Tentang KamiArtikel TerbaruUpdate Terakhir |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SOTeRI PraktikaTeologia Praktika adalah teologia yang berisi penerapan pengajaran Alkitab dalam kehidupan praktis untuk pembangunan, pengudusan, pembinaan, pendidikan dan pelayanan umat Tuhan.
Firman Allah Pedoman Kita
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Salah satu bentuk disiplin rohani bagi umat kristiani adalah berpuasa. Namun, kerap hal ini diabaikan oleh banyak orang Kristen dan terkesan tidak penting sama sekali, padahal berpuasa adalah salah satu bentuk disiplin rohani yang alkitabiah. Saat berbicara tentang disiplin rohani, umumnya yang dilakukan kebanyakan orang Kristen adalah disiplin rohani dalam berdoa, bersaat teduh, pendalaman Alkitab, atau mencatat jurnal rohani. Tidak banyak orang Kristen dan gereja yang menerapkan disiplin rohani berpuasa. Beberapa gereja mungkin hanya mengadakan puasa saat Paskah atau persiapan acara besar di gereja. Berpuasa menolong untuk mendisiplin kehidupan rohani seorang murid Kristus. Oleh karena itu, sudah seharusnya umat kristiani kembali pada praktik berpuasa. Dalam edisi bulan ini, kita akan belajar beberapa hal: apa definisi puasa? Apakah puasa itu alkitabiah? Dan, mengapa kita perlu berpuasa? Kiranya melalui artikel yang kami sajikan ini, kita boleh semakin mengerti arti berpuasa dan mulai mempraktikkannya sebagai salah satu langkah untuk mulai mendisiplin diri dan rohani kita. Selamat membaca. Tuhan Yesus memberkati.
Edisi:
Edisi 178/Juli 2016
Isi:
Firman Allah Pedoman Kita
Ada suatu puasa yang ditetapkan oleh Allah. Puasa semacam itu telah dilakukan oleh umat Allah di sepanjang sejarah. Pada abad mula-mula kekristenan, puasa tersebut masih murni. Belakangan, praktiknya merosot; makna dan esensinya diselewengkan hingga sekarang ini puasa tidak lebih dari suatu ritual takhayul. Akan tetapi, pada abad ke-16, bersama dengan segala jenis reformasi yang lain, puasa mendapatkan kembali tempatnya yang sejati. Pada saat itu, untuk beberapa waktu, puasa lazim dipraktikkan oleh orang-orang Kristen Reformasi. Pada masa ini pun masih ada beberapa di antara orang-orang yang taat yang masih berpuasa. Akan tetapi, jumlahnya sangat sedikit. Praktik berpuasa secara perlahan telah memudar. Kita tidak lagi melakukan puasa berjamaah. Kita telah menjadi terasing dengan berpuasa, dan kita tidak menganggapnya sebagai salah satu cara untuk meneguhkan iman. Para pemimpin kita juga tidak pernah menyarankan atau menganjurkannya, bila pun ada, sangat jarang. Dan, pendapat nenek moyang kita tentang berpuasa bahkan tidak diketahui di antara kita. Bahkan, menyebut tentang berpuasa itu saja mengisyaratkan ajaran Katolik Roma. Itulah mengapa kami ingin membawa kepada Anda pengajaran firman Tuhan yang berkenaan dengan berpuasa -- berpuasa sebagaimana nenek moyang kita mengajarkan dan melakukannya, dan sebagaimana itu juga berlaku bagi kita. Jangan biarkan keinginan daging memalingkan Anda dari kata-kata kami yang paling serius ini. Sangat mudah untuk memberi label "takhayul" kepada apa saja yang bertentangan dengan keinginan daging itu! Akan tetapi, sebagaimana yang dikatakan oleh Calvin, "Mari kita berbicara sedikit tentang berpuasa karena banyak orang percaya bahwa hal itu tidak perlu, karena mereka gagal menghargai segala manfaat yang mungkin mereka dapatkan darinya; beberapa orang benar-benar meninggalkannya, seolah-olah itu tidak bernilai; dan jika kita tidak menggunakannya dengan tepat, kita bisa dengan mudah jatuh ke dalam takhayul". Pada zaman kita, hampir semua orang di antara kita memiliki pendapat yang sama yang dimiliki oleh "beberapa" orang pada zaman Calvin -- bahwa berpuasa itu tidak perlu. Dan, kebanyakan dari kita telah meninggalkannya sama sekali. Namun, pada masa-masa kemiskinan rohani sekarang ini, seharusnya tidak ada satu pun sarana kasih karunia atau jalur menuju persekutuan yang lebih dekat dengan Tuhan yang boleh kita abaikan. Oleh karena itu, kaum Kristen seharusnya kembali kepada praktik berpuasa. Bukan karena Calvin mengajarkannya. Namun, karena ia mengajarkannya dengan berdasarkan pada firman Tuhan. Firman Tuhan adalah pedoman hidup kita. Bagi beberapa orang, ortodoksi terdiri dalam mencari ayat-ayat di dalam Alkitab untuk mendukung pendapat-pendapat mereka sendiri. Di saat yang bersamaan, mereka mungkin berpegang pada gagasan-gagasan lain yang bertentangan dengan firman Tuhan, dan mereka mengabaikan yang tidak mereka setujui. Itu merupakan pendekatan yang menyimpang terhadap firman Tuhan. Karena firman Tuhan dan gagasan manusia bertentangan satu sama lain. Firman Tuhan memberi kita pandangan terhadap dunia dan terhadap manusia dan terhadap jiwa manusia yang cukup berbeda dibanding pendapat manusia secara murni. Meski begitu, ada banyak orang, baik pendeta maupun orang awam, yang memandang manusia dan segala permasalahannya dari sudut pandang dunia. Mereka tidak mengetahui antropologi dan psikologi yang lain selain dari para pemikir dunia, dan mereka membangun sebuah sistem pemikiran rohani dengan dasar yang berbeda dari firman Tuhan. Landasan mereka bukanlah Alkitab, melainkan wawasan/pemahaman manusia. Bagi orang Kristen, firman Tuhan adalah sumber dari segala sumber buku. Ia melandaskan pemikiran dan pendapatnya berdasarkan Firman itu. Kita bisa saja membuat kesalahan. Akan tetapi, setidaknya titik awal kita benar dan sah. Sementara itu, jika kita berusaha untuk mendukung praduga kita sendiri dari Alkitab, kita sedang memutarbalikkan tatanan ilahi. Kemuliaan dan kedaulatan Allah menuntut agar kita mempercayai firman Allah bukan karena apa yang dikatakannya, tetapi karena itu adalah perkataan-Nya. Bukan karena kita menganggap bahwa itu indah dan benar, tetapi karena Ia telah mengucapkannya. Sekarang, berkaitan dengan berpuasa .... Pertanyaan yang ada di depan kita bukanlah tentang apakah kita akan memperoleh keuntungan dari berpuasa; atau apakah ada bahaya bahwa hal itu akan menjadi praktik takhayul atau apakah pemimpin-pemimpin kita menyetujuinya, tetapi hanya: Apakah itu alkitabiah? Maka dari itu, kita bisa menempatkannya demikian: Apakah Allah mengatakan tentang berpuasa di dalam Firman-Nya? Dan, jika demikian, bagaimana Ia mengevaluasinya? Apakah Ia menolaknya? Apakah Ia mengatakan bahwa berpuasa itu berbahaya bagi kehidupan rohani kita dan ia sebagai sesuatu yang harus dihindari? Dengan demikian, nenek moyang gereja kita yang menyarankannya telah membuat kesalahan. Ataukah, firman Tuhan acuh tak acuh terhadap praktik berpuasa, berbicara bahwa itu merupakan kebiasaan yang tidak berbahaya, tetapi tidak berguna? Dengan demikian, permasalahan ini tidak cukup penting untuk dibahas. Masalah itu tidak menyentuh hati nurani kita. Atau, apakah Allah membicarakannya sebagai sesuatu yang terpuji, sebagai sesuatu yang berasal dari kehidupan rohani yang sejati, sebagai sesuatu yang sesuai untuk penyembahan kepada-Nya dan cocok dengan ketaatan, dan bernilai untuk setiap orang yang mencari Allah? Dengan demikian, bapa-bapa gereja kita benar, dan kitalah yang melakukan kesalahan; maka sudah menjadi tugas seorang anak Tuhan untuk mengembalikan hal berpuasa pada tempatnya yang benar dan penuh kehormatan. Sebelum melanjutkan, mari kita perjelas bahwa dengan berpuasa kita tidak sedang mengartikannya sebatas pengendalian diri atau moderasi, tetapi pantangan yang sebenarnya terhadap makanan untuk satu periode yang lebih lama atau lebih singkat. Pengendalian diri dan moderasi selalu diperlukan bagi seorang Kristen. Tidak dapat menguasai diri adalah dosa. Akan tetapi, puasa bersifat tak berkala. Alam sendiri melarang puasa secara terus-menerus. Puasa haruslah merupakan suatu pengecualian, bukan sebuah peraturan. Maka dari itu, kita perlu mendefinisikan berpuasa sebagai: berpantangan sementara dari makanan atau minuman yang biasa kita konsumsi, untuk alasan devosional. Untuk mengutip Calvin sekali lagi, "Supaya kita tidak melakukan kesalahan, mari kita deskripsikan berpuasa. Kita tidak memahaminya untuk berbicara sebatas tentang berhemat dalam mengambil makanan. Sebab, hidup ketaatan selalu sabar dan bijaksana. Akan tetapi, selain itu, ada penarikan diri sementara dari cara hidup kita yang biasanya, mungkin untuk sehari, atau untuk kurun waktu tertentu, ketika kita mengizinkan diri kita mengonsumsi makanan dan minuman yang lebih sedikit daripada biasanya -- lebih sedikit dalam hal jumlah, dalam kualitas, dan dalam frekuensi." Jadi, apa yang diajarkan firman Allah berkenaan dengan berpuasa yang semacam itu?
Sumber:
Orang Kristen yang Sejati dan yang Palsu
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Menjadi seorang Kristen sejati adalah anugerah Allah bagi umat yang dipilih-Nya. Kekristenan sejati tidak hanya berbicara mengenai status menganut agama Kristen, kegiatan ibadah di gereja, atau pelayanan di berbagai bidang dalam mendukung pertumbuhan gereja. Semua hal itu tidak pernah menjamin dan menunjukkan bahwa kita benar-benar seorang Kristen sejati di hadapan Allah. Di dalam Matius 7:23, kita akan menemukan satu pernyataan ayat yang sangat mengerikan, "Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!" Dalam ayat tersebut, siapa sangka orang yang bernubuat di dalam nama Yesus, mengusir setan di dalam nama Yesus, dan mungkin melakukan hal lain di dalam nama Yesus justru ditolak masuk kerajaan Allah, bahkan Yesus dengan tegas menjawab, "Aku tidak pernah mengenalmu!" dan mengusirnya dari hadapan-Nya, "Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!" Tak semua orang yang mengaku Kristen adalah seorang Kristen sejati. Kristen sejati perlu diuji dan dibuktikan oleh tangan Allah sendiri di dalam segala zaman. Orang-orang Kristen sejati adalah orang-orang yang telah ditebus oleh Kristus melalui kematian-Nya di atas kayu salib. Merekalah yang mau tersalib dan mati bersama-sama dengan Kristus, dan mengalami kebangkitan Kristus dalam hidupnya. Lalu, apakah yang membedakan Kristen sejati dan Kristen palsu? Menarik untuk kita simak bersama. Pada edisi kali ini, e-Reformed akan menyajikan satu artikel yang akan menolong kita untuk mengetahui perbedaan mendasar seorang Kristen sejati dan yang palsu. Akhir kata, segenap redaksi publikasi e-Reformed mengucapkan "Selamat merayakan hari Paskah 2016". Kiranya melalui kematian Kristus dan kebangkitan-Nya, kita boleh semakin bermegah di dalam anugerah-Nya dan makin giat memberitakan penebusan salib Kristus bagi dunia. Soli Deo Gloria
Edisi:
Edisi 174/Maret 2016
Isi:
Bab ini membicarakan perbedaan antara orang Kristen yang sejati dengan orang yang hanya tampaknya saja Kristen. Yesus membicarakan kedua macam orang ini (Yohanes 15:1-8). Yesus membandingkan orang-orang yang mengaku Kristen dengan ranting-ranting dari pohon anggur, ada yang berbuah dan ada yang tidak. Pertama, Yesus berkata bahwa Allah Bapa seperti tukang kebun yang memotong setiap ranting yang tidak berbuah (Yohanes 15:2). Ini menggambarkan bahwa mungkin orang-orang yang tampak seperti orang percaya sebenarnya bukan orang percaya yang sungguh-sungguh. Cara hidup mereka mungkin seperti orang Kristen, tetapi di dalam dirinya tidak ada kehidupan rohani, mereka mati secara rohani. Ketika Yesus berkata, "setiap ranting pada-Ku yang tidak menghasilkan buah," yang Ia maksudkan adalah "Setiap ranting yang memiliki hubungan dengan-Ku, tetapi hidupnya tidak bersumber dari pada-Ku". Banyak orang yang mengagumi Yesus Kristus. Mereka menganggap Dia sebagai teladan untuk diikuti. Mereka bahkan mungkin mengatakan bahwa mereka menerima Dia sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Namun, mereka tidak bersandar pada-Nya untuk menghapus dosa mereka dan mendamaikan mereka dengan Allah. Mereka yang berada "di dalam" Kristus hanya di dalam hal yang sangat umum. Mereka menyukai Dia, mereka mengakui hidup-Nya benar, mereka melakukan apa yang Ia lakukan. Namun, mereka tidak memperoleh dari-Nya seluruh pengharapan keselamatan dan kehidupan rohani mereka. Yesus mengatakan bahwa orang-orang seperti itu tidak berbuah. Coba kita pikirkan seperti ini. Sebuah ranting yang diikat ke pohon bisa terlihat seperti ranting yang tumbuh dari pohon itu. Padahal, betapa berbeda keduanya! Ranting yang tumbuh dari pohon mendapatkan hidupnya dari pohon itu, ranting itu hidup! Ranting yang diikatkan ke pohon tidak mendapat kehidupan dari pohon, ranting itu mati! Demikian juga, mungkin ada orang-orang yang suka disebut Kristen, tetapi hanya menempel saja di bagian luar cara hidup Kristen. Bagaimana cara mengenali kekristenan nominal ini? Ia tidak berbuah, tidak ada tanda-tanda kehidupan rohani, tidak ada dukacita terhadap dosa, tidak ada seruan kepada Allah untuk memohon pengampunan dan belas kasih-Nya, tidak ada kebergantungan sepenuhnya pada Yesus Kristus untuk berdamai dengan Allah, tidak ada kerinduan untuk hidup bagi Yesus Kristus sehingga ia dapat menyenangkan Allah. Karakter orang Kristen nominal sama sekali tidak akan menyerupai Yesus Kristus. Mereka tidak memiliki kerendahan hati, mereka tidak mengontrol kekuatannya, mereka merasa sulit menyangkal diri, mereka tidak membenci dosa, dan mereka tidak hidup seperti orang yang sedang bersiap untuk masuk ke dalam kekekalan. Tentu saja tanda-tanda ini tidak selalu dapat terlihat karena kehidupan rohani sebagian besar tersembunyi. Namun demikian, kadang-kadang kehidupan seseorang tidak berbuah dapat tampak dengan jelas: masalah-masalah, pencobaan-pencobaan, atau keberhasilan memperlihatkan kekosongan kehidupan rohani seseorang. Karena itu, marilah kita melihat diri kita sendiri. Apakah kita berbuah atau tidak? Apakah kita hanya sekadar tertarik kepada cara hidup orang Kristen, atau apakah kita bersandar pada Yesus Kristus untuk kehidupan rohani kita? Kedua, Yesus berbicara tentang membersihkan ranting yang berbuah, yaitu orang-orang yang memiliki kehidupan baru dari Allah di dalam mereka. Paulus berkata, "Barangsiapa dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru" (2 Korintus 5:17). Berada "di dalam Kristus" berarti orang-orang percaya dipilih Allah untuk menerima hidup baru ini; bahwa Allah telah mengampuni mereka karena penderitaan dan kematian Kristus di kayu salib dan telah menyatakan mereka benar di hadapan-Nya. Sekarang, mereka memiliki iman yang hidup dan kudus. Sebagaimana Paulus berkata, "Tetapi bukan lagi aku sendiri lagi yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku" (Galatia 2:20). Orang-orang percaya demikian bagaikan ranting yang memperoleh hidupnya dari pohon. Yesus berkata, "Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak berbuah di dalam Aku" (Yohanes 15:4). Buah yang dimaksudkan oleh Yesus adalah hati yang hancur karena dosa, jiwa yang menyesal, kerendahan hati dalam memandang diri, dan bersandar sepenuhnya pada Yesus untuk memperoleh keselamatan. Apakah kita mengerti hidup yang menghasilkan buah ini? Hidup seperti ini akan menghasilkan hidup yang kudus, itulah kehidupan rohani yang sesungguhnya. Yang dimaksud Yesus dengan "memangkas" atau "membersihkan" adalah bahwa Allah akan mengambil dari kita hal-hal yang mengganggu kehidupan rohani kita. Alkitab mengatakan bahwa Allah memperbaiki kehidupan orang-orang percaya, atau "memangkas" mereka, karena Ia mengasihi mereka (Ibrani 12:10). Orang-orang Kristen tidak selalu mengerti cara kerja Allah atas hidup mereka. Mengapa ada orang-orang Kristen yang saleh, tulus, penuh kasih, harus menderita kesulitan dan kekecewaan? Mereka tidak dapat menjawabnya, tetapi mereka tahu bahwa Allah hanya akan memberikan yang terbaik bagi mereka. Mereka tahu bahwa segala sesuatu bekerja bersama-sama untuk kebaikan mereka (Roma 8:28). Pemangkasan atau pembersihan ini tidak melemahkan kehidupan rohani orang-orang percaya. Allah memelihara kehidupan yang telah diberikan-Nya sendiri sejak awal. Maksud dari pemangkasan adalah, seperti kata Yesus, "supaya lebih banyak berbuah" (Yohanes 15:2). Koreksi dari Allah, apabila sungguh-sungguh diterima, membuat orang-orang percaya semakin mengasihi Tuhan Yesus Kristus dan membuat mereka menjadi seperti Dia. Apakah kita adalah orang Kristen yang berbuah? Allah memiliki rencana supaya umat-Nya berbuah lebih banyak. "Dalam hal inilah Bapaku dipermuliakan," kata Yesus, "yaitu jika kamu berbuah banyak." (Yohanes 15:8)
Sumber:
Tantangan Pendidikan dan Pengajaran Kristen Masa Kini Di Ranah Formal
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Bertepatan dengan hari pendidikan Nasional Indonesia pada bulan Mei, maka e-Reformed dengan sengaja mengambil artikel yang membahas tentang tantangan pendidikan Kristen di ranah formal abad 21. Mari kita simak, dan semoga menjadi berkat bagi kita semua. Untuk memberi komentar tentang isi artikel ini, silakan bergabung di Facebook e-Reformed < http://fb.sabda.org/reformed >. Soli Deo Gloria. Pemimpin Redaksi e-Reformed,
Penulis:
Tan Giok Lie
Edisi:
edisi 164/Mei 2015
Isi:
Tantangan Pendidikan dan Pengajaran Kristen Masa Kini di Ranah FormalKesadaran akan kekinian zaman dalam konteks tantangan pendidikan dan pengajaran, sepatutnya secara reflektif membawa juga kesadaran dari pihak pemimpin dan pendidik Kristen akan adanya tantangan pendidikan dan pengajaran kristiani, yang pada dasarnya bertujuan untuk menjadikan semua bangsa murid-Nya dalam rangka menunaikan misi Amanat Agung Tuhan Yesus. Seperti telah dipaparkan oleh Tilaar bahwa pendidikan secara umum terkait erat dengan perubahan zaman pada era globalisasi abad ke-21 ini, demikian pula halnya dengan pendidikan Kristen. Dikatakan oleh Michael J. Anthony dalam bukunya yang berjudul Introducing Christian Education: Foundations for the Twenty-first Century bahwa karakteristik abad ke-21 ini adalah terus meningkatnya komunikasi, pasar internasional yang pesat, ekonomi global, pasar bebas, dan relasi yang multinasional. Semua hal baru ini telah membawa dampak yang mendalam dalam kehidupan generasi sekarang. Dalam konteks Amerika, ada tiga paham filosofis multikulturalisme, naturalisme, dan relativisme yang telah menggerus sistem hukum moral dan etika bangsa Amerika dan juga sistem pendidikan di sekolah negeri. Dikatakan lebih lanjut bahwa tantangan-tantangan yang dihadapi oleh pendidikan Kristen pada abad ke-21 ini adalah menghadapi serangan dari semua paham filosofis humanistik sekuler pada satu sisi, dan pada sisi lain mendidik orang Kristen dengan kebenaran mutlak yang hanya terdapat di dalam Alkitab. Tantangan yang lebih luas datangnya dari kalangan masyarakat masa kini yang semakin lama semakin sekuler dalam sistem nilai dan kehidupannya. Pada era globalisasi ini, jelaslah bahwa pengaruh filsafat humanistik telah menyebar dan berdampak pada sekolah-sekolah Kristen, bahkan perguruan tinggi Kristen. Dikatakan oleh Chadwick bahwa memang pendidikan Kristen semakin sekuler, yaitu pendidikan digambarkan sebagai kekristenan yang berlapis cokelat/chocolate-coating Christianity. Maksudnya adalah, keseluruhan praksis pendidikan di sekolah Kristen telah dibangun di atas basis filosofi pendidikan sekuler, cuma telah ditambahkan dengan program-program pendidikan Kristen, seperti: kebaktian sekolah di tengah minggu, saat teduh setiap pagi, pelajaran khusus agama Kristen, retret tahunan, dan lain-lain. Dengan demikian, program-program pendidikan Kristen ini tidak mewarnai seluruh dinamika kehidupan dan proses belajar-mengajar, baik dalam diri para murid maupun para gurunya. Sebab itu, dapat dikatakan bahwa sekolah-sekolah Kristen tersebut hampir tidak berbeda dari sekolah-sekolah umum. Lebih lanjut, Chadwick menyatakan bahwa banyak sekolah Kristen, baik di level sekolah dasar maupun sekolah menengah, bahkan perguruan tinggi pun, sekadar menyandang nama Kristen saja. Pada umumnya, lembaga pendidikan Kristen ini lebih menjalankan praksis pendidikannya dengan menekankan prestasi akademis semata, keunggulan lulusan yang berhasil melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi bergengsi, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, kenaikan peringkat sekolah dalam persaingan lokal-nasional-internasional, fasilitas perangkat keras dan lunak yang makin lengkap dan canggih, dan lain sebagainya. Hal serupa terjadi dalam praksis pendidikan, mungkin di kebanyakan perguruan tinggi Kristen. Sepanjang tolok ukur pendidikan Kristen berorientasi pada sukses akademis, permasalahan berikutnya yang akan muncul sebagai konsekuensi logisnya adalah terjadinya persaingan yang kurang sehat di antara lembaga pendidikan Kristen. Fenomena ini terlihat jelas dari semakin berlombanya kegiatan open house yang dijadwalkan makin awal -- baru saja dilakukan penerimaan siswa baru, beberapa bulan kemudian sudah digelar open house lagi. Pasca open house, orang tua yang berhasil mendaftarkan anaknya akan dituntut untuk segera membayar dana pembangunan, sekalipun memang ada beberapa sekolah yang memperbolehkan orang tua untuk mencicil sekian kali. Sangatlah tidak heran bila ada sebutan bahwa akhir-akhir ini, lembaga pendidikan Kristen tertentu lebih cenderung berorientasi bisnis daripada misinya. Menjawab semua tantangan ini, sebenarnya para pemimpin gerejawi yang semula menjadi pendiri hendaknya berpartisipasi secara aktif dengan cara merumuskan ulang filosofi pendidikan kristiani. Tindakan ini benar-benar perlu diambil karena filosofi pendidikan berfungsi sebagai kemudi yang akan mengarahkan dan menentukan tujuan dan totalitas kurikulum dari proses belajar-mengajarnya. Dengan demikian, nama atau identitas "Kristen" tidak akan menjadi nama tanpa makna. Filosofi pendidikan Kristen berisi tentang pernyataan-pernyataan dari prinsip-prinsip dasar yang esensial, yang mendasari praksis pendidikan Kristen secara komprehensif di lapangan. Beberapa prinsip dasar tersebut di antaranya adalah: (1) meyakini dan menjunjung tinggi Alkitab sebagai kebenaran mutlak, karena Alkitab adalah penyataan Tuhan secara tertulis; (2) meyakini Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat, sehingga pendidikan Kristen diawali dengan keselamatan/hidup baru di dalam Kristus; (3) meyakini bahwa setiap murid adalah ciptaan Allah menurut gambar dan rupa Allah, yaitu sebagai ciptaan yang sangat baik di hadapan-Nya, tetapi yang telah jatuh ke dalam dosa; (4) meyakini bahwa lulusan yang pandai/berhikmat tidaklah diukur dari kepemilikan ilmu pengetahuan natural yang tanpa pengenalan akan Kristus sebagai hikmat Allah yang sejati. Tanpa Kristus, hikmat manusia adalah kebodohan; (5) meyakini bahwa sekolah adalah lembaga pendidikan formal yang hadir sebagai mitra keluarga. Tantangan lain yang bersifat spesifik terkait dengan salah satu elemen penting dalam pendidikan dan pengajaran, yakni: kurikulum. Pada umumnya, lembaga pendidikan formal sering kali kurang atau bahkan tidak mengkritisi kurikulumnya, seakan tidak ada pihak yang mempertanyakan filosofi yang mendasarinya, padahal jelas bahwa tidak ada kurikulum yang hampa filosofi atau ideologi tertentu. Jika dikaitkan dengan elemen metodologi, fungsi kurikulum terkait erat dengan metodologi, bagaikan "sebuah panah dengan busurnya" yang dipakai seorang pemanah untuk membidik sasaran. Gambaran ini menunjukkan bahwa kurikulum adalah salah satu alat utama untuk mewujudkan tujuan akhir dalam bentuk profil peserta didik yang akan dihasilkan. Akibatnya, jika suatu lembaga pendidikan didasarkan pada filosofi pendidikan yang bersifat "sekuler", secara otomatis kurikulum pendidikannya akan berisi tentang ilmu-ilmu pengetahuan yang diperoleh dari kajian empiris yang secara teologis disebut sebagai kebenaran yang natural. Pada saat kurikulum dibangun di atas dasar falsafah pendidikan yang mengesampingkan kebenaran supranaturalisme, profil alumni yang akan dihasilkan mungkin saja menunjukkan prestasi yang unggul dan siap bersaing pada era globalisasi ini, tetapi janganlah lupa bahwa kesuksesan akademis dan keterampilan bekerja itu tidak dibarengi dengan pembaruan hati sebagai inti kehidupan seseorang. Para alumni akan berkiprah sebagai kaum profesional yang mungkin saja menjadi pelaku kejahatan berkerah putih. Mengapa demikian? Pendidikan umum tanpa transformasi spiritualitas di dalam Kristus tidak dapat menyelesaikan masalah manusia terkait kegelapan hati yang penuh dosa dan yang cenderung jahat, bahkan sejak kecilnya (Kejadian 6:5; Kejadian 8:21). Palmer mengungkapkan kondisi ini dalam pribadi orang-orang yang berpendidikan tinggi masa kini -- yaitu bahwa mereka ini berkompetensi untuk berfungsi dalam masyarakat yang bercirikan teknologi, tetapi mereka dikuasai oleh kegelapan batin yang sejak awal penciptaan menguasai diri Adam dan Hawa. Jika fakta ini terus tidak disadari, atau disadari tetapi dibiarkan oleh para pemimpin Kristen dan para tokoh pendidikan Kristen, secara langsung atau tidak langsung kita semua mendukung lembaga-lembaga pendidikan Kristen sebagai wadah pendidikan yang sedang mencetak para penjahat terdidik (educated gang). Bersyukur bahwa ternyata Tuhan membangkitkan sekian tokoh pendidikan Kristen untuk mengatasi tantangan global dari pendidikan Kristen. Pada tahun 90-an, ada beberapa asosiasi pendidikan di Amerika yang bertekad untuk mempromosikan nilai-nilai kristiani melalui program sertifikasi para pendidik Kristen, bahkan sampai taraf akreditasi lembaganya. Salah satu di antara asosiasi ini telah berkarya dan terus mengembangkan sayapnya dalam skala internasional, yaitu: Association of Christian Schools International (ACSI). Sampai sekarang, asosiasi ini telah menjangkau sebanyak kurang lebih 150 negara di seluruh manca negara, termasuk di Indonesia. Di setiap negara, ada basis penyelenggaranya yang dipimpin oleh seorang direktur sebagai pengelola dan penyelenggara semua program pendidikannya, bahkan termasuk semua distribusi literatur pendidikan Kristen yang memuat kurikulum yang mengintegrasikan iman dan ilmu. Asosiasi ini telah memberikan kontribusi sangat berarti, khususnya dalam membangun pendidikan Kristen yang berbasis Alkitab, yang dijabarkan dalam lima elemen penting di bawah ini: Elemen pertama adalah Kebenaran. Huruf "K" besar merujuk pada Kebenaran firman Allah sebagai kebenaran mutlak yang dinyatakan Allah dalam Alkitab untuk melawan paham relativisme. Alkitab berfungsi sebagai fondasi pendidikan Kristen. Melalui Alkitab, peserta didik belajar bahwa mereka adalah makhluk ciptaan Allah yang berharga dan selayaknya juga menghargai orang lain. Melalui Alkitab juga, berita keselamatan disampaikan kepada peserta didik agar mereka mengalami lahir baru sebagai awal dimulainya pendidikan kristiani. Melalui program pemahaman Alkitab, peserta didik dibimbing untuk lebih memahami dan menaati firman Tuhan. Elemen kedua adalah Integrasi Alkitab dalam pemahaman dan penerapan integrasi iman dan ilmu. Mengingat bahwa tidak ada kurikulum yang bebas nilai, maka upaya integrasi Alkitab dilakukan untuk mengajarkan bahwa seluruh kebenaran adalah kebenaran Allah di mana pun didapatkannya -- termasuk di dalam setiap disiplin ilmu. Dengan menegakkan integrasi Alkitab, peserta didik diajarkan bahwa seluruh alam semesta adalah ciptaan Allah sehingga seluruh kebenaran yang diperoleh dari disiplin ilmu mana pun seharusnya merefleksikan kehadiran dan karya-Nya, dan pada akhirnya, setiap ilmuwan akan memuliakan keagungan Penciptanya. Alkitab berfungsi untuk memberikan perspektif dalam mengembangkan cara pandang kristiani. Tanpa integrasi iman dan ilmu, lembaga-lembaga pendidikan Kristen secara eksplisit sedang mempromosikan sekularisme dan naturalisme yang mengarahkan peserta didik lebih memercayai kebenaran yang bersifat ilmiah (natural) daripada kebenaran Alkitab (supranatural). Elemen ketiga adalah staf yang seluruhnya Kristen. Staf yang dimaksud terdiri dari para guru, administrator, dan karyawan Kristen. Mereka adalah jajaran pendidik dan nonpendidik yang bukan hanya mengaku Kristen dan mengenal Kristus, melainkan juga menghadirkan gaya hidup kristiani yang akan dicontoh oleh peserta didik. Elemen keempat adalah potensi di dalam Kristus. Sekolah Kristen sebagai lembaga pendidikan kristiani hendaknya menggali potensi setiap individu anak didik sebagai orang yang telah ditebus oleh Kristus, maka seluruh potensi hendaknya dimaksimalkan berdasarkan sistem nilai kekal. Tujuan akhir pendidikan bukan aktualisasi diri yang berorientasi kepada diri sendiri, melainkan desentralisasi diri yang berorientasi pada sesama dan Tuhan. Elemen kelima adalah praktik organisasional. Seluruh kegiatan operasional dan kebijakan didasarkan pada prinsip-prinsip kebenaran yang alkitabiah. Orang tua adalah mitra pendukung sekolah yang selalu menjalin hubungan saling membantu dengan para guru. Alangkah baiknya bila ada orang tua yang juga duduk di yayasan sekolah dalam rangka turut menjaga arah dan kualitas pendidikan yang kristiani. Membagikan kelima elemen ini kepada semua sekolah Kristen dalam konteks Indonesia merupakan suatu perjuangan tersendiri karena tidak semua sekolah Kristen menyambut kehadirannya dan bersedia untuk dibantu dalam menyelaraskan identitas dan praksisnya. Tentu saja banyak kendala di lapangan, selain biaya, kesibukan para guru, keterbukaan pihak yayasan, dan lain sebagainya. Namun, suatu hal yang menggembirakan adalah bahwa semakin banyak sekolah telah menyadari peran penting dari ACSI, baik dalam program sertifikasi pendidik maupun sertifikasinya. Namun, barangkali tantangan yang masih perlu diatasi adalah menjangkau dan memperlengkapi para anggota yayasan sebagai perumus kebijakan makro dari sekolah dan perguruan tinggi Kristen, agar benar-benar memahami apa yang dimaksud dengan pendidikan Kristen yang sejati (education that is truly Christian). Tantangan pendidikan Kristen di Indonesia masa kini di ranah formal masih cukup memprihatinkan. Sebuah gambaran faktual yang disampaikan melalui sebuah seminar Pendidikan Kristen pada 12 Desember 2011 di Universitas Kristen Maranatha, Bandung, -- dengan pembicara David Yohanes Chandra (Ketua Majelis Pendidikan Kristen Indonesia) dan Jonathan L. Parapak (Rektor Universitas Pelita Harapan), bahwa sekian sekolah Kristen di Indonesia sudah ditutup. Berdasarkan sebuah ground research, dinyatakan bahwa keunikan/ciri khas pendekatan dan terapan pendidikan Kristen sudah tidak ditemukan lagi. Artinya, kekristenan sudah ditinggalkan. Lebih buruk lagi adalah bahwa di beberapa daerah seperti Jakarta, Bandung, Manado, Jawa Tengah, dan lain-lain, ada sekian sekolah sudah ditutup dan sekian sekolah secara radikal telah menghapus label/nama sekolah Kristen dan menggantinya dengan nama sekolah umum. Penyebabnya tentu saja cukup banyak, di antaranya adalah faktor biaya yang tinggi, jumlah pendaftaran siswa baru yang makin menurun, dan banyak yang "terjebak" dalam spirit pragmatisme dan sekularisme. Mengatasi problema besar seperti ini, UPH telah berinisiatif untuk melakukan take over beberapa sekolah selama periode empat belas tahun untuk pembenahan. Pada akhir periode ini, sekolah-sekolah ini akan diserahkan kembali kepada lembaga-lembaga penyelenggara semula. Inisiatif seperti ini sungguh sangat baik untuk diikuti oleh lembaga-lembaga Kristen lain atau universitas-universitas Kristen lainnya yang terbeban mengatasi tantangan sekolah-sekolah Kristen yang sedang membutuhkan bantuan.
Sumber:
Diambil dan disunting dari:
Penyebab Utama Stagnasi Total dalam Pelayanan
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Stagnasi dalam pelayanan kerap dialami oleh hamba-hamba Tuhan dalam kehidupan pelayanan mereka. Tak jarang, stagnasi atau kemacetan hubungan dengan rekan sepelayanan ini membuahkan perpecahan dalam gereja atau tubuh Kristus. Paulus dan Barnabas pun mengalami stagnasi dalam pelayanan mereka sehingga menimbulkan perpisahan di antara keduanya. Walau keduanya adalah nama besar dalam gereja mula-mula, mereka toh tetap dapat tersandung akibat perbedaan pendapat. Untuk mengulas lebih jauh mengenai stagnasi dalam pelayanan ini, artikel e-Reformed kali ini akan membahas mengenai stagnasi total dalam pelayanan dari contoh kasus Paulus dan Barnabas yang terdapat dalam Kisah Para Rasul, serta cara-cara untuk mengatasinya. Selamat membaca, kiranya ini menjadi berkat bagi pelayanan Anda. Staf Redaksi e-Reformed, N. Risanti < http://reformed.sabda.org >
Edisi:
Edisi 158/November 2014
Isi:
Kisah Para Rasul mencoba mengetengahkan dan menerjemahkan stagnasi dalam pelayanan menurut konsep dan pemikiran Lukas. Kisah Para Rasul 9:11-13 mengisahkan indah persahabatan Barnabas dan Paulus. Barnabas adalah seorang yang penuh Roh Kudus dan mempunyai karunia khusus "mengajar", yang telah membina dan memberikan kesempatan kepada Paulus untuk menjadi seorang pahlawan besar rohani untuk segala zaman. Barnabas adalah seorang berhati mulia, juga seorang yang berpikir positif yang telah menjadikan Paulus seorang rasul besar yang dipakai oleh Tuhan Yesus pada abad permulaan. Ia merekomendasikan Paulus agar diterima oleh jemaat Yerusalem, dan ia juga menghargai karunia dan panggilan Paulus. Ketika gereja Antiokhia berkembang dan membutuhkan seorang hamba Tuhan yang melayani, ia memilih Paulus karena mengerti dan menghargai panggilan Paulus. Untuk kepentingan itu, Barnabas tak segan-segan pergi ke Tarsus dan membawa Paulus ke Antiokhia. Ia berusaha seobjektif mungkin dan ingin menerapkan sistem "the right man in the right place" di bawah terang pimpinan Roh Kudus. Dalam perjalanan misi mereka yang pertama, Barnabas dan Paulus telah mengukir keberhasilan besar -- mendirikan banyak jemaat dan memilih para pemimpin Kristen melalui bimbingan Roh Kudus, dan hal ini merupakan awal sejarah perkembangan kekristenan di dunia kafir. Akan tetapi, siapakah yang mampu menghindarkan kegagalan dari tengah-tengah keberhasilan? Hal ini dapat dilihat dari tim Paulus dan Barnabas. Betapa pun hebatnya seseorang, pasti pernah mengalami kegagalan, satu atau dua kali. Barnabas dan Paulus telah mendirikan banyak gereja dan melahirkan banyak pemimpin Kristen pada perjalanan misi mereka yang pertama. Jemaat pengutusnya, Antiokhia, sangat bersukacita mendengar laporan mereka yang telah dipilih oleh Roh Kudus, dan yang mereka ulas melalui doa yang diadakan oleh jemaat. Mereka telah pulang kembali kepada jemaat dengan penuh tanggung jawab. Tidak dapat disangkal dan ditutup-tutupi oleh siapa pun, bahwa mereka telah mengalami suatu kegagalan yang akhirnya memisahkan persahabatan mereka. Hal ini terkuak pada permulaan perjalanan misi mereka yang kedua. Pertengkaran Paulus dan Barnabas memang tidak sedap didengar karena mereka berdua adalah tokoh-tokoh Kristen yang menjadi contoh bagi orang Kristen lainnya. Namun, kejadian tersebut harus dilihat dari sudut sejarah keselamatan dunia. Pada perjalanan misi mereka yang kedua, Barnabas mengusulkan Yohanes Markus yang pernah mengikuti mereka di Salamis untuk menjadi tim mereka kembali. Barnabas menyadari bahwa Yohanes Markus pernah meninggalkan mereka di Perga dan kembali ke Yerusalem. Yang menjadi alasan memang tidak disebutkan secara jelas, tetapi dapat diperkirakan bahwa yang menjadi masalah utama adalah Markus telah meninggalkan tim mereka karena masih terlalu muda dan belum siap mental menjadi seorang misionaris di dunia orang kafir. Barnabas ingin memberikan kesempatan kedua kepada Markus. Hal ini justru menjadi masalah besar yang menimbulkan bukan hanya stagnasi dalam berkomunikasi, melainkan juga pertengkaran yang seru dan tajam, dan berakhir dengan perpisahan yang menyedihkan. Peristiwa sedih ini kemungkinan besar disebabkan karena kurang bersandarnya mereka kepada pimpinan Tuhan. Dalam hal ini, Paulus dilihat sebagai seorang yang menekankan dan menerapkan disiplin keras dalam mencapai suatu tujuan akhir dari perjalanan misinya, sedangkan Barnabas adalah seorang tokoh pendidik yang sabar, yang siap memberikan kesempatan kedua bagi orang lain seperti Yohanes Markus yang pernah melakukan kesalahan. Selanjutnya, Kisah Para Rasul mengisahkan keberhasilan Paulus menjelajah provinsi Galatia, Asia, Makedonia, Akhaya, dan akhirnya sebagai seorang tawanan, ia sampai di pusat dunia: kota Roma. Injil telah diberitakan dari Yerusalem sampai ke kota Roma. Sedangkan Barnabas bersama Yohanes Markus berlayar menuju Siprus dan kehidupan mereka seterusnya tidak diceritakan lagi oleh Lukas dalam buku sejarahnya. Namun, karena kesabaran, Barnabas telah menjadikan Markus sebagai penulis Injil Sinoptik Pertama, yang kemungkinan besar menjadi buku acuan Matius dan Lukas dalam menulis Injil. Dapat dipastikan, meskipun tidak diungkapkan oleh Lukas, bahwa Barnabas telah memperkenalkan Yohanes kepada murid-murid Yesus lainnya. Dari merekalah, Yohanes Markus mendapatkan sumber sejarah dari para saksi mata tentang hidup dan kegiatan Yesus, yang kemudian ditulis di dalam Injilnya. Nama Barnabas memang tidak begitu populer dalam Kisah Para Rasul, tetapi harus diakui dialah orang yang telah menjadikan Paulus dan Markus hamba-hamba Tuhan besar yang mengawali penulisan sejarah keselamatan dalam Perjanjian Baru. Meskipun Paulus telah menolak Markus dengan keras, tetapi ketika menulis surat kepada Filemon, ia menyampaikan salam dari Markus yang disebut sebagai teman sekerja (Filipi 2:24,25), dan juga dalam suratnya kepada jemaat Kolose, ia menyampaikan salam Markus yang adalah kemenakan Barnabas (Kolose 4:10). Paulus adalah orang yang sangat objektif, siap berekonsiliasi dan melupakan segala peristiwa, dan membangun kembali persahabatan dan kerja sama baru, seperti yang dilakukannya kepada Yohanes Markus. Sampai akhir hidupnya, ia tetap menghormati Barnabas sebagai orang yang pernah berjasa dalam hidup dan pelayanannya. Walaupun tidak ada uraian yang jelas tentang jalannya rekonsiliasi antara Paulus dan Barnabas beserta Yohanes Markus, kalau diteliti dari surat-surat Paulus secara keseluruhan, pasti ia adalah seorang yang terbuka untuk minta maaf kepada orang lain atau menerima maaf dari orang lain, karena itulah yang menjadi inti dalam pengajarannya. Paulus, Barnabas, dan Markus adalah hamba-hamba Tuhan yang berjiwa besar dan berpikir positif, berani berbeda pendapat tetapi tetap memelihara kualitas persahabatan mereka, dan hal itulah yang mendorong untuk rekonsiliasi dan bekerja sama kembali seperti semula. Kalau Paulus telah menerima Yohanes Markus, ia pasti juga telah menerima Barnabas. Penyebab utama dari stagnasi adalah ketertutupan dan sikap arogansi seseorang serta penyakit "vested interest". CARA-CARA MENGATASI STAGNASI DALAM PELAYANAN Banyak orang berkomentar bahwa sebenarnya tidak perlu terjadi stagnasi apabila para pemimpin Kristen itu dewasa, berjiwa besar, berpikir positif, dan saling menghargai seorang terhadap yang lain. Mungkin ungkapan ini dapat dikatakan sebagai suatu yang terlalu ekstrem, tetapi kalau mau mengerti maksud yang sesungguhnya, ungkapan itu mengandung kebenaran yang sejati. Kalau dilihat dari sederet daftar panjang masalah yang dianggap sangat potensial menyebabkan stagnasi, baik di dalam gereja maupun di dalam organisasi sekuler, dapat dikatakan bahwa yang menjadi penyebab utama dari stagnasi adalah manusianya, dan bukan sistemnya. Sudah jelas dari awal bahwa modernisasi, arus globalisasi, penerapan teknologi canggih, dan profesionalisme tidak dapat dijadikan jaminan mutlak untuk tidak terjadinya "deadlock" atau "stagnasi total" atau "kemacetan total" dalam suatu organisasi. Segala ilmu pengetahuan hanyalah merupakan alat bagi manusia. Manusialah yang akan menentukan macet atau tidaknya suatu organisasi. Dipandang dari sudut perkembangan sejarah manusia, bahwa perbedaan pendapat justru akan memperkaya kepustakaan hidup manusia. Dari analisis secara praksis, stagnasi yang ditimbulkan oleh perbedaan pendapat ternyata jumlahnya sangat kecil sekali. Perbedaan pendapat dapat diperkecil melalui dialog, interaksi, komunikasi, dan apresiasi. Perbedaan pendapat justru menjadi sarana untuk mematangkan suatu ide, dan apabila dikembangkan melalui dialog akan menghasilkan suatu program yang dapat dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab. Yang sering kali menimbulkan kemacetan total dalam kehidupan bergereja atau pelayanan pada umumnya adalah masalah-masalah teologis yang berbau dogmatis, yang diwarnai dengan jiwa advonturir dan didorong oleh suatu gerakan untuk pemenuhan kepentingan pribadi serta ambisi pribadi. Bila diadakan analisis secara kritis terhadap stagnasi-stagnasi yang sedang terjadi sekarang ini dan dibandingkan dengan konsep Petrus dalam 2 Petrus 2:5-8, dapat disimpulkan bahwa kemacetan-kemacetan tersebut justru disebabkan oleh dangkalnya iman seseorang kepada Yesus Kristus, kurangnya kedisiplinan dan ketulusan yang dilandaskan di atas dasar kasih, yang telah menyebabkan menurunnya jiwa berpikir positif, sehingga mengakibatkan mengaburnya nilai suatu kebajikan. Dampak luas yang dirasakan oleh masyarakat adalah jalan buntu dalam pengambilan keputusan, yang disebabkan oleh macetnya komunikasi, dialog, dan interaksi dari pihak-pihak yang terkait. Untuk mengatasi masalah krusial ini diperlukan pemimpin-pemimpin yang dewasa, berjiwa besar, berlapang dada, berpikir positif, tidak berjiwa advonturir, bersedia mendengar, mengakui kelebihan dan kebenaran orang lain, serta mendahulukan kepentingan organisasi daripada kepentingan pribadi. Gereja dan lembaga kristiani seharusnya meletakkan prinsip-prinsip hidup bergereja dan bermasyarakat di bawah terang firman Tuhan dan menurut pimpinan Roh Kudus, di atas landasan teologia yang sesuai dengan Alkitab dan mampu berinteraksi dengan semua golongan melalui sistem komunikasi dan dialog yang jelas, serta menekankan kepada kepemimpinan yang partisipatif. Perlunya berpikir kritis, analitis, dan realistis, tetapi masih bersifat lentur dengan situasi lingkungan (konteksnya). Untuk mencegah timbulnya stagnasi dalam lingkungan bergereja diperlukan loyalitas yang tinggi terhadap sistem dan disiplin organisasi, dan memerhatikan nilai-nilai moral etis dalam melaksanakan aktivitas hidup bergereja dan berusaha menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan. Sistem yang rapi dan terbuka dapat menghindarkan terjadinya stagnasi di semua aras organisasi. Sistem yang terbuka akan membangkitkan rasa saling menghargai, menghormati, dan saling mendukung sesama teman. Hal ini harus dijadikan filosofi hidup bergereja yang didukung dengan etos kerja yang tinggi, berdasarkan konsep yang jelas dengan menekankan kepada perencanaan terpadu dan kontrol yang memadai, dengan sistem "the right man in the right place", serta memberikan kesempatan kepada semua orang yang terlibat dalam organisasi untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan. Proses yang wajar dengan sistem yang jelas akan dapat menghilangkan kompetisi yang kurang sehat karena setiap orang yang menjadi bagian yang bersifat integral dalam organisasi pasti akan memiliki kesempatan yang besar, melalui peningkatan keterampilan yang sesuai dengan kemampuannya. Perlunya pelayanan pastoral yang kondusif bagi setiap orang yang terlibat dalam pelayanan. Dengan demikian, semua hal yang sangat potensial mendukung terjadinya stagnasi dapat diubah menjadi sarana yang dapat memperkaya dan memperkuat kehidupan organisasi melalui suatu sistem kepemimpinan yang partisipatif. Ancaman yang dapat menghancurkan dapat diubah menjadi suatu kesempatan untuk kemajuan dalam perkembangan suatu organisasi. KESIMPULAN Stagnasi dapat terjadi kalau penyebabnya dibiarkan hidup terus dan tidak dicarikan jalan keluar untuk mengatasinya. Sebagai murid-murid Yesus, yang telah dibekali dengan keterampilan dan pengetahuan, kita seharusnya berusaha dengan pimpinan Roh Kudus untuk menghindarkan terjadinya suatu stagnasi dalam organisasi yang kita pimpin. Ada banyak cara menyelesaikan masalah, tetapi ada satu cara yang terbaik, yaitu menjadi pelayan Tuhan yang memiliki loyalitas tinggi kepada Kristus dan firman-Nya, berjiwa besar, berpikir positif, dan terus berusaha memperkecil masalah dan tidak membuat sebaliknya, membesar-besarkan masalah, yang akan menyebabkan stagnasi total. Menempatkan seseorang sesuai karunia dan kemampuannya akan menghindarkan terjadinya stagnasi dalam suatu organisasi. Bagaimanapun, bergantung kepada Tuhan adalah inti dari segala-galanya karena modernisasi, globalisasi, dan teknologi bukanlah jaminan untuk tidak terjadinya suatu stagnasi. Bagi pemimpin Kristen, rekonsiliasi merupakan kebutuhan yang terutama bertujuan agar tidak terjadi benturan antarpemimpin secara terus-menerus, yang hanya akan berakhir pada stagnasi total serta perpisahan. Tentu, hal ini bukan yang diharapkan oleh semua pihak. Dengan demikian, Barnabas, Paulus, dan Markus adalah suatu ilustrasi yang sangat cocok bagi para pemimpin Kristen dalam melaksanakan rekonsiliasi untuk dapat mencairkan kebekuan dalam organisasi atau stagnasi dalam pelayanan.
Sumber:
Diambil dan disunting dari:
Peta Perubahan Teknologi Komunikasi dan Dampaknya bagi Pelayanan pada Abad XXI (2)
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Artikel ini adalah lanjutan dari artikel bulan lalu. Setelah kita mengerti pergeseran teknologi yang terjadi, kita harus menyusun strategi untuk dapat tetap menjadi garam dan terang bagi dunia sesuai konteks zamannya. Mari kita simak lanjutan artikel ini. Soli Deo Gloria! Pemimpin Redaksi e-Reformed,Teddy Wirawan < teddy(at)in-christ.net > < http://reformed.sabda.org >
Edisi:
Edisi 154/Juli 2014
Isi:
Pendidikan jarak jauh juga dapat dilakukan. Gelar-gelar dan kursus-kursus tidak terlokalisasi di satu tempat saja. Bahkan, perguruan tinggi dapat dibuat dengan bermodalkan sebuah ruko atau gedung sederhana, tetapi dengan jangkauan sedunia dan akses data serta pengajar secara luas. Yang pasti, kehadiran komputer yang semakin murah dengan sejumlah aksesorisnya di Asia Tenggara telah mulai menjadi bagian hidup. Sebuah komputer dapat memainkan musik, film/laser, menjadi alat melalui jaringan internet, alat mengobrol bahkan dapat diprogram untuk mengatur listrik, dan berbagai alat di rumah kita. Jangan lupa, kita pun dapat membeli dan menjual barang melalui komputer serta kartu kredit. Dengan alat itu, pencarian informasi dan berbagai keputusan dapat dimulai di rumah. Lebih lanjut lagi, kalkulator akan digantikan dengan komputer saku yang setiap anak SD pun akan membawanya. Alat ini pun akan berfungsi sebagai telepon tangan, jam, dan alarm. Jadi, alat yang tadinya merupakan pengolah informasi, ternyata menjadi alat yang serba bisa, budak yang penurut dan setia selama kita memperlakukannya dengan baik dan benar. Semuanya hanya menyiratkan satu hal bagi keluarga kita, yaitu dunia yang tadinya didominasi oleh ciptaan alamiah (biosphere), kini mulai didominasi dengan alat-alat buatan manusia (techno-sphere). Banyak alat komunikasi dan informasi tadi sudah demikian canggihnya. Kita tidak mengerti cara kerjanya, tetapi toh dapat menggunakannya. Kita mulai semakin tergantung padanya. Bila hal ini membuat manusia lebih menyukai hubungan dengan alat daripada hubungan antarpribadi secara nyata, jumlah manusia yang kesepian akan semakin bertambah. Kecenderungan ini akan membuat pola hubungan suami istri semakin steril. Demikian pun dengan anak. Keluarga sangat rentan terhadap penyakit kehilangan kehangatan emosi. Jadilah dikenal dengan apa yang dinamakan "virtual home" atau "virtual family". Hanya namanya saja masih satu keluarga, tetapi kebersamaan selalu jarang terjadi, semua penataan keluarga berjalan secara remote/jarak jauh. VI. Dampak bagi Pelayanan Khusus di Indonesia Indonesia dikenal dengan berbagai hal yang khas. Pertama, Indonesia adalah kerumunan manusia. Sekitar 250 juta jiwa manusia tersebar dengan tidak teratur di negara ini, hampir 80%-nya mungkin bertumpuk di pulau Jawa yang kian bergerak ke tengah kota-kota. Manusia-manusia ini juga mencerminkan pluralitas atau keberbagaian corak yang membuat Indonesia bagaikan sepiring rujak raksasa. Pluralitas tadi dapat berupa pluralitas orientasi nilai, pola hidup, kekuatan ekonomi, dan etnis serta pluralitas dalam bidang spiritual. Pengaruh perubahan tren yang telah kita bahas akan dirasakan berbeda di berbagai kelompok yang ada. Namun, jumlah orang yang merasa keder dan tercabut dari akar semakin nyata--hal mana sering terlihat dalam menumpuknya jumlah orang yang meminta pelayanan pastoral konseling. Mereka kehilangan dunia stabil yang dulu mereka huni secara kejiwaan, sedangkan dunia baru begitu beragam dan mungkin mereka belum memiliki tempat di dalamnya. Dari sudut perubahan komunikasi, ketika sebagian besar rakyat meloncat dari pola lisan langsung ke komunikasi televisi tanpa menguasai komunikasi tertulis, guncangan besar terasa. Yang pasti, perbedaan antara kota besar dan kecil serta desa akan semakin terasa. Bagi pelayanan Kristiani, kesulitan yang diakibatkan oleh pluralitas tadi adalah luar biasa. Dari pengamatan penulis, agaknya bagi lingkup antargereja, kecenderungan untuk menghasilkan keberagaman sama kuatnya dengan kecenderungan untuk mencari bentuk kesatuan atau keesaan. Sifat individualis yang diakibatkan oleh pendidikan kita juga membuat orang sulit bekerja sama dan memiliki wawasan yang luas. Kalaupun dipaksakan keesaan tadi, sering kali totalitarianisme yang tersamar serupa dengan yang terjadi di masyarakat feodal kuno menjadi modus kerja. Kedua, situasi politik dan budaya Indonesia menunjukkan suatu pergeseran yang serius. Keenam sentra kuasa politik sedang bergerak saling memengaruhi secara lebih aktif. Keenam sentra tadi adalah kuasa lembaga presiden, birokrat, ABRI, massa Islam, para pelaku bisnis, dan lain-lain. Media massa juga menonjolkan istilah demokratisasi, suatu proses pemberian dan penyadaran kuasa kepada lebih banyak orang yang semakin popular dituntutkan, bertentangan dengan kecenderungan pemusatan kuasa yang juga meningkat. Internet semakin memungkinkan falsafah ini tersebar luas. Apakah pelimpahan kuasa tadi sejalan dengan perkembangan kesiapan orang banyak untuk memikul tanggung jawab yang lebih kompleks, tentu dapat dipertanyakan. Dunia bisnis memberikan contoh bahwa perusahaan yang menekankan struktur organisasi raksasa dan serupa piramid mengalami kerugian yang serius, sedangkan beberapa dari mereka yang berpedoman pada ukuran yang ramping, jaringan yang luas, serta pendekatan hi-tech dan hi-touch mengalami pesatnya pertumbuhan. Namun, sering kali, banyak perusahaan yang membelah diri ke dalam sentra-sentra yang lebih kecil malah ambruk karena "empowerment" tidak sejalan dengan pembinaan pelaku-pelakunya sehingga mereka tidak siap secara mental dan keterampilan, untuk mengikuti strategi yang lebih lincah dan organisasi yang lebih ramping. Di pihak lain, angin demokratisasi tadi berembus di berbagai negara dengan sangat kuatnya. Khusus untuk Indonesia, agaknya masih perlu dikaji akibat kemungkinan tren ini berhadapan langsung dengan tren penyatuan kuasa bisnis, teknologi, dan komunikasi bersama aparat-aparat pemerintah. Ketiga, gereja-gereja di Indonesia terus bertumbuh, tetapi dibandingkan dengan pesatnya pertumbuhan penduduk, serta pertumbuhan di kalangan Buddha, Hindu, dan Islam, mungkin pertumbuhan gereja tidak menimbulkan dampak makro secara nasional dan berjangka panjang. Dialog eksternal sering dilaksanakan secara sporadis, tetapi dialog internal di dalam kelompok sendiri malah lebih sulit dijalankan dengan tulus. Antar tiga unsur perubahan di dalam organisasi menurut teori Vijay Sathe, yaitu kepemimpinan, struktur organisasi, serta iklim kerja atau budaya organisasi gereja dan lembaga-lembaganya tidak bergerak seirama. Dengan kata lain, di dalam pelayanan, dalam berbagai terobosan harus terjadi sesuatu yang menghasilkan dampak pada generasi yang akan datang. Di sini, pada dasarnya memang kita perlu mengkaji apakah perubahan di bidang komunikasi serta pergerakan manusia ke kota-kota di Indonesia merupakan alat Tuhan untuk memberikan kita kesempatan membuat terobosan serupa itu atau merupakan ancaman yang dapat menyulitkan kita. VII. Tantangan dan Apa yang Dapat Dilakukan? Pada zaman yang lalu, ketika para misionaris memasuki suatu ladang baru, mereka umumnya bekerja dengan pola yang serupa, yaitu membentuk sistem pendidikan, rumah sakit/kesehatan, percetakan, dan kemudian tempat pemeliharaan iman/gereja. Demikianlah kajian Thomas van den End. Jelaslah mereka menggunakan pendekatan yang holistik, yang masih relevan untuk zaman ini, yaitu melalui pendidikan, sistem pemeliharaan kesehatan, sistem komunikasi, serta sistem pemeliharaan dan pembinaan iman untuk menggarami masyarakat di mana mereka melayani. Namun, apakah cara kerja kita untuk menggarami lingkup-lingkup tadi perlu diubah? Tentunya masih harus diperjelas. Untuk itu, kita perlu merangkum situasi pelayanan masa kini. Bagaimana dengan situasi sekarang? Masyarakat sekarang jelas digarami oleh media massa. Selain itu, pluralitas di dalam tubuh gereja terus menjadi-jadi di samping usaha pengembangan kerja sama. Untuk situasi yang dinamis dengan perkotaan sebagai pusat orientasi, cara kerja pelayanan yang berabad-abad tidak pernah diubah agaknya perlu pengkajian ulang. Cara yang lama mungkin tidak lagi dapat meraih kesepian orang-orang yang sedang bingung, tergoyah (displaced), serta lelah mengkaji alternatif jalur hidup karena perubahan yang demikian cepat sehingga mereka melarikan diri dengan mencari-cari kenikmatan dan hal-hal yang baru. Gereja yang lahir dari dalam budaya lisan dan menyelam ke budaya tulisan, sekarang harus meraih manusia yang berbudaya elektronis. Gereja mungkin mengalami kesulitan untuk memahami manusia yang berbudaya elektronis, apalagi untuk mampu berkomunikasi dengan mereka tentang Injil dan menyimak mereka. Mengapa Tuhan membiarkan hal ini terjadi tentu merupakan tantangan besar yang bersifat teologis dan budaya yang menuntut kerendahan hati kita dalam menjawabnya. Kita perlu menggumuli apa inti pelayanan dan bagian manakah yang dapat ditawar karena itu merupakan alas dalam menjalankan pelayanan tadi. Tantangan lain terjadi pada tingkat manajerial pelayanan. Bila pada abad pertengahan dan zaman sebelum abad X gereja-gereja menguasai kota bersama para bangsawan dan kemudian bersama para pedagang, sekarang keadaan sudah lain. Tidak lagi mungkin sistem sekolah, rumah sakit, media massa, dan gedung-gedung gereja dimiliki oleh satu kelompok gereja yang bercorak iman yang sama walaupun gereja tadi berpusat di perkotaan, di mana segala sumber daya dan dana tersedia. Biaya overhead dan operasional akan terus berkembang melebihi daya dukung finansial yang dapat dikumpulkan oleh gereja dari warga dan donatur-donatur besarnya. Kompleksitas dan ragam pelayanan yang semakin membutuhkan pelayan-pelayan spesialis dan bukan hanya generalis membuat pembiayaan untuk SDM semakin cepat meningkat pula. Keadaan serupa ini menuntut gereja dan umat Kristen untuk menempuh strategi yang berbeda dari abad pertengahan dan abad lain sebelum abad XX. Pertama, pelayanan harus ditangani, baik oleh gereja maupun oleh organisasi yang bercorak Kristen, walaupun organisasi tadi tidak dimiliki oleh gereja. (Pertanggungjawaban dan kaitan organisasi tadi ke gereja adalah melalui pertanggungjawaban moral-spiritual, bukan lagi struktural dan organisasional.) Dengan demikian, hubungan antara "church" dan "parachurch", yang notabene sudah ada lama di tanah air ini, harus dijadikan sinergi daripada dipandang sebagai persaingan, serentak dengan semakin lancarnya komunikasi antara pribadi orang Kristen yang saling berbeda serta telah ditembusnya batas-batas denominasi dan gaya spiritual serta gaya kerja pelayanan masing-masing. Kedua, hubungan sinergisme antargereja sendiri menjadi hal yang tidak lagi dapat ditawar dalam rangka mewujudkan pelayanan yang berdaya raih luas dan mendalam. Hal ini tidak berarti bahwa gereja harus meleburkan diri dengan wujud yang besar. Pendekatannya harus bagaikan internet, yaitu independen, tetapi interdependen dalam network. Tidak lagi mungkin pada zaman yang berubah cepat ini kita berkomunikasi sendiri, mengatur jalur kerja dan pelayanan sendiri, serta membuat pelayanannya sendiri pula. Zaman ini menuntut kerja sama dan aliansi strategis seperti yang disampaikan konsultan internasional Keniichi Ohmae. Menarik sekali bahwa berita ini disampaikan dari luar gereja dan sangat menggemakan apa yang disampaikan oleh firman Tuhan. Jadi, pengelolaan dan pembangunan rumah sakit, wisma pelatihan, atau sharing gedung gereja besar, dan sebagainya perlu dipikirkan sebagai suatu pilihan. Hal ini semakin mendesak terutama dengan terbukanya kesempatan untuk pengabaran Injil secara utuh melalui media massa, suatu usaha yang membutuhkan modal, sumber daya manusia, dan network yang sangat besar dan tidak mungkin dikelola untuk jangka panjang oleh satu dua kelompok Kristen. Ketiga, network merupakan salah satu tiang utama dalam usaha apa saja di Indonesia. Tanpa network yang memadai di dalam dan luar negeri, informasi serta relasi yang dimiliki tidak akan cukup membuat terobosan inovasi yang bersifat nasional dan berdampak untuk jangka panjang. Di sini, kita menyadari bahwa kebutuhan untuk membuat pusat informasi bersama untuk seluruh kelompok Kristen akan menjadi tugas besar dalam waktu dekat. Pusat ini mungkin tidak harus besar dalam arti fisik, tetapi besar di dalam kemampuannya mengolah data dan memperoleh data dari berbagai sentra informasi yang telah ada. Teknologi komunikasi jelas sangat memungkinkan hal tadi. Network juga membuat kita terhindar dari duplikasi. Misalnya, antar sekian banyak sekolah teologi dan perpustakaannya di Jawa Barat dapat dilakukan sistem sharing peminjaman majalah, sistem transfer kredit, dan sebagainya. Keempat, keseluruhan kemungkinan pelayanan yang dipaparkan di atas memanggil kita untuk menoleh sepenuhnya kepada Salib Kristus dan tidak terpaku untuk memandang diri sendiri, gereja sendiri, atau luka-luka hubungan antara gereja dan organisasi parachurch pada masa lalu. Selanjutnya, kita harus mengadopsi apa yang disebut oleh Taichi Sakaiya sebagai sikap "outward looking". Untuk menyiapkan sikap mental tadi dan sikap iman serupa itu, suatu crash program dapat dilaksanakan, khususnya dalam pelatihan pembentukan wadah muda-mudi Kristen antargereja atau menghidupkan salah satu wadah yang masih berpotensi. Masa depan kota dengan teknologi dan pluralitasnya membutuhkan kaum pemimpin muda yang memiliki karakteristik sebagai berikut:
VIII. Penutup Kesimpulan sejauh ini ialah dunia Asia dan Indonesia bergerak ke kota dengan berbagai pola komunikasi dan pluralitas yang dihasilkannya. Kota berarti kebutuhan untuk pegangan hidup dan peta perjalanan iman di tengah dinamika yang sering membingungkan. Teknologi komunikasi dan polanya yang beragam berarti tersedianya kemungkinan kita meningkatkan daya jangkau dalam usaha penginjilan dalam arti yang holistik. Pluralitas berarti kita perlu menggunakan pendekatan network dalam menjalin keesaan dan bukan pendekatan struktural birokratis. Di pihak lain, perkembangan kota, teknologi komunikasi, dan pluralitas juga dapat menghasilkan manusia yang bingung, mau enak saja, dan terbius kesan. Dari mana kita memulainya? Berbeda dari lembaga lain dan umat lain, gereja dan orang percaya tidak bisa tidak harus mulai merespons perubahan yang ada dengan kaitan yang kian mendalam dengan Allah di dalam Tuhan Yesus. Kerinduan untuk mengungkapkan kasih dan perasaan berutang pada karya keselamatan dan kasih-Nya yang demikian luhur, harus menjadi tumpuan dari segala karya pelayanan dan strategi baru yang akan ditempuh dalam rangka kita melaksanakan tugas sebagai saksi-Nya. Lebih lanjut lagi, perubahan yang ada harus dipandang selaku kesempatan untuk lebih mengkaji dan mendalami makna hubungan kita dengan Bapa. Dengan demikian, perubahan tidak dilihat sebagai ancaman yang harus ditangkal, tetapi sebagai kesempatan mencari kehendak-Nya dan menjalani lagi langkah kepatuhan bagi Kristus dan kerajaan-Nya, serta sekaligus menunjukkan kasih kita bagi-Nya. Dengan kata lain, perubahan yang terjadi dan demikian mendasar mempertanyakan sedalam-dalamnnya siapa diri kita dan sejauh mana kita bersedia bergantung pada kehendak-Nya.
Sumber:
Diambil dan disunting dari:
Membesarkan Anak dalam Tuhan
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Setelah ujian sekolah berakhir, maka hasil belajar anak-anak akan dievaluasi melalui nilai rapor. Namun apakah yang dinamakan pendidikan hanya sebatas nilai rapor saja? Tentu tidak! Betapa sempitnya pandangan kita jika pendidikan anak hanya berfokus pada nilai dan prestasi tinggi yang dicapai di sekolah. Nilai dan prestasi bagus di sekolah tidak menjamin apakah seorang anak telah dididik dan dibesarkan dengan benar. Lalu apa yang dimaksud dengan pendidikan? Bagaimana mengukur keberhasilan pendidikan? Saya sengaja memilih artikel di bawah ini karena saya berharap, para Pembaca, terutama orang tua, para guru, serta para pembimbing rohani mampu mengevaluasi diri apakah selama ini telah mendidik anak-anak kita dengan benar atau belum. Pergumulan di dalam membesarkan anak tentunya berbeda seiring dengan perkembangan zaman. Orang-orang kuno seringkali mendidik anaknya dengan keras bahkan tidak segan-segan menggunakan rotan untuk menghajar anaknya. Namun, pada zaman postmodern ini, tentunya kita tidak dapat lagi menerapkan kekerasan fisik dalam membesarkan anak. Meskipun cara mendidik anak dapat berubah sesuai zaman, tetapi kita harus berpegang pada sebuah prinsip pendidikan yang tidak akan berubah sepanjang zaman: yaitu anak harus dibesarkan dalam Tuhan. Semoga artikel yang saya kirimkan ini dapat membantu kita untuk mengerti prinsip-prinsip membesarkan anak dalam Tuhan dan kita semakin mampu menerapkan kasih, kelemahlembutan, keadilan, dan kebijaksanaan dalam mendidik anak-anak kita. Selamat membaca dan merenungkan. Soli Deo Gloria! Pemimpin Redaksi e-Reformed,Teddy Wirawan < teddy(at)in-christ.net > < http://reformed.sabda.org >
Edisi:
Edisi 141/Juni 2013
Isi:
Membesarkan Anak dalam TuhanMendidik anak bukanlah memikirkan tentang bagaimana melakukan kehendak diri sendiri, melainkan memikirkan apa yang terbaik untuk mereka. Saya kira dalam hal ini banyak para ibu yang gagal. Seorang ibu yang cerewet tidak habis-habis adalah seorang yang setelah cerewet, tidak melakukan apa-apa. Akan tetapi, seorang ayah lebih banyak diam, dan hanya pada saat tertentu di kala perlu, akan memukul anaknya dengan keras. Jadi, makin banyak ibu berbicara, seorang anak akan makin merasa itu sebagai hal biasa yang tak ada pengaruhnya. Makin cerewet, makin tak didengar. Namun, seorang ayah yang memukul, sampai-sampai anak tidak tahu mengapa ia dipukul, juga tidak melakukan hal yang mendidik. Kita melihat begitu banyak ibu yang merasa dirinya sudah mendidik anak, padahal apa yang dikiranya mendidik, isinya hanya membereskan kesumpekan diri sendiri. Seorang ibu yang mengeluh tentang anak tidak berarti bahwa ia mendidik anak. Yang menjadi ibu, mulai hari ini berhentilah dari kecerewetan Anda dan mulai memikirkan tentang apa yang Anda katakan di hadapan anak-anak Anda: Apakah itu mendidik atau mengeluh? Jika seorang ibu hanya mau membereskan kesulitan sendiri, ia belum mempunyai kekuatan mendidik anak, pendidikan orang tua mulai berfungsi jika segala perkataan Anda didasarkan dari hati yang memikirkan segala yang terbaik untuk anak. Jangan lupa, waktu Anda mengomel, waktu Anda mengatakan kalimat yang begitu banyak, tetapi sebenarnya tidak begitu perlu, ingatlah bahwa hal itu malah akan menjengkelkan anak-anak Anda. Akan tetapi, kalimat-kalimat yang penting, katakanlah, katakan dan laksanakan, itu akan membuat anak-anak mau mendengarkan perkataan Anda. Bagaimana anak-anak mendengarkan orang tua, jika orang tua tidak memikirkan yang terbaik untuk anak-anaknya? Hendaklah kita seumur hidup berkeputusan untuk hanya mengatakan hal-hal yang berguna. Itu menjadikan diri berbobot, dan tidak akan dianggap sembarangan oleh orang lain. Dengan menjadi orang berbobot, kehadiran Anda akan lebih dihormati anak-anak Anda. Suatu hari, sehabis pergi mengabarkan Injil, ibu saya pulang dan menemukan kami sedang berkelahi. Ia lalu menanyakan sebab musababnya, tetapi tak ada seorang pun yang mau mengaku. Ia memerintahkan kami berdoa sama-sama, tetapi kami menolak. Tak ada satu pun yang mematuhinya. Ibu lalu pergi ke kamarnya, berhadapan dengan lemari kaca, lalu beliau memukul kaca dengan tangannya dan darah mulai bercucuran. Kami tak tahan lagi, lalu menangis dan berlutut untuk berdoa. Ibu berkata, "Hari ini kamu semua menghina saya. Saya merasa tidak bisa mendidik anak, maka saya pecahkan kaca. Kalau kalian tidak mau taat kepada saya, hal itu tidak mengapa. Tetapi kalau kalian tidak mau taat kepada Tuhan, mau jadi apa?" Akhirnya kami empat saudara yang berkelahi semua berlutut, menangis, dan berdoa minta pengampunan Tuhan. Mendidik anak bukan hanya teori, bukan hanya suatu kepintaran atau kefasihan lidah, tetapi mendidik anak adalah menerjunkan diri, mengorbankan diri, sampai suara hati kita bisa menembusi awan gelap, masuk ke dalam hati anak sampai mereka menyadari arti pendidikan. Berpikirlah untuk kepentingan mereka, bukan hanya mau membereskan kesulitan sendiri. Pendidikan berarti: berhenti dari memikirkan kesulitan-kesulitan sendiri dan mulai memikirkan apa yang bisa diterima dan dirasakan oleh anak kita. Menetapkan Sasaran Pendidikan Pendidikan tanpa sasaran akan menghamburkan tenaga, waktu dan lain sebagainya, sama seperti orang naik mobil kelebihan bensin, berputar-putar tak tahu mau ke mana. Apa tujuan kita mendidik anak? Saya kira orang yang paling malang, adalah orang-orang yang mempunyai ayah ibu yang hanya bisa melahirkan anak, tapi tidak tahu bagaimana mengarahkan hidup anaknya. Pada bulan Februari tahun 1974, saya berkhotbah di Vietnam; di tengah perjalanan ke Dalat, ada seorang menceritakan kepada saya tentang tentara-tentara Amerika yang meniduri wanita Vietnam, lalu melahirkan anak-anak yang cantik. Ada orang-orang tertentu yang mau mengambil anak-anak tanpa ayah itu. Tindakan yang mereka lakukan kelihatannya penuh kasih, tapi sebenarnya tidak. Mereka mengambil anak-anak cantik tersebut, agar dididik dan dibesarkan untuk menjadi pelacur dan menghasilkan banyak uang. Saya tidak tahu mengapa orang yang memiliki hati yang sedemikian dapat disebut sebagai manusia. Jikalau Allah sudah memberikan anak-anak ke dalam tangan kita, tapi kita tidak memiliki tujuan untuk hari depan mereka, maka kita bukanlah orang tua yang baik; kita tidak menjadi wakil yang baik dari Tuhan. Bagaimana menetapkan sasaran? Tetapkanlah tujuan-tujuan yang mulia untuk anak-anak, galilah potensi mereka semaksimal mungkin. Jikalau anak-anak Anda memang tidak berpotensi besar, jangan paksa mereka karena sampai tengah jalan mereka bisa jadi gila. Itu sebabnya, dalam menetapkan sasaran untuk anak-anak pun, kita perlu berhati-hati untuk dua hal: Pertama, mempunyai pengertian tentang apa potensi dan karunia Tuhan bagi mereka. Kedua, sampai sejauh mana potensi dan karunia itu punya kemungkinan untuk digali. Dalam hal ini, kita harus senantiasa bertanggung jawab dalam mengoreksi dan memonitor; mendidik anak bukanlah hal gampang. Set up a goal for your children (Tetapkan sebuah tujuan bagi anak Anda). Orang Kristen memiliki satu sasaran penting, yaitu memuliakan Tuhan di dalam pikiran, percakapan, hidup sehari-hari, dalam pekerjaan dan dalam semua segi kehidupan. Konsep teologi Reformed ini, paling sedikit dapat kita taruh dalam hidup anak-anak, agar di mana pun mereka berada, Allah dipermuliakan. Setelah menggali, menggarap, mengembangkan potensi dan karunia anak, kita tidak perlu menjadi minder. Ada kesaksian tentang seorang yang rela bekerja melayani Tuhan. Akhirnya pada suatu hari, bukan saja ia tidak sempat melayani Tuhan, bahkan kedua kakinya rusak dan harus diamputasi. Pada waktu kedua kakinya dipotong habis, ia menangis. Ia berkata, "Tuhan saya tidak berguna lagi. Saya perempuan, kedua kaki saya dipotong, hidup saya tidak ada arti lagi." Seorang pendeta datang kepadanya, waktu ia sedang menangis. Pendeta itu berkata, "Engkau sudah kehilangan dua kaki, tetapi masih punya dua tangan, kenapa tidak kau persembahkan dua tanganmu untuk Tuhan?" Kalimat itu dipakai oleh Roh Kudus dan memberi satu sinar cerah bagi hatinya. Ia sadar lalu berkata dalam hatinya, "Ya, Tuhan sekarang saya sudah kehilangan kaki, kaki saya tidak dapat dipergunakan lagi, tapi saya masih memiliki dua tangan, sekarang saya mau persembahkan tangan saya untuk mengerjakan pekerjaan Tuhan." Mulai hari itu, ia mulai menulis surat mengabarkan Injil, kalau ada orang yang tergerak, dimintanya dalam surat itu untuk memberikannya kepada orang lain. Demikian cara dia mengabarkan Injil. Pada waktu ia mati, ia sudah mengabarkan Injil kepada sebelas ribu orang, melalui koresponden. Dalam lacinya, ditemukan catatan-catatan tentang orang-orang lain yang bertobat melalui pemberitaannya, jumlahnya ada 680 jiwa. Hal ini diceritakan Dr. Bob Pierce pada saya, di Switzerland tahun 1969 (Dokter Bob Pierce adalah pendiri World Vision). Carilah potensi yang ada pada Anda dan pada anak-anak Anda. Kadang-kadang apa yang Anda inginkan terjadi pada anak Anda, berbeda dengan apa yang Tuhan inginkan, jangan paksakan keinginan Anda. Galilah kemungkinan yang terdapat pada anak Anda, sehingga boleh mengembangkan potensi yang Tuhan sudah tanamkan dalam dirinya, hingga dia berguna menurut kehendak Tuhan, bukan kehendak Anda sendiri. Kesehatian Orang Tua Seorang ayah yang mempunyai cara pendidikan yang berbeda dengan ibu, akan menimbulkan konflik, yang kemudian berkembang menjadi self defeating power atau kekuatan yang saling melemahkan. Akibat dari hal ini yaitu anak tidak hormat dan segan pada kedua orang tuanya. Kalau anak itu melihat ada dualisme dalam didikan ayah dan ibu, ia akan mencari sesuatu untuk bisa diperalat; Ini berbahaya sekali. Anak yang sedang bertumbuh menjadi besar dan mulai menilai akan segera melihat adanya dualisme, dan dengan demikian orang tua akan melemahkan pendidikan terhadap anak sendiri. Perselisihan karena cara mendidik anak yang berbeda dapat menimbulkan perpecahan dan konflik antara kedua orang tua, itulah sebabnya saling menyesuaikan diri, merupakan hal yang penting sekali. Walaupun masih ada banyak perbedaan konsep dalam mendidik anak, tetapi sebagai orang tua, kita harus memiliki kesehatian. Satu kali ada seorang anak kecil memecahkan sebuah kaca yang besar. Waktu ibunya pulang, ia marah sekali dan bertanya, "Siapa yang memecahkan kaca ini?", lalu anaknya menjawab, "Saya." Ibunya berkata, "Nanti saya kasih tahu ayahmu, baru tahu berapa hebat ayahmu!" Anaknya jawab, "Ayah sudah tahu, ia bilang: Nanti saya kasih tahu ibumu, biar kamu tahu berapa hebat ibumu!" Ayah memakai ibu untuk menggertak anak, ibu memakai ayah untuk mengancam anak. Anak melihat kedua orang tuanya tidak hebat. Ini suatu contoh yang kecil, tetapi selalu terjadi. Ketidaksepakatan merupakan kelemahan dalam pendidikan anak. Seorang ayah jangan sekali-kali memakai anak untuk melawan ibu, atau seorang ibu memakai anak memihak dirinya melawan ayah, itu adalah kebodohan besar. Orang tua juga harus mengerti bahwa di antara Diri Allah Tritunggal, ada suatu kerja sama di antara ketiga Oknum, menjadi contoh dari segala komunitas. Kerja sama dalam diri Allah Tritunggal, menjadi basis atau dasar semua komunitas dalam dunia. Satu dasar dalam hubungan komunikasi yang rukun. Allah Bapa, Allah Anak, Allah Roh Kudus begitu rukun. Allah Tritunggal menjadi dasar bagi para wakil Tuhan; baik ibu ataupun bapak untuk belajar bagaimana rukun dan sehati. Kasih dan Keadilan Jika ada anak kita yang tak bisa diperlakukan dengan keras, jangan perlakukan dia dengan keras, tetapi anak yang tak bisa dididik dengan kelembutan, jangan terus diperlakukan lembut. Perlu suatu kebijaksanaan untuk mengatur kedua hal ini. Di atas salib terdapat suatu bijaksana yang paling sempurna dan mendalam. Di kayu salib kita melihat, bagaimana Tuhan tidak menyayangi dosa, bahkan Anak-Nya yang Tunggal harus disalibkan; tetapi justru di atas kayu salib ada kelembutan paling besar, sehingga perampok yang berdosa besar pun bisa diampuni. Inilah kekristenan. Di atas kayu salib kita melihat kelembutan yang paling besar dan keadilan yang paling keras. Keadilan yang tidak mau menerima dosa siapa pun dan pengampunan yang bisa mengampuni orang yang paling berdosa. Allah menyelamatkan kita melalui salib, Allah mendidik kita dengan salib. Allah bukan mengutus profesor-profesor teologi untuk mengajar kita, tetapi dengan mengorbankan Anak-Nya dipaku di atas salib mencurahkan darah. Di atas kayu salib, tertenun keadilan dan cinta kasih Allah. Tanpa cinta kasih ada kekejaman, keganasan, kekerasan; tetapi kasih tanpa keadilan, adalah kompromi dan banjir emosi. Demikian juga di dalam gereja, masyarakat atau keluarga, jika kita tegakkan keadilan tanpa kasih, itu sama dengan kekejaman. Tuhan tidak demikian. Gereja tidak mungkin terbangun, keluarga tidak mungkin berbahagia, suami-istri tidak mungkin memiliki hubungan yang beres, jika kedua prinsip Ilahi ini tidak dikerjakan secara harmonis. Jika kita sebagai orang tua melakukan kekerasan terhadap anak, maka secara rohani mereka akan berontak. Anak-anak tidak dididik dengan baik hanya dengan kekerasan, keadilan, dan dengan menjalankan aturan. Tuhan Allah memberikan dua sifat ini sebagai dasar pendidikan, yaitu keadilan dan kasih. Allah yang Mahakuasa, adalah Allah yang Mahalembut, Allah kita yang Mahaadil, juga adalah Allah yang mengampuni, Allah kita yang penuh dengan bijaksana, rela masuk ke dunia seperti orang bodoh. Di sinilah kita menjumpai suatu paradoks. Kekerasan bertemu dengan kelembutan, keadilan bertemu dengan cinta kasih, pengampunan bertemu dengan keadilan. Waktu kedua hal ini tertenun bersama menjadi satu, di situ ada kuasa pendidikan dan keselamatan. Kalau kita mau mendidik anak kita dengan baik, jadilah orang yang mempunyai sifat keadilan dan kelembutan Tuhan, sehingga anak kita mendapatkan pengertian dan bijaksana tentang bagaimana bisa menggabungkan keadilan dan kelembutan menjadi satu dan inilah bijaksana, dan kalau kedua hal ini menjadi satu, akan menjadi kuasa. Itu sebabnya di kayu salib semua terjadi: kasih, kelembutan, keadilan, bijaksana.
Sumber:
Diambil dan disunting seperlunya dari:
Perspektif Alkitabiah Pelayanan Kaum Awam (2)
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Artikel ini merupakan kelanjutan dari artikel yang kami kirimkan sebelumnya, yang berjudul "Perspektif Alkitabiah Pelayanan Kaum Awam". Jika Anda belum menerima artikel edisi sebelumnya, silakan kontak: Redaksi e-Reformed < reformed@sabda.org >. Selamat menyimak. Staf Redaksi e-Reformed,Teddy Wirawan < http://reformed.sabda.org >
Edisi:
Edisi 140/Mei 2013
Isi:
Intisari Keimamatan Orang Percaya Konsep keimaman orang-orang percaya, yang diambil dari sifat gereja, dapat dengan mudah menjadi slogan teologi Kristen semata-mata, kecuali hakikat konsep tersebut memberikan hakikat yang nyata, praktis, dan berarti. Hakikat keimaman orang-orang percaya yaitu: akses langsung kepada Tuhan, korban atau persembahan rohani, penginjilan, baptisan dan perjamuan kudus, sebagai fungsi mediasi. [21]
Akses langsung kepada Tuhan di Bait Kudus-Nya lewat pengorbanan Kristus. Oleh karena itu, akses langsung terbuka bagi semua orang yang beriman kepada Kristus (Roma 5:2), yang dibaptis dalam Dia (Roma 6:1-11), dan telah menerima Roh Kudus (Efesus 2:18). Lebih lanjut, Ogden menyatakan, "Seluruh orang percaya memiliki akses langsung kepada Tuhan melalui Yesus Kristus ... Kita semua adalah Hamba Tuhan dalam arti kita melayani di hadapan Tuhan. Satu-satunya Imam Besar, Yesus Kristus telah membuka jalan dengan mengorbankan diri-Nya bagi dosa kita, dan Ia duduk di sebelah kanan Allah untuk berdoa syafaat bagi kita terus menerus. Kelas imam tertentu yang mewakili kita kepada Tuhan dan sebaliknya tidak lagi diperlukan. Kita semua adalah imam, dalam arti kita mewakili diri kita sendiri di hadapan Tuhan melalui Sang Pengantara, Yesus Kristus." [22] Jelas sekali dalam Perjanjian Baru, hamba-hamba Tuhan dari golongan orang percaya diperingatkan untuk mempersembahkan korban kepada Tuhan melalui Yesus Kristus (Roma 12:1). Nelson menyatakan bahwa korban-korban rohani terdiri dari sikap etis, perbuatan baik (1 Petrus 2:15; 3:1-2, 4:9), dan ketaatan yang membutuhkan penyangkalan diri (1 Petrus 2:13-14,18; 3:1, 5:6; 5:5-6). [23] Korban-korban Rohani menurut Kung, yaitu doa, pujian dan ucapan syukur, buah-buah pertobatan, iman, dan kasih. Pada dasarnya, korban-korban umat Kristen, bukanlah suatu tambahan korban penebusan karena korban-Nya sempurna. Korban-korban tersebut merupakan respons umat terhadap karya penebusan, respons pujian dan ucapan syukur, respons iman pengaduan pribadi, dan pelayanan kasih dalam Dia. Seluruh orang percaya memiliki tugas keimaman yang sama untuk memberitakan Injil. Tugas tersebut berkaitan erat dengan panggilan Tuhan untuk mewakili Dia di dunia, sebagai umat tebusan melalui iman dan Juru Selamat Yesus Kristus, dengan kata lain, Tuhan telah memanggil keluar bangsa yang kudus untuk mengemban amanat-Nya di dunia, yaitu menyelesaikan pelayanan perdamaian (2 Korintus 5:19; Yohanes 3:16, 17:18). Pemberitaan Injil merupakan pengorbanan tertentu bagi keimaman yang dilatih oleh gereja. Jadi, seluruh orang percaya akan menjadi "Pemenang-pemenang jiwa", karena "penginjilan adalah tugas umat Kristen yang berlaku bagi setiap anggota tubuh Kristus". [24] Dua hal yang paling penting menyangkut penginjilan yang efektif bagi umat Kristen yaitu baptisan dan perjamuan kudus. Kedua hal itu harus dilakukan, karena setiap umat Kristen diberikan kuasa untuk membaptis (Matius 28:19); dan "tiap-tiap umat Kristen pada dasarnya diberikan kuasa untuk berperan aktif dalam perjamuan eskatologis di akhir zaman, pengucapan syukur, dan persekutuan" (Lukas 22:19). [25] Sesuai konteks Perjanjian Lama, pelayanan keimaman bangsa Israel adalah menjadi mediator Tuhan di dunia dan sebaliknya "bangsa ini, kaum umat milik Allah, dipanggil, diangkat, dan ditugaskan untuk menggenapi pelayanan sebagai perantara. Sama halnya dalam Perjanjian Lama, pelayanan keimaman bagi gereja dimulai dari penyembahan komunitas, terutama dalam perjamuan kudus, lalu berkembang keluar ke dunia. Di atas segalanya, pelayanan diberikan kepada tiap-tiap individu dalam komunitas orang percaya dan kepada orang lain di dunia. Di atas segalanya, pelayanan diberikan kepada tiap-tiap individu dalam komunitas orang percaya, dan kepada orang lain di dunia pada waktu yang sama. Penting bagi pelayanan, "keimaman orang percaya bukan hanya sekadar hubungan pribadi dengan Tuhan ... Ibadah berkembang dari penyembahan komunitas orang percaya menjadi penyembahan sehari-hari dalam dunia sekuler". [26] Berkaitan erat dengan pelayanan keimaman dalam komunitas orang percaya dalam dunia, doktrin keimaman seluruh orang percaya dengan jelas menunjukkan bahwa, tiap-tiap orang percaya dipanggil oleh Tuhan bagi misi dan pelayanan. Kung setuju bahwa keimaman seluruh orang percaya, memperlihatkan panggilan mereka yang setia untuk bersaksi tentang Tuhan dan kehendak-Nya di hadapan dunia, dan untuk menawarkan pelayanan kehidupan mereka sehari-hari. Dalam hal ini, kaum awam menerima tanggung jawab utama bagi pelayanan Tuhan di dunia. Doktrin tersebut menyatakan dengan tegas bahwa agen-agen utama dalam pelayanan perdamaian dunia adalah kaum awam. Mereka akan mempersembahkan diri mereka sebagai korban pelayanan bagi dunia, di mana Kristus telah mati. Kaum awam adalah umat Allah yang telah menerima keselamatan sebagai hadiah untuk dinikmati, dan tugas untuk ditampilkan. Hal itu merupakan makna panggilan Ilahi guna menjalani hidup dalam karya keselamatan Allah. Seperti yang terlihat dalam panggilan Tuhan sebagai berikut, "Umat Allah membawa kekudusan ke dalam dunia sekuler ..., lewat ketaatan kepada Tuhan yang memiliki dunia. Sifat dan ruang lingkup panggilan tersebut merupakan tugas seluruh orang percaya, setiap anggota awam berada di bawah panggilan Allah, dan bertanggung jawab untuk merespons kepada-Nya. ... Panggilan adalah karunia dan tugas dari seluruh umat Allah, dilakukan dan dinikmati di dalam sudut pandang konkret dunia, di mana individu itu hidup." [27] Jadi, teologi keimamatan orang percaya sangat jelas, dan bukanlah hanya slogan teologis yang kosong. Ini membentuk suatu realitas konkret yang sangat kaya. Strausch secara empati menegaskan kebenaran dari Allah, bahwa semua orang Kristen berdasarkan Perjanjian Baru telah diteguhkan oleh darah Kristus. Sebagai hasilnya, semua adalah sama sebagai imam. Semua dibersihkan oleh darah Yesus Kristus. Semua didiami oleh Roh Kudus. Jadi, semua diidentifikasi sebagai anggota tubuh Kristus; sebagai pelayan satu dengan lainnya. Implikasi Bagi Pelayanan Gereja Pada dasarnya, umat Allah memasukkan komunitas Kristen secara keseluruhan adalah kerajaan imam. Jadi, seluruh orang percaya diidentifikasi sebagai imam-imam. Berdasarkan hal ini, Richard menantang orang Kristen untuk berkomitmen penuh pada ajaran Alkitab, bahwa setiap orang Kristen adalah "orang percaya-imam". [28] Implikasinya adalah semua orang percaya melayani, bukan hanya rasul-rasul atau para pemimpin utama. Perjanjian Baru mengenali bahwa beberapa orang Kristen dipanggil secara khusus untuk melayani gereja di dalam dunia ini. Tetapi semuanya dipanggil untuk Kristus di dalam dunia ini. Sejalan dengan fungsi keimamatan semua orang percaya, pelayanan bersama membutuhkan gaya kepemimpinan untuk kaum awam. Pelayanan bersama dalam keselarasan seperti yang dicontohkan dalam Efesus 4:11-13. Rasul Paulus berkata bahwa beberapa orang percaya dipanggil; untuk menjadi rasul, nabi, gembala-pengajar, dan pengkhotbah untuk membangun peranan bahwa semua orang percaya dimampukan dalam fungsi pelayanan. Ogden mencatat bahwa pembangunan adalah pendekatan fundamental untuk melatih melayani oleh Gembala. Peran pembangunan pria dan wanita untuk melayani adalah sesuatu yang selayaknya dalam hubungan umat Allah, namun peran ini mengimplikasikan perbedaan fungsional (bukan kualitas) antara awam dan imam. Untuk menekankan signifikansi konsep pembangunan, Ogden memberikan suatu studi istilah Yunaninya secara menyeluruh, Artios -- akar yang lebih baik "dikenal" (Efesus 4:12) dapat diterjemahkan sebagai "predicate adjective" yang diartikan "dialah sempurna". Kata Artios mengandung sasaran-sasaran pembangunan untuk murid secara individual maupun keseluruhan tubuh Kristus. Hal ini mencakup antara pengertian lengkap, penuh, berorasi secara, menemukan, mengisi situasi yang khusus, layak. "Katartimos -- participle" yang digunakan hanya dalam Efesus 4:12 dan dapat diterjemahkan "mempersiapkan" atau "memperlengkapi". [29] Stedman menyatakan bahwa pekerjaan tertinggi gereja bukanlah menghasilkan satu kelompok imam atau awam yang hebat, yang dilatih secara spesifik dan profesional. Namun seharusnya dilakukan oleh seluruh orang percaya (Efesus 4:11-14). Untuk alasan ini Allah memilih beberapa orang menjadi rasul, nabi, penginjil, guru, dan gembala untuk membangun umat-Nya melakukan tugas pelayanan dan membangun komunitas Kristen, Tubuh Kristus. [30] Sasaran terakhir pembangunan adalah kedewasaan setiap anggota gereja dan gereja secara keseluruhan. Kedewasaan adalah konsep induk dari kehidupan Kristen. Pesan Efesus di atas mendefinisikan kedewasaan sebagai "kerendahan relasional" daripada realisasi diri sendiri, "sebagai kepastian doktrinal daripada kemandirian" [31] "sebagai pemimpin-pemimpin membangun umat Allah untuk melayani satu dengan lainnya, tubuh Kristus bertumbuh dan dewasa adalah refleksi pada diri Kristus sendiri. [32] Tulisan ini pernah dimuat dalam STULOS Theological Journal 5, Bandung Theological Seminary, November 1997, Hal. 97-117 Catatan kaki:
22. The New Reformstion, 11 23. Nelson, Raising Up, 475 24. A Cole, The Body of Christ: A New Testament Image of the Church (London: Holdder Staughton, 1964), 41 25. Kung, the Church, 485 26. Ibid, 486, 487 27. Bucy, The New Laity, 16 28. Lawrwnce O. Richard A Theology of Christian Education (Grands Rapids: Zondervan, 1975), 131 29. Ogden, The New Reformation, 98, 99 30. R. Stedman, Body Life (Glandale: REgal, 1972), 88 31. Stevens, Liberating the Laity, hlm 32 32. G.C. Newton, "The Motivation of the Saints and the Interpersonal Competencies of Their Leaders", dalam Christian Educational Journal, 10/3 (1989), 9-15
Sumber:
Diambil dari:
Perspektif Alkitabiah Pelayanan Kaum Awam (1)
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Pelayanan adalah sebuah anugerah yang Tuhan percayakan kepada kita. Meskipun kita tidak layak, tetapi Tuhan melayakkan kita untuk ikut ambil bagian dalam pekerjaan-Nya. Pada bulan ini, kami akan kirimkan satu artikel (2 bagian) yang membahas perspektif alkitabiah tentang pelayanan kaum awam. Banyak orang yang masih membagi umat Allah dalam dua bagian, yaitu para rohaniwan dan para kaum awam. Para rohaniwan yang dianggap layak untuk mengerjakan tugas-tugas pelayanan, sedangkan orang awam hanyalah kaum biasa-biasa saja yang pasif. Tentunya dikotomi ini tidak alkitabiah dan dapat merusak fungsi umat Allah yang sesungguhnya. Artikel pada edisi 2 ini membahas tentang konsep kata "awam" dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dan konsep keimaman seluruh orang percaya yang berasal dari sifat-sifat gereja sendiri. Kiranya artikel ini dapat meluruskan pandangan-pandangan yang salah tentang konsep pelayanan kaum awam dan dapat menggerakkan setiap pembaca untuk semakin giat dalam melayani Tuhan. Soli Deo Gloria! Selamat menyimak. Staf Redaksi e-Reformed,Teddy Wirawan < http://reformed.sabda.org >
Edisi:
Edisi 139/April 2013
Isi:
Isu mengenai pelayanan kaum awam telah menjadi suatu topik populer dalam banyak artikel dan buku-buku, serta disampaikan dalam banyak khotbah. [1] Selain itu, Strauch [2] menyatakan bahwa masalah tentang pembaruan kaum awam telah menjadi suatu bahan diskusi yang meluas. Selain populer, teologi kaum awam banyak disalah mengerti. Bahkan istilah "awam" seringkali ditafsirkan secara salah. Kaum awam kerap dianggap setara dengan golongan "nonprofesional", ketika ditinjau dari keahlian atau kemampuan khusus tiap individu. Dalam organisasi-organisasi keagamaan, orang awam dianggap sebagai "kaum percaya biasa" yang berbeda dari "pengerja" penuh waktu atau hamba Tuhan. [3] Dampak konsep tersebut adalah pembagian umat Allah ke dalam dua tingkatan, yaitu struktur pengerja penuh, yang menampilkan fungsi-fungsi religius masyarakat, dan sejumlah besar kaum awam yang tidak berkualifikasi. [4] Pembagian itu merupakan hasil tiruan pola kepemimpinan "Graeco-Roman", yang membagi administrasi kota menjadi dua bagian yaitu: "para pegawai", yang memimpin dan "kaum awam", warga yang polos serta tidak berpendidikan. [5] Jika pola tersebut diterapkan pada pelayanan di gereja, maka dapat menyebabkan perpecahan yang menghancurkan, menghilangkan partisipasi penuh umat Kristiani dalam pelayanan, serta mencegah pertumbuhan atau kedewasaan Rohani. Konsep Awam dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru Dalam rangka mencegah dikotomi dan mengembangkan suara teologia awam, istilah "awam" harus dijelaskan dengan menggunakan sudut pandang alkitabiah. Istilah tersebut diambil dari kata sifat bahasa Latin "laicus", yang sama dengan kata sifat bahasa Yunani "laikos", yang berarti "milik masyarakat". Kata bendanya adalah "laos", yang mengekspresikan konsep yang signifikan, [6] karena muncul 2000 kali dalam Septuaginta dan ditambah 140 kali dalam Perjanjian Baru. [7] Dalam Perjanjian Lama (Keluaran 19:4-7; Ulangan 4; Ulangan 7:6-12), "laos" biasanya mengacu kepada bangsa Israel. Kata tersebut mengandung "nilai khusus bagi masyarakat, karena keaslian dan tujuannya dalam kasih karunia yang Tuhan tentukan. Bangsa Israel menganggap diri mereka sebagai 'laos theou' (umat pilihan Allah)". [8] Secara teologis, hal tersebut menunjukkan bahwa Bangsa Israel adalah suatu bangsa yang terpisah dari bangsa-bangsa lain di dunia, yang disebabkan oleh pilihan Tuhan atas mereka sebagai milik-Nya (Ulangan 7:6). Mereka memperoleh status istimewa sebagai "umat Allah". Meskipun demikian, umat Allah tidak hanya menerima status istimewa, tetapi juga pelayanan istimewa. Bucy menjelaskan lebih lanjut, "seluruh kaum awam merupakan 'milik Tuhan', dipilih bukan sekadar memperoleh hak-hak istimewa, tapi untuk pelayanan istimewa. Perhatikan juga bahwa sifat pelayanan tersebut, dijabarkan dalam hubungan langsung dengan hak Tuhan atas 'seluruh bumi'. Bangsa Israel terpanggil dari antara 'segala bangsa', untuk melayani sebagai suatu 'kerajaan imam dan segala bangsa yang kudus', mewakili kerajaan-kerajaan dan bangsa-bangsa di dunia". [9] Singkat kata, umat Allah atau kaum awam, dipanggil untuk memenuhi misi penebusan Allah bagi perdamaian dunia. [10] Umat Allah dalam Perjanjian Lama hanya mengacu pada Bangsa Israel. Dalam Perjanjian Baru, umat Allah mengacu kepada bangsa Israel dan bangsa-bangsa lain. Mengenai hal tersebut, Kraemer menegaskan bahwa Yahweh ingin bangsa Israel menjadi kudus-Nya, yang merespons sepenuhnya kepemilikan Tuhan yang telah memilih mereka. Hal yang sama berlaku bagi gereja. [11] Gereja disebut sebagai "umat yang terpilih, imamat rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah." (1 Petrus 2:9) Secara khusus, gereja dalam 1 Petrus 2:5 digambarkan sebagai "batu-batu hidup", yang dibangun menjadi sebuah rumah Rohani, dan mereka mempersembahkan korban-korban rohani yang berkenan di hadapan Allah melalui Yesus Kristus. Kedua pasal memperlihatkan bahwa gereja terdiri dari orang-orang percaya yang disebut "suatu keimamatan". Kata Yunani untuk keimaman ialah "hierateuma", yang menunjukkan suatu gagasan komunitas masyarakat yang melayani sebagai "imam". [12] Oleh karena itu, gereja merupakan komunitas imam atau keimaman dari orang-orang percaya, yang hanya mungkin terjadi melalui Yesus Kristus, Imam Besar perjanjian yang baru, yang telah mengorbankan diri-Nya dan menguduskan, serta menyempurnakan orang-orang percaya sekali untuk selamanya (Ibrani 9:15; 10:10,14). Konsekuensinya yaitu seluruh orang percaya boleh mempersembahkan korban secara langsung melalui Kristus. Mengenai hal ini, Kung menyatakan demikian, "Bila seluruh orang percaya harus mempersembahkan korban lewat Kristus dengan cara tersebut, berarti mereka memiliki fungsi Imam, dalam pengertian yang sama sekali baru, melalui Kristus Sang Imam Besar dan Pengantara. Mengabolisikan kasta istimewa keimaman dan pengertiannya oleh Imam Besar yang baru dan kekal, menurut konsekuensinya yang unik namun logis, memiliki fakta bahwa seluruh orang percaya terlibat dalam keimaman secara universal." [13] Hakikat Gereja Kenyataannya, konsep keimaman orang-orang percaya diperoleh dari sifat gereja itu sendiri, yaitu umat Allah, tubuh Kristus, bangunan rohani, dan Bait Roh Kudus. Konsep itu diperluas sebagai berikut.
Artinya seluruh anggota gereja mempunyai persamaan yang mendasar. Tidak ada istilah kelas atau kasta dalam hubungan antar anggota, karena semuanya adalah: "orang-orang terpilih", "orang-orang kudus", "murid-murid", dan "saudara-saudara". Selain itu, "tidak ada jarak" antar anggota dan tidak ada penduduk kelas dua dalam keluarga Allah. Tentang persamaan, umat Allah diangkat martabatnya sebagai pelayan-pelayan Yesus Kristus. [17] Gibbs dan Morton dengan tegas menyatakan, "Doktrin sejati kaum awam sebagai umat Allah, yang bermitra bersama-sama tanpa perbedaan kelas." [18] Tentang karakter yang saling berkaitan dari anggota-anggota gereja (Roma 12:4-8; 1 Korintus 12:12), tubuh dibangun oleh anggota-anggota yang saling bergantung satu sama lain sebagai kesatuan tubuh. [19] Seluruh anggota tubuh Kristus memainkan peranan penting. Masing-masing memiliki martabat dan fungsi "semuanya saling melayani dalam simpati dan kasih yang menguntungkan, serta dalam sukacita". [20] Gereja adalah bangunan/bait rohani, yang berarti bahwa Roh Kudus tinggal di dalam seluruh orang-orang percaya (Kisah Para Rasul 2). Akibatnya, seluruh umat Kristen dibenarkan, dituntun dan dipimpin, serta hidup oleh Roh Kudus. Dalam 1 Korintus 3:16 dan Efesus 2:22, Rasul Paulus menekankan bahwa Roh Kudus berdiam dalam hati orang-orang percaya. Mereka adalah bait Allah yang kudus. Konsep bait Allah yang kudus di bumi dipersamakan dengan komunitas Kristen yang dimungkinkan hanya melalui Yesus Kristus; hanya melalui Dia, bait Allah yang kudus digantikan oleh "bangsa yang kudus". Ketika suatu gereja dikatakan sebagai Bait Roh Kudus, hal itu mengandung arti setiap anggota gereja adalah suatu Bait yang dipenuhi oleh Roh Kudus. Dalam bentuk ini, Bait tersebut dibangun atas "kunci kehidupan" dan "batu penjuru", Tuhan Yesus, yang telah dibangkitkan dari antara orang mati, batu hidup dan yang setia. Bentuk Bait Keimaman merupakan kelanjutan dari bentuk yang baru saja diperkenalkan (1 Petrus 2:4). Lebih lanjut dikatakan, konsep itu tidak diperuntukkan bagi keimaman resmi suatu kelompok Kristen tertentu, tapi bagi semua orang percaya. "Semua orang yang dipenuhi oleh Roh Kristus, menjadi suatu keimaman yang terpisah; seluruh umat Kristen adalah hamba Tuhan". [Lanjutan artikel ini (Bagian 2) akan kami kirimkan dalam email yang terpisah.] Catatan kaki:
Sumber:
Diambil dari:
Pengantar Mempersiapkan Khotbah Ekspositori: Motivasi, Definisi, dan Ikhtisar Proses Persiapan Khotbah
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Artikel ini adalah lanjutan dari kiriman saya sebelumnya. Jika Anda ingin membacanya edisi sebelumnya, silakan berkunjung ke situs Soteri: http://reformed.sabda.org/pengantar_mempersiapkan_khotbah_ekspositori_motivasi_definisi_dan_ikhtisar_proses_persiapan_khotbah_bag_1Pemimpin Redaksi e-Reformed, Yulia Oeniyati < yulia(at)in-christ.net > < http://reformed.sabda.org >
Edisi:
edisi 137/Februari 2013
Isi:
2. Cara Khotbah EkspositoriCara khotbah ekspositori berkaitan dengan proses. Mari melihat kembali definisi khotbah ekspositori berkaitan dengan proses persiapan kita dan penyampaian pokok teks: Khotbah Ekspositori adalah pemasakinian pernyataan pokok teks Alkitab yang "diperoleh dari metode penafsiran yang tepat serta dinyatakan melalui sarana komunikasi yang efektif" untuk menasihati pikiran, menginsafkan hati, dan memengaruhi perilaku menuju kesalehan. 2.1. PenafsiranKriteria utama metode penafsiran yang tepat adalah adanya hubungan yang dapat ditunjukkan dan dapat diandalkan antara pemahaman penulis dan pembaca asli suatu teks Alkitab dan penafsiran kita. Langkah 1 dari proses menyusun khotbah akan menggambarkan proses ini secara lebih terperinci. Memang benar, Alkitab dapat digunakan untuk mengatakan hampir semua hal yang Anda mungkin akan katakan. Pertanyaan kritisnya adalah: Apakah Anda mengatakan apa yang ingin Alkitab katakan? Sebagai contoh, saya pernah mendengar sebuah khotbah yang baik dari Lukas 19:29-40 yang menawarkan kebenaran berikut ini: "Yesus dan Keledai" Dapatkah khotbah ini dikhotbahkan? Kenyataannya sudah! Apakah khotbah ini setia kepada teks? Tidak! Mengapa? Tanyakan pertanyaan kritis ini: Apakah uraian tersebut adalah apa yang ingin disampaikan oleh penulis kitab dan apa yang dipahami oleh pembaca asli melalui kisah tersebut? Jenis khotbah ini sebenarnya pengajaran yang bersifat "moral". Berikut ini adalah beberapa persoalan dalam pengajaran yang bersifat moral: Setiap kisah inspiratif pasti mengandung nilai-nilai moral. Setiap budaya memunyai perumpamaan-perumpamaan dan kumpulan cerita rakyat untuk menjadi pedoman bertindak dan berpri laku. Yang membedakan kisah Alkitab dengan kisah yang bersifat budaya adalah kehendak Roh Kudus yang disampaikan oleh penulis dalam teks dan dipahami oleh pembaca asli. Moralisme mengurangi Alkitab menjadi sekadar cerita bijak saja. Teks digunakan sebagai ilustrasi dan bukan sebagai sumber uraian yang dibuat. Dalam kisah "keledai", pengkhotbah telah memutuskan bahwa si keledai adalah gambaran manusia. Dalam kisah keledai, dari bagian teks yang manakah pengkhotbah mendapat otoritas untuk menyamakan keledai dengan manusia? Atau anggaplah ketika menggunakan teks tentang Daud dan Goliat, pengkhotbah memutuskan bahwa orang-orang percaya akan dan harus menghadapi permasalahan yang sangat besar. Metode ilustrasi ini gagal karena Goliat tidak bangkit kembali. Kenyataannya, permasalahan-permasalahan yang sangat besar memiliki kemampuan untuk bangkit terus-menerus! Dengan demikian, ilustrasi ini kekurangan otoritas tekstual. Jika khotbah tidak menunjukkan bahwa penulis kitab bermaksud bahwa teks digunakan seperti ini, tidak ada otoritas untuk melakukannya. Setiap pengkhotbah dapat menarik berapa pun ilustrasi dari teks yang diberikan. Akan tetapi, tidak ada yang mengendalikan kesimpulan yang dia tarik. Mengapa lima, bisa saja tiga hal atau dua hal, atau bahkan tujuh hal? Penafsiran pengkhotbah (dan dengan demikian penekanan khotbah) menjadi manasuka. Jemaat akan mulai melihat khotbah sebagai penggunaan teks Alkitab yang digunakan oleh pengkhotbah secara tidak lazim. Metode penafsiran yang tepat harus menyusun kerangka inti khotbah. Pengkhotbah harus lebih dulu menjadi pelaku eksegesis Alkitab sebelum menjadi pelaku ekspositori Kitab Suci. 2.2. KomunikasiJika metode penafsiran yang tepat berkaitan dengan pemahaman penulis dan pembaca asli, komunikasi yang efektif berkaitan dengan hubungan antara pemahaman teks oleh pengkhotbah dan pembaca masa kini. Sebagai contoh, saya dan seorang rekan mengadakan seminar tentang penyusunan rencana bagi para pemimpin gereja lokal di Asia Timur. Rekan saya mengajar di sesi pertama mengenai mengapa kita harus membuat rencana. Inti pertama yang disampaikannya adalah kita harus berencana karena Allah berencana. Allah merencanakan penciptaan, penebusan, dan kerajaan-Nya. Dengan demikian, kita juga harus menyusun rencana. Masalahnya, presentasinya tidak mempertimbangkan pemahaman jemaat tentang kebenaran [yang disampaikan]. Pandangan umum, anggapan, nilai, dan keyakinan mereka semua bercampur dengan pemahaman terhadap maksud rekan saya. Sayangnya, kesimpulan yang mereka tarik setelah mengetahui rancangan ilahi justru bertolak belakang dengan maksud rekan saya. Mereka menyimpulkan: jika Allah berencana, kita tidak perlu menyusun rencana! Agar komunikasi kita efektif, kita harus memahami pandangan umum, proses berpikir, dan budaya jemaat (pendengar khotbah kita). Kemudian, barulah dengan menggunakan analogi dan ilustrasi, gaya dan penyampaian yang tepat, dan penerapan yang relevan kita akan memastikan ketaatan mereka. Kita akan mempertimbangkan beberapa aspek tersebut pada langkah ke-6 dari proses menyusun khotbah. 3. Alasan Memberikan Khotbah EkspositoriAlasan memberikan khotbah ekspositori berkaitan dengan tujuan. Apa tujuan dari persiapan kita dan penyampaian khotbah ekspositori? Mari kembali ke definisi yang kita gunakan: Khotbah Ekspositori adalah pemasakinian pernyataan pokok teks Alkitab yang diperoleh dari metode penafsiran yang tepat serta dinyatakan melalui sarana komunikasi yang efektif, "untuk menasihati pikiran, menginsafkan hati, dan memengaruhi perilaku menuju kesalehan". Alasan khotbah ekspositori terutama berhubungan dengan unsur intelektual, afektif, dan keputusan dalam pengalaman kekristenan. 3.1. Menasihati PikiranSebagai hasil dari mendengarkan khotbah, jemaat harus tahu dan memahami sesuatu, yakni kebenaran Allah. Normalnya, pengetahuan ini terkait dengan pernyataan pokok khotbah. Jika mereka tidak tahu lebih dari yang Allah katakan dan mengharapkan sebagai hasil pengkhotbahan kita, itu bukan bagian kita. Tuhan Yesus menambahkan "untuk mengasihi Allah dengan segenap akal budi kita" dalam versinya tentang hukum yang terutama (baca Matius 22:36-37). 3.2. Menginsafkan HatiTidak semua keputusan manusia dibuat secara masuk akal. Faktor emosi memainkan peran besar dalam keputusan penting. Akan tetapi, kita tidak boleh sekadar mengandalkan emosi. Hati harus diinsafkan sementara pikiran dinasihati. Memang penting dan tidak mustahil untuk membidik takhta semua emosi, yakni hati, melalui pengkhotbahan ekspositori. Pengkhotbah harus membuat jemaatnya antusias menaati Allah. Jika Firman sudah menginsafkan hati jemaat kita, kita bisa yakin bahwa perasaan itu tidak dibuat-buat. Sebagai hasil khotbah kita, jemaat harus merasakan sekaligus menginginkan sesuatu, yakni perlunya ketaatan pribadi akan kebenaran Allah. 3.3. Memengaruhi PerilakuUjian praktis dari khotbah yang baik adalah buah yang dihasilkannya dalam hidup. Alkitab diberikan untuk perubahan perilaku (2 Timotius 3:16-17). Iman harus diikuti dengan perbuatan (baca Kitab Yakobus). Sebagai hasil khotbah kita, jemaat akan melakukan sesuatu. Mereka akan taat. Kesalehan harus menjadi hasil dalam kehidupan mereka. Artinya, mimbar bukan hanya tempat untuk menaburkan lebih banyak informasi, namun menjadi panggung untuk mendorong jemaat kita untuk hidup saleh dengan teladan dan uraian. Mereka harus tahu apa yang Allah harapkan dan bagaimana mereka bisa menaati mandat Allah dari setiap teks dalam Kitab Suci. Pengkhotbahan harus menghasilkan kesalehan. Saya membuat komitmen kepada jemaat saya di New Delhi. Saya berkata kepada mereka, "Ketika saya berhenti memberi kalian sesuatu yang lebih untuk diketahui, sesuatu yang lebih untuk dirasakan, dan sesuatu yang lebih untuk dilakukan sebagai hasil dari saat-saat kita bersekutu dalam firman Allah, itulah saatnya memadamkan lampu gereja." Dari Teks Menjadi Khotbah -------------------------Berikut ini adalah tujuh langkah dari teks menjadi khotbah dalam proses menyusun khotbah. Anda harus menghafal langkah-langkah tersebut. Tujuh Langkah Proses Menyusun Khotbah Pada kolom sebelah kanan, saya sudah mendaftar bagian-bagian dari patung hidup***** yang berusaha kita ciptakan melalui setiap khotbah.
Dengan mempelajari detail teks, kita memperoleh "daging" teks tersebut. Dalam menyusun kerangka teks, kita mendapat gambaran rangka penyusun teks. Daging dan rangka membentuk bahan mentah teks untuk proses pemahatan. Dari rangka itu, kita melihat pernyataan pokok teks, "jantung", pokok dari khotbah itu. Dari jantung teks kita mengembangkan tujuan bagi jemaat. Tujuan khotbah ini adalah "otak" yang melaluinya pada akhirnya khotbah dirancang dan disampaikan. Otak akan memberi arah dan bentuk bagi jantung khotbah. Dalam tahap ini khotbah membentuk citra dan kerangkanya sendiri. Kerangka pesan akan terlihat. Pada akhirnya, kita akan mengisi detail-detail daging sewaktu kita selesai memahat khotbah yang unik dan istimewa bagi jemaat secara khusus. Cara lain untuk menggambarkan ketujuh langkah tersebut adalah sebagai berikut: Dari Teks Menjadi Khotbah Setelah menyajikan sistem persiapan khotbah ini, saya melihat cara mudah untuk mengingat ketujuh langkah tersebut. Berikut ini disajikan beberapa petunjuk untuk membantu Anda mengingat urut-urutan ini.
Pemberian nomor atau angka pada langkah-langkah tersebut memberi kita pola yang mudah untuk diingat: 1234321 atau ABCDCBA. Omong-omong, bentuk kesejajaran ini juga ditemukan dalam Alkitab Ibrani dan dikenal dengan konstruksi kiastik. Kemiripan lahiriah dengan Alkitab tidak membuat sistem persiapan khotbah ini terpengaruh dan pasif. Akan tetapi, sistem ini akan memampukan Anda, manusia yang terbatas, untuk membuat khotbah inspiratif. Berikut ini adalah gambaran ringkas setiap langkah dalam menyusun khotbah. Langkah-langkah ini berperan sebagai tinjauan sekilas untuk prosedur lengkapnya. Langkah 1: Mempelajari Teks -- Daging Teks Langkah 1 mengenalkan kita kepada proses mendasar yakni mempelajari teks. Langkah ini menyediakan beberapa kunci untuk menemukan makna teks. Langkah ini juga meletakkan pondasi untuk pendalaman teks dalam "melihat" dan "mencari" secara tepat apa yang Alkitab ingin sampaikan kepada semua orang. Langkah 2: Membuat Kerangka Teks -- Rangka Teks Langkah penting dalam proses pemahatan adalah memahami bagaimana penulis kitab menyusun teks. Dengan cara ini, kita bukan hanya mampu menyampaikan apa yang dikatakan penulis, tetapi bahkan menekankan bagaimana dia menyampaikannya. Langkah 2 memberi petunjuk bagaimana menemukan kerangka teks sehingga Anda dapat meringkas pengajaran setiap bagian teks. Langkah 3: Pernyataan Pokok Teks -- Jantung Teks Sebagaimana fungsi jantung bagi manusia, demikian juga pernyataan pokok bagi teks (dan selanjutnya bagi khotbah). Langkah 3 akan membantu Anda menemukan pengajaran dominan dalam teks, yakni apa yang dikemukakan teks, dalam dua segi: Tema: Apa yang dibahas penulis? Perspektif: Apa yang dikatakan penulis tentang apa yang dibahasnya? Segala sesuatu dalam teks disulam dalam satu tema besar. Ketika tema/perspektif ditemukan, seseorang dapat dengan yakin menguraikan teks dalam otoritas Allah. Langkah 4: Tujuan Khotbah -- Otak Khotbah Langkah 4 sangat penting untuk membuat khotbah ekspositori relevan dengan jemaat. Tujuan adalah otak khotbah, penghubung kunci dari teks ke khotbah. Anda akan belajar untuk mengucapkan tujuan khotbah dengan jelas bagi jemaat Anda. Langkah 5: Pernyataan Pokok Khotbah -- Jantung Khotbah Sama halnya dengan teks yang memunyai tema/perspektif tunggal, khotbah Anda juga harus memunyai tema/perspektif tunggal. Pernyataan pokok khotbah Anda akan mengandung penekanan "tema" dan "perspektif" yang kembar. Dalam tahap ini pernyataan Alkitab (langkah 3) disalurkan lewat tujuan (langkah 4) dan dikontemporerisasi untuk dipahami dan ditaati oleh jemaat. Langkah 6: Membuat Kerangka Khotbah -- Rangka Khotbah Pada langkah ini, Anda akan mempertimbangkan cara-cara dasar dalam mengembangkan khotbah dengan kesatuan, kelanjutan, dan kemajuan. Contoh-contoh bentuk pengembangan yang memengaruhi pemahaman keseluruhan dan menghasilkan ketaatan akan dibahas. Langkah 7: Menyampaikan Khotbah -- Daging Khotbah Anda dapat meningkatkan dampak khotbah Anda melalui ilustrasi, penggunaan kata yang tepat, dan bahasa tubuh dalam penyampaian khotbah. Anda juga akan disarankan untuk menuliskan khotbah sebaik dan sebanyak mungkin yang Anda bisa sebelum menyampaikannya. Anda berada di jalur yang tepat untuk membaca buku ini jika:
Sumber:
Diterjemahkan dari:
Pengantar Mempersiapkan Khotbah Ekspositori: Motivasi, Definisi, dan Ikhtisar Proses Persiapan Khotbah (Bag. 1)
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Publikasi e-Reformed Januari dan Februari baru saja saya kirimkan ke mailbox Anda. Maaf untuk keterlambatannya. Berhubung banyak di antara Anda yang mengakses email kami lewat fasilitas mobile, maka saya mencoba untuk tidak mengirimkan email yang besar/panjang. Karena itu, artikel yang saya kirimkan berikut ini saya bagi menjadi dua email (Bagian 1 dan Bagian 2), berarti dua kiriman. Demikian informasi singkat dari saya, selamat menyimak. Artikel "PENGANTAR MEMPERSIAPKAN KHOTBAH EKSPOSITORI" ini, saya ambil dari tulisan Ramesh Richard, dalam bukunya yang berjudul "Preparing Expository Sermons". 'Simplicity' dan 'to the point', adalah kesan pertama saya ketika membaca buku ini. Keprihatinan dia dan kerinduan dia, menjadi keprihatinan saya dan kerinduan saya juga. Inilah alasan mengapa saya memilih artikel ini untuk edisi e-Reformed Januari dan Februari 2013. Seandainya,... semua pengkhotbah bisa memahami kepentingan khotbah ekspositori, dan melakukan khotbah ekspositori dalam kebaktian hari Minggu, maka dijamin gereja akan memiliki fondasi yang kuat dan jemaat akan mendapat makanan yang bergizi sehingga memungkinkan mereka bertumbuh secara rohani. Karena itu, mari kita berdoa supaya kita bisa menjadi pengkhotbah ekspositori. Seandainya,... Anda adalah pengkhotbah yang tidak percaya bahwa Alkitab adalah diinspirasikan oleh Allah, maka saya sarankan Anda untuk bertobat atau berhenti berkhotbah! Seandainya,... Anda adalah pengkhotbah yang percaya bahwa untuk berkhotbah tidak perlu persiapan, maka saya sarankan Anda untuk bertobat atau berhenti berkhotbah! Maka, kita tidak perlu berandai-andai lagi... Pemimpin Redaksi e-Reformed,Yulia Oeniyati < yulia(at)in-christ.net > < http://reformed.sabda.org >
Edisi:
edisi 136/Juli 2013
Isi:
Di sebuah kios seni di luar Hotel Kwara di Ilorin, Kwara, Nigeria, Anda bisa menemukan patung-patung kayu indah karya Daniel. Sebagai seorang pematung yang terampil, ia memilih kayu mahoni terbaik dan mengubahnya, seperti yang dikatakannya, menjadi "sebuah keindahan (dan terkadang kegembiraan) abadi." Saya mendapat kesempatan untuk mengamati Daniel ketika dia memahat sepotong kayu. Di tangannya, sepotong kayu itu memiliki harapan. Memahat adalah sebuah seni sekaligus keahlian. Keahlian memahat dimiliki oleh semua pematung yang terampil. Akan tetapi, dimensi seni diperlukan untuk menciptakan sebentuk patung yang benar-benar indah. Setiap patung karya Daniel adalah ciri khas dari bakat seni, latihan, dan komitmennya dalam bekerja. Kami mengawali percakapan. Dia menggambarkan prosesnya dengan cerdas, "Pohon adalah sesuatu yang dibuat Allah; patung adalah sesuatu yang dibuat oleh Daniel dari apa yang dibuat Allah." Dalam ucapannya yang lugas itu, saya menemukan begitu banyak kesamaan dengan proses mempersiapkan dan menyampaikan sebuah khotbah ekspositori. Alkitab adalah sesuatu yang dibuat Allah; khotbah adalah sesuatu yang kita buat dari apa yang dibuat Allah. Banyak orang dapat mencontoh metodenya. Para pengkhotbah yang terampil memiliki ciri-ciri umum dalam pendalaman Alkitab dan penyampaian khotbah. Namun sebagai seni, khotbah Anda secara unik adalah karya Anda. Sebuah kombinasi dari bakat, latihan, dan kerja keras yang akan memberi sentuhan personal bagi karya Anda. Tentu saja, ada perbedaan antara sebuah patung kayu dan khotbah Anda -- yaitu kehidupan itu sendiri! Sebuah pohon hidup diubah menjadi sebentuk keindahan yang mati. Khotbah Anda, dalam bimbingan Allah yang hidup, mengubah Firman yang hidup dari Allah menjadi sebuah khotbah yang menyatakan, menyampaikan, dan menciptakan kehidupan bagi para pendengar Anda. Khotbah Anda lebih dari sebuah keindahan dan kegembiraan abadi. Khotbah Anda adalah suatu kehidupan abadi. Perlunya Khotbah Ekspositori Sayangnya, beberapa pengkhotbah tidak memercayai bahwa Alkitab adalah sesuatu yang dibuat Allah. Ada pengkhotbah-pengkhotbah yang belum bertobat yang memenuhi mimbar-mimbar di seluruh dunia. Mereka tidak memercayai baik Firman dari Allah maupun Allah yang berfirman itu. Saya melakukan surat-menyurat rutin dengan seorang pendeta senior, seorang pria baik yang takut akan Allah yang dikelilingi para pendeta yang belum bertobat. Mereka telah mengancam untuk menyingkirkannya karena pendirian injilinya. Mereka tidak percaya bahwa Alkitab adalah firman yang diinspirasikan oleh Allah. Beberapa pengkhotbah lain percaya bahwa khotbah dapat dibuat tanpa Alkitab. Mereka mencari perumpamaan masa kini atau peristiwa berita yang layak disampaikan di mimbar. Biasanya khotbah-khotbah semacam ini ditemukan di mimbar-mimbar kaum terpelajar dengan berbagai ilustrasi yang diambil dari dunia olahraga, musik, politik, dan kebudayaan, namun isi alkitabiah khotbah-khotbah itu sangat sedikit. Di sebuah kota besar di Asia, seorang awam yang cerdas mengeluhkan ketidakhadiran Alkitab dalam khotbah pendetanya. "Pendeta saya tidak percaya bahwa Alkitab cukup relevan bagi jemaatnya," katanya. "Pendeta saya tidak memberi makan domba-dombanya, tetapi dia menyapa jerapah!" Sementara itu, ada beberapa pengkhotbah lain yang tidak percaya bahwa mereka harus mempersiapkan sebuah khotbah. Mereka tidak bekerja keras dalam pelayanan mimbar. Dengan sikap yang santai, mereka cenderung berharap akan dipenuhi secara ilahi menjelang waktu berkhotbah. Seorang rekan pendeta yang memegang falsafah persiapan khotbah seperti ini mengalami kejutan hebat di atas mimbar ketika dia menantikan perkataan dari surga di menit-menit terakhir. Suasana hening. Ia bercakap-cakap dengan Allah mengenai janji ilahi untuk memenuhi para hamba-Nya dengan pesan-pesan ilahi. Suasana hening. Akhirnya, dalam keputusasaan yang menyengsarakan dia memohon, "Ya Allah, beritahukanlah kepada hamba-Mu ini sesuatu untuk dikhotbahkan pagi ini." Lalu Allah menjawabnya, "Anakku, kamu tidak mempersiapkannya!" Akhirnya, beberapa pengkhotbah tidak menjadikan khotbah sebagai ujung tombak dalam pelayanan mereka. Mereka tidak lagi menjadikan khotbah sebagai prioritas pelayanan, tapi malah mengangkat pelayanan konseling, kepengurusan dalam organisasi, atau beberapa acara yang mendesak lainnya menjadi prioritas lebih tinggi. Tugas mengajarkan Alkitab telah menjadi urutan kedua dalam hierarki tugas-tugas pelayanan, sedangkan kebutuhan-kebutuhan jemaat yang mendesak telah menyedot energi utama sang pengkhotbah. Suatu pagi ketika seorang teman kembali dari menghadiri kebaktian di gereja, saya bertanya tentang khotbah disampaikan oleh pendeta. Ia menjawab bahwa tema kebaktian Minggu itu adalah "Tiga Kata yang Harus Digunakan Setiap Orang Kristen." "Lalu, apa saja tiga kata itu?" saya bertanya. Ia menjawab, "Terima kasih, tolong, dan maaf." Seseorang tidak perlu pergi ke gereja untuk mempelajari aturan-aturan dalam tata krama sosial, meskipun tidak ada salahnya mempelajari hal-hal itu di sana. Pendeta macam apa yang tidak mengharapkan aturan-aturan kesopanan sosial tersebut berlaku di pertemuan majelis? Akan tetapi, jika hal-hal itu adalah bagian utama dalam menu rutin kebaktian Minggu, maka gereja, pendeta, dan jemaat akan mengalami kelaparan rohani. Buku ini dirancang untuk membantu Anda mengatasi kelemahan-kelemahan pelayanan mimbar yang telah tertulis di atas dan mengajak Anda mengejar penyampaian khotbah ekspositori sebagai cara hidup dan pelayanan. Pengaruh Khotbah Ekspositori Khotbah ekspositori akan memengaruhi hidup Anda, yaitu dapat membantu Anda untuk:
Khotbah ekspositori akan memengaruhi jemaat Anda karena membantu Anda untuk:
Pada intinya, khotbah ekspositori akan membantu pengkhotbah menyebarluaskan rancangan Allah bagi jemaat-Nya. Oleh karena itu, mempersiapkan sebuah khotbah adalah sebuah seni, keahlian, kedisiplinan diri, dan relasi. Khotbah yang efektif adalah hasil perpaduan antara dinamika rohani dengan metode terperinci. Dinamika persiapan khotbah muncul dari relasi pengkhotbah dengan Tuhan sumber firman. Hal ini merupakan latihan serius yang harus dibungkus dalam doa supaya ia dimampukan oleh Roh Kudus, mulai dari kontak pertama pengkhotbah dengan teks Alkitab. Bagaimanapun juga, buku ini bertujuan untuk membahas mekanisme persiapan khotbah -- yakni aspek seni dan keahlian dalam penyusunan khotbah dari Kitab Suci. Definisi Khotbah ekspositori adalah tentang Alkitab dan jemaat Anda. Ada banyak definisi yang baik tentang khotbah ekspositori. Berikut ini adalah definisi yang saya gunakan: Khotbah ekspositori adalah pemasakinian pernyataan pokok teks Alkitab yang berasal dari metode penafsiran yang tepat serta dinyatakan melalui sarana komunikasi yang efektif untuk menasihati pikiran, menginsafkan hati, dan memengaruhi perilaku menuju kesalehan. Unsur-unsur definisi tersebut membantu kita memahami tugas ekspositori dari berbagai dimensi dan dalam berbagai tingkatan.
Hakikat khotbah ekspositori berkaitan dengan isi. Mari melihat kembali definisinya untuk menggarisbawahi inti eksposisi tekstual: Khotbah Ekspositori adalah "pemasakinian pernyataan pokok teks Alkitab" yang diperoleh dari metode penafsiran yang tepat serta dinyatakan melalui sarana komunikasi yang efektif untuk menasihati pikiran, menginsafkan hati, dan memengaruhi perilaku menuju kesalehan. 1.1. PemasakinianPemasakinian adalah tugas utama pengkhotbah ekspositori, dia mengambil apa yang ditulis berabad-abad lampau dan menyajikan relevansinya bagi jemaat masa kini. Dia tidak memperbaiki Kitab Suci. Alkitab sudah relevan dengan persoalan-persoalan manusia. Akan tetapi, pengkhotbah membuat pernyataan-pernyataan Allah bermakna bagi jemaat lokal. Khotbah ekspositori menyajikan secara modern kehendak-kehendak Allah bagi jemaat. Pengkhotbah menghadapi dua kenyataan mendasar: teks Alkitab dari abad awal dan konteksnya untuk abad ini. Beberapa pengkhotbah memberi penekanan pada teks tetapi membuatnya tidak relevan dengan konteks modern. Yang lainnya memberi penekanan pada konteks modern dan tidak setia pada teks. Seseorang yang ahli dalam eksegesis mempelajari makna teks Kitab Suci untuk mencari tahu apa yang Allah katakan ketika teks itu ditulis. Pengkhotbah yang alkitabiah melakukan percakapan kreatif dan menyeimbangkan tuntutan teks dan konteksnya untuk menyatakan signifikansi Kitab Suci bagi kita di masa kini. Dia tidak mengingkari ataupun mengompromikan kenyataan dalam teks kuno ataupun konteks modern. Berikut ini adalah diagram proses pemasakinian: 1.2. Pernyataan Pokok Teks AlkitabSepanjang sejarah khotbah ekspositori (dan teori komunikasi), kebanyakan ahli homiletika telah diyakinkan bahwa pernyataan tunggal harus meresapi keseluruhan khotbah. Perbedaannya terletak pada di bagian mana dan bagaimana orang mendapatkan pernyataan pokok ini. Dalam menguraikan Alkitab, ada dua kemungkinan sumber pokok pikiran. Pengkhotbah yang memberikannya atau teks Alkitab yang menyediakannya. Dalam eksposisi topikal, pengkhotbahlah yang memilih tema. Dalam eksposisi tekstual, teks Alkitablah yang menyediakan tema. Perbandingan berikut ini menunjukkan sifat, kelebihan, dan kekurangan eksposisi topikal dan eksposisi tekstual:
Eksposisi adalah suatu kata multidimensi yang muncul dari akar bahasa Latin, expositio(-onis) artinya "menyatakan". Eksposisi Alkitab menguraikan, mengungkapkan, dan menyingkapkan Alkitab kepada jemaat dan jemaat kepada Alkitab. Eksposisi tekstual menguraikan makna teks Alkitab dan signifikansinya untuk konteks saat ini. Eksposisi ini mengungkapkan pernyataan tunggal yang dirangkaikan ke dalam khotbah. Eksposisi ini juga membawa jemaat masa kini kepada kebenaran-kebenaran dan pernyataan-pernyataan Allah yang ditemukan dalam teks tertentu. Tiga Pertanyaan untuk Diajukan tentang Isi Eksposisi Tekstual
Sumber:
Diterjemahkan dari:
Komentar |
Merayakan 30 tahun melayani bersama Publikasi e-Reformed |