Besarlah Allahku

Penulis_artikel: 
Haryono Tafianoto
Tanggal_artikel: 
20 Juli 2018
Isi_artikel: 

Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada mereka. Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dari keilahian-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih. (Roma 1:19-20)

Mengunjungi berbagai wilayah di Nusantara adalah salah satu kegiatan yang paling menarik bagi sebagian orang. Melihat keindahan budaya, dan yang terutama, alam Nusantara yang tidak ada bandingannya adalah pengalaman yang tak ternilai. Banyak wisatawan yang sengaja bangun pagi-pagi buta untuk melihat fajar di Kelimutu atau Bromo. Atau, berjam-jam berkendaraan melewati jalan yang rusak untuk menuju Kiluan. Atau, menempuh perjalanan jauh, termasuk menggunakan kapal berjam-jam menyeberang lautan demi mencapai Derawan. Juga, menginap di kapal beberapa malam demi menikmati berbagai kepulauan di sekitar Flores dan Komodo. Tak tertinggal, menelusuri Samosir untuk menikmati keindahan alam di sekitar Danau Toba. Lalu, pengalaman apa yang mereka dapatkan dari perjalanan tersebut?

Mungkin ada yang tidak bisa menikmati perjalanan demikian. Namun, bagi yang melakukannya, paling sedikit ada dua respons yang diberikan. Yang pertama adalah mungkin seperti, “Wow! Indah!” “Keren!” “Luar biasa!” Tidak berhenti di situ, karena dianggap sebagai situs-situs instagrammable, banyak yang foto selfie untuk dipajang di akun sosmed mereka. Setelah puas dengan hasilnya, mereka pun beralih ke objek wisata lainnya sebagai target selfie. Mungkin wisatawan yang lebih sophisticated akan memandang sejenak dan mempelajari apa yang terjadi dengan alam sekitarnya untuk menambah wawasan.

Namun, respons yang satu lagi adalah kekaguman yang tak terkatakan. Bukan hanya takjub dengan pemandangan alam yang ada, rasa takjub itu justru ditujukan kepada Sang Seniman Agung, yaitu Allah Pencipta. Seperti lagu Besarlah Allahku, refrainnya berbunyi, “Maka jiwaku pun memuji-Mu, sungguh besar Kau Allahku.” Bukankah ketika melihat sebuah hasil karya yang sangat indah, sang seniman akan dikagumi lebih daripada karyanya? Demikianlah nyanyian yang muncul ketika melihat keindahan alam.

Sebagai orang yang mengaku percaya kepada Allah pencipta langit dan bumi, hal pertama yang muncul di benak kita seharusnya kekaguman kepada Allah ketika melihat ciptaan-Nya. Atau mungkin kita juga ber-selfie ria mengikuti hip kekinian? Jadi apa yang Anda pikirkan ketika melihat alam Nusantara nan indah? Semoga rasa kagum kita tidak berhenti hanya pada ciptaan-Nya saja, tapi melihat kemuliaan Sang Pencipta di dalamnya. How great Thou art! Soli Deo Gloria.

Audio: Besarlah Allahku

Sumber Artikel: 
Diambil dari:
Nama situs : Buletin Pemuda Gereja Reformed Injili Indonesia - Pillar
Alamat situs : http://www.buletinpillar.org/renungan/besarlah-allahku
Judul asli artikel : Besarlah Allahku
Penulis : Haryono Tafianoto
Tanggal akses : 18 Juli 2018

Julukan

Penulis_artikel: 
Haryono Tafianoto
Tanggal_artikel: 
18 Juli 2018
Isi_artikel: 

Salah satu bentuk perundungan yang sering terjadi di sekolah adalah memanggil seseorang dengan julukan atau istilah tertentu. Sadar atau tidak sadar, kita pasti pernah melakukannya. Biasanya tindakan ini, mengejek atau melabel, dianggap sebagai candaan, bukan satu hal yang serius. Namun, bisa juga dengan sengaja hinaan diberikan untuk merendahkan seseorang. Tidak jarang, orang-orang dewasa juga melakukannya baik terhadap rekannya maupun terhadap yang lebih muda darinya. Ironisnya, ini juga terjadi di lingkungan sekolah Kristen, atau bahkan di gereja.

Jika kita melihat pada Kisah Penciptaan, Kejadian 1:27, manusia dicipta di dalam gambar rupa Allah, imago Dei. Manusia sebagai representasi Allah adalah wakil-Nya atas seluruh ciptaan, dan membawa gambar Allah di dalam dirinya ke mana pun ia pergi. Sebagai gambar Allah, kita memiliki sifat-sifat Allah, di antaranya kekudusan, kasih, kebaikan, dan keadilan. Dalam menjalankan mandat budaya dan mandat Injil, manusia dipanggil memancarkan sifat- sifat Allah.

Lalu apa hubungannya imago Dei dengan menjuluki seseorang? Objek yang sedang dipermainkan adalah gambar Allah, ciptaan tertinggi yang menjadi wakil Allah untuk menaklukkan dan menguasai seluruh ciptaan (Kej. 1:28). Bayangkan jika Anda menghina penguasa sebuah negara. Tentunya akan ada konsekuensi hukum yang Anda alami. Namun, sekarang yang memberi mandat adalah Allah sendiri, dan yang dihina adalah gambar-Nya! Sebagaimana penghinaan terhadap perwakilan sebuah negara dianggap sebagai penghinaan terhadap negara tersebut, maka julukan yang ditujukan pada wakil Allah adalah penghinaan terhadap Allah!

Sebagaimana disebut di atas, manusia dipanggil untuk memancarkan sifat-sifat Allah, maka seharusnya yang kita pancarkan bukanlah ejekan, hinaan, dan pelabelan untuk merendahkan dan mem-bully sesama kita. Namun, kasih, kebaikan, kekudusan, dan keadilanlah yang seharusnya menjadi refleksi dari tindakan dan ucapan kita. Sudah pasti ejekan tidak memancarkan sifat Allah, bukan?

Ketika menyaksikan tindakan perundungan terjadi, sebagai gambar Allah, kita tidak bisa hanya diam saja. Sebagai pernyataan kasih dan keadilan, kita patut membela sang korban dan menegur si pelaku. Bukankah itu yang Yesus Kristus, sebagai gambar Allah yang sejati, lakukan, membela mereka yang tertindas dengan kasih. Ia bahkan menyatakan kasih dan keadilan Allah Bapa di atas kayu salib untuk melepaskan kita dari cengkraman penindasan si jahat.

Mengikuti teladan Yesus Kristus, marilah kita menghidupi natur kita yang seharusnya sebagai gambar dan rupa Allah. Bagaimana Anda akan memperlakukan sesamamu, gambar dan rupa Allah, mulai hari ini? Kiranya cinta kasih Allah terpancar dari hidup kita semua. Soli Deo gloria.

Sumber Artikel: 
Diambil dari:
Nama situs : Buletin Pemuda Gereja Reformed Injili Indonesia - Pillar
Alamat situs : http://www.buletinpillar.org/renungan/julukan
Judul asli artikel : Julukan
Penulis : Haryono Tafianoto
Tanggal akses : 18 Juli 2018

Progsif "Roh Kudus, Malaikat, dan Roh Jahat"

Oleh: N. Risanti

Senin, 25 Juni 2018, saya dan beberapa teman mengikuti acara progsif (program intensif) bertema Roh Kudus, Malaikat, dan Roh Jahat yang diadakan oleh STRIS (Sekolah Tinggi Reformed Injili Surakarta) di Hotel Adiwangsa. Progsif yang berlangsung sekitar 2,5 jam ini dibawakan oleh Pendeta Jimmy Pardede dari Jakarta, yang juga adalah dosen Perjanjian Lama. Berikut adalah beberapa hal yang saya dapatkan dari acara progsif tersebut. selengkapnya...»

Teologia Reformed adalah Teologia Perjanjian

Penulis_artikel: 
Richard Pratt Jr.
Tanggal_artikel: 
10 Januari 2018
Isi_artikel: 

Teologia Reformed adalah Teologia Perjanjian

Teologia Reformed sering kali dikaitkan dengan "teologia perjanjian". Jika Anda menyimak baik-baik, kerap akan Anda dengar para pendeta dan pengajar menyebut diri mereka (penganut aliran) "Reformed dan perjanjian." Istilah Reformed dan perjanjian secara umum digunakan berbarengan sehingga memaksa kita memahami mengapa keduanya terkait.

Teologia perjanjian merujuk pada salah satu kepercayaan mendasar yang dianut oleh Calvinis mengenai Alkitab. Semua orang Protestan yang tetap setia pada warisan (doktrin) mereka mengakui Sola Scriptura, yaitu keyakinan bahwa Alkitab merupakan otoritas tertinggi dan tak perlu diragukan. Akan tetapi, teologia perjanjian membedakan pandangan Reformed terhadap Alkitab dari pandangan aliran Protestan lain, dengan menekankan bahwa perjanjian ilahi mempersatukan semua ajaran dalam seluruh Alkitab.

Perkembangan yang lebih awal dalam Reformed, pengertian perjanjian Kitab Suci mencapai titik krusial pada abad ketujuh belas di Inggris dengan adanya Pengakuan Iman Westminster (1646), Deklarasi Savoy (1658), Pengakuan Gereja Baptis London 1689, masing-masing mewakili penganut Calvinist berbahasa Inggris dari kelompok yang berbeda. Dengan hanya sedikit perbedaan di antara mereka, dokumen-dokumen tersebut mendedikasikan satu bab utuh untuk membahas bagaimana perjanjian Allah dengan umat manusia menyingkapkan kesatuan seluruh pengajaran Alkitab.

Misalnya, Pengakuan Iman Westminster berbicara mengenai turunnya Allah untuk mewahyukan Diri kepada manusia dengan jalan perjanjian. Hal tersebut kemudian membagi seluruh sejarah dalam Alkitab menjadi hanya dua perjanjian: "Perjanjian kerja" dalam Adam dan "perjanjian anugrah" dalam Kristus. Perjanjian kerja merupakan kesepakatan Allah dengan Adam dan Hawa sebelum mereka jatuh dalam dosa. Perjanjian anugrah menguasai seluruh kisah Alkitab selebihnya. Menurut pandangan ini, semua tahap dalam perjanjian anugerah adalah sama secara substansi. Perbedaannya hanyalah bagaimana Allah menyelenggarakan satu perjanjian anugerah tersebut dalam Kristus dengan berbagai cara sepanjang sejarah Alkitab.

Selama itu juga, sejumlah teolog Reformed yang terkemudian menegaskan kesatuan perjanjian dalam Kitab Suci dengan menghubungkan perjanjian-perjanjian Alkitabiah dengan "Kerajaan Allah", sebagaiamana Perjanjian Baru menyebutnya. Yesus menunjukkan pentingnya Kerajaan Allah dalam kata-kata pembuka Doa Bapa Kami: "Bapa kami yang di surga, dikuduskanlah Nama-Mu. Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga" (Wahyu 11:15, pada akhir zaman, "Seluruh kerajaan dunia (akan) menjadi milik Tuhan kita dan Kristus, dan Ia akan memerintah selama-lamanya."

Penemuan arkeologis terbaru menunjukkan bagaimana perjanjian Allah terkait dengan kerajaan-Nya di bumi. Pada zaman alkitab, banyak raja-raja negeri sekeliling Israel menyelenggarakan ekspansi kerajaan mereka melalui perjanjian internasional. Para ahli biblika menemukan kesamaan yang mengagumkan antara kesepakatan kuno ini dan perjanjian alkitab dengan Adam, Nuh, Abraham, Musa, Daud, dan Kristus. Kesamaan ini menyatakan bahwa Kitab Suci menghadirkan perjanjian sebagai cara Allah memperluas kerajaan-Nya di bumi.

Perjanjian Alkitab menekankan apa yang dibutuhkan pada setiap tahap Kerajaan Allah dengan mengembangkan prinsip perjanjian sebelumnya. Dimulai dengan Adam, Allah menyatakan Diri-Nya sebagai raja, peran umat manusia, dan tujuan akhir yang telah Ia rencakanakan bagi bumi (Kejadian 6, 9). Allah kemudian mengembangkan perjanjian sebelumnya dengan menjanjikan bahwa keturunan Abraham akan menjadi besar dan menyebarkan berkat-berkat Allah kepada bangsa-bangsa lain (Kejadian 15, 17). Di atas perjanjian-perjanjian tersebut, Allah memberkati Israel dengan memberikan hukum-Nya pada zaman Musa (Keluaran 19-24). Setiap perjanjian sebelumnya terus diperjelas selagi Allah mendirikan kerajaan Daud serta menjanjikan bahwa salah satu dari anaknya akan memerintah dengan keadilan atas Israel dan seluruh dunia (Mazmur 72; 89; 132). Semua perjanjian yang diadakan pada era Perjanjian Lama kemudian diteruskan dan digenapi dalam Kristus (Yeremia 31:31; 2 Korintus 1:19-20). Sebagai Anak Daud yang besar, kehidupan, kematian, kebangkitan, kenaikan, dan kedatangan Kristus yang kedua menjamin kepastian transformasi seluruh bumi menjadi Kerajaan Allah yang mulia.

Banyak orang Kristen Injili saat ini kesulitan untuk percaya bahwa segala sesuatu dalam Kitab Suci setelah Kejadian 3:15 ialah berkenaan dengan Kerajaan Allah yang dikelola melalui penyingkapan perjanjian anugerah. Mayoritas kaum Injili Amerika memandang Kitab Suci terbagi menjadi periode-periode waktu terpisah yang masing-masing diatur oleh prinsip teologis yang berbeda secara substansi. Bila orang Kristen mengikuti pandangan populer terhadap Alkitab ini, mereka akan segera terpengaruh bahwa perjanjian yang baru di zaman kita bertentangan dengan banyak aspek Perjanjian Lama.

Setidaknya ada tiga isu yang kerap diangkat: perbuatan dan anugerah, iman jemaat dan iman pribadi, serta perkara duniawi dan rohani. Pertama, banyak kaum injili meyakini bahwa penekanan Perjanjian Lama akan perbuatan baik tidak sesuai dengan keselamatan oleh anugerah melalui iman dalam Kristus. Kedua, hubungan jemaah Israel sebagai satu kesatuan komunitas dengan Allah tampaknya telah diganti dengan fokus pada hubungan tiap individu secara pribadi dengan Allah. Ketiga, banyak orang injili percaya bahwa panggilan Perjanjian Lama untuk mendirikan kerajaan Allah secara fisik di bumi kontras dengan penekanan Perjanjian Baru terhadap kerajaan rohani dalam Kristus.

Teologia perjanjian memampukan para teolog Reformed untuk melihat bahwa sesungguhnya Perjanjian Baru (PB) dan Perjanjian Lama (PL) sangat serupa dalam ketiga hal ini. Pertama, pandangan bahwa keselamatan oleh anugerah melalui iman dalam Kristus merupakan satu-satunya jalan keselamatan dalam PB maupun PL. Seluruh Alkitab menuntut perbuatan baik karena iman yang menyelamatkan selalu menghasilkan buah ketaatan kepada Allah. Kedua, teologia perjanjian membantu kita melihat bahwa baik PL maupun PB berbicara tentang relasi dengan Allah secara pribadi dan korporat. Seluruh perjanjian Allah meliputi kedua tataran tersebut. Ketiga, teologia perjanjian menunjukkan bahwa Kerajaan Allah sejak semula senantiasa bersifat rohani sekaligus berada di bumi. PL dan PB berfokus pada pelayanan kita dalam kedua ranah tersebut. Dalam hal-hal itu dan juga yang lain, teologia perjanjian memiliki pandangan yang lebih luas bagi kaum injili.

Lebih lagi, kita mendapati bahwa teologia Reformed telah dipersempit menjadi sesuatu yang sering kita sebut doktrin anugerah - kepercayaan terkenal seperti kerusakan total, pemilihan tak bersyarat, penebusan terbatas, anugerah yang tidak dapat ditolak, dan ketekunan orang kudus. Tentu kita harus menghargai nilai kebenaran Kitab Suci ini, tetapi, ketika gagal menekankan kerangka pikir teologia perjanjian yang lebih luas, pengertian kita tentang Alkitab akan segera jatuh ke dalam tiga area ini.

Pertama, doktrin anugerah tanpa teologia perjanjian telah membuat sebagian orang meyakini bahwa teologia Reformed terutama mengajarkan bahwa anugerah Allah menopang kehidupan orang Kristen sejak awal hingga akhir. Tentu saja hal ini benar. Namun, perjanjian dalam PL dan PB secara konsisten mengajarkan bahwa Allah selalu menuntut usaha sepenuh hati dari umat-Nya sebagai respon terhadap anugerah-Nya, dan bahwa Ia akan memberikan upah bagi ketaatan dan menghukum ketidaktaatan.

Kedua, terlepas dari teologia perjanjian, banyak orang dalam lingkaran kita tampaknya berpikir bahwa teologia kita hanyalah tentang mencari cara-cara Reformed yang unik bagi individu untuk meningkatkan hubungan mereka dengan Allah. Pada zaman kita, sejumlah jalan menuju kekudusan dan saat teduh pribadi telah dianggap fitur sentral dalam teologia Reformed. Padahal, teologia perjanjian juga menekankan relasi komunal kita dengan Allah, sama pentingnya seperti nilai seorang individu dalam Alkitab. Tidak ada perjanjian dalam Alkitab yang dibuat dengan satu orang saja. Perjanjian-perjanjian tersebut juga melibatkan relasi yang dibangun Allah dengan sekelompok orang. Karena alasan ini, kedua perjanjian mengajarkan bahwa keluarga umat percaya merupakan komunitas perjanjian yang di dalamnya anugerah Allah diteruskan dari generasi ke generasi. Selain itu, gereja yang kelihatan (visible church) dalam PL dan PB merupakan komunitas perjanjian yang melaluinya kita menerima injil dan anugerah.

Ketiga, doktrin anugerah dengan mudah memberikan kesan bahwa teologia Reformed hanya mengurusi hal-hal spiritual. Banyak orang dalam lingkungan kita begitu peduli dengan transformasi batin melalui pengertian Kitab Suci yang benar. Namun, sering kali kita mengabaikan dampak fisik dan sosial dari dosa dan keselamatan. Teologia perjanjian memberi kita visi (pandangan) yang jauh lebih luas serta mengagumkan mengenai pengharapan kita sebagai orang Kristen. Dalam PL dan PB, orang percaya memperluas Kerajaan Allah baik secara rohani maupun jasmani. Kita harus mengajarkan Injil Kristus kepada segala bangsa supaya orang diubahkan dalam hal spiritual, tetapi pembaharuan spiritual ini ialah bagi perluasan kerajaan Kristus kepada setiap faset dan kultur di seluruh dunia.

Semua pembahasan di atas menyatakan bahwa teologia perjanjian memiliki banyak hal untuk ditawarkan kepada setiap orang Kristen. Jadi, ketika kita bertanya pada diri sendiri, "Apakah teologia Reformed itu?" kita dapat dengan yakin menjawab, "Teologia Reformed adalah teologia perjanjian."(t/joy)

Diambil dari:
Nama situs: Ligonier
Alamat: https://www.ligonier.org/learn/articles/reformed-theology-covenant-theology/
Judul asli: Reformed Theology is Covenant Theology
Penulis: Richard Pratt Jr.
Tanggal akses: 10 Januari 2018

Memperingati HUT e-Reformed ke-14 dan Hari Reformasi Gereja

Dua hari ini adalah hari yang bersejarah bagi e-Reformed.
Pada tgl 30 Oktober ini e-Reformed berulang tahun yang ke-14, dan besok tgl 31 Oktober adalah Hari Reformasi Gereja. Dalam rangka memperingati kedua hari bersejarah ini, kami membagikan sebuah artikel yang bertujuan untuk menyegarkan kita kembali akan prinsip-prinsip reformed yang dirumuskan oleh Martin Luther di dalam Lima Sola. Berharap artikel ini dapat menjadi berkat dan membangkitkan semangat reformasi bagi kita semua.

Selamat Ulang Tahun e-Reformed yang ke-14! Soli Deo Gloria!

HUT e-Reformed ke-14 dan Hari Reformasi Gereja : Mengingat Lima Sola

Hari ini adalah Hari Ulang Tahun e-Reformed ke-14 dan besok adalah Hari Reformasi Gereja. Kami redaksi e-Reformed mengucap syukur atas penyertaan Tuhan sejak 1517, Martin Luther, John Calvin, dan tokoh-tokoh reformasi lainnya memperjuangkan kebenaran di tengah kesesatan gereja pada masa itu, hingga hari ini perjuangan tersebut masih boleh diperingati sebagai Hari Reformasi Gereja tgl 31 Oktober. Gerakan Reformed inilah yang juga menjadi dasar lahirnya publikasi e-reformed tgl 30 Oktober 1999. selengkapnya...»

PERAYAAN 15 TAHUN SABDA

SABDA adalah Firman-NYA, dan Visi Biblical Computing bagi Indonesia, dan singkatan dari: Software Alkitab, Biblika, Dan Alat-Alat!!
PERAYAAN 15 TAHUN SABDA
(1994 -- 2009)

Merayakan kebaikan Tuhan adalah keharusan bagi orang-orang yang mengasihi Tuhan, demikian juga bagi Yayasan Lembaga SABDA (YLSA). Tahun 1994 adalah tahun istimewa karena walaupun organisasi YLSA belum lahir (akta resmi tahun 1995) tapi benih visi pelayanan YLSA dalam bidang "Biblical Computing" telah diberikan Tuhan kepada pendiri YLSA pada awal tahun itu. Dengan ditandai oleh hadirnya produk pertama pada bulan Oktober 1994, yaitu modul teks digital Alkitab TB dan BIS dari LAI yang dikerjakan untuk proyek OnLine Bible -- maka sejak itu YLSA dengan setia menjalankan visi "Biblical Computing" yang Tuhan taruh dalam hati kami. Tahun 2009 bulan Oktober menjadi peringatan 15 tahun sejak benih visi YLSA itu ditanamkan dan akhirnya menjelma menjadi SABDA, software Alkitab lengkap pertama dalam bahasa Indonesia yang sampai sekarang menjadi alat tercanggih yang sangat berguna untuk mempelajari Alkitab. Puji Tuhan! selengkapnya...»

Welcome Letter Situs SOTeRI


Selamat datang di Situs SOTeRI!

Doa dan harapan kami, bahan-bahan yang terdapat dalam situs ini dapat memberikan wawasan tentang corak pemahaman teologia Reformed yang alkitabiah. Biarlah dengan memiliki pengajaran Alkitab yang benar maka hidup kerohanian kita juga semakin berbuah dan memberikan kemuliaan hanya bagi Tuhan saja.

Soli Deo gloria!

Tempat Apakah Salib Itu?

Penulis_artikel: 
STEMI
Tanggal_artikel: 
16 Maret 2016
Isi_artikel: 

1. Salib adalah tempat di mana orang tidak dapat membela diri.

Pada saat Yesus Kristus digantung di salib, Dia tidak pernah mengucapkan sepatah kata pun untuk membela diri. Yesus Kristus selama di dalam dunia telah mengucapkan banyak perkataan yang membangun orang lain. Perkataan-perkataan-Nya menunjukan pengharapan dan jalan. Namun, ketika Kristus berada di atas salib justru Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun untuk membela diri.

2. Salib adalah tempat di mana tidak ada terang.

Yesus adalah Terang Dunia. Akan tetapi, di atas salib, kegelapan dunia justru menutup dirinya.

3. Salib adalah tempat di mana tidak ada kasih.

Kristus menyatakan kasih Allah. Akan tetapi, kasih Allah justru meninggalkan Dia sehingga Kristus harus berteriak, "Allahku! Allah! Mengapa Engkau meninggalkan Aku?" (Matius 27:46). Setiap helai rumput dan batang pohon menyaksikan kasih Allah. Hanya saliblah tempat di mana sama sekali tidak ada kasih. Salib adalah ruang hampa kasih. Tidak ada kasih Allah. Juga tidak ada kasih manusia. Murid-murid sekali pun yang mengasihi Yesus dan berada di sekeliling-Nya, kasih mereka tetap tidak dapat Yesus terima karena Dia harus terlebih dahulu menanggung dosa mereka.

4. Salib adalah tempat di mana tidak ada mukjizat.

Alkitab memberitahu kita bahwa Tuhan Yesus pernah melakukan tiga puluh lima kali mukjizat. Namun, tidak satu mukjizat pun yang dilakukan demi kepentingan-Nya sendiri. Tidak ada satu mukjizat pun yang dilakukan-Nya yang bukan demi kemuliaan Allah. Bahkan, di atas kayu salib, saat di mana Kritus paling perlu untuk melakukan mukjizat, Dia juga rela melepaskan hak-Nya untuk melakukan mukjizat. Kristus melepaskan kesempatan untuk membela diri.

5. Salib adalah tempat di mana belas kasihan tidak dapat diterima.

Salib

Pada saat Yesus memikul salib dari Yerusalem menuju ke atas Golgota, ada beberapa wanita yang sangat tergerak hatinya. Mereka ingin melihat guru yang paling mereka kasihi sedang memikul salib yang begitu berat. Alkitab mencatat bahwa mereka menangis dan mengalirkan air mata karena hal itu. Adakah Yesus Kristus menerima belas kasihan mereka? Tidak. Tuhan Yesus berkata pada mereka, "Janganlah kamu menangisi Aku. Tetapi tangisilah"(Lukas) 23:28. Salib adalah suatu tempat yang tidak menerima belas kasihan. Kita tidak perlu berbelas kasihan kepada Yesus. Dialah yang berebelas kasihan kepada kita. Jika Tuhan Yesus tidak dipaku di atas kayu salib, bagaimana mungkin dosa kita dapat diampuni? Bagaimana mungkin tuntutan hati nurani dapat disingkirkan? Bagaimana catatan dosa kita dapat diselesaikan?

6. Salib adalah tempat di mana tidak ada perlindungan.

Ketika Yesus Kristus berada di dalam taman Getsemani, Dia berdoa berkata, "Ya Bapa-Ku! Jikalau sekiranyan mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku" (Matius 26:39). Cawan pahit ini adalah cawan yang memisahkan Dia dengan Allah Bapa. Hal ini adalah sebuah rahasia yang sangat besar. Sebuah paradoks sangat besar yang terjadi dalam sekejap. Selanjutnya Yesus Kristus berkata, "Tetapi janganlah seperti yang kukehendaki. Melainkan jadilah seperti yang Engkau kehendaki" Tidak lama kemudian Yudas membawa sekelompok orang. Mereka membawa pedang, pentung, dan obor api masuk ke tempat dimana Yesus berdoa di taman Getsemani. Petrus menjadi sangat marah. Ia mencabut pedangnya kepada kelompok orang itu. Lalu, Petrus memotong telinga dari hamba Imam besar. Akan tetapi, Tuhan Yesus bukan hanya tidak mendukung dia untuk terus membunuh. Yesus Kristus bahkan menyalahkan dia dan berkata, "Simon! Masukan pedang itu kembali ke dalam sarungnya. Sebab barangsiapa menggunakan pedang, dia akan binasa oleh pedang." (Matius 26:52). Di sini nyata bagaimana Yesus Kristus menolak perlindungan yang berasal dari manusia.

7. Salib adalah tempat di mana tidak ada naik banding.

Pada saat Tuhan Yesus ditangkap, Dia bertanya pada orang-orang yang datang menangkap Dia, katanya, "Siapakah yang kalian cari?" Jawab mereka, "Yesus dari Nazaret." Kata-Nya kepada mereka, "Akulah Dia." (Yohanes 18:4-5). Suara-Nya tenang dan lembut. Orang-orang itu sangat terkejut. Mereka tidak mengerti mengapa pada saat ada bahaya besar di depan mata, Yesus Kristus masih dapat sedemikian tenang. Mereka ketakutan hingga bergerak mundur. Tuhan Yesus jelas dapat meminta pertolongan dari Allah supaya tanah bergoncang hingga pecah terbuka supaya orang-orang itu jatuh terperosok ke bawah. Atau, seperti perkataan Tuhan Yesus yang lain, "Kau sangka bahwa Aku tidak dapat berseru kepada Bapaku supaya Ia segera mengirim lebih dari dua belas pasukan malaikat untuk membantu Aku?" (Matius 26:53). Akan tetapi, Tuhan Yesus tidak berbuat demikian karena salib adalah tempat di mana orang tidak dapat menerima naik banding.

8. Salib adalah tempat di mana orang tidak dapat menerima hasutan.

Orang-orang sekeliling Yesus Kristus yang sedang dipaku di atas kayu salib berkata kepada-Nya, "Jikalau Engkau Anak Allah, turunlah dari salib itu!" (Matius 27:40). "Engkau menolong orang lain tetapi Engkau tidak dapat menolong diri sendiri. Engkau menyembuhkan orang lain tetapi dirimu sendiri justru digantung di atas kayu salib. Engkau mengatakan bahwa Engkau adalah Anak Allah. Bagaimana mungkin kami dapat percaya? Hahaha!" Mereka meludahi wajah-Nya. Menertawakan Dia. Mengejek Dia. Namun Yesus Kristus tak membalas sepatah kata pun. Dia tahu tujuan kedatangan-Nya ke dalam dunia ini. Dunia ini penuh dengan dosa, ketamakan, niat yang jahat, iri hati. Yudas menjual Tuhan karena hati yang tamak. Orang Farisi memaku Tuhan hanya karena hati yang iri. Kita juga orang berdosa yang membuat yang menyebabkan Yesus dipaku di atas kayu salib. Anak Allah datang ke dunia hanya karena dosa kita. Jika kita dipaku di atas kayu salib, setelah mendengar kata-kata hasutan seperti itu, pastilah di dalam hati kita penuh dengan kemarahan. Kita ingin cepat-cepat turun untuk membuktikan diri kita. Jika Tuhan Yesus benar-benar turun dan berlutut kepada setan maka seluruh dunia akan menjadi Kristen. Mungkin setelah itu kita tidak perlu mengabarkan Injil sampai sekujur tubuh penuh dengan keringat. Akan tetapi, jika demikian, apa yang manusia akan percayai justru adalah seorang Yesus Kristus yang tidak disalibkan. Mereka akan mendapatkan Kristus Yesus yang tidak mati untuk orang berdosa dan tidak menggenapi rencana Allah Bapa. Hal seperti ini bukanlah Injil. Tuhan Yesus tidak dapat dihasut. Dia tahu bahwa merekalah yang melawan Dia. Bukan hanya diri mereka sendiri yang melawan. Akan tetapi, di balik itu ada kuasa Iblis yang sedang bekerja. Kita melawan. Kita menyerang. Dan, kita salah paham kepada Tuhan Yesus karena kita mengenal Dia. Karena di dalam hati kita ada dosa. Namun, Tuhan Yesus justru mati di atas kayu salib demi dosa kita yang seperti itu.

9. Salib adalah tempat di mana orang tidak dapat menerima pembiusan.

Sebelum seorang dipaku di atas kayu salib yang demikian menakutkan dan kejam, ia perlu terlebih dahulu melalui proses pembiusan. Sejarah mencatat dan memberitahukan kepada kita bahwa orang yang dipaku di kayu salib tidak akan mati pada hari itu. Melainkan Ia harus melewati pergumulan kesakitan selama dua-tiga hari. Ia menangis sengsara. Pelan-pelan ia dibiarkan di atas sana sampai mati. Oleh sebab itu, di dalam situasi demikian, orang yang disalib perlu diberi arak. Ia perlu diberi cuka supaya tidak merasa sakit. Namun, saat Tuhan Yesus dipaku di atas kayu salib, tidak ada orang yang melakukan hal demikian. Sehingga pada saat Dia berkata,"Aku haus!" hanya ada satu orang yang berbaik hati mengasihi Tuhan. Orang yang mengambil busa yang dicelupkan ke dalam cuka dan menyodorkannya ke mulut Tuhan Yesus. Akan tetapi, Alkitab memberitahukan bahwa Tuhan tidak mau meminumnya. Tuhan hanya mencicipi sebentar. Mencicipi adalah untuk menjalankan sopan santun di antara manusia. Yesus Kristus tidak meminumnya karena Dia tidak dapat menerima pembiusan. Dia mau tetap berada di dalam keadaan yang masih memiliki kesadaran. Dia mau untuk masih bisa memaksakannya dengan tuntas dan jelas. Dia mau untuk mengalami penderitaan demi menanggung dosa umat manusia.

Jika Tuhan Yesus tidak dipaku di atas kayu salib, bagaimana mungkin dosa kita dapat diampuni?
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Banyak orang mengira bahwa karena Yesus adalah Tuhan, Dia dapat pura-pura merasa kesakitan padahal sesungguhnya tidak. Mereka mengira bahwa Tuhan Yesus hanya pura-pura mati saja. Akan tetapi, mereka sungguh-sungguh salah. Yesus Kristus datang ke dunia menjadi manusia. Dia menanggung dosa kita di dalam kedagingan. Dengan jelas dan tuntas Kristus menerima semua kemarahan Allah atas dosa di dalam kedagingan.

Salib adalah suatu tempat yang tidak menerima penghiburan. Tidak menerima perlindungan. Tidak menerima pembiusan. Tidak menerima hasutan. Setelah Yesus Kristus mengalami semuanya, ketika orang banyak melihat dengan seksama, tiba-tiba Dia mengangkat kepala-Nya menghadap ke langit dan mengatakan sebuah kalimat, "Ya Bapa, ampunilah mereka. Sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat." (Lukas23:34). Mereka berdosa tetapi tidak tahu bahwa diri mereka terjebak di tengah dosa. Sambil mereka melawan Allah, sambil mereka menikmati kesenangan diri dan mengagumi diri sendiri. Sokrates berkata, "Seseorang berbuat dosa karena dia tidak mengetahuinya. Orang memiliki pengetahuan pasti ia memiliki moral." Apakah bedanya dengan perkataan Yesus? Seseorang yang berbuat dosa karena tidak tahu apakah boleh mendapat pengampunan? Jika benar demikian maka orang yang tidak tahu itu lebih beruntung daripada orang yang tahu. Selain itu ketika Sokrates mengucapkan kalimat itu, dia sedang duduk di kamarnya dengan nyaman. Pada saat Yesus Kristus mengucapkan kalimat tersebut, tubuhnya sendiri sedang digantung di atas kayu salib menanggung dosa umat manusia. Kristus datang untuk memberitahu kita bahwa manusia harus bertobat supaya dosa-dosanya dapat diampuni. Tidak ada dosa yang tidak dapat diampuni. Tetapi dosa yang tidak melalui pertobatan tidak dapat diselesaikan. Kita harus bertobat dengan datang ke hadapan Allah Bapa. Kita sendiri tidak dapat menyelesaikan dosa kita. Yesus Kristus akan berdoa untuk kita dan memancarkan kasih dari Allah.

Sumber Artikel: 
Buku: Tiga Salib (STEMI)

Apakah Lima Sola Masih Penting bagi Gereja Saat Ini?

Penulis_artikel: 
Gabe Fluhrer
Tanggal_artikel: 
14-03-2023
Isi_artikel: 

Lima sola (bahasa Latin untuk "hanya oleh" atau "hanya karena") dari Reformasi -- hanya oleh Kitab Suci, hanya oleh anugerah, hanya oleh iman, hanya oleh Kristus, hanya bagi kemuliaan Allah -- sangat diperlukan bagi gereja pada era mana pun. Mereka akan selalu relevan karena merangkum Injil alkitabiah, yang merupakan sumber kehidupan gereja pada setiap zaman. Mereka sangat penting hari-hari ini karena bahkan orang-orang yang mengaku injili, belum lagi karena budaya di sekitar kita, sedang tergoda untuk mengabaikan Injil. Oleh karena itu, gereja harus menyadari kebutuhan mendesak untuk tidak hanya mempertahankan lima sola, tetapi juga mementingkannya.

Gambar: bersyukur

Lima sola penting bagi kita hari ini, setidaknya karena tiga alasan. Pertama, mereka memisahkan Injil sejati dari setiap agama, pandangan dunia, atau filosofi lainnya. Setiap hari, dunia menggemakan lagu rayuan untuk berkompromi tentang hal-hal spiritual. Setan suka menegosiasikan kebenaran alkitabiah yang tidak dapat dinegosiasikan. Dia membisikkan kebohongan bahwa kita tidak perlu memiliki keyakinan yang kuat tentang Alkitab sebagai satu-satunya standar kebenaran kita, atau berpegang teguh pada ajaran, bahwa hanya mereka yang percaya pada Kristus sebagai Juru Selamat yang benar di hadapan Allah. Godaan untuk mengecilkan peran doktrin berlangsung tiada henti. Genggaman yang kuat tetapi menyenangkan pada kelima prinsip sola dapat membantu kita melawan kebohongan yang menggoda ini.

Aman dalam pelukan Juru Selamat kita, kita bebas untuk berhenti mencoba melayakkan diri untuk mendapatkan apa yang Allah telah berikan secara cuma-cuma kepada kita -- Kristus sendiri.

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Kedua, lima sola memberi kita kepastian yang tak terkatakan dalam dunia yang kacau. Laju kehidupan modern tidak dapat berkelanjutan. Hal itu mewarnai pemahaman kita tentang "kehidupan Kristen yang normal." Kita cenderung menyamakan kesibukan dalam pelayanan sebagai produktivitas bagi Yesus. Akan tetapi, keduanya tidak boleh disamakan. Mengetahui bahwa kita diselamatkan hanya oleh kasih karunia Allah dan hanya melalui iman, memberi kita istirahat dari dunia yang melelahkan. Kita meninggalkan pola pikir yang hanya berfokus pada prestasi pelayanan dalam hubungan kita dengan Allah, dan merangkul kehidupan yang penuh kepercayaan dan kasih karunia. Aman dalam pelukan Juru Selamat kita, kita bebas untuk berhenti mencoba melayakkan diri untuk mendapatkan apa yang Allah telah berikan secara cuma-cuma kepada kita -- Kristus sendiri.

Akhirnya, lima sola mengingatkan kita bahwa keselamatan kita sudah terjamin. Hanya saat kita yakin akan kasih Allah, kita akan mampu menjalankan perintah Allah. Lima sola memungkinkan kita untuk berkata bersama Daud, "Oh, betapa aku mencintai Taurat-Mu! Inilah perenunganku sepanjang hari" (Mzm. 119:97, AYT). Mengikuti Yesus, menaati-Nya dengan tuntunan Roh, dan mematikan dosa menjadi sukacita kita. Begitu banyak orang Kristen hanyut, seringnya secara tidak sadar, dengan keyakinan bahwa Allah mengasihi mereka ketika mereka taat.

Akan tetapi, Injil sejati dari lima sola menarik kita kembali ke dasar kebenaran kitab suci bahwa Allah mengasihi kita, dan oleh karena itu kita taat. Perbedaannya halus, tetapi itu membuat perbedaan besar dalam kehidupan kita sehari-hari. Bapamu mengasihimu! Dia berkenan kepadamu di dalam Kristus. Ketika kenyataan itu benar-benar meresap dalam hati kita, kata-kata Yohanes menjadi pengakuan iman kita yang menyenangkan: "Karena inilah kasih Allah, bahwa kita menaati perintah-perintah-Nya, dan perintah-perintah-Nya tidak berat." (1Yoh. 5:3, AYT).

Kesimpulannya, tidak ada yang lebih mendesak bagi gereja daripada melindungi, menyebarkan, dan mewartakan Injil sejati yang dikemas dalam lima sola. Ini adalah satu-satunya harapan kita, penghiburan terbesar kita, dan sukacita tertinggi kita. Terlebih lagi, ajaran-ajaran alkitabiah ini akan selalu penting karena membawa kita kepada Kristus, yang adalah hidup kita. (t/N. Risanti)

Sumber Artikel: 
Diterjemahkan dari:
Nama situs : Ligonier
Alamat situs : https://ligonier.org/learn/articles/five-solas-still-important-today
Judul asli artikel : Are the Five Solas Still Important for the Church Today?
Penulis artikel : Gabe Fluhrer

Komentar


Syndicate content