Yeremia dan Doa

Penulis_artikel: 
Juan Intan Kanggrawan
Tanggal_artikel: 
3 Juli 2019
Isi_artikel: 
Yeremia dan Doa

Yeremia dan Doa

Yeremia

"Engkau telah membujuk aku, ya TUHAN, dan aku telah membiarkan diriku dibujuk; Engkau terlalu kuat bagiku dan Engkau menundukkan aku. Aku telah menjadi tertawaan sepanjang hari, semuanya mereka mengolok-olokkan aku. Sebab setiap kali aku berbicara, terpaksa aku berteriak, terpaksa berseru: “Kelaliman! Aniaya!” Sebab firman TUHAN telah menjadi cela dan cemooh bagiku, sepanjang hari. Tetapi apabila aku berpikir: “Aku tidak mau mengingat Dia dan tidak mau mengucapkan firman lagi demi nama-Nya”, maka dalam hatiku ada sesuatu yang seperti api yang menyala-nyala, terkurung dalam tulang-tulangku; aku berlelah-lelah untuk menahannya, tetapi aku tidak sanggup." (Yeremia 20:7-9).

Konteks Umum mengenai Doa

Dalam buku A Theological Guide to Calvin’s Institutes: Essays and Analysis, dijelaskan bahwa salah satu cara menakar kematangan seorang teolog (dalam konteks tersebut sedang membicarakan bidang Theologi Sistematika) adalah dengan memperhatikan berapa banyak tulisan yang didedikasikannya untuk topik doa. Buku tersebut kemudian memberikan apresiasi mendalam terhadap Yohanes Calvin yang mengalokasikan sekitar 52 sections (dalam Book 3, Chapter 20: Of Prayer – A Perpetual Exercise of Faith. The Daily Benefits Derived from It.) untuk membahas satu topik ini. Sedikit merujuk kepada tokoh-tokoh lain seperti Martin Luther, Billy Graham, dan Timothy Keller, mereka juga pernah mengeluarkan kalimat-kalimat pendek namun padat mengenai signifikansi doa. Luther mengidentikkan doa dengan nafas dalam kehidupan rohani orang Kristen. Tanpa doa, orang Kristen tidak mungkin bisa hidup kerohaniannya. Billy Graham juga pernah ditanyai mengenai momen-momen yang begitu sulit dalam hidupnya. Ia menjawab, "The Christian life is not a constant high. I have my moments of deep discouragement. I have to go to God in prayer with tears in my eyes, and say, ‘O God, forgive me,’ or, ‘Help me.’” Dalam satu kesempatan diskusi panel, Timothy Keller diminta menceritakan kegagalannya yang paling fatal dalam pelayanannya selama 20-30 tahun terakhir. Terlepas dari berbagai terobosan, pencapaian, dan kesuksesan pelayanannya di kota New York melalui Redeemer Presbyterian Church, Keller memberikan sebuah jawaban yang membuat saya merenung, "My biggest failure in ministry has been, it took me decades before I learn to pray, really pray. For good 20 years I was a hypocrite. You are telling people God is great. It is your job. But you are not finding God great yourself. Your prayer life is nowhere.”

Sosok Yeremia

Sedikit menyinggung konteks tema Buletin PILLAR, dalam waktu-waktu ke depan, tema yang akan dibahas adalah mengenai aspek kerohanian dari berbagai tokoh Alkitab. Aspek kerohanian ini bisa mencakup perjuangan, kegagalan, pembentukan, perubahan hidup, teladan, ataupun rajutan pimpinan Tuhan dalam tokoh-tokoh di Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Dalam waktu-waktu terakhir, penulis sendiri sedang membaca dan merenungkan sosok Yeremia. Penulis kagum akan ketaatan, pergumulan, dan terutama kejujuran dari seorang Yeremia. Dalam peliknya kesulitan pelayanan dan perjalanan mengikuti kehendak Tuhan, Yeremia tidak menutup-nutupi kelelahan, erangan, rintihan, dan pergolakan jiwanya di hadapan Allah. Karena begitu banyaknya kesedihan serta ratap tangis yang keluar dari diri Yeremia, ia pun dikenal dengan sebutan “the weeping prophet”. Melalui artikel singkat ini, penulis akan secara spesifik menyoroti aspek doa dari konteks hidup seorang Yeremia.

Sebagai gambaran singkat, Yeremia adalah anak dari Hilkia, seorang imam Yahudi yang berasal dari Anatot (daerah suku Benyamin). Pada awalnya ia menolak panggilan Tuhan karena ia masih merasa dirinya terlalu muda. Sebagai tanggapan akan keberatan Yeremia, Tuhan menjanjikan penyertaan-Nya, juga konfirmasi untuk menaruh firman dalam mulut Yeremia. Tuhan mengangkat Yeremia atas bangsa-bangsa dan atas kerajaan-kerajaan, untuk mencabut dan merobohkan, untuk membinasakan dan meruntuhkan, untuk membangun dan menanam. Inilah konteks panggilan Yeremia yang begitu jelas dan serius. Namun, tidak berhenti di sana, Tuhan juga menyatakan bahwa pelayanan Yeremia akan penuh dengan tantangan dan kesulitan. Ia harus “berperang” dengan Israel, bangsanya sendiri, yang sudah begitu jauh meninggalkan Tuhan dan menyembah Baal.

Kesulitan hidup Yeremia semakin menjadi-jadi ketika ia harus memproklamasikan kebejatan dan kehancuran Yerusalem. Kalimat-kalimat yang pedas dan tajam berhamburan keluar dari mulut Nabi Yeremia: (i) bangsa dari utara akan datang dan menghancurkan Yerusalem, (ii) umat Israel telah melanggar dan memutuskan perjanjian (covenant) dengan Allah, (iii) Israel sudah begitu meninggalkan Allah dan menyembah dewa-dewa lain, bahkan membunuh anak-anak mereka untuk dikorbankan kepada ilah-ilah tersebut, (iv) dosa kesombongan, tipu muslihat, kemunafikan, penindasan, keserakahan, percabulan, dan ketidakadilan sudah begitu mendarah daging dalam keseharian umat Israel, (v) Israel akan dilanda oleh bencana kelaparan, perampasan, dan penjajahan. Sampai titik ini, pembaca Buletin PILLAR bisa berhenti membaca dan sedikit membayangkan konteks pergumulan hidup Yeremia. Setelah melontarkan kalimat-kalimat seperti itu, sikap dan reaksi seperti apa yang diberikan oleh orang Israel? Tekanan batin Yeremia semakin “lengkap” ketika bahkan di rumahnya sendiri, ia menerima ancaman pembunuhan dan sanak keluarga sendiri berusaha mengkhianati dan meringkusnya.

Doa, Tangisan, dan Ratapan

Bahkan dalam kondisi yang begitu sulit sekalipun, Yeremia tetap berjuang untuk tetap mengingat kasih setia Allah dan kembali mengarahkan hidupnya kepada Allah.

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Pdt. Dr. Stephen Tong pernah berkhotbah bahwa dalam momen-momen kesendirian dan kekelaman yang tidak bisa dimengerti oleh orang lain, apa yang kita pikirkan, refleksikan, dan katakan kepada Tuhan dan diri sendiri akan menentukan arah hidup kita selanjutnya. Ekspresi seperti ini kerap dapat kita baca dalam Kitab Yeremia dan Ratapan. Lebih tragis lagi, yang menjadi salah satu kesedihan besar bagi Yeremia adalah ketika ia sendiri harus menjadi saksi hidup akan segala nubuat bencana, kutukan, dan malapetaka atas bangsanya sendiri.

Dalam pergumulan pelayanannya, Yeremia tidak menghantarkan doa sekadar dengan kata-kata yang manis dan “steril”. Seperti Ayub yang juga pernah menderita begitu rupa, Yeremia dengan terbuka mengutarakan kalimat-kalimat yang sepertinya kurang pantas kepada Allah. Yeremia pernah berseru bahwa baginya, Allah seperti berlaku curang dan sulit dipercaya. Dalam momen lain, Yeremia pernah berpikir untuk menyerah dan berhenti. Ia mau menetapkan hati untuk berhenti memberitakan firman Tuhan. Namun, kemudian ia mengaku bahwa ia tidak berdaya. Firman Tuhan, yang telah dinyatakan kepadanya, bergelora seperti api di dalam tulang dan ia tidak sanggup menahannya.

Berikut adalah beberapa penggalan ayat yang merefleksikan seruan-seruan Yeremia kepada Tuhan:

Engkau memang benar, ya TUHAN, bilamana aku berbantah dengan Engkau! Tetapi aku mau berbicara dengan Engkau tentang keadilan: Mengapakah mujur hidup orang-orang fasik, sentosa semua orang yang berlaku tidak setia? (Yeremia 12:1)

Celaka aku, ya ibuku, bahwa engkau melahirkan aku, seorang yang menjadi buah perbantahan dan buah percederaan bagi seluruh negeri. Aku bukan orang yang menghutangkan ataupun orang yang menghutang kepada siapa pun, tetapi mereka semuanya mengutuki aku. (Yeremia 15:10)

Mengapakah penderitaanku tidak berkesudahan, dan lukaku sangat payah, sukar disembuhkan? Sungguh, Engkau seperti sungai yang curang bagiku, air yang tidak dapat dipercayai. (Yeremia 15:18)

Tetapi apabila aku berpikir: “Aku tidak mau mengingat Dia dan tidak mau mengucapkan firman lagi demi nama-Nya”, maka dalam hatiku ada sesuatu yang seperti api yang menyala-nyala, terkurung dalam tulang-tulangku; aku berlelah-lelah untuk menahannya, tetapi aku tidak sanggup. (Yeremia 20:9)

Dalam perjalanan kehidupan doa Yeremia, ia juga pernah merasakan bahwa sepertinya Allah tidak mendengarkan doa yang ia panjatkan. Ketika ia mengerang dan menjerit, Allah sepertinya diam membisu. Ia pun bertanya mengapa Allah tidak menggubrisnya. Suatu pertanyaan dan ekspresi yang begitu jujur dan nyata dari si nabi. Namun perenungan kita mengenai doa Yeremia tidak bisa sekadar berhenti di sini. Yeremia berseru seperti demikian bukan hanya untuk melampiaskan emosi semata. Sebab jika hanya berhenti di sana, apa yang membedakan seruan umat Allah dengan orang-orang di luar Tuhan yang juga bisa berdukacita atau berkabung dengan cara yang begitu ekspresif? Yang membedakan, seruan-seruan dari Yeremia sebetulnya juga “memaksa” dirinya untuk dapat mengarahkan matanya untuk kembali tertuju kepada Allah. Doa dan ratapan Yeremia tidak sekadar terapung-apung atau mengambang dalam ketidakjelasan. Bahkan dalam kondisi yang begitu sulit sekalipun, Yeremia tetap berjuang untuk tetap mengingat kasih setia Allah dan kembali mengarahkan hidupnya kepada Allah.

Refleksi dan Penutup

Dalam bagian akhir artikel ini, penulis hanya ingin memberikan pertanyaan dan ajakan sederhana untuk pembaca Buletin PILLAR. Bagaimanakah kehidupan doa kita di hadapan Tuhan? Jangan-jangan setelah puluhan tahun melayani Tuhan, kita kembali menyesali kurangnya kesungguhan doa sebagai kegagalan utama kita dalam pelayanan. Semoga kehidupan doa Nabi Yeremia bisa mendorong kita untuk berdoa secara jujur, terbuka, dan sepenuh hati di hadapan Tuhan.

Sebagai penutup, penulis tergerak membagikan penggalan lirik lagu yang dinyanyikan di ibadah sore GRII Singapura, sekitar 3-4 minggu sebelum dimulainya penulisan artikel ini. Lagu yang mengingatkan kita bahwa ada masa-masa di mana kita sulit dan tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun untuk berdoa. Namun dalam keadaan demikian, Roh Kudus yang membantu kita untuk berdoa di tengah-tengah segala kelemahan kita.

My voice is weak from calling to You both night and day.
How long will You be silent? Why do You turn away?
Spirit, come and rest Your ear upon my heart;
Come and hear my wordless prayer,
my silent plea and take them far away from me.
Take them from this heart of mine to the Father’s heart divine.
Speak in tones unknown to man that God may hear and understand.

(My Wordless Prayer)

Referensi:

Grant Skeldon Interviews: https://www.youtube.com/watch?v=OIBoLLUauWI.

Jeremiah the Weeping Prophet: https://www.ligonier.org/learn/devotionals/jeremiah-weeping-prophet/.

Matthew Henry Commentary, Book of Jeremiah: https://www.ccel.org/ccel/henry/mhc4.Jer.i.html.

You Cannot Handle Your Pain, Looking for God in Lament: https://www.desiringgod.org/articles/you-cannot-handle-your-pain.

Audio: Yeremia dan Doa

Sumber Artikel: 
Diambil dari:
Nama situs : Buletin Pillar
URL : http://www.buletinpillar.org/artikel/yeremia-dan-doa#hal-1
Judul asli artikel : Yeremia dan Doa
Penulis artikel : Juan Intan Kanggrawan
Tanggal akses : 8 Agustus 2018

Komentar