Perubahan-perubahan Radikal, Sebagai Akibat Reformasi

Editorial: 

Dear e-Reformed netters,

Beberapa waktu yang lalu, saya tertarik untuk membaca kembali buku terbitan BPK tahun 1985 (cetakan ketiga) yang berjudul "Theologia Kaum Awam", tulisan Dr. H. Kraemer (jelas buku tersebut pasti ditulis jauh sebelum tahun 1985). Walaupun kelihatannya buku ini sudah "kuno", ternyata isu-isu yang dibahas di dalamnya masih sangat segar dan relevan dengan keadaan gereja masa kini, yaitu tentang kedudukan kaum awam dalam gereja. Sebelum Reformasi, kaum awam jelas tidak memiliki kedudukan yang penting dalam gereja. Semua urusan gereja merupakan tugas "para klerus" (pendeta-pendeta yang ditahbiskan), sedangkan kaum awam (jemaat) hanya menjadi objek saja. Setelah Reformasi, terjadi perubahan yang radikal, karena prinsip-prinsip gereja yang salah dan tidak alkitabiah didobrak, salah satu hasilnya adalah konsep "keimaman orang percaya" atau istilah yang dipakai Dr. H. Kraemer, "imamat am semua orang percaya", bahwa semua orang Kristen adalah imam, tak ada perbedaan di antara mereka (termasuk dengan para klerus), kecuali dalam hal jabatan.

Pikiran-pikiran yang dilahirkan para Reformator begitu tajam dan sangat sarat dengan kebenaran Alkitab. Tuhan menunjukkan hikmat kepada mereka untuk menjadi jalan bagi kita mengerti lebih dalam akan panggilan Tuhan bagi jemaat-Nya. Tapi sayang sekali, menurut Dr. Kraemer, usaha para Reformator untuk mengembalikan kedudukan kaum awam pada tempat yang sewajarnya ternyata sebagian besar hanya sampai pada pemikiran saja. Menurut beliau, kalau kita jujur, kita harus mengakui bahwa pada kenyataanya pikiran-pikiran Reformasi tersebut sulit untuk dijalankan/diaplikasikan, bahkan sampai hari ini. Mengapa?

Saya harap pertanyaan "Mengapa" ini dapat memicu keingintahuan dan kekritisan Anda untuk berpikir lebih jauh tentang topik ini. Untuk itu, silakan baca cuplikan artikel dari buku Dr. Kraemer di bawah ini.

In Christ,
Yulia
< yulia@in-christ.net >

Penulis: 
H. Kraemer
Edisi: 
062/V/2005
Isi: 

Pikiran-pikiran pokok dari Reformasi memberi kemungkinan untuk perubahan-perubahan radikal dalam seluruh konsep dan tempat kaum awam. Pada saat yang menentukan, karena kepatuhan kepada Firman Allah, Luther menolak untuk patuh kepada gereja yang terjelma dalam kekuasaan hirarkis Paus. Konsep Luther tentang gereja, terutama dalam tulisan- tulisan militannya yang terdahulu, adalah suatu serangan frontal terhadap konsep gereja hirarkis. Paham tentang pejabat gereja yang hirarkis juga ditolak. Secara prinsip perbedaan antara "kaum klerus" dan "kaum awam" tidak ada lagi.

Dalam manifestonya kepada kaum bangsawan Kristen ia mengumumkan, "Semua orang Kristen adalah benar-benar imam, tak ada perbedaan di antara mereka kecuali dalam hal jabatan .... Setiap orang yang sudah dibaptis dapat berkata bahwa ia sudah ditahbiskan menjadi imam, uskup atau Paus." Hanya demi ketertiban, orang-orang tertentu dipisahkan oleh jemaat, mereka adalah "pelayan-pelayan", bukan imam-imam dalam arti budaya, orang-orang perantara antara Allah dan jemaat atau antara Allah dan manusia, tapi "pelayan-pelayan Firman" (verbi divini ministri). Pada prinsipnya, pelayanan yang diartikan secara baru ini (mengajar dan berkhotbah, membaptiskan, melayani Perjamuan Kudus, mengikat dan melepaskan dosa, berdoa syafaat, mempertimbangkan ajaran dan membeda-bedakan roh) adalah hak setiap orang Kristen yang telah dibaptis. Ini berarti imamat orang-orang yang percaya atau, seperti biasa disebut, "imamat am" adalah semua orang yang percaya. Sejak itu prinsip ini selalu disertai oleh hukum "sola gratia", "sola scriptura". Kedua prinsip ini sudah menjadi prinsip besar resmi dari Reformasi dan khususnya Protestantisme.

Dalam paham-paham yang militan ini terdapat benih-benih individualisme dan equalitarianisme yang tidak sepenuhnya sesuai dengan pandangan Alkitab, yaitu "imamat yang berkerajaan", yang adalah milik semua orang percaya secara keseluruhan. [1] Militansi dan pernyataan yang tampaknya berlebih-lebihan ini dapat dimengerti melihat kenyataan bahwa pada waktu itu Luther harus berjuang melawan sistem hierarki yang luar biasa, paham hierarki yang sudah tertanam sangat dalam di pikiran orang sejak berabad-abad. Paham seperti itulah yang hendak digugatnya di hadapan forum paham Alkitab mengenai gereja beserta anggota-anggotanya. Implikasi dari serangan-serangannya itu ialah penghapusan semua klerikalisme dan pemulihan tempat yang sewajarnya bagi kaum awam.

Alkitab

Akan tetapi, secara jujur harus disebut di sini bahwa konsep baru tentang gereja dan pemulihan tempat kaum awam tidak pernah menjadi pokok-pokok yang dominan. Prinsip yang banyak digembar-gemborkan tentang "imamat am semua orang percaya" mempunyai akibat-akibat tertentu yang sangat menarik dalam Dunia Baru, tetapi pada umumnya di Dunia Lama hal ini tak pernah punya efek apa-apa. Sampai sekarang prinsip itu hanya punya peranan sebagai bendera, bukan prinsip yang memberi hidup dan kekuatan. Sudah tentu, sejak Reformasi dan lahirnya banyak macam gereja sebagai akibatnya, pandangan eklesiastik hierarkis tentang gereja tidak pernah lagi mendapat tempat yang tidak dapat diganggu- gugat seperti sebelumnya. Panggilan untuk membenarkan setiap doktrin gereja dan tugas anggota-anggotanya berdasarkan Alkitab, tak pernah lagi diabaikan seperti sebelumnya. Dasar etika Calvinisme tentang orang-orang awam yang harus membuktikan bahwa mereka adalah orang- orang yang sudah dipilih Allah dengan bekerja sepenuh hati, adalah akibat dari prinsip "imamat am semua orang percaya". Juga tak dapat disangkal bahwa prinsip ini, terutama pada abad 19 di bawah pengaruh paham liberalistis-individualistis, sudah lebih merupakan kata-kata muluk teologis untuk faham modern pada waktu itu, dari pada sumber kekuatan rohani yang mengubah gereja.

Mengapa definisi baru dari Luther dan Calvin tentang gereja, pelayanan dan tentang tempat sentral dan utama dari jemaat secara keseluruhan, akhirnya hanya menjadi prinsip dan bukan menjadi kenyataan? Mengapa kaum pendeta yang jadi dominan dan bukan jemaat (Gemeinde) secara keseluruhan?

Pertama-tama, kita akan menyebut sebab-sebabnya, lepas dari keadaan- keadaan sejarah yang banyak memengaruhinya. Ketika para Reformator kembali kepada Alkitab dan mendapati bahwa Yesus Kristus adalah satu- satunya Kepala Gereja yang benar, yang memerintah gereja melalui Roh- Nya yang kudus, anugerah dan pengampunan-Nya, dan menghapuskan semua tingkatan-tingkatan kekuasaan dan hak, mereka bertekad untuk meninggalkan sistem tingkatan-tingkatan hirarkis dan penyamaan gereja dengan kaum klerus yang dianggap sebagai imam pengantara sakramen. Gereja terdiri atas orang-orang percaya dan orang-orang berdosa yang sudah diampuni. Akan tetapi, ketika mengorganisir atau mereorganisir gereja, mereka berusaha menghindari dan menghapuskan pelanggaran-pelanggaran mencolok dan kebobrokan sistem yang dominan. Pandangan para Reformator tentang gereja tidak sepenuhnya alkitabiah. Ini dapat dimengerti, sebab kecamuk dan hangatnya perjuangan dan pandangan mereka sangat dipengaruhi oleh protes dan polemik. Lagi pula, ucapan-ucapan Luther bahwa setiap orang Kristen yang dibaptis mempunyai kuasa seperti yang dipunyai oleh Paus, uskup-uskup dan imam-imam, mengandung bahaya- bahaya tersembunyi.

"Semua orang Kristen adalah benar-benar imam, tak ada perbedaan di antara mereka kecuali dalam hal jabatan .... Setiap orang yang sudah dibaptis dapat berkata bahwa ia sudah ditahbiskan menjadi imam, uskup atau Paus." (Martin Luther)
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Bahaya PERTAMA ialah: bahwa dalam suatu gereja yang sudah berabad-abad "orang Kristen yang dibaptis" sama sekali tidak sama dengan seorang Kristen yang benar-benar percaya. Sebab, walaupun benar pendapat bahwa otoritas untuk mengatur dan mengadakan konsep tentang gereja terletak dalam pola-pola alkitabiah tentang gereja, itu bukan berarti bahwa pola-pola alkitabiah itu yang harus ditiru. Situasi sejarah yang lain memerlukan ekspresi kreatif yang lain walaupun peraturan dan konsep pokoknya sama.

Yang KEDUA: anggota-anggota gereja yang sudah berabad-abad itu menghalangi anggota-anggotanya menjadi dewasa secara rohani, karena ajaran tentang "iman implisit" dari kaum awam, tidak dapat dengan tiba-tiba menjadi orang-orang dewasa dalam kerohanian.

Yang KETIGA: gerakan Reformasi menekankan pentingnya khotbah di samping penghapusan habis-habisan perbedaan antara "kaum klerus" dan "kaum awam". Memberi tekanan penting terhadap khotbah yang benar dan "murni" [2] (die reine Predigt) sebagai makanan rohani yang memberi hidup. Untuk itu, diperlukan orang-orang yang cakap untuk memegang jabatan itu. Pelayanan sakramen yang benar, yang juga dinyatakan sebagai salah satu tanda hakiki dari gereja, terutama Perjamuan Kudus di banyak gereja, tidak mendapat tempat yang sama penting seperti "khotbah murni Firman Allah". Pelayanan sakramen hanya diperuntukkan bagi pendeta-pendeta. Walaupun perkembangan ini mempunyai alasan- alasan yang baik, hal ini menimbulkan kekaburan arti dalam keseluruhan konsep "pelayanan". Di satu pihak, hal ini cenderung kepada pembentukan kembali suatu golongan "kaum klerus", padahal di pihak lain, setidak-tidaknya dalam prinsip, diusahakan menghapuskan perbedaan antara "kaum klerus" dan "kaum awam".

Penahbisan ke dalam "status rite vocatus", yang telah menjadi dinding pemisah antara "kaum klerus" dan "kaum awam" di gereja sebelumnya, sebenarnya sekarang juga masih menjadi semacam dinding pemisah. Seperti yang telah dikatakan di atas, perbedaan ini diadakan demi tata tertib. Motif itulah satu-satunya motif yang benar, kalau ditinjau dalam terang prinsip "imamat am semua orang percaya". Sebagai jawaban terhadap konsep imam sebagai perantara sakramen di masa yang lalu, prinsip itu ingin meninggalkan paham tentang "para klerus" yang mempunyai tempat yang lebih tinggi dan terasing dari kaum awam. Akan tetapi, sebenarnya, berlawanan dengan teori tentang tidak adanya perbedaan secara fundamentil, dalam praktiknya prinsip itu menempatkan kaum awam lebih rendah dari kaum pendeta, membuat kaum awam jadi pasif, memberi tekanan besar pada arti "jabatan" (Amt) dan pimpinannya.

Perkembangan ini makin diperkuat dengan kenyataan bahwa para pendeta, yang tugas utamanya ialah untuk mengkhotbahkan Firman Allah dengan benar, makin lama makin kelihatan sebagai "ahli-ahli teologia", "orang-orang yang tahu", dan dalam tingkatan sosial mereka mempunyai status "rohaniawan"; dengan kata lain sebagai pneumatikoi, manusia-manusia rohani (1Korintus 3). Akibat buruknya ialah bahwa kaum awam lambat-laun menerima saja kedudukan sebagai "orang-orang yang tidak tahu", orang-orang yang tidak dewasa secara rohani. Hal ini menghasilkan suatu situasi, yang terdapat di semua gereja, di mana ada perpisahan jelas antara pejabat gereja yang memimpin dan kaum awam yang dipimpin. Dengan kata lain, gereja adalah urusan pendeta-pendeta. Pada masa Reformasi sendiri dan pada masa-masa permulaan pengkonsolidasiannya, unsur-unsur konkret dalam sejarah sudah menghalangi dipraktikannya "imamat am semua orang percaya" itu. Pada mulanya, Reformator-reformator itu tidak bermaksud mendirikan gereja baru. Tujuan mereka mula-mula ialah untuk memurnikan iman. Akan tetapi, ketika perlawanan keras dari pimpinan gereja memaksa mereka untuk mengorganisir hidup gereja menurut prinsip-prinsip mereka sendiri, maka mereka harus berhadapan dengan kurangnya pengetahuan dan pengertian kaum awam dan dengan susahnya memelihara ketertiban dalam jemaat-jemaat. Keadaan seperti ini bukan saja terdapat di Jerman, melainkan juga di Inggris, di mana Reformasi berlangsung tidak sedrastis dan sesistematis seperti di negeri-negeri lain [3].

Lagipula, suatu Reformasi yang terorganisir tak dapat dilangsungkan tanpa pertolongan dan kekuasaan raja-raja dan hakim-hakim yang memihak kepada gerakan Reformasi itu. Akibatnya ialah bahwa raja-raja dan hakim-hakim menduduki tempat-tempat penting dalam urusan-urusan gereja. Jadi, golongan awam yang besar itu walaupun mereka bukan orang-orang yang tidak tahu, tidak melihat kemungkinan lain kecuali menyerahkan saja kepengurusan hidup gereja kepada para pendeta dan badan-badan negara yang dibentuk itu. Pada tahun 1526 Luther sudah mengakui bahwa untuk mendirikan suatu jemaat yang benar-benar ideal, ia belum mendapati cukup banyak orang-orang Kristen dan malahan ia belum menjumpai banyak orang yang meminta supaya jemaat seperti itu didirikan. Organisasi yang dihasilkan oleh perkembangan itu tidak memberi status yang memungkinkan jemaat-jemaat mempunyai tanggung jawab yang aktif. Jemaat-jemaat itu menjadi objek dari pekerjaan pastoral pendeta dan peraturan-peraturan pemerintah. Akibatnya, walaupun kaum awam lain keadaannya dari masa sebelum Reformasi, mereka tetap seperti semula, tetap sebagai objek, sama sekali bukan sebagai subjek. Berlainan dengan Luther, Calvin menghadapi soal yang sama hanya dalam satu kota dan bukan di negeri-negeri yang berlain-lainan, makanya ia lebih berhasil dengan "Ordonnance ecclesiastique"-nya pada tahun 1541 untuk mewujudkan kebebasan relatif dalam kehidupan gereja. Ini merupakan hasil dari fahamnya tentang tata gereja yang ditetapkan oleh Allah. "Ordonnance ecclesiastique" Calvin itu adalah tata gereja yang paling dinamis yang berasal dari Reformasi. Konsepnya tentang kekuasaan dan pentingnya pendeta bagi suatu gereja yang terpimpin baik, mengandung unsur-unsur, walaupun tak disengaja, yang mengabaikan arti dan pentingnya kaum awam.

Amerika, yang waktu itu disebut Dunia Baru, mempunyai corak-corak tersendiri. Sejarah Amerika merupakan suatu rangkaian dari adaptasi dan readaptasi kepada dunia yang baru dengan kondisi-kondisi baru dan dengan perubahan-perubahan yang terus-menerus terjadi. Gereja-gereja di Amerika adalah gereja-gereja Eropa yang dipindahtanamkan dalam tanah baru dengan keadaan sekeliling yang baru. Dalam proses ini Amerika memperkembangkan gereja corak baru. Sejak datangnya pendatang- pendatang baru, terutama gelombang-gelombang besar pendatang baru pada abad 19, proses itu berjalan terus. Hasilnya ialah munculnya gereja-gereja parokhial yang berpemerintahan sendiri yang khas Amerika, dengan pengawasan dan partisipasi yang lebih besar dari kaum awam. Dengan prinsip yang sangat dipegang teguh, yakni prinsip kemerdekaan beragama dan pemisahan antara gereja dengan negara, gereja dianggap sebagai perkumpulan sukarela dari orang-orang yang diselamatkan dan sebagai suatu institut untuk memperbaiki kehidupan masyarakat dengan jalan menyelamatkan perorangan-perorangan. Urbanisasi telah memaksa gereja mencari dan melayani segala macam orang dan golongan, dan gereja-gereja itu cenderung untuk memperkuat persekutuan batiniah dari gereja setempat. Pelayanan oleh kaum awam telah makin maju karena perkembangan ini.

Kalau kita bandingkan kehidupan gereja di Eropa dengan Amerika, kita lebih cenderung untuk berkata bahwa struktur dan suasana di dalam gereja-gereja Eropa tidak memberi banyak dorongan kepada inisiatif- inisiatif kaum awam. Di Amerika sebaliknyalah yang terjadi. Di Amerika, bukannya hasil pemikiran-pemikiran teoritis yang menghasilkan keadaan seperti itu, melainkan hasil pertimbangan-pertimbangan pragmatis, yaitu bahwa kegunaan gereja sebagai institut yang efektif tergantung hampir sepenuhnya pada kesediaan kaum awam untuk melibatkan dirinya.

Untuk mengakhiri pembahasan historis yang selektif tentang status teologis kaum awam, kita hendak menyebutkan beberapa patah kata lagi. Pada abad 19, pada zaman di mana orang semakin menjauhi gereja dan kekristenan, Johann Heinrich Wichern [4], bapak dari "Innere Mission" di Jerman, mencoba mengaktuilkan "prinsip-prinsip" Reformasi tentang imamat am semua orang percaya. Ia tidak menafsirkannya menurut tafsiran biasa seperti "mempunyai hubungan langsung dengan Allah" tanpa perantaraan imam, tapi sebagai kewajiban terhadap "diakonia", yang berlaku bagi semua anggota gereja. Dinamisme "Communio Sanctorum" terletak pada kenyataan, menurut dia, bahwa "communio sanctoru" itu bukan saja "Congregatio vere credentium" (persekutuan orang-orang yang benar-benar percaya), melainkan terutama adalah "congregatio vere amantium," (persekutuan orang-orang yang benar-benar mengasihi). Hal ini sudah menunjuk kepada suatu arah yang baru.

Catatan Kaki:

  1. T.F. Torrance, Royal Priesthood, hal. 35, catatan 1, mencela sebutan "imamat am orang-orang percaya" sebagai sesuatu yang kurang tepat, "sebab di dalamnya ada unsur-unsur individualisme yang merusak".
  2. Yaitu tafsiran yang benar dari Firman Allah.
  3. Pembahasan yang berikut banyak saya ambil dari buku W. Pauck "The Ministry in Historical Perspectives", hal. 110 - 147.
  4. Bnd. Martin Gerhardt: J.H. Wichern, Hamburg 1927.

Audio: Perubahan-Perubahan Radikal Sebagai Akibat Reformasi

Sumber: 

Bahan di atas dikutip dari:

Judul buku : Theologia Kaum Awam
Penulis : Dr. H. Kraemer
Penerbit : BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1985
Hal : 45 - 51

Roh Kudus dan Alkitab

Editorial: 

Dear e-Reformed netters,

Menyambut peringatan Hari Pentakosta, saya kirimkan bagian dari buku tulisan John R. W. Stott, yang membahas tentang Roh Kudus dan Alkitab. Karena sudah sangat panjang, maka saya tidak akan menambah komentar lagi. Kiranya menjadi berkat.

In Christ,
Yulia
< yulia@in-christ.net >

Penulis: 
John R.W. Stott
Edisi: 
061/IV/2005
Isi: 

Semua orang Kristen sadar bahwa antara Kitab Suci dan Roh Suci, pasti terdapat suatu hubungan yang erat. Sebenarnya semua orang Kristen percaya bahwa dalam arti tertentu Alkitab adalah hasil karya cipta Roh Kudus. Karena setiap kali kita mengikrarkan Pengakuan Iman Nicea, kita menegaskan salah satu pokok kepercayaan kita tentang Roh Kudus bahwa 'Dia telah berfirman dengan perantaraan para nabi'. Ungkapan tadi merupakan gema ungkapan-ungkapan serupa di Perjanjian Baru. Sebagai contoh, Tuhan kita Yesus Kristus sendiri suatu ketika mengutip Mazmur 110 dan menjelaskan: 'Daud sendiri oleh pimpinan Roh Kudus berkata: ...' (Markus 12:36). Petrus dalam suratnya yang kedua, sama menulis 'oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah' (2Petrus 1:21), atau bila diterjemahkan harafiah dari istilah Yunaninya, 'mereka diombang-ambingkan oleh Roh Kudus', (istilah yang sama digunakan dalam Kisah Para Rasul 27:18), persis seperti kapal diombang-ambingkan angin. Jelas ada hubungan penting antara Alkitab dan Roh Kudus. Hal ini kini akan kita selidiki.

Sejauh ini sudah kita pikirkan bahwa Allah adalah sumber dari penyataan yang diungkapkan-Nya dan bahwa Yesus Kristus adalah pokok utama penyataan-Nya. Kini perlu kita tambahkan bahwa Roh Kudus adalah perantara-Nya. Dengan demikian, pemahaman Kristen tentang Alkitab bersumber pada pemahaman tentang Tritunggal. Alkitab berasal dari Allah, berpusat pada Kristus dan diilhamkan oleh Roh Kudus. Karena itu definisi terbaik tentang Alkitab pun bernafaskan Tritunggal: "Alkitab adalah kesaksian Bapa tentang Anak melalui Roh Kudus."

Jadi persisnya, apakah peran Roh Kudus dalam proses penyataan? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita beralih kepada Alkitab sendiri, terutama 1Korintus 2:6-16.

Penting kita melihat bagian Alkitab ini dalam konteksnya yang lebih luas. Sampai di bagian ini, Paulus sedang menegaskan tentang 'kebodohan' Injil. Sebagai contoh, 'pemberitaan tentang salib memang adalah 'kebodohan' (1Korintus 1:18), dan 'kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan' (1Korintus 1:23). Katakanlah sekarang bahwa berita tentang salib terdengar bodoh bahkan tak mengandung arti bagi para intelektual sekular. Paulus sekarang mengkoreksi agar jangan timbul kesan pada para pembacanya bahwa dia sama sekali menolak pentingnya hikmat dan bermegah dalam kebodohan. Apakah rasul anti intelek? Apakah dia menghina pengertian dan penggunaan akal? Tidak, sama sekali tidak.

1Korintus 2:6-7 menuliskan, "Sungguhpun demikian kami memberitakan hikmat ... hikmat Allah yang tersembunyi dan rahasia, . . . yang telah disediakan Allah bagi kemuliaan kita." Perbandingan yang Paulus buat tidak boleh kita lewati. Kami jelas menyampaikan hikmat, tulisnya, tetapi:

  1. hanya kepada yang telah dewasa, bukan kepada yang bukan Kristen atau bahkan bukan kepada Kristen yang masih muda iman;
  2. hikmat tersebut adalah hikmat Allah, bukan hikmat duniawi;
  3. yaitu agar kita menerima kemuliaan, maksudnya kesempurnaan akhir kita kelak melalui keikutsertaan kita dalam kemuliaan Allah dan bukan hanya membawa kita pada pembenaran di dalam Kristus.

Dalam usaha menginjili orang yang bukan Kristen, kita harus memusatkan perhatian pada 'kebodohan' Injil tentang Kristus yang tersalib bagi orang berdosa. Dalam usaha membangun orang Kristen menuju kedewasaan penuh, kita harus memimpin mereka ke dalam pengertian tentang keseluruhan rencana Allah. Paulus menyebut hal tersebut di ayat 7 sebagai 'hikmat Allah yang tersembunyi dan rahasia' dan di ayat 9 'semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia'. Hal itu hanya dapat diketahui, tegas Paulus, melalui penyataan. 'Penguasa- penguasa dunia ini' (para pemimpin dunia) tidak mengertinya, atau mereka tidak akan menyalibkan 'Tuhan yang mulia' (ayat 8). Bukan mereka saja, semua manusia, pada diri mereka sendiri, tidak memahami hikmat dan maksud Allah.

Rencana Allah, menurut Paulus di ayat 9 adalah sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh mata, atau didengar telinga, atau diselami hati. Hikmat Allah itu di luar jangkauan mata, telinga, dan pikiran manusia. Ia tidak tunduk kepada penelitian ilmiah, juga terhadap imajinasi. Hikmat Allah sama sekali di luar batas dan daya ukur akal kita yang sempit dan terbatas, kecuali Allah sendiri menyatakannya. Memang itulah yang sudah Allah buat! "Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia." Rencana mulia-Nya yang tak terbayangkan ini, 'telah Allah nyatakan kepada kita melalui Roh-Nya'. Kata 'kita' sedemikian kuat tekanannya, dan diartikan dalam konteksnya bukan menunjuk kepada kita semua tanpa perbedaan, tetapi dimaksudkan untuk Rasul Paulus yang menulis dan untuk sesama rekan rasul lainnya. Allah memberikan penyataan khusus tentang kebenaran-kebenaran tersebut kepada alat-alat penyataan-Nya yang khusus (yaitu para nabi Perjanjian Lama dan para rasul Perjanjian Baru), dan Allah melakukan ini 'melalui Roh-Nya'. Roh Kudus menjadi perantara penyataan tersebut.

Saya kuatir bahwa pengantar yang dimaksudkan untuk menolong kita mengerti konteks pembicaraan Paulus tentang Roh Kudus sebagai perantara penyataan ini terasa agak panjang. Apa yang diuraikannya selanjutnya adalah pernyataan luas yang sangat menakjubkan. Dia menggarisbesarkan empat tahap karya Roh Kudus, sebagai perantara penyataan Ilahi.

  1. Roh yang menyelidik

  2. Roh Kudus adalah Roh yang menyelidik (ayat 10-11). Sambil lalu patut kita perhatikan bahwa ungkapan ini menunjukkan bahwa Roh Kudus adalah pribadi. Hanya pribadi-pribadi yang dapat terlibat dalam usaha menyelidik atau 'penyelidikan'. Tentu kita ketahui bahwa komputer- komputer modern dapat mengadakan riset yang sangat rumit yang bersifat mekanis dan analitis. Tetapi riset sejati (seperti yang sangat dikenal oleh para mahasiswa pasca sarjana) bukan hanya mengandung penyusunan dan analisis data secara statistik, tetapi menuntut pemikiran orisinal baik dalam bentuk penelitian maupun refleksi. Inilah bentuk pekerjaan yang dilakukan Roh Kudus karena Dia memiliki akal yang melaluinya Dia berpikir. Karena berkeberadaan sebagai Pribadi Ilahi (bukan komputer atau pengaruh atau kekuatan belaka), kita harus membiasakan diri menyebut-Nya sebagai 'Dia' (Pribadi) dan bukan 'ini' (benda).

    Paulus menggunakan dua lukisan menarik untuk menyatakan kemampuan- kemampuan unik Roh Kudus dalam karya penyataan.

    PERTAMA, 'Roh menyelidiki segala sesuatu, bahkan hal-hal yang tersembunyi dalam diri Allah' (ayat 10). Istilah yang sama digunakan Yesus tentang orang Yahudi yang 'menyelidiki Kitab-kitab Suci', dan menurut Moulton dan Milligan (dalam buku mereka 'Vocabulary of the Greek New Testament'), berdasarkan kutipan naskah dari abad ketiga, 'para penyelidik' adalah para petugas beacukai. Dalam arti mana pun, Roh Kudus digambarkan sebagai penyelidik yang giat dan teliti, atau bahkan sebagai penyelam yang berusaha mengarungi kedalaman Diri Allah yang Maha Kuasa yang tak terselami itu. (Mungkin Paulus meminjam istilah 'dalam' dari perbendaharaan kata bidat Gnostik.) Keberadaan Allah tak terukur kedalaman-Nya, dan secara terus terang Paulus menyatakan bahwa Roh Kudus menyelidiki kedalaman-kedalaman Allah. Dengan kata lain, Allah sendiri menjelajahi kelimpahan keberadaan-Nya sendiri.

    Contoh KEDUA yang Paulus kemukakan, diambilnya dari pengertian diri manusia. "Siapa gerangan di antara manusia yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri manusia selain roh manusia sendiri yang ada di dalam dia?" (ayat 11) 'Apa yang terdapat' menunjuk kepada 'hal-hal' khas ciri kemanusiaan kita. Seekor semut tak mungkin menyelami bagaimana keberadaan hidup manusia. Katak, kelinci, atau monyet tercerdas sekalipun tidak mampu. Juga seorang manusia tak mungkin menyelami sepenuhnya keberadaan diri seorang manusia lainnya. Betapa sering kita berkata, terutama ketika masih remaja, "Anda tak mengerti saya; tak seorang pun mengerti saya." Benar ucapan tadi! Tak seorang pun mengerti saya kecuali saya sendiri, bahkan pengertian saya tentang diri sendiri pun masih terbatas. Demikian pula, tak seorang pun mengerti Anda kecuali Anda sendiri. Ukuran pengertian diri atau kesadaran diri ini diterapkan Paulus kepada Roh Kudus (ayat 11): "Demikian pulalah tidak ada orang yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri Allah selain Roh Allah." Roh Kudus Allah di sini hampir disamakan dengan pengertian diri Ilahi atau kesadaran diri Ilahi. Sama seperti halnya tak seorang pun dapat mengerti seseorang kecuali orang itu sendiri, demikian pula tak seorang pun dapat mengerti Allah kecuali Allah sendiri. Ada lagu yang mengatakan, "Allah saja mengetahui kasih Allah." Senada dengan itu dapat pula kita tegaskan bahwa Allah saja yang mengetahui hikmat Allah, sesungguhnya Allah saja yang mengetahui keberadaan Allah.

    Dengan demikian, Roh menyelidiki kedalaman-kedalaman diri Allah, dan Roh mengetahui perkara-perkara Allah. Dia memiliki pemahaman yang unik tentang diri Allah. Masalahnya sekarang ialah: Apa yang dibuat-Nya dengan apa yang sudah diselidiki dan diketahui-Nya itu? Apakah disimpan-Nya sendiri pengetahuan unik-Nya itu? Tidak. Dia sudah melakukan hal yang hanya Dia patut dan mampu melakukannya; Dia telah menyatakannya. Roh yang menyelidik menjadi pula Roh yang menyatakan.

  3. Roh yang menyatakan

  4. Apa yang diketahui hanya oleh Roh Kudus, Dia pula yang dapat menyatakannya. Hal ini sudah ditegaskan di ayat 10, "Karena kepada kita (para rasul) Allah telah menyatakannya oleh Roh." Kemudian Paulus menguraikannya di ayat 12: "Kita (kita yang sama yaitu para rasul) tidak menerima roh dunia, tetapi roh yang berasal dari Allah (yaitu Roh yang menyelidik din yang mengetahui), supaya kita tahu, apa yang dikaruniakan Allah kepada kita." Sebenarnya, para rasul telah menerima dua karunia istimewa dari Allah, PERTAMA karunia keselamatan (apa yang dikaruniakan Allah kepada kita) dan KEDUA, Roh memampukan mereka untuk mengerti keselamatan anugerah-Nya.

    Paulus sendiri merupakan contoh terbaik tentang proses rangkap ini. Sambil kita membaca surat-suratnya, dia memberikan suatu uraian yang indah sekali tentang Injil kasih karunia Allah. Dia menyatakan apa yang telah Allah buat untuk orang-orang berdosa seperti kita yang tidak pantas menerima yang lain kecuali hukuman-Nya. Dia menyatakan bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya untuk mati disalib bagi dosa-dosa kita dan bangkit kembali, dan jika kita melalui iman di hati dan baptisan di depan umum maka kita turut mati bersama Dia dan bangkit kembali dengan Dia, mengalami suatu kehidupan baru di dalam Dia. Injil ajaib seperti inilah yang Paulus ungkapkan kepada kita dalam surat- suratnya. Tetapi bagaimana dia dapat mengetahui semua ini? Bagaimana dia dapat membuat uraian seluas itu tentang keselamatan? Jawabnya tentunya ialah karena PERTAMA dia sendiri sudah menerimanya. Dia mengetahui kasih karunia Allah dalam pengalamannya. KEDUA, Roh Kudus telah diberikan kepadanya untuk menafsirkan pengalamannya itu kepada dirinya. Jadi, Roh Kudus menyatakan kepadanya rencana keselamatan Allah, yang dalam surat-suratnya yang lain disebutnya sebagai 'rahasia' Allah. Roh yang menyelidik menjadi Roh yang menyatakan.

  5. Roh yang mengilhamkan

  6. Kini kita tiba ke tahap ketiga: Roh yang menyatakan menjadi Roh yang mengilhamkan. "Kami berkata-kata tentang karunia-karunia Allah dengan perkataan yang bukan diajarkan kepada kami oleh hikmat manusia, tetapi oleh Roh." (Ayat 13) Perhatikan bahwa di ayat 12 Paulus menulis tentang apa yang dia terima dan di ayat 13 tentang apa yang dia sampaikan. Mungkin baik bila saya mengupas alur pikirannya ini sebagai berikut: "Kami telah menerima karunia-karunia besar ini dari Allah; kami telah menerima Roh-Nya untuk menafsirkan bagi kami apa yang sudah Allah buat dan berikan untuk kami; kini, kami menyatakan apa yang sudah kami terima itu kepada orang-orang lain." Roh yang menyelidik yang sudah menyatakan rencana keselamatan dari Allah kepada para rasul, meneruskan penyampaian Injil ini melalui para rasul kepada orang-orang lain. Sama seperti halnya Roh tidak menyimpan hasil-hasil penyelidikan-Nya untuk diri-Nya sendiri, demikian pula para rasul tidak menyimpan penyataan dari-Nya itu untuk diri mereka sendiri. Tidak. Mereka mengerti bahwa mereka dipercayakan sebagai penatalayan. Mereka harus meneruskan apa yang sudah mereka terima kepada orang- orang lain.

    Lagi pula, apa yang mereka sampaikan itu berbentuk kata-kata dan kata- kata itu menurut mereka bukan berasal dari hikmat manusia tetapi diajarkan oleh Roh Kudus (ayat 13). Lihatlah di sini bagaimana Roh Kudus disinggung kembali, tetapi kali ini sebagai Roh yang mengilhamkan. Dalam ayat 13 ini tertampung pernyataan rangkap Paulus tentang 'pengilhaman verbal'. Artinya, kata-kata yang melaluinya para rasul meneruskan berita yang telah dinyatakan Roh kepada mereka, adalah kata-kata yang sama yang telah diajarkan kepada mereka oleh Roh.

    Menurut dugaan saya, penyebab mengapa ungkapan 'pengilhaman verbal' kurang disenangi orang adalah kesalahmengertian tentang artinya. Akibatnya, apa yang mereka tolak bukan arti sesungguhnya, melainkan karikaturnya. Izinkan saya menjernihkan beberapa kesalahan konsep berikut. PERTAMA, 'pengilhaman verbal' tidak berarti bahwa 'setiap kata dalam Alkitab harus dianggap benar secara harafiah'. Tidak, kita tahu benar bahwa para penulis Alkitab sering menggunakan berbagai jenis gaya tulisan, yang masing-masing harus ditafsirkan menurut peraturannya sendiri-sendiri -- sejarah sebagai sejarah, puisi sebagai puisi, perumpamaan sebagai perumpamaan, dan sebagainya. Yang diilhamkan adalah arti wajar masing-masing kata, sesuai dengan maksud pengarangnya sendiri, entah harfiah ataupun simbolik.

    KEDUA, 'pengilhaman verbal' bukan berarti dikte lisan. Kaum Muslim percaya bahwa Allah mendiktekan Quran kepada Muhammad, kata demi kata dalam bahasa Arab. Bukan begini yang dipercaya orang Kristen tentang Alkitab, sebab, sebagaimana sudah kita lihat sebelum ini dan yang kelak akan lebih saya tegaskan, Roh Kudus memperlakukan para penulis Alkitab sebagai pribadi, bukan sebagai mesin. Walaupun ada beberapa kasus perkecualian, umumnya mereka sepenuhnya menguasai seluruh kemampuan manusia mereka sementara Roh mengkomunikasikan firman-Nya melalui kata-kata mereka.

    KETIGA, 'pengilhaman verbal' tidak berarti bahwa setiap kalimat dalam Alkitab adalah firman Allah, biarpun bila dilepaskan dari konteksnya, misalnya. Tidak semua hal yang ditampung dalam Alkitab disetujui oleh Alkitab. Kisah khotbah-khotbah panjang para sahabat Ayub adalah contoh baik tentang hal ini. Pernyataan utama mereka bahwa Allah menghukum Ayub karena dosa-dosanya, sama sekali salah. Di pasal terakhir, dua kali Allah berkata, "Kamu tidak berkata benar." (Ayub 42:7-8) Jadi, kata-kata mereka tidak bisa dianggap sebagai kata-kata Allah. Ucapan- ucapan mereka diikutsertakan bukan untuk disetujui, melainkan untuk disalahkan. Firman Allah yang diilhamkan ialah yang disetujui dan ditandaskan, entah berbentuk perintah, petunjuk, atau janji.

    Yang dimaksud dengan 'pengilhaman verbal' ialah bahwa apa yang sudah dan masih dikatakan oleh Roh Kudus melalui penulis-penulis Alkitab, bila dimengerti sesuai dengan arti jelas dan wajar dari kata-kata yang tertulis itu adalah benar tanpa salah. Tak perlu kita merasa dibuat malu oleh pokok iman Kristen ini, atau merasa dipermalukan atau takut mengakuinya. Sebaliknya, doktrin ini jelas jelas masuk akal, sebab kata-kata adalah bangun dasar yang membentuk kalimat-kalimat. Kata- kata adalah sel-sel dasar yang membangun ucapan. Tidak mungkin memolakan pesan yang tepat tanpa membentuk kalimat-kalimat tepat yang terdiri dari kata-kata yang tepat pula.

    Bayangkanlah bagaimana sulitnya menyusun sebuah telegram. Katakanlah kita diberi batas hanya dua belas kata. Pada saat yang sama kita diminta untuk menyusun bukan saja pesan yang dapat dimengerti, melainkan juga pesan yang tak akan disalahmengertikan. Untuk itu kita menyusun, menyusun, dan menyusunnya ulang. Kita buang satu kata di sini dan menambah sebuah kata lagi di sana, sampai pesan kita tersusun rapi, jelas, dan memuaskan. Kata-kata sedemikian penting artinya. Setiap pengkhotbah yang ingin mengkomunikasikan pesan yang dapat dimengerti dan tak akan disalahmengertikan, tahu pentingnya kata-kata. Setiap pengkhotbah yang berhati-hati mempersiapkan khotbah-khotbahnya, memilih kata-katanya dengan teliti. Setiap penulis, entah menulis surat atau artikel atau buku, tahu bahwa kata itu penting artinya. Dengarkanlah apa yang pernah ditulis seseorang berikut ini: "Betapa agung milik manusia yang satu ini: kata-kata ... Tanpa kata, tak mungkin kita memahami hati dan pikiran sesama kita. Bila demikian, tak ada bedanya manusia dari binatang ... sebab, begitu kita ingin berpikir dan memahami sesuatu, kita selalu memikirkannya dalam kata- kata, walaupun itu tidak kita utarakan kuat-kuat; tanpa kata, segala isi pikiran kita tinggal sekadar tumpukan kerinduan dan perasaan yang gelap tak terselami dan tak terpahami bahkan oleh diri kita sendiri." Jadi, kita selalu harus membungkus pikiran-pikiran kita dalam kata- kata.

    Hal inilah sebenarnya yang dicanangkan para rasul bahwa Roh Kudus Allah yang sama yang menyelidiki kedalaman-kedalaman Allah dan yang menyatakan penyelidikan-penyelidikan-Nya itu kepada para rasul, meneruskannya melalui para rasul dalam kata-kata yang berasal dari pilihan para rasul sendiri. Roh mengutarakan kata-kata-Nya melalui kata-kata mereka, supaya kata-kata itu sekaligus merupakan kata-kata Allah dan kata-kata manusia. Inilah yang dimaksud bahwa Alkitab dikarang secara rangkap. Ini pula maksud 'pengilhaman'. Pengilhaman Alkitab bukan suatu proses mekanis. Pengilhaman sepenuhnya melibatkan Pribadi (Roh Kudus) yang berbicara melalui pribadi-pribadi (para nabi dan para rasul) sedemikian rupa sehingga secara serempak kata-kata-Nya menjadi kata-kata mereka sendiri, dan mereka menjadi kata-kata Dia.

  7. Roh yang menerangi

  8. Kini kita tiba pada tahap kerja Roh Kudus yang keempat sebagai perantara penyataan, dan dalam tahap ini saya sebut Dia sebagai Roh yang 'menerangi'. Mari kita telusuri bersama.

    Bagaimanakah anggapan kita tentang mereka yang mendengar khotbah- khotbah rasul dan kemudian membaca surat-surat rasul? Adakah mereka dibiarkan sendiri tanpa bantuan? Haruskah mereka bergumul sekuat tenaga untuk mengerti pesan-pesan rasuli itu? Tidak! Roh yang sama yang giat bekerja di dalam diri mereka yang menulis surat-surat rasuli, giat pula di dalam diri mereka yang membaca surat tersebut. Jadi, Roh Kudus bekerja di dalam keduanya, mengilhamkan firman-Nya kepada para rasul dan menerangi para pendengar mereka. Secara tidak langsung hal ini disinggung dalam ayat 13, ayat yang rumit dan sering ditafsirkan berbeda-beda. Saya cenderung menerjemahkan, "Roh Kudus menafsirkan kebenaran-kebenaran rohani kepada mereka yang memiliki Roh." Hal memiliki Roh tidak terbatas hanya pada para penulis Alkitab. Tentu saja karya pengilhaman-Nya di dalam mereka bersifat unik; namun sebagai tambahan Roh Kudus berkarya pula dalam penafsiran.

    Ayat 14 dan 15 mengupas kebenaran ini dan menekankan segi-segi yang berbeda tajam. Ayat 14 mulai dengan menunjuk pada 'manusia duniawi', yaitu mereka yang tidak diperbaharui yakni orang non-Kristen. Sebaliknya, ayat 15 mulai dengan 'manusia rohani', yang memiliki Roh Kudus. Dengan demikian, Paulus membagi manusia ke dalam dua kategori yang terpisah tajam: 'yang duniawi' dan 'yang rohani', yaitu mereka yang memiliki kehidupan alami, atau jasmani di satu pihak dan mereka yang sudah menerima kehidupan rohani atau kehidupan kekal di lain pihak. Golongan pertama tidak memiliki Roh Kudus karena mereka belum dilahirkan kembali, tetapi Roh Kudus mendiami mereka yang telah dilahirkan-Nya baru, didiami oleh Roh Kudus, merupakan ciri orang Kristen sejati (Roma 8:9).

    Apa bedanya bila kita memiliki Roh Kudus atau tidak? Besar sekali! Terutama (walaupun ada perbedaan lainnya), dalam pengertian kita tentang kebenaran rohani. Manusia tidak rohani atau yang belum diperbaharui, yaitu yang tidak menerima Roh Kudus, tidak juga menerima perkara-perkara dari Roh Kudus karena hal itu merupakan kebodohan bagi mereka (ayat 14). Bukan saja tidak mengerti, melainkan juga tidak sanggup lagi mengerti karena sudah 'terlalu paham'. Manusia rohani di lain pihak, Kristen yang sudah dilahirkan kembali dan di dalam siapa Roh Kudus berdiam, 'menilai' (istilah Yunaninya sama dengan memahami di ayat 14) 'segala sesuatu'. Bukan berarti dia menjadi maha tahu seperti Allah, melainkan semua perkara yang dulu tidak dilihat dan dipahaminya, yaitu yang telah Allah nyatakan dalam Alkitab, kini menjadi berarti baginya. Dia mengerti apa yang dulu tidak dimengertinya walaupun karena itu dia sendiri tidak dapat dimengerti orang lain. Secara harfiah berarti 'dia tidak dipahami oleh siapa pun'. Dia menjadi semacam teka-teki, sebab ada rahasia yang dalam tentang kebenaran dan kehidupan rohaninya yang tidak masuk akal bagi orang-orang tak beriman. Sebenarnya ini tidak perlu diherankan, sebab tak seorang pun tahu pikiran Allah atau mampu mengajari Dia. Karena mereka tidak mengerti pikiran Kristus, mereka tidak mengerti kita pula walaupun kita yang telah diterangi Roh Kudus dapat berkata dengan berani, "Kami memiliki pikiran Kristus." (ayat 16) Betapa ajaib!

    Inikah pengalaman Anda? Sudahkah Alkitab menjadi suatu buku berarti bagi Anda? Seseorang pernah berkata kepada sahabatnya sesaat sesudah pertobatannya, "Jika Allah menarik kembali Alkitabnya dan menukarnya dengan yang lain, Alkitab lain itu bukan lagi barang baru baginya." Hal yang sama saya alami sendiri. Sebelum saya bertobat, saya membaca Alkitab setiap hari karena diharuskan ibu saya. Tetapi saya menghadapi banyak sekali kesulitan. Tak sedikit pun saya mengerti isinya. Tetapi ketika saya dilahirkan kembali dan Roh Kudus datang berdiam di dalam diri saya, tiba-tiba Alkitab menjadi sesuatu yang baru bagi saya. Tentu, saya tidak menganggap bahwa saya tahu segala sesuatu. Saat ini pun saya masih jauh dari mengerti segala perkara. Tetapi saya mulai mengerti hal-hal yang tadinya tidak saya mengerti. Betapa ajaibnya pengalaman ini! Anda jangan menganggap Alkitab sebagai kumpulan naskah-naskah kuno berbau apek yang harus dipajang di perpustakaan. Jangan beranggapan bahwa halaman-halaman Alkitab seumpama fosil-fosil yang harus ditempatkan di balik kaca-kaca museum. Tidak, Allah masih berbicara melalui apa yang sudah dibicarakan-Nya. Melalui teks kuno dalam Alkitab, Roh Kudus dapat berkomunikasi kembali dengan kita kini, secara segar, pribadi dan penuh kuasa. "Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan (ditulis dalam bentuk waktu sekarang) Roh (melalui Alkitab) kepada jemaat jemaat." (Wahyu 2:7)

    Jika Roh Kudus pada zaman ini masih berbicara kepada kita melalui Alkitab, mungkin Anda akan bertanya, "Mengapa tidak terjadi persetujuan pendapat tentang segala sesuatu, jika selain menjadi perantara penyataan, Roh Kudus juga adalah penafsir, mengapa Dia tidak memimpin kita kepada suatu pemikiran yang sama?" Jawaban saya mungkin akan membuat Anda kaget. Sesungguhnya, Dia memungkinkan kita untuk lebih mengalami kesepakatan ketimbang tidak. Kita akan memiliki pemahaman yang sama asal saja kita mengikuti empat persyaratan berikut.

    PERTAMA, kita harus menerima otoritas mutlak Alkitab dan bersungguh hati tunduk kepadanya. Di antara mereka yang bersikap seperti ini terciptalah sejumlah konsensus Kristen yang berarti. Perbedaan besar dan menyakitkan yang ada, misalnya antara Gereja Roma Katholik dan Gereja-gereja Protestan, terutama terjadi karena yang pertama terus saja enggan menyatakan bahwa Alkitab memiliki otoritas mutlak melampaui tradisi gereja. Posisi resmi Gereja Roma (walaupun sudah diubah namun tidak cukup memadai oleh Konsili Vatikan kedua), masih menegaskan bahwa 'baik Tradisi Suci dan Kitab Suci harus diterima dan dihornytti dengan sikap ibadah dan khidmat yang sama'. Gereja-gereja Protestan tidak menyangkal pentingnya tradisi, dan sebagian dari kita sangat menghormatinya, sebab Roh Kudus sudah sejak generasi-generasi yang lampau mengajar, dan Dia bukan baru saja mengajarkan kebenaran kepada kita. Namun bila di antara keduanya terjadi benturan, kita harus mengizinkan Alkitab untuk membentuk ulang tradisi, sama seperti yang Yesus tegaskan terhadap tradisi orang Yahudi (Markus 7:1-13). Jika Gereja Roma Katholik memiliki keberanian untuk menolak tradisi- tradisi yang tidak alkitabiah (misalnya, dogma mereka tentang ketidakberdosaan Maria dan pengangkatan Maria ke Surga), kemajuan cepat akan tercapai ke arah persetujuan di bawah firman Allah.

    KEDUA, kita harus ingat hal yang sudah kita bahas sebelum ini bahwa maksud utama Alkitab ialah memberi kesaksian kepada Kristus, Sang Juruselamat sempurna bagi orang-orang berdosa. Ketika para perintis Reformasi di abad keenam belas menekankan pentingnya kejelasan Alkitab dicapai dengan menerjemahkannya agar orang biasa dapat membacanya sendiri, mereka sebenarnya sedang menunjuk pada jalan keselamatan. Mereka tidak menyangkal bahwa Alkitab mengandung 'hal-hal yang sukar dipahami' (komentar Petrus tentang surat-surat Paulus di 2Petrus 3:16); apa yang mati-matian mereka tegaskan ialah bahwa kebenaran- kebenaran hakiki untuk keselamatan, dapat dimengerti oleh semua orang dengan jelas.

    KETIGA, kita harus menerapkan prinsip-prinsip penafsiran yang sehat. Tentu mudah sekali memutarbalikkan Alkitab sesuka keinginan kita mengertinya. Tetapi tugas kita ialah menafsirkan, bukan memutarbalikkan Alkitab. Yang terutama harus kita cari ialah arti asal dan arti wajar Alkitab sesuai dengan maksud penulisnya. Mungkin bisa harfiah bisa pula kiasan, lagi-lagi tergantung niat penulisnya. Apa yang kita sebut tadi ialah prinsip historis dan prinsip kesederhanaan. Bila keduanya diterapkan secara lurus dan ketat, maka Alkitab akan mengontrol kita, bukan kita mengontrol Alkitab. Akibatnya, wilayah- wilayah tentang mana kita bersepakat akan bertambah luas.

    KEEMPAT, kita harus mendatangi teks Alkitab dengan kesadaran tentang adanya prasangka-prasangka budaya kita dan kesediaan untuk mengizinkan prasangka tadi ditantang dan diubah. Jika kita datang kepada Alkitab dengan sikap angkuh dan menganggap semua pemahaman iman dan kebiasaan yang kita warisi benar adanya, tentu saja di dalam Alkitab hanya akan kita temukan hal-hal yang memang ingin kita temukan, yaitu dukungan untuk status quo kita. Selain itu, kita pun akan berada dalam pertentangan tajam dengan orang lain yang datang kepada Alkitab dari latar belakang dan keyakinan yang berbeda, namun ternyata mendapatkan 'dukungan' Alkitab untuk pandangan mereka. Mungkin tak ada penyebab lebih lazim timbulnya pertentangan daripada faktor tadi. Hanya jika kita cukup berani dan rendah hati, mengizinkan Roh Allah melalui firman. Allah mempertanyakan secara radikal pandangan-pandangan yang paling kita sayangi, baru kita akan mendapatkan keesaan dan pengertian yang segar.

    Pemahaman rohani yang dijanjikan Roh Kudus tidak bertentangan dengan keempat syarat ini, tetapi syarat-syarat ini merupakan pengandaian yang harus kita terima dan penuhi lebih dulu.

Kesimpulan

Kita telah menyelidiki tentang Roh Kudus dalam empat peran: Roh yang menyelidik, Roh yang menyatakan, Roh yang mengilhamkan, dan Roh yang menerangi. Inilah keempat tahap pelayanan Roh Kudus mengajar umat-Nya. PERTAMA, Dia menyelidiki kedalaman Allah dan pikiran Allah. KEDUA, Dia menyatakan penyelidikan-Nya itu kepada para rasul. KETIGA, Dia menyampaikan apa yang telah dinyatakan-Nya kepada para rasul melalui para rasul dengan kata-kata yang disediakan-Nya sendiri. KEEMPAT, Dia menerangi pikiran para pendengar agar mereka dapat memahami apa yang sudah dinyatakan kepada dan melalui para rasul, dan masih melanjutkan karya iluminasi-Nya ini bagi mereka yang ingin menerimanya sampai saat ini.

Dua pelajaran singkat sederhana akan mengakhiri pembahasan ini. Yang PERTAMA menyangkut pandangan kita tentang Roh Kudus. Sekarang ini Pribadi dan karya Roh Kudus banyak diperbincangkan orang. Bagian Alkitab kita ini hanya salah satu dari banyak bagian Alkitab lainnya tentang Roh Kudus. Tetapi izinkan saya bertanya kepada Anda, "Adakah tempat dalam doktrin Anda tentang Roh Kudus untuk bagian ini?" Yesus menyebut-Nya 'Roh Kebenaran'. Berarti kebenaran penting bagi Roh Kudus. Ya, saya tahu bahwa Dia juga adalah Roh kekudusan, Roh kasih dan Roh kuasa, tetapi apakah Dia merupakan Roh Kebenaran untuk Anda? Menurut ayat-ayat yang sudah kita pelajari, Dia sangat mementingkan kebenaran. Dia menyelidikinya, menyatakannya, mengkomunikasikannya, dan menerangi pikiran kita agar mampu mengertinya. Sahabat, jangan sekali-kali meremehkan kebenaran! Jika Anda lakukan itu, Anda mendukai Roh Kudus kebenaran. Bagian ini seharusnya membawa dampak nyata pada pandangan kita tentang Roh Kudus.

KEDUA, kebutuhan kita akan Roh Kudus. Inginkah Anda bertumbuh dalam pengenalan Anda tentang hikmat Allah dan rencana menyeluruh-Nya menjadikan kita serupa Kristus dalam kemuliaan-Nya kelak? Tentu ingin, seperti halnya saya juga. Berarti kita butuh Roh Kudus, Roh kebenaran, untuk menerangi pikiran kita. Untuk itu kita perlu dilahirkan kembali. Kadang-kadang terpikir oleh saya, mengapa sementara teolog sekuler mengeluarkan ucapan-ucapan dan tulisan-tulisan serendah nilai sampah (yang saya maksudkan, misalnya ialah penolakan mereka akan kepribadian Allah dan Keilahian Yesus) adalah karena mereka belum dilahirkan kembali. Mungkin saja seseorang menjadi teolog tanpa dilahirkan kembali. Inikah sebabnya mereka tidak memahami kebenaran-kebenaran ajaib dalam Alkitab? Alkitab dapat dipahami secara rohani. Karena itu kita perlu datang kepada Alkitab dengan rendah hati, hormat, dan penuh harap. Kita perlu mengakui bahwa kebenaran-kebenaran yang dinyatakan di dalam Alkitab masih terkunci dan termeterai sampai Roh kudus membukakannya bagi kita dan membukakan pikiran kita untuk kebenaran tersebut. Allah menyembunyikan kebenaran-Nya dari orang berhikmat dan orang pandai, dan menyatakannya kepada 'bayi-bayi', yaitu mereka yang dengan rendah hati dan hormat datang kepada-Nya. Jadi, sebelum kita, para pengkhotbah, membuat persiapan; sebelum warga jemaat mendengarkan, sebelum seseorang atau sekelompok orang mulai membaca Alkitab dalam masing-masing situasi ini, kita harus berdoa agar Roh Kudus memberikan penerangan-Nya: "Singkapkanlah mataku, supaya aku memandang keajaiban-keajaiban dari Taurat-Mu." (Mazmur 119:18) Maka pasti Dia akan melakukannya.

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Alkitab: Buku untuk Masa Kini
Judul Artikel : -
Penulis : John R.W. Stott
Penerjemah : -
Penerbit : Persekutuan Pembaca Alkitab, Jakarta, 1990
Halaman : 30 - 49

Alkitab dan Reformasi

Editorial: 
"Alkitab", tulis William Chillingworth, "dan aku katakan, hanya Alkitab, adalah agama dan orang-orang Protestant."
Penulis: 
Alister E. McGrath
Edisi: 
060/III/2005
Isi: 

"Alkitab", tulis William Chillingworth, "dan aku katakan, hanya Alkitab, adalah agama dan orang-orang Protestant." Kata-kata termasyhur dari orang Protestan Inggris dalam abad ke-17 ini meringkaskan sikap Reformasi terhadap Kitab Suci. Calvin menyatakan prinsip yang sama ini dengan agak kurang mengesankan walaupun secara lebih lengkap, demikian, "Biarlah hal ini kemudian menjadi suatu aksioma yang pasti: bahwa tidak ada yang lain yang harus diakui di dalam gereja sebagai Firman Allah kecuali apa yang termuat, PERTAMA dalam Torah dan Kitab Nabi-Nabi, dan KEDUA dalam tulisan-tulisan dari para Rasul; dan bahwa tidak ada metode pengajaran lain di dalam gereja yang berlainan dari apa yang sesuai dengan ketentuan dan aturan dari Firman-Nya." Seperti akan kita lihat, bagi Calvin, lembaga-lembaga dan peraturan-peraturan baik dari gereja maupun masyarakat dituntut berakar di dalam Kitab Suci, "Aku hanya menyetujui lembaga-lembaga manusia yang didirikan di atas kewenangan Allah dan berasal dari Kitab Suci." Zwingli memberikan judul untuk traktat yang ditulisnya pada tahun 1522 mengenai Kitab Suci, yakni Tentang Kejelasan dan Kepastian dari Firman Allah, yang menandaskan bahwa "Landasan agama kita adalah firman yang tertulis, Kitab Suci Allah". Pandangan-pandangan seperti itu menunjukkan penghargaan yang tinggi terhadap Kitab Suci yang secara konsisten dimiliki oleh para reformator. Pandangan ini, seperti telah kita lihat, bukanlah sesuatu yang baru; pandangan itu menggambarkan pokok utama dari kesinambungan dengan teologi Abad Pertengahan - kecuali beberapa kaum Fransiscan yang belakangan - yang menganggap Kitab Suci sebagai sumber terpenting dari ajaran Kristen. Perbedaan antara para reformator dan teologi Abad Pertengahan pada pokok masalah ini menyangkut bagaimana Kitab Suci itu didefinisikan dan ditafsirkan lebih daripada menyangkut status yang diberikan kepadanya. Kita akan membahas pokok-pokok ini lebih jauh dalam bagian yang berikut ini.

Kanon Kitab Suci

Hal pokok bagi program apa pun yang memperlakukan Kitab Suci sebagai normatif adalah menentukan batas-batas Kitab Suci. Dengan kata lain, apakah Kitab Suci itu? Istilah "kanon" (satu kata Yunani yang berarti "aturan" atau "norma") dipergunakan untuk merujuk pada kitab-kitab yang oleh gereja dianggap otentik. Bagi teolog-teolog Abad Pertengahan, "Kitab Suci" berarti "karya-karya yang tercakup dalam Vulgata". Namun, para reformator merasa berwenang untuk mempersoalkan penilaian ini. Sementara semua kitab Perjanjian Baru diterima sebagai kanonis - kekuatiran Luther menyangkut empat kitab hanya memperoleh dukungan sedikit [1] - keragu-raguan muncul menyangkut kanonitas dari sekumpulan karya Perjanjian Lama. Suatu perbandingan isi dari Perjanjian Lama dalam Alkitab Ibrani pada satu pihak dan versi-versi Yunani dan Latin (seperti pada Vulgata) pada pihak lain memperlihatkan bahwa yang belakangan itu memuat sejumlah kitab yang tidak terdapat dalam yang pertama. Para reformator itu berpendapat bahwa tulisan- tulisan Perjanjian Lama yang dapat diakui untuk masuk dalam kanon Kitab Suci hanyalah yang asli terdapat dalam Alkitab Ibrani [2]. Jadi, suatu perbedaan ditarik antara "Perjanjian Lama" dan "Apokrifa"; yang pertama terdiri atas kitab-kitab yang terdapat dalam Alkitab Ibrani, yang belakangan terdiri atas kitab-kitab yang terdapat dalam Alkitab Yunani dan Alkitab Latin (seperti Vulgata), tetapi tidak terdapat dalam Alkitab Ibrani. Sementara beberapa reformator mengakui bahwa karya-karya apokrif itu merupakan bacaan yang dapat membawakan perbaikan, telah ada persetujuan umum bahwa karya-karya ini tidak dapat dipergunakan sebagai dasar untuk ajaran. Namun, teolog-teolog Abad Pertengahan, diikuti oleh Konsili Trente tahun 1546, mendefinisikan "Perjanjian Lama" sebagai "karya-karya Perjanjian Lama yang termuat dalam Alkitab Yunani dan Latin", dan menyingkirkan perbedaan antara "Perjanjian Lama" dan "Apocrypha".

Jadi, suatu perbedaan yang fundamental berkembang antara pengertian- pengertian Katholik Roma dan Protestan tentang apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan istilah "Kitab Suci". Perbedaan ini tetap ada sampai hari ini. Satu perbandingan antara versi-versi Alkitab Protestan - dua yang terpenting adalah New Revised Standard Version (NRSV) dan New International Version (NM) - dengan versi-versi Katholik Roma, seperti Jerusalem Bible, akan mengungkapkan perbedaan- perbedaan ini. Bagi para reformator, sola scriptura dengan demikian tidak hanya mengimplikasikan satu perbedaan, tetapi dua, dari pihak Katholik yaitu pihak yang bertentangan dengan mereka; bukan hanya status yang berbeda yang mereka kenakan terhadap Kitab Suci, tetapi mereka juga tidak sependapat tentang apa sebenarnya Kitab Suci itu. Tetapi apakah relevansi dari perdebatan ini? Satu kebiasaan Katholik yang membuat para reformator merasa sangat tersinggung adalah mengenai doa untuk orang mati. Bagi reformator-reformator itu, kebiasaan ini tidak mempunyai dasar Alkitabiah (ajaran tentang penyucian) dan mendorong pada takhyul rakyat dan eksploitasi oleh gereja. Namun, pihak Katholik, yang berseberangan dengan mereka, dapat menanggapi keberatan ini, dengan menunjuk bahwa kebiasaan berdoa bagi orang mati itu secara eksplisit disebutkan dalam Kitab Suci di dalam 2Makabe 12:40-46. Pada pihak lain, para reformator, dengan menyatakan bahwa kitab ini adalah apokrif (dan karenanya bukan merupakan bagian dari Alkitab) dapat menjawab bahwa setidak-tidaknya dalam pandangan mereka, kebiasaan itu tidaklah Alkitabiah. Ini pantas memperoleh balasan dari pihak Katholik bahwa reformator-reformator itu mendasarkan teologi mereka atas Kitab Suci, tetapi hanya setelah mengeluarkan dari kanon Kitab Suci karya-karya yang kebetulan bertentangan dengan teologi mereka.

Satu hasil dari perdebatan ini adalah produksi dan peredaran daftar- daftar yang sah dari buku-buku yang dianggap "Alkitabiah". Sesi keempat dari Konsili Trente (1546) menghasilkan suatu daftar yang rinci yang memasukkan karya-karya Apokrifa sebagai yang otentik Alkitabiah, sedangkan jemaat-jemaat Protestan di negeri Swis, Perancis, dan di mana saja, memproduksi daftar-daftar yang dengan sengaja menghilangkan rujukan pada karya-karya ini atau juga menunjukkan bahwa mereka tidaklah penting dalam masalah ajaran.

Kewibawaan Kitab Suci

Para reformator melandaskan kewibawaan Kitab Suci dalam hubungannya dengan Firman Allah. Bagi beberapa orang, hubungan itu tampaknya sedikit lebih bernuansa; Kitab Suci memuat Firman Allah. Meskipun demikian, terdapat konsensus bahwa Kitab Suci harus diterima seakan- akan Allah sendirilah yang sedang berbicara. Bagi Calvin, kewibawaan Kitab Suci dilandaskan dalam fakta bahwa para penulis Alkitab adalah "sekretaris (`notaires authentiques` dalam Institutio versi bahasa Perancis) Roh Kudus". Seperti yang dinyatakan oleh Heinrich Bullinger, kewibawaan Kitab Suci adalah mutlak dan otonom, "Oleh karena ia merupakan Firman Allah, Kitab Suci yang kudus itu mempunyai kedudukan dan kredibilitas yang mencukupi di dalam dirinya sendiri dan dari dirinya sendiri." Di sini Injil itu sendirilah yang mampu berbicara untuk dirinya sendiri dan menantang dan memperbaiki gambaran-gambaran tentang dirinya yang tidak memadai dan tidak akurat dalam abad ke-16. Kitab Suci mampu memberikan penilaian atas gereja Abad Pertengahan (dan nyatanya "kurang") dan juga memberikan model bagi gereja Reformed baru yang akan muncul segera sesudah ini.

Sejumlah hal menunjukkan makna penting dari prinsip `sola scriptura` ini. PERTAMA, para reformator itu mempunyai pendapat yang teguh bahwa kewenangan paus-paus, dewan-dewan dan teolog-teolog berada di bawah Kitab Suci itu. Ini tidak berarti bahwa mereka tidak mempunyai kewenangan; seperti yang kita akan lihat kemudian, para reformator itu memberikan kepada dewan-dewan dan teolog-teolog tertentu dalam zaman patristik suatu kewenangan yang sejati dalam hal ajaran-ajaran. Namun, yang hendak dikatakan adalah bahwa kewenangan tersebut berasal dari Kitab Suci dan dengan demikian berada di bawah Kitab Suci. Alkitab, sebagai Firman Allah, harus dipandang sebagai yang lebih tinggi daripada Bapa-bapa Gereja dan dewan-dewan. Seperti yang dikatakan oleh Calvin,

"Karena meskipun kita berpegang bahwa Firman Allah, Firman Allah itu sendiri terletak di seberang lingkup penilaian kita dan bahwa Bapa-bapa Gereja dan dewan-dewan hanya berwibawa sejauh mereka sesuai dengan aturan dari Firman itu, kita masih memberikan kepada dewan-dewan dan Bapa-bapa Gereja kehormatan dan kedudukan seperti yang sesuai untuk mereka miliki di bawah Kristus."

Luther cenderung mempertahankan prinsip `sola scriptura` itu dengan menekankan kekacauan dan keruwetan dari teologi Abad Pertengahan, sementara Calvin dan Melanchthon berpendapat bahwa teologi Katholik yang terbaik (seperti dari Augustinus) mendukung pandangan-pandangan mereka atas prioritas dari pada Kitab Suci.

KEDUA, para reformator itu berpendapat bahwa kewibawaan di dalam gereja tidaklah berasal dari status sang pengemban jabatan, tetapi dari Firman Allah yang dilayani oleh pengemban jabatan itu. Teologi tradisional Katholik cenderung melandaskan kewibawaan dari sang pengemban jabatan di dalam jabatan itu sendiri - contohnya, kewibawaan seorang uskup terletak dalam kenyataan bahwa ia adalah seorang uskup - dan menekankan kesinambungan historis dari jabatan uskup itu dengan era Apostolis. Para reformator melandaskan kewibawaan dari uskup-uskup (atau jabatan yang sepadan dalam gereja Protestan) di dalam kesetiaan mereka pada Firman Allah. Seperti yang dikatakan oleh Calvin mengenai hal ini,

"Perbedaan antara kami dan pengikut paus adalah mereka percaya bahwa gereja tidak dapat menjadi pilar kebenaran kecuali jika ia memimpin Firman Allah. Kami, pada pihak lain menyatakan bahwa ia menjadi pilar kebenaran justru karena ia dengan penuh rasa hormat menundukkan dirinya ke bawah Firman Allah sehingga kebenaran itu dipelihara olehnya dan diteruskan kepada orang-orang lain melalui tangan-tangannya."

Kesinambungan historis tidak begitu penting dalam hubungan dengan proklamasi Firman Allah yang benar itu. Gereja-gereja Reformasi yang terang-terangan memisahkan diri dinyatakan tidak mempunyai kesinambungan historis dengan lembaga-lembaga dari Gereja Katholik. Sebagai contoh, tidak akan ada uskup Katholik yang mentahbiskan pendeta mereka. Namun, para reformator berpendapat bahwa kewibawaan dan fungsi seorang uskup pada akhirnya datang dari kesetiaan mereka pada Firman Allah. Demikian pula keputusan-keputusan para uskup (dan juga dari dewan-dewan dan paus-paus) berwibawa dan mengikat sejauh mereka setia pada Kitab Suci. Bila orang-orang Katholik menekankan pentingnya kesinambungan historis, para reformator dengan bobot yang sama menekankan makna penting dari kesinambungan ajaran. Pada satu pihak gereja-gereja Protestan tidak dapat secara umum mengadakan kesinambungan historis kepada keuskupan (kecuali, seperti dalam kasus reformasi-reformasi di Inggris dan Swedia, karena beralihnya uskup- uskup Katholik), namun pada pihak lain mereka dapat memberi kesetiaan yang diperlukan itu pada Kitab Suci - jadi, dalam pandangan mereka, mengesahkan jabatan-jabatan gerejawi Protestan. Tidak mungkin ada garis hubung historis yang tidak terputus-putus antara pemimpin- pemimpin Reformasi dan uskup-uskup gereja mula-mula, tetapi para reformator itu berpendapat bahwa karena mereka percaya dan mengajarkan iman yang sama seperti uskup-uskup gereja mula-mula itu (dibandingkan dengan Injil yang diselewengkan dalam gereja Abad Pertengahan), kesinambungan yang diperlukan itu bagaimanapun juga ada.

Dengan demikian prinsip sola scriptura mencakup klaim bahwa kewibawaan gereja dilandaskan di dalam kesetiaannya pada Kitab Suci. Namun, lawan-lawan Reformasi dapat mengambil satu diktum (ucapan) dari Augustinus, "Aku tidak pantas mempercayai Injil kecuali jika hatiku digerakkan oleh Gereja Katholik". Tidakkah keberadaan yang sebenarnya dari kanon Kitab Suci menunjuk kepada gereja yang mempunyai kewibawaan atas Kitab Suci? Bagaimanapun juga, gerejalah yang menentukan apa "Kitab Suci" itu - dan hal ini memberi kesan bahwa gereja mempunyai kewenangan atas dan tidak bergantung pada, Kitab Suci. Jadi, John Eck, lawan Luther dalam Perdebatan Leipzig yang terkenal tahun 1519 itu, berpendapat bahwa "Kitab Suci tidaklah otentik tanpa kewibawaan gereja". Ini dengan jelas menimbulkan pertanyaan tentang hubungan antara Kitab Suci dan tradisi.

Peran Tradisi

Prinsip `sola scriptura` dari para reformator itu tampaknya akan menyingkirkan rujukan pada tradisi di dalam pembentukan ajaran Kristen. Namun, dalam kenyataannya reformator-reformator besar itu mempunyai pemahaman yang sangat positif terhadap tradisi, seperti yang kita akan lihat.

Dalam bagian yang lebih dahulu, kita mencatat adanya dua pengertian mengenai tradisi yang menjadi karakteristik Abad Pertengahan, "Tradisi 1" dan "Tradisi 2". Prinsip `sola scriptura` tampaknya akan merujuk pada suatu pengertian dari teologi yang tidak memberikan peran apa pun untuk tradisi - suatu pengertian yang kita dapat sebut "Tradisi 0". Tiga pengertian utama tentang hubungan antara Kitab Suci dan tradisi yang ada dalam abad ke-16 dapat diringkaskan sebagai berikut.
    Tradisi 0: Reformasi radikal.
    Tradisi 1: Reformasi yang mengaku negara (Reformasi magisterial).
    Tradisi 2: Konsili Trente.

Pertama-tama, analisis ini tampaknya dapat mengagetkan. Tidakkah para reformator itu menolak tradisi demi ajaran hanya oleh kesaksian Alkitabiah? Namun, dalam kenyataannya reformator-reformator itu mempunyai keprihatinan terhadap pembersihan tambahan-tambahan manusia pada kesaksian Alkitabiah itu atau terhadap penyimpangan-penyimpangan dari padanya. Paham tentang suatu "penafsiran tradisional atas Kitab Suci" - yang termasuk di dalam konsep "Tradisi 1" - benar-benar dapat diterima oleh reformator-reformator magisterial asalkan penafsiran tradisional ini dapat dibenarkan.

Satu-satunya sayap dari Reformasi yang menerapkan secara konsisten prinsip `sola scriptura` adalah Reformasi radikal atau "Anabaptisme". Bagi orang-orang radikal itu (atau "fanatik", julukan yang diberikan Luther untuk mereka), seperti Thomas Muntzer dan Caspar Schwenkfeld, setiap individu mempunyai hak untuk menafsirkan Kitab Suci sesuka hati masing-masing dengan tunduk pada tuntunan Roh Kudus. Bagi Sebastian Franck yang radikal itu, "Alkitab adalah suatu kitab yang dimeteraiksan oleh tujuh meterai yang tidak dapat dibuka oleh seorang pun kecuali ia mempunyai kunci Daud, yang adalah pencerahan Roh". Dengan demikian, jalan terbuka bagi individualisme, dengan penilaian (pendapat) pribadi dari seorang individu yang muncul mengatasi penilaian yang bersifat kelompok dari gereja. Jadi golongan radikal itu menolak praktik kebiasaan baptisan anak (yang tetap dipertahankan oleh Reformasi magisterial) karena dianggap tidak Alkitabiah (tidak ada rujukan yang jelas untuk praktik kebiasaan itu di dalam Perjanjian Baru). Hal yang serupa, ajaran-ajaran seperti Trinitas dan keilahian Kristus ditolak sebagai ajaran atas dasar bahwa pondasi Alkitabiahnya tidak memadai. "Tradisi 0" menempatkan penilaian pribadi dari seseorang berada di atas penilaian gerejawi dari gereja Kristen menyangkut penafsiran akan Kitab Suci. Itu merupakan suatu resep untuk anarki - dan, seperti yang diperlihatkan secara menyedihkan dalam sejarah Reformasi radikal itu, anarki itu segera berkembang.

Seperti yang telah dikemukakan, Reformasi magisterial secara teologis bersifat konservatif. Ia mempertahankan ajaran-ajaran gereja yang paling tradisional - seperti keilahian Kristus dan ajaran tentang Trinitas - oleh karena keyakinan para reformator itu bahwa penafsiran- penafsiran tradisional atas Kitab Suci ini benar. Hal yang sama, banyak praktik kebiasaan tradisional (seperti baptisan anak) dipertahankan oleh karena kepercayaan para reformator bahwa itu semua konsisten dengan Kitab Suci. Reformasi magisterial dengan sedih menyadari akan bahaya individualisme dan berusaha menghindari ancaman ini dengan menekankan penafsiran tradisional gereja atas Kitab Suci yang menempatkan penafsiran tradisional sebagai yang dianggap benar. Kritik mengenai ajaran ditujukan terhadap lingkup teologi atau praktik kebiasaan Katholik yang tampak telah menyeleweng terlalu jauh atau telah bertentangan dengan Kitab Suci. Oleh karena sebagian besar perkembangan ini terjadi dalam Abad Pertengahan, tidaklah mengherankan bila reformator-reformator itu menyebut periode tahun 1200-1500 sebagai "zaman kerusakan" atas "periode penyelewengan" yang membuat mereka merasa mempunyai misi untuk membaruinya. Hal yang sama, hampir tidak mengherankan bila kita menemukan reformator-reformator itu mengacu kepada Bapa-bapa Gereja yang secara umum dianggap sebagai penafsir-penafsir Kitab Suci yang dapat diandalkan [3].

Pokok ini sangatlah penting dan telah tidak mendapatkan perhatian sewajarnya. Salah satu alasan mengapa reformator-reformator itu menghargai tulisan-tulisan Bapa-bapa Gereja, khususnya Augustinus, adalah bahwa mereka melihat Bapa-bapa Gereja itu sebagai eksponen- eksponen dari teologi Alkitabiah. Dengan kata lain, reformator- reformator itu percaya bahwa Bapa-bapa Gereja itu sedang berusaha untuk mengembangkan suatu teologi yang hanya didasarkan atas Kitab Suci - yang tentu saja tepat sama seperti apa yang juga tengah mereka coba lakukan pada abad ke-16. Memang, metode-metode tekstual dan filologis baru yang kini dapat diperoleh para reformator itu mengandaikan bahwa mereka dapat melakukan koreksi atas Bapa-bapa Gereja dalam pokok-pokok yang rinci; tetapi reformator-reformator itu bersedia menerima "kesaksian patristis" itu sebagai kesaksian yang secara umum dapat diandalkan (3). Oleh karena kesaksian itu mencakup ajaran-ajaran seperti Trinitas dan keilahian Kristus dan praktik- praktik kebiasaan seperti baptisan anak, reformator-reformator itu cenderung untuk menerima hal-hal ini sebagai yang secara otentik alkitabiah. Dengan demikian akan menjadi jelas bahwa penghargaan yang tinggi terhadap penafsiran tradisional atas Kitab Suci ini (yakni "Tradisi 1") memberikan Reformasi magisterial arah yang kuat mengenai konservatisme dalam ajaran.

Pemahaman tentang prinsip `sola scripture` ini memberikan kemungkinan kepada para reformator untuk mengkritik kedua lawan mereka - pihak pertama adalah golongan radikal dan pihak kedua adalah golongan Katholik. Orang-orang Katholik berpendapat bahwa reformator-reformator itu mengangkat penilaian (pendapat) pribadi di atas penilaian (pendapat) yang bersifat kelompok dari gereja. Reformator-reformator itu menjawab bahwa mereka tidak melakukan hal semacam itu; mereka hanya memulihkan kembali penilaian gerejawi itu pada keadaannya yang semula dengan melawan kemerosotan ajaran dari Abad Pertengahan dengan suatu acuan pada penilaian gerejawi dari zaman patristis. Namun, orang-orang radikal tidak memberikan tempat apa pun bagi "kesaksian Bapa-bapa Gereja". Seperti yang ditulis oleh Sebastian Franck tahun 1530, "Ambrosius, Augustinus, Hieronimus, Gregorius yang bodoh - orang-orang yang tidak mengenal Tuhan, jadi tolonglah aku, ya Allah, dan mereka pun tidak diutus oleh Allah untuk mengajar. Lagi pula mereka semua adalah murid-murid si Anti-Kristus". Tradisi 0 tidak memberikan tempat bagi penafsiran tradisional atas Kitab Suci. Para reformator magisterial dengan demikian menolak pengertian yang radikal akan peran Kitab Suci ini dengan menganggapnya sebagai individualisme murni, suatu resep untuk kekacauan teologis.

Karena itu, akan menjadi jelas bahwa sama sekali keliru mengatakan bahwa reformator-reformator magisterial itu mengangkat penilaian pribadi di atas penilaian gerejawi dari gereja atau bahwa mereka merosot ke dalam suatu bentuk individualisme. Penilaian ini pastilah benar untuk Reformasi radikal, satu-satunya sayap dari Reformasi yang telah benar-benar konsisten dalam menerapkan prinsip `sola scriptura`. Betapa sering ide-ide yang asli, radikal, dari suatu gerakan seperti Reformasi ditolak karena ide-ide yang lebih konservatif daripada yang dikembangkan oleh gerakan itu. Benar bahwa suatu variasi dalam derajat tertentu dapat ditemukan di dalam aliran utama dari Reformasi mengenai masalah ini: Zwingli lebih dekat dengan posisi radikal itu daripada Calvin, sedangkan Luther lebih dekat dengan posisi Katholik. Tetapi tidak seorang pun, ini harus ditekankan, bersedia membuang konsep tentang penafsiran tradisional atas Kitab Suci demi alternatif radikal itu. Seperti yang diperhatikan dengan muram oleh Luther bahwa akibat yang tidak dapat dihindarkan dari pendekatan seperti itu adalah kekacauan, suatu "Babel baru". Mungkin Luther sudah mempunyai simpati untuk pandangan-pandangan John Dryden dalam abad berikutnya:

Kitab itu dengan demikian diletakkan di dalam tangan setiap orang, Yang menganggap dirinya masing-masing dapat memahami paling baik, Aturan yang umum dibuat sasaran umum, Dan terletak di dalam tangan rakyat jelata.

Konsili Trente, yang bersidang dalam tahun 1546, menanggapi ancaman dari Reformasi dengan menegaskan suatu teori dua sumber. Penegasan oleh Tradisi 2 dari Reformasi Katholik ini menyatakan bahwa iman Kristen menjangkau setiap generasi melalui dua sumber: Kitab Suci dan suatu tradisi yang tidak tertulis. Tradisi yang di luar Alkitab ini harus diperlakukan sebagai yang memiliki kewibawaan yang setara dengan Kitab Suci. Dalam membuat pernyataan ini, Konsili Trente tampaknya telah mengangkat yang belakangan dan yang kurang berpengaruh, dari dua pengertian Abad Pertengahan yang utama tentang "tradisi" dengan meninggalkan yang lebih berpengaruh itu untuk para reformator. Penting dicatat bahwa dalam tahun-tahun terakhir ini sudah ada suatu "revisionisme" dalam derajat tertentu dalam lingkungan-lingkungan Katholik Roma mengenai masalah ini dengan beberapa teolog masa kini yang berpendapat bahwa Konsili Trente meniadakan pandangan bahwa "Injil hanyalah sebagian ada di dalam Kitab Suci dan sebagian ada di dalam tradisi-tradisi" [4].


Catatan Kaki:
  • [1] Roland H. Bainton, "The Bible in the Reformation", dalam Cambridge History of the Bible, jld. 3, hal. 1-37, khususnya hal 6-9.
  • [2] Untuk diskusi lebih lanjut tentang masalah kanon Perjanjian Lama, lihat Roger T. Becjwith, The Old Testament Canon of the New testament Church (London, 1983).
  • [3] Pierre Fraenkel, Testimonia Patrum: The Function of the Patristic Argument in the Theology of Philip Melanchthon (Geneva, 1961); McGrath, Intellectual Originus, hal. 175-190.
  • [4] Misalnya, Tavard, Holy Writ or Holy Church?, hal. 208.

Sumber: 

Bahan di atas dikutip dari sumber:

Judul buku : Sejarah Pemikiran Reformasi
Penulis : Alister E. McGrath
Penerbit : PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2000
Hal : 181 - 191

Penderitaan Sang Juruselamat


Editorial: 
Penulis: 
Louis Berkhof
Edisi: 
059/III/2005
Isi: 

Sejumlah hal perlu ditekankan berkenaan dengan penderitaan Kristus.

  1. Ia menderita seumur hidup-Nya di dunia.

    Berkenaan dengan kenyataan bahwa Yesus mulai membicarakan penderitaan yang akan dialami-Nya menjelang akhir hidup-Nya, kita sering cenderung untuk berpikir bahwa penderitaan-Nya di atas kayu salib merupakan penggenapan dari seluruh penderitaan-Nya. Tetapi sesungguhnya keseluruhan hidup-Nya adalah penderitaan. Ia harus mengambil rupa seorang hamba, padahal Ia adalah Allah semesta langit. Ia yang tidak berdosa setiap hari harus berhubungan dengan manusia berdosa. Hidup- Nya yang kudus harus menderita di dalam dunia yang terkutuk karena dosa. Jalan ketaatan menjadi milik-Nya bersamaan dengan jalan penderitaan-Nya. Ia menderita karena gangguan iblis yang datang berulang kali, dari kebencian dan ketidakpercayaan umat-Nya, dan dari perlawanan musuh-musuh-Nya. Oleh karena Ia harus masuk ke dalam pemerasan anggur itu sendiri, kesendirian-Nya pastilah merupakan suatu tekanan bagi-Nya, dan rasa tangung jawab-Nya menghancurkan. Penderitaan-Nya adalah penderitaan yang disadari, makin lama makin berat, semakin Ia mendekati akhirnya. Penderitaan yang dimulai sejak inkarnasi akhirnya mencapai titik puncak dalam "pasio magna" (penderitaan terbesar) pada akhir hidup-Nya. Kemudian murka Allah atas dosa segera menghambur ke arah-Nya.

  2. Ia menderita secara tubuh dan jiwa.

    Pernah ada satu masa di mana perhatian terlalu dipusatkan pada pendertiaan jasmani Kristus. Penderitaan ini bukanlah sekedar rasa sakit fisik yang tercakup dalam esensi penderitaan-Nya, tetapi juga rasa sakit yang disertai penderitaan rohani dan kesadaran sebagai seorang pengantara atas dosa umat manusia yang harus ditanggung-Nya. Kemudian menjadi suatu kebiasaan untuk meremehkan arti penting penderitaan secara jasmani, sebab dirasakan bahwa dosa sebagai suatu natur yang sifatnya spiritual. Pandangan-pandangan yang hanya menekankan satu sisi seperti ini harus kita hindari. Baik tubuh maupun jiwa manusia telah dipengaruhi dosa, dan karena itu hukuman atas dosa juga mencakup keduanya. Lebih lanjut Alkitab dengan jelas memberi penjelasan bahwa Kristus menderita dalam keduanya. Ia sangat berdukacita dan menderita di taman Getsemani, di mana jiwa-Nya "sangat takut, seperti mau mati rasanya" dan Ia ditangkap, disiksa, dan disalibkan.

  3. Penderitaan-Nya berasal dari berbagai sebab.

    Dalam pembicaraan sebelumnya kita melihat semua penderitaan Kristus bermula dari kenyataan bahwa Ia harus mengambil tempat orang berdosa sebagai seorang pengganti. Akan tetapi kita dapat membedakan beberapa penyebab secara terinci seperti:

    1. (1) Kenyataan bahwa Ia yang adalah Tuhan atas alam semesta harus menempati kedudukan manusia, bahkan kedudukan sebagai budak atau hamba yang terikat, dan bahwa Ia yang memiliki segala hak untuk memerintah sekarang harus diperintah dan harus taat.

    2. (2) Kenyataan bahwa Ia yang murni dan kudus harus hidup dalam lingkungan dan suasana yang sudah dicemari dosa, tiap hari harus bergaul dengan orang bedosa, dan senantiasa harus diingatkan tentang betapa besarnya dosa yang harus dipikul-Nya oleh karena dosa uamt-Nya.

    3. (3) Kesadaran-Nya yang sempurna dan antisipasi-Nya yang jelas sejak awal kehidupan-Nya tentang penderitaan tertinggi yang akan dialami-Nya pada akhirnya. Ia tahu dengan tepat apa yang akan Ia alami dan pengetahuan ini jelas tidak menimbulkan kegembiraan.

    4. (4) Juga hidup-Nya sendiri, pencobaan iblis, kebencian dan penolakan orang-orang atas diri-Nya, serta perlakuan yang tidak adil serta siksaan yang harus Ia tanggung.

  4. Penderitaan-Nya sangat unik.

    Kadang-kadang kita hanya membicarakan tentang penderitaan Kristus yang "biasa", disaat kita hanya sekedar melihat penderitaan yang disebabkan oleh kesusahan biasa dalam dunia ini. Akan tetapi, kita harus ingat bahwa penyebab-penyebab ini jauh lebih banyak dialami oleh Juruselamat kita daripada yang kita alami sendiri. Lebih dari itu, bahkan penderitaan yang biasa ini pun sebenarnya memiliki sifat yang luar biasa dalam hal diri Kristus, dan dengan demikian pasti unik sifatnya. Kapasitas penderitaan-Nya berada pada sifat yang tepat dengan kemanusiaan-Nya, dengan kesempurnaan etis-Nya, dan dengan rasa kebenaran serta kesucian-Nya. Tak seorang pun yang dapat merasakan betapa beratnya rasa sakit dan dukacita dan kejahatan moral yang harus ditanggung oleh Yesus. Akan tetapi di samping penderitaan yang umum ini, ada lagi penderitaan yang lebih berat, yaitu bahwa segala pelanggaran dan kesalahan kita ditimpakan oleh Tuhan kepada-Nya seperti air bah. Penderitaan Sang Juruselamat tidaklah sepenuhnya terjadi apa adanya, tetapi juga merupakan tindakan positf yang dilakukan Allah (Yesaya 53:6,10). Pencobaan di padang gurun, penderitaan di taman Getsemani dan Golgota juga merupakan penderitaan yang secara khusus dialami oleh Tuhan Yesus.

  5. Penderitaan-nya dalam pencobaan.

    Pencobaan yang dialami Kristus membentuk bagian integral dari penderitaan-Nya. Pencobaan-pencobaan itu dialami-Nya dalam jalan penderitaan-Nya, Matius 4:1-11 (dan ayat paralelnya), Lukas 22:28; Yohanes 12:27, Ibrani 4:15; 5:7,8. Pelayanan-Nya di depan umum dimulai dengan suatu masa dimana Ia harus dicobai, dan bahkan setelah masa itu, pencobaan-pencobaan terus dialami-Nya dan berulang pada masa-masa makin mendekati taman Getsemani. Hanya melalui setiap pencobaan yang manusia alami, Yesus dapat sepenuhnya menjadi Imam Besar yang turut merasakan penderitaan, dan akhirnya Ia dapat menjadi bukti kesempurnaan dan kemenangan (Ibrani 4:15; 5:7-9). Kita tidak dapat melepaskan diri dari kenyataan pencobaan Kristus sebagai Adam yang terakhir, betapa pun sulitnya bagi kita untuk memahami seseorang yang tidak dapat berdosa tetapi harus dicobai. Berbagai upaya pemecahan persoalan ini telah diusahakan, misalnya dengan mengemukakan bahwa dalam natur manusia Kristus, sebagaimana dengan natur dalam diri Adam, ada "nuda possibilitas peccandi", kemampuan abstrak untuk berdosa (Kuyper); bahwa kesucian Yesus adalah kesucian etis yang harus terus mencapai perkembangan dan terus mempertahankan diri dalam pencobaan (Bavinck); dan bahwa pencobaan itu sendiri sebetulnya berdasarkan hukum, dan berkenaan dengan naluri dan nafsu alamiah (Vos). Kendatipun demikian masih ada persoalan yang tinggal, bagaimana mungkin seseorang yang secara kenyataan tidak dapat berdosa, bahkan sama sekali tidak mempunyai kecenderungan terhadap dosa, tetapi harus berada di bawah pencobaan yang sesungguhnya.

KEMATIAN SANG JURUSELAMAT

Penderitaan Juruselamat kita pada akhirnya mencapai titik puncak tertinggi pada waktu kematian-Nya. Berkenaan dengan hal ini, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan:

  1. Derajat kematian-Nya.

    Wajar apabila kita membicarakan kematian Kristus, pertama-tama kita membayangkan kematian jasmani, yaitu terpisahnya tubuh dari jiwa. Pada saat yang sama kita harus juga selalu ingat bahwa hal ini tidak menyingkirkan pengertian tentang kematian sebagaimana dikemukakan oleh Alkitab. Alkitab mempunyai pandangan sintetis (tiruan) tentang kematian, dan memandang kematian jasmani sebagai salah satu manifestasinya. Kematian adalah keterpisahan dengan Allah, akan tetapi keterpisahan ini dapat dipandang dari dua cara yang berbeda. Manusia memisahkan dirinya sendiri dari Allah melalui dosa, dan kematian adalah akibat yang wajar. Tetapi bukan kematian seperti ini yang dialami oleh Yesus, sebab Ia sama sekali tidak mempunyai dosa bagi diri-Nya sendiri. Dalam kaitan ini harus senantiasa diingat bahwa kematian bukanlah satu-satunya konsekuensi dosa yang natural, tetapi di atas semua itu merupakan hukuman atas dosa yang berdasarkan keadilan.

    Kematian adalah bagian manusia dan Tuhan datang menjumpai manusia dalam kemurkaan. Kematian Kristus harus dilihat berdasarkan titik pandang keadilan hukum ini. Allah menjatuhkan hukuman mati atas diri Sang Pengantara secara adil menurut hukum, sebab Sang Pengantara kita dengan sukarela mengambil alih pembayaran atas upah dosa umat manusia. Karena Kristus mengambil natur manusia dalam segala kelemahannya, dan hal ini terjadi setelah kejatuhan manusia, maka Kristus menjadi serupa seperti kita dalam segala sesuatu, kecuali bahwa Ia tidak berdosa, karena itu kematian berkuasa atas diri-Nya sejak awal dan dinyatakan dalam segala bentuk penderitaan yang dialami-Nya.

    Kristus adalah manusia yang penuh penderitaan dan sangat sering mengalami dukacita. Katekismus Heidelberg dengan tepat mengatakan bahwa "sepanjang umur hidup-Nya di dunia, akan tetapi terutama pada akhir masa hidup-Nya, Ia mengalami, dalam tubuh ataupun jiwa, murka Allah atas dosa dari seluruh umat manusia." Penderitaan-penderitaan ini diikuti oleh kematian-Nya di atas kayu salib. Akan tetapi ini bukanlah segalanya; Ia bukan saja harus berada di bawah kematian jasmani; tetapi juga kematian kekal, walaupun Ia menanggungnya secara intensif, bukan secara ekstensif, ketika Ia mengalami penderitaan di taman Getsemani dan ketika Ia di atas salib berteriak: "Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?" Dalam suatu masa yang amat singkat Ia menanggung murka yang tiada terbatas sampai akhir, dan akhirnya tampil sebagai pemenang. Hal ini hanya mungkin bagi-Nya, karena natur diri-Nya yang sangat mulia. Akan tetapi, sampai saat ini kita harus berhati-hati agar tidak salah mengerti. Kematian kekal dalam kaitan dengan Kristus ini tidak termasuk dalam pemutusan keseluruhan hubungan antara Logos dan natur manusia, dan juga bukan berarti bahwa natur Illahi-Nya ditinggalkan oleh Allah, ataupun pemutusan kasih Allah Bapa atau kebaikan kemurahan pada pribadi Sang Pengantara. Logos tetap terikat dengan natur manusia bahkan juga ketika tubuh-Nya berada dalam kuburan; natur Illahi-Nya sama sekali tidak mungkin ditinggalkan oleh Allah; dan pribadi sang Pengantara tetaplah terus berada dalam objek kasih Allah. Kematian itu menyatakan diri dalam kesadaran manusiawi sang Pengantara sebagai suatu perasaan ditinggalkan oleh Allah. Hal ini mengandung arti bahwa natur manusia untuk suatu waktu kehilangan rasa kesadaran kenyamanan yang dapat diperoleh dari persekutuan dengan Logos Ilahi, dan perasaan kasih Ilahi; dengan penuh rasa sakit menyadari kepenuhan murka Allah yang sedang dicurahkan diatas-Nya. Tetapi bagaimanapun juga kita tidak perlu kecewa, sebab bahkan sampai pada waktu yang paling gelap sekalipun, pada saat Ia berteriak bahwa Ia ditinggalkan, Ia tetap mengarahkan doa-Nya pada Allah.

  2. Sifat yuridis kematian-Nya.

    Sangat perlu bahwa Kristus harus mati, bukan kematian alamiah atau kebetulan; dan Ia tidak harus mati di tangan para pembunuh, melainkan di bawah keputusan pengadilan. Ia harus terhitung di antara para pembuat pelanggaran, harus dituduh sebagai seorang terpidana. Lebih jauh lagi, hal ini secara providensia telah diatur oleh Allah bahwa Ia harus diadili dan dijatuhi hukuman oleh seorang hakim Roma. Orang- orang Roma sangat jenius untuk hukum dan keadilan, dan mewakili keadilan hukum tertinggi di dunia. Dapat diharapkan bahwa pengadilan sebelum pengadilan Roma menyajikan suatu pengadilan terhadap Yesus yang tidak bersalah, sehingga jelaslah bahwa Ia dihukum bukan karena perbuatan jahat yang Ia lakukan. Hal ini merupakan kesaksian yang jelas bahwa sebagaimana yang dikatakan oleh Tuhan, "Ia tercabut dari negeri orang hidup dan oleh sebab pelanggaran umat-Ku Ia menderita." Dan ketika pada akhirnya hakim Romawi itu menghukum orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia juga sedang menghukum dirinya sendiri serta juga keadilan manusia yang diterapkannya. Pada saat yang sama, ia sedang menjatuhkan hukuman atas Yesus sebagai wakil dari kuasa pengadilan tertinggi di dalam dunia, berfungsi melalui anugerah Allah dan mengeluarkan keadilan atas nama Tuhan. Putusan hukuman oleh Pilatus adalah putusan hukuman dari Tuhan walaupun dari dasar yang berbeda. Penting juga bahwa Kristus tidak dipenggal atau dirajam batu sampai mati. Penyaliban adalah bentuk hukuman Romawi, bukan hukuman Yahudi. Hukuman salib ini dianggap sedemikian memalukan dan hina sehingga hukuman salib in tidak pernah dijatuhkan atas warga negara Romawi, tetapi hanya dijatuhkan pada orang-orang yang dianggap tak berguna, para pembuat kejahatan yang paling kejam dan para budak. Dengan kematian-Nya di atas kayu salib, Yesus menggenapi tuntutan hukum yang tertinggi. Pada saat yang sama Ia mati dalam cara kematian yang paling hina dan terkutuk, dan dengan demikian Ia membuktikan kenyataan bahwa Ia menjadi terkutuk karena kita (Ulangan 21:23; Galatia 3:13).

PENGUBURAN SANG JURUSELAMAT

Tampaknya, kematian Kristus adalah keadaan terakhir dari kehinaan-Nya, terutama berkaitan dengan kalimat terakhir yang diucapkan-Nya di atas kayu salib, "Sudah genap". Akan tetapi, sesungguhnya kalimat itu berkaitan dengan penderitaan-Nya yang aktif, yaitu penderitaan dimana Ia sendiri mengambil bagian secara aktif. Tentu saja hal ini benar digenapi pada saat kematian-Nya. Akan tetapi, jelas bahwa kematian-Nya juga mengambil bagian kehinaan-Nya. Perhatikanlah hal berikut ini:

  1. Manusia harus kembali kepada debu tanah, dari mana ia diambil, dinyatakan dalam Alkitab sebagai bagian dari hukuman atas dosa, (Kejadian 3:19).

  2. Sejumlah pernyataan Alkitab mengandung arti bahwa Sang Juruselamat yang dikuburkan itu juga mengalami kehinaan (Mazmur 16:10; Kisah Para Rasul 2:27,31; 13:34,35). Ia turun ke dalam kerajaan maut, yang sangat mengerikan dan menakutkan, suatu tempat yang penuh dengan pelanggaran walaupun Ia sendiri bebas dari segala pelanggaran.

  3. Dikuburkan berarti harus turun dan ini berarti kehinaan. Penguburan atas orang mati diperintahkan Tuhan untuk melambangkan kehinaan dari orang berdosa.

  4. Ada beberapa persetujuan tertentu antara karya objektif penebusan dengan susunan penerapan subjektif karya Kristus. Alkitab mengatakan bahwa orang-orang berdosa dikuburkan bersama dengan Kristus. Hal ini berarti adalah melepaskan manusia lama dan bukan mengenakan yang baru, bandingkan Roma 6:1-6. Penguburan Tuhan Yesus juga membentuk bagian dari kehinaan-Nya. Lebih jauh lagi, penguburan ini bukan saja membuktikan bahwa Yesus benar-benar mati, tetapi juga menyingkirkan segala kengerian kematian bagi orang-orang yang telah ditebus dan juga menyucikan kubur bagi mereka.

JURUSELAMAT KITA TURUN KEDALAM KERAJAAN MAUT

  1. Doktrin ini adalah Pengakuan Iman Rasuli.

    Setelah Pengakuan Iman Rasuli menyebutkan tentang penderitaan Kristus, kematian dan penguburan-Nya, maka pengakuan iman ini dilanjutkan dengan kalimat "turun ke dalam kerajaan maut." Kalimat ini memang tidak disebutkan pada masa pertama kali Pengakuan Rasuli ini ditetapkan. Kalimat ini pertama kali dipakai dalam bentuk Aquileian dari Pengakuan Iman Rasuli (kira-kira 390 AD) "descendit in inferna." Di antara orang-orang Yunani kata "inferna" ada yang menerjemahkannya sebagai "kerajaan maut" tetapi ada juga yang menerjemahkan sebagai "bagian yang lebih rendah". Pada sebagian bentuk dari Pengakuakn Iman ini ada yang tidak menyebutkan tentang penguburan Kristus, sedangkan bentuk Romawi dan Timur pada umumnya menyebutkan penguburan tetapi tidak menyebutkan tentang turun ke dalam kerajaan maut ini telah mengimplikasikan maksudnya dalam "dikuburkan". Akan tetapi, beberapa waktu kemudian bentuk Pengakuan Iman Rasuli dari Roma menambahkan perkataan "turun ke dalam kerajaan maut" setelah mereka menyebutkan tentang penguburan Kristus. Calvin dengan tepat mengatakan bahwa mereka yang menambahkan kalimat itu setelah kata "dikuburkan" tentunya mereka memang bermaksud menambahkannya.

  2. Dasar Alkitab tentang pernyataan tersebut.

    Terutama ada 4 ayat dalam Alkitab yang harus kita perhatikan di sini:

    1. Efesus 4:9, "Bukankah `Ia telah naik` berarti bahwa Ia juga telah turun ke bagian bumi yang paling bawah?" Mereka yang mencari dukungan dari ayat ini menganggap perkataan "turun ke bagian bumi paling bawah" sama artinya dengan "kerajaan maut". Akan tetapi tafsiran semacam ini masih diragukan. Rasul Paulus berpendapat bahwa kenaikan Kristus memberikan presuposisi turun. Namun, lawan dari kenaikan Kristus ke surga adalah inkarnasi, bandingkan Yohanes 3:13. Sebagian besar para penafsir Alkitab menganggap bahwa kalimat "bagian bumi yang paling bawah" adalah bumi itu saja. Pernyataan itu dapat diperoleh dari Mazmur 139:15 dan lebih menunjuk pada inkarnasi.

    2. 1Petrus 3:18,19, yang membicarakan tentang Kristus "Sebab juga Kristus telah mati sekali untuk segala dosa kita, Ia yang benar untuk orang-orang yang tidak benar, supaya Ia membawa kita kepada Allah; Ia yang telah dibunuh dalam keadaan-Nya sebagai manusia, tetapi yang telah dibangkitkan menurut Roh, dan di dalam Roh itu juga Ia pergi memberitakan Injil kepada roh-roh di dalam penjara." Ayat ini dianggap menunjuk kepada Kristus yang turun ke dalam kerajaan maut dan menyatakan tujuan tindakan itu. Roh yang disebutkan itu kemudian dianggap sebagai jiwa Kristus dan memberitakan Injil ini dianggap terjadi antara kematian dan kebangkitan-Nya. Tetapi ini pun sama tak mungkinnya dengan yang lain. Roh yang disebutkan bukanlah jiwa Kristus, melainkan Roh yang mengaktifkannya, dan oleh Roh pemberi hidup yang sama itulah Kristus memberitakan Injil. Pandangan Protestan yang umum akan ayat ini adalah bahwa di dalam Roh, Kristus memberitakan Injil melalui Nuh, pada orang-orang yang tidak taat yang hidup sebelum masa air bah. Roh-roh itu ada di dalam penjara ketika Petrus menulis surat ini, oleh karena itu dapat dianggap demikian. Bavinck menganggap hal ini tidak dapat diterima dan menafsirkan ayat ini menunjuk kepada kenaikan Tuhan Yesus, yang dianggapnya sebagai pemberitaan Injil yang kaya, penuh kemenangan, dan kuasa pada roh-roh yang di penjara.

    3. 1Petrus 4:4-6, terutama ayat 6, yang berbunyi: "Itulah sebabnya maka Injil telah diberitakan juga kepada orang-orang mati, supaya mereka sama seperti semua manusia dihakimi secara badani; tetapi oleh Roh dapat hidup menurut kehendak Allah". Dalam kaitan ini Petrus memperingatkan para pembaca bahwa mereka tidak boleh hidup seluruhnya dalam daging dan nafsu manusia, tetapi menurut kehendak Allah, bahkan juga jika mereka harus menentang kawan-kawan mereka yang lama dan dihina oleh mereka, sebab mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka di hadapan Tuhan, yang siap menghakimi orang yang hidup dan yang mati. "Orang mati" yang kepadanya Injil diberitakan sebetulnya belumlah mati ketika Injil itu diberitakan, sebab tujuan dari pemberitaan itu sebagian adalah "agar mereka dapat dihakimi menurut manusia dalam daging." Hal ini hanya dapat terjadi ketika mereka masih hidup dalam dunia. Bagaimanapun juga Petrus membicarakan roh-roh yang sama yang dipenjarakan, yang disebut dalam pasal sebelumnya.

    4. Mazmur 16:8-10 (Bandingkan Kisah Para Rasul 2:25-27,30,31). Terutama ayat 10 yang kita bicarakan di sini "Sebab Engkau tidak menyerahkan Aku ke dunia orang mati, dan tidak membiarkan orang kudus-Mu melihat kebinasaan." Dari ayat ini Pearson menyimpulkan bahwa jiwa Kristus berada dalam neraka (kerajaan maut) sebelum kebangkitan-Nya, sebab kita diberitahu bahwa Ia tidak ditinggalkan di sana. Akan tetapi kita haurs memperhatikan yang berikut:

      1. Kata "nephesh" (jiwa) sering dipakai dalam bahasa Ibrani untuk kata ganti orang, dan "sheol" dipakai untuk menunjukkan keadaan kematian seseorang.
      2. Jika kita memahaminya demikian, maka kita mendapatkan `paralelisme sinonimus` yang jelas. Pengertian yang diungkapkan adalah bahwa Yesus tidak ditinggalkan dalam kauasa maut.
      3. Hal ini selaras benar dengan tafsiran Petrus dalam Kisah Para Rasul 2:30,31 dan tafsiran Paulus dengan Kisah Para Rasul 13:34,35. Dalam kedua hal tersebut Mazmur dikutip untuk membuktikan kebangkitan Yesus.

  3. Tafisran-tafsiran berbeda dari pernyataan Pengakuan Iman tersebut.

    1. Gereja Katholik menganggap bahwa hal itu berarti setelah Kristus mati Ia pergi ke `Limbus Patrum` di mana orang-orang kudus Perjanjian Lama menantikan wahyu dan penerapan penebusan-Nya, memberitakan Injil kepada mereka dan membawa mereka ke surga.

    2. Lutheran menganggap bahwa Kristus yang dimuliakan, Kristus turun ke bumi paling bawah untuk mengungkapkan dan mencapai penggenapan kemenangan-Nya atas iblis dan kuasa kegelapan, dan mengumumkan hukuman bagi mereka. Sebagian kaum Lutheran menempatkan perjalanan kemenangan ini antara kematian Kristus dan kebangkitan-Nya; sekelompok lain mengatakan hal ini terjadi setelah kebangkitan.

    3. Gereja di Inggris percaya bahwa kendatipun tubuh Kristus berada dalam kuburan, jiwa-Nya pergi ke dalam kerajaan maut, khususnya ke Firdaus, tempat tinggal jiwa-jiwa orang benar, dan memberikan kepada mereka ungkapan kebenaran yang lebih penuh.

    4. Calvin menafsirkannya secara metafora, menunjukkan penderitaan akhir Kristus di atas kayu salib, di mana Ia sungguh-sungguh merasakan rasa sakit dari hempasan neraka. Katekismus Heidelberg juga berpendapat demikian. Menurut pendapat Raformed yang biasa, kalimat itu bukan saja menunjuk pada penderitaan di atas salib, tetapi juga penderitaan di taman Getsemani.

    5. Alkitab sama sekali tidak pernah mengajarkan tentang Kristus yang secara harafiah turun ke dalam neraka. Lebih dari itu terdapat keberatan-keberatan yang serius terhadap pandangan ini. Kristus tentunya tidak akan mungkin turun ke neraka menurut tubuh, sebab tubuh-Nya ada dalam kubur. Jika seandainya Ia sungguh-sungguh turun ke neraka, maka yang paling mungkin adalah jiwa-Nya, dan itu berarti bahwa hanya setengah dari natur manusiawinya yang mengalami kehinaan ini (atau kemuliaan). Juga, sejauh Kristus belum bangkit dari antara orang mati, maka belumlah tiba waktunya untuk memasuki perjalanan kemenangan seperti yang dianggap kaum Lutheran. Dan akhirnya, pada saat kematian-Nya Kristus menyerahkan Roh-Nya kepada Bapa. Hal ini tampaknya menunjukkan bahwa Ia akan menjadi pasif bukannya aktif sejak kematian-Nya sampai kebangkitan-Nya dari kubur. Secara keseluruhan tampaknya yang terbaik adalah menggabungkan dua pemikiran:

      1. bahwa Kristus menderita sakitnya neraka sebelum kematian-Nya, di Getsemani dan di atas salib; dan
      2. bahwa Ia memasuki kehinaan kematian yang terdalam.

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Teologia Sistematika
Judul Artikel : -
Penulis : Louis Berkhof
Penerjemah : -
Penerbit : Lembaga Reformed Injili Indonesia, Jakarta, 1996
Halaman : 79 - 93

Yayasan Lembaga SABDA; Biblical Computing

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Posting saya kali ini adalah tulisan saya sendiri yang berisi ajakan untuk mendoakan pelayanan Biblical Computing di Indonesia. Untuk itu, saya ingin memperkenalkan Yayasan Lembaga SABDA (YLSA), dimana saya sendiri ikut terlibat di dalamnya. YLSA adalah sebuah yayasan yang memiliki pelayanan yang unik dan sangat menarik, khususnya sehubungan dengan pelayanan Biblical Computing. Nah, untuk mengetahui letak keunikan yayasan ini, silakan menyimak tulisan berikut ini.

In Christ,
Yulia
< yulia@in-christ.net >

Penulis: 
Yulia Oeniyati, Th.M
Edisi: 
058/I/2005
Isi: 

Visi dan Misi Yayasan Lembaga SABDA

Saya melihat YLSA sebagai yayasan yang unik, karena sampai saat ini, belum ada yayasan Kristen non-profit lain, yang berbasis di Indonesia, yang khusus bergerak dalam bidang pelayanan elektronik (yaitu menggunakan media komputer dan internet). Visi YLSA sebenarnya sangat simple, yaitu menjadi "hamba elektronik" untuk melayani masyarakat Kristen Indonesia, khususnya dalam penyediaan bahan-bahan literatur Kristen (dalam bentuk elektronik/digital). YLSA ingin membuktikan bahwa kemajuan teknologi sebenarnya adalah untuk menunjang kemajuan pekerjaan Tuhan. Tentu, hal ini akan sangat kontradiksi dengan pendapat sebagian orang Kristen (dan gereja) yang percaya bahwa komputer adalah alatnya setan. Sebaliknya, YLSA percaya pada "mandat budaya" yang Alkitab berikan kepada umat-Nya, bahwa kemajuan peradaban manusia seharusnya adalah untuk kemuliaan Tuhan. Setan akan memakainya jika kita membiarkan hal itu terjadi. Komputer bisa menjadi alat yang luar biasa untuk memuliakan Tuhan jika berada di tangan seorang Kristen yang mengasihi Tuhan, yang dipanggil untuk melaksanakan misi- Nya. Gambaran inilah yang saya lihat di YLSA.

Melalui misi pelayanannya, YLSA diharapkan dapat menjadi fasilitator dan mobilisator bagi lahirnya dan tersebarnya bahan-bahan kekristenan bermutu, berbasis Indonesia yang bermanfaat untuk membangun iman masyarakat Kristen Indonesia. Sedihnya, dari dulu sampai sekarang, dalam hal literatur Kristen, bahkan juga literatur umum, Indonesia masih tergolong sebagai negara yang miskin dalam hal orisinalitas, baik kuantitasnya maupun kualitasnya (tapi bukan berarti tidak ada tulisan bermutu dari orang Indonesia, ada sih... tapi, jumlahnya tidak bisa dikatakan menggembirakan). Literatur Kristen bahasa Indonesia yang beredar pada umumnya terjemahan dari bahasa Inggris (itupun kebanyakan mutunya masih harus dipertanyakan). Literatur yang disukai biasanya adalah bahan-bahan praktika yang masih belum menyentuh hal-hal yang mendasar, sehingga tidak dapat membangun iman dan kehidupan Kristen yang solid. Jika pelayanan literatur Kristen umum masih belum digarap dengan baik di Indonesia, apalagi pelayanan literatur yang khusus berhubungan dengan bidang biblika, lebih tidak menggembirakan lagi. Dalam bidang inilah, YLSA ingin memberikan peran di Indonesia.

Fokus Pelayanan YLSA

Fokus pelayanan YLSA bisa diringkaskan dalam (4) Bidang Pelayanan Utama, yaitu:

  1. Biblical Computing (BC)
    Memproses dan menyediakan bahan-bahan biblika bahasa Indonesia dalam bentuk elektronik (digital) untuk bisa diintegrasikan dengan program software Alkitab yang dikembangkan YLSA, yaitu SABDA (Software Alkitab, Biblika Dan Alat-alat) -- software Alkitab Online Bible versi Indonesia.
  2. Digital Publishing (DP)
    Menerbitkan dan menyebarkan publikasi dan bahan-bahan kekristenan bermutu, yang nantinya akan menjadi pusat sumber bahan online terbesar bagi masyarakat Kristen Indonesia.
  3. Christian Community (XC)
    Membangun masyarakat Kristen online Indonesia yang siap dipakai Tuhan untuk menjadi mobilisator bagi berkembangnya kehidupan Kristen yang sehat dan bertanggung jawab di gereja-gereja di Indonesia.
  4. Digital Learning (DL)
    Membangun infrastruktur bagi berkembangnya pusat belajar online bagi masyarakat Kristen Indonesia.

Melihat apa yang dilakukan YLSA, saya kira YLSA termasuk yayasan yang langka. Tapi pada kesempatan ini, saya tidak akan menjelaskan satu per satu 4 fokus pelayanan YLSA di atas. Hanya satu dulu saja, yaitu Biblical Computing. Namun, ke-4 fokus pelayanan YLSA di atas sebenarnya memiliki keterkaitan yang erat antara satu dengan yang lain.

YLSA dan Pelayanan Biblical Computing

Apakah yang dimaksud dengan BIBLICAL COMPUTING? (Biblical Computing selanjutnya disingkat BC). Melihat kombinasi dua kata yang dipakai, yaitu "biblical" dan "computing", maka secara sederhana, BC dimengerti sebagai perpaduan antara Alkitab dan komputer. Namun penyederhanaan arti BC ini sebenarnya bisa menyesatkan. "Biblical" lebih dari hanya sekadar Alkitab, dan "computing" lebih dari sekadar komputer. Lebih tepat jika BC diartikan sebagai proses penyelidikan dan penggalian Alkitab, yang menyangkut semua aspek dari "biblical studies", yang dilakukan dengan bantuan program komputer.

Dari arti di atas, maka kita dapat melihat bahwa BC adalah jendela bagi dimungkinkannya semua aspek penggalian Alkitab yang luas dan dalam, yang kebanyakan tidak mungkin dilakukan sebelumnya. Dengan kecanggihan pemrograman komputer, hal-hal yang dulu tidak mungkin dikerjakan, sekarang menjadi mungkin, contohnya:

  • menampilkan teks beberapa versi Alkitab secara paralel, termasuk Alkitab dalam bahasa aslinya atau bahasa-bahasa lain/bahasa daerah.
  • melakukan pencarian ayat, kata atau frasa dalam seluruh Alkitab hanya dalam hitungan detik.
  • mengintegrasikan teks Alkitab dengan bahan-bahan lain, seperti konkordansi, referensi silang, kamus Alkitab, peta Alkitab, dan alat-alat biblika lain yang berhubungan,
  • secara cepat melakukan penganalisaan teks Alkitab terjemahan dengan bahasa asli Alkitab, melalui pengintegrasian nomor-nomor Strong di dalamnya.
  • dan masih banyak lagi.

Selain itu, komputer juga telah menjadi alat bantu yang sangat bermanfaat, bahkan luar biasa, untuk memproses bahan-bahan biblika, dengan memberikan hasil dengan ketelitian dan kecermatan tinggi, dalam waktu yang jauh -- jauh lebih singkat dibandingkan dengan cara manual (tanpa alat bantu komputer).

Pelaksanaan pelayanan Biblical Computing memerlukan paling tidak 2 hal mendasar:

  1. Program software Alkitab untuk memungkinkan pengaksesan dan pengintegrasian dengan teks Alkitab dan bahan-bahan biblika, dan bahan-bahan lain.
  2. Pemrosesan teks dari berbagai versi Alkitab dan alat-alat biblika, yang meliputi: pengetikan (jika belum ada dalam bentuk elektronik/ digital), pembuatan indeks, dan standardisasi format.

YLSA menyadari bahwa pelayanan di bidang BC adalah pelayanan yang sangat mendasar yang diperlukan untuk mendukung kesehatan gereja dan pelayanan Kristen pada umumnya. Melalui pelayanan BC, maka masyarakat Kristen akan belajar bagaimana menggali dan menganalisa teks Alkitab, dengan cara yang lebih bertanggung jawab dan lebih akurat, tanpa harus mengorbankan keyakinan kita pada kebenaran Alkitab sebagai Firman Tuhan yang mutlak dan absolut.

Program SABDA -- Online Bible (versi Indonesia)

Untuk menyiapkan suatu program software Alkitab yang nantinya akan diintegrasikan dengan bahan-bahan biblika/bahan lain, YLSA tidak membuatnya sendiri, tapi YLSA bekerjasama dengan ONLINE BIBLE (yang diciptakan dan di-manage oleh Larry Pierce). Online Bible memiliki program software Alkitab yang cukup canggih, koleksi bahan-bahan biblikanya juga cukup luas, dan mempunyai komunitas pendukung yang mengembangkan program tersebut. Selain itu, Online Bible bersifat "open source" atau gratis. Setelah diskusi dan disetujui oleh Larry Pierce, maka dilakukan modifikasi program dengan penyesuaian pada beberapa bagian. Sebagai hasilnya, lahirlah sebuah program Alkitab yang disebut SABDA (singkatan dari Software Alkitab, Biblika Dan Alat- alat). Program inilah yang akan mengintegrasikan teks berbagai versi Alkitab, dalam beragam bahasa, termasuk bahasa asli Alkitab (Yunani dan Ibrani), dengan bahan-bahan biblika dan banyak bahan kekristenan lain, dengan sumber-sumber dari bahasa Indonesia. Keseluruhan dari paket Biblical Computing ini, kemudian dikemas dalam banyak floppy, sampai akhirnya menjadi sebuah CD, yang untuk selanjutnya dikenal dengan nama CD SABDA -- atau Online Bible versi bahasa Indonesia.

Teks Berbagai Versi Alkitab dan Bahan-bahan Biblika

Selama hampir 10 tahun pelayanannya, YLSA telah berusaha membangun infrastruktur yang diharapkan akan memungkinkan pelayanan bidang BC ini terwujud. Salah satu hal mendasar yang sangat penting dilakukan adalah penyediaan berbagai versi Alkitab, baik dalam bahasa Indonesia Kuno (Melayu)/Modern; bahasa daerah/suku (Jawa, Sunda); bahasa asli Alkitab (Yunani dan Ibrani) maupun bahasa asing lainnya (Inggris, Latin, Belanda, China) dalam bentuk elektronik/digital.

Penggalian informasi dan pengumpulan serta pemrosesan manuskrip- manuskrip Alkitab bahasa Indonesia, baik Bahasa Indonesia kuno maupun modern, merupakan tantangan yang cukup besar. Namun, hal itu dapat teratasi berkat kejujuran, tekad, dan kerja keras dari setiap orang yang terlibat dalam pelayanan ini. Puji Tuhan! kerja keras ini membuahkan hasil yang luar biasa karena saat ini, YLSA telah berhasil memproses secara elektronik 10+ versi Alkitab bahasa Indonesia untuk dipublikasikan dan dipakai oleh masyarakat Indonesia secara luas. Keberhasilan inilah yang memantapkan YLSA untuk selanjutnya membangun pelayanan yang disebut sebagai "e-Bible".

Dalam melaksanakan "biblical studies", memiliki berbagai teks Alkitab saja sangatlah tidak cukup. Diperlukan bahan-bahan biblika lain untuk menjadi sumber referensi yang menunjang proses penggalian dan penyelidikan Alkitab. Untuk itu, bekerja sama dengan berbagai lembaga penerbitan lain, YLSA mengumpulkan dan memproses bahan-bahan yang akan berguna untuk dibuat bentuk elektroniknya/digitalnya. Sebagai hasilnya adalah sebuah "rak buku elektronik" yang berisi:

  • berbagai bahan biblika (konkordansi, sistem referensi silang, sistem catatan ayat, kamus Alkitab, kamus bahasa/leksikon, peta Alkitab, dan masih banyak lagi) dan
  • bahan-bahan pelayanan lain (bahan PA, buku-buku doktrin, buku-buku teologia praktis, dll.).

Peluncuran CD SABDA Versi 2.0

CD SABDA versi 1.0 telah selesai dikerjakan sebelum tahun 1995, yang berupa teks Alkitab versi TB dan BIS dari Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), yang kemudian diberikan kembali ke LAI secara gratis. Versi ini masih memakai program asli dari Online Bible dengan bahan-bahan lain dalam bahasa Inggris. Namun kemudian mulailah dikembangkan interface dalam bahasa Indonesia dan sedikit demi sedikit penambahan bahan-bahan lain dalam bahasa Indonesia.

Selang 4 tahun kemudian (tahun 2000), CD SABDA versi 2.0 secara lengkap selesai dikerjakan, dicetak, dan disebarkan dengan gratis kepada masyarakat Kristen Indonesia secara luas. CD SABDA versi 2.0 berisi program Online Bible dalam bahasa Indonesia yang merupakan pengembangan dari versi 1.0. Bahan-bahan biblika dan bahan-bahan pelayanan yang ada dalam versi 2.0 berjumlah puluhan ribu halaman -- sebagian besar dalam bahasa Indonesia -- merupakan terbitan dan kerjasama dari berbagai penerbit Kristen Indonesia. Namun, karena adanya keterbatasan bahan-bahan biblika dalam bahasa Indonesia yang tersedia, maka beberapa bahan-bahan biblika dalam bahasa Inggris yang diperlukan masih dipertahankan.

Peluncuran CD SABDA Versi 3.0

Selama 5 tahun setelah peluncuran CD SABDA versi 2.0 tahun 2000, YLSA tidak puas dan berhenti sampai di situ saja, karena masih ada banyak sekali pekerjaan Biblical Computing yang belum dikerjakan, khususnya untuk melengkapi kekurangan-kekurangan jumlah versi Alkitab yang ada dalam bahasa Indonesia dan alat-alat biblika dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, sejak versi 2.0 diluncurkan, YLSA telah bekerja keras meng-upgrade program SABDA dan memproses bahan-bahan biblika baru hingga akhir tahun 2004 dan awal 2005. Saat ini versi Beta dari CD SABDA 3.0, sejumlah kira-kira 150 buah, sudah dibagikan kepada beberapa kelompok orang sejak bulan Nopember 2004 y.l. Kerinduan YLSA adalah pada Pebruari tahun 2005, CD SABDA versi 3.0 dapat diluncurkan bagi masyarakat Kristen Indonesia!

Media Biblical Computing

Sebelum media CD menjadi populer di Indonesia, YLSA telah menyediakan floppy/disket bagi mereka yang menginginkan SABDA. Selain dalam versi DOS, tersedia juga versi Windows dan MacIntosh. Karena media internet juga mulai populer di Indonesia tahun 1997, maka jalur dan media penting ini pun dipakai agar masyarakat bisa mengakses SABDA dengan mudah -- mereka bisa downloading programnya atau bisa display dan memakai SABDA lewat Web. Ketika keping CD akhirnya mudah didapatkan, maka media CD menjadi pilihan YLSA untuk menyebarkan SABDA kepada masyarakat Kristen Indonesia secara luas.

Dunia dan media elektronik berkembang terus dengan sangat cepat. Saat ini, selain bentuk CD, ada banyak variasi media/OS untuk melipat ganda, termasuk Audio, HTML, WEB, Linux, PDA, dan lain-lain. Pada tahap berikutnya setelah SABDA versi 3.0 (yang sedang disiapkan dan segera diluncurkan), YLSA siap mengembangkan BC untuk dapat tersedia dalam semua bentuk media elektronik yang ada.

Mohon Dukungan Doa dan Dana

Sampai hari ini, seluruh staf YLSA masih bekerja keras untuk menyelesaikan seluruh pemrosesan bahan dan persiapan percetakan. Oleh karena itu, dukungan para Sahabat YLSA, khususnya dalam doa dan dana, sangat kami harapkan. Mari kita bergandeng tangan guna mendukung pelayanan Biblical Computing di Indonesia, yang sampai saat ini masih sangat kurang dikerjakan.

Bagi Anda yang tergerak memberikan sumbangan untuk membantu penyelesaian proyek CD SABDA versi 3.0, silakan mengirimkannya ke:

YAYASAN LEMBAGA SABDA
a.n. Yulia Oeniyati
BCA Cabang Pasar Legi Solo
No. Rekening: 0790266579

Sumber: 

YLSA

Sumber diambil dari:

Judul Buku : -
Judul Artikel : -
Penulis : -
Penerjemah : -
Penerbit : -
Halaman : -

Apa yang Menggerakkan Kehidupan Anda?

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Senang sekali bertemu Anda semua di awal tahun 2005 ini. Apakah ada di antara Anda yang punya tradisi/kebiasaan memulai tahun baru dengan suatu RESOLUSI? Saya sering melakukannya, khususnya kalau ada banyak kegagalan/kesalahan/kekecewaan yang saya alami tahun sebelumnya, sehingga hal itu mendorong saya untuk membuat rencana yang diharapkan akan dapat menebus kegagalan/kesalahan/kekecewaan itu. Dorongan rasa bersalah akhirnya mewarnai rencana-rencana hidup yang saya buat.

Berbicara tentang membuat rencana hidup dan resolusi tahun baru, saya teringat dengan buku yang pada akhir tahun 2004 kemarin banyak dibicarakan orang, yaitu bukunya Rick Warren yang berjudul The Purpose Drive Life, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi "Kehidupan yang Digerakkan oleh Tujuan". Saya kira buku tersebut memang patut mendapat perhatian istimewa karena sangat "inspiring". Berikut adalah satu di antara 40 Bab yang dibahas dalam buku tersebut, yang saya kutipkan untuk Anda, khususnya yang belum kebagian membeli buku tersebut.

Hal yang menarik dari artikel ini (buku ini) adalah kepandaian Rick untuk membuat pemikiran filosofis yang berat dan rumit tentang hidup menjadi suatu hal yang praktis dan simple. Ada beberapa hal yang dapat kita tarik menjadi pelajaran yang berguna:

  1. Mengetahui apa yang memotivasi hidup kita, akan membongkar prinsip- prinsip hidup yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Seperti motivasi saya dalam membuat resolusi tahun baru, yaitu rasa bersalah, ternyata tanpa saya sadari telah menghambat rencana Allah bagi hidup saya. Dan yang lebih parah lagi, saya tidak dapat sungguh-sungguh hidup dalam anugerah-Nya.
  2. Apa yang memotivasi kita hidup ternyata ada korelasi dengan apa yang memotivasi kita menjadi orang Kristen. Contohnya, jika materialisme yang menjadi motivasi hidup kita, maka tidak heran kalau berkat-berkat Tuhanlah yang kita kejar-kejar terus, bukan Tuhannya.
  3. Memikirkan tentang apa yang memotivasi hidup kita, mendorong kita untuk memikirkan apa yang sebenarnya kita anggap paling penting dalam hidup kita. Jika Allahlah yang menjadi sumber motivasi kita untuk melanjutkan hidup ini, maka kita akan mencari tahu apa yang Tuhan kehendaki bagi hidup kita selanjutnya. "Hidup bagiku adalah Kristus", kata Rasul Paulus, maka kita akan terdorong untuk melakukan apa yang penting bagi Tuhan, dan bukan apa yang penting bagi diri kita.

Dan masih banyak lagi yang saya yakin dapat kita timba dari merenungkan artikel ini. Oleh karena itu, saya persilakan Anda menyimaknya sendiri dan selamat mengisi tahun 2005 dengan hal-hal yang berkenan bagi Tuhan.

In Christ,
Yulia Oen

Penulis: 
Rick Warren
Edisi: 
057/XII/2004
Isi: 

"Kemudian aku melihat bahwa pada dasarnya segala jerih payah dan keberhasilan orang didorong oleh perasaan iri hatinya. ..."

Pengkhotbah 4:4 (FAYH)

Manusia tanpa suatu tujuan adalah ibarat sebuah kapal tanpa kemudi -- anak terlantar, hal sia-sia, bukan siapa-siapa.

Thomas Carlyle

Kehidupan setiap orang digerakkan oleh sesuatu.

Banyak kamus mendefinisikan kata kerja menggerakkan sebagai "membimbing, mengendalikan, atau mengarahkan". Entah Anda menggerakkan sebuah mobil, sebuah paku, atau bola golf, Anda sedang membimbing, mengendalikan, dan mengarahkannya pada saat itu. Apakah yang menjadi daya penggerak di dalam kehidupan Anda?

Membaca buku.

Sekarang, Anda mungkin digerakkan oleh suatu masalah, suatu tekanan, atau suatu batas waktu. Anda mungkin digerakkan oleh ingatan yang menyedihkan, ketakutan yang menghantui, atau suatu keyakinan yang tidak disadari. Ada ratusan kondisi, nilai, dan emosi yang bisa menggerakkan kehidupan Anda. Berikut ini adalah lima penggerak yang paling umum:

  1. Banyak orang digerakkan oleh rasa bersalah.

    Mereka menghabiskan seluruh hidup mereka dengan berlari dari rasa penyesalan dan menyembunyikan rasa malu mereka. Orang-orang yang digerakkan oleh rasa bersalah dimanipulasi oleh ingatan-ingatan. Mereka membiarkan masa lalu mereka mengendalikan masa depan mereka. Mereka seringkali secara tidak sadar menghukum diri sendiri dengan merusakkan keberhasilan mereka sendiri. Ketika Kain berdosa, rasa bersalahnya memisahkan diri dari hadirat Allah, dan Allah berfirman, "Engkau menjadi seorang pelarian dan pengembara di bumi. Hal tersebut menggambarkan sebagian besar orang saat ini, yang menjalani kehidupan tanpa suatu tujuan.

    Kita adalah produk dari masa lalu kita sendiri, tetapi kita tidak perlu menjadi tawanan masa lalu. Tujuan Allah tidak dibatasi oleh masa lalu Anda. Dia mengubah seorang pembunuh bernama Musa menjadi seorang pemimpin, dan seorang pengecut bernama Gideon menjadi seorang pahlawan yang gagah berani, dan Dia juga mampu melakukan hal-hal ajaib dalam sisa hidup Anda. Allah ahli dalam memberi orang-orang suatu awal yang baru. Alkitab berkata, "Alangkah bahagianya orang-orang yang kesalahannya telah diampuni!... Alangkah leganya hati orang yang telah mengakui dosa-dosanya dan Allah telah menghapus semua dosa itu"
  2. Banyak orang digerakkan oleh kebencian dan kemarahan.

    Mereka mempertahankan kepahitan dan tidak pernah sembuh darinya. Bukannya melepaskan penderitaan mereka melalui pengampunan, mereka malah mengulanginya berkali-kali dalam pikiran mereka. Sebagian orang yang digerakkan oleh kebencian bersikap "bungkam" dan menyimpan sendiri kemarahan mereka, sementara sebagian lain bersikap "amat marah" dan mencetuskannya kepada orang lain. Kedua tanggapan tersebut tidak sehat dan tidak berguna.

    Kebencian selalu lebih melukai Anda ketimbang orang yang Anda benci. Sementara orang yang menyakiti hati Anda mungkin telah melupakan perbuatannya tersebut dan melanjutkan hidup, Anda terus dipenuhi penderitaan Anda, dengan mengabadikan masa lalu.

    Perhatikan: Orang-orang yang melukai Anda pada masa lalu tidak mungkin terus melukai Anda sekarang, kecuali jika Anda mempertahankan rasa sakit itu melalui kebencian. Masa lalu Anda adalah masa lalu! Tidak ada yang bisa mengubahnya. Anda hanya melukai diri dengan kepahitan Anda. Demi diri Anda sendiri, belajarlah dari masa lalu tersebut, lalu jangan mengingatnya lagi. Alkitab berkata, "Hanyalah orang yang bodoh saja yang mati sebab sakit hatinya."
  3. Banyak orang digerakkan oleh rasa takut.

    Ketakutan-ketakutan mereka mungkin merupakan akibat dari adanya pengalaman traumatis, harapan-harapan yang tidak masuk akal, bertumbuh dalam keluarga dengan pengawasan keras, atau bahkan kecenderungan genetik. Tanpa memandang penyebabnya, orang-orang yang digerakkan oleh ketakutan seringkali kehilangan kesempatan-kesempatan besar karena mereka takut untuk menanggung risiko. Sebaliknya, mereka mencari aman, menghindari risiko-risiko dan berupaya untuk memelihara status quo.

    Ketakutan adalah penjara yang dibangun oleh diri sendiri yang akan menghalangi Anda untuk menjadi apa yang Allah maksudkan bagi Anda. Anda harus bergerak melawannya dengan senjata iman dan kasih. Alkitab mengatakan, "Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalamm kasih."
  4. Banyak orang digerakkan oleh materialisme.

    Keinginan mereka untuk memiliki menjadi keseluruhan sasaran kehidupan mereka. Gerakan hati untuk selalu ingin lebih ini didasarkan pada kesalahpahaman bahwa memiliki lebih banyak akan membuat orang lebih bahagia, lebih penting, dan lebih aman, tetapi ketiga gagasan ini tidak benar. Hal-hal yang dimiliki hanya memberikan kebahagiaan sementara. Karena hal-hal tidak berubah, kita akhirnya menjadi bosan dengannya, dan selanjutnya mengingini jenis-jenis yang lebih baru, yang lebih besar, dan lebih baik.

    Juga hanya mitos yang menyatakan bahwa jika saya mendapat lebih banyak, saya akan menjadi lebih penting. Nilai diri sendiri dan nilai hal-hal yang Anda miliki tidaklah sama. Nilai Anda tidak ditentukan oleh barang-barang berharga Anda. Dan Allah berfirman bahwa hal-hal yang paling berharga dalam kehidupan bukanlah barang-barang!

    Mitos yang paling umum mengenai uang adalah bahwa memiliki lebih banyak uang akan membuat saya lebih aman. Tidak akan demikian. Kekayaan bisa hilang dalam sekejap -- melalui berbagai faktor yang tidak bisa dikendalikan. Rasa aman yang sesungguhnya hanya bisa ditemukan di dalam apa yang tidak pernah bisa diambil dari Anda, yaitu hubungan Anda dengan Allah.
  5. Banyak orang digerakkan oleh kebutuhan akan pengakuan.

    Mereka membiarkan harapan-harapan orangtua atau pasangan atau anak atau guru-guru atau teman mengendalikan kehidupan mereka. Banyak orang dewasa tetap berusaha untuk mendapatkan pengakuan orangtua yang tidak bisa disenangkan. Orang lain digerakkan oleh tekanan teman sebaya, selalu kuatir dengan apa yang mungkin dipikirkan orang lain. Sayangnya, orang-orang yang mengikuti orang banyak biasanya terpengaruh oleh pantangan orang banyak itu.

    Saya tidak mengetahui semua kunci menuju keberhasilan, tetapi salah satu kunci menuju kegagalan adalah berusaha menyenangkan semua orang. Dikendalikan oleh pendapat orang lain adalah cara yang pasti untuk kehilangan tujuan-tujuan Allah bagi kehidupan Anda. Yesus berkata, "Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan."

    Ada kekuatan lain yang bisa menggerakkan kehidupan Anda, tetapi semuanya akan membawa kepada jalan buntu yang sama: potensi yang tidak digunakan, rasa tertekan yang tidak perlu, dan kehidupan yang tidak memuaskan.
Perjalanan empat puluh hari ini akan menunjukkan kepada Anda, bagaimana menjalani suatu kehidupan yang memiliki tujuan - suatu kehidupan yang dituntun, dikendalikan, dan dipimpin oleh tujuan-tujuan Allah. Tidak ada hal yang lebih penting daripada mengetahui tujuan- tujuan Allah bagi kehidupan Anda, dan tidak ada yang bisa mengganti kerugiannya jika Anda tidak mengetahui tujuan-tujuan tersebut, entah itu keberhasilan, kekayaan, kepopuleran, atau pun kesenangan. Tanpa suatu tujuan, kehidupan bagaikan gerakan tanpa makna, kegiatan tanpa arah, dan peristiwa tanpa alasan. Tanpa suatu tujuan, kehidupan tidak berarti.

BERBAGAI MANFAAT KEHIDUPAN YANG DIGERAKKAN OLEH TUJUAN

Ada lima manfaat besar dari kehidupan yang memiliki tujuan:
  1. Mengenali tujuan Anda memberi makna bagi kehidupan Anda.

    Kita diciptakan untuk memiliki makna. Itulah sebabnya manusia mencoba metode-metode yang meragukan, seperti astrologi atau fisika, untuk menemukan makna tersebut. Apabila kehidupan memiliki makna, Anda bisa menanggung hampir segala hal; tanpa makna, tidak ada sesuatu pun yang bisa ditanggung.

    Seorang anak muda yang berusia dua puluhan menulis, "Saya merasa gagal karena saya berjuang untuk menjadi sesuatu, dan saya bahkan tidak mengetahui apa sesuatu itu. Satu-satunya cara bertindak yang saya ketahui adalah bertahan. Suatu hari, jika saya menemukan tujuan saya, saya akan merasa mulai hidup."

    Tanpa Allah, kehidupan tidak memiliki tujuan, dan tanpa tujuan, kehidupan tidak memiliki makna. Tanpa makna, kehidupan tidak memiliki arti atau harapan. Dalam Alkitab, bermacam-macam orang mengekspresikan keputusasaan ini. Yesaya mengeluh, "Aku telah bersusah-susah dengan percuma, dan telah menghabiskan kekuatanku dengan sia-sia dan tak berguna." Ayub berkata, "Hari-hari hidupku meluncur dengan cepatnya, habis tanpa harapan," dan "Aku jemu, aku tidak mau hidup untuk selama- lamanya. Biarkanlah aku, karena hari-hariku hanya seperti hembusan nafas saja." Tragedi terbesar bukanlah kematian, melainkan kehidupan tanpa tujuan.

    Harapan sama pentingnya seperti udara dan air bagi kehidupan Anda. Anda membutuhkan harapan untuk bertahan hidup. Dr. Bernie Siegel merasa dia bisa memperkirakan pasien kanker yang mana yang akan mengalami pengurangan penyakit dengan bertanya, "Apakah Anda ingin hidup sampai umur seratus?" Pasien dengan perasaan memiliki tujuan hidup menjawab ya dan merupakan orang-orang yang paling mungkin bertahan hidup. Harapan muncul karena ada tujuan.

    Jika Anda merasa putus asa, bertahanlah! Perubahan-perubahan yang mengagumkan akan terjadi dalam kehidupan Anda ketika Anda mulai menjalaninya dengan suatu tujuan. Allah berfirman, "Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu,... yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan." Anda mungkin merasa sedang menghadapi suatu situasi yang mustahil, tetapi Alkitab berkata, "Allah... dapat melakukan jauh lebih banyak hal daripada yang berani kita bayangkan -- sama sekali melebihi segala doa, keinginan, pikiran dan pengharapan kita."
  2. Mengenali tujuan Anda memuduhkan kehidupan Anda.

    Tujuan hidup menetapkan apa yang Anda kerjakan dan apa yang tidak Anda kerjakan. Tujuan Anda menjadi patokan yang Anda pakai untuk mengevaluasi kegiatan-kegiatan mana yang penting dan mana yang tidak. Anda hanya bertanya, "Apakah kegiatan ini membantu saya memenuhi salah satu dari tujuan Allah bagi kehidupan saya?"

    Tanpa suatu tujuan yang jelas, Anda tidak memiliki dasar di mana Anda melandasi keputusan Anda, membagi waktu Anda, dan menggunakan sumber daya Anda. Anda akan cenderung membuat pilihan-pilihan berdasarkan situasi, tekanan dan suasana hati Anda kala itu. Orang-orang yang tidak mengenali tujuan mereka berusaha untuk melakukan terlalu banyak hal -- dan hal itulah yang menyebabkan rasa tertekan, kelelahan, dan konflik.

    Mustahil melakukan segala hal yang orang lain ingin Anda lakukan. Anda hanya memiliki cukup waktu untuk melakukan kehendak Allah. Jika Anda tidak bisa menyelesaikan semuanya, itu berarti Anda sedang mencoba melakukan lebih dari apa yang Allah maksudkan untuk Anda lakukan (atau, mungkin, Anda terlalu banyak menonton televisi. Kehidupan yang memiliki tujuan membawa pada gaya hidup yang lebih sederhana dan jadwal yang lebih terkendali. Alkitab berkata, "Kehidupan yang mewah dan suka pamer adalah kehidupan yang kosong; kehidupan yang biasa dan sederhana adalah kehidupan yang penuh." Kehidupan yang memiliki tujuan juga membawa kepada ketenangan pikiran: "Engkau, TUHAN, memberikan damai sejahtera yang sempurna kepada orang-orang yang mengikuti dengan teguh tujuan mereka dan menaruh kepercayaan mereka kepada-Mu."
  3. Kewalahan

  4. Mengenali tujuan Anda membuat kehidupan Anda memiliki fokus.

    Tujuan itu akan memusatkan usaha dan energi Anda pada apa yang penting. Anda menjadi efektif karena bersikap selektif.

    Sudah merupakan sifat manusia untuk bingung karena soal-soal kecil. Kita bermain Trivial Pursuit (mengejar hal-hal sepele) dengan hidup kita. Henry David Thoreau mengamati bahwa banyak orang menjalani kehidupan "putus asa secara diam," tetapi sekarang gambaran yang lebih baik adalah bingung tanpa tujuan. Banyak orang seperti giroskop, yang berputar dengan kecepatan luar biasa, tetapi tidak pernah beranjak ke mana pun.

    Tanpa tujuan yang jelas, Anda akan terus mengubah arah, pekerjaan, hubungan, gereja, atau lingkungan - dengan berharap bahwa setiap perubahan akan menghentikan kebingungan atau mengisi kekosongan di dalam hati Anda. Anda berpikir, Mungkin sekarang akan berbeda, tetapi itu tidak memecahkan masalah Anda yang sesungguhnya, yaitu kurangnya fokus dan tujuan.

    Alkitab berkata, "Sebab itu janganlah kamu bodoh, tetapi usahakanlah supaya kamu mengerti kehendak Tuhan.

    Kuasa karena memiliki fokus adalah ibarat cahaya. Cahaya yang menyebar memiliki sedikit kuasa atau pengaruh, tetapi Anda bisa memusatkan energinya dengan memfokuskannya. Dengan kaca pembesar, sinar matahari bisa difokuskan untuk membakar rumput atau kertas. Ketika cahaya lebih difokuskan lagi seperti sinar laser, ia bisa memotong baja.

    Kekuatan dari suatu kehidupan yang terfokus hampir tidak ada duanya, yaitu kehidupan yang dijalani berdasarkan tujuan. Laki-laki dan perempuan yang berpengaruh paling besar dalam sejarah adalah orang- orang yang sangat terfokus. Misalnya, Rasul Paulus nyaris sendirian menyebarkan Agama Kristen di seluruh kekaisaran Romawi. Rahasianya adalah kehidupan yang terfokus. Paulus berkata, "Aku memfokuskan seluruh tenagaku pada satu hal ini: Melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku."

    Jika Anda ingin hidup Anda memiliki pengaruh, fokuslah! Berhentilah bermain-main. Berhentilah mencoba melakukan segala hal. Kurangi hal- hal yang Anda lakukan. Bahkan kurangi kegiatan-kegiatan yang baik dan hanya melakukan hal-hal yang paling penting. Jangan pernah mengacaukan antara aktivitas dengan produktivitas. Anda bisa sibuk tanpa memiliki tujuan, tetapi apa gunanya? Paulus berkata, "Marilah kita tetap fokus pada sasaran itu, kita yang ingin mencapai segala sesuatu yang Allah sediakan bagi kita."
  5. Mengenali tujuan Anda akan memotivasi kehidupan Anda.

    Tujuan selalu menghasilkan keinginan yang kuat. Tidak ada yang bisa membangkitkan energi seperti tujuan yang jelas. Sebaliknya, keinginan yang kuat memudar bila Anda tidak mempunyai tujuan. Bangun dari tempat tidur saja menjadi suatu tugas besar. Biasanya pekerjaan yang tidak berarti, dan bukan kelebihan kerja, yang meletihkan kita, menguras tenaga kita, dan merampas sukacita kita.

    George Bernard Shaw menulis, "Inilah sukacita sejati dalam hidup: dipakai untuk suatu tujuan yang disadari oleh diri Anda sebagai tujuan yang hebat; menjadi suatu kekuatan alam dan bukannya sedikit penyakit dan keluhan yang bersifat mementingkan diri, dengan mengeluh bahwa dunia tidak mau memberikan segalanya untuk membuat Anda bahagia."
  6. Mengenali tujuan Anda akan mempersiapkan Anda untuk menghadapi kekekalan.

    Banyak orang menghabiskan hidupnya dengan berupaya menciptakan warisan yang tanpa akhir di bumi. Mereka ingin dikenang ketika mereka meninggal. Namun, apa yang akhirnya paling penting bukanlah apa yang orang lain katakan tentang kehidupan Anda tetapi apa yang Allah katakan. Apa yang gagal disadari oleh orang-orang adalah bahwa segala pencapaian pada akhirnya lewat, catatan-catatan rusak, reputasi memudar, dan pujian dilupakan. Di kampus, sasaran James Dobson adalah menjadi juara tenis sekolah. Dia merasa bangga ketika pialanya ditempatkan secara menonjol di lemari piala sekolah. Bertahun-tahun kemudian, seseorang mengiriminya piala tersebut. Mereka menemukannya di sebuah tempat sampah ketika sekolah tersebut diperbaiki. Jim berkata, "Sesudah waktu yang cukup lama, semua piala Anda akan dianggap sampah oleh orang lain!"
    Tanpa Allah, kehidupan tidak memiliki tujuan, dan tanpa tujuan, kehidupan tidak memiliki makna. Tanpa makna, kehidupan tidak memiliki arti atau harapan.
    1. Facebook
    2. Twitter
    3. WhatsApp
    4. Telegram


    Hidup untuk menghasilkan warisan dunia adalah sasaran yang dangkal. Adalah lebih bijaksana kalau orang menggunakan waktunya untuk membangun suatu warisan kekal. Anda tidak ditempatkan di bumi untuk diingat. Anda ditempatkan di sini untuk bersiap-siap menghadapi kekekalan.

    Suatu hari, Anda akan berdiri di hadapan Allah, dan Dia akan memeriksa kehidupan Anda, suatu ujian akhir, sebelum Anda memasuki kekekalan. Alkitab mengatakan, "Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Allah... Demikianlah setiap orang di antara kita akan memberi pertanggungan jawab tentang dirinya sendiri kepada Allah." Untunglah, Allah ingin kita lulus ujian tersebut, karena itu Dia telah memberi kita pertanyaan-pertanyaannya sebelumnya. Dari Alkitab kita bisa menyimpulkan bahwa Allah akan menanyai kita dengan dua pertanyaan penting:

    PERTAMA, "Apa yang telah kamu lakukan terhadap Anak-Ku, Yesus Kristus?" Allah tidak akan bertanya tentang latar belakang agama atau pandangan doktrin Anda. Satu-satunya hal yang penting adalah apakah Anda menerima apa yang Yesus kerjakan bagi Anda dan apakah Anda belajar untuk mengasihi dan mempercayai-Nya? Yesus berkata, "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku."

    KEDUA, "Apa yang telah kamu lakukan terhadap apa yang telah Aku berikan kepadamu?" Apa yang telah Anda lakukan dengan kehidupan Anda, yakni semua karunia, talenta, kesempatan, energi, hubungan, dan kekayaan yang telah Allah berikan kepada Anda? Apakah Anda menggunakannya bagi diri Anda sendiri, ataukah Anda menggunakannya bagi tujuan-tujuan yang untuknya Allah menciptakan Anda?

BERPIKIR TENTANG TUJUAN SAYA

Pokok untuk Direnungkan:
Hidup berdasarkan tujuan adalah jalan menuju damai sejahtera.

Ayat untuk Diingat:
"Engkau, TUHAN, memberikan damai sejahtera yang sempurna kepada orang- orang yang dengan teguh memelihara tujuan mereka dan percaya kepada- Mu."

Yesaya 26:3 (TEV)

Pertanyaan untuk Dipikirkan:
Apakah yang menurut keluarga dan teman-teman saya merupakan daya penggerak kehidupan saya? Apa yang saya inginkan untuk menjadi penggerak kehidupan saya?

Sumber: 

Diambil dari:

Judul Buku : The Purpose Drive Life
-- Kehidupan yang Digerakkan oleh Tujuan
Judul Artikel : Apa yang Menggerakkan Kehidupan Anda?
Penulis : Rick Warren
Penerjemah : -
Penerbit : Gandum Mas, Malang Tahun 2004
Halaman : 29 - 37

Bukan Damai, Melainkan Pedang

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Karena sebentar lagi akan tiba Hari Natal, maka saya pikir akan sangat baik kalau pada kesempatan pengiriman kali ini, saya mengambil artikel yang sedikit berbau Natal .... :)

Saya yakin, dalam banyak tahun mengikuti perayaan Natal, Anda pasti ingat tema-tema Natal yang menggunakan kata 'damai', seperti, "Damai di Bumi", "Natal yang Membawa Damai", "Kristus Raja Damai", "Pesan Damai dari Kristus", "Damai di Hati", dan masih banyak lagi .... Intinya, kedatangan Kristus diidentikkan dengan datangnya damai di dunia. Pesan Natal ini diambil dari pernyataan malaikat yang tertulis dalam Lukas 2:14.

Artikel di bawah ini, yang berjudul "BUKAN DAMAI, MELAINKAN PEDANG", sepertinya bertentangan dengan pesan-pesan Natal yang selama ini biasa kita dengar. Tapi judul yang diambil dari Injil Matius 10:34 ini adalah kata-kata Kristus sendiri, maka sekarang pertanyaannya, apakah dua kalimat tersebut bertentangan? Sebagai orang Kristen yang mengerti Alkitab, tentu saja kita tidak mau memberikan jawaban yang terlalu apologetik (dalam arti yang sesungguhnya), ... 'wah kata-kata Tuhan Yesus itu sulit untuk kita tafsirkan sendiri, mungkin seharusnya dijawab oleh mereka yang ahli bahasa Yunani dan bla ... bla ... bla ....'

Kalau kita dihadapkan pada pilihan, maka secara akal sehat dan etika, tentu saja kita akan mengganggap kata-kata malaikatlah yang lebih enak kita dengar. Menerima pernyataan Matius 10:34, sepertinya mempercayai bahwa Yesus datang sebagai pembawa onar. Maka kita akan cenderung mencoba menghindari memberikan jawaban atas masalah ini dan berkata bahwa kita tidak mengerti apa yang dikatakan Yesus.

Menanggapi sikap-sikap seperti ini, maka Kata Pengantar dalam buku dari mana artikel ini diambil, yang berjudul "Ucapan Yesus yang Sulit", sangat menarik untuk kita simak:

"Satu alasan dari keluhan bahwa perkataan Yesus itu sulit adalah karena Dia membuat pendengar-Nya berpikir. Bagi sebagian orang, berpikir merupakan suatu pekerjaan yang sulit dan tidak enak, terutama bila menyangkut penilaian kembali yang kritis dari prasangka dan pendirian yang kuat, atau bila menyangkut tantangan terhadap konsensus pemikiran zaman sekarang. Oleh karena itu, setiap perkataan yang mengundang mereka untuk mengikutsertakan pemikiran yang demikian dianggap perkataan yang sulit. Banyak perkataan Yesus dianggap sulit dalam pengertian demikian."

Nah, silakan merenungkan penjelasan F.F. Bruce (seorang pakar biblika Perjanjian Baru) dalam artikel berikut ini. Harapan saya dengan mengerti lebih dalam kata-kata Tuhan Yesus ini, kita bisa lebih menyadari bahwa dengan menerima Kristus sebagai Raja dalam kehidupan kita, bukan berarti bahwa kehidupan Kristen kita akan selalu dilimpahi dengan 'rasa damai' seperti yang kita inginkan atau kita mengerti. Justru kadang kita lihat sebaliknya, ketika kita dengan taat menjalankan prinsip-prinsip iman Kristen, maka kita mendapati hidup kita tidak lagi sejalan dengan prinsip-prinsip yang selama ini kita (lingkungan) pegang. "Rasa damai' tiba-tiba berubah menjadi konflik, meskipun sebenarnya bukan itu yang kita harapkan. Sementara kita mempersiapkan hati untuk menyambut Natal, marilah kita renungkan, bagaimana damai sejahtera yang sejati bisa betul-betul menguasai hati kita pada peringatan Natal tahun 2004?

SELAMAT HARI NATAL 2004!
"Damai sejahtera Yesus Kristus kiranya menyertai kita selamanya."

In Christ,
Yulia Oen

Penulis: 
F.F. Bruce
Edisi: 
056/XI/2004
Isi: 
Bukan Damai, Melainkan Pedang

Bukan Damai, Melainkan Pedang

"Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi: Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang." (Matius 10:34)

Natal

Ini perkataan keras bagi semua orang yang mengingat berita para malaikat pada malam kelahiran Tuhan Yesus: ´Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya´. Bagian akhir dari berita ini seolah-olah berarti ´damai sejahtera di bumi di antara manusia adalah sasaran kasih Allah´. Memang, malaikat-malaikat hanya muncul dalam Lukas 2:14, sedang perkataan keras yang kita kutip terambil dari Matius. Akan tetapi, Lukas juga mencatat perkataan keras ini, hanya saja ia mengganti kata metafora ´pedang´ dengan kata bukan metafora, yaitu ´pertentangan´ (Lukas 12:51). Kedua penginjil kemudian melanjutkan tulisannya tentang Tuhan Yesus yang berkata, "Sebab Aku datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari ibu mertuanya" (Matius 10:35; Lukas 12:53). Lalu, Matius menutup perkataan ini dengan kutipan dari Perjanjian Lama yang berbunyi ´musuh orang ialah orang-orang seisi rumahnya´ (Mikha 7:6).

Satu hal yang sudah pasti: Tuhan Yesus tidak menyokong pertentangan. Ia mengajar pengikut-Nya untuk jangan melawan atau membalas kalau mereka diserang atau diperlakukan tidak baik, "Berbahagialah orang yang membawa damai", kata-Nya, "karena mereka akan disebut anak-anak Allah" (Matius 5:9). Artinya, Allah ialah Allah Damai Sejahtera, sehingga orang yang mencari dan meneruskan damai mencerminkan sifat Allah. Ketika Ia melakukan kunjungan terakhir ke Yerusalem, berita yang Ia bawa menyangkut ´apa yang perlu untuk damai sejahtera´, dan Ia menangis karena kota itu menolak berita-Nya dan cenderung kepada jalan yang menuju kebinasaan (Lukas 19:41-44). Berita yang dikumandangkan pengikut-pengikut-Nya dalam nama-Nya setelah kepergian-Nya disebut ´Injil damai sejahtera´ (Efesus 6:15) atau ´berita perdamaian´ (2 Korintus 5:19). Disebut demikian bukan hanya sebagai ajaran doktrin, tetapi sebagai kenyataan yang dialami. Individu-individu dan kelompok-kelompok yang dahulunya saling berjauhan mengalami bagaimana mereka saling akur karena pengabdian yang sama kepada Kristus. Hal semacam ini bahkan dialami lebih awal dalam rangkaian pelayanan di Galilea. Kalau Simon orang Zelot dan Matius si pemungut cukai mampu hidup berdampingan sebagai dua rasul di antara dua belas rasul, tentunya rasul-rasul yang lain memandangnya sebagai mukjizat dari kasih karunia Allah.

Jadi, kalau Tuhan Yesus berkata bahwa Ia datang bukan untuk membawa damai melainkan pedang, yang Ia maksudkan ialah bahwa itu adalah akibat kedatangan-Nya, bukan karena itu menjadi tujuan kedatangan-Nya.

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Akan tetapi, ketika Tuhan Yesus berbicara tentang ketegangan dan konflik dalam keluarga, Ia mungkin berbicara berdasarkan pengalaman pribadi. Ada indikasi dalam kisah Injil bahwa beberapa anggota keluarga-Nya sendiri tidak bersimpati dengan pelayanan-Nya: orang-orang yang dalam suatu kesempatan berusaha untuk mengambil-Nya dengan paksa karena orang yang mengatai-ngatai ´Ia tidak waras lagi´ disebut ´sahabat-Nya´ dalam RSV tetapi lebih tepat ´kaum keluarga-Nya´ dalam NEB dan juga dalam terjemahan bahasa Indonesia (Markus 3:21). Sebab saudara-saudara-Nya sendiri tidak percaya kepada-Nya, demikian dikatakan dalam Yohanes 7:5. (Kalau orang bertanya mengapa saudara-saudara-Nya ini menduduki kursi-kursi kepemimpinan bersama para rasul dalam gereja mula-mula, maka jawabannya dengan pasti terdapat dalam pernyataan 1 Korintus 15:7, yaitu bahwa Tuhan Yesus yang bangkit menyatakan diri kepada Yakobus saudara-Nya.)

Jadi, kalau Tuhan Yesus berkata bahwa Ia datang bukan untuk membawa damai melainkan pedang, yang Ia maksudkan ialah bahwa itu adalah akibat kedatangan-Nya, bukan karena itu menjadi tujuan kedatangan-Nya. Kata-kata-Nya menjadi kenyataan dalam kehidupan gereja yang mula-mula. Dan, kebenaran kata-kata ini telah dibuktikan kemudian dalam sejarah pelayanan misi-misi Kristen. Waktu satu atau dua anggota keluarga atau golongan masyarakat lainnya menerima iman Kristen, maka hal ini selalu menimbulkan pertentangan dari anggota-anggota yang lain. Paulus, yang rupanya juga mengalami pertentangan semacam ini dalam keluarganya sebagai akibat pertobatannya, membuat perlengkapan bagi situasi semacam ini dalam hidup kekeluargaan para petobatnya. Ia tahu bahwa ketegangan bisa timbul bila seorang suami istri menjadi Kristen, sedang pasangannya tetap tidak percaya. Bila pasangan yang tidak percaya merasa berbahagia hidup bersama orang Kristen, itu baik. Seluruh keluarga dalam waktu yang tidak lama bisa menjadi Kristen. Akan tetapi, bila pasangan yang tidak percaya bersikeras untuk meninggalkan dan mengakhiri perkawinan, maka orang Kristen tidak boleh menggunakan kekerasan atau tindakan-tindakan legal, karena ´Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera´ (1 Korintus 7:12-16).

Jadi, dalam kata-kata-Nya ini, Tuhan Yesus memperingatkan pengikut- pengikut-Nya bahwa kesetiaan mereka kepada-Nya bisa mengakibatkan konflik di rumah, bahkan pengusiran dari lingkungan keluarga. Adalah baik bahwa mereka diperingatkan sebelumnya, jadi mereka tidak bisa berkata, "Kami tidak pernah membayangkan bahwa kami harus membayar harga ini untuk mengikut Dia!"

Audio: Bukan Damai, Melainkan Pedang

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Ucapan Yesus yang Sulit
Judul Artikel : Bukan Damai, Melainkan Pedang
Penulis : F.F. Bruce
Penerjemah : -
Penerbit : Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang, 2001
Halaman : 141 - 143

Permulaaan Pembaharuan Gereja (Reformasi)

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Selamat Hari Reformasi Gereja yang tahun ini kita peringati tanggal 31 Oktober 2004. Kiranya semangat untuk terus memperbaharui gereja tetap menyala-nyala sebagaimana para Reformator dulu. Jangan hanya memperbaharui tampilan gereja saja (seperti tempatnya dan gedungnya), tapi yang terutama doktrin dan pengajarannya (teologianya).

Sola Scriptura, Sola fide, Sola gracia.
Soli Deo gloria!

In Christ,
Yulia Oen

Edisi: 
055/X/2004
Isi: 

1. Yang menyebabkan timbulnya pembaruan gereja ialah perbedaan antara teologi serta praktik gereja dengan ajaran Alkitab seperti yang ditemukan oleh Luther. Peristiwa yang membuat Reformasi itu mulai adalah penjualan surat-surat penghapusan siksa di Jerman oleh Tetzel. Menentang ucapan-ucapan Tetzel, Luther menyusun ke-95 dalilnya.

Apa yang telah ditemukan oleh seorang guru teologi jauh di daerah, merupakan bahan peledak yang nanti akan meruntuhkan susunan gereja. Akan tetapi, pemimpin-pemimpin gereja di pusat tidak menyadari bahaya yang mengancam. Paus Leo X dan tokoh-tokoh gereja lainnya sibuk merencanakan pembangunan gereja raksasa, yaitu gereja Santo Petrus di Roma, yang harus melambangkan keagungan Gereja Barat. Untuk mengumpulkan dana bagi proyek itu, mereka memaklumkan penghapusan siksa bagi orang-orang yang akan memberi sumbangan. Di Jerman, surat-surat penghapusan siksa itu diperdagangkan oleh Tetzel. Dan, perdagangan itulah yang menjadi pendorong dimulainya Reformasi.

Dalil Luther

Meskipun Tetzel seorang anggota Ordo Dominikan, tetapi ia tidak begitu mengindahkan rumusan-rumusan teologi yang halus. Ajaran resmi mengenai penghapusan siksa itu menentukan bahwa penghapusaan itu hanya berlaku, kalau orang sungguh-sungguh menyesali dosanya dan kalau dosa itu telah diampuni melalui sakramen pengakuan dosa. Namun, Tetzel berusaha meningkatkan penjualan barangnya dengan mengatakan bahwa surat-surat yang ditawarkannya itu menghapuskan dosa juga dan memperdamaikan orang dengan Allah. Demikianlah orang mendapat kesan bahwa pengampunan dosa dan pendamaian dengan Allah bisa diperoleh dengan uang, di luar penyesalan hati dan di luar sakramen-sakramen juga.

Luther, sebagai seorang imam juga harus menerima pengakuan dosa dari pihak anggota-anggota jemaat. Karena pengalamannya sendiri, maka ia sangat bersungguh-sungguh dalam hal ini. Kini, ia didatangi oleh orang-orang yang menganggap sepi ajakan yang diberikannya sesudah pengakuan, agar mereka betul-betul menyesal dan menunjukkan penyesalan mereka dengan perbuatannya. Mereka memperlihatkan kepadanya surat penghapusan siksa sambil berkata: dosa kami sudah diampuni. Luther kaget. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk menjadikan hal ini sebagai pokok pembicaraan antara sarjana-sarjana teologi. Begitulah ia menyusun 95 dalil mengenai penghapusan siksa, dalam bahasa Latin, bahasa kaum cendekiawan. Pada tanggal 31 Oktober 1517, ia memperkenalkan dalil-dalil itu dengan menempelkannya di pintu gereja di Wittenberg (bacaan 1).

2. Dalil-dalil Luther menyangkut perkara yang sudah menghebohkan masyarakat Jerman, meskipun biasanya dengan alasan lain (harta Jerman yang mengalir ke luar negeri). Dari sebab itu, tulisan tersebut dibaca dengan asyik oleh orang banyak. Sebaliknya, pemimpin-pemimpin gereja di Roma menuding Luther sebagai seorang penyesat.

Dalam dalil-dalilnya itu, Luther menentang perkataan-perkataan Tetzel. Bahkan, ia menegaskan pula bahwa penyesalan sejati bukanlah sesuatu hal yang dapat diselesaikan orang dengan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh iman setelah pengakuan dosa, misalnya dengan mengucapkan Doa Bapa Kami sekian kali. Penyesalan itu berlangsung selama hidup! Itulah makna dalil yang pertama, yang berbunyi: "Apabila Tuhan dan Guru kita Yesus Kristus berkata: Bertobatlah, dan seterusnya, yang dimaksudkanNya ialah bahwa seluruh kehidupan orang percaya haruslah merupakan pertobatan (= penyesalan)." Siapa yang betul-betul mengasihi Allah, tidak akan berusaha secara egoistis menebus hukuman atas dosanya, apalagi dengan uang; yang penting baginya ialah agar Allah mengampuni kesalahannya. Luther belum menyangkal adanya api penyucian, sama seperti ia belum menyangkal kekuasaan Sri Paus dan banyak hal lain yang pada kemudian hari ditolaknya. Maksudnya, hanyalah untuk melawan pendapat seakan-akan surat-surat penghapusan siksa itu dapat memberi keselamatan, seperti yang didengung-dengungkan oleh para penjajanya untuk menipu rakyat biasa. Namun, sebenarnya Luther telah merombak seluruh ajaran Gereja Abad Pertengahan, bila ia mengatakan, "Bukan sakramen, melainkan imanlah yang menyelamatkan."

Dalil-dalil diterjemahkan oleh mahasiswa-mahasiswanya ke dalam bahasa Jerman, dan dalam waktu empat minggu saja sudah tersiar ke seluruh Jerman. Umat Kristen, yang sudah lama tidak senang lagi mengenai keadaan gereja, kini mendengar suara yang menyatakan keberatannya dan yang sekaligus menunjukkan jalan lain. Sebaliknya, pemimpin-pemimpin gereja tidak begitu senang. Dalam waktu yang singkat saja hasil penjualan surat-surat penghapusan siksa telah menjadi sangat berkurang. Luther dituduh di hadapan Paus sebagai seorang penyesat, dan Leo X menuntut supaya ia menarik kembali ajaran yang salah itu. Luther menjelaskan maksud dalil-dalilnya kepada Paus dalam sepucuk surat yang penuh penghormatan. Akan tetapi, Paus memberi perintah kepadanya untuk menghadap hakim-hakimnya di Roma dalam waktu 60 hari. Itu berarti bahwa Luther akan dibunuh.

Akan tetapi, keadaan politik di Jerman menolong Luther. Sebenarnya negeri Jerman adalah kekaisaran, tetapi kekuasaan Kaisar sangat terbatas. Jerman terbagi atas ratusan daerah yang praktis yang merupakan negara-negara merdeka. Salah satu yang terbesar di antara daerah-daerah itu ialah Kerajaan Sachsen, di mana Luther tinggal. Kalau rajanya, Raja Friedrich yang Bijaksana, berbuat sesuatu yang menentang gereja, Kaisar atau Paus tidak bisa berbuat apa-apa. Friedrich tidak mau menyerahkan Luther, tetapi Paus tidak berani melawan Friedrich, sebab memerlukan dukungan Friedrich dalam pemilihan seorang Kaisar baru (Charles V, 1519-1555).

Lalu, Luther diperiksa di Jerman sendiri, tetapi di luar wilayah Saksen, oleh Kardinal Cajetanus (1518). Sudah barang tentu ia mengira bahwa ia akan ditangkap dan dibunuh. Di tengah jalan, orang- orang meneriakkan kepadanya, "Balik, balik!" Akan tetapi, Luther menjawab, "Di sana pun berkuasa Kristus. Semoga Kristus hidup, Martinus binasa, bersama dengan setiap orang berdosa!" Ia menghadap sang kardinal dengan berlutut dan ia mencoba membujuk Luther baik-baik, tetapi dengan segera toh terjadi perdebatan. Pegawai-pegawai istana Paus menertawakan Luther yang begitu bodoh membenarkan dirinya berdasarkan Kitab Suci. Akibatnya, sang Kardinal menjadi marah, dan Luther terpaksa diselundupkan ke luar kota, supaya ia lolos dari bahaya maut. Baru dua tahun kemudian Luther dihukum secara resmi.

3. Sementara itu, gerakan Reformasi semakin meluas. Luther sendiri makin sadar bahwa pengertiannya yang baru itu akan berpengaruh terhadap seluruh ajaran dan tata gereja: makin banyak unsur dari teologi dan praktik Gereja Roma yang ia tolak.

Banyak kota dan daerah di Jerman yang memihak kepada Luther dan namanya mulai terkenal di luar negeri juga. Kalangan humanis bergelora semangatnya karena pembaruan-pembaruan yang dianjurkannya. Salah seorang humanis yang selama hidupnya bersahabat dengan Luther ialah rekannya di Universitas Wittenberg, Melanchthon (1497-1560), yang pada tahun 1518 menjadi guru besar bahasa Yunani di sana. Pengajaran sekolah umum di negeri Jerman disusunnya secara baru, menurut asas-asas Reformasi. Dialah yang menulis buku dogmatika protestan yang pertama, yang berjudul: Loci Communes ("Pokok-pokok Teologi", 1521). Ia juga merupakan pembantu Luther dalam hal penerjemahan Alkitab.

Pandangan-pandangan baru Luther tidak berkembang dengan cepat, sebab ia berwatak konservatif, dan tidak suka melepaskan apa yang pernah dianutnya. Namun, justru dialah yang terpanggil untuk memelopori pembaruan gereja! Baru pada tahun 1519, ia menginsafi bahwa Paus bisa keliru juga, bahwa konseli-konseli gereja pun bisa sesat. Dengan demikian, seluruh tradisi gereja, yaitu anggapan-anggapan dan kebiasaan-kebiasaan yang telah muncul dan dipelihara berabad-abad lamanya, kehilangan kekuasaannya di samping Alkitab. Tradisi itu hanya masih berlaku di bawah kekuasaan Alkitab: apa yang berlawanan dengan ajaran Alkitab harus dihapuskan.

4. Pada tahun 1520 Luther menerbitkan tiga tulisan yang di dalamnya, ia menguraikan pandangannya yang baru. Yang paling terkenal ialah Kebebasan Seorang Kristen, yang merupakan buku etika Protestan yang pertama.

Dalam ketiga karangan itu, Luther merobohkan seluruh sistem Abad Petengahan. Yang pertama ialah kepada para pemimpin Kristen Jerman, mengenai perbaikan masyarakat Kristen. Di sini, Luther menyatakan bahwa Paus dan kaum rohaniwan tidak boleh berkuasa atas "kaum awam". Setiap orang Kristen adalah seorang imam dan ikut bertanggung jawab dalam gereja. Dunia juga tidak "bertingkat dua". Berkhotbah atau bercocok tanam sama tingkatnya, sebab sama-sama bertujuan melayani Allah. Jadi, tidak dengan sepatutnya kaum "rohaniwan", khususnya Paus, menuntut kekuasaan atas negara dan masyarakat. Bangsa Jerman, dengan diwakili oleh pemimpin-pemimpinnya, boleh dan harus memperbaiki sendiri keadaan gerejanya.

Karangan yang kedua berjudul: Pembuangan Babel untuk Gereja. Buku itu berisi uraian tentang sakramen-sakramen. Hanya baptisan dan Perjamuan Kudus yang bisa ditemukan dasarnya dalam Alkitab. Tentang pengakuan dosa, Luther masih ragu-ragu; keempat sakramen lainnya ditolaknya. Arti sakramen dan hubungan antara sakramen dengan firman Tuhan dirumuskannya secara baru juga: sakramen bukanlah saluran anugerah ke dalam diri kita. Sakramen, menurut Luther adalah tanda dari apa yang dinyatakan oleh Firman itu, Firman dalam rupa tanda, dan jawaban kita atas penerimaan sakramen itu hanyalah iman.

Pada karangan pertama, Luther berbicara kepada para penguasa. Pada karangan kedua, ia berdiskusi dengan teolog-teolog. Pada karangan ketiga, Kebebasan Seorang Kristen, ia menulis bagi rakyat Kristen. Buku itu menguraikan soal perbuatan-perbuatan baik. Luther mulai dengan merumuskan dua dalil yang tampaknya saling bertentangan:

"Seorang Kristen bebas dari segala ikatan dan bukanlah hamba kepada siapa pun";

"Seorang Kristen terikat pada segala sesuatu dan hamba dari semua orang".

Demikian yang dimaksud Luther: Seorang Kristen bebas dari hukum atau Taurat mana pun, dan tidak terikat pada peraturan yang dikeluarkan oleh siapa pun, biar Sri Paus sekalipun, sebab ia telah memiliki kebenaran Kristus dan tidak membutuhkan lagi perbuatan-perbuatan amal. Akan tetapi, di dalam diri orang Kristen itu masih ada kemauan yang buruk, tubuhnya yang penuh hawa nafsu (Luther pernah menjadi rahib!) dan tubuh itu harus dikekang dengan banyak "perbuatan-perbuatan": dengan askese juga. Namun, perbuatan-perbuatan itu tidak mengandung amal - bukankah kita telah mendapat seluruh amal yang kita butuhkan di dalam Kristus? (bacaan 2).

5. Gereja Roma dan Negara Jerman mengutuk dan mengucilkan Luther. Akan tetapi, Raja Friedrich yang Bijaksana tetap melindungi dia.

Pada tahun 1520, keluarlah bulla (surat resmi) dari Paus, yang telah lama ditunggu-tunggu. Jikalau Luther tak mau menarik kembali ajarannya yang sesat itu, ia akan dijatuhi hukuman gereja. Luther membalas bulla itu dengan karangan yang berjudul: "Melawan bulla yang terkutuk dari si Anti-Kris". Lalu, bulla itu dibakarnya di muka pintu gerbang kota Wittenberg di hadapan para guru besar dan mahasiswa. Kemudian, keluarlah bulla-kutuk Paus.

Menurut anggapan abad pertengahan, negara tidak bisa tidak menghukum seorang penyesat yang telah dikutuk oleh gereja. Akan tetapi, karena banyak kepala daerah (bnd. pasal 2) menyetujui ajarannya, maka Luther dipanggil ke "sidang kekaisaran" yang pada bulan April 1521 diadakan di kota Worms untuk mempertanggungjawabkan perbuatan- perbuatan dan karangan-karangannya. Sahabat-sahabat Luther takut kalau-kalau ia akan ditangkap dan oleh sebab itu memohon kepadanya supaya jangan pergi juga. Akan tetapi, Luther berkata, "Biarpun di Worms ada setan sebanyak genteng di atas rumah, aku pergi juga! "

Sidang Luther

Pembelaannya di hadapan kaisar dan raja-raja pada tanggal 18 April 1521 menjadi termasyhur. Wakil Paus menuntut kepadanya supaya ia memungkiri segala pandangannya yang sesat itu, tetapi Luther menunjuk pada Alkitab, "Bahwa saya bisa sesat sebagai manusia, tentang itu saya yakin. Akan tetapi, hendaknya saya diperbolehkan menuntut supaya dari Firman Allah dibuktikan kepada saya bahwa saya sesat." Namun, bukti itu tidak akan diberikan, karena ajarannya sudah lebih dahulu ditolak oleh gereja. Lalu, kata Luther, "Saya tidak percaya kepada Paus atau kepada konseli-konseli saja, karena sudahlah jelas seperti siang bahwa mereka berkali-kali sesat dan seringkali bertentangan dengan dirinya sendiri. Suara hati saya sudah terikat oleh perkataan Kitab Suci dan saya tertangkap dalam Firman Allah: menarik kembali, saya tidak dapat dan saya tidak mau sama sekali. Semoga Allah menolong saya. Amin!"

Beberapa minggu kemudian, dalam Edik Worms, Luther bersama pengikut- pengikutnya dikucilkan dari masyarakat dengan "kutuk kekaisaran". Segala karangan Luther juga harus dibakar. Ia sendiri boleh ditangkap atau dibunuh oleh siapa saja yang menemukan dia. Karena kaisar telah memberi jaminan keamanan, maka Luther boleh pulang dulu ke kotanya. Ketika keretanya melintasi suatu hutan, sekonyong-konyong ia disergap oleh sepasukan orang berkuda yang bersenjata. Orang menyangka Luther telah dibunuh seteru-seterunya, tetapi sebenarnya ia dilarikan atas perintah Friedrich yang Bijaksana, yang hendak meluputkan sahabatnya itu dari bahaya maut. Luther dibawa ke puri Wartburg, supaya ia aman dan tersembunyi untuk sementara waktu.

Sepuluh bulan lamanya, Luther tinggal di Wartburg dengan berpakaian ksatria dan memakai nama samaran, yaitu "Pangeran Georg". Di tempat yang sunyi itu, hatinya digoda oleh banyak kebimbangan. Benarkah ia mengikuti jalan Tuhan dengan gerakannya itu? Kata orang, pernah Luther melemparkan sebotol tinta kepada Iblis yang tampak olehnya dalam biliknya dan yang mengganggu dia. Yang pasti ialah bahwa ia melawan Iblis dengan tinta yang keluar dari penanya: Luther bekerja keras di Wartburg, dan dalam beberapa bulan saja Perjanjian Baru sudah siap diterjemahkannya ke dalam bahasa Jerman, dengan memakai juga naskah Yunani terbitan Erasmus. Di samping itu, ia mengarang sebuah kitab rencana khotbah untuk pendeta-pendeta Protestan yang sangat membutuhkan pimpinan dalam hal berkhotbah.

6. Sesudah satu tahun, Luther kembali lagi ke Wittenberg dan meneruskan pekerjaan Reformasi. Sekarang ia mulai memperbarui tata kebaktian.

Luther berwatak konservatif (pasal 3), sehingga ia mau mempertahankan sebanyak mungkin tata kebaktian yang lama. Asasnya ialah bahwa yang perlu diubah hanyalah apa yang nyata bertentangan dengan Alkitab. Jadi, kebaktian Protestan, khususnya yang memakai aturan Lutheran, tetap berjalan seperti misa Katolik: sesudah salam-berkat, jemaat mengaku dosanya dan pengampunan diberitakan, lalu Alkitab dibacakan, khotbah diadakan, kemudian ada perayaan sakramen.

Akan tetapi, dalam beberapa hal harus ada perubahan. Pertama: bahasa. misa biasanya dilayankan dengan memakai bahasa Latin. Sulit bagi rakyat untuk memahami bahasa itu. Padahal, kebaktian itu justru dimaksudkan untuk menyampaikan Firman kepada mereka! Jadi, bahasa Latin diganti dengan bahasa Jerman (dan di negeri-negeri lainnya yang menerima Reformasi, dengan bahasanya sendiri). Kedua: pengertian mengenai makna ibadah berubah secara asasi. Dalam teologi Katolik, misa adalah pengulangan korban Kristus secara tak berdarah. Melalui penerimaan sakramen itu, berlangsung penyaluran anugerah yang menjadikan manusia sanggup berbuat sesuai dengan kehendak Allah. Karena itu, yang menjadi pusat ibadah ialah perayaan sakramen misa. Kebaktian tanpa khotbah tetap merupakan ibadah yang lengkap, tetapi kebaktian tanpa Ekaristi tidaklah lengkap. Malah, kebaktian di mana satu dua orang imam sendiri merayakan Ekaristi dengan tidak dihadiri jemaat, merupakan ibadah juga. Kedua wawasan tentang makna sakramen Misa itu tadi ditolak oleh Luther. Baginya, makna ibadah bukan pengorbanan Kristus dalam misa, bukan juga penyaluran anugerah, melainkan pemberitaan rahmat Tuhan kepada setiap orang yang mau mendengar. Pemberitaan itu terjadi dalam pemberitaan Firman, dan dalam perayaan sakramen, yang menandai dan memperlihatkan apa yang dinyatakan dalam pemberitaan Firman itu. Maka, khotbah diberi tempat yang lebih wajar dalam kebaktian. Khotbah harus ada; itu dilakukan beberapa kali seminggu; perayaan Perjamuan Kudus "hanya" ada pada setiap Minggu pagi, sesudah khotbah. Sama halnya seperti sebuah buku yang teksnya bisa dipahami walau tidak ada gambar; tetapi gambar itu ditambahkan supaya teksnya lebih jelas lagi. Luther berpegang pada kehadiran nyata tubuh dan darah Kristus dalam Ekaristi (Perjamuan); hanya tubuh dan darah itu tidak hadir sebagai ganti roti dan anggur (trans-substansiasi), tetapi bersama dengannya (con-substansiasi, con/cum = bersama dengan).

Perubahan ketiga yang membuat misa Katolik menjadi kebaktian Protestan ialah kegiatan jemaat di dalamnya. Pada zaman Ambrosius, kebaktian diselingi nyanyian jemaat (Kid. Jemaat 245 berasal dari Ambrosius). Akan tetapi, dalam Abad Pertengahan, jemaat semakin tidak aktif. Sekarang Luther sendiri dan ahli-ahli musik serta penyair lain menyusun lagu-lagu dalam bahasa Jerman untuk jemaat yang tidak biasa menyanyi itu, sehingga bisa dipakai sebagai nyanyian dalam kebaktian gereja dan di rumah.

Bacaan-bacaan:

1. Beberapa di antara ke-95 dalil Luther

37. Setiap orang Kristen telah mengambil bagian dalam segala harta Kristus dan gereja; hal itu dianugerahkan kepadanya oleh Allah, biarpun tidak ada surat penghapusan siksa dari gereja.

43. Patutlah kepada orang-orang Kristen diajarkan: "Kalau seorang memberikan sesuatu kepada orang miskin, atau meminjamkan uang kepada orang yang membutuhkannya, ia berbuat lebih baik, ketimbang kalau ia membeli surat penghapusan siksa."

44. Karena oleh perbuatan kasih, kasih bertambah dan manusia bertambah baik; tetapi oleh penghapusan siksa ia tidak bertambah baik, hanya saja lebih bebas dari hukuman.

Dari iman mengalirlah kasih dan kegembiraan dalam Tuhan, dan dari kasih pikiran yang gembira, tulus dan bebas, yang melayani sesama manusia dengan rela hati dan tidak memikirkan penghargaan atau olok-olok, pujian atau celaan, untung atau rugi.

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

65. Harta Injil ialah jala-jala, yang dengannya dahulu kala orang ditangkap dari kekayaan (Matius 4:9; Lukas 18:18-27).

66. Harta penghapusan siksa ialah jala-jala, yang dengannya sekarang ditangkaplah kekayaan orang.

2. Dari Kebebasan Seorang Kristen

Seorang Kristen bebas dari semuanya dan atas seluruhnya, sehingga dia tidak membutuhkan sesuatu perbuatan untuk menjadikan dia benar dan menyelamatkannya, karena hanya iman saja yang menganugerahkan semuanya berlimpah-limpah.

Walaupun seseorang cukup dibenarkan oleh iman, tetapi ia masih hidup di dunia yang fana ini. Dalam hidup ini, ia harus menguasai tubuhnya (= segala nafsunya yang menentang kehendak Allah) dan bergaul dengan sesamanya. Dia menemukan tantangan kehendak di dalam tubuhnya yang berdaya upaya melayani dunia dan yang mencari segala kepuasan. Hal ini tak dapat dibiarkan oleh roh iman. Karena melalui iman, jiwa kita disucikan dan digerakkan untuk mengasihi Allah, maka jiwa itu menghendaki segala sesuatu. Teristimewa tubuhnya sendiri, menjadi suci-murni, sehingga segala sesuatu akan turut serta dengannya dalam mengasihi dan memuji Allah. Oleh karena itu, manusia tidak lagi malas, karena kebutuhan tubuhnya mendorongnya dan memaksanya mengerjakan banyak perbuatan yang baik supaya tubuh itu dapat ditaklukkan. Dengan jalan ini, tiap-tiap orang sangat mudah mempelajari bagi dirinya sendiri, pembatasan dan kebijaksanaan dari penyiksaan badannya, karena ia akan berpuasa, berjaga-jaga dan bekerja sebanyak yang diperlukan untuk menahan keinginan hawa-nafsu tubuhnya.

Akhirnya, kita akan membicarakan juga hal-hal perbuatan kepada sesama manusia. Seseorang tidak hidup untuk dirinya sendiri saja dalam tubuh yang fana ini, dan bekerja untuk dirinya saja, tetapi ia hidup untuk orang lain dan bukan untuk dirinya sendiri. Untuk tujuan inilah, ia menaklukkan tubuhnya, supaya dapat lebih ikhlas dan lebih bebas melayani orang lain. Dari iman mengalirlah kasih dan kegembiraan dalam Tuhan, dan dari kasih pikiran yang gembira, tulus dan bebas, yang melayani sesama manusia dengan rela hati dan tidak memikirkan penghargaan atau olok-olok, pujian atau celaan, untung atau rugi.

3. Luther mengenai "rohaniwan " dan "awam ". (Dari: Kepada para pemimpin bangsa Jerman, pasal 1).

Menamakan para Paus, uskup, imam, biarawan, dan biarawati "golongan rohaniwan", sedangkan para pangeran, tuan, tukang, dan petani "golongan duniawi", merupakan akal yang direka-reka oleh orang-orang lihai. Karena semua orang Kristen, tanpa kecuali, benar-benar dan sungguh-sungguh termasuk golongan rohaniwan, dan tidak ada perbedaan di antara mereka, kecuali pekerjaan mereka yang berlainan. (...) Tidak ada di antaranya perbedaan dalam hal kedudukan Kristen. Semuanya bersifat rohani kedudukannya, dan semuanya sungguh-sungguh imam, uskup, dan Paus. Mereka yang sekarang dinamakan kaum rohaniwan, tidak lebih luas atau lebih besar pangkatnya daripada orang Kristen lainnya, kecuali dalam hal bahwa mereka mempunyai tugas menerangkan firman Allah dan melayankan sakramen-sakramen. Tukang sepatu, pandai besi, petani, masing-masing mempunyai kesibukan tangan dan pekerjaannya; sementara itu, mereka semuanya dapat dipilih pula untuk bertindak sebagai imam dan uskup.

Audio: Permulaaan Pembaharuan Gereja (Reformasi)

Sumber: 
Bahan di atas diedit dari sumber:
Judul Buku: Harta dalam Bejana - Sejarah Gereja Ringkas
Judul Artikel: Permulaan Pembaruan Gereja (Reformasi)
Penulis: Dr. Th. Van Den End
Penerbit: PT BPK Gunung Mulia Jakarta
Tahun: 2001
Halaman : 162 - 172

Disiplin atau Rutinitas?

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Beberapa bulan terakhir ini, waktu saya habis untuk memikirkan tentang pembangunan kantor Yayasan Lembaga SABDA , yayasan yang saya bersama rekan-rekan pelayan lain terlibat dalam pelayanan. Saya menjadi sangat capai, khususnya secara mental dan fisik. Ketika jam sudah menunjukkan saya harus tidur, karena sudah larut, maka badan saya rasanya sudah sedikit "mati rasa". Begitu badan terhempas ke tempat tidur, pikiran sudah tidak ingat apa-apa sampai keesokan harinya. Karena berhari-hari demikian, maka badan "complain" dan "menagih" untuk mendapat "proper treatment". Badan saya mulai merasa tidak "fit" (segar), karena tenaga selalu terkuras habis, bahkan lebih dari yang saya miliki. Mulailah saya menerapkan "disiplin ekstra makan yang bergizi", karena saya tidak mau sakit. Hasilnya cukup lumayan, sampai hari ini saya masih hidup dan tidak sakit (meskipun capai terus).

Ternyata hal ini juga terjadi dengan kondisi kerohanian saya. Kerohanian saya mulai "capai" karena terkuras oleh banyaknya hal, khususnya kekuatiran dalam hal dana dan "accountability" terhadap Tuhan yang harus terus saya perjuangkan. Maka saya pun mulai menerapkan hal yang sama untuk kebutuhan rohani saya, yaitu "disiplin ektra makan yang bergizi". Saya teringat dengan banyak nasehat dari hamba Tuhan yang setia kepada Tuhan, "semakin sibuk dan banyak masalah, semakin banyak waktu untuk berdoa." Nah, mulailah saya melakukan disiplin untuk lebih banyak berdoa, berserah kepada Tuhan, merenung dan berdiam diri dengan Dia, (bahkan suami berpuasa). Hasilnya sangat luar biasa, secara rohani saya terus disegarkan, sehingga saya terus memuji Tuhan (meskipun masalah masih terus datang silih berganti).

Kisah saya di atas tentu ada hubungannya dengan artikel yang saya bagikan pada Anda di bawah ini (meskipun terlambat mengirimkannya, harusnya akhir bulan September, mohon dimaklumi ya). Saya membaca buku "Disciplines of Grace" beberapa bulan yang lalu (April), dan saya sangat terkesan dengan uraian penulis, betapa tepatnya ia menggambarkan tentang perbedaan antara disiplin rohani dan rutinitas rohani. Sejak itu, saya mencoba untuk terus sadar agar saya tidak terjebak dengan rutinitas rohani. Saya mendapat banyak berkat. Oleh karena itu, saya ingin membagikannya pada e-Reformed netters. Terima kasih banyak untuk Sdr. Joko yang membantu saya menerjemahkan artikel ini. Tuhan memberkati!

Artikel di bawah ini sebenarnya hanyalah cuplikan dari Bab I (tidak saya ambil semuanya, hanya bagian yang khusus menguraikan tentang perbedaan antara disiplin dan rutinitas). Semoga menjadi bahan renungan yang dapat menggugah semangat Anda dan memperbarui gaya hidup Anda.

In Christ,
Yulia Oen

Edisi: 
054/IX/2004
Isi: 

Orang Kristen modern tidak kurang ´relevansinya´ dengan dunia ini.
Kekurangan mereka adalah kehidupan yang disiplin dan pikiran yang
kritis untuk melawan pencobaan-pencobaan yang telah mengubahnya
menjadi seperti yang orang-orang dunia pikirkan dan lakukan.
(Simon Chan)

"Tetapi bertumbuhlah dalam kasih karunia dan dalam pengenalan akan
Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus.
Bagi-Nya kemuliaan sekarang dan sampai selama-lamanya.
(2Petrus 3:18)

Ada beberapa perbedaan yang mendasar antara rutinitas dan disiplin. Meskipun keduanya sangat penting bagi kehidupan, namun keduanya tidaklah sama. Karena alasan itulah, maka menjaga kedisiplinan agar tidak berubah menjadi suatu rutinitas sangatlah penting. Hal ini juga penting dalam kehidupan rohani kita, karena banyak sekali pengikut Kristus yang telah mengubah anugerah disiplin, yang diberikan Allah untuk membantu kita bertumbuh di dalam Dia, menjadi aktivitas- aktivitas rutin yang sama sekali tidak memiliki kuasa untuk mengubah kehidupan.

RUTINITAS DAN DISIPLIN

Orang tua yang sibuk.

Rutinitas adalah sesuatu yang kita lakukan untuk menjaga status quo, seperti menyikat gigi dan bersiap-siap untuk berangkat bekerja, mengganti oli mobil, mengunci pintu, mematikan lampu sebelum tidur, mengatur tempat tidur setiap pagi, dan lain-lain. Rutinitas-rutinitas ini menempati posisi penting dalam kehidupan kita, namun rutinitas- rutinitas ini tidak mengubah atau meningkatkan apa pun. Rutinitas hanya menjaga agar kita tetap berada pada tingkat tertentu, sehingga menolong semua sistem hidup kita berfungsi dengan normal.

Rutinitas tidak membutuhkan banyak usaha keras. Kita tidak perlu bersusah payah untuk melakukannya. Bahkan, mungkin kita melakukan rutinitas tanpa kita sadari -- seperti menyetir mobil ke kantor atau membuang sampah -- tanpa ada energi atau usaha tambahan sama sekali. Selain itu, rutinitas hanya membutuhkan sedikit pemikiran. Mengerjakan rutinitas tidak memerlukan perencanaan, tidak membutuhkan pengawasan yang serius atau evaluasi, dan dilakukan sepanjang waktu tanpa perlu pemikiran. Malah, ketika kita sedang melakukan rutinitas, kita menggunakan pikiran kita untuk memikirkan hal-hal lain. Hal ini sama seperti ketika seseorang mendengarkan radio sambil mempersiapkan diri untuk berangkat bekerja atau sambil menyetir kendaraan ke kantor. Rutinitas hanya membutuhkan sedikit waktu dan sedikit ketidaknyamanan, yang mana sebenarnya kita rela memberikannya karena kita telah mendapatkan keuntungan dari memeliharanya setiap hari. Rutinitas juga jarang diubah. Kita setiap hari selalu berangkat kerja melewati jalan- jalan yang sama, melakukan persiapan kerja dengan mengikuti urutan yang sama atau membersihkan dapur setelah makan dengan cara yang sama. Kita tidak merasa perlu untuk mengubah rutinitas, sehingga kita terus mengikutinya tanpa banyak berpikir atau menyesuaikan diri dari hari ke hari, dari tahun ke tahun. Rutinitas tersebut baik bagi kita, karena membuat kita tetap berada pada posisi status quo dalam beragam bidang kehidupan kita, namun sebenarnya rutinitas tidak membuat kita berkembang di bidang-bidang kehidupan tersebut.

Sedangkan disiplin berbeda. Disiplin adalah sesuatu yang kita lakukan dengan tujuan agar terjadi perubahan. Seperti yang dikatakan oleh Dallas Willard: "Disiplin adalah setiap aktivitas yang ada di bawah kuasa kita untuk kita lakukan, yang memampukan kita untuk melakukan apa yang tidak dapat kita lakukan tanpa "usaha terarah". Misalnya, menurunkan berat badan atau membentuk tubuh (sehingga kita tampil dan merasa lebih baik dan berumur lebih panjang); atau belajar ketrampilan baru dalam pekerjaan (sehingga kita bisa mendapatkan promosi atau naik posisi). Kita tidak bisa membuat diri kita merasa lebih baik, dan kita tidak bisa mendapatkan promosi atau naik posisi hanya dengan usaha biasa. Jadi, kita harus melakukan disiplin-disiplin tertentu yang kita percaya bisa memampukan kita untuk mencapai target yang kita inginkan tersebut -- hal-hal yang tidak dapat segera kita peroleh hanya dengan kekuatan biasa saja."

Kedisiplinan bisa menyedot usaha yang besar. Kita memaksa tubuh kita untuk naik ke level yang lebih tinggi melalui latihan setiap hari; atau kita meluaskan wawasan pikiran kita ke arah yang baru untuk memahami prosedur-prosedur baru atau menguasai teknologi baru. Kita memaksa otak dan tubuh kita untuk melakukan aktivitas yang terfokus dan sungguh-sungguh untuk mempersiapkan diri menerima peran dan tanggung jawab baru atau menjalani gaya hidup baru yang diinginkan. Disiplin yang baik membutuhkan keterlibatan intelektual yang serius -- yaitu membuat rencana, mengawasi kemajuan, mengevaluasi tingkat- tingkat penguasaan, dan lain sebagainya.

Lebih jauh lagi, disiplin cenderung melibatkan investasi waktu yang sangat besar. Untuk melakukan disiplin-disiplin tersebut kita harus mengorbankan aktivitas-aktivitas lain yang mungkin sebenarnya lebih kita sukai dan kita sungguh-sungguh akan mengkonsentrasikan waktu dan usaha agar bisa menguasai disiplin-disiplin tersebut karena kita yakin usaha tersebut dapat memberikan apa yang kita inginkan. Kita harus mau mengorbankan sesuatu yang kita senangi -- makanan, aktivitas-aktivitas di waktu luang, atau istirahat -- agar kita dapat mencurahkan waktu dan usaha yang diperlukan, misalnya untuk membentuk tubuh yang lebih sehat, menjadi karyawan yang lebih baik, atau menyiapkan diri untuk memperoleh pekerjaan baru. Disiplin cenderung perlu penyesuaian dari waktu ke waktu. Ketika kita telah mencapai satu tingkat tertentu atau penguasaan suatu hal, kita bisa mengubah disiplin-disiplin yang kita targetkan untuk mendorong kita mencapai tingkat yang lebih tinggi lagi.

Baik rutinitas maupun kedisiplinan, keduanya sangat penting dalam hidup kita. Namun, dua hal itu jelas tidak sama. Permasalahan timbul ketika kita mengizinkan hal yang disiplin menjadi semacam rutinitas saja. Ketika hal itu terjadi, maka disiplin yang kita terapkan, tidak hanya tidak menghasilkan apa yang kita inginkan tapi juga membuat disiplin menjadi sesuatu yang berat, menjengkelkan dan membosankan. Kita mungkin setia melakukan disiplin tersebut, namun tidak dengan cara sebagaimana seharusnya disiplin itu dirancang dan tentu saja, tidak banyak hasil yang diperoleh dari usaha yang kita lakukan itu.

Masalah ini menjadi hal yang serius, khususnya dalam area kehidupan rohani, yaitu ketika mempraktikkan anugerah disiplin, kita izinkan menjadi sesuatu yang tidak lebih dari sekedar rutinitas rohani belaka.

"Disiplin adalah setiap aktivitas yang ada di bawah kuasa kita untuk kita lakukan, yang memampukan kita untuk melakukan apa yang tidak dapat kita lakukan tanpa 'usaha terarah'." (Dallas Willard)

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Allah memberikan kita anugerah disiplin (disiplin rohani) sebagai cara untuk menolong kita bertumbuh dalam kasih kepada-Nya dan kepada sesama kita. Sarana-sarana yang berharga ini -- doa, Firman Tuhan, penyembahan, waktu sendiri bersama Tuhan (solitude), memberi persembahan, berpuasa, diam di hadirat Tuhan, dan lain-lain -- membawa kita masuk ke dalam hadirat-Nya, dengan cara yang tidak bisa didapatkan hanya dari kegiatan sehari-hari. Disiplin-disiplin ini akan memampukan kita untuk melihat sekilas kemuliaan-Nya dan masuk ke dalam kuasa-Nya yang dapat memberi pembaharuan hidup setiap hari dalam Yesus Kristus. Namun, ketika praktik disiplin rohani diizinkan berubah menjadi aktivitas-aktivitas rutin saja -- maka disiplin rohani itu kehilangan kuasanya untuk membawa kita bertatap muka dengan Tuhan dalam cara-cara yang mentransformasi hidup.

Pada zaman Yesus hidup di dunia, tidak ada kelompok lain yang dikenal lebih disiplin selain para pemimpin agama Yahudi. Semua orang zaman itu mengenal mereka sebagai orang yang paling banyak berdoa, paling mengenal Alkitab, paling setia berpuasa, dan paling sering memberi sedekah kepada orang miskin. Beberapa diantara mereka sangat sungguh- sungguh, misalnya Zakharia dan Nikodemus. Namun, sebagian besar diantara mereka tidaklah demikian. Disiplin-disiplin rohani yang mereka lakukan tidak mampu mempersiapkan hati mereka untuk menyambut kedatangan Mesias dan tidak mampu membuat mereka mengenali Yesus saat Dia muncul di tengah-tengah mereka untuk mengajar dan melakukan hal- hal yang baik. Praktik disiplin rohani yang mereka lakukan, tidak membantu mereka bertumbuh dalam kasih, baik kepada Tuhan maupun sesama. Banyak diantara mereka malah menjadi sombong, serakah, mengabaikan orang banyak dan sangat melindungi status istimewa mereka di mata masyarakat. Mereka melihat Yesus sebagai ancaman dan setelah tiga tahun mengawasinya, maka kemudian mereka bersekongkol merencanakan pembunuhan terhadap Dia.

Semua disiplin rohani orang-orang Farisi tidak berguna untuk menolong mereka mengalami kemuliaan Tuhan dan masuk ke dalam anugerah-Nya. Mereka menjalankan praktik disiplin rohani hanya untuk menjaga status mereka di masyarakat dan bukan supaya mereka bertumbuh dalam anugerah dan pengetahuan akan Tuhan. Disiplin rohani mereka telah menjadi rutinitas, yang hanya memberikan kepuasan diri yang besar dan membuat status mereka terlindungi di mata orang banyak. Namun, kehidupan rohani mereka kosong dan tidak mendapatkan persekutuan yang sungguh- sungguh dengan Tuhan. Mereka telah menjadi "kuburan yang dilabur putih", seperti yang diamati Yesus -- mereka memuaskan diri sendiri, membenarkan diri sendiri, bangga terhadap diri sendiri, dan congkak.

Sebelum kehidupan rohani kita berubah ke arah kondisi seperti itu, dan kita menjadi negatif dan suka menghakimi, kurang mengasihi dan tidak memiliki semangat untuk hidup dalam iman atau melakukan misi Yesus, maka kita perlu mempertimbangkan, apakah praktik disiplin rohani kita benar-benar sesuai dengan yang Tuhan inginkan dan rencanakan.

KONDISI DISIPLIN ROHANI MASA KINI

Gereja

Melalui gereja masa kini, kita sangat diberkati dengan berlimpahnya sumber bahan dan nasihat dan dorongan semangat yang tiada hentinya untuk menggunakan disiplin rohani bagi kemuliaan Kristus dan kerajaan- Nya. Tidak pernah ada kekurangan Alkitab dan bahan-bahan pemahaman Alkitab, kelompok kecil dan persekutuan untuk bersama-sama mempelajari Firman Tuhan, buku-buku dan konferensi doa, panduan dan juga kesempatan untuk menyembah atau ajakan untuk berpuasa. Kebanyakan orang yang saya kenal, yang menyatakan dirinya sebagai pengikut Kristus, telah melakukan disiplin-disiplin rohani pada tingkat-tingkat tertentu, meskipun banyak diantara mereka, pada saat yang sama, mengakui akan ketidakpuasan mereka pada kehidupan rohaninya. Walaupun demikian, secara keseluruhan, dari tampilan luar, praktik disiplin rohani tampak hidup dan sepertinya dijalankan dengan baik oleh jemaat gereja.

Tetapi, pertanyaan yang muncul adalah mengapa gereja kelihatan kurang kuasa. Mengapa keyakinan alkitabiah memainkan peran yang sangat kecil dalam membentuk budaya dan memberi arah bagi masyarakat kita? Mengapa pamor gereja-gereja semakin menurun bila dibandingkan dengan persentase populasi secara keseluruhan -- tanpa mengabaikan adanya fenomena gereja-gereja berjemaat besar (megachurch)? Mengapa tingkah laku, seperti sikap tidak sopan, kasar, dan asusila semakin berkembang dan ditoleransi oleh masyarakat kita? Mengapa orang percaya secara umum sangat tertutup mengenai iman mereka? Mengapa kita lebih banyak mencurahkan tenaga untuk membahas perdebatan-perdebatan sengit tentang masalah-masalah, seperti cara-cara tertentu dalam penyembahan, peran wanita dalam gereja, dan tempat budaya pop Kristen dalam kehidupan orang percaya? Mengapa kita dipandang rendah, bahkan dibenci oleh mereka dari kalangan elit budaya dan elit sosial dalam masyarakat kita? Dan mengapa, ketika kita berada di tengah-tengah masyarakat yang seharusnya menjadi ragi Kerajaan Kristus bagi roti zaman yang penuh dosa dan sedang sekarat ini, kita malah tidak menampakkan jati diri kita sebagai warga Kerajaan Surga?

Tidak diragukan, pasti ada banyak jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas, tapi satu dari jawaban tersebut yang saya ambil berdasarkan observasi saya secara pribadi, termasuk hasil membaca dan studi saya, membutuhkan penelitian lebih lanjut. Jawaban itu adalah, sebagai sebuah komunitas, orang percaya tidak mengalami apa yang Allah inginkan terjadi dalam hidup mereka melalui praktik disiplin-disiplin rohani yang mereka lakukan. Seperti kutipan kata-kata Simon Chan di awal artikel ini, orang Kristen modern tidak lagi terlibat dalam melakukan disiplin rohani atau kalaupun terlibat, keterlibatan mereka telah menjadi tidak sungguh-sungguh dan tidak bisa menjadi sumber anugerah dan kemuliaan yang mampu mengubah hidup mereka. Hal ini mungkin terjadi karena banyak dari mereka yang telah membiarkan disiplin rohaninya jatuh sebagai rutinitas saja tanpa mereka sadari. Mereka berdoa, membaca Alkitab, dan rajin beribadah, namun tidak terjadi apa-apa dalam kehidupan mereka sebagai warga Kerajaan Allah. Mereka masih terus terikat dengan dosa-dosa yang sama, semakin sulit mempersembahkan diri dalam pelayanan, menjadi cepat untuk mengkritik dan menghakimi orang-orang yang tidak sepaham dengan hal-hal rohani yang mereka percayai, dan enggan berbincang-bincang tentang hal-hal rohani dengan tetangga-tetangga mereka untuk kepentingan penyebaran Injil. Tapi pada saat yang sama mereka aktif menjalankan disiplin- disiplin rohani mereka -- rajin saat teduh, ikut kelompok pemahaman Alkitab, tekun menghadiri persekutuan -- namun, mereka tidak bertumbuh dalam anugerah-Nya. Sebaliknya, mereka malah hampir tidak lagi berusaha kecuali sekedar memelihara semacam status quo kehidupan rohaninya di tengah-tengah tekanan pencobaan-pencobaan, kewajiban dan pesatnya kemajuan masyarakat postmodern.

Untuk orang-orang seperti itu, bisa jadi disiplin-disiplin rohani telah berubah menjadi sekedar rutinitas, yang tidak punya kekuatan dan pengaruh untuk mengubah dunia ini bagi Kristus.

Disiplin-disiplin yang Allah inginkan untuk membawa kita masuk dalam hadirat kemuliaan-Nya dan mengubah kita untuk menjadi serupa dengan gambar Anak-Nya, bagi sebagian besar diantara kita, hanya tinggal rutinitas saja -- tidak lagi dipikirkan, tidak lagi diusahakan, tidak memberikan buah kecuali hanya sekedar untuk memenuhi tanggung jawab. Jika demikian, maka kita sama sekali tidak mungkin memperlengkapi diri untuk bisa hidup bagi Kerajaan-Nya di dunia ini.

Sumber: 

Bahan di atas dikutip dari:

Judul Buku:Disciplines of Grace
Judul Artikel:Disiplines or Routines?
Penulis:T.M. Moore
Penerbit:InterVarsity Press
Tahun:2001
Halaman:14-18

Kemuliaan Bagi Allah

Dear e-Reformed Netters,

Artikel yang saya kirimkan kepada para pembaca bulan ini, saya ambil dari Buletin Momentum yang diterbitkan oleh Lembaga Reformed Injili Indonesia. Saya harap, Anda akan mendapat beberapa 'insight' dari pembahasan tentang 'Kemuliaan bagi Allah" yang disampaikan oleh Pdt. Dr. Stephen Tong ini.

Selamat membaca dan merenungkan!

In Christ,
Yulia Oen

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Artikel yang saya kirimkan kepada para pembaca bulan ini, saya ambil dari Buletin Momentum yang diterbitkan oleh Lembaga Reformed Injili Indonesia. Saya harap, Anda akan mendapat beberapa 'insight' dari pembahasan tentang 'Kemuliaan bagi Allah" yang disampaikan oleh Pdt. Dr. Stephen Tong ini.

Selamat membaca dan merenungkan!

In Christ,
Yulia Oen

Penulis: 
Pdt. Dr. Stephen Tong
Edisi: 
053/VIII/2004
Isi: 

Catatan: Renungan ini ditranskrip dan diedit kembali dari khotbah Pdt. Dr. Stephen Tong di Mimbar Gereja Reformed Injil Indonesia di Jakarta. Kitab Roma 11:36 ini dikhotbahkan sebanyak 4 kali. Renungan ini merupakan khotbah keempat dari 4 seri itu.

"Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya." (Roma 11:36)

´Glory to God´ menjadi satu istilah, satu pemikiran yang begitu unik di dalam kekristenan dan tidak ditemui pada agama-agama lain. Agama lain lebih merasa takut kepada Tuhan, karena ilah mereka memberikan unsur kontrol kepada kepribadian. Tetapi dalam kekristenan tidaklah demikian. Dalam Kitab Yesaya 43:7 dikatakan dengan jelas, "Semua orang yang disebutkan dengan nama-Ku yang Kuciptakan untuk kemuliaan-Ku." We are created in order to glorify God, we are created for His own glory. Sebab itu, di dalam diri manusia, kita melihat peta dan teladan Tuhan, yaitu pancaran kemuliaan Tuhan yang mewakili sang Pencipta.

Apakah arti kemuliaan Tuhan itu? Kemuliaan merupakan satu hal yang abstrak. Jika dilihat dari ´linguistic philosophy´, kemuliaan itu tidak bisa diuji dan diverifikasikan di dalam laboratorium, sehingga tidak perlu banyak dibicarakan. Tetapi justru pada waktu tua, Ludwig Wittgenstein sendiri menarik kembali sedikit pikiran yang ditulis olehnya.

Istilah kemuliaan memang abstrak, tidak konkret, dan tidak berwujud. Tetapi, kemuliaan merupakan satu hal yang mau tidak mau akan mempengaruhi hidup kita. Mengapa kita takut nama kita dicemarkan oleh orang lain? Mengapa kita takut difitnah orang? Mengapa kalau ada orang yang salah ketika memberi informasi tentang kita, kita marah? Mengapa kita selalu membela sesuatu yang seharusnya tidak dirugikan, tetapi sudah dirugikan? Mengapa kita selalu berdebat? Ini semua karena ada unsur abstrak, unsur yang melampaui kekonkretan jasmaniah yang memang berada di dalam kebudayaan. Kita membutuhkan nama baik, membutuhkan kredibilitas, dan membutuhkan kepercayaan dari orang lain. Semua itu karena apa? Unsur kemuliaan. Meskipun sama-sama manusia, tetapi ada yang begitu bercahaya karakternya, ada yang begitu gelap hidupnya, ada yang begitu menyenangkan orang lain, dan ada yang membuat orang lain begitu benci, ini semua karena ada unsur abstrak atau tidak konkret yang ikut berperan di dalam dunia ini. Di dalam dunia bisnis, modal yang paling besar bukan uang yang Anda pinjam dari bank. Tetapi, modal yang paling besar adalah kepercayaan dan perasaan tanggung jawab yang membuat masyarakat mempunyai kesan terhadap diri Anda. Dengan modal seperti ini, meskipun Anda jatuh, mengalami musibah kebakaran, atau bangkrut sekali pun, tidak akan menjadi persoalan. Karena modal Anda adalah kredibilitas. Modal kepercayaan orang lain terhadap diri Anda, lebih kuat daripada modal yang berupa rupiah atau dollar. Jadi, yang konkret tidak lebih penting dari yang abstrak dan yang abstrak jauh lebih berperan daripada yang konkret ini. Itu sebabnya, kemuliaan justru tidak disangkutpautkan dengan materi. Orang biasa beranggapan kalau mempunyai giwang dengan berlian yang beberapa karat besarnya, atau mempunyai mutiara yang begitu cemerlang, tentu akan menarik orang, karena itu adalah kekayaan yang besar. Tetapi tidaklah demikian, kemuliaan tidak terletak pada berlian, pada perhiasan, atau pada pakaian yang bagus, kemuliaan justru terletak di dalam unsur abstrak: karakter atau kepribadian seseorang. Itu sebabnya, kita akan memikirkan tentang kemuliaan.

Kalau kita mengerti tentang kemuliaan, juga secara rohani, barulah kita merenungkan, mengapa segala kemuliaan harus kembali kepada Tuhan Allah? Kemuliaan mempunyai substansi yang menjadi pangkalan bagi penghargaan. Kita menghormati atau menghargai seseorang, justru karena dibalik orang yang kita hormati itu terdapat suatu substansi rohaniah yang melampaui nilai jasmani. Dan substansi rohaniah itu adalah Tuhan sendiri. ´God Himself is the substance and the original reality of the glory´. Apakah arti kemuliaan? Kemulian berasal dari Tuhan dan Tuhan sendiri adalah penghargaan yang tertinggi, nilai yang tertinggi, diri- Nya merupakan sumber segala penghargaan dan kehormatan. Sebab itu, tatkala manusia diciptakan menurut peta dan teladan Allah. Alkitab menulis, "Allah memahkotai manusia dengan kemuliaan dan kehormatan." Manusia adalah manusia, manusia menjadi manusia, dan manusia berharkat manusia karena manusia mempunyai kehormatan dan kemuliaan sebagai mahkota. Mahkota ini berasal dari Tuhan. Itu sebabnya, Tuhan adalah sumber kehormatan, sumber penghargaan, dan sumber kemuliaan. Yesus Kristus berkata, "Kemuliaan yang Kuterima, bukan dari manusia, melainkan dari Allah saja."

Pada waktu Yesus Kristus harus mati di atas kayu salib, pada detik- detik terakhir yang tercatat dalam Injil Yohanes pasal 13 sampai dengan 15, Dia berbicara banyak tentang ajaran-ajaran yang penting kepada murid-murid-Nya. Sedangkan dalam Injil Yohanes pasal 17 merupakan satu-satunya pasal yang mencatat bahwa Anak Allah yang suci itu berbicara kepada Allah Bapa yang suci. Semua isi doa itu diwahyukan kepada manusia. Sebenarnya, apa yang dibicarakan antara Allah Anak, Allah Bapa, dan Allah Roh Kudus selalu tidak kita ketahui. Tetapi, Injil Yohanes pasal 17 merupakan satu-satunya pasal, di mana seluruh pasal, kecuali kalimat pertama, berisi doa sang Anak kepada Bapa dalam bentuk literatur manusia, tetapi isinya adalah komunikasi antara Anak dan Bapa. Dalam pasal itu, kita melihat doa yang luar biasa. Yesus Kristus mengatakan, "Muliakanlah Aku, sebagaimana Aku di dunia sudah memuliakan Engkau. Istilah mulia di sini menjadi satu ´mutual communication´. Tuhan Yesus meminta supaya Bapa memuliakan Dia, apakah sebabnya? Sebab Dia sudah memuliakan Bapa. Maka, di sini kita dapat melihat, kemuliaan bersubstansi realita pada diri Bapa. Bapa menciptakan manusia dan mengutus Yesus ke dalam dunia ciptaan- Nya, justru untuk menyatakan kemuliaan Bapa itu sendiri. Sebab itu, sesuai dengan Kitab Yesaya 43:7, eksistensi hidup kita justru untuk memuliakan Tuhan Allah. Tetapi, hal ini sering tidak kita sadari atau insyafi.

Dalam Injil Yohanes 12:28, Yesus Kristus berkata, "Bapa, muliakanlah nama-Mu". Maka terdengarlah suara dari surga, "Aku telah memuliakan- Nya, dan Aku akan memuliakan-Nya lagi." Suara ini didengar oleh begitu banyak orang pada waktu itu. Tuhan Allah, sumber kemuliaan menginginkan manusia untuk memuliakan Dia. Barangsiapa memuliakan Tuhan, Tuhan rela memuliakan Dia pula.

Kemuliaan bersubstansi Tuhan Allah dan kemuliaan itu diwujudkan atau dinyatakan, sehingga kemuliaan menjadi suatu dasar kebudayaan, kredibilitas kepribadian, dan keagungan dari pada sejarah dan pemancaran moral. Kemuliaan itu diwujudkan melalui beberapa tahap:

  1. Allah menyatakan kemuliaan-Nya melalui inkarnasi.

    Selain penciptaan, di mana Tuhan menciptakan segala sesuatu untuk menyatakan kemuliaan-Nya, pernyataan kemuliaan yang paling konkret di dalam sejarah adalah melalui inkarnasi. Dari Injil Yohanes 1:14,18, kita melihat: pertama, substansi kemuliaan adalah Allah sendiri. Pernyataan kemuliaan, pertama-tama dapat kita lihat di dalam inkarnasi, yaitu Kristus menjadi manusia. Allah datang ke dalam dunia manusia, Roh menjadi daging, yang tidak kelihatan sekarang menjadi kelihatan, dari dunia mutlak masuk ke dalam dunia relatif, ´from the invisible world, He come into visible realm, to become man´. Dia menjadi manusia. Di sini dikatakan, kita sudah melihat kemuliaan Allah di dalam diri Kristus, Anak Allah yang tunggal yang dikaruniakan kepada manusia. Dalam ayat 18 dikatakan, "Tidak ada orang yang pernah melihat Allah, hanya Kristus, Anak tunggal Allah, yang berada di dalam pangkuan Allah itu, menyatakan Tuhan Allah kepada kita." Baca lagi, Kitab Ibrani 1:1-3. Ayat yang paling jelas, menjelaskan siapakah Kristus di dalam alam semesta; ´the cosmic Christ, not only the historical Christ, not only the Christ in the church´. Kita melihat Kristus, jauh lebih besar daripada apa yang kita tahu.

    Di University of Iowa, saya memberi judul khotbah saya, ´How big is Christ?´ Pada waktu mereka mendengar judul itu, mereka kaget, mengapa judul khotbah ini "Berapa Besarnya Kristus?" Saya berkata kepada mereka, berapa besar menurut pengertian Anda, akan mempengaruhi iman dan nilai hidup dalam seumur hidup Anda. Seluruh hidup Anda akan ditetapkan penilaiannya dengan pengertianmu tentang berapa besar Kristus, ´Christ is always bigger than you can imagine´, Kristus selalu lebih besar daripada apa yang bisa kita bayangkan. Kalau kita mengira Kristus sedemikian besar, Dia lebih besar daripada itu. Di sini kita melihat, ´the biggest posibility of understanding Christ´. Siapakah Kristus?

    1. Kristus ditetapkan berhak mewarisi sesuatu.
    2. Kristus ditetapkan menjadi pencipta segala sesuatu.
    3. Kristus ditetapkan menjadi penopang segala sesuatu.

    Segala sesuatu bersandar kepada Kristus, segala sesuatu diciptakan oleh Dia, dan segala sesuatu pada akhirnya akan kembali kepada-Nya. Kitab Ibrani 1:1-3 ini adalah ayat yang supplementary bila dibandingkan dengan Roma 11:36. "Nya" di sini adalah Tuhan Allah, yang di dalam Kristus. Maka, saya memberikan judul pada ayat-ayat ini: ´Christ in the Cosmic Christ´; Kristus adalah Kristus kosmos, Kristus alam semesta, Pencipta alam semesta, Penopang alam semesta, dan Pewaris alam semesta. Segala sesuatu adalah dari Dia, segala sesuatu bersandar kepada Dia, dan segala sesuatu kembali kepada Dia. Puji Tuhan!

    Di sini kita dapat melihat bahwa Dia adalah cahaya dari kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah, yaitu ´the visible glory and the visible light of the invisible God´; Allah berada di dalam cahaya yang tidak kelihatan, tetapi Kristus adalah cahaya Allah yang dapat kita lihat. Umpama saya bertanya kepada Saudara, pernahkah Saudara melihat matahari? Saudara akan menjawab, setiap hari saya melihat matahari, bahkan sejak kecil saya sudah melihatnya. Saya bertanya lagi, sanggupkah Saudara menatap matahari? Saudara mulai merasa ragu, apa maksud pertanyaan ini? mengapa Anda menanyakan hal ini? Saya berkata, Saudara belum pernah melihat matahari secara langsung. Dari ketiga pertanyaan tadi, pernahkah melihat matahari? Betulkah Saudara sudah melihatnya? Saudara belum pernah melihat langsung, tapi Saudara pasti tahu, ada suatu rahasia dibalik pertanyaan itu. Sebenarnya, kita tidak pernah melihat matahari, kita hanya melihat cahaya matahari. Yang kita lihat bukan mataharinya, tapi cahayanya. Kita belum pernah melihat matahari, kita hanya melihat satu substansi yang bercahaya begitu jelas, waktu kita melihat, kita tahu itu matahari, padahal yang kita lihat bukan elemen dari matahari sendiri, namun hanyalah cahaya yang mengeluarkan sinar, yang bersumber dan beradiasi dari matahari. Itu sebabnya, ´no one can see God´, tak seorang pun yang bisa melihat Allah, yang kita lihat adalah cahaya Allah itu sendiri. Ayat tadi mengatakan, "Dia adalah cahaya kemuliaan Allah, dan gambar wujud Allah", itu sebabnya kita masuk ke bagian lebih yang dalam.

    Pada waktu inkarnasi itu sudah terjadi, maka keberadaan Yesus, itu adalah wujud yang konkret, wakil yang mewakili kemuliaan Allah. Sebab itu, Yesus Kristus berani mengatakan satu kalimat, yang belum pernah, tidak mungkin, tidak akan pernah mungkin, tidak ada yang berani atau boleh diucapkan oleh siapa pun di dalam sejarah. "Kamu melihat Aku, bukan melihat Aku, melainkan melihat Dia, yang mengutus Aku." Adakah orang lain yang pernah mengatakan, "Kamu melihat aku, bukan melihat aku, melainkan melihat presiden Soeharto?" Tidak ada orang yang berani mengatakan hal itu, karena orang yang mengatakan hal itu bukan presiden Soeharto. Tetapi, Yesus berani mengatakan kalimat itu. Ini merupakan satu lompatan yang luar biasa. Dari fenomena agama umum, orang Yahudi tak mungkin pernah mengerti kalimat itu. Karena mereka tahu, Allah tidak bisa dilihat. Saat manusia melihat Allah dengan mata jasmani, saat itu pula manusia mati. Inilah pengertian orang Yahudi. Itu sebabnya, waktu Yesus mengatakan kalimat itu, mereka mengatakan Dia kurang ajar dan menghujat Allah. Padahal, Yesus Kristus tidak menghujat Allah. Tetapi Dia mengatakan satu fakta, karena Dia adalah satu- satunya cahaya kemuliaan Allah, satu-satunya wujud Dia, Dia adalah satu-satunya cahaya kemuliaan Allah, satu- satunya wujud substansi Allah, dan satu-satunya yang bisa menyatakan Allah yang tidak tampak. Kristus adalah wakil Allah di dalam dunia.

    Yesus Kristus berkata lagi, "Kamu percaya kepada-Ku, bukan percaya kepada-Ku, melainkan percaya kepada Dia yang mengutus Aku." Aku mewakili Allah. Inilah cahaya kemuliaan. Goethe, seorang Jerman, waktu dia muda, dia patah hati dan ingin bunuh diri, tetapi tidak jadi. Dia menuliskan niatnya ketika hendak bunuh diri ke dalam satu buku. Buku itu dicetak dan dalam 6 bulan, lebih dari 200 orang yang membaca buku itu bunuh diri. Lalu selama puluhan tahun, dia menyusun sebuah buku yang berjudul "Force" untuk menyatakan seluruh filsafat hidupnya dan akhirnya harus diakui, ´no one can surpass Jesus´, biar kebudayaan manusia terus maju, tidak akan mungkin melampaui orang Nazaret itu, tidak mungkin melampaui moral dan kemuliaan Yesus yang dicatat di dalam keempat Injil.

    Waktu saya membaca kalimat itu, saya sangat tergerak. Goethe, orang yang besar, yang hidup sezaman dengan Beethoven, Mendelssohn. Beethoven mati terlebih dulu dan dia masih hidup. Dia memanggil Mendelssohn ke rumahnya untuk memainkan piano, musik yang terbesar, yang pernah diciptakan di dalam sejarah. Mendelssohn yang muda menabuh dari Bach sampai pada Mozart, Haydn, Bethoven I, II, III, dan IV. Sampai Mendelssohn memainkan Beethoven symphoni V, baru selesai movement pertama, Goethe mengatakan, "Sudah Mendelssohn, stop jangan mainkan lagi." Mengapa? Karena waktu kau memainkan Beethoven V, sejahtera yang saya pupuk dan saya latih melalui meditasi dan lain-lain sejak saya muda, langsung hilang semuanya. Kamu telah mengacaukan sejahteraku. Apa artinya? Sejahtera manusia tidak bisa bertahan, hanya sejahtera yang dari Tuhan yang dapat bertahan. Waktu dia sudah tua, dia mengira sudah melatih sifat manusianya dan sudah sukses. Justru saat itulah, dia sama sekali gagal. Pada waktu Kristus akan dibunuh di atas kayu salib, Dia mengatakan, "Aku memberikan sejahtera-Ku kepadamu, dan sejahtera yang Kuberikan kepadamu, tidak mungkin diberikan oleh orang lain." Yesus mati dengan sejahtera, Yesus bangkit dengan sejahtera, setelah bangkit Dia mengatakan, "peace on you". Goethe mengetahui, ´no one can surpass Jesus´, tidak ada orang seperti Yesus, maka dia menuliskan, "Biar pun kebudayaan kebudayaan manusia terus maju, tak mungkin melampaui kemuliaan yang pernah dipancarkan Kristus."

    Kemuliaan yang bagaimana yang dipancarkan Yesus? Tema ini membutuhkan penguraian yang lebih panjang lagi. Tetapi secara singkat, saya berkata kepada Saudara, "Kemuliaan dipancarkan melalui hidup-Nya, melalui sengsara-Nya." Pada waktu Dia diumpat, difitnah, Dia sangat tenang. Kemuliaan Yesus, kemuliaan Ilahi mutlak dan tidak terbatas. Perhatikan teladan Yesus yang menyatakan kemuliaan Allah, pernah dinyatakan sampai puncaknya secara konkret di Alkitab. Injil Matius 17:2 mengatakan, "Wajah-Nya seperti matahari, pakaian-Nya seperti terang yang besar." Di dalam Alkitab, hal seperti ini pernah terjadi 3 kali: Pertama kali, waktu Yesus masih hidup di dunia. Kedua, waktu Dia memanggil Paulus. Lalu ketiga, waktu Dia menyatakan diri kepada Yohanes, rasul termuda di pulau Patmos. Ketiga-tiganya memberikan satu kesan bahwa Dia lebih bercahaya dibanding dengan matahari, sehingga pada waktu siang hari, waktu paling terang, Paulus justru melihat cahaya yang lebih terang daripada matahari. Bukan saja demikian, Yohanes melihat, Dia mempunyai mata seperti api yang menyala-nyala. Yesus Kristus adalah kemuliaan yang diwujudkan di dalam dunia. Pada waktu Petrus tua, dia melukiskan istilah kemuliaan hanya satu kali saja, istilah yang luar biasa berbeda dengan semua istilah yang ada di dalam Kitab Suci. 2Petrus 1:16, dalam terjemahan bahasa Indonesia "kebesaran- Nya", tetapi dalam bahasa Inggris "His majesty", dalam bahasa Mandarin, kemuliaan yang sangat serius dan berwibawa. Kata ´majesty´ dipakai untuk melukiskan keagungan seorang raja. Pada waktu Petrus menulis ayat ini, dia membandingkannya dengan berita isapan jempol. Ia berkata, "Karena kami pernah melihat dengan mata sendiri, satu ´majesty´ atau kemuliaan yang dahsyat dari Tuhan sendiri." Mengapa Petrus yang menuliskan hal ini? Karena Petrus, Yakobus, dan Yohanes tiga orang yang pernah melihat Yesus Kristus menyatakan kemuliaan Allah, melalui perubahan wajah; transfiguration; ´change His figure´. Bukan saja demikian, kita juga dapat membaca dari Wahyu 1:16-17, Kristus menyatakan diri dengan begitu mulia.

  2. Apa yang disebut dengan kemuliaan Allah?

    Pertama, kemuliaan Allah di dalam diri Kristus melalui inkarnasi. Kedua, kemuliaan Allah di dalam anugerah penebusan. Ini merupakan kemuliaan yang paling puncak, yang boleh kita terima di dalam pengalaman kita masing-masing. Kita bukan hanya mengenal Dia, tetapi kita mengalami. Kita bukan hanya mengetahui Dia, tetapi kita memiliki Dia melalui anugerah kemuliaan. Baca Efesus 1:6. "Kasih karunia yang mulia atau anugerah kemuliaan Tuhan. Apakah ini? Ini adalah kemuliaan yang bersifat paradoks. Anugerah kemuliaan di dalam penebusan itu bersifat paradoks artinya, justru semua kemuliaan itu tersimpan. Hal ini, dalam theologia Martin Luther disebut sebagai ´the hiddeness of God´: suatu ketersembunyian dari Tuhan Allah. Martin Luther menggambarkan dua macam hal yang kita kenal tentang Kristus, ´the glory of Christ and the cross of Christ´. Kita harus mengerti mengenai Kristus yang tersalib dan Kristus yang mulia. Banyak orang hanya mau Kristus yang mulia, tetapi tidak mau Kristus yang tersalib. Martin Luther mengatakan, "Dua-duanya penting. Sebagaimana kita menyaksikan bulan, yang menghadapkan kita pada satu aspek, sedangkan aspek yang lain tidak pernah bisa kita lihat, kecuali kita melintasinya dengan roket yang melebihi tempat itu, barulah kita bisa melihat belakangnya." Demikian juga Allah menyatakan kepada kita, aspek-aspek yang rela Dia wahyukan, tetapi aspek yang tidak dinyatakan, kita tidak tahu itu. Itu disebut sebagai ´the hiddenness of God´.

    Perhatikan, kemuliaan Allah yang kita lihat adalah Kristus yang menjadi contoh teladan moral dan hidup yang mewakili Allah di dalam dunia ini dan yang dahsyat kemuliaan-Nya, yang pernah Dia nyatakan kepada tiga orang murid-Nya dan Paulus. Tetapi kita mau melihat sifat paradoks dari aspek yang lain, yaitu kemuliaan yang terembunyi. Ketika raja menutup pakaian kerajaannya dengan pakaian pengemis, jangan Anda kira bahwa dia adalah seorang pengemis. Biar pun secara lahiriah, dia seorang yang miskin, tetapi dia adalah tetap seorang raja yang berhak duduk di atas tahta. Demikian juga pada waktu kita melihat kemuliaan yang tersembunyi, itu berarti kemuliaan paradoks. Pada waktu Yesus dipaku di atas kayu salib, di manakah kemuliaan Allah? Tidak ada. Pada waktu itu, seluruhnya sudah menjadi tertutup, kebijaksanaan dan kuasa-Nya tidak kelihatan dan segala kemungkinan kemuliaan sudah tertudung, sehingga orang melihat salib, tempat yang bukan menyatakan kemuliaan, melainkan tempat yang memalukan. Orang yang dipaku di atas kayu salib, pakaiannya dilepas, mungkin hanya sisa satu helai kain untuk menutupi kemaluannya, seluruh tubuh ditelanjangi dan dipamerkan di atas kayu salib. Itu adalah tempat yang sangat memalukan, tetapi Allah justru menyatakan bahwa inilah anugerah kemuliaan (bandingkan 1Korintus 1:25). Pada waktu kita tidak melihat kemuliaan Allah, tidak melihat pertolongan Allah, pada saat kita melihat hal demikian di bukit Golgota, justru Tuhan mengatakan, "Open your inner eyes, look penetrate into all the bondage, and you should understand more than just superficial fenomena. Then look at the inner side: the glory of God." Kemuliaan penebusan adalah kemuliaan yang ditudung anugerah yang tersembunyi, yaitu kemuliaan yang menjadi ujian bagi iman seluruh umat manusia. Puji Tuhan!

    Maafkan saya sekali lagi untuk mengatakan kalimat yang saya ucapkan dua tahun yang lalu, bahwa di dalam seluruh Kitab Suci, saya percaya orang yang imannya paling besar, bukan Paulus atau Petrus, melainkan perampok yang diselamatkan di atas kayu salib. Saya tercengang, apakah yang menyebabkan dia mempercayai Kristus? Kalau Petrus, Paulus, atau orang lain percaya Yesus adalah Kristus karena mereka melihat sesuatu yang agung, bukan ´the hidden side´, tapi ´the expose side´, bukan pada anugerah yang paradoks, tapi pada anugerah yang dipancarkan, yang kelihatan. Namun, perampok itu sama sekali tidak melihat apa-apa dalam diri Yesus Kristus, dia hanya melihat Yesus yang mengalirkan darah, menerima ketidakadilan, disiksa, menderita, tidak bisa membalas, tidak bisa berbuat apa- apa, dicemooh, dipaku, dihina, dan dibuang. Tetapi dia mempunyai iman, yang melampaui fenomena, yang menembus paradoks, langsung menanamkan imannya di dalam esensi yang melebihi lahiriah. Kalau Anda bertanya kepada perampok itu, mengapa Anda percaya kepada Yesus Kristus? Dia akan menjawab, saya tidak melihat kedahsyatan kemuliaan yang dinyatakan, justru saya melihat ke dalam sumsum, yang berada di balik penderitaan yang besar itu.

  3. Dengan apa kita memuliakan Allah?

    Sekarang, kita masuki bagian terakhir, saya akan membahas dengan ringkas, dengan apa kita memuliakan Allah?

    1. Dengan hidup yang ada, hidup yang diciptakan.
    2. Dengan pengalaman penebusan, kita memuliakan Allah.
    3. Dengan perbuatan dan kesempatan untuk bersaksi (Matius 5:13-16).
    4. Di dalam kesengsaraan dan dengan mulut kita.

    Kita perlu menderita bagi Tuhan supaya bisa mendapat kemuliaan. Sebab itu, waktu kita menderita bagi Tuhan, biarlah kita memakai mulut kita untuk memuliakan Allah. Pada waktu penganiayaan, kita tetap harus memuliakan Allah. Puji Tuhan! Ia ada dalam seumur hidup kita, kita harus memuliakan Allah.

    Siapakah orang yang memuliakan Allah? Mungkin Saudara berkata, orang-orang yang pandai menyanyi atau yang sering berkhotbah. Jika hanya orang yang berkhotbah dan yang menyanyi, yang memuliakan Allah, maka hanya segelintir orang Kristen di mimbar saja yang bisa memuliakan Allah. Setiap orang Kristen dapat memuliakan Allah dengan kesaksiannya. Masyarakat mengetahui bahwa kita adalah orang Kristen, kita tidak bisa omong kosong saja, kita harus melakukan semuanya dengan baik untuk memuliakan nama Tuhan.

    Ayat ini mudah kita baca, namun masyarakat akan mempermalukan Allah Saudara karena hidup Saudara yang sembrono. Saudara harus memuliakan Allah di dalam usaha Saudara, di dalam keluarga Saudara, dan di dalam pergaulan Saudara (el).

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Momentum 28 Desember 1995 -- Buletin
Judul Artikel : Kemulian bagi Allah
Penulis : Pdt. Dr. Stephen Tong
Penerjemah : -
Penerbit : Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1995
Halaman : 3 - 11

Komentar


Syndicate content