Bagaimana Reformasi Menemukan Kembali Kebahagiaan

Penulis_artikel: 
Tim Chester
Tanggal_artikel: 
22 November 2018
Isi_artikel: 

Bayangkan menghadapi hari penghakiman setiap minggu.

Di dekat tempat saya tumbuh besar, di desa Oxfordshire di South Leigh, ada gereja St. James the Great. Di atas lengkungan mimbarnya terdapat lukisan dinding abad pertengahan yang menggambarkan penghakiman terakhir.

Di sebelah kirinya, orang-orang benar bangkit dari kubur mereka disambut masuk ke surga. Di sebelah kanannya, orang-orang terkutuk diikat bersama diseret ke celah mulut naga merah yang besar. Inilah yang dilihat oleh orang-orang yang datang ke gereja di South Leigh setiap hari Minggu. Dan, mereka tidak akan menjadi lega, bahkan jika mereka membelakanginya. Karena di dinding sebelah selatan lorongnya, ada lukisan dinding lain yang menggambarkan St. Michael menimbang jiwa-jiwa dalam sebuah neraca. Ada lebih banyak iblis yang melayang-layang, siap untuk membawa mereka yang didapati kurang.

Surga adalah sebuah kemungkinan bagi orang-orang yang datang ke gereja di South Leigh – tetapi demikian juga neraka. Dan, gereja tidak memberikan jaminan keselamatan. Mungkin Anda cukup benar di hadapan Allah dengan tambahan yang diberikan melalui sakramen. Mungkin tidak. Tidak ada yang mengetahuinya dengan pasti. Sesungguhnya, mengklaim jaminan apa pun merupakan tindakan kesombongan. Bagaimana mungkin seseorang menganggap dirinya sendiri cukup baik di hadapan Allah yang suci? Hal terbaik yang dapat Anda harapkan adalah siksaan api penyucian untuk membawa Anda masuk ke Surga.

Biarawan yang cermat dan tidak bahagia

Seperti apa rasanya tinggal di dalam lingkungan ini? Sebagian besar orang berharap yang terbaik dan menjalani hidup. Akan tetapi, ada satu orang yang tidak mau menjauhi jalan pemikiran gereja abad pertengahan.

Pada tahun 1505, ketika Luther masih menjadi mahasiswa, dia sedang berjalan kembali ke universitasnya setelah mengunjungi orang tuanya saat kilat hebat hampir menyambar dirinya. Pengalaman nyaris mati ini mengubah hidupnya. Sepuluh hari kemudian, dia mendaftarkan diri menjadi biarawan ke ordo Agustinian.

Luther pun segera mendapat reputasi karena semangatnya untuk mengejar panggilannya yang baru. Karena percaya bahwa dia hanya bisa menerima pengampunan dosa setelah mengakuinya kepada seorang imam, maka dia menjadi terobsesi melakukan kunjungan pengakuan dosa. Itu membuat kepala biaranya sangat marah. Sampai suatu saat, kepala biaranya berkata, “Begini Saudara Martin, jika kamu sangat ingin mengakui dosa, mengapa kamu tidak pergi melakukan sesuatu yang besar untuk diakui? Bunuhlah ayah dan ibumu! Berzinahlah! Berhentilah datang kemari dengan dosa-dosa yang tidak berarti dan palsu seperti itu!"

Akan tetapi, semua usaha Luther yang begitu giat tidak mendatangkan sukacita dalam dirinya.

Menemukan Kabar Baik, Sukacita Besar

Pada tahun 1512, pada usia 26 tahun, Luther dikirim untuk mengajar studi Alkitab di Universitas baru di Wittenberg. Mempelajari tulisan-tulisan Agustinus dan mengajar Mazmur, Roma, dan Galatia itulah yang pada akhirnya mendatangkan sukacita di hati Luther. Luther menemukan sebuah kebenaran yang membuka kunci sukacita yang akan bermanfaat untuk generasi-generasi yang akan datang.

Dalam Bahasa Jerman, sama seperti dalam Bahasa Ibrani, Yunani, dan Latin, keadilan dan kebenaran adalah kata yang sama, bagi Luther, “keadilan Allah” berarti satu hal: standar yang dengannya Allah mendapati kita bersalah. “Saya membenci kata ‘keadilan Allah,’ yang, dengan penggunaan dan kebiasaan dari semua guru saya, saya diajarkan untuk memahami secara filosofis bahwa … keadilan yang dengan itu adalah Allah adil dan dengan itu Dia menghukum orang-orang berdosa dan orang-orang yang tidak adil.” Pernyataan Paulus dalam Roma 1:17 bahwa keadilan atau kebenaran Allah adalah “Injil” atau “kabar baik” hanya mengejek Luther. “Saya tidak mengasihi – tidak, melainkan saya membenci – Allah yang adil yang menghukum orang-orang yang berdosa.”

Akan tetapi, kemudian Luther menyadari bahwa Paulus sedang menjelaskan kebenaran sebagai karunia yang diberikan oleh Allah, yang kita terima melalui iman. Berbicara tentang Roma 1:17, Luther berkata, “Saya mulai mengerti bahwa dalam ayat ini keadilan Allah adalah yang dengan itu orang yang dibenarkan hidup oleh karunia Allah, yaitu, oleh iman.” Allah memiutangi kita dengan kebenaran Kristus yang sempurna saat Kristus menanggung hukuman yang patut diterima karena ketidakbenaran kita. “Tiba-tiba,” lanjutnya, “Saya merasa bahwa saya dilahirkan kembali dan memasuki surga itu sendiri melalui pintu gerbang yang terbuka.” Tidak lama kemudian dia menulis, “Saya meninggikan kata termanis saya, ‘keadilan Allah’ dengan kasih yang sama besar seperti sebelumnya saya begitu membencinya. Frasa Paulus ini bagi saya adalah pintu gerbang surga.”

Ini adalah sebuah pesan yang bisa membawa kepastian. Mengapa? Karena ini adalah sebuah keyakinan yang tidak didasarkan atas kebaikan kita, tetapi pada perbuatan Kristus. Kebenaran Kristus, dipiutangkan kepada kita melalui iman menjanjikan surga bagi anak-anak Allah – tidak memerlukan api penyucian atau takut akan neraka. Injil mengubah rasa takut Luther menjadi iman, dari putus asa menjadi sukacita.

Injil Menjadikan Bahagia

Salah satu orang penting yang berperan dalam memperkenalkan penemuan kembali sukacita Luther ke dalam Bahasa Inggris adalah William Tyndale. Pada tahun 1526, Tyndale menerbitkan Perjanjian Baru dalam Bahasa Inggris. Itu adalah upaya keduanya dalam melakukannya.

Yang pertama, dia terpaksa melarikan diri ketika pihak berwenang menggerebek percetakan tempat itu diterbitkan. Dia tinggal di pembuangan dan akhirnya mati sebagai martir karena gairahnya untuk membuat sebuah Alkitab Bahasa Inggris tersedia bagi semua orang di negara itu. Dia menyelipkan sebuah kata pengantar di edisi pertama itu yang kemudian dia kembangkan menjadi A Pathway into the Holy Scripture. Di dalamnya, dengan indah dia menjelaskan kuasa Injil yang mendatangkan sukacita.

"Evangelion (yang kita sebut “Injil”) adalah kata Yunani; dan berarti kabar baik, gembira, senang, dan penuh sukacita, yang membuat hati seseorang jadi gembira, dan membuatnya bernyanyi, menari, dan melompat kegirangan .... Sebelum kematian-Nya Kristus memerintahkan dan menunjuk evangelion itu, Injil atau kabar, harus disampaikan ke seluruh dunia, dan dengan demikian memberi kepada semua orang yang percaya semua kebaikan-Nya, yaitu: hidup-Nya, yang dengan itu menelan dan mengganyang maut; kebenaran-Nya, yang dengan itu Dia menghapus dosa; keselamatan-Nya, yang dengan itu dia mengalahkan kutukan kekal. Sekarang bisakah orang yang celaka (yang terbungkus dalam dosa, dan ada dalam bahaya kematian dan neraka) tidak mendengar hal yang lebih membahagiakan, daripada kabar tentang Kristus yang menggembirakan dan menghibur seperti itu? Sehingga dia hanya akan bersuka dan tertawa dari dalam lubuk hatinya jika dia percaya bahwa kabar baik itu adalah benar."

Melompat Kegirangan

Ini adalah sebuah pesan yang perlu terus kita dengar. Bahkan jika kita percaya Kristus untuk pembebasan kita pada akhir zaman, kita bisa terlalu mudah membangun identitas kita sendiri hari ini. Bahkan, saat kita mengajarkan pembenaran oleh iman, kita justru dapat mempraktikkan pembenaran dengan mengajar, di mana rasa sejahtera kita bergantung pada bagaimana khotbah kita diterima. Kita bisa mengira diterimanya kita oleh Bapa bergantung pada perilaku kita. Dan, jika Anda takut pada celaan Allah, maka Anda tidak akan menghampiri Dia dengan sukacita.

Akan tetapi Injil “berarti kabar baik, gembira, senang, dan penuh sukacita, yang membuat hati seseorang jadi gembira, dan membuatnya bernyanyi, menari, dan melompat kegirangan.” Karena “kita telah dibenarkan oleh iman, maka kita telah berdamai dengan Allah melalui Tuhan kita, Kristus Yesus; melalui Dia, kita memperoleh jalan masuk menuju iman kepada anugerah Allah yang sekarang menjadi dasar kita berdiri” (Roma 5:1–2). Sehingga, kita bisa bersama dengan Tyndale dan Luther saat mereka tertawa dari lubuk hati mereka – saat mereka bersuka di dalam kebenaran mereka. (t/Jing-Jing)

Sumber Artikel: 

Diterjemahkan dari:

Nama situs: Desiring God
URL: https://www.desiringgod.org/articles/how-the-reformation-rediscovered-happiness
Judul asli artikel: How the Reformation Rediscovered Happiness
Penulis artikel: Tim Chester
Tanggal akses: 31 Juli 2018

Komentar