Tentang KamiArtikel TerbaruUpdate Terakhir |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SOTeRI PraktikaTeologia Praktika adalah teologia yang berisi penerapan pengajaran Alkitab dalam kehidupan praktis untuk pembangunan, pengudusan, pembinaan, pendidikan dan pelayanan umat Tuhan.
Etos Postmodern
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Beberapa waktu yang lalu saya mendapat bahan tentang Postmodernisme yang berjudul "POSTMODERNISME; Sebuah Pengenalan" yang ditulis oleh Stanley J. Grenz. Tulisan yang saya bagikan berikut ini adalah salah satu bagian dari buku tsb. Mudah-mudahan artikel ini menolong kita untuk mengenal fenomena Postmodernisme yang sedang terjadi di sekitar kehidupan kita. In His grace,
Edisi:
013/III/2001
Isi:
Postmodernisme lahir di St. Louis, Missouri, 15 Juli 1972, pukul 3:32 sore. Ketika pertama kali didirikan, proyek rumah Pruitt-Igoe di St. Louis di anggap sebagai lambang arsitektur modern. Yang lebih penting, ia berdiri sebagai gambaran modernisme, yang menggunakan teknologi untuk menciptakan masyarakat Utopia demi kesejahteraan manusia. Tetapi para penghuninya menghancurkan bangunan itu dengan sengaja. Pemerintah mencurahkan banyak dana untuk merenovasi bangunan tsb. Akhirnya, setelah menghabiskan jutaan dollar, pemerintah menyerah. Pada sore hari di bulan Juli 1972, bangunan itu diledakkan dengan dinamit. Menurut Charles Jencks, yang dianggap sebagai arsitek postmodern yang paling berpengaruh, peristiwa peledakan ini menandai kematian modernisme dan menandakan kelahiran postmodernisme. Masyarakat kita berada dalam pergolakan dan pergeseran kebudayaan. Seperti proyek bangunan Pruitt-Igoe, pemikiran dan kebudayaan modernisme sedang hancur berkeping-keping. Ketika modernisme mati di sekeliling kita, kita sedang memasuki sebuah era baru - postmodern. Fenomena postmodern mencakup banyak dimensi dari masyarakat kontemporer. Pada intinya, Postmodern adalah suasana intelektual atau "isme"- postmodernisme. Para ahli saling berdebat untuk mencari aspek-aspek apa saja yang termasuk dalam postmodernism. Tetapi mereka telah mencapai kesepakatan pada satu butir: fenomena ini menandai berakhirnya sebuah cara pandang universal. Etos postmodern menolak penjelasan yang harmonis, universal, dan konsisten. Mereka menggantikan semua ini dengan sikap hormat kepada perbedaan dan penghargaan kepada yang khusus (partikular dan lokal) serta membuang yang universal. Postmodernisme menolak penekanan kepada penemuan ilmiah melalui metode sains, yang merupakan fondasi intelektual dari modernisme untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Pada dasarnya, postmodernisme adalah anti-modern. Tetapi kata postmodern mencakup lebih dari sekedar suasana intelektual. Penolakan postmodernisme terhadap rasionalitas terwujud dalam banyak dimensi dari masyarakat kini. Tahun-tahun belakangan ini, pola pikir postmodern terwujud dalam banyak aspek kebudayaan, termasuk arsitektur, seni, dan drama. Postmodernisme telah merasuk ke dalam seluruh masyarakat. Kita dapat mencium pergeseran dari modern kepada postmodern dalam budaya pop, mulai dari video musik sampai kepada serial Star Trek. Tidak terkecuali, hal-hal seperti spiritualitas dan cara berpakaian juga terpengaruh. Postmoderisme menunjuk kepada suasana intelektual dan sederetan wujud kebudayaan yang meragukan ide-ide, prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dianut oleh modernisme. Postmodernitas menunjuk kepada era yang sedang muncul, era di mana kita hidup, zaman di mana postmodernisme mencetak masyarakat kita. Postmodernitas adalah era di mana ide-ide, sikap-sikap, dan nilai-nilai postmodern bertahta - ketika postmodernisme membentuk kebudayaan. Inilah era masyarakat postmodern. Tujuan kita dalam bab ini adalah melihat dari dekat fenomena postmodern dan memahami sedikit tentang etos postmodernisme. Apakah tanda-tanda ekspresi budaya dan dimensi hidup sehari-hari dari "generasi mendatang ini?" Apakah buktinya bahwa pola pikir baru sedang menyerbu kehidupan masyarakat sekarang ini? FENOMENA POSTMODERN Postmodernisme menunjuk kepada suasana intelektual dan ekspresi kebudayaan yang sedang mendominasi masyarakat kini. Sekonyong-konyong kita sedang berpindah kepada sebuah era budaya baru, postmodernisme, tetapi kita harus memperinci apa saja yang tercakup dalam fenomena postmodern. KESADARAN POSTMODERN Bukti-bukti awal dari etos postmodernisme senantiasa negatif. Etos tersebut merupakan penolakan terhadap pola pikir Pencerahan yang melahirkan modernisme. Kita dapat melacak etos postmodern di mana-mana dalam masyarakat kita. Yang terpenting, postmodernisme telah merasuk jiwa dan kesadaran generasi sekarang ini. Ini merupakan perceraian radikal dengan pola pikir masa lalu. Kesadaran postmodern telah melenyapkan optimisme "kemajuan" (progress) dari Pencerahan. Postmodern tidak mau mengambil sikap optimisme dari masa lalu. Mereka menumbuhkan sikap pesimisme. Untuk pertama kalinya, anak-anak pada masa kini berbeda keyakinan dengan orang tuanya. Mereka tidak percaya bahwa dunia akan menjadi lebih baik. Dari lubang yang besar di lapisan Ozon sampai kepada kekerasan antar remaja, mereka menyaksikan permasalahan semakin besar. Mereka tidak lagi percaya kalau manusia dapat menyelesaikan masalahnya dan kehidupan mereka akan lebih baik daripada orangtua mereka. Generasi postmodern yakin bahwa hidup di muka bumi bersifat rawan. Mereka melihat bahwa model "manusia menguasai alam" dari Francis Bacon harus segera digantikan dengan sikap kooperatif dengan alam. Masa depan umat manusia sedang di persimpangan jalan. Selain sikap pesimis, orang-orang postmodern mempunyai konsep kebenaran yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Pemahaman modern menghubungkan kebenaran dengan rasio sehingga rasio dan logika menjadi tolok ukur kebenaran. Kaum postmodern meragukan konsep kebenaran universal yang dibuktikan melalui usaha-usaha rasio. Mereka tidak mau menjadi rasio sebagai tolok ukur kebenaran. Postmodern mencari sesuatu yang lebih tinggi daripada rasio. Mereka menemukan cara-cara nonrasial untuk mencari pengetahuan, yaitu: melalui emosi dan intuisi. Keinginan mencari model kooperatif dan penghargaan kepada cara nonrasional menciptakan sebuah dimensi holistik bagi kaum postmodern. Postmodern dengan holismenya menolak cita-cita Pencerahan, individu yang tidak berperasaan, otonom, dan rasional. Orang-orang postmodern tidak berusaha menjadi individu-individu yang mengatur dirinya secara penuh, tetapi menjadi pribadi-pribadi "seutuhnya". Postmodern dengan holisme-nya mencakup integrasi seluruh dimensi dari kehidupan pribadi - perasaan, intuisi, dan kognitif. Keutuhan juga mencakup kesadaran akan lingkungan dari mana kita berasal. Tentu saja area ini mencakup "alam" (ekosistem). Tetapi ia juga komunitas. Konsep "keutuhan" postmodernisme mencakup aspek-aspek agama dan kerohanian. Postmodernisme menegaskan bahwa keberadaan diri dapat dikenal dalam lingkup ketuhanan. Karena setiap orang selalu termasuk dalam konteks komunitas tertentu, maka memahami kebenaran haruslah bersama-sama. Keyakinan dan pemahaman kita akan kebenaran, berakar kepada komunitas dimana kita berada. Mereka menolak konsep Pencerahan yang universal, supra-kultur, dan permanen. Mereka lebih suka melihat kebenaran sebagai ekspresi dari komunitas tertentu. Mereka yakin bahwa kebenaran adalah aturan-aturan dasar yang bertujuan bagi kesejahteraan diri dan komunitas bersama- sama. Dalam pengertian ini, kebenaran postmodern berhubungan dengan komunitas. Karena ada banyak komunitas, pasti ada kebenaran yang berbeda-beda. Banyak kaum postmodern percaya bahwa keanekaragaman kebenaran ini dapat hidup berdampingan bersama-sama. Kesadaran postmodern menganut sikap relativisme dan pluralisme. Tentu saja, relativisme dan pluralisme bukanlah barang baru. Tetapi jenis pluralisme dan relativisme dari postmodern ini berbeda. Relatif pluralisme dari modernisme bersifat individualistik: pilihan dan cita rasa pribadi diagung-agungkan. Mottonya adalah "setiap orang berhak mengeluarkan pendapat." Sebaliknya postmodernisme menekankan kelompok. Kaum postmodern hidup dalam kelompok-kelompok sosial yang memadai, dengan bahasa, keyakinan, dan nilai-nilainya tersendiri. Akibatnya pluralisme dan relativisme postmodern menyempitkan lingkup kebenaran menjadi "lokal". Suatu kepercayaan dianggap benar hanya dalam konteks komunitas yang meyakininya. Karena itu ketika kaum postmodern memikirkan tentang kebenaran. Mereka tidak terlalu mementingkan pemikiran yang sistematis atau logis. Apa yang dahulu dianggap tidak cocok, kaum postmodern dengan tenang mengawinkannya. Mereka mengkombinasikan sistem-sistem kepercayaan yang dulu dianggap saling berbenturan, Misalnya, seorang Kristen postmodern percaya kepada doktrin-doktrin gereja sekaligus juga percaya kepada ajaran non-Kristen seperti reinkarnasi. Orang-orang postmodern tidak merasa perlu membuktikan diri mereka benar dan orang lain salah. Bagi mereka, masalah keyakinan/kepercayaan adalah masalah konteks sosial. Mereka menyimpulkan,"Apa yang benar untuk kami, mungkin saja salah bagi Anda," dan "Apa yang salah bagi kami, mungkin saja benar atau cocok dalam konteks anda." KELAHIRAN POSTMODERNITAS Sebenarnya postmodernisme telah mengalami masa-masa inkubasi yang cukup lama. Meskipun para ahli saling berdebat mengenai siapakah yang pertama kali menggunakan istilah tersebut, terdapat kesepakatan bahwa istilah tersebut muncul pada suatu waktu pada tahun 1930-an. Salah satu pemikir postmodernisme, Charles Jencks, menegaskan bahwa lahirnya konsep postmodernisme adalah dari tulisan seorang Spanyol Frederico de Onis. Dalam tulisannya "Antologia de la poesia espanola e hispanoamericana" (1934), de Onis memperkenalkan istilah tersebut untuk menggambarkan reaksi dalam lingkup modernisme. Yang lebih sering dianggap sebagai pencetus istilah tersebut adalah Arnold Toynbee, dengan bukunya yang terkenal berjudul Study of History. Toynbee yakin benar bahwa sebuah era sejarah baru telah dimulai, meskipun ia sendiri berubah pikirannya mengenai awal munculnya, entah pada saat Perang Dunia I berlangsung atau semenjak tahun 1870-an. Menurut analisa Toynbee, era postmodern ditandai dengan berakhirnya dominasi Barat dan semakin merosotnya individualisme, kapitalisme, dan Kekristenan. Ia mengatakan bahwa transisi ini terjadi ketika peradaban Barat bergeser ke arah irasionalitas dan relativisme. Ketika hal ini terjadi, kekuasaan berpindah dari kebudayaan Barat ke kebudayaan non- Barat dan muncullah kebudayaan dunia pluralis yang baru. Meskipun istilah ini muncul pada tahun 1930-an, postmodernisme sebagai sebuah fenomena kultural belum menjadi sebuah momentum sampai 40 tahun setelahnya. Ia muncul pertama-tama dalam lingkup kecil masyarakat. Selama tahun 1960-an, suasana yang menandai postmodernisme sangat menarik bagi para seniman, arsitek, dan pemikir yang sedang mencari alternatif untuk melawan dominasi kebudayaan modern. Bahkan beberapa teolog ikut tertarik dengan trend tersebut, antara lain William Hamilton dan Thomas J.J. Altizer yang "mengundang arwah" Nietzsche untuk memberitakan matinya Allah. Perkembangan yang beraneka ragam ini membuat "pengamat kebudayaan" Leslie Fiedler pada tahun 1965 menambahkan istilah "post" kepada kata modern sehingga menjadi postmodernisme yang menjadi simbol kontra-kultural pada zaman itu. Selama tahun 1970-an tantangan postmodern menembus kepada arus budaya utama. Pada pertengahan tahun tersebut, muncullah seorang pembela postmodern yang paling konsisten mempropagandakan ide postmodern, yakni: Ihab Hassan. Ia menghubungkan postmodernisme dengan eksperimentalisme dalam bidang seni dan ultra teknologi dalam bidang arsitektur. Tetapi etos postmodern secara tepat menjalar terus ke bidang-bidang lain. Profesor-profesor di universitas dalam berbagai fakultas mulai berbicara mengenai postmodernisme. Bahkan beberapa di antara mereka tenggelam dalam konsep-konsep postmodern. Akhirnya, penerimaan etos baru begitu menjalar terus ke mana-mana sehingga istilah "postmodern" menjadi label yang digunakan bagi berbagai fenomena sosial dan budaya. Gelombang postmodern menyeret berbagai aspek kebudayaan dan beberapa disiplin ilmu, khususnya sastra, arstektur, film, dan filsafat. Pada tahun 1980-an, pergeseran dari lingkup kecil kepada lingkup besar terjadi. Secara bertahap, suasana postmodern menyerang budaya pop bahkan juga hidup sehari-hari masyarakat. Konsep-konsep postmodern bahkan bukan hanya diterima tetapi populer: sangat menyenangkan menjadi seorang postmodern. Akibatnya, para kritikus kebudayaan dapat berbicara mengenai "nikmatnya menjadi seorang postmodern." Ketika postmodernisme diterima sebagai bagian dari kebudayaan, lahirlah postmodernitas. PENCETUS POSTMODERNITAS Antara tahun 1960 dan 1990, postmodernisme muncul sebagai sebuah fenomena kebudayaan. Mengapa? Bagaimana kita menjelaskan munculnya etos ini dalam masyarakat kita? Banyak pengamat menghubungkan transisi ini dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat pada paruh kedua dari abad ke-20. Faktor pencetus terbesar adalah lahirnya era informasi. Penyebaran postmodernisme sejajar dan bergantung kepada transisi ke era informasi. Banyak sejarahwan menyebut era modern sebagai "era" industrialisasi, karena era ini didominasi oleh produksi barang-barang. Karena fokusnya pada produksi material-material, modernisme menghasilkan masyarakat industri. Simbolnya adalah pabrik. Sebaliknya era postmodern mengarahkan fokus kepada informasi. Kita sedang menyaksikan sebuah transisi dari masyarakat industri ke masyarakat informasi. Simbolnya adalah komputer. Statistik kerja membuktikan bahwa kita sedang mengalami perubahan dari masyarakat industri kepada masyarakat informasi. Pada era modern, mayoritas lapangan pekerjaan terbuka dalam bidang produksi barang. Pada tahun 1970-an, hanya 13% dari buruh-buruh di Amerika bekerja dalam produksi barang; 60% bekerja dalam bidang informasi. Pelatihan untuk karir yang berkaitan dengan informasi - baik prosesor data maupun konsultan - menjadi sangat penting. Masyarakat informasi menghasilkan sekelompok orang baru. Ploretariat telah menyerahkan tempatnya kepada "cognitariat." Dan untuk bisnis, munculnya masyarakat postmodern berarti perubahan dari model "sentralisasi" kepada model "network." Struktur hirarki dalam pengambilan keputusan diganti dengan keputusan bersama. Era informasi bukan hanya mengubah pekerjaan kita tetapi juga menghubungkan seluruh belahan dunia. Masyarakat informasi berfungsi berdasarkan jaringan komunikasi yang meliputi seluruh muka bumi. Efisiensi sistem tersebut sangat mengejutkan. Pada masa lalu, informasi tidak secepat perjalanan manusia. Tetapi sekarang informasi dapat mengalir ke seluruh dunia secepat cahaya. Yang lebih mengagumkan lagi adalah kemampuan era postmodern untuk mendapatkan informasi dari mana saja secara cepat. Karena sistem komunikasi global yang begitu canggih, kita dapat mengetahui peristiwa apa saja di mana saja di dunia ini. Kita sedang menghuni sebuah desa global. Munculnya desa global menghasilkan dampak yang kontradiktif. Budaya massal dan ekonomi global yang dihasilkan era informasi berusaha menyatukan dunia menjadi "McWorld." Ketika planet ini menyatu pada satu sisi, saat yang sama ia hancur berantakan pada sisi lainnya. Munculnya postmodernisme menghasilkan kesadaran global dan menipiskan nasionalisme. Nasionalisme semakin suram dengan munculnya gerakan menuju "retribalisasi," menuju loyalitas kepada lingkungan lokal seseorang. Ini bukan hanya terjadi di Afrika tetapi juga di Kanada. Kanada berkali-kali terancam oleh disintegrasi antara kelompok berbahasa Perancis di propinsi Quebec dan propinsi-propinsi di sebelah barat. Orang-orang sedang mengikuti motto: "Berpikirlah secara global, bertindaklah secara lokal." Munculnya masyarakat informasi memberikan dasar berpijak bagi etos postmodern. Hidup di desa global menyadarkan penduduknya mengenai keanekaragaman budaya di bumi ini. Kesadaran ini memaksa kita mengadopsi pola pikir pluralisme. Pola pikir ini bukan hanya bersikap toleran kepada kelompok lain, tetapi ia menegaskan dan merayakan keanekaragaman. Perayaan keanekaragaman budaya menuntut gaya baru - eklektisisme - gaya postmodernitas. Masyarakat informasi telah menyaksikan perubahan besar dari poduksi massal kepada produksi segmen. Produksi barang-barang yang sama telah berubah menjadi produksi barang-barang yang beraneka ragam. Kita berada pada "budaya citarasa" yang menawarkan berbagai macam gaya yang tidak ada habisnya. Dulu siswa-siswi SMP dan SMU hanya memiliki tren suka-olahraga dan malas-belajar, sekarang mereka dapat mengadopsi tren apa saja sesuai cita-rasa dan gaya yang mereka sukai. ALAM POSTMODERNISME TANPA TITIK PUSAT Ciri khas postmodernisme adalah tidak adanya titik pusat yang mengontrol segala sesuatu. Meskipun postmodern dalam masyarakat bermacam-macam bentuknya, mereka sama-sama sepakat bahwa tidak ada fokus atau titik pusat. Tidak ada lagi standar umum yang dapat dipakai mengukur, menilai atau mengevaluasi konsep-konsep dan gaya hidup tertentu. Lenyaplah sudah usaha mencari sumber otoritas pusat. Lenyaplah sudah usaha untuk mencari kekuasaan yang absah dan berlaku untuk semua. Titik pusat sudah bergeser, masyarakat kita seperti kumpulan barang- barang yang beraneka ragam. Unit-unit sosial yang lebih kecil hanya disatukan secara geografis. Filsuf postmodern, Michel Foucault, menawarkan sebuah usulan nama bagi dunia tanpa titik pusat, yaitu "heterotopia." istilah Foucault menggarisbawahi perubahan besar yang sedang kita alami. Keyakinan Pencerahan akan suatu kemajuan ayng terus-menerus melahirkan visi modernisme. Arsitek modernisme berusaha membangun sebuah bangunan masyarakat yang sempurna. Kasih, keadilan, dan perdamaian akan memerintah masyarakat tersebut. kaum postmodern membuang jauh-jauh impian kosong tersebut. Mereka hanya menawarkan keanekaragaman yang tak terhitung banyaknya, "multiverse" telah menggantikan model "universe" dari modernisme.
"Lenyapnya titik pusat" yang dipopulerkan oleh etos postmodern merupakan ciri utama situasi masa kini. Ini nampak jelas dalam kehidupan kultur masyarakat kita. Seni telah mengalami perubahan bersamaan dengan perubahan modern menjadi postmodern. POSTMODERN MERAYAKAN KEANEKARAGAMAN Ciri utama budaya postmodern adalah pluralisme. Untuk merayakan pluralisme ini, para seniman postmodern mencampurkan berbagai komponen yang saling bertentangan menjadi sebuah karya seni. Teknik seni yang demikian bukan hanya merayakan pluralisme, tetapi merupakan reaksi penolakan terhadap dominasi rasio melalui cara yang ironis. Buah karya postmodernisme selalu ambigu (mengandung dua makna). Kalaupun para seniman ini menggunakan sedikit gaya modern, tujuannya adalah menolak atau mencemooh sisi-sisi tertentu dari modernisme. Post-modernisme adalah campuran antara macam-macam tradisi dan masa lalu. Post-Modernisme adalah kelanjutan dari modernisme, sekaligus melampaui modernisme. Ciri khas karya-karyanya adalah makna ganda,ironi, banyaknya pilihan, konflik, dan terpecahnya berbagai tradisi, karena heterogenitas sangat memadai bagi pluralisme.
Salah satu tehnik campuran yang sering digunakan adalah "collage". "Collage" menawarkan suatu cara alamiah untuk mencampurkan bahan-bahan yang saling bertentangan. "Collage" menjadi wahana kritik postmodern terhadap mitos pengarang/seniman tunggal. Teknik lainnya adalah "bricolage", yaitu: penyusunan kembali berbagai objek untuk menyampaikan pesan ironis bagi situasi masa kini. Seniman postmodern menggunakan berbagai gaya yang mencerminkan suatu eklektisisme yang diambil dari berbagai era dalam sejarah. Seniman umumnya menganggap cara demikian harus ditolak karena menghancurkan keutuhan gaya-gaya historis. Para kritikus tersebut menyalahkan gaya postmodern karena tidak ada ke dalaman atau keluasan, melanggar batas sejarah hanya demi memberikan kesan untuk masa kini. Gaya dan historis dibuat saling tumpang tindih. Mereka mendapatkan postmodernisme sangat kurang dalam orisinalitas dan tidak ada gaya sama sekali. Namun ada prinsip lebih mendalam yang ditampilkan melalui ekspresi budaya postmodernisme. Maksud dan tujuan karya-karya postmodernisme bukanlah asal-asalan saja. Sebaliknya, postmodern berusaha menyingkirkan konsep mengenai "seorang pengarang/pelukis asli yang merupakan pencetus suatu karya seni". Mereka berusaha menghancurkan ideologi "gaya tunggal" dari modernisme dan menggantikannya dengan budaya "banyak gaya". Untuk mencapai maksud tersebut, para seniman ini memperhadapkan para peminatnya dengan beraneka ragam gaya yang saling bertentangan dan tidak harmonis. Teknik ini - yang mencabut gaya dari akar sejarahnya - dianggap sebagai sesuatu yang aneh dan berusaha meruntuhkan sejarah. Seniman-seniman postmodern sangat berpengaruh bagi budaya Barat masa kini. Pencampuran gaya, dengan penekanan kepada keanekaragaman, dan penolakan kepada rasionalitas menjadi ciri khas masyarakat kita. Ini semakin terbukti dalam banyak ekspresi kebudayaan lainnya. ARSITEKTUR POSTMODERN Modernisme mendominasi arsitektur (juga bidang lainnya) sampai pada tahun 1970-an. Para arsitek modern mengembangkan gaya yang terkenal dengan International style (gaya internasional). Arsitektur modern mempunyai keyakinan kepada rasio manusia dan pengharapan untuk menciptakan manusia idaman. Berdasarkan prinsip tersebut, arsitek-arsitek modern mendirikan bangunan sesuai dengan prinsip kesatuan (unity). Frank Llyod Wright menjadi contoh bagi arsitek lainnya. Ia mengatakan bangunan-bangunan modern harus merupakan sebuah kesatuan organis. Bangunan harus merupakan "kesatuan yang agung" (one great thing) dan bukan kumpulan "bahan yang tidak agung" (little things). Sebuah bangunan harus mengekspresikan makna tunggal. Karena memegang prinsip kesatuan, arsitektur modern mempunyai ciri khas "univalence." Bangunan-bangunan modern menunjukkan bentuk yang sederhana dan ini nyata dari pola glass-and-steel boxes. Arsitektur mencari bentuk sederhana yang dapat menyampaikan sebuah makna tunggal. Cara yang digunakan adalah "repetisi"(pengulangan). Karena mereka juga hendak sempurna dalam geometri, bangunan-bangunannya menyerupai model "dunia lain." Arsitektur modern berkembang dan menjadi arus yang dominan. Ia memajukan program industrialisasi dan menyingkirkan aneka ragam corak lokal. Akibatnya ekspansi arsitektur modern sering menghancurkan struktur bangunan tradisional. Ia hampir meratakan semua bangunan tradisional dengan bulldozer. Bulldozer adalah alat yang merupakan cetusan jiwa modern untuk "maju"(progress). Beberapa arsitek modern belum puas jika perubahan hanya dalam bidang arsitektur. Mereka ingin agar perubahan dalam bidang arsitek, terjadi juga dalam bidang-bidang seni, ilmu pengetahuan, dan industri. Arsitektur postmodern muncul sebagai reaksi terhadap arsitektur modern. Postmodern merayakan sebuah konsep "Multivalence" (melawan "univalence" dari modernisme). Arsitektur postmodern menolak tuntutan modern di mana sebuah bangunan harus mencerminkan kesatuan. Justru sebaliknya buah karya postmodern berusaha menunjukkan dan memperlihatkan gaya, bentuk, corak, yang saling bertentangan. Penolakan terhadap arsitektur modern nampak jelas dalam beberapa contoh. Misalnya, arsiterktur postmodern sengaja memberikan ornamen (hiasan). Ini merupakan lawan dari arsitektur modern yang membuang segala hiasan-hiasan yang tidak perlu. Contoh lain, arsitektur postmodern menggunakan beberapa teknik dan gaya seni tradisional, sedangkan arsitektur modern membuang segala gaya dan teknik seni tradisional. Penolakan oleh postmodern terhadap modern di dasarkan kepada sebuah prinsip. Prinsip arsitektur postmodern adalah semua arsitektur bersifat simbolik. Semua bangunan, termasuk banguan modern, sebenarnya sedang berbahasa dengan bahasa tertentu. Karena terlalu memikirkan fungsi banyak arsitek modern menyingkirkan dimensi tersebut. Justru karena terlalu berfokus kepada fungsi (utility), karya seni modern hanya, merupakan sebuah teknik membangun tanpa nuansa artistik. Dimensi artistik telah lenyap dari karya seni modern. Padahal sebuah struktur bangunan memerlukan dimensi artistik agar dapat menyampaikan suatu kisah atau melambangkan suatu dunia imajiner. Karena terlalu menekankan fungsi. keajaiban dunia seperti bangunan Katedral masa silam tidak lagi populer pada zaman modern. Padahal bangunan seperti Katedral mengarahkan mata kita kepada suatu dunia lain. Ini yang dikritik oleh kaum postmodern terhadap kaum modern.
Kaum Postmodern berusaha mengembalikan elemen "fiksi" dari sebuah arsitektur maka mereka menambahkan ornamen-ornamen pada arsitektur. Mereka ingin agar bidang arsitektur tidak terperangkap oleh pertanyaan "apa fungsinya?" Arsitektur harus kembali berperan untuk menciptakan "bangunan-bangunan yang kreatif dan imajinatif." Kritik postmodern terhadap modern semakin menjadi-jadi. Kaum modern menekankan adanya universalitas dan adanya nilai-nilai yang tidak terbatas sejarah, dan ini ditolak secara tegas oleh kaum postmodern. Selama ini kaum kodern menganggap karya-karya mereka sebagai hasil rasio dan logika. Padahal kaum postmodern melihat dengan jelas semuanya itu hanyalah usaha mendapatkan kekuasaan dan menguasai orang lain. Bahasa modern adalah bahasa kekuasaan. Bangunan-bangunan modern menggunakan bahan-bahan industri dan mereka melayani sistem industri. Bentuk-bentuk demikian mewujudkan dunia baru yang dikuasai sains dan teknologi. Kaum postmodern mau melenyapkan bahasa kekuasaan tersebut. Kaum modern menekankan konsep kesatuan dan keseragaman (uniformity) arsitektur yang ternyata sangat tidak manusiawi. Arsitektur demikian berbicara dengan bahasa produksi massal dan standar. Kaum postmodern menolak secara tegas konsep dan bahasa demikian. Mereka ingin menemukan sebuah bahasa baru yang menghargai keanekaragaman dan pluralisme. POSTMODERN DALAM BIDANG SENI Arsitektur postmodern lahir sebagai penolakan terhadap prinsip-prinsip arsitektur modern pada abad ke-20. Kehadiran postmodern dalam bidang seni juga menampakkan gejala penolakan yang serupa. Arsitektur modern tidak menghargai gaya masa lalu. Pakar seni seperti Clement Greenberg menyatakan bahwa seni modern juga menolak gaya-gaya seni sebelumnya. Kaum modern menemukan identitas dirinya dengan membuang segala sesuatu yang lain dari dirinya; dengan cara ini, para seniman modern mengatakan bahwa hasil karya seni mereka bersifat "murni" (orisinal). Kecenderungan modern dalam bidang seni sama dengan bidang arsitektur, yaitu: "univalence". Melalui ini, kebanggaan seniman modern hanyalah jika mereka mempunyai "stylistic integrity" (integritas gaya). Sebaliknya seni postmodern berangkat dengan kesadaran adanya hubungan erat antara miliknya dan milik orang lain. Karena itulah, seni postmodern menganut keanekaragaman gaya atau "multivalence". Kalau modern menyukai "murni." maka postmodern menyukai "tidak murni." Banyak seniman postmodern menggabungkan keanekaragaman dengan teknik pencampuradukan. Seperti kita ketahui, teknik yang mereka sukai adalah "collage". Kenyataanya, Jacques Derrida (dijuluki "Aristoteles tukang campur") menegaskan collage sebagai bentuk utama dari wacana postmodern. Perlahan namun pasti, "collage" menarik para pecinta seni ke dalam makna yang dihasilkan "collage" tersebut. Karena "collage" bersifat heterogen, maka makna yang dihasilkannya tidak mungkin tunggal dan stabil. "Collage" menarik para pecinta seni untuk selalu memperoleh makna baru melalui aneka ragam campuran di dalamnya. Akhirnya seni pencampuradukan menjadi sebuah "pastiche". Tujuan teknik ini (yang digunakan oleh high-culture dan Video MTV) adalah memperhadapkan para penonton dengan gambar-gambar yang saling bertentangan sehingga tidak ada lagi makna objektif. Dengan pola yang saling bertentangan, warna yang tidak selaras, dan tata huruf yang kacau, "pastiche" menyebar dari dunia seni menuju kehidupan sehari- hari. Ini nampak dari sampul buku, sampul majalah, dan iklan-iklan yang ada. Segala campuran dan keanekaragaman itu bukan hanya untuk menarik perhatian. Daya tarik sebenarnya tidak sedangkal itu, namun jauh lebih dalam. Ini merupakan bagian dari sikap postmodern, yaitu: menantang kekuatan modernisme yang ada dalam berbagai lembaga, tradisi, dan aturan. Seniman postmodern tidak suka kepada pengagung-agungan seorang seniman modern karena kemurnian hasil karyanya. Mereka tidak suka kepada apa yang disebut "stylistic integrity" (integritas gaya). Bagi mereka, tidak ada hasil karya seni yang tunggal. Mereka sengaja menggunakan metode pinjaman dari hasil karya lain, kutipan, petikan, kumpulan, dan pengulangan dari karya-karya yang ada. bagi mereka, "seniman tunggal yang menghasilkan karya tunggal" hanyalah dongeng belaka. Kritik postmodern sangat radikal. Kritik tersebut dapat ditemukan dalam karya fotografi seorang bernama Sherrie Levine. Levine memfoto ulang foto-foto indah hasil karya dua fotografer terkenal Walker Evans dan Edward Weston. Setelah memfoto ulang, Levine menegaskan bahwa foto- foto itu adalah karya pribadinya. Pembajakannya sangat jelas sehingga orang lain tidak mudah mengecapnya sebagai plagiat (pengekor) biasa. Memang tujuannya bukanlah menipu orang-orang dengan mengatakan bahwa itu adalah hasil karyanya dan bukan hasil karya orang lain. Tujuan utamanya adalah membuat orang berfikir keras untuk membedakan manakah "yang asli" dan manakah yang "tiruan". Maka kesimpulannya: tidak ada perbedaan antara "karya asli" dan "karya tiruan." POSTMODERN DALAM BIDANG TEATER Teater adalah wujud penolakan postmodern terhadap modern yang paling jelas. Kaum modern melihat jelas sebuah karya seni sebagai karya yang tidak terikat waktu dan ide-ide yang tidak dibatasi waktu. Etos postmodern menyukai tragedi, dan tragedi selalu ada dalam setiap karya seni. Kaum postmodern melihat hidup ini seperti sebuah kumpulan cerita sandiwara yang terpotong-potong. Maka teater adalah sarana terbaik untuk menggambarkan tragedi dan pertunjukan. Tidak setiap karya teater merupakan wujud nyata etos postmodern. Karya teater postmodern mulai timbul pada tahun 1960-an. Akarnya sudah ada sebelum tahun 1960-an, yaitu karya seorang penulis Perancis bernama Antonin Artaud pada tahun 1930-an. Artaud menantang para seniman (khususnya dalam bidang drama) untuk memprotes dan menghancurkan pemujaan kepada karya seni klasik. Ia sangat mendukung pergantian drama tradisional dengan 'teater keberingasan." Ia berseru agar dihapuskannya gaya kuno yang berpusat kepada naskah. Ia mengusulkan gaya baru yang berpusat kepada simbol- simbol teater termasuk di dalamnya adalah: pencahayaan, susunan warna, pergerakan, gaya tubuh, dan lokasi. Artaud juga meniadakan perbedaan antara aktor dan penonton. Ia ingin agar penonton juga mengalami suasana dramatis seperti sang aktor. Tujuan Artaud adalah memaksa penonton untuk berhadapan dengan momentum kenyataan hidup secara langsung pada saat itu, yang bagaimanapun juga tidak akan terulang melalui aturan-aturan sosial sehari-hari. Pada tahun 1960-an, sebagian impian Artaud menjadi kenyataan. Para ahli mulai memikirkan kembali hakikat dari teater. Maka mereka menyerukan agar terdapat kebebasan dalam penampilan. Penampilan tidak boleh diatur oleh otoritas apa pun. Beberapa ahli ini menemukan bahwa naskah atau teks adalah otoritas yang menindas kebebasan. Untuk memecahkan masalah ini, mereka mengurangi naskah atau teks sehingga setiap penampilan menjadi spontan dan unik. Setelah beberapa sekali ditampilkan, tidak ada lagi pengulangan. Penampilan itu sekali saja dan akan hilang selama-lamanya setelah itu. Ahli lainnya menganggap sutradara adalah orang yang menindas kebebasan penampilan. Mereka berusaha memecahkan masalah ini, dengan menekankan improvisasi dan memakai sutradara lebih dari satu orang. Maka produksi teater/film bukan lagi produksi tunggal dan utuh. Teater postmodern menampilkan usulan-usulan para ahli di atas. Mereka membuat berbagai elemen dalam teater, seperti suara, cahaya, musik, bahasa, latar-belakang, dan gerakan saling berbenturan. Dengan demikian, teater postmodern sedang menggunakan teori tertentu yang disebut dengan estetika ketiadaan (berbeda dengan estetika kehadiran). Teori estetika ketiadaan menolak adanya konsep kebenaran yang mendasari dan mewarnai setiap penampilan. Yang ada dalam setia penampilan adalah kekosongan (empty presence). Seperti etos postmodern, makna sebuah penampilan hanya bersifat sementara, tergantung dari situasi dan konteksnya. Panggung teater tidak lagi menjadi tempat pengulangan suatu peristiwa atau suatu obyek, entah yang ada sekarang atau sebelumnya. Teater tetap berfungsi tanpa kehadiran Allah. Jacques Darrida, Writing and Difference, terj: Alan Bass (Chicago: Chicago University Press, 1978), hal. 237. POSTMODERN DALAM BIDANG TULISAN-TULISAN FIKSI Pengaruh etos postmodern dalam literatur sulit dicari. Para ahli sastra terus berdebat mengenai ciri utama fiksi postmodern yang membedakannya dari fiksi-fiksi sebelumnya. Namun gaya penulisan ini mencerminkan ciri utama yang telah kita saksikan dalam bidang-bidang lain. Seperti gaya postmodern umumnya, tulisan fiksi postmodern menggunakan teknik pencampuradukan. Beberapa penulis mengambil elemen-elemen tradisional dan mencampurkannya secara berantakan untuk menyampaikan suatu ironi mengenai topik-topik yang biasa dibahas. Bahkan beberapa penulis lainnnya mencampurkan kejadian nyata dan khayalan. Pencampuradukan ini terjadi bahkan kepada tokoh-tokoh fiksi tersebut. Beberapa penulis postmodern memusatkan perhatian kepada tokoh-tokoh khayalan dengan segala perilakunya. Pada saat yang sama, tokoh-tokoh khayalan itu adalah tokoh-tokoh yang nyata dalam sejarah manusia. Dengan cara ini, sang penulis berhasil menarik perhatian dan respons emosional dan moral para pembaca. Beberapa penulis postmodern mencampuradukkan yang nyata dan yang khayal dengan menyisipkan diri mereka ke dalam cerita itu. Bahkan mereka pun turut membicarakan berbagai masalah dan proses yang diceritakannya. Melalui ini, sang penulis mencampurkan yang nyata dan yang fiksi. Teknik ini menekankan hubungan yang erat antara penulis dan tulisan fiksinya. Tulisan fiksi adalah sarana yang dipakai oleh penulis untuk berbicara sehingga suara penulis tidak dapat dipisahkan dari kisah fiksi tersebut. Tulisan fiksi postmodern mencampuradukan dua dunia yang tidak ada hubungan satu sama lain. Dunia-dunia tersebut masing-masing otonom. Tokoh-tokoh dalam tulisan fiksi itu merasa bingung di dunia mana mereka berada, dan apa tindakan mereka berikutnya di tengah dunia- dunia yang saling bertubrukan. Teknik pencampuradukan ini digunakan untuk menunjukkan sikap anti- modernisme. Tujuan para penulis modern adalah memperoleh makna tunggal. Sebaliknya, kaum postmodern ingin mengetahui bagaimana kenyataan-kenyataan yang amat berbeda, dapat berjalan dan saling bercampur. Seperti kebudayaan postmodern lainnya, tulisan-tulisan ini memusatkan perhatian kepada kefanaan dan kesementaraan. Mereka menolak konsep kebenaran kekal dari kaum modern. Tulisan fiksi ini sengaja mengarahkan fokus kepada kesementaraan agar para pembaca tidak lagi melihat dunia ini dari titik puncak yang tidak terbatas oleh waktu. Mereka ingin agar para pembaca menyaksikan sebuah dunia yang hampa, tanpa adanya hal-hal yang kekal dan selalu berada dalam gelombang kesementaraan. Dan perlukah kita berkata bahwa semakin jelas sang penulis menyatakan dirinya sendiri dalam teks-teks yang dia buat, secara paradoks juga makin tidak terelakan adanya kenyataan bahwa sang penulis tersebut, sebagai sebuah suara, hanyalah sebuah fungsi dari fiksinya sendiri, sebuah bangunan retorika, bukan seorang yang berotoritas tetapi justru menjadi obyek dan sasaran penafsiran pembaca?
David Lodge,"Mimesis and Diegesis in Modern Fiction," dalam The Post-Modern Reader, ed. Charles Jencks (New York: St. Martin's Press,1992), hal. 194-195. Kadang-kadang para penulis tersebut menciptakan efek serupa dengan memasukkan bahasa yang membongkar struktur pikiran yang sudah baku. Mereka juga menolak rasio sebagai hakim yang memutuskan apakah sebuah cerita mampu memaparkan kejadian nyata. Contoh umum dari fiksi modern adalah kisah detektif. Katakanlah cerita mengenai seorang detektif bernama Sherlock Holmes. Ia bertugas membongkar kebenaran-kebenaran yang tersembunyi. Kisah seperti ini hendak menunjukkan kekuatan rasio dan logika dalam memecahkan sebuah masalah atau misteri. Maka cerita ini merupakan sebuah cerita yang lengkap dan selesai. Contoh dari fiksi postmodern adalah kisah mata-mata. Meskipun terjadinya dalam dunia nyata, kisah demikian selalu mencampurkan dua macam dunia yang berbeda. Apa yang dianggap nyata, ternyata terbukti hanyalah khayalan. Ada suatu dunia lain di balik dunia nyata ini, yang lebih jahat namun lebih nyata daripada dunia nyata. Dengan mencampurkan dua macam dunia itu, kisah tersebut membuat pembaca merasa tidak tenang dan tidak nyaman. Apakah penampilan seseorang menunjukkan dirinya yang sesungguhnya? Manakah yang sebenarnya dan manakah yang tipuan? Kisah mata-mata mendorong kita mempertanyakan dunia kehidupan kita. Apakah kita juga hidup dalam dua macam dunia? Apakah orang-orang di sekitar kita benar-benar seperti penampilan mereka di hadapan kita? Apakah peristiwa-peristiwa di sekitar kita benar-benar seperti yang nampak di depan mata kita? Novel fiksi sains adalah salah satu bentuk sastra postmodern. Novel ini merupakan penolakan terhadap penelitian modern. Novel fiksi ini lebih suka mencari sesuatu yang baru, dan bukan menyibak misteri alam untuk menemukan rumus-rumus pasti. Novel ini mempertentangkan berbagai dunia dan realitas supaya nampak perbedaan dan pertentangan di antara mereka. Novel fiksi sains tersebut membuat kita bertanya-tanya mengenai dunia kita: Apakah realitas itu? Apa yang mungkin? Kekuatan apa yang sedang bekerja sekarang? POSTMODERNISME SEBUAH FENOMENA DALAM BUDAYA POP Kebanyakan dari kita berhubungan langsung postmodernisme melalui novel fiksi sains dan novel mata-mata. Keduanya sangat berpengaruh dalam budaya populer kita sekarang. Namun secara tidak sadar, kita telah terbuka kepada etos postmodern. Keterbukaan kepada etos postmodern melalui budaya pop adalah ciri khas postmodern. Ciri khas lainnya adalah tidak mau menempatkan "seni klasik tinggi" di atas budaya "pop." Postmodern unik karena ia menjangkau bukan kelas elite tetapi kelas masyarakat biasa, masyarakat yang terbiasa dengan budaya pop dan media massa. Hasil karya postmodern juga bermakna ganda. Mereka berbicara dengan sebuah bahasa dan menggunakan elemen-elemen yang dapat diterima oleh orang-orang awam ataupun seniman dan arsitek handal. Dengan cara demikian, postmodernisme berhasil menyatukan dua alam yang berbeda, yaitu profesional dan populer. PEMBUATAN FILM SEBAGAI DASAR PIJAKAN BUDAYA POSTMODERN Perkembangan teknologi membantu penyebaran postmodern ke dalam sisi- sisi penting dan budaya pop. Salah satu sisi terpenting adalah industri film. Teknologi pembuatan film sangat cocok dengan etos postmodern, yakni: film menggambarkan yang tidak ada menjadi seolah-olah ada. Sekilas lalu, film adalah sebuah cerita utuh yang ditampilkan oleh para aktor dan aktris. Kenyataannya, film adalah rekayasa teknologi dengan bantuan ahli-ahli spesialis dari berbagai bidang yang tidak jarang kelihatan dalam film. Adanya kesatuan dalam sebuah film sebenarnya adalah ilusi. Film berbeda dengan teater. Film tidak pernah berisi penampilan sekelompok aktor/aktris sekaligus secara utuh dan berkesinambungan. Apa yang penonton lihat "berkesinambungan" adalah semacam sisa dari berbagai adegan dalam proses pembuatan film itu sendiri, yang tidak saling berhubungan baik secara waktu maupun tempat. Alur cerita sebuah film hanyalah tipuan. Apa yang nampak "berhubungan" atau "berkesinambungan" sebenarnya hanyalah kumpulan adegan yang diambil pada waktu dan tempat yang berbeda-beda. Alur sebuah film yang kita lihat, ternyata tidak seperti demikian alurnya pada waktu film berada dalam proses pembuatan tersebut. Yang menyatukan adegan-adegan yang terpecah-pecah itu adalah seorang editor. Dialah yang menyambungkan adegan-adegan yang tidak ada hubungannya satu sama lain. Kadang-kadang peran yang sama belum tentu diperankan oleh satu aktor. Sutradara sering menggunakan peran pengganti (stunt-man) untuk adegan- adegan berbahaya. Kemajuan teknologi memungkinkan edit untuk menduplikasi wajah sang aktor sehingga wajahnya dalam film lama dapat diambil dan dimasukkan dalam film yang baru. Semuanya ini adalah hasil rekayasa komputer. Akhirnya, film yang kita tonton adalah produk kecanggihan teknologi. Tim-tim yang berbeda menggunakan fotografi dan metode lainnya untuk mengumpulkan bahan-bahan. Bahan-bahan ini digabungkan oleh editor untuk menghasilkan apa yang nampak sebagai "kesatuan" di depan mata penonton. Berbeda dengan teater, kesatuan dan kesinambungan sebuah film adalah jasa teknologi, dan bukan jasa aktor-aktornya. Karena kesatuan sebuah film terletak dalam teknik pembuatannya, maka sutradara dan editor mempunyai kebebasan untuk mengatur dan memanipulasi jalannya cerita dengan berbagai cara. Mereka dapat mencampurkan adegan-adegan yang tidak saling berhubungan tanpa harus mengorbankan kesatuan film itu. Pembuat film postmodern senang mengubah konsep tempat dan konsep waktu menjadi di sini dan kini selamanya. Usaha mereka dalam hal ini dipacu oleh banyaknya film yang telah diproduksi sebelumnya sehinga mereka mempunyai bahan untuk mencampurkannya. Misalnya: adegan Humphrey Bogart dalam film "The Last Action Hero" dan Groucho Marx dalam iklan Diet Pepsi. Kemajuan teknologi memungkinkan penggabungan keduanya, penggabungan "dunia nyata" dengan kenyataan lain. Contoh lain adalah penggabungan tokoh kartun dan tokoh manusia dalam film Who Framed Roger Rabbit?. Kemampuan seorang sutradara menggabungkan berbagai potongan menjadi sebuah film yang utuh, memungkinkannya untuk melenyapkan perbedaan antara kebenaran dan dongeng, kenyataan dan khayalan. Sutradara- sutradara postmodern menggunakan kesempatan ini untuk mewujudnyatakan etos postmodern. Misalnya, film-film postmodern membuat film fiksi dan fantasi seperti layaknya kejadian nyata (film Groundhog Day). Mereka menggabungkan kisah film fiksi dengan aspek dokumenter (film The Gods Must Be Crazy). Mereka mencampurkan sebagian catatan sejarah dengan spekulasi dan mencampurkan dunia-dunia yang tidak berhubungan yang dihuni oleh tokoh-tokoh yang tidak jelas majakah yang asli (film Blue Velvet). Hidup dalam era postmodern berarti hidup di dalam dunia yang menyerupai film. Sebuah dunia dimana kebenaran dan dongeng bercampur. Kita melihat dunia sama seperti kita melihat film, dan kita curiga apakah yang kita lihat hanyalah sebuah ilusi. Kita dapat memahami sesuatu dalam pikiran sang sutradara. Ia mengajak kita melihat sesuatu yang sering terabaikan/terlupakan dalam dunia yang film itu gambarkan. Sebaliknya ketika melihat dunia sebenarnya, kaum postmodern tidak lagi percaya adanya sebuah Pikiran di baliknya. TELEVISI DAN PENYEBARAN BUDAYA POSTMODERN Teknologi pembuatan film memberikan dasar pijakan untuk budaya pop postmodern. Namun televisi merupakan sarana yang lebih efisien untuk menyebarkan etos postmodern ke seluruh lapisan masyarakat. Dilihat dari satu sisi, televisi hanyalah saranan yang efektif untuk menantikan turunnya film dari bioskop ke televisi. Banyak program televisi yang isinya hanya film-film, mulai dari yang pendek sampai miniseri. Televisi adalah sebuah sarana yang digunakan oleh film-film untuk menyerbu kehidupan sehari-hari jutaan orang. Sejauh ini, televisi hanyalah perpanjangangan tangan dari industri film. Tetapi lepas dari hubungan dengan film, televisi memperlihatkan ciri khasnya sendiri. Dalam banyak hal, televisi jauh lebih fleksibel daripada film. Televisi melampaui film dengan menyajikan siaran langsung. Kamera televisi dapat menayangkan gambar kejadian langsung kepada pemirsa di seluruh belahan dunia. Kemampuan untuk menyiarkan secara langsung membuat orang percaya bahwa televisi menyajikan peristiwa aktual yang benar-benar terjadi, tanpa adanya penafsiran, edit, atau komentar. Karena inilah televisi telah menjadi kriteria untuk membedakan yang nyata dan tidak. Banyak pemirsa tidak menganggap penting banyak hal. Tetapi jika CNN, Sixty Minutes menayangkannya, mereka akan segera merasa hal tersebut penting. Segala sesuatu tidak penting jika tidak ditayangkan televisi. Televisi mampu menayangkan fakta secara langsung dan mampu menyebutkan produksi-produksi film. Kemampuan ganda demikian membuat televisi memiliki kekuatan yang unik. Ia mampu mencampurkan "kebenaran" (apa yang orang banyak anggap sebagai kejadian nyata) dengan "fiksi" (apa yang orang banyak anggap sebagai khayalan yang tidak pernah terjadi dalam kenyataan). Film tidak dapat melakukan ini. Televisi masa kini melakukan hal tersebut terus-menerus. Ketika ada siaran langsung, di tengah-tengah siaran itu selalu diputus oleh "pesan dari sponsor." Televisi melampaui film untuk mewujudkan etos postmodern. Televisi komersil menyajikan berbagai gambar kepada permirsa. Berita sore akan menghantam penonton dengan gambar-gambar yang tidak saling berhubungan: perang di suatu daerah terpencil, pembunuhan di dekat rumah, ucapan dari seorang politikus, skandal seks terbaru, penemuan ilmiah baru, berita olahraga. Campuran-campuran ini disisipkan dengan iklan baterai yang tahan lama, sabun mandi yang lebih bersih, makan pagi yang lebih sehat, dan liburan yang lebih menyenangkan. Dengan menampilkan berbagai gambar tersebut (berita dan iklan), televisi menciptakan kesan bahwa berita dan iklan sama pentingnya. Siaran berita diikuti oleh program-program utama yang terlalu banyak untuk menarik dan membuat pemirsa bertahan. Maka isi program-program tersebut adalah film laga, skandal, kekerasan, dan seks. Drama-drama malam hari mempunyai bobot yang sama dengan berita sebelumnya. Dengan cara ini, televisi melenyapkan perbedaan antara kebenaran dan fiksi, antara peristiwa yang benar-benar memilukan hati dan peristiwa sepele. Ini terjadi bukan hanya pada satu saluran televisi, tetapi berpuluh bahkan ratusan saluran yang berbeda-beda. Hanya dengan sebuah remote control di tangan, seseorang dapat memilih apa pun yang ia suka, mulai dari berita terbaru, pertandingan tinju, laporan ekonomi, film kuno, laporan cuaca, film komedi, film dokumenter, dan sebagainya. Dengan menawarkan begitu banyak campuran gambar, secara tidak sengaja televisi menyejajarkan hal-hal yang tidak saling cocok. Televisi membutuhkan kejelasan waktu dan tempat. Televisi mencampuradukkan masa lalu dan masa kini, yang jauh dan yang dekat, segala sesuatunya di- bawa menjadi kini dan di sini, di hadapan pemirsa televisi. Dengan cara ini, televisi memperlihatkan dua ciri khas postmodern: menghapus batas antara masa lalu dan masa kini; dan menempatkan pemirsa dalam ketegangan terus-menerus. Banyak pengamat sosial menganggap televisi sebagai cermin dari kondisi psikologis dan budaya postmodern. Televisi menyajikan begitu banyak gambar yang tidak berhubungan dengan realitas, gambar-gambar yang saling berinteraksi terus-menerus tanpa henti. Film dan televisi telah di persatukan oleh sebuah alat yang lebih baru - komputer pribadi.
Munculnya "monitor" - layar bioskop, layar kaca televisi ataupun monitor computer, melenyapkan perbedaan antara diri sebagai subjek dan dunia sebagai objek. "Monitor" bukan sekadar objek di luar diri kita yang kita sedang lihat. Yang terjadi dalam monitor bukan sesuatu kejadian di luar sana dan diri kita di sini. "Monitor" membawa kita ke dunia luar sama seperti dunia luar masuk ke dalam diri kita. Yang terjadi dalam televisi merupakan manifestasi diri kita, yang terjadi dalam diri kita adalah penjelmaan televisi. Televisi telah menjadi sebuah wujud nyata dari jiwa kita. Hidup dalam era postmodern berarti hidup dalam dunia yang dipenuhi oleh berbagai gambar yang bercampur-aduk. Dunia televisi memecahkan gambar-gambar menjadi potongan-potongan dan kaum postmodern tetap yakin bahwa itu hanyalah campuran gambar-gambar. WUJUD-WUJUD LAIN POSTMOERNISME DALAM BUDAYA POP Film telah menyajikan budaya postmodern, dan televisi menyebarkannya , tetapi musik rock merupakan ciri yang paling khas dari budaya pop postmodern. Lirik lagu-lagu rock mencerminkan semboyan postmodern. Hubungan antara music rock dan budaya postmodern lebih mendalam lagi. Musik rock memiliki ciri utama dari postmodern, yaitu: fokus kepada global dan lokal. Musik rock kontemporer mendapatkan banyak penggemar dan mampu menyatukan seluruh dunia. Tentunya kita ingat dengan tokoh-tokoh musik rock yang melakukan tur keliling dunia. Pada saat yang sama, musik rock mempertahankan selera lokal. Dalam penampilan grup-grup rock yang besar maupun yang kecil (tidak terkenal), musik rock memperlihatkan pluralitas gaya yang diambil dari gaya musik setempat (lokal dan etnis tertentu). Yang tidak kalah penting, musik rock juga menggunakan sarana produksi elektronik sebagaimana televisi dan film. Dimensi penting dari budaya rock adalah penampilan langsung dari bintang-bintangnya. Konser musik rock tidak seperti konser tradisional dimana sang penyanyi berusaha berkomunikasi secara akrab dengan penonton. Yang terjadi dalam konser musik rock adalah "kedekatan massal yang dibuat-buat." Konser rock kini merupakan peristiwa massal, melibatkan puluhan ribu penggemar. Kebanyakan penggemar tidak dapat melihat penampilan sang bintang dari dekat. Namun mereka masih berusaha mengalami pengalaman tersebut. Penampilan tersebut diperlihatkan kepada mereka melalui banyak layar video yang menyorot wajah sang bintang dari dekat. Tehnik ini menciptakan jarak antara sang bintang dan penonton. Penggemar kelompok rock Jubilant merasa dekat dengan idola mereka sekalipun hanya lewat layar televisi. Teknologi mengubah kedekatan dalam sebuah pertunjukkan langsung menjadi kumpulan ribuan penggemar yang menonton layar video bersama-sama sementara mereka diserbu dengan berbagai-bagai efek cahaya, suara dan sebagainya. Teknologi melenyapkan perbedaan antara penampilan aslinya dan tayangannya di televisi. Teknologi melenyapkan perbedaan antara penampilan langsung dan duplikasinya dalam musik. Penampilan langsung bukan lagi realitas yang terdapat dalam konteks khusus. Ia adalah campuran antara apa yang sang bintang tampilkan dan apa yang teknologi hasilkan. Penampilan itu dibungkus dalam kemasan teknologi setelah itu baru disajikan kepada para penggemar. Wujud etos postmodern yang lebih sederhana adalah cara berpakaian. Model pakaian postmodern mempunyai kecenderungan yang mirip dengan budaya pop lainnya. Kita melihat ditonjolkannya merek dan label produk. Ini melenyapkan perbedaan antara pakaian dan iklan pakaian. Wajah postmodern nampak dalam "bricolage." Berbeda dengan pola pakaian tradisional yang menyatukan berbagai corak secara harmonis, gaya postmodern sengaja menggabungkan elemen-elemen yang bertentangan, misalnya: pakaian dan aksesoris dari 10, 20, 30 dan 40 tahun lalu dipakai bersama-sama. Percampuran yang bertentangan tersebut dimaksudkan sebagai sebuah ironi atau ejekan terhadap model pakaian modern, bahkan terhadap seluruh industri pakaian modern. Dari musik rock ke turisme ke televisi sampai ke bidang pendidikan, yang dipromosikan oleh iklan dan yang dicari oleh konsumen bukan lagi barang-barang, tetapi pengalaman.
Budaya pop zaman kita mempunyai dua ciri khas postmodern: pluralisme dan anti-rasionalisme. Seperti nyata dari cara mereka berpakaian dan musik yang mereka dengar, kaum postmodern tidak lagi percaya kalau dunia mereka mempunyai sebuah fokus. mereka tidak lagi percaya bahwa rasio manusia dapat menangkap struktur logika alam semesta. Mereka hidup dalam dunia yang tidak membedakan antara kebenaran dan dongeng. Akibatnya mereka menjadi pengumpul bermacam-macam pengalaman, gudang yang brisi berbagai hal sementara, jembatan yang dilintasi bermacam-macam gambar, dan dihujani dengan aneka ragam media dalam masyarakat postmodern. Postmodernisme memiliki asumsi yang bermacam-macam. Ini terbukti dari berbagai sikap dan ekspresi mereka dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan tersebut, kita menemukan bermacam-macam orang dalam masyarakat. Ekpresinya bervariasi dari cara berpakaian sampai televisi, termasuk musik dan film di dalamnya. Postmodernisme menjelma dalam beraneka ragam ekspresi budaya, termasuk arsitektur, seni, dan sastra. Lebih dari segalanya, postmodernisme adalah sebuah pemandangan intelektual. Postmodernisme menolak gambaran mengenai seorang pemikir tunggal yang dilahirkan oleh Pencerahan. Postmodern mengejek mereka yang merasa yakin dapat melihat dunia dari suatu titik puncak seolah-olah mereka dapat berbicara demi kepentingan seluruh umat manusia. Postmodernisme telah menggantikan cita-cita pencerahan tersebut dengan keyakinan baru, yaitu: semua pernyataan mengenai kebenaran dan kebenaran itu sendiri terbatas oleh kondisi sosial.
Sumber:
Natal: Nubuat yang Digenapkan
Editorial:
Dear e-Reformed netters, Sebuah artikel yang saya ambil dari Situs REFORMED MOVEMENT di alamat: http://www.geocities.com/reformed_movement/artikel/natal02.html sangat cocok kita renungkan untuk menyambut datangnya Natal. Selamat membaca dan merenungkan, In His grace,
Edisi:
011/XI/2000
Isi:
Natal: Nubuat yang DigenapkanDavid Martyn Llyod-Jones (1899-1981) adalah pengkotbah eksposisi sistematis di Westminster Chapel, London. Khotbah Eksposisinya tentang Efesus (8 vol.), Roma 3-8 (6 vol) telah diterbitkan. Artikel ini disadur dari bukunya 2 Peter terbitan The Banner of Truth Trust. "Dengan demikian kami makin diteguhkan oleh firman yang telah disampaikan oleh para nabi. Alangkah baiknya kalau kamu memperhatikannya sama seperti memperhatikan pelita yang bercahaya di tempat yang gelap sampai fajar menyingsing dan bintang timur terbit bersinar di dalam hatimu." 2 Petrus 1:19. Di sini rasul Petrus sedang memberikan apologetikanya. Ia sedang menghibur umat yang dalam kesusahan dan banyak kesukaran. Rasul Petrus mengingatkan mereka tentang ajaran-ajaran inti dan paling penting dari iman Kristen. Ia sedang melawan suatu pertanyaan. Pertanyaan ini ditanyakan oleh orang-orang pada abad pertama dan hingga kini masih tetap ditanyakan. Pertanyaan itu adalah: "Bagaimana kita dapat mengetahui bahwa kedatangan Tuhan Yesus Kristus sebagai raja adalah benar? Apa dasar atau alasan yang kita miliki sehingga membuat kita bisa yakin, memercayai dan menerima hal-hal ini?" Rasul Petrus memberikan serangkaian jawaban terhadap pertanyaan tersebut dalam ayat 2 Ptr 1:16-18. Pertama, adalah bahwa kami tidak mengikuti dongeng-dongeng isapan jempol manusia, tetapi bukti dan kesaksian rasuli. Rasul Petrus berkata, "Apa yang telah kami lihat dan dengar... ketika kami bersama-sama dengan-Nya di atas gunung yang kudus." Ada bukti dan kesaksian rasuli terhadap kehidupan dan mukjizat Kristus, dan khususnya apa yang terjadi di Gunung di mana Tuhan Yesus dimuliakan. Kedua, unsur penting lain dalam keyakinan kita, yakni, fakta pewahyuan, penginspirasian Alkitab (2 Ptr 1:20-21). Petrus secara khusus mengingatkan orang-orang ini tentang natur umum nubuat dan Alkitab, yakni, Allah berbicara. Alkitab bukanlah gagasan dari pikiran dan imajinasi manusia, tetapi semuanya adalah hasil dari intervensi Allah, di mana Allah yang penuh kemurahan menyatakan dan memanifestasi kan Diri-Nya kepada kita. Akan tetapi, itu belum semua; karena perlu memertimbangkan: "kami makin diteguhkan oleh firman yang telah disampaikan oleh para nabi." atau "kita juga memiliki suatu kata nubuat membuat kita lebih yakin". Ini menjadi suatu sumber dari penghiburan. Jika rasul Petrus hanya berkata bahwa nubuat itu lebih meyakinkan daripada dongeng-dongeng yang licik, ia tidak akan menegakkan sesuatu. Karena untuk menunjukkan bahwa sesuatu itu lebih baik daripada yang tidak ada, sesungguhnya sama sekali tidak perlu dipuji. Hal itu hanyalah seharusnya saja. Selanjutnya, apakah rasul Petrus berkata bahwa kata nubuatan adalah lebih meyakinkan daripada kesaksian dan bukti rasuli? Meskipun banyak ekspositor yang setuju, tetapi bagi saya ini bukanlah penjelasan yang benar dari kata-kata ini, karena ada suatu pengertian bahwa tidak ada yang lebih besar dan penuh daripada yang mereka telah lihat di gunung, di mana Tuhan Yesus dimuliakan. Di sana mereka melihat Anak Allah itu berubah bentuk, sungguh-sungguh mendengar langsung suara dari surga yang merupakan sesuatu yang tidak bisa dibandingkan bahkan dengan suara yang sama yang berbicara melalui para nabi, yang diinspirasikan. Akan tetapi, bagi saya yang membuat semua pendapat itu tidak dapat diterima adalah kalimat yang Petrus katakan "kami juga memiliki". Dengan perkataan lain, rasul Petrus tidak hanya-menunjuk kepada orang-orang lain, tetapi termasuk dirinya sendiri, dan ia berkata "kami", "para rasul" memiliki satu kata nubuatan yang lebih meyakinkan. Hanya ada satu dan satu-satunya penjelasan yang memadai dari kata-kata ini. Rasul Petrus tidak sedang membandingkan perkataan nubuat ini dengan apa yang telah ia jelaskan. Sebenamya ia sedang membandingkan perkataan nubuat yang diberikan pada zaman dulu kepada umat yang hidup pada waktu itu, dengan perkataan nubuat yang sama pada zamannya di mana banyak nubuat yang telah terjadi. Hal ini membuat perkataan nubuat itu makin diyakini. Ini berarti bahwa perkataan nubuat itu lebih meyakinkan dibandingkan yang lain karena penggenapannya dan karena fakta-faktanya. Dengan demikian, rasul Petrus berkata bahwa ada fondasi-fondasi di mana kita berdiri dan mendasarkan segala sesuatu yang lain. Para nabi berbicara tentang hal-hal yang pasti akan terjadi. Bagi para nabi dan segenap umat yang kepadanya para nabi itu berbicara adalah suatu hal yang sangat menakjubkan dan ajaib. Akan tetapi, ketika kami memerhatikan dan merenungkan segala hal-hal itu jelas tetap akan lebih menakjubkan. Itulah argumentasi yang sering digunakan dalam Perjanjian Baru (bandingkan Ibrani 11). Tidak ada cara yang lebih menguntungkan selain cara yang diberikan Petrus di sini yaitu ketika kita merenungkan kelahiran Anak Allah dan kedatangan-Nya di dalam dunia, dengan cara kita merenungkannya dalam terang penggenapan dari nubuatannya. Rasul Petrus berpendapat ini cara yang paling menguatkan iman. Sesungguhnya ketika kita mempertimbangkan bukti dan kesaksian rasul, kita tidak lagi ragu-ragu. Akan tetapi, lebih itu di dalam pengertian Perjanjian Baru segala sesuatu yang berhubungan dengan Natal dihubungkan langsung dengan penggenapan, yang sempurna tentang nubatan-nubuatan. Sebab inilah yang akan memberikan kita keyakinan yang tidak dapat digoyahkan ketika kita berada di dalam hari gelap dan sukar. Saya akan menyatakan ini dalam bentuk beberapa proposisi. Pertama, Kristus dan kelahiran-Nya itu menggenapkan nubuat Perjanjian Lama. "Dengan demikian kami makin diteguhkan oleh firman yang telah disampaikan oleh para nabi." Dengan perkataan lain, kita mempunyai hak untuk mengatakan bahwa Perjanjian Lama dapat dimengerti sungguh-sungguh hanya di dalam Yesus Kristus. Inilah cara yang benar untuk membaca Perjanjian Lama; dengan sedapat mungkin memahaminya sebagai suatu kitab janji, sebuah kitab bayang-bayang, sebuah kitab contoh/type. Tetapi kejadian-kejadian yang dicatat di dalam Perjanjian Lama merupakan tindakan-tindakan yang tidak diragukan di dalam diri mereka sendiri dan mempunyai kepentingan serta signifikansi mereka sendiri. Seluruh Perjanjian Lama merupakan buku bayangan dan pengharapan, mencari, menunggu dan memperhatikan sesuatu. Sekarang kalimat agung yang diucapkan oleh rasul Petrus, yakni, kedatangan Kristus ke dalam dunia adalah menggenapkan segala sesuatu dan setiap hal yang telah dikatakan di Perjanjian Lama. Saudara tentu ingat bagaimana rasul Paulus meletakkan hal yang sama di dalam bahasa dan caranya sendiri ketika ia berkata, "Sebab Kristus adalah "ya" bagi semua janji Allah. Itulah sebabnya oleh Dia kita mengatakan "Amin" untuk memuliakan Allah." Ada janji- janji di Perjanjian Lama, di dalam Kristus ada jawaban "ya" , "amin" membenarkan penggenapan segala sesuatu yang Allah telah katakan melalui para nabi-Nya di dalam Perjanjian Lama itu. Ini merupakan salah satu kunci utama untuk mengerti Alkitab yang sekali lagi mendemonstrasikan kesatuan yang menakjubkan dan ajaib dari Alkitab. Kristus adalah pusat dari Alkitab; setiap bagian dari Perjanjian Lama melihat ke depan kepada-Nya, segala sesuatu di dalam Perjanjian Baru melihat ke belakang kepada-Nya. Kristus adalah pusat dari sejarah. Kristus adalah titik api dari seluruh pergerakan umat manusia mulai dari penciptaan hingga akhir zaman. Saudara dapat mengumpulkan semua janji Allah sekaligus di dalam Kristus, di dalam Pribadi-Nya. Akan tetapi, perhatikan momen penggenapan itu secara terperinci; karena ini sekali lagi merupakan suatu yang sungguh-sungguh sangat mengherankan dan ajaib. Kita juga tidak dapat melakukan suatu lebih baik selain mendekati Natal dengan mengingatkan diri kita sendiri akan natur penggenapan au secara sangat detail. Bahkan jika hanya satu kalimat umum saja yang berkorespondensi dengan Perjanjian Baru itu akan menjadi sangat mengagumkan. Tetapi di sini ada penggenapan secara detail yang hanya dapat dijelaskan dengan dipandang dari fakta bahwa orang yang menulis nubuatan-nubuatan ini menulis dengan diinspirasikan oleh Allah. Ini merupakan bukti lebih lanjut dari pernyataan bahwa nubuat-nubuat Kitab Suci itu tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, karena nubuat-nubuat masa lalu itu bukan datang dari kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah. Sekarang marilah kita secara cepat dan sepintas meninjau penggenapan detail ini. Detail-detail penggenapan ini adalah nilai yang agung. Perhatikan! Bayi yang dilahirkan di Betlehem itu termasuk suku apa? Jawabannya adalah dari suku Yehuda. Dari keturunan siapa di dalam suku Yehuda itu? Dari keturunan Daud. Kita berbalik ke belakang ke seribu tahun sebelum Natal pertama, bahkan sebelum itu, janji itu telah diberikan bahwa Kristus akan dari suku Yehuda dan dari keturunan Daud. Ketika Bayi itu lahir di Betlehem merupakan verifikasi dari janji itu. Kapan kedatangan-Nya yang pertama itu terjadi? Ini adalah suatu hal yang sangat menarik dan penting jika Saudara mendekati kelahiran Kristus itu hanya melalui sudut pandang filsafat sejarah. Ketika Anak Allah, Sang Mesias, itu datang secara umum disetujui bahwa itu merupakan kemungkinan paling kecil untuk Ia datang. Sebab, sesungguhnya waktu itu adalah waktu tampaknya tongkat kerajaan akan pindah dari suku Yehuda. Namun, tepat apa yang telah dinubuatkan ratusan tahun sebelumnya, ketika tongkat kerajaan tampaknya lepas dari tangan suku Yehuda pada hari-hari yang akan datang, maka saat itu Raja dan Pemerintah yang sesungguhnya datang. Jika membaca sejarah kontemporer Saudara akan menemukan bahwa ini merupakan pandangan orang-orang Israel ketika Tuhan kita lahir. Dipandang dari segi nubuat nabi Daniel (Daniel 9) dengan nubuatan tentang 70 minggu, maka di sana. Saudara akan menemukan kembali secara terperinci sekali, keadaan sebelum waktu kedatanganNya secara tepat. Proses yang luar biasa ini, ketepatan ini, dan nubuat yang disampaikan oleh nabi yang terperinci sekah ini merupakan suatu yang sangat mengherankan. Kemudian mengenai ibu-Nya. Saudara akan ingat nubuat yang mengatakan bahwa seorang perempuan muda akan melahirkan seorang anak. Saya tahu bahwa nubuat ini segera dan paling langsung berhubungan dengan suatu peristiwa yang terjadi dalam sejarah pada saat itu. Namun, tidak dapat membatasi hanya dalam hal itu saja. Ada suatu elemen ganda, fakta yang segera dan suatu penggenapan tersendiri "seorang anak dara akan melahirkan seorang anak". Juga mengenai tempat kelahiran-Nya. Saudara ingat bagaimana tempat itu telah diberikan oleh nabi Mikha; bahwa Ia harus dilahirkan di Betlehem. Saudara akan ingat kunjungan orang majus kepada Herodes ketika sudah genap waktunya Tuhan kita lahir. Karena Herodes tidak mengerti apa yang mereka laporkan maka ia berkonsultasi dengan para imam kepala dan ahli Taurat. Mereka memberikan jawaban bahwa Kristus harus lahir di Betlehem, tanah Yehuda, karena demikianlah ada tertulis kitab nabi. Sekarang ketika melihat Perjanjian Lama, kita melihat secara konstan dibentangkan kepada kita hal-hal yang luar ini - bagaimana Allah memberikan kepada seseorang suatu fakta, kepada orang fakta yang lain. Hanya Mikha yang menyebutkan Betlehem. Allah memberikan kepada Mikha untuk menubuatkan fakta dan detail khusus yaitu tempat kelahiran-Nya. Sekarang marilah kita memikirkan tentang perkataan-perkataan Tuhan Yesus sendiri. Jika Saudara membaca Yesaya 61, Saudara akan menemukan di sana bahwa nabi Yesaya menubuatkan bahwa Mesias akan mengucapkan kata-kata dan melakukan hal-hal tertentu. Pikirkanlah bahwa kejadian di rumah ibadat di Nazaret ketika Tuhan kita masuk ke rumah ibadat menurut kebiasaan- Nya. Kepada-Nya diberikan kitab suci untuk dibaca. Ia membaca dari Yesaya 61, dan setelah membaca, Ia berkata, "Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya." Setiap perkataan-Nya, metode berbicara-Nya, cara mengajar-Nya, semua tindakannya ini telah dinubuatkan secara detail. Sekarang kita juga berpikir tentang karya-karya dan mukjizat-mukjizat-Nya. Kita membaca dalam Yesaya 35, bagaimana Ia mencelikkan mata orang-orang buta dan membuka telinga-telinga orang tuli, dan orang lumpuh akan melompat seperti rusa, dan orang bisu akan bersorak-sorai. Kemudian kita sampai ke Perjanjian Baru dan kita membaca laporan tentang hal-hal yang dikerjakan-Nya. Ingatlah! Yohanes Pembaptis di masa kesukarannya di penjara mengirim dua orang muridnya kepada Yesus untuk bertanya, "Engkaukah yang akan datang itu?". Tuhan Yesus berkata kedua orang ini, "Pergilah dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu dengar dan kamu lihat; orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang tuli mendengar," dst. Di sini Yohanes diingatkan kembali kepada Yesaya 35. Tidak hanya itu, Saudara ingat Yesaya 53 tentang nubuat Hamba Tuhan yang memikul sakit-penyakit kita, dan ingat bagaimana Matius di dalam melukiskan mukjizat penyembuhan yang dilakukan Tuhan kita dengan mengacu kepada nubuat itu, bahwa Ia akan memikul sakit-penyakit kita. Ia memasuki Yerusalem dengan cara yang bagaimanapun telah dinubuatkan oleh nabi Zakharia, yaitu, mengendarai seekor keledai, seekor keledai beban yang muda. Ini terjadi ketika ia memasuki Yerusalem dengan kemenangan. Ia akan dijual karena 30 keping perak pun telah dinubuatkan. Penderitaan-Nya dideskripsikan secara detail, tidak hanya di dalam Yesaya 53 tetapi juga khususnya pada Mazmur 22 - bagaimana fakta bahwa tangan dan kaki-Nya ditusuk telah dinubuatkan - bagaimana setiap hal telah dinubuatkan secara detail. Semua nubuat ini telah dinubuatkan ratusan tahun sebelum semua nubuat itu terjadi. Fakta bahwa Ia akan dikubur di tempat khusus, kuburan milik orang kaya telah dinubuatkan. Memang ketika wafat, Ia dikuburkan dalam kuburan Yusuf Arimatea. Baik kebangkitan maupun hari Pentakosta telah dinubuatkan juga. Saudara ingat bagaimana setelah kenaikan-Nya Ia mengirim Roh Kudus sesuai dengan janji-Nya, dan ketika orang-orang bingung dan mulai bertanya, apakah artinya ini? Rasul Petrus menjawab, "Itulah yang difirmankan Allah dengan perantaraan nabi Yoel." Segala contoh ini, dan masih banyak contoh lain, menunjukkan bagaimana, secara detail, Tuhan Yesus melalui kedatangan-Nya, dan melalui segala yang dikerjakan dan dikatakan, telah membuat segala nubuat itu lebih meyakinkan. Semua penggenapan ini menakjubkan di dalam detailnya, tetapi juga memperlihatkan kemuliaan secara utuh. Saat kedatangan Kristus, kelahiran-Nya, Hidup-Nya dan segala tindakan-Nya di bumi menunjukkan Allah memelihara firman telah disampaikan-Nya kepada orang-orang dalam masa Perjanjian Lama. Orang yang membaca Alkitab matanya akan terbuka melihat kemuliaan kitab suci yang unik Beberapa dari umat itu berteriak di masa kesesakan mereka, "Berapa lama lagi Tuhan Engkau lupa untuk bermurah hati?" Kami membaca janji-janji yang diberikan, tetapi melihat situasi demikian berlawanan. Apakah Allah lupa, apakah Ia lupa bermurah hati dan lupa akan janji-janji- Nya itu? Ketika bayi itu lahir di kandang di Betlehem, keputusan agung yang dibuat sini- Allah telah memelihara firman-Nya. Allah telah membuktikan bahwa janji-Nya adalah benar. Segala sesuatu yang Allah pernah janjikan digenapi di sini. Ini adalah deklarasi yang agung tentang ketidakberubahan Allah dalam rencana-Nya. Firman Allah itu pasti, mutlak dan kekal. Saya akan coba menunjukkan kemuliaan semuanya ini dengan cara ini. Kita melihat bahwa Allah telah menggenapi semua janji-janji yang pernah Ia berikan kepada manusia yang berkenaan dengan keselamatan manusia. Alkitab adalah sejarah manusia di dalam hubungannya dengan Allah, sehingga kita dapat mendeskripsikan Alkitab sebagai sejarah keselamatan. Ini adalah sejarah dari seluruh umat manusia dari awal hingga akhir. Allah menciptakan manusia itu sempurna, sehingga manusia memiliki persekutuan yang sempurna dengan Allah. Tetapi dosa masuk sehingga persekutuan itu hancur. Manusia membuat dirinya sendiri ada di bawah murka Allah dan menderita. Apa yang akan terjadi pada manusia? Di sini Alkitab datang dengan beritanya yang agung. Segera sesudah kejatuhan itu, Allah mulai membuat janji-janji dan semua janji itu berkenaan dengan manusia dan keselamatannya. Sekarang, mulai dari kelahiran Kristus, segala janji-janji itu terlaksana dan tergenapi. Jadi sejak semula, ketika manusia itu jatuh, Allah menerangi kegelapan itu dengan memberikan suatu janji yang sangat berharga. Manusia jatuh karena ditipu oleh ular, tetapi suatu saat Allah di dalam anugerah-Nya yang tidak terbatas itu memberikan suatu janji, bahwa "keturunan perempuan ini akan meremukkan kepala dari ular." Hal ini dikatakan sekitar 4000 tahun sebelum kelahiran Kristus. Janji ini merupakan janji Allah yang pertama, janji yang orisinil. Ketika Bayi itu lahir di Betlehem janji itu dilaksanakan - benih perempuan itu telah datang dan Ia telah bertindak menghancurkan kepala dari ular itu. Salah satu janji agung yang lain adalah ketika kita ingat di dalam Kis.3 , bagaimana Musa berkata, "Tuhan Allah akan membangkitkan bagimu seorang nabi dari antara saudara-saudaramu, sama seperti aku." Orang-orang pada masa Perjanjian Lama menyebutnya sebagai "kedatangan Nabi". Inilah yang dimaksud Yohanes Pembaptis ketika ia bertanya, "Engkaukah yang akan datang itu?" Mereka sedang menunggu Nabi itu, Pemimpin itu, mereka menunggu seseorang yang lebih besar daripada Musa yang melepaskan mereka dari Mesir, yang akan memimpin mereka lepas dari perbudakan dosa dan perhambaan kesalahan. Di dalam Bayi Betlehem itulah kalian mendapatkan Seorang yang dirindukan dan diharapkan yang juga adalah Nabi, Guru dan Pemimpin umat. Dengan cara yang sama diberikan janji bahwa korban persembahan suatu hari akan cukup untuk menutup segala dosa. Di dalam periode Perjanjian Lama banyak tertulis tentang persembahan-persembahan dan korban-korban, mengenai darah lembu jantan dan domba jantan, mengenai korban anak domba dsb. Namun, itu semuanya bersifat sementara. Seperti yang dikatakan penulis surat Ibrani, "Sebab tidak mungkin darah lembu jantan atau darah domba jantan menghapuskan dosa." Diperlukan korban yang agung, yang sungguh-sungguh berhasil dan yang memuaskan hati Allah. Hal ini terus berlangsung dalam Perjanjian Lama. "Orang ini" telah mempersembahkan Diri-Nya sendiri satu kali untuk selamanya dan yang sempurna. Perjanjian Lama juga menubuatkan bahwa seorang Imam Besar yang agung akan datang untuk mewakili kita dan memuliakan kita di hadapan Allah. Saudara ingat bahwa Harun diizinkan masuk ke ruangan "mahakudus" satu kali setahun, dan ia masuk dalam keadaan takut dan gentar. Tetapi Dia adalah merupakan Imam Besar yang sempurna, yang mengerti kelemahan kita, namun tidak berdosa. Dia telah masuk ke dalam ruang yang mahakudus dengan suatu persembahan dan korban, yakni darah-Nya sendiri. Ia mewakili kita selama-lamanya dan terus menerus melayani, sehingga Ia dapat menyelamatkan semua orang yang datang kepada Allah melalui Dia. Ada suatu janji tentang Perjanjian baru. Allah membuat suatu perjanjian dengan manusia melalui Musa. Ini adalah suatu perjanjian hukum yang tidak dapat diperlihara oleh siapa pun. Akan tetapi, Allah juga berkata melalui nabi Yeremia, "Aku akan membuat perjanjian yang baru dengan kamu", bukan seperti perjanjian yang lama, yang menggunakan hukum-hukum yang di luar, tetapi Aku akan menulis hukum itu dalam hati dan batinmu, yakni suatu perjanjian yang baru. Nabi mana yang dapat menjadi pengantara perjanjian yang demikian? Tidak ada satu manusiapun yang layak; bahkan malaikatpun tidak memadai. Akan tetapi, di sini, Bayi Betlehem itu adalah pengantara dari Perjanjian yang baru, seseorang yang dapat memberikan Roh Kudus dan yang akan meletakkan hukum Allah itu ke dalam batin dan hati serta memberikan hidup kepada kita. Ia akan mengangkat hati yang membatu dan memberikan kita hati yang baru yang dengan hati itu kita dapat mengasihi Dia. Akan tetapi, di atas itu semua, ada suatu janji tentang datangnya suatu kerajaan. Melalui Perjanjian Lama gagasan tentang seorang raja yang akan datang dan memerintah, yang akan menaklukan semua musuh dari umat serta menegakkan suatu kerajaan kebenaran dan damai sejahtera. Di mana Oknum yang demikian dapat ditemukan? Ia hanya dapat ditemukan di satu tempat. Ia adalah Bayi yang ada di palungan di Betlehem, yang adalah Raja segala raja dan Tuhan segala tuan. Karena itu orang Majus datang dan bersembah sujud serta memberikan persembahan mereka. Ia telah menaklukkan semua musuh, Setan, kematian dan neraka. Segala hal yang jahat telah dikalahkan - Ia adalah Raja universal, Yang Mahakuasa, dan Ia akan memerintah dari kutub ke kutub dan kerajaan-Nya tidak akan berakhir. Anak Allah, Raja yang kekal. Dengan demikian Saudara lihat bahwa Allah telah menggenapi, telah menyelesaikan segala janji-Nya. Akhir kata, apa yang saya simpulkan dari kata nubuat yang makin meneguhkan kita ini? Ada beberapa kesimpulan yang jelas dan tidak dapat ditolak. Keselamatan jelas hanya ada di dalam Kristus dan hanya di dalam Kristus. Kristus telah menggenapi semua janji itu. Di dalam Dialah Allah menyelamatkan umat manusia. Allah berjanji untuk menyelamatkan manusia. Kristus adalah penggenap segala janji. Tidak ada juru selamat yang lain, dan tidak ada jalan yang lain seperti yang dikatakan rasul Petrus (Kis 4:12). Bayi Betlehem itu menggenapkan segala janji itu. Ia satu-satunya Juru Selamat, satu-satunya jalan kepada Allah, satu-satu pengharapan akan pelepasan. Ia adalah Nabi, Ia adalah Imam, dan Ia adalah Raja. Kedua kita menyimpulkan bahwa seperti halnya kedatangan-Nya dan segala yang. telah dilakukan dan dikatakan-Nya merupakan penggenapan dari semua yang telah dijanjikan oleh Allah, sehingga fakta itu sendiri telah memberikan suatu jaminan yang pasti bahwa segala sesuatu yang lain yang telah dijanjikan akan digenapi-Nya juga. Segala sesuatu yang telah dinubuatkan, diberitahukan lebih dulu, dijanjikan berkenaan dengan kedatangan-Nya yang pertama telah dilaksanakan secara tepat. Tetapi yang akan datang ada sesuatu yang lebih. Petrus sedang berbicara mengenai kedatangan-Nya yang kedua; dan meskipun kedatangan-Nya yang kedua aneh bagi kita saat ini sama seperti kedatangan-Nya yang pertama bagi orang-orang Perjanjian Lama, mari kita mengerjakan logika yang tidak dapat ditolak ini. Meskipun mereka tidak mengharapkan Dia, Ia tetap datang; meskipun banyak menertawakan gagasan itu, tidak menyiapkan Kedatangan-Nya; dan meskipun hal-hal ini tampak sebagai hal yang tidak mungkin bagi kita, apa yang telah terjadi merupakan bukti bahwa semua janji itu akan tiba juga. Terakhir, mengenai penghiburan, kemuliaan dan sukacita. Karena inkarnasi Kristus dan segala sesuatu yang mengikuti meneguhkan nubuat. Ini memberitahukan saya bahwa Allah memelihara Firman-Nya dan melaksanakan rencana, janji dan maksud-Nya sendiri secara penuh di atas bumi. Maka saya mengambil kesimpulan bahwa, Firman Allah merupakan sesuatu yang terus dapat saya percaya. Firman Allah merupakan "janji-janji yang berharga dan yang sangat besar". Janji-janji yang diberikan kepadamu tatkala sakit, kehilangan, menjadi janda, yatim-piatu, menghadapi masalah, berduka-cita atau setiap kondisi yang mungkin terjadi dalam hidup anda dan saya itu dapat diselesaikan dengan janji-janji tersebut. Saudara, percayalah kepada janji-janji-Nya, simpanlah janji janji itu dalam hatimu, buktikan bahwa Allah selalu setia kepada janji-janji-Nya. Ia tidak pernah gagal untuk memelihara Firman-Nya; setiap janji yang Ia berikan kepadamu adalah suatu janji yang bisa dipercaya dan turuti. Karena itu ketika saya membaca Firman-Nya lagi dan saya melihat janji janji yang demikian seperti "Aku sekali-kali tidak pernah meninggallkanmu", "Aku akan menyertai kamu senantiasa", saya akan memercayai janji janji itu, Saya akan menerimanya. Saya menyatakan bahwa kedatangan Kristus membenarkan segala janji-Nya dan membuktikan segala bahwa segala janji-Nya itu benar. Ia. telah memberikan Firman-Nya, dan Firman-Nya dapat disandari; karena itu saya menerima-Nya berdasarkan pada Firman-Nya. Puji Tuhan! "Bersyukurlah kepada Tuhan atas karunia-karunia yang tak terkatakan itu" Bersyukurlah kepada Allah karena Kristus di mana di dalam Dia segala janji Allah adalah ya dan amin tanpa suatu keraguan dan ketidaktentuan.
Sumber:
Reformed Movement, Kecenderungan Perkembangan Pemikiran Abad 21 (Sebuah Kajian Retrospektif dan Prospektif)
Editorial:
Dear e-Reformed netters, Berikut ini adalah artikel yang saya ambil dari majalah Journal Teologi dan Pelayanan yang diterbitkan oleh Seminary Alkitab Asia Tenggara (SAAT). Karena panjangnya bahan ini maka akan dibagi menjadi dua: Bagian pertama: Artikel Selamat membaca! Yulia
Edisi:
008/VIII/2000
Isi:
Pendahuluan Sebentar lagi semua umat manusia yang menetap di planet yang pengap ini akan memasuki abad dan sekaligus milenium yang baru. Saya katakan "sebentar lagi" karena pada saat menuliskan artikel ini (Januari 2000) bagi sementara kalangan abad dan milenium yang baru itu seharusnya dimulai 1 Januari 2001 (misalnya, posisi Harian Umum Kompas). Saya kebetulan merasakan adanya logika yang sama dengan pendapat tersebut. Alasannya sederhana saja: Kalender Masehi tidak mengenal tahun yang dimulai dengan angka nol, sehingga tahun 2000 boleh dikategorikan termasuk dalam himpunan abad 20 dan milenium kedua.**1 Walaupun demikian semua sudah sama-sama tahu bahwa mayoritas penduduk globe ini menganggap bahwa sekaranglah abad dan milenium yang baru itu. Sebetulnya untuk apa sih meributkan persoalan yang sepele dan sudah hampir basi ini? Saya akui ini boleh dibilang persoalan sepele dan provincial karena kebanyakan orang toh tidak peduli. Namun demikian, kalau boleh saya memohon sedikit kesabaran pembaca untuk memperhatikan urusan "sepele" ini lebih jauh sedikit. Pertama, persoalan tersebut mengingatkan bahwa untuk suatu topik yang sedemikian obvious (mudah dimengerti), nyata dan gamblang, kebanyakan manusia bisa dengan mudah berbeda pandangan. Tetapi masalahnya bukan hanya itu saja, karena, kedua, manusia bukan hanya bersedia berbeda opini. Sebagian besar manusia ternyata bersedia menerima suatu pendapat yang less logical dan yang benar-benar keliru hanya karena mayoritas masyarakat dunia yang menyatakannya atau, lebih tepat, secara pelan dan pasti memaksa menyatakannya demikian. Hampir semua media raksasa di dunia ini menyatakan 1 Januari 2000 sebagai abad dan milenium baru. Jadi, karena media besar dan pemerintah adidaya sudah menyatakan suatu kesalahan sebagai kebenaran, maka terciptalah kesalahan "sepele" itu menjadi kebenaran yang sulit diganggu gugat. Kebanyakan orang menjadi tidak peduli hal itu benar atau salah, karena "semua" orang, bahkan "seluruh" dunia mengatakan demikian. Orang cerewet mempermasalahkannya justru orang yang dianggap aneh sendiri.
Dari contoh urusan "sepele" tersebut kalau boleh saya katakan bahwa semangat dan cara pikir manusia sekarang dalam berteologi sedikit banyak mirip dengan kecenderungan di atas. Ada kalangan dalam gereja atau dunia kekristenan yang sepintas tidak peduli apakah suatu pandangan atau aliran teologi itu benar atau salah asalkan sudah cukup banyak orang yang menerimanya, atau karena yang menyatakannya adalah tokoh atau teolog yang beken. Apalagi jikalau mayoritas pengikut sudah mengafirmasikan demikian persis seperti beberapa ratus nabi (palsu) Baal secara aklamasi sepakat tentang sesuatu yang katanya dari Tuhan padahal bukan. Hanya nabi Mikha seorang diri (sebagai minoritas absolut!) yang berani menyatakan kebenaran dan berbeda dengan posisi yang lain (lih. 1Raj. 22:1-38). Bagi sebagian orang lain, urusan benar atau salah seakan-akan menjadi kurang penting asalkan apa yang diajarkan itu "cocok bagi saya" dan sekaligus berkhasiat (misalnya, bisa mendatangkan berkat, kekayaan, kesehatan, kesembuhan, kelancaran, kedamaian, gereja bertumbuh pesat, pengikut membludak dan seterusnya). Orang yang menyampaikan ajaran yang benar dan berbeda dengan mayoritas akan dianggap sebagai orang yang aneh dan perlu dijauhi. Persoalan yang dikemukakan di atas hanyalah sebuah contoh untuk mengantar pembaca memasuki tema tulisan ini. Di dalam artikel ini pembaca akan melihat berbagai kecenderungan dalam alam pemikiran dunia teologi pada tahun-tahun mendatang. Apa yang saya paparkan sebagian besar didasarkan apa yang pernah terjadi dalam dunia teologi di tahun-tahun yang lampau**2 dan merupakan prakiraan tentatif yang perlu diuji apakah tepat demikian. Hal ini berarti penulis tidak sedang membuat sebuah nubuat atau sebaliknya menciptakan dugaan yang mengada-ada. Istilah "Abad 21" pada judul artikel ini juga penulis rasakan terlalu bernada hiperbolis, karena siapa yang dapat memastikan apa yang terjadi 10, 20 atau 50 tahun mendatang berhubung perubahan sekarang selalu terjadi dengan begitu cepat. Sebab itu lebih tepat bila pembaca mengartikan "Abad 21" sebagai masa permulaan dunia memasuki suatu rentang yang baru sekali, yaitu abad 21, dan tidak mengartikannya sebagai masa sampai 100 tahun. Kecenderungan Pertama: Teologi Akan Secara Radikal Dibangun di Atas Landasan Immanensi Yang dimaksud dengan "immanensi" (Latin: immanere, to remain in) adalah kecenderungan manusia untuk menyimpulkan segala sesuatu dengan bertitik tolak semata-mata dari alam dan natur manusia. Dengan semakin bangkitnya ekonomi globlal, maraknya kemajuan teknologi dan sains serta semakin mantapnya segala kemajuan yang berasal dari, oleh dan untuk manusia, apa yang semakin terlihat dalam kehidupan sehari-hari adalah memudarnya sisi yang transenden dalam berteologi dan semakin bercahayanya sisi yang immanen, yakni alam dan manusia. Walaupun manusia masih berbicara tentang Allah dan karya-karya-Nya, sedemikian rupa sehingga Ia dibicarakan dengan titik tolak dari perspektif manusia dan alam. Topik pengetahuan tentang Allah menjadi terserap ke dalam topik yang mengacu pada manusia dan persoalan di sekitarnya.**3 Pendekatan teologis seperti ini akan lebih mengidentifikasikan kehadiran Allah secara absolut di dalam dunia, seolah-olah Allah tidak pernah terpisah jauh melampaui dunia sebagai Pribadi yang transenden seperti yang diajarkan Alkitab.**4 Keberadaan Allah sepertinya menyerap atau berbaur di dalam seluruh alam, peristiwa dan kehidupan manusia. Apa akibat dari pemikiran yang berat sebelah ini? Akibatnya, manusia mulai meragukan, meninggalkan dan sekaligus menolak segala sesuatu yang berbau supranatural, mukjizat, ajaran tentang wahyu dan penebusan ilahi yang ajaib. Mengapa? Salah satu alasan yang utama adalah karena batas pemisah antara wilayah yang natural dan wilayah yang supranatural telah dihapuskan secara perlahan-lahan, atau lebih tepat dikatakan bahwa wilayah yang natural telah "mencaplok" atau telah "membaptis" wilayah supranatural. Hasilnya, wilayah yang supranatural sekali pun masih ada dan masih disebut-sebut dalam diskusi teologi atau dunia kekristenan telah mendapatkan arti yang baru, yaitu mendapatkan muatan interpretasi yang berbeda yang diinfuskan ke dalamnya. Keberadaan Allah yang personal dan hidup seperti yang disaksikan dalam Alkitab digantikan dengan ungkapan-ungkapan tentang Allah dalam rumusan-rumusan pengetahuan yang diciptakan manusia dan dalam keindahan moral yang dibangun menurut standar manusia. Apabila kecenderungan ini berlangsung terus-menerus dan semakin menguat, dunia teologi akan memasuki suatu suasana di mana manusia sadar atau tidak sadar semakin kehilangan sisi transendensi, yaitu konsep tentang adanya Allah yang berada di luar, di atas dan melampaui keberadaan manusia. Hal ini seharusnya tidak boleh terjadi jikalau kita hendak membangun teologi Kristen yang sehat dan bertanggung jawab. Teologi yang sehat dan bertanggung jawab itu semestinya seimbang dalam menekankan konsep transendensi dan konsep immanensi. Tidak boleh berat sebelah, apalagi saling meniadakan. Bila teologi kehilangan sisi berat sebelah, teologi bukan hanya "bergerilya" dan kemudian tersesat, tetapi teologi juga akan kehilangan relevansi dan konteks. Kehilangan relevansi, maksudnya ia (teologi) masih dibicarakan bahkan dirumuskan di sana-sini tetapi ia sama sekali terpisah dan tidak mengacu lagi pada realita tentang Allah yang hidup itu seperti yang diberitakan dalam Alkitab. Kehilangan konteks, maksudnya, sekalipun ia justru semakin mengena dalam lingkup persoalan manusia, tetapi teologi menjadi semakin jauh dari garis besar haluan kerajaan Allah dan kebenaran firman Allah. Kecenderungan Kedua: Teologi Akan Diwarnai Oleh Semangat yang Semakin Kuat Untuk Mensintesiskan Lingkup Sakral dan Lingkup Sekular Hampir sama dengan kecenderungan pertama, pada butir ini manusia secara eksplisit melihat realita hanya pada satu lapisan saja yakni dunia ini saja. Jikalau pada Karl Barth orang masih melihat adanya perbandingan Creator-creature, eternity-time, atau infinite quality-finite quality dengan penekanan yang kuat pada aspek transendensi, maka yang mencuat pada kecenderungan ini adalah sebaliknya, yaitu penekanan hanya pada aspek creature, time, finite quality. Apa arti semua ini? Artinya sama saja dengan menolak segala sesuatu yang berciri ilahi dan hukum moralitas yang teosentris. Prinsip uniformitas ini mengakibatkan manusia mengesampingkan segala yang unik dan normatif dalam kekristenan sekalipun semua fakta telah tercatat dalam sejarah dan peristiwa yang nyata dialami manusia. Sebagai konsekuensinya, manusia akan memasuki suatu suasana dengan paradigma atau model yang sama sekali baru dalam pendekatan teologi, yaitu manusia betul-betul menampakkan ciri yang otonom dan terlepas dari otoritas manapun.**5 Dari satu sudut dapat dikatakan paradigma ini sudah dimulai oleh J.A.T. Robinson**6 atau Harvey Cox**7 dan "keponakan-keponakan "-nya dalam death-of-God theology movement (seperti misalnya Gabriel Vahanian, Thomas Altizer, Paul van Buren, William Hamilton). Mereka berpegang pada sejenis prinsip naturalisme radikal yang terang-terangan menegaskan bahwa segala sesuatu (termasuk teologi atau iman Kristen) harus berselaraskan dengan gejala alam, dan dengan demikian terbatas dalam lingkup alam. Bukan hanya itu saja. Mereka merasa mendapatkan "darah segar" atau dukungan bagi posisi otonom tersebut dari tulisan Dietrich Bonhoeffer.**8 Padahal yang terjadi adalah mereka salah menafsirkan dan bahkan mendistorsikan**9 maksud dari Bonhoeffer, karena ia memang tidak bermaksud mengajukan dirinya sebagai perintis atau perancang teologi Allah mati, apalagi supaya manusia menjadi otonom dan menggantikan Allah.**10 Semangat untuk mensistesiskan lingkup sakral dan sekuler ini sedikit berbeda dengan semangat sekularisme. Bila sekularisme merupakan semangat manusia yang membatasi segala realita dari dan pada dunia ini serta dalam prosesnya cenderung menyangkali adanya realita yang transenden di luar dunia ini,**11 maka semangat sintesis di atas mengakui adanya realita yang transenden tersebut tetapi realita itu dileburkan ke dalam lingkup yang sekuler. Bila dalam semangat sekularisme segala unsur otoritas keagamaan hanya berusaha direduksi atau "dikavling" eksistensinya, maka semangat sintesis di atas akan "memakan habis" untuk otoritas keagamaan tersebut sehingga eksistensinya seolah-olah tidak ada lagi. Sintesis seperti ini dikata hasilnya akan lebih parah dari pada semangat lainya seperti pragmatisme, induvidualisme, atau pun humanisme.**12 Sebenarnya, baik lingkup sakral maupun lingkup sekuler, perlu dimengerti secara benar dan seimbang. Lingkup sekuler jangan dijauhi atau di-anathema-kan oleh orang percaya karena lingkup itu pada mulanya adalah dunia ciptaan Allah seberapa pun bobrok keadaannya pada saat ini. Allah yang berada pada lingkup sakral perlu dihadirkan dalam dunia ini dalam batas tertentu melalui kesaksian iman orang percaya. Akan tetapi, dalam hal ini tidak berarti kedua lingkup tersebut dapat secara mudah disatukan secara integral sehingga tidak ada lagi ketegangan antara keduanya. Ketegangan antara keduanya tetap akan ada selama orang percaya menyaksikan keberadaan dan keselamatan Allah dalam dunia. Mengapa? Karena dunia akan selalu berada dan dipengaruhi oleh sistem yang bertentangan dengan Allah; sedangkan orang percaya harus selalu memproklamirkan keberadaan Allah yang ditentang oleh dunia. Barangkali untuk memahami hal ini perlu dipinjam pola penyelesaian yang pernah diusulkan oleh H. Richard Niebuhr. Melalui pemaparannya tentang Kristus/Injil dan kebudayaan, Niebuhr seakan-akan hendak mengatakan bahwa seseorang tidak boleh mengkutubkan atau mendikotomikan kedua lingkup tersebut. Artinya, jangan mengambil salah satu lingkup dan memusuhi yang lain. Kedua lingkup tersebut harus dipahami dan diterima dalam satu hubungan yang paradoks.**13 Maksudnya, sekalipun antara keduanya kelihatan seakan berkontradiksi, orang Kristen harus mengupayakan suatu sikap penerimaan terhadap orang Kristen harus mengupayakan suatu sikap penerimaan terhadap dunia/kebudayaan melalui cara yang akomodatif, korelatif dan relevan. Akan tetapi, sekalipun upaya penerimaan itu sudah dilakukan, tidak berarti ketegangan antara lingkup spiritual/sakral dan lingkup temporal/sekural akan lenyap seketika. Ketegangan tersebut akan berlanjut terus dalam suatu suasana yang ambigu, yaitu suasana yang paradoks di mana orang percaya mau tidak mau harus hidup dengan seimbang antara mengabdi kepada Kristus (yang mewakili lingkup sakral) dan menjadi garam bagi dunia (lingkup sekuler). Hanya dengan cara demikian orang Kristen dapat mengadakan transformasi yang kreatif dalam dunia sekaligus mengadakan introspeksi terhadap pendirian teologinya. Kecenderungan Ketiga: Teologi Akan Melanjutkan Subjektivisme Eksistensialisme Eksistensialisme adalah usaha untuk membangun sistem filsafat yang berangkat dari titik tolak manusia sebagai pembuat dan penentu atas pemikiran dan segala sesuatu yang beredar dalam lingkaran kehidupan ini. Pemeluk eksistensialisme percaya bahwa manusia memiliki kapasitas eksistensi yang potensial dalam kehidupannya. Melalui karya tulis berupa pemikiran filsafat, novel dan drama, praeksistensialis menjabarkan, menjelaskan dan menganalisis eksistensi manusia dengan amat realitis. Mereka membedah kenyataan hidup ini yang penuh dengan problema melalui satu penegasan yang berani, yaitu bahwa manusia adalah pencipta dan penyembuh bagi dirinya sendiri. Oleh sebab itu manusia modern yang hidup dalam dunia sekular harus berani berhadapan dan mengatasi ketakutan terhadap diri sendiri, orang lain, maupun ketakutan terhadap kematian. Selain itu manusia juga didorong untuk berani menghadapi setiap jenis keterbatasan, perasaan bersalah, kekuatiran, yang kesemuanya itu hanyalah merupakan bentuk dari inauthentic existence. Sebagai hasilnya, para eksistensialis umumnya menolak keberadaan Allah dan ciptaan-Nya dan menolak Alkitab sebagai firman Allah.**14 Sepanjang berlangsungnya teologi di abad 20, eksistensialisme telah memiliki pengaruh yang kuat pada teolog besar seperti Barth, Tillich, dan Bultmann. Apabila kita melihat teologi neo-ortodoks yang sedemikian kuat pada ketiga tokoh tersebut dan kelihatannya teologi itu akan terus kuat pada ketiga tokoh tersebut dan kelihatannya teologi itu akan terus berlanjut di abad 21, maka tidak berlebihan bila dikatakan bahwa eksistensialisme yang menjadi fondasi teologi tersebut juga akan terus berlanjut. Barthianisme, misalnya, yang menekankan dengan optimal konsep wahyu yang dialektis persis seperti yang pernah dicetuskan oleh pelopornya, Soren Abby Kierkegaard (1813-1855),**15 akan terus berlanjut seturut dengan semakin disukainya eksistensialisme model Kierkegaard. Dikatakan "disukai" karena Kierkegaard menampilkan suatu bentuk eksistensialisme yang tidak ateistis tetapi juga tidak ortodoks. Tidak ateistis, maksudnya, tidak seperti pendirian para eksistensialis yang belakangan (misalnya, Sartre atau Heidegger) yang menolak ide tentang adanya Allah Pencipta yang hidup, Kierkegaard sebaliknya menegaskan eksistensi Allah yang berinkarnasi dalam Kristus Yesus. Tidak ortodoks, maksudnya, tidak seperti pendirian teologi ortodoks yang menekankan keseimbangan pengertian antara Allah yang transenden dan imanen, Kierkegaard secara radikal hanya menekankan ketransendenan Allah. Menurut Kierkegaard, Allah sama sekali jauh dan berbeda dengan yang lain khususnya manusia (the wholly other God). Ia tersembunyi dari kemampuan rasio manusia untuk mengerti. Mengapa demikian? Karena menurutnya yang namanya kebenaran akan selalu bersifat impersonal dan tidak dapat dijangkau oleh pikiran yang terbatas.**16 Artinya, kebenaran tidak bersifat objektif (yaitu, terbuka dan mudah diselidiki karena fenomenanya dapat terobservasi oleh banyak pihak), melainkan subjektif (yakni, tersembunyi dan berlangsung di dalam pikiran individu yang bersifat personal). Jadi, kebenaran tentang Allah pun bersifat subjektif dan personal, yakni dimulai dalam situasi tertentu pada kehidupan seseorang. Apa akibat yang riil dari pandangan seperti di atas? Bagi saya, posisi Kierkegaard tersebut tidak lain merupakan benih munculnya posisi teologi pascamodern pada permulaan 1960.**17 Seperti halnya Kierkegaard, inti dari posisi pemikiran para teolog yang terbawa pada arus pascamodernisme adalah pada umumnya mereka menolak adanya suatu klaim atau prinsip kebenaran yang universal sifatnya.**18 Apabila pada zaman Pencerahan (Enlightenment) orang menyerang dan menolak kekristenan karena dianggap berseberangan dengan penemuan-penemuan baru di bidang sains (misalnya, teori Copernicus), maka pada periode pascamodern orang menyerang dan menolak keristenan hanya karena klaim kebenaran objektif yang ada di dalamnya.**19 Dengan perkataan lain, manusia pascamodern tidak suka pada prinsip kebenaran yang universal dan objektif sifatnya. Mengapa demikian? Jawabnya, adalah karena, seperti Kierkegaard, pendirian teolog pascamodern adalah: truth is subjectivity. Penekanan kebenaran yang universal dan objektif menurut mereka bukan hanya tidak masuk di akal tetapi juga berbahaya bagi perkembangan teologi. Pendirian seperti ini memperlihatkan bahwa teolog pascamodernisme bahkan lebih eksistensialis dari eksistensialisme yang dipelopori oleh Kierkegaard. Dengan demikian semangat eksistensialisme dan pascamodernisme adalah semangat "saudara sekandung" manusia zaman sekarang yang cenderung menolak kebenaran yang objektif. Kecenderungan Keempat: Teologi Akan Semakin Gencar Mengadaptasi Pluralisme Dalam suasana dunia yang serba semakin menyatu dewasa ini fakta tentang pluralitas kehidupan manusia bukanlah sesuatu yang baru. Menurut Leslie Newbigin langkah awal untuk memahami keadaan ini adalah dengan terlebih mengakui adanya pluralitas itu sendiri. It has become a commonplace to say that we live in a pluralist society not merely a society which is in fact plural in the variety of cultures, religions and lifestyles which it embraces, but pluralist in the sense that this plurality is celebrate as things to be approved and cherished.**20 Demikian pula ketika gereja dalam perjalanan sejarahnya harus berhadapan dengan masyarakat yang pluralis di mana-mana, mau tak mau realita pluralitas iman sebagai sebuah fakta kehidupan harus diakui dan diterima. Sebagai contoh, ketika umat Kristen mula-mula melakukan pekabaran Injil, mereka melakukannya di tengah dunia pluralis dengan lingkaran konteks masyarakat Yudaisme, Hellenisme, paganisme Romawi,**21 bahkan sampai melebar ke daerah sebelah tenggara India dengan didirikannya gereja Mar Thoma. Data ini memberi indikasi bahwa gereja mula-mula telah menyadari dan mereka benar-benar berhadapan dengan pluralitas budaya dan pluralitas keyakinan yang ada pada waktu itu. Namun demikian, dalam konteks pembahasan subtopik ini, istilah "pluralisme" mengandung pengertian yang lebih mendalam bagi masyarakat dunia sekarang. Pluralisme bukan hanya diartikan sekedar menjamurnya kepelbagaian iman, suku, ras dan nilai-nilai yang berbeda yang harus diakui keberagamannya; pluralisme ternyata telah memiliki muatan filsafatis di mana masyarakat dunia didorong (atau lebih tepat terdorong) untuk meninggikan nilai toleransi dengan mengakui bahwa masing-masing keyakinan yang berbeda-beda mempunyai nilai kebenaran tersendiri. Akibatnya, tidak boleh ada satu keyakinan iman yang dapat mengklaim adanya kebenaran yang absolut di tengah kepelbagaian tersebut.**22
Pendekatan radikal seperti di atas sebenarnya telah ada dalam pembicaraan teologi abad 19 atau awal abad 20. Sebagai contoh, Ernst Troeltsch**23 yang hidup di Jerman antara 1865-1923 adalah seorang teolog yang boleh dikata sangat memberi inspirasi bagi perkembangan teologi kekinian yang berbicara tentang pluralisme. Melalui tulisannya ia mengembangkan intisari konsep mengenai teologi ke dalam beberapa pendekatan. Pertama, pendekatan kritisisme, yaitu keyakinan bahwa pertimbangan atau keputusan pada waktu seseorang memikirkan tentang sejarah masa lalu ia harus melakukannya dengan pendekatan benar atau salah. Maksudnya, tidak ada penelitian sejarah yang dapat menetapkan segala sesuatu melampaui garis yang disebut garis probabilitas. Yang dapat terjadi secara maksimal adalah suatu probabilitas yang lebih besar atau yang lebih kecil, tetapi itu adalah tetap probabilitas bukan keabsokutisan. Penelitian sejarah itu sendiri harus selalu terbuka untuk mengalami kritik demi kritik, serta perubahan demi perubahan. Dengan demikian, setiap penelitian dan interpretasi sejarah tidak akan pernah mencapai titik persetujuan yang universal. Demikian pula semua kesimpulan yang pernah dibuat dalam penelitian sejarah atau yang akan dibuat, adalah bersifat tentatif atau sementara dan harus terbuka untuk mengalami revisi di bawah penelitian-penelitian atau bukti-bukti baru. Kedua, pendekatan analogi, yaitu pendekatan-pendekatan yang berdasarkan pada keyakinan akan garis probabilitas di atas di mana ia melihat bahwa pengalaman yang dialami sekarang inipun secara radikal tidak berbeda dari pengalaman orang-orang di masa lampau. Alasannya, sejarah keagamaan yang ada di mana-mana selalu berada pada satu garis lurus yang sama. Sebagai akibatnya, semua doktrin atau ajaran yang paling esensial dalam kekristenan pun pasti memiliki padanan atau analoginya di dalam agama-agama lain, artinya vis-a-vis berbanding lurus, berelasi dengan agama lain. Ketiga, pendekatan korelasi, yaitu keyakinan Troeltsch bahwa fenomena dari kehidupan sejarah manusia dapat dikatakan memiliki relasi dan interdependensi satu dengan yang lainnya, sehingga tidak ada perubahan radikal yang berlangsung pada titik sejarah tanpa memberikan efek perubahan pada sejarah manusia di sekitarnya. Dengan demikian, dalam rangka menjelaskan tentang sejarah (termasuk sejarah iman atau keagamaan), seseorang juga harus menjelaskan tentang sejarah yang berlangsung sebelum dan sesudahnya beserta dengan segala terisolasi dari ruang dan waktu yang terkondisi oleh sejarah di sekitarnya. Keempat, pendekatan universalisme, yaitu pendekatan yang menekankan kasih kepada sesama manusia selain kasih kepada Allah. Kasih kepada manusia adalah esensial karena hal itu adalah suatu pemikiran yang mengandung unsur revolusioner dan bersifat murni keagamaan. Yang dimaksud dengan revolusioner adalah bahwa kasih kepada manusia akan secara universal merembes ke dalam masyarakat serta mempengaruhi kehidupan komunitas manusia, kebudayaan, bahkan keluarga, yaitu unit terkecil di populasi. Karena konsep universal yang satu inilah, kekristenan menjadi satu agama yang berbeda dan tidak terlampaui, oleh misalnya Stoisisme dalam dasar pemikirannya, pendekatannya serta hasil yang dicapainya. Walaupun demikian kekristenan harus mengakui adanya kemungkinan timbulnya kasih yang universal itu di antara keyakinan iman yang lain. Kelima, pendekatan akomodasi, yaitu upaya adaptasi dan kompromi yang dilakukan oleh gereja sepanjang sejarah mula-mula sampai hari ini. Tipologi gereja (church type) yang dimaksud adalah satu jenis adaptasi yang selalu dilakukan oleh gereja dalam rangka menyesuaikan keberadaan dan misinya di dalam dunia. Menurut Troektsch, tipologi gereja yang melakukan akomodasi terindentifikasikan pada ajaran dan misiologi dari rasul Paulus. Gereja dalam tipologi ini walaupun berada pada posisi konservatif dalam hal etika sosial, meski demikian gereja yang diwakili mulai dari rasul Paulus ini senantiasa menerima atau merangkul sebanyak mungkin strata-strata sosial yang sekuler. Menurutnya, Gereja Roma Katolik adalah contoh dari tipologi ini, yaitu gereja yang selalu konsisten dalam melakukan akomodasi. Sedangkan Gereja Protestan gagal mengembangkan pola akomodasi yang sama.**24 Dalam konteks pemikiran Troeltsch demikian, semangat yang mewarnai teologi di masa mendatang agaknya masih sedikit banyak tertumpu pada dasat tersebut. Misalnya, ketika teologi Kristen menghadirkan ajaran tentang finalitas atau inkarnasi Kristus dalam lingkup kristologi, cukup banyak teolog di masa kini baik yang modern atau pascamodern yang mempermasalahkannya. Sebagai contoh, menurut Wilfred Cantwell Smith, seorang teolog terkemuka dari Harvard, ajaran mengenai finalitas Kristus hanya dianggap benar bagi orang yang menerimanya secara pribadi.**25 Benar bagi Anda, tetapi tentu tidak demikian bagi saya. Maka, bagi Smith hanya melalui pendekatan subjektif inilah, yaitu mengakui adanya analogi iman di antara agama-agama, kekristenan dapat menjadi relevan dan beradaptasi dengan keyakinan iman lainnya tanpa harus menegaskan unsur yang sifatnya absolut yang akhirnya hanya melahirkan konflik. Teolog lain yang berpendirian sama seperti di atas adalah John Hick. Selain menolah klaim yang eksklusif berkenaan dengan finalitas Kristus, Hick mengajukan sebuah bentuk pemahaman yang baru yang diyakininya mengena bagi semua agama, yaitu bahwa manusia harus menerima konsep adanya "The Eternal One" atau "The Real" yang tidak lain adalah "Allah" sebagai pusat dari semua kesadaran beragama. Dengan membentuk dan mengakui tataran baru tersebut, semua agama -- yang walaupun berbeda pada segi gambaran dan pengenalan ilahinya -- harus melakukan refleksi dan mengacu pada "The Eternal One."**26 Dari sini semakin jelas terjadi pergeseran paradigma dari kristosentrisme kepada teosentrisme, dari pembicaraan yang berpusat pada Kristus kepada "Allah" dari semua agama.**27 Pendekatan model ini yang disukai oleh tokoh pluralisme lain yang bernama Paul Knitter, seorang teolog dari kalangan Katolik Roma. Menurutnya, kepercayaan akan finalitas dan normativitas Kristus yang merupakan pemberitaan esensial orang Kristen harus ditinggalkan.**28 Alasannya, orang yang berpegang pada keyakinan pluralisme hanya dapat bertumpu pada "a theo-centric theology of religions, based on a theocentric, nonnormative reinterpretation of the uniqueness of Jesus Christ."**29 Dengan perkataan lain pendirian eksklusif yang sering kali dijumpai ada pada kalangan injili harus ditinggalkan, karena "new perception of religious is pushing our cultural consciousness toward the simple but profound insight that there is no one and only way."**30 Di kalangan kaum pluralis ada satu keyakinan bahwa Yesus Kristus sendiri tidak pernah memberikan penegasan mengenai keunikan dan finalitas tentang diri-Nya; Ia tidak pernah mengklaim diri-Nya sebagai Allah. Yang membesar-besarkan ajaran tersebut sebenarnya hanyalah para rasul yang mengkotbahkan suatu jenis kristologi yang Yesus sendiri tidak pernah ajarkan. Apa yang justru dapat dipelajari dari Yesus adalah Ia membawakan suatu Injil bukan tentang diri-Nya, melainkan tentang Allah Bapa yang mengasihi semua manusia. Jadi, tekanannya adalah pada suatu paradigma Kristen yang teosentris bukan kristosentris.**31 Posisi yang demikianlah yang dengan bangga disebut oleh John Hick sebagai sebuah "Revolusi Copernicus" dalam kristologi, yaitu suatu pergeseran yang drastis dan berani dari pandangan Kristen tradisional yang terfokus pada Kristus memasuki suatu jenis perspektif yang berpusat pada Allah. Alhasil, kekristenan yang tadinya ada di tengah lingkaran sebagai pusat dan agama lain mengintari lingkaran, sekarang telah digeser menjadi: kekristenan bersama-sama agama lain mengintari lingkaran di mana yang berperan sebagai pusat adalah Allah.**32 Dengan posisi pandangan seperti di atas, dapatkah teologi yang dibangun oleh para tokoh pluralisme tetap dianggap sebagai teologi yang selaras dengan dasar iman Kristen? Jawabnya adalah jelas tidak. Menurut Alister E. McGrat, Pluralism...possesses a certain tendency to self-destruction ... Pluralism is fatally vulnerable to the charge that it reaches an accommodation between Christianity and other religions traditions by wilfully discarding every distinctive Christian doctrine traditionally regarded as identity-giving and identity-preserving... The "Christianity" that is declared to be homogeneous with all other "higher religions" would not be recognizable as such to most of its adherents. It would be a theologically, Christologically and soteriologically reduced version of the real thing.**33 Dengan perkataan lain, tindakan melakukan akomodasi dan reduksi terhadap iman Kristen demi untuk dialog dan toleransi terhadap agama lain telah menyebabkan kaum pluralis menjual murah dasar iman Kristen serta sekaligus membentuk sejenis teologi yang asing bagi orang Kristen sendiri. Apakah ini harga yang harus dibayar untuk yang namanya "keterbukaan" dan "relevansi" iman? Rasanya terlalu "dilelang" murah nilai iman Kristen itu sendiri. Penutup
gereja dan orang Kristen harus sungguh-sungguh menjelang millenium yang baru berusaha mengerti kecenderungan yang berkembang pada zaman ini, menyadari arah berubahnya teologi dan menyiapkan cara-cara untuk menghadapinya agar iman Kristen yang unik itu tetap dapat disampaikan secara efektif dan produktif bagi zaman ini.
Di dalam artikel ini penulis telah mencoba memberikan sedikit gambaran peta pengaruh teologi di masa lampau (segi retrospektif) serta kemungkinan arah bergeraknya kecenderungan perkembangan teologi di masa mendatang (segi prospektif). Apa yang telah dipaparkan tersebut dapat terjadi seluruhnya atau barangkali hanya sebagian saja. Tetapi sebagai seorang pengamat teologi dan pengajar, penulis melihat suatu kenyataan saat ini yang belum tentu terlalu enak untuk dikatakan di sini: Gereja sepertinya belum siap menghadapi laju perkembangan dunia yang semakin jauh dari kehendak Tuhan dan firman-Nya. Sebagian orang Kristen justru terlihat terlalu sibuk dengan urusan sekuler, bahkan larut dan menjadi serupa dengan dunia ini yang telah memiliki pola berpikir yang jauh berbeda dengan pola berpikir kerajaan Allah. Sebagian lagi larut di dalam pesta pentas kehidupan rohani yang seolah terpisah dari dunia dan sekaligus tidak ada waktu lagi untuk memandang keluar untuk membedakan dan menguji mana "Roh kebenaran" dan mana "roh yang menyesatkan" yang ada dalam dunia ini (1 Yoh. 4:6). Akibatnya, orang Kristen awam akan terbawa dalam arus dan gelombang sekular tersebut dan mulai meragukan posisi teologi ortodoks yang telah berlangsung selama berabad-abad. Akan tetapi, hal ini tidak boleh berlangsung terus menerus. Kita harus menutup abad 20 ini tidak seperti ketika teologi liberalisme memulainya, yaitu mengisi tahun-tahun kehidupan gereja dengan kegelapan karena tidak ada firman Tuhan di sana. Maka yang terpenting sekarang adalah gereja dan orang Kristen harus sungguh-sungguh menjelang milenium yang baru berusaha mengerti kecenderungan yang berkembang pada zaman ini, menyadari arah berubahnya teologi dan menyiapkan cara-cara untuk menghadapinya agar iman Kristen yang unik itu tetap dapat disampaikan secara efektif dan produktif bagi zaman ini. Catatan Kaki : **1. Abad ialah masa seratus tahun, yaitu dari tahun satu hingga seratus, sehingga abad pertama mulai pada hari pertama tahun 1 sampai ke hari terahir tahun 100. Abad 20 Masehi berarti dimulai pada 1 Januari 1901 dan akan berakhir pada 31 dan akan berakhir pada 31 Desember 2000. Dengan demikian awal abad 21 baru mulai pada 1 Januari 2001 dan tidak pada tahun 2000. Hal ini juga berarti masa tahun 1 hingga tahun 1000 adalah masa satu milenium atau milenium pertama, dan tahun 1001 hingga 2000 adalah masa satu milenium atau milenium kedua, dan tahun 2001 hingga tahun 3000 nanti (kalau ada yang masih bisa hidup sampai waktu itu) adalah juga masa satu milenium atau milenium ketiga. **2. Bdk. apa yang pernah terjadi dalam perkembangan pemikiran teknologi karya: H. Berkhot, Two Hundred Years of Theology: Report of a Personal Journey (Grand Rapids: Eerdmans, 1989), G.C. Berkouwer, A Half Century of Theology: Movements and Motives (Grand Rapids: Eerdmans, 1979). **3. Itulah sebabnya dari satu sisi C.S. Song tidak dapat terlalu disalahkan ketika ia mengumandangkan bahasa "Theo-logy must be anthro-pology" (Tell Us Our Names: Story Theology from an Asian Perspective [Maryknoll: Orbis, 1984] 37). Tetapi persoalannya: Dapatkah teologi secara radikal dikonversikan menjadi anthropologi? **4. Alkitab justru secara seimbang mengajarkan keberadaan Allah yang transenden (mis. 1Raj. 8:23; Yes. 6:1; Pkh. 5:2) tetapi juga yang sekaligus immanen (1Raj. 8:11; Kis. 17:27-28). **5. Bdk. Klaas Runia, "The Challenge of the Modern World to the Church," Evangelical Review of Theology 18/4 (October 1994) 304-305. **6. Melalui karyanya yang terkenal Honest to God (Philadelphia: Westminster, 1963). **7. Bukunya yang terkenal The Secular City (New York: Macmillan, 1965). **8. Dalam karyanya Letters and Papers from Prison (London: Collins, Fontana Books, 1953), Bonhoeffer memang menuliskan bahwa dunia dan manusia akan memasuki zaman yang baru di mana manusia akan mendapatkan suatu bentuk kekristenan yang lepas dari "cengkraman" sekat keagamaan (religionless Christianity). Bukan itu saja, dunia juga akan memasuki masa absennya Allah (the world without God). Kebanyakan teolog merasakan adanya hal yang belum jelas tentang apa yang dimaksudkan oleh Bonhoeffer. Paling banter yang dapat dikatakan adalah bahwa ia hanya menyediakan terminologi yang rupanya amat digemari oleh teolog ekstrim waktu itu. **9. Dalam bahasa Carl F.H. Henry, Bonhoeffer tidak pernah memaksudkan tulisannya sebagai suatu "prolegomenon to religious positivism ("Where is Modern Theology Going?," Bulletin of the Evangelical Theological Society 11/1 [Winter 1968] 4; bdk. Georg Huntemann, The Other Bonhoeffer: An Evangelical Reasessment of Dietrich Bonhoeffer [Grand Rapids: Baker, 1993] 161). **10. Majalah TIME edisi Januari 1998 dalam rubrik Science melaporkan berita tentang seorang ahli fisika yang eksentrik, Richard Seed, yang berniat membuka sebuah klinik khusus untuk meng-clone atau menggandakan manusia di Chicago, Amerika Serikat. Ia berkata: "God made man in his own image....God intended for man to become one with God. Cloning...is the first serious step in becoming one with God" (h. 32). Semangat otonom seperti ini lambat laun juga akan terus merambah dunia teologi. **11. Lih. pandangan Wolfhart Pannenberg, "How to Think About Secularism," First Things 64 (June-July 1996) 27-32. **12. Misalnya, seburuk-buruknya humanisme sekular yang dianut oleh Julian Huxley, ia masih kadang-kadang mengakui bahwa posisinya adalah agnostik tentang keberadaan Allah, yang artinya dia tidak tahu ada tidaknya Allah. Ia mengaku bahwa dibutuhkan sejenis "iman" untuk membangun kepercayaan tentang Allah yang baginya tidak mungkin dijangkau manusia (Religion Without Revalition [New York: Mentor 1957] 16, 18). Masalah yang utama bagi Huxley adalah ia tidak mau percaya dan sekaligus bersikap agnostik yang sama saja dengan menyangkali kemampuan dirinya atau orang lain untuk mengetahui keberadaan Allah itu (h. 19). **13. Christ and Culture (New York: Happer Torchbooks, 1951) 149 dst. Pada subjudul aslinya Niebuhr memberi tema "Christ and Culture in Paradox." **14. Lih. F. H. Klooster, "Revelation and Scripture in existentialist Theology" dalam Challenges to Inerrancy: A Theological Response (ed. G. R. Lewis & B. Demarest; Chicago; Moody, 1984) 178-179. **15. Walaupun terdapat tokoh eksistensialis lain yang cukup terkenal (seperti Martin Heidegger, Friedrich Nietzche, Fedor Dostoevsky, Karl Jaspers, Albert Camus dan Jean Paul Sartre), Kierkegraad tetap masih dianggap sebagai perintis di abad 19. **16. Colin brown, Philosophy and the Christian Faith (London: Tyndale, 1968) 128. **17. Menurut Carl F.H. Henry, istilah postmodernis pertama kali dipergunakan oleh John Cobb pada tahun 1964; kemudian penggunaan istilah itu diikuti oleh Jacques Derrida, Richard Rorty, Michael Foucalt, Stanley Fish, David Tracy, George Lindbeck of Postmodernism: An Evangelical Engagement [ed. D. S. Dockery; Wheaton: BridgePoint, 1995] 35). **18. Bdk. Charles Colson dan Nancy Pearcey, "Poster Boy for Postmodernism," Christianity Today 42/13 (November 16, 1998) 120. **19. Bila ada yang bertanya: Bagaimana caranya mereka menolak kebenaran yang objektif itu, maka jawabnya adalah dengan mengembangkan tradisi interpretasi terhadap cerita yang bersifat lokal atau naratif. Validitas yang dibangun adalah validitas interpretasi yang terbatas dan subjektif. Karena sifatnya yang terbatas dan subjektif, maka interpretasi terhadap naratif yang berasal dari manapun tidak boleh dimutlakkan, termasuk semua cerita yang ada dalam Alkitab. **20. The Gospel in a Pluralist Society (Grand Rapids: Eerdmans, 1989). 1. Karena pelayanannya melayani sebagai missionaris di India selama hampir 40 tahun, rasanya cukup tepat bagi Newbigin untuk memaparkan sekelumit masalah perjumpaan iman Kristen ketika berhadapan dengan masyarakat pluralis dalam konteks pelayanannya di sana. **21. Untuk mempelajari bagaimana bapa-bapa gereja menghadapi peganisme Romawi, lihat R. L. Wilken, "Religious Pluralism and Early Christian Theology," Interpretation 40/4 (October 1986) 379-391. **22. D. A. Carson, "Christian Witness in an Age of Pluralism" dalam God and Culture: Essays in Honor of Carl F. H. Henry (ed. D. A. Carson & J. Woodbridge; Grand Rapids; Eerdmans, 1993). 33 **23. Sebenarnya Troeltsch adalah seorang filsuf dan ahli teori ilmu sosial. Ia pernah mengecap pendidikan di Erlangen, Berlin dan Gottingen, ia belajar di bawah bimbingan Albrecht Titschl, salah seorang tokoh teologi liberalisme. Dalam karirnya ia menjadi profesor di Universitas Heidelberg pada usia yang masih amat muda, yaitu 29 tahun. Ia juga adalah seorang ahli politik serta memiliki pandangan teologi yang tidak jauh berbeda dari gurunya, yaitu teologi liberalisme. **24. Lih. Ernst Troeltsch, The Social Teaching of the Christian Churches (2 vols. ET; Chicago: University of Chicago, Press, 1960) 61-68, 328-343. **25. "A Human View of Truth" dalam Truth and Dialogue in World Religons: Conflicting Truth-Claims(ed. J. Hick; Philadelphia: Westminster, 1974) 35; bdk. tulisan Smith yang lain: The Meaning and End of Religion (New York: Harper and Row, 1978) 322 dan Questions of Religious Truth (London: V. Gollancz, 1967). 67-68. **26. God Has Many Names (Philadelphia: Westminster, 1982) 36. Sama seperti Hick, menurut J. Dupuis: "If Christianity sincerely seeks a dialogue with other religious traditions -- which it can only seek on a footing of equality -- it must first of al renounce any claim to uniqueness for the person and work of Jesus Christ as a universal constitutive element of salvation" (Jesus Christ at the Encounter of World Religions [Faith Meet Faith Series; Maryknoll: Orbis, 1991] 106). **27. Hal inilah yang diamati oleh John Sanders yang terjadi pada para penganut pluralisme. Menurutnya: "Radical pluralists do not believe that Christianity is the one true or even highest religion in which the other major religions find their fulfillment; they believe that all religions are valid and none may truthfully claim supremacy. They urge Christians to move from a Christ-centered faith that excludes other people to a God-centered faith that includes other by claiming that all religions are acceptable. It is not enough, say pluralists, to say all people will be saved in the lifeboat of Christ; we need to affirm that all people already have their own lifeboat and don't need another one" (No Other Name: An Invetigation into the Destiny of the Destiny of the Univangelized [Grand Rapids: Eerdmans, 1992] 115-116). **28. No other Name?: A Critical Survey of Christian Attitudes Toward the World Religions (Maryknoll: orbis, 1986) 143. 29. Ibid. 200. **30. Ibid. 5 [penegasan ada pada tulisan aslinya]. Jikalau kita bertanya: Bagaimana bangsa-bangsa lain diselamatkan? Knitter akan menjawab: "The universal possibility of salvation was clearly recognized but especially during the first half of twentieth century Catholic theologians came up with ingenious concepts to include within the church all traces of salvation outside it; saved non-Christians belonged to the 'soul' of the church; they members 'imperfectially,' 'potentially (h. 123). **31. S. W. Ariarajah, The Bible and People of Other Faiths (Geneva: WCC, 1985) 21-31. Lih. juga pendapat dari penulis yang sama dalam "Religious Plurality and Its Challenge to Christian Theology," Perspectives 5/2 (February 1990) 9. **32. God and the Universe of Faith (London: Collins, 1977) 131. **33. "The Christian Church's Response to Pluralism," Journal of the Evangelical Teological Society 35/4 (December 1992) 489. |