Skip to main content

Editorial

Dear Pembaca e-Reformed,

Iman Kristen penuh dengan berbagai misteri karya Allah. Peristiwa penciptaan, sejarah umat Allah, kelahiran Kristus sampai kepada kebangkitan-Nya, merupakan beberapa misteri iman kita. Tentu saja, semua hal tersebut menjadi misteri karena keterbatasan kita yang tidak mampu menyelami maksud dan cara Allah. Kelahiran Kristus -- yang menjadi awal dari karya keselamatan dan penebusan -- menjadi misteri yang besar. Dalam pemikiran manusia secara umum, bahkan dalam wacana agama apa pun, Allah dikenal begitu transenden dan berjarak dari umat-Nya. Sementara itu, pada peristiwa Natal, Allah berinkarnasi menjadi manusia. Allah yang transenden itu menjadi imanen. Yang kekal menjadi fana dan diam bersama kita. Jika bukan karena karya Roh Kudus, kita pasti akan sulit memercayai karya keselamatan Allah, bahkan mungkin menganggapnya absurd dan sesat.

Menyambut masa Adven yang akan segera tiba, publikasi e-Reformed bulan ini akan menyajikan artikel tentang misteri inkarnasi Kristus yang dinyatakan oleh Paulus dalam surat-suratnya. Melalui artikel ini, kita akan diajak melihat tentang betapa dalamnya makna dari inkarnasi Kristus beserta implikasinya bagi iman Kristen. Kristus, Allah yang menjadi manusia itu, sungguh patut kita muliakan dalam segala aspek kehidupan ini. Kiranya dengan semakin bertambahnya pemahaman kita dalam memaknai inkarnasi Kristus, semakin bertambah dalam penyembahan kita terhadap Dia, Raja di atas segala raja. Soli Deo gloria!

Okti Nur Risanti

Pemimpin Redaksi e-Reformed,
Okti Nur Risanti

Edisi
Edisi 206/November 2018
Isi

Ada banyak hal dalam hidup yang membuat kita terheran-heran; dunia kita penuh dengan misteri yang dalam, tetapi misteri terbesar dari semua itu adalah misteri inkarnasi. Salah satu pernyataan paling mendalam dari misteri ini terdapat dalam 1 Timotius 3:16: “Kita mengakui betapa besarnya rahasia kesalehan itu: ‘Ia, dinyatakan dalam daging, dibenarkan oleh Roh, dilihat oleh malaikat-malaikat, diberitakan di antara bangsa-bangsa, dipercaya dalam dunia, diangkat kepada kemuliaan.’” (1) Ayat ini merangkum sebuah bagian yang di dalamnya Paulus membahas gereja dan majelis jemaatnya. Karena gereja adalah pilar dan penopang kebenaran, maka fokus dari hidup dan pesan gereja adalah Tuhan Yesus Kristus.

Inkarnasi

Paulus memulai dengan sebuah pernyataan tentang misteri kesalehan: “Kita mengakui betapa besarnya rahasia kesalehan itu.” Dengan frasa “kita mengakui”, dia mengatakan bahwa misteri ini harusnya menjadi fondasi kesaksian gereja. Dengan frasa ini, dia mengajarkan bahwa hal itu adalah tanpa kontroversi; sesuatu yang telah diakui benar. Dia tidak mengacu kepada pengakuan gereja, tetapi kepada sebuah keyakinan inti yang tidak perlu diperdebatkan. Dengan perkataan lain, jika seseorang adalah Kristen, dia harus berkomitmen terhadap kebenaran yang dinyatakan dalam kalimat ini.

Paulus menyebut kebenaran yang tidak dapat disangkal ini dengan “rahasia kesalehan”. Dalam Roma 16:25-26, Paulus menjelaskan apa yang dia maksudkan dengan misteri: “Bagi Dia yang sanggup meneguhkan kamu sesuai Injil yang kubawa dan pemberitaanku tentang Yesus Kristus, dan yang sesuai dengan penyingkapan rahasia yang telah disembunyikan selama berabad-abad, tetapi yang sekarang telah dinyatakan melalui kitab-kitab para nabi, sesuai dengan perintah Allah yang kekal yang telah diberitahukan kepada segala bangsa untuk memimpin menuju ketaatan iman”. Rahasia ilahi bukanlah fenomena yang hanya diketahui dan dipahami oleh beberapa orang tertentu, melainkan kebenaran yang disabdakan sejak kekekalan dan dinubuatkan dalam Perjanjian Lama, tetapi hanya benar-benar digenapi melalui wahyu kerasulan.

Misteri tertentu yang dibukakan secara samar dalam Perjanjian Lama ini adalah kerendahan dan kemuliaan Allah berinkarnasi, yang dengan itu orang-orang bukan Yahudi pun masuk ke dalam gereja. Pikiran kita meragukan misteri inkarnasi dan implikasinya ini; itu ada di luar batas kemampuan pemahaman kita. Injil adalah sebuah misteri, tetapi misteri yang dibukakan secara jelas dalam Perjanjian Baru.

Perhatikan juga tujuan dari pesan ini. Sebelumnya, Paulus menulis, “Namun, tujuan dari perintah itu adalah kasih yang berasal dari hati yang murni, nurani yang baik, serta iman yang tulus” (1 Timotius 1:5). Oleh karena itu, dia menyebut kebenaran ini “rahasia kesalehan”. Ini bukanlah misteri yang menggelitik otak orang pintar atau sekelompok orang saja; ini bukanlah misteri yang menimbulkan diskusi abstrak meski pikiran kita direntangkan dengan kebenaran-kebenaran Kitab Suci dan kita suka memikirkan tentang doktrin-doktrin firman Allah yang indah. Kebenaran ini, seperti semua kebenaran Allah, mendatangkan kesalehan. Di sini, kita mendapati esensi dari apa yang kita sebut Calvinisme praktis. Semua kebenaran Alkitab harus diterima sedemikian rupa sehingga menghasilkan kesalehan dan penyembahan. Maka dari itu, perenungan akan misteri ini seharusnya mengubahkan.

Paulus menyingkapkan misteri itu dalam paruh kedua dari ayatnya: “Ia, dinyatakan dalam daging, dibenarkan oleh Roh, dilihat oleh malaikat-malaikat, diberitakan di antara bangsa-bangsa, dipercaya dalam dunia, diangkat kepada kemuliaan.” Format kalimat ini sendiri menarik karena tampak seperti kalimat liturgis -- entah itu sebuah pengakuan atau himne. Barangkali, itu merupakan potongan puisi yang paling menggugah rasa ingin tahu dalam Perjanjian Baru. Kita melihat rancangan artistik paling teliti di ayat ini dalam penyusunan tata bahasanya, 3 bait dalam 6 baris, dengan masing-masing baris memiliki susunan tata bahasa yang sama. Bait pertama berkenaan dengan karya Kristus yang diselesaikan; bait kedua, diberitakan; dan bait ketiga, diakui.

Lagi pula, masing-masing bait menyatakan kontras antara bumi dan surga: “dinyatakan dalam daging” -- duniawi, “dibenarkan oleh Roh” -- surgawi; “dilihat oleh malaikat-malaikat” -- surgawi, “diberitakan di antara bangsa-bangsa” -- duniawi; “dipercaya dalam dunia” -- duniawi, “diangkat kepada kemuliaan” -- surgawi. Yang terakhir, kalimat ini dimulai dengan kerendahan Kristus dan diakhiri dengan kemuliaan-Nya. Lebih dari semua itu, struktur yang disesuaikan ini menjadi pernyataan yang mengesankan tentang inkarnasi.

Apakah pernyataan dan pengakuan gereja yang terbesar? Seperti yang ditulis di atas, bait pertama berkenaan dengan kerendahan dan kemuliaan Juru Selamat yang berinkarnasi: Ia, dinyatakan dalam daging, dibenarkan oleh Roh. Di sini, terdapat perbedaan secara teks antara teks di New King James Version dan NASB atau ESV. Dua yang disebutkan terakhir menulis “yang dinyatakan (dimanifestasikan) dalam daging”. NKJ menulis “Allah dimanifestasikan (dinyatakan) dalam daging”. Sebenarnya, tidak ada perbedaan secara doktrin. Istilah “Ia” menunjuk kepada Kristus; Dia adalah Allah yang telah menjadi daging. NKJ membuat implikasinya lebih jelas dengan menyatakan bahwa Allah telah datang dalam daging.

Malaikat

Banyak di antara kita yang sudah lama mengetahui kebenaran ini dan cenderung cepat-cepat melewatkannya; meski demikian, ini benar-benar sebuah misteri yang dalam. Kata dinyatakan (dimanifestasikan) menandakan keberadaan tertinggi Yesus Kristus. Paulus lebih jauh menyatakan keberadaan-Nya yang tertinggi dalam Galatia 4:4: “Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan lahir di bawah Hukum Taurat”. Dengan kata-kata sederhana ini, Paulus menyatakan keilahian Juru Selamat kita. Sebab, anak kalimat “Allah mengutus Anak-Nya”, menyatakan secara tidak langsung ketuhanan dan kekekalan Sang Anak. Ketika kita memberitahukan kelahiran seorang bayi, kita tidak berkata, “Kami dengan bahagia memberitahukan bahwa Allah telah mengutus Jacob Belden ke dalam dunia.” Paulus memakai kalimat yang menuntut kita mengerti bahwa Dia yang lahir dari seorang wanita sudah ada. Sang Anak ada bersama dengan Bapa, dan Bapa mengutus Dia ke dalam dunia. Sang Anak bukanlah seseorang yang baru ada setelah Dia lahir. Allah mengutus Anak-Nya ke bumi (bandingkan Yohanes 3:16).

Dia datang ke bumi dengan lahir melalui seorang wanita. Dalam hal ini, Paulus menekankan catatan yang mulia tentang kehamilan perawan, yang dinyatakan di Lukas 1:26-38. Dua frasa sederhana ini -- “diutus” dan “lahir dari wanita” -- merangkum misteri inkarnasi. Anak Allah yang kekal diutus ke dalam dunia melalui proses yang memakai natur manusia di dalam rahim Perawan Maria. Maka dari itu, Dia adalah pribadi yang memiliki dua natur yang sangat berbeda. Luther menyatakan pemahamannya tentang ini dalam himne adven yang dia buat, “Semua memuji Engkau, Tuhan yang kekal”.

Dulu langit bersujud di hadapan-Mu;
Sekarang lengan seorang perawan menggendong-Mu;
Para malaikat yang dulu bergirang di dalam-Mu;
Sekarang mendengar suara-Mu sebagai seorang bayi.

Kita menyatakan kebenaran ini dengan istilah inkarnasi. Sebagaimana yang ditulis oleh Rasul Yohanes dalam Yohanes 1:14, “Firman itu telah menjadi daging dan tinggal di antara kita. Kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan Anak Tunggal Bapa, penuh dengan anugerah dan kebenaran.”

Katekismus Kecil Westminster merangkum peristiwa tersebut demikian: “Bagaimana Kristus, yang adalah Anak Allah, menjadi manusia? Kristus, Anak Allah, menjadi manusia dengan cara mengenakan tubuh yang sejati, dan jiwa yang berakal. Dia dikandung oleh kuasa Roh Kudus, dalam kandungan anak dara Maria, dan lahir dari dia, kendati tanpa dosa.” (S.C. 22)

Yang tersirat dalam pernyataan di dalam daging ini adalah kerendahan-Nya. Allah merendahkan diri untuk mengenakan natur manusia, daging. Paulus menyatakan hal yang sama dalam kalimat sederhana di Galatia 4:4, “Dia lahir di bawah Hukum Taurat.” Meski Yesus adalah pewaris atas segala sesuatu, Dia lahir di bawah Kovenan Musa (Inggris: Mosaic Covenants) dengan semua kewajibannya. Dia merendahkan diri-Nya sendiri dan tunduk pada aturan-aturan ketentuan Musa. Dia menggenapi semua nubuat dan tanda-tandanya. Dia adalah nabi, imam, dan raja yang sempurna. Dia memberikan nyawa-Nya sebagai korban persembahan yang sempurna. Sekali lagi, Katekismus Kecil Westminster menjelaskan hal-hal ini sebagai kerendahan atas diri-Nya, “Apa yang tercakup dalam kerendahan Kristus? Apa yang tercakup dalam kerendahan Kristus ialah yang ini. Dia lahir, bahkan dalam kedudukan yang hina, dibuat takluk pada Hukum Taurat, mengalami kemalangan kehidupan ini, murka Allah, dan kematian di kayu salib, yang terkutuk. Dia dikuburkan, dan selama beberapa waktu, Dia berada di bawah kuasa maut.” (S.C. 27)

Dengan tunduk pada hukum sebagai Kovenan Karya (Inggris: Covenant of Works), Kristus ada dalam perjanjian untuk menaati hukum Allah yang sempurna dan menanggung kutukan setiap pelanggaran hukum. Khususnya, Dia menaati perintah moral dengan sempurna (ketaatan-Nya yang aktif) dan Dia memenuhi kutukan penghakiman Allah (ketaatan-Nya yang pasif).

Dalam kapasitasnya, sebagai seseorang yang dilahirkan di bawah hukum, Yesus menebus umat-Nya. Galatia 4:5 mengandung dua tujuan anak kalimat, “untuk menebus mereka yang ada di bawah Hukum Taurat supaya kita dapat menerima pengangkatan sebagai anak-anak-Nya”. Kata Bahasa Yunani yang sama yang dipakai untuk kata “untuk” dan kata “supaya”.

Salib

Kalimat tujuan pertama menjelaskan karya Kristus: Dia datang untuk menebus. Anda tidak boleh memisahkan kebenaran inkarnasi dari penebusan. Ada dua aspek utama yang ada dalam penebusan kita: penghapusan kutukan dan pemulihan warisan. Paulus menjelaskan aspek pertama tentang karya penebusan Kristus dalam Galatia 3:13, “Kristus menebus kita dari kutuk Hukum Taurat dengan menjadi kutuk bagi kita, sebab ada tertulis, ‘Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!’” Juru Selamat kita menggenapi murka dan kutuk Allah terhadap orang berdosa untuk menyelamatkan kita dari hukuman kekal akibat dosa. Berdasarkan karya ini, Allah membenarkan umat-Nya. Katekismus Kecil 33 mendefinisikan pembenaran dengan baik: “Pembenaran adalah tindakan rahmat Allah yang bebas. Dengannya, Dia mengampuni segala dosa kita dan menerima kita sebagai orang yang benar dalam pandangan-Nya, hanya karena kebenaran Kristus yang diperhitungkan kepada kita dan yang diterima hanya oleh iman.” Kita tahu bahwa Allah melakukan dua hal ini dalam pembenaran kita: Dia mengampuni dosa-dosa kita dan mengangkat kita menjadi orang yang benar secara sah.

Dalam Galatia 4:5, rasul mengacu ke aspek kedua dari karya penebusan Kristus, yaitu pemulihan warisan yang hilang. Aspek kedua ini dinyatakan dalam Imamat 25:25, “Jika seseorang di negerimu menjadi miskin dan terpaksa menjual sebagian tanahnya, keluarga terdekatnya harus datang dan menebus tanah itu kembali.” Allah menggambarkan transaksi ini dengan indah dalam kisah Rut dan Boas. Naomi telah kehilangan warisannya akibat kematian suaminya, Elimelekh. Keluarga terdekatnya, Boas, membayar utang (tebusan) itu dan memulihkan warisan itu.

Ketika Adam jatuh ke dalam dosa, kita semua kehilangan warisan kita. Dia memiliki kesempatan untuk diadopsi menjadi anak Allah, tetapi pemberontakan-Nya menjadikan dia anak Setan, anggota kerajaan kegelapan. Sebagai akibatnya, tidak ada seorang pun di antara kita yang berdasarkan kelahiran adalah para pewaris Allah, tetapi kita semua adalah anak Setan. Agar warisan dipulihkan, pembayaran penuh harus ditebus. Pembayaran ini adalah ketaatan Kristus yang aktif dan pasif. Kristus menaati Hukum Taurat dengan sempurna dan membebaskan kita dari kutuk; Dia membayar utang itu. Karena karya penebusan-Nya, kita memperoleh warisan itu.

Paulus mengembangkan kebenaran ini dalam anak kalimat tujuan kedua: supaya kita diterima menjadi anak. Dengan pengangkatan sebagai anak, Paulus menjelaskan relasi unik yang Allah berikan kepada semua orang yang dibenarkan dalam Kristus.

Katekismus Kecil 34 mendefinisikan pengangkatan sebagai anak demikian: “Pengangkatan sebagai anak adalah tindakan rahmat Allah yang bebas. Dengannya, kita terhisab anak-anak Allah dan berhak menerima semua hak yang mereka miliki”. Kita bukan saja dimasukkan sebagai anggota keluarga, tetapi kita juga memiliki semua hak istimewa sebagai anak Allah. Hak-hak istimewa ini adalah warisan kita.

Namun, jika Kristus tetap mati, perkiraan musuh-musuh-Nya akan terbukti benar, tetapi bagian kedua bait itu berbunyi, “Dia dibenarkan oleh Roh”. Istilah dibenarkan (Inggris: vindicated) adalah kata yang biasanya diterjemahkan sebagai 'dibenarkan' (Inggris: justified). Pembenaran Kristus adalah pernyataan Allah bahwa Dia menerima korban yang dipersembahkan. Dia dibenarkan, dinyatakan sebagai Anak Allah yang kudus. Dalam pembenaran-Nya terdapat pembenaran kita: “Yaitu, Yesus yang telah diserahkan untuk mati karena dosa kita, dan yang telah dibangkitkan demi pembenaran kita” (Roma 4:25).

Dengan istilah Roh, Paulus menunjuk kepada Roh Kudus, menyejajarkannya dengan apa yang dia tulis dalam Roma 1:4, “dan yang dinyatakan sebagai Anak Allah yang berkuasa melalui kebangkitan dari antara orang mati menurut Roh Kekudusan, yaitu Kristus Yesus, Tuhan kita”. Kebangkitan terjadi oleh kuasa Roh. Karena itu, di bait pertama, Paulus mengajarkan bahwa Juru Selamat yang berinkarnasi menuntaskan penebusan dengan sempurna. Perhatikan, Dia haruslah seorang manusia supaya bisa menebus manusia yang cemar, penuh dosa (Ibrani 2:14, 15); Dia haruslah Allah supaya bisa memberikan keampuhan yang tak terbatas dan kekal pada karya-Nya (Kisah Para Rasul 20:28).

Bait kedua berkenaan dengan pemberitaan karya Kristus: “dilihat oleh malaikat-malaikat, diberitakan di antara bangsa-bangsa”. Bait ini diawali di surga; kebangkitan Kristus disaksikan oleh para malaikat. Tentu saja, sepanjang hidup-Nya, Dia dilihat oleh para malaikat. Mereka memberitakan berita tentang kelahiran-Nya sebelum itu terjadi kepada Maria dan Zakharia (Lukas 1:18-21, 26-38) dan pada hari kelahiran-Nya, mereka mengabarkan kepada para gembala (Lukas 2:8-14). Mereka melayani Dia di padang gurun (Matius 4:11) dan mereka adalah saksi bisu atas kematian-Nya (Matius 26:53). Namun, para malaikat juga adalah saksi atas kemuliaan-Nya: mereka adalah yang pertama mengabarkan kebangkitan-Nya (Matius 28:2-7); mereka melihat Dia penuh kemenangan masuk ke istana surga pada hari kenaikan-Nya (Mazmur 68:17, 18; Efesus 4:8-10); saat ini, mereka terus-menerus berkumpul di depan takhta-Nya, memuji-muji Dia (Wahyu 5:11-14).

Bersama dengan proklamasi surgawi ini adalah: “diberitakan di antara bangsa-bangsa” yang duniawi. Kristus kita yang mulia harus dikabarkan sampai ke ujung bumi. Di sini, kita memperhatikan kaitan kalimat ini dengan tujuan gereja di ayat 15. Gereja telah menerima misteri yang mulia ini sehingga gereja bisa memproklamasikan keunggulan Kristus. Bagi Paulus, bagian dari misteri ilahi adalah dimasukkannya orang bukan Yahudi ke dalam gereja. Separuh kedua di bait kedua adalah mandat Gereja; kita mengabarkan Kristus yang mulia sampai ke ujung bumi sampai Dia datang kembali. Karena itu, inkarnasi mencakup misi mandat gereja (Matius 28:18-20).

Misi

Bait ketiga berkenaan dengan diterimanya karya Kristus: “Dipercaya di dunia, diangkat kepada kemuliaan.” Tugas kita bukan tidak pasti; Dia dipercaya di dunia. Gereja, pada dekade-dekade pertamanya, bisa mengakui bahwa Kristus telah dipercaya di dunia (Kolose 1:6, 23). Keyakinan ini didasarkan pada bagian surgawi-Nya: “diangkat kepada kemuliaan.” Dia dimuliakan di surga di sebelah kanan Allah Bapa (Mazmur 110:1; Efesus 1:20; Kolose 3:1). Segala otoritas telah diberikan kepada-Nya (Mazmur 2:8, 9; Matius 28:18); oleh karena itu, gereja dengan yakin memproklamasikan Injil kepada bangsa-bangsa, mengetahui bahwa berdasarkan karya inkarnasi Juru Selamat, Allah akan menyelamatkan semua umat pilihan-Nya.

Terlebih lagi, karena Kristus ada di surga, Dia adalah penjamin kemuliaan kita. Karena Dia telah naik ke surga dan disambut dalam kemuliaan, kita akan bersama dengan Dia. Suatu hari kelak, kita akan melihat Dia dan menjadi serupa dengan Dia (1 Yohanes 3:2). Sungguh, ini adalah rahasia kesalehan! Pada akhir zaman, Juru Selamat yang berinkarnasi dan mulia itu akan menyempurnakan kita dalam kemuliaan.

Ketika kita merenungkan kemuliaan inkarnasi Kristus, kita berseru bersama Yohanes, “Bagi Dia, yang mengasihi kita dan melepaskan kita dari dosa-dosa kita dengan darah-Nya -- dan telah menjadikan kita satu kerajaan, imam-imam bagi Allah dan Bapa-Nya, bagi Dialah kemuliaan dan kekuasaan sampai selama-lamanya! Amin” (Wahyu 1:5, 6)! (t/Jing-Jing)

NOTES:
Semua kutipan ayat diambil dari versi Alkitab Yang Terbuka (2018).

Misteri Inkarnasi

Diterjemahkan dari:
Nama Situs : Reformations 21
Alamat situs : http://www.buletinpillar.org/artikel/theologi-reformed-dan-apresiasi-senihttp://www.reformation21.org/articles/the-mystery-of-the-incarnation.php
Judul asli artikel : The Mystery of Incarnation
Penulis artikel : Dr. Joseph A. Pipa, Jr.
Tanggal akses : 20 November 2017

Penulis_artikel
Tim Chester
Tanggal_artikel
22 November 2018
Isi_artikel

Bayangkan menghadapi hari penghakiman setiap minggu.

Di dekat tempat saya tumbuh besar, di desa Oxfordshire di South Leigh, ada gereja St. James the Great. Di atas lengkungan mimbarnya terdapat lukisan dinding abad pertengahan yang menggambarkan penghakiman terakhir.

Di sebelah kirinya, orang-orang benar bangkit dari kubur mereka disambut masuk ke surga. Di sebelah kanannya, orang-orang terkutuk diikat bersama diseret ke celah mulut naga merah yang besar. Inilah yang dilihat oleh orang-orang yang datang ke gereja di South Leigh setiap hari Minggu. Dan, mereka tidak akan menjadi lega, bahkan jika mereka membelakanginya. Karena di dinding sebelah selatan lorongnya, ada lukisan dinding lain yang menggambarkan St. Michael menimbang jiwa-jiwa dalam sebuah neraca. Ada lebih banyak iblis yang melayang-layang, siap untuk membawa mereka yang didapati kurang.

Surga adalah sebuah kemungkinan bagi orang-orang yang datang ke gereja di South Leigh – tetapi demikian juga neraka. Dan, gereja tidak memberikan jaminan keselamatan. Mungkin Anda cukup benar di hadapan Allah dengan tambahan yang diberikan melalui sakramen. Mungkin tidak. Tidak ada yang mengetahuinya dengan pasti. Sesungguhnya, mengklaim jaminan apa pun merupakan tindakan kesombongan. Bagaimana mungkin seseorang menganggap dirinya sendiri cukup baik di hadapan Allah yang suci? Hal terbaik yang dapat Anda harapkan adalah siksaan api penyucian untuk membawa Anda masuk ke Surga.

Biarawan yang cermat dan tidak bahagia

Seperti apa rasanya tinggal di dalam lingkungan ini? Sebagian besar orang berharap yang terbaik dan menjalani hidup. Akan tetapi, ada satu orang yang tidak mau menjauhi jalan pemikiran gereja abad pertengahan.

Pada tahun 1505, ketika Luther masih menjadi mahasiswa, dia sedang berjalan kembali ke universitasnya setelah mengunjungi orang tuanya saat kilat hebat hampir menyambar dirinya. Pengalaman nyaris mati ini mengubah hidupnya. Sepuluh hari kemudian, dia mendaftarkan diri menjadi biarawan ke ordo Agustinian.

Luther pun segera mendapat reputasi karena semangatnya untuk mengejar panggilannya yang baru. Karena percaya bahwa dia hanya bisa menerima pengampunan dosa setelah mengakuinya kepada seorang imam, maka dia menjadi terobsesi melakukan kunjungan pengakuan dosa. Itu membuat kepala biaranya sangat marah. Sampai suatu saat, kepala biaranya berkata, “Begini Saudara Martin, jika kamu sangat ingin mengakui dosa, mengapa kamu tidak pergi melakukan sesuatu yang besar untuk diakui? Bunuhlah ayah dan ibumu! Berzinahlah! Berhentilah datang kemari dengan dosa-dosa yang tidak berarti dan palsu seperti itu!"

Akan tetapi, semua usaha Luther yang begitu giat tidak mendatangkan sukacita dalam dirinya.

Menemukan Kabar Baik, Sukacita Besar

Pada tahun 1512, pada usia 26 tahun, Luther dikirim untuk mengajar studi Alkitab di Universitas baru di Wittenberg. Mempelajari tulisan-tulisan Agustinus dan mengajar Mazmur, Roma, dan Galatia itulah yang pada akhirnya mendatangkan sukacita di hati Luther. Luther menemukan sebuah kebenaran yang membuka kunci sukacita yang akan bermanfaat untuk generasi-generasi yang akan datang.

Dalam Bahasa Jerman, sama seperti dalam Bahasa Ibrani, Yunani, dan Latin, keadilan dan kebenaran adalah kata yang sama, bagi Luther, “keadilan Allah” berarti satu hal: standar yang dengannya Allah mendapati kita bersalah. “Saya membenci kata ‘keadilan Allah,’ yang, dengan penggunaan dan kebiasaan dari semua guru saya, saya diajarkan untuk memahami secara filosofis bahwa … keadilan yang dengan itu adalah Allah adil dan dengan itu Dia menghukum orang-orang berdosa dan orang-orang yang tidak adil.” Pernyataan Paulus dalam Roma 1:17 bahwa keadilan atau kebenaran Allah adalah “Injil” atau “kabar baik” hanya mengejek Luther. “Saya tidak mengasihi – tidak, melainkan saya membenci – Allah yang adil yang menghukum orang-orang yang berdosa.”

Akan tetapi, kemudian Luther menyadari bahwa Paulus sedang menjelaskan kebenaran sebagai karunia yang diberikan oleh Allah, yang kita terima melalui iman. Berbicara tentang Roma 1:17, Luther berkata, “Saya mulai mengerti bahwa dalam ayat ini keadilan Allah adalah yang dengan itu orang yang dibenarkan hidup oleh karunia Allah, yaitu, oleh iman.” Allah memiutangi kita dengan kebenaran Kristus yang sempurna saat Kristus menanggung hukuman yang patut diterima karena ketidakbenaran kita. “Tiba-tiba,” lanjutnya, “Saya merasa bahwa saya dilahirkan kembali dan memasuki surga itu sendiri melalui pintu gerbang yang terbuka.” Tidak lama kemudian dia menulis, “Saya meninggikan kata termanis saya, ‘keadilan Allah’ dengan kasih yang sama besar seperti sebelumnya saya begitu membencinya. Frasa Paulus ini bagi saya adalah pintu gerbang surga.”

Ini adalah sebuah pesan yang bisa membawa kepastian. Mengapa? Karena ini adalah sebuah keyakinan yang tidak didasarkan atas kebaikan kita, tetapi pada perbuatan Kristus. Kebenaran Kristus, dipiutangkan kepada kita melalui iman menjanjikan surga bagi anak-anak Allah – tidak memerlukan api penyucian atau takut akan neraka. Injil mengubah rasa takut Luther menjadi iman, dari putus asa menjadi sukacita.

Injil Menjadikan Bahagia

Salah satu orang penting yang berperan dalam memperkenalkan penemuan kembali sukacita Luther ke dalam Bahasa Inggris adalah William Tyndale. Pada tahun 1526, Tyndale menerbitkan Perjanjian Baru dalam Bahasa Inggris. Itu adalah upaya keduanya dalam melakukannya.

Yang pertama, dia terpaksa melarikan diri ketika pihak berwenang menggerebek percetakan tempat itu diterbitkan. Dia tinggal di pembuangan dan akhirnya mati sebagai martir karena gairahnya untuk membuat sebuah Alkitab Bahasa Inggris tersedia bagi semua orang di negara itu. Dia menyelipkan sebuah kata pengantar di edisi pertama itu yang kemudian dia kembangkan menjadi A Pathway into the Holy Scripture. Di dalamnya, dengan indah dia menjelaskan kuasa Injil yang mendatangkan sukacita.

"Evangelion (yang kita sebut “Injil”) adalah kata Yunani; dan berarti kabar baik, gembira, senang, dan penuh sukacita, yang membuat hati seseorang jadi gembira, dan membuatnya bernyanyi, menari, dan melompat kegirangan .... Sebelum kematian-Nya Kristus memerintahkan dan menunjuk evangelion itu, Injil atau kabar, harus disampaikan ke seluruh dunia, dan dengan demikian memberi kepada semua orang yang percaya semua kebaikan-Nya, yaitu: hidup-Nya, yang dengan itu menelan dan mengganyang maut; kebenaran-Nya, yang dengan itu Dia menghapus dosa; keselamatan-Nya, yang dengan itu dia mengalahkan kutukan kekal. Sekarang bisakah orang yang celaka (yang terbungkus dalam dosa, dan ada dalam bahaya kematian dan neraka) tidak mendengar hal yang lebih membahagiakan, daripada kabar tentang Kristus yang menggembirakan dan menghibur seperti itu? Sehingga dia hanya akan bersuka dan tertawa dari dalam lubuk hatinya jika dia percaya bahwa kabar baik itu adalah benar."

Melompat Kegirangan

Ini adalah sebuah pesan yang perlu terus kita dengar. Bahkan jika kita percaya Kristus untuk pembebasan kita pada akhir zaman, kita bisa terlalu mudah membangun identitas kita sendiri hari ini. Bahkan, saat kita mengajarkan pembenaran oleh iman, kita justru dapat mempraktikkan pembenaran dengan mengajar, di mana rasa sejahtera kita bergantung pada bagaimana khotbah kita diterima. Kita bisa mengira diterimanya kita oleh Bapa bergantung pada perilaku kita. Dan, jika Anda takut pada celaan Allah, maka Anda tidak akan menghampiri Dia dengan sukacita.

Akan tetapi Injil “berarti kabar baik, gembira, senang, dan penuh sukacita, yang membuat hati seseorang jadi gembira, dan membuatnya bernyanyi, menari, dan melompat kegirangan.” Karena “kita telah dibenarkan oleh iman, maka kita telah berdamai dengan Allah melalui Tuhan kita, Kristus Yesus; melalui Dia, kita memperoleh jalan masuk menuju iman kepada anugerah Allah yang sekarang menjadi dasar kita berdiri” (Roma 5:1–2). Sehingga, kita bisa bersama dengan Tyndale dan Luther saat mereka tertawa dari lubuk hati mereka – saat mereka bersuka di dalam kebenaran mereka. (t/Jing-Jing)

Sumber Artikel

Diterjemahkan dari:

Nama situs: Desiring God
URL: https://www.desiringgod.org/articles/how-the-reformation-rediscovered-h…
Judul asli artikel: How the Reformation Rediscovered Happiness
Penulis artikel: Tim Chester
Tanggal akses: 31 Juli 2018

Editorial

Dear Pembaca e-Reformed,

Jika pada edisi sebelumnya kita sudah melihat bagaimana pandangan teologi Reformed terhadap seni, pada edisi ini, kita akan melihat cara pandang Calvin dalam sistem politik. Seperti kita ketahui bersama, Reformasi Protestan membawa berbagai transformasi sosial di dunia, termasuk dalam sistem politik modern. Sistem republik menjadi salah satu warisan dari gelombang reformasi yang dibawa oleh Calvin. Sebagaimana pandangannya yang positif terhadap seni, Calvin juga memandang positif pemerintah yang dilihatnya sebagai bagian dalam ordo penciptaan. Dalam pandangannya, pemerintah merupakan wakil Allah yang berfungsi untuk menjaga relasi manusia dengan Allah dan sesama sehingga terjadi keadilan sosial. Pemerintahan demokratis dalam bentuk republik menjadi ide Calvin dalam membentuk pemerintahan yang ideal, yang kemudian diterapkan oleh Jenewa, dan 147 negara di dunia pada saat ini. Calvinisme, dengan demikian, menjadi prinsip yang membawa dunia terlepas dari pemerintahan kerajaan yang bersifat feodal dan cenderung tiran dari abad-abad sebelumnya.

Untuk mengetahui lebih dalam tentang bagaimana transformasi politik dari calvinisme mengubah sistem politik dan pemerintahan dunia serta perkembangannya sekarang, mari kita bersama-sama menyimak publikasi e-Reformed bulan ini. Kiranya setelah membaca sajian kami, kita akan tergerak untuk melakukan transformasi sosial di negara kita, di tengah-tengah situasi sosial dan politik yang kian carut-marut akan hikmat duniawi.

Okti Nur Risanti

Pemimpin Redaksi e-Reformed,
Okti Nur Risanti

Edisi
Edisi 205/Oktober 2018
Isi

Salah satu transformasi sosial yang paling terasa dari Reformasi Protestan (khususnya calvinisme) terlihat dari sistem perpolitikan modern. Hampir seluruh pemerintahan di dunia saat ini memakai sistem demokrasi yang berformat republik. Tercatat bahwa 147 dari 206 negara di dunia memakai republik sebagai nama resminya, belum lagi negara yang tidak memakai istilah republik, tetapi faktanya melakukan sistem perpolitikan ini. Sistem republik telah dikenal sejak zaman Yunani kuno, tetapi corak perpolitikan republik modern adalah bentuk khas milik calvinisme. Prinsip pemerintahan Jenewa diakui oleh kaum Puritan sebagai model pemerintahan Kristen yang hampir sempurna. Bisa dibilang, warisan paling abadi dari tradisi calvinisme adalah penekanan pada kedaulatan rakyat dan hak melawan tirani. Setelah hadirnya Calvin, pandangan politik ini diterima secara luas di seluruh dunia, yang pada abad-abad sebelumnya dipandang sebagai pandangan yang radikal. Bisa dibilang, prinsip calvinismelah yang telah melepaskan seluruh dunia dari ikatan tirani para raja pada abad-abad sebelumnya, dan membawa seluruh sejarah umat manusia memasuki zaman demokrasi modern.

"Reformasi"

Reformasi Protestan

Sebelum Reformasi, posisi gereja sangatlah dominan dan disertai aktivitas-aktivitas korup dari para rohaniwan dan pemerintah. Sebenarnya, pada masa ini, mulai muncul republik-republik kecil yang berusaha melawan pola sentralisasi dan monarki yang telah bertahan selama berabad-abad. Namun, salah satu penyebab sulitnya perubahan dilakukan adalah akibat ajaran gereja yang mewajibkan ketundukan mutlak umat Kristen kepada pemerintahan yang berkuasa. Ajaran gereja Abad Pertengahan didominasi oleh sosok Thomas Aquinas yang juga menulis beberapa karya tentang perpolitikan. Dia berpendapat bahwa pemerintahan tunggal oleh raja adalah bentuk pemerintahan terbaik. Ditambah lagi, kuatnya campur tangan gereja dalam setiap bidang kehidupan telah menyebabkan peradaban manusia tertinggal selama berabad-abad. Maka, Reformasi Protestan yang dimulai dengan melakukan reformasi doktrin berakhir pada reformasi seluruh tatanan masyarakat.

Tokoh awal yang memulai Reformasi ini adalah Martin Luther. Bagi Luther, terdapat dua “kerajaan” yang harus dipisahkan, yaitu gereja dan pemerintah. Allah memimpin gereja melalui Injil-Nya, dan memimpin dunia melalui anugerah umum-Nya. Luther menyebutnya dengan kerajaan tangan kiri dan kerajaan tangan kanan karena keduanya dipimpin oleh tangan Allah. Bagi Luther, pemerintah hadir karena dosa. Allah yang melindungi Kain dari ancaman pembunuhan, setelah dia membunuh Habel. Maka, konsekuensinya, Luther merasa bahwa pemerintahan lebih bertujuan untuk mengatur orang tidak percaya daripada orang percaya. Pandangan lebih negatif terhadap pemerintah membuat Luther gagal memberikan kontribusi signifikan pada transformasi politik seperti yang dilakukan oleh Calvin. Ditambah lagi, Luther juga menekankan passive obedience di mana orang Kristen harus rela dianiaya oleh pemerintah yang zalim. Tokoh Reformasi kedua adalah Zwingli. Senada dengan Luther, Zwingli menekankan pemisahan kekuasaan antara gereja dan pemerintah. Jadi, bisa kita lihat, tokoh-tokoh sebelum Calvin belum mampu membuat terobosan berarti selain pemisahan kekuasaan.

Berbeda dengan Luther yang dikaburkan oleh konsep kejatuhan, Calvin melihat pemerintahan memiliki nilai dan fungsi sebelum kejatuhan. Calvin membuat terobosan dengan menyebut dunia sebagai “teater kemuliaan Allah”. Terobosan ini tidak hanya membebaskan wilayah-wilayah sekuler dari cengkeraman gereja, tetapi juga membuat dunia sekuler dengan bebas memanifestasikan kemuliaan Allah. Ada beberapa tema penting dalam tulisan Calvin yang membuat sistem politiknya begitu kukuh. Pertama, pandangan positif terhadap pemerintah sebagai bagian dalam ordo penciptaan. Calvin menyebut para pemimpin sebagai "wakil-wakil Allah" yang ditetapkan Allah untuk menjaga dan mendorong penyembahan kepada Allah maupun mengatur harmoni antarmanusia agar terjadi keadilan sosial. Calvin berpendapat bahwa pelayanan dalam pemerintahan adalah panggilan paling sakral dan terhormat dari semua panggilan manusia. Kedua, doktrin mengenai kerusakan total manusia. Jika manusia dibiarkan tanpa hukum, mereka pasti akan terus berdosa dan mengacaukan tatanan masyarakat. Dengan masuknya dosa, pemerintah mempunyai tugas untuk melaksanakan penghakiman Allah dengan menyandang pedang bagi para pelanggar hukum. Begitu juga dengan pemerintahan yang berdosa, jika dibiarkan tanpa pengawasan, ia akan menjadi korup. Ini menjadi dasar dari prinsip Check and Balance. Selain itu, Calvin juga berpendapat bahwa rakyat kadang perlu mengangkat senjata untuk melaksanakan hukuman Allah kepada pemerintahan yang korup. Ketiga, mengenai prinsip penebusan serta transformasi segala sesuatu. Pemerintahan tiran yang gagal menjalankan fungsinya akan digulingkan Allah. Calvin lebih mendukung transformasi secara damai dan progresif untuk menghindari revolusi. Calvin mendorong rakyat untuk mendoakan pemerintah karena Allah dapat mengubah hati pemimpin dan agar pejabat-pejabat yang lebih rendah melakukan reformasi dan mengendalikan ketidakbermoralan para raja.

"Republik dan Demokrasi"

Reformasi Protestan

Terinspirasi dari kitab Keluaran 18, Calvin lebih memilih prinsip demokrasi secara republik. Musa dan rakyat memilih beberapa perwakilan pemimpin untuk menyampaikan aspirasi mereka. Calvin menyadari bahwa selama di Mesir, bangsa Israel hanya mengetahui kekuasaan mutlak seorang Firaun, jadi corak republik ini tidak mungkin berasal dari pikiran manusia. Konsep pemerintahan republik versi Israel ini adalah konsep orisinal dalam peradaban manusia jauh sebelum bangsa Yunani mengembangkan konsep republik versi mereka. Prinsip demokrasi ditekankan Calvin dalam penggunaan hak suara di mana para perwakilan dipilih tidak hanya oleh keinginan Musa, tetapi oleh suara rakyat. Calvin juga belajar banyak melalui prinsip hukum Perjanjian Lama di mana dalam sebuah republik, undang-undang adalah pengikat paling penting. Namun, berbeda dengan kaum theonomis maupun pendukung theokrasi, bagi Calvin, hukum Perjanjian Lama tidak harus dipaksakan di semua negara. Pandangan ini terlihat jelas terutama ketika Calvin melihat bahwa hukum-hukum ritual bangsa Israel sudah tidak berlaku. Tiap bangsa bebas membuat hukumnya sendiri-sendiri, asalkan hukumnya sesuai hukum kasih. Dalam aplikasinya, Calvin merekomendasikan pembatasan-pembatasan hak pejabat melalui undang-undang, misalnya batas dalam penarikan pajak, terutama agar tidak memboroskan uang rakyat untuk hidup mewah.

Inovasi-inovasi radikal dari Calvin lalu dieksperimenkan pada kota Jenewa dan membawa kemajuan pesat dalam kota tersebut. Jenewa sampai sekarang masih merupakan republik tertua yang masih bertahan sampai sekarang. Maka, tidaklah salah jika Calvin disebut perintis republik yang pertama. Prinsip-prinsip ini kemudian menyebar ke negara Eropa lain dan terutama ke Skotlandia melalui prinsip presbiterian John Knox. Skotlandia mengadopsi model gereja presbiterian yang mengalir dari keluarga, ke komunitas melalui sinode regional, lalu menuju ke wilayah nasional melalui parlemen federal sampai ke sinode internasional. Kaum Puritan yang terinspirasi calvinisme kemudian memengaruhi politik Inggris melalui traktat-traktat politik mereka sampai akhirnya mereka berhasil memengaruhi konstitusi untuk membatasi kekuasaan raja dan pemerintah pada zaman Cromwell melalui sebuah manifesto yang disebut an agreement of people. David Hume, seorang atheis, mengakui bahwa konstitusi Inggris berutang pada inovasi calvinisme Puritan. Kaum Puritan Inggris kemudian membawa prinsip ini ke Amerika karena penganiayaan kaum Anglikan terhadap hak beribadah mereka. Perkembangan politik di Inggris dan Amerika agak berbeda karena kaum Puritan Inggris yang mengalami penganiayaan lebih menekankan pemisahan kekuasaan total antara gereja dan negara, sedang prinsip Puritan Amerika sangat mirip terhadap politik Jenewa karena mereka lebih bebas berekspresi tanpa tekanan. Ditambah lagi, dengan khotbah-khotbah calvinisme yang mendominasi Amerika maupun tulisan-tulisan akademis dari Harvard, Yale, dan Princeton membuat ide-ide calvinisme yang berasal dari Eropa mencapai puncaknya di Amerika. Bisa dibilang, revolusi kemerdekaan Amerika (bahkan Indonesia dan negara-negara yang lain) secara tidak langsung berutang pada tulisan murid-murid Calvin, seperti Beza dan Knox, di mana mereka mengizinkan pemberontakan rakyat terhadap pemerintahan yang korup. Hanya dalam beberapa abad, prinsip-prinsip calvinisme tentang kovenan, demokrasi, kedaulatan rakyat, perwakilan rakyat, undang-undang, check and balance, sistem republik, dan lain-lain, mulai dipakai oleh mayoritas negara, baik negara agama maupun sekuler.

"Tantangan"

Namun, dominasi calvinisme tidak bertahan lama. Zaman enlightenment telah mendorong manusia untuk mencari teori-teori alternatif di luar calvinisme. Dalam beberapa tahun terakhir, orang-orang lebih tertarik pada model Revolusi Perancis yang bersumber dari teori kontrak sosial daripada model Jenewa yang bersumber dari Calvin. Fondasi-fondasi negara mereka yang bercorak calvinisme mulai diganti dengan paham humanistik. Pemisahan total antara pemerintah dan gereja membuat pemerintahan kehilangan identitasnya untuk memuliakan Tuhan. Selain itu, posisi gereja pun ditekan sampai ke wilayah privat. Ditambah lagi, sekularisasi di segala bidang dalam dekade terakhir telah menyebabkan lunturnya nilai-nilai calvinisme di dunia Barat. Pajak yang dibayarkan orang-orang Kristen dengan hati tulus pada akhirnya malah digunakan untuk mendukung proses sekularisasi tersebut. Merosotnya nilai-nilai kekristenan disertai kekalahan demi kekalahan terus dialami oleh orang-orang Kristen di Amerika, yang pada tahun lalu, konstitusi Amerika melegalkan LGBT. Invasi humanisme dan sekularisme belum berhenti. Usaha-usaha melegalkan praktik aborsi dengan slogan pro-choice meredefinisi konsep pernikahan tradisional. Penghapusan kata "Tuhan" dalam area-area yang strategis serta pelunturan nilai-nilai Kristen yang lainnya terus gencar dilakukan. David Hall menyebutkan ada lima hal yang menjadi penyebab kekalahan calvinisme terhadap sekularisme di dunia Barat. Pertama, penyebaran pemikiran enlightenment dalam dunia intelektual. Kedua, munculnya alternatif filosofis yang lebih bersifat humanistik. Ketiga, revolusi industri yang mengubah struktur komunal keluarga tradisional. Keempat, darwinisme yang merelativisasi nilai-nilai moral manusia. Kelima, dominasi arminianisme di kalangan injili yang menekankan kehidupan rohani secara pribadi sehingga individualisme dengan cepat menembus gereja.

Demokrasi

Kekalahan demi kekalahan di panggung politik membuat Kristen kontemporer terlalu berfokus pada isu politik sehingga merelativisasi posisi institusi gereja yang menyebabkan kedangkalan kehidupan gerejawi. Ironisnya, bukannya melakukan pembenahan, beberapa teolog Reformed melalui Two Kingdom Theology memilih menyerah pada sekularisme, dan berfokus untuk mengembalikan kehidupan gerejawi yang sudah hancur berantakan. Van Drunen dan kawan-kawan menganjurkan agar umat Kristen tidak ikut campur dalam politik, tetapi berfokus pada panggilan utamanya di gereja. Menurut mereka, Allah tidak menebus seluruh ciptaan (creation regained) karena penebusan hanya dikhususkan untuk umat pilihan (re-creation gained). Salah satu paradoks dalam pemikiran Calvin adalah di satu sisi, Kerajaan Allah bersifat spiritual, tetapi di sisi lain, Kerajaan Allah akan membawa transformasi total dunia. Pelarian spiritual ke dalam gedung gereja maupun usaha-usaha menciptakan negara Kristen (theokrasi) adalah kegagalan menyeimbangkan paradigma Calvin. Di tengah gelapnya situasi politik maupun gereja, kita harus tetap percaya janji di dalam Alkitab bahwa kerajaan dunia akan berubah menjadi kerajaan Kristus. Oleh karena itu, kita perlu optimis dan memikirkan kembali langkah-langkah untuk berperang dan merebut kembali lembaga-lembaga dunia. Semoga keberhasilan Calvin dalam memengaruhi dunia dapat terus menginspirasi perjuangan politik Kristen pada masa depan.

Audio Calvinisme dan Transformasi Politik

Diambil dari:
Nama Buletin : Buletin Pillar
Nomor edisi : 159/Oktober 2016
Judul asli artikel : Calvinisme dan Transformasi Politik
Penulis artikel : Hendrik Sugiarto
Halaman : 4 -- 5

Penulis_artikel
Marshall Segal
Tanggal_artikel
02 Oktober 2018
Isi_artikel
Ujian Terbaik untuk Integritas Rohani

Kita tidak akan mengalami kehidupan dan harapan dan kebahagiaan yang sesungguhnya tanpa teologia yang baik. Akan tetapi, karena hati kita yang menyimpang, kita sering mencintai apa yang kita pelajari tentang Allah lebih daripada kita mencintai Allah itu sendiri. Kita sering lebih banyak tahu tentang Dia tanpa mengenal dan menikmati Dia dengan lebih baik. Dengan mudahnya terjadi putus hubungan antara kepala dan hati kita, dan jika dibiarkan tanpa diperiksa, itu bisa semakin parah saat kita semakin banyak tahu dan belajar.

Bertambah pengetahuan tentang Allah – lebih banyak teologia – bisa memenuhi iman kita dengan kasih sayang dan pengabdian dan rasa takjub yang lebih besar. Karena itu, teologia tidak ternilai. Akan tetapi, ketika kesombongan dan ketamakan dan rasa takut mengendalikan pengetahuan, pengetahuan yang sama itu bisa membutakan dan menyuramkan dan menggembungkan kita (1 Korintus 8:1). Bukannya lebih memahami Yesus, lebih mengenal akan Dia, teologia yang digunakan secara berdosa, membuat kita ingin menyaksikan hal yang lain. Kita mengganti saluran hati kita. Biasanya ke sesuatu yang lebih tentang kita, sesuatu yang membuat kita sedikit lebih mencintai diri kita sendiri. Karena itu, teologia juga bisa berbahaya.

Kita harus memberikan setiap hari yang kita miliki di bumi untuk lebih mengenal Allah yang besar, berdaulat, dan mulia – untuk mempelajari teologia yang baik. Dan, segala sesuatu yang kita pelajari seharusnya membuat kita lebih rendah hati dan lebih mengasihi Dia.

Ujian Terbaik

Jika lebih banyak mempelajari tentang Allah menjadikan kita kurang berdoa, maka mungkin kita membaca dan belajar dan tahu, tetapi tidak dengan hati kita. Apakah pengetahuan akan Allah yang lebih besar – lebih banyak khotbah, lebih banyak buku, lebih banyak podcast, lebih banyak kelas – membuat Anda lebih banyak berdoa?

Mungkin, ujian paling pasti tentang apakah teologia kita penuh ataukah kosong adalah apakah itu menghasilkan keintiman dengan Allah dalam doa yang lebih dalam. Tidak ada yang perlu mengoreksi Yesus dalam apa pun tentang pengenalan-Nya akan Allah, tetapi itu tidak menghilangkan kebutuhan-Nya atau keinginan-Nya untuk berdoa. Markus menulis, “Pagi-pagi benar, ketika hari masih gelap, Yesus bangun dan pergi ke sebuah tempat yang sunyi, lalu Ia berdoa di sana” (Markus 1:35). Dia berdoa dengan semakin bergairah, bukan kurang atau malah sambil lalu.

Tim Keller berkata, "ujian yang sempurna untuk integritas rohani, kata Yesus, adalah kehidupan doa pribadi Anda. Banyak orang akan berdoa ketika mereka dituntut secara budaya atau sosial, atau mungkin karena takut dengan keadaan yang mengganggu. Mereka yang sungguh-sungguh menjalani relasi dengan Allah sebagai Bapa, bagaimanapun, di dalam dirinya akan ingin berdoa dan karena itu akan berdoa meskipun tidak ada apa pun dari luar dirinya yang memaksanya untuk melakukannya." (Doa)

Semakin kita mengenal dan mencintai Allah ini, semakin kita menyapih diri kita sendiri dari dunia ini dan pusat hati kita, ambisi kita, dan mendambakan Dia. Semakin banyak waktu dan tenaga yang kita pakai untuk mendengar dan melihat Dia. Semakin banyak kita berdoa.

Apa yang Anda ketahui tentang Allah yang membuat Anda lebih dekat kepada-Nya?

Mata Hati Anda

Jika kita mulai merasakan putusnya hubungan antara kepala kita dan hati kita – antara pembelajaran kita dan doa kita – solusinya bukan sekadar lebih banyak pengetahuan. Lebih banyak membaca. Lebih banyak mengikuti kelas. Lebih banyak definisi dan penjelasan dari Google. Pengetahuan tentang Allah adalah penting, tetapi itu bukan kunci untuk membangkitkan hati kita. Allah sendirilah yang melakukan itu. Pengetahuan saja tidak membuka mata dan telinga kita, tetapi dengan mengenal Allah.

Rasul Paulus berdoa, "aku tidak henti-hentinya mengucap syukur untukmu saat aku mengingat kamu dalam doa-doaku. Aku berdoa agar Allah dari Tuhan kita, Kristus Yesus, Bapa dari kemuliaan, memberimu roh hikmat dan penyataan dalam pengetahuan akan Dia. Aku berdoa supaya mata hatimu diterangi sehingga kamu dapat mengerti pengharapan yang terkandung dalam panggilan-Nya, kekayaan yang terkandung dalam warisan yang mulia bagi orang-orang kudus." (Efesus 1:16-18)

Paulus tidak berkata singkirkan wahyu Allah, atau abaikan teologia, dan pelajari tentang Allah, atau buang pertanyaan-pertanyaan sulit di Alkitab. Tidak, dia hanya berdoa agar Allah membuat semua pemikiran itu berkobar di dalam hati kita untuk mengenal-Nya.

Allah tidak mau Anda merasa bersalah dengan buku-buku yang telah Anda baca, pelajaran yang Anda ambil (atau pikirkan), atau ayat Alkitab yang telah Anda hafalkan. Namun, Dia tidak dihormati dengan pengetahuan akan Dia, kecuali pengetahuan kita dipenuhi dengan kasih. Paulus berkata, “Jika aku mengetahui semua rahasia dan pengetahuan….tetapi tidak mempunyai kasih, aku bukanlah apa-apa” (1 Korintus 13:2) Semua rahasia dan pengetahuan – dan bukan apa-apa. Tujuan teologia kita, karenanya, bukanlah pengetahuan itu sendiri, tetapi mengenal dan mengasihi Allah.

Hati yang Lebih Lapang, Sukacita yang Lebih Dalam

Jika kita serius tentang realita dan kekekalan, kita tidak mau membaca Alkitab untuk sepuluh tahun lagi, dan berakhir dengan agak lebih bosan dengan Allah. Kita tidak ingin hanya menetap di dalam gereja hari Minggu demi hari Minggu, dan secara diam-diam berharap kita ada di tempat lain, melakukan hal lain. Kita tidak mau menghadap Allah untuk berdoa besok, dan merasakan itu lebih seperti melakukan kewajiban daripada menggunakan waktu dengan Bapa Anda di surga yang mengasihi Anda. Kita tidak mau belajar lebih banyak tentang “misi gereja di Perjanjian Baru,” dan tetap mengabaikan dan menghindari jiwa yang terhilang yang tinggal di sebelah rumah kita. Kita tidak mau mengerti bacaan di Alkitab yang sulit, atau bisa menjelaskan doktrin yang sulit, tetapi kurang kagum dan takjub terhadap Allah.

Kita ingin teologia kita menjadi sehat dan hidup. Kita ingin setiap hal yang kita pelajari tentang Allah minggu ini, dan selama sisa hidup kita, lebih menambah-nambah kasih kita kepada Dia. Dan lebih meningkatkan sukacita kita di dalam Yesus. Dan lebih menghancurkan hati kita terhadap dosa. Dan lebih menumbuhkan kasih kita kepada orang lain.

Kaum Farisi (di Perjanjian Baru dan hari ini di gereja kita) tahu apa yang harus dibaca dan dikatakan, tetapi kebenaran tidak ada pada mereka – teologia yang baik dipagari di luar hati mereka. Yang gagal dilihat oleh orang-orang Farisi adalah bahwa Kitab Suci ditulis untuk menolong kita mengasihi Yesus. Yesus berkata kepada mereka, “Kamu mempelajari Kitab Suci karena kamu menyangka bahwa di dalam Kitab Suci kamu akan mendapatkan hidup yang kekal; dan Kitab Suci itu juga memberi kesaksian tentang Aku” (Yohanes 5:39). Kita harus melihat lebih dalam daripada yang mau dilihat oleh Kaum Farisi – ke dalam diri kita sendiri dan ke dalam Akitab, dan ke dalam Allah kita yang besar. Jika kita tidak lebih mencari Yesus saat kita mempelajari Alkitab dan belajar teologia, kita meleset dari tujuannya, dan bukan hanya menyia-nyiakan waktu kita, tetapi menjadi lebih buruk dengan itu.

Belajarlah untuk mengasihi. Membacalah untuk mengenal Dia. Belajarlah untuk menikmati Dia. Menghafallah untuk mengasihi Dia. Lakukanlah itu semua untuk manfaat yang lebih dari mengenal Dia. (t/Jing-Jing)

Sumber Artikel

Diterjemahkan dari:

Nama situs: Desiring God
URL: https://www.desiringgod.org/articles/is-my-reformed-theology-sick
Judul asli artikel: Is My Reformed Theology Sick?
Penulis artikel: Marshall Segal
Tanggal akses: 9 Mei 2018

Editorial

Dear Pembaca e-Reformed,

Seorang negarawan dan tokoh Calvinisme dari Belanda, Abraham Kuyper, pernah menyampaikan bahwa "para seniman dipanggil untuk menemukan keindahan yang alami untuk memuliakan Allah". Pandangan Kuyper menegaskan bahwa teologi Reformed tidak anti terhadap karya seni, justru seni adalah alat untuk menunjukkan keagungan Allah kepada banyak orang. Pertanyaannya, ketika kita melihat karya seni yang indah, apakah kita takjub pada keindahan karya seni tersebut atau kepada Tuhan semesta alam yang memanggil dan menginspirasi para seniman untuk dapat menghasilkan karya seni yang indah dan mampu bertahan puluhan, ratusan, bahkan ribuan tahun?

Seni menyangkut keahlian yang khusus. Seni yang baik dapat digunakan untuk memuliakan Allah. Sama seperti Johann Sebastian Bach yang menghasilkan sebuah karya dalam kantata gereja dan Fanny J. Crosby, seorang yang tidak dapat melihat, tetapi mampu menghasilkan ratusan kidung yang masih dinyanyikan dalam ibadah gereja sampai hari ini. Karena itu, marilah kita bersama-sama belajar untuk memahami lebih dalam "Teologi Reformed dan Apresiasi Seni". Kiranya kita boleh mempelajari seni dan mengembangkannya bagi kemuliaan Allah. Soli Deo gloria!

Amidya

Redaksi Tamu e-Reformed,
Amidya

Edisi
Edisi 204/September 2018
Isi

Dalam perjalanan sejarah gereja, seni terus mengalami pasang surut dengan beberapa perubahan signifikan terjadi dalamnya. Hal ini bisa kita lihat mulai dari masa sebelum Reformasi terjadi. Gereja Barat, yang diwakili oleh gereja Katolik, memiliki nuansa ibadah yang sangat kental dengan seni. Ketika terjadi Reformasi, bukan hanya ajaran dan doktrin yang mengalami perubahan dalam gereja Protestan, tetapi juga aspek seni ini. Berbagai usaha menghancurkan patung-patung di dalam gereja, yang dikenal sebagai iconoclasm, membuat gereja Protestan, khususnya Calvinisme, terkesan sebagai gereja yang anti terhadap seni. Sekalipun karya seni seperti lukisan tidak mengalami banyak serangan, tetapi dalam perjalanannya, karya seni ini pun tidak lagi menjadi hal yang diperhatikan dalam gereja Protestan. Lantas, apakah benar Calvinisme anti terhadap seni? Bagaimana sebenarnya teologi Reformed memandang seni?

Apa Itu Seni?

Lukisan penciptaan

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), seni adalah keahlian membuat karya yang bermutu atau karya yang diciptakan dengan keahlian yang luar biasa. Berdasarkan pengertian ini, bisa kita katakan bahwa tidak semua orang dapat menciptakan karya seni. Sebab, untuk menciptakan karya seni, seseorang harus memiliki keahlian khusus yang sesuai dengan bidang seni yang ingin diciptakannya. Keahlian atau kemampuan tersebut tentu saja didapatkan melalui proses belajar dan berlatih. Seorang seniman mungkin tidak memerlukan waktu yang lama untuk menghasilkan karya seni yang indah karena memiliki bakat, sedangkan seniman yang lain mungkin memerlukan waktu dan pengalaman yang banyak untuk menghasilkan karya seni yang indah. Akan tetapi, proses mana pun yang dilalui, sebuah karya seni pasti dihasilkan oleh seseorang yang memiliki kemampuan khusus dalam bidang seni tersebut. Pemahaman ini penting untuk kita pegang agar kita tidak sembarangan menerima sebuah karya yang dibuat oleh orang lain dan kita anggap sebagai seni tanpa melihat latar belakang orang yang membuatnya, apalagi jika karya seni tersebut adalah karya yang akan kita bawa ke dalam ibadah gereja, baik musik maupun seni lainnya.

Dalam Alkitab, seni sangat erat hubungannya dengan ekspresi manusia untuk berelasi dengan Tuhan. Daud, sebagai pemazmur, menggunakan seni musik dan syair untuk memuji Tuhan, menyatakan keluh kesah, dan untuk menaikkan doa. Ketika Tabut Perjanjian dibawa masuk ke Yerusalem, Daud menggunakan seni tari untuk menyatakan sukacitanya, dan memuji Allah (2 Samuel 6:14). Kemudian, ketika Salomo membangun Bait Allah, bangunan Bait Allah dipenuhi dengan ornamen-ornamen yang sangat indah. Dinding-dinding Bait Allah diukir dengan gambar kerub, pohon kurma, dan bunga mengembang (1 Raja-Raja 6:29). Berbagai perabotan dibentuk sedemikian rupa dengan keindahan yang luar biasa. Belum lagi, dua buah patung kerub yang sayapnya membentang sepanjang lebar Bait Allah.

Daud, sang pemazmur

Uniknya, karya seni pertama yang tercatat dibuat di dalam Alkitab justru diperintahkan oleh Allah sendiri, yaitu ketika Musa diperintahkan untuk membangun Kemah Suci beserta berbagai perabotnya dengan bentuk yang sama seperti yang diperlihatkan oleh Allah. Jadi, jelas bahwa Allah tidak menentang, melainkan Dia berkenan dengan karya seni yang dibuat oleh manusia untuk memuliakan Allah. Akan tetapi, harus kita ingat bahwa seni hanyalah alat untuk menunjukkan kemuliaan Allah. Ketika kita kehilangan pengertian ini dan lebih kagum terhadap keagungan karya seni ketimbang kemuliaan Allah yang ditampilkannya, maka kita telah jatuh ke dalam penyembahan berhala. Seperti yang terjadi pada bangsa Israel. Ketika mereka menyembah patung ular tembaga yang seharusnya mengingatkan mereka akan pemeliharaan Allah di padang gurun, maka patung ular tersebut dihancurkan karena tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya (2 Raja-Raja 18:4).

Pandangan John Calvin Mengenai Seni

Sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Alkitab, Calvin pun tidak anti terhadap seni. Abraham Kuyper dalam bukunya yang berjudul Calvinism and Art mengatakan bahwa Calvinisme memberikan sebuah cara pandang terhadap seni yang menginspirasi para seniman untuk menginterpretasi dunia dengan cara tertentu. Menurut Kuyper, inspirasi tersebut muncul oleh karena cara pandang Calvin terhadap peristiwa penciptaan dalam Alkitab. Menurutnya, para seniman dipanggil untuk menemukan keindahan dalam bentuk alami, memperkaya keindahan tersebut dengan pengetahuan yang lebih tinggi, dan menghasilkan sebuah dunia yang indah yang melebihi keindahan natural. Panggilan ini sesuai dengan pengertian seni yang dibahas sebelumnya, yaitu bahwa untuk membuat karya seni, dibutuhkan sebuah keahlian khusus. Maka dari itu, dalam hal ini, keahlian khusus tersebut mencakup pengetahuan yang lebih tinggi. Seni yang baik yang dapat digunakan untuk memuliakan Tuhan tidak hanya dibuat berdasarkan keterampilan, tetapi juga pengetahuan yang tinggi, baik dalam bidang seni tersebut maupun dalam bidang teologi. Maka dari itu, tidak semua orang dapat menghasilkan lukisan yang indah dan dapat diinterpretasikan dengan baik untuk memuliakan Tuhan. Demikian juga, tidak semua orang dapat menghasilkan musik yang indah dan agung yang dapat dipakai untuk memuji dan memuliakan Tuhan. Berdasarkan panggilan seorang seniman yang dijelaskan oleh Kuyper, karya seni juga berperan untuk mengingatkan kita bahwa kita sedang hidup di dalam dunia yang telah terkutuk dan bahwa ada pengharapan yang telah diberikan bagi kita untuk hidup di dunia yang akan disempurnakan pada kedatangan Kristus yang kedua.

John Calvin tidak hanya memberikan inspirasi kepada para seniman melalui teologinya, tetapi juga membebaskan para seniman dari kurungan gereja pada saat itu. Sebelum masa Reformasi, karya seni yang dibuat di luar konteks gereja dan ibadah dianggap sebagai seni rendahan. Tentu saja, hal ini membuat seniman hanya mengerjakan karya seni untuk gereja dan akhirnya mereka seperti menjadi budak-budak gereja. Akan tetapi, Reformasi telah membuat para seniman Protestan menjadi lebih bebas dalam berekspresi dan menghasilkan karya seni. Lalu, apakah karya seni yang dibuat di luar konteks gereja tidak lagi memuliakan Tuhan? Tidak. Justru ketika seni dikurung oleh konteks gereja saja, karya seni menjadi sempit dan terbatas kelimpahannya. Seni yang berlimpah dan luas adalah seni yang dapat menggunakan seluruh bagian dunia sebagai inspirasi untuk menciptakan keindahan yang transenden. Toh, seperti yang Calvin katakan, tidak ada bagian dari dunia ini yang tidak menunjukkan kemuliaan Allah. Dunia ini seperti panggung pertunjukan yang mempertontonkan kemuliaan dan kebesaran Allah. Selain itu, karena para seniman lebih leluasa menginterpretasikan ciptaan Tuhan, sebuah karya seni menjadi lebih relevan dengan masyarakat. Bukan hanya karena karya seni tersebut dibuat berdasarkan hal-hal di sekitar, tetapi juga karena seniman tersebut menjadi wakil dari orang-orang sezamannya sehingga karya seni yang dihasilkan akan sesuai dengan konteks zaman yang sedang dihadapi. Sekalipun gereja tidak lagi membatasi seni, gereja tetap dapat membentuk genre seni tersendiri yang berpusat pada kisah Alkitab. Akan tetapi, genre ini tidak lagi menjadi satu-satunya, melainkan salah satu bagian genre dalam seni yang utuh dan yang harus menceritakan kemuliaan Allah dari pelbagai aspek.

Pandangan Abraham Kuyper Mengenai Seni

Abraham Kuyper sendiri punya pandangan yang unik mengenai seni. Dia mengatakan, “The arts exist to elevate the Beautiful and the Sublime in its eternal significance.” Menarik untuk diperhatikan, Kuyper menggunakan awalan huruf kapital untuk menuliskan Beautiful (Keindahan) dan Sublime (Mahamulia) yang menunjukkan bahwa kedua kata tersebut tidak hanya sedang menggambarkan suatu sifat saja, tetapi juga sedang menunjuk kepada Pribadi.

Seni ada bukan hanya untuk menunjukkan keindahan dan keagungan dunia, tetapi keindahan dan keagungan Allah yang menciptakan dunia ini. Seni adalah salah satu pemberian Tuhan yang paling melimpah kepada umat manusia. Kuyper percaya bahwa seni mempunyai peranan dalam membantu membangun kerohanian yang tepat sehingga membantu kita, sebagai jemaat, menyadari manfaat atau pentingnya agama yang sejati. Walaupun begitu, Kuyper tetap menentang kecenderungan untuk membuang pembentukan kerohanian yang demikian hanya karena kecintaan terhadap seni yang berlebihan. Kecintaan terhadap seni yang berlebihan inilah yang membuat gereja Protestan mula-mula melakukan aksi ikonoklasme. Banyak praktik ibadah saat itu yang lebih condong kepada penyembahan berhala. Oleh karena itu, untuk mencegah hal yang sama terjadi, jemaat gereja Protestan melakukan pembersihan patung-patung dari dalam gereja.

Teologi Reformed dan Seni dalam Konteks Postmodernisme

Kewaspadaan yang sama juga harus dimiliki oleh diri kita, sebagai umat Tuhan, pada zaman ini. Kita memang lebih sulit untuk jatuh ke kesalahan praktik penyembahan patung karena gereja-gereja Protestan saat ini sangat jarang menggunakan ornamen patung di dalam gedung gereja. Akan tetapi, kita sangat rawan untuk jatuh dalam aspek musik. Musik adalah alat yang kita gunakan dalam ibadah untuk mempermudah kita memuji Tuhan secara komunal. Ketika kita bernyanyi, kita harus menghayati setiap kata dalam pujian yang kita nyanyikan karena kata-kata tersebutlah yang menjadi isi doa kita kepada Tuhan. Jangan sampai kita terlalu menikmati alunan musik tersebut sehingga kita tidak lagi berfokus mengucapkan setiap syair pujian. Kita harus sanggup membedakan antara syair, respons, atau bahkan doa kita melalui nyanyian tersebut dan alunan musik yang bersifat iringan. Kita harus sanggup membedakan antara menyenangkan jiwa kita melalui alunan musiknya atau menyenangkan Tuhan melalui respons kita yang benar di hadapan-Nya.

Dalam zaman postmodern ini, kita harus berhati-hati terhadap semangat penilaian estetikanya yang terfragmentasi. Kita diajarkan untuk menikmati suatu karya seni tidak secara utuh, tetapi hanya melihat bagian tertentu, dan menikmati fragmen itu, lalu memberikan penilaian atas karya seni tersebut berdasarkan standar penilaian diri kita yang subjektif. Kalau dalam konteks musik, sering kali suatu lagu dinilai dari aspek alunan melodinya yang bisa memberikan perasaan "feel good” atau tidak.

Lukisan Starry Night

Di satu sisi, keahlian atau kepiawaian hasil karya seni dari manusia harus kita hargai dan kita syukuri. Sebab, keahlian ini pun adalah anugerah Tuhan. Akan tetapi, kita harus berhati-hati agar tidak terbawa untuk menikmati seni secara instan dan parsial. Dalam teologi Reformed, kita diajarkan untuk melihat kebenaran dalam keutuhan dan keluasan, dan hal ini berlaku juga dalam bidang seni. Kita harus melihat seni itu dalam keutuhan dan keluasannya. Melihat karya itu bukan hanya untuk dinikmati secara parsial. Dalam keluasan kebenaran, kita diajak untuk mengapresiasi seni, baik di luar maupun di dalam gereja. Akan tetapi, dengan keutuhan, kita diajak untuk menikmati seni secara komprehensif dalam relasinya dengan Allah.

Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa teologi Reformed tidak hanya memperbolehkan dan mendukung seni, tetapi juga telah memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan seni dalam sejarah umat manusia. Memang tidak bisa kita mungkiri bahwa diperlukan waktu agar seni dapat diterima sepenuhnya setelah terjadinya ikonoklasme. Kita bersyukur bahwa pada zaman ini, dalam Gerakan Reformed Injili , Tuhan mengizinkan kita terus didorong dalam mempelajari seni dan terus mengembangkannya demi kemuliaan Allah yang kita sembah.

Teologi Reformed dan Apresiasi Seni

Diambil dari:
Nama situs : Buletin Pillar
URL : http://www.buletinpillar.org/artikel/theologi-reformed-dan-apresiasi-seni
Judul asli artikel : Teologi Reformed dan Apresiasi Seni
Penulis artikel : Dedy Welsan
Tanggal akses : 3 September 2018

Editorial

Dear Pembaca e-Reformed,

Gereja ada karena dibentuk dan didirikan oleh Tuhan Yesus (lihat Mat. 16:18), dan gereja-Nya ini bersifat kekal. Namun, gereja bukanlah institusi yang berdiri sebagai menara gading yang jauh dari peradaban dan masyarakat. Gereja justru dipanggil untuk berada di tengah masyarakat, yaitu masyarakat yang bersifat majemuk, yang di satu pihak memiliki perbedaan (ras, agama, dan budaya), tetapi di lain pihak memiliki kesamaan (kehidupan bersama sebagai manusia sosial yang saling membutuhkan dan dibutuhkan). Apakah dalam keberadaan yang demikian ini, jemaat Tuhan, yang menjadi inti gereja, dapat menjalankan fungsinya sebagai garam yang harus mengasinkan lingkungan tanpa harus bersikap arogan dan merendahkan mereka yang belum mengenal kebenaran?

Simak dan renungkanlah sajian e-Reformed bulan ini yang memuat sebuah artikel berjudul Salah Satu Dosa Terbesar Gereja. Kiranya Allah Roh Kudus memampukan kita untuk menjadi jemaat-Nya yang setia dan tidak terkikis oleh sikap yang justru tidak memuliakan Allah. Selamat menyimak. Soli Deo gloria!

Yulia Oeniyati

Redaksi e-Reformed,
Yulia Oeniyati

Edisi
Edisi 203/Agustus 2018
Isi

Di tengah-tengah berbagai macam masalah yang melanda kehidupan manusia pada era globalisasi ini, tanpa dapat dimungkiri, ada salah satu dosa terbesar yang dilakukan gereja: kepongahan rohani! Dosa yang satu ini memiliki berbagai muka.

Muka pertama: kita tanpa menyadari menjadi merasa paling suci, paling benar, paling sempurna dalam kehidupan keagamaan yang pluralistis dalam masyarakat yang majemuk ini!

Jangan salah mengerti! Bukan tujuan tulisan ini untuk membatalkan apa yang telah dinyatakan dalam Alkitab bahwa keselamatan hanya ada dalam Yesus Kristus (Yoh. 14:6; Kis. 4:12; Rm. 10:4-17; 1 Tim. 2:5). Justru di tengah-tengah era globalisasi ketika tembok-tembok pemisah antarnegara, bahasa, dan kebudayaan menjadi paling tidak lebih transparan, kita harus waspada agar kita jangan sampai mengorbankan atau menggadaikan kebenaran demi kerukunan atau persahabatan itu sendiri.

Meski demikian, kita juga harus berhati-hati agar kita mengingat dan memberlakukan secara jujur hukum emas yang dinyatakan oleh Tuhan kita:

The Golden Rule

"Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi." (Mat. 7:12)

Kebenaran jelas tidak boleh dikompromikan. Akan tetapi, hal itu tidak sama dengan memaksa orang lain harus menerima dan mengikuti apa yang kita yakini, apalagi dengan cara dan jiwa yang arogan!

Kita dapat belajar dari seorang yang kasar dan impulsif semacam Petrus. Pada hakikatnya, dia makin memahami hati Tuhannya. Dia meninggalkan warisan yang sangat indah dan penting untuk kita laksanakan dalam hidup bermasyarakat. Bobot nasihat Petrus ini menjadi makin penting untuk dipahami dalam konteks riil ketika dia menulis suratnya:

"Dan siapakah yang akan berbuat jahat terhadap kamu, jika kamu rajin berbuat baik? Tetapi sekalipun kamu harus menderita juga karena kebenaran, kamu akan berbahagia. Sebab itu janganlah kamu takuti apa yang mereka takuti dan janganlah gentar. Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat, dan dengan hati nurani yang murni, supaya mereka, yang memfitnah kamu karena hidupmu yang saleh dalam Kristus, menjadi malu karena fitnahan mereka itu." (1 Ptr. 3:13-16)

Jelas, globalisasi menuntut kita agar kita tidak berpandangan sempit dan picik, tidak dapat mendengar dan tidak mau menghargai keyakinan atau kepercayaan orang lain. Kita harus dapat membedakan antara menghargai dan menghormati dari menerima, mengaminkan, dan mengimani! Agama dan kepercayaan boleh saja berbeda, tetapi janganlah kita membenci atau memusuhi mereka yang berbeda agama dan keyakinan dengan kita. Kita malah harus berupaya agar kita tetap mengasihi dia, menolong dia secara praktis, bahkan apabila kita dibenci, difitnah, bahkan dimusuhi sekalipun.

Petrus akhirnya benar-benar mengerti apa yang dikehendaki Tuhannya. Dia pernah mengayunkan pedang dan sempat memotong telinga orang yang menangkap Yesus, tetapi pada hari tuanya, bukan karena dia telah berubah atau menjadi lemah, bukan juga karena dia mau berkompromi, tetapi sebaliknya, dia malah menjadi begitu mantap dan menghayati ajaran Tuhan dan Gurunya sehingga dia sanggup mengungkapkan kebenaran yang begitu indah dan mulianya. Petrus telah belajar untuk memberlakukan perintah Tuhan agar dia mengasihi, bahkan musuhnya, dan mendoakan orang yang menganiayanya (bdk. Mat. 5:43-44).

Muka yang lain dari salah satu dosa gereja yang terbesar adalah menjadi begitu sombong dan merasa paling benar dan paling sempurna dengan keyakinan dan denominasinya.

Kita tidak jarang mengecap orang (Kristen) lain yang tidak memiliki keyakinan dan ajaran yang persis sama dengan kita sebagai orang sesat! Barangkali kita perlu belajar dari seorang tokoh bapa gereja, Agustinus. Dia memberikan ajaran yang bijaksana:

"Dalam hal yang mendasar (prinsip), jangan berkompromi; dalam hal yang tidak mendasar, biarlah kita tidak menjadi dogmatis (kaku); dalam segala hal, kasih!"

Kadang-kadang, tanpa terlalu disadari sepenuhnya, kita malah membuat kaum awam yang sudah bingung dengan berbagai macam masalah mereka menjadi lebih bingung karena sebagai orang yang dianggap dapat memberi terang kepada yang gelap, justru kita, meminjam bahasa Ayub, "menggelapkan keputusan dengan perkataan-perkataan yang tidak berpengetahuan" (Ayb. 38:1).

Sering kali, kita memperdebatkan masalah (cara) baptisan, masalah berbagai macam karunia rohani, masalah kedatangan Yesus yang kedua kali (antimilenialis, remilenialis, pascamilenialis), atau masalah tetek bengek lainnya dengan begitu bersemangat dan berapi-api sehingga kadang kala, kita tidak mampu mengendalikan diri kita, lalu saling menuding dan menyerang antarsesama gereja.

Gereja yang memang sudah terpisah-pisah karena kedaerahan, kesukuan, adat istiadat, dan karena sejarah misa makin kita tercabik-cabik lagi menjadi sempalan-sempalan kecil denominasi (yang makna aslinya berarti "pecahan") -- jikalau perlu, kita buat denominasi baru lagi yang diimbuhi dengan label "Injili".

Sekali lagi, kita perlu mengundang seorang hamba Tuhan senior yang "karismatik", yang telah berhasil mendirikan dan membangun banyak gereja dengan harga yang sangat mahal untuk bersaksi.

Mercy&Justice

Kita tahu bahwa Paulus bukan sembarang orang. Dia mantan Farisi, dan salah seorang murid Gamaliel. Dia menerima penyataan langsung dari Tuhan sendiri (1 Kor. 2:13-16; Gal. 1:17; 2 Kor. 12:1-4). Dia menulis banyak surat. Dia memiliki iman yang begitu kuat dan mantap sehingga dia berani mengungkapkan kesaksian yang sangat menantang semacam Gal. 2:19,20; Flp. 1:6,21; dan sebagainya. Namun, toh orang yang sama tersebut pandai "ilmu padi", makin berisi, makin tunduk!

Siapakah yang menduga bahwa dia sampai menulis sebagai berikut:

"Ketika kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu. Karena sekarang (walaupun sudah dewasa) kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar; tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka. Sekarang aku (yang sudah dewasa) hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal." (1 Kor. 13:11-12)

Bolehkah kita menyimpulkan bahwa seorang Rasul Paulus hanya berani mengklaim bahwa pengetahuan serta pengenalannya (sekarang) hanya parsial, belum lengkap dan belum sempurna sepenuhnya? Mungkinkah sekarang ini banyak di antara kita yang lebih hebat dari dia?

Kalau kesimpulan di atas barangkali terlalu sembrono, marilah kita bandingkan apa yang dia tulis kepada jemaat Efesus:

"Aku berdoa supaya Ia, menurut kekayaan kemuliaan-Nya, menguatkan dan meneguhkan kamu oleh RohNya di dalam batinmu, sehingga oleh imanmu Kristus diam di dalam hatimu dan kamu berakar serta berdasar di dalam kasih. Aku berdoa, supaya kamu bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus, dan dapat mengenal kasih itu, sekalipun ia melampaui segala pengetahuan. Aku berdoa, supaya kamu dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah." (Ef. 3:16-19)

Yang tersirat dari doa Paulus ialah agar jemaat Efesus, yang bukan hanya dilayani oleh Paulus, tetapi juga oleh hamba Tuhan lainnya (Apolos), jangan terjebak ke dalam polarisasi teologi Paulus atau teologi Apolos saja. Belajarlah pula dengan rendah hati dari dan dengan semua orang kudus!

Rupanya, Paulus begitu konsisten. Dia juga menulis sekaligus bersaksi kepada jemaat di Filipi dengan jiwa yang sama:

"Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, ...." (Flp. 3:10)

Jelas bahwa Paulus tidak pernah merasa sudah mengenal Yesus begitu rupa sehingga dia tidak perlu belajar lagi untuk mengenal-Nya secara lebih mendalam. Herankah kita bahwa dari buah penanya, tentunya berkat bimbingan Roh Kudus, gereja kita mewarisi banyak bukunya?

Tulisan ini memang bukan dimaksudkan untuk membahas permasalahan oikumene. Akan tetapi, di tengah-tengah semangat toleransi dan keterbukaan yang makin melonggar, bagaimana mungkin kita menjadi makin sempit dan kaku? Mengapa kita cenderung menjadi kian sektarian dan menjurus kepada "pemujaan" primordial?

Sekali lagi, rupanya bukan hanya bangsa Israel yang tidak dapat belajar dari sejarah! Gereja-gereja juga tidak dapat belajar dari sejarah gereja. Kita tahu bahwa tidak semua bapa gereja memiliki teologi yang selalu sama. Sekolah Alexandria berbeda dari bapa gereja Latin. Sejarah gereja mencatat bukan saja dengan tinta hitam, melainkan juga merah bersimbah darah karena masing-masing merasa paling benar, saling mengucilkan, dan saling membantai lawannya. Di antara para reformator yang besar-besar sekalipun, sering terjadi selisih pendapat dan keyakinan, khususnya dalam soal-soal yang periferal. Bagaimana mungkin kita berani begitu dogmatis (buldog-matis) tentang hal-hal tertentu sehingga nyaris menjadikannya doktrin denominasi?

Kita sering kali mengejek gerakan ekumenis yang tidak pernah berhasil untuk bersatu. Paling-paling hanya semu. Bukan kesatuan, melainkan keserupaan, dan itupun sejauh atau secetek naskah-naskah tertulis. Bagaimana dengan so-called 'evangelical churches'?

Kesatuan Gereja

Kalau dunia yang memasuki era globalisasi ini harus mendengar kesaksian kita, paling tidak kita harus semakin serius dalam menjiwai dan menghayati harapan dan doa Tuhan untuk gereja.

"Dan bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka; supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku." (Yoh. 17:20-21)

Audio Salah Satu Dosa Terbesar Gereja

Diambil dari:
Nama situs : Alkitab SABDA
Alamat URL : http://alkitab.sabda.org/resource.php
Judul asli artikel : Salah Satu Dosa Terbesar Gereja
Penulis artikel : Charles Christano
Tanggal akses : 23 Oktober 2017

Penulis_artikel
Howard Louis
Tanggal_artikel
14 Agustus 2018
Isi_artikel

Daud adalah seorang yang berkenan di hati Tuhan. Dia bahkan mendapat julukan “a man after His own heart” dari Tuhan sendiri. Ketika kita menelusuri perjalanan hidup orang yang berkenan di hati Tuhan ini, kita akan menyadari bahwa ternyata perjalanan hidupnya bukanlah sesuatu yang sempurna dan tidak bercacat. Daud adalah seorang yang pernah jatuh ke dalam dosa yang begitu jahat dan keji, bahkan patut diberi hukuman mati jika mengikuti aturan dari Taurat. Selain itu, Daud juga pernah mengalami penderitaan yang sangat besar semasa hidupnya. Ia dipandang sebelah mata dan dikejar-kejar oleh Saul, bahkan Absalom, anaknya, pun mengejar untuk membunuhnya. Ia juga harus hidup di tengah relasi politik dalam keluarganya sendiri yang berusaha merebut takhtanya. Pergumulan yang ia hadapi dalam hidupnya sangat banyak dan seakan tidak pernah berakhir. Statusnya sebagai seorang tentara, panglima, raja, gembala, penyair, dan nabi menjadikannya harus dengan setia menggumulkan setiap aspek hidupnya demi Tuhan.

Namun, hidupnya tidak hanya penuh dengan kesusahan, sebab kita juga melihat bahwa Daud memegang peranan yang begitu besar dalam Kerajaan Israel. Dia mempersatukan Israel, mendidik mereka menjadi negara yang begitu berkuasa, menaklukkan Tanah Kanaan seluruhnya melalui perang dengan bangsa Filistin (tidak diselesaikan dari zaman Yosua), dan mengusir penyembahan berhala dari Israel. Alkitab mempresentasikan seluruhnya dengan gamblang agar kita melihat hidup seseorang yang diperkenan Tuhan. Bahwa hidup seseorang yang berkenan di hati Tuhan adalah ketika seseorang rela melakukan segala sesuatunya demi Tuhan. Hatinya hanya berpaut kepada Tuhan, memiliki iman yang absolut kepada Tuhan, mencintai firman-Nya, dan mengenal isi hati Tuhan.

Dalam artikel singkat ini, kita akan sejenak merenungkan kembali salah satu bagian hidup Daud, yaitu mengenai hatinya yang luas.

Konteks Bangsa Israel

Bangsa Israel memiliki posisi yang sangat penting di dalam Perjanjian Lama. Israel bukanlah sebuah bangsa di antara bangsa-bangsa lain di dunia saja, melainkan mereka adalah bangsa yang dimiliki oleh Tuhan. Tuhan memakai Israel untuk menjadi wakil-Nya di bumi. Oleh sebab itu, Tuhan membentuk Israel dari nol. Tuhan tidak mengambil suatu bangsa yang sudah ada, tetapi memilih untuk menjadikan suatu bangsa yang baru. Dapat dikatakan Israel adalah bangsa yang dilahirkan oleh Tuhan. Ia memulai pembentukan bangsa Israel dari perjanjian-Nya dengan seorang yang bernama Abraham. Abraham dijanjikan oleh Tuhan untuk memiliki keturunan yang banyak dan mereka akan mendiami sebuah Tanah Perjanjian yaitu Kanaan. Melalui keturunan inilah Tuhan akan memberkati banyak bangsa.

Keturunan-keturunan ini akan menjadi sebuah bangsa yang disebut sebagai umat Allah, di mana Allah sendiri akan menjadi Rajanya. Ini adalah perjanjian yang dibuat setelah keturunan Abraham dipanggil keluar dari Mesir sebagai simbol pembebasan. Perjanjian ini dibuat di Gunung Sinai melalui Musa. Di sana Tuhan memberikan Hukum Taurat sebagai hukum yang berlaku di Israel. Hukum ini memiliki banyak aturan yang berkaitan dengan identitas bangsa Israel di tengah-tengah bangsa lain. Segala bentuk simbol dan pekerjaan yang dianggap sama dengan bangsa lain, dilarang oleh Tuhan.Di sini, Tuhan sedang melatih umat-Nya menjadi umat yang kudus, yang dipisahkan dari dunia, yang berbeda dari dunia. Bangsa ini dilatih untuk hidup dipimpin oleh Tuhan dan menjalankan perintah-Nya dengan baik. Dalam kehidupan berbangsa, Israel pun dilatih secara berbeda dibanding dengan bangsa yang lain, sebab Tuhan sendirilah yang menjadi Raja mereka. Imam dan nabi diangkat sebagai wakil Tuhan, tetapi posisi raja dipegang oleh Tuhan sendiri.

Hal ini terlihat sejak perjalanan 40 tahun bangsa Israel ke Kanaan. Bangsa Israel dipimpin oleh tiang awan dan tiang api yang melambangkan kehadiran Tuhan. Hal ini berarti Tuhan memimpin kapan dan ke mana bangsa Israel harus berjalan. Ketika tiang itu diam, dengan taat Isreal pun harus diam. Ketika tiang itu berjalan, dalam kondisi apa pun bangsa Israel harus siap mengikuti pimpinan dari Sang Raja. Selain itu, Musa juga mengatur seluruh kehidupan berbangsa di Israel agar selalu melihat kepada keputusan Tuhan. Segala perintah yang Tuhan berikan kepada Musa, harus ia beri tahukan kepada bangsa Israel untuk dilaksanakan. Sehingga, bangsa Israel adalah bangsa yang dipimpin secara langsung oleh Tuhan.

Pada zaman Yosua, bangsa Israel harus menaklukkan Kanaan yang adalah Tanah Perjanjian. Tuhan telah mempersiapkan tanah tersebut bagi bangsa Israel, tetapi mereka harus bekerja keras untuk menumpas segala bangsa yang mendiami tanah tersebut.

Penumpasan ini harus dibarengi dengan menghabiskan seluruh budaya penyembahan berhala yang ada di sana. Akan tetapi, pekerjaan ini tidak terselesaikan di zaman Yosua. Israel di bawah kepemimpinan Yosua telah menaklukkan banyak daerah, namun belum sempurna. Masih ada daerah-daerah yang belum ditaklukkan oleh mereka. Perjuangan ini tidak pernah terselesaikan di zaman hakim-hakim.

Namun, Israel masih melakukan hal yang jahat di mata Tuhan. Mereka mengompromikan iman dan budaya mereka dengan konsep kafir. Hal ini menjadikan Tuhan begitu sedih hingga berulang kali memberikan hukuman. Akan tetapi, melalui kemurahan Tuhan, Israel terus mendapat pengampunan ketika mereka bertobat, kembali kepada Tuhan.

Kitab Hakim-hakim memperlihatkan bagaimana kondisi bangsa Israel yang begitu merosot dari hakim pertama hingga terakhir. Mereka sudah sangat jauh dari Tuhan, tetapi Ia masih menunjukkan belas kasihan-Nya dan tetap memimpin mereka.

Kebobrokan Israel menuju tingkat yang sangat parah ketika mereka meminta seorang raja kepada Tuhan melalui Samuel, dengan alasan agar mereka sama seperti bangsa lain. Ini adalah permintaan yang begitu kurang ajar dan tidak tahu diri. Keinginan mereka untuk memiliki raja lain yang dapat dilihat oleh mata sama seperti memberontak kepada Tuhan yang adalah Raja mereka pada saat itu. Mereka ingin memiliki seorang raja, mereka ingin sama seperti bangsa lain, ketika Tuhan ingin membentuk umat-Nya menjadi bangsa yang berbeda dengan dunia. Mereka tidak mau dipimpin langsung oleh Tuhan melainkan dipimpin oleh seorang raja yang terlihat. Meskipun memang, dalam sejarah kita dapat melihat bahwa Tuhan menghendaki seorang Raja yang akan memerintah di Israel sebagai penggenapan janji-Nya yang akan mengukuhkan takhta dari suku Yehuda. Namun, posisi itu seharusnya dipersiapkan bagi Sang Mesias yang akan memerintah bangsa-bangsa. Akhirnya Tuhan membiarkan mereka mengangkat seorang raja yang sangat “terlihat”. Saul memiliki kualitas yang terlihat (visible qualities) untuk menjadi seorang raja. Perawakannya yang tinggi besar dan parasnya yang elok menjadi idaman bagi rakyat, tetapi akhir hidupnya jauh dari Tuhan.

Pemilihan Daud

Ketika kehidupan Saul semakin lalim, Tuhan mengangkat Daud sebagai raja yang baru. Pengangkatan Daud ini adalah sebuah kisah yang unik karena kehidupannya dikontraskan dengan Saul. Bermula dari Samuel yang diutus oleh Tuhan kepada Isai, seorang dari Betlehem. Samuel membawa tabung tanduknya dengan minyak sebagai persiapan untuk mengurapi seorang raja. Di sana dia mempersembahkan korban melalui upacara pengorbanan dan menyucikan Isai beserta anak-anaknya laki-laki. Ketika ia melihat Eliab, seseorang yang gagah dengan perawakan yang tinggi, Samuel langsung merasa orang inilah yang ditentukan oleh Tuhan. Namun, kali ini Tuhan menyatakan dengan spesifik bahwa Tuhan tidak melihat apa yang manusia lihat, Tuhan melihat hati. Satu per satu anak dari Isai keluar dan tidak ada satu pun yang diperkenan oleh Tuhan. Hingga ketujuh anaknya lewat di depan Samuel, tetap Tuhan tidak berkenan kepada satu pun dari antara mereka.

Ternyata, Isai menyembunyikan seorang anaknya yang paling bungsu. Di dalam kebudayaan Yahudi, angka adalah simbol yang penting. Angka tujuh merupakan angka yang melambangkan kesempurnaan. Sehingga, tujuh anak dianggap sebagai lambang dari kesempurnaan. Hal ini terlihat seperti di kisah Ayub. Ayub diceritakan memiliki 7 anak laki-laki dan 3 anak perempuan. Angka tujuh melambangkan kesempurnaan dan angka sepuluh melambangkan kegenapan. Sehingga memiliki 7 anak laki-laki dan 3 anak perempuan berarti Ayub memiliki keluarga yang sempurna. Isai pun demikian, ia menganggap ketujuh anak laki-laki pertama sebagai yang baik, sehingga anak kedelapan menjadi anak yang dipandang sebelah mata. Daud adalah anak kedelapan dan di dalam keluarganya, ia tidak mendapatkan penerimaan yang baik. Dia diberikan tugas sebagai gembala kambing domba, sebuah pekerjaan yang rendah di Israel, sedangkan kakak-kakaknya diutus menjadi prajurit yang berperang bagi bangsa Israel. Akan tetapi, Tuhan malah berkenan kepada Daud, dan bukan kepada kakak-kakaknya. Akhirnya, Samuel mengurapi Daud menjadi raja dan sejak hari itu Roh Tuhan berkuasa atas Daud.

Ini menjadi prinsip dan standar Tuhan dalam melihat seseorang. Raja Saul dipilih oleh rakyat karena perawakan dan parasnya, namun Tuhan memilih seorang raja bukan dengan standar manusia. Tuhan menggunakan ukuran-Nya untuk menentukan siapa yang layak menjadi raja. Zaman kita sangat menekankan apa yang dapat dipamerkan kepada mata. Kita sering kali mempunyai penilaian (prejudice) terhadap orang seturut apa yang terlihat oleh mata. Sedikit banyak, kita telah dipengaruhi budaya yang begitu pragmatis-hedonis ini sehingga seluruh standar nilai kita bergeser. Kita lebih mengutamakan hal-hal yang menempel di tubuh kita atau pada nama kita. Pengakuan dan penilaian orang kita kejar. Status sosial menjadi hal yang kita cari. Akan tetapi, Tuhan memilih orang yang secara status sosial dipandang rendah dan hina, bahkan di dalam lingkungan keluarga sendiri. Dengan cara ini, Tuhan mendidik kita untuk melihat dengan cara Tuhan melihat agar kita mempunyai hati yang luas. Hati yang luas berarti tidak menggunakan cara pandang dunia ini untuk menilai manusia, melainkan menggunakan penilaian Tuhan untuk menilai.

Karakter Daud

Daud pun memiliki hati yang luas untuk menerima panggilan Tuhan. Dia tidak merasa minder atau mengalami inferiority complex. Dia rela taat dan mau menjalankan apa yang Tuhan kehendaki. Meskipun Daud sudah diurapi menjadi raja atas Israel, dia harus menunggu terlebih dahulu. Dia tidak dengan otoritas mengklaim takhta yang sedang diduduki oleh Saul. Dia rela menunggu dengan hati yang luas akan rencana Tuhan. Terlebih lagi, dia rela menjadi pelayan dari Saul. Daud tidak mengambil sikap yang melawan Saul meskipun dia berhak melakukannya. Namun, dia tetap rendah hati dan mau taat di bawah pimpinan Saul. Sikap ini terlihat di sepanjang hidupnya. Ketika Daud dikejar oleh Saul, Daud tidak mengangkat senjata untuk melawan Saul. Daud pun tidak menggunakan urapannya sebagai raja menjadi cara untuk memenangkan rakyat agar berbalik melawan Saul. Dia melarikan diri dan harus hidup tanpa mempunyai tempat tinggal.

Salah satu alasan mengapa Daud tidak melakukan demikian adalah karena Daud mengetahui siapa yang seharusnya menjadi musuhnya. Daud tidak ingin terjadi perpecahan di dalam bangsa Israel sendiri. Selain itu, Daud juga mengetahui posisi penting yang Israel emban sebagai umat Tuhan. Dia melihat bangsanya sebagai umat Tuhan dan Daud sangat berhati-hati dalam memperlakukan mereka. Daud tidak berdebat dengan Saul mengenai siapa yang berhak menjadi raja, melainkan dia tetap tunduk dan tidak memberontak. Dia menghargai Saul sebagai orang yang telah ditunjuk Tuhan menjadi raja sebelum dia. Dia juga menghargai Saul sebagai seorang keturunan Israel, sebagai umat milik Tuhan. Daud pun tidak mengambil nyawa Saul ketika dia memiliki kesempatan itu. Daud menghargai umat Tuhan dan menilai mereka sesuai dengan penilaian Tuhan. Meskipun umat Tuhan begitu rusak dan bobrok, Daud tidak menjadikan mereka musuh. Dia rela menanggung masa pelarian itu dan dia tidak ingin memusuhi umat Tuhan.

Namun demikian, Daud bukanlah seorang yang penakut. Sebab, Daud berani berhadapan dengan Goliat ketika tidak ada pasukan yang berani berhadapan dengannya. Mengapa Daud berani menghadapi Goliat? Hal ini juga berkaitan dengan penilaian Daud terhadap orang-orang di sekitarnya. Daud memiliki sikap yang berbeda ketika berelasi dengan umat Tuhan dibandingkan dengan umat lain, khususnya bangsa Filistin dalam konteks ini. Dia sadar bagaimana tugas Israel belum selesai untuk menghabisi orang Filistin dan menyatukan Israel. Daud hanya berpegang kepada janji Tuhan bahwa seluruh Kanaan akan menjadi tanah yang sepenuhnya milik Israel. Sehingga dengan berani Daud menantang Goliat dan berperang melawannya. Keberanian ini keluar bukan dari kekuatannya, bukan dari kelihaiannya berperang. Melainkan keberanian yang keluar dari pengenalannya akan Tuhan dan janji-Nya. Keberanian ini juga keluar dari hati yang luas menerima rencana Tuhan dan taat kepada Tuhan. Tuhan akhirnya memberkati Daud dengan mengizinkannya membunuh Goliat. Peristiwa ini menjadi simbol bahwa Daud adalah orang yang dibangkitkan Tuhan untuk menghabisi bangsa Filistin dan mempersatukan bangsa Israel. Daud berhasil dalam menjalankan panggilannya sebagai raja Israel.

Refleksi

Hati seperti Daud sangat jarang kita temukan di zaman sekarang. Setelah Kristus membuka keselamatan bagi banyak bangsa, posisi bangsa Israel sekarang diteruskan bukan lagi oleh sebuah bangsa secara fisik, melainkan diteruskan oleh gereja Tuhan. Gereja Tuhan memiliki posisi sebagai pernyataan wakil Tuhan di bumi ini. Di satu sisi sebagai orang Kristen, kita sering kali salah memilih musuh. Kita sangat sering berselisih paham dan bertengkar dengan gereja Tuhan sendiri. Kita mempermasalahkan hal-hal yang sangat remeh. Karena kepentingan diri atau kelompok, gereja Tuhan terpecah. Karena hal-hal yang tidak penting, gereja-gereja saling bertengkar. Dan penyakit itu sedikit banyak ada pada sikap iri hati kita masing-masing. Sering kali pertikaian dengan orang lain bermotifkan egoisme diri, bukan karena adanya perbedaan prinsip kebenaran. Malahan, prinsip kebenaran dijadikan sebagai rasionalisasi motif egois kita. Sehingga, terlihatnya kita memperdebatkan prinsip kebenaran, padahal di baliknya adalah perjuangan membela egoisme masing-masing. Ini bukanlah semangat dari kekristenan. Musuh kita adalah kefasikan dan kelaliman, tetapi orang fasik dan orang lalim adalah objek dari pemberitaan Injil kita, yang harus kita sampaikan dengan kasih. Kristus di atas kayu salib mengerti siapa musuh-Nya. Dosa dan si Jahatlah musuh-Nya. Karena itu di atas kayu salib Ia rela menghadapi maut sampai tuntas. Kristus tidak membenci orang-orang yang menyalibkan-Nya, bahkan Ia begitu mengasihi mereka dan memohon kepada Bapa yang di sorga untuk mengampuni mereka karena ketidakmengertian mereka. Oleh sebab itu, kita harus belajar memiliki hati yang luas seperti Kristus dan Daud dalam bersikap kepada sesama umat manusia. Jangan sampai egoisme kita menjadikan kita seperti orang Farisi yang memiliki self-righteousness yang begitu besar tetapi menyelubunginya dengan memanfaatkan kalimat-kalimat kebenaran, padahal sebenarnya hanyalah sebuah tipuan. Sikap demikian menjauhkan kita dari salib yang seharusnya kita junjung tinggi.

Di sisi yang lain kita juga harus melihat bahwa ketika keselamatan terbuka bagi bangsa-bangsa, hal ini menjadikan kita manusia yang siap menerima bangsa apa pun di dalam segala keberagaman mereka. Karena perbedaan batas ini disingkirkan, kita harus juga menerima satu dengan yang lainnya dengan hati yang luas. Sebab, mungkin dalam waktu ini, mereka masih menyembah berhala atau melakukan praktik agama yang salah. Akan tetapi, suatu saat nanti mungkin Tuhan akan menggerakkan hati mereka untuk kembali kepada Tuhan. Dengan latar belakang apa pun, gereja Tuhan harus siap menerima setiap orang yang ingin kembali kepada Tuhan dan hal ini perlu dilatih dengan baik.

Karena itu, kita harus memiliki pengertian yang benar mengenai siapa musuh kita di dalam dunia ini. Bangsa lain tidak lagi menjadi musuh kita, apalagi umat Tuhan di dalam gereja. Yang menjadi musuh kita adalah penguasa di angkasa dan dosa. Dengan berfokus kepada panggilan kita masing-masing untuk membereskan pengaruh dosa di dalam konteks kita, kita akan menjauhkan diri dari segala permasalahan yang tidak perlu. Kiranya kita belajar dari Daud untuk memiliki hati yang luas. Hati yang siap menunggu pimpinan Tuhan, yang tidak dicemari dengan prasangka dan penilaian yang salah dari tradisi dan budaya, melainkan yang dengan tepat mengerti isi hati Tuhan dan melawan apa yang keji di hadapan Tuhan.

Diambil dari:

Nama situs: Buletin Pillar.org
URL: http://www.buletinpillar.org/artikel/hati-yang-luas#hal-1
Judul asli artikel: Hati yang Luas
Penulis artikel: Howard Louis
Tanggal akses: 14 Agustus 2018

Penulis_artikel
John Piper
Tanggal_artikel
1 Agustus 2018
Isi_artikel

Alkitab dan iman Reformed telah digunakan untuk membela rasisme dan perbudakan. Akan tetapi, jika Anda melihat dengan pandangan yang jauh, dalam setiap kasus, tiba saatnya ketika Alkitab yang sama, iman yang sama, yang dulu pernah memaafkan rasisme dan perbudakan, akhirnya digunakan sebagai bagian dari kehancurannya.

Inilah tepatnya kasus yang saya alami sendiri. Bukan teologia Reformed yang sepertinya memacu dan mempertajam rasisme saat saya remaja. Pada waktu itu saya sangat menentang teologia tentang predestinasi dan juga sangat menentang integrasi ras.

Bagi saya, setidaknya, teologia Reformed bukan alasan untuk rasisme saya, tetapi berperan besar dalam memperbaikinya. Terbebasnya saya dari paham berpusat pada manusia, gebukan kehendak bebas, kesalehan rasionalistik terjadi bersama-sama dengan terbebasnya saya dari pandangan yang merendahkan ras lain. Saya tidak mengatakan bahwa menerima Calvinisme dan menolak pandangan rasis terjadi bersamaan pada semua orang. Namun, itu terjadi pada diri saya.

Dan, tidak mengherankan, selama berabad-abad ada orang-orang Afrika Amerika yang menemukan dalam pandangan Reformed tentang Allah, bukan sebagai sebuah kebenaran yang membebani, tetapi kebenaran yang memerdekakan dan memberi kekuatan. Thabiti Anyabwile menyampaikan beberapa kisah ini di dalam The Decline of African American Theology, serta The Faithful Preacher: Recapturing the Vision of Three Pioneering African-American Pastors.

Pada zaman kita sendiri ada semacam kebangkitan di antara banyak orang Kristen kulit hitam terhadap kebenaran dan keindahan dari Allah di Alkitab. Anthony Carter menunjukkan kepada kita dengan baik dalam bukunya yang memperkenalkan hal baru, On Being Black and Reformed: A New Perspective on the African-American Christian Experience. Dan, dia mengikutsertakan 9 orang Afrika Amerika lainnya dalam menggambarkan perjalanan teologia mereka dalam Glory Road: The Journeys of 10 African Americans into Reformed Christianity. (Diambil dari Bloodlines, 132). (t/Jing-Jing)

Diterjemahkan dari:

Nama situs: Desiring God
URL: https://www.desiringgod.org/articles/my-experience-with-racism-and-refo…
Judul asli artikel: My Experience with Racism and Reformed Theology
Penulis artikel: John Piper
Tanggal akses: 31 Juli 2018

Oleh: Rode P.

Judul progsif kali ini sangat menarik bagi kaum muda karena berkenaan dengan cinta. Hal itu terbukti dari kebanyakan peserta yang hadir dalam progsif adalah anak muda. Vikaris Heru Lin, hamba Tuhan, sebagai pembicara, memulai seminar dengan menunjukkan tiga gambar ilusi kepada peserta, yang membuat kami berpikir melihat hal yang berbeda dari gambar yang terlihat.