Hati yang Luas

Penulis_artikel: 
Howard Louis
Tanggal_artikel: 
14 Agustus 2018
Isi_artikel: 

Daud adalah seorang yang berkenan di hati Tuhan. Dia bahkan mendapat julukan “a man after His own heart” dari Tuhan sendiri. Ketika kita menelusuri perjalanan hidup orang yang berkenan di hati Tuhan ini, kita akan menyadari bahwa ternyata perjalanan hidupnya bukanlah sesuatu yang sempurna dan tidak bercacat. Daud adalah seorang yang pernah jatuh ke dalam dosa yang begitu jahat dan keji, bahkan patut diberi hukuman mati jika mengikuti aturan dari Taurat. Selain itu, Daud juga pernah mengalami penderitaan yang sangat besar semasa hidupnya. Ia dipandang sebelah mata dan dikejar-kejar oleh Saul, bahkan Absalom, anaknya, pun mengejar untuk membunuhnya. Ia juga harus hidup di tengah relasi politik dalam keluarganya sendiri yang berusaha merebut takhtanya. Pergumulan yang ia hadapi dalam hidupnya sangat banyak dan seakan tidak pernah berakhir. Statusnya sebagai seorang tentara, panglima, raja, gembala, penyair, dan nabi menjadikannya harus dengan setia menggumulkan setiap aspek hidupnya demi Tuhan.

Namun, hidupnya tidak hanya penuh dengan kesusahan, sebab kita juga melihat bahwa Daud memegang peranan yang begitu besar dalam Kerajaan Israel. Dia mempersatukan Israel, mendidik mereka menjadi negara yang begitu berkuasa, menaklukkan Tanah Kanaan seluruhnya melalui perang dengan bangsa Filistin (tidak diselesaikan dari zaman Yosua), dan mengusir penyembahan berhala dari Israel. Alkitab mempresentasikan seluruhnya dengan gamblang agar kita melihat hidup seseorang yang diperkenan Tuhan. Bahwa hidup seseorang yang berkenan di hati Tuhan adalah ketika seseorang rela melakukan segala sesuatunya demi Tuhan. Hatinya hanya berpaut kepada Tuhan, memiliki iman yang absolut kepada Tuhan, mencintai firman-Nya, dan mengenal isi hati Tuhan.

Dalam artikel singkat ini, kita akan sejenak merenungkan kembali salah satu bagian hidup Daud, yaitu mengenai hatinya yang luas.

Konteks Bangsa Israel

Bangsa Israel memiliki posisi yang sangat penting di dalam Perjanjian Lama. Israel bukanlah sebuah bangsa di antara bangsa-bangsa lain di dunia saja, melainkan mereka adalah bangsa yang dimiliki oleh Tuhan. Tuhan memakai Israel untuk menjadi wakil-Nya di bumi. Oleh sebab itu, Tuhan membentuk Israel dari nol. Tuhan tidak mengambil suatu bangsa yang sudah ada, tetapi memilih untuk menjadikan suatu bangsa yang baru. Dapat dikatakan Israel adalah bangsa yang dilahirkan oleh Tuhan. Ia memulai pembentukan bangsa Israel dari perjanjian-Nya dengan seorang yang bernama Abraham. Abraham dijanjikan oleh Tuhan untuk memiliki keturunan yang banyak dan mereka akan mendiami sebuah Tanah Perjanjian yaitu Kanaan. Melalui keturunan inilah Tuhan akan memberkati banyak bangsa.

Keturunan-keturunan ini akan menjadi sebuah bangsa yang disebut sebagai umat Allah, di mana Allah sendiri akan menjadi Rajanya. Ini adalah perjanjian yang dibuat setelah keturunan Abraham dipanggil keluar dari Mesir sebagai simbol pembebasan. Perjanjian ini dibuat di Gunung Sinai melalui Musa. Di sana Tuhan memberikan Hukum Taurat sebagai hukum yang berlaku di Israel. Hukum ini memiliki banyak aturan yang berkaitan dengan identitas bangsa Israel di tengah-tengah bangsa lain. Segala bentuk simbol dan pekerjaan yang dianggap sama dengan bangsa lain, dilarang oleh Tuhan.Di sini, Tuhan sedang melatih umat-Nya menjadi umat yang kudus, yang dipisahkan dari dunia, yang berbeda dari dunia. Bangsa ini dilatih untuk hidup dipimpin oleh Tuhan dan menjalankan perintah-Nya dengan baik. Dalam kehidupan berbangsa, Israel pun dilatih secara berbeda dibanding dengan bangsa yang lain, sebab Tuhan sendirilah yang menjadi Raja mereka. Imam dan nabi diangkat sebagai wakil Tuhan, tetapi posisi raja dipegang oleh Tuhan sendiri.

Hal ini terlihat sejak perjalanan 40 tahun bangsa Israel ke Kanaan. Bangsa Israel dipimpin oleh tiang awan dan tiang api yang melambangkan kehadiran Tuhan. Hal ini berarti Tuhan memimpin kapan dan ke mana bangsa Israel harus berjalan. Ketika tiang itu diam, dengan taat Isreal pun harus diam. Ketika tiang itu berjalan, dalam kondisi apa pun bangsa Israel harus siap mengikuti pimpinan dari Sang Raja. Selain itu, Musa juga mengatur seluruh kehidupan berbangsa di Israel agar selalu melihat kepada keputusan Tuhan. Segala perintah yang Tuhan berikan kepada Musa, harus ia beri tahukan kepada bangsa Israel untuk dilaksanakan. Sehingga, bangsa Israel adalah bangsa yang dipimpin secara langsung oleh Tuhan.

Pada zaman Yosua, bangsa Israel harus menaklukkan Kanaan yang adalah Tanah Perjanjian. Tuhan telah mempersiapkan tanah tersebut bagi bangsa Israel, tetapi mereka harus bekerja keras untuk menumpas segala bangsa yang mendiami tanah tersebut.

Penumpasan ini harus dibarengi dengan menghabiskan seluruh budaya penyembahan berhala yang ada di sana. Akan tetapi, pekerjaan ini tidak terselesaikan di zaman Yosua. Israel di bawah kepemimpinan Yosua telah menaklukkan banyak daerah, namun belum sempurna. Masih ada daerah-daerah yang belum ditaklukkan oleh mereka. Perjuangan ini tidak pernah terselesaikan di zaman hakim-hakim.

Namun, Israel masih melakukan hal yang jahat di mata Tuhan. Mereka mengompromikan iman dan budaya mereka dengan konsep kafir. Hal ini menjadikan Tuhan begitu sedih hingga berulang kali memberikan hukuman. Akan tetapi, melalui kemurahan Tuhan, Israel terus mendapat pengampunan ketika mereka bertobat, kembali kepada Tuhan.

Kitab Hakim-hakim memperlihatkan bagaimana kondisi bangsa Israel yang begitu merosot dari hakim pertama hingga terakhir. Mereka sudah sangat jauh dari Tuhan, tetapi Ia masih menunjukkan belas kasihan-Nya dan tetap memimpin mereka.

Kebobrokan Israel menuju tingkat yang sangat parah ketika mereka meminta seorang raja kepada Tuhan melalui Samuel, dengan alasan agar mereka sama seperti bangsa lain. Ini adalah permintaan yang begitu kurang ajar dan tidak tahu diri. Keinginan mereka untuk memiliki raja lain yang dapat dilihat oleh mata sama seperti memberontak kepada Tuhan yang adalah Raja mereka pada saat itu. Mereka ingin memiliki seorang raja, mereka ingin sama seperti bangsa lain, ketika Tuhan ingin membentuk umat-Nya menjadi bangsa yang berbeda dengan dunia. Mereka tidak mau dipimpin langsung oleh Tuhan melainkan dipimpin oleh seorang raja yang terlihat. Meskipun memang, dalam sejarah kita dapat melihat bahwa Tuhan menghendaki seorang Raja yang akan memerintah di Israel sebagai penggenapan janji-Nya yang akan mengukuhkan takhta dari suku Yehuda. Namun, posisi itu seharusnya dipersiapkan bagi Sang Mesias yang akan memerintah bangsa-bangsa. Akhirnya Tuhan membiarkan mereka mengangkat seorang raja yang sangat “terlihat”. Saul memiliki kualitas yang terlihat (visible qualities) untuk menjadi seorang raja. Perawakannya yang tinggi besar dan parasnya yang elok menjadi idaman bagi rakyat, tetapi akhir hidupnya jauh dari Tuhan.

Pemilihan Daud

Ketika kehidupan Saul semakin lalim, Tuhan mengangkat Daud sebagai raja yang baru. Pengangkatan Daud ini adalah sebuah kisah yang unik karena kehidupannya dikontraskan dengan Saul. Bermula dari Samuel yang diutus oleh Tuhan kepada Isai, seorang dari Betlehem. Samuel membawa tabung tanduknya dengan minyak sebagai persiapan untuk mengurapi seorang raja. Di sana dia mempersembahkan korban melalui upacara pengorbanan dan menyucikan Isai beserta anak-anaknya laki-laki. Ketika ia melihat Eliab, seseorang yang gagah dengan perawakan yang tinggi, Samuel langsung merasa orang inilah yang ditentukan oleh Tuhan. Namun, kali ini Tuhan menyatakan dengan spesifik bahwa Tuhan tidak melihat apa yang manusia lihat, Tuhan melihat hati. Satu per satu anak dari Isai keluar dan tidak ada satu pun yang diperkenan oleh Tuhan. Hingga ketujuh anaknya lewat di depan Samuel, tetap Tuhan tidak berkenan kepada satu pun dari antara mereka.

Ternyata, Isai menyembunyikan seorang anaknya yang paling bungsu. Di dalam kebudayaan Yahudi, angka adalah simbol yang penting. Angka tujuh merupakan angka yang melambangkan kesempurnaan. Sehingga, tujuh anak dianggap sebagai lambang dari kesempurnaan. Hal ini terlihat seperti di kisah Ayub. Ayub diceritakan memiliki 7 anak laki-laki dan 3 anak perempuan. Angka tujuh melambangkan kesempurnaan dan angka sepuluh melambangkan kegenapan. Sehingga memiliki 7 anak laki-laki dan 3 anak perempuan berarti Ayub memiliki keluarga yang sempurna. Isai pun demikian, ia menganggap ketujuh anak laki-laki pertama sebagai yang baik, sehingga anak kedelapan menjadi anak yang dipandang sebelah mata. Daud adalah anak kedelapan dan di dalam keluarganya, ia tidak mendapatkan penerimaan yang baik. Dia diberikan tugas sebagai gembala kambing domba, sebuah pekerjaan yang rendah di Israel, sedangkan kakak-kakaknya diutus menjadi prajurit yang berperang bagi bangsa Israel. Akan tetapi, Tuhan malah berkenan kepada Daud, dan bukan kepada kakak-kakaknya. Akhirnya, Samuel mengurapi Daud menjadi raja dan sejak hari itu Roh Tuhan berkuasa atas Daud.

Ini menjadi prinsip dan standar Tuhan dalam melihat seseorang. Raja Saul dipilih oleh rakyat karena perawakan dan parasnya, namun Tuhan memilih seorang raja bukan dengan standar manusia. Tuhan menggunakan ukuran-Nya untuk menentukan siapa yang layak menjadi raja. Zaman kita sangat menekankan apa yang dapat dipamerkan kepada mata. Kita sering kali mempunyai penilaian (prejudice) terhadap orang seturut apa yang terlihat oleh mata. Sedikit banyak, kita telah dipengaruhi budaya yang begitu pragmatis-hedonis ini sehingga seluruh standar nilai kita bergeser. Kita lebih mengutamakan hal-hal yang menempel di tubuh kita atau pada nama kita. Pengakuan dan penilaian orang kita kejar. Status sosial menjadi hal yang kita cari. Akan tetapi, Tuhan memilih orang yang secara status sosial dipandang rendah dan hina, bahkan di dalam lingkungan keluarga sendiri. Dengan cara ini, Tuhan mendidik kita untuk melihat dengan cara Tuhan melihat agar kita mempunyai hati yang luas. Hati yang luas berarti tidak menggunakan cara pandang dunia ini untuk menilai manusia, melainkan menggunakan penilaian Tuhan untuk menilai.

Karakter Daud

Daud pun memiliki hati yang luas untuk menerima panggilan Tuhan. Dia tidak merasa minder atau mengalami inferiority complex. Dia rela taat dan mau menjalankan apa yang Tuhan kehendaki. Meskipun Daud sudah diurapi menjadi raja atas Israel, dia harus menunggu terlebih dahulu. Dia tidak dengan otoritas mengklaim takhta yang sedang diduduki oleh Saul. Dia rela menunggu dengan hati yang luas akan rencana Tuhan. Terlebih lagi, dia rela menjadi pelayan dari Saul. Daud tidak mengambil sikap yang melawan Saul meskipun dia berhak melakukannya. Namun, dia tetap rendah hati dan mau taat di bawah pimpinan Saul. Sikap ini terlihat di sepanjang hidupnya. Ketika Daud dikejar oleh Saul, Daud tidak mengangkat senjata untuk melawan Saul. Daud pun tidak menggunakan urapannya sebagai raja menjadi cara untuk memenangkan rakyat agar berbalik melawan Saul. Dia melarikan diri dan harus hidup tanpa mempunyai tempat tinggal.

Salah satu alasan mengapa Daud tidak melakukan demikian adalah karena Daud mengetahui siapa yang seharusnya menjadi musuhnya. Daud tidak ingin terjadi perpecahan di dalam bangsa Israel sendiri. Selain itu, Daud juga mengetahui posisi penting yang Israel emban sebagai umat Tuhan. Dia melihat bangsanya sebagai umat Tuhan dan Daud sangat berhati-hati dalam memperlakukan mereka. Daud tidak berdebat dengan Saul mengenai siapa yang berhak menjadi raja, melainkan dia tetap tunduk dan tidak memberontak. Dia menghargai Saul sebagai orang yang telah ditunjuk Tuhan menjadi raja sebelum dia. Dia juga menghargai Saul sebagai seorang keturunan Israel, sebagai umat milik Tuhan. Daud pun tidak mengambil nyawa Saul ketika dia memiliki kesempatan itu. Daud menghargai umat Tuhan dan menilai mereka sesuai dengan penilaian Tuhan. Meskipun umat Tuhan begitu rusak dan bobrok, Daud tidak menjadikan mereka musuh. Dia rela menanggung masa pelarian itu dan dia tidak ingin memusuhi umat Tuhan.

Namun demikian, Daud bukanlah seorang yang penakut. Sebab, Daud berani berhadapan dengan Goliat ketika tidak ada pasukan yang berani berhadapan dengannya. Mengapa Daud berani menghadapi Goliat? Hal ini juga berkaitan dengan penilaian Daud terhadap orang-orang di sekitarnya. Daud memiliki sikap yang berbeda ketika berelasi dengan umat Tuhan dibandingkan dengan umat lain, khususnya bangsa Filistin dalam konteks ini. Dia sadar bagaimana tugas Israel belum selesai untuk menghabisi orang Filistin dan menyatukan Israel. Daud hanya berpegang kepada janji Tuhan bahwa seluruh Kanaan akan menjadi tanah yang sepenuhnya milik Israel. Sehingga dengan berani Daud menantang Goliat dan berperang melawannya. Keberanian ini keluar bukan dari kekuatannya, bukan dari kelihaiannya berperang. Melainkan keberanian yang keluar dari pengenalannya akan Tuhan dan janji-Nya. Keberanian ini juga keluar dari hati yang luas menerima rencana Tuhan dan taat kepada Tuhan. Tuhan akhirnya memberkati Daud dengan mengizinkannya membunuh Goliat. Peristiwa ini menjadi simbol bahwa Daud adalah orang yang dibangkitkan Tuhan untuk menghabisi bangsa Filistin dan mempersatukan bangsa Israel. Daud berhasil dalam menjalankan panggilannya sebagai raja Israel.

Refleksi

Hati seperti Daud sangat jarang kita temukan di zaman sekarang. Setelah Kristus membuka keselamatan bagi banyak bangsa, posisi bangsa Israel sekarang diteruskan bukan lagi oleh sebuah bangsa secara fisik, melainkan diteruskan oleh gereja Tuhan. Gereja Tuhan memiliki posisi sebagai pernyataan wakil Tuhan di bumi ini. Di satu sisi sebagai orang Kristen, kita sering kali salah memilih musuh. Kita sangat sering berselisih paham dan bertengkar dengan gereja Tuhan sendiri. Kita mempermasalahkan hal-hal yang sangat remeh. Karena kepentingan diri atau kelompok, gereja Tuhan terpecah. Karena hal-hal yang tidak penting, gereja-gereja saling bertengkar. Dan penyakit itu sedikit banyak ada pada sikap iri hati kita masing-masing. Sering kali pertikaian dengan orang lain bermotifkan egoisme diri, bukan karena adanya perbedaan prinsip kebenaran. Malahan, prinsip kebenaran dijadikan sebagai rasionalisasi motif egois kita. Sehingga, terlihatnya kita memperdebatkan prinsip kebenaran, padahal di baliknya adalah perjuangan membela egoisme masing-masing. Ini bukanlah semangat dari kekristenan. Musuh kita adalah kefasikan dan kelaliman, tetapi orang fasik dan orang lalim adalah objek dari pemberitaan Injil kita, yang harus kita sampaikan dengan kasih. Kristus di atas kayu salib mengerti siapa musuh-Nya. Dosa dan si Jahatlah musuh-Nya. Karena itu di atas kayu salib Ia rela menghadapi maut sampai tuntas. Kristus tidak membenci orang-orang yang menyalibkan-Nya, bahkan Ia begitu mengasihi mereka dan memohon kepada Bapa yang di sorga untuk mengampuni mereka karena ketidakmengertian mereka. Oleh sebab itu, kita harus belajar memiliki hati yang luas seperti Kristus dan Daud dalam bersikap kepada sesama umat manusia. Jangan sampai egoisme kita menjadikan kita seperti orang Farisi yang memiliki self-righteousness yang begitu besar tetapi menyelubunginya dengan memanfaatkan kalimat-kalimat kebenaran, padahal sebenarnya hanyalah sebuah tipuan. Sikap demikian menjauhkan kita dari salib yang seharusnya kita junjung tinggi.

Di sisi yang lain kita juga harus melihat bahwa ketika keselamatan terbuka bagi bangsa-bangsa, hal ini menjadikan kita manusia yang siap menerima bangsa apa pun di dalam segala keberagaman mereka. Karena perbedaan batas ini disingkirkan, kita harus juga menerima satu dengan yang lainnya dengan hati yang luas. Sebab, mungkin dalam waktu ini, mereka masih menyembah berhala atau melakukan praktik agama yang salah. Akan tetapi, suatu saat nanti mungkin Tuhan akan menggerakkan hati mereka untuk kembali kepada Tuhan. Dengan latar belakang apa pun, gereja Tuhan harus siap menerima setiap orang yang ingin kembali kepada Tuhan dan hal ini perlu dilatih dengan baik.

Karena itu, kita harus memiliki pengertian yang benar mengenai siapa musuh kita di dalam dunia ini. Bangsa lain tidak lagi menjadi musuh kita, apalagi umat Tuhan di dalam gereja. Yang menjadi musuh kita adalah penguasa di angkasa dan dosa. Dengan berfokus kepada panggilan kita masing-masing untuk membereskan pengaruh dosa di dalam konteks kita, kita akan menjauhkan diri dari segala permasalahan yang tidak perlu. Kiranya kita belajar dari Daud untuk memiliki hati yang luas. Hati yang siap menunggu pimpinan Tuhan, yang tidak dicemari dengan prasangka dan penilaian yang salah dari tradisi dan budaya, melainkan yang dengan tepat mengerti isi hati Tuhan dan melawan apa yang keji di hadapan Tuhan.

Diambil dari:

Nama situs: Buletin Pillar.org
URL: http://www.buletinpillar.org/artikel/hati-yang-luas#hal-1
Judul asli artikel: Hati yang Luas
Penulis artikel: Howard Louis
Tanggal akses: 14 Agustus 2018

Komentar