Tentang KamiArtikel TerbaruUpdate Terakhir |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SOTeRI PraktikaTeologia Praktika adalah teologia yang berisi penerapan pengajaran Alkitab dalam kehidupan praktis untuk pembangunan, pengudusan, pembinaan, pendidikan dan pelayanan umat Tuhan.
Aksi Sosial Kristen dan Kepedulian Kepada Orang Miskin
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Menjalani abad 21 ini, perkembangan karya manusia begitu cepat, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan. Hal ini memengaruhi budaya dan pola pikir manusia pada umumnya, tak terkecuali orang-orang Kristen. Kemajuan jaman seringkali justru semakin mempermudah orang Kristen hidup dan memikirkan hanya untuk dirinya sendiri, sehingga rasa kemanusiaan semakin terkikis oleh nafsu duniawi yang berpusat pada diri. Pada edisi e-Reformed 134 ini, artikel yang disuguhkan ingin menggedor sensitivitas kita sebagai bagian dari Tubuh Kristus, untuk berani menyikapi tindakan orang Kristen yang mulai terprovokasi untuk melawan dunia (kemiskinan, kelaparan, terpinggirkan), tetapi tidak mengubah dunia dengan kasih Kristus. Dr. Joseph Tong, penulis artikel ini, mendorong kita untuk merenungkan 2 hal yang sangat penting dalam menjalankan tindakan sosial Kristen: kemampuan memberi dan kuasa memberi. Silakan merenungkan pembahasan beliau karena hal ini akan menolong mengubah pola pikir kita dalam hal memberi agar semakin serupa dengan ajaran Kristus. Selamat menerungkan. Staf Redaksi e-Reformed,
Penulis:
Dr. Joseph Tong
Edisi:
134/november 2012
Tanggal:
27 november 2012
Isi:
Aksi Sosial Kristen dan Kepedulian Kepada Orang MiskinMenjadi orang Kristen di dunia sekuler tidak mudah, terutama dalam abad ke-21 ini. Kesadaran sosial telah membawa pada realitas yang belum terlihat sekarang, yaitu gejala dari sisi tergelap manusia. Hal- hal yang belum pernah kita dengar, bahkan belum pernah terbayangkan di masa lalu, telah menjadi hal yang biasa pada tahun-tahun terakhir ini. Mereka menuntut hak-hak legal dengan berani di pengadilan publik, lembaga-lembaga hukum dan legislatif, serta melanjutkan tuntutan akan pengakuan dalam segala bidang kehidupan, termasuk agama dan moralitas. Cukup aneh. Hal-hal ini bukan saja merembes dan mengubah moralitas Dunia Barat, tetapi juga memenangkan tempat dalam banyak negara yang baru terbentuk dari budaya dan tradisi yang paling ortodoks. Dapat dikatakan, dunia ini nampaknya akan dijungkirbalikkan secara moral. Inilah pasang-surut zaman. Nampaknya, suatu gelombang yang tidak tertahankan sedang memenangkan lahan komunitas Kristen. Mendapati diri kita sendiri dalam suatu situasi semacam ini, roh kita tergugah, seperti ketika Paulus ada di tengah-tengah para pemuja berhala Athena.
Dari waktu ke waktu kita melihat ada orang-orang Kristen yang akan berdiri tegak bagi Yesus, sebagaimana yang dihimbaukan oleh himne terkait, berperang dalam "pertempuran yang baik". Untuk membalikkan situasi dengan mengambil tindakan sosial, mereka tidak raga-ragu membawa kasus itu ke tempat terbuka, ke jalan, untuk memprotes tempat perdagangan dan mengawali keributan. Mereka siap mengambil risiko ditahan demi mengingatkan kesadaran sosial dan hati nurani publik untuk membangkitkan perubahan sosial. Suatu kasus klasik pemberontakan sipil. Beberapa bahkan mengambil suatu sikap militan, tanpa maksud mengabaikan provokasi apa pun, bahkan yang terkecil sekalipun. Sayangnya, semangat untuk melawan balik telah menjadi suatu tanggapan refleks bagi mereka, bahkan kadang kala tercampur dengan sikap membenci dan kekerasan. Dalam konteks diskusi isu relasi antara gereja dan masyarakat, kita semua sepakat bahwa gereja akan selalu berfungsi sebagai "hati nurani sosial" dan menjadi "referensi sosial", serta pada waktunya akan mengambil peran "Agen perubahan sosial". Memenuhi panggilan dan mandat semacam itu, apa yang seharusnya menjadi sikap gereja dan apa yang akan menjadi tindakan Kristen? Bagi beberapa orang Kristen, apa pun yang terjadi di dalam dunia yang tidak kristiani, di mata mereka selalu membangkitkan kemurkaan. Dengan menanggapi secara kasar rangsangan provokatif itu, orang-orang Kristen kelihatannya selalu siap bergerak untuk mengambil tindakan. Murka Allah adalah model mereka. Sayangnya dalam analisis finalnya, kita selalu melihat bahwa tindakan-tindakan mereka hanyalah ledakan dari roh batiniah yang tidak tenang, yang pada akhirnya menghabiskan energi untuk menanggung kesaksian hidup bagi Injil yang penuh anugerah dan Yesus Kristus. Sayangnya, walaupun mereka mungkin berhasil dalam tindakan, mereka harus membayar harganya, yaitu menjadi hangus sama sekali.
Apakah orang-orang Kristen itu mudah terprovokasi kapan saja? Tentu saja tidak. Secara etimologi, terprovokasi adalah tergugah ke arah kemarahan dan terbangkitkan secara emosional untuk melakukan tindakan spontan. Ketika Kristus menjanjikan damai sejahtera-Nya bagi para murid-Nya, Ia memang mengingatkan mereka akan masa kesusahan, perlawanan, dan situasi-situasi antagonistik. Sewaktu mengingatkan mereka akan situasi-situasi demikian, Ia berkata, "Damai-Ku, Kutinggalkan bagimu." Ketika berhadapan dengan hakim-hakim yang tidak adil dan saksi palsu, bahkan pencuri yang disalibkan, Ia dengan tegas menolak penuduhan. Dengan damai Ia menolak kejahatan dan membuktikan diri sendiri kebal terhadap provokasi. Khotbah di bukit yang Ia sampaikan memberikan prinsip-prinsip kehidupan bagi murid-murid-Nya. Mereka harus menjalani kehidupan yang sederhana dan penuh kedamaian. Mereka harus kebal terhadap provokasi, bahkan terhadap provokasi yang paling tidak adil dan jahat. Contoh praktis yang Ia berikan adalah bahwa mereka harus membiarkan orang lain memiliki baju sekaligus jubah, memberkati orang yang mengutuk mereka, dan bahkan memberikan pipi yang sebelahnya kepada orang yang menampar mereka. Orang-orang Kristen harus memiliki hati yang penuh damai dan membiarkan Tuhan yang memegang kendali. Demikianlah mereka akan membuktikan roh yang tidak dapat diprovokasi dan iman yang tidak berubah-ubah. Mereka diingatkan akan perintah Tuhan: "diamlah dan ketahuilah bahwa Akulah Tuhan." (Mazmur 46:10) Kalau begitu, apakah kita ini lamban? Tentu saja tidak. Kita juga tidak apatis. Di hadapan kejahatan dan ketidakadilan, terutama dalam konteks tindakan sosial, orang-orang Kristen memiliki sisi lain dari kuasa yang hakiki, kuasa dari maksud Injil, yaitu kuasa penyelamatan Kristus. Kuasa untuk menerima tantangan, bukannya terprovokasi. Kuasa ini bukanlah untuk bertempur melawan dunia, tetapi untuk mengubah dunia dan membaruinya. Diperhadapkan dengan gejala sosial yang tidak menyenangkan, seperti permasalahan moral, ketidakadilan, dan praktik-praktik yang tidak etis, maka orang-orang Kristen dipanggil untuk mengambil posisi damai dan memproklamasikan firman Tuhan yang hidup. Orang-orang Kristen dipanggil untuk mempertahankan jati diri sebelum mempertahankan hak- hak mereka. Untuk memberi pertanggungjawaban iman dan menerima undang- undang, bukan provokasi-provokasi, untuk menanggapi panggilan realitas demi mengemban kesaksian untuk kebenaran. Motivasi utama di sini adalah untuk bersaksi ketimbang bertindak. Dengan demikian, daripada memilih jalur tanggapan untuk memenangkan pujian dan upah, saya percaya adalah tugas kita untuk menanggapi dengan menerima tantangan sebagai imamat yang rajani, untuk memproklamasikan dekret Ilahi dengan hati yang berdoa. Adalah suatu mandat Kristiani untuk terlibat dalam cabang-cabang pemerintahan eksekutif, legislatif, dan hukum. Bersikap baik, ramah, dan penuh kuasa, akan selalu membuat suatu pembedaan antara provokasi dan tantangan, serta membuktikan bahwa kita bukan anak-anak jalanan, yang cocok dan yang memilih untuk tanggapan refleks, berupa angkara dan perkelahian yang tidak ada gunanya, kecuali untuk provokasi.
Dalam pemberian Kristen, dua hal harus selalu tampil sebagai aspek yang sangat penting dari memberi: kemampuan memberi dan kuasa memberi. Supaya seseorang dapat memberi, ia harus memiliki sesuatu untuk diberikan. Apa yang dimilikinya memampukan dia untuk memberi. Tentu saja kalau ia memiliki hati, dorongan, dan niat baik untuk memberi. Bagi beberapa pengumpul dana profesional, demi memotivasi seseorang untuk memberi dengan murah hati, mereka perlu membangkitkan dorongan. Dalam istilah psikologi, memicu "n-succorant -- need-succorant" (suatu kebutuhan yang kuat atau tak tertahankan untuk menolong orang lain) -- Begitu seseorang telah tergugah simpatinya, ia pasti akan memberi, bahkan memberi melebihi kemampuannya. Seseorang perlu didorong untuk meningkatkan level empatinya dan kesadaran kemanusiaannya, atau dengan meningkatkan level kekhawatirannya, dengan cara menghadapkan seseorang pada kebutuhan orang lain, maka orang tersebut pasti akan membuka hati dan dompetnya pula. Ini prosedur normal dari praktik mengumpulkan dana. Ini adalah suatu praktik yang sama sekali dapat diterima di antara kegiatan para pengumpul dana kemanusiaan. Nah, sekarang bagaimana dengan pandangan Kristen tentang memberi? Atau untuk lebih konkretnya, atas dasar apa kita meminta orang-orang, terutama umat Tuhan untuk memberi? Adakah sesuatu selain praktik umum para pengumpul dana yang dapat kita gunakan, demi menjaga perbedaan dan mencapai sasaran yang diharapkan? Saya percaya, isu semacam ini menuntut perenungan yang cermat dari diri kita. Secara alkitabiah, kita memberi oleh karena kita telah lebih dulu menerima. Tuhan sebagai sumber dari segala berkat, pertama-tama telah memberi kita Putra-Nya, dan bersama dengan Dia, Ia telah dengan murah hati memberi kita segala sesuatu (Roma 8:32). Memberi itu adalah Ilahi, tetapi menerima tidak selalu manusiawi. Hanya apabila seseorang dipanggil oleh kemurahan Tuhan, pada iman dalam Kristus, ia tahu apa yang harus diterima, bukan untuk mengambil. Untuk dapat menerima, seseorang harus mengakui keadaannya yang kekurangan dan kebutuhannya. Demikianlah ia mengakui tindakan belas kasihan dari Sang Pemberi. Pada waktu Yohanes memproklamasikan, "Semua orang yang menerima-Nya diberi- Nya `kuasa` supaya menjadi anak-anak Allah," hal ini menyiratkan bahwa seseorang yang menerima, diberi kuasa untuk menjadi anak-anak Tuhan dalam konteks anugerah. Dengan pemahaman seperti ini, menerima anugerah Tuhan berarti menerima kuasa untuk menjadi apa yang Tuhan inginkan: anak-anak Tuhan. Dalam konteks ini, kita mengamati lebih dekat interaksi dengan sesama -- terutama mereka yang kurang beruntung dan dilanda kemiskinan -- Saya percaya, kita akan membedakan kuasa memberi dan kemampuan memberi. Sementara, baik kuasa maupun kemampuan memberi adalah aspek- aspek memberi sebagai tanda kemurahan hati manusia terhadap sesamanya; kemampuan memberi banyak tergantung pada sumber yang dimiliki seseorang, daripada kondisinya. Seseorang dapat memberi karena ia memiliki sesuatu untuk diberikan. Ia telah mencapai hal-hal tertentu atau ia memiliki akses kepada sumber-sumber itu, maka ia memberi. Ia tidak dapat memberi, jika ia tidak memunyai apa-apa untuk diberikan. Jika ia miskin, tidak ada yang menyalahkannya karena tidak ada yang mengharapkan sesuatu darinya. Peraturannya adalah bahwa seorang pengemis tidak akan meminta sedekah dari pengemis lainnya. Orang-orang Kristen memunyai peraturan lain. Mereka memahami aspek yang mendasar dari memberi, yaitu kuasa memberi dalam tindakan memberi. Dalam pemberian Kristen, kita tertarik pada fakta bahwa kita mengambil bagian dalam tindakan Tuhan dalam penyediaan-Nya yang baik. Seperti orang-orang Kristen di Makedonia, di tengah-tengah kemiskinan ekstrem, sukacita mereka yang berlimpah-limpah meluap dengan penuh kemurahan hati (2 Korintus 8:1). Fakta bahwa Tuhanlah yang pertama- tama memberi mereka anugerah adalah alasan yang cukup bagi mereka untuk memberi. Jadi, di dalam iman kita telah menerima dan di dalam tindakan menerima, kita dijadikan alat oleh Tuhan untuk menjadi anak-anak-Nya di dunia ini. Dalam memberi dan bertindak sebagai anak-anak Tuhan, kita tidak memberikan apa yang kita miliki, tetapi apa yang telah Tuhan berikan kepada kita sebagai hasil dari apa yang Tuhan perbuat. Kita bertindak demi Dia dalam membagi-bagikan anugerah-Nya dan karunia-karunia-Nya. Untuk tindakan-tindakan semacam itu, kita tidak memerlukan apa-apa, kecuali wewenang Tuhan dan kuasa memberi, supaya penerimanya juga dimampukan oleh anugerah-Nya, sehingga ia akan menjadi seorang pemberi, bukan sekadar penerima. Inilah pembedaan antara pemberian Kristiani dan pemberian kemanusiaan belaka. Amal sosial telah menjadi dan selalu merupakan relasi dan interaksi antara dan di antara kelembagaan mereka "yang punya" dan mereka "yang tidak punya". Demikianlah para sponsor telah tanpa sengaja atau bahkan adakalanya sengaja, bertanggung jawab atas adanya pembedaan antara strata sosial yang tidak adil, praktik pemisahan, dan diskriminasi. Pihak yang menerima, tanpa sengaja ataupun dengan sengaja dilukai justru dalam tindakan memberi dan menolong. Luka dan rasa sakit, entah ditingkatkan atau diabaikan dari waktu ke waktu. Kita melakukan hal yang baik, tetapi mungkin masih jauh dari melakukan hal yang benar.
Apabila seseorang memahami kuasa memberi dalam konteks Kristen dan memberi sebagai pelaksanaan kuasa memberi, maka ia dapat melihat bahwa pemberiannya tidak bergantung pada kemampuannya memberi. Dengan memandang melampaui dirinya sendiri, si pemberi akan selalu melihat kepada pihak penerima dan pemberiannya: di sana ada sesamanya yang sama seperti dia, seseorang yang memantulkan citra Tuhan. Oleh anugerah Tuhan dan penyediaan-Nya, maka sesamanya ditempatkan di hadapannya, supaya ia dapat melaksanakan kuasa memberi. Dengan berbuat demikian, boleh jadi mendayakan di dalam dirinya kuasa Tuhan untuk menjadikan sesamanya seorang anak Tuhan. Suatu pribadi yang bermartabat kerajaan dan mulia, daripada seorang pengemis yang dilanda kemiskinan dan patut dikasihani. Dengan kuasa memberi, maka ia akan memberi. Dalam konteks semacam ini, memberi tidak lagi sekadar tindakan kemanusiaan, tetapi suatu mandat Ilahi, yang pada gilirannya akan membuat si penerima melihat Bapa segala terang, yang daripada-Nya berasal segala hadiah yang baik dan sempurna (Yakobus 1:16). Dengan demikian, kita telah melaksanakan anugerah Allah, "kuasa memberi".
Sumber:
Kepedulian Terhadap Ciptaan
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Salah satu kelebihan yang saya lihat dalam teologia Reformed adalah penekanannya yang sangat jelas akan kepemilikan Allah atas dunia dan jagat raya alam ini. Berdasarkan ayat Alkitab, "Sesungguhnya, TUHAN, Allahmulah yang empunya langit, bahkan langit yang mengatasi segala langit, dan bumi dengan segala isinya." (Ulangan 10:14), kita diingatkan bahwa manusia bukan pemilik dunia ini, tetapi Tuhan. Karena itu di dalam teologia Reformed, disamping "mandat penginjilan", "mandat budaya", juga menjadi satu tugas yang tidak boleh diabaikan oleh umat Kristen. Dengan memelihara alam semesta, sebagaimana yang Tuhan kehendaki, maka kita telah mewujudkan salah satu bentuk ibadah yang diperkenan oleh Tuhan. Nah, artikel e-Reformed yang saya pilihkan bulan ini yang berjudul, "Kepedulian Terhadap Ciptaan", semoga menjadi teguran untuk kita semua, apakah sebagai anak Tuhan kita sudah bertanggung jawab dengan lingkungan dan bumi tempat kita tinggal ini? Silakan direnungkan dan kiranya dapat mengetuk kesadaran kita, sehingga kita mau ambil bagian dalam penyelamatan bumi dan lingkungan sekitar kita dari perusakan yang dilakukan oleh manusia yang tidak bertanggung jawab. Selamat membaca dan merenungkan! In Christ, Yulia Oen < http://reformed.sabda.org >
Penulis:
John R.W. Stott
Edisi:
133/Oktober 2012
Tanggal:
30 Oktober 2012
Isi:
Dalam menunjukkan apa yang (dalam pandangan saya) merupakan beberapa aspek yang terlupakan dari pemuridan yang radikal, kita tidak boleh menyangka bahwa hal-hal ini terbatas pada ranah-ranah personal dan individual. Kita juga harus memerhatikan dalam perspektif yang lebih luas tentang tugas kita kepada Allah dan sesama kita, yang sebagian merupakan bagian dari topik pada bab ini: kepedulian terhadap lingkungan hidup kita. Alkitab mengatakan kepada kita bahwa dalam penciptaan, Allah mendirikan bagi manusia tiga relasi yang sangat fundamental: pertama relasi terhadap diri-Nya sendiri, sebab Ia menciptakan mereka dalam gambar dan rupa-Nya; kedua relasi satu terhadap yang lain, sebab umat manusia merupakan makhluk yang majemuk sejak mulanya; dan ketiga, relasi terhadap bumi yang diciptakan, beserta dengan segala ciptaan di dalamnya. Selanjutnya, ketiga relasi ini menyimpang akibat kejatuhan. Adam dan Hawa terpisah dari hadirat Tuhan Allah di taman tersebut, mereka saling menyalahkan satu dengan yang lain untuk apa yang telah terjadi, dan bumi yang baik terkutuk akibat ketidaktaatan mereka. Ini kemudian menjadi alasan yang kuat mengapa rencana pemulihan Allah tidak hanya meliputi pendamaian kita dengan Allah dan sesama, tetapi juga pembebasan terhadap ciptaan yang sama-sama sedang merintih. Kita dapat dengan pasti meyakini bahwa satu hari kelak akan hadir surga dan bumi yang baru (2 Petrus 3:13; Wahyu 21:1), sebab ini merupakan bagian yang esensial dari pengharapan kita bagi kesempurnaan masa depan yang sedang menanti kita pada akhir masa. Namun, sementara itu, seluruh ciptaan sedang merintih, mengalami sakit bersalin dari ciptaan baru (Roma 8:18-23). Sampai sejauh mana tujuan akhir bumi akan dapat dialami/dinikmati saat ini, masih merupakan bahan yang dapat diperdebatkan. Namun, kita dapat dengan pasti mengatakan bahwa sebagaimana pemahaman kita terhadap tujuan akhir dari tubuh kebangkitan kita, harusnya memengaruhi cara berpikir kita dan cara kita memperlakukan tubuh kita sekarang ini, sehingga pengetahuan kita akan langit dan bumi baru seharusnya memengaruhi dan meningkatkan penghargaan akan bumi melalui cara kita memperlakukannya sekarang. Jadi, bagaimana seharusnya sikap kita terhadap bumi? Alkitab menunjukkan caranya dengan membuat dua penguatan yang sangat mendasar: "Tuhanlah yang empunya bumi" (Mazmur 24:1), dan "Langit itu langit kepunyaan TUHAN, dan bumi itu telah diberikan-Nya kepada anak-anak manusia" (Mazmur 115:16). Pada bulan Mei 1999, saya mendapatkan hak istimewa untuk mengambil bagian dalam seminar sehari di Nairobi dengan tema "Kekristenan dan Lingkungan Hidup". Yang menjadi pembicara bersama saya adalah Dr. Calvin De Witt, dari "Au Sable Institute" Michigan dan Peter Harris dari "A Rocha International". Para peserta yang hadir saat itu termasuk para pemimpin Kenya, baik dari kalangan pemerintahan maupun wakil dari gereja-gereja, organisasi-organisasi misi, dan berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM). Pertemuan ini mendapatkan perhatian luas. Ini merupakan bukti bahwa kepedulian terhadap lingkungan hidup bukanlah kepentingan egois yang dikembangkan oleh negara-negara maju, atau pun antusiasme minoritas yang semata-mata milik para pengamat burung atau pecinta bunga, tetapi secara perlahan-lahan tetapi pasti, hal ini menjadi perhatian dari kekristenan arus utama. Segera sesudah itu, Deklarasi Kaum Injili tentang Evangelical Declaration on the Care of Creation (Kepedulian terhadap Lingkungan Hidup) diterbitkan (1999), dan pada tahun berikutnya, sebuah penjelasan yang penting tentang deklarasi ini muncul, disunting oleh R.J. Berry dan berjudul The Care of Creation (Kepedulian terhadap Alam Ciptaan). [1] Pernyataan bahwa "Tuhanlah yang empunya bumi" dan bahwa "bumi itu telah diberikan-Nya kepada anak-anak manusia", merupakan dua hal yang saling melengkapi dan tidaklah saling bertentangan. Sebab, bumi merupakan milik Allah, karena memang diciptakan oleh Allah dan merupakan milik kita, karena didelegasikan oleh Allah. Ini tidak berarti bahwa Allah telah menyerahkannya kepada kita, sehingga Ia kehilangan hak atasnya, tetapi ini berarti bahwa Ia telah memberikan kepada kita tanggung jawab untuk menjaga dan mengembangkan bumi ini demi Dia. Jika demikian, bagaimana seharusnya kita berelasi dengan bumi ini? Jika kita mengingat bahwa ciptaan dihadirkan oleh Allah dan didelegasikan kepada kita, kita akan menghindarkan diri dari dua posisi ekstrem yang saling bertolak belakang, dan sebaliknya kita akan mengembangkan relasi ketiga dan yang lebih baik dengan alam. Pertama, kita akan menghindarkan diri dari mengilahkan alam. Inilah kesalahan kaum panteis yang mengindentifikasikan Pencipta dengan ciptaan-Nya, atau dari kepercayaan animisme yang percaya bahwa dunia natural dipenuhi oleh roh-roh, dan dari Zaman Baru yaitu Gerakan "Gaia" (Gerakan ini memercayai bahwa bumi adalah superorganisme yang mampu menyesuaikan diri dan juga memelihara kehidupan yang berjalan di dalamnya) yang menyatakan bahwa sifat pada alam itu mandiri, memiliki mekanisme keteraturan sendiri, dan mampu memperbarui diri sendiri. Namun, semua pandangan yang membingungkan ini menghina Sang Pencipta. Kesadaran umat kristiani bahwa alam merupakan ciptaan bukan Pencipta, merupakan pengantar yang tak terbantahkan bagi seluruh upaya ilmu pengetahuan, dan sangat penting bagi pengembangan sumber daya yang dimiliki bumi saat ini. Kita menghargai alam sebab Allah menjadikannya; kita tidak menyembah alam seolah-olah itu adalah Allah sendiri. Kedua, kita harus menghindarkan diri dari posisi ekstrem yang sebaliknya, yakni eksploitasi alam. Ini bukanlah tindakan menjilat alam seolah-olah ia adalah Allah, tetapi ini adalah tindakan yang arogan terhadap alam bahwa seolah-olah kita adalah Allah. Kejadian 1 dengan tidak adil telah dipersalahkan akibat kerusakan lingkungan. Memang benar Allah memerintahkan umat manusia untuk "memerintah atas" bumi dan untuk "menaklukkannya" (Kejadian 1:26-28), dan memang benar bahwa dua kata kerja Ibrani ini adalah kata yang kuat. Namun, sangat menggelikan bila membayangkan bahwa Ia yang telah "menciptakan" bumi ini, kemudian menyerahkannya kepada kita untuk "dihancurkan". Tentu tidak, kuasa Allah yang telah diberikan kepada kita seharusnya dilihat sebagai sebuah tanggung jawab pelayanan, bukan sebuah dominasi yang menghancurkan. Relasi ketiga dan yang tepat antara umat manusia dan alam adalah kerja sama dengan Allah. Tentu saja, kita sendiri adalah bagian dari ciptaan, sama bergantungnya kepada Pencipta sebagaimana semua ciptaan-Nya yang lain. Namun, pada saat yang sama, Ia telah dengan sengaja merendahkan diri-Nya untuk menjadikan sebuah kemitraan bersama Allah -- manusia yang diperlukan. Ia menciptakan bumi ini, tetapi kemudian memerintahkan kita untuk menaklukkannya. Ia menjadikan sebuah taman, tetapi kemudian menempatkan Adam di dalamnya "untuk mengusahakan dan memeliharanya" (Kejadian 2:15). Ini sering disebut sebagai mandat budaya. Sebab, apa yang telah Allah berikan kepada kita disebut "alam", sedangkan apa yang kita lakukan terhadap alam disebut "budaya". Kita tidak hanya dipanggil untuk melestarikan alam, tetapi juga untuk mengembangkan sumber-sumber daya yang ada di dalamnya bagi kebaikan bersama. Panggilan bekerja sama dengan Allah untuk menggenapi rencana-Nya, dalam mentransformasi seluruh ciptaan untuk kenikmatan dan keuntungan semua merupakan panggilan yang sangat mulia. Dalam hal inilah pekerjaan kita semestinya menjadi sebuah ekspresi dari ibadah kita, sebab kepedulian kita terhadap lingkungan akan mencerminkan kasih kita terhadap Sang Pencipta. Pandangan yang lain: sangat mungkin terjadi penekanan yang berlebihan terhadap upaya manusia dalam konservasi dan transformasi lingkungan hidup. Dalam eksposisinya yang sangat baik terhadap tiga pasal pertama dari Kitab Kejadian, lewat bukunya In the Beginning, [2] Henri Blocher menyatakan bahwa puncak dari Kejadian pasal 1 bukanlah penciptaan dari manusia sebagai pekerja, melainkan institusi Sabat bagi umat manusia sebagai penyembah-penyembah Allah. Puncak dari semuanya ini bukanlah kerja keras kita (menaklukkan bumi ini), melainkan tindakan meninggalkan kerja keras kita pada hari Sabat (perhentian). Sebab, Sabat menempatkan pentingnya pekerjaan dalam perspektif yang tepat. Sabat melindungi kita dari penghisapan total diri kita ke dalam pekerjaan, seolah-olah hanya itulah arti dan tujuan keberadaan diri kita. Ini tidak benar. Kita sebagai manusia menemukan kemanusiaan kita tidak hanya dari relasi kita dengan bumi ini, yang memang menjadi panggilan kita untuk mentransformasinya, melainkan dalam relasi dengan Allah yang haruslah kita sembah; tidak hanya dalam kaitannya dengan ciptaan, tetapi terutama relasi dengan Sang Pencipta. Allah menginginkan agar pekerjaan kita merupakan ekspresi dari penyembahan kita, dan kepedulian kita terhadap ciptaan merupakan cerminan dari kasih kita kepada-Nya. Hanya dengan demikianlah, apa pun yang kita lakukan, dalam kata dan karya, kita sanggup melakukannya bagi Kejadian pasal 1kemuliaan Allah (1 Korintus 10:31). Hal-hal ini dan tema-tema Alkitab yang lain dibukakan, baik lewat "Deklarasi Kaum Injili tentang Kepedulian terhadap Lingkungan Hidup" maupun dalam penjelasannya. Hal-hal ini layak untuk kita pelajari dengan saksama. [3] Krisis Ekologi Ini adalah latar belakang pengajaran alkitabiah yang sangat penting, yang kita perlukan untuk menghadapi krisis ekologi yang terjadi saat ini. Hal ini telah ditelaah dalam pelbagai cara, tetapi setiap analisis yang ada tersebut mengandung empat aspek berikut. 1. Terjadi percepatan pertumbuhan penduduk dunia. Berdasarkan perkiraan divisi populasi Perserikatan Bangsa-Bangsa, penghitungan dimulai dari tahun 1804 SM, ketika penduduk dunia mencapai 1 milyar jiwa. [4] Pada permulaan abad ke-20, populasi dunia tersebut telah mencapai angka 6,8 milyar jiwa, dan pada pertengahan abad ini diperkirakan angkanya akan mencapai jumlah yang luar biasa yaitu, 9,5 milyar jiwa. Karena agak sulit mengingat angka-angka dalam statistik, maka sebuah "jembatan keledai" sederhana mungkin dapat membantu kita untuk mengingat hal ini: Masa lampau -- 1804 SM -- 1 milyar Masa kini -- 2000 M -- 6,8 milyar Masa depan -- 2050 M -- 9,5 milyar Bagaimana mungkin memberi makan sedemikian banyak orang, terutama ketika seperlima dari mereka tidak memiliki kebutuhan pokok untuk bertahan hidup? 2. Semakin menipisnya sumber daya alam yang dimiliki bumi. E.F. Shumacher, dalam buku populernya Small is Beautiful, [5] melukiskan perhatian dunia terhadap perbedaan antara modal dan pendapatan. Sebagai contoh, bahan bakar fosil merupakan modal habis, sekali mereka digunakan, mereka tidak dapat digantikan. Proses mengerikan yang disebut deforestatifikasi dan penggurunan juga merupakan contoh-contoh yang sama dengan apa yang terjadi pada bahan bakar fosil. Contoh-contoh yang lain adalah terjadinya degradasi atau polusi terhadap habitat plankton di laut lepas, dataran hijau di bumi, makhluk hidup, dan habitat makhluk hidup yang sangat bergantung kepada ketersediaan udara dan air bersih. 3. Masalah pembuangan limbah. Populasi penduduk yang meningkat turut mendorong peningkatan masalah diakibatkan oleh perlu dipikirkannya cara penanganan pembuangan limbah proses produksi, pengepakan, dan konsumsi yang aman. Rata-rata orang di Inggris membuang sampah yang setara dengan berat badan mereka setiap tiga bulan. Pada tahun 1994, sebuah laporan dari Inggris bertajuk Sustainable Development: The UK Strategy merekomendasikan empat cara "hieraki dari manajemen limbah" sebagai upaya mewadahi masalah yang terus meningkat ini. 4. Perubahan iklim. Dari semua tantangan global yang dihadapi oleh planet kita, ini adalah tantangan yang paling serius. Lapisan atmosfer melindungi kita dari radiasi Ultraviolet, dan jika lapisan ozon rusak, sinar tersebut dapat masuk kemudian menyebabkan kanker kulit dan mengganggu sistem kekebalan kita. Itulah sebabnya ketika tahun 1983, sebuah lubang besar pada lapisan ozon tampak di atas daerah Antartika dan pada negara-negara sekitarnya, hal tersebut membangkitkan peringatan besar dari khalayak umum. Beberapa tahun kemudian, lubang yang sama tampak di atas hemisphere bagian Utara. Dari peristiwa itu diketahui bahwa penipisan ozon tersebut diakibatkan oleh kloroflurokarbon (CFC), bahan kimia yang digunakan dalam pendingin ruangan, lemari es, dan propelan. Protokol Montreal menyerukan kepada semua negara untuk mengurangi setengah emisi CFC mulai tahun 1997. Perubahan iklim adalah masalah yang berkaitan dengan hal ini. Pemanasan permukaan bumi (hal yang sangat esensial bagi kelangsungan planet kita) diakibatkan oleh kombinasi dari radiasi sinar matahari dan radiasi inframerah yang dipantulkan ke angkasa. Ini disebut "efek rumah kaca." Polusi atmosfir oleh "gas-gas yang menyebabkan efek rumah kaca" (khususnya karbondioksida) mengurangi emisi inframerah dan meningkatkan temperatur dari permukaan bumi. Inilah gambaran dari pemanasan global yang sangat mungkin dapat mengakibatkan malapetaka terhadap susunan geografis dunia dan pola iklim. [6] Berefleksi dari empat bahaya terhadap lingkungan ini, kita dapat melihat bahwa planet kita sedang ada dalam bahaya yang besar. "Krisis" bukanlah kata yang terlalu dramatis untuk digunakan. Respons seperti apa yang tepat dalam situasi seperti ini? Untuk memulainya, kita patut berterima kasih bahwa pada akhirnya di tahun 1992, pertemuan yang disebut "Earth Summit" (KTT tentang Bumi) dilangsungkan di Rio de Janeiro dan dihasilkan sebuah kesepakatan "global sustainable development". Pertemuan-pertemuan berikutnya telah memberi kepastian bahwa persoalan-persoalan lingkungan hidup telah menjadi perhatian para pemimpin dunia. Namun, di samping pertemuan-pertemuan para pemimpin ini, beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) telah bermunculan. Saya hanya akan menyebutkan dua organisasi Kristen yang paling terdepan, yakni "Tearfund" dan "A Rocha", keduanya baru saja merayakan hari jadi mereka yang spesial (masing-masing 40 tahun dan 20 tahun). "Tearfund" didirikan oleh George Hoffman, berkomitmen pada pengembangan dalam makna yang luas, dan bekerja sama secara dekat dengan "partner" di negara-negara berkembang. Kisah yang sangat indah dari "Tearfund" telah didokumentasikan oleh Mike Hollow dalam bukunya A Future and a Hope.[7] "A Rocha" memiliki perbedaan sebab berada pada lingkup yang lebih kecil. Lembaga ini didirikan pada tahun 1983 oleh Peter Harris, yang telah mendokumentasikan pertumbuhan lembaga ini dalam dua buku: Under the Bright Wings (sepuluh tahun pertama dari organisasi ini) dan Kingfisher`s Fire (memberikan informasi aktual dari kisah lembaga ini).[8] Perkembangan yang perlahan namun terus-menerus dari lembaga ini sangat mengagumkan, saat ini mereka bekerja di delapan belas negara, mendirikan pusat studi keilmuan di semua benua di dunia. Merupakan hal yang sangat baik untuk memberi dukungan kepada LSM-LSM Kristen yang bergerak di bidang lingkungan hidup, namun apa bentuk tanggung jawab pribadi kita? Saya mengizinkan Chris Wright untuk menjawab pertanyaan ini, Apa yang dapat dilakukan oleh seorang murid yang radikal bagi alam ciptaan ini? Chris memimpikan hadirnya sekumpulan besar orang-orang Kristen yang peduli dengan alam dan mereka memegang tanggung jawab lingkungan hidup secara serius: "Mereka memilih untuk menggunakan bentuk-bentuk energi yang dapat bertahan lama ketika memungkinkan. Mereka mematikan alat-alat elektronik yang tidak diperlukan. Mereka membeli makanan, barang-barang, dan layanan sedapat mungkin dari perusahaan-perusahaan yang dalam etikanya memberlakukan kebijakan-kebijakan terhadap lingkungan hidup. Mereka bergabung dalam perhimpunan-perhimpunan konservasi lingkungan hidup. Mereka menghindarkan diri dari konsumsi yang berlebihan dan limbah yang tidak diperlukan dan menggunakan bahan- bahan daur ulang sebanyak mungkin." [9] Chris juga rindu melihat semakin banyaknya orang-orang Kristen yang turut menyertakan kepedulian terhadap lingkungan hidup dalam pemahaman alkitabiah mereka terhadap misi: "Pada waktu lampau, kekristenan secara spontan sangat peduli terhadap isu-isu yang besar dan penting dalam setiap generasi .... Hal-hal ini termasuk bahaya dari penyakit, perbudakan, dan bentuk-bentuk kekejaman dan eksploitasi dalam berbagai bentuk. Orang-orang Kristen mengambil tanggung jawab bagi para janda, anak-anak yatim piatu, pengungsi akibat peperangan, tawanan perang, orang-orang sakit jiwa, orang-orang kelaparan -- dan yang terkini makin banyak orang-orang Kristen yang berkomitmen untuk 'membuat kemiskinan tinggal sejarah'." Saya ingin menggemakan kesimpulan Chris Wright yang mengesankan: "Ada satu hal yang bagi saya sulit dijelaskan, mengapa ada sebagian orang Kristen yang mengklaim bahwa mengasihi dan menyembah Allah juga menjadi murid Yesus, tetapi tidak punya kepedulian terhadap bumi yang justru membuktikan secara sah kepemilikan Allah. Mereka tidak peduli terhadap penyalahgunaan bumi dan bahkan, oleh gaya hidup mereka yang boros dan terlampau konsumtif, mereka juga termasuk di dalamnya. Allah menghendaki... kepedulian kita terhadap ciptaan, mencerminkan kasih kita kepada Sang Pencipta." [10] "Sesungguhnya, TUHAN, Allahmulah yang empunya langit, bahkan langit yang mengatasi segala langit, dan bumi dengan segala isinya." (Ulangan 10:14) Keterangan: |