Tentang KamiArtikel TerbaruUpdate Terakhir |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SOTeRI Perubahan-perubahan Radikal, Sebagai Akibat Reformasi
Editorial:
Dear e-Reformed netters, Beberapa waktu yang lalu, saya tertarik untuk membaca kembali buku terbitan BPK tahun 1985 (cetakan ketiga) yang berjudul "Theologia Kaum Awam", tulisan Dr. H. Kraemer (jelas buku tersebut pasti ditulis jauh sebelum tahun 1985). Walaupun kelihatannya buku ini sudah "kuno", ternyata isu-isu yang dibahas di dalamnya masih sangat segar dan relevan dengan keadaan gereja masa kini, yaitu tentang kedudukan kaum awam dalam gereja. Sebelum Reformasi, kaum awam jelas tidak memiliki kedudukan yang penting dalam gereja. Semua urusan gereja merupakan tugas "para klerus" (pendeta-pendeta yang ditahbiskan), sedangkan kaum awam (jemaat) hanya menjadi objek saja. Setelah Reformasi, terjadi perubahan yang radikal, karena prinsip-prinsip gereja yang salah dan tidak alkitabiah didobrak, salah satu hasilnya adalah konsep "keimaman orang percaya" atau istilah yang dipakai Dr. H. Kraemer, "imamat am semua orang percaya", bahwa semua orang Kristen adalah imam, tak ada perbedaan di antara mereka (termasuk dengan para klerus), kecuali dalam hal jabatan. Pikiran-pikiran yang dilahirkan para Reformator begitu tajam dan sangat sarat dengan kebenaran Alkitab. Tuhan menunjukkan hikmat kepada mereka untuk menjadi jalan bagi kita mengerti lebih dalam akan panggilan Tuhan bagi jemaat-Nya. Tapi sayang sekali, menurut Dr. Kraemer, usaha para Reformator untuk mengembalikan kedudukan kaum awam pada tempat yang sewajarnya ternyata sebagian besar hanya sampai pada pemikiran saja. Menurut beliau, kalau kita jujur, kita harus mengakui bahwa pada kenyataanya pikiran-pikiran Reformasi tersebut sulit untuk dijalankan/diaplikasikan, bahkan sampai hari ini. Mengapa? Saya harap pertanyaan "Mengapa" ini dapat memicu keingintahuan dan kekritisan Anda untuk berpikir lebih jauh tentang topik ini. Untuk itu, silakan baca cuplikan artikel dari buku Dr. Kraemer di bawah ini. In Christ,
Penulis:
H. Kraemer
Edisi:
062/V/2005
Isi:
Pikiran-pikiran pokok dari Reformasi memberi kemungkinan untuk perubahan-perubahan radikal dalam seluruh konsep dan tempat kaum awam. Pada saat yang menentukan, karena kepatuhan kepada Firman Allah, Luther menolak untuk patuh kepada gereja yang terjelma dalam kekuasaan hirarkis Paus. Konsep Luther tentang gereja, terutama dalam tulisan- tulisan militannya yang terdahulu, adalah suatu serangan frontal terhadap konsep gereja hirarkis. Paham tentang pejabat gereja yang hirarkis juga ditolak. Secara prinsip perbedaan antara "kaum klerus" dan "kaum awam" tidak ada lagi. Dalam manifestonya kepada kaum bangsawan Kristen ia mengumumkan, "Semua orang Kristen adalah benar-benar imam, tak ada perbedaan di antara mereka kecuali dalam hal jabatan .... Setiap orang yang sudah dibaptis dapat berkata bahwa ia sudah ditahbiskan menjadi imam, uskup atau Paus." Hanya demi ketertiban, orang-orang tertentu dipisahkan oleh jemaat, mereka adalah "pelayan-pelayan", bukan imam-imam dalam arti budaya, orang-orang perantara antara Allah dan jemaat atau antara Allah dan manusia, tapi "pelayan-pelayan Firman" (verbi divini ministri). Pada prinsipnya, pelayanan yang diartikan secara baru ini (mengajar dan berkhotbah, membaptiskan, melayani Perjamuan Kudus, mengikat dan melepaskan dosa, berdoa syafaat, mempertimbangkan ajaran dan membeda-bedakan roh) adalah hak setiap orang Kristen yang telah dibaptis. Ini berarti imamat orang-orang yang percaya atau, seperti biasa disebut, "imamat am" adalah semua orang yang percaya. Sejak itu prinsip ini selalu disertai oleh hukum "sola gratia", "sola scriptura". Kedua prinsip ini sudah menjadi prinsip besar resmi dari Reformasi dan khususnya Protestantisme. Dalam paham-paham yang militan ini terdapat benih-benih individualisme dan equalitarianisme yang tidak sepenuhnya sesuai dengan pandangan Alkitab, yaitu "imamat yang berkerajaan", yang adalah milik semua orang percaya secara keseluruhan. [1] Militansi dan pernyataan yang tampaknya berlebih-lebihan ini dapat dimengerti melihat kenyataan bahwa pada waktu itu Luther harus berjuang melawan sistem hierarki yang luar biasa, paham hierarki yang sudah tertanam sangat dalam di pikiran orang sejak berabad-abad. Paham seperti itulah yang hendak digugatnya di hadapan forum paham Alkitab mengenai gereja beserta anggota-anggotanya. Implikasi dari serangan-serangannya itu ialah penghapusan semua klerikalisme dan pemulihan tempat yang sewajarnya bagi kaum awam. Akan tetapi, secara jujur harus disebut di sini bahwa konsep baru tentang gereja dan pemulihan tempat kaum awam tidak pernah menjadi pokok-pokok yang dominan. Prinsip yang banyak digembar-gemborkan tentang "imamat am semua orang percaya" mempunyai akibat-akibat tertentu yang sangat menarik dalam Dunia Baru, tetapi pada umumnya di Dunia Lama hal ini tak pernah punya efek apa-apa. Sampai sekarang prinsip itu hanya punya peranan sebagai bendera, bukan prinsip yang memberi hidup dan kekuatan. Sudah tentu, sejak Reformasi dan lahirnya banyak macam gereja sebagai akibatnya, pandangan eklesiastik hierarkis tentang gereja tidak pernah lagi mendapat tempat yang tidak dapat diganggu- gugat seperti sebelumnya. Panggilan untuk membenarkan setiap doktrin gereja dan tugas anggota-anggotanya berdasarkan Alkitab, tak pernah lagi diabaikan seperti sebelumnya. Dasar etika Calvinisme tentang orang-orang awam yang harus membuktikan bahwa mereka adalah orang- orang yang sudah dipilih Allah dengan bekerja sepenuh hati, adalah akibat dari prinsip "imamat am semua orang percaya". Juga tak dapat disangkal bahwa prinsip ini, terutama pada abad 19 di bawah pengaruh paham liberalistis-individualistis, sudah lebih merupakan kata-kata muluk teologis untuk faham modern pada waktu itu, dari pada sumber kekuatan rohani yang mengubah gereja. Mengapa definisi baru dari Luther dan Calvin tentang gereja, pelayanan dan tentang tempat sentral dan utama dari jemaat secara keseluruhan, akhirnya hanya menjadi prinsip dan bukan menjadi kenyataan? Mengapa kaum pendeta yang jadi dominan dan bukan jemaat (Gemeinde) secara keseluruhan? Pertama-tama, kita akan menyebut sebab-sebabnya, lepas dari keadaan- keadaan sejarah yang banyak memengaruhinya. Ketika para Reformator kembali kepada Alkitab dan mendapati bahwa Yesus Kristus adalah satu- satunya Kepala Gereja yang benar, yang memerintah gereja melalui Roh- Nya yang kudus, anugerah dan pengampunan-Nya, dan menghapuskan semua tingkatan-tingkatan kekuasaan dan hak, mereka bertekad untuk meninggalkan sistem tingkatan-tingkatan hirarkis dan penyamaan gereja dengan kaum klerus yang dianggap sebagai imam pengantara sakramen. Gereja terdiri atas orang-orang percaya dan orang-orang berdosa yang sudah diampuni. Akan tetapi, ketika mengorganisir atau mereorganisir gereja, mereka berusaha menghindari dan menghapuskan pelanggaran-pelanggaran mencolok dan kebobrokan sistem yang dominan. Pandangan para Reformator tentang gereja tidak sepenuhnya alkitabiah. Ini dapat dimengerti, sebab kecamuk dan hangatnya perjuangan dan pandangan mereka sangat dipengaruhi oleh protes dan polemik. Lagi pula, ucapan-ucapan Luther bahwa setiap orang Kristen yang dibaptis mempunyai kuasa seperti yang dipunyai oleh Paus, uskup-uskup dan imam-imam, mengandung bahaya- bahaya tersembunyi. Bahaya PERTAMA ialah: bahwa dalam suatu gereja yang sudah berabad-abad "orang Kristen yang dibaptis" sama sekali tidak sama dengan seorang Kristen yang benar-benar percaya. Sebab, walaupun benar pendapat bahwa otoritas untuk mengatur dan mengadakan konsep tentang gereja terletak dalam pola-pola alkitabiah tentang gereja, itu bukan berarti bahwa pola-pola alkitabiah itu yang harus ditiru. Situasi sejarah yang lain memerlukan ekspresi kreatif yang lain walaupun peraturan dan konsep pokoknya sama. Yang KEDUA: anggota-anggota gereja yang sudah berabad-abad itu menghalangi anggota-anggotanya menjadi dewasa secara rohani, karena ajaran tentang "iman implisit" dari kaum awam, tidak dapat dengan tiba-tiba menjadi orang-orang dewasa dalam kerohanian. Yang KETIGA: gerakan Reformasi menekankan pentingnya khotbah di samping penghapusan habis-habisan perbedaan antara "kaum klerus" dan "kaum awam". Memberi tekanan penting terhadap khotbah yang benar dan "murni" [2] (die reine Predigt) sebagai makanan rohani yang memberi hidup. Untuk itu, diperlukan orang-orang yang cakap untuk memegang jabatan itu. Pelayanan sakramen yang benar, yang juga dinyatakan sebagai salah satu tanda hakiki dari gereja, terutama Perjamuan Kudus di banyak gereja, tidak mendapat tempat yang sama penting seperti "khotbah murni Firman Allah". Pelayanan sakramen hanya diperuntukkan bagi pendeta-pendeta. Walaupun perkembangan ini mempunyai alasan- alasan yang baik, hal ini menimbulkan kekaburan arti dalam keseluruhan konsep "pelayanan". Di satu pihak, hal ini cenderung kepada pembentukan kembali suatu golongan "kaum klerus", padahal di pihak lain, setidak-tidaknya dalam prinsip, diusahakan menghapuskan perbedaan antara "kaum klerus" dan "kaum awam". Penahbisan ke dalam "status rite vocatus", yang telah menjadi dinding pemisah antara "kaum klerus" dan "kaum awam" di gereja sebelumnya, sebenarnya sekarang juga masih menjadi semacam dinding pemisah. Seperti yang telah dikatakan di atas, perbedaan ini diadakan demi tata tertib. Motif itulah satu-satunya motif yang benar, kalau ditinjau dalam terang prinsip "imamat am semua orang percaya". Sebagai jawaban terhadap konsep imam sebagai perantara sakramen di masa yang lalu, prinsip itu ingin meninggalkan paham tentang "para klerus" yang mempunyai tempat yang lebih tinggi dan terasing dari kaum awam. Akan tetapi, sebenarnya, berlawanan dengan teori tentang tidak adanya perbedaan secara fundamentil, dalam praktiknya prinsip itu menempatkan kaum awam lebih rendah dari kaum pendeta, membuat kaum awam jadi pasif, memberi tekanan besar pada arti "jabatan" (Amt) dan pimpinannya. Perkembangan ini makin diperkuat dengan kenyataan bahwa para pendeta, yang tugas utamanya ialah untuk mengkhotbahkan Firman Allah dengan benar, makin lama makin kelihatan sebagai "ahli-ahli teologia", "orang-orang yang tahu", dan dalam tingkatan sosial mereka mempunyai status "rohaniawan"; dengan kata lain sebagai pneumatikoi, manusia-manusia rohani (1Korintus 3). Akibat buruknya ialah bahwa kaum awam lambat-laun menerima saja kedudukan sebagai "orang-orang yang tidak tahu", orang-orang yang tidak dewasa secara rohani. Hal ini menghasilkan suatu situasi, yang terdapat di semua gereja, di mana ada perpisahan jelas antara pejabat gereja yang memimpin dan kaum awam yang dipimpin. Dengan kata lain, gereja adalah urusan pendeta-pendeta. Pada masa Reformasi sendiri dan pada masa-masa permulaan pengkonsolidasiannya, unsur-unsur konkret dalam sejarah sudah menghalangi dipraktikannya "imamat am semua orang percaya" itu. Pada mulanya, Reformator-reformator itu tidak bermaksud mendirikan gereja baru. Tujuan mereka mula-mula ialah untuk memurnikan iman. Akan tetapi, ketika perlawanan keras dari pimpinan gereja memaksa mereka untuk mengorganisir hidup gereja menurut prinsip-prinsip mereka sendiri, maka mereka harus berhadapan dengan kurangnya pengetahuan dan pengertian kaum awam dan dengan susahnya memelihara ketertiban dalam jemaat-jemaat. Keadaan seperti ini bukan saja terdapat di Jerman, melainkan juga di Inggris, di mana Reformasi berlangsung tidak sedrastis dan sesistematis seperti di negeri-negeri lain [3]. Lagipula, suatu Reformasi yang terorganisir tak dapat dilangsungkan tanpa pertolongan dan kekuasaan raja-raja dan hakim-hakim yang memihak kepada gerakan Reformasi itu. Akibatnya ialah bahwa raja-raja dan hakim-hakim menduduki tempat-tempat penting dalam urusan-urusan gereja. Jadi, golongan awam yang besar itu walaupun mereka bukan orang-orang yang tidak tahu, tidak melihat kemungkinan lain kecuali menyerahkan saja kepengurusan hidup gereja kepada para pendeta dan badan-badan negara yang dibentuk itu. Pada tahun 1526 Luther sudah mengakui bahwa untuk mendirikan suatu jemaat yang benar-benar ideal, ia belum mendapati cukup banyak orang-orang Kristen dan malahan ia belum menjumpai banyak orang yang meminta supaya jemaat seperti itu didirikan. Organisasi yang dihasilkan oleh perkembangan itu tidak memberi status yang memungkinkan jemaat-jemaat mempunyai tanggung jawab yang aktif. Jemaat-jemaat itu menjadi objek dari pekerjaan pastoral pendeta dan peraturan-peraturan pemerintah. Akibatnya, walaupun kaum awam lain keadaannya dari masa sebelum Reformasi, mereka tetap seperti semula, tetap sebagai objek, sama sekali bukan sebagai subjek. Berlainan dengan Luther, Calvin menghadapi soal yang sama hanya dalam satu kota dan bukan di negeri-negeri yang berlain-lainan, makanya ia lebih berhasil dengan "Ordonnance ecclesiastique"-nya pada tahun 1541 untuk mewujudkan kebebasan relatif dalam kehidupan gereja. Ini merupakan hasil dari fahamnya tentang tata gereja yang ditetapkan oleh Allah. "Ordonnance ecclesiastique" Calvin itu adalah tata gereja yang paling dinamis yang berasal dari Reformasi. Konsepnya tentang kekuasaan dan pentingnya pendeta bagi suatu gereja yang terpimpin baik, mengandung unsur-unsur, walaupun tak disengaja, yang mengabaikan arti dan pentingnya kaum awam. Amerika, yang waktu itu disebut Dunia Baru, mempunyai corak-corak tersendiri. Sejarah Amerika merupakan suatu rangkaian dari adaptasi dan readaptasi kepada dunia yang baru dengan kondisi-kondisi baru dan dengan perubahan-perubahan yang terus-menerus terjadi. Gereja-gereja di Amerika adalah gereja-gereja Eropa yang dipindahtanamkan dalam tanah baru dengan keadaan sekeliling yang baru. Dalam proses ini Amerika memperkembangkan gereja corak baru. Sejak datangnya pendatang- pendatang baru, terutama gelombang-gelombang besar pendatang baru pada abad 19, proses itu berjalan terus. Hasilnya ialah munculnya gereja-gereja parokhial yang berpemerintahan sendiri yang khas Amerika, dengan pengawasan dan partisipasi yang lebih besar dari kaum awam. Dengan prinsip yang sangat dipegang teguh, yakni prinsip kemerdekaan beragama dan pemisahan antara gereja dengan negara, gereja dianggap sebagai perkumpulan sukarela dari orang-orang yang diselamatkan dan sebagai suatu institut untuk memperbaiki kehidupan masyarakat dengan jalan menyelamatkan perorangan-perorangan. Urbanisasi telah memaksa gereja mencari dan melayani segala macam orang dan golongan, dan gereja-gereja itu cenderung untuk memperkuat persekutuan batiniah dari gereja setempat. Pelayanan oleh kaum awam telah makin maju karena perkembangan ini. Kalau kita bandingkan kehidupan gereja di Eropa dengan Amerika, kita lebih cenderung untuk berkata bahwa struktur dan suasana di dalam gereja-gereja Eropa tidak memberi banyak dorongan kepada inisiatif- inisiatif kaum awam. Di Amerika sebaliknyalah yang terjadi. Di Amerika, bukannya hasil pemikiran-pemikiran teoritis yang menghasilkan keadaan seperti itu, melainkan hasil pertimbangan-pertimbangan pragmatis, yaitu bahwa kegunaan gereja sebagai institut yang efektif tergantung hampir sepenuhnya pada kesediaan kaum awam untuk melibatkan dirinya. Untuk mengakhiri pembahasan historis yang selektif tentang status teologis kaum awam, kita hendak menyebutkan beberapa patah kata lagi. Pada abad 19, pada zaman di mana orang semakin menjauhi gereja dan kekristenan, Johann Heinrich Wichern [4], bapak dari "Innere Mission" di Jerman, mencoba mengaktuilkan "prinsip-prinsip" Reformasi tentang imamat am semua orang percaya. Ia tidak menafsirkannya menurut tafsiran biasa seperti "mempunyai hubungan langsung dengan Allah" tanpa perantaraan imam, tapi sebagai kewajiban terhadap "diakonia", yang berlaku bagi semua anggota gereja. Dinamisme "Communio Sanctorum" terletak pada kenyataan, menurut dia, bahwa "communio sanctoru" itu bukan saja "Congregatio vere credentium" (persekutuan orang-orang yang benar-benar percaya), melainkan terutama adalah "congregatio vere amantium," (persekutuan orang-orang yang benar-benar mengasihi). Hal ini sudah menunjuk kepada suatu arah yang baru. Catatan Kaki:
Sumber:
Bahan di atas dikutip dari:
Roh Kudus dan Alkitab
Editorial:
Dear e-Reformed netters, Menyambut peringatan Hari Pentakosta, saya kirimkan bagian dari buku tulisan John R. W. Stott, yang membahas tentang Roh Kudus dan Alkitab. Karena sudah sangat panjang, maka saya tidak akan menambah komentar lagi. Kiranya menjadi berkat. In Christ,
Penulis:
John R.W. Stott
Edisi:
061/IV/2005
Isi:
Semua orang Kristen sadar bahwa antara Kitab Suci dan Roh Suci, pasti terdapat suatu hubungan yang erat. Sebenarnya semua orang Kristen percaya bahwa dalam arti tertentu Alkitab adalah hasil karya cipta Roh Kudus. Karena setiap kali kita mengikrarkan Pengakuan Iman Nicea, kita menegaskan salah satu pokok kepercayaan kita tentang Roh Kudus bahwa 'Dia telah berfirman dengan perantaraan para nabi'. Ungkapan tadi merupakan gema ungkapan-ungkapan serupa di Perjanjian Baru. Sebagai contoh, Tuhan kita Yesus Kristus sendiri suatu ketika mengutip Mazmur 110 dan menjelaskan: 'Daud sendiri oleh pimpinan Roh Kudus berkata: ...' (Markus 12:36). Petrus dalam suratnya yang kedua, sama menulis 'oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah' (2Petrus 1:21), atau bila diterjemahkan harafiah dari istilah Yunaninya, 'mereka diombang-ambingkan oleh Roh Kudus', (istilah yang sama digunakan dalam Kisah Para Rasul 27:18), persis seperti kapal diombang-ambingkan angin. Jelas ada hubungan penting antara Alkitab dan Roh Kudus. Hal ini kini akan kita selidiki. Sejauh ini sudah kita pikirkan bahwa Allah adalah sumber dari penyataan yang diungkapkan-Nya dan bahwa Yesus Kristus adalah pokok utama penyataan-Nya. Kini perlu kita tambahkan bahwa Roh Kudus adalah perantara-Nya. Dengan demikian, pemahaman Kristen tentang Alkitab bersumber pada pemahaman tentang Tritunggal. Alkitab berasal dari Allah, berpusat pada Kristus dan diilhamkan oleh Roh Kudus. Karena itu definisi terbaik tentang Alkitab pun bernafaskan Tritunggal: "Alkitab adalah kesaksian Bapa tentang Anak melalui Roh Kudus." Jadi persisnya, apakah peran Roh Kudus dalam proses penyataan? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita beralih kepada Alkitab sendiri, terutama 1Korintus 2:6-16. Penting kita melihat bagian Alkitab ini dalam konteksnya yang lebih luas. Sampai di bagian ini, Paulus sedang menegaskan tentang 'kebodohan' Injil. Sebagai contoh, 'pemberitaan tentang salib memang adalah 'kebodohan' (1Korintus 1:18), dan 'kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan' (1Korintus 1:23). Katakanlah sekarang bahwa berita tentang salib terdengar bodoh bahkan tak mengandung arti bagi para intelektual sekular. Paulus sekarang mengkoreksi agar jangan timbul kesan pada para pembacanya bahwa dia sama sekali menolak pentingnya hikmat dan bermegah dalam kebodohan. Apakah rasul anti intelek? Apakah dia menghina pengertian dan penggunaan akal? Tidak, sama sekali tidak. 1Korintus 2:6-7 menuliskan, "Sungguhpun demikian kami memberitakan hikmat ... hikmat Allah yang tersembunyi dan rahasia, . . . yang telah disediakan Allah bagi kemuliaan kita." Perbandingan yang Paulus buat tidak boleh kita lewati. Kami jelas menyampaikan hikmat, tulisnya, tetapi:
Dalam usaha menginjili orang yang bukan Kristen, kita harus memusatkan perhatian pada 'kebodohan' Injil tentang Kristus yang tersalib bagi orang berdosa. Dalam usaha membangun orang Kristen menuju kedewasaan penuh, kita harus memimpin mereka ke dalam pengertian tentang keseluruhan rencana Allah. Paulus menyebut hal tersebut di ayat 7 sebagai 'hikmat Allah yang tersembunyi dan rahasia' dan di ayat 9 'semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia'. Hal itu hanya dapat diketahui, tegas Paulus, melalui penyataan. 'Penguasa- penguasa dunia ini' (para pemimpin dunia) tidak mengertinya, atau mereka tidak akan menyalibkan 'Tuhan yang mulia' (ayat 8). Bukan mereka saja, semua manusia, pada diri mereka sendiri, tidak memahami hikmat dan maksud Allah. Rencana Allah, menurut Paulus di ayat 9 adalah sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh mata, atau didengar telinga, atau diselami hati. Hikmat Allah itu di luar jangkauan mata, telinga, dan pikiran manusia. Ia tidak tunduk kepada penelitian ilmiah, juga terhadap imajinasi. Hikmat Allah sama sekali di luar batas dan daya ukur akal kita yang sempit dan terbatas, kecuali Allah sendiri menyatakannya. Memang itulah yang sudah Allah buat! "Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia." Rencana mulia-Nya yang tak terbayangkan ini, 'telah Allah nyatakan kepada kita melalui Roh-Nya'. Kata 'kita' sedemikian kuat tekanannya, dan diartikan dalam konteksnya bukan menunjuk kepada kita semua tanpa perbedaan, tetapi dimaksudkan untuk Rasul Paulus yang menulis dan untuk sesama rekan rasul lainnya. Allah memberikan penyataan khusus tentang kebenaran-kebenaran tersebut kepada alat-alat penyataan-Nya yang khusus (yaitu para nabi Perjanjian Lama dan para rasul Perjanjian Baru), dan Allah melakukan ini 'melalui Roh-Nya'. Roh Kudus menjadi perantara penyataan tersebut. Saya kuatir bahwa pengantar yang dimaksudkan untuk menolong kita mengerti konteks pembicaraan Paulus tentang Roh Kudus sebagai perantara penyataan ini terasa agak panjang. Apa yang diuraikannya selanjutnya adalah pernyataan luas yang sangat menakjubkan. Dia menggarisbesarkan empat tahap karya Roh Kudus, sebagai perantara penyataan Ilahi.
Roh Kudus adalah Roh yang menyelidik (ayat 10-11). Sambil lalu patut kita perhatikan bahwa ungkapan ini menunjukkan bahwa Roh Kudus adalah pribadi. Hanya pribadi-pribadi yang dapat terlibat dalam usaha menyelidik atau 'penyelidikan'. Tentu kita ketahui bahwa komputer- komputer modern dapat mengadakan riset yang sangat rumit yang bersifat mekanis dan analitis. Tetapi riset sejati (seperti yang sangat dikenal oleh para mahasiswa pasca sarjana) bukan hanya mengandung penyusunan dan analisis data secara statistik, tetapi menuntut pemikiran orisinal baik dalam bentuk penelitian maupun refleksi. Inilah bentuk pekerjaan yang dilakukan Roh Kudus karena Dia memiliki akal yang melaluinya Dia berpikir. Karena berkeberadaan sebagai Pribadi Ilahi (bukan komputer atau pengaruh atau kekuatan belaka), kita harus membiasakan diri menyebut-Nya sebagai 'Dia' (Pribadi) dan bukan 'ini' (benda). Paulus menggunakan dua lukisan menarik untuk menyatakan kemampuan- kemampuan unik Roh Kudus dalam karya penyataan. PERTAMA, 'Roh menyelidiki segala sesuatu, bahkan hal-hal yang tersembunyi dalam diri Allah' (ayat 10). Istilah yang sama digunakan Yesus tentang orang Yahudi yang 'menyelidiki Kitab-kitab Suci', dan menurut Moulton dan Milligan (dalam buku mereka 'Vocabulary of the Greek New Testament'), berdasarkan kutipan naskah dari abad ketiga, 'para penyelidik' adalah para petugas beacukai. Dalam arti mana pun, Roh Kudus digambarkan sebagai penyelidik yang giat dan teliti, atau bahkan sebagai penyelam yang berusaha mengarungi kedalaman Diri Allah yang Maha Kuasa yang tak terselami itu. (Mungkin Paulus meminjam istilah 'dalam' dari perbendaharaan kata bidat Gnostik.) Keberadaan Allah tak terukur kedalaman-Nya, dan secara terus terang Paulus menyatakan bahwa Roh Kudus menyelidiki kedalaman-kedalaman Allah. Dengan kata lain, Allah sendiri menjelajahi kelimpahan keberadaan-Nya sendiri. Contoh KEDUA yang Paulus kemukakan, diambilnya dari pengertian diri manusia. "Siapa gerangan di antara manusia yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri manusia selain roh manusia sendiri yang ada di dalam dia?" (ayat 11) 'Apa yang terdapat' menunjuk kepada 'hal-hal' khas ciri kemanusiaan kita. Seekor semut tak mungkin menyelami bagaimana keberadaan hidup manusia. Katak, kelinci, atau monyet tercerdas sekalipun tidak mampu. Juga seorang manusia tak mungkin menyelami sepenuhnya keberadaan diri seorang manusia lainnya. Betapa sering kita berkata, terutama ketika masih remaja, "Anda tak mengerti saya; tak seorang pun mengerti saya." Benar ucapan tadi! Tak seorang pun mengerti saya kecuali saya sendiri, bahkan pengertian saya tentang diri sendiri pun masih terbatas. Demikian pula, tak seorang pun mengerti Anda kecuali Anda sendiri. Ukuran pengertian diri atau kesadaran diri ini diterapkan Paulus kepada Roh Kudus (ayat 11): "Demikian pulalah tidak ada orang yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri Allah selain Roh Allah." Roh Kudus Allah di sini hampir disamakan dengan pengertian diri Ilahi atau kesadaran diri Ilahi. Sama seperti halnya tak seorang pun dapat mengerti seseorang kecuali orang itu sendiri, demikian pula tak seorang pun dapat mengerti Allah kecuali Allah sendiri. Ada lagu yang mengatakan, "Allah saja mengetahui kasih Allah." Senada dengan itu dapat pula kita tegaskan bahwa Allah saja yang mengetahui hikmat Allah, sesungguhnya Allah saja yang mengetahui keberadaan Allah. Dengan demikian, Roh menyelidiki kedalaman-kedalaman diri Allah, dan Roh mengetahui perkara-perkara Allah. Dia memiliki pemahaman yang unik tentang diri Allah. Masalahnya sekarang ialah: Apa yang dibuat-Nya dengan apa yang sudah diselidiki dan diketahui-Nya itu? Apakah disimpan-Nya sendiri pengetahuan unik-Nya itu? Tidak. Dia sudah melakukan hal yang hanya Dia patut dan mampu melakukannya; Dia telah menyatakannya. Roh yang menyelidik menjadi pula Roh yang menyatakan. Apa yang diketahui hanya oleh Roh Kudus, Dia pula yang dapat menyatakannya. Hal ini sudah ditegaskan di ayat 10, "Karena kepada kita (para rasul) Allah telah menyatakannya oleh Roh." Kemudian Paulus menguraikannya di ayat 12: "Kita (kita yang sama yaitu para rasul) tidak menerima roh dunia, tetapi roh yang berasal dari Allah (yaitu Roh yang menyelidik din yang mengetahui), supaya kita tahu, apa yang dikaruniakan Allah kepada kita." Sebenarnya, para rasul telah menerima dua karunia istimewa dari Allah, PERTAMA karunia keselamatan (apa yang dikaruniakan Allah kepada kita) dan KEDUA, Roh memampukan mereka untuk mengerti keselamatan anugerah-Nya. Paulus sendiri merupakan contoh terbaik tentang proses rangkap ini. Sambil kita membaca surat-suratnya, dia memberikan suatu uraian yang indah sekali tentang Injil kasih karunia Allah. Dia menyatakan apa yang telah Allah buat untuk orang-orang berdosa seperti kita yang tidak pantas menerima yang lain kecuali hukuman-Nya. Dia menyatakan bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya untuk mati disalib bagi dosa-dosa kita dan bangkit kembali, dan jika kita melalui iman di hati dan baptisan di depan umum maka kita turut mati bersama Dia dan bangkit kembali dengan Dia, mengalami suatu kehidupan baru di dalam Dia. Injil ajaib seperti inilah yang Paulus ungkapkan kepada kita dalam surat- suratnya. Tetapi bagaimana dia dapat mengetahui semua ini? Bagaimana dia dapat membuat uraian seluas itu tentang keselamatan? Jawabnya tentunya ialah karena PERTAMA dia sendiri sudah menerimanya. Dia mengetahui kasih karunia Allah dalam pengalamannya. KEDUA, Roh Kudus telah diberikan kepadanya untuk menafsirkan pengalamannya itu kepada dirinya. Jadi, Roh Kudus menyatakan kepadanya rencana keselamatan Allah, yang dalam surat-suratnya yang lain disebutnya sebagai 'rahasia' Allah. Roh yang menyelidik menjadi Roh yang menyatakan. Kini kita tiba ke tahap ketiga: Roh yang menyatakan menjadi Roh yang mengilhamkan. "Kami berkata-kata tentang karunia-karunia Allah dengan perkataan yang bukan diajarkan kepada kami oleh hikmat manusia, tetapi oleh Roh." (Ayat 13) Perhatikan bahwa di ayat 12 Paulus menulis tentang apa yang dia terima dan di ayat 13 tentang apa yang dia sampaikan. Mungkin baik bila saya mengupas alur pikirannya ini sebagai berikut: "Kami telah menerima karunia-karunia besar ini dari Allah; kami telah menerima Roh-Nya untuk menafsirkan bagi kami apa yang sudah Allah buat dan berikan untuk kami; kini, kami menyatakan apa yang sudah kami terima itu kepada orang-orang lain." Roh yang menyelidik yang sudah menyatakan rencana keselamatan dari Allah kepada para rasul, meneruskan penyampaian Injil ini melalui para rasul kepada orang-orang lain. Sama seperti halnya Roh tidak menyimpan hasil-hasil penyelidikan-Nya untuk diri-Nya sendiri, demikian pula para rasul tidak menyimpan penyataan dari-Nya itu untuk diri mereka sendiri. Tidak. Mereka mengerti bahwa mereka dipercayakan sebagai penatalayan. Mereka harus meneruskan apa yang sudah mereka terima kepada orang- orang lain. Lagi pula, apa yang mereka sampaikan itu berbentuk kata-kata dan kata- kata itu menurut mereka bukan berasal dari hikmat manusia tetapi diajarkan oleh Roh Kudus (ayat 13). Lihatlah di sini bagaimana Roh Kudus disinggung kembali, tetapi kali ini sebagai Roh yang mengilhamkan. Dalam ayat 13 ini tertampung pernyataan rangkap Paulus tentang 'pengilhaman verbal'. Artinya, kata-kata yang melaluinya para rasul meneruskan berita yang telah dinyatakan Roh kepada mereka, adalah kata-kata yang sama yang telah diajarkan kepada mereka oleh Roh. Menurut dugaan saya, penyebab mengapa ungkapan 'pengilhaman verbal' kurang disenangi orang adalah kesalahmengertian tentang artinya. Akibatnya, apa yang mereka tolak bukan arti sesungguhnya, melainkan karikaturnya. Izinkan saya menjernihkan beberapa kesalahan konsep berikut. PERTAMA, 'pengilhaman verbal' tidak berarti bahwa 'setiap kata dalam Alkitab harus dianggap benar secara harafiah'. Tidak, kita tahu benar bahwa para penulis Alkitab sering menggunakan berbagai jenis gaya tulisan, yang masing-masing harus ditafsirkan menurut peraturannya sendiri-sendiri -- sejarah sebagai sejarah, puisi sebagai puisi, perumpamaan sebagai perumpamaan, dan sebagainya. Yang diilhamkan adalah arti wajar masing-masing kata, sesuai dengan maksud pengarangnya sendiri, entah harfiah ataupun simbolik. KEDUA, 'pengilhaman verbal' bukan berarti dikte lisan. Kaum Muslim percaya bahwa Allah mendiktekan Quran kepada Muhammad, kata demi kata dalam bahasa Arab. Bukan begini yang dipercaya orang Kristen tentang Alkitab, sebab, sebagaimana sudah kita lihat sebelum ini dan yang kelak akan lebih saya tegaskan, Roh Kudus memperlakukan para penulis Alkitab sebagai pribadi, bukan sebagai mesin. Walaupun ada beberapa kasus perkecualian, umumnya mereka sepenuhnya menguasai seluruh kemampuan manusia mereka sementara Roh mengkomunikasikan firman-Nya melalui kata-kata mereka. KETIGA, 'pengilhaman verbal' tidak berarti bahwa setiap kalimat dalam Alkitab adalah firman Allah, biarpun bila dilepaskan dari konteksnya, misalnya. Tidak semua hal yang ditampung dalam Alkitab disetujui oleh Alkitab. Kisah khotbah-khotbah panjang para sahabat Ayub adalah contoh baik tentang hal ini. Pernyataan utama mereka bahwa Allah menghukum Ayub karena dosa-dosanya, sama sekali salah. Di pasal terakhir, dua kali Allah berkata, "Kamu tidak berkata benar." (Ayub 42:7-8) Jadi, kata-kata mereka tidak bisa dianggap sebagai kata-kata Allah. Ucapan- ucapan mereka diikutsertakan bukan untuk disetujui, melainkan untuk disalahkan. Firman Allah yang diilhamkan ialah yang disetujui dan ditandaskan, entah berbentuk perintah, petunjuk, atau janji. Yang dimaksud dengan 'pengilhaman verbal' ialah bahwa apa yang sudah dan masih dikatakan oleh Roh Kudus melalui penulis-penulis Alkitab, bila dimengerti sesuai dengan arti jelas dan wajar dari kata-kata yang tertulis itu adalah benar tanpa salah. Tak perlu kita merasa dibuat malu oleh pokok iman Kristen ini, atau merasa dipermalukan atau takut mengakuinya. Sebaliknya, doktrin ini jelas jelas masuk akal, sebab kata-kata adalah bangun dasar yang membentuk kalimat-kalimat. Kata- kata adalah sel-sel dasar yang membangun ucapan. Tidak mungkin memolakan pesan yang tepat tanpa membentuk kalimat-kalimat tepat yang terdiri dari kata-kata yang tepat pula. Bayangkanlah bagaimana sulitnya menyusun sebuah telegram. Katakanlah kita diberi batas hanya dua belas kata. Pada saat yang sama kita diminta untuk menyusun bukan saja pesan yang dapat dimengerti, melainkan juga pesan yang tak akan disalahmengertikan. Untuk itu kita menyusun, menyusun, dan menyusunnya ulang. Kita buang satu kata di sini dan menambah sebuah kata lagi di sana, sampai pesan kita tersusun rapi, jelas, dan memuaskan. Kata-kata sedemikian penting artinya. Setiap pengkhotbah yang ingin mengkomunikasikan pesan yang dapat dimengerti dan tak akan disalahmengertikan, tahu pentingnya kata-kata. Setiap pengkhotbah yang berhati-hati mempersiapkan khotbah-khotbahnya, memilih kata-katanya dengan teliti. Setiap penulis, entah menulis surat atau artikel atau buku, tahu bahwa kata itu penting artinya. Dengarkanlah apa yang pernah ditulis seseorang berikut ini: "Betapa agung milik manusia yang satu ini: kata-kata ... Tanpa kata, tak mungkin kita memahami hati dan pikiran sesama kita. Bila demikian, tak ada bedanya manusia dari binatang ... sebab, begitu kita ingin berpikir dan memahami sesuatu, kita selalu memikirkannya dalam kata- kata, walaupun itu tidak kita utarakan kuat-kuat; tanpa kata, segala isi pikiran kita tinggal sekadar tumpukan kerinduan dan perasaan yang gelap tak terselami dan tak terpahami bahkan oleh diri kita sendiri." Jadi, kita selalu harus membungkus pikiran-pikiran kita dalam kata- kata. Hal inilah sebenarnya yang dicanangkan para rasul bahwa Roh Kudus Allah yang sama yang menyelidiki kedalaman-kedalaman Allah dan yang menyatakan penyelidikan-penyelidikan-Nya itu kepada para rasul, meneruskannya melalui para rasul dalam kata-kata yang berasal dari pilihan para rasul sendiri. Roh mengutarakan kata-kata-Nya melalui kata-kata mereka, supaya kata-kata itu sekaligus merupakan kata-kata Allah dan kata-kata manusia. Inilah yang dimaksud bahwa Alkitab dikarang secara rangkap. Ini pula maksud 'pengilhaman'. Pengilhaman Alkitab bukan suatu proses mekanis. Pengilhaman sepenuhnya melibatkan Pribadi (Roh Kudus) yang berbicara melalui pribadi-pribadi (para nabi dan para rasul) sedemikian rupa sehingga secara serempak kata-kata-Nya menjadi kata-kata mereka sendiri, dan mereka menjadi kata-kata Dia. Kini kita tiba pada tahap kerja Roh Kudus yang keempat sebagai perantara penyataan, dan dalam tahap ini saya sebut Dia sebagai Roh yang 'menerangi'. Mari kita telusuri bersama. Bagaimanakah anggapan kita tentang mereka yang mendengar khotbah- khotbah rasul dan kemudian membaca surat-surat rasul? Adakah mereka dibiarkan sendiri tanpa bantuan? Haruskah mereka bergumul sekuat tenaga untuk mengerti pesan-pesan rasuli itu? Tidak! Roh yang sama yang giat bekerja di dalam diri mereka yang menulis surat-surat rasuli, giat pula di dalam diri mereka yang membaca surat tersebut. Jadi, Roh Kudus bekerja di dalam keduanya, mengilhamkan firman-Nya kepada para rasul dan menerangi para pendengar mereka. Secara tidak langsung hal ini disinggung dalam ayat 13, ayat yang rumit dan sering ditafsirkan berbeda-beda. Saya cenderung menerjemahkan, "Roh Kudus menafsirkan kebenaran-kebenaran rohani kepada mereka yang memiliki Roh." Hal memiliki Roh tidak terbatas hanya pada para penulis Alkitab. Tentu saja karya pengilhaman-Nya di dalam mereka bersifat unik; namun sebagai tambahan Roh Kudus berkarya pula dalam penafsiran. Ayat 14 dan 15 mengupas kebenaran ini dan menekankan segi-segi yang berbeda tajam. Ayat 14 mulai dengan menunjuk pada 'manusia duniawi', yaitu mereka yang tidak diperbaharui yakni orang non-Kristen. Sebaliknya, ayat 15 mulai dengan 'manusia rohani', yang memiliki Roh Kudus. Dengan demikian, Paulus membagi manusia ke dalam dua kategori yang terpisah tajam: 'yang duniawi' dan 'yang rohani', yaitu mereka yang memiliki kehidupan alami, atau jasmani di satu pihak dan mereka yang sudah menerima kehidupan rohani atau kehidupan kekal di lain pihak. Golongan pertama tidak memiliki Roh Kudus karena mereka belum dilahirkan kembali, tetapi Roh Kudus mendiami mereka yang telah dilahirkan-Nya baru, didiami oleh Roh Kudus, merupakan ciri orang Kristen sejati (Roma 8:9). Apa bedanya bila kita memiliki Roh Kudus atau tidak? Besar sekali! Terutama (walaupun ada perbedaan lainnya), dalam pengertian kita tentang kebenaran rohani. Manusia tidak rohani atau yang belum diperbaharui, yaitu yang tidak menerima Roh Kudus, tidak juga menerima perkara-perkara dari Roh Kudus karena hal itu merupakan kebodohan bagi mereka (ayat 14). Bukan saja tidak mengerti, melainkan juga tidak sanggup lagi mengerti karena sudah 'terlalu paham'. Manusia rohani di lain pihak, Kristen yang sudah dilahirkan kembali dan di dalam siapa Roh Kudus berdiam, 'menilai' (istilah Yunaninya sama dengan memahami di ayat 14) 'segala sesuatu'. Bukan berarti dia menjadi maha tahu seperti Allah, melainkan semua perkara yang dulu tidak dilihat dan dipahaminya, yaitu yang telah Allah nyatakan dalam Alkitab, kini menjadi berarti baginya. Dia mengerti apa yang dulu tidak dimengertinya walaupun karena itu dia sendiri tidak dapat dimengerti orang lain. Secara harfiah berarti 'dia tidak dipahami oleh siapa pun'. Dia menjadi semacam teka-teki, sebab ada rahasia yang dalam tentang kebenaran dan kehidupan rohaninya yang tidak masuk akal bagi orang-orang tak beriman. Sebenarnya ini tidak perlu diherankan, sebab tak seorang pun tahu pikiran Allah atau mampu mengajari Dia. Karena mereka tidak mengerti pikiran Kristus, mereka tidak mengerti kita pula walaupun kita yang telah diterangi Roh Kudus dapat berkata dengan berani, "Kami memiliki pikiran Kristus." (ayat 16) Betapa ajaib! Inikah pengalaman Anda? Sudahkah Alkitab menjadi suatu buku berarti bagi Anda? Seseorang pernah berkata kepada sahabatnya sesaat sesudah pertobatannya, "Jika Allah menarik kembali Alkitabnya dan menukarnya dengan yang lain, Alkitab lain itu bukan lagi barang baru baginya." Hal yang sama saya alami sendiri. Sebelum saya bertobat, saya membaca Alkitab setiap hari karena diharuskan ibu saya. Tetapi saya menghadapi banyak sekali kesulitan. Tak sedikit pun saya mengerti isinya. Tetapi ketika saya dilahirkan kembali dan Roh Kudus datang berdiam di dalam diri saya, tiba-tiba Alkitab menjadi sesuatu yang baru bagi saya. Tentu, saya tidak menganggap bahwa saya tahu segala sesuatu. Saat ini pun saya masih jauh dari mengerti segala perkara. Tetapi saya mulai mengerti hal-hal yang tadinya tidak saya mengerti. Betapa ajaibnya pengalaman ini! Anda jangan menganggap Alkitab sebagai kumpulan naskah-naskah kuno berbau apek yang harus dipajang di perpustakaan. Jangan beranggapan bahwa halaman-halaman Alkitab seumpama fosil-fosil yang harus ditempatkan di balik kaca-kaca museum. Tidak, Allah masih berbicara melalui apa yang sudah dibicarakan-Nya. Melalui teks kuno dalam Alkitab, Roh Kudus dapat berkomunikasi kembali dengan kita kini, secara segar, pribadi dan penuh kuasa. "Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan (ditulis dalam bentuk waktu sekarang) Roh (melalui Alkitab) kepada jemaat jemaat." (Wahyu 2:7) Jika Roh Kudus pada zaman ini masih berbicara kepada kita melalui Alkitab, mungkin Anda akan bertanya, "Mengapa tidak terjadi persetujuan pendapat tentang segala sesuatu, jika selain menjadi perantara penyataan, Roh Kudus juga adalah penafsir, mengapa Dia tidak memimpin kita kepada suatu pemikiran yang sama?" Jawaban saya mungkin akan membuat Anda kaget. Sesungguhnya, Dia memungkinkan kita untuk lebih mengalami kesepakatan ketimbang tidak. Kita akan memiliki pemahaman yang sama asal saja kita mengikuti empat persyaratan berikut. PERTAMA, kita harus menerima otoritas mutlak Alkitab dan bersungguh hati tunduk kepadanya. Di antara mereka yang bersikap seperti ini terciptalah sejumlah konsensus Kristen yang berarti. Perbedaan besar dan menyakitkan yang ada, misalnya antara Gereja Roma Katholik dan Gereja-gereja Protestan, terutama terjadi karena yang pertama terus saja enggan menyatakan bahwa Alkitab memiliki otoritas mutlak melampaui tradisi gereja. Posisi resmi Gereja Roma (walaupun sudah diubah namun tidak cukup memadai oleh Konsili Vatikan kedua), masih menegaskan bahwa 'baik Tradisi Suci dan Kitab Suci harus diterima dan dihornytti dengan sikap ibadah dan khidmat yang sama'. Gereja-gereja Protestan tidak menyangkal pentingnya tradisi, dan sebagian dari kita sangat menghormatinya, sebab Roh Kudus sudah sejak generasi-generasi yang lampau mengajar, dan Dia bukan baru saja mengajarkan kebenaran kepada kita. Namun bila di antara keduanya terjadi benturan, kita harus mengizinkan Alkitab untuk membentuk ulang tradisi, sama seperti yang Yesus tegaskan terhadap tradisi orang Yahudi (Markus 7:1-13). Jika Gereja Roma Katholik memiliki keberanian untuk menolak tradisi- tradisi yang tidak alkitabiah (misalnya, dogma mereka tentang ketidakberdosaan Maria dan pengangkatan Maria ke Surga), kemajuan cepat akan tercapai ke arah persetujuan di bawah firman Allah. KEDUA, kita harus ingat hal yang sudah kita bahas sebelum ini bahwa maksud utama Alkitab ialah memberi kesaksian kepada Kristus, Sang Juruselamat sempurna bagi orang-orang berdosa. Ketika para perintis Reformasi di abad keenam belas menekankan pentingnya kejelasan Alkitab dicapai dengan menerjemahkannya agar orang biasa dapat membacanya sendiri, mereka sebenarnya sedang menunjuk pada jalan keselamatan. Mereka tidak menyangkal bahwa Alkitab mengandung 'hal-hal yang sukar dipahami' (komentar Petrus tentang surat-surat Paulus di 2Petrus 3:16); apa yang mati-matian mereka tegaskan ialah bahwa kebenaran- kebenaran hakiki untuk keselamatan, dapat dimengerti oleh semua orang dengan jelas. KETIGA, kita harus menerapkan prinsip-prinsip penafsiran yang sehat. Tentu mudah sekali memutarbalikkan Alkitab sesuka keinginan kita mengertinya. Tetapi tugas kita ialah menafsirkan, bukan memutarbalikkan Alkitab. Yang terutama harus kita cari ialah arti asal dan arti wajar Alkitab sesuai dengan maksud penulisnya. Mungkin bisa harfiah bisa pula kiasan, lagi-lagi tergantung niat penulisnya. Apa yang kita sebut tadi ialah prinsip historis dan prinsip kesederhanaan. Bila keduanya diterapkan secara lurus dan ketat, maka Alkitab akan mengontrol kita, bukan kita mengontrol Alkitab. Akibatnya, wilayah- wilayah tentang mana kita bersepakat akan bertambah luas. KEEMPAT, kita harus mendatangi teks Alkitab dengan kesadaran tentang adanya prasangka-prasangka budaya kita dan kesediaan untuk mengizinkan prasangka tadi ditantang dan diubah. Jika kita datang kepada Alkitab dengan sikap angkuh dan menganggap semua pemahaman iman dan kebiasaan yang kita warisi benar adanya, tentu saja di dalam Alkitab hanya akan kita temukan hal-hal yang memang ingin kita temukan, yaitu dukungan untuk status quo kita. Selain itu, kita pun akan berada dalam pertentangan tajam dengan orang lain yang datang kepada Alkitab dari latar belakang dan keyakinan yang berbeda, namun ternyata mendapatkan 'dukungan' Alkitab untuk pandangan mereka. Mungkin tak ada penyebab lebih lazim timbulnya pertentangan daripada faktor tadi. Hanya jika kita cukup berani dan rendah hati, mengizinkan Roh Allah melalui firman. Allah mempertanyakan secara radikal pandangan-pandangan yang paling kita sayangi, baru kita akan mendapatkan keesaan dan pengertian yang segar. Pemahaman rohani yang dijanjikan Roh Kudus tidak bertentangan dengan keempat syarat ini, tetapi syarat-syarat ini merupakan pengandaian yang harus kita terima dan penuhi lebih dulu. Kesimpulan Kita telah menyelidiki tentang Roh Kudus dalam empat peran: Roh yang menyelidik, Roh yang menyatakan, Roh yang mengilhamkan, dan Roh yang menerangi. Inilah keempat tahap pelayanan Roh Kudus mengajar umat-Nya. PERTAMA, Dia menyelidiki kedalaman Allah dan pikiran Allah. KEDUA, Dia menyatakan penyelidikan-Nya itu kepada para rasul. KETIGA, Dia menyampaikan apa yang telah dinyatakan-Nya kepada para rasul melalui para rasul dengan kata-kata yang disediakan-Nya sendiri. KEEMPAT, Dia menerangi pikiran para pendengar agar mereka dapat memahami apa yang sudah dinyatakan kepada dan melalui para rasul, dan masih melanjutkan karya iluminasi-Nya ini bagi mereka yang ingin menerimanya sampai saat ini. Dua pelajaran singkat sederhana akan mengakhiri pembahasan ini. Yang PERTAMA menyangkut pandangan kita tentang Roh Kudus. Sekarang ini Pribadi dan karya Roh Kudus banyak diperbincangkan orang. Bagian Alkitab kita ini hanya salah satu dari banyak bagian Alkitab lainnya tentang Roh Kudus. Tetapi izinkan saya bertanya kepada Anda, "Adakah tempat dalam doktrin Anda tentang Roh Kudus untuk bagian ini?" Yesus menyebut-Nya 'Roh Kebenaran'. Berarti kebenaran penting bagi Roh Kudus. Ya, saya tahu bahwa Dia juga adalah Roh kekudusan, Roh kasih dan Roh kuasa, tetapi apakah Dia merupakan Roh Kebenaran untuk Anda? Menurut ayat-ayat yang sudah kita pelajari, Dia sangat mementingkan kebenaran. Dia menyelidikinya, menyatakannya, mengkomunikasikannya, dan menerangi pikiran kita agar mampu mengertinya. Sahabat, jangan sekali-kali meremehkan kebenaran! Jika Anda lakukan itu, Anda mendukai Roh Kudus kebenaran. Bagian ini seharusnya membawa dampak nyata pada pandangan kita tentang Roh Kudus. KEDUA, kebutuhan kita akan Roh Kudus. Inginkah Anda bertumbuh dalam pengenalan Anda tentang hikmat Allah dan rencana menyeluruh-Nya menjadikan kita serupa Kristus dalam kemuliaan-Nya kelak? Tentu ingin, seperti halnya saya juga. Berarti kita butuh Roh Kudus, Roh kebenaran, untuk menerangi pikiran kita. Untuk itu kita perlu dilahirkan kembali. Kadang-kadang terpikir oleh saya, mengapa sementara teolog sekuler mengeluarkan ucapan-ucapan dan tulisan-tulisan serendah nilai sampah (yang saya maksudkan, misalnya ialah penolakan mereka akan kepribadian Allah dan Keilahian Yesus) adalah karena mereka belum dilahirkan kembali. Mungkin saja seseorang menjadi teolog tanpa dilahirkan kembali. Inikah sebabnya mereka tidak memahami kebenaran-kebenaran ajaib dalam Alkitab? Alkitab dapat dipahami secara rohani. Karena itu kita perlu datang kepada Alkitab dengan rendah hati, hormat, dan penuh harap. Kita perlu mengakui bahwa kebenaran-kebenaran yang dinyatakan di dalam Alkitab masih terkunci dan termeterai sampai Roh kudus membukakannya bagi kita dan membukakan pikiran kita untuk kebenaran tersebut. Allah menyembunyikan kebenaran-Nya dari orang berhikmat dan orang pandai, dan menyatakannya kepada 'bayi-bayi', yaitu mereka yang dengan rendah hati dan hormat datang kepada-Nya. Jadi, sebelum kita, para pengkhotbah, membuat persiapan; sebelum warga jemaat mendengarkan, sebelum seseorang atau sekelompok orang mulai membaca Alkitab dalam masing-masing situasi ini, kita harus berdoa agar Roh Kudus memberikan penerangan-Nya: "Singkapkanlah mataku, supaya aku memandang keajaiban-keajaiban dari Taurat-Mu." (Mazmur 119:18) Maka pasti Dia akan melakukannya.
Sumber:
Sumber diambil dari:
Alkitab dan Reformasi
Editorial:
"Alkitab", tulis William Chillingworth, "dan aku katakan, hanya Alkitab, adalah agama dan orang-orang Protestant."
Penulis:
Alister E. McGrath
Edisi:
060/III/2005
Isi:
"Alkitab", tulis William Chillingworth, "dan aku katakan, hanya Alkitab, adalah agama dan orang-orang Protestant." Kata-kata termasyhur dari orang Protestan Inggris dalam abad ke-17 ini meringkaskan sikap Reformasi terhadap Kitab Suci. Calvin menyatakan prinsip yang sama ini dengan agak kurang mengesankan walaupun secara lebih lengkap, demikian, "Biarlah hal ini kemudian menjadi suatu aksioma yang pasti: bahwa tidak ada yang lain yang harus diakui di dalam gereja sebagai Firman Allah kecuali apa yang termuat, PERTAMA dalam Torah dan Kitab Nabi-Nabi, dan KEDUA dalam tulisan-tulisan dari para Rasul; dan bahwa tidak ada metode pengajaran lain di dalam gereja yang berlainan dari apa yang sesuai dengan ketentuan dan aturan dari Firman-Nya." Seperti akan kita lihat, bagi Calvin, lembaga-lembaga dan peraturan-peraturan baik dari gereja maupun masyarakat dituntut berakar di dalam Kitab Suci, "Aku hanya menyetujui lembaga-lembaga manusia yang didirikan di atas kewenangan Allah dan berasal dari Kitab Suci." Zwingli memberikan judul untuk traktat yang ditulisnya pada tahun 1522 mengenai Kitab Suci, yakni Tentang Kejelasan dan Kepastian dari Firman Allah, yang menandaskan bahwa "Landasan agama kita adalah firman yang tertulis, Kitab Suci Allah". Pandangan-pandangan seperti itu menunjukkan penghargaan yang tinggi terhadap Kitab Suci yang secara konsisten dimiliki oleh para reformator. Pandangan ini, seperti telah kita lihat, bukanlah sesuatu yang baru; pandangan itu menggambarkan pokok utama dari kesinambungan dengan teologi Abad Pertengahan - kecuali beberapa kaum Fransiscan yang belakangan - yang menganggap Kitab Suci sebagai sumber terpenting dari ajaran Kristen. Perbedaan antara para reformator dan teologi Abad Pertengahan pada pokok masalah ini menyangkut bagaimana Kitab Suci itu didefinisikan dan ditafsirkan lebih daripada menyangkut status yang diberikan kepadanya. Kita akan membahas pokok-pokok ini lebih jauh dalam bagian yang berikut ini. Kanon Kitab Suci Hal pokok bagi program apa pun yang memperlakukan Kitab Suci sebagai normatif adalah menentukan batas-batas Kitab Suci. Dengan kata lain, apakah Kitab Suci itu? Istilah "kanon" (satu kata Yunani yang berarti "aturan" atau "norma") dipergunakan untuk merujuk pada kitab-kitab yang oleh gereja dianggap otentik. Bagi teolog-teolog Abad Pertengahan, "Kitab Suci" berarti "karya-karya yang tercakup dalam Vulgata". Namun, para reformator merasa berwenang untuk mempersoalkan penilaian ini. Sementara semua kitab Perjanjian Baru diterima sebagai kanonis - kekuatiran Luther menyangkut empat kitab hanya memperoleh dukungan sedikit [1] - keragu-raguan muncul menyangkut kanonitas dari sekumpulan karya Perjanjian Lama. Suatu perbandingan isi dari Perjanjian Lama dalam Alkitab Ibrani pada satu pihak dan versi-versi Yunani dan Latin (seperti pada Vulgata) pada pihak lain memperlihatkan bahwa yang belakangan itu memuat sejumlah kitab yang tidak terdapat dalam yang pertama. Para reformator itu berpendapat bahwa tulisan- tulisan Perjanjian Lama yang dapat diakui untuk masuk dalam kanon Kitab Suci hanyalah yang asli terdapat dalam Alkitab Ibrani [2]. Jadi, suatu perbedaan ditarik antara "Perjanjian Lama" dan "Apokrifa"; yang pertama terdiri atas kitab-kitab yang terdapat dalam Alkitab Ibrani, yang belakangan terdiri atas kitab-kitab yang terdapat dalam Alkitab Yunani dan Alkitab Latin (seperti Vulgata), tetapi tidak terdapat dalam Alkitab Ibrani. Sementara beberapa reformator mengakui bahwa karya-karya apokrif itu merupakan bacaan yang dapat membawakan perbaikan, telah ada persetujuan umum bahwa karya-karya ini tidak dapat dipergunakan sebagai dasar untuk ajaran. Namun, teolog-teolog Abad Pertengahan, diikuti oleh Konsili Trente tahun 1546, mendefinisikan "Perjanjian Lama" sebagai "karya-karya Perjanjian Lama yang termuat dalam Alkitab Yunani dan Latin", dan menyingkirkan perbedaan antara "Perjanjian Lama" dan "Apocrypha". Jadi, suatu perbedaan yang fundamental berkembang antara pengertian- pengertian Katholik Roma dan Protestan tentang apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan istilah "Kitab Suci". Perbedaan ini tetap ada sampai hari ini. Satu perbandingan antara versi-versi Alkitab Protestan - dua yang terpenting adalah New Revised Standard Version (NRSV) dan New International Version (NM) - dengan versi-versi Katholik Roma, seperti Jerusalem Bible, akan mengungkapkan perbedaan- perbedaan ini. Bagi para reformator, sola scriptura dengan demikian tidak hanya mengimplikasikan satu perbedaan, tetapi dua, dari pihak Katholik yaitu pihak yang bertentangan dengan mereka; bukan hanya status yang berbeda yang mereka kenakan terhadap Kitab Suci, tetapi mereka juga tidak sependapat tentang apa sebenarnya Kitab Suci itu. Tetapi apakah relevansi dari perdebatan ini? Satu kebiasaan Katholik yang membuat para reformator merasa sangat tersinggung adalah mengenai doa untuk orang mati. Bagi reformator-reformator itu, kebiasaan ini tidak mempunyai dasar Alkitabiah (ajaran tentang penyucian) dan mendorong pada takhyul rakyat dan eksploitasi oleh gereja. Namun, pihak Katholik, yang berseberangan dengan mereka, dapat menanggapi keberatan ini, dengan menunjuk bahwa kebiasaan berdoa bagi orang mati itu secara eksplisit disebutkan dalam Kitab Suci di dalam 2Makabe 12:40-46. Pada pihak lain, para reformator, dengan menyatakan bahwa kitab ini adalah apokrif (dan karenanya bukan merupakan bagian dari Alkitab) dapat menjawab bahwa setidak-tidaknya dalam pandangan mereka, kebiasaan itu tidaklah Alkitabiah. Ini pantas memperoleh balasan dari pihak Katholik bahwa reformator-reformator itu mendasarkan teologi mereka atas Kitab Suci, tetapi hanya setelah mengeluarkan dari kanon Kitab Suci karya-karya yang kebetulan bertentangan dengan teologi mereka. Satu hasil dari perdebatan ini adalah produksi dan peredaran daftar- daftar yang sah dari buku-buku yang dianggap "Alkitabiah". Sesi keempat dari Konsili Trente (1546) menghasilkan suatu daftar yang rinci yang memasukkan karya-karya Apokrifa sebagai yang otentik Alkitabiah, sedangkan jemaat-jemaat Protestan di negeri Swis, Perancis, dan di mana saja, memproduksi daftar-daftar yang dengan sengaja menghilangkan rujukan pada karya-karya ini atau juga menunjukkan bahwa mereka tidaklah penting dalam masalah ajaran. Kewibawaan Kitab Suci Para reformator melandaskan kewibawaan Kitab Suci dalam hubungannya dengan Firman Allah. Bagi beberapa orang, hubungan itu tampaknya sedikit lebih bernuansa; Kitab Suci memuat Firman Allah. Meskipun demikian, terdapat konsensus bahwa Kitab Suci harus diterima seakan- akan Allah sendirilah yang sedang berbicara. Bagi Calvin, kewibawaan Kitab Suci dilandaskan dalam fakta bahwa para penulis Alkitab adalah "sekretaris (`notaires authentiques` dalam Institutio versi bahasa Perancis) Roh Kudus". Seperti yang dinyatakan oleh Heinrich Bullinger, kewibawaan Kitab Suci adalah mutlak dan otonom, "Oleh karena ia merupakan Firman Allah, Kitab Suci yang kudus itu mempunyai kedudukan dan kredibilitas yang mencukupi di dalam dirinya sendiri dan dari dirinya sendiri." Di sini Injil itu sendirilah yang mampu berbicara untuk dirinya sendiri dan menantang dan memperbaiki gambaran-gambaran tentang dirinya yang tidak memadai dan tidak akurat dalam abad ke-16. Kitab Suci mampu memberikan penilaian atas gereja Abad Pertengahan (dan nyatanya "kurang") dan juga memberikan model bagi gereja Reformed baru yang akan muncul segera sesudah ini. Sejumlah hal menunjukkan makna penting dari prinsip `sola scriptura` ini. PERTAMA, para reformator itu mempunyai pendapat yang teguh bahwa kewenangan paus-paus, dewan-dewan dan teolog-teolog berada di bawah Kitab Suci itu. Ini tidak berarti bahwa mereka tidak mempunyai kewenangan; seperti yang kita akan lihat kemudian, para reformator itu memberikan kepada dewan-dewan dan teolog-teolog tertentu dalam zaman patristik suatu kewenangan yang sejati dalam hal ajaran-ajaran. Namun, yang hendak dikatakan adalah bahwa kewenangan tersebut berasal dari Kitab Suci dan dengan demikian berada di bawah Kitab Suci. Alkitab, sebagai Firman Allah, harus dipandang sebagai yang lebih tinggi daripada Bapa-bapa Gereja dan dewan-dewan. Seperti yang dikatakan oleh Calvin, "Karena meskipun kita berpegang bahwa Firman Allah, Firman Allah itu sendiri terletak di seberang lingkup penilaian kita dan bahwa Bapa-bapa Gereja dan dewan-dewan hanya berwibawa sejauh mereka sesuai dengan aturan dari Firman itu, kita masih memberikan kepada dewan-dewan dan Bapa-bapa Gereja kehormatan dan kedudukan seperti yang sesuai untuk mereka miliki di bawah Kristus." Luther cenderung mempertahankan prinsip `sola scriptura` itu dengan menekankan kekacauan dan keruwetan dari teologi Abad Pertengahan, sementara Calvin dan Melanchthon berpendapat bahwa teologi Katholik yang terbaik (seperti dari Augustinus) mendukung pandangan-pandangan mereka atas prioritas dari pada Kitab Suci. KEDUA, para reformator itu berpendapat bahwa kewibawaan di dalam gereja tidaklah berasal dari status sang pengemban jabatan, tetapi dari Firman Allah yang dilayani oleh pengemban jabatan itu. Teologi tradisional Katholik cenderung melandaskan kewibawaan dari sang pengemban jabatan di dalam jabatan itu sendiri - contohnya, kewibawaan seorang uskup terletak dalam kenyataan bahwa ia adalah seorang uskup - dan menekankan kesinambungan historis dari jabatan uskup itu dengan era Apostolis. Para reformator melandaskan kewibawaan dari uskup-uskup (atau jabatan yang sepadan dalam gereja Protestan) di dalam kesetiaan mereka pada Firman Allah. Seperti yang dikatakan oleh Calvin mengenai hal ini, "Perbedaan antara kami dan pengikut paus adalah mereka percaya bahwa gereja tidak dapat menjadi pilar kebenaran kecuali jika ia memimpin Firman Allah. Kami, pada pihak lain menyatakan bahwa ia menjadi pilar kebenaran justru karena ia dengan penuh rasa hormat menundukkan dirinya ke bawah Firman Allah sehingga kebenaran itu dipelihara olehnya dan diteruskan kepada orang-orang lain melalui tangan-tangannya." Kesinambungan historis tidak begitu penting dalam hubungan dengan proklamasi Firman Allah yang benar itu. Gereja-gereja Reformasi yang terang-terangan memisahkan diri dinyatakan tidak mempunyai kesinambungan historis dengan lembaga-lembaga dari Gereja Katholik. Sebagai contoh, tidak akan ada uskup Katholik yang mentahbiskan pendeta mereka. Namun, para reformator berpendapat bahwa kewibawaan dan fungsi seorang uskup pada akhirnya datang dari kesetiaan mereka pada Firman Allah. Demikian pula keputusan-keputusan para uskup (dan juga dari dewan-dewan dan paus-paus) berwibawa dan mengikat sejauh mereka setia pada Kitab Suci. Bila orang-orang Katholik menekankan pentingnya kesinambungan historis, para reformator dengan bobot yang sama menekankan makna penting dari kesinambungan ajaran. Pada satu pihak gereja-gereja Protestan tidak dapat secara umum mengadakan kesinambungan historis kepada keuskupan (kecuali, seperti dalam kasus reformasi-reformasi di Inggris dan Swedia, karena beralihnya uskup- uskup Katholik), namun pada pihak lain mereka dapat memberi kesetiaan yang diperlukan itu pada Kitab Suci - jadi, dalam pandangan mereka, mengesahkan jabatan-jabatan gerejawi Protestan. Tidak mungkin ada garis hubung historis yang tidak terputus-putus antara pemimpin- pemimpin Reformasi dan uskup-uskup gereja mula-mula, tetapi para reformator itu berpendapat bahwa karena mereka percaya dan mengajarkan iman yang sama seperti uskup-uskup gereja mula-mula itu (dibandingkan dengan Injil yang diselewengkan dalam gereja Abad Pertengahan), kesinambungan yang diperlukan itu bagaimanapun juga ada. Dengan demikian prinsip sola scriptura mencakup klaim bahwa kewibawaan gereja dilandaskan di dalam kesetiaannya pada Kitab Suci. Namun, lawan-lawan Reformasi dapat mengambil satu diktum (ucapan) dari Augustinus, "Aku tidak pantas mempercayai Injil kecuali jika hatiku digerakkan oleh Gereja Katholik". Tidakkah keberadaan yang sebenarnya dari kanon Kitab Suci menunjuk kepada gereja yang mempunyai kewibawaan atas Kitab Suci? Bagaimanapun juga, gerejalah yang menentukan apa "Kitab Suci" itu - dan hal ini memberi kesan bahwa gereja mempunyai kewenangan atas dan tidak bergantung pada, Kitab Suci. Jadi, John Eck, lawan Luther dalam Perdebatan Leipzig yang terkenal tahun 1519 itu, berpendapat bahwa "Kitab Suci tidaklah otentik tanpa kewibawaan gereja". Ini dengan jelas menimbulkan pertanyaan tentang hubungan antara Kitab Suci dan tradisi. Peran Tradisi Prinsip `sola scriptura` dari para reformator itu tampaknya akan menyingkirkan rujukan pada tradisi di dalam pembentukan ajaran Kristen. Namun, dalam kenyataannya reformator-reformator besar itu mempunyai pemahaman yang sangat positif terhadap tradisi, seperti yang kita akan lihat. Dalam bagian yang lebih dahulu, kita mencatat adanya dua pengertian mengenai tradisi yang menjadi karakteristik Abad Pertengahan, "Tradisi 1" dan "Tradisi 2". Prinsip `sola scriptura` tampaknya akan merujuk pada suatu pengertian dari teologi yang tidak memberikan peran apa pun untuk tradisi - suatu pengertian yang kita dapat sebut "Tradisi 0". Tiga pengertian utama tentang hubungan antara Kitab Suci dan tradisi yang ada dalam abad ke-16 dapat diringkaskan sebagai berikut. Pertama-tama, analisis ini tampaknya dapat mengagetkan. Tidakkah para reformator itu menolak tradisi demi ajaran hanya oleh kesaksian Alkitabiah? Namun, dalam kenyataannya reformator-reformator itu mempunyai keprihatinan terhadap pembersihan tambahan-tambahan manusia pada kesaksian Alkitabiah itu atau terhadap penyimpangan-penyimpangan dari padanya. Paham tentang suatu "penafsiran tradisional atas Kitab Suci" - yang termasuk di dalam konsep "Tradisi 1" - benar-benar dapat diterima oleh reformator-reformator magisterial asalkan penafsiran tradisional ini dapat dibenarkan. Satu-satunya sayap dari Reformasi yang menerapkan secara konsisten prinsip `sola scriptura` adalah Reformasi radikal atau "Anabaptisme". Bagi orang-orang radikal itu (atau "fanatik", julukan yang diberikan Luther untuk mereka), seperti Thomas Muntzer dan Caspar Schwenkfeld, setiap individu mempunyai hak untuk menafsirkan Kitab Suci sesuka hati masing-masing dengan tunduk pada tuntunan Roh Kudus. Bagi Sebastian Franck yang radikal itu, "Alkitab adalah suatu kitab yang dimeteraiksan oleh tujuh meterai yang tidak dapat dibuka oleh seorang pun kecuali ia mempunyai kunci Daud, yang adalah pencerahan Roh". Dengan demikian, jalan terbuka bagi individualisme, dengan penilaian (pendapat) pribadi dari seorang individu yang muncul mengatasi penilaian yang bersifat kelompok dari gereja. Jadi golongan radikal itu menolak praktik kebiasaan baptisan anak (yang tetap dipertahankan oleh Reformasi magisterial) karena dianggap tidak Alkitabiah (tidak ada rujukan yang jelas untuk praktik kebiasaan itu di dalam Perjanjian Baru). Hal yang serupa, ajaran-ajaran seperti Trinitas dan keilahian Kristus ditolak sebagai ajaran atas dasar bahwa pondasi Alkitabiahnya tidak memadai. "Tradisi 0" menempatkan penilaian pribadi dari seseorang berada di atas penilaian gerejawi dari gereja Kristen menyangkut penafsiran akan Kitab Suci. Itu merupakan suatu resep untuk anarki - dan, seperti yang diperlihatkan secara menyedihkan dalam sejarah Reformasi radikal itu, anarki itu segera berkembang. Seperti yang telah dikemukakan, Reformasi magisterial secara teologis bersifat konservatif. Ia mempertahankan ajaran-ajaran gereja yang paling tradisional - seperti keilahian Kristus dan ajaran tentang Trinitas - oleh karena keyakinan para reformator itu bahwa penafsiran- penafsiran tradisional atas Kitab Suci ini benar. Hal yang sama, banyak praktik kebiasaan tradisional (seperti baptisan anak) dipertahankan oleh karena kepercayaan para reformator bahwa itu semua konsisten dengan Kitab Suci. Reformasi magisterial dengan sedih menyadari akan bahaya individualisme dan berusaha menghindari ancaman ini dengan menekankan penafsiran tradisional gereja atas Kitab Suci yang menempatkan penafsiran tradisional sebagai yang dianggap benar. Kritik mengenai ajaran ditujukan terhadap lingkup teologi atau praktik kebiasaan Katholik yang tampak telah menyeleweng terlalu jauh atau telah bertentangan dengan Kitab Suci. Oleh karena sebagian besar perkembangan ini terjadi dalam Abad Pertengahan, tidaklah mengherankan bila reformator-reformator itu menyebut periode tahun 1200-1500 sebagai "zaman kerusakan" atas "periode penyelewengan" yang membuat mereka merasa mempunyai misi untuk membaruinya. Hal yang sama, hampir tidak mengherankan bila kita menemukan reformator-reformator itu mengacu kepada Bapa-bapa Gereja yang secara umum dianggap sebagai penafsir-penafsir Kitab Suci yang dapat diandalkan [3]. Pokok ini sangatlah penting dan telah tidak mendapatkan perhatian sewajarnya. Salah satu alasan mengapa reformator-reformator itu menghargai tulisan-tulisan Bapa-bapa Gereja, khususnya Augustinus, adalah bahwa mereka melihat Bapa-bapa Gereja itu sebagai eksponen- eksponen dari teologi Alkitabiah. Dengan kata lain, reformator- reformator itu percaya bahwa Bapa-bapa Gereja itu sedang berusaha untuk mengembangkan suatu teologi yang hanya didasarkan atas Kitab Suci - yang tentu saja tepat sama seperti apa yang juga tengah mereka coba lakukan pada abad ke-16. Memang, metode-metode tekstual dan filologis baru yang kini dapat diperoleh para reformator itu mengandaikan bahwa mereka dapat melakukan koreksi atas Bapa-bapa Gereja dalam pokok-pokok yang rinci; tetapi reformator-reformator itu bersedia menerima "kesaksian patristis" itu sebagai kesaksian yang secara umum dapat diandalkan (3). Oleh karena kesaksian itu mencakup ajaran-ajaran seperti Trinitas dan keilahian Kristus dan praktik- praktik kebiasaan seperti baptisan anak, reformator-reformator itu cenderung untuk menerima hal-hal ini sebagai yang secara otentik alkitabiah. Dengan demikian akan menjadi jelas bahwa penghargaan yang tinggi terhadap penafsiran tradisional atas Kitab Suci ini (yakni "Tradisi 1") memberikan Reformasi magisterial arah yang kuat mengenai konservatisme dalam ajaran. Pemahaman tentang prinsip `sola scripture` ini memberikan kemungkinan kepada para reformator untuk mengkritik kedua lawan mereka - pihak pertama adalah golongan radikal dan pihak kedua adalah golongan Katholik. Orang-orang Katholik berpendapat bahwa reformator-reformator itu mengangkat penilaian (pendapat) pribadi di atas penilaian (pendapat) yang bersifat kelompok dari gereja. Reformator-reformator itu menjawab bahwa mereka tidak melakukan hal semacam itu; mereka hanya memulihkan kembali penilaian gerejawi itu pada keadaannya yang semula dengan melawan kemerosotan ajaran dari Abad Pertengahan dengan suatu acuan pada penilaian gerejawi dari zaman patristis. Namun, orang-orang radikal tidak memberikan tempat apa pun bagi "kesaksian Bapa-bapa Gereja". Seperti yang ditulis oleh Sebastian Franck tahun 1530, "Ambrosius, Augustinus, Hieronimus, Gregorius yang bodoh - orang-orang yang tidak mengenal Tuhan, jadi tolonglah aku, ya Allah, dan mereka pun tidak diutus oleh Allah untuk mengajar. Lagi pula mereka semua adalah murid-murid si Anti-Kristus". Tradisi 0 tidak memberikan tempat bagi penafsiran tradisional atas Kitab Suci. Para reformator magisterial dengan demikian menolak pengertian yang radikal akan peran Kitab Suci ini dengan menganggapnya sebagai individualisme murni, suatu resep untuk kekacauan teologis. Karena itu, akan menjadi jelas bahwa sama sekali keliru mengatakan bahwa reformator-reformator magisterial itu mengangkat penilaian pribadi di atas penilaian gerejawi dari gereja atau bahwa mereka merosot ke dalam suatu bentuk individualisme. Penilaian ini pastilah benar untuk Reformasi radikal, satu-satunya sayap dari Reformasi yang telah benar-benar konsisten dalam menerapkan prinsip `sola scriptura`. Betapa sering ide-ide yang asli, radikal, dari suatu gerakan seperti Reformasi ditolak karena ide-ide yang lebih konservatif daripada yang dikembangkan oleh gerakan itu. Benar bahwa suatu variasi dalam derajat tertentu dapat ditemukan di dalam aliran utama dari Reformasi mengenai masalah ini: Zwingli lebih dekat dengan posisi radikal itu daripada Calvin, sedangkan Luther lebih dekat dengan posisi Katholik. Tetapi tidak seorang pun, ini harus ditekankan, bersedia membuang konsep tentang penafsiran tradisional atas Kitab Suci demi alternatif radikal itu. Seperti yang diperhatikan dengan muram oleh Luther bahwa akibat yang tidak dapat dihindarkan dari pendekatan seperti itu adalah kekacauan, suatu "Babel baru". Mungkin Luther sudah mempunyai simpati untuk pandangan-pandangan John Dryden dalam abad berikutnya: Kitab itu dengan demikian diletakkan di dalam tangan setiap orang, Yang menganggap dirinya masing-masing dapat memahami paling baik, Aturan yang umum dibuat sasaran umum, Dan terletak di dalam tangan rakyat jelata. Konsili Trente, yang bersidang dalam tahun 1546, menanggapi ancaman dari Reformasi dengan menegaskan suatu teori dua sumber. Penegasan oleh Tradisi 2 dari Reformasi Katholik ini menyatakan bahwa iman Kristen menjangkau setiap generasi melalui dua sumber: Kitab Suci dan suatu tradisi yang tidak tertulis. Tradisi yang di luar Alkitab ini harus diperlakukan sebagai yang memiliki kewibawaan yang setara dengan Kitab Suci. Dalam membuat pernyataan ini, Konsili Trente tampaknya telah mengangkat yang belakangan dan yang kurang berpengaruh, dari dua pengertian Abad Pertengahan yang utama tentang "tradisi" dengan meninggalkan yang lebih berpengaruh itu untuk para reformator. Penting dicatat bahwa dalam tahun-tahun terakhir ini sudah ada suatu "revisionisme" dalam derajat tertentu dalam lingkungan-lingkungan Katholik Roma mengenai masalah ini dengan beberapa teolog masa kini yang berpendapat bahwa Konsili Trente meniadakan pandangan bahwa "Injil hanyalah sebagian ada di dalam Kitab Suci dan sebagian ada di dalam tradisi-tradisi" [4]. Catatan Kaki:
Sumber:
Bahan di atas dikutip dari sumber:
Penderitaan Sang Juruselamat
Editorial:
Penulis:
Louis Berkhof
Edisi:
059/III/2005
Isi:
Sejumlah hal perlu ditekankan berkenaan dengan penderitaan Kristus.
KEMATIAN SANG JURUSELAMAT Penderitaan Juruselamat kita pada akhirnya mencapai titik puncak tertinggi pada waktu kematian-Nya. Berkenaan dengan hal ini, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan:
PENGUBURAN SANG JURUSELAMAT Tampaknya, kematian Kristus adalah keadaan terakhir dari kehinaan-Nya, terutama berkaitan dengan kalimat terakhir yang diucapkan-Nya di atas kayu salib, "Sudah genap". Akan tetapi, sesungguhnya kalimat itu berkaitan dengan penderitaan-Nya yang aktif, yaitu penderitaan dimana Ia sendiri mengambil bagian secara aktif. Tentu saja hal ini benar digenapi pada saat kematian-Nya. Akan tetapi, jelas bahwa kematian-Nya juga mengambil bagian kehinaan-Nya. Perhatikanlah hal berikut ini:
JURUSELAMAT KITA TURUN KEDALAM KERAJAAN MAUT
Tafisran-tafsiran berbeda dari pernyataan Pengakuan Iman tersebut.
Sumber:
Sumber diambil dari:
Yayasan Lembaga SABDA; Biblical Computing
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Posting saya kali ini adalah tulisan saya sendiri yang berisi ajakan untuk mendoakan pelayanan Biblical Computing di Indonesia. Untuk itu, saya ingin memperkenalkan Yayasan Lembaga SABDA (YLSA), dimana saya sendiri ikut terlibat di dalamnya. YLSA adalah sebuah yayasan yang memiliki pelayanan yang unik dan sangat menarik, khususnya sehubungan dengan pelayanan Biblical Computing. Nah, untuk mengetahui letak keunikan yayasan ini, silakan menyimak tulisan berikut ini. In Christ,
Penulis:
Yulia Oeniyati, Th.M
Edisi:
058/I/2005
Isi:
Visi dan Misi Yayasan Lembaga SABDA Saya melihat YLSA sebagai yayasan yang unik, karena sampai saat ini, belum ada yayasan Kristen non-profit lain, yang berbasis di Indonesia, yang khusus bergerak dalam bidang pelayanan elektronik (yaitu menggunakan media komputer dan internet). Visi YLSA sebenarnya sangat simple, yaitu menjadi "hamba elektronik" untuk melayani masyarakat Kristen Indonesia, khususnya dalam penyediaan bahan-bahan literatur Kristen (dalam bentuk elektronik/digital). YLSA ingin membuktikan bahwa kemajuan teknologi sebenarnya adalah untuk menunjang kemajuan pekerjaan Tuhan. Tentu, hal ini akan sangat kontradiksi dengan pendapat sebagian orang Kristen (dan gereja) yang percaya bahwa komputer adalah alatnya setan. Sebaliknya, YLSA percaya pada "mandat budaya" yang Alkitab berikan kepada umat-Nya, bahwa kemajuan peradaban manusia seharusnya adalah untuk kemuliaan Tuhan. Setan akan memakainya jika kita membiarkan hal itu terjadi. Komputer bisa menjadi alat yang luar biasa untuk memuliakan Tuhan jika berada di tangan seorang Kristen yang mengasihi Tuhan, yang dipanggil untuk melaksanakan misi- Nya. Gambaran inilah yang saya lihat di YLSA. Melalui misi pelayanannya, YLSA diharapkan dapat menjadi fasilitator dan mobilisator bagi lahirnya dan tersebarnya bahan-bahan kekristenan bermutu, berbasis Indonesia yang bermanfaat untuk membangun iman masyarakat Kristen Indonesia. Sedihnya, dari dulu sampai sekarang, dalam hal literatur Kristen, bahkan juga literatur umum, Indonesia masih tergolong sebagai negara yang miskin dalam hal orisinalitas, baik kuantitasnya maupun kualitasnya (tapi bukan berarti tidak ada tulisan bermutu dari orang Indonesia, ada sih... tapi, jumlahnya tidak bisa dikatakan menggembirakan). Literatur Kristen bahasa Indonesia yang beredar pada umumnya terjemahan dari bahasa Inggris (itupun kebanyakan mutunya masih harus dipertanyakan). Literatur yang disukai biasanya adalah bahan-bahan praktika yang masih belum menyentuh hal-hal yang mendasar, sehingga tidak dapat membangun iman dan kehidupan Kristen yang solid. Jika pelayanan literatur Kristen umum masih belum digarap dengan baik di Indonesia, apalagi pelayanan literatur yang khusus berhubungan dengan bidang biblika, lebih tidak menggembirakan lagi. Dalam bidang inilah, YLSA ingin memberikan peran di Indonesia. Fokus Pelayanan YLSA Fokus pelayanan YLSA bisa diringkaskan dalam (4) Bidang Pelayanan Utama, yaitu:
Melihat apa yang dilakukan YLSA, saya kira YLSA termasuk yayasan yang langka. Tapi pada kesempatan ini, saya tidak akan menjelaskan satu per satu 4 fokus pelayanan YLSA di atas. Hanya satu dulu saja, yaitu Biblical Computing. Namun, ke-4 fokus pelayanan YLSA di atas sebenarnya memiliki keterkaitan yang erat antara satu dengan yang lain. YLSA dan Pelayanan Biblical Computing Apakah yang dimaksud dengan BIBLICAL COMPUTING? (Biblical Computing selanjutnya disingkat BC). Melihat kombinasi dua kata yang dipakai, yaitu "biblical" dan "computing", maka secara sederhana, BC dimengerti sebagai perpaduan antara Alkitab dan komputer. Namun penyederhanaan arti BC ini sebenarnya bisa menyesatkan. "Biblical" lebih dari hanya sekadar Alkitab, dan "computing" lebih dari sekadar komputer. Lebih tepat jika BC diartikan sebagai proses penyelidikan dan penggalian Alkitab, yang menyangkut semua aspek dari "biblical studies", yang dilakukan dengan bantuan program komputer. Dari arti di atas, maka kita dapat melihat bahwa BC adalah jendela bagi dimungkinkannya semua aspek penggalian Alkitab yang luas dan dalam, yang kebanyakan tidak mungkin dilakukan sebelumnya. Dengan kecanggihan pemrograman komputer, hal-hal yang dulu tidak mungkin dikerjakan, sekarang menjadi mungkin, contohnya:
Selain itu, komputer juga telah menjadi alat bantu yang sangat bermanfaat, bahkan luar biasa, untuk memproses bahan-bahan biblika, dengan memberikan hasil dengan ketelitian dan kecermatan tinggi, dalam waktu yang jauh -- jauh lebih singkat dibandingkan dengan cara manual (tanpa alat bantu komputer). Pelaksanaan pelayanan Biblical Computing memerlukan paling tidak 2 hal mendasar:
YLSA menyadari bahwa pelayanan di bidang BC adalah pelayanan yang sangat mendasar yang diperlukan untuk mendukung kesehatan gereja dan pelayanan Kristen pada umumnya. Melalui pelayanan BC, maka masyarakat Kristen akan belajar bagaimana menggali dan menganalisa teks Alkitab, dengan cara yang lebih bertanggung jawab dan lebih akurat, tanpa harus mengorbankan keyakinan kita pada kebenaran Alkitab sebagai Firman Tuhan yang mutlak dan absolut. Program SABDA -- Online Bible (versi Indonesia) Untuk menyiapkan suatu program software Alkitab yang nantinya akan diintegrasikan dengan bahan-bahan biblika/bahan lain, YLSA tidak membuatnya sendiri, tapi YLSA bekerjasama dengan ONLINE BIBLE (yang diciptakan dan di-manage oleh Larry Pierce). Online Bible memiliki program software Alkitab yang cukup canggih, koleksi bahan-bahan biblikanya juga cukup luas, dan mempunyai komunitas pendukung yang mengembangkan program tersebut. Selain itu, Online Bible bersifat "open source" atau gratis. Setelah diskusi dan disetujui oleh Larry Pierce, maka dilakukan modifikasi program dengan penyesuaian pada beberapa bagian. Sebagai hasilnya, lahirlah sebuah program Alkitab yang disebut SABDA (singkatan dari Software Alkitab, Biblika Dan Alat- alat). Program inilah yang akan mengintegrasikan teks berbagai versi Alkitab, dalam beragam bahasa, termasuk bahasa asli Alkitab (Yunani dan Ibrani), dengan bahan-bahan biblika dan banyak bahan kekristenan lain, dengan sumber-sumber dari bahasa Indonesia. Keseluruhan dari paket Biblical Computing ini, kemudian dikemas dalam banyak floppy, sampai akhirnya menjadi sebuah CD, yang untuk selanjutnya dikenal dengan nama CD SABDA -- atau Online Bible versi bahasa Indonesia. Teks Berbagai Versi Alkitab dan Bahan-bahan Biblika Selama hampir 10 tahun pelayanannya, YLSA telah berusaha membangun infrastruktur yang diharapkan akan memungkinkan pelayanan bidang BC ini terwujud. Salah satu hal mendasar yang sangat penting dilakukan adalah penyediaan berbagai versi Alkitab, baik dalam bahasa Indonesia Kuno (Melayu)/Modern; bahasa daerah/suku (Jawa, Sunda); bahasa asli Alkitab (Yunani dan Ibrani) maupun bahasa asing lainnya (Inggris, Latin, Belanda, China) dalam bentuk elektronik/digital. Penggalian informasi dan pengumpulan serta pemrosesan manuskrip- manuskrip Alkitab bahasa Indonesia, baik Bahasa Indonesia kuno maupun modern, merupakan tantangan yang cukup besar. Namun, hal itu dapat teratasi berkat kejujuran, tekad, dan kerja keras dari setiap orang yang terlibat dalam pelayanan ini. Puji Tuhan! kerja keras ini membuahkan hasil yang luar biasa karena saat ini, YLSA telah berhasil memproses secara elektronik 10+ versi Alkitab bahasa Indonesia untuk dipublikasikan dan dipakai oleh masyarakat Indonesia secara luas. Keberhasilan inilah yang memantapkan YLSA untuk selanjutnya membangun pelayanan yang disebut sebagai "e-Bible". Dalam melaksanakan "biblical studies", memiliki berbagai teks Alkitab saja sangatlah tidak cukup. Diperlukan bahan-bahan biblika lain untuk menjadi sumber referensi yang menunjang proses penggalian dan penyelidikan Alkitab. Untuk itu, bekerja sama dengan berbagai lembaga penerbitan lain, YLSA mengumpulkan dan memproses bahan-bahan yang akan berguna untuk dibuat bentuk elektroniknya/digitalnya. Sebagai hasilnya adalah sebuah "rak buku elektronik" yang berisi:
Peluncuran CD SABDA Versi 2.0 CD SABDA versi 1.0 telah selesai dikerjakan sebelum tahun 1995, yang berupa teks Alkitab versi TB dan BIS dari Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), yang kemudian diberikan kembali ke LAI secara gratis. Versi ini masih memakai program asli dari Online Bible dengan bahan-bahan lain dalam bahasa Inggris. Namun kemudian mulailah dikembangkan interface dalam bahasa Indonesia dan sedikit demi sedikit penambahan bahan-bahan lain dalam bahasa Indonesia. Selang 4 tahun kemudian (tahun 2000), CD SABDA versi 2.0 secara lengkap selesai dikerjakan, dicetak, dan disebarkan dengan gratis kepada masyarakat Kristen Indonesia secara luas. CD SABDA versi 2.0 berisi program Online Bible dalam bahasa Indonesia yang merupakan pengembangan dari versi 1.0. Bahan-bahan biblika dan bahan-bahan pelayanan yang ada dalam versi 2.0 berjumlah puluhan ribu halaman -- sebagian besar dalam bahasa Indonesia -- merupakan terbitan dan kerjasama dari berbagai penerbit Kristen Indonesia. Namun, karena adanya keterbatasan bahan-bahan biblika dalam bahasa Indonesia yang tersedia, maka beberapa bahan-bahan biblika dalam bahasa Inggris yang diperlukan masih dipertahankan. Peluncuran CD SABDA Versi 3.0 Selama 5 tahun setelah peluncuran CD SABDA versi 2.0 tahun 2000, YLSA tidak puas dan berhenti sampai di situ saja, karena masih ada banyak sekali pekerjaan Biblical Computing yang belum dikerjakan, khususnya untuk melengkapi kekurangan-kekurangan jumlah versi Alkitab yang ada dalam bahasa Indonesia dan alat-alat biblika dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, sejak versi 2.0 diluncurkan, YLSA telah bekerja keras meng-upgrade program SABDA dan memproses bahan-bahan biblika baru hingga akhir tahun 2004 dan awal 2005. Saat ini versi Beta dari CD SABDA 3.0, sejumlah kira-kira 150 buah, sudah dibagikan kepada beberapa kelompok orang sejak bulan Nopember 2004 y.l. Kerinduan YLSA adalah pada Pebruari tahun 2005, CD SABDA versi 3.0 dapat diluncurkan bagi masyarakat Kristen Indonesia! Media Biblical Computing Sebelum media CD menjadi populer di Indonesia, YLSA telah menyediakan floppy/disket bagi mereka yang menginginkan SABDA. Selain dalam versi DOS, tersedia juga versi Windows dan MacIntosh. Karena media internet juga mulai populer di Indonesia tahun 1997, maka jalur dan media penting ini pun dipakai agar masyarakat bisa mengakses SABDA dengan mudah -- mereka bisa downloading programnya atau bisa display dan memakai SABDA lewat Web. Ketika keping CD akhirnya mudah didapatkan, maka media CD menjadi pilihan YLSA untuk menyebarkan SABDA kepada masyarakat Kristen Indonesia secara luas. Dunia dan media elektronik berkembang terus dengan sangat cepat. Saat ini, selain bentuk CD, ada banyak variasi media/OS untuk melipat ganda, termasuk Audio, HTML, WEB, Linux, PDA, dan lain-lain. Pada tahap berikutnya setelah SABDA versi 3.0 (yang sedang disiapkan dan segera diluncurkan), YLSA siap mengembangkan BC untuk dapat tersedia dalam semua bentuk media elektronik yang ada. Mohon Dukungan Doa dan Dana Sampai hari ini, seluruh staf YLSA masih bekerja keras untuk menyelesaikan seluruh pemrosesan bahan dan persiapan percetakan. Oleh karena itu, dukungan para Sahabat YLSA, khususnya dalam doa dan dana, sangat kami harapkan. Mari kita bergandeng tangan guna mendukung pelayanan Biblical Computing di Indonesia, yang sampai saat ini masih sangat kurang dikerjakan. Bagi Anda yang tergerak memberikan sumbangan untuk membantu penyelesaian proyek CD SABDA versi 3.0, silakan mengirimkannya ke: YAYASAN LEMBAGA SABDA
Sumber:
YLSA Sumber diambil dari:
Apa yang Menggerakkan Kehidupan Anda?
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Senang sekali bertemu Anda semua di awal tahun 2005 ini. Apakah ada di antara Anda yang punya tradisi/kebiasaan memulai tahun baru dengan suatu RESOLUSI? Saya sering melakukannya, khususnya kalau ada banyak kegagalan/kesalahan/kekecewaan yang saya alami tahun sebelumnya, sehingga hal itu mendorong saya untuk membuat rencana yang diharapkan akan dapat menebus kegagalan/kesalahan/kekecewaan itu. Dorongan rasa bersalah akhirnya mewarnai rencana-rencana hidup yang saya buat. Berbicara tentang membuat rencana hidup dan resolusi tahun baru, saya teringat dengan buku yang pada akhir tahun 2004 kemarin banyak dibicarakan orang, yaitu bukunya Rick Warren yang berjudul The Purpose Drive Life, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi "Kehidupan yang Digerakkan oleh Tujuan". Saya kira buku tersebut memang patut mendapat perhatian istimewa karena sangat "inspiring". Berikut adalah satu di antara 40 Bab yang dibahas dalam buku tersebut, yang saya kutipkan untuk Anda, khususnya yang belum kebagian membeli buku tersebut. Hal yang menarik dari artikel ini (buku ini) adalah kepandaian Rick untuk membuat pemikiran filosofis yang berat dan rumit tentang hidup menjadi suatu hal yang praktis dan simple. Ada beberapa hal yang dapat kita tarik menjadi pelajaran yang berguna:
Dan masih banyak lagi yang saya yakin dapat kita timba dari merenungkan artikel ini. Oleh karena itu, saya persilakan Anda menyimaknya sendiri dan selamat mengisi tahun 2005 dengan hal-hal yang berkenan bagi Tuhan. In Christ,
Penulis:
Rick Warren
Edisi:
057/XII/2004
Isi:
"Kemudian aku melihat bahwa pada dasarnya segala jerih payah dan keberhasilan orang didorong oleh perasaan iri hatinya. ..." Pengkhotbah 4:4 (FAYH) Manusia tanpa suatu tujuan adalah ibarat sebuah kapal tanpa kemudi -- anak terlantar, hal sia-sia, bukan siapa-siapa. Thomas Carlyle Kehidupan setiap orang digerakkan oleh sesuatu. Banyak kamus mendefinisikan kata kerja menggerakkan sebagai "membimbing, mengendalikan, atau mengarahkan". Entah Anda menggerakkan sebuah mobil, sebuah paku, atau bola golf, Anda sedang membimbing, mengendalikan, dan mengarahkannya pada saat itu. Apakah yang menjadi daya penggerak di dalam kehidupan Anda? Sekarang, Anda mungkin digerakkan oleh suatu masalah, suatu tekanan, atau suatu batas waktu. Anda mungkin digerakkan oleh ingatan yang menyedihkan, ketakutan yang menghantui, atau suatu keyakinan yang tidak disadari. Ada ratusan kondisi, nilai, dan emosi yang bisa menggerakkan kehidupan Anda. Berikut ini adalah lima penggerak yang paling umum:
BERBAGAI MANFAAT KEHIDUPAN YANG DIGERAKKAN OLEH TUJUAN Ada lima manfaat besar dari kehidupan yang memiliki tujuan:
BERPIKIR TENTANG TUJUAN SAYA Pokok untuk Direnungkan: Ayat untuk Diingat: Yesaya 26:3 (TEV) Pertanyaan untuk Dipikirkan:
Sumber:
Diambil dari:
Bukan Damai, Melainkan Pedang
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Karena sebentar lagi akan tiba Hari Natal, maka saya pikir akan sangat baik kalau pada kesempatan pengiriman kali ini, saya mengambil artikel yang sedikit berbau Natal .... :) Saya yakin, dalam banyak tahun mengikuti perayaan Natal, Anda pasti ingat tema-tema Natal yang menggunakan kata 'damai', seperti, "Damai di Bumi", "Natal yang Membawa Damai", "Kristus Raja Damai", "Pesan Damai dari Kristus", "Damai di Hati", dan masih banyak lagi .... Intinya, kedatangan Kristus diidentikkan dengan datangnya damai di dunia. Pesan Natal ini diambil dari pernyataan malaikat yang tertulis dalam Lukas 2:14. Artikel di bawah ini, yang berjudul "BUKAN DAMAI, MELAINKAN PEDANG", sepertinya bertentangan dengan pesan-pesan Natal yang selama ini biasa kita dengar. Tapi judul yang diambil dari Injil Matius 10:34 ini adalah kata-kata Kristus sendiri, maka sekarang pertanyaannya, apakah dua kalimat tersebut bertentangan? Sebagai orang Kristen yang mengerti Alkitab, tentu saja kita tidak mau memberikan jawaban yang terlalu apologetik (dalam arti yang sesungguhnya), ... 'wah kata-kata Tuhan Yesus itu sulit untuk kita tafsirkan sendiri, mungkin seharusnya dijawab oleh mereka yang ahli bahasa Yunani dan bla ... bla ... bla ....' Kalau kita dihadapkan pada pilihan, maka secara akal sehat dan etika, tentu saja kita akan mengganggap kata-kata malaikatlah yang lebih enak kita dengar. Menerima pernyataan Matius 10:34, sepertinya mempercayai bahwa Yesus datang sebagai pembawa onar. Maka kita akan cenderung mencoba menghindari memberikan jawaban atas masalah ini dan berkata bahwa kita tidak mengerti apa yang dikatakan Yesus. Menanggapi sikap-sikap seperti ini, maka Kata Pengantar dalam buku dari mana artikel ini diambil, yang berjudul "Ucapan Yesus yang Sulit", sangat menarik untuk kita simak: "Satu alasan dari keluhan bahwa perkataan Yesus itu sulit adalah karena Dia membuat pendengar-Nya berpikir. Bagi sebagian orang, berpikir merupakan suatu pekerjaan yang sulit dan tidak enak, terutama bila menyangkut penilaian kembali yang kritis dari prasangka dan pendirian yang kuat, atau bila menyangkut tantangan terhadap konsensus pemikiran zaman sekarang. Oleh karena itu, setiap perkataan yang mengundang mereka untuk mengikutsertakan pemikiran yang demikian dianggap perkataan yang sulit. Banyak perkataan Yesus dianggap sulit dalam pengertian demikian." Nah, silakan merenungkan penjelasan F.F. Bruce (seorang pakar biblika Perjanjian Baru) dalam artikel berikut ini. Harapan saya dengan mengerti lebih dalam kata-kata Tuhan Yesus ini, kita bisa lebih menyadari bahwa dengan menerima Kristus sebagai Raja dalam kehidupan kita, bukan berarti bahwa kehidupan Kristen kita akan selalu dilimpahi dengan 'rasa damai' seperti yang kita inginkan atau kita mengerti. Justru kadang kita lihat sebaliknya, ketika kita dengan taat menjalankan prinsip-prinsip iman Kristen, maka kita mendapati hidup kita tidak lagi sejalan dengan prinsip-prinsip yang selama ini kita (lingkungan) pegang. "Rasa damai' tiba-tiba berubah menjadi konflik, meskipun sebenarnya bukan itu yang kita harapkan. Sementara kita mempersiapkan hati untuk menyambut Natal, marilah kita renungkan, bagaimana damai sejahtera yang sejati bisa betul-betul menguasai hati kita pada peringatan Natal tahun 2004? In Christ,
Penulis:
F.F. Bruce
Edisi:
056/XI/2004
Isi:
Bukan Damai, Melainkan PedangIni perkataan keras bagi semua orang yang mengingat berita para malaikat pada malam kelahiran Tuhan Yesus: ´Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya´. Bagian akhir dari berita ini seolah-olah berarti ´damai sejahtera di bumi di antara manusia adalah sasaran kasih Allah´. Memang, malaikat-malaikat hanya muncul dalam Lukas 2:14, sedang perkataan keras yang kita kutip terambil dari Matius. Akan tetapi, Lukas juga mencatat perkataan keras ini, hanya saja ia mengganti kata metafora ´pedang´ dengan kata bukan metafora, yaitu ´pertentangan´ (Lukas 12:51). Kedua penginjil kemudian melanjutkan tulisannya tentang Tuhan Yesus yang berkata, "Sebab Aku datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari ibu mertuanya" (Matius 10:35; Lukas 12:53). Lalu, Matius menutup perkataan ini dengan kutipan dari Perjanjian Lama yang berbunyi ´musuh orang ialah orang-orang seisi rumahnya´ (Mikha 7:6). Satu hal yang sudah pasti: Tuhan Yesus tidak menyokong pertentangan. Ia mengajar pengikut-Nya untuk jangan melawan atau membalas kalau mereka diserang atau diperlakukan tidak baik, "Berbahagialah orang yang membawa damai", kata-Nya, "karena mereka akan disebut anak-anak Allah" (Matius 5:9). Artinya, Allah ialah Allah Damai Sejahtera, sehingga orang yang mencari dan meneruskan damai mencerminkan sifat Allah. Ketika Ia melakukan kunjungan terakhir ke Yerusalem, berita yang Ia bawa menyangkut ´apa yang perlu untuk damai sejahtera´, dan Ia menangis karena kota itu menolak berita-Nya dan cenderung kepada jalan yang menuju kebinasaan (Lukas 19:41-44). Berita yang dikumandangkan pengikut-pengikut-Nya dalam nama-Nya setelah kepergian-Nya disebut ´Injil damai sejahtera´ (Efesus 6:15) atau ´berita perdamaian´ (2 Korintus 5:19). Disebut demikian bukan hanya sebagai ajaran doktrin, tetapi sebagai kenyataan yang dialami. Individu-individu dan kelompok-kelompok yang dahulunya saling berjauhan mengalami bagaimana mereka saling akur karena pengabdian yang sama kepada Kristus. Hal semacam ini bahkan dialami lebih awal dalam rangkaian pelayanan di Galilea. Kalau Simon orang Zelot dan Matius si pemungut cukai mampu hidup berdampingan sebagai dua rasul di antara dua belas rasul, tentunya rasul-rasul yang lain memandangnya sebagai mukjizat dari kasih karunia Allah. Akan tetapi, ketika Tuhan Yesus berbicara tentang ketegangan dan konflik dalam keluarga, Ia mungkin berbicara berdasarkan pengalaman pribadi. Ada indikasi dalam kisah Injil bahwa beberapa anggota keluarga-Nya sendiri tidak bersimpati dengan pelayanan-Nya: orang-orang yang dalam suatu kesempatan berusaha untuk mengambil-Nya dengan paksa karena orang yang mengatai-ngatai ´Ia tidak waras lagi´ disebut ´sahabat-Nya´ dalam RSV tetapi lebih tepat ´kaum keluarga-Nya´ dalam NEB dan juga dalam terjemahan bahasa Indonesia (Markus 3:21). Sebab saudara-saudara-Nya sendiri tidak percaya kepada-Nya, demikian dikatakan dalam Yohanes 7:5. (Kalau orang bertanya mengapa saudara-saudara-Nya ini menduduki kursi-kursi kepemimpinan bersama para rasul dalam gereja mula-mula, maka jawabannya dengan pasti terdapat dalam pernyataan 1 Korintus 15:7, yaitu bahwa Tuhan Yesus yang bangkit menyatakan diri kepada Yakobus saudara-Nya.) Jadi, kalau Tuhan Yesus berkata bahwa Ia datang bukan untuk membawa damai melainkan pedang, yang Ia maksudkan ialah bahwa itu adalah akibat kedatangan-Nya, bukan karena itu menjadi tujuan kedatangan-Nya. Kata-kata-Nya menjadi kenyataan dalam kehidupan gereja yang mula-mula. Dan, kebenaran kata-kata ini telah dibuktikan kemudian dalam sejarah pelayanan misi-misi Kristen. Waktu satu atau dua anggota keluarga atau golongan masyarakat lainnya menerima iman Kristen, maka hal ini selalu menimbulkan pertentangan dari anggota-anggota yang lain. Paulus, yang rupanya juga mengalami pertentangan semacam ini dalam keluarganya sebagai akibat pertobatannya, membuat perlengkapan bagi situasi semacam ini dalam hidup kekeluargaan para petobatnya. Ia tahu bahwa ketegangan bisa timbul bila seorang suami istri menjadi Kristen, sedang pasangannya tetap tidak percaya. Bila pasangan yang tidak percaya merasa berbahagia hidup bersama orang Kristen, itu baik. Seluruh keluarga dalam waktu yang tidak lama bisa menjadi Kristen. Akan tetapi, bila pasangan yang tidak percaya bersikeras untuk meninggalkan dan mengakhiri perkawinan, maka orang Kristen tidak boleh menggunakan kekerasan atau tindakan-tindakan legal, karena ´Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera´ (1 Korintus 7:12-16). Jadi, dalam kata-kata-Nya ini, Tuhan Yesus memperingatkan pengikut- pengikut-Nya bahwa kesetiaan mereka kepada-Nya bisa mengakibatkan konflik di rumah, bahkan pengusiran dari lingkungan keluarga. Adalah baik bahwa mereka diperingatkan sebelumnya, jadi mereka tidak bisa berkata, "Kami tidak pernah membayangkan bahwa kami harus membayar harga ini untuk mengikut Dia!"
Sumber:
Sumber diambil dari:
Permulaaan Pembaharuan Gereja (Reformasi)
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Selamat Hari Reformasi Gereja yang tahun ini kita peringati tanggal 31 Oktober 2004. Kiranya semangat untuk terus memperbaharui gereja tetap menyala-nyala sebagaimana para Reformator dulu. Jangan hanya memperbaharui tampilan gereja saja (seperti tempatnya dan gedungnya), tapi yang terutama doktrin dan pengajarannya (teologianya). Sola Scriptura, Sola fide, Sola gracia. In Christ,
Edisi:
055/X/2004
Isi:
1. Yang menyebabkan timbulnya pembaruan gereja ialah perbedaan antara teologi serta praktik gereja dengan ajaran Alkitab seperti yang ditemukan oleh Luther. Peristiwa yang membuat Reformasi itu mulai adalah penjualan surat-surat penghapusan siksa di Jerman oleh Tetzel. Menentang ucapan-ucapan Tetzel, Luther menyusun ke-95 dalilnya. Apa yang telah ditemukan oleh seorang guru teologi jauh di daerah, merupakan bahan peledak yang nanti akan meruntuhkan susunan gereja. Akan tetapi, pemimpin-pemimpin gereja di pusat tidak menyadari bahaya yang mengancam. Paus Leo X dan tokoh-tokoh gereja lainnya sibuk merencanakan pembangunan gereja raksasa, yaitu gereja Santo Petrus di Roma, yang harus melambangkan keagungan Gereja Barat. Untuk mengumpulkan dana bagi proyek itu, mereka memaklumkan penghapusan siksa bagi orang-orang yang akan memberi sumbangan. Di Jerman, surat-surat penghapusan siksa itu diperdagangkan oleh Tetzel. Dan, perdagangan itulah yang menjadi pendorong dimulainya Reformasi. Meskipun Tetzel seorang anggota Ordo Dominikan, tetapi ia tidak begitu mengindahkan rumusan-rumusan teologi yang halus. Ajaran resmi mengenai penghapusan siksa itu menentukan bahwa penghapusaan itu hanya berlaku, kalau orang sungguh-sungguh menyesali dosanya dan kalau dosa itu telah diampuni melalui sakramen pengakuan dosa. Namun, Tetzel berusaha meningkatkan penjualan barangnya dengan mengatakan bahwa surat-surat yang ditawarkannya itu menghapuskan dosa juga dan memperdamaikan orang dengan Allah. Demikianlah orang mendapat kesan bahwa pengampunan dosa dan pendamaian dengan Allah bisa diperoleh dengan uang, di luar penyesalan hati dan di luar sakramen-sakramen juga. Luther, sebagai seorang imam juga harus menerima pengakuan dosa dari pihak anggota-anggota jemaat. Karena pengalamannya sendiri, maka ia sangat bersungguh-sungguh dalam hal ini. Kini, ia didatangi oleh orang-orang yang menganggap sepi ajakan yang diberikannya sesudah pengakuan, agar mereka betul-betul menyesal dan menunjukkan penyesalan mereka dengan perbuatannya. Mereka memperlihatkan kepadanya surat penghapusan siksa sambil berkata: dosa kami sudah diampuni. Luther kaget. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk menjadikan hal ini sebagai pokok pembicaraan antara sarjana-sarjana teologi. Begitulah ia menyusun 95 dalil mengenai penghapusan siksa, dalam bahasa Latin, bahasa kaum cendekiawan. Pada tanggal 31 Oktober 1517, ia memperkenalkan dalil-dalil itu dengan menempelkannya di pintu gereja di Wittenberg (bacaan 1). 2. Dalil-dalil Luther menyangkut perkara yang sudah menghebohkan masyarakat Jerman, meskipun biasanya dengan alasan lain (harta Jerman yang mengalir ke luar negeri). Dari sebab itu, tulisan tersebut dibaca dengan asyik oleh orang banyak. Sebaliknya, pemimpin-pemimpin gereja di Roma menuding Luther sebagai seorang penyesat. Dalam dalil-dalilnya itu, Luther menentang perkataan-perkataan Tetzel. Bahkan, ia menegaskan pula bahwa penyesalan sejati bukanlah sesuatu hal yang dapat diselesaikan orang dengan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh iman setelah pengakuan dosa, misalnya dengan mengucapkan Doa Bapa Kami sekian kali. Penyesalan itu berlangsung selama hidup! Itulah makna dalil yang pertama, yang berbunyi: "Apabila Tuhan dan Guru kita Yesus Kristus berkata: Bertobatlah, dan seterusnya, yang dimaksudkanNya ialah bahwa seluruh kehidupan orang percaya haruslah merupakan pertobatan (= penyesalan)." Siapa yang betul-betul mengasihi Allah, tidak akan berusaha secara egoistis menebus hukuman atas dosanya, apalagi dengan uang; yang penting baginya ialah agar Allah mengampuni kesalahannya. Luther belum menyangkal adanya api penyucian, sama seperti ia belum menyangkal kekuasaan Sri Paus dan banyak hal lain yang pada kemudian hari ditolaknya. Maksudnya, hanyalah untuk melawan pendapat seakan-akan surat-surat penghapusan siksa itu dapat memberi keselamatan, seperti yang didengung-dengungkan oleh para penjajanya untuk menipu rakyat biasa. Namun, sebenarnya Luther telah merombak seluruh ajaran Gereja Abad Pertengahan, bila ia mengatakan, "Bukan sakramen, melainkan imanlah yang menyelamatkan." Dalil-dalil diterjemahkan oleh mahasiswa-mahasiswanya ke dalam bahasa Jerman, dan dalam waktu empat minggu saja sudah tersiar ke seluruh Jerman. Umat Kristen, yang sudah lama tidak senang lagi mengenai keadaan gereja, kini mendengar suara yang menyatakan keberatannya dan yang sekaligus menunjukkan jalan lain. Sebaliknya, pemimpin-pemimpin gereja tidak begitu senang. Dalam waktu yang singkat saja hasil penjualan surat-surat penghapusan siksa telah menjadi sangat berkurang. Luther dituduh di hadapan Paus sebagai seorang penyesat, dan Leo X menuntut supaya ia menarik kembali ajaran yang salah itu. Luther menjelaskan maksud dalil-dalilnya kepada Paus dalam sepucuk surat yang penuh penghormatan. Akan tetapi, Paus memberi perintah kepadanya untuk menghadap hakim-hakimnya di Roma dalam waktu 60 hari. Itu berarti bahwa Luther akan dibunuh. Akan tetapi, keadaan politik di Jerman menolong Luther. Sebenarnya negeri Jerman adalah kekaisaran, tetapi kekuasaan Kaisar sangat terbatas. Jerman terbagi atas ratusan daerah yang praktis yang merupakan negara-negara merdeka. Salah satu yang terbesar di antara daerah-daerah itu ialah Kerajaan Sachsen, di mana Luther tinggal. Kalau rajanya, Raja Friedrich yang Bijaksana, berbuat sesuatu yang menentang gereja, Kaisar atau Paus tidak bisa berbuat apa-apa. Friedrich tidak mau menyerahkan Luther, tetapi Paus tidak berani melawan Friedrich, sebab memerlukan dukungan Friedrich dalam pemilihan seorang Kaisar baru (Charles V, 1519-1555). Lalu, Luther diperiksa di Jerman sendiri, tetapi di luar wilayah Saksen, oleh Kardinal Cajetanus (1518). Sudah barang tentu ia mengira bahwa ia akan ditangkap dan dibunuh. Di tengah jalan, orang- orang meneriakkan kepadanya, "Balik, balik!" Akan tetapi, Luther menjawab, "Di sana pun berkuasa Kristus. Semoga Kristus hidup, Martinus binasa, bersama dengan setiap orang berdosa!" Ia menghadap sang kardinal dengan berlutut dan ia mencoba membujuk Luther baik-baik, tetapi dengan segera toh terjadi perdebatan. Pegawai-pegawai istana Paus menertawakan Luther yang begitu bodoh membenarkan dirinya berdasarkan Kitab Suci. Akibatnya, sang Kardinal menjadi marah, dan Luther terpaksa diselundupkan ke luar kota, supaya ia lolos dari bahaya maut. Baru dua tahun kemudian Luther dihukum secara resmi. 3. Sementara itu, gerakan Reformasi semakin meluas. Luther sendiri makin sadar bahwa pengertiannya yang baru itu akan berpengaruh terhadap seluruh ajaran dan tata gereja: makin banyak unsur dari teologi dan praktik Gereja Roma yang ia tolak. Banyak kota dan daerah di Jerman yang memihak kepada Luther dan namanya mulai terkenal di luar negeri juga. Kalangan humanis bergelora semangatnya karena pembaruan-pembaruan yang dianjurkannya. Salah seorang humanis yang selama hidupnya bersahabat dengan Luther ialah rekannya di Universitas Wittenberg, Melanchthon (1497-1560), yang pada tahun 1518 menjadi guru besar bahasa Yunani di sana. Pengajaran sekolah umum di negeri Jerman disusunnya secara baru, menurut asas-asas Reformasi. Dialah yang menulis buku dogmatika protestan yang pertama, yang berjudul: Loci Communes ("Pokok-pokok Teologi", 1521). Ia juga merupakan pembantu Luther dalam hal penerjemahan Alkitab. Pandangan-pandangan baru Luther tidak berkembang dengan cepat, sebab ia berwatak konservatif, dan tidak suka melepaskan apa yang pernah dianutnya. Namun, justru dialah yang terpanggil untuk memelopori pembaruan gereja! Baru pada tahun 1519, ia menginsafi bahwa Paus bisa keliru juga, bahwa konseli-konseli gereja pun bisa sesat. Dengan demikian, seluruh tradisi gereja, yaitu anggapan-anggapan dan kebiasaan-kebiasaan yang telah muncul dan dipelihara berabad-abad lamanya, kehilangan kekuasaannya di samping Alkitab. Tradisi itu hanya masih berlaku di bawah kekuasaan Alkitab: apa yang berlawanan dengan ajaran Alkitab harus dihapuskan. 4. Pada tahun 1520 Luther menerbitkan tiga tulisan yang di dalamnya, ia menguraikan pandangannya yang baru. Yang paling terkenal ialah Kebebasan Seorang Kristen, yang merupakan buku etika Protestan yang pertama. Dalam ketiga karangan itu, Luther merobohkan seluruh sistem Abad Petengahan. Yang pertama ialah kepada para pemimpin Kristen Jerman, mengenai perbaikan masyarakat Kristen. Di sini, Luther menyatakan bahwa Paus dan kaum rohaniwan tidak boleh berkuasa atas "kaum awam". Setiap orang Kristen adalah seorang imam dan ikut bertanggung jawab dalam gereja. Dunia juga tidak "bertingkat dua". Berkhotbah atau bercocok tanam sama tingkatnya, sebab sama-sama bertujuan melayani Allah. Jadi, tidak dengan sepatutnya kaum "rohaniwan", khususnya Paus, menuntut kekuasaan atas negara dan masyarakat. Bangsa Jerman, dengan diwakili oleh pemimpin-pemimpinnya, boleh dan harus memperbaiki sendiri keadaan gerejanya. Karangan yang kedua berjudul: Pembuangan Babel untuk Gereja. Buku itu berisi uraian tentang sakramen-sakramen. Hanya baptisan dan Perjamuan Kudus yang bisa ditemukan dasarnya dalam Alkitab. Tentang pengakuan dosa, Luther masih ragu-ragu; keempat sakramen lainnya ditolaknya. Arti sakramen dan hubungan antara sakramen dengan firman Tuhan dirumuskannya secara baru juga: sakramen bukanlah saluran anugerah ke dalam diri kita. Sakramen, menurut Luther adalah tanda dari apa yang dinyatakan oleh Firman itu, Firman dalam rupa tanda, dan jawaban kita atas penerimaan sakramen itu hanyalah iman. Pada karangan pertama, Luther berbicara kepada para penguasa. Pada karangan kedua, ia berdiskusi dengan teolog-teolog. Pada karangan ketiga, Kebebasan Seorang Kristen, ia menulis bagi rakyat Kristen. Buku itu menguraikan soal perbuatan-perbuatan baik. Luther mulai dengan merumuskan dua dalil yang tampaknya saling bertentangan: "Seorang Kristen bebas dari segala ikatan dan bukanlah hamba kepada siapa pun"; "Seorang Kristen terikat pada segala sesuatu dan hamba dari semua orang". Demikian yang dimaksud Luther: Seorang Kristen bebas dari hukum atau Taurat mana pun, dan tidak terikat pada peraturan yang dikeluarkan oleh siapa pun, biar Sri Paus sekalipun, sebab ia telah memiliki kebenaran Kristus dan tidak membutuhkan lagi perbuatan-perbuatan amal. Akan tetapi, di dalam diri orang Kristen itu masih ada kemauan yang buruk, tubuhnya yang penuh hawa nafsu (Luther pernah menjadi rahib!) dan tubuh itu harus dikekang dengan banyak "perbuatan-perbuatan": dengan askese juga. Namun, perbuatan-perbuatan itu tidak mengandung amal - bukankah kita telah mendapat seluruh amal yang kita butuhkan di dalam Kristus? (bacaan 2). 5. Gereja Roma dan Negara Jerman mengutuk dan mengucilkan Luther. Akan tetapi, Raja Friedrich yang Bijaksana tetap melindungi dia. Pada tahun 1520, keluarlah bulla (surat resmi) dari Paus, yang telah lama ditunggu-tunggu. Jikalau Luther tak mau menarik kembali ajarannya yang sesat itu, ia akan dijatuhi hukuman gereja. Luther membalas bulla itu dengan karangan yang berjudul: "Melawan bulla yang terkutuk dari si Anti-Kris". Lalu, bulla itu dibakarnya di muka pintu gerbang kota Wittenberg di hadapan para guru besar dan mahasiswa. Kemudian, keluarlah bulla-kutuk Paus. Menurut anggapan abad pertengahan, negara tidak bisa tidak menghukum seorang penyesat yang telah dikutuk oleh gereja. Akan tetapi, karena banyak kepala daerah (bnd. pasal 2) menyetujui ajarannya, maka Luther dipanggil ke "sidang kekaisaran" yang pada bulan April 1521 diadakan di kota Worms untuk mempertanggungjawabkan perbuatan- perbuatan dan karangan-karangannya. Sahabat-sahabat Luther takut kalau-kalau ia akan ditangkap dan oleh sebab itu memohon kepadanya supaya jangan pergi juga. Akan tetapi, Luther berkata, "Biarpun di Worms ada setan sebanyak genteng di atas rumah, aku pergi juga! " Pembelaannya di hadapan kaisar dan raja-raja pada tanggal 18 April 1521 menjadi termasyhur. Wakil Paus menuntut kepadanya supaya ia memungkiri segala pandangannya yang sesat itu, tetapi Luther menunjuk pada Alkitab, "Bahwa saya bisa sesat sebagai manusia, tentang itu saya yakin. Akan tetapi, hendaknya saya diperbolehkan menuntut supaya dari Firman Allah dibuktikan kepada saya bahwa saya sesat." Namun, bukti itu tidak akan diberikan, karena ajarannya sudah lebih dahulu ditolak oleh gereja. Lalu, kata Luther, "Saya tidak percaya kepada Paus atau kepada konseli-konseli saja, karena sudahlah jelas seperti siang bahwa mereka berkali-kali sesat dan seringkali bertentangan dengan dirinya sendiri. Suara hati saya sudah terikat oleh perkataan Kitab Suci dan saya tertangkap dalam Firman Allah: menarik kembali, saya tidak dapat dan saya tidak mau sama sekali. Semoga Allah menolong saya. Amin!" Beberapa minggu kemudian, dalam Edik Worms, Luther bersama pengikut- pengikutnya dikucilkan dari masyarakat dengan "kutuk kekaisaran". Segala karangan Luther juga harus dibakar. Ia sendiri boleh ditangkap atau dibunuh oleh siapa saja yang menemukan dia. Karena kaisar telah memberi jaminan keamanan, maka Luther boleh pulang dulu ke kotanya. Ketika keretanya melintasi suatu hutan, sekonyong-konyong ia disergap oleh sepasukan orang berkuda yang bersenjata. Orang menyangka Luther telah dibunuh seteru-seterunya, tetapi sebenarnya ia dilarikan atas perintah Friedrich yang Bijaksana, yang hendak meluputkan sahabatnya itu dari bahaya maut. Luther dibawa ke puri Wartburg, supaya ia aman dan tersembunyi untuk sementara waktu. Sepuluh bulan lamanya, Luther tinggal di Wartburg dengan berpakaian ksatria dan memakai nama samaran, yaitu "Pangeran Georg". Di tempat yang sunyi itu, hatinya digoda oleh banyak kebimbangan. Benarkah ia mengikuti jalan Tuhan dengan gerakannya itu? Kata orang, pernah Luther melemparkan sebotol tinta kepada Iblis yang tampak olehnya dalam biliknya dan yang mengganggu dia. Yang pasti ialah bahwa ia melawan Iblis dengan tinta yang keluar dari penanya: Luther bekerja keras di Wartburg, dan dalam beberapa bulan saja Perjanjian Baru sudah siap diterjemahkannya ke dalam bahasa Jerman, dengan memakai juga naskah Yunani terbitan Erasmus. Di samping itu, ia mengarang sebuah kitab rencana khotbah untuk pendeta-pendeta Protestan yang sangat membutuhkan pimpinan dalam hal berkhotbah. 6. Sesudah satu tahun, Luther kembali lagi ke Wittenberg dan meneruskan pekerjaan Reformasi. Sekarang ia mulai memperbarui tata kebaktian. Luther berwatak konservatif (pasal 3), sehingga ia mau mempertahankan sebanyak mungkin tata kebaktian yang lama. Asasnya ialah bahwa yang perlu diubah hanyalah apa yang nyata bertentangan dengan Alkitab. Jadi, kebaktian Protestan, khususnya yang memakai aturan Lutheran, tetap berjalan seperti misa Katolik: sesudah salam-berkat, jemaat mengaku dosanya dan pengampunan diberitakan, lalu Alkitab dibacakan, khotbah diadakan, kemudian ada perayaan sakramen. Akan tetapi, dalam beberapa hal harus ada perubahan. Pertama: bahasa. misa biasanya dilayankan dengan memakai bahasa Latin. Sulit bagi rakyat untuk memahami bahasa itu. Padahal, kebaktian itu justru dimaksudkan untuk menyampaikan Firman kepada mereka! Jadi, bahasa Latin diganti dengan bahasa Jerman (dan di negeri-negeri lainnya yang menerima Reformasi, dengan bahasanya sendiri). Kedua: pengertian mengenai makna ibadah berubah secara asasi. Dalam teologi Katolik, misa adalah pengulangan korban Kristus secara tak berdarah. Melalui penerimaan sakramen itu, berlangsung penyaluran anugerah yang menjadikan manusia sanggup berbuat sesuai dengan kehendak Allah. Karena itu, yang menjadi pusat ibadah ialah perayaan sakramen misa. Kebaktian tanpa khotbah tetap merupakan ibadah yang lengkap, tetapi kebaktian tanpa Ekaristi tidaklah lengkap. Malah, kebaktian di mana satu dua orang imam sendiri merayakan Ekaristi dengan tidak dihadiri jemaat, merupakan ibadah juga. Kedua wawasan tentang makna sakramen Misa itu tadi ditolak oleh Luther. Baginya, makna ibadah bukan pengorbanan Kristus dalam misa, bukan juga penyaluran anugerah, melainkan pemberitaan rahmat Tuhan kepada setiap orang yang mau mendengar. Pemberitaan itu terjadi dalam pemberitaan Firman, dan dalam perayaan sakramen, yang menandai dan memperlihatkan apa yang dinyatakan dalam pemberitaan Firman itu. Maka, khotbah diberi tempat yang lebih wajar dalam kebaktian. Khotbah harus ada; itu dilakukan beberapa kali seminggu; perayaan Perjamuan Kudus "hanya" ada pada setiap Minggu pagi, sesudah khotbah. Sama halnya seperti sebuah buku yang teksnya bisa dipahami walau tidak ada gambar; tetapi gambar itu ditambahkan supaya teksnya lebih jelas lagi. Luther berpegang pada kehadiran nyata tubuh dan darah Kristus dalam Ekaristi (Perjamuan); hanya tubuh dan darah itu tidak hadir sebagai ganti roti dan anggur (trans-substansiasi), tetapi bersama dengannya (con-substansiasi, con/cum = bersama dengan). Perubahan ketiga yang membuat misa Katolik menjadi kebaktian Protestan ialah kegiatan jemaat di dalamnya. Pada zaman Ambrosius, kebaktian diselingi nyanyian jemaat (Kid. Jemaat 245 berasal dari Ambrosius). Akan tetapi, dalam Abad Pertengahan, jemaat semakin tidak aktif. Sekarang Luther sendiri dan ahli-ahli musik serta penyair lain menyusun lagu-lagu dalam bahasa Jerman untuk jemaat yang tidak biasa menyanyi itu, sehingga bisa dipakai sebagai nyanyian dalam kebaktian gereja dan di rumah. Bacaan-bacaan: 1. Beberapa di antara ke-95 dalil Luther 37. Setiap orang Kristen telah mengambil bagian dalam segala harta Kristus dan gereja; hal itu dianugerahkan kepadanya oleh Allah, biarpun tidak ada surat penghapusan siksa dari gereja. 43. Patutlah kepada orang-orang Kristen diajarkan: "Kalau seorang memberikan sesuatu kepada orang miskin, atau meminjamkan uang kepada orang yang membutuhkannya, ia berbuat lebih baik, ketimbang kalau ia membeli surat penghapusan siksa." 44. Karena oleh perbuatan kasih, kasih bertambah dan manusia bertambah baik; tetapi oleh penghapusan siksa ia tidak bertambah baik, hanya saja lebih bebas dari hukuman. 65. Harta Injil ialah jala-jala, yang dengannya dahulu kala orang ditangkap dari kekayaan (Matius 4:9; Lukas 18:18-27). 66. Harta penghapusan siksa ialah jala-jala, yang dengannya sekarang ditangkaplah kekayaan orang. 2. Dari Kebebasan Seorang Kristen Seorang Kristen bebas dari semuanya dan atas seluruhnya, sehingga dia tidak membutuhkan sesuatu perbuatan untuk menjadikan dia benar dan menyelamatkannya, karena hanya iman saja yang menganugerahkan semuanya berlimpah-limpah. Walaupun seseorang cukup dibenarkan oleh iman, tetapi ia masih hidup di dunia yang fana ini. Dalam hidup ini, ia harus menguasai tubuhnya (= segala nafsunya yang menentang kehendak Allah) dan bergaul dengan sesamanya. Dia menemukan tantangan kehendak di dalam tubuhnya yang berdaya upaya melayani dunia dan yang mencari segala kepuasan. Hal ini tak dapat dibiarkan oleh roh iman. Karena melalui iman, jiwa kita disucikan dan digerakkan untuk mengasihi Allah, maka jiwa itu menghendaki segala sesuatu. Teristimewa tubuhnya sendiri, menjadi suci-murni, sehingga segala sesuatu akan turut serta dengannya dalam mengasihi dan memuji Allah. Oleh karena itu, manusia tidak lagi malas, karena kebutuhan tubuhnya mendorongnya dan memaksanya mengerjakan banyak perbuatan yang baik supaya tubuh itu dapat ditaklukkan. Dengan jalan ini, tiap-tiap orang sangat mudah mempelajari bagi dirinya sendiri, pembatasan dan kebijaksanaan dari penyiksaan badannya, karena ia akan berpuasa, berjaga-jaga dan bekerja sebanyak yang diperlukan untuk menahan keinginan hawa-nafsu tubuhnya. Akhirnya, kita akan membicarakan juga hal-hal perbuatan kepada sesama manusia. Seseorang tidak hidup untuk dirinya sendiri saja dalam tubuh yang fana ini, dan bekerja untuk dirinya saja, tetapi ia hidup untuk orang lain dan bukan untuk dirinya sendiri. Untuk tujuan inilah, ia menaklukkan tubuhnya, supaya dapat lebih ikhlas dan lebih bebas melayani orang lain. Dari iman mengalirlah kasih dan kegembiraan dalam Tuhan, dan dari kasih pikiran yang gembira, tulus dan bebas, yang melayani sesama manusia dengan rela hati dan tidak memikirkan penghargaan atau olok-olok, pujian atau celaan, untung atau rugi. 3. Luther mengenai "rohaniwan " dan "awam ". (Dari: Kepada para pemimpin bangsa Jerman, pasal 1). Menamakan para Paus, uskup, imam, biarawan, dan biarawati "golongan rohaniwan", sedangkan para pangeran, tuan, tukang, dan petani "golongan duniawi", merupakan akal yang direka-reka oleh orang-orang lihai. Karena semua orang Kristen, tanpa kecuali, benar-benar dan sungguh-sungguh termasuk golongan rohaniwan, dan tidak ada perbedaan di antara mereka, kecuali pekerjaan mereka yang berlainan. (...) Tidak ada di antaranya perbedaan dalam hal kedudukan Kristen. Semuanya bersifat rohani kedudukannya, dan semuanya sungguh-sungguh imam, uskup, dan Paus. Mereka yang sekarang dinamakan kaum rohaniwan, tidak lebih luas atau lebih besar pangkatnya daripada orang Kristen lainnya, kecuali dalam hal bahwa mereka mempunyai tugas menerangkan firman Allah dan melayankan sakramen-sakramen. Tukang sepatu, pandai besi, petani, masing-masing mempunyai kesibukan tangan dan pekerjaannya; sementara itu, mereka semuanya dapat dipilih pula untuk bertindak sebagai imam dan uskup. |