Firman Menjadi Daging (1)

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Akhirnya, kita sampai dipenghujung tahun. Tahun 2006 sudah siap menanti kedatangan kita semua. Apakah tahun 2006 akan lebih baik dari tahun 2005? atau sebaliknya apakah akan lebih buruk? "Hanya Tuhan dan Anda yang tahu ...." Mungkin Anda akan bertanya, "Kalau Tuhan saya percaya pasti tahu, tapi apakah kita tahu? Hmmm ....

Menjelang tahun baru ada sebagian orang yang memiliki kebiasaan untuk membuat "resolusi tahun baru". Apakah Anda termasuk orang yang demikian? Di dalam resolusi ini, biasanya orang akan membuat janji- janji untuk melakukan sesuatu yang baik, yang bermakna, yang memberi kemajuan ... dll, pokoknya yang baik-baik, dengan harapan tahun di depan nati kita bisa mewujudkannya. Nah ... pernahkah Anda membuat resolusi agar tahun depan bisa lebih berhati-hati dalam berbicara?

Kelihatannya sepele, ya ... tapi ini seperti "musuh dalam selimut", sangat berbahaya. Apalagi kalau kita melihat ke belakang dan menyadari betapa banyaknya "kecelakaan" yang terjadi gara-gara mulut kita yang kurang bijaksana atau kurang bisa mengontrol diri sehingga menghancurkan hubungan dengan rekan kerja, teman dekat, bahkan dengan anggota-anggota keluarga yang kita cintai, terutama istri atau suami atau anak. Lalu terjadilah "sesal kemudian tak berguna", karena sudah terlanjur, minta maaf pun sering tidak menolong. Tentu kecelakaan "perang mulut" yang terjadi bukan sesuatu yang disengaja atau direncanakan, tapi herannya hal-hal seperti ini terjadi begitu saja, dan tiba-tiba yang kita alami adalah "shock" karena melihat hasilnya yang tak terduga dan sangat menyakitkan, bukan dari satu pihak, tapi dari dua belah pihak, sama-sama sedih dan menyesal. Tapi sayangnya "nasi sudah menjadi bubur". Yang tinggal hanya kemampuan berandai- andai, "Seandainya aku tahu akan begini, nggak bakal aku ngomong gitu tadi ..." atau "kenapa cuman omongan yang sepele gitu aja bisa bikin 'perang', andaikan aku tadi tutup mulut, mungkin ...."

Buku menarik yang saya baca beberapa waktu yang lalu, dengan judul yang sangat provokatif "War of Words", menolong saya melihat masalah komunikasi ini dari sudut pandang kebenaran Firman Tuhan. Wah ... sangat bagus sampai saya ingin sekali mensharingkan hal ini dengan Anda semua. Nah, selamat menikmati posting saya untuk menyambut Tahun Baru 2006 ini. Kiranya dapat menolong kita semua untuk bisa melihat masalah hidup kita yang sangat sensitif ini (khususnya dalam hal dosa lidah) dengan lebih jelas dan lebih mendasar.

Tak lupa, sekali lagi saya mengucapkan: Selamat Tahun Baru!

In Christ,
Yulia Oen
< yulia@in-christ.net >

Penulis: 
Paul David Tripp
Edisi: 
069/XII/2005
Isi: 
"Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita."
(Yohanes 1:14)

SAYA telah menikah selama lebih dari seperempat abad. Allah telah memberikan kepada saya seorang istri yang saleh yang karakternya lebih baik dari pada saya. Luella dan saya menikmati hubungan yang indah dalam berbagai hal. Kami dibesarkan dalam keluarga Kristen dimana kami diajarkan kebenaran sejak kecil. Kami berdua mengenal Kristus ketika masih anak-anak dan dididik di perguruan tinggi Kristen. Kami telah mempergunakan waktu kami untuk pelayanan dan telah diberkati dengan pengajaran alkitabiah yang baik. Kami telah bekerja keras untuk mengikuti rancangan Kristus bagi pernikahan kami.

Kami menghabiskan waktu bersama-sama setiap minggu di luar rumah untuk membicarakan hal-hal yang perlu didiskusikan. Selama bertahun-tahun kami telah mencoba untuk mengadakan ibadah keluarga setiap hari. Namun, saya mengakui bahwa sekalipun dengan semuanya itu, sampai saat saya mempersiapkan buku ini, kami tidak bebas dari kesulitan dalam komunikasi kami. Saya tidak mengatakan bahwa kami menjerit dan berteriak. Kami tidak selalu marah-marah dan bersitegang urat leher satu sama lain. Tetapi kami tidak perlu melihat terlalu jauh untuk menemukan dosa dalam percakapan kami. Dosa itu mungkin adalah perkataan yang diucapkan terburu-buru dan tanpa pikir panjang, kata- kata kekesalan, tuduhan yang terlalu cepat, tuntutan atau komentar yang mementingkan diri sendiri, kalimat "Kan sudah saya bilang," sementara yang diperlukan sebenarnya adalah kata-kata penghiburan dan pemberi semangat. Dosa itu mungkin juga berupa jawaban yang tidak sabar, saat-saat mengorek detail yang tidak perlu, komentar yang bernada membenarkan diri atau mengasihani diri, atau situasi dimana dosa masa lalu diungkit kembali.

Sekalipun dengan semua ajaran Alkitab yang telah kami terima, dengan semua komitmen pribadi dan usaha-usaha praktis kami, dengan semua permohonan pengampunan kami dan doa kami meminta pertolongan, sebagai pasangan kami masih bermasalah dengan percakapan kami. Begitulah besarnya kebutuhan kami! Begitulah dalamnya persoalan kami!

KECENDERUNGAN KITA UNTUK LUPA

Ketika saya mengunjungi toko buku Kristen, kadang saya merasa heran apakah kita telah melupakan persoalan kita yang sesungguhnya. Apakah kita benar-benar merasa bahwa kita bisa menyelesaikan persoalan komunikasi yang kronis dengan pengertian manusia dan teknik yang pintar? Apakah kita telah melupakan bahwa masalah komunikasi menunjukkan masalah yang jauh lebih mendalam dan tingkatan yang lebih mendasar? Jika kita tidak mengatasi masalah yang lebih mendalam ini, kita tidak akan pernah menyelesaikan permasalahan komunikasi kita sehari-hari. Jika yang kita perlukan hanyalah pengetahuan dan ketrampilan, Luella dan saya sudah menyelesaikan persoalan pembicaraan kami jauh sebelumnya. Tetapi kami membutuhkan sesuatu yang lebih mendalam daripada teknik, ketrampilan, dan pengetahuan. Kebutuhan yang mendalam ini ditunjukkan setiap hari ketika kami berkomunikasi.

Baru-baru ini saya memperhatikan dua anak laki-laki saya yang sedang bertengkar. Ini bukan sesuatu yang baru; usia mereka terpaut dua tahun dan telah sering bertengkar. Sebenarnya, pertengkaran ini adalah pertengkaran yang telah sering mereka alami sebelumnya. Tetapi, sekali ini pertengkaran mereka menarik perhatian saya. Kata-kata mereka penuh dengan tuduhan. Nada bicara mereka penuh kemarahan. Tidak ada di antara mereka yang berhenti untuk mendengarkan pada saat berondongan perkataan mereka meningkat dan volume suara mereka meninggi. Tidak begitu lama kemudian mereka telah meninggalkan masalah yang mereka hadapi dan saling melemparkan luka masa lalu. Mereka berdua berbicara dengan penuh rasa sakit, frustrasi dan kemarahan, ketidaksabaran dan kecemburuan. Mereka tidak berbicara untuk menyelesaikan persoalan atau mendengar untuk memahami. Kata-kata mereka hanyalah senjata dalam peperangan. Masing-masing dari mereka ingin membungkam lawannya dan menang. Kalimat-kalimat mereka penuh dengan "kamu selalu" dan "kamu tidak pernah". Mereka berdua berdiri di sana, terbungkus oleh jubah perasaan benar sendiri, merasa cukup beralasan untuk menuduh yang lain. Dan sekalipun mereka terus mengeluarkan keluhan mereka, mereka berdua mengkomunikasikan keyakinan mereka bahwa mereka hanya sedang membuang-buang waktu. Mereka merasa yakin bahwa lawannya tidak akan pernah "memahaminya".

Ketika saya mendengarkan itu, dua pikiran muncul dan menarik perhatian saya. Yang PERTAMA adalah bahwa saya tidak ingin mengatasi "perang" ini sebagai hal pertama di pagi hari. Tetapi pikiran yang KEDUA lebih teologis dan lebih mencengkeram. Saya menyadari bahwa saya tidak pernah mengajar kedua anak laki-laki saya bagaimana bertengkar dan berkelahi. Saya tidak pernah mengajar mereka bagaimana melukai satu sama lain dengan kata-kata. Saya tidak pernah mengkuliahi mereka tentang saat yang tepat untuk melemparkan catatan kesalahan pada orang lain. Saya tidak pernah mencoba mengajari mereka ketrampilan menuduh dan mengutuk. Tetapi anak-anak saya berduel dengan percaya diri dan trampil. Mereka memiliki bakat yang alamiah untuk memakai kata-kata persis seperti apa yang diinginkan hati mereka yang marah.

Ketika saya mulai campur tangan, hati saya penuh dengan kesedihan. Saya dapat menghentikan pertengkaran itu, tetapi saya tidak dapat mengubah apa yang benar-benar membutuhkan perubahan. Lagi pula, saya menyadari sepenuhnya bahwa apa yang perlu diubah di dalam diri mereka masih perlu diubah di dalam diri saya! Di rumah kami, jarang ada beberapa jam (apalagi sehari penuh) yang berlalu tanpa konflik dalam bentuk apa pun! (Dan, percaya atau tidak, kami memiliki keluarga yang lumayan baik.) Betapa dalamnya kebutuhan kami! Saya berbicara kepada anak-anak saya pagi itu dengan air mata, karena sekali itu saya lebih dikuasai oleh beratnya kebutuhan rohani kami daripada oleh frustrasi saya yang timbul karena pertengkaran kecil yang harus diselesaikan.

Mungkin Anda sedang berpikir apakah anak-anak saya akan mendapat manfaat dengan mempelajari teknik komunikasi yang lebih baik atau kejelian untuk mengenal tempat dan momen yang lebih baik. Tidak diragukan lagi mereka akan mendapat manfaatnya. Tetapi, perang perkataan pagi itu lebih dalam lagi sifatnya. Yang ditunjukkan adalah kebutuhan rohani yang mendalam, yang tidak dapat dipuaskan dengan beberapa prinsip komunikasi yang baik.

KEDATANGAN SANG FIRMAN

Bagaimana Allah, Sang Pembicara Agung, memenuhi kebutuhan kita dalam bidang ini? Dia tidak menuntut kita untuk mencapai standar-Nya dengan kekuatan kita. Tidak, Dia mengutus Anak-Nya, Sang Firman, untuk menjadi daging, lalu hidup sebagai manusia dan menjadi yang paling mulia dari seluruh wahyu Allah kepada kita! Firman itu telah menjadi daging. Dengarkanlah perkataan Yohanes.

Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah.

Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan. Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia. Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya ...

Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan oleh-Nya, tetapi dunia tidak mengenal-Nya. Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya. Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya; orang- orang yang diperanakkan bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah.

Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.

... Karena dari kepenuhan-Nya kita semua telah menerima kasih karunia demi kasih karunia; sebab hukum Taurat diberikan oleh Musa, tetapi kasih karunia dan kebenaran datang oleh Yesus Kristus. Tidak seorang pun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan- Nya. (Yohanes 1:1-5, 10-14, 16-18)

Renungkanlah. Allah yang menciptakan perkataan dan menciptakan dunia ini dengan berfirman, Allah yang memakai perkataan manusia untuk menyatakan diri-Nya kepada umat-Nya sepanjang zaman, datang ke dunia- Nya sebagai Firman, kepada manusia yang telah meninggalkan-Nya. Dia bukan hanya Pemberita kebenaran, Dia adalah Kebenaran, dan hanya di dalam Dia ada harapan bagi kita. Hanya di dalam Firman kita menemukan harapan untuk membereskan perang dengan kata-kata dan kembali berbicara menurut contoh dan rancangan Pencipta kita. Firman itu telah menjadi daging karena tidak ada jalan lain untuk mengoreksi kerusakan di dalam diri kita.

Kenyataan bahwa Firman datang dalam daging memberi tahu kita akan sesuatu yang sangat penting mengenai kesulitan kita dalam hal pembicaraan: Persoalan kita pada dasarnya bukan persoalan ketidaktahuan atau tidak adanya ketrampilan. Ingatlah perkataan Yakobus: "Semua jenis binatang liar, burung-burung, serta binatang- binatang menjalar dan binatang-binatang laut dapat dijinakkan dan telah dijinakkan oleh sifat manusia, tetapi tidak seorang pun yang berkuasa menjinakkan lidah; ia adalah sesuatu yang buas, yang tak terkuasai, dan penuh racun yang mematikan" (Yakobus 3:7-8). Maksud Yakobus adalah bahwa masalah komunikasi kita tidak dapat diselesaikan dengan cara manusia yang lazim. Perubahan pada lokasi, situasi, pendidikan, pelatihan, dan pengulangan, atau sifat dari hubungannya tidak akan menyelesaikan masalah. Lidah itu tidak dapat dijinakkan secara manusiawi! Ia adalah sesuatu yang berkuasa, buas, dan tidak terkuasai yang membuat kita semua kebingungan.

PERANG DI BALIK PERANG DENGAN KATA-KATA

Di sini ada satu pengamatan alkitabiah yang mendasar yang perlu kita kemukakan: Firman tidak akan datang ke dunia kita kalau pergumulan kita pada dasarnya adalah pergumulan darah dan daging. Masalah kata- kata kita adalah masalah kerohanian yang sangat kental, masalah hati manusia. Mungkin Anda adalah seorang istri yang sangat dilukai oleh cara suami Anda berkomunikasi dengan Anda. Atau, mungkin Anda adalah seorang remaja, dan sulit untuk tidak merasa terkutuk oleh cara orangtua berbicara kepada Anda. Mungkin Anda adalah seorang suami yang merasa getir karena kurangnya penghormatan yang diberikan oleh keluarga kepada Anda. Masing-masing kita pernah secara pribadi dilukai oleh kata-kata orang lain, dan masing-masing kita pernah mengucapkan kata-kata yang telah menyengat orang lain. Oleh sebab itu, penting bagi kita untuk mengakui bahwa perang dengan kata-kata sebenarnya adalah buah dari perang yang lebih besar dan lebih mendasar. Perang ini adalah perang dari segala perang; ini adalah masalah kehidupan. Paulus menunjuk kepada perang ini di Efesus 6:12 ketika dia mengatakan, "Karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara."

Di Efesus 4 Paulus berbicara panjang lebar tentang percakapan di dalam tubuh Kristus. Dia menyerukan, "Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu. Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera ... dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih ... buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain, karena kita adalah sesama anggota." Dia mengatakan, "Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu." Dia memberi dorongan kepada kita, "Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun." Dia mengatakan, "Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian juga segala kejahatan, hendaklah kamu ramah seorang terhadap lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu." Dalam Efesus 5 dan 6, Paulus menerapkan prinsip-prinsip ini kepada gereja, rumah tangga, dan dunia di luar.

Anda tidak dapat membaca apa yang telah dikatakan Paulus tanpa merasa terkesan oleh kedalaman dan jangkauan dari perintah-perintah ini. Mungkin ketika Anda membaca, Anda berpikir, Paulus, Anda pasti bercanda! Pembicaraan yang selalu rendah hati dan lemah lembut di rumah kami? Tidak mungkin! Komunikasi yang bebas dari segala kemarahan dan kejahatan? Itu akan menjadi hari yang penuh keajaiban! Namun, ini adalah seruan Paulus kepada kita. Dan perintah-perintah ini dimaksudkan untuk menolong ki�a.

Anda berkata, "Perintah-perintah ini tidak membantu saya -- malahan meninggalkan saya dalam keadaan putus harapan!" Tetapi, mungkin ini adalah masalahnya. Ketika Anda menghadapi standar Allah yang tinggi bagi kata-kata kita dan melihat betapa jauhnya kejatuhan kita dari standar itu, Anda dibuat untuk mengakui dua hal yang merupakan fokus dari bab ini. Pertama-tama, Anda dan saya segera dihadapkan dengan kenyataan bahwa kita menghadapi masalah yang menyedihkan dalam komunikasi kita, masalah yang jauh lebih mendasar daripada ketrampilan, teknik, dan perbendaharaan kata. Fakta kedua berasal dari yang pertama: Oleh karena kebutuhan kita lebih mendalam daripada teknik, kita memerlukan lebih daripada sekadar kelas latihan atau seperangkat ketrampilan yang baru. Kita memerlukan pertolongan yang hanya dapat diberikan Yesus, Firman yang hidup dan Penebus kita.

Oleh sebab itu, ketika usaha terbaik kita untuk memenangkan perang dengan kata-kata gagal, kita menjumpai harapan terbesar. Tetapi, bukan di dalam diri atau potensi kita, melainkan di dalam diri Sang Firman dan penyertaan-Nya, kuasa-Nya, dan janji-Nya. Karena Kristus telah datang untuk hidup, mati, dan dibangkitkan bagi kita, ada harapan bagi kita untuk berbicara menurut rancangan Allah.

KEHIDUPAN ADALAH PEPERANGAN

Dengan demikian, kata-kata Paulus di Efesus 6:12 adalah paling praktis. Ketika Paulus menulis tentang peperangan rohani di akhir surat ini, dia tidak mengganti topik; tetapi merangkum apa yang telah dia katakan sebelumnya (termasuk apa yang telah dia katakan tentang komunikasi). Paulus sangat antusias agar kita menyadari bahwa kehidupan adalah peperangan, bukan dengan orang lain, melainkan dengan roh-roh jahat di udara!

Kehidupan adalah peperangan. Suatu konflik yang dramatis sedang berlangsung antara kekuatan dari Sang Pembicara Agung dan Penipu Besar. Sementara Allah mencoba memperdalam akar kita di dalam kehidupan, damai sejahtera, dan kebenaran-Nya, Iblis mencoba mencabut kita dari semua itu dengan rencana yang menipu, dusta yang pintar, dan jebakan yang jahat. Seperti semua peperangan, peperangan ini juga untuk merebut kendali. Ini adalah peperangan untuk merebut hati kita. Dan jika peperangan rohani ini tidak terjadi, maka tidak akan ada perang dengan kata-kata.

Ini memperkuat pemahaman kita akan Injil, yaitu tentang mengapa Yesus perlu datang. Yesus, Firman yang hidup, datang sebagai Wahyu dan Penebus sehingga kita memiliki apa yang kita perlukan untuk teguh berdiri di tengah-tengah konflik. Pada diri kita sendiri, kita tidak sanggup melawan "roh-roh jahat di udara" ini. Maka Kristus datang, bukan hanya sebagai Firman, melainkan juga sebagai Adam kedua. Adam pertama mewakili kita semua, dan ketika dia menghadapi Iblis, dia percaya kepada dustanya, menyerah kepada jebakannya, dan jatuh ke dalam dosa. Kristus harus datang sebagai Adam kedua, kembali sebagai Wakil kita untuk menghadapi Iblis. Oleh sebab itu, sebelum memulai pelayanan-Nya kepada orang banyak, Kristus menghadapi musuh-Nya. Tiga kali Dia dicobai dengan dusta dan jebakan yang sama. Tiga kali Dia menaklukkan Iblis, menunjukkan kuasa-Nya terhadap kekuatan jahat dan mencapai kemenangan besar bagi kita (lihat Matius 4:1-11, 12:22-29; Roma 5:12-21).

Melalui karya-Nya, Kristus memberi kita kuasa dan membekali kita untuk peperangan ini, sehingga ketika datang hari yang jahat, kita mampu berdiri teguh dan tidak ada sesuatu apa pun yang menggeser kita dari kehidupan yang untuknya Dia memanggil kita. Kehidupan ini mencakup berbicara dengan cara yang layak bagi Injil. Kemenangan Yesus memberi kita kemampuan untuk hidup damai dengan-Nya dan dengan sesama.

Ini memberi kita pandangan yang sama sekali berbeda tentang rebutan memakai kamar mandi atau siapa yang menghabiskan sereal yang paling disenangi keluarga. Masalah pada momen-momen seperti ini melampaui masalah yang tampak di permukaan, seperti terlalu banyak orang, terlalu sedikit kamar mandi, dan terlalu banyak kotak sereal yang kosong. Kita adalah masalahnya dalam setiap keadaan itu. Dan sangat penting bahwa kita tidak mengecilkan masalah kita (dengan mengatakan bahwa momen-momen ini tidak penting) atau menjadi pesimis (dengan mengatakan bahwa tidak ada harapan untuk berubah). Momen-momen kecil ini penting, karena di situlah kita hidup setiap hari. Namun ada harapan untuk perubahan besar karena Yesus Kristus, Firman itu, Penebus itu, telah memberi kita setiap sumber daya yang kita perlukan untuk berbicara sebagaimana layaknya.

(Redaksi: Lanjutan dari artikel di atas akan dikirimkan pada pengiriman e-Reformed edisi berikutnya.)

Sumber: 

Bahan di atas dikutip dari sumber:

Judul buku : War of Words
Penulis : Paul David Tripp
Penerbit : Momentum, Surabaya, 2004
Halaman : 43 - 53

Kristus adalah Semua ...

Editorial: 

Dear e-Reformed netters,

Tak terasa bulan Desember telah kita masuki dan sebentar lagi seluruh umat Kristen di seluruh dunia akan merayakan Hari Kelahiran Kristus di dunia, yang terjadi 2000 tahun yang lalu. Memang tidak ada sesuatu yang "magic" ketika kita merayakan hari lahir Kristus, bahkan tanggal kelahiran-Nya pun kemungkinan besar bukan tanggal 25 dan bukan bulan Desember.... Namun, ada sesuatu yang sangat amat penting tentang Kristus sehingga hari kelahiran-Nya perlu dirayakan dan menjadi tonggak iman bagi umat Kristen, tidak peduli tanggal berapa dan bulan apa Ia dilahirkan.

Banyak orang Kristen mungkin hanya mengenal dan mengagungkan Kristus karena kelahiran-Nya yang ajaib sebagai Juruselamat. Rasa sukacita muncul ketika kita menyebut Nama-Nya, khususnya pada hari Natal. Tapi banyakkah di antara kita yang memiliki rasa hormat yang tinggi kepada Kristus, bukan hanya karena Dia adalah Juruselamat, tetapi juga karena Dia adalah Pencipta, Pemelihara, Raja dan Hakim yang Mahatinggi, Tuhan yang memiliki seluruh alam semesta ini, serta pusat dari segala sesuatu di dalam hidup kita dan di luar hidup kita? Sejauh manakah kita telah mengagungkan Kristus?

Perayaan Natal sesungguhnya adalah peristiwa sangat penting bagi orang Kristen. Tapi mengapa orang Kristen sering gagal menangkap makna Natal? Apakah karena Natal sekarang ini terlalu banyak dibungkus dengan berbagai keramaian acara yang meniru dunia "showbiz" dan juga makan-makan dan dekorasi yang mengalihkan perhatian kita justru pada hal-hal yang serba non-esensial?

Kita gagal menangkap makna Natal karena kita gagal meletakkan Kristus sebagai pusat dari segala-galanya. Oleh karena itu, marilah pada perayaan Natal tahun ini, kita memberikan hormat yang setinggi- tingginya kepada Kristus, karena "Kristus adalah segala-galanya..." (BIS, Kol. 3:11). Artikel yang Anda akan baca di bawah ini kiranya dapat menolong kita semua memahami betapa luar biasanya Kristus, dan biarlah kita merayakan Natal dengan pikiran yang benar tentang Dia yang Mahatinggi sehingga kita tidak kehilangan esensi dari perayaan Natal yang sesungguhnya; sehingga kita juga tidak kehilangan esensi dari hidup Kristen yang sesungguhnya.

"Barangsiapa tidak menghormati Anak, ia juga tidak menghormati Bapa, yang mengutus Dia" (Yoh. 5:23).

Pada kesempatan ini, saya juga ingin mengucapkan "Selamat Hari Natal" kepada para sahabat dan pembaca e-Reformed semua! Biarlah segala kemuliaan adalah bagi Dia, Raja di atas segala raja.

In Christ,
Yulia
< yulia@in-christ.net >

Penulis: 
J.C. Ryle
Edisi: 
068/XI/2005
Isi: 
"Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu"
(Kol. 3:11b)

Kata-kata dalam pernyataan ini sedikit, ringkas, dan cepat selesai bila diucapkan. Tetapi kata-kata ini penuh makna bagi orang percaya sejati. Kata-kata ini merupakan dasar dan intisari dari Kekristenan. Jika kita memahaminya dalam hati kita, maka kita boleh yakin bahwa iman kita sedang memimpin kita ke arah yang benar. Itulah sebabnya saya ingin membahas pernyataan yang luar biasa ini. Barangsiapa mengejar kekudusan tidak akan mengalami kemajuan, kecuali Kristus diberi tempat yang benar dalam pikiran mereka.

  1. Marilah kita memahami bahwa Kristus ada di dalam keseluruhan pikiran Allah mengenai manusia
    1. Ada suatu masa ketika dunia ini tidak ada. Tidak ada gunung- gunung, lautan, dan bintang-bintang. Tidak ada makhluk hidup, tidak ada manusia. Di mana Kristus saat itu? Saat itu Kristus ada bersama-sama dengan Allah dan Ia adalah Allah dan setara dengan Allah (Yoh. 1:1; Flp. 2:6). Yesus berbicara tentang kemuliaan yang Ia miliki sebelum dunia ada, "Ya Bapa, permuliakanlah Aku ... dengan kemuliaan yang Kumiliki di hadirat-Mu sebelum dunia ada" (Yoh. 17:5). Dan bahkan saat itu pun Kristus adalah Juruselamat -- Petrus menulis bahwa kita ditebus "... dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat. Ia telah dipilih sebelum dunia dijadikan" (1Ptr. 1:19-20).

    2. Ada suatu masa ketika dunia diciptakan dalam bentuknya yang sekarang ini. Matahari, bulan, bintang, laut, daratan, dan semua makhluk diciptakan - dan yang terakhir dari semuanya ialah Adam, manusia pertama, yang dibentuk dari debu tanah. Di mana Kristus saat itu? Bacalah apa yang dikatakan Alkitab: "Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan" (Yoh. 1:3). Dan di kemudian hari Paulus menulis, "Karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi" (Kol. 1:16). Ibrani 1:10 berbunyi, "Pada mulanya, ya Tuhan, Engkau telah meletakkan dasar bumi, dan langit adalah buatan tangan-Mu." Oleh sebab itu, apakah Anda heran kalau Tuhan senantiasa mengajarkan pelajaran-pelajaran yang diambil dari dunia alam? Ketika berbicara tentang domba, ikan, burung, gandum, pohon ara, dan pokok anggur, Ia sedang berbicara tentang benda-benda yang telah Ia ciptakan sendiri!

    3. Ada suatu hari ketika dosa masuk ke dalam dunia melalui ketidaktaatan Adam dan Hawa. Mereka kehilangan natur kudus yang mereka miliki pada saat mereka diciptakan. Mereka kehilangan persahabatan dan dukungan Allah, dan menjadi pendosa-pendosa yang rusak dan tidak berdaya. Dosa mereka menjadi penghalang antara mereka sendiri dan Bapa sorgawi mereka. Jika Ia memperlakukan mereka sesuai dengan apa yang patut mereka terima maka tidak ada yang bisa diharapkan oleh manusia keturunan mereka kecuali maut dan neraka kekal. Di mana Kristus saat itu?

      Pada hari itu juga Kristus dinyatakan sebagai satu-satunya pengharapan keselamatan bagi orang-orang berdosa. Allah berkata kepada ular itu, "Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya" (Kej. 3:15). Dengan kata lain, seorang Juruselamat yang dilahirkan dari seorang perempuan akan mengalahkan Iblis. Tidak pernah ada nama lain yang dikenal yang melakukan hal ini selain nama Yesus Kristus.

    4. Ada suatu masa ketika bangsa-bangsa di bumi tidak mengindahkan Allah. Bangsa-bangsa Mesir, Siria, Persia, Yunani, dan Romawi, semuanya tenggelam dalam dunia takhayul dan penyembahan berhala. Para penyair, sejarawan, dan filsuf, semuanya menunjukkan bahwa dengan segenap kekuatan intelektual mereka, mereka tidak dapat menemukan Allah yang sejati. "Dunia, dalam hikmat Allah, tidak mengenal Allah oleh hikmatnya" (1Kor. 1:21). Kecuali sebagian orang Yahudi, seluruh dunia mati secara rohani dalam kebebalan dan dosa. Apa yang dilakukan Kristus saat itu?

      Ia meninggalkan kemuliaan kekal yang Ia miliki bersama Allah Bapa dan datang ke dunia yang durhaka ini untuk menyediakan jalan keselamatan bagi para pendosa semacam itu. Ia mengambil bagi diri-Nya natur manusiawi kita dan dilahirkan sebagai manusia. Sebagai manusia, Ia melakukan kehendak Bapa-Nya dengan sempurna, dan inilah yang seharusnya kita lakukan tetapi tidak mampu kita lakukan karena dosa kita. Di atas salib Ia menanggung murka Allah yang seharusnya kita tanggung. Dan dengan demikian, Ia membawa ke dalam dunia kebenaran-Nya sendiri, yang melaluinya sekarang Ia dapat menebus orang-orang berdosa. "Yesus, yang telah diserahkan karena pelanggaran kita dan dibangkitkan karena pembenaran kita" (Rm. 4:25). Ia naik ke sorga supaya kembali bersama-sama dengan Bapa-Nya, dan dari sana Ia sekarang menganugerahkan keselamatan kepada semua orang yang mau datang kepada-Nya dalam penyerahan diri yang sederhana dan penuh iman.

    5. Akan tiba saatnya ketika dosa akan disingkirkan dari dunia ini. Akan ada langit dan bumi yang baru. "Seluruh bumi penuh dengan pengenalan akan TUHAN, seperti air laut yang menutupi dasarnya" (Yes. 11:9). Dan di mana Kristus saat itu? Apa yang akan Ia kerjakan? Ia akan menjadi Raja! Ia akan datang kembali dengan kuasa dan kemuliaan besar dan dunia akan menjadi kerajaan-Nya. Di hadapan-Nya semua lutut akan bertelut dan semua lidah akan mengaku bahwa Ia adalah Tuhan. Kerajaan-Nya akan menjadi kerajaan yang kekal, yang tidak akan pernah berlalu atau dihancurkan. Seluruh bumi akan menjadi milik-Nya! Lihat apa yang dikatakan Alkitab sehubungan dengan masa yang menakjubkan ini: Mazmur 2:8; Daniel 7:14; Matius 24:30; Filipi 2:10-11; Wahyu 11:15.

    6. Akan tiba saatnya ketika seluruh umat manusia akan dihakimi. Laut akan menyerahkan orang-orang mati yang ada di dalamnya, maut dan kerajaan maut akan menyerahkan orang-orang mati yang ada di dalamnya; dan mereka akan dihakimi masing-masing menurut perbuatannya. Dan di mana Kristus saat itu? Kristus sendiri akan menjadi Hakim! "Kita semua harus menghadap takhta pengadilan Kristus, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya, sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik ataupun jahat" (2Kor. 5:10).

      Sesungguhnya kita melakukan yang baik jika kita memikirkan perkara-perkara ini. Barangsiapa berpikiran remeh tentang Kristus, ia berpikiran sangat berbeda dengan Allah Bapa! Dalam keseluruhan pikiran Allah tentang masalah-masalah dunia ini dan manusia di dalamnya, Kristus diberi tempat terhormat. Berpikiran remeh tentang-Nya berarti menghina Pribadi yang sangat dijunjung tinggi oleh Allah. Tidak mengherankan jika kita membaca, "Barangsiapa tidak menghormati Anak, ia juga tidak menghormati Bapa, yang mengutus Dia" (Yoh. 5:23).

  2. Marilah kita memahami bahwa Kristus ada di dalam semua kitab yang membentuk Alkitab

    Kristus ditemukan di dalam semua kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru - kurang jelas dalam kitab-kitab permulaan, lebih jelas dalam kitab-kitab yang di tengah, dan secara lengkap dalam kitab-kitab yang terakhir - namun secara nyata dan terus terang Ia ditemukan di mana-mana. Pengorbanan Kristus di atas salib dan kerajaan-Nya adalah hal-hal yang harus kita ingat bila membaca bagian mana pun dari Kitab Suci. Dialah yang menjadi kunci untuk memahami banyak bagian yang sukar di dalam Alkitab. Mari saya tunjukkan kepada Anda apa yang saya maksud:

    1. Pengorbanan dan penyaliban Kristuslah yang digambarkan dalam korban-korban binatang sembelihan di Perjanjian Lama. Korban- korban itu menunjukkan bagaimana korban pengganti bagi orang berdosa dapat menghapuskan dosa melalui penumpahan darah; "tanpa penumpahan darah tidak ada pengampunan" (Ibr. 9:22). Ingatlah juga perkataan Yesus yang penting, "Inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa" (Mat. 26:28).

    2. Pengorbanan Kristuslah yang digambarkan Habel ketika ia mempersembahkan korban yang lebih baik daripada Kain, saudaranya (Kej. 4). Dalam mempersembahkan seekor binatang dari kawanan ternak gembalaannya sebagai pengganti dirinya sendiri, Habel menunjukkan bahwa ia memahami bahwasanya tanpa penumpahan darah tidak ada pengampunan.

    3. Kristuslah yang dinubuatkan Henokh selama merajalelanya kejahatan dahsyat manusia sebelum air bah pada zaman Nuh, ketika ia berkata, "Sesungguhnya Tuhan datang dengan beribu-ribu orang kudus-Nya, hendak menghakimi semua orang" (Yud. 1:14-15).

    4. Kristuslah yang dipikirkan Abraham ketika ia mempercayai janji Allah bahwa melalui salah satu keturunannya semua bangsa akan diberkati. Seperti yang Tuhan Yesus katakan kepada orang-orang Yahudi, "Abraham bapamu bersukacita bahwa ia akan melihat hari- Ku dan ia telah melihatnya dan ia bersukacita" (Yoh. 8:56).

    5. Kristuslah yang dibicarakan Yakub kepada anak-anaknya ketika menjelang ajal ia menubuatkan, "Tongkat kerajaan tidak akan beranjak dari Yehuda ataupun lambang pemerintahan dari antara kakinya, sampai dia datang yang berhak atasnya, maka kepadanya akan takluk bangsa-bangsa" (Kej. 49:10).

    6. Semua upacara yang berkaitan dengan hukum Taurat yang Allah berikan kepada bangsa Israel dirancang untuk mengajar mereka tentang karya Kristus, Mesias yang akan datang itu. Korban- korban pagi dan petang, penumpahan darah yang terus-menerus, perabot kemah suci, imam besar, pasah (Passover), hari pendamaian, kambing Azazel - semua ini adalah gambaran tentang Kristus dan karya-Nya.

    7. Semua mujizat yang setiap hari terjadi di hadapan bangsa Israel di padang gurun ketika mereka meninggalkan Mesir adalah gambaran tentang karya Kristus. Tiang awan dan tiang api yang menuntun, manna dari sorga, air dari gunung batu, ular tembaga yang bila dipandang akan menghindarkan orang dari kematian akibat gigitan ular-ular tedung berbisa - semua ini dan banyak yang lain dimaksudkan untuk mengajarkan tentang natur pelayanan Kristus (1Kor. 10:4).

    8. Kristuslah yang dicontohkan dalam diri para hakim, karena mereka diangkat agar menjadi juruselamat bagi orang-orang yang dalam kesesakan.

    9. Kristuslah yang digambarkan dalam diri Daud. Daud dipilih menjadi raja padahal hanya sedikit orang yang menyegani dan menghormatinya; ia dihina dan dianiaya oleh banyak orang dari bangsanya sendiri, namun pada akhirnya ia menjadi raja besar dan penuh kemenangan - semua ini mengingatkan kita pada Kristus.

    10. Kristuslah yang dibicarakan semua nabi, mulai dari Yesaya sampai Maleakhi. Kadang-kadang mereka berbicara tentang penderitaan- Nya, kadang-kadang kemuliaan-Nya. Kadang-kadang mereka diilhami untuk berbicara tentang kedatangan-Nya yang pertama dalam kerendahan hati, kadang-kadang tentang kemuliaan kedatangan-Nya yang kedua. Kadangkala mereka melihat kedua kedatangan-Nya dan membicarakannya seolah-olah keduanya itu satu, tetapi Kristuslah yang selalu ada dalam pikiran mereka.

    11. Perjanjian Baru penuh dengan Kristus. Kitab-kitab Injil berbicara tentang kehidupan-Nya di tengah-tengah umat-Nya; Kisah Para Rasul berbicara tentang Kristus yang diberitakan oleh orang-orang percaya mula-mula; Surat-surat para rasul memberikan penjelasan yang teliti tentang pengajaran-pengajaran Kristus, kitab Wahyu menjelaskan tentang akhir dari semuanya, ke mana Kristus akan membawa segala sesuatu.

      Kapan saja Anda mempelajari Alkitab, saya mendesak Anda untuk mengingat bahwa Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu!

  3. Marilah kita memahami bahwa Kristus ada di dalam semua pengalaman religius semua orang Kristen sejati

    Dengan mengatakan ini saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa kebenaran-kebenaran Alkitab lainnya seperti doktrin Trinitas, doktrin pemilihan Allah Bapa atas umat-Nya, atau doktrin Roh Kudus yang menguduskan umat Allah tidak penting. Saya sungguh yakin bahwa saat sampai di sorga setiap orang percaya akan memuji dan memegahkan tiga Pribadi dalam diri Allah, yakni Bapa, Anak, dan Roh Kudus.

    Walaupun begitu, saya melihat bukti yang jelas dalam Kitab Suci bahwa Allah memaksudkan agar Kristus khususnya menangani masalah penyelamatan manusia. Kelahiran dan kematian-Nya adalah dasar dari keselamatan yang sepenuhnya. Kristus adalah jalan dan pintu yang melaluinya semua orang percaya harus datang kepada Allah. Paulus menulis kepada orang percaya di Kolose, "Seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia [Kristus]" (Kol. 1:19). Matahari memiliki arti bagi langit kita, begitu pula Kristus bagi Kekristenan.

    1. Kristus adalah semua dalam pembenaran orang berdosa di hadapan Allah. Bagaimanakah kita dapat diterima di hadapan Allah? Bukan karena apa pun yang pernah kita lakukan! Kita semua bersalah dalam hal melanggar hukum-hukum Allah. Jadi, bagaimana kita dapat mendekati Allah? Kita bisa datang kepada-Nya hanya dalam nama Yesus, sembari menyatakan bahwa Ia mati bagi orang-orang durhaka dan bahwa kita mempercayai-Nya. Nama Kristus adalah satu-satunya nama, satu-satunya jasa yang melaluinya siapa saja dapat mencapai sorga.

      Jangan pernah kita lupa bahwa Kristus harus menjadi semua bagi siapa pun yang ingin dibenarkan di hadapan Allah. Kita harus puas dengan pergi ke sorga sebagai pengemis-pengemis rohani, yang hanya mengandalkan kasih karunia Allah dan karunia keselamatan-Nya untuk semua orang yang beriman hanya kepada Kristus.

    2. Kristus adalah semua dalam pengudusan orang percaya. Jangan salah mengerti saya bila saya mengatakan hal ini. Saya tidak bermaksud mengecilkan pekerjaan Roh Kudus yang berdiam di dalam diri orang-orang percaya. Tetapi yang saya maksudkan ialah bahwa tidak seorang pun dapat menjadi kudus jika mereka tidak datang terlebih dahulu kepada Kristus dan dipersatukan dengan-Nya oleh iman. Yesus sendiri berkata, "Di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa" (Yoh. 15:5). Tidak seorang pun dapat bertumbuh dalam kekudusan kecuali mereka menjadi satu dengan Kristus.

    3. Kristus adalah semua dalam memberikan penghiburan bagi orang- orang percaya dalam kehidupan ini. Orang percaya mempunyai dukacita mereka sendiri sama seperti orang lain. Mereka mempunyai tubuh yang sama lemahnya seperti orang lain. Mereka mempunyai natur yang sensitif, barangkali lebih sensitif daripada banyak orang lainnya. Mereka harus menanggung kesedihan karena kematian, melawan pola pikir dunia, menjalani kehidupan yang tak bercela. Mereka kerap dianiaya, dan sama seperti orang lainnya, mereka harus mati. Tetapi orang-orang Kristen semacam ini mempunyai suatu penghiburan yang besar; "dalam Kristus ada nasihat, ada penghiburan kasih" (Flp. 2:1). Kristus adalah sahabat yang lebih dekat daripada seorang saudara kandung; hanya Dia yang dapat menghibur umat-Nya. Bagaimana orang percaya menanggung kesusahan-kesusahan hidup kelihatan luar biasa, tetapi alasan di balik semuanya itu adalah bahwa Kristus memberi penghiburan yang luar biasa.

    4. Kristus adalah semua dalam pengharapan orang Kristen tentang masa depan. Hampir semua orang mempunyai harapan-harapan pribadi untuk masa depan. Tetapi kebanyakan harapan itu tidak mempunyai dasar yang kuat. Orang yang tidak percaya tidak mempunyai kepastian tentang harapan di masa depan. Harapan orang Kristen untuk masa depan didasarkan pada fakta bahwa Yesus Kristus akan datang kembali - datang kembali untuk mengumpulkan semua keluarga-Nya agar mereka bersama-sama dengan Dia untuk selamanya. Oleh karenanya, orang percaya mampu menunggu masa depan mereka dengan sabar. Mereka dapat menanggung berbagai kesukaran tanpa bersungut-sungut sebab mereka sedang menunggu kedatangan Tuhan kembali dengan pengetahuan yang pasti.

      Sekarang orang percaya dapat menjadi moderat dalam segala perkara sebab mereka tahu bahwa harta mereka ada di sorga, hal- hal yang terbaik bagi mereka masih akan datang! Dunia ini bukan tempat perhentian kita, melainkan sebuah hotel. Hotel bukan rumah. Kristus akan datang, sorga akan datang - dan itu sudah cukup. "Hanya pada Allah saja kiranya aku tenang, sebab dari pada-Nyalah harapanku" (Mzm. 62:6).

  4. Marilah kita memahami bahwa Kristus adalah semua di sorga

    Tidak mudah untuk berbicara tentang pokok bahasan ini, karena saya tidak bisa bicara banyak tentang suatu dunia yang tidak terlihat dan tidak dikenal, seperti sorga! Tetapi inilah yang saya tahu, bahwa semua orang yang mencapai sorga akan menemukan bahwa di sana pun Kristus adalah semua.

    Seperti mezbah di Kemah Suci dan Bait Allah di Perjanjian Lama, luka-luka Kristus yang disalib akan menjadi objek puji-pujian yang besar di sorga. Di tengah-tengah takhta Allah akan ada Dia yang menyerupai "Anak Domba seperti telah disembelih" (Why. 5:6). Nyanyian semua penghuni sorga adalah, "Anak Domba yang disembelih itu layak untuk menerima kuasa, dan kekayaan, dan hikmat, dan kekuatan, dan hormat, dan kemuliaan, dan puji-pujian!" (Why. 5:12).

    Kehadiran Kristus di sorga adalah semua. Kita akan melihat wajah- Nya, mendengar suara-Nya, dan berbicara dengan-Nya seperti sahabat dengan sahabat. Kehadiran-Nya akan memuaskan semua kebutuhan kita. Melayani Tuhan Yesus Kristus akan menjadi pekerjaan abadi bagi penghuni sorga. Pada akhirnya, orang-orang percaya akan dapat bekerja bagi-Nya tanpa gangguan dan melayani Dia tanpa merasa lelah.

    Betapa sorga akan menjadi tempat yang manis dan mulia bagi mereka yang telah mengasihi Tuhan Yesus selagi mereka masih berada di bumi. Tetapi yang menyedihkan adalah ada banyak orang yang berbicara tentang kepergian menuju sorga bila mereka meninggal, tetapi tidak mempunyai hubungan yang benar dengan Kristus. Di dunia, mereka tidak menghormati-Nya, jadi apa yang akan mereka lakukan di sorga? Di dunia, mereka tidak mempunyai persekutuan dengan-Nya, jadi apa yang akan mereka lakukan di sorga? Di dunia, mereka tidak menikmati perkara-perkara rohani, jadi bagaimana mereka bisa mendapatkan sukacita di sorga?

Saya harap saya telah mulai menunjukkan kepada Anda betapa dalamnya makna yang ada dalam frasa "Kristus adalah semua." Ada lebih banyak lagi yang semestinya bisa saya katakan. Misalnya, Kristus seharusnya adalah semua dalam kehidupan dan ibadah semua gereja Kristen. Upacara- upacara yang semarak, gedung-gedung yang indah, jajaran hamba Tuhan yang profesional, semua ini tidak ada artinya jika Tuhan Yesus tidak diberi penghormatan yang tertinggi. Gereja di mana Kristus bukan semua hanyalah menjadi kerangka yang mati.

Saya dapat menegaskan bahwa Kristus seharusnya adalah semua dalam pengajaran seluruh pelayanan Kristiani. Para pengkhotbah dan guru Kristen harus menjadi duta-duta yang membawa berita tentang Anak Allah kepada dunia yang tidak percaya, dan jika mereka mengajar orang untuk memikirkan lebih banyak hal yang lain selain Anak Allah, maka mereka tidak cocok menjadi pengkhotbah dan guru Kristen. Allah tidak akan pernah menghormati suatu pelayanan yang tidak mengajarkan bahwa Kristus adalah semua.

Saya pun dapat menunjukkan betapa Alkitab tampaknya menghabiskan bahasa dalam menggambarkan semua pelayanan Tuhan Yesus yang beraneka ragam. Imam Besar, Pengantara, Penebus, Juruselamat, Pembuka Jalan, Jaminan, Panglima, Sang Amin, Yang Mahakuasa, Allah yang Perkasa, Penasihat - semua ini dan masih banyak lagi adalah sebutan yang diberikan kepada Kristus dalam Kitab Suci. Cara-cara yang menggambarkan kepenuhan Kristus ini kelihatannya hampir tidak ada habis-habisnya!

Apakah Kristus adalah semua bagi Anda, hai pembaca? Jika tidak, maka belajarlah dari apa yang telah saya katakan di sini bahwa iman kepercayaan tanpa Kristus itu sama sekali tidak ada gunanya. Apakah Kristus adalah semua bagi Anda? Jika tidak, maka belajarlah dari apa yang telah saya katakan di sini bahwa sama sekali tidak ada gunanya untuk berusaha menambahkan apa pun pada apa yang telah Kristus kerjakan bagi keselamatan orang-orang berdosa. Anda jangan pernah berpikir bahwa keselamatan ialah oleh Kristus ditambah dengan sesuatu yang telah Anda kerjakan. Hal itu berarti mengubah rencana keselamatan Allah yang di dalamnya Kristus adalah semua.

Apakah Kristus adalah segala bagi Anda? Jika tidak, maka langsunglah berhubungan dengan Kristus sekarang! Hanya memandang sekoci penyelamat tidak akan menyelamatkan pelaut yang mengalami karam kapal, kecuali ia benar-benar masuk ke dalamnya. Hanya memandang roti tidak akan menyelamatkan orang dari kelaparan kecuali ia sungguh-sungguh memakannya. Demikian juga, yang akan menyelamatkan Anda bukan pengetahuan tentang Kristus, atau bahkan kepercayaan Anda bahwa Ia seorang Juruselamat, tetapi harus ada transaksi yang sebenarnya antara Anda dan Dia, yaitu dengan sengaja Anda mengikatkan diri kepada-Nya. Anda harus dapat berkata, "Kristus adalah Juruselamat saya, karena saya telah datang kepada-Nya dengan rasa percaya dan iman dan telah mengambil Dia sebagai milik saya."

Martin Luther berkata, "Ternyata dalam Kekristenan banyak digunakan kata ganti milik. Ambillah kata "ku" (my) dari saya, maka Anda telah mengambil Allah-ku!" Marilah kita hidup bergantung pada Kristus. Marilah kita hidup bersama Kristus. Marilah kita hidup mengarah pada Kristus. Dengan berbuat demikian, kita akan mencapai damai sejahtera yang besar dan membuktikan bahwa "tanpa kekudusan tidak seorang pun akan melihat Tuhan" (Ibr. 12:14).

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Aspek-aspek Kekudusan
Judul Artikel : -
Penulis : J.C. Ryle
Penerjemah : -
Penerbit : Momentum, Surabaya, 2003
Halaman : 149 - 160

Sola Fides Justificate

Editorial: 

Dear e-Reformed netters,

Di tengah-tengah gencarnya arus pengajaran gereja yang hanya menggembar-gemborkan tentang "berkat-berkat" Tuhan, mari kita duduk diam untuk merenungkan, apakah inti iman Kristen sebenarnya?

Sangat disayangkan banyak gereja, termasuk jemaatnya, yang saat ini terlena dalam penyesatan zaman. Secara perlahan tapi pasti, pijakan gereja beralih dari "Batu Karang" yang teguh dan keras, kepada pijakan yang lebih empuk dan enak, yaitu kenikmatan dunia yang terselubung dalam pameran karunia-karunia rohani dan berkat-berkat rohani.

Alangkah enaknya mendengar khotbah-khotbah yang menghibur bahwa pada dasarnya manusia itu baik dan berharga, bahwa dosa itu hal yang kecil yang bisa diatasi cukup dengan meminta doa dari para pengkhotbah terkenal, dan sekarang kita berhak hidup dengan sebebas-bebasnya menikmati semua berkat-berkat Tuhan?

Kapan terakhir kali Anda mendengar khotbah pendeta gereja Anda yang membuka borok-borok hati kita yang penuh kenajisan dan dosa-dosa yang tersembunyi? Kapan terakhir kali Anda mendengar bahwa manusia pada dasarnya adalah durhaka dan patut dimurkai Allah? Kapan Anda mendengar khotbah yang mengatakan bahwa Anda tidak lagi memiliki hak atas hidup Anda, tetapi Kristus?

Apa yang sebenarnya menjadi inti iman Kristen kita? Bukankah pada kasih Allah yang besar sehingga manusia yang seharusnya dibuang ke dalam hukuman kekal, sekarang mendapat anugerah pengampunan dosa dalam Yesus Kristus? Bahwa hidup yang dulu bagi diri sendiri, sekarang hidup hanya bagi Dia dan kesukaan Dia?

Tepat tanggal 31 Oktober ini umat Kristen akan memperingati hari yang sangat bersejarah bagi gereja, yaitu Hari Reformasi Gereja. Untuk itu saya hadirkan sebuah artikel tulisan Pak Paul Hidayat, ketua Persekutuan Pembaca Alkitab (PPA), yang sangat bagus untuk kita renungkan bersama. Saya harap menjadi berkat bagi kita semua.

In Christ,
Yulia
< yulia@in-christ.net >

Penulis: 
Paul Hidayat
Edisi: 
067/X/2005
Isi: 

Pertanyaan: "Bagaimanakah Anda dibenarkan di hadapan Allah?" Jawab: "Hanya oleh iman yang sejati kepada Yesus Kristus sehingga, walaupun setahu hati saya mengemukakan tuduhan, bahwa saya berdosa sekali terhadap segala Firman Allah, dan tidak ada yang saya taati, dan bahwa saya masih tetap cenderung kepada segala macam kejahatan, namun Allah, dengan tak ada jasa barang apapun dari pihak saya, tetapi semata-mata karena anugerah saja, memberikan dan menghitungkan kepada saya penggantian dan pelunasan yang sempurna, kebenaran dan kesucian dari Kristus, seolah-olah saya belum pernah berdosa atau berbuat dosa, bahkan seolah-olah saya sendirilah mengerjakan, jikalah saya menerima kebajikan itu dengan hati yang percaya."

(Katekismus Heidelberg: Pertanyaan 60)

Bulan Oktober bagi orang Kristen Protestan adalah bulan bersejarah. Bila bangsa kita memperingati Hari Kesaktian Pancasila tiap 1 Oktober, gereja-gereja Protestan memperingati Hari Reformasi, yaitu hari kemenangan Firman Injil kebenaran tiap tanggal 31 Oktober. Di hari itulah, pada tahun 1517, Martin Luther dengan berani telah menempelkan 95 pernyataan teologis yang tanpa dimaksudkannya semula telah mengobarkan api reformasi. Reformasi adalah suatu revolusi teologis dan spiritual. Bila kita membandingkannya dengan revolusi Copernicus yang menemukan tempat di bumi sesungguhnya sebagai satelit matahari; Reformasi mengakui kedudukan manusia sesungguhnya yang harus bergantung penuh pada kemurahan dan anugerah Allah.

Pergumulan Martin Luther

Sesudah beralih studi dari hukum ke teologi karena suatu peristiwa dramatis yang hampir merenggut nyawanya, Martin Luther banyak dibimbing oleh seorang profesor teologi dari ordo Agustinian bernama Johann Staupitz. Meskipun Luther adalah seorang biarawan yang taat, namun ia banyak bergumul tentang dosa-dosanya. Dalam terang Roma 1:17 yang diartikannya sebagai pernyataan keadilan Allah, dia hanya mampu melihat dirinya sebagai orang yang tidak mungkin mencapai standar kebenaran Allah. Dia hanyalah seorang berdosa yang harus dimurkai Allah.

Sesuai dengan ajaran gereja pada waktu itu, Luther berusaha memperoleh anugerah Allah dengan berdoa, berpuasa, berjaga dalam doa semalam suntuk, melakukan berbagai perbuatan kebajikan. Namun, dalam tulisan-tulisannya terbaca bahwa pada saat yang sama jiwanya tetap merana, seolah sedang menenggak hukuman kekal Allah.

Karena itu, berulangkali ia menjumpai mentor teologis dan spiritualnya: Johann Staupitz, mengakui dosa-dosanya. Seringkali ia memerlukan waktu berjam-jam, mengakui dosa di hadapan Staupitz. Yang diakuinya itu kebanyakan adalah hal-hal yang timbul dalam hati dan angan-angannya. Seringkali sesudah satu sesi pengakuan dosa selesai, ia kembali lagi kepada Staupitz untuk mengakui hal yang teringat dan belum diakuinya. Itu sebabnya pada suatu kesempatan Staupitz mengatakan demikian: "Saudara Martin, jika begitu banyak hal yang ingin kauakui, mengapa tidak kau buat sesuatu yang nyata yang memang patut untuk diakui? Bunuhlah ayah atau ibumu. Berzinahlah. Jangan lagi bolak-balik ke sini hanya mengakui dosa-dosa yang hanya merupakan angan-angan dan semu belaka!"

Ucapan itu tentu tidak dimaksudkan Staupitz secara harafiah. Namun, ucapan itu membuat Martin Luther menggumuli dosa bukan saja secara pribadi, melainkan juga secara teologis, dalam kadar sangat dalam yang mungkin tak seorang pun pernah menggumulinya sedalam itu. Pada saat itu ajaran gereja menganggap dosa sebagai penyimpangan, atau penyakit, atau kelemahan. Dengan kata lain, dosa adalah ketidakberdayaan moral. Padahal, ajaran gereja saat itu juga mengatakan bahwa secara kodrati manusia masih memiliki kemampuan budi pekerti, intelektual, moral yang baik yang dapat dikembangkan untuk mengupayakan anugerah Allah. Jelas dua posisi teologis yang bertentangan ini yang membuat orang semacam Luther mengalami frustrasi yang berat. Tambahan, ajaran tentang anugerah pun tidak memberinya jalan keluar. Allah memang memberikan pengampunan aktual, yaitu mengampuni dosa-dosa aktual. Tetapi anugerah pengampunan dosa-dosa aktual itu harus dilengkapi dengan anugerah untuk dosa-dosa habitual yang ditanamkan ke dalam manusia untuk mengubah kecenderungan hatinya. Anugerah habitual itu harus diusahakan. Jelas semakin berat saja tindihan di hati Luther. Bagaimana mungkin orang yang dibuat tidak berdaya oleh dosa berupaya untuk beroleh anugerah dengan usahanya sendiri?

Puncak kegelapan jiwa Luther dialaminya ketika ia menyadari bahwa dosa bukan saja kelemahan, tetapi yang ada di hatinya itu juga diinginkannya sebab itu adalah sifat berontak dirinya yang terdalam melawan kehendak Allah. Dalam kegelapan itu, Luther membuat suatu pernyataan penting: "Jika ada orang yang sungguh merasakan besarnya dosanya, ia tidak mungkin lagi sesaat pun melanjutkan hidupnya. Alangkah besar dan berkuasanya dosa!"

Terang Firman Tuhan

Selain dibimbing oleh Staupitz dan banyak membaca buku-buku rohani, terang yang mengenyahkan kegelapan hatinya itu terbit ketika ia mulai menafsirkan Kitab Mazmur dan kemudian Kitab Roma. Dalam perspektif Mazmur, dilihatnya bahwa Daud beroleh anugerah dan pengampunan bukan karena usahanya untuk mengubah kondisi hidupnya, melainkan karena Allah tidak memperhitungkan dosa-dosanya itu kepadanya. Pembenaran bukan seperti pernyataan dokter yang memeriksa pasiennya dan menemukan bahwa kondisi pasien itu sehat-sehat saja. Pembenaran lebih tepat diumpamakan sebagai pernyataan seorang hakim yang menyatakan seorang terdakwa bebas dari hukuman karena dinyatakan tidak bersalah. Pernyataan Allah yang membebaskan seseorang dari salah itu tidak didasarkan atas usaha atau kondisi manusia, tetapi atas hidup dan karya Yesus Kristus yang diimani oleh orang bersangkutan.

Itu sebabnya, reformasi dikenal dengan slogan-slogan teologis penting: Sola Gratia, Sola Fide, Sola Scriptura. Keselamatan hanya karena iman berdasarkan anugerah semata. Kebenaran penting yang membangkitkan kehidupan penuh syukur dan bebas untuk hidup benar itu dialami karena Martin Luther mempersilakan Allah berbicara kepadanya melalui Alkitab. Di dasar terdalam semua prinsip penting itu adalah Kristus saja: Solo Christo!

Iman yang hidup

Reformasi meletakkan anugerah Allah dalam Yesus Kristus sebagai pusat pengharapan untuk manusia. Tetapi, pemberian Allah yang tanpa syarat itu yang berkhasiat untuk menyelamatkan siapa saja, hanya akan bermanfaat bagi orang yang beriman kepada Kristus.

Luther melihat iman sesuai yang Firman Allah ajarkan. Tidak cukup beriman bahwa Kristus untuk Petrus, untuk Paulus, dan lain sebagainya. Tidak cukup beriman tentang fakta-fakta sejarah kehidupan dan perbuatan Yesus Kristus. Iman itu harus merupakan langkah yang melaluinya seseorang percaya masuk dalam relasi yang hidup: "Kristus untukku, untuk kita": Christo pro me, pro nobis! Iman yang merupakan uluran tangan menyambut uluran tangan Allah itu harus bersifat fiducia, sikap mempercayakan diri penuh terhadap janji-janji Allah dalam Firman Injil dan pada realitas sifat Allah yang membuat janji- janji-Nya patut dipercayai. Luther juga melihat iman seumpama tindakan seorang wanita menerima cincin pernikahan dari suaminya, suatu ungkapan komitmen dan persekutuan hidup timbal-balik yang dinamis.

Bebas untuk Allah

Luther melihat dengan jelas bahwa di dalam dirinya sendiri manusia sejati (dalam tulisannya: The Freedom of a Christian), ia merdeka dari murka Allah. Kemerdekaan itu memungkinkan orang tidak lagi hidup di sekitar poros keakuannya yang berdosa, tetapi di sekitar poros anugerah Allah dalam Yesus Kristus, suatu hidup yang penuh dengan kegembiraan karena keselamatan, penuh dengan suasana syukur yang pada waktu berikutnya mendorong orang untuk mempersembahkan seluruh hidupnya bagi Tuhan.

Prinsip-prinsip penting reformasi ini patut kita hayati ulang secara segar dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi. Kehidupan Kristen adalah kehidupan yang direguk dalam suasana iman. Orang benar akan hidup dari iman kepada iman. Hanya bila kita sudah mengalami anugerah Allah yang membenarkan diri kita, kita dimungkinkan hidup bagi Allah, bebas bagi Dia. Bahkan, iman dan semua perbuatan baik kita pun adalah akibat dari bekerjanya anugerah Allah itu dalam diri kita.

Sumber: 

Bahan di atas diambil dari sumber:

Judul buku : Menerbangi Terowongan Cahaya
Penulis : Paul Hidayat
Penerbit : PPA, Jakarta, 2002
Hal : 29 - 33

Kitab Suci: Perkataan Manusia, Mitos atau Firman Tuhan?

Editorial: 

Dear e-Reformed netters,

Senang bisa berjumpa lagi di awal bulan Oktober ini.

Posting saya kali ini adalah artikel yang saya ambil dari salah satu situs dari orang Malaysia, tepatnya sebuah blog, milik "bobjots".

Seperti biasanya, Pdt. Dr. Stephen Tong tidak menulis sendiri tulisan -tulisannya, tapi ini adalah transkrip dari seminarnya atau khotbahnya. Namun metode apapun yang dipakai untuk menyajikan artikel ini tidaklah mengubah kualitas isinya, yang padat berisi.

Salah satu serangan yang paling gencar ditujukan untuk menjatuhkan orang Kristen adalah mencari kelemahan Alkitab; baik dari keabsahan isinya ataupun dari keautentikan penulisannya. Tulisan di bawah ini seperti amunisi yang siap dipakai manakala serangan dari musuh datang dengan tiba-tiba. Isinya yang sangat jelas dan to the point, membuat pembacanya menyadari bahwa penulisnya bukanlah orang baru, tapi orang yang sudah lama berkecimpung dan menguasai obyek sasaran itu. Pengetahuannya yang sangat luas menolong kita memahami bahwa dia tahu persis apa yang sedang ia bicarakan dan menyadari betul pergumulan apa yang sedang dihadapi pembaca/pendengarnya.

Nah, kalau Anda penasaran ingin mengetahui apa yang dimaksudkan, silakan membaca tulisan beliau di bawah ini dengan teliti.

In Christ,
Yulia
< yulia@in-christ.net >

Penulis: 
Rev. Dr. Stephen Tong
Edisi: 
066/IX/2005
Isi: 

Jika Kitab Suci bukan Firman Tuhan, lalu perkataan siapakah yang terdapat didalamnya? Kita hanya dapat membuat dua perkiraan, yang satu Kitab Suci adalah perkataan manusia dan yang lain Kitab Suci adalah perkataan setan.

Apakah Kitab Suci merupakan Firman Tuhan? Kita perlu mempertimbangkan beberapa faktor di bawah ini untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Kitab Suci ditulis oleh para pengarang dari berbagai masa. Namun demikian tema dan isi utamanya mengandung pemikiran yang sama.

Kitab Suci ditulis oleh kurang lebih 40 pengarang yang berbeda, masing-masing memiliki latar belakang yang sangat berbeda. Diantaranya terdapat raja-raja seperti Daud dan Salomo, orang biasa seperti Petrus seorang nelayan, atau Amos seorang penggembala. Ada juga ahli militer seperti Joshua dan seorang dokter seperti Lukas. Mereka semua berasal dari waktu dan generasi yang berbeda, sehingga tidak ada kemungkinan bagi mereka untuk bekerja sama dalam menulis Kitab Suci. Meskipun demikian, semua hal yang telah mereka tulis menunjukkan arah dan tema yang sama, yaitu rencana keselamatan dari Tuhan bagi manusia yang berdosa melalui kasih Kristus. Tema yang telah melampaui sejarah ini menggambarkan kehendak Allah yang abadi dan merupakan faktor pemersatu yang ditemukan dalam Kitab Suci.

Bila Anda membuat perbandingan antara Kitab Suci dan sistem teoritis lain yang dibuat manusia, maka Anda akan menemukan bahwa tak satu pun sistem teoritis buatan manusia dapat mempertahankan tema aslinya setelah berpindah tangan melalui 40 pengarang dengan rentang waktu 1600 tahun.

Dari kesatuan Kitab Suci, maka kita dapat diyakinkan bahwa Kitab Suci ditulis oleh Tuhan yang menciptakan dunia, Tuhan yang melampui sejarah, yang telah menggerakkan orang-orang sepanjang sejarah untuk menulis Firman-Nya bagi umat manusia.

Kitab Suci atau kitab tabu?
Apakah Kitab Suci benar-benar suci? Jika demikian, mengapa dalam Kitab Suci terdapat cerita inses tentang Yehuda yang tidur dengan menantu perempuannya? Inikah Kitab Suci ataukah ini kitab tabu? Bayangkan saja ada dua cermin di hadapan Anda, yang satu kotor dan yang satu bersih. Semakin kotor cermin di hadapan Anda, semakin kurang jelas bayangan yang dipantulkan. Sebaliknya, semakin jernih cerminnya, semakin jelas pula bayangan yang dipantulkan. Demikian pula Kitab Suci seperti cermin. Melalui Kitab Suci Allah ingin kita melihat betapa merosotnya umat manusia setelah jatuh dalam dosa dan itulah sifat dosa yang sebenarnya.

Tuhan memerintahkan Musa menuliskan 10 Perintah Allah, salah satunya berbunyi, "Jangan membunuh!". Musa pernah membunuh satu orang sebelumnya. Sehingga merupakan hal yang manusiawi jika Musa mungkin ingin menutupi perbuatannya agar reputasinya tidak tercemar. Namun inilah Firman Tuhan, Tuhan ingin Musa menulisnya. Sehingga tidak ada kesempatan bagi Musa untuk bernegosiasi. Daud adalah orang yang dekat dengan Tuhan, namun ia juga membunuh seseorang sehingga Daud dapat mengambil istri orang tersebut menjadi selirnya. Kejadian ini ditulis dengan jelas dan tepat. Hal ini terjadi sebab Allah yang Kudus ingin menyatakan kemerosotan manusia melalui Firman-Nya.

Apakah ramalan dalam Kitab Suci terpenuhi?
Sebelum kelahiran Yesus Kristus, Kitab Suci telah menubuatkan bahwa Dia akan lahir di Bethlehem. Tidak hanya itu, Kitab Suci juga menubuatkan bahwa dalam kematian-Nya, Ia akan dikuburkan dalam sebuah gua milik orang kaya, bahwa Ia akan disalibkan pada kayu salib, bahwa tangan dan kaki-Nya akan dipaku. Yang lebih menakjubkan, Kitab Suci juga menubuatkan bahwa tak satu pun tulang-Nya yang patah. Dua penjahat yang ikut disalibkan bersama-Nya, kakinya dipatahkan, namun Yesus tidak mengalaminya.

Tidak hanya itu, Kitab Suci juga menubuatkan kejadian-kejadian yang berubah di dunia ini. Misalnya pelabuhan Mediteranian kuno seperti Tirus dan Sidon telah dinubuatkan akan menjadi dua desa kecil yang lemah dimana para nelayan akan menebarkan jalanya. Meskipun Babilonia memiliki benteng kota yang kuat, namun demikian kota ini dinubuatkan akan tertutup pasir dan burung-burung akan bersarang di kota yang telah ditinggalkan tersebut. Semua nubuatan ini tampaknya tidak mungkin, namun semuanya ini benar-benar terjadi. Masih banyak lagi contoh-contoh nubuatan tentang dunia yang dapat ditemukan dalam Kitab Suci.

Yesus pun menubuatkan dalam Kitab Suci bahwa sebelum kedatangan-Nya yang kedua kali, akan ada kelaparan dan gempa bumi. Sejak abad 14, banyak gempa bumi yang terjadi. Abad 19, gempa bumi yang terjadi lebih banyak apabila dibandingkan dengan gabungan gempa bumi yang terjadi pada abad 17 dan 18. Pada 60 tahun pertama dalam abad 20 jumlah total gempa bumi yang terjadi melampaui jumlah gempa yang terjadi pada abad 19,18, dan 17. Hal ini membuat kita percaya bahwa Yesus akan segera datang.

Apakah Kitab Suci adalah buku paling sempurna di dunia?
Kitab Suci bukanlah buku yang dibuat dari potongan-potongan kejadian dalam sejarah, atau satu koleksi artikel-artikel yang dipilih secara acak. Dilihat dari perspektif struktur sejarahnya dan kelengkapan isinya, Kitab Suci memang buku yang paling sempurna di dunia. Kitab Suci memiliki struktur yang paling baik di antara buku-buku yang ada, selain itu isinya telah memberikan sumbangan besar terhadap hidup dan iman manusia.

Banyak orang yang percaya bahwa Yesus hanyalah seorang petani biasa yang tidak memiliki pendidikan yang tinggi. Namun jika kita menganalisa dengan lebih teliti seperti khotbah di gunung, Doa Bapa kami, kita akan menemukan bahwa dari awal sampai akhir, struktur keseluruhan Kitab Suci sangat sempurna sehingga Anda tidak dapat menemukan kesalahan didalamnya.

Sepanjang sejarah manusia, ada banyak orang yang memiliki talenta kepekaan yang kuat dalam struktur, seperti Johan Sebastian Bach. Jika Anda mencoba melihat karyanya yang berjudul `Johannes Passion`, `Mattheus Passion`, `B Minor Mass` atau `Bradenburg Concertos`, dan menganalisanya dengan komputer, Anda akan dapat melihat betapa harmonisnya karya-karya tersebut dan tak satu pun not di dalamnya yang salah tempat. Hal ini disebabkan karena Allah memberikan otak yang sangat khusus kepada Bach. Saat Bach membuat komposisi karya-karyanya, pikirannya sangat cermat sehingga tak satu pun not yang dapat dipindah dengan mudah. Bach memiliki satu proses berpikir yang hampir sempurna, dan dia benar-benar seorang musikus kreatif yang jenius. Jika pada abad 20 ini kita menikmati musiknya, maka kita hanya dapat berpikir bahwa orang sehebat dia pernah ada dalam sejarah kita.

Namun demikian, Bach hanyalah seorang individu, satu kesatuan yang lengkap. Bandingkanlah dengan Kitab Suci yang ditulis oleh 40 pengarang. Bagaimana bisa 40 pengarang ini tidak memiliki perbedaan pendapat tentang apa yang mereka tulis dari awal hingga akhir? Musa menulis 10 Firman Tuhan di padang gurun, Lukas menulis `Kitab Lukas` di zaman kerajaan Roma, dan Raja Daud menulis Mazmur di zaman Israel kuno. Dengan latar belakang sejarah dan proses berpikir yang berbeda, mereka menulis buku yang paling sempurna di dunia tentang iman, penyembahan, dan moral. Tak ada buku yang dapat diperbandingkan dengan Kitab Suci.

Apakah Kitab Suci ketinggalan zaman bagi orang-orang modern?
Meskipun Kitab Suci memiliki keterbatasan sejarah, namun aspek yang luar biasa dari Kitab Suci adalah kualitasnya telah teruji melalui waktu. Inilah sebabnya Allah dapat membawa Anda dalam sukacita yang kekal saat Anda membaca Kitab Suci. Dalam filsafat Cina dikatakan status tertinggi dari manusia adalah kesatuan antara manusia dan surga. Status inilah yang ingin dicapai Confusius, tetapi ia tidak dapat mencapainya. Dengan bimbingan Roh Kudus, Anda dapat bersekutu dengan Bapa di surga melalui Kitab Suci.

Kualitas Kitab Suci yang abadi meyakinkan kita bahwa tidak masalah bagaimana kita memperoleh kemajuan, Kitab Suci tak akan pernah lekang dimakan waktu. Kata-kata Mao Tze Tong dulu dipuja-puja, tetapi sekarang sudah menjadi masa lalu. Bahkan jika kita sendiri telah tertinggal jauh oleh kemajuan teknologi, Kitab Suci tidak pernah menjadi barang antik. Kitab Suci adalah buku yang selalu baru.

Best-seller dunia.
Kitab Suci merupakan Firman Tuhan karena Kitab Suci memiliki kualitas yang tak dapat dipenuhi oleh buku-buku lain. Itulah sebabnya mengapa Kitab Suci dikatakan universal. Kitab Suci adalah Kitab pertama yang bersifat universal. Hal ini disebabkan karena Kitab Suci berisi pesan bagi seluruh umat manusia. Tuhan mengasihi umat manusia di seluruh dunia. Setelah Yesus bangkit dari mati, Ia memerintahkan murid-murid- Nya "Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk" (Markus 16:15). Ketika Yesus lahir, Malaikat berkata, "Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa" (Lukas 2:10). Apakah ada buku lain di dunia ini yang terjual sebanyak Kitab Suci, atau memiliki pembaca sebanyak Kitab Suci? Reader`s Digest, majalah yang paling laris di dunia, telah diterjemahkan ke dalam 17 bahasa dan memiliki lebih dari 28 juta pembaca yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Namun demikian, bila dibandingkan dengan Reader`s Digest, Kitab Suci diterjemahkan ke dalam lebih dari seribu bahasa dan merupakan buku yang paling laris dengan jumlah pembaca yang paling besar.

Apakah Kitab Suci merupakan buku terbaik bagi sumber inspirasi etika dan budaya?
Kitab Suci merupakan buku yang dapat memberikan inspirasi terbesar bagi pemikiran etika dan budaya. Tak ada buku lain yang dapat menstimulasi kebudayaan manusia sedemikian rupa sebaik Kitab Suci. Kitab Suci tidak hanya memberi inspirasi bagi para penulis, tetapi juga menjadi sumber utama bagi etika dan dasar hukum di berbagai negara. Dalam ruang konferensi dari gedung Konggres, di Washington D.C., tersimpan patung-patung untuk memperingati para ahli di masa lalu. Sebelah kanan atas mimbar tempat Presiden dan Juru Bicara kepresidenan berpidato, Anda akan menemukan tanda mengenai kesukaan terhadap Musa. Mengapa Musa begitu penting? Ini karena hukum Musa menjadi dasar hukum utama di dunia. Hukum Musa adalah dasar bagi etika. Tak ada buku yang dapat mempengaruhi kebudayaan dan kebijaksanaan manusia seperti Kitab Suci. Jika Anda mencoba meneliti bagaimana Kitab Suci mempengaruhi para musikus-musikus dunia, mungkin Anda tak akan pernah mampu menyelesaikan penelitian Anda walaupun Anda telah menghabiskan seluruh hidup Anda untuk melakukan hal ini. Seniman-seniman besar zaman Renaisans seperti Michelangello, Correggio, Leonardo da Vinci, Raphael dan Andrea Palladio, semuanya mendapat inspirasi dari Kitab Suci. Banyak orang dalam bidang-bidang lain termasuk dalam bidang sastra, arsitektur, lukis, musik dan filsafat mendapat inspirasi dari Kitab Suci. Benarlah bila Kitab Suci merupakan sumber inspirasi yang tak pernah habis.

Jika Anda membuka Kitab Suci dan membacanya, Anda akan merasakan bahwa apa yang tertulis dalam Kitab Suci tersebut tidak masuk akal; ini bukan mitos. Isi Kitab Suci di luar pemahaman manusia dan melampaui budaya-budaya yang ada di dunia ini. Kitab Suci ditulis oleh tangan manusia, seperti halnya pidato presiden yang ditulis oleh sekretarisnya. Jika Anda membacanya dengan penuh kerendahan hati, Anda akan tahu bahwa Kitab Suci bukanlah buku biasa. Kitab Suci adalah Firman Allah, yang menyatakan pada seluruh manusia tentang Kasih Kristus dan harapan bagi semua umat manusia.

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : -
Judul Artikel : -
Penulis : -
Penerjemah : -
Penerbit : http://www.bobjots.org/archives/001283.php
Halaman : -

Bimbingan dan Rencana Allah (2)

Editorial: 

Dear e-Reformed netters,

Berikut ini adalah Bagian (2) dari posting bulan lalu. Selamat menyimak.

P.S. Bagi Anda yang belum/tidak mendapatkan Bagian (1) dari artikel ini, silakan berkunjung ke arsip Publikasi e-Reformed di alamat:

==> http://www.sabda.org/publikasi/reformed/064/>

In Christ,
Yulia
in-christ.net>

Penulis: 
James C. Petty
Edisi: 
065/VIII/2005
Isi: 

Providensi Allah dalam Keselamatan dan Penghakiman

Di sini kita memasuki area providensi yang paling kudus. Kita akan segera dijadikan rendah hati oleh ketakjuban dan kedahsyatan dari bagian Kitab Suci yang akan kita baca. Jika kita mendekati perikop klasik Alkitab yang berkaitan dengan "predestinasi" dan meyakini pernyataannya yang paling gamblang, maka sangatlah jelas bahwa orang percaya bisa menjadi percaya karena mereka dipilih oleh Allah. Kita memilih Dia karena Dia memilih kita. Berikut adalah beberapa ayat yang mengajarkan hal itu:

"Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya." (Efesus 1:5)

"Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu ... supaya kamu pergi dan menghasilkan buah, dan buahmu itu tetap." (Yohanes 15:16)

"Semua yang diberikan Bapa kepada-Ku akan datang kepada-Ku, dan barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan Kubuang.... Dan inilah kehendak Dia yang telah mengutus Aku, yaitu supaya dari semua yang telah diberikan-Nya kepada-Ku jangan ada yang hilang, tetapi supaya Kubangkitkan pada akhir zaman." (Yohanes 6:37,39)

Di ayat-ayat ini Yesus menyatakan bahwa Allah memberi-Nya sekelompok orang tertentu untuk diselamatkan, dan masing-masing dari mereka akan sungguh-sungguh diselamatkan. Perhatikan bagaimana Yesus menyeimbangkan ajaran-Nya dengan mengatakan bahwa setiap orang yang datang kepada-Nya menginginkan keselamatan akan menemukannya. Ia tidak akan menolak seorang pun. Keselamatan ini bersifat pribadi dan eksklusif, tetapi sekaligus terbuka bagi semua orang. Di sini kembali kita perhatikan paradoks agung itu, yang tercipta oleh cara Allah yang bertingkat dan misterius (bagi kita), memerintah atas ciptaan-Nya. Ia memiliki rencana yang kekal dan tidak mungkin berubah, yang tidak dapat digagalkan oleh apa pun juga, namun Allah dapat menciptakan dunia dengan martabat dan tanggung jawab yang sesungguhnya.

Cara Allah merencanakan dan menggenapi keselamatan untuk umat pilihan- Nya ini tercatat dalam Roma 8:28-30, yang berbunyi demikian:

"Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara. Dan mereka yang ditentukan-Nya dari semula, mereka itu juga dipanggil- Nya. Dan mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya. Dan mereka yang dibenarkan-Nya, mereka itu juga dipermuliakan-Nya."

Seluruh garis waktu keselamatan kita -- sejak sebelum penciptaan hingga pemuliaan berjalan sesuai "rencana Allah". Setiap orang yang dipilih-Nya (bdk. Roma 11:2, yaitu Allah tidak menolak umat-Nya yang dipilih-Nya) telah ditentukan, dan setiap orang yang ditentukan akhirnya dipermuliakan. Tidak ada orang yang dapat menyimpang dari sistem ini.

Kitab Roma lebih jauh menyatakan bahwa bahkan mereka yang tidak pernah bertobat dan yang dihakimi karena kebencian mereka terhadap Allah, juga berbuat demikian sesuai rencana Allah, yang telah ditetapkan sebelum penciptaan.

Roma 9:11 berbicara tentang anak-anak Ribka (Yakub dan Esau), "Sebab waktu anak-anak itu belum dilahirkan dan belum melakukan yang baik atau yang jahat, supaya rencana Allah tentang pemilihan-Nya diteguhkan, bukan berdasarkan perbuatan, tetapi berdasarkan panggilan- Nya dikatakan kepada Ribka: `Anak yang tua akan menjadi hamba anak yang muda,` ... Aku mengasihi Yakub, tetapi membenci Esau." Paulus kemudian menjelaskan maksud kebenaran ini di ayat 16: "Jadi hal itu tidak tergantung pada kehendak orang atau usaha orang, tetapi kepada kemurahan hati Allah."

Paulus tidak menyatakan pokok-pokok filsafat yang dapat dipakai oleh pikiran-pikiran yang kreatif sesuka mereka. Tidak, ia menyingkapkan tirai yang ada di ruang tahta Allah supaya kita dapat melihat bahwa keselamatan kita adalah karena anugerah semata, bersumber di dalam kasih Allah yang murni dan pribadi. Sekali lagi, yang dapat kita kerjakan hanyalah menyembah.

Sementara kita merasa begitu sulit untuk mencerna obat keras yang menyembuhkan kesombongan manusia ini, doktrin ini tidak akan terlalu menyulitkan bila kita memakainya di dalam tujuan pastoral yang memang menjadi maksud diwahyukannya kebenaran ini. Saya harus kembali berkata bahwa kebenaran-kebenaran teologis, tidak peduli betapa alkitabiahnya, harus dipakai secara alkitabiah. Kebenaran-kebenaran ini bukan peluru yang dapat kita tembakkan ke semua arah, melainkan hanya kepada arah yang dinyatakan dalam Alkitab.

Misalnya, kita tidak dapat memakai hak Allah untuk memilih sebagai alasan untuk menyangkal tanggung jawab manusia atau untuk meyakinkan diri bahwa usaha kita menginjili atau berdoa bagi orang-orang yang belum percaya tidak ada gunanya. Sebaliknya, predestinasi dan pengendalian Allah memberi harapan bahwa Allah akan bertindak. Karena itu, kita berdoa agar Allah menyelamatkan mereka. Allah dapat menyelamatkan atau menghukum dengan adil, dan Ia memiliki otoritas dan kuasa untuk melakukan keduanya.

Paulus menampilkan sikap yang benar tentang para kerabat Yahudinya yang belum diselamatkan.

"Aku mengatakan kebenaran dalam Kristus, aku tidak berdusta. Suara hatiku turut bersaksi dalam Roh Kudus, bahwa aku sangat berdukacita dan selalu bersedih hati. Bahkan aku mau terkutuk dan terpisah dari Kristus demi saudara-saudaraku, kaum sebangsaku secara jasmani. Sebab mereka adalah orang Israel." (Roma 9:1-4)

Paulus memahami pergumulan kita dan menyuarakan kesedihan yang kita rasakan saat memikirkan kesesatan orang-orang yang kita kasihi. Tetapi ia menanggapi kerinduannya akan keselamatan mereka dengan memberitakan Injil tanpa gentar kepada saudara sebangsanya di tiap kota, dan dengan berdoa agar mereka diselamatkan (Roma 10:1).

Rencana dan kehendak Allah yang dilaksanakan dalam providensi merupakan realitas yang sangat besar dan tidak terlihat aktif setiap menit untuk melindungi, membimbing, dan menentukan aliran nasib kita. Jika kita ada di dalam Kristus, kita memiliki hak untuk mempercayakan diri kepada kehendak Allah yang kekal dan tidak berubah, yang menopang hidup kita sehari-hari. Anda berada dalam keharmonisan yang tidak terlihat dengan rencana Allah atas hidup Anda. Tidak ada Rencana B, C, atau D. Yang ada hanya apa yang Allah tetapkan dalam rencana-Nya, dan tindakan kita yang harus dipertanggungjawabkan. Dalam kedaulatan-Nya yang misterius (bagi kita), keduanya menjadi satu.

Kristus menawarkan keamanan yang tidak terbayangkan bagi siapa pun yang ingin datang kepada-Nya untuk beroleh keselamatan. Kebenaran bahwa Kristus dapat menawarkan pilihan kepada ciptaan mana pun yang menginginkannya rasanya merupakan "hal yang terlalu muluk untuk bisa dianggap sebagai kenyataan" bagi pikiran manusia yang merasa dirinya mandiri. Kristus dapat menawarkan pilihan dan kasih Allah yang dari kekal hingga kekal kepada orang-orang yang datang kepada-Nya dan meminta hal itu. Mungkin Injil adalah satu-satunya hal yang sungguh- sungguh "terlalu muluk untuk bisa dianggap sebagai kenyataan" di alam semesta ini, tetapi toh Injil tetap merupakan kenyataan. Sekali lagi, tidak seorang pun dapat membayangkan bagaimana Allah melakukan hal tersebut, namun Allah benar-benar melakukannya. Kita hanya dapat menarik nafas melihat kebesaran dan keluarbiasaan Allah dalam menyatakan kuasa dan kemurahan-Nya.

Pengetahuan yang Beracun?

Anda mungkin seperti saya di bulan-bulan pertama saya di seminari. Saya marah dan meremehkan pemikiran bahwa saya tidak bisa memahami pengaturan Allah atas kebaikan dan kejahatan. Saya menuntut, "Bagaimana Anda bisa mempercayai Allah Alkitab tanpa memahami hal ini? Bagaimana Anda bisa tahu bahwa kekristenan benar jika Anda tidak dapat memeriksanya?" Banyak orang rindu untuk bisa mengetahui seperti Allah mengetahui, tetapi saya menuntut untuk mengetahuinya.

Itulah godaan yang dialami Adam dan Hawa di taman Eden (Kejadian 3:5). Tetapi inilah esensi kuasa dan kekuatan Allah yang memampukan diri-Nya untuk menetapkan dan mengetahui setiap peristiwa yang akan terjadi di surga dan alam semesta. Pengetahuan akan masa depan seperti ini tidak diberikan kepada kita demi kebaikan kita sendiri. Ada sejumlah alasan mengapa kita akan mendapatkan masalah bila kita memiliki pengetahuan semacam itu.

PERTAMA, pengetahuan Allah mencakup segalanya. Pengetahuan itu menciptakan dan meliputi gerakan setiap partikel atom sejak awal penciptaan. Bahkan, Daud mengakui bahwa pikiran Allah tentang dirinya saja lebih banyak dari pasir yang ada di tepi laut (Mazmur 139:7), yang mungkin ratusan juta jumlahnya. Singkat kata, rencana Allah dalam memerintah dunia jauh melampaui tingkatan kita -- baik dalam kerumitan maupun kuantitas informasinya. Sebagai misal, ketika Allah menjelaskan apa sebenarnya relasi antara teori kuantum dan gravitasi, Ia bahkan tidak mungkin menemukan satu orang ilmuwan di bumi yang dapat memahaminya. Bahkan, kata gravitasi dan kuantum bisa begitu dangkal dan sama sekali tidak berguna. Bahkan, pemahaman kita mengenai proses- proses yang telah Allah jadikan begitu jelas tetapi seperti lelucon primitif. Contohnya, para ilmuwan telah mempelajari bentuk kehidupan yang paling sederhana selama ratusan tahun, dan meskipun kita memiliki begitu banyak contoh kehidupan "primitif", kita tetap belum mampu menghasilkan bentuk kehidupan yang paling sederhana sekalipun. Pertanyaan Allah kepada Ayub mengenai alam (psl. 38-42) menantang Ayub hingga ia meminta Allah berhenti bertanya.

Tetapi, kita dapat bertanya apakah kita setidaknya bisa memiliki sebagian kecil saja dari sketsa rencana Allah yang begitu luas atas hidup kita. Hal ini membawa kita kepada alasan KEDUA mengapa kita tidak dapat mengetahui rencana Allah. Informasi itu akan merusak kita. Hal itu terlalu beracun untuk bisa kita tangani. Mari saya jelaskan.

Misalnya, kita mungkin berpikir bahwa akan sangat menentramkan hati bila kita dapat melihat daftar orang yang Allah pilih untuk menerima hidup kekal. Kita ingin memastikan apakah kita termasuk di dalam daftar, atau justru tidak terdaftar, sehingga kita bisa berhenti berusaha dan mulai bersantai, makan, minum, dan bergembira sepanjang sisa waktu yang kita miliki. Tetapi, mengetahui dengan pasti pengetahuan Allah bahwa kita akan diselamatkan, tidak peduli apa yang kita lakukan atau percayai, akan merusak kita sehingga tidak lagi dapat dikenali sebagai orang Kristen. Pengetahuan itu akan menjadi racun bagi perjalanan kekristenan kita.

Saya pernah mengkonseling sepasang suami istri Kristen yang secara menyedihkan berusaha menghujat Roh Kudus agar mereka bisa memastikan kebinasaan mereka. Demikian besar obsesi mereka untuk "mengetahui dengan pasti". Mereka pikir hal itu setidaknya dapat membuat mereka bisa mengendalikan masa depan dan tempat di mana mereka akan menjalani kekekalan. Mereka percaya mereka dapat merampas kendali Allah atas masa depan. Mereka menyimpulkan dengan tepat bahwa mereka tidak akan pernah bisa mengetahui dengan kepastian seperti yang dimiliki Allah mengenai apakah mereka akan pergi ke surga atau ke neraka. Namun, mereka berencana bahwa jika mereka menghujat Roh Kudus, mereka (dengan kuasa seperti yang dimiliki Allah) dapat memutuskan sendiri nasib mereka dan lepas dari ketidakpastian dan kecemasan. Mereka bernafsu mendapatkan kepastian pengetahuan Allah akan masa depan dan mereka bersedia menukarnya dengan nyawa!

Pengetahuan akan kematian merupakan contoh lain dari pengetahuan beracun. Kita mungkin berpikir akan sangat menarik bila dapat mengetahui hari dan cara kematian kita, atau kematian anak-anak dan orang yang kita cintai. Kita pikir akan sangat menolong bila kita dapat mengetahui lebih dulu hal-hal mengerikan dan hal-hal ajaib yang akan terjadi bertahun-tahun sebelum kejadiannya. Tidakkah menentramkan hati bila kita dapat mengetahui lebih dulu apakah karir kita akan sukses atau tidak? Apakah usaha kita akan sukses? Ketika kita memikirkan hal ini, ada hal yang jelas muncul di benak kita. Jika kita tahu apa yang tercakup dalam sebagian besar tindakan kita, kita mungkin tidak akan pernah memulainya. Kita dapat mengatasi permasalahan yang muncul sehari-hari, namun kita tidak akan dapat mengatasi masalah jika kita telah terlebih dahulu mengetahuinya.

Pengetahuan kita tentang kebaikan dan kejahatan dibatasi oleh kasih Allah kepada kita. Yang baik terlalu baik dan yang jahat terlalu jahat bagi kita. Sebagai contoh, Allah tidak memberi tahu Ayub asal-usul malapetaka yang menimpanya, padahal ia adalah orang yang saleh dan benar, yang takut akan Allah dalam semua jalannya. Ia juga tidak memberi tahu Ayub tentang peperangan kosmis antara diri-Nya dan Iblis yang terjadi melalui penderitaan Ayub. Sama dengan hal ini, Allah juga tidak menyingkapkan rencana dekritif-Nya kepada ciptaan-Nya -- dan ini demi kebaikan kita.

Problema kejahatan telah mengesalkan hati orang Kristen selama berabad-abad (khususnya generasi Kristen yang kedua). Orang-orang non- Kristen dengan gembira menolak pernyataan Kristus sambil berkata, "Jika Allah begitu baik dan berdaulat, mengapa Ia mengizinkan kejahatan ada?" Karena Allah tidak menyingkapkan jawaban yang spesifik bagi pertanyaan itu, maka itulah yang harus kita katakan kepada mereka. Bagi orang tidak percaya, hal tersebut otomatis berarti Allah tidak baik atau Ia tidak berdaulat atau Allah tidak baik dan sekaligus tidak berdaulat. Mereka secara naluriah membatasi pilihan Allah sebatas yang dapat mereka bayangkan. Itu meliputi apa yang dapat mereka pahami, dengan pengetahuan manusia yang ditempatkan sebagai titik awal, tertinggi, dan penentu kebenaran.

Mereka tidak pernah berpikir bahwa Allah sedang menjaga kita dari informasi yang tidak dapat kita tangani. Suatu hari kelak, saya percaya kita akan belajar lebih banyak tentang pemberontakan Iblis yang terjadi sebelum penciptaan [dunia]. Kita akan belajar lebih banyak tentang asal mula Iblis. Mungkin kita akan belajar lebih banyak tentang mengapa Allah memilih untuk menyelamatkan dunia yang telah dirusak oleh pengaruh Iblis, dan bukannya memusnahkan dan memulai lagi dari awal. Ada berbagai tingkatan irasionalitas mengenai asal-usul kejahatan yang tidak dapat dipahami oleh ciptaan yang terbatas, atau akan melumpuhkan jika kita berusaha menyingkapkannya saat ini. Kita berada pada posisi dimana kita harus bergantung pada penilaian yang baik dari Allah yang mengasihi kita dan yang berketetapan memberi hidup sekalipun kita pernah memberontak melawan- Nya.

Allah telah berketetapan, dengan beberapa pengecualian, bahwa nama- nama umat pilihan dan orang binasa harus tetap menjadi rahasia. Kitab kehidupan dan "kitab" lainnya itu tidak dibuka hingga Hari Penghakiman (Wahyu 20:12). Perang ultimat antara kebaikan dan kejahatan, dan refleksi perang itu dalam providensi Allah, paling baik kita serahkan kepada Allah.

Yesus mengajarkan bahwa kita "dimampukan" untuk mengatasi kekuatiran sehari untuk sehari tidak lebih daripada itu (Matius 6:34). Dalam praktik konseling, saya mendapati bahwa hampir semua masalah yang berkaitan dengan kekuatiran, disebabkan oleh kebutuhan yang dipaksakan untuk mengetahui masa depan. Itulah yang ditawarkan oleh astrolog, pelihat, penyihir, dan seluruh armada ilmu gaib. Semua itu jelas bertentangan dengan orang yang takut akan Tuhan, yang percaya bahwa Allah sanggup memerintah semesta seorang diri.

"Pengetahuan tentang kebaikan dan kejahatan" yang sekarang kita pahami secara terbatas adalah akibat pemberontakan manusia terhadap Allah (Kejadian 3:5). Manusia ingin mengetahui dan memahami dasar dari segala yang Allah perintahkan, namun karena kita bukan Allah, pengetahuan ini memicu problema yang mengancam hidup kita. Pemahaman akan kejahatan tampaknya mengandung unsur yang mematikan. Bahkan apa yang Allah nyatakan sepertinya dipaparkan dalam bahasa kiasan, dan sepertinya Ia sengaja membiarkan pertanyaan-pertanyaan kita tidak terjawab, demi kebaikan kita.

Musa dengan indah mengungkapkan perbedaan antara dua macam pengetahuan ini dalam Ulangan 29:29.

"Hal-hal yang tersembunyi ialah bagi TUHAN, Allah kita, tetapi hal- hal yang dinyatakan ialah bagi kita dan bagi anak-anak kita sampai selama-lamanya, supaya kita melakukan segala perkataan hukum Taurat ini."

Dalam ayat ini Musa mengajar kita untuk tidak mencari tahu hal-hal yang Allah sembunyikan, dan mendorong kita untuk memusatkan diri pada apa yang telah Allah nyatakan, yaitu hukum-hukum-Nya, dan bagaimana kita dapat menerapkannya pada masa kini. Ia menasihati kita untuk tidak memboroskan tenaga dan waktu mencari cara membuka rencana- rencana Allah yang tersembunyi, baik bagi kita maupun bagi orang lain. Allah ingin kita mempercayai-Nya untuk hal itu. Allah menghendaki kita memusatkan diri untuk menata hidup kita sesuai dengan apa yang telah Ia nyatakan, yaitu Firman-Nya.

Kebanyakan pengetahuan gaib berusaha menerobos batasan pemahaman yang bermanfaat yang telah Allah tetapkan. Para penyihir menawarkan komunikasi dengan arwah orang mati. Para petenung berupaya menembus batasan alam berpikir seseorang. Para pelaku praktik semacam itu tidak mempercayai kuasa Allah atas masa depan ataupun keterbatasan mereka. Mereka menginginkan pengetahuan yang dapat memberikan kuasa dan kelegaan yang muncul dari ketidakpercayaan mereka. Bruce Waltke menunjukkan bahwa gagasan tentang "menemukan kehendak Allah" adalah gagasan kafir (Waltke 1995, 30) karena gagasan itu biasanya berusaha menembus rencana Allah yang bersifat rahasia (dekritif).

Mendapatkan arahan semacam itu dari para dewa merupakan kegiatan utama di dalam hampir semua masyarakat pra-Kristen. Hal ini menghabiskan banyak uang dan waktu dari para praktisi agama-agama non-Kristen (Waltke 1995, 30). Kuasa atas masa depan juga dianggap sangat bermanfaat. Manfaat ini dicari mulai dari Afrika pedalaman (Oosthuizen dkk. 1988, 47-62) hingga kebudayaan Druids yang paling maju (Ellis 1994, 248).

Bertolak belakang dengan pengetahuan yang menjanjikan terbatasnya manusia dari ketergantungan kepada Allah, Yesus menyingkapkan Allah dalam bentuk yang memberi hidup, tidak beracun, dan tidak mematikan. Ia memberi tahu kita apa yang kita perlu ketahui agar dapat diperdamaikan dengan Allah dan mendapatkan hidup baru di dalam-Nya. Kematian-Nya di atas kayu salib mengubah hati kita yang menakutkan dan sombong agar kita dapat menjadi ciptaan yang penuh sukacita, bukan dewa-dewi yang frustrasi. Kini kita dapat mempercayai Allah yang mengendalikan masa depan kita, dan memusatkan diri untuk hidup bagi- Nya di masa sekarang ini.

Terangkatnya seluruh beban kekuatiran akan masa depan dari pundak kita merupakan pengalaman yang sangat membebaskan. Yesus tidak datang untuk memberi kita akses ke dalam hal-hal rahasia yang ada di dalam providensi Allah, namun untuk menyingkapkan misteri tersembunyi tentang bagaimana Allah menebus dunia yang berdosa ini. Ia memberikan kebenaran yang membebaskan kita. Kebenaran-Nya memusatkan kekuatan kita pada ketaatan dan pelayanan saat ini. Kita dapat berkata seperti Salomo, "Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu." (Amsal 3:6) Allah berjanji memperhatikan setiap rintangan yang ada di jalan orang-orang yang percaya kepada-Nya. Yesus berjanji, "Tetapi carilah dahulu kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu." (Matius 6:33) Kini kita dapat kembali pada situasi yang dihadapi Rick dengan memegang semua konsep ini.

Saat Rick bergumul menentukan apakah ia harus berwiraswasta atau tidak, ia tidak akan mampu membedakan rencana Allah bagi dirinya seketika itu juga. Namun, ia dapat mengetahui bahwa karena karya Kristus, ia tidak berada di Rencana B, C, atau Z. Di dalam Kristus hanya ada satu rencana: Rencana A. Ia harus berusaha keras menemukan prinsip-prinsip Alkitab dan mengaplikasikannya pada situasi yang ia hadapi. Ia harus mengumpulkan informasi tentang dirinya dan situasi yang dihadapinya. Ia harus berdoa lalu mengambil keputusan. Rick akan sangat diteguhkan jika ia tahu bahwa ia membuat keputusan dalam keadaan terlindung. Sang Gembala Agung, Allah Yang Mahakuasa, mengawasinya. Pengawasan itulah yang disebut providensi.

Pagar Pengaman Providensi

Providensi Allah mirip dengan pagar pengaman di pegunungan. Di suatu musim panas ketika saya masih kuliah, saya pergi ke Amerika Selatan dalam suatu perjalanan misi bersama dua belas rekan musisi muda lain. Suatu hari kami harus melintasi dua kota di Kolombia yang terletak di pegunungan Andes. Kami berangkat jam enam pagi dan mengembara hingga jam enam sore melintasi sebuah jalan kecil berkerikil. Jalan yang mengerikan ini tingginya ratusan kaki dari permukaan lembah, dengan belokan tajam setiap menit.

Tidak ada pagar pengaman, satu pun tidak! Saya ingat si sopir meluncur diiringi bunyi klakson di setiap tikungan untuk memperingatkan pengendara lain dari arah berlawanan yang hampir tertabrak oleh kami. Sepanjang jalan ada tanda peringatan bagi korban yang meninggal di lokasi itu. Ada catatan angka pada setiap rambu peringatan di sepanjang jalan itu. Karena bus yang seharusnya berkapasitas empat puluh dua telah diisi hingga enam puluh lima orang penumpang, saya mendapat kehormatan harus berdiri dalam bus itu seharian. Saya sangat tertolong karena bisa bersandar pada tiga orang ketika saya muntah dari jendela bus (saya mabuk darat bila naik mobil).

Tetapi kemudian saya sadar bahwa sesungguhnya terdapat pagar pengaman di tepian jalan itu: providensi Allah yang berdaulat. Saya terhibur oleh fakta bahwa saya tidak akan bisa disentuh oleh kematian, kecuali Allah menyetujui terjadinya kecelakaan. Saya bayangkan pagar pengaman yang tidak terlihat dan tidak dapat ditembus, ditopang, dan dijaga oleh Allah yang hidup. Saya pikir kami benar-benar telah menabrak pagar pengaman yang tidak terlihat itu beberapa kali.

Bagi keputusan yang kita ambil, providensi Allah yang berdaulat menyerupai pagar pengaman itu. Kita meluncur cepat di gunung kehidupan dengan melintasi belokan-belokan tajam dan jalur-jalur pindah yang terus ada di depan kita. Namun, kita memiliki keyakinan bahwa Allah telah menetapkan batasan hidup kita. Ia menggandeng kita dengan hati- hati di tangan-Nya meskipun ada bahaya yang harus kita hadapi dan keputusan-keputusan bodoh yang telah kita buat. Hanya di surga kita akan mengetahui berapa kali kita telah menabrak pagar pengaman rencana Allah dan kita tetap dilindungi demi rencana-Nya yang penuh kemurahan itu.

Bagaimana mungkin kita tidak sujud dan menyembah Allah yang berdaulat seperti ini, yang mempedulikan baik perkara kecil maupun besar dalam hidup kita? Ia adalah Allah yang melindungi kita, melatih kita dengan providensi-Nya, dan cukup mengasihi kita sehingga bersedia mengajar kita untuk percaya kepada-Nya di saat kita merasa sulit memahami-Nya. Bukankah pengetahuan bahwa ada rencana berdaulat semacam itu seharusnya membuat kita menyembah, hormat, bersyukur, dan berkeyakinan penuh di dunia yang semakin kacau ini?

Mereka yang ada di dalam Kristus tahu bahwa terlepas dari semua keputusan yang dihadapi, kesalahan yang diperbuat, dosa yang ditinggalkan, dan hal-hal yang tidak diperkirakan, Allah bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan yang mengubah kita menjadi serupa dengan gambar Kristus, Anak Allah (Roma 8:28). Melalui providensi Allah atas anak-anak-Nya, Allah, Gembala Agung kita, memimpin kita dengan tongkat-Nya yang perkasa menuju hidup yang kekal. Jika itu tujuan hidup Anda, Anda pasti akan aman-aman saja!

Untuk Tinjauan dan Refleksi

  1. Apa perbedaan penting antara kehendak dekritif Allah dan kehendak preseptif Allah?
  2. Bagaimana pemahaman yang kacau atas kedua bentuk kehendak itu dapat menimbulkan masalah bagi orang Kristen yang sedang menghadapi berbagai pilihan dalam kehidupan?
  3. Bagaimana kita menyelaraskan antara kendali Allah yang berdaulat atas seluruh kehidupan dan tanggung jawab moral kita?
  4. Mengapa Allah tidak menjawab pertanyaan kita tentang problema kejahatan?
  5. Mengapa pengetahuan kita tentang kedaulatan Allah harus membuat kita menyembah dan percaya kepada-Nya?
Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Step By Step
Judul Artikel : -
Penulis : James C. Petty
Penerjemah : -
Penerbit : Momentum, Surabaya, 2004
Halaman : 55 - 67

Bimbingan dan Rencana Allah (1)

Editorial: 

Dear e-Reformed netters,

Dalam perjalanan hidup Kristen kita, sejak bertobat sampai bertumbuh menjadi murid-murid Kristus, saya kira pertanyaan yang paling sering kita tanyakan adalah tentang bagaimana mengetahui "kehendak Allah" bagi hidup kita. Kebanyakan dari kita terjebak pada pemikiran bahwa Allah sejak semula sudah menetapkan rencana-Nya yang terbaik bagi hidup kita, tapi sekarang tugas kita adalah mencari tahu apa rencana terbaik itu supaya kita tidak salah melangkah. Tapi pertanyaannya, bagaimana kalau dalam perjalanan hidup kita, kita sudah mengambil langkah yang salah? Apakah berarti rencana Tuhan yang terbaik itu menjadi tidak mungkin terjadi dalam hidup kita? Apakah Tuhan memiliki rencana cadangan bagi kita?

Menurut James C. Petty, penulis buku "STEP BY STEP", orang Kristen perlu memahami Doktrin Providensia Allah dengan benar agar pengertian kita ditopang oleh pengajaran yang alkitabiah. Nah, untuk itu saya kirimkan tulisan James C. Tetty ini, agar kita semua dapat memahami dengan jelas dimana letak kesalahan kita ketika kita memikirkan tentang kehendak dan rencana Tuhan bagi hidup kita.

Selamat menyimak.

In Christ,
Yulia
in-christ.net>

Penulis: 
James C. Petty
Edisi: 
064/VII/2005
Isi: 

RICK adalah perancang grafis berbakat yang saya kenal beberapa tahun lalu. Ia telah sepuluh tahun bekerja di sebuah perusahaan periklanan yang sukses, namun ia tertekan oleh persaingan yang tajam di antara para karyawan yang berebut untuk menjadi rekanan di perusahaan tersebut. Ia juga mencemaskan kondisi moral yang rendah dan tekanan kerja yang berat. Wajar jika ia mulai berpikir untuk berwiraswasta, namun ia sangat takut untuk bersaing dengan perusahaan lamanya. Ia bermimpi bahwa jika ia dapat memulai perusahaannya sendiri, ia tentu akan dapat mengatur hidupnya sendiri. Ia dapat menetapkan jam kerjanya dan dapat lebih banyak terlibat dalam pelayanan. Namun, ia juga memiliki seorang istri dengan tiga anak yang masih kecil. Jika ia gagal dalam usahanya untuk berwiraswasta, semua akan menderita. Ia mungkin akan kehilangan rumah dan tabungannya.

Rick berdoa agar Allah menyatakan rencana-Nya. Ia bertanya apakah Allah mau memanggilnya untuk berwiraswasta atau tetap bertahan dengan pekerjaannya sekarang. Ia mulai mencari cara-cara yang mungkin Allah gunakan untuk berkomunikasi dengannya. Ia mencari pelanggan potensial yang mungkin datang dengan cara yang tidak seperti biasanya. Ia mulai berusaha mendengarkan suara Allah dalam pikirannya beberapa "kesan" khusus yang akan meyakinkannya bahwa pikiran tersebut sungguh berasal dari Allah. Ia mencari-cari alat uji yang dapat ia pakai untuk mengambil keputusan. Misalnya, jika ada fitnah, gosip yang tidak wajar, atau hal-hal buruk lain saat ia merayakan hari pertobatannya, mungkin itu menjadi tanda bahwa tempat kerjanya sudah terlalu rusak.

Saat ia merenungkan semua ini, sebuah gagasan yang menggelisahkan mulai menyusup dalam benaknya. Ia tidak yakin, tapi ia takut kalau- kalau ia sudah keluar dari rencana Allah sejak saat ia masih kuliah dulu. Ia telah menghadiri Konvensi Misionaris Mahasiswa Urbana dan telah menyerahkan diri untuk pelayanan misi. Namun saat kembali ke kampus, dengan mudah pembimbing akademisnya meyakinkannya untuk meninggalkan niat tersebut. Apa yang akan terjadi seandainya ia memakai kemampuan komunikasinya bukan untuk menciptakan iklan, melainkan untuk menyebarkan Injil? Mungkin ia telah berada jauh dari kehendak Allah bagi hidupnya sehingga sia-sia untuk mencoba kembali, atau untuk meminta Allah membimbingnya dalam rencana yang "tidak taat" ini.

Masalah yang dihadapi Rick dalam mencari bimbingan Allah sangat lazim terjadi pada umat Kristen. Bagi Rick dan sebagian besar orang, pemahaman mereka tentang rencana dan kehendak Allah tidak pernah dipertajam oleh konsep yang alkitabiah. Salah satu masalah utama yang dihadapi Rick adalah mencampuradukkan dua penggunaan yang sangat berbeda di dalam Alkitab untuk istilah "kehendak Allah".

Dalam Alkitab, frasa "kehendak Allah" bisa berarti rencana atau perintah Allah. Para teolog menjelaskan hal ini sebagai dua bentuk kehendak Allah: "Kehendak-Nya yang dekritif" (dekrit/ketetapan atau rencana Allah) dan "kehendak-Nya yang preseptif" (titah atau perintah Allah) (Hodge 1865, 1:405). Kehendak Allah yang dekritif mengarahkan segala sesuatu yang terjadi di bawah kendali Allah. Kehendak Allah yang preseptif berkaitan dengan perintah Allah apa yang Ia perintahkan supaya kita lakukan. Karena Alkitab memakai kata "kehendak Allah" untuk menyebut keduanya, maka kerancuan mudah sekali terjadi dan mengacaukan upaya kita dalam mencari bimbingan. Inilah salah satu masalah Rick.

Supaya Anda terhindar dari jebakan ini, mari kita memeriksa kedua konsep yang Alkitab ajarkan tentang kehendak Allah ini. Dalam bab ini kita akan melihat "kehendak Allah" yang merujuk kepada rencana Allah yang berdaulat (yang dalam teologi sering disebut sebagai ketetapan atau kehendak-Nya yang dekritif). Dalam bab berikut kita akan mempelajari "kehendak Allah" sebagai perintah-perintah Allah.

Kehendak Allah: Rencana-Nya

Alkitab sering memakai frasa "kehendak Allah" untuk menyebut rencana Allah. Paulus dalam Efesus 1:5 berbicara tentang rencana Allah yang berdaulat, "Ia [Allah] telah menentukan kita dari semula ... sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya." Setiap orang percaya seharusnya terhibur jika mengetahui bahwa ia telah dipilih sebelum penciptaan untuk mewarisi keselamatan. Pilihan itu dilakukan oleh Allah dalam rencana-Nya yang berdaulat. Paulus melanjutkan tema ini dalam Efesus 1:11, "Di dalam Dialah kami mendapat bagian yang dijanjikan -- kami yang dari semula ditentukan untuk menerima bagian itu sesuai dengan maksud Allah, yang di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendak-Nya."

Yakobus 4:15 merupakan contoh lain yang serupa. Yakobus mendorong pembacanya untuk tidak membuat rencana (berangkat ke sebuah kota, tinggal dan berdagang) dengan bersandar pada diri sendiri. Mereka seharusnya berkata, "Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini atau itu." Yakobus tidak mengecam perencanaan; ia mengecam rencana yang tidak melibatkan rencana Allah di dalamnya. Yakobus mengajarkan kepada kita untuk tidak memberikan perhatian yang berlebihan pada rencana kita, karena hidup kita adalah seperti uap yang terlihat hanya sebentar kemudian lenyap begitu saja.

Dalam Roma 15:32, Paulus menerapkan ajaran Yakobus. Ia meminta jemaat Roma untuk berdoa demikian, "Agar aku yang dengan sukacita datang kepadamu oleh kehendak Allah, beroleh kesegaran bersama-sama dengan kamu." Paulus ingin mengunjungi orang-orang Kristen di Roma, namun ia sadar bahwa ia bisa datang hanya oleh karena providensi dan rencana Allah, yaitu jika Allah menetapkannya.

Jika kita bermaksud memaksakan makna lain kepada frasa "kehendak Allah" yang ada dalam perikop ini, hasilnya tidak akan masuk akal. Paulus tidak meminta agar orang-orang Roma berdoa supaya ia dapat melakukan kehendak Allah (seperti memenuhi perintah Allah). Paulus ingin mereka berdoa supaya Allah mengizinkannya datang ke Roma dengan menyediakan kondisi yang memungkinkan hal itu terjadi.

Contoh terakhir: Petrus memakai kata "kehendak Allah" juga dalam arti ini di 1Petrus 3:17: "Sebab lebih baik menderita karena berbuat baik, jika hal itu dikehendaki Allah, daripada menderita karena berbuat jahat." Ketika mendorong umat Kristen untuk menderita karena berbuat baik daripada menderita karena berbuat jahat, Petrus mengemukakan pokok tambahan bahwa penderitaan itu sendiri datang melalui izin dan rencana Allah. Karena itu, ia berbicara tentang penderitaan yang bisa terjadi "jika hal itu dikehendaki Allah". Sekali lagi, kita bertemu dengan pelaksanaan rencana Allah.

Rick tidak hanya mengacaukan kedua istilah ini, tetapi kekacauan ini menjeratnya ke dalam apa yang saya sebut sebagai "Sindrom Rencana B". Menurut pemikiran Rick: jika Allah memiliki rencana yang sudah ditetapkan secara mendetail bagi kehidupan setiap orang percaya dan Ia ingin kita mengikuti rencana itu, apa yang harus kita lakukan ketika kita terlanjur menyimpang dari rencana itu? Kita akan turun ke Rencana B dan harus memulainya dari sana.

Saya akan memberikan contoh. Setiap tahun saya menghadapi rutinitas yang menyusahkan karena harus menentukan rencana mana yang akan saya pilih untuk kontrak servis bagi alat panggangan tua saya. Menurut penjual bensin langganan kami yang ramah, Rencana A tampaknya akan menjauhkan semua kekuatiran saya. Dengan Rencana A mereka akan memperbaiki segala kerusakan, tetapi tentu biayanya mahal. Biaya Rencana B lebih terjangkau, tapi hanya mengatasi permasalahan yang perlu saja. Rencana C hanya memberikan servis tanpa perbaikan apa-apa. Jika saya memiliki uang cukup, maka saya cenderung memilih Rencana A. Jika tidak, maka saya akan memilih Rencana C, dan dengan Rencana C itu berarti tukang reparasi akan sering datang ke rumah saya tiap tahun.

Kita pun cenderung berpikir bahwa meskipun Allah memiliki sebuah rencana yang "terbaik" bagi hidup kita, Ia juga memiliki rencana lain yang "lebih murah" bagi mereka yang telah meleset dari rencana yang terbaik itu. Kita teringat keputusan bodoh dan berdosa yang pernah kita ambil dan, akibatnya, kita melihat diri kita berada dalam "Rencana B" kehendak Allah bagi hidup kita. Jika kita tetap membuat keputusan yang jelek, maka kita akan turun lagi ke Rencana C, Rencana D, dan karena kita orang berdosa kita akan segera kehabisan daftar abjad yang tersedia. Kita berpikir tentang "apa yang mungkin terjadi" seandainya kita tidak menikahi pasangan hidup kita yang sekarang, seandainya kita tidak hamil sebelum hari pernikahan, seandainya kita tidak mengambil pekerjaan yang mengerikan ini dan menerima pekerjaan satunya yang mungkin akan membuat kita sukses, atau seandainya kita tidak meledak dalam kemarahan kepada anak kita yang masih remaja.

Dalam bab ini kita akan melihat bahwa bagi mereka yang berada di dalam Kristus, hanya ada satu rencana, Rencana A. Rencana ini tetap tergenapi meskipun kita melakukan berbagai dosa dan kesalahan. Kita akan melihat keajaiban perhatian Allah sebagai Gembala, dan detail kasih-Nya di sepanjang rencana yang telah Ia tetapkan bagi hidup kita. Kebenaran agung ini sungguh mencerahkan, menghiburkan, dan terkadang menakutkan ciptaan Allah yang sombong.

Satu Rencana yang Berdaulat

Alkitab mengajarkan bahwa (1) Allah memiliki satu rencana khusus bagi hidup Anda dan (2) peristiwa-peristiwa dan pilihan-pilihan dalam hidup Anda secara tak dapat ditolak dan secara berdaulat mengerjakan rencana itu dalam setiap detailnya. Berlawanan dengan pandangan Rick tentang rencana Allah, seseorang tidak mungkin bisa "gagal ujian" dalam rencana itu. Semua kesalahan, kebutaan, dan dosa Anda telah diperhitungkan sebelumnya. Kebenaran ini diajarkan dalam doktrin providensi Allah. Tanpa memahami providensi, kita tidak akan dapat memahami keterlibatan Allah secara jelas dalam hidup kita sehari-hari. Kekacauan dalam hal bimbingan Allah di kalangan Kristen banyak disebabkan oleh kurangnya pemahaman akan doktrin ini.

Doktrin providensi telah diringkaskan dengan sangat cemerlang pada tahun 1648 dalam Pengakuan Iman Westminster (Westminster Confession of Faith, dokumen yang mendasari theologi gereja Kongregasional, Reformed, Presbiterian, dan Baptis yang berbahasa Inggris). Bab 5 yang diberi judul "Mengenai Providensi" dimulai demikian:

"Allah, Pencipta yang agung atas segala sesuatu, menopang, memimpin, mengatur, dan memerintah atas semua ciptaan, tindakan, dan segala sesuatu; mulai dari yang terbesar hingga yang terkecil; dengan providensi-Nya yang agung dan suci; menurut pra-pengetahuan-Nya yang tak dapat bersalah (infallible) dan pertimbangan kehendak-Nya yang bebas dan kekal; untuk mendatangkan pujian bagi kemuliaan hikmat, kuasa, keadilan, kebaikan, dan kemurahan-Nya."

Pernyataan ini meringkaskan jawaban bagi banyak pertanyaan yang muncul saat kita mencoba memahami apa yang Alkitab katakan tentang pengendalian Allah atas dunia ini. Perhatikan, doktrin ini menegaskan bahwa Allah mengerjakan setiap detail "menurut pertimbangan kehendak- Nya yang kekal [tidak berubah]". Jika hal ini benar, dampaknya sangat luas sekali terhadap Rick ketika ia mengevaluasi pilihannya. Rick tidak perlu memanjat keluar dari lubang yang telah ia gali sendiri agar dapat kembali pada kehendak Allah bagi hidupnya. Sejarah hidup Rick dan keputusan-keputusan yang menyebabkan hal itu terjadi, berada di dalam rencana keselamatan yang Allah siapkan baginya.

Jika hal ini benar, itu berarti keputusan yang harus diambilnya sekarang juga adalah sah, karena ia tidak terjerat dalam situasi terbaik kedua atau situasi terbaik kedua puluh. Ia berada dalam program providensi Allah yang Mahabijaksana dan Mahasempurna. Ia bukan seperti pemain golf yang harus memulai pertandingan dengan dua puluh pukulan penalti. Jika doktrin ini benar, ada harapan yang besar ketika kita membuat keputusan-keputusan dalam hidup kita.

Namun sebelum kita melihat lebih jauh implikasi dari kebenaran ini, kita harus bertanya, "Apakah ini sungguh-sungguh benar?" Dan jika ini benar, bagaimana dengan tanggung jawab dan kebebasan manusia? Bagaimana dengan masalah yang diakibatkan oleh dosa dan kebebalan kita? Bagaimana dengan masalah kejahatan yang ada di dunia ini? Apakah itu menempatkan Allah sebagai sumber kejahatan? Mari kita uji beberapa bagian kunci Alkitab yang dipakai untuk mendasari doktrin providensi. Semua ini akan menolong kita memahami implikasi providensi terhadap banyak bidang kehidupan kita yang penting.

Berbagai Situasi

Apakah Allah mengendalikan segala keadaan dalam semua situasi? Kristus sendiri menjawab pertanyaan itu dalam Matius 10:29-31. Ia berkata, "Bukankah burung pipit dijual dua ekor seduit? Namun seekorpun dari padanya tidak akan jatuh ke bumi di luar kehendak Bapamu. Dan kamu, rambut kepalamupun terhitung semuanya." Yesus menjelaskan pemeliharaan dan pengendalian Allah yang luar biasa ini untuk menenangkan ketakutan para murid ketika mereka menghadapi ujian dan penganiayaan. Hal-hal yang terlihat kebetulan (menemukan seekor burung mati di tepi jalan) tidak terjadi tanpa seizin Allah. Kristus berkata (ay. 31), "Sebab itu janganlah kamu takut karena kamu lebih berharga dari pada banyak burung pipit."

Perhatikan tujuan pengajaran Yesus. Ia tidak bertujuan menyusun suatu prinsip abstrak yang dapat diterapkan dalam segala hal yang kita angankan. Ia mengajarkan hal ini untuk mengatasi ketakutan umat-Nya akan kehilangan, kematian, penderitaan, penganiayaan, dan lain-lain. Pengajaran ini dengan jelas menegaskan pengendalian Allah yang berdaulat dan menyeluruh atas kehidupan, tetapi doktrin ini juga memiliki maksud pastoral yang harus dihormati.

Sebagian orang mungkin bertanya, "Bagaimana saya dapat menerima penghiburan dari doktrin yang mengajarkan bahwa segala sesuatu telah ditetapkan, yang implikasinya adalah bahwa tidak ada gunanya saya berdoa dan berupaya?" Orang non-Kristen mungkin akan menolak dan berkata, "Mengapa saya harus menerima pandangan yang menempatkan Allah sebagai sumber kejahatan?" Kesalahan mereka adalah melihat doktrin ini sebagai kebenaran yang terisolasi, yang bertentangan dengan logika mereka. Alkitab tidak pernah memakai doktrin kedaulatan Allah untuk meremehkan doa atau upaya manusia, yang benar justru sebaliknya. Karena Allah dapat campur tangan, kita harus berdoa dan berupaya. Doktrin ini tidak pernah dipakai untuk mengesahkan Allah sebagai sumber kejahatan. Hal ini jelas dibantah dalam Yakobus 1:13 dan banyak bagian Alkitab lain. Iblis dan dosa umat manusialah yang dilihat sebagai penyebab semua kejahatan.

Mari kita perhatikan tujuan doktrin ini dalam Alkitab. Doktrin ini bertujuan menjadikan makhluk ciptaan Allah rendah hati (Roma 9:20), membangkitkan pujian bagi kasih Allah yang besar atas para pendosa (Efesus 1:11), meyakinkan orang percaya kepada kasih Allah yang tidak dapat dirusak dan sangat praktis (Roma 8:28), dan untuk menegur para musuh akan pemberontakan dan perlawanan mereka yang sia-sia (Mazmur 2:9-10; Daniel 4:34-35). Doktrin ini menggarisbawahi fakta bahwa individualitas dan musim-musim kehidupan kita diatur oleh Allah (Mazmur 139:13-16). Daud merenungkan betapa bernilainya pemahaman bahwa Allah terus memperhatikannya. Ia berkata:

"Dan bagiku, betapa sulitnya pikiran-Mu, ya Allah! Betapa besar jumlahnya! Jika aku mau menghitungnya, itu lebih banyak dari pada pasir." (Mazmur 139:17-18)

Berapa banyak dari antara kita yang sungguh-sungguh percaya bahwa Allah yang kita sembah begitu menyadari kondisi-kondisi kehidupan kita? Bahwa Ia memperhatikan kondisi-kondisi kita bahkan secara lebih mendetail daripada yang kita bayangkan? Daud berkata bahwa kita bahkan tidak dapat menghitung pikiran Allah, apa lagi memberikan perhatian yang begitu berlimpah dan mendetail kepada kondisi-kondisi kita sendiri. Saya menangisi orang Kristen yang telah menyimpulkan bahwa mereka tidak dapat menikmati keyakinan kepada providensi Allah karena takut membuat Allah menjadi sumber kejahatan.

Kita mungkin pernah bertemu dengan orang-orang yang menyalahgunakan doktrin providensi, seperti seorang Calvinis garis keras (yang percaya bahwa Allah mengendalikan segala sesuatu) yang suatu pagi terjatuh di tangga saat ia akan sarapan pagi. "Untungnya" tangga itu dilapisi karpet sehingga ia masih mampu bangkit berdiri, mengebaskan debu, dan berjalan terpincang-pincang menuju meja. Ia duduk, memandang istrinya, dan berkata, "Saya lega semua ini telah berakhir." Meski secara logis (dan humoris) respons itu mungkin menarik, respons itu hanya mengalihkan perhatiannya dari tugas untuk memikirkan apa yang salah dan mengambil langkah pencegahan untuk masa mendatang. Allah tidak menyingkapkan realitas providensi-Nya untuk membuat kita tidak lagi mengurus hidup kita. Tetapi panggilan intim seperti itu terkadang memang mengingatkan kita kepada perhatian Allah yang tidak kelihatan.

Saya pernah mendengar kisah tentang John Witherspoon, presiden Princeton University dan juga penandatangan Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat. Suatu hari dalam perjalanan menuju Princeton, ia terlempar dari kereta kudanya. Kereta kuda itu masuk ke selokan, dan ia terlempar sampai tergeletak di tanah dan berlumuran kotoran. Sesampainya di kantor, ia mulai membersihkan diri dan mengomentari providensi Allah yang begitu ajaib dalam melindungi hidupnya pada situasi yang amat berbahaya. Asistennya yang masih muda mengamati dengan bijak, "Tetapi Dr. Witherspoon, bukankah perhatian Allah bahkan lebih ajaib dalam ratusan pagi hari saat Anda berangkat kerja tanpa mengalami kecelakaan?" Witherspoon mendapat pelajaran berharga tentang mensyukuri providensi Allah saat hal itu tidak terlihat dan tidak dramatis.

Sebuah gambaran indah mengenai providensi Allah tercatat di Kejadian 50:20. Pada bagian itu dikisahkan bagaimana saudara-saudara Yusuf menjualnya menjadi budak, bagaimana ia secara keliru dituduh memperkosa dan dipenjara secara tidak adil, bagaimana ia mendapat kekuasaan yang besar di Mesir, lalu menyelamatkan Mesir dan keluarganya dari bencana kelaparan. Setelah semua itu, Yusuf berkata kepada saudara-saudaranya mengapa ia tidak membalas dendam atas pengkhianatan mereka. Katanya, "Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar." Setiap tindakan saudara-saudara Yusuf, Yusuf sendiri, Firaun, dan bahkan cuaca yang mendatangkan bencana, semua sesuai dengan kendali Allah yang berdaulat.

Singkatnya, tidak ada situasi mulai dari jumlah rambut hingga pergerakan bangsa-bangsa yang dalam segala halnya tidak menggenapi rencana Allah.

Jika kita mengakui bahwa semua situasi ditentukan oleh providensi Allah, bagaimana dengan akibat tindakan umat manusia yang jahat? Kisah Yusuf memperlihatkan jawabannya.

Orang Baik, Orang Jahat, dan Politikus

Apakah rencana Allah digenapi oleh tindakan manusia yang bebas dan bertanggung jawab, entah itu baik atau jahat? Inilah pertanyaan yang ditimbulkan oleh Hitler, Pol Pot, dan penjahat keji yang menyerang anak Anda. Inilah pertanyaan Wilberforce dan Martin Luther King, yang memperjuangkan hak asasi dan martabat keturunan Afrika.

Pertanyaan ini wajar sehubungan dengan realitas penghakiman terakhir yang akan menuntut setiap pria, wanita, dan anak-anak untuk bertanggung jawab atas perbuatan mereka. Menurut Yohanes 5:28-29:

"Janganlah kamu heran akan hal itu, sebab saatnya akan tiba, bahwa semua orang yang di dalam kuburan akan mendengar suara-Nya, dan mereka yang telah berbuat baik akan keluar dan bangkit untuk hidup yang kekal, tetapi mereka yang telah berbuat jahat akan bangkit untuk dihukum."

Implikasi dari kisah Yusuf di atas secara khusus diajarkan dalam Alkitab: setiap tindakan yang dilakukan setiap individu adalah sesuai dengan cetak biru Allah yang tidak dapat berubah. Alkitab menekankan fakta bahwa orang yang paling "bebas" (para raja dan penguasa) mengerjakan rencana Allah. Amsal 21:1 menyatakan, "Hati raja seperti batang air di dalam tangan Tuhan, dialirkan-Nya ke mana Ia ingini." Bagian-bagian lain Alkitab juga membawa pesan yang sama tentang kedaulatan Allah:

"Tetapi rencana TUHAN tetap selama-lamanya, rancangan hati-Nya turun-temurun." (Mazmur 33:11)

"Tuhan semesta alam telah merancang, siapakah yang dapat menggagalkannya? Tangan-Nya telah teracung, siapakah yang dapat membuatnya ditarik kembali?" (Yesaya 14:27)

"Ingatlah hal-hal yang dahulu dari sejak purbakala, bahwasanya Akulah Allah dan tidak ada yang lain, Akulah Allah dan tidak ada yang seperti Aku, Yang memberitahukan dari mulanya hal yang kemudian dan dari zaman purbakala apa yang belum terlaksana, Yang berkata: Keputusan-Ku akan sampai, dan segala kehendak-Ku akan Kulaksanakan." (Yesaya 46:9-10)

"Banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan Tuhanlah yang terlaksana." (Amsal 19:21)

Tidak ada tindakan musuh-musuh Allah atau para penguasa yang berpengaruh terhadap kemampuan Allah untuk melaksanakan setiap detail dari rencana-Nya. Sebaliknya, tindakan-tindakan mereka tidak terpisah dari rencana yang telah Allah tetapkan, sama seperti tindakan Firaun yang sia-sia ketika menentang Musa dalam Keluaran. Roma 9:17 mencatat perkataan Allah kepada Firaun: "Itulah sebabnya Aku membangkitkan engkau, yaitu supaya Aku memperlihatkan kuasa-Ku di dalam engkau, dan supaya nama-Ku dimasyhurkan di seluruh bumi." Sangat menarik bahwa di dalam catatan Keluaran tentang pemberontakan Firaun, dikatakan Allah mengeraskan hati Firaun tetapi juga dikatakan bahwa Firaun mengeraskan hatinya sendiri (Keluaran 14:4; 9:34). Firaun bertindak menurut kehendaknya sendiri, namun kehendaknya itu melaksanakan rencana kekal Allah.

Kedaulatan Allah atas tindakan jahat manusia dinyatakan dengan paling murni dalam khotbah Petrus di Kisah Para Rasul 2:23. "Dia [Yesus] yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencana-Nya, telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka." Perhatikan, sekalipun Petrus menyatakan bahwa kejahatan terkeji dalam sejarah manusia itu telah ditetapkan oleh rencana Allah, namun ia tetap berani meletakkan tanggung jawab atas kejahatan itu secara langsung kepada para permimpin rohani bangsa Israel.

Pemahaman bahwa semua tindakan manusia tercakup di dalam rencana Allah sungguh sangat menghibur saya setiap hari. Istri saya adalah staf pengerja kampus di InterVarsity Christian Fellowship [Perkantas]. Tiga atau empat kali dalam seminggu ia pergi ke kampus hingga larut malam (anak-anak kami sudah beranjak remaja). Baru-baru ini, seorang siswi diculik di pinggiran jalan sekitar jam delapan malam. Padahal istri saya baru saja melewati jalan itu sekitar sepuluh menit sebelumnya. Siswi itu dibawa ke sebuah parkiran kosong lalu diperkosa. Dengan kondisi seperti itu, saya sangat mengkuatirkan istri saya yang sering keluar malam, dan kami mengambil beberapa langkah pencegahan. Tetapi hal yang paling menghibur kami adalah pemahaman bahwa tak seorang pun, termasuk pemerkosa paling tangguh, yang dapat menyentuh istri saya tanpa menggenapi rencana keselamatan Allah.

Anda mungkin bertanya, "Bukankah mustahil, bahwa Allah yang mengendalikan, namun manusia tetap menjadi penyebab bagi kebaikan dan kejahatan?" Hal ini terbukti tidak mustahil bagi Allah. Pikiran kita tidak dapat memahami bagaimana Allah dapat menciptakan makhluk bertanggung jawab yang benar-benar harus memberi pertanggungjawaban kepada-Nya meskipun semua dosa mereka, sejak Adam di taman hingga pedihnya kebinasaan akhir si Iblis, terlaksana sesuai dengan rencana- Nya. Kehidupan berada di bawah kendali yang sedemikian rumit, yang melampaui kemampuan manusia untuk memahaminya. Dengan kehendak kita sendiri yang bertanggung jawab, kita mengerjakan rencana Allah meskipun Allah sama sekali tidak mencobai atau secara langsung memaksa kehendak kita. Meski kita tidak tahu bagaimana Allah mengendalikan segala sesuatu, tampaknya Ia biasanya tetap "lepas tangan" terhadap mekanisme kehendak kita. Tetapi kita bertanggung jawab dan dengan bebas memilih untuk melakukan semua yang Ia rencanakan.

Selama bertahun-tahun begitu banyak orang percaya berkata kepada saya, "Anda tidak mungkin bisa mempercayai kedua-duanya secara bersamaan; Anda harus memilih antara tindakan manusia yang sepenuhnya bertanggung jawab, atau rencana Allah yang sedang bekerja." Kita harus dengan tegas menolak pendapat bahwa karena kita tidak tahu bagaimana Allah melakukan hal ini, maka kita harus memilih antara tanggung jawab manusia atau kedaulatan ilahi; kita menolak anggapan bahwa kita hanya bisa memilih satu, dan bukan kedua-duanya.

Fakta bahwa keduanya benar merupakan kemuliaan bagi hikmat Allah. Kita harus sujud dan menyembah, bukannya terhanyut dalam pikiran kita yang dengan sombong memikirkan apa yang bisa atau tidak bisa Allah kerjakan. Kita adalah ciptaan yang terbatas dan tidak memiliki akses untuk menjangkau tingkat pemikiran atau eksistensi Allah. Sesungguhnya ini merupakan inti dari logika dan pemahaman yang baik, yang mempercayai pewahyuan Allah tentang diri-Nya. Kita harus menikmati kepenuhan providensi Allah yang begitu mulia, dan penghiburan dari pengendalian-Nya yang misterius dan berdaulat. Seharusnya ini mendorong kita untuk menanggapi dengan gentar sebagai orang-orang yang mengetahui bahwa diri mereka yang harus bertanggung jawab, sebagai penyandang gambar dan rupa Allah.

Bukan hanya perbuatan-perbuatan jahat yang tercakup di dalam providensi Allah, tetapi perbuatan-perbuatan baik manusia juga telah ditetapkan sebelumnya. Efesus 2:10 menyatakan, "Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya." Tetapi kita tetap berulang kali diperintahkan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan baik (1Timotius 6:18; Ibrani 10:24). Dalam Filipi 2:12-13, Paulus menyingkapkan tirai metafisika dan mengizinkan kita melihat dua fakta ini berfungsi bersamaan. Ia berkata, "... tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, ... karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya." Bukannya mengurangi tanggung jawab orang Kristen, kebenaran ini justru meningkatkan tanggung jawab dengan mengaitkannya kepada kuasa yang tidak dapat ditolak Allah sedang mengerjakan rencana-Nya yang baik di dalam diri kita. Dari sini kita melihat providensi Allah sedang berkarya di dalam keselamatan kita.

(Redaksi: Bagian 2 dari artikel di atas akan dikirimkan pada pengiriman e-Reformed edisi berikutnya.)

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Step By Step
Judul Artikel : -
Penulis : James C. Petty
Penerjemah : -
Penerbit : Momentum, Surabaya, 2004
Halaman : 41 - 54

Semangat Reformasi

Editorial: 

Dear e-Reformed netters,

Pemikiran tentang reformasi selalu menarik perhatian saya, karena dalam konsep reformasi terkandung suatu praanggapan bahwa "sesuatu" yang direformasi itu berarti masih bisa menjadi lebih baik, lebih benar, dan lebih sempurna. "Sesuatu" itu bisa berupa konsep, pemikiran, pandangan, cara kerja, tapi bisa juga berupa sikap, tingkah laku, dan kepribadian. Seperti dalam artikel yang saya postingkan di bawah ini, disinggung tentang pentingnya kita (sebagai individu) dan gereja (sebagai komunitas orang percaya), memiliki semangat reformasi, yang mau terus-menerus memperbaiki diri dalam semua segi.

Memperbaiki diri dalam semua segi, secara teori kelihatannya mudah, tapi dalam praktik, lain lagi ceritanya. Oleh karena itu, tidak salah kalau saya mengambil kesimpulan bahwa untuk memiliki semangat reformasi seseorang harus memiliki kerendahan hati, ... (yang besar sekali). Siapa sih yang mau dibilang: "pemikiranmu perlu diperbaiki", atau "cara kerjamu perlu dikoreksi", atau "sikapmu perlu diubah....." Perlu sikap gentleman dan sportif untuk mau direformasi. Salah tidak kalau saya katakan bahwa orang yang berani menamakan diri kelompok orang "reformed" seharusnya tidak sombong, mau dikritik, dan terbuka untuk berubah .....? Wah... omong-omong soal berubah.... saya jadi malu sendiri, karena saya juga bukan orang yang gampang berubah....

Itulah sebabnya, saya ingin bagikan artikel tulisan dari Paul Hidayat, yang diambil dari bukunya yang berjudul MENERBANGI TEROWONGAN CAHAYA, terbitan dari PPA (Persekutuan Pembaca Alkitab). Saya banyak belajar, khususnya tentang inti dari semangat Reformasi. Harapan saya, artikel ini menolong kita untuk melihat diri (mengoreksi) lagi, apakah gereja kita mulai menyimpang dari Firman Tuhan, apakah kita, para pelayan Tuhan, telah membuat jemaat semakin bingung untuk mengerti Firman Tuhan, atau apakah kita telah mengganti kesalehan hidup dengan legalisme rohani ...... dan masih banyak lagi....... Selamat membaca.

Sebagai penutup, saya kutipkan kembali penutup dari artikel Paul Hidayat: "Iman yang riil, kuasa firman, kenyataan tubuh Kristus, dan kesalehan yang ceria, itulah yang kita sangat perlukan terjadi kembali secara baru masa kini!"

In Christ,
Yulia Oen
<yulia@in-christ.net>

Penulis: 
Paul Hidayat
Edisi: 
063/VI/2005
Isi: 

"Bila kita menimbang dan mencermati dengan hati-hati seluruh perjalanan reformasi ini, kita akan mendapati bahwa Ia telah mengendalikan penuh, melalui metode-metode yang menakjubkan bahkan bertentangan dengan semua yang kita harapkan. Kepada kekuatan inilah, karena itu, yang telah seringkali Ia kedepankan demi kita. Marilah di tengah segala kerumitan pergumulan kita, kita gantungkan diri penuh dan utuh." (John Calvin)

"Sejauh gereja menyesuaikan diri dengan dunia, dan kedua komunitas itu tampak kepada para pengamat mereka sebagai sekadar dua versi dari satu hal yang sama, gereja tengah menentang jati diri sejatinya. Tidak ada komentar lebih menyakitkan bagi orang Kristen daripada kata-kata. 'Tetapi Anda tidak beda dari orang lain.'" (John Stott)

Gereja, dan kehidupan Kristen yang tidak terus-menerus mengalami reformasi dapat diumpamakan seperti kehidupan dan alam yang mengalami kemerosotan tanpa peremajaan.

Untuk mempertahankan kehidupan, Allah mengatur agar sel-sel tubuh kita terus-menerus mengalami proses penggantian dan peremajaan. Sel-sel tubuh kita sampai usia tertentu diganti dengan sel-sel baru. Demikian juga dalam alam terjadi hal yang sama. Tanah gersang musim kemarau berganti menjadi tanah subur musim penghujan. Daun-daun tua layu dan rontok, tetapi daun-daun muda bersemi segar menggantikan yang tua dan mati tadi. Apa yang kita saksikan dan alami dalam kehidupan dan alam, tadi adalah lukisan nyata bekerjanya kuasa pembaruan Allah yang beroperasi terus-menerus menopang dan mempertahankan kehidupan. Dia yang menciptakan segala sesuatu terus menopang mempertahankan ciptaan-ciptaan-Nya agar dapat berlangsung terus.

Reformasi pada dasarnya seirama dan seprinsip dengan rehabilitasi, rekonsiliasi, regenerasi yang terjadi dalam alam dan kehidupan. Bila demikian, bolehlah kita katakan bahwa gereja dan orang Kristen yang tidak terus-menerus mengalami reformasi bertentangan dengan kerinduan Allah agar ciptaan-Nya (baik alam maupun Gereja sebagai ciptaan baru) terus diperbarui-Nya. Tidak mengalami reformasi seumpama menggunakan gergaji tua, usang, dan tumpul untuk menggergaji batang kayu yang liat dengan akibat gergajinya yang rompal dan bukan kayunya yang putus.

Mengapa Diperlukan Reformasi Terus-Menerus?

Gereja, dan kehidupan Kristen yang tidak terus-menerus mengalami reformasi dapat diumpamakan seperti kehidupan dan alam yang mengalami kemerosotan tanpa peremajaan.
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Di dalam realitas dunia ini, beroperasi dua kekuatan: kekuatan kehidupan dan kekuatan kematian. Kekuatan kematianlah yang menyebabkan sel-sel tubuh kita menua, organisme-organisme mengalami pelapukan dan peluruhan. Secara langsung atau tidak langsung, penyebab penuaan yang menuju kematian pada manusia itu adalah dosa. Andaikata manusia tidak berdosa di dalam Adam, untuk manusia mungkin sekali proses tersebut tidak berakhir di jurang kematian, tetapi ke gelombang-gelombang samudera kematangan dan keindahan hidup.

Kekuatan kehidupan adalah cara Allah untuk mempertahankan kelanggengan ciptaan-Nya. Oleh karena itu, reformasi pada intinya selaras dengan maksud Allah untuk menjaga kelestarian hidup ini.

Mengapa gereja dan kehidupan Kristen harus dan perlu mengalami reformasi terus-menerus? Karena gereja masih dalam dunia yang berdosa dan dosa masih dapat menyusup dalam bentuk struktur dan kehidupan gereja yang tidak selaras dengan dinamika kebenaran firman Allah. Bahaya-bahaya penyimpangan dalam gereja-gereja yang disurati para rasul, baik dalam Perjanjian Baru maupun dalam era selanjutnya terutama dalam era pra reformasi membuktikan perlunya pembaruan terus- menerus.

Selain harus setia memelihara Injil dan bertumpu pada kebenaran firman Allah, gereja dari zaman ke zaman bertugas mengkontekstualkan isi dan penghayatan imannya ke dalam situasi dunianya. Dunia kita kini tidak lagi sama dengan dunia para apologet atau para bapa gereja abad pertengahan, bahkan sudah jauh berbeda dari zaman era reformasi sendiri. Berbagai perumusan teologis yang pernah dibuat para pendahulu kita perlu dikaji ulang sebab perumusan tersebut dibuat agar relevan dengan zaman mereka. Mereka mencoba menyajikan kebenaran firman Allah dalam paradigma yang diambil dari konteks pemahaman zaman itu. Jika kita ingin lebih segar memahami isi iman kita dan lebih mampu mengkomunikasikan apa yang kita imani kepada orang sezaman kita, kita pun perlu menggumuli dan mengungkapkan ulang kebenaran firman yang kekal itu dalam paradigma-paradigma baru yang lebih sesuai dengan zaman ini. Sebagai contoh, menjelaskan kelahiran kembali kepada para cendekiawan zaman ini mungkin lebih tepat menggunakan gambaran "format ulang" dari dunia komputer. Alasan lain mengapa kita perlu menggumuli ulang cara mengungkapkan isi iman kita ialah karena tradisi yang kita pegang kini merupakan warisan teologi Barat. Adalah lebih efektif bila sari kebenaran Ilahi itu coba kita tuangkan dalam pola pikir yang lebih sesuai dengan konteks kita di Indonesia.

Apa Saja yang Perlu Direformasi?

Reformasi Swiss.

Semua segi pemahaman iman dan penghayatan kehidupan Kristen kita sehari-hari! Pertama, isi iman yang kita pahami haruslah benar-benar bersumberkan Alkitab, bergumul di tengah-tengah konteks kebudayaan dan kebutuhan masyarakat Indonesia masa kini, sehingga isinya sekaligus sinambung dengan tradisi gereja dari abad ke abad, namun kontekstual dan kontemporer.

Kedua, kita memerlukan kuasa firman yang dihidupkan Roh Kudus agar mampu menghayati iman kita kepada Kristus secara riil, segar, dinamis. Penghayatan iman Kristen kita tidak boleh berpuas diri sebatas penghayatan iman pribadi seperti perihal keselamatan pribadi, tetapi harus mampu mewujudkan dirinya dalam keterlibatan yang nyata di tengah-tengah pergumulan masyarakat Indonesia yang pluralistis masa kini. Dalam garis ini, perlu sekali diperhatikan ketulusan orang-orang Kristen dalam berbangsa dan bernegara sebagai manifestasi pengabdian kita kepada Allah, Tuhan atas sejarah. Juga kebutuhan sangat mendesak masa kini ialah keberanian orang-orang Kristen untuk mempraktikkan kebenaran dan menyuarakan kebenaran seiring dengan menyatakan kesalahan dan konsisten menghindari hal-hal yang tidak etis.

Ketiga, dalam dunia yang sedemikian pesat dibanjiri oleh kemudahan- kemudahan karena teknologi tinggi, ibadah-ibadah kita harus diisi dengan seluruh aspek liturgis yang sejati, segar dan riil. Bila khotbah-khotbah loyo membosankan, bila puji-pujian lesu menjemukan, bila persekutuan semu dan dangkal, akan habislah ibadah kita ditelan imbas banjir alat hiburan yang membanjiri pasar. Untuk itu kita memerlukan keberanian agar tidak kolot mempertahankan pola, bentuk, dan isi liturgi yang tidak lagi menampung kesegaran Injil, kehangatan kasih, kekayaan kreativitas untuk menampung penyampaian uraian firman, puja sembah, dan persekutuan kita satu dengan lain.

Inti Semangat Reformasi

Pikiran Kristus

Jiwa reformasi seperti yang ditemukan Luther, Zwingli, Calvin, John Knox, dan lain-lain. itu tidak lain adalah seperti yang disiratkan dalam moto reformasi: Sola Gracia, Sola Fide, Solo Christo, Sola Scriptura. Pertama, Reformasi menemukan ulang realitas anugerah penyelamatan Allah dalam Kristus melalui iman semata. Dengan kata lain, hubungan yang riil dan intim dengan Allah, itulah yang ditemukan Luther dan Calvin dan yang menopang mereka terus sampai ajal mereka.

Kedua, media yang melaluinya Allah memimpin mereka menemukan pemahaman dan penghayatan segar indah itu ialah Alkitab. Alkitab sejak itu menjadi suatu kitab terbuka. Seluruh umat bebas membaca dan menimba dari dalamnya aliran-aliran air kehidupan dan arus tenaga pembaruan. Problem masa kini ialah tanpa sadar umat telah kembali bergantung pada "kepausan" baru, yaitu para teolog dan pengkhotbah. Reformasi ulang akan terjadi bila awam tidak lagi awam dalam pemahaman Alkitab!

Ketiga, Reformasi pada intinya mensyukuri fakta bahwa semua warga gereja adalah imam-imam Perjanjian Baru. Kita semua adalah gereja, imamat yang rajani. Masing-masing kita memiliki karunia untuk dibagikan dan tanggung jawab untuk dipikul, yaitu mewartakan pekerjaan-pekerjaan besar Allah kepada sesama kita dan saling melayani membangun tubuh Kristus.

Keempat, Reformasi sebenarnya adalah penolakan terhadap teologi skolastisisme. Teologi pra reformasi telah membuat iman menjadi sesuatu yang rumit dan ruwet. Bukan saja teologi telah dilacurkan dengan filsafat zamannya, melainkan juga kesalehan pun telah dibuat rumit dengan berbagai aturan selibat, ziarah, penyembahan patung, dan lain sebagainya. Reformasi menemukan bahwa iman Kristen adalah kemerdekaan, adalah perayaan, adalah kesukaan yang dapat dipahami dan dihayati siapa saja yang terbuka pada kasih karunia-Nya.

Iman yang riil, kuasa firman, kenyataan tubuh Kristus, dan kesalehan yang ceria, itulah yang kita sangat perlukan terjadi kembali secara baru masa kini!

Audio: Semangat Reformasi

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Menerbangi Terowongan Cahaya
Judul Artikel : -
Penulis : Paul Hidayat
Penerjemah : -
Penerbit : PPA, Jakarta, 2002
Halaman : 54 - 58

Perubahan-perubahan Radikal, Sebagai Akibat Reformasi

Editorial: 

Dear e-Reformed netters,

Beberapa waktu yang lalu, saya tertarik untuk membaca kembali buku terbitan BPK tahun 1985 (cetakan ketiga) yang berjudul "Theologia Kaum Awam", tulisan Dr. H. Kraemer (jelas buku tersebut pasti ditulis jauh sebelum tahun 1985). Walaupun kelihatannya buku ini sudah "kuno", ternyata isu-isu yang dibahas di dalamnya masih sangat segar dan relevan dengan keadaan gereja masa kini, yaitu tentang kedudukan kaum awam dalam gereja. Sebelum Reformasi, kaum awam jelas tidak memiliki kedudukan yang penting dalam gereja. Semua urusan gereja merupakan tugas "para klerus" (pendeta-pendeta yang ditahbiskan), sedangkan kaum awam (jemaat) hanya menjadi objek saja. Setelah Reformasi, terjadi perubahan yang radikal, karena prinsip-prinsip gereja yang salah dan tidak alkitabiah didobrak, salah satu hasilnya adalah konsep "keimaman orang percaya" atau istilah yang dipakai Dr. H. Kraemer, "imamat am semua orang percaya", bahwa semua orang Kristen adalah imam, tak ada perbedaan di antara mereka (termasuk dengan para klerus), kecuali dalam hal jabatan.

Pikiran-pikiran yang dilahirkan para Reformator begitu tajam dan sangat sarat dengan kebenaran Alkitab. Tuhan menunjukkan hikmat kepada mereka untuk menjadi jalan bagi kita mengerti lebih dalam akan panggilan Tuhan bagi jemaat-Nya. Tapi sayang sekali, menurut Dr. Kraemer, usaha para Reformator untuk mengembalikan kedudukan kaum awam pada tempat yang sewajarnya ternyata sebagian besar hanya sampai pada pemikiran saja. Menurut beliau, kalau kita jujur, kita harus mengakui bahwa pada kenyataanya pikiran-pikiran Reformasi tersebut sulit untuk dijalankan/diaplikasikan, bahkan sampai hari ini. Mengapa?

Saya harap pertanyaan "Mengapa" ini dapat memicu keingintahuan dan kekritisan Anda untuk berpikir lebih jauh tentang topik ini. Untuk itu, silakan baca cuplikan artikel dari buku Dr. Kraemer di bawah ini.

In Christ,
Yulia
< yulia@in-christ.net >

Penulis: 
H. Kraemer
Edisi: 
062/V/2005
Isi: 

Pikiran-pikiran pokok dari Reformasi memberi kemungkinan untuk perubahan-perubahan radikal dalam seluruh konsep dan tempat kaum awam. Pada saat yang menentukan, karena kepatuhan kepada Firman Allah, Luther menolak untuk patuh kepada gereja yang terjelma dalam kekuasaan hirarkis Paus. Konsep Luther tentang gereja, terutama dalam tulisan- tulisan militannya yang terdahulu, adalah suatu serangan frontal terhadap konsep gereja hirarkis. Paham tentang pejabat gereja yang hirarkis juga ditolak. Secara prinsip perbedaan antara "kaum klerus" dan "kaum awam" tidak ada lagi.

Dalam manifestonya kepada kaum bangsawan Kristen ia mengumumkan, "Semua orang Kristen adalah benar-benar imam, tak ada perbedaan di antara mereka kecuali dalam hal jabatan .... Setiap orang yang sudah dibaptis dapat berkata bahwa ia sudah ditahbiskan menjadi imam, uskup atau Paus." Hanya demi ketertiban, orang-orang tertentu dipisahkan oleh jemaat, mereka adalah "pelayan-pelayan", bukan imam-imam dalam arti budaya, orang-orang perantara antara Allah dan jemaat atau antara Allah dan manusia, tapi "pelayan-pelayan Firman" (verbi divini ministri). Pada prinsipnya, pelayanan yang diartikan secara baru ini (mengajar dan berkhotbah, membaptiskan, melayani Perjamuan Kudus, mengikat dan melepaskan dosa, berdoa syafaat, mempertimbangkan ajaran dan membeda-bedakan roh) adalah hak setiap orang Kristen yang telah dibaptis. Ini berarti imamat orang-orang yang percaya atau, seperti biasa disebut, "imamat am" adalah semua orang yang percaya. Sejak itu prinsip ini selalu disertai oleh hukum "sola gratia", "sola scriptura". Kedua prinsip ini sudah menjadi prinsip besar resmi dari Reformasi dan khususnya Protestantisme.

Dalam paham-paham yang militan ini terdapat benih-benih individualisme dan equalitarianisme yang tidak sepenuhnya sesuai dengan pandangan Alkitab, yaitu "imamat yang berkerajaan", yang adalah milik semua orang percaya secara keseluruhan. [1] Militansi dan pernyataan yang tampaknya berlebih-lebihan ini dapat dimengerti melihat kenyataan bahwa pada waktu itu Luther harus berjuang melawan sistem hierarki yang luar biasa, paham hierarki yang sudah tertanam sangat dalam di pikiran orang sejak berabad-abad. Paham seperti itulah yang hendak digugatnya di hadapan forum paham Alkitab mengenai gereja beserta anggota-anggotanya. Implikasi dari serangan-serangannya itu ialah penghapusan semua klerikalisme dan pemulihan tempat yang sewajarnya bagi kaum awam.

Alkitab

Akan tetapi, secara jujur harus disebut di sini bahwa konsep baru tentang gereja dan pemulihan tempat kaum awam tidak pernah menjadi pokok-pokok yang dominan. Prinsip yang banyak digembar-gemborkan tentang "imamat am semua orang percaya" mempunyai akibat-akibat tertentu yang sangat menarik dalam Dunia Baru, tetapi pada umumnya di Dunia Lama hal ini tak pernah punya efek apa-apa. Sampai sekarang prinsip itu hanya punya peranan sebagai bendera, bukan prinsip yang memberi hidup dan kekuatan. Sudah tentu, sejak Reformasi dan lahirnya banyak macam gereja sebagai akibatnya, pandangan eklesiastik hierarkis tentang gereja tidak pernah lagi mendapat tempat yang tidak dapat diganggu- gugat seperti sebelumnya. Panggilan untuk membenarkan setiap doktrin gereja dan tugas anggota-anggotanya berdasarkan Alkitab, tak pernah lagi diabaikan seperti sebelumnya. Dasar etika Calvinisme tentang orang-orang awam yang harus membuktikan bahwa mereka adalah orang- orang yang sudah dipilih Allah dengan bekerja sepenuh hati, adalah akibat dari prinsip "imamat am semua orang percaya". Juga tak dapat disangkal bahwa prinsip ini, terutama pada abad 19 di bawah pengaruh paham liberalistis-individualistis, sudah lebih merupakan kata-kata muluk teologis untuk faham modern pada waktu itu, dari pada sumber kekuatan rohani yang mengubah gereja.

Mengapa definisi baru dari Luther dan Calvin tentang gereja, pelayanan dan tentang tempat sentral dan utama dari jemaat secara keseluruhan, akhirnya hanya menjadi prinsip dan bukan menjadi kenyataan? Mengapa kaum pendeta yang jadi dominan dan bukan jemaat (Gemeinde) secara keseluruhan?

Pertama-tama, kita akan menyebut sebab-sebabnya, lepas dari keadaan- keadaan sejarah yang banyak memengaruhinya. Ketika para Reformator kembali kepada Alkitab dan mendapati bahwa Yesus Kristus adalah satu- satunya Kepala Gereja yang benar, yang memerintah gereja melalui Roh- Nya yang kudus, anugerah dan pengampunan-Nya, dan menghapuskan semua tingkatan-tingkatan kekuasaan dan hak, mereka bertekad untuk meninggalkan sistem tingkatan-tingkatan hirarkis dan penyamaan gereja dengan kaum klerus yang dianggap sebagai imam pengantara sakramen. Gereja terdiri atas orang-orang percaya dan orang-orang berdosa yang sudah diampuni. Akan tetapi, ketika mengorganisir atau mereorganisir gereja, mereka berusaha menghindari dan menghapuskan pelanggaran-pelanggaran mencolok dan kebobrokan sistem yang dominan. Pandangan para Reformator tentang gereja tidak sepenuhnya alkitabiah. Ini dapat dimengerti, sebab kecamuk dan hangatnya perjuangan dan pandangan mereka sangat dipengaruhi oleh protes dan polemik. Lagi pula, ucapan-ucapan Luther bahwa setiap orang Kristen yang dibaptis mempunyai kuasa seperti yang dipunyai oleh Paus, uskup-uskup dan imam-imam, mengandung bahaya- bahaya tersembunyi.

"Semua orang Kristen adalah benar-benar imam, tak ada perbedaan di antara mereka kecuali dalam hal jabatan .... Setiap orang yang sudah dibaptis dapat berkata bahwa ia sudah ditahbiskan menjadi imam, uskup atau Paus." (Martin Luther)
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Bahaya PERTAMA ialah: bahwa dalam suatu gereja yang sudah berabad-abad "orang Kristen yang dibaptis" sama sekali tidak sama dengan seorang Kristen yang benar-benar percaya. Sebab, walaupun benar pendapat bahwa otoritas untuk mengatur dan mengadakan konsep tentang gereja terletak dalam pola-pola alkitabiah tentang gereja, itu bukan berarti bahwa pola-pola alkitabiah itu yang harus ditiru. Situasi sejarah yang lain memerlukan ekspresi kreatif yang lain walaupun peraturan dan konsep pokoknya sama.

Yang KEDUA: anggota-anggota gereja yang sudah berabad-abad itu menghalangi anggota-anggotanya menjadi dewasa secara rohani, karena ajaran tentang "iman implisit" dari kaum awam, tidak dapat dengan tiba-tiba menjadi orang-orang dewasa dalam kerohanian.

Yang KETIGA: gerakan Reformasi menekankan pentingnya khotbah di samping penghapusan habis-habisan perbedaan antara "kaum klerus" dan "kaum awam". Memberi tekanan penting terhadap khotbah yang benar dan "murni" [2] (die reine Predigt) sebagai makanan rohani yang memberi hidup. Untuk itu, diperlukan orang-orang yang cakap untuk memegang jabatan itu. Pelayanan sakramen yang benar, yang juga dinyatakan sebagai salah satu tanda hakiki dari gereja, terutama Perjamuan Kudus di banyak gereja, tidak mendapat tempat yang sama penting seperti "khotbah murni Firman Allah". Pelayanan sakramen hanya diperuntukkan bagi pendeta-pendeta. Walaupun perkembangan ini mempunyai alasan- alasan yang baik, hal ini menimbulkan kekaburan arti dalam keseluruhan konsep "pelayanan". Di satu pihak, hal ini cenderung kepada pembentukan kembali suatu golongan "kaum klerus", padahal di pihak lain, setidak-tidaknya dalam prinsip, diusahakan menghapuskan perbedaan antara "kaum klerus" dan "kaum awam".

Penahbisan ke dalam "status rite vocatus", yang telah menjadi dinding pemisah antara "kaum klerus" dan "kaum awam" di gereja sebelumnya, sebenarnya sekarang juga masih menjadi semacam dinding pemisah. Seperti yang telah dikatakan di atas, perbedaan ini diadakan demi tata tertib. Motif itulah satu-satunya motif yang benar, kalau ditinjau dalam terang prinsip "imamat am semua orang percaya". Sebagai jawaban terhadap konsep imam sebagai perantara sakramen di masa yang lalu, prinsip itu ingin meninggalkan paham tentang "para klerus" yang mempunyai tempat yang lebih tinggi dan terasing dari kaum awam. Akan tetapi, sebenarnya, berlawanan dengan teori tentang tidak adanya perbedaan secara fundamentil, dalam praktiknya prinsip itu menempatkan kaum awam lebih rendah dari kaum pendeta, membuat kaum awam jadi pasif, memberi tekanan besar pada arti "jabatan" (Amt) dan pimpinannya.

Perkembangan ini makin diperkuat dengan kenyataan bahwa para pendeta, yang tugas utamanya ialah untuk mengkhotbahkan Firman Allah dengan benar, makin lama makin kelihatan sebagai "ahli-ahli teologia", "orang-orang yang tahu", dan dalam tingkatan sosial mereka mempunyai status "rohaniawan"; dengan kata lain sebagai pneumatikoi, manusia-manusia rohani (1Korintus 3). Akibat buruknya ialah bahwa kaum awam lambat-laun menerima saja kedudukan sebagai "orang-orang yang tidak tahu", orang-orang yang tidak dewasa secara rohani. Hal ini menghasilkan suatu situasi, yang terdapat di semua gereja, di mana ada perpisahan jelas antara pejabat gereja yang memimpin dan kaum awam yang dipimpin. Dengan kata lain, gereja adalah urusan pendeta-pendeta. Pada masa Reformasi sendiri dan pada masa-masa permulaan pengkonsolidasiannya, unsur-unsur konkret dalam sejarah sudah menghalangi dipraktikannya "imamat am semua orang percaya" itu. Pada mulanya, Reformator-reformator itu tidak bermaksud mendirikan gereja baru. Tujuan mereka mula-mula ialah untuk memurnikan iman. Akan tetapi, ketika perlawanan keras dari pimpinan gereja memaksa mereka untuk mengorganisir hidup gereja menurut prinsip-prinsip mereka sendiri, maka mereka harus berhadapan dengan kurangnya pengetahuan dan pengertian kaum awam dan dengan susahnya memelihara ketertiban dalam jemaat-jemaat. Keadaan seperti ini bukan saja terdapat di Jerman, melainkan juga di Inggris, di mana Reformasi berlangsung tidak sedrastis dan sesistematis seperti di negeri-negeri lain [3].

Lagipula, suatu Reformasi yang terorganisir tak dapat dilangsungkan tanpa pertolongan dan kekuasaan raja-raja dan hakim-hakim yang memihak kepada gerakan Reformasi itu. Akibatnya ialah bahwa raja-raja dan hakim-hakim menduduki tempat-tempat penting dalam urusan-urusan gereja. Jadi, golongan awam yang besar itu walaupun mereka bukan orang-orang yang tidak tahu, tidak melihat kemungkinan lain kecuali menyerahkan saja kepengurusan hidup gereja kepada para pendeta dan badan-badan negara yang dibentuk itu. Pada tahun 1526 Luther sudah mengakui bahwa untuk mendirikan suatu jemaat yang benar-benar ideal, ia belum mendapati cukup banyak orang-orang Kristen dan malahan ia belum menjumpai banyak orang yang meminta supaya jemaat seperti itu didirikan. Organisasi yang dihasilkan oleh perkembangan itu tidak memberi status yang memungkinkan jemaat-jemaat mempunyai tanggung jawab yang aktif. Jemaat-jemaat itu menjadi objek dari pekerjaan pastoral pendeta dan peraturan-peraturan pemerintah. Akibatnya, walaupun kaum awam lain keadaannya dari masa sebelum Reformasi, mereka tetap seperti semula, tetap sebagai objek, sama sekali bukan sebagai subjek. Berlainan dengan Luther, Calvin menghadapi soal yang sama hanya dalam satu kota dan bukan di negeri-negeri yang berlain-lainan, makanya ia lebih berhasil dengan "Ordonnance ecclesiastique"-nya pada tahun 1541 untuk mewujudkan kebebasan relatif dalam kehidupan gereja. Ini merupakan hasil dari fahamnya tentang tata gereja yang ditetapkan oleh Allah. "Ordonnance ecclesiastique" Calvin itu adalah tata gereja yang paling dinamis yang berasal dari Reformasi. Konsepnya tentang kekuasaan dan pentingnya pendeta bagi suatu gereja yang terpimpin baik, mengandung unsur-unsur, walaupun tak disengaja, yang mengabaikan arti dan pentingnya kaum awam.

Amerika, yang waktu itu disebut Dunia Baru, mempunyai corak-corak tersendiri. Sejarah Amerika merupakan suatu rangkaian dari adaptasi dan readaptasi kepada dunia yang baru dengan kondisi-kondisi baru dan dengan perubahan-perubahan yang terus-menerus terjadi. Gereja-gereja di Amerika adalah gereja-gereja Eropa yang dipindahtanamkan dalam tanah baru dengan keadaan sekeliling yang baru. Dalam proses ini Amerika memperkembangkan gereja corak baru. Sejak datangnya pendatang- pendatang baru, terutama gelombang-gelombang besar pendatang baru pada abad 19, proses itu berjalan terus. Hasilnya ialah munculnya gereja-gereja parokhial yang berpemerintahan sendiri yang khas Amerika, dengan pengawasan dan partisipasi yang lebih besar dari kaum awam. Dengan prinsip yang sangat dipegang teguh, yakni prinsip kemerdekaan beragama dan pemisahan antara gereja dengan negara, gereja dianggap sebagai perkumpulan sukarela dari orang-orang yang diselamatkan dan sebagai suatu institut untuk memperbaiki kehidupan masyarakat dengan jalan menyelamatkan perorangan-perorangan. Urbanisasi telah memaksa gereja mencari dan melayani segala macam orang dan golongan, dan gereja-gereja itu cenderung untuk memperkuat persekutuan batiniah dari gereja setempat. Pelayanan oleh kaum awam telah makin maju karena perkembangan ini.

Kalau kita bandingkan kehidupan gereja di Eropa dengan Amerika, kita lebih cenderung untuk berkata bahwa struktur dan suasana di dalam gereja-gereja Eropa tidak memberi banyak dorongan kepada inisiatif- inisiatif kaum awam. Di Amerika sebaliknyalah yang terjadi. Di Amerika, bukannya hasil pemikiran-pemikiran teoritis yang menghasilkan keadaan seperti itu, melainkan hasil pertimbangan-pertimbangan pragmatis, yaitu bahwa kegunaan gereja sebagai institut yang efektif tergantung hampir sepenuhnya pada kesediaan kaum awam untuk melibatkan dirinya.

Untuk mengakhiri pembahasan historis yang selektif tentang status teologis kaum awam, kita hendak menyebutkan beberapa patah kata lagi. Pada abad 19, pada zaman di mana orang semakin menjauhi gereja dan kekristenan, Johann Heinrich Wichern [4], bapak dari "Innere Mission" di Jerman, mencoba mengaktuilkan "prinsip-prinsip" Reformasi tentang imamat am semua orang percaya. Ia tidak menafsirkannya menurut tafsiran biasa seperti "mempunyai hubungan langsung dengan Allah" tanpa perantaraan imam, tapi sebagai kewajiban terhadap "diakonia", yang berlaku bagi semua anggota gereja. Dinamisme "Communio Sanctorum" terletak pada kenyataan, menurut dia, bahwa "communio sanctoru" itu bukan saja "Congregatio vere credentium" (persekutuan orang-orang yang benar-benar percaya), melainkan terutama adalah "congregatio vere amantium," (persekutuan orang-orang yang benar-benar mengasihi). Hal ini sudah menunjuk kepada suatu arah yang baru.

Catatan Kaki:

  1. T.F. Torrance, Royal Priesthood, hal. 35, catatan 1, mencela sebutan "imamat am orang-orang percaya" sebagai sesuatu yang kurang tepat, "sebab di dalamnya ada unsur-unsur individualisme yang merusak".
  2. Yaitu tafsiran yang benar dari Firman Allah.
  3. Pembahasan yang berikut banyak saya ambil dari buku W. Pauck "The Ministry in Historical Perspectives", hal. 110 - 147.
  4. Bnd. Martin Gerhardt: J.H. Wichern, Hamburg 1927.

Audio: Perubahan-Perubahan Radikal Sebagai Akibat Reformasi

Sumber: 

Bahan di atas dikutip dari:

Judul buku : Theologia Kaum Awam
Penulis : Dr. H. Kraemer
Penerbit : BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1985
Hal : 45 - 51

Roh Kudus dan Alkitab

Editorial: 

Dear e-Reformed netters,

Menyambut peringatan Hari Pentakosta, saya kirimkan bagian dari buku tulisan John R. W. Stott, yang membahas tentang Roh Kudus dan Alkitab. Karena sudah sangat panjang, maka saya tidak akan menambah komentar lagi. Kiranya menjadi berkat.

In Christ,
Yulia
< yulia@in-christ.net >

Penulis: 
John R.W. Stott
Edisi: 
061/IV/2005
Isi: 

Semua orang Kristen sadar bahwa antara Kitab Suci dan Roh Suci, pasti terdapat suatu hubungan yang erat. Sebenarnya semua orang Kristen percaya bahwa dalam arti tertentu Alkitab adalah hasil karya cipta Roh Kudus. Karena setiap kali kita mengikrarkan Pengakuan Iman Nicea, kita menegaskan salah satu pokok kepercayaan kita tentang Roh Kudus bahwa 'Dia telah berfirman dengan perantaraan para nabi'. Ungkapan tadi merupakan gema ungkapan-ungkapan serupa di Perjanjian Baru. Sebagai contoh, Tuhan kita Yesus Kristus sendiri suatu ketika mengutip Mazmur 110 dan menjelaskan: 'Daud sendiri oleh pimpinan Roh Kudus berkata: ...' (Markus 12:36). Petrus dalam suratnya yang kedua, sama menulis 'oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah' (2Petrus 1:21), atau bila diterjemahkan harafiah dari istilah Yunaninya, 'mereka diombang-ambingkan oleh Roh Kudus', (istilah yang sama digunakan dalam Kisah Para Rasul 27:18), persis seperti kapal diombang-ambingkan angin. Jelas ada hubungan penting antara Alkitab dan Roh Kudus. Hal ini kini akan kita selidiki.

Sejauh ini sudah kita pikirkan bahwa Allah adalah sumber dari penyataan yang diungkapkan-Nya dan bahwa Yesus Kristus adalah pokok utama penyataan-Nya. Kini perlu kita tambahkan bahwa Roh Kudus adalah perantara-Nya. Dengan demikian, pemahaman Kristen tentang Alkitab bersumber pada pemahaman tentang Tritunggal. Alkitab berasal dari Allah, berpusat pada Kristus dan diilhamkan oleh Roh Kudus. Karena itu definisi terbaik tentang Alkitab pun bernafaskan Tritunggal: "Alkitab adalah kesaksian Bapa tentang Anak melalui Roh Kudus."

Jadi persisnya, apakah peran Roh Kudus dalam proses penyataan? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita beralih kepada Alkitab sendiri, terutama 1Korintus 2:6-16.

Penting kita melihat bagian Alkitab ini dalam konteksnya yang lebih luas. Sampai di bagian ini, Paulus sedang menegaskan tentang 'kebodohan' Injil. Sebagai contoh, 'pemberitaan tentang salib memang adalah 'kebodohan' (1Korintus 1:18), dan 'kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan' (1Korintus 1:23). Katakanlah sekarang bahwa berita tentang salib terdengar bodoh bahkan tak mengandung arti bagi para intelektual sekular. Paulus sekarang mengkoreksi agar jangan timbul kesan pada para pembacanya bahwa dia sama sekali menolak pentingnya hikmat dan bermegah dalam kebodohan. Apakah rasul anti intelek? Apakah dia menghina pengertian dan penggunaan akal? Tidak, sama sekali tidak.

1Korintus 2:6-7 menuliskan, "Sungguhpun demikian kami memberitakan hikmat ... hikmat Allah yang tersembunyi dan rahasia, . . . yang telah disediakan Allah bagi kemuliaan kita." Perbandingan yang Paulus buat tidak boleh kita lewati. Kami jelas menyampaikan hikmat, tulisnya, tetapi:

  1. hanya kepada yang telah dewasa, bukan kepada yang bukan Kristen atau bahkan bukan kepada Kristen yang masih muda iman;
  2. hikmat tersebut adalah hikmat Allah, bukan hikmat duniawi;
  3. yaitu agar kita menerima kemuliaan, maksudnya kesempurnaan akhir kita kelak melalui keikutsertaan kita dalam kemuliaan Allah dan bukan hanya membawa kita pada pembenaran di dalam Kristus.

Dalam usaha menginjili orang yang bukan Kristen, kita harus memusatkan perhatian pada 'kebodohan' Injil tentang Kristus yang tersalib bagi orang berdosa. Dalam usaha membangun orang Kristen menuju kedewasaan penuh, kita harus memimpin mereka ke dalam pengertian tentang keseluruhan rencana Allah. Paulus menyebut hal tersebut di ayat 7 sebagai 'hikmat Allah yang tersembunyi dan rahasia' dan di ayat 9 'semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia'. Hal itu hanya dapat diketahui, tegas Paulus, melalui penyataan. 'Penguasa- penguasa dunia ini' (para pemimpin dunia) tidak mengertinya, atau mereka tidak akan menyalibkan 'Tuhan yang mulia' (ayat 8). Bukan mereka saja, semua manusia, pada diri mereka sendiri, tidak memahami hikmat dan maksud Allah.

Rencana Allah, menurut Paulus di ayat 9 adalah sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh mata, atau didengar telinga, atau diselami hati. Hikmat Allah itu di luar jangkauan mata, telinga, dan pikiran manusia. Ia tidak tunduk kepada penelitian ilmiah, juga terhadap imajinasi. Hikmat Allah sama sekali di luar batas dan daya ukur akal kita yang sempit dan terbatas, kecuali Allah sendiri menyatakannya. Memang itulah yang sudah Allah buat! "Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia." Rencana mulia-Nya yang tak terbayangkan ini, 'telah Allah nyatakan kepada kita melalui Roh-Nya'. Kata 'kita' sedemikian kuat tekanannya, dan diartikan dalam konteksnya bukan menunjuk kepada kita semua tanpa perbedaan, tetapi dimaksudkan untuk Rasul Paulus yang menulis dan untuk sesama rekan rasul lainnya. Allah memberikan penyataan khusus tentang kebenaran-kebenaran tersebut kepada alat-alat penyataan-Nya yang khusus (yaitu para nabi Perjanjian Lama dan para rasul Perjanjian Baru), dan Allah melakukan ini 'melalui Roh-Nya'. Roh Kudus menjadi perantara penyataan tersebut.

Saya kuatir bahwa pengantar yang dimaksudkan untuk menolong kita mengerti konteks pembicaraan Paulus tentang Roh Kudus sebagai perantara penyataan ini terasa agak panjang. Apa yang diuraikannya selanjutnya adalah pernyataan luas yang sangat menakjubkan. Dia menggarisbesarkan empat tahap karya Roh Kudus, sebagai perantara penyataan Ilahi.

  1. Roh yang menyelidik

  2. Roh Kudus adalah Roh yang menyelidik (ayat 10-11). Sambil lalu patut kita perhatikan bahwa ungkapan ini menunjukkan bahwa Roh Kudus adalah pribadi. Hanya pribadi-pribadi yang dapat terlibat dalam usaha menyelidik atau 'penyelidikan'. Tentu kita ketahui bahwa komputer- komputer modern dapat mengadakan riset yang sangat rumit yang bersifat mekanis dan analitis. Tetapi riset sejati (seperti yang sangat dikenal oleh para mahasiswa pasca sarjana) bukan hanya mengandung penyusunan dan analisis data secara statistik, tetapi menuntut pemikiran orisinal baik dalam bentuk penelitian maupun refleksi. Inilah bentuk pekerjaan yang dilakukan Roh Kudus karena Dia memiliki akal yang melaluinya Dia berpikir. Karena berkeberadaan sebagai Pribadi Ilahi (bukan komputer atau pengaruh atau kekuatan belaka), kita harus membiasakan diri menyebut-Nya sebagai 'Dia' (Pribadi) dan bukan 'ini' (benda).

    Paulus menggunakan dua lukisan menarik untuk menyatakan kemampuan- kemampuan unik Roh Kudus dalam karya penyataan.

    PERTAMA, 'Roh menyelidiki segala sesuatu, bahkan hal-hal yang tersembunyi dalam diri Allah' (ayat 10). Istilah yang sama digunakan Yesus tentang orang Yahudi yang 'menyelidiki Kitab-kitab Suci', dan menurut Moulton dan Milligan (dalam buku mereka 'Vocabulary of the Greek New Testament'), berdasarkan kutipan naskah dari abad ketiga, 'para penyelidik' adalah para petugas beacukai. Dalam arti mana pun, Roh Kudus digambarkan sebagai penyelidik yang giat dan teliti, atau bahkan sebagai penyelam yang berusaha mengarungi kedalaman Diri Allah yang Maha Kuasa yang tak terselami itu. (Mungkin Paulus meminjam istilah 'dalam' dari perbendaharaan kata bidat Gnostik.) Keberadaan Allah tak terukur kedalaman-Nya, dan secara terus terang Paulus menyatakan bahwa Roh Kudus menyelidiki kedalaman-kedalaman Allah. Dengan kata lain, Allah sendiri menjelajahi kelimpahan keberadaan-Nya sendiri.

    Contoh KEDUA yang Paulus kemukakan, diambilnya dari pengertian diri manusia. "Siapa gerangan di antara manusia yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri manusia selain roh manusia sendiri yang ada di dalam dia?" (ayat 11) 'Apa yang terdapat' menunjuk kepada 'hal-hal' khas ciri kemanusiaan kita. Seekor semut tak mungkin menyelami bagaimana keberadaan hidup manusia. Katak, kelinci, atau monyet tercerdas sekalipun tidak mampu. Juga seorang manusia tak mungkin menyelami sepenuhnya keberadaan diri seorang manusia lainnya. Betapa sering kita berkata, terutama ketika masih remaja, "Anda tak mengerti saya; tak seorang pun mengerti saya." Benar ucapan tadi! Tak seorang pun mengerti saya kecuali saya sendiri, bahkan pengertian saya tentang diri sendiri pun masih terbatas. Demikian pula, tak seorang pun mengerti Anda kecuali Anda sendiri. Ukuran pengertian diri atau kesadaran diri ini diterapkan Paulus kepada Roh Kudus (ayat 11): "Demikian pulalah tidak ada orang yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri Allah selain Roh Allah." Roh Kudus Allah di sini hampir disamakan dengan pengertian diri Ilahi atau kesadaran diri Ilahi. Sama seperti halnya tak seorang pun dapat mengerti seseorang kecuali orang itu sendiri, demikian pula tak seorang pun dapat mengerti Allah kecuali Allah sendiri. Ada lagu yang mengatakan, "Allah saja mengetahui kasih Allah." Senada dengan itu dapat pula kita tegaskan bahwa Allah saja yang mengetahui hikmat Allah, sesungguhnya Allah saja yang mengetahui keberadaan Allah.

    Dengan demikian, Roh menyelidiki kedalaman-kedalaman diri Allah, dan Roh mengetahui perkara-perkara Allah. Dia memiliki pemahaman yang unik tentang diri Allah. Masalahnya sekarang ialah: Apa yang dibuat-Nya dengan apa yang sudah diselidiki dan diketahui-Nya itu? Apakah disimpan-Nya sendiri pengetahuan unik-Nya itu? Tidak. Dia sudah melakukan hal yang hanya Dia patut dan mampu melakukannya; Dia telah menyatakannya. Roh yang menyelidik menjadi pula Roh yang menyatakan.

  3. Roh yang menyatakan

  4. Apa yang diketahui hanya oleh Roh Kudus, Dia pula yang dapat menyatakannya. Hal ini sudah ditegaskan di ayat 10, "Karena kepada kita (para rasul) Allah telah menyatakannya oleh Roh." Kemudian Paulus menguraikannya di ayat 12: "Kita (kita yang sama yaitu para rasul) tidak menerima roh dunia, tetapi roh yang berasal dari Allah (yaitu Roh yang menyelidik din yang mengetahui), supaya kita tahu, apa yang dikaruniakan Allah kepada kita." Sebenarnya, para rasul telah menerima dua karunia istimewa dari Allah, PERTAMA karunia keselamatan (apa yang dikaruniakan Allah kepada kita) dan KEDUA, Roh memampukan mereka untuk mengerti keselamatan anugerah-Nya.

    Paulus sendiri merupakan contoh terbaik tentang proses rangkap ini. Sambil kita membaca surat-suratnya, dia memberikan suatu uraian yang indah sekali tentang Injil kasih karunia Allah. Dia menyatakan apa yang telah Allah buat untuk orang-orang berdosa seperti kita yang tidak pantas menerima yang lain kecuali hukuman-Nya. Dia menyatakan bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya untuk mati disalib bagi dosa-dosa kita dan bangkit kembali, dan jika kita melalui iman di hati dan baptisan di depan umum maka kita turut mati bersama Dia dan bangkit kembali dengan Dia, mengalami suatu kehidupan baru di dalam Dia. Injil ajaib seperti inilah yang Paulus ungkapkan kepada kita dalam surat- suratnya. Tetapi bagaimana dia dapat mengetahui semua ini? Bagaimana dia dapat membuat uraian seluas itu tentang keselamatan? Jawabnya tentunya ialah karena PERTAMA dia sendiri sudah menerimanya. Dia mengetahui kasih karunia Allah dalam pengalamannya. KEDUA, Roh Kudus telah diberikan kepadanya untuk menafsirkan pengalamannya itu kepada dirinya. Jadi, Roh Kudus menyatakan kepadanya rencana keselamatan Allah, yang dalam surat-suratnya yang lain disebutnya sebagai 'rahasia' Allah. Roh yang menyelidik menjadi Roh yang menyatakan.

  5. Roh yang mengilhamkan

  6. Kini kita tiba ke tahap ketiga: Roh yang menyatakan menjadi Roh yang mengilhamkan. "Kami berkata-kata tentang karunia-karunia Allah dengan perkataan yang bukan diajarkan kepada kami oleh hikmat manusia, tetapi oleh Roh." (Ayat 13) Perhatikan bahwa di ayat 12 Paulus menulis tentang apa yang dia terima dan di ayat 13 tentang apa yang dia sampaikan. Mungkin baik bila saya mengupas alur pikirannya ini sebagai berikut: "Kami telah menerima karunia-karunia besar ini dari Allah; kami telah menerima Roh-Nya untuk menafsirkan bagi kami apa yang sudah Allah buat dan berikan untuk kami; kini, kami menyatakan apa yang sudah kami terima itu kepada orang-orang lain." Roh yang menyelidik yang sudah menyatakan rencana keselamatan dari Allah kepada para rasul, meneruskan penyampaian Injil ini melalui para rasul kepada orang-orang lain. Sama seperti halnya Roh tidak menyimpan hasil-hasil penyelidikan-Nya untuk diri-Nya sendiri, demikian pula para rasul tidak menyimpan penyataan dari-Nya itu untuk diri mereka sendiri. Tidak. Mereka mengerti bahwa mereka dipercayakan sebagai penatalayan. Mereka harus meneruskan apa yang sudah mereka terima kepada orang- orang lain.

    Lagi pula, apa yang mereka sampaikan itu berbentuk kata-kata dan kata- kata itu menurut mereka bukan berasal dari hikmat manusia tetapi diajarkan oleh Roh Kudus (ayat 13). Lihatlah di sini bagaimana Roh Kudus disinggung kembali, tetapi kali ini sebagai Roh yang mengilhamkan. Dalam ayat 13 ini tertampung pernyataan rangkap Paulus tentang 'pengilhaman verbal'. Artinya, kata-kata yang melaluinya para rasul meneruskan berita yang telah dinyatakan Roh kepada mereka, adalah kata-kata yang sama yang telah diajarkan kepada mereka oleh Roh.

    Menurut dugaan saya, penyebab mengapa ungkapan 'pengilhaman verbal' kurang disenangi orang adalah kesalahmengertian tentang artinya. Akibatnya, apa yang mereka tolak bukan arti sesungguhnya, melainkan karikaturnya. Izinkan saya menjernihkan beberapa kesalahan konsep berikut. PERTAMA, 'pengilhaman verbal' tidak berarti bahwa 'setiap kata dalam Alkitab harus dianggap benar secara harafiah'. Tidak, kita tahu benar bahwa para penulis Alkitab sering menggunakan berbagai jenis gaya tulisan, yang masing-masing harus ditafsirkan menurut peraturannya sendiri-sendiri -- sejarah sebagai sejarah, puisi sebagai puisi, perumpamaan sebagai perumpamaan, dan sebagainya. Yang diilhamkan adalah arti wajar masing-masing kata, sesuai dengan maksud pengarangnya sendiri, entah harfiah ataupun simbolik.

    KEDUA, 'pengilhaman verbal' bukan berarti dikte lisan. Kaum Muslim percaya bahwa Allah mendiktekan Quran kepada Muhammad, kata demi kata dalam bahasa Arab. Bukan begini yang dipercaya orang Kristen tentang Alkitab, sebab, sebagaimana sudah kita lihat sebelum ini dan yang kelak akan lebih saya tegaskan, Roh Kudus memperlakukan para penulis Alkitab sebagai pribadi, bukan sebagai mesin. Walaupun ada beberapa kasus perkecualian, umumnya mereka sepenuhnya menguasai seluruh kemampuan manusia mereka sementara Roh mengkomunikasikan firman-Nya melalui kata-kata mereka.

    KETIGA, 'pengilhaman verbal' tidak berarti bahwa setiap kalimat dalam Alkitab adalah firman Allah, biarpun bila dilepaskan dari konteksnya, misalnya. Tidak semua hal yang ditampung dalam Alkitab disetujui oleh Alkitab. Kisah khotbah-khotbah panjang para sahabat Ayub adalah contoh baik tentang hal ini. Pernyataan utama mereka bahwa Allah menghukum Ayub karena dosa-dosanya, sama sekali salah. Di pasal terakhir, dua kali Allah berkata, "Kamu tidak berkata benar." (Ayub 42:7-8) Jadi, kata-kata mereka tidak bisa dianggap sebagai kata-kata Allah. Ucapan- ucapan mereka diikutsertakan bukan untuk disetujui, melainkan untuk disalahkan. Firman Allah yang diilhamkan ialah yang disetujui dan ditandaskan, entah berbentuk perintah, petunjuk, atau janji.

    Yang dimaksud dengan 'pengilhaman verbal' ialah bahwa apa yang sudah dan masih dikatakan oleh Roh Kudus melalui penulis-penulis Alkitab, bila dimengerti sesuai dengan arti jelas dan wajar dari kata-kata yang tertulis itu adalah benar tanpa salah. Tak perlu kita merasa dibuat malu oleh pokok iman Kristen ini, atau merasa dipermalukan atau takut mengakuinya. Sebaliknya, doktrin ini jelas jelas masuk akal, sebab kata-kata adalah bangun dasar yang membentuk kalimat-kalimat. Kata- kata adalah sel-sel dasar yang membangun ucapan. Tidak mungkin memolakan pesan yang tepat tanpa membentuk kalimat-kalimat tepat yang terdiri dari kata-kata yang tepat pula.

    Bayangkanlah bagaimana sulitnya menyusun sebuah telegram. Katakanlah kita diberi batas hanya dua belas kata. Pada saat yang sama kita diminta untuk menyusun bukan saja pesan yang dapat dimengerti, melainkan juga pesan yang tak akan disalahmengertikan. Untuk itu kita menyusun, menyusun, dan menyusunnya ulang. Kita buang satu kata di sini dan menambah sebuah kata lagi di sana, sampai pesan kita tersusun rapi, jelas, dan memuaskan. Kata-kata sedemikian penting artinya. Setiap pengkhotbah yang ingin mengkomunikasikan pesan yang dapat dimengerti dan tak akan disalahmengertikan, tahu pentingnya kata-kata. Setiap pengkhotbah yang berhati-hati mempersiapkan khotbah-khotbahnya, memilih kata-katanya dengan teliti. Setiap penulis, entah menulis surat atau artikel atau buku, tahu bahwa kata itu penting artinya. Dengarkanlah apa yang pernah ditulis seseorang berikut ini: "Betapa agung milik manusia yang satu ini: kata-kata ... Tanpa kata, tak mungkin kita memahami hati dan pikiran sesama kita. Bila demikian, tak ada bedanya manusia dari binatang ... sebab, begitu kita ingin berpikir dan memahami sesuatu, kita selalu memikirkannya dalam kata- kata, walaupun itu tidak kita utarakan kuat-kuat; tanpa kata, segala isi pikiran kita tinggal sekadar tumpukan kerinduan dan perasaan yang gelap tak terselami dan tak terpahami bahkan oleh diri kita sendiri." Jadi, kita selalu harus membungkus pikiran-pikiran kita dalam kata- kata.

    Hal inilah sebenarnya yang dicanangkan para rasul bahwa Roh Kudus Allah yang sama yang menyelidiki kedalaman-kedalaman Allah dan yang menyatakan penyelidikan-penyelidikan-Nya itu kepada para rasul, meneruskannya melalui para rasul dalam kata-kata yang berasal dari pilihan para rasul sendiri. Roh mengutarakan kata-kata-Nya melalui kata-kata mereka, supaya kata-kata itu sekaligus merupakan kata-kata Allah dan kata-kata manusia. Inilah yang dimaksud bahwa Alkitab dikarang secara rangkap. Ini pula maksud 'pengilhaman'. Pengilhaman Alkitab bukan suatu proses mekanis. Pengilhaman sepenuhnya melibatkan Pribadi (Roh Kudus) yang berbicara melalui pribadi-pribadi (para nabi dan para rasul) sedemikian rupa sehingga secara serempak kata-kata-Nya menjadi kata-kata mereka sendiri, dan mereka menjadi kata-kata Dia.

  7. Roh yang menerangi

  8. Kini kita tiba pada tahap kerja Roh Kudus yang keempat sebagai perantara penyataan, dan dalam tahap ini saya sebut Dia sebagai Roh yang 'menerangi'. Mari kita telusuri bersama.

    Bagaimanakah anggapan kita tentang mereka yang mendengar khotbah- khotbah rasul dan kemudian membaca surat-surat rasul? Adakah mereka dibiarkan sendiri tanpa bantuan? Haruskah mereka bergumul sekuat tenaga untuk mengerti pesan-pesan rasuli itu? Tidak! Roh yang sama yang giat bekerja di dalam diri mereka yang menulis surat-surat rasuli, giat pula di dalam diri mereka yang membaca surat tersebut. Jadi, Roh Kudus bekerja di dalam keduanya, mengilhamkan firman-Nya kepada para rasul dan menerangi para pendengar mereka. Secara tidak langsung hal ini disinggung dalam ayat 13, ayat yang rumit dan sering ditafsirkan berbeda-beda. Saya cenderung menerjemahkan, "Roh Kudus menafsirkan kebenaran-kebenaran rohani kepada mereka yang memiliki Roh." Hal memiliki Roh tidak terbatas hanya pada para penulis Alkitab. Tentu saja karya pengilhaman-Nya di dalam mereka bersifat unik; namun sebagai tambahan Roh Kudus berkarya pula dalam penafsiran.

    Ayat 14 dan 15 mengupas kebenaran ini dan menekankan segi-segi yang berbeda tajam. Ayat 14 mulai dengan menunjuk pada 'manusia duniawi', yaitu mereka yang tidak diperbaharui yakni orang non-Kristen. Sebaliknya, ayat 15 mulai dengan 'manusia rohani', yang memiliki Roh Kudus. Dengan demikian, Paulus membagi manusia ke dalam dua kategori yang terpisah tajam: 'yang duniawi' dan 'yang rohani', yaitu mereka yang memiliki kehidupan alami, atau jasmani di satu pihak dan mereka yang sudah menerima kehidupan rohani atau kehidupan kekal di lain pihak. Golongan pertama tidak memiliki Roh Kudus karena mereka belum dilahirkan kembali, tetapi Roh Kudus mendiami mereka yang telah dilahirkan-Nya baru, didiami oleh Roh Kudus, merupakan ciri orang Kristen sejati (Roma 8:9).

    Apa bedanya bila kita memiliki Roh Kudus atau tidak? Besar sekali! Terutama (walaupun ada perbedaan lainnya), dalam pengertian kita tentang kebenaran rohani. Manusia tidak rohani atau yang belum diperbaharui, yaitu yang tidak menerima Roh Kudus, tidak juga menerima perkara-perkara dari Roh Kudus karena hal itu merupakan kebodohan bagi mereka (ayat 14). Bukan saja tidak mengerti, melainkan juga tidak sanggup lagi mengerti karena sudah 'terlalu paham'. Manusia rohani di lain pihak, Kristen yang sudah dilahirkan kembali dan di dalam siapa Roh Kudus berdiam, 'menilai' (istilah Yunaninya sama dengan memahami di ayat 14) 'segala sesuatu'. Bukan berarti dia menjadi maha tahu seperti Allah, melainkan semua perkara yang dulu tidak dilihat dan dipahaminya, yaitu yang telah Allah nyatakan dalam Alkitab, kini menjadi berarti baginya. Dia mengerti apa yang dulu tidak dimengertinya walaupun karena itu dia sendiri tidak dapat dimengerti orang lain. Secara harfiah berarti 'dia tidak dipahami oleh siapa pun'. Dia menjadi semacam teka-teki, sebab ada rahasia yang dalam tentang kebenaran dan kehidupan rohaninya yang tidak masuk akal bagi orang-orang tak beriman. Sebenarnya ini tidak perlu diherankan, sebab tak seorang pun tahu pikiran Allah atau mampu mengajari Dia. Karena mereka tidak mengerti pikiran Kristus, mereka tidak mengerti kita pula walaupun kita yang telah diterangi Roh Kudus dapat berkata dengan berani, "Kami memiliki pikiran Kristus." (ayat 16) Betapa ajaib!

    Inikah pengalaman Anda? Sudahkah Alkitab menjadi suatu buku berarti bagi Anda? Seseorang pernah berkata kepada sahabatnya sesaat sesudah pertobatannya, "Jika Allah menarik kembali Alkitabnya dan menukarnya dengan yang lain, Alkitab lain itu bukan lagi barang baru baginya." Hal yang sama saya alami sendiri. Sebelum saya bertobat, saya membaca Alkitab setiap hari karena diharuskan ibu saya. Tetapi saya menghadapi banyak sekali kesulitan. Tak sedikit pun saya mengerti isinya. Tetapi ketika saya dilahirkan kembali dan Roh Kudus datang berdiam di dalam diri saya, tiba-tiba Alkitab menjadi sesuatu yang baru bagi saya. Tentu, saya tidak menganggap bahwa saya tahu segala sesuatu. Saat ini pun saya masih jauh dari mengerti segala perkara. Tetapi saya mulai mengerti hal-hal yang tadinya tidak saya mengerti. Betapa ajaibnya pengalaman ini! Anda jangan menganggap Alkitab sebagai kumpulan naskah-naskah kuno berbau apek yang harus dipajang di perpustakaan. Jangan beranggapan bahwa halaman-halaman Alkitab seumpama fosil-fosil yang harus ditempatkan di balik kaca-kaca museum. Tidak, Allah masih berbicara melalui apa yang sudah dibicarakan-Nya. Melalui teks kuno dalam Alkitab, Roh Kudus dapat berkomunikasi kembali dengan kita kini, secara segar, pribadi dan penuh kuasa. "Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan (ditulis dalam bentuk waktu sekarang) Roh (melalui Alkitab) kepada jemaat jemaat." (Wahyu 2:7)

    Jika Roh Kudus pada zaman ini masih berbicara kepada kita melalui Alkitab, mungkin Anda akan bertanya, "Mengapa tidak terjadi persetujuan pendapat tentang segala sesuatu, jika selain menjadi perantara penyataan, Roh Kudus juga adalah penafsir, mengapa Dia tidak memimpin kita kepada suatu pemikiran yang sama?" Jawaban saya mungkin akan membuat Anda kaget. Sesungguhnya, Dia memungkinkan kita untuk lebih mengalami kesepakatan ketimbang tidak. Kita akan memiliki pemahaman yang sama asal saja kita mengikuti empat persyaratan berikut.

    PERTAMA, kita harus menerima otoritas mutlak Alkitab dan bersungguh hati tunduk kepadanya. Di antara mereka yang bersikap seperti ini terciptalah sejumlah konsensus Kristen yang berarti. Perbedaan besar dan menyakitkan yang ada, misalnya antara Gereja Roma Katholik dan Gereja-gereja Protestan, terutama terjadi karena yang pertama terus saja enggan menyatakan bahwa Alkitab memiliki otoritas mutlak melampaui tradisi gereja. Posisi resmi Gereja Roma (walaupun sudah diubah namun tidak cukup memadai oleh Konsili Vatikan kedua), masih menegaskan bahwa 'baik Tradisi Suci dan Kitab Suci harus diterima dan dihornytti dengan sikap ibadah dan khidmat yang sama'. Gereja-gereja Protestan tidak menyangkal pentingnya tradisi, dan sebagian dari kita sangat menghormatinya, sebab Roh Kudus sudah sejak generasi-generasi yang lampau mengajar, dan Dia bukan baru saja mengajarkan kebenaran kepada kita. Namun bila di antara keduanya terjadi benturan, kita harus mengizinkan Alkitab untuk membentuk ulang tradisi, sama seperti yang Yesus tegaskan terhadap tradisi orang Yahudi (Markus 7:1-13). Jika Gereja Roma Katholik memiliki keberanian untuk menolak tradisi- tradisi yang tidak alkitabiah (misalnya, dogma mereka tentang ketidakberdosaan Maria dan pengangkatan Maria ke Surga), kemajuan cepat akan tercapai ke arah persetujuan di bawah firman Allah.

    KEDUA, kita harus ingat hal yang sudah kita bahas sebelum ini bahwa maksud utama Alkitab ialah memberi kesaksian kepada Kristus, Sang Juruselamat sempurna bagi orang-orang berdosa. Ketika para perintis Reformasi di abad keenam belas menekankan pentingnya kejelasan Alkitab dicapai dengan menerjemahkannya agar orang biasa dapat membacanya sendiri, mereka sebenarnya sedang menunjuk pada jalan keselamatan. Mereka tidak menyangkal bahwa Alkitab mengandung 'hal-hal yang sukar dipahami' (komentar Petrus tentang surat-surat Paulus di 2Petrus 3:16); apa yang mati-matian mereka tegaskan ialah bahwa kebenaran- kebenaran hakiki untuk keselamatan, dapat dimengerti oleh semua orang dengan jelas.

    KETIGA, kita harus menerapkan prinsip-prinsip penafsiran yang sehat. Tentu mudah sekali memutarbalikkan Alkitab sesuka keinginan kita mengertinya. Tetapi tugas kita ialah menafsirkan, bukan memutarbalikkan Alkitab. Yang terutama harus kita cari ialah arti asal dan arti wajar Alkitab sesuai dengan maksud penulisnya. Mungkin bisa harfiah bisa pula kiasan, lagi-lagi tergantung niat penulisnya. Apa yang kita sebut tadi ialah prinsip historis dan prinsip kesederhanaan. Bila keduanya diterapkan secara lurus dan ketat, maka Alkitab akan mengontrol kita, bukan kita mengontrol Alkitab. Akibatnya, wilayah- wilayah tentang mana kita bersepakat akan bertambah luas.

    KEEMPAT, kita harus mendatangi teks Alkitab dengan kesadaran tentang adanya prasangka-prasangka budaya kita dan kesediaan untuk mengizinkan prasangka tadi ditantang dan diubah. Jika kita datang kepada Alkitab dengan sikap angkuh dan menganggap semua pemahaman iman dan kebiasaan yang kita warisi benar adanya, tentu saja di dalam Alkitab hanya akan kita temukan hal-hal yang memang ingin kita temukan, yaitu dukungan untuk status quo kita. Selain itu, kita pun akan berada dalam pertentangan tajam dengan orang lain yang datang kepada Alkitab dari latar belakang dan keyakinan yang berbeda, namun ternyata mendapatkan 'dukungan' Alkitab untuk pandangan mereka. Mungkin tak ada penyebab lebih lazim timbulnya pertentangan daripada faktor tadi. Hanya jika kita cukup berani dan rendah hati, mengizinkan Roh Allah melalui firman. Allah mempertanyakan secara radikal pandangan-pandangan yang paling kita sayangi, baru kita akan mendapatkan keesaan dan pengertian yang segar.

    Pemahaman rohani yang dijanjikan Roh Kudus tidak bertentangan dengan keempat syarat ini, tetapi syarat-syarat ini merupakan pengandaian yang harus kita terima dan penuhi lebih dulu.

Kesimpulan

Kita telah menyelidiki tentang Roh Kudus dalam empat peran: Roh yang menyelidik, Roh yang menyatakan, Roh yang mengilhamkan, dan Roh yang menerangi. Inilah keempat tahap pelayanan Roh Kudus mengajar umat-Nya. PERTAMA, Dia menyelidiki kedalaman Allah dan pikiran Allah. KEDUA, Dia menyatakan penyelidikan-Nya itu kepada para rasul. KETIGA, Dia menyampaikan apa yang telah dinyatakan-Nya kepada para rasul melalui para rasul dengan kata-kata yang disediakan-Nya sendiri. KEEMPAT, Dia menerangi pikiran para pendengar agar mereka dapat memahami apa yang sudah dinyatakan kepada dan melalui para rasul, dan masih melanjutkan karya iluminasi-Nya ini bagi mereka yang ingin menerimanya sampai saat ini.

Dua pelajaran singkat sederhana akan mengakhiri pembahasan ini. Yang PERTAMA menyangkut pandangan kita tentang Roh Kudus. Sekarang ini Pribadi dan karya Roh Kudus banyak diperbincangkan orang. Bagian Alkitab kita ini hanya salah satu dari banyak bagian Alkitab lainnya tentang Roh Kudus. Tetapi izinkan saya bertanya kepada Anda, "Adakah tempat dalam doktrin Anda tentang Roh Kudus untuk bagian ini?" Yesus menyebut-Nya 'Roh Kebenaran'. Berarti kebenaran penting bagi Roh Kudus. Ya, saya tahu bahwa Dia juga adalah Roh kekudusan, Roh kasih dan Roh kuasa, tetapi apakah Dia merupakan Roh Kebenaran untuk Anda? Menurut ayat-ayat yang sudah kita pelajari, Dia sangat mementingkan kebenaran. Dia menyelidikinya, menyatakannya, mengkomunikasikannya, dan menerangi pikiran kita agar mampu mengertinya. Sahabat, jangan sekali-kali meremehkan kebenaran! Jika Anda lakukan itu, Anda mendukai Roh Kudus kebenaran. Bagian ini seharusnya membawa dampak nyata pada pandangan kita tentang Roh Kudus.

KEDUA, kebutuhan kita akan Roh Kudus. Inginkah Anda bertumbuh dalam pengenalan Anda tentang hikmat Allah dan rencana menyeluruh-Nya menjadikan kita serupa Kristus dalam kemuliaan-Nya kelak? Tentu ingin, seperti halnya saya juga. Berarti kita butuh Roh Kudus, Roh kebenaran, untuk menerangi pikiran kita. Untuk itu kita perlu dilahirkan kembali. Kadang-kadang terpikir oleh saya, mengapa sementara teolog sekuler mengeluarkan ucapan-ucapan dan tulisan-tulisan serendah nilai sampah (yang saya maksudkan, misalnya ialah penolakan mereka akan kepribadian Allah dan Keilahian Yesus) adalah karena mereka belum dilahirkan kembali. Mungkin saja seseorang menjadi teolog tanpa dilahirkan kembali. Inikah sebabnya mereka tidak memahami kebenaran-kebenaran ajaib dalam Alkitab? Alkitab dapat dipahami secara rohani. Karena itu kita perlu datang kepada Alkitab dengan rendah hati, hormat, dan penuh harap. Kita perlu mengakui bahwa kebenaran-kebenaran yang dinyatakan di dalam Alkitab masih terkunci dan termeterai sampai Roh kudus membukakannya bagi kita dan membukakan pikiran kita untuk kebenaran tersebut. Allah menyembunyikan kebenaran-Nya dari orang berhikmat dan orang pandai, dan menyatakannya kepada 'bayi-bayi', yaitu mereka yang dengan rendah hati dan hormat datang kepada-Nya. Jadi, sebelum kita, para pengkhotbah, membuat persiapan; sebelum warga jemaat mendengarkan, sebelum seseorang atau sekelompok orang mulai membaca Alkitab dalam masing-masing situasi ini, kita harus berdoa agar Roh Kudus memberikan penerangan-Nya: "Singkapkanlah mataku, supaya aku memandang keajaiban-keajaiban dari Taurat-Mu." (Mazmur 119:18) Maka pasti Dia akan melakukannya.

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Alkitab: Buku untuk Masa Kini
Judul Artikel : -
Penulis : John R.W. Stott
Penerjemah : -
Penerbit : Persekutuan Pembaca Alkitab, Jakarta, 1990
Halaman : 30 - 49

Alkitab dan Reformasi

Editorial: 
"Alkitab", tulis William Chillingworth, "dan aku katakan, hanya Alkitab, adalah agama dan orang-orang Protestant."
Penulis: 
Alister E. McGrath
Edisi: 
060/III/2005
Isi: 

"Alkitab", tulis William Chillingworth, "dan aku katakan, hanya Alkitab, adalah agama dan orang-orang Protestant." Kata-kata termasyhur dari orang Protestan Inggris dalam abad ke-17 ini meringkaskan sikap Reformasi terhadap Kitab Suci. Calvin menyatakan prinsip yang sama ini dengan agak kurang mengesankan walaupun secara lebih lengkap, demikian, "Biarlah hal ini kemudian menjadi suatu aksioma yang pasti: bahwa tidak ada yang lain yang harus diakui di dalam gereja sebagai Firman Allah kecuali apa yang termuat, PERTAMA dalam Torah dan Kitab Nabi-Nabi, dan KEDUA dalam tulisan-tulisan dari para Rasul; dan bahwa tidak ada metode pengajaran lain di dalam gereja yang berlainan dari apa yang sesuai dengan ketentuan dan aturan dari Firman-Nya." Seperti akan kita lihat, bagi Calvin, lembaga-lembaga dan peraturan-peraturan baik dari gereja maupun masyarakat dituntut berakar di dalam Kitab Suci, "Aku hanya menyetujui lembaga-lembaga manusia yang didirikan di atas kewenangan Allah dan berasal dari Kitab Suci." Zwingli memberikan judul untuk traktat yang ditulisnya pada tahun 1522 mengenai Kitab Suci, yakni Tentang Kejelasan dan Kepastian dari Firman Allah, yang menandaskan bahwa "Landasan agama kita adalah firman yang tertulis, Kitab Suci Allah". Pandangan-pandangan seperti itu menunjukkan penghargaan yang tinggi terhadap Kitab Suci yang secara konsisten dimiliki oleh para reformator. Pandangan ini, seperti telah kita lihat, bukanlah sesuatu yang baru; pandangan itu menggambarkan pokok utama dari kesinambungan dengan teologi Abad Pertengahan - kecuali beberapa kaum Fransiscan yang belakangan - yang menganggap Kitab Suci sebagai sumber terpenting dari ajaran Kristen. Perbedaan antara para reformator dan teologi Abad Pertengahan pada pokok masalah ini menyangkut bagaimana Kitab Suci itu didefinisikan dan ditafsirkan lebih daripada menyangkut status yang diberikan kepadanya. Kita akan membahas pokok-pokok ini lebih jauh dalam bagian yang berikut ini.

Kanon Kitab Suci

Hal pokok bagi program apa pun yang memperlakukan Kitab Suci sebagai normatif adalah menentukan batas-batas Kitab Suci. Dengan kata lain, apakah Kitab Suci itu? Istilah "kanon" (satu kata Yunani yang berarti "aturan" atau "norma") dipergunakan untuk merujuk pada kitab-kitab yang oleh gereja dianggap otentik. Bagi teolog-teolog Abad Pertengahan, "Kitab Suci" berarti "karya-karya yang tercakup dalam Vulgata". Namun, para reformator merasa berwenang untuk mempersoalkan penilaian ini. Sementara semua kitab Perjanjian Baru diterima sebagai kanonis - kekuatiran Luther menyangkut empat kitab hanya memperoleh dukungan sedikit [1] - keragu-raguan muncul menyangkut kanonitas dari sekumpulan karya Perjanjian Lama. Suatu perbandingan isi dari Perjanjian Lama dalam Alkitab Ibrani pada satu pihak dan versi-versi Yunani dan Latin (seperti pada Vulgata) pada pihak lain memperlihatkan bahwa yang belakangan itu memuat sejumlah kitab yang tidak terdapat dalam yang pertama. Para reformator itu berpendapat bahwa tulisan- tulisan Perjanjian Lama yang dapat diakui untuk masuk dalam kanon Kitab Suci hanyalah yang asli terdapat dalam Alkitab Ibrani [2]. Jadi, suatu perbedaan ditarik antara "Perjanjian Lama" dan "Apokrifa"; yang pertama terdiri atas kitab-kitab yang terdapat dalam Alkitab Ibrani, yang belakangan terdiri atas kitab-kitab yang terdapat dalam Alkitab Yunani dan Alkitab Latin (seperti Vulgata), tetapi tidak terdapat dalam Alkitab Ibrani. Sementara beberapa reformator mengakui bahwa karya-karya apokrif itu merupakan bacaan yang dapat membawakan perbaikan, telah ada persetujuan umum bahwa karya-karya ini tidak dapat dipergunakan sebagai dasar untuk ajaran. Namun, teolog-teolog Abad Pertengahan, diikuti oleh Konsili Trente tahun 1546, mendefinisikan "Perjanjian Lama" sebagai "karya-karya Perjanjian Lama yang termuat dalam Alkitab Yunani dan Latin", dan menyingkirkan perbedaan antara "Perjanjian Lama" dan "Apocrypha".

Jadi, suatu perbedaan yang fundamental berkembang antara pengertian- pengertian Katholik Roma dan Protestan tentang apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan istilah "Kitab Suci". Perbedaan ini tetap ada sampai hari ini. Satu perbandingan antara versi-versi Alkitab Protestan - dua yang terpenting adalah New Revised Standard Version (NRSV) dan New International Version (NM) - dengan versi-versi Katholik Roma, seperti Jerusalem Bible, akan mengungkapkan perbedaan- perbedaan ini. Bagi para reformator, sola scriptura dengan demikian tidak hanya mengimplikasikan satu perbedaan, tetapi dua, dari pihak Katholik yaitu pihak yang bertentangan dengan mereka; bukan hanya status yang berbeda yang mereka kenakan terhadap Kitab Suci, tetapi mereka juga tidak sependapat tentang apa sebenarnya Kitab Suci itu. Tetapi apakah relevansi dari perdebatan ini? Satu kebiasaan Katholik yang membuat para reformator merasa sangat tersinggung adalah mengenai doa untuk orang mati. Bagi reformator-reformator itu, kebiasaan ini tidak mempunyai dasar Alkitabiah (ajaran tentang penyucian) dan mendorong pada takhyul rakyat dan eksploitasi oleh gereja. Namun, pihak Katholik, yang berseberangan dengan mereka, dapat menanggapi keberatan ini, dengan menunjuk bahwa kebiasaan berdoa bagi orang mati itu secara eksplisit disebutkan dalam Kitab Suci di dalam 2Makabe 12:40-46. Pada pihak lain, para reformator, dengan menyatakan bahwa kitab ini adalah apokrif (dan karenanya bukan merupakan bagian dari Alkitab) dapat menjawab bahwa setidak-tidaknya dalam pandangan mereka, kebiasaan itu tidaklah Alkitabiah. Ini pantas memperoleh balasan dari pihak Katholik bahwa reformator-reformator itu mendasarkan teologi mereka atas Kitab Suci, tetapi hanya setelah mengeluarkan dari kanon Kitab Suci karya-karya yang kebetulan bertentangan dengan teologi mereka.

Satu hasil dari perdebatan ini adalah produksi dan peredaran daftar- daftar yang sah dari buku-buku yang dianggap "Alkitabiah". Sesi keempat dari Konsili Trente (1546) menghasilkan suatu daftar yang rinci yang memasukkan karya-karya Apokrifa sebagai yang otentik Alkitabiah, sedangkan jemaat-jemaat Protestan di negeri Swis, Perancis, dan di mana saja, memproduksi daftar-daftar yang dengan sengaja menghilangkan rujukan pada karya-karya ini atau juga menunjukkan bahwa mereka tidaklah penting dalam masalah ajaran.

Kewibawaan Kitab Suci

Para reformator melandaskan kewibawaan Kitab Suci dalam hubungannya dengan Firman Allah. Bagi beberapa orang, hubungan itu tampaknya sedikit lebih bernuansa; Kitab Suci memuat Firman Allah. Meskipun demikian, terdapat konsensus bahwa Kitab Suci harus diterima seakan- akan Allah sendirilah yang sedang berbicara. Bagi Calvin, kewibawaan Kitab Suci dilandaskan dalam fakta bahwa para penulis Alkitab adalah "sekretaris (`notaires authentiques` dalam Institutio versi bahasa Perancis) Roh Kudus". Seperti yang dinyatakan oleh Heinrich Bullinger, kewibawaan Kitab Suci adalah mutlak dan otonom, "Oleh karena ia merupakan Firman Allah, Kitab Suci yang kudus itu mempunyai kedudukan dan kredibilitas yang mencukupi di dalam dirinya sendiri dan dari dirinya sendiri." Di sini Injil itu sendirilah yang mampu berbicara untuk dirinya sendiri dan menantang dan memperbaiki gambaran-gambaran tentang dirinya yang tidak memadai dan tidak akurat dalam abad ke-16. Kitab Suci mampu memberikan penilaian atas gereja Abad Pertengahan (dan nyatanya "kurang") dan juga memberikan model bagi gereja Reformed baru yang akan muncul segera sesudah ini.

Sejumlah hal menunjukkan makna penting dari prinsip `sola scriptura` ini. PERTAMA, para reformator itu mempunyai pendapat yang teguh bahwa kewenangan paus-paus, dewan-dewan dan teolog-teolog berada di bawah Kitab Suci itu. Ini tidak berarti bahwa mereka tidak mempunyai kewenangan; seperti yang kita akan lihat kemudian, para reformator itu memberikan kepada dewan-dewan dan teolog-teolog tertentu dalam zaman patristik suatu kewenangan yang sejati dalam hal ajaran-ajaran. Namun, yang hendak dikatakan adalah bahwa kewenangan tersebut berasal dari Kitab Suci dan dengan demikian berada di bawah Kitab Suci. Alkitab, sebagai Firman Allah, harus dipandang sebagai yang lebih tinggi daripada Bapa-bapa Gereja dan dewan-dewan. Seperti yang dikatakan oleh Calvin,

"Karena meskipun kita berpegang bahwa Firman Allah, Firman Allah itu sendiri terletak di seberang lingkup penilaian kita dan bahwa Bapa-bapa Gereja dan dewan-dewan hanya berwibawa sejauh mereka sesuai dengan aturan dari Firman itu, kita masih memberikan kepada dewan-dewan dan Bapa-bapa Gereja kehormatan dan kedudukan seperti yang sesuai untuk mereka miliki di bawah Kristus."

Luther cenderung mempertahankan prinsip `sola scriptura` itu dengan menekankan kekacauan dan keruwetan dari teologi Abad Pertengahan, sementara Calvin dan Melanchthon berpendapat bahwa teologi Katholik yang terbaik (seperti dari Augustinus) mendukung pandangan-pandangan mereka atas prioritas dari pada Kitab Suci.

KEDUA, para reformator itu berpendapat bahwa kewibawaan di dalam gereja tidaklah berasal dari status sang pengemban jabatan, tetapi dari Firman Allah yang dilayani oleh pengemban jabatan itu. Teologi tradisional Katholik cenderung melandaskan kewibawaan dari sang pengemban jabatan di dalam jabatan itu sendiri - contohnya, kewibawaan seorang uskup terletak dalam kenyataan bahwa ia adalah seorang uskup - dan menekankan kesinambungan historis dari jabatan uskup itu dengan era Apostolis. Para reformator melandaskan kewibawaan dari uskup-uskup (atau jabatan yang sepadan dalam gereja Protestan) di dalam kesetiaan mereka pada Firman Allah. Seperti yang dikatakan oleh Calvin mengenai hal ini,

"Perbedaan antara kami dan pengikut paus adalah mereka percaya bahwa gereja tidak dapat menjadi pilar kebenaran kecuali jika ia memimpin Firman Allah. Kami, pada pihak lain menyatakan bahwa ia menjadi pilar kebenaran justru karena ia dengan penuh rasa hormat menundukkan dirinya ke bawah Firman Allah sehingga kebenaran itu dipelihara olehnya dan diteruskan kepada orang-orang lain melalui tangan-tangannya."

Kesinambungan historis tidak begitu penting dalam hubungan dengan proklamasi Firman Allah yang benar itu. Gereja-gereja Reformasi yang terang-terangan memisahkan diri dinyatakan tidak mempunyai kesinambungan historis dengan lembaga-lembaga dari Gereja Katholik. Sebagai contoh, tidak akan ada uskup Katholik yang mentahbiskan pendeta mereka. Namun, para reformator berpendapat bahwa kewibawaan dan fungsi seorang uskup pada akhirnya datang dari kesetiaan mereka pada Firman Allah. Demikian pula keputusan-keputusan para uskup (dan juga dari dewan-dewan dan paus-paus) berwibawa dan mengikat sejauh mereka setia pada Kitab Suci. Bila orang-orang Katholik menekankan pentingnya kesinambungan historis, para reformator dengan bobot yang sama menekankan makna penting dari kesinambungan ajaran. Pada satu pihak gereja-gereja Protestan tidak dapat secara umum mengadakan kesinambungan historis kepada keuskupan (kecuali, seperti dalam kasus reformasi-reformasi di Inggris dan Swedia, karena beralihnya uskup- uskup Katholik), namun pada pihak lain mereka dapat memberi kesetiaan yang diperlukan itu pada Kitab Suci - jadi, dalam pandangan mereka, mengesahkan jabatan-jabatan gerejawi Protestan. Tidak mungkin ada garis hubung historis yang tidak terputus-putus antara pemimpin- pemimpin Reformasi dan uskup-uskup gereja mula-mula, tetapi para reformator itu berpendapat bahwa karena mereka percaya dan mengajarkan iman yang sama seperti uskup-uskup gereja mula-mula itu (dibandingkan dengan Injil yang diselewengkan dalam gereja Abad Pertengahan), kesinambungan yang diperlukan itu bagaimanapun juga ada.

Dengan demikian prinsip sola scriptura mencakup klaim bahwa kewibawaan gereja dilandaskan di dalam kesetiaannya pada Kitab Suci. Namun, lawan-lawan Reformasi dapat mengambil satu diktum (ucapan) dari Augustinus, "Aku tidak pantas mempercayai Injil kecuali jika hatiku digerakkan oleh Gereja Katholik". Tidakkah keberadaan yang sebenarnya dari kanon Kitab Suci menunjuk kepada gereja yang mempunyai kewibawaan atas Kitab Suci? Bagaimanapun juga, gerejalah yang menentukan apa "Kitab Suci" itu - dan hal ini memberi kesan bahwa gereja mempunyai kewenangan atas dan tidak bergantung pada, Kitab Suci. Jadi, John Eck, lawan Luther dalam Perdebatan Leipzig yang terkenal tahun 1519 itu, berpendapat bahwa "Kitab Suci tidaklah otentik tanpa kewibawaan gereja". Ini dengan jelas menimbulkan pertanyaan tentang hubungan antara Kitab Suci dan tradisi.

Peran Tradisi

Prinsip `sola scriptura` dari para reformator itu tampaknya akan menyingkirkan rujukan pada tradisi di dalam pembentukan ajaran Kristen. Namun, dalam kenyataannya reformator-reformator besar itu mempunyai pemahaman yang sangat positif terhadap tradisi, seperti yang kita akan lihat.

Dalam bagian yang lebih dahulu, kita mencatat adanya dua pengertian mengenai tradisi yang menjadi karakteristik Abad Pertengahan, "Tradisi 1" dan "Tradisi 2". Prinsip `sola scriptura` tampaknya akan merujuk pada suatu pengertian dari teologi yang tidak memberikan peran apa pun untuk tradisi - suatu pengertian yang kita dapat sebut "Tradisi 0". Tiga pengertian utama tentang hubungan antara Kitab Suci dan tradisi yang ada dalam abad ke-16 dapat diringkaskan sebagai berikut.
    Tradisi 0: Reformasi radikal.
    Tradisi 1: Reformasi yang mengaku negara (Reformasi magisterial).
    Tradisi 2: Konsili Trente.

Pertama-tama, analisis ini tampaknya dapat mengagetkan. Tidakkah para reformator itu menolak tradisi demi ajaran hanya oleh kesaksian Alkitabiah? Namun, dalam kenyataannya reformator-reformator itu mempunyai keprihatinan terhadap pembersihan tambahan-tambahan manusia pada kesaksian Alkitabiah itu atau terhadap penyimpangan-penyimpangan dari padanya. Paham tentang suatu "penafsiran tradisional atas Kitab Suci" - yang termasuk di dalam konsep "Tradisi 1" - benar-benar dapat diterima oleh reformator-reformator magisterial asalkan penafsiran tradisional ini dapat dibenarkan.

Satu-satunya sayap dari Reformasi yang menerapkan secara konsisten prinsip `sola scriptura` adalah Reformasi radikal atau "Anabaptisme". Bagi orang-orang radikal itu (atau "fanatik", julukan yang diberikan Luther untuk mereka), seperti Thomas Muntzer dan Caspar Schwenkfeld, setiap individu mempunyai hak untuk menafsirkan Kitab Suci sesuka hati masing-masing dengan tunduk pada tuntunan Roh Kudus. Bagi Sebastian Franck yang radikal itu, "Alkitab adalah suatu kitab yang dimeteraiksan oleh tujuh meterai yang tidak dapat dibuka oleh seorang pun kecuali ia mempunyai kunci Daud, yang adalah pencerahan Roh". Dengan demikian, jalan terbuka bagi individualisme, dengan penilaian (pendapat) pribadi dari seorang individu yang muncul mengatasi penilaian yang bersifat kelompok dari gereja. Jadi golongan radikal itu menolak praktik kebiasaan baptisan anak (yang tetap dipertahankan oleh Reformasi magisterial) karena dianggap tidak Alkitabiah (tidak ada rujukan yang jelas untuk praktik kebiasaan itu di dalam Perjanjian Baru). Hal yang serupa, ajaran-ajaran seperti Trinitas dan keilahian Kristus ditolak sebagai ajaran atas dasar bahwa pondasi Alkitabiahnya tidak memadai. "Tradisi 0" menempatkan penilaian pribadi dari seseorang berada di atas penilaian gerejawi dari gereja Kristen menyangkut penafsiran akan Kitab Suci. Itu merupakan suatu resep untuk anarki - dan, seperti yang diperlihatkan secara menyedihkan dalam sejarah Reformasi radikal itu, anarki itu segera berkembang.

Seperti yang telah dikemukakan, Reformasi magisterial secara teologis bersifat konservatif. Ia mempertahankan ajaran-ajaran gereja yang paling tradisional - seperti keilahian Kristus dan ajaran tentang Trinitas - oleh karena keyakinan para reformator itu bahwa penafsiran- penafsiran tradisional atas Kitab Suci ini benar. Hal yang sama, banyak praktik kebiasaan tradisional (seperti baptisan anak) dipertahankan oleh karena kepercayaan para reformator bahwa itu semua konsisten dengan Kitab Suci. Reformasi magisterial dengan sedih menyadari akan bahaya individualisme dan berusaha menghindari ancaman ini dengan menekankan penafsiran tradisional gereja atas Kitab Suci yang menempatkan penafsiran tradisional sebagai yang dianggap benar. Kritik mengenai ajaran ditujukan terhadap lingkup teologi atau praktik kebiasaan Katholik yang tampak telah menyeleweng terlalu jauh atau telah bertentangan dengan Kitab Suci. Oleh karena sebagian besar perkembangan ini terjadi dalam Abad Pertengahan, tidaklah mengherankan bila reformator-reformator itu menyebut periode tahun 1200-1500 sebagai "zaman kerusakan" atas "periode penyelewengan" yang membuat mereka merasa mempunyai misi untuk membaruinya. Hal yang sama, hampir tidak mengherankan bila kita menemukan reformator-reformator itu mengacu kepada Bapa-bapa Gereja yang secara umum dianggap sebagai penafsir-penafsir Kitab Suci yang dapat diandalkan [3].

Pokok ini sangatlah penting dan telah tidak mendapatkan perhatian sewajarnya. Salah satu alasan mengapa reformator-reformator itu menghargai tulisan-tulisan Bapa-bapa Gereja, khususnya Augustinus, adalah bahwa mereka melihat Bapa-bapa Gereja itu sebagai eksponen- eksponen dari teologi Alkitabiah. Dengan kata lain, reformator- reformator itu percaya bahwa Bapa-bapa Gereja itu sedang berusaha untuk mengembangkan suatu teologi yang hanya didasarkan atas Kitab Suci - yang tentu saja tepat sama seperti apa yang juga tengah mereka coba lakukan pada abad ke-16. Memang, metode-metode tekstual dan filologis baru yang kini dapat diperoleh para reformator itu mengandaikan bahwa mereka dapat melakukan koreksi atas Bapa-bapa Gereja dalam pokok-pokok yang rinci; tetapi reformator-reformator itu bersedia menerima "kesaksian patristis" itu sebagai kesaksian yang secara umum dapat diandalkan (3). Oleh karena kesaksian itu mencakup ajaran-ajaran seperti Trinitas dan keilahian Kristus dan praktik- praktik kebiasaan seperti baptisan anak, reformator-reformator itu cenderung untuk menerima hal-hal ini sebagai yang secara otentik alkitabiah. Dengan demikian akan menjadi jelas bahwa penghargaan yang tinggi terhadap penafsiran tradisional atas Kitab Suci ini (yakni "Tradisi 1") memberikan Reformasi magisterial arah yang kuat mengenai konservatisme dalam ajaran.

Pemahaman tentang prinsip `sola scripture` ini memberikan kemungkinan kepada para reformator untuk mengkritik kedua lawan mereka - pihak pertama adalah golongan radikal dan pihak kedua adalah golongan Katholik. Orang-orang Katholik berpendapat bahwa reformator-reformator itu mengangkat penilaian (pendapat) pribadi di atas penilaian (pendapat) yang bersifat kelompok dari gereja. Reformator-reformator itu menjawab bahwa mereka tidak melakukan hal semacam itu; mereka hanya memulihkan kembali penilaian gerejawi itu pada keadaannya yang semula dengan melawan kemerosotan ajaran dari Abad Pertengahan dengan suatu acuan pada penilaian gerejawi dari zaman patristis. Namun, orang-orang radikal tidak memberikan tempat apa pun bagi "kesaksian Bapa-bapa Gereja". Seperti yang ditulis oleh Sebastian Franck tahun 1530, "Ambrosius, Augustinus, Hieronimus, Gregorius yang bodoh - orang-orang yang tidak mengenal Tuhan, jadi tolonglah aku, ya Allah, dan mereka pun tidak diutus oleh Allah untuk mengajar. Lagi pula mereka semua adalah murid-murid si Anti-Kristus". Tradisi 0 tidak memberikan tempat bagi penafsiran tradisional atas Kitab Suci. Para reformator magisterial dengan demikian menolak pengertian yang radikal akan peran Kitab Suci ini dengan menganggapnya sebagai individualisme murni, suatu resep untuk kekacauan teologis.

Karena itu, akan menjadi jelas bahwa sama sekali keliru mengatakan bahwa reformator-reformator magisterial itu mengangkat penilaian pribadi di atas penilaian gerejawi dari gereja atau bahwa mereka merosot ke dalam suatu bentuk individualisme. Penilaian ini pastilah benar untuk Reformasi radikal, satu-satunya sayap dari Reformasi yang telah benar-benar konsisten dalam menerapkan prinsip `sola scriptura`. Betapa sering ide-ide yang asli, radikal, dari suatu gerakan seperti Reformasi ditolak karena ide-ide yang lebih konservatif daripada yang dikembangkan oleh gerakan itu. Benar bahwa suatu variasi dalam derajat tertentu dapat ditemukan di dalam aliran utama dari Reformasi mengenai masalah ini: Zwingli lebih dekat dengan posisi radikal itu daripada Calvin, sedangkan Luther lebih dekat dengan posisi Katholik. Tetapi tidak seorang pun, ini harus ditekankan, bersedia membuang konsep tentang penafsiran tradisional atas Kitab Suci demi alternatif radikal itu. Seperti yang diperhatikan dengan muram oleh Luther bahwa akibat yang tidak dapat dihindarkan dari pendekatan seperti itu adalah kekacauan, suatu "Babel baru". Mungkin Luther sudah mempunyai simpati untuk pandangan-pandangan John Dryden dalam abad berikutnya:

Kitab itu dengan demikian diletakkan di dalam tangan setiap orang, Yang menganggap dirinya masing-masing dapat memahami paling baik, Aturan yang umum dibuat sasaran umum, Dan terletak di dalam tangan rakyat jelata.

Konsili Trente, yang bersidang dalam tahun 1546, menanggapi ancaman dari Reformasi dengan menegaskan suatu teori dua sumber. Penegasan oleh Tradisi 2 dari Reformasi Katholik ini menyatakan bahwa iman Kristen menjangkau setiap generasi melalui dua sumber: Kitab Suci dan suatu tradisi yang tidak tertulis. Tradisi yang di luar Alkitab ini harus diperlakukan sebagai yang memiliki kewibawaan yang setara dengan Kitab Suci. Dalam membuat pernyataan ini, Konsili Trente tampaknya telah mengangkat yang belakangan dan yang kurang berpengaruh, dari dua pengertian Abad Pertengahan yang utama tentang "tradisi" dengan meninggalkan yang lebih berpengaruh itu untuk para reformator. Penting dicatat bahwa dalam tahun-tahun terakhir ini sudah ada suatu "revisionisme" dalam derajat tertentu dalam lingkungan-lingkungan Katholik Roma mengenai masalah ini dengan beberapa teolog masa kini yang berpendapat bahwa Konsili Trente meniadakan pandangan bahwa "Injil hanyalah sebagian ada di dalam Kitab Suci dan sebagian ada di dalam tradisi-tradisi" [4].


Catatan Kaki:
  • [1] Roland H. Bainton, "The Bible in the Reformation", dalam Cambridge History of the Bible, jld. 3, hal. 1-37, khususnya hal 6-9.
  • [2] Untuk diskusi lebih lanjut tentang masalah kanon Perjanjian Lama, lihat Roger T. Becjwith, The Old Testament Canon of the New testament Church (London, 1983).
  • [3] Pierre Fraenkel, Testimonia Patrum: The Function of the Patristic Argument in the Theology of Philip Melanchthon (Geneva, 1961); McGrath, Intellectual Originus, hal. 175-190.
  • [4] Misalnya, Tavard, Holy Writ or Holy Church?, hal. 208.

Sumber: 

Bahan di atas dikutip dari sumber:

Judul buku : Sejarah Pemikiran Reformasi
Penulis : Alister E. McGrath
Penerbit : PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2000
Hal : 181 - 191

Komentar


Syndicate content