Tentang KamiArtikel TerbaruUpdate Terakhir |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SOTeRI Introduksi pada Iman Reformed
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Ada orang-orang dari gereja aliran Reformed yang mengaku menganut teologi Reformed, tapi pola pikirnya ternyata tidak cocok dengan teologi Reformed. Ada juga orang-orang bukan dari gereja aliran Reformed yang mengaku menganut teologi Reformed, tapi ternyata mereka tidak memahami teologi Reformed secara komprehensif. Tapi (mungkin) ada juga orang-orang yang merasa tidak menganut teologia Reformed, tapi justru konsep berpikirnya sejalan dengan teologi Reformed. Jadi, ternyata ada kebingungan untuk memahami arti sebenarnya teologi Reformed itu. Tulisan yang saya kutip dari jurnal Veritas, terbitan SAAT di bawah ini mudah-mudahan dapat menolong Anda yang sedang merasa mengalami krisis identitas dalam mengenali aliran teologi "Reformed"-nya. Artikel ini cukup panjang, karena itu saya membaginya menjadi dua bagian. Bagian pertama ini adalah untuk edisi Maret sedangkan bagian kedua akan saya kirim untuk edisi bulan April. Selamat menyimak. In Christ, Yulia < yulia(a t)in-Christ.net >
Penulis:
John M. Frame
Edisi:
edisi 097/III/2008
Tanggal:
14-3-2008
Isi:
PENDAHULUAN Ketika pertama kali saya datang ke Seminari Westminster sebagai mahasiswa (1961), sebagian besar mahasiswa berlatar belakang Reformed. Banyak mahasiswanya telah mendapatkan pengajaran di sekolah-sekolah dan universitas-universitas Calvinistis;(2) bahkan telah mempelajari katekismus dan pengakuan-pengakuan iman Reformed. Hari ini hal itu jarang ditemui. Semakin banyak mahasiswa yang datang ke Westminster berasal dari latar belakang non-Reformed, malahan ada yang baru mengalami pertobatan. Mereka yang berasal dari latar belakang Reformed pun tidak selalu mengetahui katekismus mereka dengan baik. Banyak mahasiswa Westminster ketika baru pertama kali datang bahkan tidak mengerti dengan jelas posisi doktrin Westminster. Mereka tahu bahwa Westminster memegang kuat pandangan otoritas Alkitab dan ineransi; mereka tahu bahwa Westminster berpegang pada doktrin-doktrin fundamental kekristenan evangelikal. Mereka juga tahu bahwa kami menjelaskan dan memertahankan doktrin-doktrin ini secara kesarjanaan yang superior. Namun, kadang-kadang tidak semua menyadari kenyataan bahwa Westminster adalah sebuah institusi pengakuan iman, yang menganut tradisi doktrinal historis tertentu, yaitu iman Reformed. Saya sangat bergembira semua murid ini ada di sini! Saya sangat senang karena Westminster menarik murid-murid yang berasal jauh di luar lingkaran pengakuan iman normal kami. Tetapi kehadiran mereka mengharuskan adanya beberapa pengajaran yang sangat mendasar mengenai posisi doktrin seminari ini. Memperkenalkan para mahasiswa pada iman Reformed sedini mungkin di awal karier mereka di seminari merupakan hal yang esensial. Iman Reformed itu yang memberikan energi dan mengarahkan semua pengajaran di sini. Murid-murid harus siap untuk itu. Untuk kepentingan itulah esai ini ditulis. Saya juga memiliki alasan lain untuk menulis introduksi ini. Ketika Saudara memulai studi di seminari, Saudara akan melihat bahwa ada berbagai variasi di dalam tradisi Reformed secara umum. Saudara akan belajar tentang "hyper-Calvinism", "theonomy", "antinomianism", "presuppositionalism", "evidentialism", "perspectivalism", "traditionalism", dan lain-lain. Beraneka ragam nama yang dipakai untuk menyebut diri kita sendiri dan untuk menyebut orang lain. Bukan hal yang selalu mudah untuk menentukan siapa yang "Reformed sejati" dan siapa yang bukan, atau yang lebih penting lagi, siapa yang "benar- benar alkitabiah". Dalam tulisan ini, paling sedikit, saya ingin memerlihatkan kepada Saudara di mana saya berpijak dalam tradisi Reformed dan memberikan sedikit bimbingan serta menolong Saudara untuk menemukan arah melewati keragaman ini. Tulisan ini hanyalah suatu "introduksi" kepada iman Reformed, jadi bukan merupakan suatu analisis yang mendalam. Namun, jelas tetap bermanfaat untuk mengetahui gambaran sekilas pada saat awal studi Saudara. Bersama-sama dengan tulisan ini, saya mengharapkan Saudara membaca Pengakuan Iman Westminster, Larger dan Shorter Catechism, serta "tiga bentuk kesatuan" dari gereja-gereja Reformed di benua Eropa: Pengakuan Iman Belgia, Katekismus Heidelberg, serta Kanon-kanon Dordt. Semua itu merupakan ringkasan yang indah dari posisi doktrin Reformed, yang disajikan secara utuh, ringkas, dan tepat. Heidelberg adalah salah satu karya devosional yang agung di sepanjang masa. Saya juga percaya ada banyak manfaat yang bisa didapatkan dari pembukaan ringkasan teologi Reformed karya Cornelius Van Til, "The Defense of the Faith".(3) Sebelum saya sampai pada hal-hal doktrinal yang substansif, izinkan saya untuk mengajukan pertanyaan: "Mengapa kita harus berpegang pada pengakuan apa pun, selain Alkitab?" Ini merupakan pertanyaan yang baik. Di dalam hati, saya berharap tidak perlu ada kredo atau ada denominasi-denominasi yang berpegang pada kredo itu. Denominasi- denominasi pada tahap tertentu, selalu akibat dari dosa perpecahan.(4) Saya berharap ketika seseorang bertanya tentang afiliasi religius saya, dengan sederhana saya dapat berkata, "Kristen." Dan ketika seseorang menanyakan keyakinan agama saya, saya dapat dengan sederhana berkata, "Alkitab." Sayangnya, jawaban-jawaban sederhana seperti itu tidak cukup lagi. Bermacam-macam orang mengaku Kristen pada hari ini, bahkan mereka yang percaya Alkitab, namun sebenarnya jauh dari kerajaan Kristus. Di antaranya kaum liberal, penganut bidat, dan penganut sinkretis zaman baru. Ketika kita mengunjungi tetangga kita dan mengajaknya ke gereja, dia berhak untuk mengetahui apa yang kita percayai. Jika Saudara mengatakan bahwa Saudara adalah seorang Kristen dan percaya Alkitab, dia berhak untuk bertanya lebih lanjut, "Menurut Saudara, (dan gereja Saudara) apa yang mereka ajarkan tentang Alkitab?" Itu merupakan pertanyaan di mana kredo dan pengakuan iman dirancang untuk menjawabnya. Sebuah kredo hanyalah suatu ringkasan kepercayaan dari seseorang atau dari sebuah gereja terhadap apa yang diajarkan Alkitab. Dan tentu saja, tidak ada yang keberatan untuk menulis ringkasan seperti itu bagi kenyamanan anggota-anggota gereja dan orang-orang yang membutuhkannya. Pengakuan iman bukan Kitab Suci, dan mereka tidak seharusnya diperlakukan sebagai normatif yang tanpa salah dan tertinggi. Tentu saja, saya percaya bahwa sangat penting bagi sebuah persekutuan gereja dimungkinkan untuk merevisi pengakuan iman, dan untuk tujuan tersebut, dimungkinkan juga bagi para jemaat dan para pejabat gereja untuk tidak sepaham dengan pengakuan iman tersebut sampai batas-batas tertentu. Kalau tidak, itu berarti pengakuan iman secara praktis dapat dikatakan, otoritasnya diangkat pada posisi setara dengan Kitab Suci. Pandangan "ketat" yang menyatakan bahwa para pendeta tidak pernah diizinkan untuk mengajar sesuatu yang bertentangan dengan rincian yang ada di dalam kredo harus dilihat sebagai cara untuk melindungi ortodoksi dari gereja itu. Namun, menurut pandangan saya, pandangan semacam itu sebenarnya menentang ortodoksi, yaitu menentang otoritas Alkitab dan kecukupan Alkitab. Dalam pandangan semacam itu, maka Kitab Suci tidak diberi kebebasan untuk mereformasi gereja sesuai dengan kehendak Allah. Namun kredo-kredo itu sendiri sebenarnya sah, bukan hanya bagi gereja- gereja dan individu-individu, melainkan juga bagi seminari-seminari. Seminari-seminari perlu juga untuk dapat memberitahukan kepada para pendukung, para mahasiswa, dan para calon mahasiswa tentang doktrin macam apa yang diajarkan dalam kurikulum seminari. Iman Reformed merupakan penemuan yang indah bagi banyak orang Kristen. Saya mendengar banyak orang menyaksikan bahwa pada saat mereka mulai mempelajari teologi Reformed, mereka melihat untuk pertama kali bahwa Alkitab benar-benar dapat dipahami. Dalam bentuk teologi yang lain, ada banyak eksegesis yang artifisial: pemilahan ayat-ayat yang tidak bisa dipercaya, merasionalisasi "bagian-bagian yang sukar", memasukkan skema di luar Kitab Suci atas, teks Alkitab. Teologi Reformed memperlakukan Kitab Suci secara natural, sebagaimana para penulis (manusia dan Allah) maksudkan dengan jelas dalam ayat itu. Tentu saja ada kesulitan-kesulitan di dalam sistem Reformed sebagaimana yang ada pada lainnya. Tetapi banyak orang, pada saat mereka mulai membaca Alkitab di bawah pengajaran Reformed, mengalami peningkatan yang besar dalam pemahaman dan keyakinan. Firman Tuhan berbicara pada mereka dalam kuasa yang lebih besar dan memberikan mereka suatu motivasi yang lebih besar pada kekudusan. Seminari Westminster tidak menuntut mahasiswa mereka untuk memiliki keyakinan Reformed sewaktu mereka mendaftar atau sewaktu mereka lulus. Jadi, mereka harus memutuskan sendiri. Tetapi dari pengalaman saya, terlihat bahwa para mahasiswa Westminster dari latar belakang non- Reformed yang terbuka pada pendekatan Reformed, pada umumnya mereka akhirnya memeluk pandangan itu. Sepanjang 35 tahun saya bergabung dengan Westminster, saya dapat menghitung dengan jari jumlah mahasiswa yang sepengetahuan saya telah lulus dengan berpegang pada posisi Arminian. Hal itu bukan disebabkan karena sekolah menekan para mahasiwa untuk menyetujui posisi doktrinal dari sekolah. Kebanyakan dari para dosen berusaha untuk menghindari melakukan hal itu. Para dosen berusaha untuk memberikan kepada mahasiswa kemungkinan sebesar mungkin untuk mengekspos diri mereka pada teologi Reformed dan untuk membandingkannya dengan teologi non-Reformed. Pada waktu mereka selesai mempelajarinya, saya percaya mereka akan bersukacita sebagaimana halnya dengan kami menerima iman Reformed. Apakah iman Reformed itu? Berikut ini argumen saya, bahwa: (1) iman Reformed adalah evangelikal; (2) iman Reformed adalah predestinarian; dan (3) iman Reformed mengajarkan kovenan ketuhanan Yesus Kristus secara komprehensif. IMAN REFORMED ADALAH EVANGELIKAL Sering kali, sulit bagi orang Kristen Protestan yang percaya pada Alkitab untuk mengetahui mereka harus menyebut diri mereka apa. Kata "Kristen" itu sendiri dan pernyataan "orang Kristen yang percaya Alkitab", bisa juga kabur, bahkan menyesatkan (lihat pembahasan sebelumnya). "Ortodoksi" memberikan kesan tentang para imam yang berjanggut. "Konservatif" berbunyi seperti suatu posisi politikus atau seorang yang temperamental dibanding dengan suatu keyakinan religius. "Fundamentalis" pada hari ini memiliki konotasi yang tidak menyenangkan, yaitu dianggap sebagai antiintelektualisme, meskipun pada masa lampau fundamentalis diaplikasikan pada sarjana-sarjana Kristen yang sangat agung. Saya pikir istilah yang paling baik untuk menjelaskan orang Kristen Protestan yang percaya pada Alkitab adalah istilah "evangelikal", meskipun istilah itu telah menjadi rancu sepanjang sejarah. Istilah itu digunakan oleh para reformator Lutheran untuk mengindikasikan karakter dari gerakan itu, dan sampai sekarang di benua Eropa, kata "evangelikal" kurang lebih bersinonim dengan "Lutheran". Namun, di dunia yang berbahasa Inggris, kebanyakan penggunaan istilah "evangelikal" dikaitkan dengan kebangunan rohani dari "kebangkitan evangelikal" di abad delapan belas di bawah pengkhotbah John Wesley, George Whitefield, dan yang lainnya. Teologi Wesley adalah Arminian, sedangkan teologi Whitefield adalah Calvinis; jadi gerakan evangelikal itu sendiri memiliki unsur-unsur Arminian dan Calvinistis. Banyak denominasi-denominasi di dunia yang berbahasa Inggris sangat dipengaruhi oleh gerakan ini. Pada abad kesembilan belas, banyak denominasi yang tadinya dipengaruhi oleh gerakan evangelikal telah menjadi liberal. Bukan merupakan hal yang aneh untuk mendengar orang liberal seperti Charles Brigg menyebut dirinya sebagai "evangelikal"; "evangelikal liberal" pada waktu itu tidak dianggap kontradiksi. Orang masih mendengar istilah itu dalam referensi pada istilah teologis Inggris, meskipun penggunaannya tidak konsisten pada poin itu. Tetapi di Amerika, istilah itu sejak Perang Dunia II telah secara umum dibatasi secara teologi pada posisi konservatif. Setelah perang itu, sejumlah orang Kristen konservatif tiba pada konklusi bahwa "fundamentalisme" merupakan suatu konsep yang negatif dan mereka mengadopsi istilah "Evangelikal" sebagai suatu deskripsi yang menjelaskan dirinya sendiri, kebalikan dari penggunaan pada abad kedelapan belas. Di antara mereka adalah Carl F. H. Henry, Harold John Ockenga, dan J. Howard Pew penganut teologi Calvinistis; yang lainnya bukan penganut teologi Calvinistis. Jadi, "Evangelikal" menjadi sebuah payung yang menaungi orang-orang Kristen Reformed dan non-Reformed, yang menganut pandangan yang tinggi terhadap Kitab Suci dan penganut dari "iman yang fundamental". Tidak semua orang Reformed telah bersedia untuk menerima sebutan "Evangelikal". Di satu sisi, orang Reformed kadang-kadang ada yang tidak menyetujui kebangunan rohani, meskipun sebagian pengkhotbah kebangunan rohani seperti Whitefield adalah Reformed. Jadi, sebagian orang Reformed telah enggan untuk menerima suatu sebutan yang muncul dalam konteks kebangunan rohani. Di sisi lain, karena banyak orang Reformed tidak mau bergabung dengan Arminian yang memiliki sebutan yang sama, karena kepercayaan bahwa ada perbedaan yang besar secara teologis. Jadi, bagi sebagian Calvinis, termasuk Cornelius Van Til,(5) "Evangelikal" berarti "Protestan yang non-Reformed". Saya menolak penggunaan ini, terlepas dari pendapat yang diberikan oleh mentor saya, Van Til. Penggunaan yang diberikan oleh Van Til tidak historis, karena secara historis kata "Evangelikal" mencakup Calvinis. Lebih penting lagi, bagi saya kelihatannya kita memang membutuhkan istilah untuk menyatukan orang-orang Protestan yang percaya Alkitab, dan sebutan yang cocok untuk tujuan itu hanyalah "Evangelikal".(6) Menurut pandangan saya, kaum Reformed dan kaum Evangelikal disatukan atas dasar banyak poin doktrinal yang signifikan, bisa diargumentasikan bahwa keduanya disatukan atas dasar yang paling penting. Jadi, saya tetap menyatakan bahwa iman Reformed adalah Evangelikal. Apakah kepercayaan utama dari teologi Evangelikal? Seorang Evangelikal, berdasarkan definisi saya, adalah seseorang yang mengakui teologi Protestan Historis. Hal itu mencakup kepercayaan-kepercayaan berikut ini:
Pernyataan-pernyataan ini dapat disebut "hal-hal yang fundamental dari iman". Mereka merepresentasikan pusat dari injil biblikal, dan di atas injil ini, kaum Reformed disatukan dengan semua kaum Evangelikal. Saya terluka pada waktu mendengar kaum Reformed mengatakan bahwa "kami tidak memiliki hal yang sama dengan Arminian." Sebenarnya, kita memiliki injil biblikal yang sama dengan mereka, dan itu hal yang besar. Saya pasti berargumen bahwa teologi Arminian tidak konsisten dengan injil itu. Tetapi saya tidak dapat meragukan bahwa kebanyakan dari mereka percaya injil itu dari hati mereka. Berdasarkan pemahaman ini, kaum Reformed ini tidak hanya berdiri dengan saudara-saudari Arminian mereka di dalam mengakui kebenaran biblikal, tetapi mereka juga bersama-sama melawan kekorupan yang sama dari iman. Kita berdiri bersama semua kaum Evangelikal melawan humanisme sekuler, bidat, gerakan Zaman Baru, dan tradisi liberal dalam teologi. "Liberal" yang saya maksudkan di sini adalah jenis teologi apa pun yang menyangkali hal-hal "fundamental" yang mana pun. Dalam pengertian ini, saya mencakupkan sebagai yang "liberal" bukan hanya kaum modern pada zaman J. Gresham Macken,(7) termasuk juga tradisi neo-ortodoksi (Barth dan Brunner, kaum "modernis yang baru" menurut Van Til), dan gerakan terkini seperti teologi pembebasan, teologi proses, dan teologi pluralis. Gerakan yang lebih terkini sering dikontraskan dengan liberalisme, tetapi seperti yang saya percaya, kita butuh satu istilah untuk menjelaskan semua orang Protestan yang percaya pada Alkitab, demikian pula saya percaya kita butuh satu istilah untuk menjelaskan orang-orang yang mengaku Kristen, yang menyangkali satu atau lebih dari yang fundamental; dan "liberalisme" merupakan istilah yang terbaik untuk tujuan itu. Saya akan meringkaskan beberapa rumusan yang biasanya ada dalam tradisi liberal dalam kategori yang diselaraskan dengan pernyataan- pernyataan 1 -- 6 di atas.
Sebagaimana yang kita lihat, injil Evangelikal sangat berbeda dengan penyangkalan liberal akan injil itu. Oleh karena itu, sangatlah penting bagi kita untuk memiliki posisi yang jelas dalam hal ini. Saya secara khusus mendorong mereka yang mulai belajar teologi untuk memerhatikan isu ini secara pribadi. Ini adalah waktu di mana Saudara harus jelas tentang relasi Saudara dengan Allah. Apakah Saudara percaya bahwa Allah yang dinyatakan di Kitab Suci ada? Dan bahwa Ia adalah Tuhan yang agung dari langit dan bumi? Apakah Saudara percaya bahwa Saudara secara pribadi berdosa dan Saudara hanya layak untuk mendapatkan murka-Nya dan hukuman yang kekal? Apakah Saudara percaya berdasarkan perbuatan Saudara sendiri (termasuk di antaranya kehadiran di gereja, pelayanan Kristen, benar secara intelektual) dapat menyelamatkan Saudara, atau hanya di dalam kebenaran yang sempurna dari Kristus? Apabila Saudara tidak pernah menjawab pertanyaan sejenis ini, saya mendorong Saudara demi Kristus untuk menjawabnya sekarang! Tidak semua orang yang masuk seminari adalah orang percaya dalam pengertian semacam ini. Adalah mudah untuk menipu diri sendiri pada waktu Saudara telah melalui kehidupan Kristen. Semasa Saudara belajar di seminari, kembali ke dasar dengan cara ini makin lama akan makin sulit. Pada saat Saudara menjadi ahli teologi, Saudara bisa menjadi bangga atas pencapaian Saudara, dan karena itu Saudara tidak sabar terhadap siapa pun yang menyatakan bahwa Saudara butuh menjadi seperti anak kecil dan menaruh seluruh kepercayaan Saudara pada hikmat orang lain. "Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri." (Efesus 2:8-9) IMAN REFORMED ADALAH PREDESTINARIAN Istilah "Reformed" untuk alasan tertentu pada mulanya dikaitkan dengan cabang Reformasi dari Swiss (Zwingli, Bucer, Bullinger, Calvin), dan kemudian menjadi sinonim dengan "Calvinis". Pengajaran yang paling kontroversial dari orang-orang ini adalah doktrin predestinasi mereka. Doktrin ini sering kali dilihat sebagai perbedaan yang utama dari pengajaran Reformed dengan bentuk-bentuk evangelikalisme lainnya. Pada tahun 1618 -- 1619, di sebuah pertemuan sidang sinode Reformed di Dordrecht (atau Dort) di Belanda, dipresentasikan lima "poin" ringkasan dari pengajaran Jacob Arminius ("Arminianisme"). Sebagai oposisi terhadap kelima poin itu, sinode mengadopsi apa yang disebut dengan "lima poin Calvinisme", yang merupakan ringkasan doktrin predestinasi. Poin-poin ini dikenal dengan inisial dari bunga Belanda yang indah, yaitu TULIP: Total Depravity, Unconditional Election, Limited Atonement, Irresistible Grace, Preseverance of the Saints. Kita tidak boleh melihat kelima poin ini sebagai ringkasan dari sistem doktrin dari Reformed. Di Dort, kelima topik itu dibahas berdasarkan pilihan kaum Arminian, bukan kaum Calvinis. Kelima poin itu sebenarnya merupakan suatu ringkasan dari "apa yang tidak disukai oleh kaum Arminian tentang Calvinisme", bukan merupakan ringkasan dari Calvinisme itu sendiri. Poin-poin itu bukan meringkas Calvinisme, melainkan aspek-aspek kontroversial dari Calvinisme. Saya pikir apabila sidang itu diminta untuk memberikan ringkasan iman Reformed yang sebenarnya, maka mereka akan menyusunnya secara berbeda, yaitu lebih seperti "Pengakuan-pengakuan Belgic dan Westminster". Poin kontroversial tidak harus merupakan keprihatinan fundamental dari suatu sistem. Sehubungan dengan iman Reformed, sistem doktrinalnya lebih dari lima poin; iman Reformed merupakan pemahaman yang komprehensif dari Kitab Suci, jadi merupakan suatu pandangan komprehensif dari wawasan dunia dan wawasan kehidupan. Namun demikian, sekarang saya akan secara singkat membahas "kelima poin" itu. Meskipun sentralitas "kelima poin" ini bisa berlebihan, namun mereka tentu saja penting dan sering disalah mengerti.
Catatan Kaki:
(Bersambung) Diambil dari:
Kejutan dari Seorang Skeptis
Editorial:
Dear Reformed Netters, Artikel yang saya kirimkan ke Anda ini sangat menarik untuk disimak. Kiranya dapat menjadi perenungan bagi kita menjelang perayaan Paskah tahun ini. Doa saya, kita semua semakin menghargai pentingnya kematian Kristus bagi iman keselamatan kita. Selamat merayakan Hari Paskah 2008. Redaksi, Yulia Oeniyati < yulia(at)in-christ.net >
Penulis:
Lee Strobel
Edisi:
096/II/2008
Tanggal:
14-2-2008
Isi:
Karena menganggap diri seorang ateis, maka saya mengawali perjalanan spiritual saya dengan cara yang tidak biasa. Saya minta pertolongan Tuhan. Saya pikir-pikir, apa ruginya? Jika saya ternyata benar dan Tuhan sedang tidak ada di surga, maka saya hanya akan kehilangan waktu selama tiga puluh detik. Jika ternyata saya salah dan Tuhan menjawab saya, maka saya akan mendapat untung besar. Maka, saat sendirian di dalam kamar; pada 20 Januari 1980, saya panjatkan doa demikian ini: "Tuhan, aku bahkan tidak percaya Engkau ada di sana, tetapi jika memang benar Engkau ada, aku ingin menemukan-Mu. Aku benar-benar ingin mengenal kebenaran-Mu. Maka jika Engkau memang ada, mohon nyatakan diri-Mu padaku." Apa yang tidak saya ketahui pada waktu itu yaitu, doa sederhana ini melontarkan saya selama hampir dua tahun ke dalam petualangan pencarian yang berakhir dengan sebuah revolusi dalam hidup saya. Berbekal pelatihan bidang hukum yang pernah saya ikuti, yang memberi saya pengetahuan mengenai bukti, juga latar belakang jurnalistik, yang memberi saya keterampilan-keterampilan dalam mengejar-ngejar fakta, saya pun mulai membaca berbagai macam buku dan mewawancarai banyak ahli. Saya sangat dipengaruhi oleh Josh McDowell melalui buku-bukunya. "More Than a Carpenter"[1] dan "Evidence That Demands a Verdict"[2], telah membuka mata saya pada kemungkinan bahwa seseorang bisa memiliki iman yang dapat dipertahankan secara intelektual. Tentu saja, saya juga membaca Alkitab. Namun, terlebih dahulu saya sisihkan jauh-jauh pemikiran bahwa Alkitab itu benar-benar adalah firman, yang adalah ilham dari Tuhan. Sebaliknya, pada saat itu saya memandang Alkitab dengan sudut pandang yang tak terbantahkan -- sebagai suatu kumpulan dokumen masa lampau yang merekam kejadian- kejadian yang memiliki nilai historis. Saya juga membaca tulisan-tulisan religius lainnya, termasuk Kitab Mormon, sebab saya rasa penting untuk memeriksa alternatif keyakinan rohani yang berbeda. Sebagian besar keyakinan itu mudah dibuyarkan. Sebagai contoh, Mormonisme dengan cepat runtuh di tengah penelitian saya setelah saya menemukan beberapa ketidaksesuaian yang tidak dapat ditolerir antara kesaksian-kesaksian sang pendiri, Joseph Smith, dengan penemuan-penemuan arkeologi modern. Berbeda dengan kekristenan, yang semakin saya teliti, semakin membangkitkan ketertarikan saya. Saya gambarkan proses ini seolah-olah saya sedang merangkai suatu "jigsaw" (teka-teki bergambar) raksasa dalam benak saya. Tiap kali menemukan bukti atau jawaban, itu seperti menemukan letak potongan jigsaw yang tepat pada posisi yang semestinya. Saya tidak tahu seperti apa jadinya gambar akhir dari rangkaian jigsaw tersebut -- itu adalah suatu misteri -- tetapi setiap fakta yang dapat saya ungkap mengarah pada satu langkah ke depan untuk makin dekat pada solusinya. JAWABAN BAGI SEORANG ATEIS Tak lama kemudian, saya menemukan bahwa orang Kristen telah melakukan suatu kesalahan taktis. Agama-agama lain percaya pada berbagai dewa atau tuhan yang tak berwujud, tidak kelihatan, dan pemahaman itu sulit untuk diubah. Tetapi orang Kristen mendasarkan agama mereka pada hal- hal yang katanya adalah ajaran dan mukjizat dari sesosok Pribadi yang mereka klaim atau akui sebagai Orang yang secara historis adalah nyata -- Yesus Kristus -- yang menurut mereka, adalah Tuhan. Saya rasa ini merupakan suatu kekeliruan yang besar sebab jika Yesus benar-benar hidup, Ia pasti meninggalkan bukti-bukti historis. Saya pun berpikir bahwa yang perlu saya lakukan adalah berusaha memastikan kebenaran historis tentang Yesus dan mungkin saja saya akan menemukan bahwa Dia adalah Orang yang baik, mungkin sangat bermoral dan seorang Guru yang sempurna, tetapi yang pasti, sama sekali tidak menyerupai Tuhan. Saya memulainya dengan menanyakan pada diri saya sendiri pertanyaan pertama dari seorang wartawan yang baik: "Ada berapa pasang mata di sana?" "Mata" adalah istilah lain untuk saksi. Setiap orang tahu betapa kuatnya kesaksian saksi mata dalam menetapkan kejujuran suatu peristiwa. Percayalah, saya sudah melihat banyak terdakwa yang digiring ke penjara oleh saksi mata. Maka saya ingin mengetahui, "Ada berapa banyak saksi mata yang menjumpai orang bernama Yesus ini? Berapa banyak yang mendengar-Nya saat Dia memberikan pengajaran-pengajaran? Berapa banyak yang melihat- Nya melakukan mukjizat-mukjizat? Berapa banyak yang benar-benar telah melihat-Nya setelah Dia, yang katanya bangkit dari kematian?" Saya terkejut saat menemukan bahwa tidak hanya satu saksi mata yang ada di sana; melainkan ada banyak, dan Perjanjian Baru dengan jelas menyebutkan beberapa orang dari mereka. Sebagai contoh, ada Matius, Petrus, Yohanes, dan Yakobus -- mereka semua adalah saksi mata. Markus, seorang sejarawan, yang menulis berdasarkan wawancara langsung dengan Petrus sendiri; Lukas, seorang dokter yang menulis riwayat hidup Yesus berdasarkan kesaksian para saksi mata; dan juga Paulus, yang hidupnya berubah 180 derajat setelah dia berkata bahwa dirinya telah bertemu dengan Kristus yang telah bangkit kembali. Petrus dengan teguh meyakinkan bahwa dia dengan teliti telah mencatat informasi yang diperolehnya secara langsung. "Kami tidak mengarang kisah-kisah yang kami ciptakan dengan cerdik saat kami mengatakan kepada Anda mengenai kuasa dan kedatangan dari Tuhan kita Yesus Kristus," tulisnya, "tetapi kami adalah saksi mata dari kebesaran- Nya."[3] Yohanes berkata, dia telah menuliskan tentang hal-hal "yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan, dan yang telah kami raba dengan tangan kami."[4] KESAKSIAN YANG DAPAT DIPERCAYA Orang-orang ini tidak hanya menyaksikan secara langsung, tetapi McDowell dengan jelas menunjukkan, mereka telah berkhotbah tentang Yesus pada orang-orang yang hidup pada masa dan di daerah yang sama dengan Yesus sendiri. Hal ini sangat penting sebab jika para murid itu melebih-lebihkan atau hanya sekadar menulis ulang sejarah, maka para pendengar, yang terkadang memusuhi mereka, pasti akan mengetahui kebohongan itu dan menolak mereka. Tetapi sebaliknya, mereka dapat berbincang-bincang mengenai berbagai hal yang telah diketahui orang banyak dengan para pendengar tersebut.[5] Sebagai contoh, tidak lama sesudah Yesus dibunuh, Petrus berkhotbah pada orang banyak di kota yang sama di mana penyaliban itu berlangsung. Banyak di antara mereka mungkin melihat Yesus dibunuh. Petrus memulainya dengan berkata: "Hai orang Israel, dengarlah perkataan ini: `Yang aku maksudkan, ialah Yesus dari Nazaret, seorang yang telah ditentukan Allah dan yang dinyatakan kepadamu dengan kekuatan-kekuatan dan mukjizat-mukjizat dan tanda-tanda yang dilakukan oleh Allah dengan perantaraan Dia di tengah-tengah kamu, seperti yang kamu tahu.`"[6] Dengan kata lain, "Ayolah, kalian semua -- kamu sudah mengetahui apa yang Yesus lakukan. Kamu sendiri telah melihat hal-hal ini!" Lalu dia mengungkapkan bahwa Raja Daud telah mati dan dikuburkan dan kuburannya masih ada sampai hari ini, "Yesus inilah yang dibangkitkan Allah, dan tentang hal itu kami adalah saksi."[7] Yang menarik adalah reaksi para pendengar. Mereka tidak berkata, "Kami tidak tahu apa yang kamu bicarakan!" Sebaliknya, mereka panik dan ingin tahu apa yang harus mereka lakukan. Pada hari itu juga, sekitar tiga ribu orang meminta pengampunan dan banyak lainnya juga turut serta -- sepertinya itu karena mereka mengetahui bahwa Petrus telah mengatakan hal yang sebenarnya.[8] Saya pun bertanya pada diri sendiri, "Apakah kekristenan dapat tumbuh berakar dengan cepat karena memang benar tidak dapat dibantah jika para murid itu berkeliling menyebarkan perkataan yang telah diketahui oleh para pendengar mereka bahwa hal-hal itu dilebih-lebihkan atau bahkan palsu?" Potongan-potongan jigsaw mulai tertata tepat pada tempatnya. Satu bukti lagi yang ditawarkan orang Kristen pada saya -- namun saya tidak memercayainya -- yakni para murid Yesus pasti percaya pada apa yang telah mereka khotbahkan tentang Dia karena sepuluh dari sebelas orang murid memilih mengalami kematian yang mengerikan daripada menarik kembali kesaksian mereka bahwa Yesus adalah Anak Allah yang telah bangkit dari kematian. Beberapa orang lainnya disiksa hingga mati melalui penyaliban. Awalnya saya tidak menyadari hal menarik ini. Saya bisa menunjukkan semua kelemahannya melalui sejarah, yakni ada orang-orang yang rela mati karena membela keyakinan mereka. Tetapi para murid itu berbeda, kata McDowell. Orang akan rela mati demi kepercayaan mereka jika telah yakin dengan kebenaran kepercayaan itu, tetapi orang tidak akan mau mati untuk kepercayaan jika tahu bahwa kepercayaan itu palsu. Dengan kata lain, keseluruhan iman Kristen bergantung pada apakah Yesus Kristus benar-benar bangkit dari kematian.[9] Tidak ada kebangkitan, berarti tidak ada kekristenan. Para murid berkata bahwa mereka melihat Yesus setelah Dia dibangkitkan dari kematian. Mereka mengetahui apakah mereka berbohong atau tidak; hal itu tidak mungkin merupakan halusinasi atau kekeliruan. Dan jika mereka memang berbohong, akankah mereka dengan sepenuh hati rela mati demi hal yang mereka ketahui adalah palsu? Seperti yang diamati oleh McDowell, tidak ada orang yang dengan sadar dan dengan sepenuh hati rela mati demi suatu kepalsuan.[10] Fakta tunggal itu sangat memengaruhi saya, terlebih lagi ketika saya mengetahui apa yang terjadi pada para murid setelah penyaliban. Sejarah menunjukkan bahwa mereka muncul dan dengan terus terang menyatakan bahwa Yesus mengatasi dunia kematian. Tiba-tiba, orang- orang yang dahulunya penakut ini dipenuhi dengan keberanian, bersedia berkhotbah hingga mati bahwa Yesus adalah Anak Allah. Apa yang mengubah mereka? Saya tidak mendapatkan penjelasan yang lebih masuk akal lagi selain bahwa para murid itu telah memeroleh pengalaman yang mengubah hidup mereka bersama dengan Kristus yang telah dibangkitkan kembali. SEORANG SKEPTIS ABAD PERTAMA Penyelidikan saya terutama sampai pada diri seorang murid bernama Thomas, sebab dia sama skeptisnya seperti saya. Saya rasa dia pasti dapat menjadi seorang wartawan terkenal. Thomas berkata dia tidak akan percaya bahwa Yesus telah kembali hidup kecuali jika dia bisa secara pribadi memeriksa luka-luka di tangan dan kaki Yesus. Menurut catatan dalam Perjanjian Baru, Yesus muncul dan memanggil Thomas untuk memeriksa bukti bagi dirinya agar percaya, dan Thomas melihat bahwa luka-luka itu benar. Saya terpesona saat mengetahui bagaimana Thomas menghabiskan sisa hidupnya. Menurut sejarah, dia mengakhiri hidupnya dengan tetap menyatakan -- hingga ditikam sampai mati di India -- bahwa Yesus adalah Anak Allah yang telah bangkit kembali dari kematian. Baginya, bukti telah meyakinkan dirinya dengan sangat jelas. Selain itu, adalah penting untuk membaca apa yang Thomas katakan setelah dia menjadi puas oleh bukti bahwa Yesus telah mengalahkan kematian. Thomas menyatakan: "Tuhanku dan Allahku."[11] Selanjutnya, Yesus tidak menanggapinya dengan berkata, "Stop! Tunggu sebentar, Thom. Jangan menyembah aku. Kamu hanya boleh menyembah Tuhan, dan ingat, aku hanyalah seorang guru besar dan Manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral." Sebaliknya, Yesus menerima penyembahan Thomas. Dengan demikian, tidak perlu lagi mencari kesalahan dari konsepsi populer bahwa Yesus tidak pernah mengklaim atau mengaku bahwa Dia adalah Allah. Selama bertahun-tahun, orang-orang yang skeptis atau tidak percaya telah bercerita kepada saya bahwa Yesus tidak pernah menganggap diri-Nya lebih dari sekadar manusia biasa dan bahwa Dia marah di dalam kuburan-Nya jika Dia mengetahui bahwa orang-orang menyembah diri-Nya. Tetapi ketika saya membaca Alkitab, saya menemukan bahwa Yesus menyatakan berulang kali -- baik melalui perkataan maupun perbuatan -- siapa diri-Nya sebenarnya. Riwayat hidup Kristus yang paling tua menggambarkan bagaimana Dia ditanyai secara langsung oleh imam besar selama proses pengadilan: "Apakah Engkau Mesias, Anak dari Yang Terpuji?"[12] Yesus tidak ragu- ragu. Dua kata pertama yang diucapkan-Nya adalah: "Akulah Dia."[13] Imam besar tahu apa yang Yesus katakan, karena itu dia dengan marah menyatakan pada pengadilan, "Kamu sudah mendengar hujatan-Nya terhadap Allah"[14] Hujat apa? Bahwa Yesus telah mengaku diri-Nya adalah Allah! Ini, setelah saya pelajari, adalah kejahatan yang membuat-Nya dihukum mati. Ketika saya menjadi semakin yakin terhadap para saksi mata dalam Perjanjian Baru, saya tetap teringat pada seorang skeptis lain yang berbicara kepada saya bertahun-tahun yang lalu. Mereka mengklaim bahwa Perjanjian Baru tidak bisa dipercayai karena buku itu ditulis seratus tahun atau bahkan lebih setelah masa kehidupan Yesus. Mereka berkata bahwa mitos-mitos tentang Yesus telah tumbuh subur selama masa itu dan telah menyimpangkan kebenarannya tanpa disadari. Tetapi ketika saya menguji fakta-fakta dengan objektif, saya mendapati bahwa penemuan-penemuan arkeologis terbaru telah memaksa para ahli untuk memberikan pernyataan bahwa masa penulisan Perjanjian Baru lebih awal dari pernyataan sebelumnya. Dr. William Albright, seorang profesor terkenal dari Universitas John Hopkins dan mantan Direktur American School of Oriental Research in Jerusalem, berkata bahwa ia yakin berbagai buku dari Kitab Perjanjian Baru ditulis dalam masa lima puluh tahun setelah penyaliban dan sangat mungkin dalam dua puluh atau empat puluh lima tahun sesudah masa Yesus.[15] Ini berarti usia Perjanjian Baru sama tuanya dengan masa kehidupan para saksi mata, yang pasti akan memperdebatkan isinya jika penulisannya dibuat-buat. Terlebih lagi, para ahli telah mempelajari mengenai waktu yang diperlukan bagi suatu legenda untuk berkembang pada masa lampau. Dan kesimpulan mereka yakni: Tidak ada waktu yang cukup, antara kematian Yesus dan penulisan Perjanjian Baru, bagi suatu legenda untuk dapat menyimpangkan kebenaran historis.[16] Bahkan, saya kemudian mempelajari bahwa suatu pengakuan iman dari gereja mula-mula -- yang menyatakan bahwa Yesus mati untuk dosa-dosa kita, dan dibangkitkan kembali, serta muncul di hadapan banyak saksi - -telah ditelusuri ulang hingga tiga sampai delapan tahun setelah kematian Yesus. Pernyataan iman ini, yang dilaporkan oleh Rasul Paulus dalam 1 Korintus 15:3-7, ditulis berdasarkan kesaksian langsung dan merupakan suatu konfirmasi paling awal mengenai inti dari Injil.[17] Sepotong demi sepotong, teka-teki jigsaw mental saya pun semakin menyatu. KUASA NUBUATAN Selanjutnya saya mengarah pada nubuatan-nubuatan Alkitab, wilayah di mana saya biasanya bersikap sangat sinis. Saya telah menulis banyak artikel selama bertahun-tahun mengenai ramalan-ramalan tentang masa depan -- salah satu dari kisah-kisah Tahun Baru yang menyibukkan semua reporter pemula -- dan saya mengetahui betapa sedikitnya ramalan- ramalan yang benar-benar terjadi. Sebagai contoh, setiap tahun orang- orang di Chicago tetap percaya bahwa tim Chicago Cubs pasti akan memenangkan kejuaraan dunia, dan hal itu belum pernah terjadi sepanjang hidup saya! Meskipun demikian, semakin banyak saya menganalisa nubuatan-nubuatan dalam Perjanjian Lama, keyakinan saya menjadi semakin kuat bahwa nubuat-nubuat tersebut membentuk rangkaian bukti-bukti historis yang mengagumkan dalam mendukung klaim bahwa Yesus adalah Mesias dan Anak Allah. Sebagai contoh, saya membaca Yesaya 53 di Perjanjian Lama dan menemukan hal yang sangat aneh mengenai gambaran bahwa Yesus disalibkan -- dan itu ditulis lebih dari tujuh ratus tahun sebelum penyaliban itu terjadi. Hal itu seperti upaya saya memprediksikan bahwa Cubs akan berhasil pada tahun tahun 2700-an! Semuanya, ada sekitar lima lusin nubuat utama mengenai sang Mesias, dan semakin dalam saya mempelajari nubuat-nubuat itu, makin banyak kesulitan yang saya temui untuk menjelaskannya. Garis pertahanan pertama saya dalam menolak kekristenan adalah bahwa Yesus mungkin dengan sengaja telah mengatur riwayat hidup-Nya agar dapat menggenapi nubuatan-nubuatan tersebut sehingga Ia akan dikira Mesias yang telah lama ditunggu-tunggu kedatangan-Nya. Sebagai contoh, da1am Zakharia 9:9 diramalkan bahwa Mesias akan mengendarai seekor keledai memasuki kota Yerusalem. Mungkin ketika Yesus akan memasuki kota, Ia mengatakan pada para murid-Nya, "Pergi ambilkan Aku seekor keledai. Aku ingin mengelabuhi orang-orang di sini hingga berpikir Aku adalah Mesias karena Aku benar-benar ingin disiksa sampai mati!" Tetapi argumentasi itu runtuh ketika saya membaca nubuat-nubuat tentang peristiwa-peristiwa yang tidak mungkin dapat diatur oleh Yesus, seperti tempat kelahiran-Nya, yang telah diramalkan oleh nabi Mikha tujuh ratus tahun sebelum Dia dilahirkan, juga silsilah keluarga-Nya, bagaimana kejadian kelahiran-Nya, bagaimana Ia dikhianati demi uang dalam jumlah tertentu, bagaimana Ia dibunuh, bagaimana tulang-tulang-Nya tetap utuh dan tidak ada yang dipatahkan (berbeda dengan kedua penjahat yang disalibkan bersama dengan Dia), bagaimana para prajurit mengundi pakaian-Nya, dan seterusnya.[18] Garis pertahanan saya yang kedua adalah bahwa Yesus bukan satu-satunya orang kepada siapa nubuat-nubuat itu ditujukan. Mungkin saja beberapa orang dalam sejarah cocok dengan ramalan-ramalan tersebut, tetapi karena Yesus memunyai lebih banyak agen hubungan masyarakat yang baik, dengan demikian Dia menjadi yang paling diingat oleh setiap orang. Tetapi setelah membaca sebuah buku karya Petrus Stoner, seorang profesor ilmu alam di Westmont College yang telah pensiun, keraguan tersebut pun tersingkap. Stoner dengan enam ratus siswanya telah melakukan perhitungan secara matematis bahwa hingga saat ini peluang kemungkinan bagi setiap orang hanya dapat memenuhi delapan nubuat Perjanjian Lama.[19] Peluang kemungkinan dalam hal ini, yaitu satu peluang dengan kemampuan sebesar sepuluh per tujuh belas. Itu adalah sebuah nominal dengan tujuh belas angka nol di belakangnya! Untuk berusaha memahami jumlah yang sangat besar itu, saya melakukan beberapa penghitungan. Saya membayangkan seluruh dunia ditutup oleh ubin lantai berwarna putih berukuran satu setengah inci persegi -- setiap permukaan tanah di bumi -- dan hanya satu ubin yang dasarnya berwarna merah. Selanjutnya seseorang diizinkan untuk mengembara seumur hidup di tujuh benua. Ia hanya boleh membungkuk sekali untuk mengambil satu potong ubin. Apakah aneh jika ternyata satu ubin yang diambil itu dasarnya berwarna merah? Hal yang sama anehnya adalah hanya ada peluang sebanyak delapan nubuat Perjanjian Lama yang dapat dipenuhi oleh setiap orang sepanjang sejarah! Hal itu cukup mengesankan, akan tetapi berikutnya Stoner menganalisa empat puluh delapan nubuatan. Dia menyimpulkan bahwa hanya akan ada satu peluang dengan kekuatan sebesar sepuluh per 157 yang akan terjadi pada diri setiap orang sepanjang sejarah.[20] Itu adalah sebuah nominal dengan 157 angka nol di belakangnya! Saya telah melakukan suatu riset dan mempelajari bahwa atom itu begitu kecilnya hingga diperlukan satu juta atom dibariskan agar sama dengan lebar dari selembar rambut manusia. Saya juga mewawancarai para ilmuwan mengenai perkiraan mereka akan jumlah atom yang ada di seluruh alam semesta. Dan sementara hasilnya adalah jumlah yang amat sangat besar, saya simpulkan bahwa keanehan empat puluh delapan nubuat Perjanjian Lama berpeluang terjadi pada diri individu mana pun adalah sama seperti seseorang yang memilih secara acak satu atom yang telah ditentukan lebih dahulu di antara semua atom di dalam jutaan triliun triliun triliun triliun galaksi seukuran galaksi kita! Yesus berkata Dia datang untuk menggenapi nubuat-nubuat tersebut. Ia berkata, "Yakni bahwa harus digenapi semua yang tertulis tentang Aku dalam kitab Taurat Musa dan kitab Nabi-nabi dan kitab Mazmur."[21] Saya pun mulai percaya bahwa semua nubuat itu digenapi -- hanya dalam Yesus Kristus. Saya bertanya kepada diri saya sendiri, jika seseorang menawari saya suatu bisnis yang memiliki peluang rugi hanya sebesar sepuluh per 157, berapa banyak uang yang akan saya investasikan? Saya akan menaruh semua yang saya miliki untuk satu kesempatan -- pasti -- menang seperti itu! Dan saya pun mulai berpikir, "Dengan adanya semua keanehan tersebut, sepertinya saya perlu menginvestasikan hidup saya pada Kristus." REALITAS DARI KEBANGKITAN Karena merupakan hal yang sentral bagi kekristenan, saya pun menghabiskan cukup banyak waktu untuk meneliti bukti historis pada kebangkitan Yesus. Saya bukan orang skeptis pertama yang melakukannya. Ada banyak orang yang telah melakukan pengujian serupa dan kemudian menjadi orang Kristen. Sebagai contoh, seorang wartawan sekaligus pengacara Inggris bernama Frank Morison yang ditugaskan untuk menulis buku yang menunjukkan bahwa kebangkitan adalah suatu mitos. Namun, setelah bersusah payah mempelajari bukti, dia menjadi seorang Kristen, dan berkata bahwa tidak ada keraguan bahwa kebangkitan memiliki "suatu dasar historis yang kuat dan mendalam"[22]. Buku tentang penyelidikan rohani yang akhirnya dia tulis, memberi saya suatu analisa seorang pengacara yang kritis mengenai kebangkitan. Sudut pandang hukum lainnya datang dari Simon Greenleaf, seorang profesor cerdas yang mendapat penghargaan karena membantu Harvard Law School dalam meraih reputasi unggul bagi sekolah hukum tersebut. Greenleaf menulis salah satu dari risalah-risalah hukum Amerika terbaik yang pernah ditulis, dengan topik tentang apa yang mendasari pembuktian secara hukum. Bahkan, Mahkamah Agung Amerika Serikat pun mengutip perkataannya. London Law Journal berkata bahwa Greenleaf mengetahui tentang hukum pembuktian jauh lebih banyak daripada "semua pengacara yang memenuhi pengadilan-pengadilan di Eropa".[23] Greenleaf mengejek kebangkitan sampai seorang siswa menantangnya untuk membuktikannya sendiri. Secara metodis, dia menerapkan pengujian- pengujian secara hukum pembuktian dan menjadi yakin bahwa kebangkitan adalah suatu peristiwa historis yang nyata. Profesor berdarah Yahudi itu lalu menyerahkan hidupnya bagi Kristus.[24] Secara ringkas, bukti dari kebangkitan adalah bahwa Yesus mati dibunuh dengan cara disalib dan ditikam dengan tombak; Ia telah dinyatakan mati oleh para ahli; Ia dibalut dengan kain kafan berisi tujuh puluh lima pon rempah-rempah; Ia dibaringkan di dalam sebuah gua makam; sebuah batu karang yang sangat besar digulingkan menutupi jalan masuk ke dalam makam itu (menurut satu catatan historis masa lampau, begitu besarnya batu itu hingga dua puluh orang pun tidak dapat memindahkannya); dan makam itu dijaga oleh para prajurit berdisiplin tinggi. Lalu, tiga hari kemudian makam itu ditemui dalam keadaan kosong, dan para saksi mata mengaku hingga ajal mereka bahwa Yesus muncul di tengah-tengah mereka. Siapa yang memunyai motif untuk mencuri tubuh Yesus? Para murid tidak akan menyembunyikannya hingga disiksa sampai mati karena berbohong mengenai hal itu. Para pemimpin Yahudi dan Romawi akan senang dan berpawai mempertontonkan tubuh Yesus menyusuri jalanan Yerusalem; sebab itu akan langsung mematikan kemashyuran agama baru yang mulai menanjak itu, yang telah sekian lama ingin mereka habisi. Tetapi yang terjadi selanjutnya adalah selama empat puluh hari, Yesus muncul secara langsung sebanyak dua belas kali pada waktu yang berbeda-beda di hadapan lebih dari 515 orang -- menemui para skeptis seperti Thomas dan Yakobus, dan suatu waktu muncul di hadapan sekelompok orang, pada waktu lainnya menemui seseorang secara pribadi, suatu saat muncul di dalam rumah, di saat yang lain muncul di tempat terbuka pada siang hari. Ia berbincang-bincang dengan orang-orang dan bahkan makan bersama dengan mereka. Beberapa tahun kemudian, ketika Rasul Paulus menyebutkan bahwa ada beberapa saksi mata kebangkitan Yesus, dia mencatat bahwa banyak di antara mereka masih hidup, seolah-olah ia tujukan kepada para skeptis abad pertama, "Pergi pastikan sendiri pada mereka jika kamu tidak percaya padaku."[25] Bahkan, jika Anda mendatangi para saksi menanyai setiap orang yang benar-benar melihat Yesus yang dibangkitkan kembali, dan jika Anda melakukan uji silang terhadap tiap-tiap orang selama hanya lima belas menit, dan jika Anda lakukan hal ini siang dan malam selama 24 jam tanpa berhenti, Anda akan mendengarkan kesaksian para saksi langsung selama lebih dari lima hari yang melelahkan. Dibandingkan dengan pengadilan-pengadilan yang saya liput, ini adalah banjir bukti. Lebih banyak lagi jigsaw yang terkunci tepat pada tempatnya. MENGGALI KEBENARAN Saya mengamati arkeologi dan ternyata bidang ini menegaskan catatan Alkitab dari waktu ke waktu. Terus terang, masih ada beberapa isu yang belum terungkap. Namun, seorang ahli arkeologi yang istimewa, Dr. Nelson Gleuck, berkata: "Dapat dikatakan dengan pasti bahwa tidak ada penemuan arkeologis yang berlawanan dengan referensi Alkitab. Bahkan, sejumlah penemuan arkeologis mengkonfirmasikan dengan sangat jelas atau sangat detail pernyataan-pernyataan historis yang ada dalam Alkitab."[26] Saya sangat terpesona oleh kisah seorang arkeolog terbesar sepanjang sejarah, yakni Sir William Ramsay dari Universitas Oxford, Inggris. Dia adalah seorang ateis; bahkan, putra dari pasangan ateis. Dia menghabiskan dua puluh lima tahun untuk melakukan penggalian arkeologis demi membuktikan kesalahan Kitab Kisah Para Rasul, yang ditulis oleh Lukas, sejarawan yang juga menulis Injil dengan namanya {Injil Lukas). Tetapi bukannya meragukan Kitab Lukas, penemuan-penemuan Ramsay justru mendukungnya. Akhirnya, ia menyimpulkan bahwa Lukas adalah salah satu sejarawan paling akurat yang pernah hidup. Dipacu oleh bukti-bukti arkeologis tersebut, Ramsay menjadi seorang Kristen.[27] Saya pun berkata, "Baiklah, memang terbukti Perjanjian Baru dapat dipercaya berdasarkan fakta sejarah. Tetapi apakah ada bukti mengenai Yesus di luar Alkitab?" Saya terkagum-kagum saat menemukan bahwa ada sekitar selusin penulis sejarah kuno non-Kristen yang mengutip catatan sejarah mengenai kehidupan Yesus, termasuk fakta bahwa Ia melakukan hal-hal yang ajaib, bahwa Ia dikenal sebagai seorang yang berbudi luhur, bahwa Ia disebut Mesias, bahwa Ia disalibkan, bahwa langit menjadi gelap saat Ia terpaku di kayu salib, bahwa para murid-Nya berkata Ia telah bangkit kembali dari dunia orang mati, dan bahwa mereka menyembah-Nya sebagai Tuhan.[28] Sebenarnya, ini hanyalah suatu ringkasan singkat dari penyelidikan rohani saya, sebab saya telah menyelidiki secara mendalam terhadap lebih banyak detil dibanding dengan yang digambarkan di sini. Dan saya tidak menyarankan buku ini semata hanya sebagai latihan akademis murni. Ada banyak ungkapan emosi yang terlibat di dalamnya. Tetapi nampaknya, ke mana pun saya memandang, keandalan catatan Alkitab tentang kehidupan, kematian, serta kebangkitan Yesus Kristus tampak semakin nyata. MEMECAHKAN TEKA-TEKI Saya telah memilah-milah bukti selama satu tahun sembilan bulan hingga sepulang dari gereja pada Minggu, 8 November 1981. Saya sedang sendirian di dalam kamar tidur, dan saya berkesimpulan bahwa waktunya telah sampai pada suatu putusan. Kekristenan belum mutlak terbukti. Jika itu memang terbukti, maka tidak akan ada ruang bagi iman. Tetapi jika memertimbangkan fakta- fakta yang ada, saya menarik kesimpulan bahwa bukti historis yang ada dengan jelas mendukung klaim-klaim tentang Kristus jauh melampaui setiap keraguan. Bahkan sebenarnya, berdasarkan pada apa yang telah saya pelajari, perlu lebih banyak iman agar tetap ateis daripada menjadi seorang Kristen! Oleh karena itu, setelah saya meletakkan potongan terakhir dari jigsaw mental saya pada tempatnya, seolah-olah saya berhenti sejenak untuk melihat potongan gambar dari rangkaian potongan jigsaw yang secara sistematis telah saya satukan dalam benak saya selama hampir dua tahun. Gambar itu adalah potret dari Yesus Kristus, Anak Allah. Seperti halnya Thomas, seorang skeptis terdahulu, saya pun merespons hal ini dengan menyatakan: "Tuhanku dan Allahku!" Setelah itu, saya menuju dapur, di mana Leslie sedang berdiri di samping Alison di depan bak pencucian. Putri kami berusia lima tahun pada saat itu, dan dengan berjinjit, untuk pertama kalinya ia hampir mampu menggapai kran dapur. "Lihat, Ayah, lihat!" serunya. "Aku dapat meraihnya! Aku dapat meraihnya!" "Ya Sayang, hebat sekali," kata saya sambil memeluk dirinya. Lalu saya berkata kepada Leslie, "Kamu tahu, seperti itulah yang kini kurasakan. Aku telah berusaha meraih seseorang dalam waktu yang lama, dan hari ini akhirnya aku mampu meraih-Nya." Dia mengetahui apa yang sedang saya katakan. Dengan berlinangan air mata, kami berpelukan. Dan selanjutnya, Leslie dan para sahabatnya berdoa bagi saya hampir setiap hari sepanjang perjalanan rohani saya. Sering kali, doa-doa Leslie terfokus pada ayat dari Perjanjian Lama ini: "Kamu akan Kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru dalam batinmu dan Aku akan menjauhkan dari hatimu hati yang keras dan Kuberikan hati yang taat."[29] Puji syukur kepada Tuhan, sebab Dia setia pada janji-Nya itu. Catatan Kaki:
Diambil dan diedit seperlunya dari:
Bagi Joel Osteen, Teologi Bukan Suatu Keharusan
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Tahukah Anda bahwa sekarang ini buku-buku tentang pengembangan diri adalah buku yang paling laris manis di pasaran? Para penerbit, termasuk para penulis tentunya dapat membaca dengan jeli kebutuhan pasar, yaitu kehausan akan apa yang dinamakan "penggembungan identitas diri". Apakah orang-orang Kristen termasuk dalam pasar ini? Sayang sekali karena jawabannya adalah "ya". Banyak orang Kristen yang sangat giat mengikuti seminar-seminar dan pelatihan-pelatihan seperti ini, karena penyelenggaranya adalah juga notabene orang Kristen. Bahkan banyak pembicara Kristen yang dengan sengaja menerjunkan diri dalam bisnis pengembangan diri ini. Apakah salah? Ya, apabila usaha-usaha ini didasari oleh:
Salah satu contoh pembicara Kristen yang terkenal, bahkan ia adalah seorang pendeta yang sukses dalam bisnis memotivasi orang adalah Joel Osteen. Berangkat dari motivasi yang mulia, yaitu menolong orang lain agar berhasil dan mengalami hidup yang lebih baik, Joel Osteen lupa bahwa panggilan sebagai seorang Kristen bukanlah membawa dan menjadikan "manusia lama" kita menjadi lebih baik, tapi membawa "manusia lama" kita kepada Kristus untuk mati sehingga bisa dibangkitkan dan hidup sebagai "manusia baru" yang hidup dalam kepenuhan kekayaan anugerah-Nya. Silakan mengikuti laporan tanyangan wawancara dengan Joel Osteen di bawah ini. Pimpinan Redaksi e-Reformed, Yulia Oeniyati < yulia(at)in-christ.net >
Penulis:
Paul Edward
Edisi:
095/I/2008
Tanggal:
17-01-2008
Isi:
Oleh: Paul Edward "Saya berusaha membuat mereka lebih berhasil daripada sebelumnya," begitulah Joel Esteen mengungkapkan apa yang menjadi tujuan akhir organisasi pelayanan pengembangan diri miliknya yang bernilai jutaan dolar dalam sebuah tayangan TV berdurasi dua belas menit di program CBN "60 Minutes" yang berjudul "Joel Osteen Answers His Critics (Joel Osteen Menjawab Kritik-kritik yang Ditujukan Kepadanya)". Tapi jauh dari yang diharapkan, bukannya menjawab kritik, tayangan tersebut kemungkinan justru membuatnya semakin dihujani kritik. Dalam tayangan pendek berdurasi dua belas menit itu, Osteen berhasil mengakui bahwa pelayanannya lebih kepada tentang menunjukkan daripada mengajarkan sesuatu yang berisi substansi, bahwa ia segan untuk berdoktrin dan berteologi, bahwa ia tidak bertalenta menjadi pengajar firman Tuhan, bahwa ia lebih memilih untuk memberi inspirasi dan motivasi daripada memenuhi mandat biblika yang diberikan kepada pendeta untuk menegur dan mengajar, dan bahwa apa yang dia ajarkan lebih dekat seperti Dr. Phil dan Oprah daripada Yesus atau Rasul Paulus. Dengan kata lain yang lebih terang-terangan, Joel Osteen, dari apa yang kita lihat, lebih cocok dikualifikasikan sebagai pembicara motivator, dan kurang berkualifikasi untuk dianggap sebagai gembala dan pendeta jemaat Tuhan. Byron Pitts, reporter CBN News yang mewawancarai Osteen dalam tayangan itu, terus menekankan bagian di mana pengajaran Osteen telah melenceng dari Alkitab dan ortodoksi historis. Pada satu saat, Pitts membacakan sebuah potongan singkat dari buku Osteen yang baru saja dirilis, "Become a Better You", dan kemudian Pitts memberikan sanggahan, "Sama sekali tidak ada kata Allah dalam tulisan Anda. Sama sekali juga tidak disebutkan tentang Yesus Kristus." Dan Osteen pun menjawab, "Ada Alkitab di sana yang mendukung semua tulisan saya itu," sebuah jawaban yang kelihatannya tegas, tapi menunjukkan betapa bahayanya cara Osteen memperlakukan Kitab Suci selama ini. Osteen tidak memahami bahwa kita tidak membawa kesimpulan tentang hidup dan kehidupan ke Alkitab dan mencari ayat-ayat Alkitab yang mendukung kesimpulan kita itu. Kita seharusnya mengawalinya dengan Alkitab, memelajari ayat-ayatnya dengan saksama, membiarkan Roh Kudus -- penulis ayat-ayat itu -- memberikan kepada kita kesimpulan-Nya mengenai hidup dan kehidupan. Alkitab bukanlah tulisan pendukung untuk prinsip-prinsip yang Anda impikan untuk menghasilkan "kehidupan yang terbaik" untuk saat ini. Dengan enteng, Osteen mengakui bahwa ia tidak mampu memperlakukan Alkitab secara tepat, katanya kepada Pitts, "... ada banyak orang yang lebih memenuhi syarat untuk berkata, `Ini ada buku yang akan menjelaskan kepadamu tentang Alkitab.` Saya pikir itu bukanlah talentaku." Ia menghabiskan hari Rabu sampai Sabtu untuk belajar di rumah menyiapkan khotbah mingguannya. Orang bisa bayangkan bahwa ia dengan rajinnya memelajari Alkitab. Ternyata tidak juga. Ia berkata kepada Byron Pitts, "... aku memikirkannya dalam beberapa hari dan aku kembali ke sini memberi makan jemaat, dan melakukan yang terbaik, menginspirasi mereka dan memberikan cerita-cerita yang bagus, dan membuat mereka terus mendengarkanku ...." Tidak ada di mana pun di Alkitab yang mengatakan bahwa pelayan Tuhan diperintahkan untuk "menjadi yang terbaik" dan "menginspirasi orang lain" dan "menceritakan kisah-kisah yang bagus" atau bahkan "membuat mereka terus mendengarkannya". Sebaliknya, firman Tuhan jelas mengatakan bahwa kita dari dalam diri kita tidak mampu untuk memproklamirkan firman Tuhan (2 Kor. 3:5,6); bukanlah tujuan kita untuk menginspirasi, tujuan kita adalah untuk "menegur, mengajar, dan mendorong"; dan kita mencapai tujuan itu tidak dengan "kisah-kisah yang bagus", namun dengan "segala kesabaran dan pengajaran" (2 Tim. 4:1-6). Pengajaran atau doktrin bukanlah pusat perhatian Osteen. Osteen berkata kepada Pitts bahwa panggilannya bukanlah untuk membuat orang- orang terkesan dengan "kata-kata Yunani dan doktrin". Namun, ia memandang panggilannya sebagai membantu orang untuk "memiliki pikiran yang benar pada zaman ini". Sementara Osteen mungkin menganggap bahwa mengajar firman Tuhan bukanlah talentanya, namun bagaimanapun Tuhan menuntut para pemimpin gereja Tuhan untuk memiliki kemampuan mengajar firman-Nya (1 Tim. 3:2; 2 Tim. 2:24). Dalam hal ini, Osteen telah mendiskualifikasi diri sendiri. Osteen mengukur kesuksesan pelayanannya bukan dari pertumbuhan spiritual jemaatnya, namun dari "ratusan orang yang berkata kepadanya, `Anda telah mengubahkan hidupku.`" Tragisnya, pesan yang seharusnya mengubah begitu banyak orang itu adalah kebohongan (placebo). Osteen menggambarkan substansi pesannya sebagai sesuatu yang mendorong orang- orang untuk "berpikir positif dalam situasi yang buruk, dan itu akan membantu Anda untuk terus memiliki harapan". Pitts menunjukkan pada Osteen bahwa ada banyak teolog yang menganggap apa yang dikatakannya itu berbahaya, yang kemudian dijawab Osteen, "Aku tidak tahu mengapa memberi orang harapan dianggap sebagai sesuatu hal yang berbahaya." Harapan menjadi berbahaya jika harapan itu adalah harapan palsu. Memiliki sikap berpikir positif saat rumah sekeliling saya terbakar mungkin akan memberi saya harapan, namun satu-satunya hal yang dapat menyelamatkan saya adalah keluar dari rumah yang terbakar itu. Harapan memang dapat membuat orang bertahan, namun tak akan memberikan keselamatan. Osteen lebih menunjukkan pada orang bahwa harapan akan menyelamatkan mereka, bukan Yesus Kristus yang adalah satu-satunya Orang yang dapat membebaskan kita dari dosa (yang diistilahkan Osteen sebagai "situasi buruk"). Jaminan yang sejati di tengah tragedi hidup dan pencobaan tidak datang dengan percaya pada diri sendiri, melainkan dengan percaya pada Sosok yang membangkitkan Kristus dari kematian, dan menyadari bahwa kita telah dibangkitkan bersama Kristus melalui iman dalam karya Allah yang penuh kuasa, bahwa Allah telah menghapus dosa yang membelenggu kita dan memakukannya pada salib Anak-Nya yang tunggal (Kol. 2:8-15), yang membuat tak seorang pun mampu untuk menghukum dan memisahkan kita dari kasih Allah kepada kita melalui Kristus (Rm. 8:31-39). Dalam segala situasi buruk dalam hidup kita, kita lebih dari pemenang -- bukan karena kita melibas kesadaran kita dengan terus berpikir positif, namun karena Tuhan selalu membawa kita kepada kemenangan melalui pengorbanan-Nya yang sempurna bagi kita. Semua pengajaran dan pelayanan Osteen yang salah itu berangkat dari fakta bahwa ia memandang teologi yang serius sebagai sesuatu yang tidak harus ada (optional). Jika kita tahu bahwa cara Joel Osteen mendekati dan menangani firman Tuhan adalah dengan cara yang tidak serius (casual), kita akan cukup tahu untuk menjauhkan diri dari pelayanannya, sebuah pelayanan yang mengaku menyiapkan orang untuk memiliki kehidupan yang terbaik, namun ternyata belum dapat melakukan apa-apa untuk menyiapkan mereka pada sebuah keabadian di luar kehidupan ini karena yang Osteen tahu hanyalah kehidupan di dunia ini saja. Ia belum meluangkan waktu untuk memahami Alkitab pada tingkat yang cukup dalam untuk menyadari bahwa "jikalau kita hanya dalam hidup ini saja menaruh harapan pada Kristus, maka kita adalah orang-orang yang paling malang dari segala manusia". (t/Dian) Catatan: Paul Edward adalah seorang pendeta dan pemandu acara Paul Edward Program yang disiarkan setiap hari di WLQV di Detroit dan godandculture.com
Sumber:
Diterjemahkan dari: SEMINAR KELUARGA KELOMPOK BINA IMAN DOMBA KRISTUSKetika menyatakan janji pernikahan, suami dan istri memasuki pengalaman yang baru; hidup intim dengan orang lain. Pengalaman baru ini segera dilalui berdua disusul dengan anak-anak yang Tuhan karuniakan. Ada apa selanjutnya? selengkapnya...» Kemuliaan dan Damai Sejahtera
Editorial:
Dear Reformed Netters, Wah ..., tidak terasa tahun 2007 sudah akan meninggalkan kita dan tahun 2008 akan segera menyambut kita. Namun, melihat keadaan dunia yang kian tak menentu ini, kita tidak tahu apakah tahun 2008 akan menyambut kita dengan senyuman atau dengan tangisan. Tapi puji Tuhan, sebagai orang yang percaya, senyuman atau tangisan bukanlah hal yang perlu kita kuatirkan karena jika Tuhan ada di pihak kita, siapakah lawan kita? Sebelum menutup sajian e-Reformed tahun ini, saya ingin mengucap syukur kepada Tuhan atas kebaikan-Nya yang telah menyertai pelayanan e-Reformed hingga saat ini. Pemeliharaan Tuhan sungguh sangat nyata. Saya yakin Anda pun pasti bisa memberikan kesaksian akan kebaikan Tuhan atas hidup Anda selama tahun 2007 ini. Nah, ucaplah syukur karena semua itu merupakan pengalaman yang sangat berharga yang membangun iman kita. Tak lupa saya juga mengucapkan terima kasih untuk semua anggota e-Reformed yang dengan setia terus bergabung bersama-sama sampai akhir tahun ini. Harapan saya, Anda mendapat berkat melalui keikutsertaan Anda di e-Reformed ini. Mari doakan agar hikmat Tuhan terus menyertai pelayanan e-Reformed di tahun 2008 dan biarlah pelayanan ini bisa semakin ditingkatkan. Bagaimana caranya? Saya menantikan usulan-usulan Anda. Sebelum kita berpisah di tahun ini, saya juga ingin mengucapkan `Selamat Hari Natal 2007 kepada semua anggota e-Reformed`, damai sejahtera Tuhan kiranya senantiasa menyertai kita semua, dari sekarang sampai Maranatha. Sebagai hadiah Natal, silakan nikmati renungan Natal yang disampaikan oleh Pdt. Albert Konaniah di bawah ini. Biarlah pada perayaan Natal ini, kita dapat merasakan kemuliaan Allah yang ada di tempat yang mahatinggi, karena tanpa Dia ditinggikan, tidak ada damai sejahtera yang akan turun ke bumi. Haleluya! Bagi Dia kemuliaan untuk selama-lamanya. Redaksi e-Reformed, Yulia Oeniyati< yulia(at)in-christ.net >
Penulis:
Pdt. Albert Konaniah
Edisi:
094/XII/2007
Tanggal:
17-12-2007
Isi:
KEMULIAAN DAN DAMAI SEJAHTERA Pada malam ketika Tuhan Yesus dilahirkan, para malaikat dan bala tentara surga memuji Allah dan berkata, "KEMULIAAN BAGI ALLAH DI TEMPAT YANG MAHA TINGGI DAN DAMAI SEJAHTERA DI BUMI DI ANTARA MANUSIA YANG BERKENAN KEPADANYA" (Lukas 2:14). Betapa sederhananya kedua kalimat pujian tersebut, namun di dalamnya terkandung dua pemberitaan penting, yakni: KEMULIAAN dan DAMAI SEJAHTERA. Berita pertama berkenaan dengan yang berada di tempat yang mahatinggi dan berita kedua berkenaan dengan yang berada di bumi. Di tempat yang mahatinggi ada KEMULIAAN dan di bumi ada DAMAI SEJAHTERA. KEMULIAAN dan DAMAI SEJAHTERA saling berkaitan erat, tetapi urutannya terlebih dahulu harus ada KEMULIAAN di tempat yang mahatinggi, barulah kemudian ada DAMAI SEJAHTERA di bumi. Jika kita terlebih dahulu mengutamakan KEMULIAAN di surga, barulah kita bisa mendapatkan DAMAI SEJAHTERA Allah di bumi.
Sumber:
Diambil dan disunting seperlunya dari:
NATAL AKBAR 2007
PELAKSANAAN:
CONTACT PERSON: selengkapnya...» Pentingnya Pekerjaan Anda di Mata Tuhan
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Artikel yang saya kirimkan ke mailbox Anda ini sudah cukup panjang. Jadi, saya tidak perlu menambah dengan komentar lagi. Saya hanya ingin menegaskan bahwa artikel ini akan menjadi jawaban dari dua pertanyaan yang banyak ditanyakan oleh orang awam.
Selamat menemukan jawabannya. In Christ, Yulia < yulia(at)in-christ.net >
Penulis:
Neil Hood
Edisi:
093/XI/2007
Tanggal:
19-11-2007
Isi:
Pentingnya Pekerjaan Anda di Mata Tuhan"Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran." (Yoh. 1:14) Sebelum kita melihat lebih jauh mengenai bagaimana memahami dunia kerja melalui sudut pandang alkitabiah, kita perlu mempertimbangkan bagaimana Tuhan memandang pekerjaan kita. Jika kita tidak tahu apa arti pekerjaan kita dan dampaknya bagi Tuhan dan kerajaan-Nya, kita berisiko memandang iman dalam bekerja sebagai sesuatu yang tak penting. Topik ini menghadirkan dua pertanyaan pokok dan kemudian kita akan melihat sekilas apa yang dikatakan Alkitab mengenai sikap yang Tuhan inginkan dalam kita bekerja. Apa istimewanya pekerjaan saya? Kita akan membahas beberapa prinsip berkenaan dengan pekerjaan secara mendalam dan praktis sembari kita berusaha mencari jawaban atas pertanyaan utama: "Pekerjaan siapakah ini sebenarnya?" Sangat mudah bagi kita untuk terjebak dalam rutinitas sehari-hari -- keasyikan dalam mengerjakan tugas dan memenuhi tenggat waktu, pentingnya menanggapi tekanan, dan tuntutan kerja yang berubah-ubah -- sehingga kita tidak lagi bepikir bahwa sebenarnya pekerjaan kita berarti untuk Tuhan. Orang Kristen dianjurkan untuk memulai harinya bersama Tuhan dan menegaskan kembali tujuan dan misinya dalam bekerja. Namun, kedisiplinan untuk melakukan anjuran itu sangat mudah sekali dilindas oleh semangat dan kesibukan dalam bekerja. Kedisiplinan itu memang penting, tapi itu saja tidak cukup untuk membuat kita sadar bahwa pekerjaan yang kita lakukan, demikian halnya dengan sikap kita saat bekerja, benar-benar berarti bagi Tuhan. Jika saya dapat memahami tujuan Tuhan dalam pekerjaan saya, sejauh manakah saya dapat memahaminya? Dengan segala aspeknya, pekerjaan dapat membuat kita sangat sibuk saat jam kerja (dan jam di luar jam kerja) sehingga kita melupakan rencana indah di balik posisi yang Tuhan berikan kepada kita sekarang ini. Malahan, banyak orang Kristen tidak menyadari bahwa ada rencana di balik semua hal yang kita lakukan. Ada banyak orang (termasuk orang Kristen) yang akan membuat Anda bosan selama berjam-jam saat mereka menceritakan segala rincian tentang apa yang istimewa dari pekerjaan mereka. Mereka bisa dengan kesungguhan menjawab pertanyaan, "Apa istimewanya pekerjaan saya?" Sisi negatifnya, jenis pembicaraan seperti ini menyingkapkan keistimewaan diri, kekuasaan, status profesional, permainan kekuasaan, dan sebagainya. Sedangkan sisi positifnya, semua orang perlu memiliki pemikiran bahwa pekerjaan mereka berarti dan berperan dalam kebutuhan mereka dan dalam masyarakat. Walaupun kenyataannya ada orang-orang yang tidak suka membicarakan pekerjaan mereka. Kita mencari jawaban untuk pertanyaan yang sedikit berbeda, yaitu "Apa istimewanya pekerjaan saya bagi Tuhan?" Untuk menjawabnya, kita perlu memahami kehendak Tuhan atas para murid-Nya. Sangat tidak mungkin jika Tuhan yang memanggil kita untuk mengikut-Nya, tidak memiliki tujuan saat menempatkan kita pada tempat di mana kita menghabiskan dua pertiga waktu kita dan setengah dari hidup kita. Menyangkali tujuan Tuhan berarti menganggap panggilan itu hanya setengah-setengah dan pemuridan itu adalah palsu. Untuk memahami arti pemuridan, kita perlu mempertimbangkan semangat dan sikap kita dalam bekerja. Doa John Oxenham sangat menantang: "Tuhan, ubahlah rutinitas pekerjaan menjadi perayaan kasih". Saya menyadari bahwa saya takkan pernah dapat melakukan hal itu sampai saya bisa menjawab pertanyaan utama kita. Jadi, saya harus menanyakan apa sebenarnya keistimewaan pekerjaan saya bagi Tuhan? Sikap seperti apa yang Tuhan ingin saya lakukan dalam bekerja? Empat sikap ilahi berikut akan menuntun kita kepada jawabannya. Menjadi saksi Kita bisa menerapkan Amanat Agung Yesus hanya jika kita bersedia menerima dan menaati perintah-Nya. "Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman" (Mat. 28:18-20). Karena ayat ini tidak menjelaskan secara gamblang mengenai pekerjaan sekular, sulit untuk melihat bagaimana murid yang potensial bisa dijangkau atau diajar tanpa perlu melibatkan diri dengan mereka dalam situasi kerja. Yesus tidak hanya bekerja sebagai tukang kayu, Ia juga mengunjungi orang- orang di tempat kerja mereka (di perahu, kantor pemungut pajak, dsb.) dan menantang serta mengajar mereka menerapkan iman mereka dalam situasi kerja. Amanat Agung meliputi perintah untuk mengajar semua bangsa "segala sesuatu" yang diperintahkan Yesus -- dan Ia mengajarkan banyak hal tentang sikap dalam bekerja! Sikap Yesus terhadap pekerjaan kita adalah kunci mengapa pekerjaan kita penting dan yang akan menghancurkan pemikiran kita bahwa iman dan pekerjaan itu harus dipisahkan. Mungkin tempat kerja kita adalah satu-satunya tempat di mana rekan kerja kita bisa mengenal kekristenan. Akan tetapi, apakah itu berarti kita harus memprioritaskan penginjilan di tempat kerja kita? Jika memang demikian, pekerjaan yang kita lakukan sekarang akan menjadi pekerjaan sambilan yang tidak terlalu penting. Mungkin kemudian kita menganggap pekerjaan kita "hanyalah sebuah pekerjaan" dan sebuah sarana untuk mencapai tujuan akhir. Dengan sikap seperti itu, kita tidak akan memuliakan Tuhan melalui performa dan sikap kita dalam bekerja. Pekerjaan kita kemudian akan tidak sesuai dengan beberapa aturan standar yang ada di Alkitab. Efesus, misalnya, mendorong murid untuk "... dengan rela menjalankan pelayanannya seperti orang-orang yang melayani Tuhan dan bukan manusia. Kamu tahu, bahwa setiap orang, baik hamba, maupun orang merdeka, kalau ia telah berbuat sesuatu yang baik, ia akan menerima balasannya dari Tuhan" (Ef. 6:7-8). Ayat tersebut jelas-jelas menyatakan bahwa Tuhan mengharapkan sebuah pekerjaan yang dikerjakan dengan sangat baik karena dari situlah kesaksian yang efektif akan muncul. Kombinasi pekerjaan yang seperti itulah yang Ia inginkan. Kekristenan akan bekerja saat kita menjadi teladan yang hidup. Dibentuk oleh Tuhan Saya memerlukan beberapa waktu untuk bisa melihat bagaimana Tuhan telah memakai pengalaman kerja saya yang beragam -- yang baik dan yang buruk -- guna membentuk saya untuk kepentingan pelayanannya. Terkadang sulit untuk kita pahami bagaimana Tuhan membentuk hidup kita ketika atasan kita selalu dipuji atau selalu dapat menghadapi konflik dalam semua hubungan kerjanya, atau ketika rekan kerja kita bersikap sinis terhadap agama kita. Pengalaman seperti itu nampaknya bukanlah suatu pembentukan yang positif. Namun, bagi kebanyakan orang, tempat di mana kita bekerja dan menghabiskan sebagian besar hidup, berperan penting bagi perkembangan iman kita kepada Tuhan. Dan, setiap kita telah dibentuk dengan cara yang berbeda. Terkadang, semakin buruk situasi kerja kita, semakin teguh kita memegang iman kita. Tuhan tidak selalu mengubahkan pekerjaan, tetapi Ia mengubah pekerja-Nya. Paulus mengaitkan proses ilahi itu dalam frasa "kita adalah ciptaan Tuhan" (Ef.2:10) -- secara harafiah, ini berarti kita adalah hasil karya-Nya yang hidup, dengan segala keterampilan dan keunikan yang terpancar darinya. Melalui proses "berjalan dalam Roh" (Gal. 5:25), kita telah menjadi seperti itu. Sayangnya, tidak semua orang Kristen teguh ketika melalui ujian itu. Saya mengenal begitu banyak profesional Kristen muda yang dibentuk oleh ambisi, uang, dan kekuasaan daripada oleh iman. Hubungan mereka dengan Tuhan adalah hubungan yang salah. Sebaliknya, lihatlah bagimana kemampuan Yusuf dalam memimpin Mesir diasah oleh pengalamannya dibuang dan diperbudak. Proses hidup yang menyakitkan itu membawanya ke dalam istana dan posisi istimewa dalam kepemimpinan. Daniel juga berubah dari seorang tawanan menjadi seorang pemimpin yang memimpin sepertiga kerajaan Babilonia. Dari awal, perannya sebagai saksi dalam pekerjaan sangat luar biasa. Dalam hal performa kerja, dia dan teman-temannya lebih baik sepuluh kali lipat daripada mereka yang tidak mengenal Tuhan (Dan. 1:20). Kebanyakan dari kita sudah merasa senang bila kita lebih baik dua kali lipat daripada orang lain. Jika kita mengizinkan Tuhan membentuk kita sesuai keinginan-Nya, Ia akan memiliki pelayan- pelayan handal di tempat kita bekerja. Terkadang ada kehampaan dalam kita bekerja -- kehampaan yang muncul akibat penolakan kita terhadap tujuan-Nya. Prinsip bagaimana kita memandang pekerjaan dalam konteks hubungan yang benar dengan Tuhan mencakup banyak bidang pekerjaan. Kita semua perlu mengetahui jawaban pertanyaan "pekerjaan siapakah ini sebenarnya?" Dalam kitab Kolose, misalnya, dikatakan untuk budak (kelas masyarakat yang paling rendah): "taatilah tuanmu yang di dunia ini dalam segala hal, jangan hanya di hadapan mereka saja untuk menyenangkan mereka, melainkan dengan tulus hati karena takut akan Tuhan. Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. (Kol. 3:22-24)" Kita jarang membayangkan pekerjaan kasar, rendah, dan buruk yang dilakukan oleh budak-budak pada masa itu. Namun, Tuhan sendiri menghargai pekerjaan itu karena pekerjaan itu dilakukan untuk-Nya. Sebaliknya, anggota masyarakat yang paling berkuasa yang telah menjadi Kristen diminta untuk bersikap lain dari pada yang biasa mereka lakukan di masa lalu. Di dunia di mana budak tidak memiliki suatu hak apa pun juga, Tuhan memerintah para penguasa: "berlakulah adil dan jujur terhadap hambamu; ingatlah, kamu juga mempunyai tuan di sorga" (Kol. 4:1). Sungguh suatu cerminan dampak Roh Kudus dalam hidup mereka! Kristus memperkenalkan dua kelas masyarakat itu kepada dimensi pekerjaan mereka yang lebih tinggi, kepada apa yang menjadi kewajiban mereka dalam bekerja. Yesus Kristus mengingatkan mereka bahwa Ialah penguasa lingkungan kerja mereka. Mungkin mengejutkan bahwa asumsi dari ayat itu adalah Tuhan mendominasi pekerjaan kita. Mungkin kita bisa membatasi-Nya, tapi itu jelas bukan rencana-Nya. Kita harus masuk dalam rencana-Nya! Menyaksikan kasih Tuhan dalam tindakan Menyaksikan kasih Tuhan memang berkaitan dengan peran khusus kita sebagai saksi, lebih spesifik dengan sikap kita dalam pekerjaan. Kini kita berada dalam bagian yang sulit. Perilaku kerja orang Kristen banyak yang tidak menunjukkan keilahian Tuhan. Beberapa orang Kristen cenderung dikarakterisasi oleh kekakuan, kearoganan, kepicikan, dan mulut besar mereka daripada keilahian Tuhan. Kelemahan gereja yang paling besar adalah kehidupan jemaatnya yang tidak mencerminkan Kristus. C.H. Spurgeon pernah menyatakan, "Jika pengetahuan teologi Anda tidak bisa mengubah Anda, maka nasib Anda juga tidak bisa berubah." Ketika ditanya tentang perintah Allah yang terbesar, Yesus menjawab, "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu." ... Dan yang kedua adalah: "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" (Mat. 22:37,39). Hal tersebut adalah sebuah mandat yang menantang -- mengasihi Tuhan, sesama, dan diri kita sendiri. Makna praktis mandat tersebut sangat luas. Mengasihi Tuhan memerlukan ketaatan. Seberapa sering kita merenungkan pekerjaan dan sikap kita dalam bekerja? Seberapa sering kita bertanya apakah dan di mana kasih Tuhan nyata dalam sikap kita? Haruskah kasih kita kepada Tuhan tampak dalam cara kita memperlakukan orang, cara kerja, kinerja, motivasi kita, dsb.? Misalnya, bagaimana kasih itu bisa tampak ketika melayani pelanggan yang merepotkan di toko? Bagaimana kasih itu bisa tampak dalam hubungan seorang manajer dengan pegawai yang kaku? Dalam kehidupan seorang perawat yang kelelahan merawat pasien yang tidak tahu terima kasih? Kita mungkin tergoda untuk menanyakan, "Apa hubungan kasih dengan pekerjaanku?" Jawaban Alkitabiah untuk pertanyaan itu adalah -- segalanya. Namun ada sebuah misteri dan kenyataan dalam hal ini. Tuhan bisa saja dengan mudah mengkloning kita saat Ia memanggil kita. Namun, ternyata Ia memanggil kita dengan segala kesalahan kita. Dan, melalui kuasa Roh Kudus, Tuhan mampu mengubah kita sehingga kita bisa mengekspresikan kasih-Nya dalam tindakan dan pekerjaan kita. Seperti itulah seharusnya seorang tukang kayu, bankir, sopir truk, dokter, tukang ledeng, atau guru dalam mengerjakan pekerjaan Tuhan. Sebagian dari kasih ini dinyatakan melalui hubungan di tempat kerja. Selain itu, kasih juga harus terlihat nyata melalui bentuk pelayanan kita yang lain seperti membantu sesama dan peduli kepada keluarga dan mereka yang membutuhkan. Meskipun William Tyndale mengatakan beberapa abad yang lalu, tetapi perkataannya itu sepenuhnya alkitabiah dan tidak ketinggalan zaman dalam penerapannya. "Tidak ada pekerjaan yang lebih baik dalam menyukakan Tuhan; menuangkan air, mencuci piring, menjadi tukang sepatu, atau rasul, semuanya sama; mencuci piring dan berkhotbah adalah sama, semuanya untuk menyenangkan Tuhan." Untuk memuliakan Tuhan Dalam hal yang penting ini, kita menghadapi tantangan besar. Dalam pekerjaan, kita dituntut untuk memimpin orang-orang yang berinteraksi dengan kita untuk bersyukur dan memuliakan-Nya. Mungkin Anda bertanya, untuk apa? Untuk mereka melihat Kristus dalam diri kita; untuk mereka melihat perbedaan yang disebabkan oleh Roh dalam hidup kita, untuk mereka melihat perbuatan kita yang menyatakan kasih Kristus; untuk mereka melihat penyataan iman kita; untuk mereka melihat integritas kita, untuk mereka melihat kepedulian kita terhadap orang lain, dsb.. Kalimat "supaya kami, yang sebelumnya telah menaruh harapan pada Kristus, boleh menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya" (Ef. 1:12) menyiratkan hal itu, bahkan lebih. Sangat mudah untuk menyerah dan mengatakan bahwa panggilan ini adalah mustahil karena beberapa alasan. "Saya bekerja dengan orang-orang yang tidak mengenal atau memuji Tuhan"; "tidak ada seorang pun di sini yang berpikiran seperti itu -- jika saya seorang yang baik, mereka tidak akan tahu kepada siapa mereka harus berterima kasih (itu pun jika mereka terpikir untuk berterima kasih)"; "orang-orang memerhatikan perbedaan, namun hanya dalam hal yang umum -- baik atau buruk, ramah atau kasar, dll. -- mengapa mereka perlu sebuah alasan?"; "situasi kerja di sini sangat tidak menyenangkan, Tuhan tidak mungkin akan dimuliakan di sini". Semua tanggapan ini mengarah kepada satu jawaban yang masuk akal. Saya harus hidup sebagai pengikut Kristus dan berbicara tentang-Nya. Bagaimana lagi orang Kristen harus bersikap? Orang Kristen terpanggil untuk menjadi lebih dari sekadar "orang yang baik". Hal itu menghadirkan masalah untuk beberapa orang Kristen. Mereka berpendapat, lebih baik bertindak daripada berbicara. Sebenarnya, keduanya penting. Kebanyakan dari kita tinggal dalam dunia yang maju, di tengah masyarakat yang mungkin post-Kristen. Banyak orang yang lupa akan arti mengikut Kristus. Menurut mereka, menjadi orang Kristen bukanlah menjadi sesuatu yang berbeda, sama saja. Orang lain membutuhkan penjelasan mengapa kita melakukan hal tertentu, dan kita harus menjelaskannya kepada mereka. Penulis Perjanjian Baru dengan konsisten mengatakan kepada kita bahwa kemuliaan sifat, karakter, kekuasaan, dan tujuan Allah terlihat dalam diri Yesus. Seperti yang dikatakan penulis kitab Ibrani, misalnya, "Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan" (Ibr. 1:3). Yohanes menulis sabda Allah melalui Alkitab dengan kuasa Roh Kudus. Yesus ada dalam diri kita melalui Roh Kudus -- dan saat ini kita memang menjadi bagian dari sabda-Nya. Dalam segala hal, pekerjaan "memuliakan" tetap diteruskan melalui kita. Namun, bagaimana kita tahu bahwa kita memuliakan Tuhan? Mungkin kita tidak akan pernah menyadarinya. Memang, ada alat untuk mengetahui tingkat kolesterol, tekanan darah, atau keadaan jantung kita, tetapi tidak ada yang namanya "alat pengukur kemuliaan". Namun, kita diyakinkan bahwa Tuhan senang karena kita menaati panggilan-Nya, dan ketaatan itu akan dengan sendirinya membawa kemuliaan bagi nama-Nya. Tugas kita adalah mengatur pekerjaan kita, dan Tuhan yang akan menilai hasilnya. Namun begitu, ada aspek lain yang juga penting dalam memuliakan Tuhan. Dalam Alkitab, pekerjaan dan penyembahan sangat berkaitan. Bahkan, kata "bekerja" dalam bahasa Ibrani terkadang diartikan sebagai `penyembahan`. Mark Greene mengaitkannya setelah mengamati bahwa "bekerja adalah kata yang dibentuk oleh tujuh huruf"[1]. Ketika seorang Kristen bekerja, dia juga sedang menyembah. Apakah Anda merasa sudah melakukannya setiap hari? Cara kerja dan cara menyikapi pekerjaan yang buruk akan mengarah kepada penyembahan yang berkualitas buruk pula -- atau tidak menyembah sama sekali. Jika itu terjadi, kemuliaan Allah sedang dirampok sebanyak dua laki lipat -- karena kita tidak mendorong orang lain untuk memuliakan-Nya karena kita sendiri pun tidak memuliakan-Nya. Doa Daud, ketika dia mempersiapkan Bait Allah yang kelak akan dibangun oleh anaknya, Salomo, menyiratkan pola penyembahan dalam Alkitab: "Ya TUHAN, punya-Mulah kebesaran dan kejayaan, kehormatan, kemasyhuran dan keagungan, ya, segala-galanya yang ada di langit dan di bumi! Ya TUHAN, punya-Mulah kerajaan dan Engkau yang tertinggi itu melebihi segala-galanya sebagai kepala" (1 Taw. 29:11). Yesus mengambil inti dari doa itu yang kemudian Dia ajarkan kepada murid-murid-Nya (Mat.6:9-13). Seperti yang dikatakan William Barclay, "Saya tidak bisa mengatakan amin (untuk doa itu) kecuali saya bisa mengatakannya dengan sungguh-sungguh. Karena bagaimanapun juga itu adalah doa saya." Sungguh-sungguh suatu tantangan yang besar untuk memuliakan Tuhan dalam hidup dan pekerjaan kita [2]. Aksi: Kita telah membahas empat cara agar pekerjaan kita bisa memuliakan Tuhan. Periksa dan nilailah pekerjaan Anda sekarang berdasar empat prinsip ini. Berdoalah agar Anda mampu bersikap jujur dan objektif. Kita semua perlu belajar banyak dan mencoba menerapkannya dengan lebih baik. Bagaimana Anda menjawab pertanyaan, "Apa pentingnya pekerjaanku bagi Tuhan?" Apakah Tuhan tercermin dalam sikap kerjaku? Sikap kerja kita berperan penting dalam menentukan peran unik kita nantinya. Ketika Anda mengerjakan beberapa aksi di atas, Anda mungkin merasakan kepedihan akan sikap Anda yang sekarang. Saya sendiri merasakan seperti itu. Mari kita bahas hal ini lebih dalam dengan melihat "semangat zaman" ini. Bagaimana dan di mana semangat zaman ini bisa memengaruhi kerja kita yang begitu dipedulikan Tuhan? Saya mencari profil seseorang atau perusahaan untuk mengetahui sikap yang umum dilakukan dalam bekerja. Saya tidak butuh waktu lama untuk menemukan apa yang saya cari -- profil-profil seperti itu banyak terdapat dalam media massa dan pelatihan yang ada di seluruh dunia. Mereka inilah yang membentuk opini yang memengaruhi kita dalam menetapkan konteks mengenai bagaimana orang Kristen harus bekerja. Inilah sepuluh pandangan mereka tentang diri mereka sendiri atau orang lain yang mereka kagumi.
Anda akan melihat betapa tegas dan kerasnya pernyataan-pernyataan di atas. Ada beberapa pernyataan yang sangat ekstrem, dan kebanyakan terkesan negatif. Ambisi dan persaingan memang dibutuhkan agar kinerja seseorang baik -- pada tingkat tertentu, hal itu akan membawa kemuliaan bagi Tuhan. Namun, bagian-bagian lain, seperti meniadakan moral atau tidak ingin berkeluarga, tidak bisa disebut sebagai prinsip orang Kristen. Anda mungkin mengenal banyak orang seperti itu atau jangan-jangan Anda sendiri memiliki pemikiran seperti itu, tergantung dari jenis pekerjaan yang Anda lakukan. Mungkin Anda baru saja memulai karier dan mengabaikan hal ini, atau mungkin Anda berada di pertengahan karier dan semua ini terdengar seperti "memang seperti itulah bisnis". Bukan hanya "pemimpin dunia industri" yang menggunakan pernyataan- pernyataan seperti itu. Saya sudah bertemu dengan orang-orang seperti ini dalam jalan kehidupan yang sangat berbeda. Banyak dari mereka yang mengganggap bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah suatu kehormatan. Meskipun ada yang melecehkan sikap-sikap seperti itu, tetapi pada kenyataannya banyak yang memercayai dan melakukannya. Dan, sebagian dari mereka adalah orang-orang Kristen. Kini kita tahu bahwa pekerjaan kita berarti untuk Tuhan -- setidaknya itulah yang diharapkan Tuhan. Namun, berarti atau tidaknya pekerjaaan kita tergantung dari sikap dan perilaku kita. Cermati lagi kesepuluh perilaku di atas. Pikirkanlah kesepuluh hal itu sebagai tempat kita bercermin, yang mana yang ada pada diri Anda dan lingkungan kerja Anda. Tanggapan: Apakah Anda mengekspresikan salah satu dari karakteristik ekstrem di atas ketika Anda bekerja? Jika ya, pikirkanlah bagaimana sikap itu memengaruhi peran pekerjaan yang Tuhan inginkan. Jika Anda cukup berani, mintalah pendapat dari rekan kerja untuk melihat bagaimana mereka menanggapi Anda. Apa yang akan Anda lakukan untuk mengubah sikap yang tidak ilahi ini? Jika Anda memiliki karakteristik- karakteristik seperti itu, berdoalah agar Anda dilepaskan dari pencemarannya. Sikap dalam pekerjaan yang Tuhan inginkan Sang Pencipta tahu semua kelemahan dan kelebihan kita -- dan diberikan-Nyalah Alkitab sebagai penuntun hidup kita. Karena etika Kristen tidak dikembangkan dalam gereja atau untuk gereja, John Stott kemudian meneliti, "... konteks Perjanjian Baru bagi kehidupan Kristen adalah ramai, sibuk, dan menantang di tempat kerja dan lingkungan bisnis." [3] Apa yang kita lakukan di sini adalah mengaitkan apa yang telah lama terpisahkan. Kita bisa dengan yakin mengatakan Tuhan tidak bermaksud untuk memisahkan pekerjaan dan kehidupan dari iman. Dan untuk itu, Alkitab memiliki banyak pandangan yang sangat membantu untuk mengetahui sikap yang diperlukan untuk dapat bersaksi tentang Tuhan melalui pekerjaan kita. Segera, kita akan membahas ketiga sikap itu. Bait Allah Dalam 1 Korintus 3:16, Paulus mengemukakan pertanyaan, "Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu?" (1 Kor. 3:16). Maksudnya adalah bahwa bait Allah itu sangat suci dan "Anda adalah bait itu. Ini adalah metafora yang sangat luar biasa dan memandang manusia dengan sangat tinggi. Bagi sebagian dari kita, pandangan ini mungkin terlalu tinggi. Apa yang dikatakan dalam ayat itu, mungkin sulit untuk kita penuhi -- terutama dalam lingkungan kerja. Meski begitu, nilai yang dimiliki orang Kristen di dunia ini terletak pada hubungan istimewa mereka dengan Tuhan. Itulah pekerjaan yang dimaksudkan Alkitab. Untuk itulah Kristus mati. Lebih jauh lagi, kita perlu bertanya pada diri sendiri mengenai kegiatan yang dilakukan dalam bait ini, di tempat yang sebenarnya adalah milik Tuhan. Siapa lagi yang tinggal di dalamnya? Apakah bait kita hanyalah sekadar bangunan sejarah atau tempat untuk menyembah dan bersaksi? Lebih dalam lagi, ini berarti bahwa Anda membawa serta Roh Kudus saat Anda bersikap tanpa kasih, mencaci maki orang lain atau bawahan Anda. Roh Kudus ada ketika Anda berbohong kepada seorang pelanggan tentang permasalahan produk yang Anda miliki. Roh Kudus melihat Anda sedang berbohong saat mengajukan klaim. Roh Kudus di sana, menunggu, ketika sebenarnya Anda memiliki kesempatan untuk bersaksi, tetapi tidak pernah menyatukan iman dan pekerjaan sebagai sebuah prinsip. Jika hal itu membuat Anda menangis, menangislah. Kadangkala, inilah fakta menyedihkan kehidupan seorang Kristen di tempat kerjanya. Masalahnya bukanlah bagaimana saya dapat hidup seperti Kristus, melainkan bagaimana saya mengizinkan Kristus hidup di dalam saya. Tubuh saya adalah rumah -- apakah Roh Kudus sudah tinggal di dalamnya? Partner Allah Bersekutu dan berbagi adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan Kristen. Prinsip bersekutu mengakar dalam bidang bisnis dan komersial. Namun, hal ini sangat relevan dengan pembahasan kita. Tidak akan ada persekutuan jika kedua belah pihak tidak memiliki tujuan yang sama; harus ada alasan kuat untuk terlibat dalam hubungan tersebut, dan alasan itu harus mampu bertahan dalam keadaan baik ataupun buruk. Persekutuan jarang dapat bertahan lama jika salah satu pihak "tidur", atau bersikap pasif. Apakah Anda pernah "bersekutu dengan Kristus"? Apakah Anda pernah berpikir untuk melakukan (atau tak melakukan) pekerjaan Tuhan? Tanpa terkecuali, semua orang Kristen disebut sebagai rekan dalam anugerah Tuhan. Paulus mendapat gagasan ini saat ia bersyukur pada Tuhan karena "persekutuanmu dalam Berita Injil mulai dari hari pertama sampai sekarang ini. Akan hal ini aku yakin sepenuhnya, yaitu Ia, yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus (Fil. 1:5-6)." Sungguh melegakan karena Alkitab ternyata mengerti kebutuhan kita yang selalu membutuhkan bantuan untuk menjalankan peran kita. Selain kekuatan, persekutuan juga memerlukan semangat yang benar. Hal itu tidak bisa dijalankan bila saya merasa terpaksa membawa masuk Tuhan dalam kerja saya. Anda bisa beranggapan bahwa Tuhan mempunyai suatu pekerjaan untuk Anda lakukan bersama-sama di tempat kerja Anda; tetapi terkadang Anda tidak selalu menjadi rekan yang mau bekerja dengan-Nya. Murid-murid Allah Karakter orang Kristen sesungguhnya adalah sebagai murid. Ini merupakan tujuan hidup -- berdasar sikap rendah hati yang rindu untuk mengenal dengan lebih dalam tentang orang yang diikutinya. Bagi sebagian besar dari kita, kerja bisa menjadi lingkungan yang keras -- serta merupakan tempat di mana kita semua melakukan kesalahan. Aturan pertama untuk semua murid adalah mengakui bahwa orang lain mungkin benar dan dia bisa saja salah. Perkataan spontan, situasi yang tak terduga, rekan kerja yang tidak mau menolong adalah beberapa hal yang bisa menyebabkan perilaku kita tidak mencerminkan Kristus. Kita perlu ingat bahwa apa yang sedang kita pelajari adalah tentang kebesaran dan kemampuan Tuhan dalam mengatasi setiap tantangan-tantangan hidup kita. Orang lain perlu (beberapa orang ingin) untuk belajar dari kita. Banyak orang tidak membaca Alkitab. Dalam kehidupan kerja kita, kita tidak selalu mendengarnya dalam perkataan yang ditujukan untuk Filipus, "Tuan, kami ingin bertemu dengan Yesus" (Yoh. 12:21). Para pencari kebenaran dari Yunani ini menggambarkan kehausan akan Tuhan yang tidak selalu dimiliki sesama kita. "Permintaan" itu terkadang tidak diekspresikan; situasi kantor biasa-biasa saja, terkadang muncul pertanyaan yang sinis dan mencemooh, ada juga kata-kata celaan. Namun, pada kenyataannya, orang-orang memang mencari fakta dari pembelajaran dan kepengikutan kita akan Tuhan. Apa yang mereka lihat? Jika mereka mencatat di buku harian, apakah yang akan mereka tulis tentang "kehidupan seorang Kristen"? Tantangan Bahasan dalam artikel ini meliputi beberapa materi yang agak pribadi mengenai keinginan Tuhan, sikap kita, dan pekerjaan kita. Luangkanlah beberapa menit untuk merenungkan hal-hal berikut.
Tambahan Catatan Kaki: [1] Mark Greene, `Thank God It`s Monday; Ministry in the Workplace (London: Scripture Union, 1994), hal. 36. [2] William Barclay, The Plain Man Looks at the Lord`s Prayer (London: Collins, 1964. [3] John Stott, The Incomparable Christ (Leicester: IVP, 2001), hal 96-97.
Sumber:
Diterjemahkan dari: REFORMATIONAL WORLDVIEW CHAPELEksposisi Surat 1 Petrus
Untuk informasi lebih lanjut hubungi: Untuk berkunjung ke situs: REFORMATIONAL WORLDVIEW CHAPELEksposisi Surat 1 Petrus PELAKSANAAN: Untuk informasi lebih lanjut hubungi: Untuk berkunjung ke situs: Esensi dan Relevansi Teologi Reformasi
Editorial:
Salam, Reformasi abad ke-16 yang dimotori oleh Martin Luther adalah momentum Illahi. Sebuah gerakan pembaharuan rohani yang muncul tepat pada puncak penduniawian gereja oleh Katolik Roma. Momen ini dapat ditafsirkan sebagai sejarah yang terulang sejak Reformasi Ezra dan Nehemia dalam sejarah umat Allah untuk pemurnian umat. Dipublikasikannya 95 Tesis sebagai data akurat dan tidak terbantahkan yang disusun oleh Martin Luther untuk menunjukkan bukti penyimpangan ajaran dan korupsi gereja Katolik Roma di gerbang gereja Wittenburg adalah titik penentu keefektifan Reformasi ini. Efektivitas Reformasi yang terutama adalah revitalisasi religiusitas dan teologis. Reformasi adalah awal babak baru pemurnian iman dan pengajaran dalam gereja Tuhan dan menjadi penentu arah perkembangan teologi dan pengajaran di kemudian hari. Calvin, penerus Luther, adalah salah seorang reformator yang mampu menafsirkan gerakan itu sebagai momen yang mampu merevitalisasi kehidupan religius dan teologia pada zamannya dan berefek sampai hari ini. Baginya, kebenaran ajaran dan teologi gereja ditentukan dan didasarkan pada Alkitab dan interpretasinya yang benar. Prinsip Sola Scriptura adalah penentu keberhasilan Reformasi. Dari prinsip ini akan ditemui prinsip-prinsip yang menyertainya, seperti Sola Gratia dan Sola Fide, termasuk Sola Gloria. Tugas Calvin, khususnya sebagai penafsir Alkitab, telah berhasil membawa Reformasi keluar dari mistikisme gereja; corak dominan pengajaran dan teologia gereja abad pertengahan, dengan cara menolak interpretasi Alkitab secara alegoris. Sebaliknya, Calvin, secara realistis sanggup memadukan doktrin dan mengajarkannya dari sudut pandang pembinaan untuk warga jemaat secara sistematis dan alkitabiah. Calvin mampu mengajarkan kemuliaan Allah berdasarkan kebutuhan rohani pada zamannya yang secara esensi tidak bisa dilepaskan dari prinsip Alkitab. Gerakan Reformasi itu sangat biblikal karena menekankan pentingnya penafsiran Alkitab secara literal dan historis. Alkitab adalah dasar Reformasi dan kedaulatan Allah adalah segala- galanya. Karena Reformasi sangat menekankan Alkitab dan kedaulatan Allah sebagai pusat teologi, maka pada era-era sekarang, teologi Reformasi cenderung menjadi "tolok ukur" untuk menguji teologia- teologia lainnya. Teologi Reformasi "mampu mengukur" konsistensi dan ketepatan, sekaligus mendeteksi penyimpangan berbagai aliran teologi. Dari sinilah prinsip Calvin, "Speak where the Scriptures speak; be silent where they are silent" menjadi terkenal. Bagi Calvin, Alkitab dan Allah tidak dapat dipisahkan dalam pengajaran dan teologia alkitabiah. Inilah salah satu warisan Reformasi yang sangat berpengaruh sampai saat ini di samping warisan-warisan besar lainnya. Untuk memperingati Hari Reformasi Gereja, yang akan diperingati tanggal 31 Oktober 2007 nanti, dan juga untuk mengingat kembali efektivitas gerakan Reformasi abad ke-16 yang lalu dan menguji kembali apakah kebenaran yang telah ditegakkan oleh para reformator, khususnya Calvin, tentang pentingnya Alkitab sebagai sumber final pengajaran dan teologi itu masih relevan, maka, tulisan Dr. Daniel Lucas Lukito di bawah ini mencoba menganalisa kesinambungan esensi dan relevansi gerakan tersebut dalam pengajaran iman dan teologi Kristen hari ini. Selamat memperingati Hari Reformasi Gereja! Sola Gratia,
Penulis:
Daniel Lucas Lukito
Edisi:
092/X/2007 (15-10-2007)
Tanggal:
15-10-2007
Isi:
PENDAHULUAN Menurut kronologi sejarah, gereja Protestan mulai bereksistensi pada peristiwa Reformasi abad ke-16. Sekalipun saat itu Martin Luther -- juga kemudian John Calvin -- menentang ajaran gereja Katolik Roma, mereka tidak bermaksud mendirikan gereja yang baru. Tujuan Reformasi itu sendiri adalah untuk menyerukan sebuah amanat agar gereja kembali kepada dasar ajaran dan misi yang sesungguhnya; gereja disadarkan dan dibangunkan agar berpaling pada "raison d`etre" dan vitalitasnya di bawah terang Injil. Menurut ajaran gereja Katolik Roma pada zaman itu, gereja memiliki "gudang" penyimpanan anugerah berlimpah yang diperoleh dari orang- orang kudus yang perbuatan baiknya melampaui tuntutan kewajiban bagi keselamatan mereka. Itulah sebabnya, bagi mereka yang kekurangan anugerah, gereja sebagai sumber dapat menyalurkannya. Dari konsep pemikiran tersebut, meluncurlah ajaran tentang "surat penghapusan siksa" (indulgences) yang dapat diperjualbelikan. Bahkan Paus Sixtus IV, pada ca. 1460 mendeklarasikan bahwa khasiat dari surat penghapusan itu dapat ditransferkan kepada orang Kristen yang jiwanya "tersangkut" dalam purgatori atau (tempat) api penyucian. Karena itulah, pada 31 Oktober 1517 Luther memakukan 95 tesis atau keberatan pada pintu sebuah gereja di Wittenberg. Ia mengajukan keberatan sekaligus protes yang isinya sebenarnya ditujukan kepada penyimpangan ajaran dan korupsi gereja, khususnya dalam hal penjualan "surat penghapusan siksa" di mana seakan-akan pengampunan dosa itu sendiri dapat diperoleh secara kontribusional atau komersial.[1] Jadi, tujuan Luther yang sepolos-polosnya dan semurni-murninya ialah mengembalikan gereja pada esensi yang sesungguhnya dari iman Kristen. Memang secara umum, istilah "reformasi" menunjuk pada adanya suatu penyimpangan atau penyelewengan yang dienyahkan serta adanya suatu usaha penataan kembali terhadap hal-hal yang esensial. Singkatnya, terdapat koreksi dan perbaikan dari sebuah keadaan. Sebagai contoh, Raja Hizkia (2Raj. 18:1-18) jelas mengadakan suatu reformasi berupa pemberantasan terhadap penyimpangan di dalam ibadah, serta perpalingan kembali untuk menyembah Yahweh. Demikian pula yang dilakukan oleh Raja Yosia (2Raj. 23:4-20); ia mengoreksi peribadatan bangsa Israel yang korup, sekaligus mengembalikan bangsanya pada penyembahan yang benar (ay. 21-23). Dalam sejarah gereja, Reformasi (dengan huruf "r" kapital) menunjuk pada pembaruan terhadap gereja melalui usaha yang tidak jauh berbeda dengan dua kejadian di atas. Gereja seolah-olah direvitalisasikan atau dihidupkan kembali agar kembali pada sumber pemberi hidupnya, yaitu Allah dan firman-Nya. Jadi, Reformasi terhadap gereja pada abad 16 merupakan usaha pembaruan, bukan pemberontakan (It was a reform, not a revolt). Alasannya, kontinuitas terhadap sumber ajaran yang esensial itu tetap dipelihara. Kalaupun pada akhirnya berdiri gereja Protestan sebagai gereja yang baru, gereja itu sendiri sebenarnya adalah gereja yang lama dari zaman para rasul. Inti permasalahannya hanyalah gereja yang ada saat itu (gereja Katolik Roma) menolak usaha pengoreksian tersebut, bahkan menolak usaha pengembalian pada ajaran gereja yang rasuli. Hal ini juga berarti bahwa semua faktor (seperti kaitan sosial, politik, dan intelektual) yang menyertai peristiwa Reformasi abad 16 itu bukanlah faktor yang utama karena asal-usul dan maksud Reformasi itu sendiri bersifat religius dan teologis. Dengan demikian, kita dapat mengerti bahwa kelanjutan dari Reformasi yang dikerjakan oleh Calvin, Melanchthon, Zwingli, Bucer, Oecolampadius, Farel, Beza, Bullinger, Knox, Ursinus, Olevianus, dan lainnya, semuanya tidak jauh berbeda dari Luther bila ditinjau dari esensi pemikiran dasarnya. Tulisan ini mencoba melihat teologi Reformasi dari segi hakikat/esensinya serta kaitan/relevansinya dengan iman Kristen pada masa kini. Karena keterbatasan ruang, penulis lebih banyak memfokuskan pembahasan pada pandangan J. Calvin (1509 -- 1564) tentang esensi Reformasi itu sendiri karena di dalam pemikiran Calvinlah kita dapat menemukan pemikiran dasar teologi Reformasi dalam struktur yang lebih mendalam dan sistematis. ESENSI TEOLOGI REFORMASI Calvin lebih dikenal sebagai juru sistematisir dari Reformasi yang dimulai oleh Luther. Meskipun ia adalah tokoh generasi kedua, ternyata ia sanggup memadukan doktrin dari Alkitab secara sistematis. Bila dilihat dari karyanya yang agung seperti "Institutes of the Christian Religion",[2] komentari, dan karya-karya tulis lainnya, tampaknya tidak ada seorang reformator pun baik sebelum atau sesudah Calvin yang sanggup melampaui karya-karyanya tersebut. Penulis sendiri merasa "iri" kepada kejeniusannya yang pada usia 27 tahun (tahun 1536) telah menghasilkan karya monumental (Institutio) untuk pertama kali.[3] Mungkin ada sebagian orang mengira Calvin adalah seorang teolog yang aktivitasnya kebanyakan hanya di belakang meja tulis (zaman sekarang, di belakang meja komputer) dan menjadi seorang "scholar" yang nongkrong di atas "menara gading." Perkiraan seperti itu benar-benar keliru. Calvin pertama-tama adalah seorang gembala atau pendeta yang melayani di gereja. Di dalam pelayanan tersebut, ia berpikir dan menulis karya-karya teologinya selalu dari sudut pandang pembinaan untuk warga jemaat.[4] Ia sendiri mengatakan hal ini dengan jelas di dalam edisi perdana dari "Institutio"-nya bahwa karya tersebut ditujukan "terutama untuk masyarakat awam Prancis, di mana banyak di antara mereka yang lapar dan haus akan (pengenalan pada) Kristus. Buku ini sendiri boleh dikata merupakan bentuk pengajaran yang sederhana dan elementer." Di dalam karya tersebut kita melihat catatan-catatan yang bersifat pastoral, pembinaan gereja, pendidikan agama Kristen di rumah dan gereja, bahan katekisasi, dan sejenisnya. Itu sebabnya, tidak mengherankan jika gereja yang dilayani oleh Calvin di Geneva menjadi gereja model bagi gerakan Reformasi. Sekarang, bila kita hendak meninjau ciri-ciri teologi Reformasi satu per satu, ini tentu merupakan sesuatu hal yang tidak mungkin. Dari satu sisi, seseorang dapat mengembangkan ajaran tentang teosentrisitas Allah atau tentang kedaulatan Allah dalam teologi Reformasi. Dari sisi yang berbeda orang yang lain dapat menekankan keajaiban kasih karunia (sola gratia), atau tentang satu-satunya iman yang ajaib (sola fide). Dari sisi yang lebih spesifik, bisa saja orang yang lain lagi membicarakan epistemologi dari teologi Reformasi, atau tentang keunikan manusia, tentang keselamatan, tentang "covenant", predestinasi, kerajaan Allah, gereja, perjamuan kudus, kebudayaan, dan seterusnya. Apabila kesemuanya itu hendak dibahas atau ditinjau satu per satu, tidaklah menjadi masalah. Hanya saja, apabila seseorang mau menelusuri teologi Reformasi secara konsisten, ia harus mengakui bahwa esensi atau "benang merah" dari Reformasi itu sendiri tidak bisa dilepaskan dari ajaran atau prinsip yang berakar pada Alkitab (the Scriptural principle).[5] Sebagai contoh, Calvin sendiri membahas siapa Allah, siapa manusia, dan kaitan antara kedua tema itu. "True knowledge of man is unattainable without knowledge of the living God."[6] Namun, ia senantiasa menimba ajaran-ajaran tersebut dari prinsip dasar Alkitab. Singkatnya, "worldview" dan "lifeview"-nya selalu memiliki referensi yang tepat di dalam Alkitab. Sebagai gembala, pengkhotbah, ekseget dan teolog, ia selalu tidak terlepas relasinya dengan Alkitab. "Holy Scripture contains a perfect doctrine, to which one can add nothing .... "[7] Dengan demikian, dari satu segi, Calvin boleh dikata pertama-tama adalah seorang "biblical theologian", oleh karena ia memang betul-betul terlatih dan menguasai teknik-teknik eksegese yang berhubungan dengan penelitian sejarah dan tata bahasa Alkitab. Melalui karya-karyanya, Calvin jelas menolak metode interpretasi dari teolog abad pertengahan yang cenderung mengalegorikan, merohanikan, dan memolarisasikan Alkitab. Ia menegaskan bahwa penafsiran Alkitab yang benar harus kembali pada arti yang literal dari perkataan Alkitab dan sesuai konteks historisnya. Maksudnya, apa yang orang Kristen katakan tentang Allah haruslah sejauh yang Alkitab katakan tentang Allah. Oleh karena itu, di dalam pikirannya setiap orang Kristen harus sampai pada pengakuan bahwa pengenalannya akan Allah memiliki batas dan di dalam pengenalan itu senantiasa terdapat suatu misteri. Batas dan misteri tersebut tidak dapat ditembus oleh pikiran manusia. Itulah sebabnya, Calvin kerap mengutip Ulangan 29:29 di dalam karyanya. Penekanan pada prinsip bahwa Alkitab menjadi sumber satu-satunya tersebut membuat Calvin "tertawan" pada pikiran bahwa Alkitablah satu- satunya otoritas terakhir yang menentukan kepercayaan, tindakan, dan kehidupan Kristen. Pandangan tersebut barangkali terkesan naif, simplistis, dan tidak cocok bagi kalangan atau aliran modern tertentu dewasa ini. Bagi orang yang berteologi liberal, Alkitab tidak terlalu berbeda dengan kitab-kitab suci lainnya. Bagi orang yang berteologi neo-ortodoks, Alkitab tidak mungkin dijadikan otoritas satu-satunya karena Alkitab tidak identik dengan firman Allah. Kalaupun kedua kalangan tersebut mengatakan bahwa mereka menerima otoritas Alkitab, esensi dari pandangan tersebut berbeda dengan posisi Calvin. Sedangkan bagi kalangan yang "gemar" berglosolalia, menikmati penglihatan, sampai kepada mereka yang senang bertumbangan dalam Roh, dibedah oleh Roh, muntah-muntah di dalam Roh, bahkan cekikikan dalam Roh, Alkitab menurut pandangan Calvin di atas hanyalah "pelengkap penderita" atau "catatan kaki" bagi usaha pelegitimasian atau pengesahan pengalaman mereka. Tidak heran kalau pada akhirnya Alkitab sebenarnya tidak atau kurang dihargai di kalangan tersebut. Esensi teologi Reformasi, sekali lagi, terletak pada kesetiaan terhadap prinsip Alkitab tersebut. Menurut Calvin, Alkitab ialah sumber wahyu satu-satunya di dalam kekristenan, dan karena itu, "message" atau berita dari berita Injil hanya dapat ditemukan di dalam atau di balik teks Alkitab. Maksudnya, kebenaran apa pun yang Allah ingin sampaikan kepada manusia (apalagi hal yang penting seperti keselamatan), arti sesungguhnya hanya ditemukan di dalam Alkitab. Karena itulah, di dalam seluruh "Institutio"-nya ia menulis dengan dua tujuan yang jelas: pertama, memperjelas Alkitab pada seluruh bagiannya. Hal ini dapat dibuktikan bahwa selama bertahun-tahun ia menulis komentari untuk setiap kitab dalam Alkitab (walaupun ternyata pada akhir hidupnya tidak semua kitab dalam Alkitab berhasil diselesaikan penafsirannya). Kedua, menyusun berita Alkitab secara sistematis dengan penjudulan yang tepat.[8] Hal ini tidak mengherankan, sebab "Institutio" bukan karya yang ia tujukan bagi para teolog atau guru besar di bidang penelitian iman Kristen, melainkan untuk pembaca Alkitab dan para pemula dalam iman Kristen. Bersamaan dengan itu, perlu dimengerti bahwa bagi Calvin bukan hanya bagian tertentu dari Alkitab saja yang menjadi otoritas iman Kristen. Sebaliknya, Alkitab secara keseluruhan (tota Scriptura), kanon Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, ialah firman Allah yang utuh.[9] Sekalipun ia cenderung menggemari kitab Kejadian, Mazmur, Matius, Yohanes, Roma, dan 1 Korintus, ia justru terlihat mengupayakan pengajarannya secara menyeluruh dari Alkitab.[10] Meskipun Calvin adalah seorang ekseget Alkitab yang terkemuka dalam teologi Reformasi, ia menegaskan berulang-ulang: "Speak where the Scriptures speak; be silent where they are silent."[11] Sungguh, zaman sekarang ini banyak aliran yang telah bergeser terlalu jauh dari diktum di atas. Ada kalangan yang begitu berani menceritakan pengalamannya mondar- mandir ke surga. Yang lain, sepertinya tidak ingin kalah dengan pengalaman tersebut, menceritakan tentang "darmawisata"-nya ke neraka. Masih ada lagi yang tidak mau kalah menceritakan pengalaman hebat- hebat lainnya, yang intinya kebanyakan dari pengalaman itu sudah atau berusaha melampaui apa yang ada di dalam Alkitab. Teologi Reformasi seakan-akan menegaskan proposisi ini: "Dengarlah, taatilah Alkitab, dan hindarkan spekulasi." Dengan demikian, prinsip tersebut menempatkan manusia di bawah kebenaran (mengaktualisasikan kebenaran), dan bukan manusia di atas kebenaran (mengakomodasikan kebenaran).[12] Karena Alkitab yang adalah firman Tuhan adalah kebenaran, Alkitab harus menjadi satu-satunya sumber di dalam pengajaran iman Kristen dan satu-satunya patokan atau standar bagi doktrin Kristen. Lebih lanjut, di dalam tafsirannya terhadap Injil Yohanes, Calvin menegaskan bahwa Kristus tidak dapat dikenal secara benar dengan cara apa pun kecuali melalui Alkitab. Maksudnya, bila seseorang menolak ajaran Alkitab sebagai ajaran yang berotoritas penuh, ia sebenarnya menolak Kristus. Apabila kita bertanya kepada Calvin, bagaimana seharusnya seseorang atau gereja membaca Alkitab, ia akan menjawab dengan tegas: kita harus membaca Alkitab secara kristologis dan kristosentris. "First then, we must hold that Christ cannot be properly known from anywhere but the Scriptures. And if that is so, it follows that the Scriptures should be read with the aim of finding Christ in them."[13] Perhatikan bagaimana esensialnya keberadaan dan kepentingan Alkitab di mata Calvin; baginya Alkitab dan Kristus tidak dapat dipisahkan. Jadi dapat disimpulkan, bagi gereja Reformasi yang ada dan melayani di zaman modern ini, pengakuan dan disposisi Calvin tersebut harus tetap berlaku. Esensi pengajarannya adalah: gereja tidak boleh mengabaikan, apalagi membuang, pengajaran Alkitab karena Alkitab merupakan otoritas satu-satunya yang menentukan hidup matinya pengajaran gereja. Bukan itu saja, Alkitab menentukan pengenalan gereja akan Juru Selamat satu- satunya, yaitu Tuhan Yesus Kristus. Maka pada waktu seseorang menyimpang dari Alkitab, saat itu juga hidupnya menyimpang dari Kristus. RELEVANSI TEOLOGI REFORMASI Pada bagian sebelumnya, kita telah melihat bahwa Calvin bukanlah seorang teolog yang berbicara "di atas angin," melainkan ia pertama- tama adalah seorang gembala, pengkhotbah, pengajar yang sangat "down to earth" (realistis). Di sinilah kita melihat relevansi yang paling pertama dan utama bagi gereja Reformasi zaman modern, yaitu gereja harus menerapkan pendidikan dan pengajaran yang sederhana kepada para anggotanya persis seperti yang pernah dilakukan oleh Calvin sendiri karena tradisi Reformasi yang paling menonjol adalah perhatian yang serius terhadap pendidikan Kristen bagi anggota jemaat. Kebanyakan pihak setuju bahwa penginjilan dan usaha misionaris yang memenangkan banyak jiwa adalah usaha yang esensial; tetapi pendidikan dan pembinaan terhadap warga gereja adalah usaha yang tidak kalah pentingnya. Usaha tersebut tidak terbatas pada pengajaran di kelas katekisasi, sekolah minggu, kelas pembinaan khusus, melainkan lebih jauh lagi sampai menjangkau pembinaan di kampus, sekolah teologi, lembaga Kristen, bahkan yang lebih penting lagi, pembinaan melalui literatur Kristen.[14] Dengan demikian, "Christian scholarship" seperti yang pernah diupayakan oleh Abraham Kuyper, dapat merambah ke segala bidang. Gereja tidak boleh melupakan usaha besar yang pernah dilakukan oleh tokoh-tokoh besar seperti J. H. Bavinck, Herman Dooyeweerd, D. H. Th. Vollenhoven, James Orr, J. Gresham Machen, C. Van Til, Pierre Marcel, dan yang lainnya, yang pernah mengabdikan diri serta memperkembangkan suatu pendekatan yang tetap setia kepada tradisi Reformasi di dalam berbagai bidang. Usaha besar seperti inilah yang perlu dihidupkan kembali pada zaman sekarang. Bagi gereja di Asia pada umumnya, dan gereja di Indonesia khususnya, tampaknya penerapan terhadap pendidikan agama Kristen dan gerakan penghargaan terhadap Alkitab tidaklah terlalu sulit. Mengapa? Karena kita melihat bangsa Timur lebih mudah beradaptasi dengan hal-hal yang bersifat panutan dan tradisi. Orang Timur juga lebih mudah menyesuaikan diri dengan pola pengajaran yang bersifat patriarkat dan seminal. Selain itu, kebanyakan gereja di Indonesia dimulai dan bertumbuh melalui pekerjaan misi dari Eropa yang menekankan tradisi Reformasi. Hanya pertanyaannya, apakah tradisi yang baik itu (penekanan pada pendidikan Kristen dan penghargaan terhadap Alkitab) tetap mendapatkan prioritas utama di dalam agenda pelayanan gereja? Pertanyaan mendasar ini perlu dijawab oleh gereja-gereja di Indonesia yang menerima landasan teologi Reformasi sebagai azas beriman dan azas bergerejanya. Kedua, hal lain yang tidak kalah penting dengan di atas ialah, selain pendidikan Kristen, tradisi Reformasi juga menjunjung tinggi sentralitas pemberitaan firman Allah, baik untuk penginjilan, pengajaran, maupun aplikasi pastoral. Gereja di Asia dan Indonesia yang bertumbuh dengan benar dan baik pastilah merupakan gereja yang menghargai pemberitaan firman dengan pengupasan yang tepat tentang isi Alkitab. Sebaliknya, bila pemberitaan gereja hanya mengumandangkan ajaran-ajaran moral yang umum, ideologi-ideologi politis, atau terapi- terapi sosiologis, psikologis, dan seterusnya, dan tidak memberitakan ajaran Alkitab yang adalah firman Allah, gereja tersebut akan mengalami kemerosotan di dalam pemahaman yang benar dan tepat terhadap firman Allah. Ketiga, teologi Reformasi yang sehat bukan menekankan pemberitaan kerugma saja, tetapi juga memberi penekanan yang benar tentang tanggung jawab sosial yang berdasarkan pada pengajaran Alkitab.[15] Calvin jelas pernah mengajarkan bahwa jabatan dan fungsi seorang diaken adalah untuk maksud seperti itu, yakni untuk menjadi administrator dan pelayan sosial. Memang benar bahwa menjadi seseorang yang setia kepada ajaran Reformasi haruslah menerapkan keyakinan tersebut di dalam segala bidang kehidupan. Dengan perkataan lain, ketuhanan Kristus yang diajarkan dalam Alkitab harus bergema di dalam setiap aspek kehidupan, baik itu aspek sosial, ekonomi, politik, seni dan lainnya.[16] Boleh dikata keberadaan gereja Reformasi di dalam dunia adalah untuk berinteraksi dengan setiap aspek dari ciptaan Tuhan. Misinya yang utama adalah untuk mengubah dunia, yaitu agar dunia mengenal, menjalani hidup, dan mempraktikkan kasih karunia Allah yang bekerja secara ajaib di dalam Yesus Kristus. Singkatnya, gereja Reformasi tidak hanya terpanggil untuk sekadar memiliki iman kepercayaan atau komitmen yang kuat, ia juga terpanggil untuk menaati dan melaksanakan misi Allah sesuai dengan ajaran Alkitab. PENUTUP Dunia kita sekarang ini, dengan segala ajaran yang pluralis di dalamnya, tampaknya sedang mengalami keguncangan karena manusia lebih cenderung menerima hal-hal yang bersifat relatif. Cukup banyak orang Kristen dan gereja cenderung meninggalkan paham dan tradisi lama yang kebanyakan dianggap bersifat anakronistis atau sudah ketinggalan zaman. Hal ini disebabkan oleh munculnya ideologi, -isme, dan keyakinan baru yang menyaingi kepercayaan yang lama. Lebih daripada itu, kepercayaan yang baru seakan-akan lebih mengena dan pragmatis sifatnya dalam memberikan jawaban untuk mengatasi kebingungan manusia modern. Bahkan banyak ajaran yang baru seolah-olah telah sanggup secara total mengatasi problema manusia di dalam hal dosa, sakit penyakit, dan memberikan arti kehidupan yang baru. Pada saat seperti inilah dunia kekristenan memerlukan tuntunan dan pengarahan yang sesuai dengan ajaran Alkitab. Pengajaran dan pelayanan gereja yang berbobot sangat esensial serta menentukan sekali untuk memberi arah kepada manusia agar tidak dibingungkan oleh rupa-rupa angin pengajaran yang palsu. Itu sebabnya, pandangan dari teologi Reformasi yang diterapkan menjadi program yang sistematis untuk pendidikan, pemberitaan firman, dan pengajaran melalui gereja adalah sesuatu yang integral dengan konsepsi dari Calvin tentang kehidupan Kristen yang benar. Mengabaikan hal ini berarti sama saja dengan melepaskan sebuah kesempatan yang tak ternilai untuk menggarami kehidupan jemaat di gereja dan umat manusia di dunia ini. Footnote: --------- *Artikel ini pernah diterbitkan dalam buku "Perjuangan Menantang Zaman" (ed. Hendra G. Mulia; Jakarta: Reformed Institute, 2000) 3-16, dan dimuat dengan izin tertulis dari Reformed Institute Press tanggal 5 Juni 2001.
Diambil dari:
Komentar![]() |
Publikasi e-ReformedRSS Blog SABDA
|