Peta Perubahan Teknologi Komunikasi dan Dampaknya bagi Pelayanan pada Abad XXI (2)

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Artikel ini adalah lanjutan dari artikel bulan lalu. Setelah kita mengerti pergeseran teknologi yang terjadi, kita harus menyusun strategi untuk dapat tetap menjadi garam dan terang bagi dunia sesuai konteks zamannya. Mari kita simak lanjutan artikel ini. Soli Deo Gloria!

Pemimpin Redaksi e-Reformed,
Teddy Wirawan
< teddy(at)in-christ.net >
< http://reformed.sabda.org >
Edisi: 
Edisi 154/Juli 2014
Isi: 

Pendidikan jarak jauh juga dapat dilakukan. Gelar-gelar dan kursus-kursus tidak terlokalisasi di satu tempat saja. Bahkan, perguruan tinggi dapat dibuat dengan bermodalkan sebuah ruko atau gedung sederhana, tetapi dengan jangkauan sedunia dan akses data serta pengajar secara luas.

Yang pasti, kehadiran komputer yang semakin murah dengan sejumlah aksesorisnya di Asia Tenggara telah mulai menjadi bagian hidup. Sebuah komputer dapat memainkan musik, film/laser, menjadi alat melalui jaringan internet, alat mengobrol bahkan dapat diprogram untuk mengatur listrik, dan berbagai alat di rumah kita. Jangan lupa, kita pun dapat membeli dan menjual barang melalui komputer serta kartu kredit. Dengan alat itu, pencarian informasi dan berbagai keputusan dapat dimulai di rumah. Lebih lanjut lagi, kalkulator akan digantikan dengan komputer saku yang setiap anak SD pun akan membawanya. Alat ini pun akan berfungsi sebagai telepon tangan, jam, dan alarm. Jadi, alat yang tadinya merupakan pengolah informasi, ternyata menjadi alat yang serba bisa, budak yang penurut dan setia selama kita memperlakukannya dengan baik dan benar.

Semuanya hanya menyiratkan satu hal bagi keluarga kita, yaitu dunia yang tadinya didominasi oleh ciptaan alamiah (biosphere), kini mulai didominasi dengan alat-alat buatan manusia (techno-sphere). Banyak alat komunikasi dan informasi tadi sudah demikian canggihnya. Kita tidak mengerti cara kerjanya, tetapi toh dapat menggunakannya. Kita mulai semakin tergantung padanya. Bila hal ini membuat manusia lebih menyukai hubungan dengan alat daripada hubungan antarpribadi secara nyata, jumlah manusia yang kesepian akan semakin bertambah. Kecenderungan ini akan membuat pola hubungan suami istri semakin steril. Demikian pun dengan anak. Keluarga sangat rentan terhadap penyakit kehilangan kehangatan emosi. Jadilah dikenal dengan apa yang dinamakan "virtual home" atau "virtual family". Hanya namanya saja masih satu keluarga, tetapi kebersamaan selalu jarang terjadi, semua penataan keluarga berjalan secara remote/jarak jauh.

VI. Dampak bagi Pelayanan Khusus di Indonesia

Indonesia dikenal dengan berbagai hal yang khas. Pertama, Indonesia adalah kerumunan manusia. Sekitar 250 juta jiwa manusia tersebar dengan tidak teratur di negara ini, hampir 80%-nya mungkin bertumpuk di pulau Jawa yang kian bergerak ke tengah kota-kota. Manusia-manusia ini juga mencerminkan pluralitas atau keberbagaian corak yang membuat Indonesia bagaikan sepiring rujak raksasa. Pluralitas tadi dapat berupa pluralitas orientasi nilai, pola hidup, kekuatan ekonomi, dan etnis serta pluralitas dalam bidang spiritual. Pengaruh perubahan tren yang telah kita bahas akan dirasakan berbeda di berbagai kelompok yang ada. Namun, jumlah orang yang merasa keder dan tercabut dari akar semakin nyata--hal mana sering terlihat dalam menumpuknya jumlah orang yang meminta pelayanan pastoral konseling. Mereka kehilangan dunia stabil yang dulu mereka huni secara kejiwaan, sedangkan dunia baru begitu beragam dan mungkin mereka belum memiliki tempat di dalamnya.

Dari sudut perubahan komunikasi, ketika sebagian besar rakyat meloncat dari pola lisan langsung ke komunikasi televisi tanpa menguasai komunikasi tertulis, guncangan besar terasa. Yang pasti, perbedaan antara kota besar dan kecil serta desa akan semakin terasa.

Bagi pelayanan Kristiani, kesulitan yang diakibatkan oleh pluralitas tadi adalah luar biasa. Dari pengamatan penulis, agaknya bagi lingkup antargereja, kecenderungan untuk menghasilkan keberagaman sama kuatnya dengan kecenderungan untuk mencari bentuk kesatuan atau keesaan. Sifat individualis yang diakibatkan oleh pendidikan kita juga membuat orang sulit bekerja sama dan memiliki wawasan yang luas. Kalaupun dipaksakan keesaan tadi, sering kali totalitarianisme yang tersamar serupa dengan yang terjadi di masyarakat feodal kuno menjadi modus kerja.

Kedua, situasi politik dan budaya Indonesia menunjukkan suatu pergeseran yang serius. Keenam sentra kuasa politik sedang bergerak saling memengaruhi secara lebih aktif. Keenam sentra tadi adalah kuasa lembaga presiden, birokrat, ABRI, massa Islam, para pelaku bisnis, dan lain-lain. Media massa juga menonjolkan istilah demokratisasi, suatu proses pemberian dan penyadaran kuasa kepada lebih banyak orang yang semakin popular dituntutkan, bertentangan dengan kecenderungan pemusatan kuasa yang juga meningkat. Internet semakin memungkinkan falsafah ini tersebar luas. Apakah pelimpahan kuasa tadi sejalan dengan perkembangan kesiapan orang banyak untuk memikul tanggung jawab yang lebih kompleks, tentu dapat dipertanyakan. Dunia bisnis memberikan contoh bahwa perusahaan yang menekankan struktur organisasi raksasa dan serupa piramid mengalami kerugian yang serius, sedangkan beberapa dari mereka yang berpedoman pada ukuran yang ramping, jaringan yang luas, serta pendekatan hi-tech dan hi-touch mengalami pesatnya pertumbuhan. Namun, sering kali, banyak perusahaan yang membelah diri ke dalam sentra-sentra yang lebih kecil malah ambruk karena "empowerment" tidak sejalan dengan pembinaan pelaku-pelakunya sehingga mereka tidak siap secara mental dan keterampilan, untuk mengikuti strategi yang lebih lincah dan organisasi yang lebih ramping. Di pihak lain, angin demokratisasi tadi berembus di berbagai negara dengan sangat kuatnya. Khusus untuk Indonesia, agaknya masih perlu dikaji akibat kemungkinan tren ini berhadapan langsung dengan tren penyatuan kuasa bisnis, teknologi, dan komunikasi bersama aparat-aparat pemerintah.

Ketiga, gereja-gereja di Indonesia terus bertumbuh, tetapi dibandingkan dengan pesatnya pertumbuhan penduduk, serta pertumbuhan di kalangan Buddha, Hindu, dan Islam, mungkin pertumbuhan gereja tidak menimbulkan dampak makro secara nasional dan berjangka panjang. Dialog eksternal sering dilaksanakan secara sporadis, tetapi dialog internal di dalam kelompok sendiri malah lebih sulit dijalankan dengan tulus. Antar tiga unsur perubahan di dalam organisasi menurut teori Vijay Sathe, yaitu kepemimpinan, struktur organisasi, serta iklim kerja atau budaya organisasi gereja dan lembaga-lembaganya tidak bergerak seirama.

Dengan kata lain, di dalam pelayanan, dalam berbagai terobosan harus terjadi sesuatu yang menghasilkan dampak pada generasi yang akan datang. Di sini, pada dasarnya memang kita perlu mengkaji apakah perubahan di bidang komunikasi serta pergerakan manusia ke kota-kota di Indonesia merupakan alat Tuhan untuk memberikan kita kesempatan membuat terobosan serupa itu atau merupakan ancaman yang dapat menyulitkan kita.

VII. Tantangan dan Apa yang Dapat Dilakukan?

Pada zaman yang lalu, ketika para misionaris memasuki suatu ladang baru, mereka umumnya bekerja dengan pola yang serupa, yaitu membentuk sistem pendidikan, rumah sakit/kesehatan, percetakan, dan kemudian tempat pemeliharaan iman/gereja. Demikianlah kajian Thomas van den End. Jelaslah mereka menggunakan pendekatan yang holistik, yang masih relevan untuk zaman ini, yaitu melalui pendidikan, sistem pemeliharaan kesehatan, sistem komunikasi, serta sistem pemeliharaan dan pembinaan iman untuk menggarami masyarakat di mana mereka melayani. Namun, apakah cara kerja kita untuk menggarami lingkup-lingkup tadi perlu diubah? Tentunya masih harus diperjelas. Untuk itu, kita perlu merangkum situasi pelayanan masa kini.

Bagaimana dengan situasi sekarang? Masyarakat sekarang jelas digarami oleh media massa. Selain itu, pluralitas di dalam tubuh gereja terus menjadi-jadi di samping usaha pengembangan kerja sama. Untuk situasi yang dinamis dengan perkotaan sebagai pusat orientasi, cara kerja pelayanan yang berabad-abad tidak pernah diubah agaknya perlu pengkajian ulang. Cara yang lama mungkin tidak lagi dapat meraih kesepian orang-orang yang sedang bingung, tergoyah (displaced), serta lelah mengkaji alternatif jalur hidup karena perubahan yang demikian cepat sehingga mereka melarikan diri dengan mencari-cari kenikmatan dan hal-hal yang baru. Gereja yang lahir dari dalam budaya lisan dan menyelam ke budaya tulisan, sekarang harus meraih manusia yang berbudaya elektronis. Gereja mungkin mengalami kesulitan untuk memahami manusia yang berbudaya elektronis, apalagi untuk mampu berkomunikasi dengan mereka tentang Injil dan menyimak mereka. Mengapa Tuhan membiarkan hal ini terjadi tentu merupakan tantangan besar yang bersifat teologis dan budaya yang menuntut kerendahan hati kita dalam menjawabnya. Kita perlu menggumuli apa inti pelayanan dan bagian manakah yang dapat ditawar karena itu merupakan alas dalam menjalankan pelayanan tadi.

Tantangan lain terjadi pada tingkat manajerial pelayanan. Bila pada abad pertengahan dan zaman sebelum abad X gereja-gereja menguasai kota bersama para bangsawan dan kemudian bersama para pedagang, sekarang keadaan sudah lain. Tidak lagi mungkin sistem sekolah, rumah sakit, media massa, dan gedung-gedung gereja dimiliki oleh satu kelompok gereja yang bercorak iman yang sama walaupun gereja tadi berpusat di perkotaan, di mana segala sumber daya dan dana tersedia. Biaya overhead dan operasional akan terus berkembang melebihi daya dukung finansial yang dapat dikumpulkan oleh gereja dari warga dan donatur-donatur besarnya. Kompleksitas dan ragam pelayanan yang semakin membutuhkan pelayan-pelayan spesialis dan bukan hanya generalis membuat pembiayaan untuk SDM semakin cepat meningkat pula.

Keadaan serupa ini menuntut gereja dan umat Kristen untuk menempuh strategi yang berbeda dari abad pertengahan dan abad lain sebelum abad XX. Pertama, pelayanan harus ditangani, baik oleh gereja maupun oleh organisasi yang bercorak Kristen, walaupun organisasi tadi tidak dimiliki oleh gereja. (Pertanggungjawaban dan kaitan organisasi tadi ke gereja adalah melalui pertanggungjawaban moral-spiritual, bukan lagi struktural dan organisasional.) Dengan demikian, hubungan antara "church" dan "parachurch", yang notabene sudah ada lama di tanah air ini, harus dijadikan sinergi daripada dipandang sebagai persaingan, serentak dengan semakin lancarnya komunikasi antara pribadi orang Kristen yang saling berbeda serta telah ditembusnya batas-batas denominasi dan gaya spiritual serta gaya kerja pelayanan masing-masing.

Kedua, hubungan sinergisme antargereja sendiri menjadi hal yang tidak lagi dapat ditawar dalam rangka mewujudkan pelayanan yang berdaya raih luas dan mendalam. Hal ini tidak berarti bahwa gereja harus meleburkan diri dengan wujud yang besar. Pendekatannya harus bagaikan internet, yaitu independen, tetapi interdependen dalam network. Tidak lagi mungkin pada zaman yang berubah cepat ini kita berkomunikasi sendiri, mengatur jalur kerja dan pelayanan sendiri, serta membuat pelayanannya sendiri pula. Zaman ini menuntut kerja sama dan aliansi strategis seperti yang disampaikan konsultan internasional Keniichi Ohmae. Menarik sekali bahwa berita ini disampaikan dari luar gereja dan sangat menggemakan apa yang disampaikan oleh firman Tuhan. Jadi, pengelolaan dan pembangunan rumah sakit, wisma pelatihan, atau sharing gedung gereja besar, dan sebagainya perlu dipikirkan sebagai suatu pilihan. Hal ini semakin mendesak terutama dengan terbukanya kesempatan untuk pengabaran Injil secara utuh melalui media massa, suatu usaha yang membutuhkan modal, sumber daya manusia, dan network yang sangat besar dan tidak mungkin dikelola untuk jangka panjang oleh satu dua kelompok Kristen.

Ketiga, network merupakan salah satu tiang utama dalam usaha apa saja di Indonesia. Tanpa network yang memadai di dalam dan luar negeri, informasi serta relasi yang dimiliki tidak akan cukup membuat terobosan inovasi yang bersifat nasional dan berdampak untuk jangka panjang. Di sini, kita menyadari bahwa kebutuhan untuk membuat pusat informasi bersama untuk seluruh kelompok Kristen akan menjadi tugas besar dalam waktu dekat. Pusat ini mungkin tidak harus besar dalam arti fisik, tetapi besar di dalam kemampuannya mengolah data dan memperoleh data dari berbagai sentra informasi yang telah ada. Teknologi komunikasi jelas sangat memungkinkan hal tadi. Network juga membuat kita terhindar dari duplikasi. Misalnya, antar sekian banyak sekolah teologi dan perpustakaannya di Jawa Barat dapat dilakukan sistem sharing peminjaman majalah, sistem transfer kredit, dan sebagainya.

Keempat, keseluruhan kemungkinan pelayanan yang dipaparkan di atas memanggil kita untuk menoleh sepenuhnya kepada Salib Kristus dan tidak terpaku untuk memandang diri sendiri, gereja sendiri, atau luka-luka hubungan antara gereja dan organisasi parachurch pada masa lalu. Selanjutnya, kita harus mengadopsi apa yang disebut oleh Taichi Sakaiya sebagai sikap "outward looking". Untuk menyiapkan sikap mental tadi dan sikap iman serupa itu, suatu crash program dapat dilaksanakan, khususnya dalam pelatihan pembentukan wadah muda-mudi Kristen antargereja atau menghidupkan salah satu wadah yang masih berpotensi. Masa depan kota dengan teknologi dan pluralitasnya membutuhkan kaum pemimpin muda yang memiliki karakteristik sebagai berikut:

  1. Memiliki sikap ingin bekerja sama,
  2. lebih berporos pada visi kerajaan Allah daripada visi yang terikat hanya pada denominasi, mampu membuat konsep pelayanan bersama para teolog,
  3. mampu mengenali kesempatan melayani, antara lain melalui dunia komunikasi dan lingkup kota-kota,
  4. andal dalam menyusun strategi,
  5. mampu menjamin pelaksanaan operasionalnya dan mampu memiliki hati yang peka pada kehendak dan kuasa Allah bagi kenyataan di Indonesia, antara lain lajunya pertambahan jumlah penduduk serta meningkatnya jumlah mereka yang lebih lemah secara pendidikan, ekonomi, dan politis daripada kita,
  6. mampu menangani pertumbuhan iman pribadinya secara serius.

VIII. Penutup

Kesimpulan sejauh ini ialah dunia Asia dan Indonesia bergerak ke kota dengan berbagai pola komunikasi dan pluralitas yang dihasilkannya. Kota berarti kebutuhan untuk pegangan hidup dan peta perjalanan iman di tengah dinamika yang sering membingungkan. Teknologi komunikasi dan polanya yang beragam berarti tersedianya kemungkinan kita meningkatkan daya jangkau dalam usaha penginjilan dalam arti yang holistik. Pluralitas berarti kita perlu menggunakan pendekatan network dalam menjalin keesaan dan bukan pendekatan struktural birokratis. Di pihak lain, perkembangan kota, teknologi komunikasi, dan pluralitas juga dapat menghasilkan manusia yang bingung, mau enak saja, dan terbius kesan.

Dari mana kita memulainya? Berbeda dari lembaga lain dan umat lain, gereja dan orang percaya tidak bisa tidak harus mulai merespons perubahan yang ada dengan kaitan yang kian mendalam dengan Allah di dalam Tuhan Yesus. Kerinduan untuk mengungkapkan kasih dan perasaan berutang pada karya keselamatan dan kasih-Nya yang demikian luhur, harus menjadi tumpuan dari segala karya pelayanan dan strategi baru yang akan ditempuh dalam rangka kita melaksanakan tugas sebagai saksi-Nya. Lebih lanjut lagi, perubahan yang ada harus dipandang selaku kesempatan untuk lebih mengkaji dan mendalami makna hubungan kita dengan Bapa. Dengan demikian, perubahan tidak dilihat sebagai ancaman yang harus ditangkal, tetapi sebagai kesempatan mencari kehendak-Nya dan menjalani lagi langkah kepatuhan bagi Kristus dan kerajaan-Nya, serta sekaligus menunjukkan kasih kita bagi-Nya. Dengan kata lain, perubahan yang terjadi dan demikian mendasar mempertanyakan sedalam-dalamnnya siapa diri kita dan sejauh mana kita bersedia bergantung pada kehendak-Nya.

Sumber: 

Diambil dan disunting dari:

Judul buku: Jurnal Pelita Zaman, Volume 12, Nomor 01 (Mei 1997)
Judul bab : Peta Perubahan Teknologi Komunikasi dan Dampaknya Bagi Pelayanan Pada Abad XXI
Penulis : Robby I. Chandra
Penerbit : Yayasan Pengembangan Pelayanan Kristen Pelita Zaman
Halaman : 53 -- 67

Komentar