Sejarah dan Pentingnya Alkitab Geneva

Editorial: 

Dear e-Reformed netters,

Berikut ini adalah pidato makalah dari Ralph D. Veerman (Ketua dari Foundation for Reformation), yang disampaikan pada pertemuan Reunion of Friends and Alumni of North American Reformed Seminaries in Indonesia di Kampus STTIAA, Pacet, 1997. Kami telah menerjemahkan bagian-bagian penting dari makalah pidato beliau tsb. untuk para pembaca e-Reformed. selamat membaca!

Oleh: Kuwat Wahyu

Edisi: 
007/VI/2000
Isi: 

PENDAHULUAN

Adalah kerinduan kami untuk melihat umat Allah mengalami transformasi melalui pembaharuan pikiran sebagaimana Paulus mengingatkan kita dalam surat Roma. Dan tidak ada pembaharuan lebih penting selain dari mempelajari Firman Allah. Pusat dari sebuah Reformasi baru adalah keyakinan yang teguh pada otoritas Alkitab dan tunduk pada Firman Allah. Dan untuk itulah Foundation for Reformation (Yayasan Untuk Reformasi) ada, yaitu untuk menolong menguatkan dasar yang penting ini dalam kehidupan gereja. Pengetahuan dan pemahaman akan Alkitab merupakan langkah pertama yang penting bagi ketaatan kita terhadap Firman Allah.

Pemazmur Daud membagikan kerinduan hatinya kepada para pembaca dengan menyatakan: "Lihatlah, betapa aku mencintai titah-titah-Mu! Ya Tuhan, hidupkanlah aku sesuai dengan kasih setia-Mu. Dasar Firman-Mu adalah kebenaran, dan segala hukum-hukum-Mu yang adil adalah untuk selama-lamanya." (Maz 119:159-161).

Saya yakin ketika Daud menuliskan Mazmur 119 ia mengetahui bahwa penganiayaan sering tak terelakkan ketika kita hidup dalam ketaatan pada Firman Allah. Bahkan mungkin saat ini, di negeri anda yang elok ini, Anda menyaksikan saudara-saudara seiman yang mengasihi Firman Tuhan harus mempertaruhkan hidup mereka bagi ketaatan tersebut.

Demikianlah yang terjadi di Inggris, saat terjadi Reformasi sekitar tahun 1550-an. Pada waktu itu orang-orang begitu mencintai Tuhan Allah dan Firman-Nya, bahkan sering kali lebih daripada hidup mereka sendiri. Orang-orang ini hidup dibuang dan diasingkan karena iman mereka, dan mereka rela mempertaruhkan segalanya untuk membawa kebenaran Alkitab bagi bangsa mereka. Itulah awal mula kisah Alkitab Geneva.

SEJARAH

WILLIAM TYNDALE

Alkitab Geneva bukanlah Alkitab bahasa Inggris pertama yang dibuat. Pada abad 14, John Wycliffe menyelesaikan tugas tersulit yaitu membuat terjemahan tertulis pertama dari seluruh Alkitab berbahasa Latin Vulgate ke dalam bahasa Inggris. Bayangkan proses penulisan dan penerjemahan pada saat komputer, pengolah kata, mesin ketik dan bahkan mesin cetak belum ditemukan. Semua kalimat, kata, baris demi baris, dan halaman demi halaman, harus disalin oleh tangan. Proses yang lambat dan memerlukan ketelitian yang tinggi. Sekalipun saat itu menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Inggris sangat dilarang, namun puji Tuhan sampai saat ini masih ada 200 salinan manuskrip yang berhasil diselamatkan dan bertahan hingga saat ini.

Dengan penemuan mesin cetak, pekerjaan penerjemahan menjadi jauh lebih mudah. Alkitab dapat dicetak, dipublikasikan, dan disebarkan kepada banyak orang dengan lebih cepat daripada sebelumnya. Alkitab Perjanjian Baru Terjemahan William Tyndale yang diterbitkan tahun 1526 ini adalah Alkitab pertama yang diterbitkan dalam bahasa Inggris. Ini juga merupakan Alkitab Terjemahan bahasa Inggris pertama dari bahasa asli Yunani. Tyndale kemudian mulai bekerja menerjemahkan Perjanjian Lama dari bahasa Ibrani ke dalam bahasa Inggris. Pada saat itu para bishop dan raja menjadi sangat geram dan merasa sangat terancam. Mereka menolak Terjemahan Tyndale ini dan membakar salinan yang ada sebanyak-banyaknya. Tyndale dianggap bersalah sebagai bidat dan dipenjarakan. Ia akhirnya dicekik dan dibakar karena kesungguhan dedikasinya pada Penerjemahan Alkitab.

Hasil kerja keras Tyndale tidaklah sia-sia. Semasa pemerintahan Raja Henry VIII Inggris, sekretaris Thomas Cromwell dan Archibishop Cramner mempersiapkan pekerjaan terjemahan yang baru. Seorang rekan William Tyndale, Miles Coverdale, dipilih untuk melaksanakan pekerjaan tersebut. Untuk menghasilkan terjemahan baru ini, Converdale mempelajari Alkitab Latin Vulgate, karya terjemahan lain versi bahasa Jerman, dan juga karya Tyndale sendiri. Ini menjadi Alkitab lengkap bahasa Inggris pertama yang dicetak.

Hampir bersamaan dengan itu, the Matthew Bible muncul. John Rogers, yang juga rekan Tyndale, adalah penerjemah yang membuat versi ini. Sumber-sumber yang digunakan Rogers meliputi terjemahan Perjanjian Baru dan bagian-bagian Perjanjian Lama yang dikerjakan oleh Tyndale, terjemahan karya Coverdal, dan juga karya perbaikan yang dibuatnya sendiri. Karyanya ini menjadi Alkitab pertama yang boleh dijual secara resmi.

Tak lama kemudian Cromwell meminta Coverdale untuk mempersiapkan terjemahan yang lain lagi. Dia takut kalau hubungan dekat "Matthew Bible" dengan karya Tyndale, yang banyak bagian catatan yang ada di dalamnya tidak disukai oleh para pejabat gereja, akan membuat pekerjaan penterjemahan dalam bahaya untuk dihancurkan. Oleh karena itu Cromwell ingin membuat terjemahan baru yang tetap setia pada teks aslinya, tetapi yang tidak akan menimbulkan kesulitan diterima oleh para penjabat gereja (klergi).

Kemudian the Great Bible diterbitkan. Alkitab ini hampir sama dengan the Matthew Bible, tetapi tanpa catatan karena mungkin akan tidak disukai oleh para klergi. Henry VIII sangat senang, lalu diumumkan dengan surat keputusan kerajaan supaya Alkitab tersebut dibaca secara umum, di setiap gereja di Inggris. Salinan-salinan Alkitab di tempatkan di gereja dan diberi rantai (supaya tidak dibawa pulang atau dicuri -red), itu sebabnya "the Great Bible" ini kemudian dijuluki dengan sebutan the Chain Bible. Ironisnya, Alkitab yang pada mulanya dilarang dan menyebabkan kematian Tyndale, sekarang menjadi Alkitab yang diperintahkan oleh raja untuk dibaca di setiap gereja.

ALKITAB GENEVA

Tak lama sesudah itu banyak masalah mulai bermunculan. Semasa pemerintahan Ratu Mary, pada pertengahan abad 16, pekerjaan penerjemahan Alkitab dihambat lagi. Ratu mencoba untuk mengembalikan iman Katolik Roma di Inggris. Cetakan-cetakan Alkitab berbahasa Inggris dibrendel, demikian juga penggunaan Alkitab bahasa Inggris dalam kebaktian gereja. Pada masa ini penganiayaan berdarah sering terjadi di kalangan kaum Protestan, sehingga banyak yang melarikan diri dari Inggris dan mencari perlindungan di daratan Eropa. Kota Geneva, di Switzerland, selain memberikan kebebasan agama politik bagi kaum Protestan, juga memberikan pengaruh kaum Calvinis yang kuat sehingga para Reformator diizinkan berkarya dan bertumbuh. Di sini, pemimpin-pemimpin seperti William Wittingham, John Knox dan John Calvin bersama-sama dengan para ahli teologia terkenal lainnya, memulai pekerjaan penerjemahan Alkitab untuk kepentingan masyarakat umum berbahasa Inggris.

Hasilnya adalah the Geneva Bible, pertama kali diterbitkan tahun 1560. Alkitab ini relatif kecil dan tidak mahal sehingga terjangkau oleh masyarakat biasa dan juga mudah disimpannya, tidak seperti versi-versi sebelumnya yang besar dan memakan tempat untuk menyimpannya. Alkitab ini berisi lebih banyak catatan pinggir, daripada versi terjemahan Alkitab sebelumnya, dan catatan-catatan tsb. merefleksikan pandangan teologi para Reformator Protestan dan kaum Calvinis. Alkitab Geneva menjadi Alkitab bahasa Inggris pertama yang berisi paling banyak catatan/keterangan. Teologia yang dijelaskan dalam catatan-catatn tsb. betul-betul mencerminkan pandangan para Reformator. Mereka ingin agar catatan-catatan tersebut menolong orang-orang biasa (awam) yang pada saat itu kebanyakan tidak berpendidikan. Para Reformator mencari cara untuk membantu orang awam agar mengerti lebih dalam akan Tuhan dari Alkitab. Alkitab Geneva juga merupakan terjemahan pertama yang membagi teks dalam ayat-ayat.

Dengan kembalinya orang-orang Protestan ke Inggris, Alkitab Geneva menjadi versi yang paling disukai di Inggris. Ini adalah Alkitab yang mendapat dukungan dari para teolog besar, seperti John Calvin dan John Knox. Sampai pada pertengahan masa Reformasi Protestan, Alkitab Geneva menjadi Alkitab terjemahan bahasa Inggris yang mendominasi selama lebih dari 80 tahun. Terjemahan ini digunakan dan disukai baik oleh orang kebanyakan maupun orang-orang ternama. William Shakespeare memakai Alkitab Geneva, demikian juga John Bunyan, penulis Pillgrim's Progress. Alkitab Geneva juga menjadi Alkitab yang dipakai oleh penduduk imigran yang datang pertama di Amerika, yaitu kaum Puritan, penduduk Jamestown, dan juga Polymouth Pilgrims membawa Alkitab Geneva.

Akan tetapi, di pihak lain Alkitab Geneva mulai menggerogoti otoritas para bishop di Inggris. Popularitas Alkitab Geneva telah menyebabkan kaum Puritan dan para Reformator memiliki pengaruh yang meningkat diantara masyarakat Kristen di gereja-gereja, terutama karena catatan-catatan pinggir yang menjelaskan Kitab Suci dari sudut pandang teologia Reformed. Sekali lagi, para klergi gereja menjadi sangat geram. Hal ini mendorong para bishop membuat Alkitab terjemahan mereka sendiri untuk mengambil alih "the Great Bible" atau "the Chain Bible" di dalam gereja, dengan demikian Alkitab Geneva tidak mendapat tempat. Hasilnya adalah "Alkitab Bishop" (the Bishop's Bible) yang sangat tebal dan mahal. Karya terjemahannya tidak cukup akurat dan menyeluruh. Baik para ahli teologia maupun masyarakat umum tidak tertarik, sehingga Alkitab tersebut tidak pernah mendapat popularitas. Namun, sekalipun kurang populer, Alkitab tersebut sempat menjadi Alkitab resmi gereja Inggris selama hampir lima puluh tahun.

VERSI KING JAMES

Pada saat Raja James (King James) berjaya, pejabat pemerintah gereja berpihak pada Alkitab Bishop, tetapi masyarakat lebih memilih Alkitab Geneva. Raja James sendiri tidak menyukai catatan-catatan pinggir dalam Alkitab Geneva karena teologi Roformed dan Puritan yang tercermin didalamnya. Akan tetapi, ia juga tidak puas dengan Alkitab Bishop. Lalu, ia mengadakan sebuah konferensi dan menunjuk para ahli teologia untuk memulai sebuah terjemahan yang baru. Pada tahun 1611, versi King James yang juga dikenal dengan Authorized Version diterbitkan untuk pertama kalinya. Selama lebih dari lima puluh tahun kemudian secara berangsur-angsur Alkitab versi King James mengambil alih posisi pendahulunya, Alkitab Geneva.

Alkitab versi King James memiliki banyak manfaat yang tidak dimiliki oleh versi sebelumnya. Pengetahuan tentang bahasa Yunani dan Ibrani juga telah lebih berkembang dibandingkan masa-masa terjemahan yang terdahulu. Terdapat bermacam-macam kelompok ahli teologia yang mengerjakan terjemahan tersebut dan mereka dapat memakai semua karya terjemahan lain yang telah dikerjakan saat itu. Tujuannnya adalah untuk menghasilkan terjemahan Alkitab bahasa Inggris yang terbaik. Sifat akademis dan juga gaya keindahan bahasa versi King James telah membuat Alkitab ini menjadi Alkitab bahasa Inggris yang berjaya selama lebih dari 300 tahun. Bahkan sampai sekarang masih banyak orang yang menggunakannya. Saat ini, 400 tahun setelah Reformasi dan penerbitan Alkitab Geneva, kebutuhan untuk sebuah Reformed Study Bible yang baru sangat dirasakan.

The New Geneva Study Bible

The New Geneva Study Bible merupakan kelanjutan dari tradisi pembaharuan. Tujuannya adalah untuk menegakkan kembali teologi Reformasi dari serangan teologia Liberal dan Armenian. Sebagaimana Alkitab Geneva yang asli, The New Geneva Study Bible dihasilkan oleh sekelompok ahli teologia kenamaan. Terdapat lebih banyak catatan keterangan, garis besar kitab, pengantar, dan artikel-artikel dari pandangan teologia Reformed. Catatan-catatan keterangan lebih diperluas dari catatan Geneva Bible yang asli, sebagai usaha untuk menjelaskan teologia Reformed yang ditemukan dalam Alkitab. Editor umum R. C. Sproul menyatakan bahwa The New Geneva Study Bible menawarkan banyak sekali alat yang dibutuhkan untuk suatu pemahaman Reformed terhadap Alkitab. Struktur perjanjian dari Alkitab terpancar melalui karya ini sehingga semakin jelas motif utama anugerah Allah dalam penebusan kita.

"The New Geneva Study Bible sebagai alat bantu yang dapat menolong kita menginspirasikan kasih baru kepada Tuhan dan Firman-Nya."

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Oleh karena Reformasi semakin tampak pengaruhnya dalam dunia, The New Geneva Study Bible bermaksud untuk memperluas jangkauannya ke wilayah internasional dengan tambahan terjemahan dalam berbagai bahasa seperti bahasa Rusia, Jerman Portugis dan Rumania. Saya dan Luder Whitlock dengan gembira ingin memberitahukan bahwa "Foundation for Reformation" telah membuat kesepakatan dengan yayasan Alkitab yang ada di Indonesia untuk memproduksi The New Geneva Study Bible dalam bahasa Indonesia. Kami juga sedang mendiskusikan dengan sejumlah rekan tentang kemungkinan memproduksi The New Geneva Study Bible dalam edisi Cina dan juga Korea. Kami meminta dukungan doa Anda sekalian untuk proyek-proyek yang penting ini.

Salah seorang ahli teologia senior kami adalah Dr. J. I. Packer, beliau yang menulis 100 artikel dalam Teologia Sistematika dan kita bisa mendapatkan artikel-artikel tsb. tersebar di dalam The New Geneva Study Bible. Dr. Packer memberikan hasil penelitian yang sangat penting bahwa "Empat abad yang lalu, catatan-catatan keterangan dalam Geneva Bible yang pertama telah membuat bidang akademis melayani Allah, kebenaran dan hidup dalam kesalehan sesuai dengan intisari dari momentum dalam Reformasi saat itu. The New Geneva Study Bible ingin memberikan hal yang sama tetapi dalam konteks modern saat ini."

Akan tetapi, yang lebih penting daripada catatan-catatan keterangan adalah Alkitab itu sendiri. Rasul Paulus, dalam tulisannya kepada pendeta muda Timotius, menekankan nilai dan penyelidikan dari Alkitab, "Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan yang baik" (2Tim. 3:16,17).

Alkitab

Sebagai kesimpulannya, sangat tepat jika kita mengalunkan pujian seperti Daud ketika menggambarkan keindahan dan berharganya Firman Allah dalam Kitab Mazmur: "Taurat Tuhan itu sempurna, menyegarkan jiwa; peraturan Tuhan itu teguh, memberikan hikmat kepada orang yang tak berpengalaman. Titah Tuhan itu tepat menyukakan hati; perintah Tuhan itu murni,membuat mata bercahaya. Takut akan Tuhan itu suci, tetap ada untuk selamanya; hukum-hukum Tuhan itu benar, adil semuanya, lebih indah daripada emas, bahkan daripada banyak emas tua; dan lebih manis daripada madu, bahkan daripada madu tetesan dari sarang lebah." Mazmur 19:8-11.

Doa kami, kiranya Tuhan memakai The New Geneva Study Bible sebagai alat bantu yang dapat menolong kita menginspirasikan kasih baru kepada Tuhan dan Firman-Nya. Terima kasih banyak dan kiranya Tuhan memberkati Anda dengan limpah.

Catatan :

The New Geneva Study Bible berisi Alkitab versi New King James Version yang dilengkapi dengan catatan-catatan ayat, artikel-artikel Teologia serta ayat-ayat referensi silang. The New Geneva Study Bible dalam bentuk cetak/kertas bisa didapatkan di Toko Buku Kristen Momentum (di Jakarta maupun di Surabaya).

Jika Anda ingin mendapatkan bahan catatan-catatan Ayat dari Alkitab Geneva yang asli dan lengkap (abad 16) dalam bentuk elektronik Anda bisa mendapatkannya dalam CD-ROM SABDA. Namun, perlu diketahui bahwa catatan-catatan Ayat yang ada dalam The New Geneva Study Bible tidak sama dengan Catatan-catatan Ayat yang ada di Alkitab Geneva yang asli.

CD-ROM SABDA (singkatan dari "Software Alkitab, Biblika Dan Alat-alat") disebut juga "Online Bible versi Indonesia". CD-ROM SABDA ini dibuat oleh Yayasan Lembaga SABDA dan anda bisa mendapatkannya secara gratis dengan menghubungi alamat berikut ini: order-CD@sabda.org

Audio: Sejarah dan Pentingnya Alkitab Geneva

Sumber: 

Terjemahan pidato makalah Ralph D. Veerman (Ketua Foundation for Reformation), yang disampaikan pada pertemuan Reunion of Friends and Alumni of North American Reformed Seminaries in Indonesia di Kampus STTIAA, Pacet, 1997. Oleh Kuwat Wahyu.

True Christian

Editorial: 

Artikel ini dikutip dari "brigada-pubs-missionfrontiers" {MF00.04.04-Winter).

Editorial Comment
Ralph D. Winter

Edisi: 
006/IV/2000
Isi: 

Dear Reader,

When is a Christian a Christian? When is a Hindu a Hindu? When is a Mormon a Mormon? When can we say that anyone is a "true Christian?"

Jesus said, "By their fruits you shall know them." He did not say "You can tell them by their names." But neither did He mean that "Anyone who attends church is a true Christian.

"One of the hallmarks of the Evangelical movement has been the observation that "not all 'Christians' are Christians, and not all church-goers are Christians." This parallels Jesus' comment that not everyone who calls him "Lord" will make it and Paul's statement that "not all Israel is Israel." This severe caution is Biblical even if it is a delicate point. Thus:

Point one: We must be careful not to assume that just because people say they are Christians or that they attend church that they are real Christians. This is difficult because we can't be too sure we are always right if we feel free to make judgments as to who is and who isn't a true Christian.

Point two: We must be careful not to assume that just because people are not called "Christians" that they are not true Christians. The easiest example of this is the "Messianic Jew" who believes and follows Jesus Christ and yet prefers not to be called a Christian.

On the other hand, can we assume that some groups which do call themselves Christian are truly Christian? What about Seventh-Day Adventists, Jehovah's Witnesses, Mormons and Catholics?

From the standpoint of the usual Evangelical believer, the thing wrong with all four of these groups is that they believe not less than but more than the Bible. And they may also not understand the Bible correctly either.

[I hasten to add that it is a bit unreas-onable to put Seventh-Day Adventists in the same list with Mormons. But it is really a matter of degree: both have semi-sacred scriptures in addition to the Bible, and both, from our standpoint, stand guilty of mis-interpreting certain verses in the Bible.]

However, a very large perspective is needed here.

THE LARGER VIEW IS BREATHTAKING

It has been fashionable for some time to speak of the times as "post-Christian." A considerable qualification of such an idea has come from David Barrett's sturdy statistics which show undeterred growth of the Christian movement all across the world.

However, although the world is definitely not post-Christian, it certainly may be possible to speak of "post-Christianity." Evidences are flowing in from almost every mission field that the Christian faith has frequently "jumped the tracks" of formal, traditional Christianity. These glimmers of a new reality are harder and harder to ignore.

I am reminded of the Catholic popes who tried to ignore the fact that in their day more and more movements were popping up which did not track with the full array of features belonging to their contemporary Catholicism. There was Peter Waldo. Stop him! There was John Hus. Stop him! There was Wycliffe. Stop him! There were also the Cathari and the Albigenses. There was more reason to stop them--but not to kill every man, woman and child in towns as large as 10,000. Eventually the tide of reaction became so strong that a major anti-Catholic phenomenon called "The Reformation" broke forth never to be recovered or reconquered.

Today, if we will open our eyes wide we can see many movements popping up which do not seem to track with the Christianity we know. Many of these may consider themselves within "Christianity." Others do not wish to be identified with "Christianity." In neither case are we as Evangelicals inclined to consider them standard Christianity. So, are we, too, on the eve of a new major breakaway movement similar to the "Reformation?" And if so, is it all pure heresy or is there any validity to this new Reformation?

You may test your sensitivities about all this with one more ancient example. An even earlier "Reformation" took place when a major anti-Roman phenomenon called Islam swept up millions of Christians who had for various reasons been loath to identify themselves with the Roman Empire. It was a Semitic reaction to Rome not a Teutonic reaction to Rome as in the case of the Protestant Reformation, but it was just as clearly anti-Roman. Unlike the situation where Catholics and Protestants for many years killed each other without blinking an eye, Islamic leaders for centuries (prior to the Crusades) were generally much more friendly to those who continued within their midst to be "Christians."

In any case, today we are forced to contemplate a disturbingly dissimilar number of major cultural traditions which have basically sprung up from Jewish roots: Oriental Orthodoxy, Eastern Orthodoxy, Islam, Roman Catholicism and Protestantism. All of these desperately need the Gospel of Jesus Christ. Within each of these is staggering cultural diversity as well as differences ranging from devout souls to crass nominality. They even overlap. That is, some forms of Islam are closer to the Bible than some forms of Oriental Orthodox "Christianity." A recent book tells of the perplexing existence of churches in Syria today where Christians and Muslims worship together (William Dalrymple, From the Holy Mountain, New York: Henry Holt & Co. 1998).

But never mind the confusion of overlap. The inevitable question today is: "Is there room, for better or worse, for one more major tradition with roots in the Jewish faith?" In other words, "Do we today see the essential, true Jewish-Biblical Christ-centered faith being expressed irretrievably in clothing which does not easily classify as Christianity?" That is, must we more consciously and honestly yield to the fact that there are already various major movements on the world level (even within the Hindu culture) which really aren't historical Christianity but which in some way are valid cultural carrier vehicles of true Jewish-Biblical faith?

SWALLOW HARD; GO FORWARD.

I think so. In fact, I think it is very overdue that mission leaders especially need to loosen up a bit and recognize what anyone might have been able to predict: that other cultural expressions of authentic Biblical faith are bound to develop, more and more allowing our precious Christianity to be seen as merely one particular historical stream of truth and faith. We need also to recognize that as with other major streams of Biblical faith, our Christian culture is, alas, accompanied by a good deal of arbitrary, cultural nonsense.

I advance this perspective for discussion because it has monumental practical implications.

As an aid in seeing these immediate, major implications, let us go back to the Bible again. Consider the perfectly enormous consternation and turmoil exploding when Peter, by divine initiative, was loosened up enough from his own historical tradition to welcome into the kingdom a cultural tradition so far removed as that embodied in the other world of Cornelius. Far more than a sheet full of repugnant foods was involved. And it was not a temporary incident. No less than perhaps a million Gentile "God fearers" were in the next few years to crowd into the essentially Jewish faith (not culture) of the nascent Christian movement. This marginalized Jewish believers (like Peter) who continued to exercise their faith within the Jewish carrier vehicle. Indeed, Jewish believers would almost continually be persecuted for the next 2,000 years. Talk about practical implications!

In earlier issues of Mission Frontiers I have spoken of the fairly recent discovery of a very large number of "Hindu Christian believers." Many might feel this phrase is a contradiction in terms. If I were speaking of Hinduism--the religion--they are right. But I speak of the cultural traditions in general of the Indus valley, a cultural complex also called Hindu.

There is a crucial difference between speaking of the religion typical of Hindus and the myriad details of their culture. The word Hinduism may refer to a religion just as does Judaism. But being a Hindu or a Jew does not necessarily define that person's religion. There are Jews who follow Christ and--guess what--there are (now) Hindus who follow Christ, just as there are also Muslims who follow Christ.

A parallel question is whether all "Christians" are truly Christians. And my point here is whether we who are Evangelicals can dare to continue the Evangelical tradition of its early years. Thus the question:

Is "Christianity" What We are After, or Christian Faith?

After all, we may do well not to assume that God has called us merely to extend the social phenomenon called Christianity, much less our particular denominational brand thereof. Rather, shouldn't we be content with heralding the blessing of knowing Jesus Christ through His Word, and enlisting all those who call upon Him to do the work of His Kingdom, "to do justly, love mercy and to walk humbly with God"?

For example, the Presbyterian Church (USA) in its mission work around the world long followed a policy of not planting "Presbyterian" churches. Many substantial Christian movements around the world thus owe their origin to Presbyterian missionaries but yet are not called Presbyterian. Granted that donors might feel it safer to plant "Presbyterian" churches, nevertheless that was by no means what was always done.

Thus, might it be only one small step further not to plant churches at all of the kind that would be called by any name associated with Christianity (this is to deliberately "go beyond Christianity"). Rather we might settle on fostering true, Christian, Biblical faith distinctly within the Islamic or Hindu cultural (not religious) spheres. Even before that, we may do well to recognize and seek to foster Biblical faith wherever we find it, whether a movement's origin can be attributed to our efforts or not.

Otherwise we will not see all that God is doing around the world. We may miss the next major groundswell, just as centuries ago earnest Catholic leaders deplored the Reformation (and some still do).

Otherwise we will be more pessimistic than we need to be about what is happening to our faith in our tumultuous world.

Otherwise in the face of seemingly impregnable Hinduism, Buddhism, and Islam we may soon be discouraged with the "global stalling" of formal Christian growth around the world, thinking that our preaching and our outreach has had no effect.

The fact is that the Gospel of Jesus Christ is right now penetrating all three of these traditions amazingly--unless we are merely looking for the kind of Christianity with which we are familiar.

Today, we can see many movements popping up which do not seem to track with the Christianity we know.

Ralph D. Winter

Sumber: 

Brigada-Pubs-MissionFrontiers (MF00.04.04-Winter).

Christ The Mediator

Dear e-Reformed Netters,

No comment.

Happy reading....!
Yulia

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

No comment.

Happy reading....!
Yulia

Penulis: 
R.C. Sproul
Edisi: 
012/II/2001
Isi: 

The saving ministry of Jesus Christ is summed up in the statement that He is the "Mediator between God and men" (1 Tim 2:5). A mediator is one who brings together parties who are out of communication and who may be alienated, estranged, or at war with each other. The mediator must have links with both sides so as to identify with and maintain the interests of both, and represent each to the other on a basis of goodwill. Thus Moses was mediator between God and Israel (Gal. 3:19), speaking to Israel on God's behalf when God gave the law (Ex. 20:18-21) and speaking to God on Israel's behalf when Israel had sinned (Ex. 32:9-33:17).

Every member of our fallen and rebellious race is by nature in "enemity against God" (Rom 8:7), standing under God's wrath, the punitive rejection whereby as Judge He espresses active anger at our sins (Rom 1:18; 2:5-9; 3:5, 6). Reconcilliation of the alienated parties is needed, but can only occur if God's wrath is quenched and the human heart, that opposes God and motivates a life against God, is changed. In mercy, God sent His Son into the world to bring about the needed reconciliation. It was not that he kindly Son acted to placate the harsh Father; the initiative was the Father's own. In Augustine's words, "in a wonderful and divine way even when He hated us, he loved us" (Commentary on John 110.6; cf. John 3:16; Rom. 5:5-8; 1 John 4:8-10). In all His mediatorial ministry the Son was doing His Father's will (see "The humble Obedience of Christ" at John 5:19).

Objectively and once for all, Christ achieved reconciliation for His people through penal substitution. On the cross He took our place, carried our identity as it were, bore the curse due to us (Gal. 3:13), and by His sacrificial shedding of blood made peace for us (Eph. 2: 16-18; Col. 1:20). Peace here means an end to hostility, guilt, and exposure to the retributive punishment that was otherwise unavoidable - in other words, forgiveness for all the past, and eternal, personal acceptance for the future. Those whio have received reconcilitation through faith in Christ are justified and have peace with God (Rom. 5:1, 10). The Mediator's present work, which He carries forward through human messengers, is to persuade those for whom He achieved reconciliation actually to receive it (John 12:32; Rom. 15: 18; 2 Cor. 5:18-21; Eph. 2:17).

Jesus is "the Mediator of the new covenant" (Heb. 9:15; 12:24), the initiator of a new relationship of conscious peace with God, going beyond what was known under the Old Testament arrangements for dealing with the guilt of sin (Heb. 9:11-10:18).

One of Calvin's great contributions to Christian understanding was his observation that the New Testament writers expound Jesus' mediatorial ministry in terms of the three "offices" (defined roles) of prophet, priest, and king. These three aspects of Christ's work are found together in the letter to the Hebrews, where Jesus is both the messianic King, exalted to His throne (1:3, 13; 4:16; 2:9), as well as the great High Priest (2:17' 4:14 - 5:10 chs. 7:10), who offered Himself to God as a sacrifice for our sins. In addition, Christ is the massage concerning Himself (2:3). In Acts 3:22 Jesus is called a "Prophet" for the same reason that Hebres calls Him "Apostle," namely, because He instructed people by declaring to them the word of God.

While in the Old Testament the mediating roles of prophet, priest, and king were fulfilled by separate individuals, all three offices now coalesce in the one person of Jesus. It is His glory, given Him by the Father, to be in this way the all-sufficient Saviour. We who believe are called to understand this, and to show ourselves His people by obeying Him as our king, trusting Him as our priest, and learning from Him as our prophet and teacher. To center on Jesus Christ in this way is the hallmark of authentic Christianity.

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : New Geneva Study Bible
Judul Artikel : -
Penulis : R.C. Sproul
Penerjemah : -
Penerbit : Thomas Nelson
Halaman : 1910

Bagaimana Theolog Reformed Bertheologi pada Masa Kini (II)

Artikel ini diambil dari artikel di Majalah Momentum; No. 32/IV/1996, hal. 44-50, yang diterbitkan oleh Lembaga Reformed Injili Indonesia

Editorial: 

Artikel ini diambil dari artikel di Majalah Momentum; No. 32/IV/1996, hal. 44-50, yang diterbitkan oleh Lembaga Reformed Injili Indonesia

Penulis: 
-
Edisi: 
005/II/2000
Isi: 

(Artikel ini dikutip dari buku Doing Theology in Today's World, editor John D. Woodbrige & Thomas Edward McComiskey, Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House, 1991.)

MENELITI NATUR THEOLOGI SEBAGAI BIDANG SAINS

Pertanyaan penting mengenai natur theologi dan sains, yang jarang diperhatikan sebelum periode Pencerahan, tetapi harus dipertimbangkan terlepas dari apakah seseorang memilih theologi Reformed dalam jalur Princeton Kuno atau Amsterdam Kuno. Pada masa kini pertanyaan tersebut harus dihadapi walaupun tidak ada jawaban yang disetujui bersama. Baik Warfield maupun Kuyper menganggap theologi adalah bidang sains dan sepakat dalam presuposisi yang tercakup di dalamnya walaupun mereka memiliki perbedaan pribadi yang cukup penting.

Sains jelas melibatkan aktivitas tertentu yang membedakannya dari pengalaman sehari-hari. Kita mengalami hal-hal dalam hidup sehari-hari secara penuh dan berelasi satu sama lain. Pada musim gugur, misalnya, kita berjalan di antara pepohonan untuk menikmati warna dan aromanya. Kita terpesona akan pemandangannya dan bertanya-tanya mengapa ada daun yang merah atau kuning sedangkan yang lain masih hijau. Pengalaman sehari-hari melibatkan refleksi atau analisa pribadi atas pertanyaan-pertanyaan seperti itu.

Pada saat kita mulai berusaha menemukan mengapa sebagian daun berubah warna pada musim gugur, mengapa warnanya berlainan dan mengapa waktunya berlainan, kita mulai melakukan aktifitas sains. Berbeda dari pengalaman sehari-hari, sains memerlukan analisa sekunder dan penelitian mendalam. Kita harus mengambil contoh daun dan membawanya ke laboratorium. Kita harus melakukan test dan eksperimen dengan menggunakan mikroskop atau peralatan khusus lainnya. Kita mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan bagaimana, kapan dan mengapa melalui analisa sains.

Aktivitas serupa diperlukan dalam bertheologi. Kadang-kadang istilah theologi digunakan dalam arti populer, yaitu pembicaraan mengenai Allah, Alkitab atau hal-hal religi, tetapi sebenarnya itu hanya arti di permukaan. Theologi melibatkan lebih dari sekedar aktivitas atau pembicaraan religi. Orang Kristen membaca Alkitab dan berdoa kepada Tuhan secara individu. Mereka bersekutu, membaca Alkitab, mengakui iman dan mendiskusikan khotbah secara persekutuan. Keterlibatan dalam aktivitas tersebut memerlukan perhatian, refleksi, dan analisa primer. Tetapi sains sebagai aktivitas pendidikan memerlukan analisa sekunder. Laboratorium dan peralatan khusus tidak diperlukan dalam bertheologi, tetapi analisa masalah harus bersifat mikroskopis dan pembahasan dalam terang sejarah harus bersifat teleskopik. Natur Alkitab, karakteristik doa, kualitas pengakuan iman gereja dan arti mutlak suatu teks adalah topik-topik yang menjadi obyek investigasi theologi. Karena memiliki karakterisitik yang terdapat dalam sains, theologi haruslah dilihat sebagai bidang sains.

Keberadaan presuposisi dalam setiap bidang sains masih menjadi bahan perdebatan, tetapi keberadaannya lebih banyak diterima dalam dekade terakhir ini karena runtuhnya positivisme. Saya pribadi yakin bahwa sains tanpa presuposisi adalah mustahil, tetapi tidak perlu di bahas di sini. Bagaimanapun keberadaan presuposisi dalam theologi hampir tidak perlu diperdebatkan. Schleiermacher mungkin berfikir bahwa sainsnya memenuhi persyaratan objektivitas Pencerahan, tetapi kita dapat mengenal presuposisinya sekarang. Barth mengakui bahwa penekanannya terhadap wahyu tidak memungkinkan ia memenuhi kriteria positivisme yang digariskan H. Scholz Bultmann untuk menyatakan bahwa kebangkitan tidak mungkin terjadi. Kita bahkan dapat mengatakan bahwa Reformasi terjadi ketika Luther dipaksa untuk mengganti presuposisi theologisnya. Analisanya yang teliti terhadap Roma 1 menyebabkan ia menolak presuposisi dualisme iman dan usaha, dan dengan demikian menemukan dan meyakini bahwa keselamatan hanya oleh anugerah melalui iman.

Sebagai kesimpulan, kita berpendapat bahwa bidang sains, termasuk sains theologi, melibatkan seorang manusia -- kita sebut `knower' -- yang selalu mulai dari presuposisi religi tertentu, diakui atau tidak. Secara positif atau negatif, presuposisi ini selalu berkaitan dengan Tuhan, Alkitab dan pengakuan iman tertentu. Presuposisi ini dapat berupa presuposisi Kristen, atau presuposisi non-Kristen. Untuk Kristen, presuposisi ini mungkin Katholik Roma, Lutheran atau Reformed. Berpijak pada presuposisi ini, `knower' mengarahkan kemampuan analitisnya terhadap suatu aspek untuk dipelajari secara detail dan hati-hati. Knower melakukan analisa sekunder terhadap aspek tsb. Semua ini adalah ciri umum semua bidang sains, termasuk theologi. Seorang theolog harus menyadari karakteristik sains karena karakteristik ini dapat menjadi cobaan unik atau kesempatan indah.

Apa yang membedakan antara bidang sains? Pertanyaan ini merupakan pembahasan berikut, investigasi theologi, khususnya theologi Reformed.

MENGENALI WILAYAH INVESTIGASI

Bidang sains dibedakan satu sama lain oleh wilayah investigasinya. Untuk theologi apa wilayahnya? Sebagian mengatakan Tuhan, wahyu, Alkitab atau pengalaman religi. Jawaban kontemporer merujuk pada berbagai sumber atau faktor pembentukan dalam theologi sistematis. Jika kita tidak ingin jawaban tak berbobot, maka pertanyaan ini sulit dijawab.

Dunia ciptaan Tuhan ini memperlihatkan berbagai aspek berbeda sehingga sains dasar yang serupa ada di seluruh dunia. Contohnya, biologi yang menyelidiki aspek biotik dan memfokuskan analisa sekundernya pada kehidupan tumbuhan, satwa dan manusia. Sains sejarah, sosiologi dan ekonomi memiliki wilayah investigasi yang jelas. Natur wilayah investigasi yang menyebabkan adanya perbedaan antara sains natural dengan kemanusiaan dalam hal test, eksperimen dan objektivitas. Tetapi setiap disiplin ilmu ini menunjukkan karakteristik sains, atau dalam bahasa Jerman "Wissenschaft". Dalam studi sains ada juga analisa sekunder sebuah aspek realita yang diabstraksikan secara teoritis dari keseluruhan konteks agar dapat diteliti secara mendalam. Lagipula orang yang melakukan aktivitas sains melakukannya dari perspektif keyakinan pribadi atau presuposisi pribadi. Sains dibedakan satu sama lain oleh wilayah investigasinya.

Apakah wilayah investigasi theologi? Definisi umum theologi adalah "sains Allah". A. Kuyper menantang definisi tersebut dengan mengatakan bahwa Allah tidak dapat ditaruh di bawah mikroskop; Allah hanya dapat dikenal sejauh Ia membuka Diri-Nya untuk dikenal. Dalam pandangan itu, definisi theologi yang lebih umum menjadi "sains wahyu" atau "sains Alkitab." Di bawah pengaruh Schleiermacher istilah ini diganti dengan "sains agama". Pandangan Barth mengenai wahyu membuatnya menganggap "khotbah Hari Minggu sebagai bahan baku dogma". Paul Tillich menganggap "pandangan Alkitab Neo-ortodoks" terlalu sempit dan menyebut "sumber-sumber theologi sistematis" adalah Alkitab, sejarah gereja, sejarah agama, dan kebudayaan. John Macquarrie menyebut bahwa "faktor-faktor pembentukan dalam theologi" adalah pengalaman, wahyu Alkitab, tradisi, kebudayaan, dan rasio. Seorang theolog berkulit hitam, James Cone, mengadaptasikan hal-hal tersebut dengan perspektifnya, menjadi pengalaman kulit hitam, sejarah kulit hitam, kebudayaan kulit hitam, wahyu, Alkitab dan tradisi. Walaupun theolog liberal berasal dari beberapa gereja berbeda, mereka bersama-sama menekankan "pengalaman penderitaan" sebagai sumber penting dan mengadaptasikannya terhadap hal-hal tersebut di atas.

Buku-buku theologi Reformed yang terbit sebelum munculnya Neo-ortodoks memberikan jawaban yang sama terhadap pertanyaan mengenai wilayah investigasi theologi. Untuk theologi Katholik Roma, wilayah investigasinya adalah Alkitab dan tradisi. Untuk theologi Protestan, khususnya Reformed, wilayah tersebut hanya Alkitab. Untuk theologi liberal, wilayah tersebut adalah pengalaman religi manusia. Itulah yang kupelajari dan merupakan jawaban awalku ketika mulai mengajar theologi sistematis pada awal tahun 1950-an.

Setelah beberapa tahun mengajar theologi, saya menemukan bahwa semua elemen tersebut di atas masuk ke dalam wilayah investigasi saya sebagai seorang theolog Reformed. Alkitab memang yang terutama, tetapi saya harus juga meletakkan pengakuan iman gereja, termasuk yang kuyakini secara pribadi, ke bawah analisa sekunder. Sebenarnya seluruh tradisi Reformed dan juga tradisi seluruh gereja Kristen adalah bagian wilayah investigasiku. Saya harus juga meneliti berbagai tipe theologi dan menyelidiki sumber dan faktor formatifnya, termasuk semua hal yang relevan dalam bidang filsafat, psikologi, sosiologi dan lainnya. Bahkan pengalaman, yang sulit didefinisikan dan selalu dicurigai sejak masa Schleiermacher, mempunyai peranan tertentu, walapun pengalaman kulit hitam atau pengalaman penderitaan bukan bagian sejarah pribadiku. Bagi saya sebagai theolog Reformed, semua faktor ini harus dipertimbangkan dan dapat menjadi obyek analisa sekunder.

Hal yang penting adalah: dalam seluruh keragaman wilayah investigasi theologi ini, tetapi ada kriteria atau norma untuk mengambil keputusan akhir. Apa yang berfungsi sebagai norma dalam wilayah studi yang beragam ini? Mungkin itulah yang sebenarnya dimaksudkan dalam buku-buku Reformed lama ketika memfokuskan pada Alkitab dan tradisi, hanya Alkitab atau pengalaman religi manusia. Seorang theolog Reformed harus berusaha menilai semua sumbernya berdasarkan otoritas Alkitab. Tradisi, pengalaman religi, theologi-theologi lain dan semua hal lain dalam wilayah investigasi harus tunduk kepada norma Alkitab. Sulit untuk menemukan istilah khusus untuk wilayah investigasi ini. H. Dooyeweerd menyebutnya "aspek pistic" atau "aspek iman", dengan Alkitab sebagai normanya dan gereja sebagai subyek atau agen primer dalam aspek pistis tsb. Mungkin itu cara yang cukup baik dalam mengenali wilayah investigasi, tetapi pembahasan terdahulu diperlukan untuk mengkonkritkan istilah apapun yang menjadi kesimpulan. Keutamaan Alkitab sebagai norma theologi Reformed perlu dibahas lebih lanjut.

MENERIMA KEUTAMAAN ALKITAB

Theolog Reformed harus memperhatikan semua hal yang merupakan bagian wilayah investigasi theologi, termasuk semua tipe theologi. Dalam semua segi investigasi, Alkitab harus diprioritaskan oleh theolog Reformed. Alkitab adalah sumber utama dan otoritas tertinggi untuk menilai apapun. Apa yang disebut "proof texts" dalam theologi sistematik (dogma) lebih tepat disebut "source texts" kunci. Hampir tidak perlu diperdebatkan lagi apa yang merupakan hal paling dasar dalam theologi Reformed, yaitu prioritas dan normativitas Alkitab dalam bertheologi. Saya akan membahas singkat hal-hal berikut: perhatian terhadap seluruh Alkitab (tota Scriptura), sejarah Alkitab, theologi Alkitabiah, exegese yang berhati-hati dan masalah hermeneutika.

Theolog Protestan setuju bahwa hanya Alkitab (sola Scriptura) yang menjadi otoritas atas semua aktivitas theologi. Keyakinan ini tetap mendasari theolog Reformed dan theolog Injili lainnya pada masa kini. Alkitab adalah norma mutlak dan otoritas tertinggi untuk menilai apapun yang diamati oleh theolog, mulai dari pengakuan gereja, dogma atau tradisi, pengalaman religi manusia, pegalaman penderitaan, sampai pada karya theolog lain --- termasuk mereka yang berada dalam tradisi yang sama. Hanya Alkitablah Firman Allah yang diwahyukan dan memiliki otoritas. Seluruh aktivitas manusia, termasuk theologi, dapat salah dan harus dinilai oleh hukum iman dan praktek yang tak mungkin bersalah.

Namun demikian di antara kaum Reformed terdapat perbedaan-perbedaan penting. Perbedaan tersebut sampai kini terdapat di antara theolog Protestan klasik. Sampai belum lama ini doktrin perjanjian masih merupakan perhatian eksklusif theolog Reformed walaupun Alkitab mempertahankan referensi-referensi perjanjian. Perjanjian dalam Alkitab sangat banyak diperhatikan dalam theologi Reformed sehingga "theologi perjanjian" menjadi label yang umum dipakai banyak theolog, terutama theolog dispensasi. Contoh lain adalah penekanan theologi Reformed terhadap kerajaan Allah sebagai alat penyelamatan dalam sejarah yang dipakai Allah untuk menyatakan kedaulatan-Nya dalam sejarah. Perspektif kerajaan ini berakar pada tulisan Agustinus "City of God" dan pada tulisan Calvin dan praktek Jenewa, lalu dikembangkan terutama oleh A. Kuyper dan theolog Reformed Belanda, dan sekarang menjadi tanda resmi theologi Reformed. Saya yakin bahwa berbagai perjanjian dalam Alkitab semuanya merupakan instrumen atau pelaku administrasi kerajaan Allah dalam sejarah. Kerajaan Allah berkaitan erat dengan kedaulatan Allah dan pandangan hidup dan dunia yang merupakan karakteristik Calvinisme.

Apa yang menyebabkan perbedaan dalam tipe-tipe theologi Protestan klasik? Bagaimana penjelasan mengenai perhatian unik Reformed terhadap perjanjian dan kerajaan? Hal-hal ini tentu penting dalam seluruh Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dan harus diperhatikan oleh semua yang menganut sola Scriptura. Saya yakin bahwa penekanan Reformed ini berasal dari perhatian seimbang terhadap sola Scriptura dan tota Scriptura. Walaupun tota Scriptura tidak pernah menjadi slogan populer, perhatian terhadap keseluruhan berita Alkitab merupakan karakteristik unik theologi Reformed. Keunikan theologi Reformed tidak hanya ditandai oleh pandangan terhadap sakramen atau penekanan terhadap kedaulatan Allah atau pembelaan yang bersemangat terhadap predestinasi atau "lima butir Calvinisme", tetapi keunikan tersebut harus dilihat dari tujuannya untuk setia terhadap seluruh Alkitab. Inti theologi Calvin adalah dorongan untuk berbicara mengenai hal-hal yang dibicarakan Alkitab dan berdiam diri mengenai hal-hal yang tidak dibicarakan Alkitab. Tujuan ini harus menjadi tujuan semua theolog Reformed pada masa kini. Theolog harus bertujuan untuk bertheologi dalam seluruh kanon Alkitab dan menghindari godaan untuk bertahan pada hanya satu kanon. Memang theologi Reformed belum (dan mungkin tidak akan pernah) mencapai tujuan tsb. Belum ada seorang theolog Reformed pun yang berhasil menggali seluruh kedalaman dan kekayaan tambang emas Alkitab. Masih banyak yang dapat dikerjakan oleh siapapun yang ingin bertheologi Reformed pada masa kini!

SEJARAH ALKITAB

Alkitab tidak memiliki koleksi "teks bukti" yang dapat dipilih dan dikutip seperti memilih ilustrasi dari Bartlett's Familiar Quotations. Wahyu Alkitab diberikan kepada kita dalam konteks sejarah dan dalam periode yang panjang. Perjanjian Lama ditulis dalam lebih dari 1000 tahun dan periode sejarah yang lebih panjang lagi. Perjanjian Baru ditulis dalam kurang dari 100 tahun dan dalam satu generasi. Periode sejarah tersebut harus selalu diingat ketika menginterpretasikan bagian Alkitab.

Sejarah Alkitab terbagi dalam beberapa epik yang sangat berbeda. Pada saat merenungkan bagian tertentu, kita harus memperhatikan buku yang di dalamnya bagian tersebut berada dan kerangka waktu bagian tersebut dituliskan. Hal ini harus diperhatikan baik oleh theolog sistematika maupun oleh pelajar-pelajar Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Periode-periode utama dimulai pada nama-nama berikut: Kejadian, Kejatuhan, Air Bah, Babel, Abraham, Musa, Yosua, Hakim-hakim, kerajaan, perpecahan kerajaan, kerajaan Yehuda saja (periode antara), inkarnasi Yesus, pelayanan-Nya, kenaikan-Nya, dan Pentakosta. Dalam hal ini kita perlu mengingat konteks sejarah dari kitab-kitab nubuat selama 5 abad, mulai dari perpecahan kerajaan sampai akhir kanon Perjanjian Lama. Untuk dapat mengerti bagian-bagian Alkitab tertentu dan menerapkan theologi sistematika, kita harus mengenali kapan dan kepada siapa kalimat-kalimat tersebut dituliskan dan ditujukan. Memahami seluruh sejarah Alkitab dan situasi sejarah dalam bagian yang direnungkan adalah sangat penting jika kita ingin bersikap benar terhadap seluruh Alkitab, tota Scriptura.

THEOLOGI ALKITABIAH

Theologi sistematika atau dogma mengarah kepada ringkasan atau ikhtisar menyeluruh dari pengajaran Alkitab. Cara paling umum menyusun bahan tersebut adalah dengan bekerja secara berturutan atas doktrin-doktrin wahyu (prolegomena), Allah, kemanusiaan (antropologi), Kristus (Kristologi), keselamatan (soteriologi), gereja (eklesiologi), dan masa depan (eskatologi). Theolog sistematika menemukan bahwa disiplin theologi lain, yaitu theologi Alkitabiah, ternyata sangat menolong untuk mengerti dan mempersentasikan seluruh berita Alkitab. Theologi Alkitabiah tidak terlihat sebagai disiplin yang berbeda sebelum akhir abad 18. Theologi Alkitabiah sebelumnya merupakan produk penolakan rasional periode Pencerahan terhadap Alkitab yang diwahyukan dan berotoritas. Theologi tersebut lalu dikembangkan oleh Geerhadus Vos (1862-1949) dalam theologi Reformed.

Theologi alkitabiah mengikuti pendekatan penyelamatan-sejarah dan menaruh perhatian pada berbagai tahap dalam sejarah wahyu khusus. Vos berpendapat bahwa theologi Alkitabiah menarik garis, sedangkan theologi sistematis membentuk lingkaran. Theologi Alkitabiah memperhatikan proses sejarah dalam menarik garis tersebut dan menggunakan korelasi dan sistematisasi dalam kerangka waktu yang diperhatikannya. Dengan demikian theologi Alkitabiah dapat saja membatasi diri pada kelima Kitab Musa dan menggambarkan perkembangan doktrin yang terjadi dalam periode tersebut. Demikian juga theologi Alkitabiah dapat bekerja terhadap salah satu kitab nabi atau beberapa kitab yang kontemporer. Theologi Alkitabiah juga dapat membatasi diri pada seluruh Perjanjian Baru saja, juga dapat membatasi diri pada perjanjian dalam kelima kitab Musa atau pada kerajaan dalam Injil Sinoptik.

Karena berkonsentrasi pada struktur sejarah dalam proses pewahyuan, theologi Alkitabiah menjadi sangat penting untuk melakukan theologi sistematika Reformed. Memperhatikan wahyu tertentu pada suatu subyek dalam periode sejarah tertentu bukan hanya mempertajam perhatian kita pada hal baru dalam tahap berikutnya, tetapi juga menolong kita memperoleh berita Alkitab secara keseluruhan sampai masa konsumsi pada kedatangan Kristus dan Perjanjian Baru. Kontak teratur dengan theologi Alkitabiah menolong orang yang melakukan theologi sistematika untuk menghindari bahaya mendistorsikan Alkitab dan menolong mengerti abstraksi dan formulasi tanpa waktu yang muncul dalam pendapat theolog Protestan abad 17 yang berpaling kepada Aristoteles atau Descartes untuk mencari pertolongan filsafat ketika menulis theologi dogmatik.

Jika kita ingin bagian-bagian Alkitab berfungsi sebagai sumber teks asli untuk theologi sistematika, maka kita tidak dapat mengabaikan konteks sejarah Alkitab dan juga karakter organik dari kesatuan berita Alkitab. Theologi Alkitabiah sangat menolong untuk mengembangkan theologi sistematika yang vital dan hidup, terutama jika dikembangkan dalam perspektif Reformed.

EXSEGESE ALKITABIAH

Bagi theolog Reformed yang ingin setia kepada seluruh Alkitab, interpretasi Alkitab menjadi tanggung jawab terberat yang harus dipenuhi. Setiap orang percaya harus terlibat interpretasi Alkitab agar dapat mengerti beritanya. Jika interpretasi tersebut dilakukan dalam suatu disiplin ilmu, sebagai pelajaran atau secara ilmiah, hal itu disebut exegese. Tidak ada cara mudah untuk menunaikan tugas ini.

Berlawanan dengan Katholik Roma, kaum Reformasi menekankan bahwa berita keselamatan sangat jelas untuk setiap orang percaya yang awam. Namun demikian hal itu tidak membuat mereka mengabaikan pendidikan formal yang dibutuhkan oleh para pengajar dan pendeta mereka agar dapat mengexegese Alkitab dengan bertanggung jawab. Mereka menerima perkataan Petrus mengenai tulisan Paulus: "Dalam suratnya ada hal-hal yang sukar difahami, sehingga orang-orang yang tidak memahaminya dan yang tidak teguh imannya, memutarbalikkannya menjadi kebinasaan mereka sendiri, sama seperti yang juga mereka buat dengan tulisan-tulisan yang lain." (2Petrus 3:16). Dan theolog sistematika mungkin akan menemukan juga surat-surat Petrus yang bahkan lebih sulit dari tulisan Paulus! Tentu saja Roh yang sama yang menginspirasikan Alkitab harus juga mengiluminasikan orang percaya agar dapat menginterpretasikan Alkitab dengan tepat. Namun hal ini tidak dapat diharapkan terjadi tanpa kerja keras manusia yang menginterprestasikan. Kerja keras tersebut memerlukan perhatian terhadap bagian-bagian dalam bahasa asli, yaitu Ibrani atau Yunani, dalam terang seluruh berita Alkitab.

Metode exsegese tokoh-tokoh Reformasi, terutama Calvin dan penerus-penerusnya, disebut metode interprestasi theologi-sejarah-tatabahasa. Secara sederhana hal tersebut berarti analisa tulisan Alkitab harus mempertimbangkan sejarah Alkitab dan juga theologi Alkitabiah seperti disebutkan di atas. Pada masa kini metode tersebut mungkin lebih tepat disebut metode exegese kanon-theologi-sejarah-literal-tatabahasa. Tugas exegese dasar yang kompleks ini perlu dijelaskan secara singkat.

Alkitab adalah Firman Allah yang tertulis; wahyu Alkitab adalah dalam bentuk bahasa verbal. Karena itu exegese harus berusaha memahami dan menginterpretasikan kata-kata dalam kalimat dan kalimat dalam konteks. Kalimat-kalimat tersebut adalah bagian komposisi literal. Dalam Alkitab terdapat beragam tipe literal atau genre. Theolog harus memperhatikan karakteristik genre dalam menginterprestasikan teks tertentu. Jadi exsegese literal-tatabahasa diperlukan dalam theologi Reformed. Ini tentu termasuk pengetahuan akan bahasa asli Alkitab.

Perkataan dalam Alkitab melaporkan, menginterprestasikan, mewahyukan dan memproklamasikan hal-hal yang Allah kerjakan dalam sejarah. Alkitab mempresentasikan hal-hal yang diwahyukan mengenai kejadian dan penyelamatan, termasuk tindakan dan kata-kata Allah. Alkitab mewahyukan kabar baik, kabar tentang hal-hal yang benar-benar terjadi dalam sejarah --- peristiwa sejarah yang nyata. Lebih lanjut, penuturan Alkitab tentang peristiwa penyelamatan historis ini dilakukan dalam konteks sejarah. Interpretasi tepat tentang peristiwa dan perkataan sejarah ini memerlukan pemahaman Alkitab dalam konteks sejarah. Jadi exegese sejarah diperlukan dalam theologi Reformed.

Alkitab mempresentasikan berita dari Allah dan tentang Allah dan tentang karya keselamatan-Nya dalam sejarah. Exegese harus berusaha untuk memahami berita "theologi" Alkitab ini. Seluruh ekspresi bahasa tentang wahyu bersifat parsial dan terpotong-potong. Tetapi orang yang menginterpretasikan harus berusaha mengerti keseluruhan berita melalui bagian-bagiannya. Berita seluruh kanon harus dicapai dari kontribusi setiap buku secara individual. Jadi exegese Alkitabiah secara kanon-theologi diperlukan dalam theologi Reformed. Walaupun hal ini adalah segi-segi exegese yang saling berbeda, theolog Reformed yang menginterpretasikan Alkitab harus berusaha memperoleh kesatuan berita melalui segi-segi yang saling berbeda tetapi saling berkaitan dalam exegese kanon-theologi-sejarah-literal-tata bahasa.

Jadi selain terlibat dalam analisa mikroskopis teks Alkitab, theolog Reformed harus juga mengejar pandangan teleskopik dengan meneliti spesimen-spesimen dalam sejarah interpretasi. Penelitian interpretasi dengan kontemporari dari beberapa tradisi theologi lain dapat menantang theolog untuk melihat perspektif teks yang mungkin dapat luput dari perhatian. Semua hasil valid dari exegese demikian kemudian harus dirangkum dalam theologi sistematis Reformed yang sungguh-sungguh merefleksikan seluruh berita Alkitab.

HERMENEUTIKA

Sebelum Schleiermacher hermeneutika umumnya dianggap hanya merupakan aturan exegese. Schleiermacher menyadari bahwa theologi barunya memerlukan hermeneutika baru. Sejak itu masalah hermeneutika berkembang menjadi lebih luas dan semakin penting. Beberapa pengikut R. Bultmann mengklaim bahwa hermeneutika mencakup seluruh theologi. Walaupun hal itu mungkin berlebihan, masalah hermeneutika memerlukan perhatian khusus pada masa kini.

Perbedaan hasil exegese tidak selalu dapat dijelaskan karena perbedaan kompentensi pelakunya atau karena kesalahan satu atau beberapa pelakunya. Interpretasi yang bertujuan mencapai pemahaman sebuah bagian Alkitab merupakan hal yang sangat kompleks seperti tampak melalui studi exegese. Hal-hal seperti yang dibahas di atas --- natur sains theologi dan peranan presuposisi atau pra-pemahaman seseorang --- sekarang dikenal sebagai masalah hermeneutika. Perbedaan antara theolog Lutheran dan Reformed mengenai sakramen mungkin hanya mengenai pertanyaan apakah kata kerja "adalah" dalam perkataan Yesus, "Ini adalah tubuh-Ku" harus dimengerti secara literal atau secara figuratif dan spriritual. Tetapi perbedaan-perbedaan lain dalam theologi Lutheran timbul dari perbedaan hukum-Injil yang berfungsi hermeneutika dalam karya exegese Lutheran. Perbedaan hermeneutika yang bahkan lebih besar telah membedakan theologi Reformed dari Katholik Roma, Liberal, Neo-ortodoks, dan theologi setelah Bultman.

Dimensi-dimensi masalah hermeneutika tidak dapat dibahas di sini tetapi refleksi mengenai masalah yang dibahas sebelumnya akan membawa kita makin dalam kepada wilayah yang kompleks ini. Semakin secara sadar seseorang terlibat dalam interpretasi Alkitab dalam bertheologi, semakin terkesan orang tersebut akan masalah-masalah hermeneutika. Dan seseorang yang terlibat dalam studi dan melakukan theologi Reformed akan bertambah sadar akan pentingnya hal tersebut walaupun masalah-masalahnya tidak dibahas secara eksplisit.

MENYIMPULKAN IMPLIKASI TERHADAP IMAN DAN KEHIDUPAN

Pendalaman theologi memiliki konsekuensi terhadap iman dan kehidupan. Memang masalah-masalahnya tentang hidup dan mati! Melakukan theologi Reformed dapat dan seharusnya menjadi pengalaman yang menyenangkan. Dengan menggunakan analisa sekunder dan refleksi terhadap bagian-bagian kunci dalam Alkitab seseorang dapat bertumbuh secara pribadi dalam iman maupun kehidupan. Melakukan theologi Reformed adalah pengalaman yang memperkaya diri, karena tidak seperti bidang sains lainnya, theologi Reformed menawarkan relasi akrab antara presuposisi religi seseorang dengan wilayah investigasi. Pada saat hasil aktivitas theologi yang baik dituangkan kembali ke dalam pengalaman hidup seseorang, akan terjadi pertumbuhan pribadi yang mengejutkan.

Jika seseorang sungguh-sungguh berusaha memahami Alkitab dan wilayah investigasinya, sesuatu yang lebih dari sekedar kemajuan intelektual terjadi. Memahami sesungguhnya melibatkan hati, mempengaruhi keseluruhan pribadi, intelektual, kemauan dan emosi. Pemahaman hati menjangkau iman dan kehidupan: mempercayai Allah dan melakukan kehendak-Nya. Aktivitas theologi demikian bertujuan bukan mencapai dominasi, tetapi pelayanan terhadap Allah dan sesama manusia melalui pembangunan gereja Kristus dan pengembangan kerajaan Allah. Proses mendengarkan perkataan Allah, menginterpretasikannya ketika melakukan sains theologi, seharusnya memberi sumbangsih kepada semakin dekatnya seorang percaya dengan Allah dan firman-Nya, sehingga hidup ini dijalani menurut pimpinan Allah yang diwahyukan dalam Alkitab. Pemberian Allah (Gabe) memberikan tugas kepada kita (Aufgabe) untuk hidup dalam masa kini bagi kemuliaan-Nya.

Saya menyimpulkan ini dengan deskripsi doxologi tentang kemuliaan tugas tersebut, seperti yang dituliskan sesorang theolog Reformed yang berdedikasi sbb:

Pada saat kita mempertimbangkan dengan tepat proposisi

bahwa Alkitab adalah deposito wahyu khusus
bahwa Alkitab adalah orakel Allah
bahwa di dalamnya Allah menemui dan berbicara kepada kita,
menyatakan kemuliaan-Nya yang tak terpahami
memanggil kita ke dalam pengenalan dan pemenuhan kehendak-Nya
menyingkapkan kepada kita misteri pimpinan-Nya,
dan membukakan maksud-maksud anugerah-Nya,
maka theologi sistematika, daripada semua sains dan disiplin
ilmu,
tampak sebagai yang paling mulia,
bukan refleksi dingin tanpa perasaan,
tetapi sesuatu yang membangkitkan kekaguman
dan mengklaim, penggunaan kemampuan kita yang paling suci.
Theologi sistematika adalah yang paling mulia dari semua
studi karena berusaha memahami seluruh pimpinan Allah
dan berusaha, tidak seperti disiplin ilmu lain,
menegakkan kekayaan wahyu Allah
dalam cara yang teratur dan hormat
yang merupakan metode dan fungsinya yang khusus
Semua bagian lain disiplin theologi
mengkontribusikan penemuannya kepada theologi sistematika
dan membawa semua kekayaan pengetahuan
yang diperoleh dari semua disiplin tersebut
untuk diberikan kepada sistematisasi yang lebih inklusif
yang dilakukannya. (hs)
Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Momentum
Judul Artikel : -
Penulis : -
Penerjemah : -
Penerbit : Lembaga Reformed Injili Indonesia
Halaman : 44-50

Bagaimana Theolog Reformed Bertheologi pada Masa Kini (I)

Artikel ini diambil dari Majalah Momentum; Edisi: 31 Triwulan III/1996, hal. 44-50, yang diterbitkan oleh Lembaga Reformed Injili Indonesia

Editorial: 

Artikel ini diambil dari Majalah Momentum; Edisi: 31 Triwulan III/1996, hal. 44-50, yang diterbitkan oleh Lembaga Reformed Injili Indonesia

Penulis: 
-
Edisi: 
004/I/2000
Isi: 

Kata "Reformed" dan "Reformasi" sebenarnya satu rumpun. Gerakan Reformasi abad 16 menolak atau memodifikasikan beberapa doktrin dan praktek Katolik Roma. Tokoh-tokoh Reformasi mengakui Alkitab sebagai satu-satunya otoritas. Karena itu, dengan kembali kepada keyakinan gereja mula-mula mereka mendirikan gereja Protestan, membuat pengakuan iman baru, dan mengembangkan theologi baru. Dalam kamus Webster, kata "reformed" berarti "berubah menjadi lebih baik."
Kata "Reformed" pada mulanya adalah sinonim untuk "Protestan", yang meliputi Lutheran, Zwinglian dan Calvinian. Secara bertahap istilah tersebut akhirnya hanya dipakai untuk gereja Calvinis di benua Eropa, sedangkan di Inggris gereja Calvinis disebut Presbyterian.

Sebagai nama gereja, istilah Reformed dan Presbyterian sering dipakai bergantian. Contohnya adalah nama 3 organisasi oikumene yang mencakup kedua gereja tersebut, yaitu "World Alliance of Reformed Churches (WARC) yang merupakan organisasi internasional tertua, "Reformed Ecumenical Council" (REC) yang secara organisasi lebih kecil, dan "National Association of Presbyterian and Reformed Churches" (NapaRC) yang berada di Amerika Serikat. Secara gamblang, "Reformed" merujuk kepada tipe doktrin, pengakuan iman atau aliran theologi, sedangkan "Presbyterian" merupakan bentuk pemerintahan gereja. Hal ini terlihat dalam nama lengkap WARC waktu dibentuk, yaitu "Alliance of the Reformed Churches throughout the world holding the Presbyterian system" (Perserikatan Gereja-gereja Reformed di seluruh dunia yang berpegang pada sistem Presbyterian). Bab ini bertujuan menggambarkan bagaimana theolog Reformed dalam tradisi Reformed dan Presbyterian bertheologi.

Biasanya theolog tidak menjelaskan bagaimana cara mereka bertheologi; pokoknya mereka bertheologi. Apa dan bagaimana cara melakukan sesuatu pekerjaan sering sulit dijelaskan, terutama jika pekerjaan itu sesuatu yang sangat lumrah. Saya sering merasa senang dengan pertanyaan yang diajukan anak tetangga saya jika saya sedang memotong rumput, mencuci mobil atau mencat rumah. "Apa yang sedang anda kerjakan, Pak Klooster?" Biasanya saya memberi jawaban yang konyol sehingga ia berkata "Tidak, bukan itu yang sedang anda kerjakan." Cara demikian tentu tidak tepat di sini. Saya harus berusaha menjawab pertanyaan yang biasanya diabaikan atau tidak diperhatikan theolog Reformed. Saya terpaksa berusaha menggambarkan apa yang saya pikir mereka kerjakan. Akibatnya saya harus menggambarkan bagaimana saya, sebagai seorang theolog Reformed, bertheologi dan bagaimana seharusnya bertheologi. Walaupun tidak semua theolog Reformed akan setuju, saya berharap gambaran saya ini valid secara umum.

Theologi Reformed merupakan satu spesies dalam genus theologi, maka theologi Reformed tentu memiliki karakteristik dasar yang sama dengan tipe theologi lainnya. Saya akan memfokuskan pada yang biasa disebut theologi sistematik atau theologi dogmatik atau theologi saja. Tetapi pembahasan saya akan melibatkan juga cabang-cabang theologi lainnya. Bab ini terutama akan membahas kata "Reformed? Bagaimana theolog Reformed melakukan pekerjaan mereka? Apa yang penting dari beragam hasil aktivitas bertheologi? Pertanyaan-pertanyaan sulit ini yang akan kita bahas.

Bekerja dalam bidang sains memerlukan kesabaran karena melibatkan proses yang lambat dan sangat teliti. Begitu juga bertheologi. Membahas cara bertheologi juga dapat membosankan. Tetapi menyadari apa yang kita lakukan itu berguna, dan jika kita melakukan pekerjaan dengan sadar maka kita akan semakin menyadari pekerjaan kita ketika sedang mengerjakannya. Contohnya, kita harus dapat membuktikan rasa dari puding jika kita memakannya.

Pembahasan saya mengenai cara theolog Reformed bertheologi pada masa kini meliputi 7 langkah berikut:

  1. melakukan survey pustaka dan sejarah bertheologi sistematik;
  2. membedakan tipe tipe-tipe utama theologi dan mencatat karakteristik utamanya;
  3. menyadari dua pilihan utama ketika mulai bertheologi dalam bidang Reformed;
  4. mengamati natur aktivitas sains agar bisa memahami natur theologi sebagai sains;
  5. mengenali wilayah investigasi theologi dan norma-normanya;
  6. mengakui Alkitab sebagai norma tertinggi, berusaha untuk mengerti seluruh Alkitab dalam terang sejarah Alkitab, theologi Alkitabiah, eksegese yang cermat dan perhatian terhadap masalah hermeneutika; akhirnya,
  7. menarik implikasi theologi Reformed untuk iman dan kehidupan baik pribadi maupun kelompok.

MELAKUKAN SURVEY SEJARAH THEOLOGI

Theolog Reformed menyadari bahwa mereka membangun theologinya di atas dasar yang sudah diletakkan oleh generasi sebelumnya. Tidak seorangpun dapat membangun theologi tanpa dasar. Seorang theolog harus memahami sejarah masa lalu dan situasi masa kini. Theologi melakukan pekerjaannya dalam persekutuan dengan theolog dari segala abad, termasuk mereka yang tidak sealiran, dan dengan demikian harus mengetahui theolog-theolog besar dalam sejarah dam membaca tulisan-tulisan mereka. Masalah utama apa yang dihadapi oleh theolog besar ini? Terhadap hal-hal apa mereka bereaksi dan apa yang mereka berusaha capai? Sumbangsih apa yang mereka berikan dan mengapa mereka penting bagi theologi Reformed masa kini? Apa yang dapat dipelajari dari mereka, baik hal-hal positif maupun negatif? Menjawab semua pertanyaan tersebut dengan melakukan survey awal terhadap sejarah theologi merupakan langkah yang baik untuk mulai bertheologi. Pada umumnya membaca sebuah buku tipis cukup sebagai orientasi.

Pembagian periode dalam sejarah selalu agak sembarang. Dari perspektif theologi sistematis, sejarah dibagi menjadi enam periode sbb: periode kuno atau patristik (tahun 90-800), Abad Pertengahan (800-1500), era Reformasi (1500-1650), periode Pencerahan (1650-1800), periode setelah Pencerahan, (1800-1920), periode antara dua Perang Dunia (1920-1939), dan periode kontemporer (1939-sekarang). Kejadian-kejadian dalam semua periode ini penting diketahui secara detail untuk bertheologi Reformed secara bertanggung jawab. Seluruh periode Reformasi pasti menarik perhatian theolog Protestan. Pengetahuan tentang Abad Pertengahan sangat membantu untuk memahami perkembangan Katholik Roma pada periode tersebut--- perkembangan ini pada umumnya ditolak oleh kaum Reformasi.

Sejarah theologi gereja permulaan juga penting. Pada abad ke 2 gereja berjuang keras melawan aliran Gnostik yang liberal. Berlawanan dengan pendapat umum, theologi tidak dimulai dari menara gading akademis, tetapi justru bangkit dalam konteks misi gereja yang membawa Injil Keselamatan Yesus Kristus kepada dunia kafir. Dalam melakukan misi ini, beberapa pertanyaan theologi terpenting harus dihadapi --- pertanyaan mengenai Tritunggal, kemanusiaan Yesus Kristus, dosa manusia, dan anugerah Allah. Keputusan 6 konsili Oikumene yang pertama (tahun 325-680) memberikan perspektif dan formulasi yang menjadi dasar theologi Reformed dan harus diperhatikan oleh semua tipe theologi.

Survey singkat terhadap seluruh sejarah theologi dan literarturnya mungkin membingung- kan seorang pemula, namun tetap harus dilakukan agar lambat laun merasa nyaman dalam arena theologi. Seorang theolog pemula harus akrab dengan perpustakaan yang berisi tulisan-tulisan utama theolog penting dan harus memiliki perpustakaan sendiri yang berisi yang selektif dan terus berkembang. Peta yang baik, kamus theologi dan ensiklopedia harus tersedia jika sedang belajar theologi, terutama bagi pemula. Irenaeus dan Tertullian, Athanasius dan Agustine, Anselm dan Aquinas, dan banyak lagi segera menjadi nama-nama yang sering terdengar dalam percakapan antar theolog.

MEMBEDAKAN TIPE-TIPE THEOLOGI

Survey terhadap sejarah dan literatur theologi memperlihatkan beberapa tipe theologi. Kita terlibat dalam theologi Reformed dengan menyadari keberadaan theologi lain yang berkompetisi. Dalam periode patristik sudah ada theolog yang muncul tetapi belum tampak jelas tipenya. Kecenderungan Barat dan Timur mencapai puncakknya dalam masa Agustinus dan John dari Damaskus.

Tipe theologi utama yang pertama muncul dalam Katholik Roma pada Abad Pertengahan. Theologi ini terutama dibangun di atas Summa Thomas Aquinas dan merefleksikan pendekatan "both-and". Keristenan dikombinasikan oleh Aristoteles sehingga menghasilkan dualisme antara natural dan supra-natural, rasio dan iman, theologi natural dan supra-natural. Alkitab dan tradisi sama-sama diakui otoritasnya dalam dualisme "both-and" ini. Iman dan usaha sama-sama menghasilkan keselamatan, dan banyak kombinasi serupa lainnya. Tantangan kaum Reformasi menyebabkan Roma meneguhkan posisinya dalam persetujuan Trent (1545-1563) dan memperjelas dan mengembangkan beberapa dogmanya dalam Konsili Vatican I (1869-1870). Walaupun ada semangat baru dalam Konsili Vatican II (1962-1965), pendekatan dualisme ini tetap merupakan pegangan resmi gereja Katolik Roma.

Slogan Reformasi menggambarkan kontras mendasar antara dualisme Katholik Roma dengan sola (hanya) theologi Protestan. Sola scriptura menekankan otoritas tunggal. Alkitab yang berlawanan dengan dualisme Alkitab dan tradisi. Ketaatan pada berita Alkitab membawa kepada sola fide dan sola gratia karena keselamatan hanya dari Kristus, hanya oleh anugerah melalui iman, bukan oleh iman dan usaha. Lutheran, Zwinglian dan Calvinian sepakat dalam hal-hal dasar, tetapi berbeda dalam sakramen dan aspek-aspek Kristologi. Munculnya aliran Zwinglian dan Calvinian dalam Persetujuan Zurich pada tahun 1549 menimbulkan 2 cabang theologi utama Protestan, yaitu Lutheran dan Calvinistic. Siapapun yang ingin bertheologi Reformed pada masa kini akan berada dalam tradisi Calvinistik namun tetap memperhatikan tipe aliran Lutheran dan Anabaptis.

Pada masa bangkitnya filsuf Imanuel Kant dan masa Pencerahan, sebuah tipe theologi baru berkembang, yaitu liberalisme atau modernisme yang muncul dari gereja Reformed (F. Schleiermacher) dan Lutheran (A. Ritschl) di Jerman. Aliran baru ini menolak ajaran pengakuan iman Protestan serta keputusan-keputusan doktrin patristik, dan menggambungkan ajaran bidat mengenai Tritunggal, Kristologi dan antropologi ke dalam struktur sistematisnya. Karena berpijak pada otonomi manusia, theolog liberal menolak otoritas Alkitab dan memfokuskan perhatian theologi pada pengalaman religi manusia dalam fenomena yang dapat dijelaskan secara rasional. Alkitab hanya dianggap sebagai catatan pengalaman-pengalaman religi suku Semit kuno. Pertanyaan mengenai hal yang baru dan salah dalam agama dan theologi digantikan dengan kategori- kategori evolusi. Gereja-gereja Protestan di seluruh dunia sangat terpengaruh oleh theologi baru yang radikal ini. Meskipun kaum Lutheran dan Calvinistik ortodoks masih ada dalam jumlah kecil di gereja-gereja besar, pemisahan gereja dianggap perlu terutama di Belanda dan Amerika Utara.

Karena dorongan Karl Barth sebuah theologi baru, yaitu Neo-ortodoks, muncul dari keruntuhan liberalisme dalam masa Perang Dunia I. Neo-ortodoks, yang mengetahui bahwa doktrin liberalisme Pelagian hancur karena perang, mengklaim kembali kepada Alkitab, kaum Reformasi dan theolog Patristik. Kalangan theolog di Amerika masih memperdebatkan apakah Neo-ortodoks sebenarnya merupakan langkah kembali kepada prinsip Reformed. Saya sendiri yakin bahwa Neo- ortodoks adalah sebuah theologi baru karena Neo-ortodoks menganggap bahwa Alkitab hanya sebagai saksi wahyu dan bukan wahyu itu sendiri dan karena Neo-ortodoks memiliki posisi doktrinal baru. Reaksi aliran ini terhadap liberalisme, dikontraskan dengan theologi Reformed klasik, bersifat docetik secara historis. Pewahyuan tidak berakar pada kejadian- kejadian nyata dan historis tetapi melibatkan kejadian misterius dan transeden pada masa kini dalam konteks kotbah. Neo-ortodoks adalah tipe theologi yang sangat kompleks dan merefleksikan pengaruh filsafat eksistansialisme.

Situasi periode kontemporer juga kompleks dan beragam. Theologi kuno sering dimodifikasikan dan dikombinasikan dengan yang lebih baru. Hal ini terutama nyata dalam perkembangan Katolik Roma. Theologi yang mengikuti mode seperti theologi "kematian Allah" digemari pada tahun 1960-an. Variasi Neo-liberalisme juga sedang bangkit. Tetapi W. Pannenberg dan J. Moltmann bereaksi terhadap theolog Barth dan Bultman dengan mengembangkan theologi yang lebih berakar pada sejarah. Theologi proses memiliki beberapa pengikut di Amerika Utara. Beberapa variasi theologi liberal, termasuk theologi kulit hitam dan theologi feminin, telah menjadi fenomena yang mendunia sejak tahun 1970an. Theolog pemula harus waspada terhadap semua variasi theologi dalam periode kontemporer ini, tetapi sebelumnya harus lebih dahulu berusaha memahami 4 theologi utama, yaitu Katholik Roma, Protestan (Reformed dan Lutheran), Liberal dan Neo-Ortodoks.

MENYADARI PILIHAN AWAL

Setelah menyelesaikan 2 tahap survey sejarah mungkin kita ingin segera mulai bertheologi. Tetapi pertanyaan pernting segera muncul: Bagaimana cara memulainya? Ada 2 cara yang berbeda dalam theologi Reformed. Seorang theolog pemula harus mengambil keputusan penting mengenai posisinya secara rasional atau haruskah presuposisi ini diterima hanya dengan iman?

Nama kedua posisi tersebut merefleksikan tempat asal mereka. Posisi Princeton Kuno dikembangkan dalam gereja Presbyterian yang berakar di Inggris dan diwakili oleh B.B. Warfield (1851-1921). Posisi Amterdam Kuno dikembangkan di Eropa, terutama di Belanda, dan diwakili oleh A. Kuyper (1837-1920). Kedua posisi Reformed ini dikembangkan dalam masa dominasi liberalisme dan ketika sains modern telah muncul. C. Hodge adalah penerus Schleiermacher, sedangkan Warfield dan Kuyper adalah penerus Ritschl dan khususnya Harnack, Hermann dan Troeltsch. Baik Kuyper maupun Warfield berakar pada Calvin, tetapi mereka menginterprestasikan bagian-bagian tertentu secara berbeda. Perdebatan mengenai kedua cara ini, terutama dalam kaitannya apolotegika, sering cukup sengit dalam kalangan Injili.

Pendekatan Princeton Kuno (Old Princeton) sangat dipengaruhi oleh filsafat Scottish Common Sense dan tradisi empiris. Warfield berpendapat bahwa sains mereduksi bagian pengetahu- an kita menjadi orde dan harmoni dan selalu mempresuposisikan 3 hal dasar. Sains theologi mempresuposisikan eksistensi Allah, natur religi manusia yang mampu mengetahui adanya Allah, dan wahyu yang menyatakan Allah ada. Sains yang bertanggung jawab adalah disiplin ilmu yang secara rasional membangun presuposisi ini, dan karena itu apologetika adalah titik awalnya. Presuposisi ini harus dibangun di atas dasar argumen rasional dan tanpa mengarah pada Alkitab atau iman. Dengan cara ini apologetika meletakkan fakta mengenai Allah, agama (Kekristenan) dan wahyu (Alkitab) di dalam tangan kita. Setelah presuposisi ini dibangun secara rasional oleh apoligetika, barulah kita dapat bertheologi dalam 4 cabang aliran utama.

A. Kuyper yang mewakili posisi Amsterdam Kuno menggunakan ketiga presuposisi dasar tersebut dalam aktivitas theologinya. Tetapi ia berpendapat bahwa presuposisi ini diberi oleh Alkitab dan seharusnya diterima dengan iman. usaha membangun presuposisi secara rasional bukan hanya mustahil, tetapi juga berlawanan dengan perspektif iman Reformed. Tidak seorangpun dapat menempatkan diri lebih tinggi dari Allah atau lebih tinggi dari Alkitab atau di luar iman. Kejatuhan Adam mempengaruhi rasio manusia. Akibatnya manusia mustahil dapat membangun presuposisi secara rasional. Posisi seorang Kristen jelas dan berlimpah, tetapi pikiran manusia yang sudah dicemari dosa tidak mampu berespons secara tepat tanpa iman kepada Alkitab. Manusia perlu `kaca-mata' Alkitab agar dapat menerima wahyu umum secara tepat. Menurut Kuyper, apologetika merupakan subdivisi theologi sistematis yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap serangan-serangan filsafat non-Kristen, bidat dan agama-agama lain. Tetapi apologetika harus bekerja sama dengan presuposisi-iman yang diperlukan untuk semua sains theologi. Kuyper tidak bekerja mulai dari posisi filfafat yang didefinisikan dengan jelas, tetapi filsafat yang sejalan dengan Kuyper dikembangkan kemudian oleh filsuf Belanda, H. Dooyeweerd dan DH Vollenhoven; C. Van til juga kemudian mengikuti jejak Kuyper dalam pengembangan apologetika yang berbeda dengan pendekatan Warfield dan Princeton Kuno.

Keputusan yang diambil antara 2 pilihan utama theologia Reformed ini tentu di- pengaruhi oleh latar belakang gereja dan pendidikan seseorang. Keputusan ini cukup mendasar karena melibatkan bagian-bagian Alkitab seperti Mazmur 19, Roma 1:18 dst, Kisah 14 dan 17, 1Korintus 2, dan Ibrani 11. Hal-hal dasar seperti wahyu umum, pengaruh dosa dan kemungkinan theologi natural menjadi bahan perdebatan, bahkan mungkin lebih lagi. Warfield berpendapat bahwa seluruh Kekristenan dibangun oleh ketiga presuposisi tsb. Keberatannya atas "rasionalisme vulgar" bukan pada rasionalismenya tetapi karena aliran itu berusaha membangun sampah Kekristenan melalui perdebatan jangka panjang.

Pemahaman saya mengenai hal-hal dan tulisan-tulisan tersebut di atas membuat saya memegang posisi Amsterdam Kuno pada saat mulai bertheologi. Seorang theolog pemula tidak boleh mengambil keputusan, agar kita dapat memahami tulisan-tulisan theologi. Pilihan pribadi memang tidak terelakkan dan sebaiknya dilakukan sedini mungkin dan secara bertanggung jawab. (hs).

(bersambung ke edisi berikutnya)

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Momentum
Judul Artikel : -
Penulis : -
Penerjemah : -
Penerbit : Lembaga Reformed Injili Indonesia
Halaman : 44-50

Lagu Natal dari Desa di Gunung

Editorial: 

Dear e-Reformed netters,

Kita sudah memasuki bulan Desember dan Natal sudah di ambang pintu. Oleh karena itu, pada penerbitan ke 02, Publikasi e-Reformed akan menampilkan artikel tentang Riwayat lagu Natal MALAM KUDUS, lagu Natal yang paling terkenal di seluruh dunia itu. Silakan menikmati, dan selamat menyambut Natal 1999.

Redaksi Publikasi

Edisi: 
002/XII/1999
Isi: 

Natal

Kita tentu akan merasa sesuatu yang kurang kalau ada perayaan Natal tanpa menyanyikan "Malam Kudus," bukan?

Terjemahan-terjemahan lagu Natal kesayangan itu sedikit berbeda satu dari yang lainnya, tetapi semuanya hampir serupa. Hal itu berlaku juga dalam bahasa-bahasa asing. Lagu itu begitu sederhana, sehingga tidak perlu ada banyak selisih pendapat atau perbedaan kata dalam menerjemahkannya.

"Malam Kudus" sungguh merupakan lagu pilihan, karena dinyanyikan dan dikasihi di seluruh dunia. Bahkan, musikus ternama rela memasukkannya pada acara konser dan piringan hitam mereka. Anehnya, nyanyian yang terkenal di seluruh dunia itu sesungguhnya berasal dari sebuah desa kecil di daerah pegunungan negeri Austria.

Inilah ceritanya ....

Orgel yang Rusak

Orgel di gereja desa Oberndorf sedang rusak. Tikus-tikus sudah mengunyah banyak bagian dalam dari orgel itu. Seorang tukang orgel telah dipanggil dari tempat lain. Akan tetapi, menjelang Hari Natal tahun 1818, orgel itu masih belum selesai diperbaiki. Sandiwara Natal terpaksa dipindahkan dari gedung gereja karena bagian-bagian orgel yang sedang dibetulkan itu masih berserakan di lantai ruang kebaktian. Tentu tidak ada seorang pun yang mau kehilangan kesempatan melihat sandiwara Natal. Pertunjukan itu akan dipentaskan oleh beberapa pemain kenamaan yang biasa mengadakan tur keliling. Drama Natal sudah menjadi tradisi di desa itu, sama seperti di desa-desa lainnya di negeri Austria. Untunglah, seorang pemilik kapal yang kaya raya mempunyai rumah besar di desa itu. Ia mengundang para anggota gereja untuk menyaksikan sandiwara Natal itu di rumahnya. Tentu saja Josef Mohr, pendeta pembantu dari gereja itu, diundang pula. Pada malam tanggal 23 Desember, ia turut menyaksikan pertunjukan di rumah orang kaya itu. Sesudah drama Natal itu selesai, Pendeta Mohr tidak terus pulang. Ia mendaki sebuah bukit kecil yang berdekatan. Dari puncaknya ia memandang jauh ke bawah, dan melihat desa di lembah yang disinari cahaya bintang yang gemerlapan.

Sungguh malam itu indah sekali ... malam yang kudus ... malam yang sunyi ....

Hadiah Natal yang Istimewa

Pendeta Mohr baru sampai ke rumah tengah malam. Akan tetapi, ia belum juga siap tidur. Ia menyalakan lilin, lalu mulai menulis sebuah syair tentang apa yang telah dilihatnya dan dirasakannya pada malam itu. Keesokan harinya, pendeta muda itu pergi ke rumah temannya. Franz Gruber, yang masih muda, adalah kepala sekolah di desa Arnsdorf, yang terletak 3 kilometer jauhnya dari Oberndorf. Ia pun merangkap pemimpin musik di gereja yang dilayani oleh Josef Mohr. Pendeta Mohr lalu memberikan sehelai kertas lipatan kepada kawannya. "Inilah hadiah Natal untukmu," katanya, "sebuah syair yang baru saja saya karang tadi malam." "Terima kasih, pendeta!" balas Franz Gruber. Setelah mereka berdua diam sejenak, pendeta muda itu bertanya: "Mungkin engkau dapat membuat lagunya, ya?" Franz Gruber senang atas saran itu. Segera ia mulai bekerja dengan syair hasil karya Josef Mohr. Pada sore harinya, tukang orgel itu sudah cukup membersihkan ruang kebaktian sehingga gedung gereja dapat dipakai lagi. Akan tetapi, orgel itu sendiri masih belum dapat digunakan. Penduduk desa berkumpul untuk merayakan malam Natal. Dengan keheranan mereka menerima pengumuman, bahwa termasuk pada acara malam itu ada sebuah lagu Natal yang baru. Franz Gruber sudah membuat aransemen khusus dari lagu ciptaannya -- untuk dua suara, diiringi oleh gitar dan koor. Mulailah dia memetik senar pada gitar yang tergantung di pundaknya dengan tali hijau. Lalu, ia membawakan suara bas, sedangkan Josef Mohr menyanyikan suara tenor. Paduan suara gereja bergabung dengan duet itu pada saat-saat yang telah ditentukan.

Dan, untuk pertama kalinya lagu "Malam Kudus" diperdengarkan.

Bagaimana Tersebar

Setelah satu abad lebih, "Malam Kudus" sesungguhnya menjadi milik bersama seluruh umat menusia.

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Tukang orgel turut hadir dalam kebaktian Malam Natal itu. Ia senang sekali mendengarkan lagu Natal yang baru. Mulailah dia bersenandung, mengingat not-not melodi itu dan mengulang-ulangi kata-katanya. "Malam Kudus" masih tetap bergema dalam ingatannya pada saat ia selesai memperbaiki orgel Oderndorf, lalu pulang. Sekarang masuklah beberapa tokoh baru dalam ceritanya, yaitu: Strasser bersaudara. Keempat gadis Strasser itu adalah anak-anak seorang pembuat sarung tangan. Mereka berbakat luar biasa di bidang musik. Sewaktu masih kecil, keempat gadis cilik itu suka menyanyi di pasar, sedangkan ayah mereka menjual sarung tangan buatannya. Banyak orang mulai memperhatikan mereka, dan bahkan memberi uang atas nyanyiannya. Demikian kecilnya permulaan karier keempat gadis Strasser itu, hanya sekadar menyanyi di pasar. Akan tetapi, mereka cepat menjadi tenar. Mereka sempat berkeliling ke banyak kota. Yang terutama mereka tonjolkan ialah lagu-lagu rakyat dari tanah air mereka, yakni dari daerah pegunungan negeri Austria. Tukang orgel tadi mampir ke rumah keempat Strasser bersaudara. Kepada mereka ia nyanyikan lagu Natal yang baru saja dipelajarinya dari kedua penciptanya di gereja desa itu. Salah seorang penyanyi wanita menuliskan kata-kata dan not-not yang mereka dengarkan dari tukang orgel teman mereka. Dengan berbuat demikian mereka pun dapat menghafalkannya. Keempat wanita itu senang menambahkan "Malam Kudus" pada acara mereka. Makin lama, makin banyak orang yang mendengarnya, sehingga lagu Natal itu mulai dibawa ke negeri-negeri lain pula. Pernah seorang pemimpin konser terkenal mengundang keempat kakak-beradik dari keluarga Strasser itu untuk menghadiri konsernya. Sebagai atraksi penutup acara yang tak diumumkan sebelumnya, ia pun memanggil keempat wanita itu untuk maju ke depan dan menyanyi. Antara lain, mereka menyanyikan "Malam Kudus," yang oleh mereka diberi judul "Lagu dari Surga." Raja dan ratu daerah Saksen menghadiri konser itu. Mereka mengundang rombongan penyanyi Strasser itu untuk datang ke istana pada Malam Natal. Tentu di sana pun mereka membawakan lagu "Malam Kudus."

Rahasia Asal Usulnya

Lagu Natal yang indah itu umumnya dikenal hanya sebagai "lagu rakyat"saja. Akan tetapi, sang raja ingin tahu siapakah pengarangnya. Pemimpin musik di istana, yaitu komponis besar Felix Mandelssohn juga tidak tahu tentang asal usul lagu natal itu. Sang raja mengirim seorang utusan khusus untuk menyelidiki rahasia itu. Utusannya hampir saja pulang dengan tangan kosong. Lalu secara kebetulan ia mendengarkan seekor burung piaraan yang sedang bersiul. Lagu siulannya tak lain ialah "Malam Kudus"! Setelah utusan raja tahu bahwa burung itu dulu dibawa oleh seseorang dalam perjalanannya dari daerah pegunungan Austria, maka pergilah dia ke sana serta menyelidiki lebih jauh. Mula-mula ia menyangka bahwa barangkali ia akan menemukan lagu itu dalam naskah-naskah karangan Johann Michael Haydn, seorang komponis bangsa Austria yang terkenal. Akan tetapi, sia-sia semua penelitiannya. Akan tetapi usaha utusan raja itu telah menimbulkan rasa ingin tahu pada penduduk setempat. Seorang pemimpin koor anak-anak merasa bahwa salah seorang muridnya mungkin, pernah melatih burung yang pandai mengkidungkan "Malam Kudus" itu. Maka, ia menyembunyikan diri sambil bersiul meniru suara burung tersebut. Segera muncullah seorang anak laki-laki, mencari burung piarannya yang sudah lama lolos. Ternyata anak itu bernama Felix Gruber. Dan, lagu yang sudah termasyur itu, yang dulu diajarkan kepada burung piaraannya, ditulis asli oleh ayahnya sendiri! Demikianlah seorang bocah dan seekor burung turut mengambil peranan dalam menyatakan kepada dunia luar, siapakah sebenarnya yang mengarang "Lagu Natal dari Desa di Gunung" itu.

Tanda Pengenal Orang Kristen

Setelah satu abad lebih, "Malam Kudus" sesungguhnya menjadi milik bersama seluruh umat menusia. Bahkan, lagu Natal itu pernah dipakai secara luar biasa, untuk menciptakan hubungan persahabatan antara orang-orang Kristen dari dua bangsa yang sangat berbeda bahasa dan latar belakangnya:

Pada waktu Natal tahun 1943, seluruh daerah Lautan Pasifik diliputi oleh Perang Dunia Kedua. Beberapa minggu setelah Hari Natal itu, sebuah pesawat terbang Amerika Serikat mengalami kerusakan yang hebat dalam peperangan, sehingga jatuh ke dalam samudera di dekat salah satu pulau Indonesia. Kelima orang awak kapal itu, yang luka-luka semua, terapung-apung pada pecahan-pecahan kapalnya yang sudah tenggelam. Lalu, nampak pada mereka beberapa perahu yang makin mendekat. Orang-orang yang asing bagi mereka mendayung dengan cepatnya dan menolong mereka masuk ke dalam perahu-perahu itu. Penerbang-penerbang bangsa Amerika itu ragu-ragu dan curiga, Apakah orang-orang ini masih di bawah kuasa Jepang, musuh mereka? Apakah orang-orang ini belum beradab, dan hanya menarik mereka dari laut untuk memperlakukan mereka secara kejam? Segala macam kekhawatiran terkilas pada pikiran mereka, karena mereka sama sekali tak dapat berbicara dalam bahasa para pendayung berkulit coklat itu. Sebaliknya, orang-orang tersebut sama sekali tak dapat berbicara dalam bahasa Inggris. Rupa-rupanya tiada jalan untuk mengetahui dengan pasti, apakah tentara angkatan udara itu telah jatuh ke dalam tangan kawan atau lawan. Akhirnya, sesudah semua perahu itu mendarat di pantai, salah seorang penduduk pulau itu mulai menyanyikan "Malam Kudus." Kata-kata dalam bahasa Indonesia itu masih asing bagi para penerbang yang capai dan curiga. Akan tetapi, lagunya segera mereka kenali. Dengan tersenyum tanda perasaan lega, turutlah mereka menyanyi dalam bahasa mereka sendiri. Insaflah mereka sekarang bahwa mereka sudah jatuh ke tangan orang-orang Kristen sesamanya, yang akan melindungi dan merawat mereka.

Lagu Duniawi Dan Surgawi

Bagaimana dengan sisa hidup kedua orang yang mula-mula menciptakan lagu "Malam Kudus"?

Josef Mohr hidup dari tahun 1792 sampai tahun 1848. Franz Gruber hidup dari tahun 1787 sampai tahun 1863. Kedua orang itu terus melayani Tuhan bertahun-tahun lamanya dengan berbagai-bagai cara. Namun, sejauh pengetahuan orang, mereka tidak pernah menulis apa-apa lagi yang luar biasa. Nama-nama mereka pasti sudah dilupakan oleh dunia sekarang ... kecuali satu kejadian, yaitu pada masa muda mereka pernah bekerja sama untuk menghasilkan sebuah lagu pilihan.

Lagu Natal dari desa

Gereja kecil di desa Oberndorf itu dilanda banjir pegunungan pada tahun 1899, sehingga hancur luluh. Sebuah gedung gereja yang baru sudah dibangun di sana. Di bagian dalamnya ada pahatan dari marmer dan perunggu sebagai peringatan lagu "Malam Kudus." Pahatan itu menggambarkan Pendeta Mohr, seakan-akan ia sedang bersandar di jendela, melihat keluar dari rumah Tuhan di surga. Tangannya ditaruh di telinga. Ia tersenyum sambil mendengar suara anak-anak di bumi yang sedang menyanyikan lagu Natal karangannya. Di belakangnya, berdiri Franz Gruber, yang juga tersenyum sambil memetik gitarnya. Sungguh tepat sekali kiasan dalam pahatan itu! Seolah-olah seisi dunia, juga seisi surga, turut menyanyikan "Lagu Natal dari Desa di Gunung."

Audio: Lagu Natal dari Desa di Gunung

Sumber: 

Buku "Riwayat Lagu Pilihan dari Nyanyian Pujian" (Jilid I),
oleh H.L. Cermat,
diterbitkan oleh Lembaga Literatur Baptis.

Reformasi

Editorial: 

Dear Pembaca ,

Berikut ini adalah artikel pertama yang kami kirimkan sejak kami berubah bentuk menjadi MILIS PUBLIKASI . Artikel yang berjudul "REFORMASI" ini kami sajikan dalam rangka memperingati Hari Reformasi Gereja. Selamat membaca dan Selamat Hari Reformasi!

TGBTG,
Owner dan Admin

Penulis: 
Johannes Geerhardus Vos
Edisi: 
001/X/1999
Isi: 
Reformasi

Reformasi

ECCLESIA REFORMATA REFORMANDA EST - Gereja yang telah mengalami reformasi tetap perlu direformasi. Hal ini merupakan konsekuensi dari fakta bahwa Alkitab adalah standar yang sempurna dan absolut, sedangkan gereja pada setiap titik dalam sejarahnya di dunia, masih tidak sempurna dan terlibat dalam kesalahan. Menurut Alkitab, reformasi gereja adalah suatu proses yang kontinyu dan berkesinambungan. Proses reformasi ini harus berlangsung terus sampai kesudahan dunia. Tidak ada satu titik pun di mana gereja boleh berhenti dan berkata, "Aku sudah sampai. Sampai di sini saja dan tidak dilanjutkan lagi!" Hanya gereja yang sudah menang di surga yang boleh berkata begitu.

... reformasi gereja adalah suatu proses yang kontinyu dan berkesinambungan.

Gereja

Dalam proses reformasi ini ada tahap-tahap historis tertentu dan tanda-tanda luar biasa yang menunjukkan kemajuan yang telah dicapai. Pengakuan Iman Westminster, sebagai contoh, menandai kemajuan yang benar dalam reformasi gereja sampai pada saat pengakuan itu diformulasikan. Kita tidak boleh menganggap bahwa proses ini telah lengkap dalam zaman kita, atau pada titik mana pun dalam sejarah gereja di dunia. Kita harus selalu melupakan perkara-perkara yang di belakang dan mengarahkan pandangan ke depan; kita harus selalu bergumul untuk menangkap hal-hal yang untuknya kita ditangkap dalam Kristus. Semua segi kehidupan gereja perlu direformasi sesuai Alkitab: doktrin, kebaktian, pemerintahan, disiplin, kegiatan misi, yayasan pendidikan, publikasi, dan kehidupan secara praktis. Reformasi selalu merupakan proses selangkah demi selangkah, dan memang perlu begitu. Kaum Zelot berusaha untuk mencapai segala sesuatu dalam satu lompatan, tetapi mereka hanya membenturkan kepala pada dinding batu. Allah bekerja melalui proses sejarah - proses yang bertahap, landai, berlangsung terus menerus dan kita harus menyesuaikan diri dengan cara Allah bekerja.

Semua segi kehidupan gereja perlu direformasi sesuai Alkitab:
doktrin, kebaktian, pemerintahan, disiplin, kegiatan misi, yayasan pendidikan, publikasi, dan kehidupan secara praktis.

Reformasi gereja yang sesuai dengan Alkitab membutuhkan suatu sikap periksa diri dan kritik diri pada pihak gereja. Yang diperlukan bukan hanya studi Alkitab secara mendalam, melebihi pencapaian-pencapaian masa lampau, tetapi dibutuhkan usaha periksa diri dan kritik diri pada gereja. Standar-standar gereja harus selalu tunduk pada pemeriksaan dan pemeriksaan ulang dalam terang Alkitab. Hal ini tersirat dalam pengakuan kita bahwa hanya Alkitab yang tidak dapat salah, maka segala sesuatu yang lain harus terus menerus diuji dan diuji-ulang oleh Alkitab. Bukan hanya standar-standar resmi dari gereja, tetapi kehidupannya, program-programnya, kegiatan-kegiatannya, harus tunduk pada kritik diri dan periksa diri berdasarkan Alkitab. Hal-hal ini harus selalu diuji dan diuji-ulang dalam terang firman Allah. Kritik diri pada pihak gereja seperti ini merupakan panggilan bagi kehidupan persekutuan, dan merupakan pasangan dari panggilan yang Allah berikan dalam Firman-Nya terhadap setiap individu untuk melakukan pemeriksaan diri.

... hanya Alkitab yang tidak dapat salah, maka segala sesuatu yang lain harus terus menerus diuji dan diuji-ulang oleh Alkitab.

Kritik diri pada pihak gereja seperti ini memang sulit. Perlu usaha, intelegensia, studi, pengorbanan, kerendahan hati dan penyangkalan diri yang sangat kuat, serta kejujuran absolut. Perlu kesetiaan pada Alkitab, ketaatan yang siap berjalan sejauh mana pun agar menjadi sesuai dengan firman Allah, suatu heroisme sejati dan kesetiaan absolut pada Alkitab. Kritik diri yang sedemikian itu pada pihak gereja dapat terasa memalukan dan bahkan sakit. Hal itu dapat berarti bahwa gereja, seperti orang Kristen dalam buku John BunyanPerjalanan Seorang Musafir, mendapati dirinya berada dalam jalan setapak di padang rumput, dan harus melangkah mundur dengan rendah hati dan dengan rasa sakit sampai kembali pada Jalan Besar milik Raja. Kritik diri yang sedemikian pada pihak gereja dapat berakibat hancurnya kepentingan-kepentingan khusus atau proyek-proyek khusus dari pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok tertentu dalam gereja. Tindakan itu dapat menyingkapkan adanya hal-hal tertentu dalam standar, kehidupan dan program gereja. Tindakan itu dapat menyingkapkan adanya hal-hal tertentu dalam standar, kehidupan dan program gereja, yang tidak sungguh-sungguh sesuai dengan firman Allah, karena itu perlu dipertimbangkan kembali dan diharmoniskan dengan firman Allah. Karena hal-hal yang di atas atau oleh sebab-sebab yang mirip dengan di atas tadi maka kritik diri pada gereja seringkali diabaikan, bahkan ditentang dengan keras. Mereka yang menyerukan diadakannya reformasi itu atau yang mengusahakannya, akan cenderung dianggap sebagai ekstrimis, fanatik, kaum antusias, pemimpi, pembuat onar dan sejenisnya. Akan tetapi, dengan kritik diri yang seperti itulah maka reformasi-reformasi pada masa lampau telah terjadi. Orang-orang seperti Luther, Knox, Melvile, Cameron, dan Renwick hanya gentar pada penghakiman Allah dalam Firman-Nya. Mereka tidak gentar pada penghakiman dan sikap bermusuhan dari manusia. Apabila gereja sungguh-sungguh telah berani untuk melihat dirinya sendiri dalam cermin firman Allah, dalam ketulusan mutlak, maka gereja itu sedang berada pada puncak kekuatannya, dan sedang memancarkan pengaruhnya dalam dunia ini. Gereja itu sedang melangkah maju dalam hidup baru dan kekuatan baru. Pada pihak lain, jika gereja merasa segan atau menolak untuk melihat dirinya sendiri dengan penuh perhatian dalam cermin firman Allah, maka gereja itu telah menjadi lemah, mandeg, dekaden, tidak efektif dan tidak memiliki pengaruh. Kritik diri yang dilakukan secara terus-menerus oleh suatu denominasi berdasarkan Alkitab merupakan suatu tugas yang tersirat dan diakui dalam pengajaran kita. Akan tetapi, apakah hal ini sungguh-sungguh dipegang dengan serius? Adakah semangat yang berkobar-kobar, seberapa jauh keprihatinan kita...; saya bahkan mengatakan, seberapa jauh toleransi untuk hal itu pada masa ini?

Jika gereja merasa segan atau menolak untuk melihat dirinya sendiri dengan penuh perhatian dalam cermin firman Allah, maka gereja itu telah menjadi lemah, mandeg, dekaden, tidak efektif dan tidak memiliki pengaruh.

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Pada setiap gereja selalu terdapat tendensi untuk menganggap bahwa kehidupan dan kegiatan-kegiatan yang ada pada saat ini sebagai yang normal dan benar. Maka hal-hal yang sebenarnya hanya merupakan kebiasaan saja, dalam kenyataan dapat memilki kekuatan dan pengaruh sebagai sesuatu yang prinsip; sedangkan hal-hal yang prinsip malah diperlakukan seolah-olah hanya sekedar kebiasaan atau konsensus manusia, yang mempunyai otoritas hanya sebatas penggunaannya atau persetujuan orang banyak. Pengesahan dari kegunaan saat ini dianggap sebagai cukup untuk menetapkan sesuatu. Sebaliknya, tidak adanya penggunaan pada saat ini dianggap cukup untuk membuktikan bahwa sesuatu itu salah atau tidak tepat.

Stagnasi seperti ini, sikap yang menganggap status quo sebagai yang normal, berarti menutup pintu rapat-rapat terhadap kemajuan yang benar dalam reformasi gereja. Karena status quo selalu merupakan dosa. Selalu kurang dari tuntutan firman Allah. Selalu merupakan sesuatu yang kurang dari apa yang Allah sungguh-sungguh inginkan dari gereja. Karena status quo itu dosa, maka mungkin hal ini tidak diterima dengan kepuasan yang penuh, bahkan jauh dari penerimaan sebagai ideal dari gereja itu. Mengabsolutkan status quo adalah suatu dosa. status quo selalu perlu dipertobatkan. memandang status quo dengan rasa puas diri merupakan dosa terbesar dari gereja pada zaman kita ini - suatu dosa yang pasti mendukakan Roh Kudus, dan suatu dosa yang pasti menghalangi gereja dalam membuat kemajuan yang benar dan baik, dalam reformasi sesuai dengan Alkitab. Suatu gereja yang dikuasai oleh pandangan seperti itu tidak dapat sungguh-sungguh bergerak maju ke depan. Bahkan mungkin tergelincir mundur dalam ketidaksetiaan dan kemurtadan. Paling tidak gereja itu hanya bergerak dalam lingkaran yang tetap, selalu kembali lagi ke tempat semula.

Gereja-gereja di Amerika pada umumnya telah bergerak dalam suatu lingkaran yang tetap melalui sejarahnya pada masa lampau. Kita dapat juga mengatakan, mereka telah bergerak dalam lingkaran setan. Polanya adalah adanya kemerosotan diikuti oleh kebangunan rohani diikuti oleh kemerosotan dan seterusnya. Kemajuan yang sejati tidak dilakukan. Tampaknya, yang terbaik yang dapat dilakukan adalah, berhasil keluar dari satu sumur kemudian sumur berikutnya demikian seterusnya. Tidak ada hal yang lebih umum dalam gereja dari pada stagnasi yang seperti ini. Tidak ada hal yang lebih sulit daripada pemeriksaan yang sungguh-sungguh terhadap wajah gereja, struktur atau kegiatannya, dan direformasi dalam terang firman Allah.

Kemajuan yang benar berarti berdiri di atas landasan-landasan yang telah diletakkan pada masa yang lampau. Akan tetapi, kemajuan yang benar itu tidak berarti terikat dan dikendalikan oleh tangan mati dari kesalahan-kesalahan dan cacat-catat masa lampau. Hanya ada satu kendali yang benar bagi kemajuan yang sejati, dan itu adalah kendali dari Alkitab sendiri. Reformasi yang benar dari gereja adalah reformasi di atas dasar Alkitab, reformasi di dalam batas-batas Alkitab, bukan reformasi di luar batas Alkitab.

Apakah pejabat-pejabat resmi gereja, publikasi-publikasinya, yayasan-yayasannya, sungguh-sungguh merefleksikan pandangan yang ada di gereja itu? Ataukah mereka harus mengambil posisinya pada standar resmi dari gereja dan mempertahankan garis itu dalam berkonfrontasi dengan orang banyak? Ataukah mereka berani menjadi pioner dalam melakukan kritik diri dari denominasi itu berdasarkan Kitab Suci? Apakah mereka merintis jalan baru, maju ke depan masuk ke dalam daerah baru dalam terang firman Allah?

Itu tadi merupakan pertanyaan-pertanyaan yang sulit dan serius. Tendensinya adalah mengambil jalan pintas dan mengabaikannya. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu jarang dihadapi. Kita lebih cenderung untuk menganggap bahwa status quo itu sebagai normal. Atau jika bukan status quo sekarang, maka pencapaian-pencapaian pada masa lampau dianggap sebagai normal. Jika kita dapat kembali kepada cara-cara melakukan segala sesuatu seperti "hari-hari baik pada masa lampau" dan mempertahankan standar itu, maka segala sesuatu akan lancar dan beres, demikian katanya. Akan tetapi, apakah benar akan terjadi seperti itu? Sudah di manakah kita sekarang? Sekarang ini tahun 1991. Apakah bisa dimaafkan kalau kita gagal untuk maju ke depan melampaui pendahulu-pendahulu kita dalam pemahaman Firman? Bagaimanakah kita bisa mengatakan bahwa reformasi gereja telah komplit dalam tahun 1560, dalam tahun 1638, atau bahkan dalam tahun 1950? Apa saja yang kita lakukan sejak itu? Apakah talenta kita sudah dikuburkan dalam kantong uang? Tidaklah sulit untuk mengakui adanya keburukan- keburukan dalam gereja yang membutuhkan koreksi. Akan tetapi, tendensinya adalah untuk berpendapat bahwa kita dapat kembali pada dasar yang baik dari satu atau dua generasi yang lampau, maka segala sesuatu akan menjadi seperti yang seharusnya. Apa lagi yang dapat diharapkan? Kita hanya dapat mempertahankan garis itu untuk waktu-waktu yang akan datang. Akan tetapi, itu berarti kita tidak melaksanakan tugas yang Allah berikan. Pendahulu-pendahulu kita melakukan reformasi gereja pada zamannya, Allah memanggil kita untuk melakukan reformasi pada zaman kita ini. Kita tidak boleh puas dengan kemenangan yang diperoleh itu, kita sendiri harus menghantam, dengan iman, berdasarkan pada firman Allah. Kita hidup dalam jaman pragmatis, suatu zaman yang tidak sabar pada kebenaran, dan umumnya hanya memperhatikan hasil praktis. Zaman kita menginginkan hasil dan dengan senang hati mau mempercayai bahwa buah ara dihasilkan oleh semak duri, jika mereka kira mereka melihat buah-buah ara itu (pohon ara merupakan pohon besar yang tidak berduri - Red.). Reformasi yang benar mencari kemuliaan Allah dan kebenaran-Nya lebih dari segala pertimbangan yang lain.

Allah memanggil kita untuk melakukan reformasi pada jaman kita ini

Saya mendengar adanya keberatan, ketika seseorang berusaha membawa beberapa hal dari gereja ke bawah pemeriksaan Alkitab, yaitu bahwa waktunya tidak tepat. "Mungkin engkau benar", demikian dikatakan oleh yang keberatan, "tetapi apakah sekarang ini merupakan waktu yang tepat untuk memunculkan permasalahan seperti itu?" Kita harus menyadari bahwa bagi kebenaran, waktu selalu tepat, kebenaran selalu tepat, kebenaran selalu pantas layak serta patut, dan jika menunggu waktu yang tepat untuk memunculkan kebenaran, maka waktu yang tepat itu mungkin tidak akan pernah datang. Waktu yang lebih baik itu mungkin tidak pernah datang. Selalu saja ada alasan-alasan yang bisa dikemukakan untuk tidak melaksanakan reformasi gereja sesuai dengan firman Allah.

Kita harus menyadari bahwa bagi kebenaran, waktu selalu tepat, kebenaran selalu tepat, kebenaran selalu pantas layak serta patut, dan jika menunggu waktu yang tepat untuk memuncul- kan kebenaran, maka waktu yang tepat itu mungkin tidak akan pernah datang.

Terang

Allah adalah Allah kebenaran. Dia adalah Terang, dan di dalam Dia sama sekali tidak ada kegelapan. Kristus adalah Raja dari Kerajaan kebenaran. Bagi tujuan inilah Dia dilahirkan, yaitu agar Dia dapat memberi kesaksian tentang kebenaran. Mereka yang berasal dari kebenaran mendengarkan suara-Nya. Sikap yang siap untuk menerima status quo sebagai kenormalan, merupakan salah satu penghalang besar pada jalan reformasi sejati dan kemajuan dalam gereja sekarang. Sikap ini merupakan dosa karena buta terhadap dosa yang sebenarnya dari status quo. Sikap ini gagal untuk menyadari bahwa status quo selalu perlu untuk ditobatkan, selalu perlu untuk diampuni dalam anugerah ilahi, dan selalu perlu untuk direformasi oleh gereja di atas bumi. Sikap ini gagal untuk menyadari kebenaran dari pernyataan Agustinus, yaitu bahwa setiap kebaikan yang kurang dari kebaikan tertinggi selalu mengandung unsur dosa; menerima status quo adalah dosa.

Pada dasarnya, penerimaan dengan sikap puas atas status quo sebagai sesuatu yang normal merupakan akibat dari suatu konsep yang salah tentang Allah, suatu konsep yang gagal untuk memperhitungkan kekudusan-Nya dan kemurnian-Nya; dan juga dari konsep yang salah tentang Alkitab, suatu konsep yang gagal untuk menyadari sifat absolut dari Alkitab sebagai standar gereja. Meletakkan kebenaran dan kehormatan Allah pada tempat yang tertinggi, di atas semua pertimbangan yang lain, apapun itu, memerlukan pengabdian moral yang besar. Hal ini benar bagi gereja seperti juga bagi individu, dan barangsiapa yang kehilangan nyawanya bagi Kristus akan mendapatkannya.

Audio: Reformasi

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Momentum
Judul Artikel : -
Penulis : Johannes Geerhardus Vos
Penerjemah : -
Penerbit : Lembaga Reformed Injili Indonesia
Halaman : -

Komentar


Syndicate content