Tentang KamiArtikel TerbaruUpdate Terakhir |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SOTeRI SistematikaTeologia Sistematika adalah teologia yang disusun berdasarkan penataan doktrin-doktrin iman Kristen secara sistematis dan logis.
Pendidikan yang Berpusat kepada Allah
Editorial:
Dear e-Reformed Warganet, Abad pertengahan dalam sejarah gereja, berlangsung dari abad ke-5 sampai abad ke-15 M. Masa ini dimulai dengan runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat dan berlangsung hingga sebelum Reformasi Luther pada tahun 1517. Pendidikan pada masa itu adalah pendidikan yang didasarkan pada perenungan dalam hidup biara, dan para teolognya cenderung melakukan askese. Perenungan hidup di biara dan beraskese dinilai dapat mencapai pengenalan akan Allah dan mendapatkan kebahagiaan. Mengapa pendidikan pada masa abad pertengahan justru menjadi tolok ukur "Pendidikan yang berpusat kepada Allah"? Nicholas P. Wolterstorff dalam bukunya yang berjudul Mendidik untuk Kehidupan menjelaskan bahwa pendidikan yang berpusat pada Allah akan menghasilkan Shalom. Apa maksudnya? Dapatkan jawabannya dengan membaca artikel di bawah ini. Harapan kami, para pembaca akan mendapatkan wawasan yang semakin luas tentang pentingnya pendidikan yang berpusat pada Allah yang menghasilkan Shalom dalam hidup kita. Selamat merenungkan.
Edisi:
Edisi 200/Mei 2018
Isi:
Kita harus memahami ungkapan "pendidikan yang berpusat kepada Allah" dengan benar, karena kalau tidak, kita akan menyimpang. Menurut visi Abad Pertengahan tentang cara hidup orang Kristen di dunia, kehidupan bermeditasi lebih baik daripada kehidupan yang aktif. Segenap umat manusia mencari kebahagiaan; dalam hal ini, demikian pendapat orang-orang Abad Pertengahan, tidak ada perbedaan dalam masing-masing pribadi. Yang berbeda adalah isu di mana letaknya kebahagiaan kita. Kebanyakan pemikir Abad Pertengahan meyakini bahwa kita diciptakan sedemikian rupa hingga kebahagiaan kita terletak dalam kehidupan akal budi, terfokus pada hal yang paling berharga -- Allah. Tujuan sejati manusia terletak dalam memalingkan diri dari dunia ini untuk masuk ke dalam meditasi yang didasari oleh pengenalan dan kasih akan Allah. Di sini, dan hanya di sinilah, terletak kebahagiaan tertinggi. Adapun pendidikan yang dirancang untuk memupuk cara hidup seperti itu di dunia -- yang dirancang untuk mendorong orang berpaling dari dunia untuk merenungkan Allah -- saya rasa patut dinamakan, "pendidikan yang berpusat pada Allah". Namun, bukan ini yang saya maksudkan dengan ungkapan ini, sebab pengertian saya mengenai cara hidup orang Kristen yang sejati di dunia, sejujurnya, adalah pengertian Reformasi -- sekalipun saya sama sekali tidak ingin menyiratkan bahwa hal ini tidak didapati di luar gereja-gereja Reformasi karena memang ada. Tidak diragukan bahwa alternatifnya dapat didekati dari berbagai arah yang berbeda. Dahulu, saya mendekatinya dengan menyelidiki natur iman. Akan tetapi, di sini, pada kesempatan ini, saya ingin mencapainya dari sudut yang berbeda. "Aku adalah Alfa dan Omega," firman Allah dalam kitab Wahyu. Dia "yang ada dan yang sudah ada dan yang akan datang". Gambaran Allah dalam persepsi teolog-teolog Abad Pertengahan ialah bahwa Allah berada di luar waktu, berdiam dalam kekekalan, senantiasa hadir, tanpa masa lampau dan tanpa masa depan, tidak beremosi, tidak berubah. Gambaran penulis-penulis Alkitab sangat berbeda: Allah ialah masa lampau dan masa mendatang seperti juga masa kini, sebab perbuatan-perbuatan-Nya adalah masa lampau dan masa mendatang seperti juga masa kini. Perbuatan-Nya tercatat dalam sejarah kita, dan membentuk dasar sejarah kita. Inti dari natur cara hidup orang Kristen di dunia adalah fakta bahwa Allah yang diakuinya terlibat dalam sejarah yang merupakan milik Allah dan milik kita, tetapi dalam sejarah ini, Allah adalah Tuhan, dan kita bukan. Ingatlah pidato perpisahan Musa kepada umat Israel yang kita baca di kitab Ulangan. Seperti gong raksasa yang dipukul berulang kali, tiga tema terjalin di seluruh pidato itu: ingatlah, berharaplah, dan berhati-hatilah. Israel harus senantiasa ingat bahwa Allah yang menciptakan langit dan bumi telah membebaskan mereka dari perbudakan kerja paksa di tempat pembuatan batu bata di Mesir. Mereka harus senantiasa hidup dalam pengharapan yang teguh bahwa Allah akan setia akan janji-Nya untuk memberkati umat-Nya, dan memberi mereka tanah tempat tinggal. Dan, dalam lingkup di antara tidak pernah lupa dan tidak henti-hentinya berharap, Israel harus memperhatikan perintah-perintah Allah, perintah yang tidak membebankan suatu kewajiban asing, tetapi untuk kebaikan umat sendiri (Ulangan 10:13) agar mereka hidup (Ulangan 4:1). Dalam masyarakat, mereka tidak boleh memutarbalikkan keadilan; keadilan dan semata-mata keadilanlah yang harus mereka kejar (Ulangan 16:19-20). Dan, mereka akan bersujud di hadapan Tuhan Allah, bersukaria karena segala yang baik yang diberikan-Nya kepada mereka (Ulangan 26:10-11). Yang unik dalam kehidupan umat Israel ialah bahwa pekerjaan dan ibadah mereka menjadi cara mereka memelihara iman kepada Allah, yang perbuatan-Nya dalam membebaskan dan memberkati mereka harus diingat dan diharapkan sampai selamanya. Menurut saya, cara hidup orang Kristen di dunia, meskipun berbeda dalam substansi, harus sama dalam strukturnya. Inti perbedaannya, tentu saja, adalah bahwa Mesias yang diramalkan dan diharapkan oleh Israel telah ditemukan oleh orang Kristen dalam diri Yesus dari Nazaret. Teologi Kristen sepenuh adalah teologi yang berharap dan mengingat, di samping teologi yang memelihara iman kepada Allah yang diingat dan diharapkan oleh manusia. Saya yakin Anda telah mulai melihat beberapa implikasi bagi visi pendidikan. Sasaran tertinggi pendidikan, dalam pandangan orang Kristen, bukanlah pendewasaan murid, meskipun pendewasaan memang akan terjadi; bukan sosialisasi murid, meskipun sosialisasi juga akan terjadi; bukan pula perenungan tentang Allah, kendati itu pun akan terjadi. Sasarannya adalah membimbing anak ke dalam kehidupan yang memelihara iman kepada Allah yang kita ingat dan harapkan. Marilah saya paparkan lebih lanjut tentang hal memelihara iman. Gambaran cara hidup Kristen di dunia yang baru saja saya kemukakan kepada Anda jelas merupakan gambaran yang sakramental. Dunia kita adalah sakramen Allah. Dalam alam dan sejarah, kita berjumpa dengan Allah. Realitas dipenuhi dengan sakralitas (perlambangan). Baik dalam keseluruhannya sebagai kosmos maupun sebagai sejarah, realitas merupakan "epifani" Allah, sarana penyataan, hadirat, dan kuasa-Nya. (Realitas) benar-benar 'berbicara' tentang Dia dan dalam dirinya sendiri, merupakan sarana yang penting bagi pengenalan akan Allah dan persekutuan dengan-Nya, dan itulah natur sejati dan destiny tertinggi dari realitas". Dan, apakah respons kita yang sepatutnya setelah kita menyadari bahwa dalam perjalanan kita di dunia, kita harus berurusan dengan Allah? Saya menyukai apa yang dikatakan John Calvin tentang hal ini. Rasa syukur, katanya, adalah respons kita yang sepatutnya: rasa syukur dalam ketaatan, penyembahan, dan apresiasi. Marilah saya tekankan setiap kualitas ini: Rasa syukur akan mewujudkan dirinya dalam ketaatan terhadap kehendak Allah, terhadap hukum-hukum Allah. Rasa syukur juga akan mewujudkan diri dalam penyembahan kepada Allah. Memang, penyembahan sendiri juga merupakan tindakan ketaatan, tetapi alasan paling kuat bagi orang Kristen untuk menyembah Allah bukanlah karena mereka diperintahkan menyembah, melainkan karena terdorong oleh rasa syukur; mereka dengan spontan menyembah. Dan, yang ketiga, rasa syukur mewujudkan dirinya dalam apresiasi ketika kita memakai benda-benda di sekeliling kita dalam kesukaan yang membahagiakan dan kebahagiaan yang menyukakan. Kata Calvin, "Bila kita merenungkan apa tujuan Allah menciptakan makanan kita, akan mendapati bahwa Ia bukan hanya menyediakannya demi memenuhi kebutuhan, tetapi juga untuk kenikmatan dan kesenangan kita .... Dalam rumput-rumputan, pepohonan, dan buah-buahan, di samping berbagai kegunaannya, ada keindahan dalam penampilannya serta aroma yang menyenangkan." Jikalau orang-orang Kristen yang berpegang pada tradisi Reformasi berupaya mencapai inti dari memelihara iman kepada Allah, kerap ketaatanlah yang mereka tekankan. Allah dipandang terutama sebagai pemberi hukum dan kita terpanggil untuk taat. Kita mempunyai tugas di dunia. Pada dasarnya, menjadi manusia berarti memiliki tanggung jawab. Dahulu, saya sendiri terkadang berbicara seperti itu. Akan tetapi, hari ini, saya ingin menampilkan gambaran yang lain. Ketaatan tentu saja ada. Saya sama sekali tidak menyangkali, atau mengabaikan, pentingnya hukum, norma-norma, tugas, dan tanggung jawab. Namun, menurut saya, ada sesuatu yang lebih bermakna dalam cara hidup Kristen di dunia selain daripada ketaatan kepada Allah, yang terutama dipandang sebagai pemberi hukum. Sesuatu yang lebih bermakna itu adalah rasa syukur kepada Allah yang mengasihi anak-anak-Nya. Mungkin sebaiknya saya tambahkan, rasa syukur yang ditimbulkan oleh hajaran, sebab orang Kristen juga menyadari murka Allah kepada barangsiapa yang menghinakan pemberian-Nya dan Sang Pemberi sendiri. Jadi, ketaatan adalah perwujudan dari rasa syukur, tetapi hanya salah satunya, sebab ada pula penyembahan, serta apresiasi terhadap dunia sekitar kita dalam kesukaan dan kebahagiaan. Sekali lagi, saya percaya bahwa Anda telah melihat sekilas dari pandangan-pandangan yang terbentang bagi pendidikan. Beberapa tahun yang silam, saya menulis sebuah buku berjudul Educating for Responsible Action. Saya menegaskan bahwa teori pendidikan Kristen adalah salah satu versi dari teori tanggung jawab. Saya masih tetap memegang pendapat ini. Akan tetapi, ini belum mencakup gambaran selengkapnya. Cara hidup Kristen di dunia ialah kehidupan dengan rasa syukur yang disertai tanggung jawab, penyembahan, dan apresiasi. Itulah tujuan pendidikan. Mendidik untuk Shalom Dan, kini, saya ingin meninjau topik kita dari sebuah sudut lain lagi, kali ini bukan dari sudut memelihara iman, melainkan dari sudut perbuatan Allah kepada Siapa kita beriman. Allah yang ada dan yang sudah ada dan yang akan datang, Allah yang perbuatan-Nya kita ingat dan harapkan dan kenali -- seperti apakah pola perbuatan-perbuatan-Nya? Apakah sasaran yang dituju-Nya? Satu jawaban yang menonjol dalam Perjanjian Baru adalah bahwa Allah bekerja untuk meneguhkan pemerintahan-Nya, kerajaan-Nya. Saya ingin bertanya pada kesempatan ini, apakah isi dari pemerintahan Allah? Menurut saya, para penulis Alkitab menjawab bahwa isi pemerintahan Allah ialah damai sejahtera -- atau biarlah kita memakai kata Ibrani yang lebih tepat, yakni shalom. Komunitas tempat Kristus adalah Tuhan adalah komunitas shalom. Ya, tetapi apakah Shalom itu? Shalom ada bilamana seseorang hidup dalam damai sejahtera dalam semua hubungannya: dengan Allah, dengan diri sendiri, dengan sesama manusia, dengan alam. Apabila ada Shalom, maka:
Namun, untuk hidup dalam damai sejahtera dalam semua hubungan bukan hanya berarti tidak ada permusuhan, itu belum cukup. Membiarkan orang hidup belum berarti shalom. Shalom ialah kesukaan dalam setiap hubungan. Sebuah bangsa bisa saja hidup dalam damai dengan semua bangsa di sekitarnya, tetapi tetap hidup sengsara dalam kemiskinan. Hidup dalam shalom artinya menikmati hidup di hadapan Allah, menikmati hidup dalam lingkungan fisiknya, menikmati hidup dengan sesama manusianya, menikmati hidup dengan dirinya sendiri. Pertama, shalom mencakup hubungan yang benar dan selaras dengan Allah, dan sukacita dalam penyembahan dan pelayanan kepada Allah. Ketika para nabi berbicara tentang shalom, mereka berbicara tentang suatu hari ketika umat manusia tidak lagi akan melarikan diri dari Allah sepanjang masa, suatu hari ketika mereka tidak lagi akan berbalik untuk melawan pengejar ilahi mereka. Shalom disempurnakan apabila umat manusia mengakui bahwa dalam pelayanannya kepada Allah-lah didapati kesukaan sejati. "Gunung rumah TUHAN", demikian kata nabi:
Yang kedua, shalom mencakup hubungan yang benar dan selaras dengan sesama manusia lainnya dan kesukaan dalam komunitas manusia. Shalom tidak ada bilamana masyarakat merupakan sekumpulan individu yang masing-masing hendak memperjuangkan jalannya sendiri di dunia. Dan, tentu saja, kesukaan dalam masyarakat bisa ada hanya bila keadilan berkuasa, hanya bila manusia tidak lagi saling menindas. Hanya bila "di padang gurun selalu akan berlaku keadilan dan di kebun buah-buahan akan tetap ada kebenaran" -- maka "di mana ada kebenaran akan tumbuh damai sejahtera (shalom), dan akibat kebenaran ialah ketenangan dan ketenteraman untuk selama-lamanya" (Yesaya 32:16-17). Dalam shalom: Kasih dan kesetiaan akan bertemu, Ketiga, shalom mencakup hubungan yang benar dan selaras dengan alam dan kesukaan dalam alam jasmani di sekeliling kita. Shalom datang bila kita, makhluk-makhluk badani, dan bukan jiwa-jiwa tanpa raga, membentuk dunia dengan pekerjaan kita dan menemukan pemuasan di dalamnya dan sukacita dalam hasilnya. Ketika berbicara tentang shalom, nabi berbicara tentang suatu hari ketika Tuhan akan menyediakan bagi segala bangsa: suatu perjamuan dengan masakan yang bergemuk, Audio Pendidikan yang Berpusat kepada Allah
Tetaplah di Dalam Firman
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Salomo menuliskan dalam Amsal 18:21, "Hidup dan mati ada di dalam kuasa lidah ...." Dalam catatannya, seorang penafsir Alkitab, Matthew Henry menuliskan tentang ayat ini sebagai berikut: "Orang bisa berbuat banyak kebaikan, atau banyak kejahatan, baik kepada orang lain maupun kepada dirinya sendiri, sesuai dengan bagaimana ia menggunakan lidahnya. Banyak orang membawa kematian pada dirinya sendiri karena lidah yang keji, atau kematian pada orang lain karena lidah yang palsu. Dan, sebaliknya, banyak orang telah menyelamatkan nyawanya sendiri, atau mendatangkan penghiburan bagi dirinya dengan lidah yang bijaksana dan lembut, dan menyelamatkan nyawa orang lain dengan kesaksian atau doa syafaat tepat pada saat yang dibutuhkan. Jika dengan perkataan kita akan dibenarkan atau dihukum, hidup dan mati tidak diragukan lagi, dikuasai lidah." Ya, jika tidak dikendalikan dalam hikmat Tuhan, lidah dapat membawa kutuk dan kematian bagi banyak orang. Betapa besarnya kuasa yang Tuhan berikan melalui perkataan dan lidah. Tuhan memberikan Firman, yaitu perkataan-Nya sendiri, bagi manusia. Perkataan Tuhan penuh kuasa dan kekal. Perkataan-Nya akan menghakimi, bahkan menyakiti, tetapi perkataan-Nya pulalah yang akan memulihkan dan membangun. Perkataan-Nya menentukan dan menetapkan segala sesuatu di seluruh jagad raya. Ketika Ia berfirman, jadilah sesuatu. Bagi orang yang sudah ditebus, perkataan yang keluar dari mulutnya adalah perkataan yang mencerminkan Tuhan, sehingga menyatakan kebenaran Ilahi. Sajian edisi e-Reformed bulan ini yang berjudul, "TETAPLAH DI DALAM FIRMAN" akan menolong kita menggunakan lidah kita dengan bijak, karena akan dijelaskan mengapa lidah dan perkataan kita begitu penting. Selamat menyimak. Kiranya kita boleh menggumuli hal sederhana, tetapi begitu penting ini, sehingga kita bisa memiliki kerendahan hati untuk terus mau diajar oleh Roh Kudus dan semakin bijak dalam memakai lidah kita. Soli Deo Gloria!
Edisi:
Edisi 185/Februari 2017
Isi:
Pekerjaan Firman itu melantik kehidupan Kristen dan juga menopang perkembangannya. Lidah saya terus-menerus dibersihkan dan diubah oleh (bila saya diperkenankan menyatakannya) apa yang berasal dari lidah Allah. Ketika hati mendengar firman Allah itu berulang kali dengan telinga yang terbuka, hati itu diperbarui dan mulai menghasilkan lidah yang diubahkan. Prinsipnya adalah ini: apa yang keluar dari mulut kita semakin lama semakin ditentukan oleh apa yang keluar dari "mulut Allah". Penyucian lidah adalah pekerjaan di dalam kita yang didorong oleh firman Allah yang datang kepada kita pada saat kita mendengarnya dan mendiami kita pada saat kita menerimanya. Ini adalah "rahasia" bagaimana Tuhan Yesus sendiri menggunakan lidah-Nya. Matius memandang Tuhan Yesus sebagai penggenapan nubuat dari Nyanyian Sang Hamba yang pertama dalam paruh kedua nubuat Yesaya:
Ia tidak akan berbantah dan tidak akan berteriak
dan orang tidak akan mendengar suara-Nya di jalan-jalan. Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskan-Nya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkan-Nya. (Mat. 12:19-20, mengutip Yes. 42:2-3) Jika kita bertanya bagaimana ini bisa terjadi dalam hidup-Nya, jawabannya ditemukan dalam Nyanyian Sang Hamba yang ketiga:
Tuhan ALLAH telah memberikan kepadaku
lidah seorang murid, supaya dengan perkataan aku dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu. Setiap pagi Ia mempertajam pendengaranku untuk mendengar seperti seorang murid. Tuhan ALLAH telah membuka telingaku, dan aku tidak memberontak, tidak berpaling ke belakang. Aku memberi punggungku kepada orang-orang yang memukul aku, dan pipiku kepada orang-orang yang mencabut janggutku. Aku tidak menyembunyikan mukaku ketika aku dinodai dan diludahi. (Yes. 50:4-6) Pertolongan tunggal yang paling penting untuk kemampuan saya menggunakan lidah saya untuk kemuliaan Yesus ialah membiarkan firman Allah tinggal di dalam saya dengan begitu kaya sehingga saya tidak dapat berbicara dengan aksen lain. Jika saya melakukan itu, hasilnya ialah "dengan segala hikmat mengajar dan menegur seorang akan yang lain dan sambil menyanyikan Mazmur, dan puji-pujian dan nyanyian rohani .... Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah [kamu melakukan] semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita" (Kol. 3:16-17). Kebetulan (walaupun itu bukan sesuatu yang kebetulan) adalah mengapa begitu penting untuk berada di bawah pelayanan Firman di mana Kitab Suci dijelaskan dengan anugerah dan kuasa Roh Kudus. Dengan cara inilah--ya, dengan studi pribadi--maka firman Allah mulai melakukan pekerjaan rohaninya sendiri di dalam kita. Pada saat firman yang telah dibentuk di dalam mulut Allah itu kita cerna sebagai roti hidup, firman itu akan mulai membentuk pemikiran, afeksi, dan kemauan kita dengan cara yang menakjubkan. Terlalu banyak orang Kristen yang jatuh ke dalam perangkap untuk percaya bahwa Allah memberikan kelahiran baru dan pembenaran, tetapi kemudian pada intinya kita dibiarkan melakukan sisanya dengan usaha kita sendiri. Kita perlu melihat bahwa kita hidup oleh setiap firman yang datang dari mulut Allah. Firman Allah menguduskan kita. Semakin saya bangun pada pagi hari dan makan dari Kitab Suci, dan semakin saya dibanjiri dengan Firman di bawah satu pelayanan alkitabiah, maka firman Kristus semakin melakukan pekerjaan penyucian di dalam dan kepada saya, dan akibatnya, Kristus akan semakin mengajari lidah saya pada saat Dia mencetak dan membentuk saya. Ya, memang perlu usaha yang keras--tetapi itu agar "perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di antara kamu". Itu adalah suatu usaha yang dapat diterima! Dalam hal ini, sebagaimana nyanyian Yesaya mengajar kita, Juru Selamat kita adalah Teladan kita, tetapi Dia bukan hanya dan terutama sebagai teladan. Sebelum menjadi teladan, pertama-tama Ia harus menjadi Juru Selamat kita. Semuanya ini merupakan bagian dari visi yang agung dari Nyanyian Sang Hamba dalam Yesaya (yang begitu berpengaruh dalam penerimaan Yesus sendiri akan Firman Allah). Bapa membuka telinga Anak-Nya; Sang Anak tidak suka memberontak. Dia bersedia "dianiaya dan ditindas". Pada saat Ia mengalami penghakiman dan hukuman itu, Ia "tidak membuka mulutnya" (Yes. 53:7). Mengapa Yesus diam saja? Apakah ada yang lebih dari ini? Tentu saja ada! Dia diam karena setiap kata yang keluar dari bibir Anda; karena setiap kata yang memberi alasan yang cukup bagi Allah untuk menghukum Anda sampai kekekalan; karena Anda telah mengutuk Dia atau gambar-Nya. Tuhan Yesus datang ke dunia untuk menanggung hukuman Allah atas dosa lidah kita. Ketika Dia berdiri menghadap Imam Besar dan kursi pengadilan Pontius Pilatus, Dia menerima hukuman atas kesalahan. Akan tetapi, itu adalah kesalahan saya. Dia menanggung dosa-dosa bibir dan lidah saya dalam tubuh-Nya di kayu salib. Apakah Anda berharap agar Anda dapat mengendalikan lidah Anda dengan lebih baik? Apakah Anda ingin mengikuti teladan Yesus? Kalau begitu, pertama-tama Anda harus memahami bahwa Dia adalah Juru Selamat, dan kemudian Dia adalah Teladan. Anda perlu datang dengan kesadaran akan dosa bibir Anda, dan berkata:
Ya Allah, kasihanilah saya orang berdosa ini.
Terima kasih karena Yesus datang dan berdiam diri agar Dia dapat menanggung hukuman atas penyalahgunaan lidah saya. Dan, jika Anda mengetahui bahwa Dia telah mengambil hukuman dan murka Allah atas setiap kata Anda yang berdosa, Anda tidak dapat berbuat lain kecuali datang kepada-Nya dan mengatakan,
“Ribuan lidah bernyanyi, memuji Tuhanku.”
Dia dapat menjawab doa dan permohonan yang menyertainya,
“Sembuhkan 'ku dari dosa. lepaskan dari kesalahan dan kuasanya.“
Dan, segala kesalahan itu dapat dihapuskan! Kristus dapat membebaskan Anda dari penyalahgunaan lidah. Dan, jika Anda datang kepada-Nya dengan kesadaran akan dosa itu, Anda akan mendapati betapa mulianya Dia, Juru Selamat itu. Anda dibebaskan, walaupun belum sempurna dan mulia, sekarang lidah Anda mengucapkan pujian-Nya. Setelah dikeluarkan dari lubang dan lumpur, sekarang di bibir Anda terdapat nyanyian pujian bagi Allah Anda. Lantas, orang tidak hanya akan mendengar satu kosakata yang baru, tetapi mereka mendengar Anda berbicara dengan aksen yang berbeda. Inilah yang meninggalkan kesan abadi tentang kuasa Kristus dan perubahan oleh anugerah di dalam hidup Anda. Negara asal saya adalah Skotlandia. Saya mendapatkan status istimewa sebagai penduduk asing di Amerika Serikat. Saya mendapatkan kartu hijau. Akan tetapi, orang sering mengingatkan saya, "Anda punya aksen yang berbeda." (Artinya, salah satu hal yang menakjubkan mengenai hadirat dan pekerjaan Roh Kristus dalam berkhotbah ialah bahwa setelah 15 menit menguraikan [Firman Allah], mungkin saja orang tidak lagi memperhatikan aksen Anda dan hanya mendengar aksen-Nya.) Karena itu, karena "tersiksa" dengan suatu "aksen", ketika naik lift--dan percakapan ringan yang biasa terjadi di situ--sering memberi saya kesenangan tertentu yang jail. Ketika pintu terbuka dan saya melangkah keluar, sesekali orang berkata, "Anda punya aksen yang berbeda. Dari mana asal Anda?" Ketika saya menunggu sampai pintu hampir tertutup, saya berkata sambil tersenyum, "Columbia, Carolina Selatan," sambil menatap wajah-wajah kebingungan yang ekspresinya mengatakan, "Yang benar saja! Anda bukan dari sekitar sini, 'kan?" Ini merupakan satu perumpamaan mengenai apa yang mungkin terjadi pada umat Allah dalam cara kita menggunakan lidah kita, yang oleh anugerah Allah kita belajar berbicara dengan aksen seperti Yesus. Pada akhir hari itu, mungkin tidak banyak yang dikatakan orang kepada Anda ketika Anda berada dalam suatu ruangan, yang secara terbuka mengatakan mengenai pembicaraan Anda sebagai seorang Kristen. Sebaliknya, mungkin pertanyaan yang diajukan orang ketika Anda keluar dari ruangan itu. "Dari mana asalnya?" "Termasuk golongan apa dia?" Apakah Anda berbicara seperti seseorang yang sedikit "terdengar" seperti Yesus karena ketika Anda hancur di dalam kesadaran Anda mengenai lidah Anda yang berdosa, Anda mendapatkan pengampunan dan pembaruan di dalam Kristus, dan sekarang Firman-Nya tinggal diam dengan segala kekayaannya di dalam Anda? Pada akhir hari itu, seperti itulah kedewasaan rohani itu kelihatannya--atau kedengarannya--karena perubahan penggunaan lidah Anda. Kiranya hal itu semakin nyata pada diri kita!
Sumber:
Gambar Allah yang Rusak dan Urutan Anugerah
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Dalam edisi bulan ini, redaksi e-Reformed menyajikan satu artikel yang akan membawa kita semua untuk belajar tentang doktrin dosa dan akibat seriusnya, juga melihat anugerah besar yang Tuhan berikan melalui Kristus. Satu sisi dosa benar-benar mematahkan kehidupan manusia, tetapi di sisi lain anugerah Tuhan yang begitu besar telah memberi pengharapan yang begitu dalam dan luas bagi manusia. Manusia tidak akan pernah memahami karya Allah atas hidupnya sebelum terlebih dahulu mereka mengerti mengapa mereka membutuhkan anugerah Allah. Anugerah terbesar sepanjang masa yang telah Tuhan berikan kepada manusia adalah saat Ia memberikan Anak-Nya bagi keselamatan umat pilihan-Nya. Ia memberikan Anak-Nya untuk menebus kembali manusia dari kebinasaan kekal, dan ini menjadi anugerah yang bersifat kekal. Ia datang bukan hanya untuk menawarkan keselamatan, tetapi juga memberikan kemerdekaan dari belenggu maut yang kekal bagi setiap orang yang percaya kepada-Nya. Bertepatan dengan bulan Agustus, bulan kemerdekaan Indonesia, kami segenap redaksi e-Reformed turut mengucapkan "Dirgahayu yang ke-71 tahun untuk bangsa kami Indonesia. Merdeka!" Kiranya belas kasih dan damai sejahtera dari Tuhan Yesus Kristus menyertai bangsa Indonesia sepanjang waktu. Soli Deo Gloria.
Edisi:
Edisi 179/Agustus 2016
Isi:
Bishop J.C. Ryle, dalam bukunya yang terkenal, "Holiness", mengatakan barangsiapa yang ingin memiliki konsep kesucian Kristen yang benar harus terlebih dahulu memahami apa itu dosa sedalam-dalamnya. Pandangan yang keliru mengenai kesucian biasanya dapat ditelusuri akarnya dari pandangan yang keliru mengenai kerusakan dosa dalam hidup manusia. Pandangan Ryle tepat adanya, baik secara doktrinal maupun dalam pengalaman praktis hidup orang Kristen. Hanya dengan mengerti bagaimana kondisi kita sebelum percaya kepada-Nya, barulah kita menghargai apa artinya menjadi ciptaan baru dalam Kristus. Sekalipun manusia tidak jatuh dalam dosa, ia tetap membutuhkan kasih Tuhan. Terlebih lagi, Injil menyaksikan betapa serius dan kritisnya kondisi manusia berdosa. Kita tidak akan pernah memahami karya Allah atas hidup kita sebelum terlebih dahulu kita mengerti mengapa kita membutuhkan anugerah Allah. Efek Dosa Ada empat hal mendasar yang ditekankan Alkitab mengenai akibat dosa atas hidup manusia. 1. Gambar Allah Rusak Kejadian 1:26-27 menyebutkan pada awalnya manusia adalah pembawa gambar Allah. "Gambar Allah" berarti Allah sesungguhnya menciptakan manusia agar merefleksikan sifat-Nya yang kudus dan kedudukan manusia sebagai penguasa atas semua ciptaan-Nya. Dalam hal inilah, manusia seperti Allah. Namun, Kejadian 3 menyebutkan sesuatu telah terjadi yang merusak rencana mulia-Nya. Satu "penyakit" yang ganas menyebar ke dalam seluruh hidup manusia saat ia berdosa. Ia bersembunyi dari hadapan Allah (Kejadian 3:8-10) ; hubungan suami istri menjadi saling menggigit dan menyalahkan; tanah terkutuk dan manusia bersusah payah bekerja. Semua hal ini cukup menyedihkan, tetapi terlebih lagi semua ini disertai dengan satu perubahan atas gambar Allah. Satu bencana besar. Bayangkan kini, manusia adalah gambar Allah yang seharusnya merefleksikan kemuliaan-Nya, malah manusia mulai merefleksikan kebalikannya. Manusia memakai semua yang diberikan Allah agar ia mampu hidup dalam ketaatan yang mendatangkan sukacita, menjadi satu senjata untuk melawan Penciptanya. 2. Manusia di Bawah Kuasa Dosa dan Kematian Kejadian 3 menceritakan tragedi manusia menyerahkan dirinya kepada pencobaan, yang akhirnya seluruh kisah dalam Alkitab melukiskan dosa bagaikan binatang liar yang terus mengoyak mangsanya. Baik dalam ajaran Tuhan Yesus maupun Paulus mengungkapkan kebenaran ini, "Barangsiapa berbuat dosa, ia hamba dosa". Manusia tak berdaya sekalipun ada keinginan kuat untuk melawan, tetapi "kejahatan yang tidak ingin aku lakukan, justru itu yang aku lakukan" (Roma 7:19). 3. Manusia Bersalah di Hadapan Allah Relasi manusia dengan Tuhan telah dipengaruhi oleh dosa. Manusia kini bersalah. Bukan saja manusia menderita karena akibat dosa, tetapi ia juga berada di bawah penghukuman Allah. Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa Allah akan menghakimi segala perbuatan manusia yang berdosa. Manusia tidak mempunyai kebaikan yang dapat membenarkannya. Berdasarkan standar Allah, semua manusia gagal mencapainya. Di luar Kristus, maka murka Allah tetap tinggal (Yohanes 3:36). 4. Manusia dalam Cengkeraman Iblis Ada satu aksioma dalam Alkitab, yaitu semakin besar cahaya wahyu Tuhan, semakin gelap kegelapan melawannya karena terang menelanjangi kedok asli kegelapan itu. Dalam PL, kita menemukan pekerjaan, sifat, dan rencana jahat iblis. Tetapi hanya dalam terang Kristus, maka ia semakin ditelanjangi kedoknya. Dalam Efesus 2:1-4, kita dibukakan bahwa manusia bukan hanya menjalani hidup yang sebenarnya mati dalam dosa, yang dikuasai oleh nafsu dunia, tetapi dilukiskan juga di bawah kuasa setan. Tragedi terbesar bagi pemahaman diri manusia adalah ia percaya dirinya bebas, tetapi ia tidak sadar ia adalah budak dosa dan melayani kehendak setan. Kebutuhan dasar apa yang kita dapatkan dalam berita Injil?
Di dalam kemuliaan Injil, kita menemukan jawaban kebutuhan kita. Akan tetapi, bagaimana keselamatan itu digenapkan oleh Kristus? Dia datang dalam dunia, sebagai Adam kedua (1 Korintus 15:45,47), melalui kuasa Roh Kudus, kita merefleksikan kemuliaan gambar Allah, di dalam kematian-Nya kita berbagian mengalahkan kuasa dosa (Roma 6:10). Dan, di bawah naungan-Nya, kita terbebas dari murka Allah. Tinggal pertanyaan yang penting: bagaimana saya bisa berada dalam Kristus, menerima keselamatan ini? Rencana Keselamatan Allah mempunyai satu rencana bagi keselamatan manusia. Inkarnasi Kristus bukanlah sesuatu insiden atau langkah antisipasi. Seluruh pelayanan Yesus memperlihatkan konsep soal "saat-Nya". Itulah sebabnya, sangatlah mendasar bagi semua orang Kristen untuk berpikir bahwa Allah kita adalah Allah yang berencana. Maka untuk memahami sepenuhnya akan apa yang Allah telah lakukan bagi kita dalam Kristus, kita harus menggali rencana keselamatan-Nya. Dengan memahami rencana keselamatan ilahi ini, kita akan beroleh manfaat yang berlimpah karena di situlah kita menemukan satu perspektif ilahi atas seluruh hidup kita. Hidup kita adalah berpusatkan anugerah Allah dan bukan hasil usaha kita. Ada tiga bagian Alkitab yang merefleksikan keseluruhan alur keselamatan itu dengan sudut pandang masing-masing. Yang pertama adalah Roma 8:28-30. Jelas sekali melalui ayat ini, adanya rencana keselamatan dari Allah merupakan sumber penghiburan besar bagi anak-anak Tuhan di tengah keluh kesah dunia ini. Bagaimana bisa segala sesuatu yang terjadi bekerja sama mendatangkan kebaikan? Karena Allah mempunyai rencana agung bagi setiap orang Kristen. Untuk menggenapkan rencana agung ini, Allah memakai segala kemungkinan suka dan duka untuk menghasilkan karakter Yesus dalam hidup kita. Mampukah kita menjaminnya? Jawabnya, karena kita yang dipilih dari semula oleh-Nya, pasti akan dipanggil untuk masuk ke dalam kerajaan-Nya dan pasti dibenarkan-Nya. Di sini, Paulus bermaksud menjelaskan rasionalitas di balik pikiran Allah. Ada unsur yang sama untuk setiap kita, yakni Allah memilih, memanggil, membenarkan, dan memuliakan mereka. Bagian kedua adalah Efesus 1:3-14. Pendekatan Paulus dalam Roma 8 dengan Efesus 1 ini sangat berbeda. Dalam Roma, Paulus terlebih dahulu memulai dengan memaparkan kondisi tragis manusia berdosa yang berada di bawah murka dan hukuman Allah. Manusia tak berdaya, ia membutuhkan anugerah ilahi di dalam Kristus. Setelah itu, barulah Paulus menelusuri ke belakang bahwa sumber segala anugerah keselamatan adalah di dalam rencana kekal Allah. Pembahasan ini ditutup di pasal 8 dari Roma dengan mengembalikan pujian kepada Allah karena rencana-Nya yang mulia. Sebaliknya dalam Efesus, Paulus memulai suratnya dengan rencana keselamatan terlebih dulu, diawali dengan respons "terpujilah kemuliaan-Nya". Roma 8, Paulus mengupas multidimensi realisasi keselamatan (predestinasi, pilihan yang memimpin kepada panggilan, pembenaran, dan pemuliaan). Dalam Efesus 1, ia menekankan pusat kristologis: dalam Kristus. Dalam Roma 8 bicara mengenai jalinan rantainya, sedangkan Efesus 1 bicara mengenai as, pusatnya yang mengikat jalinan ini bagaikan sebuah roda. Efesus 1 mengatakan, di dalam Kristus, kita diberkati, dipilih, ditentukan sebagai anak, dianugerahi, diterangi, dan dimateraikan. Penekanan kata-kata ini bukan kronologis, melainkan melukiskan kelimpahan anugerah Allah yang diberikan dalam Kristus. Namun, kita menemukan dalam Efesus 1, Paulus menambahkan dimensi lain kepada Roma 8:28-30, yakni percaya mengikuti panggilan, dan menerima Roh Kudus sebagai pengalaman mereka yang percaya kepada Kristus. Maka kita dapat memperluas peta rencana Allah ini, dengan mencoba memperluas Roma 8:28-30, "Mereka yang ditentukan dan dipilih Allah, mereka juga dipanggil; mereka yang dipanggil melalui firman akan percaya, mereka dibenarkan dan dimateraikan oleh Roh Kudus. Mereka pula akan dimuliakan." Bagian ketiga adalah Yohanes 1:12-13. Sama seperti rasul Paulus, Yohanes mengajarkan bahwa Kristus diterima dengan iman (Kolose 2:6-7). Yang Yohanes tambahkan kepada garis besar yang dibuat Paulus yaitu iman memberikan hak khusus adopsi, dan secara paradoks, iman itu justru adalah buah dari kelahiran baru dari Tuhan. Mereka yang menerima Kristus dan diadopsi adalah mereka yang lahir "bukan dari keturunan alamiah, bukan keputusan manusia, melainkan lahir dari Allah". Dalam ajaran Paulus, hidup baru itu berasal dari rencana Allah sebelum adanya waktu (dalam kekekalan) hingga penggenapannya setelah waktu berakhir. Ini diperkaya oleh Yohanes bahwa pengalaman kita akan hidup baru itu dimulai ketika Allah menyentuh hidup kita dengan kuasa-Nya, yakni dalam regenerasi (kelahiran kembali). Urutan anugerah keselamatan dari Allah menyentuh hidup kita sedemikian: keputusan kekal Allah dalam pemilihan, menyentuh hidup kita dalam panggilan-Nya. Dia memberikan kita kelahiran baru yang memungkinkan kita memasuki kerajaan Allah oleh iman dan pertobatan. Ketika kita percaya dan bertobat, Allah membenarkan kita. Adopsi adalah anugerah selanjutnya, sehingga dengan jaminan sebagai anak, memungkinkan kita menjalani kehidupan pengudusan sampai hari pemuliaan tiba. Semua berkat ini diperoleh di dalam, oleh, dan untuk Yesus Kristus. Pemahaman doktrinal akan anugerah keselamatan Allah ini bukanlah sekadar pemuasan akademis, melainkan menimbulkan respons apresiasi yang begitu dalam bagi hidup kristiani kita. Kehidupan rohani orang Kristen sering menjadi miskin dan kering, bukan karena kurangnya pemahaman doktrinal yang benar saja, tetapi juga kehilangan dimensi "doxologycal". Itulah sebabnya, setelah Paulus memahami kedalaman doktrinal keselamatan dari Allah melahirkan doksologi, "Oh, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat, dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya" (Roma 11:33).
Sumber:
Preach Thy Word
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Gereja yang bertumbuh adalah gereja yang mau belajar dan mau diajar melalui khotbah-khotbah alkitabiah yang benar-benar dipersiapkan dengan matang. Artinya ada proses yang memang dikerjakan secara serius dan bertanggung jawab sebelum dikhotbahkan. Khotbah adalah salah satu cara yang dipakai Allah untuk menyampaikan atau mengomunikasikan pesan penting-Nya kepada banyak orang, baik disampaikan secara lisan maupun tulisan. Dalam tradisi Kristen, pesan ini haruslah firman-Nya yang tertulis di Alkitab atau yang biasa disebut Kabar Baik (Injil). Alkitab adalah satu-satunya sumber pemberitaan firman Tuhan, maka khotbah yang disampaikan seharusnya bukan pemikiran subjektif si pengkhotbah, melainkan pemikiran Alkitab yang telah diselidiki secara mendalam dan bertanggung jawab oleh si pengkotbah. Pesan utama dari khotbah harus senantiasa berpusat pada Kristus. Kiranya melalui sajian artikel "Preach Thy Word" ini, kita akan bersama-sama melihat empat aspek utama teologia Marthin Luther dalam berkhotbah dan mempelajari hal penting yang harus tersirat dalam sebuah khotbah yang alkitabiah. Selamat membaca. Soli Deo Gloria!
Edisi:
Edisi 175/April 2016
Isi:
ARTIKEL
Di dalam "Teologi Khotbah", Marthin Luther memahami "Teologi" dan "Khotbah" adalah satu (integrated). Khotbah adalah sentral dari gereja yang benar. Dengan mendengar firman Tuhan, kita baru dapat hidup di dalam Tuhan dan melayani-Nya sebagai "integritas hidup teologis". Martin Luther menekankan bahwa mereka yang mendengar, melihat, dan melaksanakan khotbah yang diberitakan, diimani, diproklamasikan, dan dihidupi, mereka bukan orang sembarangan, mereka adalah bagian dari gereja yang kudus dan am. Jadi, khotbah memerankan peranan penting untuk menyatakan firman Tuhan yang masih bekerja sampai sekarang melalui pemberitaan Injil. Karena itu, Luther percaya bahwa "one must see the word of the preacher as God's Word" (seseorang harus melihat perkataan pengkhotbah sebagai firman Tuhan - Red.). Problemnya, bagaimana seorang pengkhotbah dapat memiliki "kejujuran hati" di dalam dirinya untuk memberitakan firman-Nya? 4 aspek teologi Luther dalam berkhotbah:
Kesimpulan Keunikan teologi khotbah dari Martin Luther bukanlah didasarkan atas pidato manusia (human speech) tentang Allah, tetapi Allah sendiri berbicara dan beraktivitas kepada manusia. Berkhotbah bukan mengulang cerita Alkitab, tetapi pengajaran Allah sendiri kepada manusia (God's own preaching to man). Bagi Luther, khotbah bukanlah untuk memanipulasi emosi pendengar maupun mendukung penyingkapan politis (political disclosure) dari sosial politik, tetapi keagungan pengajaran Luther (the glory of Luther's preaching) hanya mengkhotbahkan Kristus. Sebab, Luther mengetahui bahwa iman "datang hanya melalui firman Tuhan atau Injil, yang mengajarkan Kristus, yang mengatakan bahwa Anak Allah dan Manusia, telah mati dan bangkit kembali karena kita. Inilah Kabar Baik untuk Anda!
Yohanes Pembaptis Sebagai Saksi
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Yohanes Pembaptis dikenal sebagai nabi terakhir Perjanjian Lama. Ia memiliki tugas khusus menjadi seorang utusan/saksi. Yohanes Pembaptis dipersiapkan untuk datang mendahului Kristus dan mempersiapkan jalan bagi-Nya, ini adalah sebuah tugas dan kehormatan yang besar bagi seorang manusia yang secara langsung menyaksikan kedatangan Sang Juru Selamat dunia. Dalam edisi ini, kita akan bersama-sama belajar mengenal sosok Rasul Yohanes. Ia secara konsisten dilukiskan sebagai saksi (Yoh. 1:6-8,15,19,32,34; 3:27-36; 5:32,36; 10:40-42). Yohanes adalah saksi Kristus sejati yang membawa pesan Injil sebagai pusat kesaksiannya. Artikel ini merupakan bagian dari suatu pembahasan topik teologi yang berjudul "Kepemimpinan Yohanes Pembaptis", tetapi kita hanya akan menyoroti beberapa bagian saja, khususnya yang terkait dengan kehidupan Yohanes sebagai saksi Kristus. Pertama, mengenai sumber otoritas Yohanes Pembaptis sebagai seorang utusan. Kedua, apa isi kesaksian yang ia beritakan sebagai seorang utusan. Ketiga, kepada siapa kesaksian Yohanes Pembaptis ditujukan. Kiranya kita boleh diberkati melalui artikel ini dan semakin mengenal kehidupan yang bersaksi. Soli Deo Gloria. Pemimpin Redaksi e-Reformed,
Ayub
Edisi:
Edisi 170/November 2015
Isi:
Yohanes Pembaptis Sebagai SaksiApakah sumber otoritas Yohanes Pembaptis? Pelayanan Yohanes Pembaptis sebagai saksi ditegaskan bersumber dari Allah. Ia diutus ke dalam dunia untuk bersaksi bagi Mesias yang akan datang dan sudah datang. Ia terlibat dalam pelayanan kesaksian bukan karena keinginan atau keputusan dirinya sendiri, juga tidak ada sebuah institusi yang menugaskannya sebagai saksi. Ia tidak pernah menawarkan diri sebagai saksi. Tugas dan misinya sebagai saksi bersumber dari Allah. Ia harus bersaksi karena diutus Allah (Yoh. 1:6). Ia dipanggil dan diutus dengan otoritas untuk suatu tugas ilahi, bukan untuk menjadi tokoh reformasi agama dan masyarakat Yahudi. Sebagai saksi, tentu saja isi kesaksiannya tidak berpusat kepada dirinya. Dengan perkataan lain, dirinya atau ide-ide teologisnya bukanlah merupakan berita yang harus ia sampaikan. Ia hanya seorang saksi yang harus menyampaikan kepada orang lain apa yang ditugaskan Allah untuk disaksikan. Jadi, isi kesaksiannya bersumber dari Allah. Ia tidak dapat mengarang, menambah, atau mengurangi isi kesaksiannya. Sebagaimana Allah menugaskan dan memberinya isi kesaksian, demikianlah ia harus menyampaikannya. Tidak lebih dan tidak kurang. Apakah ini berarti Yohanes Pembaptis tidak perlu mempersiapkan diri untuk tugas mulia ini? Pemahamannya tentang Kitab Suci cukup mendalam. Dalam diskusinya dengan pemimpin-pemimpin agama Yahudi, ia mengutip kitab Yesaya 1:23. Ia bahkan menafsirkan kitab tersebut secara kristologis. Penafsiran seperti ini tentu saja agak asing bagi telinga para pemimpin agama Yahudi ketika itu. Akan tetapi, hal ini setidaknya memperlihatkan pemahamannya yang mendalam akan Kitab Suci. Ada lagi bukti lain mengenai dalamnya pemahamannya akan kitab suci. Ia memproklamirkan Yesus sebagai Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia. Memang tidak mudah untuk mendeteksi latar belakang frasa ini sehingga para pakar kitab ini berusaha keras menjelaskannya, tetapi hasilnya tetap tidak memuaskan. Yohanes Pembaptis tentu saja paham akan fungsi domba dalam sistem ritual agama Yahudi. Terhadap fungsi domba ini, ia menambahkan tiga dimensi baru, yakni domba tersebut dari Allah, domba tersebut untuk menghapus dosa, dan domba tersebut tidak hanya terbatas di bait suci orang Yahudi, melainkan untuk dunia. Hal ini dapat dilakukannya karena ia memiliki pemahaman yang mendalam terhadap Kitab Suci. Ia tidak ragu-ragu mempersonalisasi sistem korban dalam diri Yesus. Agaknya, inilah alasan mengapa murid-muridnya kemudian meninggalkannya karena mereka ingin memahami lebih dalam makna frasa ini (Yoh. 1:37). Tidak diragukan lagi bahwa peran penting firman Allah dan penafsiran kristologis terhadapnya terjalin erat di dalam pemikiran dan pelayanan Yohanes Pembaptis. Dalam Yohanes 3:27-36, ia kembali menegaskan bahwa dirinya adalah saksi yang diutus Allah. Allah adalah sumber otoritas pelayanan kesaksian yang ia lakukan. Namun, di bagian ini, ia memperluasnya dengan mengatakan bahwa segala sesuatu bersumber dari Allah, sedangkan manusia sebaliknya, tidak memiliki apa pun di dalam dunia ini, kecuali yang telah diberikan kepadanya. Manusia ketika datang ke dalam dunia ini tidak membawa dan memiliki apa pun, dan kalaupun ia memiliki sesuatu, sesuatu itu sebenarnya bukan bersumber dari dirinya sendiri melainkan dari Allah. Segala sesuatu yang ada pada Yohanes Pembaptis adalah pemberian Allah. Dengan demikian, ia mengakui Allah sebagai Pemilik dan Pemberi segala-galanya. Tidak perlu baginya untuk mengklaim diri sebagai Mesias atau nabi atau jabatan lainnya karena Allah tidak menugaskannya untuk itu. Ia tidak perlu merasa bahwa "kepemilikan" murid-murid sebagai hal yang harus dipertahankan. Allah memberinya tugas hanya sebagai saksi dan segala sesuatu yang ia terima berkaitan dengan tugasnya sebagai saksi. Semuanya ini bersumber dari Allah. Fungsi Yohanes Pembaptis sebagai saksi ditegaskan oleh Yesus dalam Yohanes 5:33. Jadi, tidak hanya narator ataupun Yohanes Pembaptis yang menegaskan fungsi saksi. Yesus menyatakannya sebagai saksi, dan di dalam perbincangan antara Yesus dan pemimpin-pemimpin agama, Ia mengingatkan mereka akan kesaksian Yohanes Pembaptis yang telah mereka dengar. Yesus tidak hanya mengakui peran Yohanes Pembaptis sebagai saksi, tetapi bahkan menegaskannya. Orang banyak juga memersepsikan Yohanes Pembaptis sebagai saksi (Yoh. 10:41). Mereka melihat hidup dan perkataan Yohanes Pembaptis menunjuk pada Yesus, dan akibatnya orang banyak percaya kepada Yesus (Yoh. 10:42). Yohanes Pembaptis adalah saksi yang diutus Allah. Ia menyadari dirinya sendiri sebagai saksi. Narator, Yesus, dan orang banyak memersepsikannya sebagai saksi. Otoritasnya sebagai saksi bersumber dari Allah sehingga tidaklah salah jika dikatakan bahwa Yohanes Pembaptis merupakan akronim dari Yohanes Penyaksi. Apakah isi kesaksian Yohanes Pembaptis? Dalam prolog ditegaskan bahwa Yohanes Pembaptis harus bersaksi tentang terang (Yoh. 1:7). Di dalam Injil, Yohanes terang tidak menunjuk kepada suatu iluminasi di dalam, atau penyataan kepada, diri manusia. Simbol terang di dalam Injil Yohanes secara konsisten menunjuk kepada Yesus (Yoh. 12:46). Istilah terang dalam Yoh. 1:7-8 digunakan sebanyak 3 kali seolah ingin menegaskan bahwa tidak ada berita lain yang disaksikan Yohanes Pembaptis kecuali mengenai Yesus terang dunia. Keharusan memberitakan Kristus kepada semua orang ditegaskan dengan istilah "Kekragen" (kekragen, Yoh. 1:15). Kata kerja "kekragen" yang dapat diterjemahkan "berseru", atau "berteriak", hal ini tidak hanya menegaskan kembali otoritas dan wewenangnya sebagai saksi yang diutus Allah, melainkan juga urgensi beritanya. Berita itu begitu mendesak dan penting untuk didengar sehingga ia harus berteriak. Sentralitas berita pada Kristus sejak awal narasi telah ditegaskan. Hidup, perkataan, dan perbuatannya semuanya berpusat pada Kristus dan menunjuk pada Kristus. Ketika delegasi dari Yerusalem mempertanyakan otoritasnya, ia dengan tegas mengatakan bahwa dirinya bukanlah Mesias, ia bukan Elia, dan ia juga bukan nabi yang akan datang. Sebaliknya, ia menegaskan fungsinya sebagai saksi dengan mengidentifikasikan diri sebagai suara yang berseru-seru. Dari Yoh. 1:19-36 tercetus empat hal dari kesaksiannya. Pertama, Yesus membaptis dengan Roh Kudus. Baptisan dengan Roh Kudus jelas menunjukkan kedatangan Sang Mesias seperti yang dijanjikan dalam PL (Yes. 11:2; 61:1). Kedua, Yesus dan Roh Kudus tidak dapat terpisah. Ketika Yohanes Pembaptis melihat Roh Kudus tinggal pada Yesus, ia tidak ragu-ragu lagi bahwa Yesus adalah Mesias yang dinantikan itu, dan akibatnya, ia pun tidak ragu memproklamirkan bahwa Yesus adalah Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia. Ketiga, Yohanes Pembaptis mengarakterisasikan Yesus sebagai Anak Domba dengan tugas universal, yakni menghapus dosa dunia. Akhirnya, sebagai klimaks, ia menyaksikan bahwa Yesus adalah Anak Allah. Kesaksiannya ini sejalan dengan tujuan penulisan Injil Yohanes yang dirumuskan dalam Yoh. 20:31. Sentralitas dan keutamaan Yesus dalam pemikiran dan pelayanan Yohanes Pembaptis kembali kita temukan dalam Yoh. 3:27-36, tetapi dalam bentuk yang lebih diperluas dan mendalam. Ia memperluas uraiannya tentang objek iman orang percaya, di mana Yesus adalah objek iman. Ia melukiskan kekekalan Yesus. Kasih sebagai karakteristik relasi antara Yesus dan Allah Bapa juga diungkapkan dengan jelas. Yesus datang dari sorga, diutus oleh Allah ke dalam dunia untuk menyampaikan firman-Nya dengan kuasa Roh Kudus (Yoh. 3:34). Tujuannya ialah agar manusia percaya kepada-Nya (Yoh. 3:33,36) meskipun tidak sedikit juga yang menolak untuk percaya kepada-Nya (Yoh. 3:32,36). Kesaksian Yohanes Pembaptis sedemikian kuatnya, tetapi tidak terlihat respons murid-muridnya apakah mereka percaya atau tetap bertahan mengikutinya. Isi kesaksiannya adalah kebenaran (Yoh. 5:33), tetapi ini bukan hanya berarti bahwa segala sesuatu yang ia katakan adalah benar adanya. Di sini, nuansa personalisasi kebenaran agak terasa. Ia bersaksi bahwa Yesus adalah kebenaran dan orang banyak membenarkan bahwa yang dikatakannya tentang Yesus adalah benar (Yoh. 10:41). Kepada siapa Yohanes Pembaptis bersaksi? Di dalam prolog tidak diungkapkan secara jelas kepada siapa saja Yohanes Pembaptis harus bersaksi. Hanya secara samar-samar narator mengungkapkannya dengan memakai istilah pantes (pantes, Yohanes 1:7). Istilah ini dipakai dalam bentuk jamak maskulin dan dapat diterjemahkan sebagai "semua orang". Namun, ini tidak berarti ia bersaksi secara eksklusif kepada pria atau suatu golongan masyarakat saja. Terminologi pantes bersifat inklusif. Hal ini secara gradual akan semakin jelas dalam Injil Yohanes. Untuk lebih jelasnya akan kita uraikan satu per satu. Pertama, Yohanes Pembaptis bersaksi tentang Mesias kepada pemimpin-pemimpin agama Yahudi (Yoh. 1:19-28). Para pakar Injil Yohanes umumnya berpendapat bahwa yang mengutus delegasi kepada Yohanes Pembaptis adalah pemimpin-pemimpin agama Yahudi. Beberapa imam, orang-orang Lewi dan Farisi diutus oleh mahkamah agama Yahudi di Yerusalem untuk menginterogasi Yohanes Pembaptis. Ketika berhadapan dengan pemimpin agama, ia mengutip PL yang secara tidak langsung menegaskan fungsinya sebagai saksi dan juga tema sentral PL tentang datangnya Mesias. Kedua, Yohanes Pembaptis bersaksi kepada masyarakat Yahudi. Mengapa ia membaptis orang banyak? Tujuan baptisan bukanlah untuk membentuk suatu kelompok pengikut yang militan dan setia padanya. Ia dengan tegas mengatakan bahwa tujuan baptisan yang dilakukannya terhadap orang banyak adalah untuk mempersiapkan jalan bagi Mesias, dan dengan demikian menyaksikan bahwa Kristus telah datang di dunia. Ketiga, Yohanes Pembaptis bersaksi kepada murid-muridnya. Ia tahu bahwa tujuannya bukanlah untuk membentuk suatu komunitas yang militan dan setia kepadanya selamanya. Meski memiliki murid-murid, tetapi tanpa ragu ia mengarahkan mereka untuk mengikut Yesus. Berulang kali ia memberi kesaksian tentang Yesus kepada mereka dan hasilnya, beberapa di antara murid-muridnya kemudian mengikut Yesus. Kepada murid-murid yang masih bertahan mengikutnya, ia kembali mendorong agar mereka mengikut Yesus (Yoh. 3:27-36). Ia menggambarkan orang percaya sebagai orang yang menerima kesaksian Yesus (Yoh. 3:33) dan percaya kepada Anak (Yoh. 3:36). Dengan menerima kesaksian Yesus, orang tersebut meneguhkan bahwa Allah adalah benar dan ia memperoleh hidup kekal. Sebaliknya, orang yang tidak percaya adalah orang yang tidak taat kepada Anak (Yoh. 3:36). Ketidaktaatan meneguhkan murka Allah tetap dalam dirinya. Dengan tajam, Yohanes Pembaptis membedakan antara orang percaya dan orang yang menolak Yesus. Kontras ini dibuat agar murid-muridnya mengerti arti dan konsekuensi mengikut Yesus sehingga mereka terdorong untuk percaya kepada Yesus. Keempat, Yohanes Pembaptis bersaksi kepada orang Samaria, tetapi tidak begitu jelas apakah "Ainon dekat Salim" (Yoh. 3:23) berada di wilayah Samaria. Jika ya, berarti ia bersaksi juga kepada orang Samaria. Mengingat perseteruan antara orang Yahudi dan Samaria cukup mendalam saat itu, maka kesaksiannya kepada orang Samaria tentu hanya bisa dijelaskan sebagai perluasan dan penjelasan istilah "semua orang" dalam prolog (Yoh. 1:7). Kesaksiannya menembus batas-batas rasial dan wilayah. Ia mengerti bahwa berita Yesus adalah Mesias tidak boleh terbatas pada satu wilayah etnis saja karena Yesus datang untuk menghapus dosa dunia. Pemahaman inilah yang mungkin membawanya hingga ke Samaria. Kesaksiannya kepada orang Samaria bisa dikatakan sebagai wujud nyata kesadarannya akan universalitas Injil.
Sumber:
Diambil dan disunting seperlunya dari:
Allah Tidak Berubah
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Selamat melangkah di tahun baru 2015. Suatu kesempatan yang indah untuk menikmati awal tahun baru ini bersama dengan Tuhan. Bulan ini menjadi titik awal dimulainya karya Allah dalam hidup kita sepanjang tahun 2015. Jika sejak awal Allah telah memelihara kita, untuk seterusnya kita pun boleh meyakini bahwa Ia akan memelihara, terutama karena sifat Allah yang terus sama dan akan tetap sama sepanjang masa. Allah yang telah menjelajah waktu, masa, dan sejarah, dari zaman Perjanjian Lama sampai Perjanjian Baru, akan terus berkuasa atas segalanya selamanya. Artikel ini adalah cuplikan dari buku "Christian are Forever", yang ditulis oleh John Owen. Dalam artikel pendek ini, penulis memaparkan satu hal penting, yaitu tentang sifat Allah yang tidak berubah dalam kekekalan natur-Nya, kebesaran kuasa-Nya, dan hikmat-Nya yang tidak terbatas. Sebagai umat yang dipilih Allah, sifat Allah ini merupakan anugerah terbesar di sepanjang sejarah manusia karena dengan sifat Allah ini, kita dapat menaruh iman bahwa Allah akan menjadi Allah bagi umat pilihan-Nya sepanjang masa. Kiranya artikel ini menolong kita untuk semakin beriman kepada Allah dalam menghadapi hari-hari ke depan di tahun 2015 ini. Tak lupa, segenap Redaksi e-Reformed mengucapkan, "Selamat tahun baru 2015". Mari kita memulai tahun ini dengan kerinduan yang besar untuk giat bertumbuh di dalam Kristus dan berbagi hidup. Soli Deo Gloria. Pemimpin Redaksi e-Reformed,
Edisi:
Edisi 160/Januari 2015
Isi:
Allah Tidak BerubahAllah menampakkan ketidakberubahan kasih-Nya kepada umat-Nya melalui lima hal yang tidak dapat diubah-Nya, yaitu:
Ketekunan orang-orang kudus berlandaskan pada masing-masing poin ini. Namun, pada artikel ini, kita hanya akan membahas poin pertama, yaitu sifat ketidakberubahan Allah. Dalam Maleakhi 3:6, Tuhan berkata, "Bahwasanya Aku, TUHAN, tidak berubah, ...." Kemudian, sebagai konsekuensinya, Ia melanjutkannya dengan berkata, "... dan kamu, bani (keturunan) Yakub, tidak akan lenyap." Siapakah keturunan Yakub yang Allah maksudkan? Mereka tentu saja bukan seluruh keturunan Yakub secara fisik, melainkan mereka yang mempunyai iman seperti Yakub. Sebagaimana yang dikatakan Paulus, "... Sebab tidak semua orang yang berasal dari Israel adalah orang Israel" (Roma 9:6). Di antara mereka yang membanggakan diri sebagai keturunan Abraham, terdapat orang-orang yang terancam oleh penghakiman Allah, dan penghakiman itu akan segera terjadi oleh karena pola hidup mereka yang jahat (Maleakhi 3:5). Kristus diutus "... untuk menegakkan suku-suku Yakub dan untuk mengembalikan orang-orang Israel yang masih terpelihara ...." (Yesaya 49:6). Anak-anak Yakub sejati adalah mereka yang telah dilahirbarukan "... bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah" (Yohanes 1:13). Allah tidak akan pernah berubah pikiran tentang anugerah panggilan-Nya. Paulus berkata dalam Roma 11:29, "Sebab Allah tidak menyesali kasih karunia (anugerah) dan panggilan-Nya." Keturunan Yakub sejati adalah mereka yang memiliki iman seperti yang dimiliki Yakub. Mereka inilah Israel baru pilihan Allah. Allah telah memasuki suatu covenant yang baru dengan mereka, untuk menggantikan covenant sebelumnya yang telah diingkari oleh nenek moyang mereka (Yeremia 31:31-34; Yehezkiel 36:24-28; Ibrani 8:8-12). Mereka yang menikmati manfaat dari covenant yang baru ini sebenarnya tidak layak mendapatkannya. Bagaimanakah keadaan rohani orang-orang itu ketika Allah memanggil mereka? Mereka dalam keadaan mati, diliputi kegelapan, dipenuhi kebodohan, dan keterpisahan dari Allah. Tidak ada suatu pun alasan pada mereka yang menyebabkan Allah harus menunjukkan anugerah-Nya kepada mereka. Pengudusan dan pembenaran hanya berasal dari Allah semata. Salah satu penghiburan yang terbesar dari Tuhan bagi umat-Nya adalah bahwa mereka selamanya tidak akan pernah terpisahkan dari-Nya. Dalam Yesaya 40:27-31, Israel menyatakan ketakutan bahwa mereka akan terpisah dari Allah. Bagaimanakah Allah menjawab mereka? Ia bertanya kepada mereka, "Apakah mereka benar-benar telah mengerti sifat sejati Allah mereka?" Ia mengingatkan mereka akan kekekalan natur-Nya, kebesaran kuasa-Nya, ketidakberubahan-Nya, dan hikmat-Nya yang tidak terbatas. Inilah yang Allah kerjakan untuk orang-orang yang meletakkan pengharapannya pada Tuhan. Ia akan mengaruniakan kekuatan baru; mereka bagaikan rajawali yang terbang tinggi dengan kekuatan sayapnya; mereka akan berlari tanpa menjadi lesu, dan mereka akan berjalan tanpa lelah. Sebagai jawaban atas rasa takut yang dialami umat-Nya, Allah berkata, "Yakub, hamba-Ku, janganlah takut. Aku telah memilih engkau sejak kekekalan. Engkau merasa dirimu tandus, tidak berguna, kering, dan layu. Aku akan mengubah semuanya dengan memberikan Roh-Ku kepadamu. Kau akan mengerti bahwa engkau adalah milik-Ku dan Aku adalah Tuhan dan Rajamu, Penebusmu, sejak kekekalan." Sama sekali bukanlah suatu kesombongan jika kita percaya bahwa Allah bersungguh-sungguh dengan perkataan-Nya, bahwa Ia menjamin kita dengan kasih-Nya yang abadi bagi kita berdasarkan ketidakberubahan-Nya. Kita harus membedakan antara pertolongan Allah bagi suatu bangsa, seperti bangsa Yahudi, dan tindakan-tindakan anugerah penyelamatan-Nya bagi masing-masing orang. Allah memperlakukan rakyat bangsa-Nya, bangsa Yahudi, dengan berkat dan hukuman lahiriah yang membedakan mereka dari bangsa lainnya. Ketaatan mereka sebagai sebuah bangsa kepada Allah memengaruhi perlakuan Allah terhadap mereka. Karena itu, pada suatu waktu, Ia meruntuhkan apa yang telah dibangun-Nya. Pada waktu lain, Ia mendirikan kembali apa yang telah diruntuhkan-Nya. Meskipun demikian, perubahan-perubahan yang dilakukan-Nya terhadap bangsa pilihan-Nya tersebut tetap memenuhi seluruh rancangan-Nya yang tidak berubah bagi bangsa-Nya. Kita dapat meyakini hal tersebut karena natur Allah itu tidak berubah, Ia tidak akan pernah meninggalkan mereka yang telah diterima-Nya secara cuma-cuma dalam Kristus. Orang-orang yang telah diterima itu tidak pernah menjadi orang-orang murtad yang tidak bertobat.
Sumber:
Diambil dan disesuaikan dari:
Juru Selamat: Yesus Kristus
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Akhir tahun sering menjadi momen untuk melakukan berbagai kegiatan dalam rangka menyambut hari Natal. Namun, akan sangat salah sekali jika Natal hanya dimengerti sebagai hari besar umat Kristen yang dirayakan dengan semangat dan kemeriahan. Natal seharusnya dirayakan orang Kristen sebagai bagian dari rencana Allah yang agung bagi umat manusia. Ia merencanakan kedatangan Kristus dalam rupa manusia sejak manusia jatuh ke dalam dosa. Di antara ratusan jutaan, bahkan miliaran manusia yang lahir, bagaimana manusia tahu bahwa satu dari mereka adalah Tuhan Yesus yang dijanjikan Allah? Allah memberi tanda bahwa Anak itu akan lahir dari seorang perawan. Bukankah hal ini merupakan suatu hal yang mustahil? Bagaimana hal ini dipahami oleh rasio kita? Bagaimana kita mengerti fakta bahwa Anak inilah yang akan menyertai kita sampai selama-lamanya? Artikel yang e-Reformed sajikan bulan Desember ini mengulas dua hal yang penting tentang kedatangan Kristus sebagai Manusia: Pertama, benih yang dijanjikan, kedaulatan Allah bekerja dalam proses biologis kelahiran Kristus melalui rahim Maria yang melampaui dalil genetika manusia. Kedua, kehadiran-Nya dalam sejarah, yang diutus menjadi Juru Selamat, sebagai Injil sejati dan Sang Allah imanen yang hadir dalam kehidupan manusia. Selamat menyimak. Tak lupa, segenap Redaksi e-Reformed mengucapkan, "Selamat memperingati Kelahiran Yesus Kristus. Selamat Natal." Sampai berjumpa lagi pada tahun baru 2015. Soli Deo Gloria! Redaksi Tamu e-Reformed,
Edisi:
Edisi 159/Desember 2014
Isi:
Sumber:
Diambil dan disunting dari:
Karya Roh Kudus dalam Mematikan Dosa
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Kejatuhan manusia ke dalam dosa telah mengakibatkan ketidakmampuan manusia mengambil bagian dalam kekudusan Allah dan tidak lagi hidup seturut kehendak-Nya. Kehidupan manusia berdosa telah dibelenggu oleh kuasa dosa sehingga manusia selalu memiliki kecenderungan untuk berbuat dosa. Namun, kita patut bersyukur, sebagai orang percaya, kita tidak lagi hidup diperbudak oleh dosa. Roh Kudus yang telah memanggil kita serta melahirbarukan, mempertobatkan, menganugerahkan iman, membenarkan, dan menguduskan, telah memimpin kita untuk mematikan dosa dan menghasilkan buah-buah ilahi. Tanpa Roh Kudus, orang percaya tidak mungkin dapat menjalani kehidupan Kristen yang sesungguhnya. Sebaliknya, melalui pimpinan-Nya, hidup kita akan selalu diisi dengan kebenaran firman-Nya sehingga gaya dan sikap hidup kita pun akan berubah. Namun, kita melihat kenyataan yang sangat menyedihkan, yaitu sekalipun memiliki Roh Kudus, orang Kristen masih hidup jatuh bangun di dalam dosa. Seakan-akan, manusia hanya menjadi permainan Setan karena tidak memiliki kuasa untuk mengalahkannya. Mengapa hal ini terjadi? Bukankah Alkitab mengatakan bahwa orang-orang Kristen "lebih dari seorang pemenang"? Bagaimana dengan janji Allah untuk mengirimkan Roh Kudus-Nya untuk menjadi Penolong bagi manusia? Bagaimana cara kerja Roh Kudus untuk menolong orang Kristen mematikan kuasa dosa yang bercokol di dalam hidupnya? Artikel yang ditulis oleh John Owen di bawah ini kiranya dapat menjawab pertanyaan di atas. Selamat menyimak dan mari mempelajari cara Roh Kudus mematikan dosa-dosa kita. Staf Redaksi e-Reformed, Ryan < http://reformed.sabda.org >
Edisi:
Edisi 156/September 2014
Isi:
Karya Roh Kudus dalam Mematikan DosaDalam bab ini, perhatian kita terfokus pada perihal kebergantungan orang percaya pada karya Roh Kudus dalam melaksanakan kewajiban mereka untuk mematikan dosa. Kebenaran hakiki yang ingin ditekankan dalam bab ini bisa dirangkum sebagai berikut: Hanya Roh Kudus yang sanggup melaksanakan pekerjaan ini. Segala cara dan sarana untuk mematikan dosa tidak akan menghasilkan apa pun tanpa pertolongan-Nya. Roh Kudus bekerja di dalam diri orang percaya sesuai dengan kehendak hati-Nya untuk mengarahkan dan memberi kuasa kepada dia dalam pekerjaan ini. Rangkuman ini bisa diperluas menjadi dua bagian besar: a. Sia-sia saja mencari penawar untuk mematikan dosa. Banyak penawar yang pernah dianjurkan, beberapa di antaranya merupakan penawar terkenal, tetapi semuanya tidak menyembuhkan. Bagian yang paling religius dari Katolik Roma justru menyangkut cara dan sarana yang keliru untuk mematikan dosa: mengenakan kain kabung, nazar, ordo-ordo keagamaan, puasa, sakramen pertobatan, dan lain-lain. Semua ini dianggap bisa mematikan dosa, tetapi sebenarnya tidak. Sayangnya, pemikiran-pemikiran tentang mematikan dosa seperti itu tidak terbatas pada Gereja Katolik Roma saja. Ada orang-orang yang menyebut diri mereka Protestan, yang seharusnya lebih tahu dan memiliki keuntungan berupa pemahaman yang lebih jelas tentang Injil, tetapi tindakan mereka tidak lebih baik daripada umat Katolik Roma. Mereka ini mengabdikan diri untuk memelihara hukum Allah; tetapi pengabdian mereka sama sekali tidak berkaitan dengan Kristus atau Roh-Nya sehingga hanya akan melahirkan kesombongan. Cara dan sarana yang dianggap bisa mematikan dosa menunjukkan sangat kurangnya pengenalan akan kuasa Allah dan misteri Injil. Ada dua alasan utama mengapa upaya-upaya kaum Katolik Roma dan orang-orang yang menyebut diri Protestan ini gagal untuk benar-benar mematikan dosa: 1. Banyak cara dan sarana yang mereka tekankan untuk mematikan dosa memang tidak pernah dimaksudkan Allah untuk tujuan ini. Tidak ada cara dan sarana dalam agama sejati yang bisa mencapai sasaran tertentu kecuali Allah sendiri telah menetapkannya untuk tujuan tersebut. Mengenai kain kabung, nazar, sakramen pertobatan, dan hal-hal lain semacam itu, Allah bertanya, " ... siapakah yang menuntut itu dari padamu ...?" (Yesaya 1:12), dan berkata, "Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia." (Markus 7:7) 2. Mereka gagal menggunakan dengan tepat sarana-sarana yang telah Allah tunjuk, misalnya berdoa, berpuasa, berjaga-jaga, bersaat teduh, dan lain-lain. Semua sarana ini berguna sebagaimana mestinya dalam pekerjaan ini hanya ketika digunakan dengan iman dan ketaatan kepada Roh. Ketika manusia berharap untuk berhasil membunuh dosa hanya dengan kebajikan doa atau puasa yang begitu banyak, mereka gagal menggunakan sarana yang Allah tunjuk dengan cara yang benar. Sebagaimana yang Paulus katakan tentang sejumlah orang, dalam konteks yang agak berbeda, bahwa mereka "... walaupun selalu ingin diajar, namun tidak pernah dapat mengenal kebenaran." (2 Timotius 3:7) Demikian pula, orang-orang semacam itu selalu berusaha mematikan dosa, tetapi tidak pernah benar-benar melakukannya. Dengan kata lain, mereka memiliki berbagai sarana untuk membunuh manusia lahiriah yang berkaitan dengan kehidupan lahiriah, tetapi tak satu pun dari sarana itu dapat mematikan keinginan jahat yang merusak kehidupan rohani. Inilah kesalahan umum yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mengenal Injil. Inilah penyebab banyaknya takhayul dan agama yang dibentuk berdasarkan pikiran manusia, yang telah datang ke dalam dunia. Betapa parahnya kerusakan yang telah manusia perbuat terhadap dirinya sendiri, betapa hebatnya penderitaan yang harus mereka alami karena beranggapan bahwa mereka bisa membasmi dosa dengan menyerang tubuh lahiriah dan bukannya menyerang manusia batiniah atau naturnya yang rusak! Mencambuki diri atau jenis-jenis penyiksaan badani lainnya (yang sayangnya, merupakan praktik yang tetap gigih dilakukan sejumlah orang beragama), sama sekali tidak mematikan dosa. Suatu bentuk yang lebih halus dan populer dari kesalahan ini, yang juga sama sekali tidak mematikan dosa, adalah seseorang yang disiksa dengan rasa bersalah atas suatu dosa yang telah mengalahkan dirinya. Dia langsung berjanji kepada Allah dan dirinya sendiri bahwa dia tidak akan melakukannya lagi. Dia mengawasi dirinya sendiri, dia berdoa sejenak, sampai dorongan kepada dosa yang salah itu kembali mencengkeramnya. Jika kita memerhatikan natur yang sebenarnya dari pekerjaan yang harus dilakukan dalam mematikan dosa, jelaslah bahwa tidak ada satu pun upaya dari manusia sendiri yang bisa mencapainya. Ini membawa kita menuju ke bagian selanjutnya: b. Mematikan dosa adalah karya Roh Kudus. Ada dua alasan mengapa kita mengatakan seperti itu: 1. Allah telah berjanji dalam firman-Nya untuk memberikan Roh Kudus melakukan pekerjaan ini. Secara umum, membuang hati yang keras (yaitu, hati yang memberontak, bebal, dan tidak mau percaya) merupakan pekerjaan mematikan dosa yang sedang kita bahas ini. Kepada orang percaya dijanjikan bahwa pekerjaan ini akan dilakukan oleh Roh: "... Aku akan menjauhkan dari tubuhmu hati yang keras .... Roh-Ku akan Kuberikan diam di dalam batinmu ...." (Yehezkiel 36:26-27) 2. Semua pekerjaan mematikan dosa datang sebagai karunia dari Kristus, dan segala karunia Kristus datang kepada kita melalui Roh Kristus. Tanpa Kristus, kita tidak dapat berbuat apa-apa (Yohanes 15:5). Kristus mengaruniakan kepada kita usaha mematikan dosa kita. Dia ditinggikan dan dijadikan Raja dan Juru Selamat untuk memberikan pertobatan kepada kita (Kisah Para Rasul 5:31) dan usaha mematikan dosa yang kita lakukan bukanlah bagian yang kecil dari pertobatan tersebut. Bagaimanakah Kristus melakukannya? Sesudah menerima Roh Kudus yang dijanjikan, Dia mencurahkan-Nya untuk tujuan ini (Kisah Para Rasul 2:33). Kesimpulan Untuk menyimpulkan, mari kita pikirkan dua pertanyaan penting berikut ini: a. Bagaimanakah Roh mematikan dosa? Umumnya, Roh Kudus menyelesaikan pekerjaan ini melalui tiga cara: 1. Roh Kudus menyebabkan hati kita berlimpah dengan anugerah dan menghasilkan buah yang melawan natur berdosa, baik pada akar maupun carangnya. Dalam Galatia 5:19-23, Paulus mempertentangkan "perbuatan (buah) daging (natur yang berdosa)" dengan "buah Roh". Jika buah Roh berkembang dalam diri seseorang, natur berdosa tidak dapat berkembang pada waktu yang bersamaan. Mengapa demikian? Paulus menjawab, "Keduanya (yakni natur berdosa dan buah Roh) bertentangan" (Galatia 5:17), maka keduanya tidak akan bisa bersama di dalam diri satu orang pada tingkat apa pun. Pembaruan yang dikerjakan oleh Roh Kudus ini, sebagaimana diserukan dalam Titus 3:5, merupakan salah satu cara utama untuk mematikan dosa. Roh menyebabkan kita berjuang dan penuh dengan anugerah yang melawan dan menghancurkan pekerjaan natur yang berdosa dan sisa-sisa dari dosa yang masih ada itu. 2. Roh Kudus memiliki pengaruh yang dramatis terhadap akar dan kebiasaan dosa: melemahkan, menghancurkan, dan menyingkirkannya. Karena alasan inilah, Dia disebut Roh yang mengadili dan Roh yang membakar (Yesaya 4:5). Dia benar-benar menghancurkan dan menghanguskan keinginan kita untuk berbuat dosa. Dia memulai dengan membuang hati yang keras dengan suatu kuasa yang dahsyat. Dia melanjutkan sebagai api yang membakar habis akar keinginan yang jahat. 3. Roh Kudus membawa salib Kristus masuk ke dalam hati orang berdosa melalui iman, dan memberi kita persekutuan dengan Kristus di dalam kematian dan penderitaan-Nya. b. Jika ini merupakan karya Roh Kudus semata-mata, mengapa ini menjadi kewajiban yang diamanatkan untuk dilakukan oleh orang percaya? Sedikitnya, ada dua jawaban untuk pertanyaan ini: 1. Sebagaimana karya Roh Kudus dalam mengaruniakan anugerah dan berbagai pekerjaan baik, mematikan dosa bukanlah karya yang dilakukan Roh Kudus secara eksklusif. Roh Kudus adalah pemberi setiap anugerah dan pekerjaan yang baik, tetapi orang percayalah yang melakukan anugerah ini dan yang mengerjakan perbuatan-perbuatan baik secara nyata. Roh Kudus "mengerjakan di dalam [kita] baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya" (Filipi 2:13). "Segala sesuatu yang kami kerjakan, Engkaulah yang melakukannya bagi kami." (Yesaya 26:12) Baca juga 2 Tesalonika 1:11; Kolose 2:12; Roma 8:12-13; Zakaria 12:10. 2. Roh Kudus tidak mematikan dosa di dalam diri orang percaya tanpa ketaatan dan kerja sama dari orang percaya tersebut. Dia bekerja di dalam kita dan pada kita sesuai dengan natur manusia. Dia tetap memelihara kebebasan dan ketaatan bebas kita. Dia bekerja di dalam kita dan bersama kita, bukan melawan kita atau tanpa kita. Pertolongan-Nya berupa dorongan untuk melakukan pekerjaan itu dan bukannya alasan untuk mengabaikannya. Hal yang sedang kami tekankan di sini adalah bahwa pekerjaan ini tidak bisa dilakukan tanpa pertolongan yang penuh kuasa dari Roh Kudus. Tragisnya, ada orang-orang yang asing terhadap Roh Allah, dan mereka benar-benar berusaha mematikan dosa di dalam kehidupan mereka, tetapi gagal. Mereka berperang tanpa kemenangan, bertempur tanpa pengharapan mendapatkan kedamaian, dan tetap menjadi budak sepanjang hidup mereka.
Sumber:
Diambil dan disunting dari:
Memahami Ulang Konteks Berteologi John Calvin dalam Doktrin Predestinasi (2)
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Dalam edisi ini, kita akan melanjutkan bahasan tentang konteks teologi John Calvin dalam usahanya menjelaskan Predestinasi serta aplikasinya bagi hidup orang percaya. Kiranya dari artikel lanjutan ini, Anda semakin mengerti secara lengkap pendekatan-pendekatan yang Calvin lakukan dalam mengaitkan relevansi doktrin ini dengan hidup orang percaya, dan bersyukur atas pemilihan yang Allah lakukan dalam hikmat-Nya yang tak terukur. Mari langsung saja kita simak artikel ini. Selamat menyimak! Tuhan memberkati. Pemimpin Redaksi e-Reformed,Teddy Wirawan < teddy(at)in-christ.net > < http://reformed.sabda.org >
Edisi:
Edisi 145/Oktober 2013
Isi:
PREDESTINASI SEBAGAI JAMINAN KESELAMATAN DAN PANGGILAN HIDUP KRISTEN YANG SALEH Dengan ditempatkannya predestinasi di bawah topik keselamatan, Calvin ingin menunjukkan bahwa predestinasi pun merupakan bagian dari berkat-berkat yang diperoleh orang-orang percaya di dalam Kristus. Pengertian ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Itu sebabnya, sekalipun faktanya doktrin predestinasi mengandung "labyrinth" yang tak terselami sebagai bagian dari wahyu Allah, Calvin percaya bahwa predestinasi adalah "very sweet fruit",[18] atau sesuatu yang sangat bermanfaat bagi orang percaya. Permasalahannya adalah dalam hal apa dan bagaimana memahami predestinasi secara benar sehingga doktrin ini benar-benar memberi manfaat bagi orang percaya? Ini merupakan tanggung jawab yang Calvin merasa yakin terpanggil untuk menjawabnya. Calvin percaya sepenuhnya bahwa rahasia kehendak Allah berdiri di balik realitas orang percaya dan tidak percaya. Namun, ia tidak mau berspekulasi lebih lanjut, tentang mengapa, bagaimana, atau seperti apa persisnya hal itu terjadi di dalam kekekalan karena Alkitab tidak mengatakannya. Calvin yakin sepenuhnya berdasarkan Alkitab bahwa kehendak Allah sebagai dasar utama keselamatan harus ditegakkan. Kepentingannya adalah sebagai jaminan keselamatan, yaitu bahwa keselamatan bukan berdasarkan perbuatan baik kita, melainkan sepenuhnya karena kemurahan Allah. Masalahnya, jika kebebasan manusia memiliki peran yang signifikan dalam hal keselamatan, keselamatan menjadi sesuatu yang tidak pasti. Sebab, apa standarnya? Sampai batas mana manusia harus melakukan kebaikan? Belum lagi adanya realitas dosa yang sangat serius dalam diri manusia. Namun, jika keselamatan bergantung pada ketetapan Allah sendiri, tidak ada hal apa pun juga di bumi maupun di surga yang bisa membatalkan ketetapan Allah tersebut. Dalam satu bab terakhir tentang predestinasi di dalam buku III "Institutes" (1559), ia menjelaskan relasi yang erat antara predestinasi dan soteriologi secara induktif (ordo cognoscendi) sehingga manfaat doktrin predestinasi sebagai jaminan keselamatan nampak sangat jelas. Ada beberapa hal penting yang bisa dipelajari dari pola pendekatan ordo cognoscendi dalam konteks soteriologi untuk memahami predestinasi yang akan diuraikan berikut ini. Dari Sebab Dekat (Proximate Cause) ke Sebab Utama (Ultimate Cause) Dalam tafsirannya terhadap Efesus 1:5-8, Calvin menyimpulkan ada empat sebab keselamatan yang terjadi pada diri seseorang: pertama, kehendak Allah (God's will) sebagai yang menyebabkan pilihan-Nya pasti terlaksana (efficient cause); kedua, sebab yang dapat dilihat (material cause), yaitu Yesus Kristus; ketiga, sebab yang membuat pilihan Allah teraplikasi dalam diri orang berdosa (final cause), yaitu anugerah; dan keempat, sebab yang membuat kebaikan atau anugerah Allah sampai kepada umat manusia (formal cause), yaitu pemberitaan Injil. Di antara keempat sebab ini, efficient dan final cause adalah bagian dari misteri Allah, yang pasti terjadi, tetapi tidak mungkin dapat diselami. Karena itu, pemilihan sebagai jaminan keselamatan hanya dapat dipahami ketika kita mulai menggumulinya mulai dari bagaimana anugerah pemilihan itu sampai kepada kita, yaitu jika kita memulainya dari material dan formal cause. Yesus Kristus sebagai material cause akan kita bahas kemudian. Pada bagian ini, kita akan membahas sedikit lebih jauh arti formal cause. Formal cause -- sebab yang membuat anugerah atau kebaikan Allah itu sampai kepada kita -- terdiri dari tiga hal yang saling berkaitan, yaitu panggilan firman (calling), pekerjaan Allah Roh Kudus secara internal, dan iman. Menurut Calvin, jaminan keselamatan itu memang bersumber dari takhta Allah yang Mahakudus, tetapi Ia tidak pernah meminta kita untuk naik ke hadirat-Nya yang kudus (selama kita di bumi). Dengan menggumuli firman di dalam iman dan pekerjaan Roh Kudus itulah, kita akan dibawa kepada posisi rohani, yang membuat panggilan (klesis) dan pilihan (ekloge) kita semakin teguh (2 Petrus 1:10). Namun sekali lagi, di sini Calvin sama sekali bukan mengatakan bahwa usaha manusialah yang menyebabkan pilihan. Calvin lebih ingin menekankan bagaimana kita sampai kepada "pemilihan kekal Allah" sebagai jaminan keselamatan. Kristus sebagai "The Mirror of Election" Dari penjelasan sebelumnya, telah ditunjukkan keyakinan Calvin bahwa manusia tidak mungkin sanggup mendaki secara langsung ke dalam misteri ketetapan kekal Allah. Namun, terdorong oleh panggilan untuk membuktikan dan menunjukkan bahwa pemilihan kekal Allah merupakan jaminan keselamatan manusia dan bukan sebagai problem metafisika, maka berikutnya ia berusaha untuk tidak secara langsung menarik hubungan antara apa yang terjadi di dalam kekekalan (eternity) dan keselamatan yang terjadi pada manusia di dalam dunia ini (temporal). Artinya, ia tidak ingin terjebak di dalam silogisme: "Karena aku dipilih, maka aku diselamatkan". Sekalipun secara ontologi kalimat ini pasti ia setujui, tetapi ia memandang hal itu berbahaya. Ia lebih mengarahkan argumentasi kepada keberadaan Yesus Kristus, yang adalah Allah sekaligus Manusia, sebagai titik temu antara apa yang terjadi di dalam kekekalan dan keselamatan yang dialami oleh manusia. Di sinilah, terjadi interpenetrasi antara paham tentang Kristus dan predestinasi. Mengarahkan iman kepada Kristus di sini memiliki makna yang sangat dalam, sebab berarti kita bukan sekadar "believe in Him" (Yohanes 3:16), tetapi lebih dari itu, kita percaya: (1) kepada Yesus Kristus sebagai dasar pilihan Allah di dalam kekekalan, yang sekaligus merupakan jaminan kekal yang tak tergoyahkan (Efesus 1:4-6); (2) Kristus di dalam sejarah, menyatakan pemilihan kita oleh Allah di dalam kekekalan (Efesus 1:7-9); (3) Kristus menyingkapkan tujuan pemilihan Allah, yaitu menjadi serupa dengan Kristus (Roma 8:29), mengenakan Kristus sebagai perlengkapan senjata terang (Roma 13:14), dan bertumbuh ke arah Kristus (Efesus 4:15). Hal yang terakhir ini menurut Calvin, sekaligus merupakan panggilan bagi setiap orang percaya untuk memiliki ketekunan dan hidup yang kudus. Melalui "union with Christ" inilah, kita juga akan dibawa kepada jaminan keselamatan yang berdasarkan pada pemilihan kekal Allah. Reprobasi sebagai Misteri Penyataan Keadilan Allah Ketika kita masuk ke dalam pembicaraan tentang reprobasi -- di mana Allah membiarkan sebagian orang dalam dosanya untuk menerima hukuman (reprobat) --, Calvin menekankan bahwa kita tidak bisa memikirkan reprobasi dan pemilihan Allah sebagai dua hal yang bersifat paralel. Artinya, sekalipun pemilihan dan reprobasi adalah dua hal yang memiliki "ultimate cause" di dalam misteri kehendak Allah, dan juga memiliki sebab yang dekat dengan manusia (proximate cause), tetapi ia melihat bahwa yang membedakan keduanya adalah jikalau dalam hal anugerah pemilihan proximate cause itu sama sekali tidak berasal dari manusia (perbuatan manusia tidak diperhitungkan sebagai penyebab), maka di dalam hal penghukuman kekal Allah (reprobation), proximate cause mengandung aspek kebebasan dan natur berdosa manusia (perbuatan berdosa manusia turut menyebabkan penghukuman). Namun, apakah hal ini berarti Allah secara aktif menyebabkan manusia berbuat dosa? Calvin memang mengatakan bahwa "Kehendak dan ketetapan abadi Allah adalah penyebab tunggal dari segala sesuatu yang ada".[19] Namun, ia sama sekali tidak bermaksud untuk melemparkan tanggung jawab atas perbuatan dosa kepada "divine causality" (sebab ilahi) sehingga seolah-olah manusia tidak bertanggung jawab atau hanya merupakan alat saja di tangan Allah. Di dalam kasus kejatuhan Adam ke dalam dosa, ia mengatakan, "Adam dapat tetap teguh jika ia mau, namun kejatuhannya semata-mata karena kehendaknya sendiri".[20] Tetapi, bagaimana hal ini tidak berkontradiksi dengan pernyataan Calvin sebelumnya bahwa ketetapan Allah adalah "penyebab tunggal dari segala sesuatu yang ada?" Pertama-tama, ia mengajak kita untuk menjauhkan Allah dari posisi yang secara aktif menyebabkan terjadinya dosa. Kedua, untuk menjawab problem di atas, Calvin tidak memilih argumentasi yang membedakan ketetapan Allah dengan izin Allah. Sebuah pembedaan yang pada hakikatnya sama saja. Namun, Calvin tetap percaya bahwa kehendak Allah adalah penyebab tunggal dari segala sesuatu yang ada. Jika demikian, bagaimana Allah bukan sebagai penyebab aktif perbuatan dosa manusia? Di dalam buku yang sama (Calvin's Calvinism), ia berangkat dari asumsi bahwa sebuah tindakan dikatakan berdosa adalah karena motivasi yang salah dan tujuan yang jahat. Jadi, ketika seseorang membunuh atau mencuri, perbuatan itu berdosa adalah karena motivasi yang salah dan tujuan yang jahat. Dengan demikian, di dalam kasus-kasus seperti pengerasan hati Firaun atau Yudas, Calvin berpendapat, pertama, kita mesti melihat adanya tujuan mulia dari Allah yang tak terselami dan hikmat-Nya yang Mahabenar yang tak tergapai. Kedua, adanya perbedaan kategori yang tak terseberangi antara kekekalan dan kesementaraan sehingga kita tidak bisa mengukur apa yang Allah lakukan di dalam kekekalan dengan kategori temporal. Itu sebabnya, ia menutup penjelasannya tentang predestinasi dengan pernyataan, "Seperti pernyataan Agustinus, mereka yang mengukur keadilan ilahi dengan standar keadilan manusia telah bertindak salah." Namun, kembali kepada konteks soteriologi dalam pembicaraan tentang predestinasi, maka fungsi paham reprobasi bagi orang-orang percaya menurut Calvin sebenarnya sama halnya dengan anugerah pemilihan Allah, yaitu menyadarkan orang-orang percaya supaya patuh, kagum, heran, rendah hati, dan gemetar di hadapan kemahakuasaan Allah yang tak terselami, namun yang telah dinyatakan dalam Alkitab.[21] Sebagai bagian dari predestinasi, maka sama seperti pemilihan Allah pula, paham reprobasi juga ada di ujung pergumulan iman orang-orang yang percaya kepada Kristus. Kesimpulan Dengan menempatkan doktrin predestinasi dalam konteks soteriologi, Calvin berusaha menunjukkan bahwa fungsionalitas doktrin predestinasi sebagai dasar jaminan keselamatan dapat ditimba oleh setiap orang percaya. Hal ini bisa terjadi apabila kita memulai pemahaman tentang predestinasi dengan berangkat dari tanda-tanda keselamatan yang Allah nyatakan kepada kita, dan dengan memandang kepada Yesus Kristus sebagai "the mirror of election". Cara seperti ini sudah tentu bukan jaminan untuk meniadakan sifat misteri doktrin predestinasi, melainkan justru karena kesadaran bahwa doktrin ini penuh dengan misteri ilahi. Dengan demikian, cara yang dipakai oleh Calvin ini membawa orang percaya kepada sebuah relasi yang paradoks antara pergumulan iman tentang jaminan keselamatan dan predestinasi. Di satu pihak, predestinasi sebagai misteri (tetapi yang telah dinyatakan oleh Allah) adalah penyebab iman, di lain pihak, hal itu hanya bisa dipahami ketika iman sebagai jaminan yang membawa kita kepada rahasia predestinasi Allah. Jadi di sini, pergumulan dengan kebenaran predestinasi bersifat dua arah. Artinya, kita berangkat dari keyakinan akan berita Alkitab tentang ketetapan Allah sebagai sumber keselamatan kita, namun keyakinan itu baru dapat benar-benar kita gapai ketika kita menempatkan ketetapan Allah di ujung pergumulan iman kita. Mengutip perkataan Agustinus, Calvin berkeyakinan bahwa menggumuli predestinasi berarti kita telah memasuki jalur iman.[22] Ketika iman kita membawa kepada keyakinan akan anugerah pemilihan Allah, dampak baliknya adalah penghiburan dan sekaligus panggilan untuk hidup suci. Namun, yang terpenting dalam usaha memahami predestinasi adalah "Mari kita berpegang teguh pada iman. Ia memimpin kita ke kamar Raja, tempat tersimpan seluruh harta pengetahuan dan kebijaksanaan."[23] Catatan Kaki: 18. Institutes III.xxi.1.19. Ibid. I.xvi.8; bdk. III.xxiii.7-8. 20. Ibid. I.xv.1, 8 [huruf tegak dari saya]. 21. Ibid. III.xxi.1; III.xxiii.5; III.xxiv.17. 22. Ibid III.xxi.2. 23. Ibid.
Sumber:
Diambil dan disunting dari:
Memahami Ulang Konteks Berteologi John Calvin dalam Doktrin Predestinasi (1)
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Maafkan kami atas keterlambatan terbit yang sering terjadi akhir-akhir ini. Kami harap Anda dapat terus menikmati artikel-artikel yang kami kirimkan. Artikel e-Reformed bulan September ini membahas seputar doktrin Predestinasi yang pasti sering kita dengar. Namun, dalam edisi ini, kita akan lebih berfokus pada konteks berteologi John Calvin ketika menggumuli doktrin ini. Sebagaimana yang kita tahu, doktrin ini menjadi perdebatan yang tidak pernah terselesaikan, terutama oleh kaum Calvinis dan Armenian. Hal ini terjadi karena banyak orang yang sesungguhnya tidak mengerti konteks ketika doktrin ini dicetuskan, dan menjadi salah kaprah ketika mengartikannya lepas dari konteks. Oleh karena itu, artikel ini berusaha meluruskan kembali konteks pergumulan yang sebenarnya dialami oleh John Calvin ketika mencetuskan doktrin ini. Karena artikel yang asli relatif panjang untuk dimuat, redaksi berusaha memadatkan isi artikel ini sehingga dapat dimuat dalam 2 (dua) edisi September dan Oktober. Kiranya artikel ini dapat membukakan pengertian yang benar akan keagungan dan kekayaan Diri Allah yang tak terselami oleh pikiran manusia. Soli Deo Gloria! Pemimpin Redaksi e-Reformed,Teddy Wirawan < teddy(at)in-christ.net > < http://reformed.sabda.org >
Edisi:
edisi 144/September 2013
Isi:
Pendahuluan Artikel ini tidak bermaksud secara langsung dan detail menguraikan doktrin predestinasi, atau bahkan menjawab serangkaian pertanyaan rumit yang sering kali muncul seputar doktrin ini. Artikel ini lebih merupakan suatu usaha untuk memahami kembali kerangka dasar atau konteks doktrin predestinasi sebagaimana diajarkan oleh John Calvin. Hal ini perlu kita lakukan karena di satu pihak, Calvin percaya bahwa doktrin predestinasi memberikan manfaat yang tidak sedikit dalam kehidupan orang percaya, tetapi di lain pihak, sejak awal ia sendiri telah menyadari banyaknya orang yang akan menyimpangkan ajarannya tentang predestinasi. Penyimpangan-penyimpangan tersebut, sebagaimana dikatakan oleh Henry Cole, telah mengakibatkan orang yang mempelajari doktrin predestinasi Calvin tidak dari sumber aslinya bukan saja menjadi salah mengerti, melainkan juga kehilangan "religious spirit" sebenarnya yang membangun.[1] Hal ini dapat terjadi karena doktrin predestinasi Calvin sering kali hanya dibicarakan secara terpotong-potong, lepas dari konteksnya. Calvin memang bukan orang pertama dan satu-satunya yang mencetuskan doktrin predestinasi. Dalam tulisan-tulisannya, ia banyak memakai argumentasi Agustinus untuk menjelaskan beberapa masalah predestinasi. Namun, bila kemudian doktrin ini sering kali diidentikkan dengan Calvin, tidak lain karena dalam pemikirannya, paham predestinasi memperoleh pengupasan secara lebih komprehensif dan utuh.[2] Di samping itu, ia adalah tokoh yang paling gigih mengajarkan dan membela kebenaran doktrin ini, lebih dari siapa pun, bahkan teolog-teolog di masa kini.[3] Barangkali, prinsip awal dan pertama yang kita bisa pelajari dari Calvin adalah sikapnya yang percaya sepenuhnya dan apa adanya terhadap wahyu Allah di dalam Alkitab. Sikap ini memberikan dua dampak. Pertama, ia berani masuk ke kedalaman firman Tuhan dan mengajarkannya, bahkan hal-hal yang tampaknya kontroversial, dengan suatu keyakinan bahwa baginya, tidak ada hal yang Allah wahyukan yang sifatnya sia-sia, termasuk kebenaran predestinasi. Ia meyakini sepenuhnya bahwa Allah dan firman-Nya adalah sumber kebenaran doktrin ini. Kedua, ia bukan saja dengan penuh rasa hormat kepada Allah berani mengajarkan doktrin predestinasi secara jujur, melainkan juga secara berhati-hati berusaha untuk tidak melampaui apa yang Alkitab katakan sehingga tidak jatuh ke dalam spekulasi metafisika. Walaupun menelusuri sejarah pemikiran Calvin untuk mendapatkan keutuhan kerangka berpikirnya adalah hal yang hampir mustahil, tetapi saya berangkat dari keyakinan sebagaimana dikatakan oleh Richard Muller bahwa selama tulisan-tulisan Calvin masih dapat kita pelajari, berarti masih ada harapan.[4] Itu sebabnya, melalui tulisan ini, saya berharap cukup untuk memberikan kerangka dasar pemikiran Calvin tentang predestinasi, melalui penelusuran secara historis dan teologis terhadap tulisan-tulisan Calvin, khususnya "Institutes".[5] Artikel ini dibagi dalam dua bagian. Bagian pertama membahas konteks pemahaman doktrin predestinasi Calvin dengan mengamati perkembangan tulisan-tulisannya guna melihat kerangka atau pola dasar pemikirannya tentang predestinasi. Bagian kedua merupakan aplikasi pemahaman bagian pertama dalam membaca tulisan Calvin tentang predestinasi, dalam relevansinya dengan konteks yang ia maksud. Survei Historis dan Teologis Pola Dasar Pemikiran Predestinasi Calvin Doktrin predestinasi Calvin tidak ditulis dalam suasana yang "aman dan tentram". Doktrin ini mengalami proses perkembangan hingga menjadi benar-benar matang di dalam karya-karyanya, khususnya "Institutes" edisi 1559, setelah melalui berbagai perlawanan frontal dari lawan-lawannya. Perlawanan dari teolog Roma Katolik, Albertus Pighius, pada tahun 1543, mendorongnya untuk menulis "The Bondage and Liberation of the Will: A Defense of the Orthodox Doctrine of Human Choice against Pighius",[6] guna menolak konsep Pighius yang terlalu menekankan kebebasan manusia. Dua tahun kemudian, yaitu tahun 1545, ia menulis "Treatises Against the Anabaptists and Against the Libertines",[7] sebagai jawaban terhadap kelompok Libertines yang menolak dosa asal. Tahun 1552, ia menulis "Concerning the Eternal Predestination of God",[8] yang isinya bukan saja menjawab Georgius the Sicily, melainkan juga diarahkan kepada Pighius dalam kaitannya dengan problem prapengetahuan Allah dan, lagi-lagi, kebebasan manusia. Di samping karya di atas, masih banyak karya lainnya yang hampir semuanya ditulis dalam suasana "pembelaan iman". Ia juga banyak dibantu oleh murid dan asistennya yang setia, Theodore Beza, dalam menegakkan kebenaran predestinasi, khususnya ketika ia terlibat dalam perdebatan panjang (tahun 1551 -- 1555) dengan Jerome Bolsec, menyangkut kekekalan, prapengetahuan Allah, dan iman.[9] Dalam seluruh rangkaian perdebatan ini, Calvin tetap berpegang teguh pada tradisi monergisme Agustinian, sementara kebanyakan lawannya mengekspresikan pola teologi sinergisme yang merupakan sasaran utama penolakan para tokoh Reformasi. Tradisi monergisme Agustinian menekankan keselamatan yang sepenuhnya berdasarkan anugerah Allah, sedangkan tradisi sinergisme mendasarkan keselamatan kepada pra-pengetahuan Allah (divine foreknowledge) dan usaha iman dari manusia. Pergumulan Calvin di atas, dan tulisan-tulisan lainnya, sudah tentu banyak memengaruhi tulisannya tentang predestinasi, terutama tafsirannya terhadap kitab Roma yang disebut-sebut paling banyak memengaruhi Calvin dalam menulis "Institutes" edisi terakhir (1559).[10] Mulai edisi pertama, 1536, hingga yang terakhir, 1559, "Institutes" mengalami perkembangan yang tidak sedikit, tetapi bukan dalam arti adanya pergeseran posisi atau pengubahan isi yang mendasar dari waktu ke waktu, melainkan usahanya untuk terus menambahkan pokok-pokok ajaran yang ia anggap penting. Sebuah fakta yang mengherankan ialah, ketika memberikan tambahan-tambahan, secara prinsip ia senantiasa konsisten dengan apa yang telah diajarkan sebelumnya. Ketika Calvin menulis "Institutes" pada tahun 1536, doktrin predestinasi belum memperoleh pembahasan secara khusus. Di dalam enam bab tulisannya ini, paham predestinasi ia sisipkan dalam pembahasan tentang "turun ke dalam kerajaan maut" dari pengakuan iman rasuli dan penjelasan tentang hakikat gereja. Dalam penjelasan kalimat yang berdasarkan 1 Petrus 3:19 tersebut -- yang ia mengerti bukan secara harfiah, melainkan sebagai manifestasi kuasa penebusan Kristus kepada mereka yang telah mati pada zaman sebelum Kristus -- ia menyisipkan prinsip perbedaan dampak penebusan Kristus kepada orang-orang percaya dan orang-orang fasik. Sedangkan dalam pembahasan tentang gereja, pengertian predestinasi mendominasi penjelasannya tentang hakikat gereja. Berdasarkan Efesus 1:4, misalnya, ia mendefinisikan gereja sejati sebagai "orang-orang yang telah dipilih di dalam Dia sebelum dunia dijadikan, dengan tujuan agar semua dapat berkumpul di dalam Kerajaan Allah".[11] Gereja adalah universal karena orang-orang percaya di dalamnya dipilih dan dipersatukan di dalam Kristus (Efesus 1:22-23).[12] Hakikat gereja adalah kudus karena "orang-orang yang telah dipilih oleh providensi Allah untuk ditetapkan sebagai anggota-anggota gereja -- mereka dikuduskan oleh Tuhan (Yohanes 17:17-19)".[13] Dari semua contoh di atas, jelas bahwa Calvin senantiasa berusaha untuk tidak melepaskan predestinasi dalam kaitannya dengan landasan bagi identitas umat tebusan Kristus. Pada tahun 1539, ketika "Institutes" bertambah menjadi tujuh belas bab, satu hal yang tetap konsisten adalah bahwa konteks praktis, eklesiologis, dan soteriologis, terus mewarnai pembicaraan tentang predestinasi. Namun, di dalam edisi ini, ia juga membahas predestinasi secara lebih luas sebagai penjelasan ontologis tentang kedaulatan Allah terhadap ciptaan-Nya, dengan tambahan konsep tentang providensi Allah. Barangkali, progresivitas yang paling radikal ada di dalam edisi terakhir, tahun 1559, ketika "Institutes" jadi lima kali lebih panjang dari edisi pertama, dan dibagi menjadi empat "buku", masing-masing dengan topik utama: "The Knowledge of God the Creator", "The Knowledge of God the Redeemer", "The Receiving of the Grace of Christ", dan "The Holy Catholic Church". Di dalam edisi ini, ia bukan saja membahas predestinasi secara khusus dan panjang (empat bab), tetapi ia juga memisahkan pembicaraan predestinasi dari providensi. Jika providensi ditempatkan di akhir pembahasan tentang doktrin Allah (I.xvi-xviii), maka ia meletakkan predestinasi di dalam konteks pembahasan soteriologi, di bawah topik besar "The Receiving of the Grace of Christ", atau tepatnya, sesudah pembicaraan tentang iman, pembenaran, dan doa (III.xxi-xxiv). Dampak pemisahan ini, sekali lagi, bukan karena adanya perubahan konsep teologis dalam diri Calvin mengenai providensi dan predestinasi. Bukan pula pemisahan dalam arti pembedaan secara tajam antara providensi dan predestinasi.[14] Pemisahan tersebut dilakukan karena ia lebih memilih pendekatan "ordo cognoscendi" (urutan secara logis atau mana yang harus diketahui terlebih dahulu) dalam memahami predestinasi, ketimbang "ordo essendi" (urutan secara esensi atau ontologis).[15] Pola semacam ini tampaknya cukup berhasil membuatnya menjauhkan diri dari pembahasan spekulasi metafisika dan determinisme, dan sebaliknya, mendekatkan diri kepada pemahaman tentang predestinasi yang lebih menampung relevansi rohani secara praktis, khususnya dengan jaminan keselamatan orang percaya. Secara praktis, prinsip di atas dapat dibahasakan sebagai berikut. Ketika kita mencoba memahami predestinasi dengan berangkat secara deduktif dari pernyataan seperti: "Kehendak Allah adalah penyebab segala sesuatu," akan menjadi lebih sulit dan tak terselami daripada jika kita mencoba memahami predestinasi dengan berangkat dari pertanyaan seperti: "Mengapa Tuhan mau mengampuni dosaku? Mengapa Yesus Kristus mau mati untukku?" Melalui pola pendekatan ordo cognoscendi, Calvin ingin paham predestinasi itu muncul melalui pemahaman terhadap aspek-aspek penebusan di dalam diri orang percaya. Begitu pemilihan itu telah muncul dalam pikiran dan dipercayai, atau paling tidak, secara samar-samar diterima oleh orang percaya, esensi pemilihan, sejauh yang Alkitab wahyukan, harus segera diajarkan. Belajar dari Calvin, Beza menegaskan bahwa ketika kita mencoba memahami predestinasi dengan memulainya dari "first" atau "final causality" dalam rahasia kekekalan Allah, itu hanya menyebabkan kita tidak bisa menarik makna barang sedikit pun karena pada akhirnya, mata kita akan tertutup terhadap dinamika karya Allah dalam sejarah keselamatan manusia.[16] Sedangkan, Wendel menafsirkan bahwa Calvin memilih ordo cognoscendi dalam konteks soteriologis karena seseorang yang mempelajari doktrin predestinasi dengan berangkat dari hakikat ketetapan-ketetapan Allah atau providensi Allah, atau membawa predestinasi ke dalam kategori pembicaraan providensi Allah, hal itu memang bukan sesuatu yang sepenuhnya salah, tetapi tidak tepat dan bahkan berbahaya.[17] Catatan kaki:
Sumber:
Diambil dan disunting dari:
Komentar |
Publikasi e-Reformed |