Penderitaan Sang Juruselamat
Isi:
Sejumlah hal perlu ditekankan berkenaan dengan penderitaan Kristus. Ia menderita seumur hidup-Nya di dunia. Berkenaan dengan kenyataan bahwa Yesus mulai membicarakan penderitaan yang akan dialami-Nya menjelang akhir hidup-Nya, kita sering cenderung untuk berpikir bahwa penderitaan-Nya di atas kayu salib merupakan penggenapan dari seluruh penderitaan-Nya. Tetapi sesungguhnya keseluruhan hidup-Nya adalah penderitaan. Ia harus mengambil rupa seorang hamba, padahal Ia adalah Allah semesta langit. Ia yang tidak berdosa setiap hari harus berhubungan dengan manusia berdosa. Hidup- Nya yang kudus harus menderita di dalam dunia yang terkutuk karena dosa. Jalan ketaatan menjadi milik-Nya bersamaan dengan jalan penderitaan-Nya. Ia menderita karena gangguan iblis yang datang berulang kali, dari kebencian dan ketidakpercayaan umat-Nya, dan dari perlawanan musuh-musuh-Nya. Oleh karena Ia harus masuk ke dalam pemerasan anggur itu sendiri, kesendirian-Nya pastilah merupakan suatu tekanan bagi-Nya, dan rasa tangung jawab-Nya menghancurkan. Penderitaan-Nya adalah penderitaan yang disadari, makin lama makin berat, semakin Ia mendekati akhirnya. Penderitaan yang dimulai sejak inkarnasi akhirnya mencapai titik puncak dalam "pasio magna" (penderitaan terbesar) pada akhir hidup-Nya. Kemudian murka Allah atas dosa segera menghambur ke arah-Nya. Ia menderita secara tubuh dan jiwa. Pernah ada satu masa di mana perhatian terlalu dipusatkan pada pendertiaan jasmani Kristus. Penderitaan ini bukanlah sekedar rasa sakit fisik yang tercakup dalam esensi penderitaan-Nya, tetapi juga rasa sakit yang disertai penderitaan rohani dan kesadaran sebagai seorang pengantara atas dosa umat manusia yang harus ditanggung-Nya. Kemudian menjadi suatu kebiasaan untuk meremehkan arti penting penderitaan secara jasmani, sebab dirasakan bahwa dosa sebagai suatu natur yang sifatnya spiritual. Pandangan-pandangan yang hanya menekankan satu sisi seperti ini harus kita hindari. Baik tubuh maupun jiwa manusia telah dipengaruhi dosa, dan karena itu hukuman atas dosa juga mencakup keduanya. Lebih lanjut Alkitab dengan jelas memberi penjelasan bahwa Kristus menderita dalam keduanya. Ia sangat berdukacita dan menderita di taman Getsemani, di mana jiwa-Nya "sangat takut, seperti mau mati rasanya" dan Ia ditangkap, disiksa, dan disalibkan. Penderitaan-Nya berasal dari berbagai sebab. Dalam pembicaraan sebelumnya kita melihat semua penderitaan Kristus bermula dari kenyataan bahwa Ia harus mengambil tempat orang berdosa sebagai seorang pengganti. Akan tetapi kita dapat membedakan beberapa penyebab secara terinci seperti: (1) Kenyataan bahwa Ia yang adalah Tuhan atas alam semesta harus menempati kedudukan manusia, bahkan kedudukan sebagai budak atau hamba yang terikat, dan bahwa Ia yang memiliki segala hak untuk memerintah sekarang harus diperintah dan harus taat. (2) Kenyataan bahwa Ia yang murni dan kudus harus hidup dalam lingkungan dan suasana yang sudah dicemari dosa, tiap hari harus bergaul dengan orang bedosa, dan senantiasa harus diingatkan tentang betapa besarnya dosa yang harus dipikul-Nya oleh karena dosa uamt-Nya. (3) Kesadaran-Nya yang sempurna dan antisipasi-Nya yang jelas sejak awal kehidupan-Nya tentang penderitaan tertinggi yang akan dialami-Nya pada akhirnya. Ia tahu dengan tepat apa yang akan Ia alami dan pengetahuan ini jelas tidak menimbulkan kegembiraan. (4) Juga hidup-Nya sendiri, pencobaan iblis, kebencian dan penolakan orang-orang atas diri-Nya, serta perlakuan yang tidak adil serta siksaan yang harus Ia tanggung. Penderitaan-Nya sangat unik. Kadang-kadang kita hanya membicarakan tentang penderitaan Kristus yang "biasa", disaat kita hanya sekedar melihat penderitaan yang disebabkan oleh kesusahan biasa dalam dunia ini. Akan tetapi, kita harus ingat bahwa penyebab-penyebab ini jauh lebih banyak dialami oleh Juruselamat kita daripada yang kita alami sendiri. Lebih dari itu, bahkan penderitaan yang biasa ini pun sebenarnya memiliki sifat yang luar biasa dalam hal diri Kristus, dan dengan demikian pasti unik sifatnya. Kapasitas penderitaan-Nya berada pada sifat yang tepat dengan kemanusiaan-Nya, dengan kesempurnaan etis-Nya, dan dengan rasa kebenaran serta kesucian-Nya. Tak seorang pun yang dapat merasakan betapa beratnya rasa sakit dan dukacita dan kejahatan moral yang harus ditanggung oleh Yesus. Akan tetapi di samping penderitaan yang umum ini, ada lagi penderitaan yang lebih berat, yaitu bahwa segala pelanggaran dan kesalahan kita ditimpakan oleh Tuhan kepada-Nya seperti air bah. Penderitaan Sang Juruselamat tidaklah sepenuhnya terjadi apa adanya, tetapi juga merupakan tindakan positf yang dilakukan Allah (Yesaya 53:6,10). Pencobaan di padang gurun, penderitaan di taman Getsemani dan Golgota juga merupakan penderitaan yang secara khusus dialami oleh Tuhan Yesus. Penderitaan-nya dalam pencobaan. Pencobaan yang dialami Kristus membentuk bagian integral dari penderitaan-Nya. Pencobaan-pencobaan itu dialami-Nya dalam jalan penderitaan-Nya, Matius 4:1-11 (dan ayat paralelnya), Lukas 22:28; Yohanes 12:27, Ibrani 4:15; 5:7,8. Pelayanan-Nya di depan umum dimulai dengan suatu masa dimana Ia harus dicobai, dan bahkan setelah masa itu, pencobaan-pencobaan terus dialami-Nya dan berulang pada masa-masa makin mendekati taman Getsemani. Hanya melalui setiap pencobaan yang manusia alami, Yesus dapat sepenuhnya menjadi Imam Besar yang turut merasakan penderitaan, dan akhirnya Ia dapat menjadi bukti kesempurnaan dan kemenangan (Ibrani 4:15; 5:7-9). Kita tidak dapat melepaskan diri dari kenyataan pencobaan Kristus sebagai Adam yang terakhir, betapa pun sulitnya bagi kita untuk memahami seseorang yang tidak dapat berdosa tetapi harus dicobai. Berbagai upaya pemecahan persoalan ini telah diusahakan, misalnya dengan mengemukakan bahwa dalam natur manusia Kristus, sebagaimana dengan natur dalam diri Adam, ada "nuda possibilitas peccandi", kemampuan abstrak untuk berdosa (Kuyper); bahwa kesucian Yesus adalah kesucian etis yang harus terus mencapai perkembangan dan terus mempertahankan diri dalam pencobaan (Bavinck); dan bahwa pencobaan itu sendiri sebetulnya berdasarkan hukum, dan berkenaan dengan naluri dan nafsu alamiah (Vos). Kendatipun demikian masih ada persoalan yang tinggal, bagaimana mungkin seseorang yang secara kenyataan tidak dapat berdosa, bahkan sama sekali tidak mempunyai kecenderungan terhadap dosa, tetapi harus berada di bawah pencobaan yang sesungguhnya. KEMATIAN SANG JURUSELAMAT Penderitaan Juruselamat kita pada akhirnya mencapai titik puncak tertinggi pada waktu kematian-Nya. Berkenaan dengan hal ini, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan: Derajat kematian-Nya. Wajar apabila kita membicarakan kematian Kristus, pertama-tama kita membayangkan kematian jasmani, yaitu terpisahnya tubuh dari jiwa. Pada saat yang sama kita harus juga selalu ingat bahwa hal ini tidak menyingkirkan pengertian tentang kematian sebagaimana dikemukakan oleh Alkitab. Alkitab mempunyai pandangan sintetis (tiruan) tentang kematian, dan memandang kematian jasmani sebagai salah satu manifestasinya. Kematian adalah keterpisahan dengan Allah, akan tetapi keterpisahan ini dapat dipandang dari dua cara yang berbeda. Manusia memisahkan dirinya sendiri dari Allah melalui dosa, dan kematian adalah akibat yang wajar. Tetapi bukan kematian seperti ini yang dialami oleh Yesus, sebab Ia sama sekali tidak mempunyai dosa bagi diri-Nya sendiri. Dalam kaitan ini harus senantiasa diingat bahwa kematian bukanlah satu-satunya konsekuensi dosa yang natural, tetapi di atas semua itu merupakan hukuman atas dosa yang berdasarkan keadilan. Kematian adalah bagian manusia dan Tuhan datang menjumpai manusia dalam kemurkaan. Kematian Kristus harus dilihat berdasarkan titik pandang keadilan hukum ini. Allah menjatuhkan hukuman mati atas diri Sang Pengantara secara adil menurut hukum, sebab Sang Pengantara kita dengan sukarela mengambil alih pembayaran atas upah dosa umat manusia. Karena Kristus mengambil natur manusia dalam segala kelemahannya, dan hal ini terjadi setelah kejatuhan manusia, maka Kristus menjadi serupa seperti kita dalam segala sesuatu, kecuali bahwa Ia tidak berdosa, karena itu kematian berkuasa atas diri-Nya sejak awal dan dinyatakan dalam segala bentuk penderitaan yang dialami-Nya. Kristus adalah manusia yang penuh penderitaan dan sangat sering mengalami dukacita. Katekismus Heidelberg dengan tepat mengatakan bahwa "sepanjang umur hidup-Nya di dunia, akan tetapi terutama pada akhir masa hidup-Nya, Ia mengalami, dalam tubuh ataupun jiwa, murka Allah atas dosa dari seluruh umat manusia." Penderitaan-penderitaan ini diikuti oleh kematian-Nya di atas kayu salib. Akan tetapi ini bukanlah segalanya; Ia bukan saja harus berada di bawah kematian jasmani; tetapi juga kematian kekal, walaupun Ia menanggungnya secara intensif, bukan secara ekstensif, ketika Ia mengalami penderitaan di taman Getsemani dan ketika Ia di atas salib berteriak: "Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?" Dalam suatu masa yang amat singkat Ia menanggung murka yang tiada terbatas sampai akhir, dan akhirnya tampil sebagai pemenang. Hal ini hanya mungkin bagi-Nya, karena natur diri-Nya yang sangat mulia. Akan tetapi, sampai saat ini kita harus berhati-hati agar tidak salah mengerti. Kematian kekal dalam kaitan dengan Kristus ini tidak termasuk dalam pemutusan keseluruhan hubungan antara Logos dan natur manusia, dan juga bukan berarti bahwa natur Illahi-Nya ditinggalkan oleh Allah, ataupun pemutusan kasih Allah Bapa atau kebaikan kemurahan pada pribadi Sang Pengantara. Logos tetap terikat dengan natur manusia bahkan juga ketika tubuh-Nya berada dalam kuburan; natur Illahi-Nya sama sekali tidak mungkin ditinggalkan oleh Allah; dan pribadi sang Pengantara tetaplah terus berada dalam objek kasih Allah. Kematian itu menyatakan diri dalam kesadaran manusiawi sang Pengantara sebagai suatu perasaan ditinggalkan oleh Allah. Hal ini mengandung arti bahwa natur manusia untuk suatu waktu kehilangan rasa kesadaran kenyamanan yang dapat diperoleh dari persekutuan dengan Logos Ilahi, dan perasaan kasih Ilahi; dengan penuh rasa sakit menyadari kepenuhan murka Allah yang sedang dicurahkan diatas-Nya. Tetapi bagaimanapun juga kita tidak perlu kecewa, sebab bahkan sampai pada waktu yang paling gelap sekalipun, pada saat Ia berteriak bahwa Ia ditinggalkan, Ia tetap mengarahkan doa-Nya pada Allah. Sifat yuridis kematian-Nya. Sangat perlu bahwa Kristus harus mati, bukan kematian alamiah atau kebetulan; dan Ia tidak harus mati di tangan para pembunuh, melainkan di bawah keputusan pengadilan. Ia harus terhitung di antara para pembuat pelanggaran, harus dituduh sebagai seorang terpidana. Lebih jauh lagi, hal ini secara providensia telah diatur oleh Allah bahwa Ia harus diadili dan dijatuhi hukuman oleh seorang hakim Roma. Orang- orang Roma sangat jenius untuk hukum dan keadilan, dan mewakili keadilan hukum tertinggi di dunia. Dapat diharapkan bahwa pengadilan sebelum pengadilan Roma menyajikan suatu pengadilan terhadap Yesus yang tidak bersalah, sehingga jelaslah bahwa Ia dihukum bukan karena perbuatan jahat yang Ia lakukan. Hal ini merupakan kesaksian yang jelas bahwa sebagaimana yang dikatakan oleh Tuhan, "Ia tercabut dari negeri orang hidup dan oleh sebab pelanggaran umat-Ku Ia menderita." Dan ketika pada akhirnya hakim Romawi itu menghukum orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia juga sedang menghukum dirinya sendiri serta juga keadilan manusia yang diterapkannya. Pada saat yang sama, ia sedang menjatuhkan hukuman atas Yesus sebagai wakil dari kuasa pengadilan tertinggi di dalam dunia, berfungsi melalui anugerah Allah dan mengeluarkan keadilan atas nama Tuhan. Putusan hukuman oleh Pilatus adalah putusan hukuman dari Tuhan walaupun dari dasar yang berbeda. Penting juga bahwa Kristus tidak dipenggal atau dirajam batu sampai mati. Penyaliban adalah bentuk hukuman Romawi, bukan hukuman Yahudi. Hukuman salib ini dianggap sedemikian memalukan dan hina sehingga hukuman salib in tidak pernah dijatuhkan atas warga negara Romawi, tetapi hanya dijatuhkan pada orang-orang yang dianggap tak berguna, para pembuat kejahatan yang paling kejam dan para budak. Dengan kematian-Nya di atas kayu salib, Yesus menggenapi tuntutan hukum yang tertinggi. Pada saat yang sama Ia mati dalam cara kematian yang paling hina dan terkutuk, dan dengan demikian Ia membuktikan kenyataan bahwa Ia menjadi terkutuk karena kita (Ulangan 21:23; Galatia 3:13). PENGUBURAN SANG JURUSELAMAT Tampaknya, kematian Kristus adalah keadaan terakhir dari kehinaan-Nya, terutama berkaitan dengan kalimat terakhir yang diucapkan-Nya di atas kayu salib, "Sudah genap". Akan tetapi, sesungguhnya kalimat itu berkaitan dengan penderitaan-Nya yang aktif, yaitu penderitaan dimana Ia sendiri mengambil bagian secara aktif. Tentu saja hal ini benar digenapi pada saat kematian-Nya. Akan tetapi, jelas bahwa kematian-Nya juga mengambil bagian kehinaan-Nya. Perhatikanlah hal berikut ini: Manusia harus kembali kepada debu tanah, dari mana ia diambil, dinyatakan dalam Alkitab sebagai bagian dari hukuman atas dosa, (Kejadian 3:19). Sejumlah pernyataan Alkitab mengandung arti bahwa Sang Juruselamat yang dikuburkan itu juga mengalami kehinaan (Mazmur 16:10; Kisah Para Rasul 2:27,31; 13:34,35). Ia turun ke dalam kerajaan maut, yang sangat mengerikan dan menakutkan, suatu tempat yang penuh dengan pelanggaran walaupun Ia sendiri bebas dari segala pelanggaran. Dikuburkan berarti harus turun dan ini berarti kehinaan. Penguburan atas orang mati diperintahkan Tuhan untuk melambangkan kehinaan dari orang berdosa. Ada beberapa persetujuan tertentu antara karya objektif penebusan dengan susunan penerapan subjektif karya Kristus. Alkitab mengatakan bahwa orang-orang berdosa dikuburkan bersama dengan Kristus. Hal ini berarti adalah melepaskan manusia lama dan bukan mengenakan yang baru, bandingkan Roma 6:1-6. Penguburan Tuhan Yesus juga membentuk bagian dari kehinaan-Nya. Lebih jauh lagi, penguburan ini bukan saja membuktikan bahwa Yesus benar-benar mati, tetapi juga menyingkirkan segala kengerian kematian bagi orang-orang yang telah ditebus dan juga menyucikan kubur bagi mereka. JURUSELAMAT KITA TURUN KEDALAM KERAJAAN MAUT Doktrin ini adalah Pengakuan Iman Rasuli. Setelah Pengakuan Iman Rasuli menyebutkan tentang penderitaan Kristus, kematian dan penguburan-Nya, maka pengakuan iman ini dilanjutkan dengan kalimat "turun ke dalam kerajaan maut." Kalimat ini memang tidak disebutkan pada masa pertama kali Pengakuan Rasuli ini ditetapkan. Kalimat ini pertama kali dipakai dalam bentuk Aquileian dari Pengakuan Iman Rasuli (kira-kira 390 AD) "descendit in inferna." Di antara orang-orang Yunani kata "inferna" ada yang menerjemahkannya sebagai "kerajaan maut" tetapi ada juga yang menerjemahkan sebagai "bagian yang lebih rendah". Pada sebagian bentuk dari Pengakuakn Iman ini ada yang tidak menyebutkan tentang penguburan Kristus, sedangkan bentuk Romawi dan Timur pada umumnya menyebutkan penguburan tetapi tidak menyebutkan tentang turun ke dalam kerajaan maut ini telah mengimplikasikan maksudnya dalam "dikuburkan". Akan tetapi, beberapa waktu kemudian bentuk Pengakuan Iman Rasuli dari Roma menambahkan perkataan "turun ke dalam kerajaan maut" setelah mereka menyebutkan tentang penguburan Kristus. Calvin dengan tepat mengatakan bahwa mereka yang menambahkan kalimat itu setelah kata "dikuburkan" tentunya mereka memang bermaksud menambahkannya. - Dasar Alkitab tentang pernyataan tersebut.
Terutama ada 4 ayat dalam Alkitab yang harus kita perhatikan di sini: Efesus 4:9, "Bukankah `Ia telah naik` berarti bahwa Ia juga telah turun ke bagian bumi yang paling bawah?" Mereka yang mencari dukungan dari ayat ini menganggap perkataan "turun ke bagian bumi paling bawah" sama artinya dengan "kerajaan maut". Akan tetapi tafsiran semacam ini masih diragukan. Rasul Paulus berpendapat bahwa kenaikan Kristus memberikan presuposisi turun. Namun, lawan dari kenaikan Kristus ke surga adalah inkarnasi, bandingkan Yohanes 3:13. Sebagian besar para penafsir Alkitab menganggap bahwa kalimat "bagian bumi yang paling bawah" adalah bumi itu saja. Pernyataan itu dapat diperoleh dari Mazmur 139:15 dan lebih menunjuk pada inkarnasi. 1Petrus 3:18,19, yang membicarakan tentang Kristus "Sebab juga Kristus telah mati sekali untuk segala dosa kita, Ia yang benar untuk orang-orang yang tidak benar, supaya Ia membawa kita kepada Allah; Ia yang telah dibunuh dalam keadaan-Nya sebagai manusia, tetapi yang telah dibangkitkan menurut Roh, dan di dalam Roh itu juga Ia pergi memberitakan Injil kepada roh-roh di dalam penjara." Ayat ini dianggap menunjuk kepada Kristus yang turun ke dalam kerajaan maut dan menyatakan tujuan tindakan itu. Roh yang disebutkan itu kemudian dianggap sebagai jiwa Kristus dan memberitakan Injil ini dianggap terjadi antara kematian dan kebangkitan-Nya. Tetapi ini pun sama tak mungkinnya dengan yang lain. Roh yang disebutkan bukanlah jiwa Kristus, melainkan Roh yang mengaktifkannya, dan oleh Roh pemberi hidup yang sama itulah Kristus memberitakan Injil. Pandangan Protestan yang umum akan ayat ini adalah bahwa di dalam Roh, Kristus memberitakan Injil melalui Nuh, pada orang-orang yang tidak taat yang hidup sebelum masa air bah. Roh-roh itu ada di dalam penjara ketika Petrus menulis surat ini, oleh karena itu dapat dianggap demikian. Bavinck menganggap hal ini tidak dapat diterima dan menafsirkan ayat ini menunjuk kepada kenaikan Tuhan Yesus, yang dianggapnya sebagai pemberitaan Injil yang kaya, penuh kemenangan, dan kuasa pada roh-roh yang di penjara. 1Petrus 4:4-6, terutama ayat 6, yang berbunyi: "Itulah sebabnya maka Injil telah diberitakan juga kepada orang-orang mati, supaya mereka sama seperti semua manusia dihakimi secara badani; tetapi oleh Roh dapat hidup menurut kehendak Allah". Dalam kaitan ini Petrus memperingatkan para pembaca bahwa mereka tidak boleh hidup seluruhnya dalam daging dan nafsu manusia, tetapi menurut kehendak Allah, bahkan juga jika mereka harus menentang kawan-kawan mereka yang lama dan dihina oleh mereka, sebab mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka di hadapan Tuhan, yang siap menghakimi orang yang hidup dan yang mati. "Orang mati" yang kepadanya Injil diberitakan sebetulnya belumlah mati ketika Injil itu diberitakan, sebab tujuan dari pemberitaan itu sebagian adalah "agar mereka dapat dihakimi menurut manusia dalam daging." Hal ini hanya dapat terjadi ketika mereka masih hidup dalam dunia. Bagaimanapun juga Petrus membicarakan roh-roh yang sama yang dipenjarakan, yang disebut dalam pasal sebelumnya. Mazmur 16:8-10 (Bandingkan Kisah Para Rasul 2:25-27,30,31). Terutama ayat 10 yang kita bicarakan di sini "Sebab Engkau tidak menyerahkan Aku ke dunia orang mati, dan tidak membiarkan orang kudus-Mu melihat kebinasaan." Dari ayat ini Pearson menyimpulkan bahwa jiwa Kristus berada dalam neraka (kerajaan maut) sebelum kebangkitan-Nya, sebab kita diberitahu bahwa Ia tidak ditinggalkan di sana. Akan tetapi kita haurs memperhatikan yang berikut: - Kata "nephesh" (jiwa) sering dipakai dalam bahasa Ibrani untuk kata ganti orang, dan "sheol" dipakai untuk menunjukkan keadaan kematian seseorang.
- Jika kita memahaminya demikian, maka kita mendapatkan `paralelisme sinonimus` yang jelas. Pengertian yang diungkapkan adalah bahwa Yesus tidak ditinggalkan dalam kauasa maut.
- Hal ini selaras benar dengan tafsiran Petrus dalam Kisah Para Rasul 2:30,31 dan tafsiran Paulus dengan Kisah Para Rasul 13:34,35. Dalam kedua hal tersebut Mazmur dikutip untuk membuktikan kebangkitan Yesus.
Tafisran-tafsiran berbeda dari pernyataan Pengakuan Iman tersebut. Gereja Katholik menganggap bahwa hal itu berarti setelah Kristus mati Ia pergi ke `Limbus Patrum` di mana orang-orang kudus Perjanjian Lama menantikan wahyu dan penerapan penebusan-Nya, memberitakan Injil kepada mereka dan membawa mereka ke surga. Lutheran menganggap bahwa Kristus yang dimuliakan, Kristus turun ke bumi paling bawah untuk mengungkapkan dan mencapai penggenapan kemenangan-Nya atas iblis dan kuasa kegelapan, dan mengumumkan hukuman bagi mereka. Sebagian kaum Lutheran menempatkan perjalanan kemenangan ini antara kematian Kristus dan kebangkitan-Nya; sekelompok lain mengatakan hal ini terjadi setelah kebangkitan. Gereja di Inggris percaya bahwa kendatipun tubuh Kristus berada dalam kuburan, jiwa-Nya pergi ke dalam kerajaan maut, khususnya ke Firdaus, tempat tinggal jiwa-jiwa orang benar, dan memberikan kepada mereka ungkapan kebenaran yang lebih penuh. Calvin menafsirkannya secara metafora, menunjukkan penderitaan akhir Kristus di atas kayu salib, di mana Ia sungguh-sungguh merasakan rasa sakit dari hempasan neraka. Katekismus Heidelberg juga berpendapat demikian. Menurut pendapat Raformed yang biasa, kalimat itu bukan saja menunjuk pada penderitaan di atas salib, tetapi juga penderitaan di taman Getsemani. Alkitab sama sekali tidak pernah mengajarkan tentang Kristus yang secara harafiah turun ke dalam neraka. Lebih dari itu terdapat keberatan-keberatan yang serius terhadap pandangan ini. Kristus tentunya tidak akan mungkin turun ke neraka menurut tubuh, sebab tubuh-Nya ada dalam kubur. Jika seandainya Ia sungguh-sungguh turun ke neraka, maka yang paling mungkin adalah jiwa-Nya, dan itu berarti bahwa hanya setengah dari natur manusiawinya yang mengalami kehinaan ini (atau kemuliaan). Juga, sejauh Kristus belum bangkit dari antara orang mati, maka belumlah tiba waktunya untuk memasuki perjalanan kemenangan seperti yang dianggap kaum Lutheran. Dan akhirnya, pada saat kematian-Nya Kristus menyerahkan Roh-Nya kepada Bapa. Hal ini tampaknya menunjukkan bahwa Ia akan menjadi pasif bukannya aktif sejak kematian-Nya sampai kebangkitan-Nya dari kubur. Secara keseluruhan tampaknya yang terbaik adalah menggabungkan dua pemikiran: - bahwa Kristus menderita sakitnya neraka sebelum kematian-Nya, di Getsemani dan di atas salib; dan
- bahwa Ia memasuki kehinaan kematian yang terdalam.
Sumber:
Sumber diambil dari: Judul Buku | : | Teologia Sistematika | Judul Artikel | : | - | Penulis | : | Louis Berkhof | Penerjemah | : | - | Penerbit | : | Lembaga Reformed Injili Indonesia, Jakarta, 1996 | Halaman | : | 79 - 93 |
|