Tentang KamiArtikel TerbaruUpdate Terakhir |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SOTeRI Salah Satu Dosa Terbesar Gereja
Editorial:
Dear Pembaca e-Reformed, Gereja ada karena dibentuk dan didirikan oleh Tuhan Yesus (lihat Mat. 16:18), dan gereja-Nya ini bersifat kekal. Namun, gereja bukanlah institusi yang berdiri sebagai menara gading yang jauh dari peradaban dan masyarakat. Gereja justru dipanggil untuk berada di tengah masyarakat, yaitu masyarakat yang bersifat majemuk, yang di satu pihak memiliki perbedaan (ras, agama, dan budaya), tetapi di lain pihak memiliki kesamaan (kehidupan bersama sebagai manusia sosial yang saling membutuhkan dan dibutuhkan). Apakah dalam keberadaan yang demikian ini, jemaat Tuhan, yang menjadi inti gereja, dapat menjalankan fungsinya sebagai garam yang harus mengasinkan lingkungan tanpa harus bersikap arogan dan merendahkan mereka yang belum mengenal kebenaran? Simak dan renungkanlah sajian e-Reformed bulan ini yang memuat sebuah artikel berjudul Salah Satu Dosa Terbesar Gereja. Kiranya Allah Roh Kudus memampukan kita untuk menjadi jemaat-Nya yang setia dan tidak terkikis oleh sikap yang justru tidak memuliakan Allah. Selamat menyimak. Soli Deo gloria!
Edisi:
Edisi 203/Agustus 2018
Isi:
Di tengah-tengah berbagai macam masalah yang melanda kehidupan manusia pada era globalisasi ini, tanpa dapat dimungkiri, ada salah satu dosa terbesar yang dilakukan gereja: kepongahan rohani! Dosa yang satu ini memiliki berbagai muka. Muka pertama: kita tanpa menyadari menjadi merasa paling suci, paling benar, paling sempurna dalam kehidupan keagamaan yang pluralistis dalam masyarakat yang majemuk ini! Jangan salah mengerti! Bukan tujuan tulisan ini untuk membatalkan apa yang telah dinyatakan dalam Alkitab bahwa keselamatan hanya ada dalam Yesus Kristus (Yoh. 14:6; Kis. 4:12; Rm. 10:4-17; 1 Tim. 2:5). Justru di tengah-tengah era globalisasi ketika tembok-tembok pemisah antarnegara, bahasa, dan kebudayaan menjadi paling tidak lebih transparan, kita harus waspada agar kita jangan sampai mengorbankan atau menggadaikan kebenaran demi kerukunan atau persahabatan itu sendiri. Meski demikian, kita juga harus berhati-hati agar kita mengingat dan memberlakukan secara jujur hukum emas yang dinyatakan oleh Tuhan kita: "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi." (Mat. 7:12) Kebenaran jelas tidak boleh dikompromikan. Akan tetapi, hal itu tidak sama dengan memaksa orang lain harus menerima dan mengikuti apa yang kita yakini, apalagi dengan cara dan jiwa yang arogan! Kita dapat belajar dari seorang yang kasar dan impulsif semacam Petrus. Pada hakikatnya, dia makin memahami hati Tuhannya. Dia meninggalkan warisan yang sangat indah dan penting untuk kita laksanakan dalam hidup bermasyarakat. Bobot nasihat Petrus ini menjadi makin penting untuk dipahami dalam konteks riil ketika dia menulis suratnya: "Dan siapakah yang akan berbuat jahat terhadap kamu, jika kamu rajin berbuat baik? Tetapi sekalipun kamu harus menderita juga karena kebenaran, kamu akan berbahagia. Sebab itu janganlah kamu takuti apa yang mereka takuti dan janganlah gentar. Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat, dan dengan hati nurani yang murni, supaya mereka, yang memfitnah kamu karena hidupmu yang saleh dalam Kristus, menjadi malu karena fitnahan mereka itu." (1 Ptr. 3:13-16) Jelas, globalisasi menuntut kita agar kita tidak berpandangan sempit dan picik, tidak dapat mendengar dan tidak mau menghargai keyakinan atau kepercayaan orang lain. Kita harus dapat membedakan antara menghargai dan menghormati dari menerima, mengaminkan, dan mengimani! Agama dan kepercayaan boleh saja berbeda, tetapi janganlah kita membenci atau memusuhi mereka yang berbeda agama dan keyakinan dengan kita. Kita malah harus berupaya agar kita tetap mengasihi dia, menolong dia secara praktis, bahkan apabila kita dibenci, difitnah, bahkan dimusuhi sekalipun. Petrus akhirnya benar-benar mengerti apa yang dikehendaki Tuhannya. Dia pernah mengayunkan pedang dan sempat memotong telinga orang yang menangkap Yesus, tetapi pada hari tuanya, bukan karena dia telah berubah atau menjadi lemah, bukan juga karena dia mau berkompromi, tetapi sebaliknya, dia malah menjadi begitu mantap dan menghayati ajaran Tuhan dan Gurunya sehingga dia sanggup mengungkapkan kebenaran yang begitu indah dan mulianya. Petrus telah belajar untuk memberlakukan perintah Tuhan agar dia mengasihi, bahkan musuhnya, dan mendoakan orang yang menganiayanya (bdk. Mat. 5:43-44). Muka yang lain dari salah satu dosa gereja yang terbesar adalah menjadi begitu sombong dan merasa paling benar dan paling sempurna dengan keyakinan dan denominasinya. Kita tidak jarang mengecap orang (Kristen) lain yang tidak memiliki keyakinan dan ajaran yang persis sama dengan kita sebagai orang sesat! Barangkali kita perlu belajar dari seorang tokoh bapa gereja, Agustinus. Dia memberikan ajaran yang bijaksana: "Dalam hal yang mendasar (prinsip), jangan berkompromi; dalam hal yang tidak mendasar, biarlah kita tidak menjadi dogmatis (kaku); dalam segala hal, kasih!" Kadang-kadang, tanpa terlalu disadari sepenuhnya, kita malah membuat kaum awam yang sudah bingung dengan berbagai macam masalah mereka menjadi lebih bingung karena sebagai orang yang dianggap dapat memberi terang kepada yang gelap, justru kita, meminjam bahasa Ayub, "menggelapkan keputusan dengan perkataan-perkataan yang tidak berpengetahuan" (Ayb. 38:1). Sering kali, kita memperdebatkan masalah (cara) baptisan, masalah berbagai macam karunia rohani, masalah kedatangan Yesus yang kedua kali (antimilenialis, remilenialis, pascamilenialis), atau masalah tetek bengek lainnya dengan begitu bersemangat dan berapi-api sehingga kadang kala, kita tidak mampu mengendalikan diri kita, lalu saling menuding dan menyerang antarsesama gereja. Gereja yang memang sudah terpisah-pisah karena kedaerahan, kesukuan, adat istiadat, dan karena sejarah misa makin kita tercabik-cabik lagi menjadi sempalan-sempalan kecil denominasi (yang makna aslinya berarti "pecahan") -- jikalau perlu, kita buat denominasi baru lagi yang diimbuhi dengan label "Injili". Sekali lagi, kita perlu mengundang seorang hamba Tuhan senior yang "karismatik", yang telah berhasil mendirikan dan membangun banyak gereja dengan harga yang sangat mahal untuk bersaksi. Kita tahu bahwa Paulus bukan sembarang orang. Dia mantan Farisi, dan salah seorang murid Gamaliel. Dia menerima penyataan langsung dari Tuhan sendiri (1 Kor. 2:13-16; Gal. 1:17; 2 Kor. 12:1-4). Dia menulis banyak surat. Dia memiliki iman yang begitu kuat dan mantap sehingga dia berani mengungkapkan kesaksian yang sangat menantang semacam Gal. 2:19,20; Flp. 1:6,21; dan sebagainya. Namun, toh orang yang sama tersebut pandai "ilmu padi", makin berisi, makin tunduk! Siapakah yang menduga bahwa dia sampai menulis sebagai berikut: "Ketika kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu. Karena sekarang (walaupun sudah dewasa) kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar; tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka. Sekarang aku (yang sudah dewasa) hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal." (1 Kor. 13:11-12) Bolehkah kita menyimpulkan bahwa seorang Rasul Paulus hanya berani mengklaim bahwa pengetahuan serta pengenalannya (sekarang) hanya parsial, belum lengkap dan belum sempurna sepenuhnya? Mungkinkah sekarang ini banyak di antara kita yang lebih hebat dari dia? Kalau kesimpulan di atas barangkali terlalu sembrono, marilah kita bandingkan apa yang dia tulis kepada jemaat Efesus: "Aku berdoa supaya Ia, menurut kekayaan kemuliaan-Nya, menguatkan dan meneguhkan kamu oleh RohNya di dalam batinmu, sehingga oleh imanmu Kristus diam di dalam hatimu dan kamu berakar serta berdasar di dalam kasih. Aku berdoa, supaya kamu bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus, dan dapat mengenal kasih itu, sekalipun ia melampaui segala pengetahuan. Aku berdoa, supaya kamu dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah." (Ef. 3:16-19) Yang tersirat dari doa Paulus ialah agar jemaat Efesus, yang bukan hanya dilayani oleh Paulus, tetapi juga oleh hamba Tuhan lainnya (Apolos), jangan terjebak ke dalam polarisasi teologi Paulus atau teologi Apolos saja. Belajarlah pula dengan rendah hati dari dan dengan semua orang kudus! Rupanya, Paulus begitu konsisten. Dia juga menulis sekaligus bersaksi kepada jemaat di Filipi dengan jiwa yang sama: "Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, ...." (Flp. 3:10) Jelas bahwa Paulus tidak pernah merasa sudah mengenal Yesus begitu rupa sehingga dia tidak perlu belajar lagi untuk mengenal-Nya secara lebih mendalam. Herankah kita bahwa dari buah penanya, tentunya berkat bimbingan Roh Kudus, gereja kita mewarisi banyak bukunya? Tulisan ini memang bukan dimaksudkan untuk membahas permasalahan oikumene. Akan tetapi, di tengah-tengah semangat toleransi dan keterbukaan yang makin melonggar, bagaimana mungkin kita menjadi makin sempit dan kaku? Mengapa kita cenderung menjadi kian sektarian dan menjurus kepada "pemujaan" primordial? Sekali lagi, rupanya bukan hanya bangsa Israel yang tidak dapat belajar dari sejarah! Gereja-gereja juga tidak dapat belajar dari sejarah gereja. Kita tahu bahwa tidak semua bapa gereja memiliki teologi yang selalu sama. Sekolah Alexandria berbeda dari bapa gereja Latin. Sejarah gereja mencatat bukan saja dengan tinta hitam, melainkan juga merah bersimbah darah karena masing-masing merasa paling benar, saling mengucilkan, dan saling membantai lawannya. Di antara para reformator yang besar-besar sekalipun, sering terjadi selisih pendapat dan keyakinan, khususnya dalam soal-soal yang periferal. Bagaimana mungkin kita berani begitu dogmatis (buldog-matis) tentang hal-hal tertentu sehingga nyaris menjadikannya doktrin denominasi? Kita sering kali mengejek gerakan ekumenis yang tidak pernah berhasil untuk bersatu. Paling-paling hanya semu. Bukan kesatuan, melainkan keserupaan, dan itupun sejauh atau secetek naskah-naskah tertulis. Bagaimana dengan so-called 'evangelical churches'? Kalau dunia yang memasuki era globalisasi ini harus mendengar kesaksian kita, paling tidak kita harus semakin serius dalam menjiwai dan menghayati harapan dan doa Tuhan untuk gereja. "Dan bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka; supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku." (Yoh. 17:20-21) Audio Salah Satu Dosa Terbesar Gereja
Komentar |
Publikasi e-Reformed |