Pekerjaan Anda Dilakukan dengan Baik

Penulis_artikel: 
Dan Doriani
Tanggal_artikel: 
3 Desember 2020
Isi_artikel: 

Mengapa Pekerjaan Baik Penting bagi Tuhan

Saat mewawancarai ratusan orang untuk buku saya "Work: Its Purpose, Dignity, and Transformation", saya memerhatikan berapa banyak orang yang mulai mendeskripsikan pekerjaan mereka dengan dua kata: "Saya hanya".

Para pendidik berkata, "Saya hanya mengajar matematika," dan para pemimpin mengatakan mereka "hanya" mengklarifikasi masalah atau membentuk tim. Beberapa dari kita mengatakan "Saya hanya" karena kita ingin tetap rendah hati. Yang lain berkata "Saya hanya" karena kita tidak pernah mendengar "Kerja yang bagus" atau karena kita tidak dapat melihat nilai dari pekerjaan kita. Yang lain lagi mengatakan "Saya hanya" karena kita hanya bekerja untuk uang atau karena kita kurang arah dan hanya melakukan apa yang diperintahkan. Akan tetapi, kita harus melihat lebih tinggi dan melihat bahwa Allah sendiri mengarahkan kita untuk melakukan pekerjaan yang menyenangkan Dia saat kita melayani sesama kita – apa pun jenis pekerjaan yang kita miliki.

Untuk menyenangkan Tuhan kita dengan pekerjaan kita, kita menyadari bahwa pandangan kita tentang pekerjaan dimulai dari Tuhan sendiri. Kita bekerja karena Allah bekerja, membentuk dan memajukan dunia ini. Dia adalah Pencipta, Raja, dan Gembala yang Baik. Keinginan kita untuk memperbaiki apa yang rusak, menggemakan tujuan Allah untuk menebus ciptaan-Nya yang jatuh. Dorongan kita untuk membuat dan memenuhi rencana adalah mengikuti Tuhan kita, yang merencanakan dan menyelesaikan penebusan. Ketika kita menerima sebuah proyek dan bersukacita atas penyelesaiannya, kita meniru Yesus, yang berkata, "Makanan-Ku adalah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya." (Yohanes 4:34). Umat manusia bekerja karena Tuhan menciptakan kita menurut gambar-Nya, dan Dia bekerja.

Menyenangkan Allah dari jam 9 pagi sampai jam 5 sore

bekerja

Saya mengusulkan lima prinsip untuk mengasihi dan melayani sesama kita di tempat kerja. Masing-masing didasarkan pada karakter dan hikmat Allah, sehingga kita menyenangkan Dia ketika kita -(berjalan) di jalannya- (Ulangan 8:6; Mazmur 128:1). Urutannya penting: kita mengasihi dan melayani sesama kita hanya sebagaimana Allah menyesuaikan kita dengan gambar Yesus (Roma 8:29).

1. Mengupayakan keadilan, kesetiaan, dan kasih.

Kita menyenangkan Allah ketika kita menunjukkan keadilan, kesetiaan, dan kasih seperti Allah. Kita melakukan keadilan bagi semua orang, dan dengan perhatian khusus kepada yang lemah dan tidak berdaya, kepada para janda dan yatim piatu. Kita setia ketika kita bertahan, bukannya menyerah, saat menghadapi tentangan atau sabotase.

Arsitek dan desainer mengasihi orang yang tidak akan pernah mereka temui ketika mereka merencanakan lingkungan kerja yang ruang dan pencahayaannya menumbuhkan ketenangan dan energi selama satu abad. Pengrajin kayu mengasihi sesama yang jauh saat mereka membuat kursi yang sesuai dengan bentuk tubuh, tidak pernah berderit, dan bertahan puluhan tahun. Bahkan, jika seseorang membuat gitar atau cello sendirian di toko, alat musik yang bagus melayani pria dan wanita yang akan memainkan dan mendengarkannya bertahun-tahun kemudian dan bermil-mil jauhnya.

2. Menerapkan hukum Allah dalam pekerjaan Anda.

Kita menyenangkan Allah ketika kita mengikuti hukum-Nya dalam pekerjaan kita. Hukum mengalir dari karakter Tuhan. Jadi, kita tidak membunuh, karena Allah memberi hidup, dan kita tidak mencuri atau mengingini, karena Dia murah hati.

Allah selalu mengatakan kebenaran, dan Kitab Suci adalah -- firman kebenaran- (2 Timotius 2:15; Yohanes 17:17). Oleh karena itu, pekerja media menyenangkan Allah ketika mereka berbicara kebenaran dengan kasih, untuk membangun mereka yang mendengar (Efesus 4:15, 29). Mereka melaporkan berita secara akurat dan memperlakukan narasumber secara bertanggung jawab – misalnya, dengan menetapkan konteks ucapan dan komentar. Mereka menolak untuk mempublikasikan tuduhan tidak berdasar atau dengan sembrono merusak orang yang tidak bersalah. Mereka membuat kebenaran yang penting menjadi menarik.

Kita lebih suka berita semacam ini karena media tergoda untuk meningkatkan peringkat dan keuntungan dengan menarik perhatian sebisa mungkin, seringkali dengan memicu ketakutan atau kemarahan. Kita telah melihat ini dalam laporan tentang COVID-19, karena outlet media menyebarkan berita menakutkan yang hampir saling bertentangan. Satu bagian berteori tentang angka kematian yang mengerikan setelah kembali ke bisnis normal, dan bagian berikutnya meratapi kematian ekonomi dan kehancuran para pengangguran.

3. Mengejar tujuan yang mulia.

Kita menyenangkan Allah ketika kita membangun motif dan tujuan yang mulia. Konselor dan terapis fisik mengembangkan pemulihan ketika mereka menyesuaikan bantuan mereka dengan karakter dan kapasitas klien mereka. Mereka memajukan tujuan klien ketika mereka memberikan semua nasihat yang mereka bisa, dan kemudian mengirim klien kepada orang lain untuk fase berikutnya.

Para pemimpin yang saleh dengan hati-hati memilih tujuan yang akan mereka kejar bersama orang-orangnya. Misalnya, pelatih atletik menetapkan tujuan yang baik ketika mereka memberi tahu para pemainnya bahwa kebugaran, kemajuan, dan kerja tim adalah lebih penting daripada menang. Mereka mengembangkan permainan yang intens, tetapi adil, tekun, dengan sifat sportiv, kegembiraan dalam permainan dan rekan satu tim, menghormati lawan, dan memiliki keanggunan dalam kemenangan dan kekalahan. Mereka mengajari para pemain bahwa olahraga itu penting, tetapi hal-hal kekal lebih penting.

4. Mencari orang untuk dilayani dan dilindungi.

Kita menyenangkan Allah saat kita mencari orang untuk dilayani dan dilindungi. Yesus berkata, -Anak Manusia datang bukan untuk dilayani tetapi untuk melayani dan memberikan nyawa-Nya sebagai tebusan bagi banyak orang,- dan Dia senang ketika kita melayani orang lain (Matius 20:25–28). Pada hari terakhir, Yesus akan berkata, "Bagus sekali," kepada setiap orang yang melayani "saudara-saudara-Ku yang paling hina ini," membawakan makanan bagi yang lapar, air bagi yang haus, mengundang masuk orang asing, dan memberi pakaian bagi yang telanjang (Matius 25:23, 34–40).

Dalam resesi khusus, banyak yang memiliki peran kecil dalam kelompok dengan membawa makanan, air, tempat berteduh, dan kesehatan. Jika kita tidak melihat keseluruhan usaha, kita kehilangan pentingnya tenaga kerja kita. Seorang pengemudi mungkin berpikir, -Saya tidak menghasilkan apa-apa; saya hanya mengirim roti." Namun, tanpa pengiriman, tidak ada yang makan. Agen keuangan mungkin mengeluh bahwa mereka hanya menghitung angka, lupa bahwa pinjaman yang baik memungkinkan orang untuk membeli rumah, dan memulai bisnis. Memang, mereka mungkin melatih klien untuk meningkatkan peluang keberhasilan bisnis mereka dan memberikan pinjaman yang adil kepada kelompok etnis yang dapat dikecualikan dari pasar modal.

5. Menemukan orang yang layak untuk ditiru.

Kita menyenangkan Allah ketika kita mengikuti teladan para pahlawan. Ibrani 11 mengajar kita untuk mencari pahlawan dalam iman, Yesus mengajar para murid untuk belajar dari Daud (Matius 12:3–4), dan Paulus menyajikan Timotius sebagai teladan tidak mementingkan diri sendiri (Filipi 2:19–24). Karena kita selalu pemula, kita tetap membuka mata terhadap pahlawan masa kini. Perhatikan, misalnya, dua kisah singkat tentang orang-orang yang mewujudkan prinsip-prinsip ini di tempat kerja.

Mike si Pemilik Restoran

Mike Perez memiliki beberapa restoran ramah keluarga yang menyajikan hamburger, pizza, dan makanan serupa. Dia mungkin tergoda untuk mengatakan, "Saya hanya membuat hamburger," tetapi Mike melakukan lebih banyak lagi. Dalam hal paling sederhana, dia mengatakan yang benar, menyajikan makanan enak, dan membayar upah yang adil. Dia memastikan bahwa keluarga memiliki tempat yang aman untuk menikmati makanan yang memuaskan.

Akan tetapi, Mike juga menjadi kreatif dalam cara dia melayani pelanggan dan stafnya. Dia menjadi tuan rumah studi Alkitab dan diskusi mengeksplorasi iman. Dia secara sadar bertindak sebagai figur ayah, memastikan semua stafnya diperlakukan dengan hormat. Dia memanfaatkan kesempatan untuk melatih para pekerja mudanya, menanamkan etos kerja yang baik sebelum mereka melanjutkan karir mereka. Akhirnya, dia mempekerjakan dan melatih mantan narapidana untuk memberi mereka kesempatan untuk memiliki pekerjaan yang layak dan menjalani kehidupan yang jujur. Sekilas, orang bisa berpikir Mike "hanya" menyajikan hamburger, tetapi pada setiap langkah, dia berusaha untuk melayani Tuhannya dan mengasihi sesamanya.

Jonathan sang Manajer

Jonathan Byrd mengepalai perusahaan yang tidak memiliki bisnis inti. Jonathan mengidentifikasi dan memperoleh aset dan organisasi yang menurun karena kelalaian, manajemen yang buruk, atau kekurangan modal. Dia menginvestasikan uang dan keterampilan manajemen untuk memperbarui dan mengisi gedung-gedung tua yang kokoh. Dia mengakuisisi produsen yang salah urus yang masih bisa memproduksi barang yang melayani kepentingan publik. Kesuksesan Jonathan telah membuatnya menjadi investor yang membantu mengurangi risiko.

... Allah sendiri mengarahkan kita untuk melakukan pekerjaan yang menyenangkan Dia saat kita melayani sesama kita – apa pun jenis pekerjaan yang kita miliki.
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Pada tahun 2018, Jonathan mengakuisisi perusahaan kecil yang memproduksi ventilator. Pada Januari 2020, perusahaan baru saja memulai kembali proses tersebut dan belum memperoleh keuntungan. Jonathan siap menjual ke produsen yang lebih besar untuk mendapat untung besar ketika pandemi virus corona melanda. Sejak COVID-19 menyerang paru-paru, dunia tiba-tiba menghadapi kekurangan ventilator. Saat kekhawatiran akan penurunan ekonomi mulai terjadi, rencana Jonathan untuk penjualan yang sederhana dan menguntungkan menghilang.

Pada satu sisi, dia dapat mencoba meningkatkan produksi lima puluh kali lipat untuk memenuhi kebutuhan saat ini. Jika semuanya berhasil, mereka dapat memperoleh keuntungan, tetapi mereka tidak memiliki staf untuk peningkatan yang cepat, dan mereka kekurangan dana yang memadai, jadi itu berisiko. Selanjutnya, pemerintah federal ikut terlibat, dan masalah utang pun membayangi.

Jonathan tiba-tiba menghadapi kemungkinan kerugian besar, keuntungan besar, atau keuntungan jangka pendek diikuti dengan kerugian yang lebih besar jika penyakitnya berlalu dengan cepat. Dalam ekonomi yang menyusut dengan cepat, beberapa investor perlu meminimalkan risiko mereka, sama seperti proyek menjadi tidak stabil. Di sisi lain, Jonathan juga memiliki opsi untuk output rendah dan keuntungan kecil yang aman.

Akhirnya, Jonathan dan investornya setuju untuk mengutamakan kasih pada orang asing. Mereka akan menerima risiko pertumbuhan besar-besaran, investor baru, dan campur tangan federal untuk meningkatkan produksi dan menyelamatkan ribuan nyawa di seluruh dunia. Meneliti ketidakpastian keuangan, Jonathan berkata,

"Ini adalah kesempatan seumur hidup untuk melakukan hal yang hampir sempurna; risiko ekonomi adalah sekunder. Kami telah mengabaikan ekspektasi profitabilitas. Fokusnya adalah membantu orang. Kami akan membuat dan mengirimkan ventilator selama diperlukan, di mana saja, atau sampai kami kehabisan uang. Semua orang percaya mereka akan membantu teman mereka saat dibutuhkan. Saya suka bahwa kami membantu orang yang tidak akan pernah kami temui."

Jonathan adalah seorang pengusaha, bukan seorang teolog, tetapi dia melihat kesempatan untuk menyenangkan Allah dengan mengasihi orang asing dan orang luar yang tidak memiliki tuntutan padanya. Dengan cara itu, dia menggemakan kasih Allah. Kita meniru pahlawan masa kini seperti Mike Perez dan Jonathan Byrd ketika kita juga melihat tugas di depan kita bukan sebagai "hanya" pekerjaan, tetapi sebagai cara untuk meniru Kristus, melayani orang yang dekat dan jauh, dan menyenangkan Bapa kita. (t/Jing-Jing)

Sumber Artikel: 
Diterjemahkan dari:
Nama situs : Desiring God
URL : https://www.desiringgod.org/articles/your-job-well-done
Judul asli artikel : Pekerjaan Anda Dilakukan dengan Baik
Penulis artikel : Dan Doriani

Pesona Akhir Zaman dan Penerapannya Saat Ini

Oleh: Romauli

Beberapa bulan lalu, saya dan beberapa staf SABDA berkesempatan mengikuti progsif (program intensif) di Hotel Adhiwangsa, Surakarta. Progsif ini disampaikan oleh Pdt. Jimmy Pardede, M.Th. dengan tema "Pesona Akhir Zaman dan Penerapannya Saat Ini." Tema ini sangat menarik dan membuka banyak wawasan tentang akhir zaman yang sesuai dengan kebenaran firman Tuhan. selengkapnya...»

Memahami Kedaulatan Allah

Penulis_artikel: 
Antonio Coppola
Tanggal_artikel: 
2 Maret 2020
Isi_artikel: 
Memahami Kedaulatan Allah

Gambar: kedaulatan Allah

Kita hidup pada zaman yang sangat tidak pasti. Baik secara lokal maupun global, ada banyak volatilitas/ketidakstabilan politik dan ekonomi. Sangat mudah untuk menjadi muram dan merasa tidak aman pada saat-saat seperti ini. Namun, sebagai orang Kristen, harapan utama kita bukanlah pada penguasa zaman ini, atau dalam keadaan ekonomi kita, tetapi pada Pencipta alam semesta yang berdaulat.

Kebenaran bahwa Allah memang berdaulat harus menjadi penghiburan luar biasa dan sumber kekuatan bagi kita. Apa sebenarnya arti kedaulatan Tuhan? Singkatnya - Allah yang berkuasa, Dia yang memegang kendali. Mari kita melihat empat hal yang dinyatakan Alkitab tentang kedaulatan Allah.

Karena Allah berdaulat, Dia melakukan apa yang Dia inginkan dan mencapai semua tujuan-Nya. Tidak ada yang bisa menghentikan Allah melakukan kehendak-Nya. Mazmur 115: 3 menyatakan dengan jelas, "Allah kami ada di surga, Dia melakukan semua yang disukai-Nya." Allah sendiri berbicara dalam Yesaya 46:10, firman-Nya, "Rencana-Ku akan tetap teguh dan Aku akan menyelesaikan semua kehendak-Ku." Allah tidak dibatasi oleh apa pun di luar diri-Nya, juga tidak ada yang dapat menggagalkan kehendak-Nya, baik itu dosa manusia, pemberontakan atau kurangnya iman, atau bahkan rancangan jahat Iblis. Allah kita melakukan apa yang Dia inginkan dan akan selalu mewujudkan tujuan-Nya, hanya karena Dia adalah Allah!

Karena Allah berdaulat, Dia mengendalikan urusan dunia ini. Daniel 2:21 berkata bahwa "Dialah yang mengubah waktu dan masa; Dia memecat raja dan mengangkat raja. Dialah yang memberi hikmat kepada orang-orang bijaksana dan akal budi diberitahukan-Nya kepada orang yang memahami pengertian." Tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang terjadi secara kebetulan, Allah juga tidak membiarkan kita bergantung pada kemampuan kita sendiri untuk melanjutkan hidup secara mandiri tanpa Dia. Dia adalah penguasa dunia ini, dan sungguh, Dia berkuasa atas perubahan musim, membangkitkan raja dan presiden, dan juga mengawasi kejatuhan mereka - Allah membuat semuanya terjadi. Kita dapat bersandar pada kebenaran yang luar biasa ini bahwa pemerintahan memang terletak di bahu Tuhan (Yesaya 9:6).

Dia mampu menggunakan setiap keadaan untuk bekerja demi kebaikan dan kemuliaan-Nya.

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Karena Allah berdaulat, Dia telah memilih umat untuk diri-Nya sendiri "sebelum dunia dijadikan." (Efesus 1: 4). Terlepas dari tiadanya kebaikan atau iman yang melekat di dalam diri kita, melainkan semata-mata karena Dia memilih untuk menetapkan kasih-Nya kepada kita, "Ia menetapkan kita dari semula untuk diangkat menjadi anak-anak-Nya melalui Kristus Yesus sesuai dengan kesukaan kehendak-Nya." (Efesus 1: 5). Allah dengan berdaulat memilih kita untuk memperoleh karya penebusan di dalam Kristus, terlepas dari (kehendak) diri kita sendiri! Allah tetap sepenuhnya berdaulat atas keselamatan kita - itu semua adalah pekerjaan-Nya - dan karena itu Dia tidak akan pernah membiarkan kita lepas; dan memang, tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kasih-Nya di dalam Kristus Yesus. Ini adalah kabar baik bagi kita!

Karena Allah berdaulat, Dia tetap memegang kendali bahkan dalam menghadapi kejahatan, penderitaan dan ketidakadilan. Kisah Para Rasul 2:23 menyatakan, "Yesus ini, yang diserahkan menurut rencana yang sudah ditentukan dan pengetahuan Allah sebelumnya, kamu bunuh dengan menyalibkan-Nya melalui tangan orang-orang durhaka." Meski Allah tidak pernah menjadi pencipta atau sumber dari kejahatan, Dia mengizinkan hal itu terjadi. Penyaliban Kristus adalah contoh sempurna dari hal tersebut. Ketidakadilan terbesar dalam sejarah dilakukan oleh orang-orang jahat; tetapi itu terjadi sesuai dengan "rencana dan pengetahuan pasti" Allah. Ketidakadilan terbesar dalam sejarah akhirnya menjadi kemenangan terbesar Allah dalam menebus umat-Nya. Meskipun sulit untuk menanggung penderitaan, fakta bahwa Allah tetap berdaulat, kenyataan itu harus sangat menghibur kita. Dia mampu menggunakan setiap keadaan untuk bekerja demi kebaikan dan kemuliaan-Nya. (t/N.Risanti)

Audio:Memahami Kedaulatan Allah

Diterjemahkan dari:
Nama situs : klooftheology.org
URL : https://www.klooftheology.org/understanding-the-sovereignty-of-god.html
Judul asli artikel : Understanding the Sovereignty of God
Penulis artikel : Antonio Coppola

Progsif: Jonathan, A Man Who Knows His Calling in Life

Setelah cukup lama tidak mengikuti progsif, pada Senin, 29 Juli 2019 lalu, saya berangkat untuk menghadiri progsif bertema Jonathan, A Man Who Knows His Calling in Life (Yonatan, Seseorang yang Mengetahui Panggilannya dalam Hidup) di Hotel Adhiwangsa, Solo, bersama dengan teman-teman staf YLSA lainnya. Pembawa materi dalam seminar pembinaan iman Kristen kali ini adalah Ev. Inawaty Teddy. Beliau adalah dosen tetap di STT Reformed Indonesia untuk bidang Perjanjian Lama yang tentunya sangat menguasai topik yang beliau bawakan malam itu. selengkapnya...»

Yeremia dan Doa

Penulis_artikel: 
Juan Intan Kanggrawan
Tanggal_artikel: 
3 Juli 2019
Isi_artikel: 
Yeremia dan Doa

Yeremia dan Doa

Yeremia

"Engkau telah membujuk aku, ya TUHAN, dan aku telah membiarkan diriku dibujuk; Engkau terlalu kuat bagiku dan Engkau menundukkan aku. Aku telah menjadi tertawaan sepanjang hari, semuanya mereka mengolok-olokkan aku. Sebab setiap kali aku berbicara, terpaksa aku berteriak, terpaksa berseru: “Kelaliman! Aniaya!” Sebab firman TUHAN telah menjadi cela dan cemooh bagiku, sepanjang hari. Tetapi apabila aku berpikir: “Aku tidak mau mengingat Dia dan tidak mau mengucapkan firman lagi demi nama-Nya”, maka dalam hatiku ada sesuatu yang seperti api yang menyala-nyala, terkurung dalam tulang-tulangku; aku berlelah-lelah untuk menahannya, tetapi aku tidak sanggup." (Yeremia 20:7-9).

Konteks Umum mengenai Doa

Dalam buku A Theological Guide to Calvin’s Institutes: Essays and Analysis, dijelaskan bahwa salah satu cara menakar kematangan seorang teolog (dalam konteks tersebut sedang membicarakan bidang Theologi Sistematika) adalah dengan memperhatikan berapa banyak tulisan yang didedikasikannya untuk topik doa. Buku tersebut kemudian memberikan apresiasi mendalam terhadap Yohanes Calvin yang mengalokasikan sekitar 52 sections (dalam Book 3, Chapter 20: Of Prayer – A Perpetual Exercise of Faith. The Daily Benefits Derived from It.) untuk membahas satu topik ini. Sedikit merujuk kepada tokoh-tokoh lain seperti Martin Luther, Billy Graham, dan Timothy Keller, mereka juga pernah mengeluarkan kalimat-kalimat pendek namun padat mengenai signifikansi doa. Luther mengidentikkan doa dengan nafas dalam kehidupan rohani orang Kristen. Tanpa doa, orang Kristen tidak mungkin bisa hidup kerohaniannya. Billy Graham juga pernah ditanyai mengenai momen-momen yang begitu sulit dalam hidupnya. Ia menjawab, "The Christian life is not a constant high. I have my moments of deep discouragement. I have to go to God in prayer with tears in my eyes, and say, ‘O God, forgive me,’ or, ‘Help me.’” Dalam satu kesempatan diskusi panel, Timothy Keller diminta menceritakan kegagalannya yang paling fatal dalam pelayanannya selama 20-30 tahun terakhir. Terlepas dari berbagai terobosan, pencapaian, dan kesuksesan pelayanannya di kota New York melalui Redeemer Presbyterian Church, Keller memberikan sebuah jawaban yang membuat saya merenung, "My biggest failure in ministry has been, it took me decades before I learn to pray, really pray. For good 20 years I was a hypocrite. You are telling people God is great. It is your job. But you are not finding God great yourself. Your prayer life is nowhere.”

Sosok Yeremia

Sedikit menyinggung konteks tema Buletin PILLAR, dalam waktu-waktu ke depan, tema yang akan dibahas adalah mengenai aspek kerohanian dari berbagai tokoh Alkitab. Aspek kerohanian ini bisa mencakup perjuangan, kegagalan, pembentukan, perubahan hidup, teladan, ataupun rajutan pimpinan Tuhan dalam tokoh-tokoh di Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Dalam waktu-waktu terakhir, penulis sendiri sedang membaca dan merenungkan sosok Yeremia. Penulis kagum akan ketaatan, pergumulan, dan terutama kejujuran dari seorang Yeremia. Dalam peliknya kesulitan pelayanan dan perjalanan mengikuti kehendak Tuhan, Yeremia tidak menutup-nutupi kelelahan, erangan, rintihan, dan pergolakan jiwanya di hadapan Allah. Karena begitu banyaknya kesedihan serta ratap tangis yang keluar dari diri Yeremia, ia pun dikenal dengan sebutan “the weeping prophet”. Melalui artikel singkat ini, penulis akan secara spesifik menyoroti aspek doa dari konteks hidup seorang Yeremia.

Sebagai gambaran singkat, Yeremia adalah anak dari Hilkia, seorang imam Yahudi yang berasal dari Anatot (daerah suku Benyamin). Pada awalnya ia menolak panggilan Tuhan karena ia masih merasa dirinya terlalu muda. Sebagai tanggapan akan keberatan Yeremia, Tuhan menjanjikan penyertaan-Nya, juga konfirmasi untuk menaruh firman dalam mulut Yeremia. Tuhan mengangkat Yeremia atas bangsa-bangsa dan atas kerajaan-kerajaan, untuk mencabut dan merobohkan, untuk membinasakan dan meruntuhkan, untuk membangun dan menanam. Inilah konteks panggilan Yeremia yang begitu jelas dan serius. Namun, tidak berhenti di sana, Tuhan juga menyatakan bahwa pelayanan Yeremia akan penuh dengan tantangan dan kesulitan. Ia harus “berperang” dengan Israel, bangsanya sendiri, yang sudah begitu jauh meninggalkan Tuhan dan menyembah Baal.

Kesulitan hidup Yeremia semakin menjadi-jadi ketika ia harus memproklamasikan kebejatan dan kehancuran Yerusalem. Kalimat-kalimat yang pedas dan tajam berhamburan keluar dari mulut Nabi Yeremia: (i) bangsa dari utara akan datang dan menghancurkan Yerusalem, (ii) umat Israel telah melanggar dan memutuskan perjanjian (covenant) dengan Allah, (iii) Israel sudah begitu meninggalkan Allah dan menyembah dewa-dewa lain, bahkan membunuh anak-anak mereka untuk dikorbankan kepada ilah-ilah tersebut, (iv) dosa kesombongan, tipu muslihat, kemunafikan, penindasan, keserakahan, percabulan, dan ketidakadilan sudah begitu mendarah daging dalam keseharian umat Israel, (v) Israel akan dilanda oleh bencana kelaparan, perampasan, dan penjajahan. Sampai titik ini, pembaca Buletin PILLAR bisa berhenti membaca dan sedikit membayangkan konteks pergumulan hidup Yeremia. Setelah melontarkan kalimat-kalimat seperti itu, sikap dan reaksi seperti apa yang diberikan oleh orang Israel? Tekanan batin Yeremia semakin “lengkap” ketika bahkan di rumahnya sendiri, ia menerima ancaman pembunuhan dan sanak keluarga sendiri berusaha mengkhianati dan meringkusnya.

Doa, Tangisan, dan Ratapan

Bahkan dalam kondisi yang begitu sulit sekalipun, Yeremia tetap berjuang untuk tetap mengingat kasih setia Allah dan kembali mengarahkan hidupnya kepada Allah.

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Pdt. Dr. Stephen Tong pernah berkhotbah bahwa dalam momen-momen kesendirian dan kekelaman yang tidak bisa dimengerti oleh orang lain, apa yang kita pikirkan, refleksikan, dan katakan kepada Tuhan dan diri sendiri akan menentukan arah hidup kita selanjutnya. Ekspresi seperti ini kerap dapat kita baca dalam Kitab Yeremia dan Ratapan. Lebih tragis lagi, yang menjadi salah satu kesedihan besar bagi Yeremia adalah ketika ia sendiri harus menjadi saksi hidup akan segala nubuat bencana, kutukan, dan malapetaka atas bangsanya sendiri.

Dalam pergumulan pelayanannya, Yeremia tidak menghantarkan doa sekadar dengan kata-kata yang manis dan “steril”. Seperti Ayub yang juga pernah menderita begitu rupa, Yeremia dengan terbuka mengutarakan kalimat-kalimat yang sepertinya kurang pantas kepada Allah. Yeremia pernah berseru bahwa baginya, Allah seperti berlaku curang dan sulit dipercaya. Dalam momen lain, Yeremia pernah berpikir untuk menyerah dan berhenti. Ia mau menetapkan hati untuk berhenti memberitakan firman Tuhan. Namun, kemudian ia mengaku bahwa ia tidak berdaya. Firman Tuhan, yang telah dinyatakan kepadanya, bergelora seperti api di dalam tulang dan ia tidak sanggup menahannya.

Berikut adalah beberapa penggalan ayat yang merefleksikan seruan-seruan Yeremia kepada Tuhan:

Engkau memang benar, ya TUHAN, bilamana aku berbantah dengan Engkau! Tetapi aku mau berbicara dengan Engkau tentang keadilan: Mengapakah mujur hidup orang-orang fasik, sentosa semua orang yang berlaku tidak setia? (Yeremia 12:1)

Celaka aku, ya ibuku, bahwa engkau melahirkan aku, seorang yang menjadi buah perbantahan dan buah percederaan bagi seluruh negeri. Aku bukan orang yang menghutangkan ataupun orang yang menghutang kepada siapa pun, tetapi mereka semuanya mengutuki aku. (Yeremia 15:10)

Mengapakah penderitaanku tidak berkesudahan, dan lukaku sangat payah, sukar disembuhkan? Sungguh, Engkau seperti sungai yang curang bagiku, air yang tidak dapat dipercayai. (Yeremia 15:18)

Tetapi apabila aku berpikir: “Aku tidak mau mengingat Dia dan tidak mau mengucapkan firman lagi demi nama-Nya”, maka dalam hatiku ada sesuatu yang seperti api yang menyala-nyala, terkurung dalam tulang-tulangku; aku berlelah-lelah untuk menahannya, tetapi aku tidak sanggup. (Yeremia 20:9)

Dalam perjalanan kehidupan doa Yeremia, ia juga pernah merasakan bahwa sepertinya Allah tidak mendengarkan doa yang ia panjatkan. Ketika ia mengerang dan menjerit, Allah sepertinya diam membisu. Ia pun bertanya mengapa Allah tidak menggubrisnya. Suatu pertanyaan dan ekspresi yang begitu jujur dan nyata dari si nabi. Namun perenungan kita mengenai doa Yeremia tidak bisa sekadar berhenti di sini. Yeremia berseru seperti demikian bukan hanya untuk melampiaskan emosi semata. Sebab jika hanya berhenti di sana, apa yang membedakan seruan umat Allah dengan orang-orang di luar Tuhan yang juga bisa berdukacita atau berkabung dengan cara yang begitu ekspresif? Yang membedakan, seruan-seruan dari Yeremia sebetulnya juga “memaksa” dirinya untuk dapat mengarahkan matanya untuk kembali tertuju kepada Allah. Doa dan ratapan Yeremia tidak sekadar terapung-apung atau mengambang dalam ketidakjelasan. Bahkan dalam kondisi yang begitu sulit sekalipun, Yeremia tetap berjuang untuk tetap mengingat kasih setia Allah dan kembali mengarahkan hidupnya kepada Allah.

Refleksi dan Penutup

Dalam bagian akhir artikel ini, penulis hanya ingin memberikan pertanyaan dan ajakan sederhana untuk pembaca Buletin PILLAR. Bagaimanakah kehidupan doa kita di hadapan Tuhan? Jangan-jangan setelah puluhan tahun melayani Tuhan, kita kembali menyesali kurangnya kesungguhan doa sebagai kegagalan utama kita dalam pelayanan. Semoga kehidupan doa Nabi Yeremia bisa mendorong kita untuk berdoa secara jujur, terbuka, dan sepenuh hati di hadapan Tuhan.

Sebagai penutup, penulis tergerak membagikan penggalan lirik lagu yang dinyanyikan di ibadah sore GRII Singapura, sekitar 3-4 minggu sebelum dimulainya penulisan artikel ini. Lagu yang mengingatkan kita bahwa ada masa-masa di mana kita sulit dan tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun untuk berdoa. Namun dalam keadaan demikian, Roh Kudus yang membantu kita untuk berdoa di tengah-tengah segala kelemahan kita.

My voice is weak from calling to You both night and day.
How long will You be silent? Why do You turn away?
Spirit, come and rest Your ear upon my heart;
Come and hear my wordless prayer,
my silent plea and take them far away from me.
Take them from this heart of mine to the Father’s heart divine.
Speak in tones unknown to man that God may hear and understand.

(My Wordless Prayer)

Referensi:

Grant Skeldon Interviews: https://www.youtube.com/watch?v=OIBoLLUauWI.

Jeremiah the Weeping Prophet: https://www.ligonier.org/learn/devotionals/jeremiah-weeping-prophet/.

Matthew Henry Commentary, Book of Jeremiah: https://www.ccel.org/ccel/henry/mhc4.Jer.i.html.

You Cannot Handle Your Pain, Looking for God in Lament: https://www.desiringgod.org/articles/you-cannot-handle-your-pain.

Audio: Yeremia dan Doa

Sumber Artikel: 
Diambil dari:
Nama situs : Buletin Pillar
URL : http://www.buletinpillar.org/artikel/yeremia-dan-doa#hal-1
Judul asli artikel : Yeremia dan Doa
Penulis artikel : Juan Intan Kanggrawan
Tanggal akses : 8 Agustus 2018

Teknologi dan Kehidupan Kristen

Penulis_artikel: 
Tim Challies
Tanggal_artikel: 
14 Juni 2019
Isi_artikel: 
Teknologi dan Kehidupan Kristen

Teknologi dan Kehidupan Kristen

Membuka Alkitab adalah melangkah menuju sebuah dunia tempat penggembalaan domba, pertanian, dan mata bajak adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Pesan Injil dibubuhkan pada gambaran-gambaran semacam itu melalui perumpamaan dan metafora, tetapi tidak menjadi fosil dalam kebudayaan kuno. Justru, perumpamaan kuno Alkitab berperan sebagai pengingat akan betapa abadinya firman Allah. Saya masih menanti hari ketika bangsa-bangsa akan menempa pedang-pedang mereka menjadi mata-mata bajak, dan saya tahu bahwa janji kuno ini tetap, bahkan jika teknologi kuno itu tidak ada lagi.

Pelaksanaan kekuasaan atas bumi mengharuskan kita membangun, mengeksplorasi, menciptakan, dan menemukan. Dengan kata lain, hal itu menuntut adanya teknologi. Seperti halnya sebagian besar hal lainnya, bagaimanapun teknologi dapat digunakan untuk kebaikan atau kejahatan, jadi kita harus selalu berpikir dengan hati-hati tentang tujuan yang untuknya kita menerapkan teknologi. Sejak Menara Babel dibangun, teknologi menjadi sumber dan ungkapan kesombongan manusia. Di sisi lain, Bait Suci Salomo dan Terowongan Hizkia bergantung pada teknologi terbaik pada masa itu. World Wide Web yang sama yang membuka pandangan-pandangan baru bagi penyebaran Injil juga membawa pornografi masuk ke dalam jutaan rumah tangga. Teknologi bisa menjadi kekuatan yang berbahaya atau berkat yang sejati; kuncinya (seperti halnya dengan segala hal lainnya) adalah dengan membawanya ke bawah kekuasaan Yesus Kristus.

Teknologi

Hanya dalam waktu sekitar dua puluh tahun, pengalaman sehari-hari kita terhadap teknologi tumbuh dengan pesat sehingga komputer, ponsel pintar, media sosial, dan email adalah bagian-bagian standar dari rutinitas kita sehari-hari. Hidup menjadi lebih cepat karena hal-hal tersebut, tetapi kecepatan itu punya kelemahan. Sebagai contoh, kita bisa menggunakan banyak teknologi dalam kehidupan sehari-hari untuk mempersingkat waktu, tetapi kita jarang bertanya kepada diri kita sendiri -- mempersingkat waktu untuk apa? Apakah supaya kita bisa menebus waktu kita dengan cara tertentu bagi kemuliaan Allah (Ef. 5:15), atau supaya kita bisa membuang-buang waktu tersebut secara lebih kreatif? Tetap saja, saya menduga bahwa banyak dari teknologi penghemat waktu yang kita punya hanya menjadikan kita semakin sibuk, terkadang sampai merugikan kehidupan rohani kita.

Tidaklah melebih-lebihkan jika kita mengatakan bahwa media sosial telah menjadi gangguan budaya dari kehidupan nyata, bahkan menjadi suatu obsesi. Jarang sekali kita pergi ke mana pun dan tidak melihat seseorang dengan marah-marah berbicara dengan jempolnya, atau Facebook-an dalam waktu luang apa pun. Tetap terhubung menjadi jauh lebih mudah daripada sebelumnya, dan hal itu merupakan suatu berkat, tetapi apakah menggunakan media sosial menjadikan kita semakin sosial atau kurang sosial? Apakah media sosial menjadikan hubungan-hubungan kita semakin mendalam atau lebih berarti? Menghabiskan berjam-jam di media sosial adalah pertanda pasti bahwa alat yang berguna telah berubah menjadi tuan yang mengganggu. Dalam terang semua teknologi komunikasi modern ini, kritik Henry David Thoreau pada abad ke-19 tentang kantor pos membawa senyum pada wajah saya: "Bagi saya, saya bisa dengan mudah hidup tanpa kantor pos. Saya kira ada sedikit sekali komunikasi penting yang dilakukan melaluinya. Saya tidak pernah menerima lebih dari satu atau dua surat dalam hidup saya yang senilai dengan ongkos kirimnya." Orang pasti bertanya-tanya, berapa banyak dari tujuh triliun pesan teks yang dikirim tahun lalu saja yang "senilai dengan ongkos kirimnya". Kitab Amsal punya pendapat tentang "banyak bicara", dan itu tidaklah baik (Ams. 10:19).

Bagaimanapun, salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh seorang Kristen di dalam dunia modern adalah untuk berpikir jelas tentang penggunaan mereka terhadap teknologi. Apakah teknologi menolong Anda mencapai tujuan-tujuan yang baik dalam panggilan surgawi dan pelayanan Anda kepada Kristus, ataukah ia adalah jalan bagi gangguan dan godaan? Akankah Yesus melihat dan berkata, "Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia"?

Apakah teknologi menolong Anda mencapai tujuan-tujuan yang baik dalam panggilan surgawi dan pelayanan Anda kepada Kristus, ataukah ia adalah jalan bagi gangguan dan godaan?

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Kata "teknologi" menyulap gambaran-gambaran tentang sesuatu yang kompleks dan rumit; hidup kita merefleksikan gambaran yang sama pada era teknologi ini. Namun, Alkitab, yang tenggelam dalam kesederhanaan dari zaman yang lain, mengingatkan kita bahwa iman yang hidup bergantung pada sesuatu yang kekal dan sederhana, yaitu kasih karunia Allah yang hidup. Bapa-bapa iman kita -- para gembala, petani, dan nelayan -- mengingatkan kita bahwa hidup yang taat tidak perlu menjadi hidup yang rumit. Bersama-sama dengan mereka, kita masih bersukacita dalam janji itu, dan menanti hari ketika kita akan menempa pedang-pedang kita menjadi mata-mata bajak (satu ungkapan yang berarti mengubah segala sesuatu yang merugikan menjadi berguna - Red.). Sampai waktu itu tiba, adalah hal yang baik untuk merangkul pesan Injil dalam segala kesederhanaannya yang mulia, dan menjalani hidup kita seturut dengannya. (t/Odysius)

Audio: Teknologi dan Kehidupan Kristen

Diterjemahkan dari:
Nama situs : CHALLIES
Alamat URL : https://www.challies.com/sponsored/technology-and-the-christian-life/
Judul asli artikel : Technology and the Christian Life
Penulis artikel : Tim Challies

Redeeming the Youth through Social Media

Penulis_artikel: 
Izzaura Abidin
Tanggal_artikel: 
10 Juni 2019
Isi_artikel: 
Redeeming the Youth through Social Media

Redeeming the Youth through Social Media

"Hari gini gak punya Facebook?" Mungkin kalimat ini yang akan kita lontarkan apabila mengetahui bahwa seseorang tidak (atau belum) memiliki akun Facebook. Kalau tidak punya akun Facebook itu rasanya "aneh" – apalagi kalau ia adalah seorang anak muda. Bahkan mungkin pada era digital dan internet ini seorang anak muda yang paling kuper sekalipun paling tidak memiliki akun Facebook (terlepas dari ia menggunakannya secara aktif atau tidak). Hidup kita hari ini, entah kita sadari atau tidak, sudah begitu dekat dengan apa yang disebut sebagai media sosial (dan budaya internet) – Facebook, Twitter, dan tak lupa pula situs video sharing yang begitu fenomenal, Youtube. Pulang dari kantor, kuliah atau sekolah, mungkin banyak dari kita akan duduk di depan laptop atau komputer dan secara otomatis membuka Facebook -- atau setidaknya Facebook menjadi salah satu dari sekian banyak tab yang kita buka. Atau bagi pengguna smartphone seperti Blackberry, aplikasi Facebook atau Twitter for Blackberry menjadi penting untuk ada dan setiap hari (atau bahkan setiap jam, setiap menit) kita bisa begitu tergerak untuk membukanya, meng-update status, dan sebagainya.

Mungkin beberapa dari Anda berpikir bahwa yang akan dibahas di sini adalah bagaimana situs-situs jejaring sosial seperti Facebook ini dapat mengalihkan perhatian kita dari kehidupan kerohanian, menimbulkan adiksi, dan distraksi besar-besaran. Akan tetapi, isu yang hendak diangkat adalah bukanlah kampanye stop menggunakan media sosial, tetapi kalau pun kita menggunakannya, untuk apa dan bagaimana kita menggunakannya? Fenomena media sosial memang tak terelakkan dan nyaris tak bisa dibendung, maka dari itu pertanyaannya adalah bagaimana kita sebagai orang Kristen -- khususnya pemuda Kristen Reformed -- menggunakannya? Apakah selama ini kita menggunakan media sosial sama saja (atau bahkan lebih buruk) daripada orang-orang dunia?

Social Media

Pertama-tama, sebelum menelaah media sosial itu sendiri, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu, mengapa sih anak muda dapat begitu dekat dengan media sosial dan budaya internet lainnya? Hal ini disebabkan oleh karena kita sebagai anak muda, khususnya Generasi Y (generasi yang lahir pada akhir tahun 1970-an hingga tahun 1994), dan termasuk juga Generasi Z (lahir mulai dari tahun 1995 hingga hari ini) disebut sebagai the digital natives. Generasi Y-Z lahir pada era saat internet lahir ke dalam dunia; ibarat kata, kita lahir ke dalam dunia digital. Maka dari itu, kita sebagai anak-anak muda disebut sebagai "warga pribumi" dalam dunia digital, sedangkan generasi yang lahir sebelum internet ada disebut sebagai the digital immigrants (warga digital yang imigran). Tak heran, umumnya anak-anak muda (dan bahkan anak-anak zaman sekarang kebanyakan) lebih fasih dalam menggunakan gadgets dan memahami bahasa digital -- karena memang itu adalah "bahasa ibu" kita. Di sisi lain, anak muda memiliki kecenderungan untuk suka mencoba sesuatu yang baru, dan hal ini membuat kita sebagai anak muda menjadi kelompok early adopters (pengguna pertama) dari internet maupun media sosial.

What Can be Done with Social Media?

Walaupun sudah menggunakan media sosial sekian lama, mungkin kita tidak begitu menyadari apa-apa saja yang media sosial ini telah lakukan dalam kehidupan kita. Yang pasti, kehadiran media sosial dan sebenarnya internet itu sendiri telah menciptakan begitu banyak kemungkinan baru yang hampir tidak dapat dilakukan dalam kehidupan nyata. Yang mungkin paling jelas dan nyata adalah kemampuan media sosial untuk "menghilangkan" batasan ruang dan waktu, sehingga kita dapat berinteraksi dengan siapapun, kapan pun, di mana pun. Juga kemampuannya untuk menghubungkan orang-orang yang sudah terpisah sekian lama, menjadi ajang mencari teman baru, dan sebagainya. Akan tetapi, ada begitu banyak batasan lain yang menjadi runtuh atau bahkan hilang berkat adanya media sosial maupun internet secara umum. Batasan pertama yang diruntuhkan adalah batasan bahwa seseorang hanya bisa memiliki satu identitas saja. Dalam dunia nyata, seseorang memiliki keterbatasan dalam menunjukkan identitasnya. Kadang dibatasi atau terhalang oleh opini orang, norma sosial, dan lain sebagainya. Namun, dalam dunia maya, hal ini tidak terjadi oleh karena semua orang dapat menjadi siapa pun yang ia mau. Seseorang dapat menampilkan dirinya segamblang mungkin atau justru seminim mungkin. Seseorang dapat dengan baik mengatur dan menyeleksi apa-apa saja dari dalam dirinya yang mau ditampilkan dalam dunia maya -- yang mana sering kali dalam kehidupan nyata hal ini cukup sulit dilakukan. Hal ini disebut sebagai selective self-disclosure yaitu ketika seseorang dengan begitu selektif mengatur bagian-bagian mana saja dari dirinya yang akan diungkap lewat media sosial. Selain itu, melalui media sosial seseorang juga dapat memiliki identitas lebih dari satu, di mana setiap identitas itu dapat benar-benar berbeda dari kehidupan nyatanya. Oleh karena ada begitu beragamnya platform media sosial -- mulai dari Facebook, Twitter, Blogger, Tumblr, dan sekarang terdapat Instagram, Path, dan lain sebagainya -- maka yang dapat terjadi adalah identitas diri yang beragam.

Kemudian, batasan kedua yang hilang semenjak adanya media sosial adalah batasan antara ranah privat dan publik. Sesuatu yang kita share yang sebenarnya bersifat pribadi, di media sosial akhirnya menjadi konsumsi publik dan sebaliknya. Yang ketiga, batasan yang hilang adalah batasan antara produsen dan konsumen. Yang dimaksud dengan hal ini adalah keberadaan media sosial dan internet secara umum meruntuhkan batasan antara produsen dan konsumen pesan: seseorang dapat menjadi produsen pesan/konten sekaligus konsumennya. Misalnya, dengan kita mem-post status terbaru di Facebook atau Twitter, sebenarnya kita telah menjadi produsen sebuah konten -- dan pada saat yang sama kita dapat "mengonsumsi" konten yang kita sendiri telah buat. Sama halnya dengan kita menulis sebuah tulisan di Blog atau Tumblr, ataupun mengunggah video di Youtube. Dahulu, hanya orang-orang tertentu yang dikatakan sebagai profesional dengan kredibilitas tertentu yang ibarat kata "layak" untuk menciptakan suatu konten. Sedangkan sekarang, hal ini tidak lagi terjadi, orang-orang awam dapat dengan bebas menciptakan konten yang diinginkannya tanpa penghalang yang berarti. Contohnya adalah fenomena citizen journalism (jurnalisme warga),di mana warga biasa dapat menciptakan suatu konten beritanya sendiri, dengan mengambil gambar atau video sendiri, menulis beritanya sendiri, dan sebagainya. Fenomena ini disebut oleh Marshall McLuhan sebagai "prosumer" (akronim dari produser-consumer atau juga professional-consumer). Dan tak lupa pula yang terakhir, media sosial memiliki sifat yang begitu viral alias begitu cepat penyebarannya.

Media Sosial Pedang Bermata Dua

Namun ternyata, kelebihan-kelebihan yang media sosial tawarkan seperti yang sudah disinggung sebelumnya ini menghasilkan ekses-ekses negatif. Kelebihan-kelebihan tersebut ternyata di sisi lain dapat sekaligus menjadi kekurangan atau bumerang: ibarat pedang bermata dua. Segala batasan-batasan yang runtuh tersebut pertama-tama menghasilkan adanya identitas yang terfragmentasi. Adanya kemungkinan bagi kita untuk menjadi apa pun yang kita mau telah menghasilkan suatu identitas diri yang dualistik atau bahkan lebih -- identitas yang ditampilkan dalam dunia maya berbeda dengan apa yang ada di dunia nyata, atau bahkan dalam dunia maya itu sendiri dapat terjadi fragmentasi identitas yang lebih banyak lagi. Saya dalam Facebook berbeda dengan saya yang ada di Twitter, berbeda dengan saya yang ada di Blog, berbeda dengan saya yang ada di dunia nyata. Film Surrogates (2009) yang dibintangi Bruce Willis cukup baik dalam menggambarkan hal ini walaupun dengan ekstrem. Dalam film ini digambarkan bagaimana kehidupan manusia sudah begitu terisolasi dan berinteraksi dengan dunia luar menggunakan robot-robot surrogate yang sebenarnya merupakan hasil proyeksi dari keinginan terdalam seseorang. Misalnya, dalam film tersebut digambarkan bagaimana seorang pria tua yang gemuk dan tidak menarik menampilkan robot surrogate-nya sebagai seorang wanita cantik yang menarik -- identitas diri yang asli sangatlah bertolak belakang dengan identitas yang ditampilkan dalam dunia maya. Media sosial dapat menjadi sarana proyeksi akan identitas diri yang mungkin tak dapat terlampiaskan dalam dunia nyata. Misalkan kita ingin orang lain melihat diri kita sebagai orang yang populer dan banyak teman, maka kita akan dengan giat menambah teman kita di Facebook hingga ribuan lebih -- padahal dalam kenyataannya kita adalah orang yang susah bergaul. Hal ini dapat disebut juga sebagai "manajemen impresi", kita mengatur kesan orang terhadap kita sedemikian rupa. Dalam kasus lain misalnya, di dunia nyata kita terkenal begitu rohani dan anak yang taat, akan tetapi sebenarnya dalam diri kita yang terdalam tersimpan suatu keinginan untuk melampiaskan segala kesenangan, "kegilaan", ataupun "ke-galau-an" – media sosial pun dapat mengakomodasi hal ini. Tentu saja hal ini tidak dapat sejalan dengan prinsip Reformed yang senantiasa dikumandangkan yaitu kehidupan yang utuh dan integratif. Hidup kita yang sudah cukup terfragmentasi sekarang semakin terfragmentasi dengan adanya media sosial. Kehidupan di dunia nyata yang tidak sejalan dengan yang di dunia maya ini menghasilkan dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah kehidupan dunia maya kita terlihat lebih baik dan "suci" dibanding kehidupan nyata kita. Hal ini misalnya menimbulkan selentingan: "Ah, dia mah keliatannya aja di Facebook nge-share ayat-ayat Alkitab, I Love Jesus, dan lain-lain, tetapi kelakuannya minta ampun." Atau kemungkinan kedua, media sosial menjadi ajang di mana kita melampiaskan kehidupan "lama" kita yang berdosa yang belum dibereskan, yang dalam dunia nyata tak mungkin kita tampilkan oleh karena terhalang oleh opini orang lain. Misalnya X yang terkenal aktif pelayanan di gereja, tetapi ternyata di Facebook: foto-foto clubbing, atau di Twitter: keluar semua kata-kata kebun binatang, dan sebagainya.

Sadarkah kita, bahwa kemudahan sebagai prosumer untuk menciptakan konten sendiri yang bersifat viral ini adalah suatu peluang besar dalam menyebarkan Injil, teologi Reformed, maupun mandat budaya?

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Ekses negatif lainnya adalah dengan adanya kebebasan untuk menghasilkan pesan/konten apa pun, membuat kebebasan ini menjadi tidak terkendali. Bahkan kita sebagai orang Kristen pun akhirnya sama saja dengan dunia yang mem-post apa pun di media sosial, secara suka-suka gue tanpa memikirkan dampak dari apa yang kita posting. Sering kali yang terjadi adalah kita akhirnya menganggap sepele hal ini dan dengan kurang berpikir matang menampilkan pesan atau konten apa pun lewat media sosial. Maka dari itu tak heran berkat adanya media sosial, segala sesuatu apa pun itu ada dan dapat muncul. Status Facebook berisi curhat "galau" cinta, tweet-tweet dalam Twitter yang isinya hanya, duh gue laper nih, video Youtube tentang seorang polisi yang kurang kerjaan menari-nari India, dan lain sebagainya. Kemudian, kebebasan sebagai seorang prosumer ini menghasilkan berbagai macam tipe karakter anak muda di media sosial yang bervariasi entah itu Kristen ataupun non-Kristen. Adapun ini contoh-contoh tipe karakter anak muda di media sosial berdasarkan pengamatan pribadi:

Tipe Narsisistik: hampir selalu menampilkan foto-foto dirinya sendiri.

Tipe Gamer: 90% kegiatannya di Facebook adalah bermain game dan mem-post pencapaian skornya yang tertinggi.

Tipe Sosialita: sering sekali mengunggah foto-foto dirinya yang sedang nongkrong-nongkrong asyik di cafe atau bar bersama teman se-geng-nya.

Tipe Mr./Ms. Sibuk: senantiasa meng-update kegiatan-kegiatannya sehari-hari.

Tipe Pujangga: anak-anak muda yang begitu mahirnya dalam berpuisi dan menumpahkan isi perasaannya lewat media sosial (ada kemungkinan tipe ini sedikit mirip dengan anak-anak muda yang doyannya "galau").

Dan, masih banyak lagi tipe-tipe karakter anak muda dalam media sosial.

Jika kita mengamati pengguna media sosial secara umum, rata-rata para pengguna media sosial memiliki kecenderungan untuk menggunakannya untuk hal-hal trivial. Hal ini disebabkan oleh karena media sosial dilihat sebagai salah satu bentuk "pelarian" dari hiruk-pikuknya kegiatan di dunia nyata, sebagai ajang untuk fun semata,dan meluangkan waktu senggang atau sekadar untuk hobi serta minat pribadi. Hal ini tentu saja tidaklah salah, akan tetapi dengan kemampuan media sosial yang memungkinkan kita menjadi seorang prosumer dan sifatnya yang viral, bukankah justru kita dapat melakukan sesuatu yang "lebih" dari sekadar hal-hal trivial yang sebenarnya kurang penting?

Redeeming the Social Media & Our Lives

Setelah melihat semua hal ini, lantas apa yang harus kita lakukan? Bukan menerima dan mengakomodasinya secara mentah-mentah, bukan pula menutup diri dan menolaknya, tetapi menebusnya. Kembali lagi ke pertanyaan awal, sebagai seorang pemuda Reformed bagaimanakah kita selama ini menggunakan media sosial? Dunia sendiri mengakui bahwa keberadaan media sosial dan internet telah menciptakan pribadi-pribadi yang terfragmentasi. Dunia mengatakan bahwa Anda bisa menjadi siapa pun, mem-post apa pun sesuka Anda. Lalu, apakah kita sebagai orang-orang yang sudah ditebus oleh Tuhan dan berprinsip hidup "tidak boleh sama seperti dunia ini" pun turut melakukan apa yang dunia katakan? Seorang hamba Tuhan GRII suatu kali menyatakan bahwa ketika dunia ini memiliki sebatas average spirit (semangat yang sedang-sedang saja), kita sebagai orang Kristen seharusnya melampaui itu. Dengan anugerah Tuhan yang begitu besar dalam kehidupan kita, kita tidak boleh hanya memiliki average spirit. Sama halnya dengan menggunakan media sosial, ketika dunia ini menggunakannya hanya sebatas pada hal-hal yang average maupun trivial, kita sebagai orang-orang Reformed -- khususnya pemuda/i -- seharusnya dapat menggunakannya untuk sesuatu yang "lebih" dan beyond average. Generasi kita sekarang ini telah mendapatkan anugerah double: anugerah sorgawi yakni pemahaman firman Tuhan yang kuat dan Injil yang sejati serta anugerah "duniawi" yaitu teknologi informasi dan komunikasi berupa media sosial yang memberi kita banyak kemudahan. Akankah kita menyia-nyiakan anugerah double ini dengan hanya menggunakan Facebook untuk berlomba-lomba mengunggah foto narsis terbaik, atau menggunakan Twitter untuk memberi tahu seluruh dunia bahwa kita sedang galau, atau mengunggah video-video tidak bermakna ke Youtube? Sadarkah kita, bahwa kemudahan sebagai prosumer untuk menciptakan konten sendiri yang bersifat viral ini adalah suatu peluang besar dalam menyebarkan Injil, teologi Reformed, maupun mandat budaya? Kita sering kali mengeluh, tidak berani penginjilan karena takut ditolak, tidak ada waktu, malu, sibuk, dan beribu alasan lainnya. media sosial dan internet yang sifatnya bukan komunikasi face-to-face bisa dimanfaatkan untuk mengatasi persoalan ini (walaupun tetap saja, komunikasi tatap muka tidak bisa sepenuhnya digantikan dengan komunikasi yang dimediasi oleh komputer).

Social Media

Kemudian, selain kesaksian verbal dan kesaksian dari hidup kita di dunia nyata, "gerak-gerik" kita dalam media sosial pun dapat menjadi sarana kesaksian hidup, di mana orang-orang luar juga turut memerhatikan hidup kita melalui media sosial. Bukan berarti kita melakukan sesuatu demi agar dilihat orang lain, akan tetapi adalah suatu fakta yang tak dapat dipungkiri bahwa kehidupan orang Kristen menjadi "tontonan" dunia -- termasuk kehidupan di dunia maya. Adalah hal yang sangat disayangkan apabila kita menjadi batu sandungan bukan melalui perkataan kita, tindakan kita, tetapi melalui apa yang kita posting di media sosial, bukan?

Maka, kembali ke persoalan yang sudah disinggung sebelumnya, bagaimana kita menampilkan identitas kita sebagai pemuda Kristen, Reformed di media sosial? Sejalankah dengan apa yang kita yakini dan pelajari selama ini? Apakah jangan-jangan media sosial menjadi ajang pelampiasan kehidupan lama kita yang belum ditebus? Atau, jangan-jangan kita menampilkan diri dengan begitu rohaninya di media sosial hanya sebatas pencitraan, padahal diri sendiri belum sepenuhnya beres? Pada akhirnya, yang pertama perlu dibereskan adalah diri kita sendiri terlebih dahulu, khususnya hati, karena dari hatilah terpancar segala sesuatu. Jika hati kita sendiri belum beres, apa pun yang keluar dari dalam diri kita tidak akan beres -- termasuk dengan apa yang kita tampilkan dalam media sosial. Kiranya kemuliaan Tuhan pun juga dapat tampak bukan hanya di dunia nyata, melainkan pula di dunia maya. Ketika semua orang di dunia ini menggunakan media sosial dengan cara-cara yang average maupun trivial, hendaknya kita sebagai pemuda Reformed bangkit melawan arus ini dan menciptakan suatu budaya baru yang sesuai dengan firman Tuhan. Jangan sampai anugerah sorgawi dan "duniawi" yang sudah kita dapatkan ini disia-siakan begitu saja. Kiranya kita boleh menjadi pemuda dan pemudi yang terus berjuang memperjuangkan suatu kehidupan yang utuh serta menebus kebudayaan ini menjadi suatu sarana di mana kemuliaan Tuhan dapat tampak. Soli Deo Gloria!

Audio: Redeeming the Youth through Social Media

Sumber Artikel: 
Diambil dari:
Nama situs : Buletin Pillar
URL : http://www.buletinpillar.org/artikel/redeeming-the-youth-through-social-media#hal-1
Judul asli artikel : Redeeming The Youth Through Social Media
Penulis artikel : Izzaura Abidin

Dari Gulungan Perkamen Hingga Penggunaan Layar Gawai: Bagaimana Teknologi Telah Mengubah Pembacaan Alkitab Kita

Penulis_artikel: 
Dr Stephen Holmes
Tanggal_artikel: 
10 Juni 2019
Isi_artikel: 

Cara kita membaca Alkitab berubah, tetapi apakah itu penting, dan jika ya, mengapa? Dr. Stephen Holmes menyelidiki.

Teknologi

Saya memiliki sebuah Alkitab bersampul kulit yang bagus, sebuah pemberian, tetapi di masa kini saya membaca Kitab Suci dari layar jauh lebih sering daripada buku.

Ketika saya melihat ke sekeling keluarga gereja saya pada hari Minggu pagi, saya jauh dari ketidaklaziman dalam hal ini. Kita telah berubah dalam cara melihat lagu-lagu dan himne-himne dari buku menjadi ke layar proyektor; tampaknya kita pun berubah dalam cara kita melihat Kitab Suci dari buku ke layar hp atau tablet. Kita mungkin bertanya apakah ini penting.

Di satu sisi, kita mungkin menyatakan bahwa bukan tentang hal mendasar yaitu kata-katanya adalah sama dari mana pun kita membacanya. Memang benar bahwa kata-kata itu, kurang lebih, adalah sama (saya akan kembali kepada 'kurang lebih' itu), tetapi Allah menciptakan alam semesta secara fisik dan mengatakan bahwa itu adalah baik, dan demikian pula relasi kita dengan itu, dan penggunaannya, benda fisik bukan hanya tidak relevan. Bentuk fisik bisa penting dan demikian pula teknologi yang kita pakai untuk melihat teks Alkitab bisa penting juga. Kata-kata di Kitab Suci adalah, tentu saja, hal yang vital, tetapi kata-kata yang disampaikan dalam bentuk itu memiliki potensi mengubah relasi kita dengan kata-katanya.

Ada cara umum berkaitan dengan hal ini, yang disalahmengerti: kita mudah beranggapan bahwa iPad yang baru adalah 'teknologi', sedangkan buku yang kuno hanyalah biasa, jadi tidak ada bedanya. Tentu saja, ini adalah salah: buku yang dicetak dan dijilid adalah teknologi membaca yang sama baiknya dengan tablet layar sentuh. Kenyataannya, kita telah mengalami perubahan teknologi membaca beberapa kali dalam sejarah gereja Kristen, dan setiap kalinya itu telah mengubah pandangan kita dan cara kita menggunakan Kitab Suci.

Mungkin 2 Timotius 4:13 adalah ayat yang paling jarang dikhotbahkan dari seluruh kumpulan tulisan Paulus.1 "Jika kamu datang, bawalah jubah yang kutinggalkan kepada Karpus di Troas dan juga buku-bukuku, terutama semua perkamen itu." Dua kata yang tidak diterjemahkan menunjuk kepada teknologi membaca. NRSV menuliskan 'juga buku-buku, dan terutama semua perkamen' tetapi ini adalah bahaya yang bisa menyesatkan. Biblion memiliki akar yang berkaitan dengan papirus, namun umumnya penggunaan bahasa Yunani menunjuk ke dokumen apa saja dan semua, bagaimana pun itu ditulis, dan apa pun yang dituliskan. Jadi Paulus - saya tidak menyatakan tentang kepengarangan 2 Timotius, tetapi ayat ini begitu bersifat pribadi sehingga saya terdorong berpendapat bahkan jika sebagain besar dari surat itu adalah karya yang secara keliru dikaitkan dengan nama yang bukan penulis sebenarnya, atau sebuah karya yang oleh penulis sejati dikaitkan dengan sosok tokoh masa lalu, terdapat setitik teks asli di sini - Paulus meminta jubah dan beberapa dokumen yang dia tinggalkan agar dikirim kepadanya - tetapi kemudian menekankan pentingnya dia memiliki membranai di antara dokumen-dokumen itu.

Nah, kata dasar membrana artinya kertas kulit 'perkamen', yaitu materi menulis yang mahal dan tahan lama yang terbuat dari kulit binatang, kebalikan dari materi yang terbuat dari papirus; mungkin karena itulah, Paulus menginginkan buku-bukunya yang bersampul keras terutama karena dia mendapatkannya dengan harga yang lebih mahal. Akan tetapi, ada sebuah pendapat yang bagus bahwa membrana, meskipun aslinya ada di perkamen, biasanya diartikan sebagai sesuatu yang tertulis pada bentuk 'codex', kebalikan dari sesuatu yang ditulis dalam bentuk 'gulungan'. Sebuah gulungan adalah sebuah lembaran papirus atau perkamen panjang yang digulung sehingga bisa dibaca sedikit demi sedikit; sebuah codex adalah kumpulan lembaran papirus atau perkamen (atau bahkan kayu parafin) yang dijadikan satu di ujungnya - atau istilah kita, sebuah buku. Paulus menginginkan semua perpustakaannya dikirimkan, tetapi terutama buku-buku, bukan gulungan-gulungan.

Ini menarik karena nilainya adalah terbalik. Gulungan adalah buku yang bersampul keras pada zaman itu; hal-hal yang penting dituliskan pada gulungan; buku adalah pencatat bagi murid-murid untuk dipraktikkan. Seorang penulis merekomendasikan menyusun sebuah buku, karena materinya dapat ditambahkan ke dalamnya dengan lebih mudah. Akan tetapi, dia bersikeras, ketika pekerjaan itu selesai, maka harus disalin ke sebuah gulungan. Jadi, mengapa Paulus begitu khawatir dengan buku-bukunya?

Ini jadi lebih membingungkan ketika kita menyadari bahwa pilihan pada buku ini berurat akar dalam jemaat mula-mula. Para perintis iman kita membuat pilihan perjumpaan-kultural mengenai pilihan teknologi membaca mereka; dalam sebuah dunia yang menghargai gulungan, mereka memilih buku. Permanent Display koleksi British Library menyimpan banyak benda yang berharga, termasuk Codex Sinaiticus, salah satu naskah Perjanjian Baru paling kuno yang lengkap. Di antara banyaknya hal-hal menakjubkan tentang codex, buku; sesuatu yang benar-benar penting seharusnya adalah sebuah gulungan.

Mengapa jemaat Kristen mula-mula, mulai dari Paulus dan selanjutnya, menghargai buku? Kita bisa memikirkan berbagai argumen: mungkin karena buku lebih murah, atau lebih mudah dibawa-bawa, misalnya. Akan tetapi, Francis Watson berpendapat bahwa itu berkaitan dengan bentuk teknologi membaca buku, codex, yang ditawarkan. Kita tahu bahwa jemaat Kristen mula-mula menyebutkan hal-hal yang Yesus pernah katakan; menyebutkan ayat-ayat di Kitab Suci Ibrani yang kelihatannya merupakan nubuat-nubuat tentang kehidupan Yesus, dan seterusnya. Buku adalah baik untuk daftar-daftar, khususnya, buku adalah baik untuk daftar-daftar jika Anda ingin melihat sedikit demi sedikit dan potongan-potongan, bukan dalam urutan. Sebuah gulungan baik untuk dibaca dari hal 1 sampai ke hal 329; jika Anda ingin membaca hal 2, lalu 312, lalu 154, lalu 83, maka sebuah buku adalah jauh lebih mudah. Demikian juga buku adalah bagus untuk semacam materi yang sebagian besar bernilai bagi jemaat Kristen mula-mula, hal-hal yang mereka katakan mengenai Tuhan. Kita mungkin mengira bahwa Paulus menginginkan buku-bukunya terutama karena berisikan daftar-daftarnya, tautan-tautannya yang sangat penting tentang Yesus.

Entah untuk alasan ini atau yang lainnya, gereja Kristen menerima sebuah bentuk teknologi membaca yang baru, buku (yang tertulis). Hanya dalam beberapa abad kita lupa bahwa selalu ada pilihan, dan buku menjadi satu-satunya bentuk teknologi membaca yang kita semua ketahui. Akan tetapi, buku-buku yang tertulis itu tebal; seluruh Alkitab sayangnya adalah tebal. Jadi kitab-kitab lebih pendek, atau dijadikan beberapa bagian. Ini artinya tidak seorang pun yang memiliki sebuah 'Alkitab'. Sebagian besar orang buta huruf, tentu saja, tetapi seseorang yang bisa membaca, dan yang kebetulan tinggal di suatu tempat dengan sebuah perpustakaan akan mendapati bahwa perpustakaan yang berisikan buku-buku yang sekarang kita sebut 'alkitabiah' dan juga buku-buku lainnya, ditempatkan tanpa pemisahan yang jelas. Sehingga ada sesuatu yang kurang seperti mengembangkan pemahaman tentang apa yang alkitabiah dan apa yang tidak.

Kita bisa melihat bukti akan hal ini dalam karya Hugh of St Victor, Didascalion, sebuah teks standar abad kedua puluh, yang ditulis sebagai sebuah panduan bacaan seni bagi murid-murid pemula. Tiga buku pertamanya wajib dibaca secara umum; tiga buku berikutnya bacaan tentang ayat-ayat Kitab Suci. Daftar Hugh di buku-buku itu yang dianggap sebagai ayat-ayat Kitab suci adalah mengagumkan, tidak termasuk buku-buku seperti Wisdom, Tobit, Judith, dan Makabe, tetapi meliputi hampir semua bapa gereja sampai ke Augustine di abad keempat dan seterusnya. Dia memasukkan Origen, dengan sedikit tanda tanya; untuk beberapa alasan dia secara khusus mengeluarkan Shepherd of Hermas. Akan tetapi, sebagian besar tulisan-tulisan Kristen, bagi Hugh, adalah Kitab Suci, sama seperti Roma dan Yohanes adalah Kitab Suci.

Scroll

Disebutkannya Makabe dan seterusnya mungkin memunculkan pertanyaan yang terkadang diajukan murid-murid ketika mempelajari Reformasi: apa kanon Perjanjian Lama sebelum abad keenam belas, daftar Roma - dengan Makabe, kesimpulan- atau daftar Reformasi, tanpa mereka? Jawaban yang paling jujur dalam sejarah adalah itu tidak ditetapkan; tidak ada keputusan kanonikal di gereja Barat. (Gereja Yunani membuat keputusan untuk Septuaginta, terjemahan bahasa Yunani untuk beberapa teks bahasa Ibrani, sehingga memiliki sebuah daftar.) Terdapat sebuah kanon Yahudi, yang nantinya diadopsi oleh kaum Reformasi, tetapi gereja Kristen Barat tidak membuat keputusan formal. Yang menarik, kanon Yahudi, kelihatannya, ditetapkan dengan teknologi-teknologi membaca: pemahaman terbaik kita mengenai asal mula kanon Yahudi berdasarkan model penyimpanan gulungan-gulungan. Buku-buku yang dimasukkan sebagai kanon disimpan di rak yang berbeda, atau di ruangan yang berbeda, di perpustakaan bait suci atau sinagoge. Kanonisasi merupakan sebuah konsep bergantung, di bawah Allah, bagian dari pengaturan mode teknologi membaca.

Apa komitmen Reformasi untuk sola scriptura? Terlalu sering itu membicarakan sesuatu yang seolah-olah baru, tetapi sola scriptura adalah sebuah doktrin abad ketiga belas, yang dikembangkan oleh para ahli teologi Katolik, sebagian untuk menyatakan posisi mereka menentang para pembela kanon. Pembacaan Kitab Suci Reformed sama sekali berbeda dari apa yang telah ada sebelumnya, tetapi bukan karena adanya sebuah komitmen pada otoritas Kitab suci, atau karena komitmen pada satu-satunya otoritas Kitab Suci. Para ahli sejarah berbicara tentang komitmen Reformed pada 'hermeneutika humanistik'.

Ini adalah sebuah tindakan membaca keseluruhan buku dalam bahasa asli mereka, daripada berfokus pada satu kalimat demi satu kalimat, seringkali cukup dalam terjemahan. Perubahan lain dalam teknologi membaca adalah bagian yang signifikan dari hal ini. Ketika orang-orang hanya memiliki buku-buku yang tertulis, dan sedikit jumlahnya, maka tidaklah mengejutkan bahwa mereka berfokus pada kalimat-kalimat tertentu. (kita tahu bahwa bahkan para ahli terbesar di abad pertengahan mengakses penulis-penulis kuno melalui daftar kalimat-kalimat yang signifikan). Ketika buku-buku cetak tersedia maka itu memungkinkan kita dan mendorong kita untuk membaca teks seluruhnya.

Hugh menulis sekitar tiga abad sebelum Reformasi; jika kita melihat seabad seblumnya atau lebih, pertanyaan tentang kanon, yang bagi Hugh adalah berubah-ubah, telah menjadi tetap. Saya mengajarkan tentang pertanyaan-pertanyaan mengenai Kitab Suci dan interpretasi sebagai bagian dari perayaan 400 gerakan Baptis beberapa waktu yang lalu di Oxford. Kemudian seseorang bertanya apakah ada orang Baptis pada zaman dulu yang bertanya tentang kanon, yang meragukan apakah kitab-kitab di dalam Alkitab itu benar? Saya tidak tahu (dan belum menemukan sejak itu) apakah ada sebuah contoh, dan demikian juga tidak seorang pun yang lain di ruangan ini yang tahu. Kaum Baptist itu meniadakan hubungan negara-gereja, menolak bentuk pemerintahan gereja yang ada, mengabaikan rangkaian liturgi, bahkan membunuh seorang raja; mereka menantang dan mempertanyakan segala hal - mengapa mereka tidak mempertanyakan kanon juga?

Jawabannya sekali lagi terletak pada teknologi membaca. Di perpustakaan Hugh di St Victor semua buku alkitabiah dan belasan buku lainnya ditempatkan di rak yang sama; tidak ada batasan yang jelas yang memisahkan satu dengan yang lainnya. Kaum Baptis awal memiliki buku-buku cetak dengan sampul kulit hitam dengan dicap 'Kitab Suci' di lapisannya yang berkilat. Bahkan jika mereka mencoba untuk mempertanyakan segala hal, mereka terkalahkan oleh tersedianya buku yang dijilid itu. Penemuan mesin cetak menjadikan 'Alkitab' benda yang mungkin, dan setelah itu ada, maka tidak bisa diragukan. Lebih dari sekitar dua abad, pertanyaan seputar kanon telah berubah dari yang tidak terbayangkan menjadi dapat dibayangkan.

Bagi orang-orang di antara kita yang tumbuh besar dengan Alkitab yang dicetak tahu apa itu 'sebuah Alkitab'; isinya adalah tetap dan pasti. Dan, isinya yang tetap itu - sebuah produk, pemberitahuan, tentang teknologi membaca yang baru - mengubah cara kita berhubungan dengan teks lagi. Dalam Sejarah Kekristenan modern, ada bagian dari sejarah perdebatan terhadap hal-hal kecil tentang inspirasi Alkitab: di Eropa pada abad ketujuh belas muncul sebuah perdebatan mengenai titik-titik huruf hidup bahasa Ibrani. (Bahasa Ibrani ditulis tanpa ada huruf hidup, dan pada beberapa kasus pilihan huruf hidup dapat mengubah arti agak signifikan; lama setelah teks Alkitab bahasa Ibrani ditulis, ahli-ahli Farisi Yahudi yang disebut Kaum Masoret mengembangkan sebuah sistem tanda-tanda untuk menunjukkan huruf-huruf hidup mana yang seharusnya dimasukkan, dan pertanyaan pun diajukan, apakah ini diinspirasi oleh Allah atau bukan? Pada abad kesembilan belas seorang Skot yang eksentrik dalam pengasingan di Geneva mengembangkan sebuah teori tentang pleno inspirasi verbal, yang berpendapat bahwa setiap kata diinspirasikan; pada abad kedua puluh beberapa orang di USA sampai pada pandangan bahwa Allah menginspirasi satu terjemahan hanya dalam sebuah bahasa yang diberikan, sehingga orang-orang yang menggunakan bahasa Inggris harus membaca King James Bible saja. Pada setiap kasus, pertanyaan-pertanyaannya hanya dapat dibayangkan karena cetakan memungkinkan adanya teks yang pasti.

Saya memiliki sebuah teori bahwa fundamentalisme yang benar bergantung pada mesin cetak. Sikap seorang fundamentalis terhadap Kitab Suci, adalah, bergantung pada teks tertulis yang tetap; jika setiap Alkitab (atau Quran, atau apa pun) sedikit berbeda, pembaca bisa menjadi marah, susah, dan berbahaya dengan mengetahui beberapa arahan yang berbeda, tetapi mereka tidak akan pernah menjadi seorang fundamentalis; posisi tertentu itu tidak dimungkinkan jika teksnya tidak stabil. Akan tetapi, Alkitab Elektronik di-update secara teratur, membetulkan yang salah, atau mengembangkan versi, sehingga mereka tidak stabil. Steve Jobs mungkin belum mengetahui telah membunuh fundamentalisme Amerika!

Bagaimana perubahan ke teks elektronik akan mengubah sikap kita terhadap Kitab Suci? Saya kira, pertama, kita akan dipaksa untuk belajar lagi semangat dari teksnya. Seorang teman saya, seorang pendeta Presbiterian di Highlands, memiliki kebiasaan membaca dari aplikasi Alkitabnya saat dia memimpin ibadah; gerejanya memakai NIV. Dia memberitahu saya baru-baru ini tentang kengeriannya saat dia mulai membaca di gereja dan menyadari kata-katanya telah berubah - aplikasinya diam-diam telah di-update dari NIV 1984 ke NIV 2011. Dan, jika itu tampak seperti hal yang kecil, ingatlah bahwa ini adalah update ke versi bahasa gender-inklusif, sesuatu yang tidak selalu diketahui oleh gereja-gereja konservatif Preabyterian di Highlands supaya bisa ditoleransi.

semua teknologi membaca kita yang beragam memiliki keterbatasan, dan kita selalu memodifikasi dan mengembangkan teknologi untuk berusaha mengatasi keterbatasan-keterbatasan itu.

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Akan tetapi, berbicara tentang 'NIV 1984' dan 'NIV 2011' masih ada dalam teknologi mesin cetak; sebuah versi elektronik bisa di-update setiap minggu atau setiap hari. Sebuah Alkitab yang benar-benar digital dapat menerima semua kemajuan dalam ilmu pengetahuan tekstual pada hari itu dibuat, atau dapat mengulas dan meng-update satu buku setiap bulan. Sebuah teks secara aslinya akan ada dalam sebuah keadaan yang berubah terus-menerus - sama tidak stabilnya dengan salinan teks yang semua orang dalam dunia Kristen lakukan sebelum abad kelima belas. Dan mengapa tetap dengan NIV? Aplikasi laptop saya bisa memiliki beberapa jendela yang dibuka sekaligus - saya sering membuka terjemahan bahasa Inggris, bahasa Yunani atau Ibrani asli, sebuah tafsiran, dan leksikon Yunani/Ibrani di depan saya. Saya bisa segera melihat variasi dan terjemahan-terjemahan yang diperdebatkan. Kesulitan-kesulitan tekstual tidak bisa lagi disembunyikan oleh suatu pernyataan yang mensahkan penerbitan sebuah buku oleh komite editorial; kerapian buatan yang dipaksakan melalui teknologi membaca buku itu akan hilang; dan kita akan tahu sekali lagi rapuhnya Firman yang menghidupkan dengan perbedaan-perbedaan bacaan dan adalah sulit-untuk-menerjemahkan kalimat-kalimat.

Tentu saja, kembali ke menggunakan layar akan membuatnya jadi lebih sulit untuk menandai Kitab Suci; di gereja lokal saya seorang anggota dari tim pengkhotbah tertentu akan sering mengajak kita untuk dengan cepat beralih ke teks ini lalu ke teks itu; semua mahasiswa kami duduk di sana, jari jempol mereka bergerak dengan sangat cepat, saat mereka berusaha untuk tetap mengikuti pergerakan di layar. Ini merupakan sebuah kerugian, mungkin: Paulus terutama menginginkan membranai, buku-bukunya karena menggunakan gulungan adalah berat. Apakah ini sebuah argumen untuk menolak perubahan teknologi, untuk tetap pada buku? Bukan; semua teknologi membaca kita yang beragam memiliki keterbatasan, dan kita selalu memodifikasi dan mengembangkan teknologi untuk berusaha mengatasi keterbatasan-keterbatasan itu.

Kaum Masoret memberi angka dan tanda pada gulungan-gulungan mereka, yang menunjukkan berapa jauh kita sedang ada di buku, berapa banyak kata, bahkan huruf, telah dilewati dan berapa banyak yang akan datang. Ketika kita beralih ke buku, kita segera memiliki tabel korespondensi, daftar isi, lalu jumlah pasal dan jumlah ayat dan konkordansi untuk membantu kita membaca buku. Kita membuat/melakukan pemberian tanda-tanda baca. Dan catatan-catatan kaki. Dan sistem lintas-referensi. Dan pita, dimasukkan ke dalam punggung buku sehingga kita bisa membuat beberapa tempat terbuka sekaligus. Kita membuat konkordansi, dan sinopsis. Kita memodifikasi untuk membuat Alkitab kita lebih menarik tanpa henti untuk membuat mereka menjadi mesin yang berkadar oktan tinggi.

Saya membaca dari layar karena bagi saya, dengan memakai aplikasi yang saya gunakan (yang sangat bagus; membuat universitas saya membayar dengan mahal) keuntungannya lebih banyak daripada kerugiannya. Terdapat kelemahan, ya, tetapi aplikasi akan diperbarui minggu depan, dan akan mengatasi beberapa kelemahannya. Cara itu update, teknologi baru, akan membentuk keterlibatan saya dengan Kitab Suci-sama seperti buku cetak yang saya beli ketika baru saja diganti di akhir tahun 1980-an, dan sama seperti gulungan dan codex yang Paulus baca dan pelajari dengan teliti. (t/Jing-Jing)

Audio: Dari Gulungan Perkamen Hingga Penggunaan Layar Gawai

Sumber Artikel: 
Diterjemahkan dari:
Nama situs : Bible Society.org
URL : https://www.biblesociety.org.uk/explore-the-bible/bible-articles/from-scrolls-to-scrolling-how-technology-has-shaped-our-bible-reading/
Judul asli artikel : From scrolls to scrolling: how technology has shaped our Bible reading
Penulis artikel : Dr Stephen Holmes

"Kamu Harus Dilahirkan Kembali"

Penulis_artikel: 
Keith Mathison
Tanggal_artikel: 
31 Mei 2019
Isi_artikel: 
"Kamu Harus Dilahirkan Kembali"

"Kamu Harus Dilahirkan Kembali"

Nikodemus

Saya mengingat dengan jelas kelahiran kedua anak saya. Meskipun mereka lahir terpaut enam tahun, saya ingat persiapan masing-masing perjalanan ke rumah sakit. Perjalanan ke sana. Menemani istri saya ke lift. Ruangan-ruangan, alat-alat monitor, suster-suster, dokter-dokter, dan para anggota keluarga. Antisipasi dan penantian. Lebih dari semuanya itu, saya ingat memandangi anak saya untuk pertama kalinya dan melihat wajah istri saya ketika suster menyerahkan kepadanya pribadi yang mungil ini. Sekarang, saya melihat sebuah foto saya yang sedang menggendong putri saya yang baru lahir 12,5 tahun yang lalu. Kelahiran seorang anak benar-benar merupakan sebuah pengalaman yang menakjubkan dan tak terlupakan.

Sama menakjubkannya dengan kelahiran seorang anak, penting untuk dibandingkan dengan ajaibnya kelahiran rohani. Anak-anak saya lahir sehat secara fisik, dan untuk itu saya berterima kasih kepada Allah. Namun mereka, sama halnya seperti semua keturunan Adam, lahir dalam keadaan mati secara rohani. Mereka lahir dalam keadaan mati secara rohani, dan mereka tidak sendirian. Anda dan saya dan semua orang dilahirkan dalam keadaan mati -- mati dalam keberdosaan (lihat Ef. 2:1). Kita lahir dalam keadaan mati karena dosa dari bapa kita, dosa Adam. Rasul Paulus mengajarkan kepada kita bahwa "dosa telah masuk ke dalam dunia ini melalui satu orang dan maut masuk melalui dosa, begitu juga maut menyebar kepada semua orang karena semuanya telah berdosa" (Rm. 5:12 AYT). Dan, kematian rohani bukanlah akhir. Bahkan jika kita lahir sehat secara fisik, kematian rohani kita akan diikuti dengan kematian fisik: "Sebab, kamu adalah debu, dan kamu akan kembali kepada debu" (Kej. 3:19).

Untuk alasan inilah Yesus berkata kepada Nikodemus, "Kamu harus dilahirkan kembali" (Yoh. 3:7). Orang yang mati secara rohani tidak bisa memasuki hadirat Allah yang suci. "Jika seseorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan Allah" (Yoh. 3:3). Untuk melihat Kerajaan Allah, maka, kelahiran dalam keadaan mati secara rohani harus dihidupkan. Harus ada kebangkitan rohani.

Kita tidak percaya dengan tujuan untuk diperbarui; kita harus diperbarui supaya kita bisa percaya.

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Harus ada hidup yang baru, hidup yang kekal. "Kamu harus dilahirkan kembali." Perkataan Yesus membuat Nikodemus bingung. Dia berkata kepada Yesus, "Bagaimana mungkin seseorang dapat dilahirkan kembali kalau ia sudah tua? Dapatkah ia masuk lagi ke dalam rahim ibunya dan dilahirkan kembali?" (Yoh. 3:4). Di sini Nikodemus memberi kita sebuah contoh jelas tentang ketidakpahaman.

Nikodemus tidak sendirian. Ada banyak orang yang mengaku Kristen tetapi tidak mengerti. Mendengar beberapa orang mengatakan hal itu, Anda mungkin mengira Yesus hanya berkata, "Kamu harus menjadi baik kembali." Menurut banyak orang, kita tidak mati rohani tetapi hanya sakit. Kita berada di ranjang sakit kita, dan Yesus menawarkan obat. Yang kita harus lakukan hanyalah meraih itu dan menerimanya. Atau, kita sedang tenggelam dan Yesus menawarkan pelampung, dan yang harus kita lakukan hanyalah menangkapnya untuk menyelamatkan nyawa kita. Gambaran yang diberikan oleh Yesus dan para rasul, bagaimana pun, adalah jauh lebih suram. Dalam status kita sebagai keturunan Adam, kita bukan ada di ranjang sebagai orang sakit. Kita ada di dalam kubur. Kita bukan sedang menggapai-gapai di permukaan laut. Kita dalam keadaan tak bernyawa di dalam dasar lautan. Kita mati.

Inilah poin yang Nikodemus dan kita harus pahami. Ketika Yesus memberitahu Nikodemus bahwa dia harus dilahirkan kembali, Dia sedang menunjukkan bahwa ini bukanlah sesuatu yang Nikodemus mampu lakukan sendiri. Sama seperti kita tidak memiliki kendali atas kelahiran fisik kita, kita tidak mengendalikan kelahiran rohani kita. Ini adalah pekerjaan Roh Kudus yang berdaulat. Orang-orang yang mengatakan bahwa kita hanya terluka secara rohani akan berkata bahwa kita bisa diperbarui, dilahirkan kembali, dengan menaruh iman kita kepada Kristus. Akan tetapi, hal ini meletakkan segala sesuatunya secara benar-benar terbalik. Kita tidak percaya dengan tujuan untuk diperbarui; kita harus diperbarui supaya kita bisa percaya. Pembaruan mendahului iman.

Keadaan rohani kita dalam beberapa hal sama dengan keadaan Lazarus di dalam kubur (lihat Yoh. 11). Lazarus mati. Dia tidak bisa berbuat apa-apa dalam dan dari dirinya sendiri untuk memperoleh kehidupan yang baru. Yesus menyuruh Lazarus untuk keluar dari kubur, tetapi Lazarus tidak bisa menanggapi kecuali Allah terlebih dahulu memberinya kehidupan. Demikian pula, kita mati secara rohani dan tidak bisa berbuat apa-apa untuk memperoleh kehidupan rohani. Yesus menyuruh kita untuk percaya kepada-Nya, tetapi kita tidak bisa menanggapi kecuali Allah terlebih dahulu memberi kita kehidupan rohani. Yesus memberi kita kehidupan baru ini karena Dia telah mengalahkan kematian, sekali dan untuk semua orang. Sebagaimana Petrus menjelaskan, "yang sesuai dengan anugerah-Nya yang sangat besar, telah melahirkan kita kembali ke dalam pengharapan yang hidup melalui kebangkitan Kristus Yesus dari antara orang mati." (1 Ptr. 1:3).

Jika Anda seorang Kristen, pikirkan apa yang sudah Allah lakukan untuk Anda. Perhatikan fakta bahwa Anda dilahirkan dengan keadaan mati dalam dosa. Yesus datang ke kubur Anda. Dia menyuruh Anda untuk keluar dan memberi Anda kehidupan rohani dan iman. Sekarang, Anda telah dilahirkan kembali dan diangkat menjadi anak Allah (Yoh. 1:12). Anda adalah ahli waris bersama dengan Kristus. Dan, meskipun tubuh fisik Anda akan tetap mati, Anda bisa beristirahat dengan tenang dalam pengharapan akan kebangkitan. Mereka yang ada di dalam Kristus akan dihidupkan (1 Kor. 15:22). Tubuh kita yang sekarang ini dapat binasa, tetapi akan dibangkitkan menjadi tidak dapat binasa, tidak akan mati lagi. Ketika Allah membangkitkan kita, kematian pada akhirnya akan ditelan dalam kemenangan. (t/Jing-Jing)

Audio: Kamu Harus Dilahirkan Kembali

Sumber Artikel: 
Diterjemahkan dari:
Nama situs : Ligonier
URL : https://www.ligonier.org/blog/you-must-be-born-again/
Judul asli artikel : You Must Be Born Again
Penulis artikel : Keith Mathison
Tanggal akses : 10 april 2019

Singkirkan Beban Tidak Bersyukur

Penulis_artikel: 
Jon Bloom
Tanggal_artikel: 
31 Mei 2019
Isi_artikel: 
Singkirkan Beban Tidak Bersyukur

Singkirkan Beban Tidak Bersyukur

Gambar: kehendak Allah

"Bapa Surgawi, tolong beritahukan aku kehendak-Mu. Aku benar-benar harus tahu apa yang Kau inginkan untuk kulakukan … "

Inilah kehendak-Ku untukmu: "Mengucap syukurlah dalam segala hal. Sebab, itulah kehendak Allah bagimu di dalam Kristus Yesus" (1 Tesalonika 5:18).

"Terima kasih, Tuhan, untuk pengingat ini. Aku sungguh-sungguh harus lebih bersyukur -- tetapi kembali ke permintaanku, aku tidak yakin apa yang Engkau inginkan untuk kulakukan …"

"Aku ingin kamu untuk "mengucap syukur dalam segala hal."

"Aku tahu, Tuhan, aku tahu. Itu penting dan aku tahu di mana aku telah mengabaikan hal itu. Tetapi, mengucap syukur adalah semacam kebutuhan yang terus-menerus, bukan? Maksudku, semua orang perlu untuk lebih mengucap syukur, bukan? Jujur, ini mendesak, dan aku tidak mendapatkan kejelasan dari-Mu. Aku perlu arahan dari-Mu. Apa yang Kau inginkan untuk kulakukan?"

"Aku serius dan tegas. Aku mau kamu "mengucap syukur dalam segala hal," dan saat ini juga, dalam keadaan khusus ini.

(Kegusaran yang tak terkatakan)

"Kecuali kamu belajar untuk "mengucap syukur dalam segala hal," banyak kehendak-Ku yang akan terselubung. Aku membimbing dan menyediakan anugerah yang tidak dapat kamu lihat sekarang karena kau tidak bersyukur. Setialah untuk menaati kehendak-Ku yang dinyatakan bagimu, dan Aku akan setia membimbing (Mazmur 32:8) dan menyediakan (Filipi 4:19) bagimu.

Ingatlah untuk Mengucapkan "Terima Kasih"

Harga rohani yang kita bayarkan karena tidak mengucap syukur jauh lebih besar daripada yang kita kira. Tidak mengucap syukur bukan hanya sekadar tidak adanya ucapan "terima kasih." Itu merupakan sebuah gejala kesuraman rohani, atau kemiskinan rohani. Karena itu berarti menganggap sepele dan tidak menghargai anugerah yang ditunjukkan kepada kita.

Orang tua tahu seperti apa rasanya hal ini. Anak-anak, yang dilahirkan sebagai orang-orang berdosa yang berpusat pada diri sendiri, secara alamiah menganggap sepele darah, keringat, air mata, dan uang yang orang tua mereka investasikan pada diri mereka. Jadi, orang tua sering mengingatkan anak-anak mereka untuk mengucapkan terima kasih.

"Ingatlah untuk berterima kasih kepada ibumu karena membuatkan makan malam."

"Berterima kasihlah kepada kakekmu untuk hadiah ulang tahun yang bagus itu."

"Sudahkah kamu menyelesaikan kartu ucapan 'terima kasih' atas kelulusanmu?"

Mengapa orang tua melakukan ini? Bagi sebagian besar, itu hanyalah untuk mengajarkan anak-anak mereka berkelakukan sopan secara sosial. Yang mereka inginkan untuk anak-anak mereka adalah supaya mereka melihat anugerah dan merasa bersyukur. Secara naluri, mereka mengetahui bahwa melihat anugerah dan merasa bersyukur merupakan sebuah tanda dari seseorang yang sehat secara rohani, dan tentu saja mereka ingin anak-anak mereka sehat secara rohani. Dan, mereka secara naluri tahu ada sesuatu yang salah, sesuatu yang tidak sehat dengan seseorang yang tidak mengungkapkan rasa terima kasih untuk anugerah yang telah mereka terima.

Tidak mengucap syukur bukan hanya sekadar tidak adanya ucapan "terima kasih." Itu merupakan sebuah gejala kesuraman rohani, atau kemiskinan rohani.

Facebook TwitterWhatsAppTelegram

Allah Mengingatkan Kita untuk Mengucapkan "Terima Kasih"

Pada orang tua seperti ini, kita melihat gambaran akan hati Allah untuk kita. Allah tidak memerintah dan memperingatkan kita untuk berterima kasih kepada-Nya karena Dia suka mendengar "kata-kata menyenangkan" atau menyaksikan kita melakukan kesopanan ilahi saja. Dia menghendaki kita sehat dan berlimpah secara rohani. Dia tidak ingin kita sakit dan miskin secara rohani. Dia memberi tahu kita bahwa tidak mengucap syukur adalah tanda dari orang yang tidak percaya (Roma 1:21). Namun, mengucap syukur adalah tanda dari orang beriman, bukti bahwa kita sungguh-sungguh melihat anugerah-Nya dan merasakan dampaknya. Itulah yang Dia kehendaki bagi kita.

Dan, itulah sebabnya mengapa Allah sering memerintahkan dan memperingatkan kita melalui para penulis di Alkitab agar mengucap syukur kepada-Nya. Pikirkan tentang Mazmur; kalimat-kalimat seperti ini keluar melalui Mazmur:

"Aku akan bersyukur kepada TUHAN" (Mzm. 7:17; 9:1; 30:12, dan banyak lagi).
"Bersyukurlah kepada TUHAN" (Mzm. 105:1; 106:1; 107:1; 118:1 dan banyak lagi).
"Masuklah gerbang-Nya dengan ucapan syukur" (Mzm. 100:4).
"Sungguh, orang-orang benar akan bersyukur kepada nama-Mu" (Mzm. 140:13).

Dan, perhatikan tentang bagaimana Paulus menyusun referensi mengenai berterima kasih kepada Allah di semua suratnya:

"Aku selalu mengucap syukur kepada Allahku mengenai kamu" (1 Korintus 1:4).
"Aku tidak henti-hentinya mengucap syukur untukmu" (Efesus 1:16).
"Aku bersyukur kepada Allahku setiap kali aku mengingat kamu" (Filipi 1:3).
"Kami harus selalu bersyukur kepada Allah untuk kamu" (2 Tesalonika 1:3).
Dan, tentu saja, "mengucap syukurlah (kepada Allah) dalam segala hal" (1 Tesalonika 5:18).

Itu semua bukanlah perintah dan peringatan tentang keilahian yang egois. Itu adalah petunjuk penuh kasih dari Tabib Agung; itu semua adalah pengingat penuh kasih dari Bapa kita yang menunjukkan kebaikan. Sama seperti orang tua yang menolong seorang anak untuk bertumbuh dalam pengucapan syukur melalui pengingat yang terus-menerus, Allah menghendaki pengingat-Nya yang terus-menerus bagi kita untuk mengucap syukur kepada-Nya menolong kita untuk mengalami sukacita yang sangat sehat dan mendalam dari melihat anugerah dan merasa bersyukur.

Dan, sama seperti semua berkat Allah yang terbesar, Dia menjadikan ucapan syukur kita sebagai sesuatu yang memuliakan Dia dan membuat kita bersukacita! Dia mendapatkan kemuliaan karena Dia adalah Pemberi-anugerah, dan kita bersukacita karena kita adalah orang-orang yang menerima anugerah dan yang merasa bersyukur.

Singkirkan Beban Tidak Bersyukur

Dalam memandang hal-hal lain dalam kehidupan kita yang terasa seperti prioritas yang mendesak, kita mungkin tidak mengira bahwa "mengucap syukur dalam segala hal" berada di peringkat yang cukup tinggi. Kita mungkin tergoda untuk mengira bahwa mengucap syukur adalah semacam pilihan mewah dalam kendaraan iman Kristen -- itu adalah fitur yang bagus, tetapi kita dapat mengemudikan kendaraan dengan baik tanpa itu. Itu adalah kesalahan yang sangat besar. Mengucap syukur bukanlah pilihan mewah; itu adalah bagian dari mesin kendaraan kita. Kendaraan iman tidak berfungsi dengan baik tanpa itu.

hati bersyukur

Oleh karena itu, adalah sangat mungkin bahwa jawaban Allah atas doa-doa kita yang memohon bimbingan dan pemenuhan kebutuhan sesungguhnya adalah, "mengucap syukur dalam segala keadaan." Itu mungkin bukan kebutuhan paling besar yang kita rasakan, tetapi itu mungkin adalah kebutuhan kita yang sesungguhnya saat ini. Dan, jika demikian, jawaban Allah yang mungkin membuat frustrasi, merupakan belas kasihan yang besar dan memulihkan bagi kita.

Tidak mengucap syukur adalah beban rohani yang tidak sehat yang memperlambat kebanyakan dari kita dalam perlombaan iman, jauh lebih daripada yang kita tahu (Ibrani 12:1). Allah memiliki lebih banyak anugerah yang membimbing dan menyediakan bagi kita, yang akan kita temukan jika kita menyingkirkan beban itu dan berlari dengan sukacita penuh ucapan syukur.

Bagaimana kita melakukan ini? Dengan mulai menaati perintah Allah yang sederhana dan mendatangkan-kesehatan: "Mengucap syukurlah dalam segala keadaan" (1 Tesalonika 5:18). (t/Jing-Jing)

Audio:Singkirkan Beban Tidak Bersyukur

Sumber Artikel: 
Diterjemahkan dari:
Nama situs : Desiring God
URL : https://www.desiringgod.org/articles/lay-aside-the-weight-of-thanklessness
Judul asli artikel : Lay Aside the Weight of Thanklessness
Penulis artikel : Jon Bloom

Komentar


Syndicate content