Tentang KamiArtikel TerbaruUpdate Terakhir |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SOTeRI Kristus sebagai Nabi, Imam, dan Raja
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Frasa "Kristus sebagai Nabi, Imam, dan Raja" sudah tidak asing lagi di telinga kita, bahkan mungkin sudah sangat lekat dalam benak setiap orang percaya. Perjanjian Lama menubuatkan kedatangan Sang Nabi Agung, Imam Besar, dan Raja Semesta ini, sementara Perjanjian Baru menceritakan penggenapannya. Dalam Surat Ibrani dijelaskan dengan gamblang bagaimana Kristus menggenapkan jabatan imam besar; kepada Rasul Yohanes, Ia menyatakan kedaulatan-Nya sebagai Raja, yang ditulis dalam kitab Wahyu; sementara itu, Injil-Injil sinoptik menceritakan bagaimana Yesus melayani sebagai Nabi. Tentu saja, kita mengimani ketiga peranan Kristus tersebut sebagai suatu fungsi ilahi yang memungkinkan tersampaikannya firman Allah kepada dunia, subsitusi dan penebusan dosa manusia, serta pemerintahan Allah yang absolut. Kita bersyukur atas hal-hal tersebut, mengagungkan Dia, serta menghayati karya-Nya dalam menggenapi ketiga fungsi itu. Lebih jauh lagi, kita bahkan menyebut diri sebagai imamat rajani, sebab demikianlah predikat yang Alkitab katakan mengenai jemaat-Nya (1 Petrus 2:9). Hal itu berarti jabatan Kristus sebagai Nabi, Imam, dan Raja tidak berhenti pada pribadi Yesus saja, tetapi memiliki implikasi terhadap diri kita sebagai umat-Nya. Bagaimana doktrin Kristologi, yang tampaknya begitu transenden dan baka ini, terkait dengan kehidupan praktis manusia setiap hari? Bagaimana konsep ini seharusnya membentuk kita, orang Kristen, untuk menghidupi teladan Tuhan kita yang adalah nabi, imam, dan raja? Edisi pertama pada tahun yang baru ini mengajak kita berefleksi pada sebuah kebenaran hakiki sehingga kita mampu menghidupinya di tengah tantangan zaman.
Edisi:
Edisi 196/Januari 2018
Isi:
Sekilas Konteks HistorisBibit pemikiran mengenai Kristus sebagai Nabi, Imam, dan Raja diduga sudah muncul dalam pemikiran Bapa Gereja Eusebius dari Kaisarea. Memang, sebelum Reformasi, ada beberapa pembahasan yang menyoroti aspek-aspek dari raja, imam, atau nabi secara terpisah. Namun, Johanes Calvin yang kemudian diakui sebagai tokoh yang secara unik mengembangkan pemahaman ini secara komprehensif dan terstruktur, khususnya dalam melihat Kristus sebagai penggenapan sempurna dari tiga jabatan penting ini. Dengan demikian, orang-orang percaya sudah sewajarnya hidup dengan meneladani Kristus sebagai contoh yang sempurna. Pengertian mengenai nabi, imam, dan raja kemudian terus muncul dalam pengakuan-pengakuan iman Kristen sepanjang sejarah: Heidelberg Catechism Heidelberg Catechism Heidelberg Catechism Heidelberg Catechism Heidelberg Catechism Dari perspektif teolog A.A. Hodge, Kristus memiliki jabatan (office) sebagai mediator. Kemudian, dalam jabatan ini, Kristus memiliki tiga fungsi, yakni nabi, imam, dan raja. A.A. Hodge tidak terlalu setuju untuk memisah-misahkan ketiga fungsi ini. Ketiga fungsi ini bagaikan organ-organ tubuh yang mendukung dan berkontribusi untuk kesatuan tubuh. Bagi Hodge, “Christ is always a prophetical Priest and a priestly Prophet, and he is always a royal Priest and a priestly King, and together they accomplish one redemption, to which all are equally essential.”[1] Tantangan Saat Ini[2]Sebelum merenungkan berbagai prinsip dan aspek aplikasi, penulis sedikit memikirkan berbagai tantangan yang kerap kita hadapi sebagai orang Kristen pada zaman ini sehingga aspek aplikasi yang dibagikan bisa relevan dalam menjawab tantangan-tantangan ini. Pertama, zaman ini sangat menekankan aspek pluralisme dan relativisme. Secara khusus, dengan maraknya media dan dukungan kemajuan teknologi, orang-orang dengan berbagai latar belakang dan kepercayaan bisa berinteraksi dan membagikan pendapat atau pemikirannya. Dalam konteks seperti ini, menjadi sulit untuk mengakui ada satu pemikiran yang paling benar (kebenaran absolut). Setiap orang dianggap berhak untuk menentukan kebenaran bagi dirinya sendiri, memiliki cara pandangnya sendiri, dan kemudian mengekspresikannya. Kedua, zaman ini sangat menekankan aspek individu yang cenderung egois dan self-centered. Yang diidamkan adalah kesenangan, kemajuan, dan kenikmatan bagi diri sendiri. Dengan kondisi seperti ini, menjadi sulit untuk menghayati hidup yang dipersembahkan seutuhnya kepada Tuhan, dan memberikan kontribusi positif bagi komunitas atau masyarakat. NabiJabatan nabi memiliki penekanan kuat pada hati yang peka terhadap suara Tuhan sekaligus keberanian untuk memberitakannya. Nabi harus sangat sensitif dalam membedakan suara Tuhan dengan suara hati, pikirannya sendiri, dan bahkan suara setan. Ketika seorang nabi sudah berfirman atas nama Tuhan, jika yang dinyatakan tidak benar atau tidak terjadi, nabi harus siap menanggung konsekuensi hukuman mati. Ketika pesan dari Tuhan sudah jelas, nabi harus berani memberitakan pesan itu dengan tegas dan setia tanpa ditambah ataupun dikurangi, tidak peduli seberapa keras atau buruk pesan tersebut, dan tidak peduli kepada siapa pesan itu harus dinyatakan (baik kepada imam, ahli Taurat, tua-tua, panglima, bahkan raja sekalipun). Ketika Kristus di dunia, berkali-kali Ia dituliskan senantiasa mengkhususkan waktu untuk berelasi dengan Bapa-Nya. Kristus dituliskan selalu pergi ke tempat yang sunyi saat pagi-pagi benar untuk berdoa dan bersekutu dengan Bapa. Penulis percaya bahwa kepekaan kita sebagai orang Kristen sangat ditentukan melalui momen-momen seperti ini. Dalam bagian lain dalam Injil, perkataan yang begitu keras dan menusuk juga kerap Kristus lontarkan kepada orang-orang Farisi, misalnya dalam Yohanes 8:44 ketika Yesus mengatakan kepada orang-orang Farisi bahwa bapa mereka adalah Iblis. Dalam menghayati fungsi nabi, kita bisa memikirkan seberapa jauh kerinduan dan kepekaan kita dalam mendengar suara Allah. Hal ini bisa dimulai dari seberapa sungguh kita mengkhususkan waktu untuk membaca, merenungkan, dan merindukan firman Tuhan. Hal ini juga terefleksi dalam keseriusan dan kesungguhan kita dalam berkata-kata. Sebab, apa yang terpancar keluar melalui perkataan bersumber dari kedalaman hati. Melalui lidah yang kecil, terkandung kuasa yang begitu besar, baik itu kuasa untuk membangun maupun kuasa untuk menghancurkan. Dalam konteks masyarakat yang plural dan relatif, ini tentunya menjadi tantangan frontal dalam memberitakan keunikan pribadi Kristus. Pribadi Kristus sebagai satu-satunya jalan, kebenaran, dan hidup menjadi suatu kesulitan besar untuk diterima dan dimengerti bagi masyarakat plural dengan rupa-rupa pandangannya. Penghayatan kita akan fungsi nabi seharusnya memberikan kita dorongan dan keberanian dalam memberitakan Injil. ImamJabatan imam sangat terkait dengan aspek kekudusan dan sifat pengantara. Imam harus memisahkan dirinya dan mendedikasikan seluruh hidupnya untuk Allah, secara spesifik pelayanan dalam konteks Bait Allah. Imam harus siap untuk hidup secara berbeda dengan orang-orang lain secara umum, misalnya: tidak boleh minum anggur, menikahi janda, menyentuh mayat, dan lain-lain. Imam juga harus sadar dan peka akan keberdosaan masyarakat. Di sana, ia berperan sebagai pengantara untuk berdoa bagi masyarakat dan mempersiapkan kurban untuk pengampunan dosa. Dalam hidup Kristus sendiri, sebagai imam, Kristus memiliki dorongan kuat untuk mendoakan orang lain, secara khusus murid-murid-Nya, misalkan saja doa yang begitu indah yang tertulis dalam Yohanes 17, suatu doa agar murid-murid-Nya dikuatkan untuk hidup dan bersaksi di dalam dunia. Yesus juga dituliskan menangisi Yerusalem, kota yang begitu kejam, yang telah menolak Kristus dan pelayan-pelayan yang Tuhan utus pada zaman sebelumnya. Dalam menghayati fungsi imam, kita harus siap untuk hidup berbeda di hadapan Allah. Ketika lingkungan atau komunitas sekeliling kita sudah menganggap lumrah dosa tertentu, kita harus memiliki ketegasan untuk hidup berbeda sebagai umat Allah, misalnya dosa keserakahan (yang diberi topeng sebagai niat atau dorongan untuk maju), dan sikap apatis atau tidak peduli (yang diberi topeng fokus atau prioritas terhadap hal-hal yang kita anggap ‘penting’). Selama kita hidup di dunia, kelemahan demi kelemahan akan terus-menerus kita saksikan, baik dalam lingkup keluarga, sekolah, gereja, perusahaan, maupun negara. Memang mudah untuk menyebarkan gosip, mengolok-olok, atau sekadar mengutuki kelemahan-kelemahan tersebut. Namun, bukan itu reaksi yang sepatutnya jika kita menjalankan fungsi imam. Dalam menjalankan fungsi imam, kita sudah seharusnya memiliki hati yang sensitif, kesedihan dalam melihat realitas dunia berdosa, dan mendoakan hal-hal tersebut. RajaJabatan raja memiliki keunikan dalam menjalankan keadilan dan melakukan pengelolaan, baik itu mengelola pemerintahan, masyarakat, militer, maupun sumber daya alam. Ketika aspek-aspek tersebut dikelola dengan baik, akan tercapai kesejahteraan dalam masyarakat, misalnya dalam pemerintahan Daud dan masa-masa awal pemerintahan Salomo. Sangatlah penting bagi seorang raja untuk mengetahui prinsip kebenaran dan keadilan sehingga seorang raja dapat menilai suatu perkara atau situasi, lantas mengambil suatu keputusan yang benar dan adil. Lebih jauh lagi, kita juga percaya bahwa Kristus adalah Raja yang sejati, Raja yang berhak menerima segala kemuliaan, puji, dan hormat. Kristus, Sang Pencipta, yang bertakhta dan berkuasa atas seluruh ciptaan. Seperti yang juga dinyatakan dalam Kitab Daniel, kerajaan dunia akan naik dan turun, datang dan pergi. Namun, akan datang Kerajaan Allah yang kekal sampai selama-lamanya. Pengertian Kristus sebagai raja sangat bertentangan dengan konsep zaman ini yang mengajarkan bahwa diri sendirilah yang menjadi pusat. Kita hidup tidak semata-mata untuk diri sendiri. Keseluruhan hidup kita adalah persembahan hidup bagi Allah. Terlebih lagi, dengan meneladani Allah yang memerintah dengan adil, kita juga sudah selayaknya mengerjakan tanggung jawab kita dengan sungguh-sungguh di hadapan Allah. Allah telah memberikan kepada setiap kita takaran yang berbeda-beda dalam mengelola sesuatu, baik itu mengelola waktu, studi, pekerjaan, maupun anak-anak. Segala hal yang ada pada kita bukan semata-mata hak milik kita. Itu semua harus dikelola dengan sungguh-sungguh dan dipertanggungjawabkan kembali kepada Allah sebagai Sang Pemberi Anugerah. Keyakinan akan otoritas dan kekuasaan Kristus juga akan memberikan kita kestabilan dan ketenangan dalam menghadapi hiruk pikuk dunia yang sudah jatuh dalam dosa ini. Dalam keseharian kita, kerap kita mendengar dan menyaksikan berita mengenai peperangan, bencana, tragedi, penyakit, dan berbagai kesulitan. Hanya ketika kita memiliki pengharapan akan Kerajaan Allah yang kekal, kita bisa menghadapi itu semua dengan penuh ketabahan dan pengharapan. Endnotes: Audio Kristus sebagai Nabi, Imam, dan Raja
Komentar |
Publikasi e-Reformed |