah menjadi lingkaran tak berujung dari kebangunan penginjilan sejak saat itu: sebuah pendulum yang berayun antara antusiasme dan kekecewaan, alih-alih kedewasaan yang teguh dalam Kristus melalui partisipasi dalam kehidupan sehari-hari sebagai komunitas perjanjian. Jika pertumbuhan bertahap dalam Kristus digantikan oleh pengalaman yang radikal, tidaklah mengherankan jika banyak orang mulai mencari Hal Besar Berikutnya ketika pengalaman krisis paling baru yang mereka alami mulai memudar. Bahkan, dalam masa hidup saya sendiri, saya menyaksikan -- dan ikut serta dalam -- suatu parade pergerakan radikal. Sekarang, menurut majalah Time, "kalvinisme baru" merupakan salah satu tren teratas yang sedang mengubah dunia. Pergerakan ini juga dikenal sebagai "Muda, Gelisah, Dibaharui". Akan tetapi, selama ditentukan oleh kegelisahan kaum muda, itu bisa cenderung membengkokkan apa artinya menjadi Dibaharui. Ketika masih menjadi nelayan muda, anak-anak saya tidak bisa membiarkan tali pancing mereka berada di dalam air cukup lama untuk menangkap makhluk hidup. Mereka selalu menggulung talinya untuk melihat apakah mereka telah menangkap sesuatu. Kemudian, ketika mereka ingin menanam strawberry bersama istri saya, kegembiraan mula-mula yang mereka punya segera berubah menjadi rasa bosan ketika, setelah hanya beberapa hari, mereka tidak melihat ada satu buah pun. Usia muda adalah usia ketika kita gelisah. Kita tersesat dalam rasa ingin tahu yang tidak sabar dan dorongan hati yang mementingkan diri sendiri. Namun, dalam Perjanjian Baru, kita berulang kali diajarkan untuk bertumbuh, untuk menjadi dewasa, untuk meninggalkan kekanak-kanakan kita. Kita diajarkan untuk taat kepada orang yang lebih tua, untuk menghargai hikmat yang terbentang bukan hanya dalam rentang tahun ke tahun, tetapi dari generasi ke generasi, dan untuk menyadari bahwa kita tidak memiliki jawaban atas segala sesuatu. Kita bukanlah bintang dalam film kita sendiri. Jika semua perlengkapan kehidupan gereja dirancang oleh dan untuk budaya masa muda, kita tidak akan pernah bertumbuh menjadi dewasa. Jadi, dalam beberapa hal, setidaknya, ketidaksabaran gelisah yang kita alami terhadap hal yang biasa bukan hanya merupakan pengaruh dari budaya kita, tetapi juga pengaruh dari pandangan yang tidak baik tentang pemuridan Kristen yang telah membentuk budaya itu dari generasi ke generasi. Memperbarui Rasa Menghargai untuk Hal yang Biasa Pertama dan terutama, semua penghargaan yang diperbarui terhadap hal yang biasa diawali dengan Allah. Tentu saja, Allah sama sekali tidak biasa saja, tetapi Dia suka bekerja dengan cara-cara yang biasa. Allah Tritunggal kita bisa melakukan segala sesuatunya sendiri, secara langsung dan dengan segera. Lagi pula, Dia berkata, "Jadilah terang," dan terang itu jadi (Kejadian 1:3). Namun, Dia juga berkata, "Hendaklah tanah menumbuhkan tunas-tunas muda" dan "tanah itu menumbuhkan tunas-tunas muda" (ayat 12). Allah tidaklah lebih kurang dalam posisi-Nya sebagai sumber utama realitas ketika Dia bekerja dalam penciptaan untuk "melaksanakan" tujuan-tujuan-Nya daripada ketika Dia memfirmankan segala sesuatu menjadi ada. Dalam pemeliharaan, cara bekerja Allah yang biasa pastinya mengejutkan kita dengan keheranan. Apa yang lebih biasa daripada kelahiran seorang anak? Kita tidak perlu menyebutnya keajaiban untuk merasa takjub pada karya Allah. Bahkan, cara kerja Allah yang wajar pun menakjubkan. Meskipun para nabi dan para rasul dipanggil untuk melakukan pekerjaan yang luar biasa, mereka adalah orang-orang biasa yang menyampaikan firman Allah dalam bahasa yang biasa. Kita melihat keragaman ini bahkan dalam inkarnasi. Allah yang menjadi daging di dalam rahim seorang perawan tidak lain adalah campur tangan langsung dan ajaib dalam sejarah. Meski demikian, Dia mengambil kemanusiaan-Nya dari Maria dalam cara yang biasa, melalui kehamilan selama 9 bulan. Cara Maria melahirkan Allah yang berinkarnasi pun bukanlah sesuatu yang ajaib. Allah bahkan bertumbuh besar dalam cara yang biasa, melalui cara-cara yang biasa: "Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia" (Lukas 2:52). Lagi pula, keajaiban luar biasa dari kelahiran baru kita berasal dari atas, tetapi kita dipersatukan dengan Kristus melalui pemberitaan Injil yang biasa. Beberapa pertobatan memang radikal; beberapa yang lain bertahap. Dalam kedua kasus tersebut, pekerjaan Allah yang ajaib terjadi melalui sarana anugerah yang biasa. Dalam semuanya ini, Allah adalah aktornya, bahkan ketika Dia bertindak melalui sarana ciptaan. Bukan kita yang naik kepada Allah, melainkan Dialah yang turun kepada kita, dan menyampaikan anugerah-Nya kepada kita melalui kata-kata dan perbuatan yang bisa kita pahami. Hal yang biasa bukan berarti hal yang rata-rata. Atlet, arsitek, humanis, dan seniman dapat menjamin bahwa pentingnya kesetiaan sehari-hari terhadap tugas-tugas dunia yang biasa mengarah pada keunggulan. Namun, meskipun kita bukanlah yang paling hebat dalam berbagai panggilan kita, cukuplah untuk mengetahui bahwa kita dipanggil ke sana oleh Allah untuk tetap beriman di dalam dunia milik-Nya. Kita memandang kepada Allah dengan iman dan memperhatikan sesama kita dalam kasih dan melalui pekerjaan baik. Anda tidak perlu mengubah dunia untuk menjadi seorang ibu atau ayah, saudara kandung, anggota gereja, atau tetangga yang beriman. Siapa tahu? Mungkin jika kita menemukan peluang dari hal-hal yang biasa, kesukaan terhadap hal yang biasa, dan rasa takjub terhadap hal yang biasa, kita akan menjadi radikal juga pada akhirnya. (t/Jing-Jing)
Motivasi Bagi Penginjilan
Editorial:
Dear Netters, Dalam melayani Tuhan dibutuhkan motivasi yang murni sehingga hati dan jiwa kita tetap lurus dan tidak ada unsur-unsur campuran yang menghalangi pelayanan kita. Bagaimana cara kita memiliki motivasi yang murni? Dalam artikel yang dibawakan oleh Pdt. Stephen Tong di bawah ini kita akan belajar bahwa motivasi melayani sangat penting dalam pelayanan supaya kita dapat bertahan menghadapi kesulitan apapun yang menghadang kita, terkhusus ketika kita menjalankan tugas penginjilan. Lalu, apa hubungan motivasi dan kehendak Allah dalam penginjilan? Allah dalam kehendak-Nya yang kudus dan agung memercayakan kepada kita tugas pemberitaan Injil supaya orang-orang yang belum mendengar Injil tidak berjalan menuju kebinasaan, tetapi bertobat dan menjadi anak-anak Allah. Saya berharap melalui artikel yang kami siapkan bulan ini, para pembaca akan semakin sadar bahwa memberitakan Injil adalah kehendak Allah. Jika semakin hari semakin banyak kita melihat jiwa yang berjalan menuju kebinasaan, apa yang akan kita lakukan? Termotivasikah kita untuk menjangkau mereka dan menjalankan kehendak Allah? Karena itu, marilah kita sungguh-sungguh menggunakan waktu dan kesempatan yang ada untuk memberitakan Injil dengan serius dan meminta anugerah Tuhan agar kehendak-Nya terjadi. Soli Deo gloria!
Edisi:
Edisi 199/April 2018
Isi:
Kita harus terlebih dahulu mengerti dengan jelas tentang istilah motivasi. Motivasi bukanlah tujuan, dan tujuan bukan motivasi. Motivasi adalah penyebab yang menghasilkan suatu tindakan, sedangkan tujuan adalah hasil yang diharapkan dapat tercapai melalui tindakan itu. Sering kali, kita mencampuradukkan kedua istilah tersebut. Misalnya, orang yang percaya kepada Yesus memperoleh hidup yang kekal. Hidup yang kekal adalah istilah hasil dari percaya, bukan motivasi untuk percaya. Motivasinya adalah: karena kasih karunia Allah telah dicurahkan kepada kita, Kristus telah mati bagi kita, dan telah menebus kita supaya kita menjadi milik-Nya; karena terdorong oleh kasih-Nya itulah, kita mau kembali kepada-Nya. Itulah motivasi untuk percaya, sedangkan masuk surga merupakan akibatnya atau hasilnya, bukan motivasinya. Demikian pula, motivasi dan tujuan pemberitaan Injil berbeda. Jika seseorang memiliki motivasi yang murni, dia pasti memiliki jiwa yang lurus, baik antara Allah dan manusia, maupun antara langit dan bumi. Sebaliknya, jika seseorang tidak memiliki motivasi yang murni, betapa pun banyaknya bakat dan talenta yang dia miliki, dia tidak akan dapat mencapai hasil yang positif secara menyeluruh. Motivasi memang sangat penting. Allah tidak akan menerima pelayanan yang bermotivasi campuran. Oleh karena itu, kita harus meniadakan unsur-unsur campuran dalam motivasi pelayanan kita. Dalam dunia kekristenan, banyak orang berbakat yang tidak mencapai hasil pelayanan yang seharusnya dicapainya. Salah satu penyebab utama ialah motivasi yang tidak murni. Paulus berkata, "Aku telah mempertunangkan kamu kepada satu laki-laki untuk membawa kamu sebagai perawan suci kepada Kristus" (2 Korintus 11:2). Kesucian dan kemurnian adalah hal yang terpenting pada saat kita melayani. Motivasi yang paling dasar dan paling minimal ini haruslah kita pertahankan. Seorang yang bermotivasi murni tidak mudah mengalami depresi pada saat putus asa, tidak mudah berkompromi pada saat menghadapi musuh yang kuat, dan tidak mudah goyah pada saat menghadapi banyak godaan. Sebaliknya, motivasi yang benar memberi kekuatan yang besar pada saat yang paling melelahkan, memberi keteguhan pada waktu penganiayaan menimpa, dan memberi sukacita pada waktu sengsara menekan; pada saat lingkungan menunjukkan kegelapan yang paling dahsyat, cahaya dalam hati kita menjadi makin terang. Maka dari itu, motivasi yang murni dan hati nurani yang suci adalah salah satu penyebab paling penting bagi suksesnya pelayanan kita. Kalau begitu, apakah sebenarnya motivasi yang murni dalam penginjilan? A. Kehendak Allah Kehendak Allah adalah unsur yang menentukan eksistensi dari segala sesuatu. Selain Allah sendiri, tidak ada hal lain yang lebih besar dari kehendak-Nya. Apakah kehendak Allah? Yaitu segala sesuatu yang telah ditetapkan dalam hati Allah. Allah adalah Allah yang kekal, yang melampaui sejarah, yang menciptakan waktu dan ruang. Segala sesuatu yang telah direncanakan dan ditetapkan dalam hati Allah melampaui waktu dan ruang adalah hal-hal yang berhubungan dengan kekekalan. Kehendak Allah tidak perlu dirundingkan dengan manusia. Keterlaksanaannya juga tidak perlu tergantung pada kerja sama manusia dengan-Nya. Dia adalah Allah yang melakukan segala sesuatu menurut kehendak sendiri. Sebagaimana perintah Raja harus dilaksanakan, terlebih lagi kehendak Allah pasti Dia genapi. Orang Tionghoa menyebut perintah raja sebagai perintah atau kehendak kudus. Karena itu, ketika utusan raja membawa perintah raja dan memasuki sebuah kota, juga disebut perintah kudus, maka berlututlah kepala daerah dan semua orang kepadanya. Bolehkah mereka berkata, "Perintah raja yang bagaimana? Dapatkah kita mendiskusikannya sebentar supaya kita tahu apakah perintah itu dapat dilaksanakan atau tidak?" Tentu tidak mungkin hal seperti itu terjadi. Yang ada hanya kewajiban untuk mematuhi. Rakyat tidak diberi kesempatan untuk berdiskusi. Jika raja dunia yang salah berbuat demikian, lalu bagaimanakah sikap kita terhadap Allah yang tidak mungkin berbuat salah? Saya tidak terlalu sering menggunakan istilah "kehendak" karena banyak orang Kristen yang ceroboh memakai istilah "kehendak Allah" atau "pimpinan Roh Kudus". "Dunia ini sedang lenyap dengan keinginannya, tetapi orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup selama-lamanya" (1 Yohanes 2:17). Oleh sebab itu, kita harus membedakan dengan tegas antara kehendak dan pimpinan. Kehendak Allah berbeda dengan pimpinan Roh Kudus, tetapi keduanya mempunyai hubungan. Pimpinan Roh Kudus akan membawa manusia memasuki kehendak Allah yang kekal; pimpinan adalah proses, sedangkan kehendak adalah ketetapan. Segala sesuatu yang direncanakan Allah dalam kekekalan merupakan keputusan yang tidak dapat diubah, tetapi bagaimana mungkin manusia yang berdosa dapat masuk ke dalam kehendak Allah? Untuk itu, diperlukan pimpinan Roh Kudus. Siapakah yang dapat dipimpin oleh Roh Kudus kecuali anak-anak Allah? (Roma 8:14) Roh bukan saja memperanakkan kita, tetapi Ia juga memimpin kita yang diperanakkan-Nya masuk ke dalam kehendak Allah untuk disempurnakan-Nya. Karena memberitakan Injil adalah hal yang sudah Allah tetapkan dalam kekekalan dan dipercayakan kepada kita untuk melaksanakannya, maka orang-orang yang dipredestinasikan oleh Allah akan menerima Injil, dan menjadi anak-anak Allah. Apakah doktrin ini menghambat pemberitaan Injil? Tidak! Sebab, predestinasi Allahlah yang menjamin kita berhasil dalam pemberitaan Injil. Jika kita sungguh-sungguh tahu bahwa penginjilan adalah menjalankan kehendak Allah, kita tidak terpengaruh oleh hasil kita. Bukankah Nuh sudah menjadi contoh bagi kita? Setelah 120 tahun memberitakan firman, yang menerima hanya keluarganya sendiri. Itu sebabnya, saya menganggap Nuh sebagai penginjil yang teragung sepanjang sejarah karena dia memberitakan berdasarkan kehendak Allah, bukan terpengaruh oleh hasil pemberitaannya. Sekalipun demikian, faktanya, pada saat kita memberitakan Injil, tidak mungkin tanpa ada hasil. B. Pengutusan Kristus Setelah Tuhan Yesus menang atas kuasa maut, Dia lalu mengutus gereja-Nya untuk memberitakan Injil. Jadi, kita memberitakan Injil karena Raja di atas segala raja dan Tuan di atas segala tuan telah memercayakan tugas penginjilan kepada kita. Paulus berkata, "Kalau andaikata aku melakukannya menurut kehendakku sendiri, ... pemberitaan itu adalah tugas penyelenggaraan yang ditanggungkan kepadaku" (1 Korintus 9:17). Tuhan memercayakan tugas itu kepada diri kita. Betapa mulia hal ini, dan menakutkan! Siapakah yang telah menyerahkan tugas ini kepada kita? Pencipta semesta alam, Tuhan yang telah menyelamatkan saya, yang akan menghakimi saya, bahkan menghakimi seluruh dunia! Tuhan yang begitu terhormat dan mulia menyerahkan tugas itu kepada kita, maka kita pun patut memiliki rasa tanggung jawab yang serius terhadapnya. Gerakan penginjilan sepanjang sejarah merupakan kepatuhan anak-anak Tuhan kepada pengutusan Kristus ini. Sejak saat rasul-rasul menerima Amanat Agung di bukit Galilea sampai sekarang, kita melihat dalil yang tidak pernah berubah, yaitu barang siapa mematuhi pengutusan ini, mereka menerima pertolongan Roh Kudus. Mereka menikmati penyertaan Allah, dan mereka menjadi rekan Allah untuk memberitakan Injil kepada umat manusia. C. Dorongan Kasih Kristus Paulus menyebutkan dengan jelas, "Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa" (Roma 5:8). Di sini terlihat bahwa "Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka" (2 Korintus 5:15). Ketika kasih hadir dalam hidup seseorang, dia akan menemukan bahwa hidupnya dilingkungi, dipegang, dan diliputi oleh kasih. Kasih telah menguasai kebebasannya, juga telah menentukan arah langkahnya. Oleh sebab itu, dirinya sendiri rela ia serahkan kepada Tuhan, dan segenap potensi yang ada pada dirinya ia serahkan sepenuhnya. Dengan kasih Allah inilah, beribu-ribu misionaris rela meninggalkan keluarga mereka, bangsa mereka, dan menuju tempat yang jauh untuk memberitakan Injil. Pada tahun 1969, saya pertama kali melintasi benua Asia menuju Eropa. Pada saat melewati Turki, karena terdorong oleh rasa ingin tahu, saya melihat keadaan di bawah melalui jendela pesawat terbang. Di situ terbentang provinsi Galatia, Atalia, dan daerah-daerah lain yang pernah dijelajahi oleh Paulus. Baru saya tahu bahwa daerah itu begitu tandus, begitu luas, begitu kering. Di daerah padang belantara yang kering kerontang semacam ini, bisakah kita membayangkan bagaimana Paulus telah pergi dengan kaki sebagai kendaraannya untuk memberitakan Injil? Jika bukan kasih Kristus yang mendorongnya, mungkinkah Paulus rela berkorban seperti ini? Dalam hati para rasul, terdapat suatu tekad yang agung, yaitu pergi, pergi! Paulus pergi, Petrus pergi, Yohanes pergi, Tomas pergi; pergi ke Afrika Utara, ke Arab, ke Eropa, ke India, ke Asia kecil; baik di padang belantara, di hutan rimba, mereka hanya tahu pergi, tanpa bertanya ke mana mereka harus pergi, kapan mereka kembali, apakah dijamin dapat kembali. Asalkan bisa pergi, hati mereka sudah cukup puas. Bagi orang yang rela mati di tangan Tuhan, adakah tempat yang tidak dapat dikunjunginya? Manusia semacam ini, semakin berat jatuhnya, semakin besar aniaya yang dideritanya, justru mendesak dia untuk menyelinap ke dalam lengan Tuhan yang penuh kasih dan kelembutan. Itulah sebabnya, mereka rela pergi. Di sinilah, letak rahasia rohani: berapa besar kasih seseorang terhadap Tuhan tergantung sampai berapa dalam dia menyelami kasih dan pengorbanan Tuhan di bukit Golgota. Bila seseorang sudah mengalami kasih itu dan menyelaminya dengan sungguh-sungguh, dengan sendirinya dia dapat mengasihi Tuhan dengan lebih mendalam. Paulus mengalami pelbagai mara bahaya, baik yang berasal dari banjir, penyamun, saudara-saudara palsu, di darat, di laut, dari orang Yahudi, dan bukan Yahudi; dalam keadaan telanjang, dihina, sengsara, kedinginan, diadili dan dipukul, mengalami penganiayaan dan penderitaan, tetapi dia tetap memberitakan Injil. Apakah sebabnya dia rela menanggung semua itu? Gilakah dia? Bodohkah dia? Sama sekali tidak! Sebaliknya, Paulus tergolong kaum intelektual agung pada zaman itu. Sampai hari ini, dia tetap termasuk salah seorang dari puluhan pemikir yang paling besar pengaruhnya terhadap umat manusia dalam sejarah. Tokoh yang demikian besar ternyata telah melalui suatu kehidupan yang amat sangat menderita -- dia dipukuli, dicaci maki, dan dianiaya. Apakah sebabnya dia mau menderita penganiayaan dunia yang sementara ini? Paulus sendiri pasti merasa heran sehingga dia menjawab, "Sebab kasih Kristus yang menguasai kami ...." (2 Korintus 5:14; dalam terjemahan lain: menggerakkan dan mendorong). Sebagaimana seorang ibu yang melahirkan tidak lagi bisa tahan ketika saatnya sudah tiba, demikian juga orang yang didorong oleh kasih Tuhan tidak mungkin menahan diri untuk memberitakan Injil. Itulah arti dari "menggerakkan dan mendorong". D. Perasaan Berutang Orang Kristen adalah orang yang menuju kesempurnaan melalui perasaan berutang. Dalam Alkitab, kita melihat utang kemuliaan kita terhadap Allah, utang kasih kita terhadap sesama, dan lebih dari itu, kita masih mempunyai utang terhadap dunia, yaitu utang Injil. Bila gereja hari ini tidak maju, itu adalah karena gereja tidak memiliki perasaan berutang. Paulus berkata, "Aku berhutang baik kepada orang Yunani, maupun kepada orang bukan Yunani, baik kepada orang terpelajar, maupun kepada orang tidak terpelajar" (Roma 1:14). Perasaan berutang semacam inilah yang selalu mendesak Paulus memberitakan Injil kepada manusia dari lapisan mana saja. Bagaimanakah dengan kita? Apakah kita juga menuju kesempurnaan melalui perasaan berutang ini, atau merasa diri sudah kaya sehingga menuju kepada kemiskinan rohani kita? Bukankah kita yang seharusnya menginjili dunia, tidak peduli siapa mereka, baik kaum miskin, kaum kaya, orang intelektual, maupun rakyat jelata, yang sama-sama membutuhkan Injil? Bukankah perasaan berutang ini harus diikuti oleh pembayarannya, yakni melaksanakan penginjilan? Apakah kita sudah memperlengkapi diri untuk mengisi kebutuhan setiap lapisan masyarakat dengan Injil secara relevan? E. Pengharapan Manusia Alkitab dengan jelas memberitakan bahwa, "Injil Kerajaan ini akan diberitakan di seluruh dunia menjadi kesaksian bagi semua bangsa, sesudah itu barulah tiba kesudahannya" (Matius 24:14). Jadi, apakah yang harus dilakukan oleh orang-orang yang mengharapkan kedatangan Tuhan kembali? Ada dua hal yang harus kita lakukan: yang pertama, menyucikan diri, dan yang kedua, menyelesaikan pekerjaan-Nya melalui pemberitaan Injil. Bagaimanakah kita harus menyambut kedatangan Tuhan kembali? Bukankah dengan hati yang bersih dan tangan yang suci? Dengan demikian, kita harus meniadakan kejahatan dari hati kita, dan menghapus tipu daya dari tangan kita, menghapus segala kenajisan dan hati yang bercabang, supaya kita dapat menantikan kedatangan Yesus Kristus kembali dengan tulus, dengan tekad yang bulat, dengan hati nurani yang bersih, dengan kehidupan yang suci. Alkitab hampir tidak menyinggung berdasarkan apakah kita dipakai oleh Tuhan, kecuali menjadi kudus. "Jika orang menyucikan dirinya dengan hal-hal yang jahat, ia akan menjadi perabot rumah untuk maksud yang mulia, ia dikuduskan, dipandang layak untuk dipakai tuannya dan disediakan untuk setiap pekerjaan yang mulia" (2 Timotius 2:21). Taat kepada Roh Kudus, membiarkan Roh Kudus bekerja dalam diri kita. Dengan itulah, baru kita dapat mempunyai kehidupan yang kudus dan menghasilkan buah-buah Roh Kudus. Hal yang kedua, yaitu memberitakan Injil sampai Kristus datang kembali. Sebab, kedatangan Kristus yang kedua kali itu bukan dengan status Juru Selamat, bukan lagi sebagai utusan perdamaian, melainkan sebagai Hakim yang terakhir, penghakiman dari yang Maha Kuasa. Itu sebabnya, kita harus memberitakan firman Tuhan dengan serius, menasihati orang agar bertobat kembali kepada Kristus. Audio Motivasi Bagi Penginjilan
Allah yang Pemurah
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Peristiwa Keluaran, yakni seluruh kisah Musa memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir dan berjalan melintasi padang gurun selama empat puluh tahun, cenderung identik dengan kemahakuasaan Allah yang menghancurkan musuh-Nya serta keadilan Allah yang menuntut manusia untuk hidup kudus sempurna. Namun, ada satu aspek di dalamnya yang kerap terlupakan -- suatu atribut kekal Allah yang seolah tertimbun di bawah tumpukan hukum Taurat yang ketat -- yakni kemahahadiran Allah, kesetiaan-Nya yang lembut. Inilah sisi yang secara unik diangkat dalam artikel di bawah. Dalam tulisannya ini, Sinclair Ferguson mengajak kita menjelajahi kisah Keluaran yang dahsyat dan riuh dengan kembali pada suatu hari yang tampak biasa di Gunung Horeb, saat Musa sedang sendirian di tengah keheningan alam bersama kambing domba mertuanya. Peristiwa nyala api di atas semak duri yang telah familiar ini dikaji sedemikian hingga kita melihat kedalaman karakter ilahi yang jarang digali dari kisah ini. Allah bukan saja tiang api raksasa yang bisa menyelubungi ribuan orang, tetapi Ia juga bisa mewahyukan diri dalam bentuk kobaran api yang kelihatannya tidak berbahaya sehingga menarik perhatian Musa untuk datang mendekat. Itulah Tuhan kita, akbar tak terukur, tetapi bisa dan mau mengecilkan diri sedemikian rupa untuk ada bersama manusia. Merendahkan diri hingga seolah hilang kemegahan-Nya supaya bisa didekati umat-Nya. Inilah Allah pemurah. Eksposisi terhadap episode pemanggilan Musa dalam artikel ini secara jeli menyibakkan kesinambungan antara penyingkapan pribadi Allah dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, terutama dalam aspek kemahahadiran-Nya yang senantiasa setia di tengah umat manusia. Ia mendengar jerit pilu penderitaan anak-anak-Nya di bawah perbudakan, sehingga, sekalipun bersemayam dalam surga tanpa duka, Ia memilih untuk turun ke dunia penuh nestapa untuk hadir bersama kita yang dikasihi-Nya.
Edisi:
Edisi 1976/Februari 2018
Isi:
Musa sangat terpesona dengan api yang nyalanya tak tergantung dari semak duri yang di atasnya ia menyala. Akan tetapi, ada satu hal lagi yang menarik perhatian Musa. Musa berkata, "Baiklah aku menyimpang ke sana untuk memeriksa penglihatan yang hebat itu. Mengapakah tidak terbakar semak duri itu?" (Kel. 3:3) Kenyataan ini berlawanan dengan apa yang Musa ingin lihat: Api itu tidak menghanguskan semak duri.
"Moses before the Burning Bush" karya Domenico Fetti
Musa tidak menyadari hal ini sampai pada akhirnya Allah memberitahukan apa maksud dari semua itu. Dia bermaksud untuk diam di tengah-tengah umat-Nya -- Allah yang adalah api yang menghanguskan (Ibr. 12:29) -- tetapi umat-Nya itu dapat tetap selamat dan tidak turut dihanguskan. Mereka akan belajar untuk berkata, "Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya" (Rat. 3:22). Maksud Allah dalam peristiwa ini digarisbawahi lebih lanjut oleh Musa pada waktu Allah menyatakan nama-Nya. Berbagai terjemahan modern mengindikasikan bahwa nama itu dapat diterjemahkan dengan lebih dari satu cara. Nama itu memang mengandung lebih dari satu arti penting. Nama itu tidak hanya berarti "AKU ADALAH AKU", tetapi juga dapat berarti "Aku akan menjadi seperti apa Aku mau menjadi". Allah juga mengatakan kepada Musa bahwa hal itu akan tampak dalam karya penyelamatan dan penghukuman Allah pada saat Ia melepaskan Israel dari tangan bangsa Mesir, yang melaluinya Allah akan menunjukkan siapa Ia sebenarnya dan apa yang sedang Ia rencanakan. Lebih lanjut Allah berkata: TUHAN berfirman: "Aku telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umat-Ku di tanah Mesir, dan Aku telah mendengar seruan mereka yang disebabkan oleh pengerah-pengerah mereka, ya, Aku mengetahui penderitaan mereka. Sebab itu Aku telah turun untuk melepaskan mereka dari tangan orang Mesir dan menuntun mereka keluar dari negeri itu ke suatu negeri yang baik dan luas, suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya, ke tempat orang Kanaan, orang Het, orang Amori, orang Feris, orang Hewi, dan orang Yebus. Sekarang seruan orang Israel telah sampai kepada-Ku; juga telah Kulihat, betapa kerasnya orang Mesir menindas mereka. Jadi sekarang, pergilah, Aku mengutus engkau kepada Firaun untuk membawa umat-Ku, orang Israel, keluar dari Mesir. (Kel. 3:7-10) Kata kerja yang dipakai di ayat ini memberikan banyak pengertian penting kepada kita. Berulang kali, kata kerja yang dipakai ialah kata kerja orang pertama tunggal -- "Aku telah ...." Musa tidak banyak diberi tahu mengenai apa sebenarnya yang akan ia kerjakan, tetapi apa yang akan Allah kerjakan dalam kuasa-Nya yang berdaulat. Allah berencana untuk menyelamatkan umat-Nya dengan tangan-Nya sendiri. Dia sendiri yang akan mengalahkan musuh mereka dan membebaskan mereka. (Pada pasal berikutnya dari kitab Keluaran, ilustrasi lain digunakan untuk menggambarkan pembebasan ini: Allah menukik bagaikan rajawali, merampas umat-Nya dari tangan Firaun, dan membawa mereka keluar dari Mesir di atas kepakan sayap-Nya -- Kel. 19:4. Dia melakukan apa yang tidak dapat mereka lakukan sendiri.) Perhatikan, ada beberapa jenis aktivitas Allah yang disebutkan di sini; Dia melihat penderitaan mereka, Dia mendengar tangisan mereka, Dia memperhatikan penderitaan mereka; Dia turun untuk menyelamatkan mereka. Semuanya ini menunjukkan perhatian Allah Kita juga harus melihat bagian Alkitab lain yang mungkin merupakan gambaran paling hidup mengenai perhatian yang diberikan oleh "AKU ADALAH AKU" kepada umat-Nya saat Ia melepaskan mereka dari tangan Mesir. Adalah Nabi Yehezkiel, yang mengajarkan kepada kita untuk tidak menyalahartikan ketidaktergantungan Allah dalam keberadaan-Nya yang kekal dan ketidakacuhan-Nya terhadap kebutuhan umat-Nya. Justru sebaliknyalah yang terbukti benar: Kelahiranmu begini: Waktu engkau dilahirkan, pusatmu tidak dipotong dan engkau tidak dibasuh dengan air supaya bersih; juga dengan garampun engkau tidak digosok atau dibedungi dengan lampin. Tidak seorang pun merasa sayang kepadamu sehingga diperbuatnya hal-hal itu kepadamu dari rasa belas kasihan; malahan engkau dibuang ke ladang oleh karena orang pandang enteng kepadamu pada hari lahirmu. Maka Aku lalu dari situ dan Kulihat engkau menendang-nendang dengan kakimu sambil berlumuran darah dan Aku berkata kepadamu dalam keadaan berlumuran darah itu: Engkau harus hidup dan jadilah besar seperti tumbuh-tumbuhan di ladang! Engkau menjadi besar dan sudah cukup umur, bahkan sudah sampai masa mudamu. Maka buah dadamu sudah montok, rambutmu sudah tumbuh .... (Yeh. 16:4-7) Ya, Musa akan menyaksikan kedahsyatan kuasa Allah yang menyelamatkan. Akan tetapi, kuasa itu juga mengekspresikan kelembutan dan keindahan kasih dari rahmat Allah yang tak berkesudahan. Allah kita adalah Allah yang menghanguskan (lihat Ul. 4:24; Yes. 33:14; Ibr. 12:29). Dia tampil sebagai Api yang menyala untuk selama-lamanya, dan tinggal di tengah-tengah umat-Nya. Namun, Dia tidak menghanguskan mereka, Dia menyelamatkan mereka! Api itu tidak bergantung pada semak duri; Api itu tidak menghanguskan semak duri, tetapi api itu hadir di dalam semak duri. Semua ini menunjuk pada karakter ilahi ketiga Allah memang berkata kepada Musa, "Aku akan beserta denganmu." Akan tetapi, dengan cara bagaimana Allah akan menyertai Musa? Jawabannya kembali terdapat pada peristiwa keluarnya orang Israel dari Mesir. Arti dari peristiwa itu adalah bahwa Allah mengingat perjanjian yang telah diadakan-Nya dengan bangsa ini (Kel. 2:24 dan 6:5). Dia akan tetap memegang janji yang telah Dia ikat dengan Abraham, Ishak, dan Yakub. Inti perjanjian itu (sebagaimana inti dari seluruh perjanjian yang terdapat di Alkitab) adalah "Aku akan menyertai engkau" (Kel. 3:12). Penyertaan Allah atas kita adalah inti dari apa yang Ia janjikan kepada kita. Kita dapat merasa yakin atas penyertaan Allah karena Dia telah memberikan kepada kita janji ini. Terlebih lagi, apabila Allah beserta kita, tak ada suatu apa pun yang dapat melawan kita! Semakin lama kita menjadi seorang Kristen, semakin kita melihat dengan jelas betapa penting kebenaran yang tampaknya sederhana ini. Dalam beberapa hal, inilah pusat dari Injil -- "Imanuel, Allah beserta kita". Ini juga merupakan fakta yang paling dasar dari pengalaman hidup kita sebagai orang Kristen. Ketika Anda membaca cerita "semak duri yang terbakar", pernahkah Anda memperhatikan siapa yang berbicara kepada Musa dan berjanji untuk menyertainya? Dia yang berbicara kepada Musa di dalam Keluaran 3:2 digambarkan sebagai "Malaikat TUHAN". "Malaikat TUHAN" inilah yang menyingkapkan nama-Nya, yang berjanji untuk membebaskan Israel dan menebus mereka dari perbudakan. Siapakah sebenarnya Malaikat TUHAN ini? Apakah Ia adalah pesuruh yang diutus oleh Allah ataukah Allah sendiri? Bagian Alkitab selanjutnya akan memberikan jawabnya bagi kita.
"The Transfiguration of Christ" karya Tiziano Vecellio
Malaikat yang muncul di hadapan Musa di dalam semak duri adalah sama dengan Bayi yang muncul di hadapan manusia di sebuah palungan di kota Betlehem. Malaikat yang berbicara kepada Musa di padang gurun untuk membawa keluar orang Israel dari perbudakan Mesir adalah juga Dia yang berbicara dengan Musa dan Elia ketika mereka berdua menampakkan diri di hadapan-Nya di atas gunung dan berbicara dengan-Nya mengenai kematian-Nya untuk membawa keluar umat-Nya dari perbudakan dosa. Seperti yang telah kita bicarakan sebelumnya, kata Yunani yang dipakai dalam Lukas 9:31 mempunyai makna yang sama dengan kata yang dipakai dalam Keluaran. Dia yang "menamakan" diri-Nya "AKU ADALAH AKU" sama dengan Dia yang menyebut diri-Nya: Roti Hidup; Jalan dan Kebenaran dan Hidup; Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa kalau tidak melalui Aku; Kebangkitan dan Hidup. Dialah Pribadi yang pada saat berkata, "Akulah Dia," membuat jatuh para tentara yang bertanya kepada-Nya, "Apakah Engkau Yesus?" Mereka jatuh karena terkena dampak dari perkataan-Nya ketika Ia menyatakan identitas-Nya sebagai sang Kekal (Yoh. 18:6). Musa melihat dalam kekaburan, tetapi sekarang kita dapat melihat dengan jelas. Yesus telah menggenapi perjanjian Allah. Di dalam-Nya, kita menemukan hadirat Allah, Imanuel, Allah beserta kita. Saat kita menyadari kebenaran ini, yaitu bahwa hadirat Allah beserta dengan kita, beberapa hal penting seharusnya mengikuti kehidupan kita, seperti halnya itu mengikuti kehidupan Musa. Kita seharusnya dipenuhi dengan kerendahan hati yang baru karena kita telah bertemu dengan Allah. Kita seharusnya mempunyai rasa aman di dalam diri kita karena kita telah bertemu dengan Allah dan tetap hidup. Apa lagi yang perlu ditakuti? Kita seharusnya penuh dengan perasaan syukur karena Allah telah bekerja bagi kepentingan kita. Inikah Allah yang Anda kenal? Dengan cara inikah Anda mengenal-Nya? Jika ya, tak ada hal lain apa pun yang menjadi masalah bagi kita. Segala sesuatu yang lain akan berada di tempat yang seharusnya untuk melayani Allah. Pada akhirnya, inilah lagu yang baik sekali untuk dinyanyikan:
Allah menyatakan kehadiran-Nya
Kristus sebagai Nabi, Imam, dan Raja
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Frasa "Kristus sebagai Nabi, Imam, dan Raja" sudah tidak asing lagi di telinga kita, bahkan mungkin sudah sangat lekat dalam benak setiap orang percaya. Perjanjian Lama menubuatkan kedatangan Sang Nabi Agung, Imam Besar, dan Raja Semesta ini, sementara Perjanjian Baru menceritakan penggenapannya. Dalam Surat Ibrani dijelaskan dengan gamblang bagaimana Kristus menggenapkan jabatan imam besar; kepada Rasul Yohanes, Ia menyatakan kedaulatan-Nya sebagai Raja, yang ditulis dalam kitab Wahyu; sementara itu, Injil-Injil sinoptik menceritakan bagaimana Yesus melayani sebagai Nabi. Tentu saja, kita mengimani ketiga peranan Kristus tersebut sebagai suatu fungsi ilahi yang memungkinkan tersampaikannya firman Allah kepada dunia, subsitusi dan penebusan dosa manusia, serta pemerintahan Allah yang absolut. Kita bersyukur atas hal-hal tersebut, mengagungkan Dia, serta menghayati karya-Nya dalam menggenapi ketiga fungsi itu. Lebih jauh lagi, kita bahkan menyebut diri sebagai imamat rajani, sebab demikianlah predikat yang Alkitab katakan mengenai jemaat-Nya (1 Petrus 2:9). Hal itu berarti jabatan Kristus sebagai Nabi, Imam, dan Raja tidak berhenti pada pribadi Yesus saja, tetapi memiliki implikasi terhadap diri kita sebagai umat-Nya. Bagaimana doktrin Kristologi, yang tampaknya begitu transenden dan baka ini, terkait dengan kehidupan praktis manusia setiap hari? Bagaimana konsep ini seharusnya membentuk kita, orang Kristen, untuk menghidupi teladan Tuhan kita yang adalah nabi, imam, dan raja? Edisi pertama pada tahun yang baru ini mengajak kita berefleksi pada sebuah kebenaran hakiki sehingga kita mampu menghidupinya di tengah tantangan zaman.
Edisi:
Edisi 196/Januari 2018
Isi:
Sekilas Konteks HistorisBibit pemikiran mengenai Kristus sebagai Nabi, Imam, dan Raja diduga sudah muncul dalam pemikiran Bapa Gereja Eusebius dari Kaisarea. Memang, sebelum Reformasi, ada beberapa pembahasan yang menyoroti aspek-aspek dari raja, imam, atau nabi secara terpisah. Namun, Johanes Calvin yang kemudian diakui sebagai tokoh yang secara unik mengembangkan pemahaman ini secara komprehensif dan terstruktur, khususnya dalam melihat Kristus sebagai penggenapan sempurna dari tiga jabatan penting ini. Dengan demikian, orang-orang percaya sudah sewajarnya hidup dengan meneladani Kristus sebagai contoh yang sempurna. Pengertian mengenai nabi, imam, dan raja kemudian terus muncul dalam pengakuan-pengakuan iman Kristen sepanjang sejarah: Heidelberg Catechism Heidelberg Catechism Heidelberg Catechism Heidelberg Catechism Heidelberg Catechism Dari perspektif teolog A.A. Hodge, Kristus memiliki jabatan (office) sebagai mediator. Kemudian, dalam jabatan ini, Kristus memiliki tiga fungsi, yakni nabi, imam, dan raja. A.A. Hodge tidak terlalu setuju untuk memisah-misahkan ketiga fungsi ini. Ketiga fungsi ini bagaikan organ-organ tubuh yang mendukung dan berkontribusi untuk kesatuan tubuh. Bagi Hodge, “Christ is always a prophetical Priest and a priestly Prophet, and he is always a royal Priest and a priestly King, and together they accomplish one redemption, to which all are equally essential.”[1] Tantangan Saat Ini[2]Sebelum merenungkan berbagai prinsip dan aspek aplikasi, penulis sedikit memikirkan berbagai tantangan yang kerap kita hadapi sebagai orang Kristen pada zaman ini sehingga aspek aplikasi yang dibagikan bisa relevan dalam menjawab tantangan-tantangan ini. Pertama, zaman ini sangat menekankan aspek pluralisme dan relativisme. Secara khusus, dengan maraknya media dan dukungan kemajuan teknologi, orang-orang dengan berbagai latar belakang dan kepercayaan bisa berinteraksi dan membagikan pendapat atau pemikirannya. Dalam konteks seperti ini, menjadi sulit untuk mengakui ada satu pemikiran yang paling benar (kebenaran absolut). Setiap orang dianggap berhak untuk menentukan kebenaran bagi dirinya sendiri, memiliki cara pandangnya sendiri, dan kemudian mengekspresikannya. Kedua, zaman ini sangat menekankan aspek individu yang cenderung egois dan self-centered. Yang diidamkan adalah kesenangan, kemajuan, dan kenikmatan bagi diri sendiri. Dengan kondisi seperti ini, menjadi sulit untuk menghayati hidup yang dipersembahkan seutuhnya kepada Tuhan, dan memberikan kontribusi positif bagi komunitas atau masyarakat. NabiJabatan nabi memiliki penekanan kuat pada hati yang peka terhadap suara Tuhan sekaligus keberanian untuk memberitakannya. Nabi harus sangat sensitif dalam membedakan suara Tuhan dengan suara hati, pikirannya sendiri, dan bahkan suara setan. Ketika seorang nabi sudah berfirman atas nama Tuhan, jika yang dinyatakan tidak benar atau tidak terjadi, nabi harus siap menanggung konsekuensi hukuman mati. Ketika pesan dari Tuhan sudah jelas, nabi harus berani memberitakan pesan itu dengan tegas dan setia tanpa ditambah ataupun dikurangi, tidak peduli seberapa keras atau buruk pesan tersebut, dan tidak peduli kepada siapa pesan itu harus dinyatakan (baik kepada imam, ahli Taurat, tua-tua, panglima, bahkan raja sekalipun). Ketika Kristus di dunia, berkali-kali Ia dituliskan senantiasa mengkhususkan waktu untuk berelasi dengan Bapa-Nya. Kristus dituliskan selalu pergi ke tempat yang sunyi saat pagi-pagi benar untuk berdoa dan bersekutu dengan Bapa. Penulis percaya bahwa kepekaan kita sebagai orang Kristen sangat ditentukan melalui momen-momen seperti ini. Dalam bagian lain dalam Injil, perkataan yang begitu keras dan menusuk juga kerap Kristus lontarkan kepada orang-orang Farisi, misalnya dalam Yohanes 8:44 ketika Yesus mengatakan kepada orang-orang Farisi bahwa bapa mereka adalah Iblis. Dalam menghayati fungsi nabi, kita bisa memikirkan seberapa jauh kerinduan dan kepekaan kita dalam mendengar suara Allah. Hal ini bisa dimulai dari seberapa sungguh kita mengkhususkan waktu untuk membaca, merenungkan, dan merindukan firman Tuhan. Hal ini juga terefleksi dalam keseriusan dan kesungguhan kita dalam berkata-kata. Sebab, apa yang terpancar keluar melalui perkataan bersumber dari kedalaman hati. Melalui lidah yang kecil, terkandung kuasa yang begitu besar, baik itu kuasa untuk membangun maupun kuasa untuk menghancurkan. Dalam konteks masyarakat yang plural dan relatif, ini tentunya menjadi tantangan frontal dalam memberitakan keunikan pribadi Kristus. Pribadi Kristus sebagai satu-satunya jalan, kebenaran, dan hidup menjadi suatu kesulitan besar untuk diterima dan dimengerti bagi masyarakat plural dengan rupa-rupa pandangannya. Penghayatan kita akan fungsi nabi seharusnya memberikan kita dorongan dan keberanian dalam memberitakan Injil. ImamJabatan imam sangat terkait dengan aspek kekudusan dan sifat pengantara. Imam harus memisahkan dirinya dan mendedikasikan seluruh hidupnya untuk Allah, secara spesifik pelayanan dalam konteks Bait Allah. Imam harus siap untuk hidup secara berbeda dengan orang-orang lain secara umum, misalnya: tidak boleh minum anggur, menikahi janda, menyentuh mayat, dan lain-lain. Imam juga harus sadar dan peka akan keberdosaan masyarakat. Di sana, ia berperan sebagai pengantara untuk berdoa bagi masyarakat dan mempersiapkan kurban untuk pengampunan dosa. Dalam hidup Kristus sendiri, sebagai imam, Kristus memiliki dorongan kuat untuk mendoakan orang lain, secara khusus murid-murid-Nya, misalkan saja doa yang begitu indah yang tertulis dalam Yohanes 17, suatu doa agar murid-murid-Nya dikuatkan untuk hidup dan bersaksi di dalam dunia. Yesus juga dituliskan menangisi Yerusalem, kota yang begitu kejam, yang telah menolak Kristus dan pelayan-pelayan yang Tuhan utus pada zaman sebelumnya. Dalam menghayati fungsi imam, kita harus siap untuk hidup berbeda di hadapan Allah. Ketika lingkungan atau komunitas sekeliling kita sudah menganggap lumrah dosa tertentu, kita harus memiliki ketegasan untuk hidup berbeda sebagai umat Allah, misalnya dosa keserakahan (yang diberi topeng sebagai niat atau dorongan untuk maju), dan sikap apatis atau tidak peduli (yang diberi topeng fokus atau prioritas terhadap hal-hal yang kita anggap ‘penting’). Selama kita hidup di dunia, kelemahan demi kelemahan akan terus-menerus kita saksikan, baik dalam lingkup keluarga, sekolah, gereja, perusahaan, maupun negara. Memang mudah untuk menyebarkan gosip, mengolok-olok, atau sekadar mengutuki kelemahan-kelemahan tersebut. Namun, bukan itu reaksi yang sepatutnya jika kita menjalankan fungsi imam. Dalam menjalankan fungsi imam, kita sudah seharusnya memiliki hati yang sensitif, kesedihan dalam melihat realitas dunia berdosa, dan mendoakan hal-hal tersebut. RajaJabatan raja memiliki keunikan dalam menjalankan keadilan dan melakukan pengelolaan, baik itu mengelola pemerintahan, masyarakat, militer, maupun sumber daya alam. Ketika aspek-aspek tersebut dikelola dengan baik, akan tercapai kesejahteraan dalam masyarakat, misalnya dalam pemerintahan Daud dan masa-masa awal pemerintahan Salomo. Sangatlah penting bagi seorang raja untuk mengetahui prinsip kebenaran dan keadilan sehingga seorang raja dapat menilai suatu perkara atau situasi, lantas mengambil suatu keputusan yang benar dan adil. Lebih jauh lagi, kita juga percaya bahwa Kristus adalah Raja yang sejati, Raja yang berhak menerima segala kemuliaan, puji, dan hormat. Kristus, Sang Pencipta, yang bertakhta dan berkuasa atas seluruh ciptaan. Seperti yang juga dinyatakan dalam Kitab Daniel, kerajaan dunia akan naik dan turun, datang dan pergi. Namun, akan datang Kerajaan Allah yang kekal sampai selama-lamanya. Pengertian Kristus sebagai raja sangat bertentangan dengan konsep zaman ini yang mengajarkan bahwa diri sendirilah yang menjadi pusat. Kita hidup tidak semata-mata untuk diri sendiri. Keseluruhan hidup kita adalah persembahan hidup bagi Allah. Terlebih lagi, dengan meneladani Allah yang memerintah dengan adil, kita juga sudah selayaknya mengerjakan tanggung jawab kita dengan sungguh-sungguh di hadapan Allah. Allah telah memberikan kepada setiap kita takaran yang berbeda-beda dalam mengelola sesuatu, baik itu mengelola waktu, studi, pekerjaan, maupun anak-anak. Segala hal yang ada pada kita bukan semata-mata hak milik kita. Itu semua harus dikelola dengan sungguh-sungguh dan dipertanggungjawabkan kembali kepada Allah sebagai Sang Pemberi Anugerah. Keyakinan akan otoritas dan kekuasaan Kristus juga akan memberikan kita kestabilan dan ketenangan dalam menghadapi hiruk pikuk dunia yang sudah jatuh dalam dosa ini. Dalam keseharian kita, kerap kita mendengar dan menyaksikan berita mengenai peperangan, bencana, tragedi, penyakit, dan berbagai kesulitan. Hanya ketika kita memiliki pengharapan akan Kerajaan Allah yang kekal, kita bisa menghadapi itu semua dengan penuh ketabahan dan pengharapan. Endnotes: Audio Kristus sebagai Nabi, Imam, dan Raja
Inkarnasi Yesus
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Terdapat suatu perbandingan yang menarik dalam Ibrani pasal 1 dan pasal 2 yang perlu kita telaah bersama. Dalam Ibrani pasal 1, dikatakan bahwa Kristus lebih tinggi dari para malaikat, sementara dalam pasal 2 dikatakan bahwa dalam sekejap waktu, Allah Bapa menjadikan Kristus sedikit lebih rendah daripada malaikat. Apa arti dan tujuan penulis kitab Ibrani menuliskan hal ini? Inilah makna mendalam dari "Inkarnasi Kristus". Melalui artikel sajian e-Reformed Desember 2017, Pdt. Stephen Tong menjelaskan arti "Inkarnasi Kristus" dengan sangat baik untuk kita semua. Allah rela menjadi manusia, inilah inti Natal. Suatu momentum untuk kembali mengingat dan mengucap syukur bahwa Allah yang berkuasa dan tidak terbatas rela memberikan diri-Nya dengan sukarela untuk turun ke dunia menjadi manusia yang terbatas. Jika selama ini kita memaknai Natal dengan pesta pora dan hadiah-hadiah, marilah kita bertobat dan melihat dengan cara pandang Alkitab. Sebab, hal sebaliknya yang terjadi dengan Kristus, Natal adalah permulaan dari penderitaan Kristus. Kehadiran-Nya di dunia disambut dengan kehinaan. Namun, Ia rela menjalani kehinaan supaya bisa hidup dengan manusia dan menyertai manusia (Imanuel). Inilah bukti nyata cinta kasih Allah, inilah Natal. Selamat menyambut dan merayakan Natal kepada seluruh pembaca setia publikasi e-Reformed. Biarlah kita selalu merasakan penyertaan dan cinta kasih Allah dalam hidup kita, dan kita terus didorong untuk mengasihi sesama dan mengabarkan Injil Kristus Yesus kepada mereka yang belum mendengar-Nya. Imanuel - Soli Deo Gloria! Semoga Natal tahun ini menolong kita untuk semakin dekat kepada-Nya.
Edisi:
Edisi 195/Desember 2017
Isi:
Karena kepada siapakah di antara malaikat-malaikat itu pernah Ia katakan: "Anak-Ku Engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini?" dan "Aku akan menjadi Bapa-Nya, dan Ia akan menjadi Anak-Ku?" (Ibrani 1:5) "Karena anak-anak itu adalah anak-anak dari darah dan daging, maka Ia juga menjadi sama dengan mereka dan mendapat bagian dalam keadaan mereka, supaya oleh kematian-Nya, Ia memusnahkan dia, yaitu Iblis, yang berkuasa atas maut; dan supaya dengan jalan demikian Ia membebaskan mereka yang seumur hidupnya berada dalam perhambaan oleh karena takut-Nya kepada maut. Sebab sesungguhnya, bukan malaikat-malaikat yang Ia kasihani, tetapi keturunan Abraham yang Ia kasihani." (Ibrani 2:14-16) Ibrani merupakan kitab yang memberikan pengertian mengenai Kristologi yang mendalam kepada kita. Dalam pasal pertama, kitab Ibrani memberikan perbandingan Kristus dengan malaikat dengan cara kualitatif, bukan kuantitatif. Karena tidak pernah ada seorang malaikat pun yang menerima perkataan dari Allah Bapa seperti ini, "Anak-Ku Engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini.” Perkataan "hari ini" berarti everlasting present. Suatu keberadaan yang kekal, yang tidak pernah berubah, yang terus-menerus. Kristus dilahirkan dalam kekekalan. Ia menerima kelahiran kekekalan sebagai Anak Allah Yang Tunggal. Dia satu-satunya yang disebut Anak, Kristus Anak Tunggal Allah. Akan tetapi, Anak Tunggal Allah ini pernah diberikan ke dalam dunia dengan cara dilahirkan sebagai manusia dan berada di tengah-tengah manusia. Itu sebabnya, pada Ibrani pasal 2, dikatakan bahwa Dia berlainan dari semua malaikat, bahkan pernah menjadi lebih rendah sedikit daripada malaikat, untuk sekejap waktu. Bukankah kedua pasal yang membandingkan Kristus dengan malaikat menarik perhatian kita secara luar biasa? Di dalam Ibrani pasal 1 dikatakan, "Kristus jauh lebih tinggi daripada semua malaikat." Ibrani pasal 2 mengatakan, "Dia lebih rendah sedikit daripada malaikat." Apakah artinya? Dalam Ibrani pasal pertama dikatakan bahwa Kristus adalah Allah, dan dalam pasal dua dikatakan bahwa Kristus adalah manusia. Jikalau Kristus adalah Allah, tetapi bukan manusia, tidak ada pengharapan bagi manusia yang sudah berdosa untuk diselamatkan. Jikalau Kristus adalah manusia, tetapi bukan Allah, tidak ada pengharapan bagi Dia yang begitu agung dan baik, tetapi mati dan akhirnya tidak mungkin bangkit. Justru Kristus lebih tinggi daripada malaikat menyatakan bahwa Dia adalah Allah, maka Dia mempunyai kuasa penyelamatan yang tidak terbatas. Sebaliknya, karena Kristus adalah manusia, maka Dia mempunyai kemungkinan untuk mewakili kita masing-masing, menerima hukuman dari Allah yang adil dan suci di tempat yang Mahatinggi, serta menanggung dosa kita dalam tubuh-Nya sebagai manusia. Ini merupakan suatu rahasia dari kemenangan sifat manusia sebagai wakil manusia yang kedua (Roma 5; 1 Korintus 15). Dua macam eksistensi manusia menurut pandangan Allah adalah: 1. Eksistensi manusia di dalam Adam 2. Eksistensi manusia di dalam Kristus Di dalam Adam, seluruh manusia dianggap sebagai kaum pemberontak oleh Allah. Anak-anak durhaka yang tidak taat kepada perintah Allah. Akan tetapi, semua orang yang ada di dalam Kristus diterima-Nya sebagai kaum yang taat. Karena Kristus menyatakan ketaatan yang mutlak mewakili manusia, maka setiap manusia, yang taat kepada Kristus, menunjukkan ketaatannya dalam ketaatan Kristus yang diterima oleh Allah. Oleh karena itu, Kristus boleh dijadikan sebagai Sumber Keselamatan Yang Kekal (Ibrani 5:9-10). Kristus pernah untuk sementara lebih rendah sedikit dari malaikat. Sebuah kutipan dari Perjanjian Lama. Mazmur 8 merupakan suatu penilaian atas identitas manusia di dalam alam semesta. "Allah telah menciptakan manusia lebih rendah sedikit daripada Allah." Terjemahan lain yang lebih tepat ialah, "Lebih rendah sedikit daripada malaikat". Manusia bukan Allah, manusia juga bukan binatang. Manusia bukan malaikat, bukan makhluk yang lain. Manusia adalah manusia. Manusia memiliki identitas yang khas dan tidak ada bandingannya dalam urutan rencana penciptaan alam semesta dan keselamatan. Hewan mempunyai seks, tetapi tidak ada kasih; malaikat memiliki kasih, tetapi tidak ada seks. Pada manusia, ada kasih dan seks. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang menggunakan kasih untuk mengendalikan seks, dapat mempersembahkan seks menjadi suatu pengutaraan kasih yang luar biasa untuk menikmati hidup yang diciptakan Tuhan. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mewakili Allah untuk menguasai alam. Dan, manusia adalah satu-satunya makhluk yang mewakili alam untuk bersembah sujud kepada Allah. Keunikan dan kekhasan dari sifat manusia ini dikarenakan manusia diciptakan menurut peta dan teladan Allah. Manusia adalah wakil alam semesta, yang diwakili oleh Adam. Di dalam Adamlah, manusia diciptakan dan mewarisi ciptaan; menurut peta dan teladan Allah. Ketika Adam gagal, semua manusia keturunan Adam dipandang gagal oleh Tuhan Allah. Karena Adam memberontak, maka semua manusia dipandang sebagai pemberontak. Ketika Adam tidak taat, maka semua manusia dipandang tidak taat. Akibat dari kegagalan itu adalah kebinasaan. Namun, Tuhan Allah yang tidak ingin melihat kebinasaan dari ciptaan yang berdasarkan peta dan teladan-Nya ini, maka Ia harus memberikan wakil kedua, yaitu Yesus Kristus. Allah tidak memilih dari antara malaikat atau dari kalangan orang suci yang terbaik. Bukankah Tiongkok memiliki Konfusius, Lao Tze, Muti? Bukankah India sudah mempunyai Tagore, Ratna Khrisnan? Bukankah Yunani mempunyai Socrates, Empedokles, dan Seneca? Bukankah Roma mempunyai orang-orang yang hebat seperti Epikurus? Bukankah India mempunyai Budha, menghasilkan Upanisad, buku agung dalam bidang agama? Bukankah Jepang mempunyai Sintoisme, sementara Persia dengan Zoroaterismenya? Mengapa semua itu tidak cukup? Mengapa Kristus masih perlu dikirim ke dalam dunia ini? Karena seorang Juru Selamat tidak dipilih dari seorang manusia dan bukan pula dari malaikat. Allah memilih Juru Selamat melalui Oknum Kedua dari Allah Tritunggal sendiri. Tidak ada malaikat yang cukup memenuhi syarat untuk menjadi Juru Selamat, demikian juga dari kalangan manusia. Malaikat seperti Uriel, Mikhael, Gabriel yang berkuasa luar biasa, tetapi mereka tetap ciptaan yang terbatas, created and limited. Karena mereka ciptaan, maka mereka terbatas. Karena keterbatasan itu, tidak mungkin mereka dapat menyelamatkan manusia. Sekalipun bermoral sangat tinggi, tetapi di hadapan Allah, mereka sendiri menunjukkan diri tetap sebagai orang berdosa yang saleh, orang baik yang bercacat cela. Konfusius mengatakan, "Berilah tambahan umur kepadaku 5-10 tahun untuk mempelajari buku kitab perubahan, maka aku akan menghindarkan diri dari perbuatan dosa yang besar." Mengapa Muhammad perlu minta kepada pengikutnya, orang-orang yang paling dekat dengannya, "Doakan saya, supaya memperoleh tempat baik di sisi Tuhan?" Dia perlu pengantara yang berdoa syafaat baginya. Perlu ada orang lain yang menolongnya. Akan tetapi, hal ini tidak pernah terjadi pada Kristus. Ia tidak memerlukan penolong, melainkan Dialah sendiri Penolong itu. Terlalu agung kalimat ini, "Allah menjadi manusia." Mungkinkah ini? Apakah ini fakta? Inkarnasi tidak mustahil dan merupakan fakta sehingga dunia mengalami perubahan yang besar. Di mana Injil dikabarkan, di sana ada perubahan moral. Ada orang-orang saleh yang sungguh-sungguh bertobat, meninggalkan dosa dan kembali kepada Yesus. Imanuel, Allah beserta kita, Allah menjadi manusia. Berarti Allah mencintai manusia sehingga Ia sendiri datang menjadi manusia dan berpartisipasi dalam umat manusia. Menjadi seorang bayi dalam rahim ibu, berdarah dan berdaging. Maukah engkau menyamakan diri dengan orang-orang yang dipenjara karena berdosa yang mengakibatkan hukuman mati? Kalaupun engkau mau, engkau belum dapat mengerti cinta Yesus yang rela menjadi manusia. Di antara kita dengan pencuri dan perampok ada kesamaan sifat manusia. Bagaimanapun, kita tidak dapat mengerti dengan otak yang adalah ciptaan dan terbatas ini bahwa Allah rela menjadi manusia. Itulah Imanuel. Itulah cinta Tuhan. Inilah arti Natal. Puji Tuhan! Yesus rela menjadi lebih rendah sedikit dari malaikat. Ia dilahirkan dalam rumah bapa pemelihara-Nya, bukan bapa asli-Nya, yang adalah seorang tukang kayu. Dia tinggal dengan kondisi ekonomi tingkat rendah. Ia memulai karya teragung dengan suatu permulaan yang kecil. Orang mengumpat Dia haram. Kehinaan menjadi titik permulaan kekristenan dan keselamatan umat manusia. Di dalam Ibrani 2 dikatakan, bukan seluruh umat manusia masuk surga, tetapi anak-anak Abraham saja. Maksudnya mereka yang beriman seperti bapak beriman Abraham, yaitu kaum pilihan. Kaum ini beriman kepada Yesus Kristus. Dalam ketaatan Kristus, ketaatan kita diresmikan dan diterima Allah. Yesus datang menjadi manusia untuk menyelamatkan manusia, bukan malaikat. Semangat inkarnasi ini adalah semangat rela merendahkan diri, menyamakan diri dengan mereka yang menerima pelayanan kita. Manusia berdarah daging, maka Yesus mengambil bagian dalam darah daging tersebut. Kita bisa menangis dan mengeluh, merasa dibuang, dikecewakan, dan dipojokkan. Dia pun ikut mengalami hal seperti itu. Yesus melayani dalam semangat inkarnasi. Biarlah setiap orang yang berjiwa melayani mengambil partisipasi dan menerima kesulitan bersama-sama dengan orang yang kau layani. Lebih banyak mengerti dan tidak lebih banyak mengkritik. Lebih banyak memikul beban bersama-sama, bukan lebih banyak memerintah dan menghakimi.
Komentar |
Publikasi e-Reformed |