Tentang KamiArtikel TerbaruUpdate Terakhir |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SOTeRI Kehidupan Kristen Biasa
Editorial:
Dear Pembaca e-Reformed, Apabila Saudara mendapatkan pilihan antara "biasa" dan "luar biasa", manakah yang akan Saudara pilih? Benarkah kekristenan pun dibagi ke dalam dua kubu tersebut? Kita perlu memperoleh paradigma yang baru bahwa Allah bekerja dengan cara-cara yang biasa dan luar biasa menurut ketetapan dan kehendak-Nya. Sekalipun Allah bekerja dengan cara yang biasa, Dia tetap Allah yang kudus dan agung. Iman kita dalam Kristus seharusnya tidak tergantung dari hal-hal yang lahiriah. Kekristenan pun seharusnya juga tidak tergantung pada hal-hal lahiriah. Kekristenan bergantung mutlak kepada Kristus dan firman-Nya. Apabila seseorang sakit keras, lalu dia menerima mukjizat kesembuhan, bukan berarti Allah tidak bekerja dalam hidup umat-Nya yang sehat dan tidak mengalami masalah. Allah kita adalah Pribadi yang bekerja, Dia bekerja dari masa sekarang, saat ini, sampai seterusnya. Satu hal yang harus kita tanamkan dalam hati kita adalah bahwa Allah memanggil kita untuk tetap beriman di dalam dunia milik-Nya. Maukah kita memenuhi panggilan agung-Nya? Marilah kita terus memandang kepada Allah dengan iman, mengasihi sesama kita, dan terus berjuang dalam langkah iman. Selamat merenungkan. Soli Deo gloria!
Edisi:
Edisi 201/Juni 2018
Isi:
Radikal. Epik. Revolusioner. Transformatif. Berdampak besar. Mengubah hidup. Tertinggi. Ekstrem. Menakjubkan. Sangat penting. Alternatif. Inovatif. Genting. Hal besar berikutnya. Terobosan eksplosif. Anda mungkin bisa menambahkan unsur-unsur penjelas lain yang, ironisnya, telah menjadi bagian dari percakapan umum dalam masyarakat dan di gereja pada masa kini. Sebagian besar dari kita sudah terlalu sering mendengar ungkapan-ungkapan seperti ini sehingga ungkapan-ungkapan tersebut menjadi suara latar. Meskipun kita mungkin agak letih dengan iklan-iklan tersebut, kita ingin sekali membawa keadaan ke "tingkat yang benar-benar baru". "Biasa" pasti merupakan salah satu kata yang paling kesepian dalam kosakata kita hari ini. Siapa yang mau punya stiker bemper mobil yang mengumumkan ke tetangga sekitar, "Anak saya adalah murid biasa di Bubbling Brook Elementary"? Siapa yang mau menjadi orang biasa yang tinggal di kota yang biasa saja, menjadi anggota dari gereja yang biasa saja, memiliki teman-teman yang biasa saja, dan melakukan pekerjaan yang biasa saja? Hidup kita harus berarti. Kita harus menggoreskan jejak kita, meninggalkan warisan, dan membuat perbedaan. Kita perlu menjadi murid yang radikal, membawa iman kita ke tingkat yang benar-benar baru. Semua ini harus merupakan sesuatu yang bisa dikelola, diukur, dan dipelihara. Kita harus menghayati profil Facebook kita. Meski demikian, saya merasakan kegelisahan yang semakin bertambah dengan kegelisahan ini. Beberapa orang sudah letih dengan ajakan terus-menerus untuk adanya perubahan yang radikal melalui skema-skema yang baru dan yang ditingkatkan. Mereka semakin tidak yakin apabila mereka ingin terjun menuju tren selanjutnya atau membuka jalan baru menuju kejayaan. Rod Dreher mengamati: "Keseharian adalah masalah saya. Mudah untuk memikirkan apa yang akan Anda lakukan pada masa perang, atau jika topan melanda, atau jika Anda menghabiskan waktu satu bulan di Paris, atau jika teman Anda memenangkan pemilihan, atau jika Anda memenangkan lotre, atau membeli barang yang benar-benar Anda inginkan. Jauh lebih sulit untuk menentukan bagaimana Anda akan melewati hari ini tanpa merasa putus asa." Dalam buku yang ditulisnya tentang saudarinya, The Little Way of Ruthie Leming, Dreher memberi isyarat akan adanya kekhawatiran yang semakin besar dengan budaya mengagung-agungkan hal-hal yang luar biasa. Gelisah terhadap Hal Besar Berikutnya Saya yakin bahwa salah satu alasan pendorong obsesi kita untuk menjadi luar biasa adalah adanya budaya revivalisme yang telah membentuk Protestanisme Amerika. Terutama oleh penginjil Charles G. Finney (1792 -- 1875), revivalisme memeluk teologi yang berpusat pada manusia, dan menemukan metode-metode yang sesuai dengan teologi tersebut. Menempatkan keselamatan di tangan masing-masing individu yang belum dewasa, sang penginjil memerlukan "reka-reka baru yang cukup untuk menimbulkan pertobatan". Sebagaimana Richard Hofstadter mengamati, "Sistem kebintangan tidak lahir di Hollywood, melainkan di jalanan yang berdebu." Fokusnya bukan pada Injil dan cara-cara anugerah yang ditetapkan oleh Allah, melainkan pada penginjil dan metode-metodenya untuk menghasilkan kebangunan rohani. Pemikiran itu menggagas bahwa pesan dan metode-metode yang dilakukan oleh Kristus itu terlalu lemah -- terlalu biasa. Yang terpenting bukanlah apa yang terjadi dalam gereja dan di rumah sepanjang minggu. Yang penting adalah hari ketika kebangunan rohani terjadi di kota, dan Anda "diselamatkan dengan mulia", seperti cara nenek saya menggambarkannya. Pendeta dan teolog Reformed, John W. Nevin, yang sezaman dengan Finney mengontraskan "sistem bangku" (pendahulu dari panggilan altar) dan "sistem katekismus": Iman Presbiterian kuno, yang di dalamnya saya dilahirkan, didasarkan pada gagasan tentang agama keluarga perjanjian, keanggotaan gereja melalui tindakan kudus Allah dalam pembaptisan, dan perihal mengikuti pelatihan katekisasi rutin bagi kaum muda, dengan petunjuk langsung tentang kedatangan mereka ke meja perjamuan Tuhan. Dalam satu kata, semua mengarah ke teori agama yang bersifat sakramen dan membina. Dua sistem ini, Nevin menyimpulkan, "Pada dasarnya melibatkan dua teori agama yang berbeda." Kesimpulan Nevin dibenarkan oleh perkembangan-perkembangan yang menyusul. Menjelang akhir pelayanannya, ketika dia memperhatikan kondisi banyak orang yang telah mengalami kebangunan rohani yang diselenggarakannya, Finney sendiri bertanya-tanya apabila hasrat tanpa henti akan pengalaman-pengalaman yang lebih besar ini bisa menuntun ke arah keletihan rohani. Kekhawatirannya ini beralasan. Daerah tempat kebangunan rohani Finney terjadi besar-besaran sekarang disebut oleh ahli sejarah sebagai burned-over district (wilayah barat dan tengah New York pada awal abad ke-19, tempat terjadinya kebangunan rohani dan terbentuknya gerakan religius baru pada masa Kebangunan Besar Kedua - Red.), daerah persemaian kekecewaan dan perkembangbiakan sekte-sekte esoteris. Ini telah menjadi lingkaran tak berujung dari kebangunan penginjilan sejak saat itu: sebuah pendulum yang berayun antara antusiasme dan kekecewaan, alih-alih kedewasaan yang teguh dalam Kristus melalui partisipasi dalam kehidupan sehari-hari sebagai komunitas perjanjian. Jika pertumbuhan bertahap dalam Kristus digantikan oleh pengalaman yang radikal, tidaklah mengherankan jika banyak orang mulai mencari Hal Besar Berikutnya ketika pengalaman krisis paling baru yang mereka alami mulai memudar. Bahkan, dalam masa hidup saya sendiri, saya menyaksikan -- dan ikut serta dalam -- suatu parade pergerakan radikal. Sekarang, menurut majalah Time, "kalvinisme baru" merupakan salah satu tren teratas yang sedang mengubah dunia. Pergerakan ini juga dikenal sebagai "Muda, Gelisah, Dibaharui". Akan tetapi, selama ditentukan oleh kegelisahan kaum muda, itu bisa cenderung membengkokkan apa artinya menjadi Dibaharui. Ketika masih menjadi nelayan muda, anak-anak saya tidak bisa membiarkan tali pancing mereka berada di dalam air cukup lama untuk menangkap makhluk hidup. Mereka selalu menggulung talinya untuk melihat apakah mereka telah menangkap sesuatu. Kemudian, ketika mereka ingin menanam strawberry bersama istri saya, kegembiraan mula-mula yang mereka punya segera berubah menjadi rasa bosan ketika, setelah hanya beberapa hari, mereka tidak melihat ada satu buah pun. Usia muda adalah usia ketika kita gelisah. Kita tersesat dalam rasa ingin tahu yang tidak sabar dan dorongan hati yang mementingkan diri sendiri. Namun, dalam Perjanjian Baru, kita berulang kali diajarkan untuk bertumbuh, untuk menjadi dewasa, untuk meninggalkan kekanak-kanakan kita. Kita diajarkan untuk taat kepada orang yang lebih tua, untuk menghargai hikmat yang terbentang bukan hanya dalam rentang tahun ke tahun, tetapi dari generasi ke generasi, dan untuk menyadari bahwa kita tidak memiliki jawaban atas segala sesuatu. Kita bukanlah bintang dalam film kita sendiri. Jika semua perlengkapan kehidupan gereja dirancang oleh dan untuk budaya masa muda, kita tidak akan pernah bertumbuh menjadi dewasa. Jadi, dalam beberapa hal, setidaknya, ketidaksabaran gelisah yang kita alami terhadap hal yang biasa bukan hanya merupakan pengaruh dari budaya kita, tetapi juga pengaruh dari pandangan yang tidak baik tentang pemuridan Kristen yang telah membentuk budaya itu dari generasi ke generasi. Memperbarui Rasa Menghargai untuk Hal yang Biasa Pertama dan terutama, semua penghargaan yang diperbarui terhadap hal yang biasa diawali dengan Allah. Tentu saja, Allah sama sekali tidak biasa saja, tetapi Dia suka bekerja dengan cara-cara yang biasa. Allah Tritunggal kita bisa melakukan segala sesuatunya sendiri, secara langsung dan dengan segera. Lagi pula, Dia berkata, "Jadilah terang," dan terang itu jadi (Kejadian 1:3). Namun, Dia juga berkata, "Hendaklah tanah menumbuhkan tunas-tunas muda" dan "tanah itu menumbuhkan tunas-tunas muda" (ayat 12). Allah tidaklah lebih kurang dalam posisi-Nya sebagai sumber utama realitas ketika Dia bekerja dalam penciptaan untuk "melaksanakan" tujuan-tujuan-Nya daripada ketika Dia memfirmankan segala sesuatu menjadi ada. Dalam pemeliharaan, cara bekerja Allah yang biasa pastinya mengejutkan kita dengan keheranan. Apa yang lebih biasa daripada kelahiran seorang anak? Kita tidak perlu menyebutnya keajaiban untuk merasa takjub pada karya Allah. Bahkan, cara kerja Allah yang wajar pun menakjubkan. Meskipun para nabi dan para rasul dipanggil untuk melakukan pekerjaan yang luar biasa, mereka adalah orang-orang biasa yang menyampaikan firman Allah dalam bahasa yang biasa. Kita melihat keragaman ini bahkan dalam inkarnasi. Allah yang menjadi daging di dalam rahim seorang perawan tidak lain adalah campur tangan langsung dan ajaib dalam sejarah. Meski demikian, Dia mengambil kemanusiaan-Nya dari Maria dalam cara yang biasa, melalui kehamilan selama 9 bulan. Cara Maria melahirkan Allah yang berinkarnasi pun bukanlah sesuatu yang ajaib. Allah bahkan bertumbuh besar dalam cara yang biasa, melalui cara-cara yang biasa: "Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia" (Lukas 2:52). Lagi pula, keajaiban luar biasa dari kelahiran baru kita berasal dari atas, tetapi kita dipersatukan dengan Kristus melalui pemberitaan Injil yang biasa. Beberapa pertobatan memang radikal; beberapa yang lain bertahap. Dalam kedua kasus tersebut, pekerjaan Allah yang ajaib terjadi melalui sarana anugerah yang biasa. Dalam semuanya ini, Allah adalah aktornya, bahkan ketika Dia bertindak melalui sarana ciptaan. Bukan kita yang naik kepada Allah, melainkan Dialah yang turun kepada kita, dan menyampaikan anugerah-Nya kepada kita melalui kata-kata dan perbuatan yang bisa kita pahami. Hal yang biasa bukan berarti hal yang rata-rata. Atlet, arsitek, humanis, dan seniman dapat menjamin bahwa pentingnya kesetiaan sehari-hari terhadap tugas-tugas dunia yang biasa mengarah pada keunggulan. Namun, meskipun kita bukanlah yang paling hebat dalam berbagai panggilan kita, cukuplah untuk mengetahui bahwa kita dipanggil ke sana oleh Allah untuk tetap beriman di dalam dunia milik-Nya. Kita memandang kepada Allah dengan iman dan memperhatikan sesama kita dalam kasih dan melalui pekerjaan baik. Anda tidak perlu mengubah dunia untuk menjadi seorang ibu atau ayah, saudara kandung, anggota gereja, atau tetangga yang beriman. Siapa tahu? Mungkin jika kita menemukan peluang dari hal-hal yang biasa, kesukaan terhadap hal yang biasa, dan rasa takjub terhadap hal yang biasa, kita akan menjadi radikal juga pada akhirnya. (t/Jing-Jing)
Komentar |
Publikasi e-Reformed |