Adoption (Pengangkatan sebagai Anak)

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Siapakah yang disebut dengan "anak Allah"? Dalam Alkitab istilah anak Allah menunjuk pada Yesus Kristus, Putra Allah (Anak Allah); para malaikat (Ayub 38:7); dan orang-orang percaya (Yohanes 1:12). Orang percaya adalah orang yang secara legal diangkat Allah untuk menjadi anak-Nya. Siapa pun boleh dan bisa menyebut dirinya sebagai anak Allah yang hidup, tetapi Alkitab memberikan kejelasan siapa yang disebut sebagai anak Allah yang sejati.

Dalam Kisah Para Rasul 17:28 Paulus juga mengatakan kepada para penyembah berhala di Atena, "Kita ini dari keturunan Allah juga." Namun, ada pengertian yang lebih tinggi, dekat, dan erat, yang menyatakan bahwa hanya orang-orang yang lahir kembali yang benar-benar anak-anak Allah. Yohanes berkata, "Tetapi semua orang yang menerima-Nya, diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah" (Yohanes 1:12). Ketika berbicara dengan jelas kepada orang percaya, dia berkata, "Saudara-saudara kekasih, sekarang kita adalah anak-anak Allah." Tidak ada perbedaan di antara Paulus dengan Yohanes. Di satu sisi, ini berbicara tentang anak-anak Allah dalam pengertian luas sebagai manusia, sementara di sisi lainnya ini berbicara dalam pengertian terbatas sebagai anak angkat.

Melalui artikel dalam edisi ini kita dapat belajar lebih dalam tentang anugerah yang telah Allah Bapa berikan kepada kita melalui Kristus, yang memampukan kita untuk menjadi anak-anak Allah yang sejati dan mewarisi berkat-berkat surgawi. Kiranya kita selalu ingat untuk terus mengucapkan syukur kepada Allah, dan bermegah atas kasih karunia-Nya. Selamat membaca, Tuhan Yesus memberkati.

AyubPemimpin Redaksi e-Reformed,
Ayub
Edisi: 
Edisi 173/Februari 2016
Isi: 

ARTIKEL
Adoption
(Pengangkatan sebagai Anak)

1. Definisi

Bapa

Yang dimaksud dengan adopsi di sini adalah bahwa orang percaya secara legal ditempatkan di dalam status sebagai anak-anak Allah. Dengan demikian, ia berhak atas segala sesuatu yang berkaitan dengan status itu.

Katekismus Westminster:
"Pengangkatan sebagai anak itu merupakan tindakan Allah untuk memberi secara cuma-cuma yang melaluinya kita menerima bagian dan memiliki seluruh hak istimewa sebagai anak-anak Allah."

Kata Yunani untuk adopsi adalah "HUIOTHESIA". Kata ini dipakai dalam literatur di luar Alkitab untuk menunjukkan pengadopsian secara legal bersama-sama dengan hak pewarisan dan kewajiban seperti dipelihara orangtua angkatnya. Di dalam Perjanjian Baru, kata ini hanya dipakai oleh Paulus dan merujuk kepada tindakan Allah yang menempatkan umat-Nya di dalam status legal sebagai anak. Kata "HUIOTHESIA" ini adalah kata yang secara istimewa digunakan oleh Paulus. Dan, ia menggunakan kata ini beberapa kali dalam Perjanjian Baru yang diterjemahkan dalam Alkitab bahasa Inggris dengan "adoption", atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan diterima menjadi anak/diangkat menjadi anak. Kata tersebut berasal dari gabungan dua kata Yunani, yaitu "thesia" yang berarti menempatkan, dan "huios" yang berarti anak.

Jadi, "HUIOTHESIA" berarti anak yang ditempatkan dalam suatu keluarga atau diangkat menjadi anak.

Ada pandangan mengenai persaudaraan universal bahwa semua manusia bersaudara serta ajaran/doktrin kebapaan Allah secara universal (the universal fatherhood of God) atau Allah adalah Bapa dari semua orang. Namun, Alkitab tidak mengajarkan demikian. Allah disebut Bapa secara universal hanya dalam pengertian bahwa Allah adalah Sang Pencipta, maka Ia adalah Bapa dari semua manusia karena Bapa mengandung arti asal pemberi makan/pemelihara (anourisher), pelindung (protector), penopang (upholder), bapa (father), dan asal mula keluarga (the originator of a family). Karena itu, status Saudara harus dipahami sebagai satu bapa, dan hanya umat pilihan yang adalah sesama saudara, di luar itu adalah umat yang ditolak, dan Yesus berkata, "Iblislah bapamu ...." Semua manusia, secara natur, melalui kelahiran secara daging adalah manusia yang telah berdosa. Dan, dosa itu memisahkan kita dari Allah. Seperti Paulus menulis dalam Efesus 2:1, "Kamu dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu." Jadi, menurut kelahiran dan natur, kita adalah anak-anak yang patut dimurkai dan telah mati oleh karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosa kita. Namun, Roh Kudus telah menghidupkan kita, Ia meregenerasikan kita dan memberikan kelahiran baru kepada kita. Bukan oleh kehendak manusia, bukan oleh keinginan daging, dan juga bukan oleh usaha manusia, tetapi oleh Roh Allah. Dalam kelahiran kembali kita diadopsi atau diangkat atau diterima ke dalam keluarga Allah. Semua orang yang mengenal Allah di dalam Kristus diadopsi ke dalam keluarga Allah. Dan, kita diperlakukan secara istimewa dalam keluarga Allah. Kita diperlakukan secara istimewa sebagai anak. Paulus menegaskan, "Jadi kamu bukan lagi hamba (doulos), melainkan anak (huios); jikalau kamu anak maka kamu juga adalah ahli-ahli waris, oleh Allah." (Galatia 4:7) Seorang hamba bekerja untuk mendapatkan upah. Namun, walaupun kita bekerja seumur hidup, kita hamba tetap menjadi hamba, dan bukan anak. Seorang hamba dapat bekerja untuk selama-lamanya. Hamba dapat menerima upah untuk selamanya, tetapi tidak akan pernah memperoleh status sebagai anak dan ahli waris dalam keluarga itu. Namun, di dalam Kristus, oleh kasih karunia yang dicurahkan atas kita, kita diadopsi ke dalam keluarga Allah. Bukan dengan pekerjaan atau usaha (kebaikan) kita, kita menerimanya, tetapi itu adalah sesuatu yang Allah lakukan atau kerjakan bagi kita. Ia menanggalkan status kita sebagai hamba, dan mengangkat atau menerima kita sebagai anak dan ahli waris Kerajaan Bapa. Sesungguhnya kita tidak lebih daripada "doulos", kita tidak lebih daripada seorang budak, kita tidak lebih dari seorang pelayan, tetapi kemudian kita diterima/diadopsi menjadi anak. Dan, sebagai anak kita adalah ahli waris Allah melalui Kristus.

2. Dasar Alkitab bagi Ajaran Adoption (Pengangkatan sebagai Anak)

a. Di dalam 1 Yohanes 3:1-2,9: (1) Lihatlah, betapa besarnya kasih yang dikaruniakan Bapa kepada kita, sehingga kita disebut anak-anak Allah, dan memang kita adalah anak-anak Allah. Karena itu dunia tidak mengenal kita, sebab dunia tidak mengenal Dia. (2) Saudara-saudaraku yang kekasih, sekarang kita adalah anak-anak Allah, tetapi belum nyata apa keadaan kita kelak; akan tetapi kita tahu, bahwa apabila Kristus menyatakan diri-Nya, kita akan menjadi sama seperti Dia, sebab kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya. (9) Setiap orang yang lahir dari Allah, tidak berbuat dosa lagi; sebab benih ilahi tetap ada di dalam dia dan ia tidak dapat berbuat dosa, karena ia lahir dari Allah.

b. Yohanes 1:12-13: Bapa(12) Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya. (13) Orang-orang yang diperanakkan bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah.

c. Efesus 1:5: Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya.

Ayat ini, menurut beberapa terjemahan lain:

NIV: "He predestinated us to be adopted as his sons through Jesus Christ, in accordance with his pleasure and will." (Ia telah mempredestinasikan kita untuk diadopsi sebagai anak-anak-Nya melalui Yesus Kristus, sesuai dengan kesenangan dan kehendak-Nya.)

NASB: "He predestinated us to adoption as sons through Jesus Christ to Himself, according to the kind intention of His will." (Ia telah mempredestinasikan kita untuk pengadopsian sebagai anak-anak melalui Yesus Kristus bagi diri-Nya sendiri, sesuai dengan maksud/tujuan yang baik dari kehendak-Nya.)

Dengan demikian, kita melihat bahwa pengadopsian kita menjadi anak-anak Allah berakar pada dekrit kekal Allah dan bertujuan untuk kemuliaan-Nya. Dengan kata lain, "adoption" berakar pada predestinasi.

d. Galatia 4:4-7: (4) Tetapi setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat. (5) Ia diutus untuk menebus mereka, yang takluk kepada hukum Taurat, supaya kita diterima menjadi anak. (6) Dan karena kamu adalah anak, maka Allah telah menyuruh Roh Anak-Nya ke dalam hati kita, yang berseru: "ya Abba, ya Bapa! (7) Jadi kamu bukan lagi hamba, melainkan anak; jikalau kamu anak, maka kamu juga adalah ahli-ahli waris, oleh Allah "melalui Kristus" – cetak miring ada dalam KJV.

Ungkapan "takluk kepada hukum Taurat" (yaitu di bawah kewajiban untuk menaati hukum Taurat) merujuk kepada ketaatan aktif Kristus kepada hukum Taurat, untuk menebus umat pilihan yang telah dipilih oleh Bapa. Ketaatan Kristus ini sekarang dikaitkan dengan pengadopsian diri kita, yaitu "supaya kita diterima menjadi anak", yaitu agar kita secara legal diadopsi oleh Allah menjadi anak-anak-Nya sehingga menerima segala hak yang berkaitan dengan kondisi/status sebagai anak itu.

e. Roma 8:14-17: (14) Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah. (15) Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru: "ya Abba, ya Bapa!" (16) Roh itu bersaksi bersama-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah. (17) Dan jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris, maksudnya orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah, yang akan menerimanya bersama-sama dengan Kristus, yaitu jika kita menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia.

Yang Paulus maksudkan dengan "Roh yang menjadikan kamu anak" (ayat 14) adalah Roh Kudus yang memimpin orang-orang percaya. Kita semua yang berada di dalam Kristus telah menerima Roh, yang melalui-Nya kita sekarang dengan penuh sukacita memanggil Allah sebagai Bapa kita. Roh yang sama terus-menerus bersaksi bersama roh kita bahwa kita sungguh-sungguh adalah anak-anak Allah -– suatu kesaksian yang dinyatakan kepada kita melalui Firman, pengalaman dalam hidup ini, kemurahan setiap hari, kekuatan tiap jam, dan sukacita yang terus-menerus ada. Kata bersaksi di sini ditulis dalam bentuk "present tense", yang berarti sebuah tindakan yang berkelanjutan/terus-menerus.

Penerimaan hak kita sebagai anak dimulai dengan penerimaan Roh Kudus yang menerapkan di dalam hati dan kehidupan kita penebusan yang telah didapatkan Kristus bagi kita.

Menurut Ibrani 1:2, Kristus telah ditetapkan oleh Allah sebagai "pewaris segala sesuatu". Warisan milik Kristus itu sekarang menjadi milik kita berdasarkan anugerah. Terdiri dari apakah warisan itu?

Warisan itu berarti:

  1. Kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia (Roma 8:17).
  2. Berhak menerima hidup kekal sesuai dengan pengharapan kita (Titus 3:7).
  3. Kerajaan Kristus (Efesus 5:5).
  4. Suatu bagian yang tidak dapat binasa, yang tidak dapat cemar, yang tidak dapat layu (1 Petrus 1:4).

3. Kesimpulan

a. Dari pembahasan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa semua manusia di dalam Adam adalah manusia berdosa, hamba dan budak dosa, anak-anak Iblis. Namun, semua orang di dalam Kristus adalah manusia baru, anak-anak Allah yang telah ditebus, yang diubah statusnya dari hamba menjadi anak-anak Allah. Atau, dengan kata lain "adoption" mengubah status dari hamba menjadi anak-anak Allah.

b. Pengangkatan sebagai anak diperoleh melalui penebusan Kristus akan orang-orang pilihan yang telah ditetapkan oleh Bapa, dan kemudian diteguhkan oleh Roh Kudus yang meregenerasikan, dan memberikan iman dan memampukan kita memanggil Allah sebagai Bapa kita. Artinya "adoption" tidak terlepas dari pembenaran dan kelahiran baru, orang yang telah dibenarkan, pasti akan diadopsi sebagai anak. Pembenaran adalah sesuatu yang berhubungan dengan hukum, dengan kata lain, pembenaran berhubungan dengan status anugerah, sedangkan regenerasi (kelahiran kembali) berhubungan dengan keadaan di dalam anugerah, yaitu membangkitkan di dalam kita sebuah natur atau karakter baru.

c. Pengangkatan sebagai anak berdampak pada status serta hak-hak yang melekat pada status kita sebagai anak-anak Allah.

Karena itu, berbahagialah dan bersukacitalah kita. Marilah naikkan segala pujian syukur hormat kepada Allah Tritunggal yang Kudus, yang telah memilih kita, menebus kita, dan mengadopsi atau menjadikan kita anak-anak-Nya serta senantiasa hidup bersyukur kepada-Nya. Dan, dengan kepala tegak kita dapat menjalani kehidupan iman kita sambil terus percaya bahwa Allah, Bapa kita, senantiasa memelihara kita anak-anak-Nya. Amin. Soli Deo Gloria.

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Nama Situs  :  Indonesia Reformed Ministry (IRM)
Alamat URL  :  http://adywilliamfrithndiy.blogspot.co.id/search?q=ADOPTION
Judul asli  :  Adoption (Pengangkatan sebagai Anak)
Penulis Artikel  :  Pdt. Ady William Frith Ndiy, M.Th
Tanggal Akses  :  22-12-2015

Sejarah Lagu : Mengikut Yesus Keputusanku

Penulis_artikel: 
The Youth's Way
Tanggal_artikel: 
23 Februari 2016
Isi_artikel: 

Lagu ini merupakan salah satu puji-pujian tertua yang masih tetap dinyanyikan sampai sekarang. Lirik lagu ini diambil dari kata-kata terakhir yang diucapkan seorang lelaki berasal dari Assam (sebuah desa di Timur Laut India). Dia bersama keluarganya memutuskan menerima Tuhan Yesus pada pertengahan abad ke 19. Kepala suku Assam memaksanya untuk meninggalkan imannya, namun lelaki itu berkata "I have decided to follow Jesus" = "Mengikut Yesus Keputusanku". Walaupun kepala suku dan penduduk mengancam akan memenggal kepalanya, namun lelaki itu tidak gentar dan tetap berkata "Though no one joins me, still I will follow" = "Tetap Kuikut Walau Sendiri".

Isterinya telah dibunuh karena iman mereka dan pada akhirnya lelaki itupun dieksekusi ketika sedang menyanyikan "The cross before me, the world behind me" yang artinya "Salib di depan, dunia di belakang". Demonstrasi iman lelaki ini telah membawa kepala suku dan semua penduduk desa bertobat dan mengikut Yesus.

Seorang editor pujian-pujian William Jensen Reynold membuat arrangement lagi ini dan pada tahun 1959 dimuat di dalam Buku Lagu Persekutuan. Waktu masih duduk di sekolah Minggu, lagu ini adalah salah satu favorit walau ketika itu kita pasti belum mengerti makna kata-kata dari lagu ini. Kiranya lagu ini menjadi hidup yang kita jalani dari hari ke hari pada saat ini.

Mengikut Yesus keputusanku ) 3x
Ku tak ingkar ) 2x
Tetap ku ikut walau sendiri ) 3x
Ku tak ingkar ) 2x
Salib di depan, dunia di b'lakang ) 3x
Ku tak ingkat ) 2x
Ku ikut sampai ku lihat Yesus ) 3x
Ku tak ingkar ) 2x
I have decided to follow Jesus ) 3x
No turning back ) 2x
The world behind me the cross before me ) 3x
No turning back
Though none go with me still I will follow ) 3x
No turning back ) 2x

Imannya adalah implementasi dari kata-kata Yesus dibawah ini :
"Lalu Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku." ~ Matius 16:24 ~

Bagaimana dengan Anda dan saya? Selamat merenung dan mengambil keputusan, Tuhan berkati

Publikasi e-Konsel

Aneka permasalahan hidup senantiasa menjadi bagian yang tidak terelakkan dalam kehidupan orang percaya. Tidak hanya membutuhkan jalan keluar serta solusi yang tepat, bimbingan serta hikmat yang sesuai dengan kebenaran firman Tuhan menjadi kebutuhan yang diperlukan oleh setiap orang Kristen yang bergumul.

Mereka yang Miskin secara Rohani

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Selamat bertemu kembali pada awal tahun yang baru ini. Kami berharap dan berdoa kita semua terus memiliki kerinduan yang semakin besar untuk mengenal Allah kita di dalam anugerah khusus-Nya. Pada awal tahun, biasanya kita mendengar banyak resolusi yang orang tulis atau katakan karena mereka memiliki harapan agar tahun baru memberi semangat baru untuk hidup lebih baik. Banyak orang mengejar keberhasilan secara materi, tetapi kita berharap orang-orang percaya akan mengejar pertumbuhan rohani, sebab inilah yang seharusnya menjadi aspek hidup terpenting -- bagaimana bertumbuh dan semakin kaya dalam iman kepada Allah.

Pada masa sekarang, gereja banyak mendorong jemaat untuk berkembang dan maju dalam segala aspek hidup. Akan tetapi, pernahkah Saudara mendengar pendeta Saudara mendorong jemaatnya untuk menjadi miskin secara rohani? Mungkin istilah atau kondisi "miskin" akan dihindari oleh banyak orang, termasuk gereja. Padahal, kegagalan menjadi miskin secara rohani justru akan membawa kita pada kehancuran rohani. Bagaimana bisa demikian? Edisi e-Reformed pertama tahun ini akan menyajikan satu artikel yang menarik untuk kita simak, yaitu tentang kemiskinan rohani. Kiranya artikel ini menjadi berkat bagi kita semua. Selamat menjalani tahun baru dan selamat membaca. Soli Deo Gloria.

Ayub Pemimpin Redaksi e-Reformed,
Ayub
Edisi: 
Edisi 172/Januari 2016
Isi: 
Miskin

Kemiskinan secara rohani bukanlah menunjuk pada masalah keuangan ataupun keadaan depresi meski memang sering kali disalahtafsirkan menjadi demikian. Ada sementara orang Kristen yang mencoba merelakan semua milik mereka demi menemukan kebenaran kalimat-kalimat bahagia tersebut, tetapi kemudian mendapati bahwa seorang manusia ternyata bisa tidak lagi memiliki apa pun, namun tetap tidak dapat mengalami kemiskinan secara rohani.

Miskin secara rohani juga tidak sama dengan suatu gambar diri yang buruk, yang ditandai oleh adanya sikap penghargaan terhadap diri sendiri yang rendah, sikap memikirkan diri sendiri, dan sikap-sikap tidak wajar lainnya. Seorang manusia dapat memiliki sikap-sikap demikian tanpa memiliki secuil pun pemahaman atas apa yang Tuhan Yesus maksudkan.

Dalam Perjanjian Lama, istilah "si miskin" lebih dimaksudkan sebagai istilah teknis bagi sekelompok orang. Mazmur 34:7 berbicara mengenai "orang yang tertindas (miskin)" yang telah datang kepada Tuhan dan yang telah didengar serta diselamatkan. Sementara di dalam Mazmur 40:18, sang pemazmur menggambarkan dirinya sendiri sebagai "orang yang sengsara dan miskin", dan meminta Tuhan supaya mengingat dan menyelamatkannya. Di bagian lain, pernyataan serupa menegaskan suatu fakta bahwa menjadi miskin berarti menjadi lemah dan tidak berdaya, tidak mempunyai hak, dan tidak mempunyai akal untuk membela dan menyelamatkan diri sendiri. Orang miskin adalah orang yang membutuhkan belas kasihan, bagaikan para tawanan yang sebagai satu-satunya tempat perlindungan dan keselamatan mereka (Mazmur 69:33-34). Mereka merupakan orang-orang yang telah bangkrut di dunia ini, yang karenanya kemudian memercayai Tuhan sebagai satu-satunya harapan bagi perlindungan dan pembebasan mereka.

Akan tetapi, apakah arti ungkapan "miskin secara rohani"? Dengan membicarakan miskin secara rohani, Yesus bermaksud menegaskan bahwa Ia bukan sedang berbicara tentang kemiskinan secara materi. Kemiskinan materi memang memungkinkan terjadinya kemiskinan rohani, tetapi keduanya tidak selalu identik. Bahkan, kemiskinan secara materi sering kali dapat memperkuat harga diri kita.

Yesus pernah bercerita tentang seorang manusia yang sadar dirinya mengalami perbudakan rohani, sadar akan utang dosa-dosanya, dan mengetahui bahwa ia tidak memiliki hak di hadapan Tuhan (Matius 6:12). Yang dapat dilakukannya hanyalah meminta belas kasihan dan bersandar kepada Tuhan.

Tidak ada seorang pun yang dapat menjadi orang Kristen tanpa adanya roh ini. Setiap orang Kristen mempunyai roh ini, yang bagaikan roh anak yang suka berfoya-foya. Dengan angkuh, ia meninggalkan bapanya dan menggantungkan diri pada harta warisan yang menjadi bagiannya. Akan tetapi, ketika ia bangkrut, "dia menjadi sadar kembali" (Lukas 15:17). Dengan penuh kerendahan hati dan dengan mengesampingkan semua kesombongannya, ia pulang ke rumah bapanya dengan tangan kosong, tidak lagi congkak, melainkan bersandar penuh pada kemurahan bapanya. Begitu juga halnya dengan orang Kristen:

Tak sesuatu pun ada padaku,
Hanya Salib-Mu;
Telanjang aku, harap 'kan jubah dari-Mu;
Tak berdaya aku, harap 'kan anugerah-Mu;
Najis aku, ke mata air aku lari menuju;
Basuhlah aku Juru Selamat, atau binasalah aku.

A.M. Toplady

Pada pasal-pasal permulaan kitab Roma, Paulus mengisyaratkan proses kelahiran Roh yang baru itu. Kita mendapati bahwa keberadaan kita bukannya layak dan berkenan kepada Allah, melainkan secara alamiah kita memiliki sifat memberontak terhadap Dia; kita telah menghancurkan hukum-hukum-Nya. Semua perbuatan yang menurut dugaan kita dapat menyenangkan Dia, justru semakin menjauhkan kita dari hadirat-Nya. Kita berdosa mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki, mulai dari mulut kita yang penuh kecurangan hingga kaki kita yang tidak mengenal jalan damai (Roma 3:13-17). "... Tidak ada yang benar, seorangpun tidak, tidak ada seorangpun yang berakal budi, tidak ada seorangpun yang mencari Allah. Semua orang telah menyeleweng, mereka semua tidak berguna, tidak ada yang berbuat baik, seorangpun tidak." (Roma 3:10-12)

Apa akibatnya bila pada saat kita memikirkan kursi pengadilan Allah dan putusan bersalah-Nya atas hidup kita, kita mempertimbangkan dakwaan Ilahi ini dengan serius, dan menerapkannya pada diri sendiri? Paulus tidak membiarkan khayalan kita menjawabnya, ia menjawab: supaya tersumbat setiap mulut, dan seluruh dunia – termasuk kita – jatuh ke bawah hukuman Allah (Roma 3:19).

Kita yang menyombongkan kelayakan atau kemampuan kita; yang bersyukur kepada Allah karena kita tidak lagi seperti orang berdosa lainnya, tidak akan bisa mengatakan apa-apa lagi pada Hakim Agung kita. Kita akan menghadap Dia dengan rasa malu, mulut terkunci, dan hati yang benar-benar hancur.

Saat Tuhan menolong kita untuk menyadari keberadaan kita yang sebenarnya di hadapan hadirat-Nya, saat itulah perasaan miskin secara rohani lahir di hati kita. Barulah setelah itu, kita pada akhirnya dapat melihat bahwa Tuhanlah satu-satunya pengharapan kita. Kita hanyalah manusia lemah yang tidak memiliki kebajikan apa pun untuk dapat membela diri di hadapan-Nya. Di depan pengadilan Tuhan, kita telah bangkrut dan menjadi para pengutang. Yang dapat kita lakukan hanyalah memohon pengampunan-Nya.

Pada masa sekarang ini, kita didorong untuk mengembangkan segala macam kemampuan rohani, kecuali kemampuan untuk menjadi miskin secara rohani. Padahal, kegagalan kita untuk menjadi miskin secara rohani akan membawa kita kepada kehancuran rohani, seperti ternyata dalam peringatan Yesus kepada jemaat di Laodikia: "Engkau berkata, Aku kaya; dan aku telah memperkayakan diriku dan aku tidak kekurangan apa-apa. Tetapi engkau tidak tahu, bahwa engkau melarat dan malang, miskin, buta dan telanjang" (Wahyu 3:17). Jika kita tidak panas ataupun dingin, kita berada dalam suatu bahaya untuk dimuntahkan dari mulut Kristus. Ada banyak pengajaran tentang bagaimana mendapatkan kepenuhan roh, tetapi di mana kita dapat mempelajari cara mengosongkan diri dari kecenderungan untuk mementingkan, membenarkan, dan memercayai diri sendiri?

Adalah kenyataan yang menyedihkan kalau ternyata kita mengetahui sedemikian sedikit mengenai berkat yang Yesus bicarakan (dan berikan) hanya karena kita begitu sibuk dengan diri sendiri ataupun dengan pengertian kita sendiri mengenai istilah berkat. Memang tidak ada alasan yang lebih menyedihkan bagi kegagalan kita untuk dapat menjadi miskin secara rohani, selain daripada ketidaksiapan kita untuk merelakan pikiran kita diketahui oleh orang lain. Sebaliknya, manusia yang miskin secara rohani akan tinggal tenang di hadapan hadirat Allah dan semata-mata akan membicarakan apa yang dengan penuh kerendahan hati telah dipelajarinya dari Allah.

Maka, bila Saudara ingin menjadi kaya dan memiliki kerajaan Allah, pertama-tama Saudara harus meninggalkan segala sesuatu, -- termasuk diri sendiri dan sifat mementingkan diri sendiri -- lalu berusaha untuk dapat menjadi miskin secara rohani.

Sumber: 
Diambil dari:
Judul buku  :  Khotbah di Bukit
Judul bab  :  Siapakah Saudara di Hadapan Allah?
Penulis  :  Sinclair B. Ferguson
Penerbit  :  Momentum, Surabaya 2010
Halaman  :  17 -- 20

Pada Mulanya adalah Firman

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Selamat menyambut hari Natal tahun 2015 bagi Saudara-saudara terkasih di dalam Kristus. Dalam bulan ini, secara khusus, e-Reformed akan menyuguhkan sebuah artikel yang terkait dengan kelahiran Sang Kristus.

Mari kita melihat dalam Injil Yohanes 1:1. Hal yang menarik dalam ayat ini adalah ayat ini dibuka dengan sebuah susunan kata yang sama seperti dalam kitab Kejadian 1:1: "Pada mulanya". Kitab Kejadian menyatakan bahwa "Pada mulanya Allah menciptakan alam semesta", dan menurut Yohanes, "Firman itu ada bersama-Nya." Lebih dari itu, dalam penciptaan, Allah memakai firman-Nya untuk mencipta segala sesuatu (Yohanes 1:3). Firman yang sama inilah yang juga menjadi manusia di dalam diri Yesus Kristus. Hal ini sangat penting untuk kita ketahui bersama dalam perenungan Natal tahun ini.

Mari kita menyambut Natal tahun ini dengan penuh sukacita. Kiranya kita boleh semakin mengerti bahwa Kristus Yesus adalah Sang Firman yang telah lahir dan mengambil wujud manusia untuk menggenapi kabar baik bagi semua bangsa di bumi. Mari beritakan kabar sukacita! Soli Deo Gloria.

Ayub Pemimpin Redaksi e-Reformed,
Ayub
Edisi: 
Edisi 171/Desember 2015
Isi: 

ARTIKEL
Pada Mulanya adalah Firman

J_Child

Himne-himne Kristen pada abad permulaan merayakan Yesus sebagai seseorang yang, karena kepatuhan-Nya secara sukarela terhadap penghinaan dan kematian, ditinggikan oleh Allah ke tingkatan yang menguasai alam semesta dan dianugerahi gelar "Tuhan" -- "nama di atas segala nama". Namun, himne tersebut dibuka dengan pernyataan yang mencakup jangka waktu sebelum kehidupan Yesus sebagai manusia dimulai. "Dia telah-selalu ada dalam rupa Allah, tetapi Dia tidak pernah menganggap bahwa kesetaraan dengan Allah itu sebagai sesuatu hal yang harus di pergunakan demi kepentingan diri-Nya sendiri. Sebaliknya, Dia mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa sebagai seorang hamba" (Filipi 2:6-11).

Kalimat-kalimat ini, bukan berarti bahwa Dia menukar "rupa Allah" dengan "rupa hamba", tetapi yang sebenarnya adalah bahwa Dia menunjukkan rupa Allah melalui rupa hamba. Pada waktu perjamuan terakhir, Dia mengambil posisi sebagai hamba dan mencuci kaki para murid-Nya, Dia menampakkan sifat keilahian-Nya sama seperti di dalam tindakan-tindakannya yang lain. Kata/istilah "rupa" tidak mempunyai arti bahwa Dia adalah seorang aktor yang memainkan beberapa peran, sekarang peran sebagai Allah dan sekarang peran sebagai hamba; tetapi kata tersebut berarti bahwa Dia juga mempunyai sifat keilahian dan cara-Nya dalam menunjukkan sifat tersebut di dunia ialah dengan melayani orang lain. Melayani orang lain adalah sifat-Nya yang alami.

Akan tetapi, yang menjadi problema bagi kita pada zaman ini adalah himne tersebut kelihatannya menganggap bahwa Dia telah ada sebelum Dia menjadi manusia. Anggapan yang sama ini juga yang banyak dipakai oleh penulis Perjanjian Baru; tetapi oleh Yohanes hal ini sangat ditekankan dengan sangat tajam di awal Injil yang ke empat. "Pada mulanya adalah Firman," kata Yohanes, "Firman itu bersama-sama dengan Allah, dan Firman itu adalah Allah .... Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita" (Yohanes 1:1,14). Pernyataan bahwa "Firman itu telah menjadi manusia" inilah yang dikembangkan menjadi doktrin inkarnasi.

Karena "Firman" telah menjadi manusia di dalam diri Yesus dari Nazareth. "Firman" adalah gelar dari Yesus sejarah (Jesus of history). Sewaktu menjadi "manusia", firman Allah yang kekal menjadi suatu sejarah. Akan tetapi, gelar tersebut juga adalah kepunyaan Yesus sebagai Kristus Iman (Christ of faith); itu adalah kedalaman iman yang diberikan kepada-Nya, bukan sewaktu karier-Nya di dunia, melainkan setelah kematian-Nya dan kebangkitan-Nya.

Kalau begitu, apakah arti dari Firman yang pada mulanya bersama-sama dengan Allah, yang juga ada dalam bentuk dan sifat Allah -- Firman yang pada saatnya nanti "menjadi manusia"? Ini adalah penampakan atau pengekspresian Allah. Allah, yang menampakkan atau mengekspresikan diri-Nya melalui banyak cara sebelum kedatangan Kristus (dan sampai sekarang pun), telah memberikan kepada kita penampakan dan pengekspresian sifat-Nya yang sepenuhnya dan tak bercacat di dalam diri Yesus.

Injil Yohanes dibuka dengan susunan kalimat yang sama seperti kitab Kejadian: "Pada mulanya". Menurut kitab Kejadian, "Pada mulanya Allah menciptakan alam semesta", dan menurut Yohanes, "Firman itu ada bersama-Nya". Lebih dari itu, Firman itu adalah alat yang dipakai oleh Allah di dalam karya penciptaan: "segala sesuatu dijadikan oleh Dia" (Yohanes 1:3). Firman yang sama ini jugalah yang "menjadi manusia" di dalam diri Yesus dari Nazaret.

Ini adalah awal mula dari bahasa orang-orang Kristen abad permulaan yang menghubungkan karya penciptaan kepada Yesus. Baris kedua dari himne "Agungkan Kuasa Nama-Nya" (All hail the power of Jesus' name) -- yang dihilangkan dari banyak versi modern dari himne ini -- haruslah menjadi sebagai berikut:

Crown him, ye morning stars of light,
Who launched this floating ball;
Now hail the Strength of Israel's might
And crown him Lord of all.

"Bola yang mengambang ini -- floating ball" ialah bumi, dan Yesus dikatakan telah "melontarkannya -- launched" (atau, menurut versi lain, himne-himne Kuno dan Modern, yang telah "menempatkan"nya). Bagi orang-orang yang sudah terbiasa dengan gaya bahasa seperti ini, mungkin tidak akan berhenti untuk memikirkan kembali betapa hebatnya hal ini. Seorang manusia yang hidup di Timur Dekat sekitar hampir 2000 tahun yang lalu telah disebut-sebut menciptakan ion-ion dunia sebelumnya. Bagaimanakah ide itu bisa timbul -- di benak pengikut-pengikutnya yang paling setia pun?

Narasi karya penciptaan di Kejadian 1 mencatat bahwa "Allah bersabda", dan sebagai akibatnya fase-fase selanjutnya dari pekerjaannya yang kreatif itu menjadi nyata. Allah bersabda, "Jadilah terang"; dan terang itu jadi ... Allah bersabda, "Baiklah kita membuat manusia, maka Allah menciptakan manusia (Kejadian 1:3, 26-27). Bagian-bagian Perjanjian Lama yang lebih puitis membicarakan karya penciptaan ini sebagai sesuatu yang dilaksanakan melalui firman Tuhan. "Oleh firman Tuhan langit telah dijadikan" (Mazmur 33:6) adalah cara lain untuk mengatakan "sebab Dia berfirman, maka semuanya jadi" (Mazmur 33:9). Firman Tuhan dipersonifikasikan sebagai alat-Nya dalam karya penciptaan. Di bagian lain di PL, kata yang sama dipersonifikasikan sebagai alat Tuhan dalam karya penampakan (seperti misalnya "firman Tuhan datang" ke nabi ini dan itu) dan juga di dalam karya keselamatan: ketika jiwa manusia merasa terancam, ia berteriak minta tolong kepada Allah, "disampaikan-Nya firman-Nya dan disembuhkan-Nya mereka, dan diluputkan-Nya mereka dari liang kubur" (Mazmur 107:20).

Sebab itu, firman Tuhan dipersonifikasikan sebagai alat-Nya atau pembawa berita-Nya. Akan tetapi, bahasa yang dipakai sebagai istilah di PL digunakan oleh Yohanes di bagian pembukaan kitab Injilnya, digunakan untuk mengekspresikan tidak hanya secara personifikasi, tetapi juga sebagai kepribadian yang nyata dan berbeda dari yang lain. Seperti Yesus di dalam sejarah di mana sifat-Nya benar-benar suatu pribadi, maka menurut Yohanes, Firman ilahi "menjadi manusia", dari awal mulanya benar-benar bersifat pribadi, menikmati persekutuan yang pribadi dengan Allah dan juga menikmati keilahian-Nya. Ini adalah aspek dari Kristus Iman (Christ of faith).

Kita telah beranggapan bahwa Kristus bangkit dan dimuliakan sebagai objek masa kini dari iman orang-orang pada zaman-Nya; tetapi Injil Yohanes menyatakan Dia sebagai seseorang yang mempunyai praeksistensi kekal -- yang tinggal selama beberapa tahun di bumi, mengalami kelahiran dan kematian seperti halnya manusia sejati, dalam perjalanan dari kemenangan menuju ke kemenangan. Yohanes tentunya bukan satu-satunya penulis di dalam Perjanjian Baru yang menggunakan istilah "praeksistensi" sewaktu menunjuk kepada-Nya, tetapi dialah yang lebih secara terbuka menggunakannya dibandingkan dengan penulis yang lainnya.

Hanya di dalam pembukaan injilnya, Yohanes mengatakan Yesus adalah Firman. Sepertinya, pembukaan tersebut berfungsi untuk mengingatkan para pembacanya bahwa di dalam pekerjaan apa pun dan perkataan Yesus mana pun yang tercatat di kitab Injil, di sinilah firman Tuhan sedang bekerja; inilah saat di mana Tuhan sedang menyatakan diri-Nya sendiri.

Ketika kalimat pembukaan itu berbicara mengenai "Firman" dan "Tuhan", isi dari Injil justru berbicara mengenai "Anak" dan "Bapa". Kalimat pembukaan itu mencakup 18 ayat, dan tepat di bagian akhirnya dinyatakan bahwa Anak Tunggal Allah, "yang ada di pangkuan Bapa" (yaitu, yang mempunyai pengertian yang sempurna dan saling mengasihi dengan Bapa), adalah seseorang yang telah "menyatakan"-Nya. Pernyataan Yoh. 1:18 ini membentuk suatu transisi dari kalimat pembukaan ke bagian isi dari Injil. Di dalam Injil Yohanes, Anak adalah cerminan Bapa. Oleh karena itu, barangsiapa yang telah melihat Anak, juga telah melihat Bapa. Bapa dan Anak hadir bersama-sama dalam suatu hubungan saling mengasihi yang abadi sifatnya, dan mereka yang dipersatukan dengan Anak karena percaya pada-Nya juga dapat masuk ke dalam hubungan berikut: Bapa-Nya Yesus juga menjadi Bapa mereka.

Namun, di dalam awal kitab-kitab Injil, Yesus selalu menunjukkan kesadaran sepenuhnya mengenai hubungan seorang anak terhadap Bapa-Nya sewaktu Dia berbicara mengenai Allah sebagai Bapa-Nya. Dia adalah "Sang Anak" di dalam arti secara khusus; meskipun begitu dia mendorong para muridnya untuk memanggil Allah sebagai Bapa mereka ('Abba') dan untuk datang kepada-Nya dengan penuh rasa percaya diri dan sebebas-bebasnya, seperti halnya Yesus sendiri. Injil Yohanes menjelaskannya secara lebih detail. Kitab Injil sinoptik mewakili para murid Yesus dan yang lainnya yang kadang-kadang bertanya-tanya mengenai siapakah Yesus itu sebenarnya: "Siapakah gerangan orang ini, sehingga angin dan danau pun taat kepada-Nya?" (Mrk. 4:41) Namun, Yohanes membeberkan rahasia ini kepada para pembacanya dari kalimat pertama Injilnya, sedangkan dia membuat dengan sangat jelas sekali bahwa para murid yang lain tidak mengerti rahasia ini sampai setelah kebangkitan gurunya.

Diambil dan disunting seperlunya dari:
Judul buku  :  Momentum
Judul bab  :  Firman Yang Berinkarnasi
Penulis  :  Tidak dicantumkan
Penerbit  :  LRII
Halaman  :  43 -- 46

Yohanes Pembaptis Sebagai Saksi

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Yohanes Pembaptis dikenal sebagai nabi terakhir Perjanjian Lama. Ia memiliki tugas khusus menjadi seorang utusan/saksi. Yohanes Pembaptis dipersiapkan untuk datang mendahului Kristus dan mempersiapkan jalan bagi-Nya, ini adalah sebuah tugas dan kehormatan yang besar bagi seorang manusia yang secara langsung menyaksikan kedatangan Sang Juru Selamat dunia. Dalam edisi ini, kita akan bersama-sama belajar mengenal sosok Rasul Yohanes. Ia secara konsisten dilukiskan sebagai saksi (Yoh. 1:6-8,15,19,32,34; 3:27-36; 5:32,36; 10:40-42). Yohanes adalah saksi Kristus sejati yang membawa pesan Injil sebagai pusat kesaksiannya.

Artikel ini merupakan bagian dari suatu pembahasan topik teologi yang berjudul "Kepemimpinan Yohanes Pembaptis", tetapi kita hanya akan menyoroti beberapa bagian saja, khususnya yang terkait dengan kehidupan Yohanes sebagai saksi Kristus. Pertama, mengenai sumber otoritas Yohanes Pembaptis sebagai seorang utusan. Kedua, apa isi kesaksian yang ia beritakan sebagai seorang utusan. Ketiga, kepada siapa kesaksian Yohanes Pembaptis ditujukan. Kiranya kita boleh diberkati melalui artikel ini dan semakin mengenal kehidupan yang bersaksi. Soli Deo Gloria.

Pemimpin Redaksi e-Reformed, Ayub
< ayub(at)in-christ.net >
< http://reformed.sabda.org >

Edisi: 
Edisi 170/November 2015
Isi: 
Yohanes Pembaptis Sebagai Saksi

Yohanes Pembaptis Sebagai Saksi

Yohanes pembaptis

Apakah sumber otoritas Yohanes Pembaptis?

Pelayanan Yohanes Pembaptis sebagai saksi ditegaskan bersumber dari Allah. Ia diutus ke dalam dunia untuk bersaksi bagi Mesias yang akan datang dan sudah datang. Ia terlibat dalam pelayanan kesaksian bukan karena keinginan atau keputusan dirinya sendiri, juga tidak ada sebuah institusi yang menugaskannya sebagai saksi. Ia tidak pernah menawarkan diri sebagai saksi. Tugas dan misinya sebagai saksi bersumber dari Allah. Ia harus bersaksi karena diutus Allah (Yoh. 1:6). Ia dipanggil dan diutus dengan otoritas untuk suatu tugas ilahi, bukan untuk menjadi tokoh reformasi agama dan masyarakat Yahudi.

Sebagai saksi, tentu saja isi kesaksiannya tidak berpusat kepada dirinya. Dengan perkataan lain, dirinya atau ide-ide teologisnya bukanlah merupakan berita yang harus ia sampaikan. Ia hanya seorang saksi yang harus menyampaikan kepada orang lain apa yang ditugaskan Allah untuk disaksikan. Jadi, isi kesaksiannya bersumber dari Allah. Ia tidak dapat mengarang, menambah, atau mengurangi isi kesaksiannya. Sebagaimana Allah menugaskan dan memberinya isi kesaksian, demikianlah ia harus menyampaikannya. Tidak lebih dan tidak kurang.

Apakah ini berarti Yohanes Pembaptis tidak perlu mempersiapkan diri untuk tugas mulia ini? Pemahamannya tentang Kitab Suci cukup mendalam. Dalam diskusinya dengan pemimpin-pemimpin agama Yahudi, ia mengutip kitab Yesaya 1:23. Ia bahkan menafsirkan kitab tersebut secara kristologis. Penafsiran seperti ini tentu saja agak asing bagi telinga para pemimpin agama Yahudi ketika itu. Akan tetapi, hal ini setidaknya memperlihatkan pemahamannya yang mendalam akan Kitab Suci. Ada lagi bukti lain mengenai dalamnya pemahamannya akan kitab suci. Ia memproklamirkan Yesus sebagai Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia. Memang tidak mudah untuk mendeteksi latar belakang frasa ini sehingga para pakar kitab ini berusaha keras menjelaskannya, tetapi hasilnya tetap tidak memuaskan.

Yohanes Pembaptis tentu saja paham akan fungsi domba dalam sistem ritual agama Yahudi. Terhadap fungsi domba ini, ia menambahkan tiga dimensi baru, yakni domba tersebut dari Allah, domba tersebut untuk menghapus dosa, dan domba tersebut tidak hanya terbatas di bait suci orang Yahudi, melainkan untuk dunia. Hal ini dapat dilakukannya karena ia memiliki pemahaman yang mendalam terhadap Kitab Suci. Ia tidak ragu-ragu mempersonalisasi sistem korban dalam diri Yesus. Agaknya, inilah alasan mengapa murid-muridnya kemudian meninggalkannya karena mereka ingin memahami lebih dalam makna frasa ini (Yoh. 1:37). Tidak diragukan lagi bahwa peran penting firman Allah dan penafsiran kristologis terhadapnya terjalin erat di dalam pemikiran dan pelayanan Yohanes Pembaptis.

Dalam Yohanes 3:27-36, ia kembali menegaskan bahwa dirinya adalah saksi yang diutus Allah. Allah adalah sumber otoritas pelayanan kesaksian yang ia lakukan. Namun, di bagian ini, ia memperluasnya dengan mengatakan bahwa segala sesuatu bersumber dari Allah, sedangkan manusia sebaliknya, tidak memiliki apa pun di dalam dunia ini, kecuali yang telah diberikan kepadanya. Manusia ketika datang ke dalam dunia ini tidak membawa dan memiliki apa pun, dan kalaupun ia memiliki sesuatu, sesuatu itu sebenarnya bukan bersumber dari dirinya sendiri melainkan dari Allah. Segala sesuatu yang ada pada Yohanes Pembaptis adalah pemberian Allah. Dengan demikian, ia mengakui Allah sebagai Pemilik dan Pemberi segala-galanya. Tidak perlu baginya untuk mengklaim diri sebagai Mesias atau nabi atau jabatan lainnya karena Allah tidak menugaskannya untuk itu. Ia tidak perlu merasa bahwa "kepemilikan" murid-murid sebagai hal yang harus dipertahankan. Allah memberinya tugas hanya sebagai saksi dan segala sesuatu yang ia terima berkaitan dengan tugasnya sebagai saksi. Semuanya ini bersumber dari Allah.

Fungsi Yohanes Pembaptis sebagai saksi ditegaskan oleh Yesus dalam Yohanes 5:33. Jadi, tidak hanya narator ataupun Yohanes Pembaptis yang menegaskan fungsi saksi. Yesus menyatakannya sebagai saksi, dan di dalam perbincangan antara Yesus dan pemimpin-pemimpin agama, Ia mengingatkan mereka akan kesaksian Yohanes Pembaptis yang telah mereka dengar. Yesus tidak hanya mengakui peran Yohanes Pembaptis sebagai saksi, tetapi bahkan menegaskannya. Orang banyak juga memersepsikan Yohanes Pembaptis sebagai saksi (Yoh. 10:41). Mereka melihat hidup dan perkataan Yohanes Pembaptis menunjuk pada Yesus, dan akibatnya orang banyak percaya kepada Yesus (Yoh. 10:42).

Yohanes Pembaptis adalah saksi yang diutus Allah. Ia menyadari dirinya sendiri sebagai saksi. Narator, Yesus, dan orang banyak memersepsikannya sebagai saksi. Otoritasnya sebagai saksi bersumber dari Allah sehingga tidaklah salah jika dikatakan bahwa Yohanes Pembaptis merupakan akronim dari Yohanes Penyaksi.

Apakah isi kesaksian Yohanes Pembaptis?

Dalam prolog ditegaskan bahwa Yohanes Pembaptis harus bersaksi tentang terang (Yoh. 1:7). Di dalam Injil, Yohanes terang tidak menunjuk kepada suatu iluminasi di dalam, atau penyataan kepada, diri manusia. Simbol terang di dalam Injil Yohanes secara konsisten menunjuk kepada Yesus (Yoh. 12:46). Istilah terang dalam Yoh. 1:7-8 digunakan sebanyak 3 kali seolah ingin menegaskan bahwa tidak ada berita lain yang disaksikan Yohanes Pembaptis kecuali mengenai Yesus terang dunia. Keharusan memberitakan Kristus kepada semua orang ditegaskan dengan istilah "Kekragen" (kekragen, Yoh. 1:15). Kata kerja "kekragen" yang dapat diterjemahkan "berseru", atau "berteriak", hal ini tidak hanya menegaskan kembali otoritas dan wewenangnya sebagai saksi yang diutus Allah, melainkan juga urgensi beritanya. Berita itu begitu mendesak dan penting untuk didengar sehingga ia harus berteriak. Sentralitas berita pada Kristus sejak awal narasi telah ditegaskan. Hidup, perkataan, dan perbuatannya semuanya berpusat pada Kristus dan menunjuk pada Kristus.

Ia mengerti bahwa berita Yesus adalah Mesias tidak boleh terbatas pada satu wilayah etnis saja karena Yesus datang untuk menghapus dosa dunia.

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Ketika delegasi dari Yerusalem mempertanyakan otoritasnya, ia dengan tegas mengatakan bahwa dirinya bukanlah Mesias, ia bukan Elia, dan ia juga bukan nabi yang akan datang. Sebaliknya, ia menegaskan fungsinya sebagai saksi dengan mengidentifikasikan diri sebagai suara yang berseru-seru. Dari Yoh. 1:19-36 tercetus empat hal dari kesaksiannya. Pertama, Yesus membaptis dengan Roh Kudus. Baptisan dengan Roh Kudus jelas menunjukkan kedatangan Sang Mesias seperti yang dijanjikan dalam PL (Yes. 11:2; 61:1). Kedua, Yesus dan Roh Kudus tidak dapat terpisah. Ketika Yohanes Pembaptis melihat Roh Kudus tinggal pada Yesus, ia tidak ragu-ragu lagi bahwa Yesus adalah Mesias yang dinantikan itu, dan akibatnya, ia pun tidak ragu memproklamirkan bahwa Yesus adalah Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia. Ketiga, Yohanes Pembaptis mengarakterisasikan Yesus sebagai Anak Domba dengan tugas universal, yakni menghapus dosa dunia. Akhirnya, sebagai klimaks, ia menyaksikan bahwa Yesus adalah Anak Allah. Kesaksiannya ini sejalan dengan tujuan penulisan Injil Yohanes yang dirumuskan dalam Yoh. 20:31.

Sentralitas dan keutamaan Yesus dalam pemikiran dan pelayanan Yohanes Pembaptis kembali kita temukan dalam Yoh. 3:27-36, tetapi dalam bentuk yang lebih diperluas dan mendalam. Ia memperluas uraiannya tentang objek iman orang percaya, di mana Yesus adalah objek iman. Ia melukiskan kekekalan Yesus. Kasih sebagai karakteristik relasi antara Yesus dan Allah Bapa juga diungkapkan dengan jelas. Yesus datang dari sorga, diutus oleh Allah ke dalam dunia untuk menyampaikan firman-Nya dengan kuasa Roh Kudus (Yoh. 3:34). Tujuannya ialah agar manusia percaya kepada-Nya (Yoh. 3:33,36) meskipun tidak sedikit juga yang menolak untuk percaya kepada-Nya (Yoh. 3:32,36). Kesaksian Yohanes Pembaptis sedemikian kuatnya, tetapi tidak terlihat respons murid-muridnya apakah mereka percaya atau tetap bertahan mengikutinya.

Isi kesaksiannya adalah kebenaran (Yoh. 5:33), tetapi ini bukan hanya berarti bahwa segala sesuatu yang ia katakan adalah benar adanya. Di sini, nuansa personalisasi kebenaran agak terasa. Ia bersaksi bahwa Yesus adalah kebenaran dan orang banyak membenarkan bahwa yang dikatakannya tentang Yesus adalah benar (Yoh. 10:41).

Kepada siapa Yohanes Pembaptis bersaksi?

Di dalam prolog tidak diungkapkan secara jelas kepada siapa saja Yohanes Pembaptis harus bersaksi. Hanya secara samar-samar narator mengungkapkannya dengan memakai istilah pantes (pantes, Yohanes 1:7). Istilah ini dipakai dalam bentuk jamak maskulin dan dapat diterjemahkan sebagai "semua orang". Namun, ini tidak berarti ia bersaksi secara eksklusif kepada pria atau suatu golongan masyarakat saja. Terminologi pantes bersifat inklusif. Hal ini secara gradual akan semakin jelas dalam Injil Yohanes. Untuk lebih jelasnya akan kita uraikan satu per satu. Pertama, Yohanes Pembaptis bersaksi tentang Mesias kepada pemimpin-pemimpin agama Yahudi (Yoh. 1:19-28). Para pakar Injil Yohanes umumnya berpendapat bahwa yang mengutus delegasi kepada Yohanes Pembaptis adalah pemimpin-pemimpin agama Yahudi. Beberapa imam, orang-orang Lewi dan Farisi diutus oleh mahkamah agama Yahudi di Yerusalem untuk menginterogasi Yohanes Pembaptis. Ketika berhadapan dengan pemimpin agama, ia mengutip PL yang secara tidak langsung menegaskan fungsinya sebagai saksi dan juga tema sentral PL tentang datangnya Mesias.

Social Media

Kedua, Yohanes Pembaptis bersaksi kepada masyarakat Yahudi. Mengapa ia membaptis orang banyak? Tujuan baptisan bukanlah untuk membentuk suatu kelompok pengikut yang militan dan setia padanya. Ia dengan tegas mengatakan bahwa tujuan baptisan yang dilakukannya terhadap orang banyak adalah untuk mempersiapkan jalan bagi Mesias, dan dengan demikian menyaksikan bahwa Kristus telah datang di dunia.

Ketiga, Yohanes Pembaptis bersaksi kepada murid-muridnya. Ia tahu bahwa tujuannya bukanlah untuk membentuk suatu komunitas yang militan dan setia kepadanya selamanya. Meski memiliki murid-murid, tetapi tanpa ragu ia mengarahkan mereka untuk mengikut Yesus. Berulang kali ia memberi kesaksian tentang Yesus kepada mereka dan hasilnya, beberapa di antara murid-muridnya kemudian mengikut Yesus.

Kepada murid-murid yang masih bertahan mengikutnya, ia kembali mendorong agar mereka mengikut Yesus (Yoh. 3:27-36). Ia menggambarkan orang percaya sebagai orang yang menerima kesaksian Yesus (Yoh. 3:33) dan percaya kepada Anak (Yoh. 3:36). Dengan menerima kesaksian Yesus, orang tersebut meneguhkan bahwa Allah adalah benar dan ia memperoleh hidup kekal. Sebaliknya, orang yang tidak percaya adalah orang yang tidak taat kepada Anak (Yoh. 3:36). Ketidaktaatan meneguhkan murka Allah tetap dalam dirinya. Dengan tajam, Yohanes Pembaptis membedakan antara orang percaya dan orang yang menolak Yesus. Kontras ini dibuat agar murid-muridnya mengerti arti dan konsekuensi mengikut Yesus sehingga mereka terdorong untuk percaya kepada Yesus.

Keempat, Yohanes Pembaptis bersaksi kepada orang Samaria, tetapi tidak begitu jelas apakah "Ainon dekat Salim" (Yoh. 3:23) berada di wilayah Samaria. Jika ya, berarti ia bersaksi juga kepada orang Samaria. Mengingat perseteruan antara orang Yahudi dan Samaria cukup mendalam saat itu, maka kesaksiannya kepada orang Samaria tentu hanya bisa dijelaskan sebagai perluasan dan penjelasan istilah "semua orang" dalam prolog (Yoh. 1:7). Kesaksiannya menembus batas-batas rasial dan wilayah. Ia mengerti bahwa berita Yesus adalah Mesias tidak boleh terbatas pada satu wilayah etnis saja karena Yesus datang untuk menghapus dosa dunia. Pemahaman inilah yang mungkin membawanya hingga ke Samaria. Kesaksiannya kepada orang Samaria bisa dikatakan sebagai wujud nyata kesadarannya akan universalitas Injil.

Audio: Yohanes Pembaptis Sebagai Saksi

Sumber: 

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Judul buku: Veritas, Jurnal Teologi dan Pelayanan Volume 3
Judul bab: Kepemimpinan Yohanes Pembaptis
Judul artikel : Yohanes Pembaptis Sebagai Saksi
Penulis : Armand Barus
Penerbit : SAAT, Malang 2002
Halaman : 75 -- 78

Kebenaran dan Hidup

Manusia adalah ciptaan yang unik, berbeda dengan biantang karena diciptakan dalam gambar dan rupa Allah. Memiliki kualitas yang tidak dimiliki oleh ciptaan yang lain. Manusia punya kapasitas untuk mengetahui akan kebenaran. Ada perasaan ingin tahu oleh manusia, apa itu kebenaran. Manusia memiliki pengetahuan yang begitu hebat dalam ilmu biologi, kimia.

Khotbah Harus Alkitabiah

Prinsip yang harus diingat oleh seorang pengkhotbah, yaitu: "Sebab bukan diri kami yang kami beritakan, tetapi Yesus Kristus sebagai Tuhan, dan diri kami sebagai hambamu karena kehendak Yesus " (2 Korintus 4:5). Pusat pemeberitaan khotbah adalah Yesus Kristus sebagai Tuhan. Apapun jenis-jenis khotbah, jika pusat pemberitaannya bukan Yesus, itu bukan ajaran yang sehat. Karena khotbah yang disampaikan entah satu ayat atau satu perikop, bukanlah penentu apakah khotbah itu alkitabiah atau tidak alkitabiah.

Publikasi Bio-Kristi

Sumber-sumber apa saja yang sudah Anda miliki untuk mengakses informasi mengenai tokoh-tokoh Alkitab maupun tokoh-tokoh Kristen di dunia? Apakah salah satunya adalah Publikasi Bio-Kristi? selengkapnya...»

Persahabatan-Persahabatan Calvin

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Sehubungan dengan hari Reformasi Gereja, yang akan diperingati tanggal 31 Oktober nanti, maka secara khusus edisi e-Reformed akan menyuguhkan sebuah artikel yang sedikit mengulik kehidupan sosial seorang tokoh besar reformasi, yaitu John Calvin. Di balik pribadinya yang begitu serius dan mungkin terkesan sangat kaku dalam prinsip-prinsip pemikiran Kristen, ternyata John Calvin memiliki sisi lain yang unik yang banyak tidak diketahui orang. Karena kesan sifat kakunya itu, banyak orang berpikir bahwa John Calvin tidak memiliki banyak rekan dan sahabat. Ternyata, pandangan itu salah besar. Jika kita mengenal John Calvin lebih dekat, sebagaimana dialami oleh rekan-rekan dekat John Calvin, kita akan mendapati dia ternyata seorang pribadi yang hangat, setia, dan sangat perhatian. Melalui artikel yang kami sajikan di bawah ini, kita akan lebih mengenal John Calvin, tidak hanya dalam intelektualitas teologinya, tetapi juga dalam hal berelasi dengan orang lain. Kiranya kita juga bisa belajar dari pribadi John Calvin yang tidak hanya serius dalam mengerjakan panggilannya, tetapi juga menjadi pribadi yang hangat dan setia pada sahabat-sahabatnya. Selamat membaca. Soli Deo Gloria.

Pemimpin Redaksi e-Reformed,
Ayub
< ayub(at)in-christ.net >
< http://reformed.sabda.org >

Edisi: 
Edisi 169/Oktober 2015
Isi: 
Template untuk Validasi

Persahabatan-Persahabatan Calvin

Seorang pembela Calvin mengatakan bahwa tidaklah mungkin bagi seseorang menjadi sangat dikasihi pada saat kematiannya apabila pada waktu hidupnya ia adalah seorang yang jahat. Bukan saja Calvin dipuji pada saat kematiannya, tetapi banyak temannya memiliki gagasan-gagasan yang sama dan terus melanjutkan usahanya.

John Calvin

Sebuah studi mengenai surat-surat Calvin menyingkapkan suatu pola persahabatan dan perekanan. Tentu saja Calvin tidak memandang dirinya sebagai satu-satunya individu yang terlibat dalam masalah-masalah reformasi ini. Satu studi semacam itu adalah The Humanness of John Calvin oleh Richard Stauffer. Untuk "sisi lain dari kisah itu", kita perlu melihat karya pendek ini. Dalam kata pembukaan kepada monograf itu, sarjana Calvin yang terkemuka, J.T. McNeill, mengkronologikan bagaimana ia sampai mempertanyakan "desas-desus" tentang Calvin. Ketika McNeill membaca surat-surat Calvin, berlawanan dengan banyak legenda urban yang telah ia dengar, ia menemukan bahwa Calvin itu jelas-jelas peramah, berkawan dengan orang kaya maupun orang miskin, dan menunjukkan kesetiaan yang kokoh kepada teman-temannya. McNeill menemukan bahwa Calvin sesungguhnya lemah lembut, hangat, murah hati, dan ramah. Richard Stauffer mendokumentasikan "fitnah" yang telah Calvin terima dari musuh-musuhnya dan juga bagaimana ia telah "disalahpahami dan disalahtafsirkan oleh buyut-buyutnya".

Sejarawan lain mencatat bahwa tidak ada Reformator lain yang melebihi Calvin dalam menunjukkan kesetiaan pribadi. Emile Doumergue berkata demikian, "Hanya segelintir orang saja yang dapat memiliki banyak sahabat seperti Calvin dan yang tahu bagaimana mempertahankan bukan hanya rasa kagum, tetapi juga afeksi pribadi dari teman-temannya." Abel Lefranc mengekspresikan perasaan yang sama demikian: "Persahabatan yang ia inspirasikan dengan guru-gurunya maupun rekan-rekannya, merupakan kesaksian-kesaksian yang cukup kuat bagi fakta bahwa ia tahu bagaimana menggabungkan komitmennya yang sungguh-sungguh dan mendalam terhadap pekerjaan dengan keramahtamahan dan keluwesan yang mampu mengambil hati setiap orang terhadapnya."

Entah ia berada di lingkungan universitas atau mengambil pengalaman dari guru-gurunya untuk membantu dia, Calvin, tidak seperti dugaan tentang dirinya, lebih merupakan orang yang suka bergaul. Ia terbiasa menulis surat, berkoresponden dengan ahli-ahli hukum, gubernur-gubernur, orang kebanyakan, dan banyak hamba Tuhan. Surat-surat ini memberikan pandangan-pandangan sekilas ke dalam diri Calvin yang sesungguhnya. Dalam surat-surat ini, ia dapat menunjukkan afeksi yang ia miliki terhadap gurunya, Melchior Wolmar, dan pada waktu yang sama dapat meratapi meninggalnya seorang teman sepelayanan yang begitu mengejutkan sehingga membuatnya berdukacita.

Karakter dan denyut Calvinisme memengaruhi dunia melalui suatu persaudaraan dari teman-temannya yang setia dan berkomitmen. Teolog Amerika, Douglas Kelly, menegaskan bahwa tradisi Calvinistik mempunyai pengaruh jauh melampaui Swiss dan Prancis. Barangkali warisan yang paling abadi dari tradisi ini adalah penekanannya pada kedaulatan rakyat dan hak untuk melawan tirani, suatu ajaran yang "akan diteruskan (baik secara tidak langsung dan digabung dengan ide-ide dari sumber lainnya) ke dalam teori-teori politik di Inggris pada akhir abad ketujuh belas mengenai hak-hak asasi manusia ... [dan] debat-debat serupa di bidang hukum dan pemerintahan di Amerika pada abad kedelapan belas". Satu orang saja tidak dapat menabur begitu banyak benih; kemenangan-kemenangan ini didapat oleh suatu tim rekan-rekan.

Bukan saja Calvin dipuji pada saat kematiannya, tetapi banyak temannya memiliki gagasan-gagasan yang sama dan terus melanjutkan usahanya.
Facebook Telegram Twitter WhatsApp

Calvin adalah teoretikus Protestan yang utama, tetapi tentu saja bukan satu-satunya. Reformator-reformator lain yang ada dalam lingkungan persahabatannya mengartikulasikan secara tajam karya-karya politik yang sesungguhnya merupakan teologi-teologi tentang negara, dengan karya-karya seminar berikut yang muncul berturut-turut dengan cepatnya dalam waktu kurang dari tiga puluh tahun: buku Martin Bucer De Regno Christi (1551), buku John Ponet A Short Treatise of Political Power (1556), buku How Superior Powers Ought to Be Obeyed By Their Subjects: and Where in They May Lawfully By God's Word Be Disobeyed And Resisted (1558), buku Peter Viret The World and the Empire (1561), buku Francois Hotman Francogaltia (1573), buku Theodore Beza De Jure Magisterium (1574), buku ,George Buchanan De Jure Regni Apud Scotos (1579), dan buku Languet Vindiciae Contra Tyrannos (1579). Masing-masing karya ini melegitimasi gagasan tentang penolakan warga negara terhadap perluasan pemerintahan yang melampaui batas-batas semestinya. Menariknya, bagian terbesar dari pemikiran politis ini berasal dari lingkaran teman-teman yang erat, yang kebanyakan mempunyai kontak dengan Calvin. Sulit untuk mengatakan bahwa kesamaan pikiran yang sedemikian kokoh ini hanyalah kebetulan.

Persahabatan Calvin dengan Theodore Beza merupakan sebuah teladan dalam persahabatan. Di tengah-tengah semua masalah intelektual yang memusingkan kepala pada zaman itu dan tantangan-tantangan yang menyertainya, apa yang paling berkesan bagi Beza adalah dukungan pribadi dan persahabatan Calvin. Jadi, Beza (dan yang lain) menulis tentang persahabatan yang Calvin berikan kepada orang-orang di sekitarnya. Calvin merupakan contoh gagasan modern tentang perekanan, dan ia cukup bijaksana untuk menarik teman-teman yang brilian jika memungkinkan. Pernah, ketika Beza sakit, Calvin mengakui ketakutannya sendiri dan kesedihannya yang dalam setelah mengetahui penyakit rekannya. Ia menangis dan berduka, tampaknya karena terkejut akan kehilangan yang mungkin sekali terjadi pada gereja dan padanya secara pribadi. Untungnya, Beza sembuh.

Ada banyak teman yang lain di samping Beza. Jenis pemikiran yang sama yang mengalir melalui nadi-nadi literatur Bullinger, Bucer, Viret, dan Calvin -- segera ditambah oleh Knox, Beza, Hotman, dan Junius Brutus -- membentuk suatu tradisi intelektual dengan Jenewa sebagai episenternya dan Calvin sebagai bapaknya. Persahabatannya dengan para cendekiawan ini ternyata merupakan petunjuk yang menyatukan gerakan itu dalam masa pertumbuhannya yang sulit. J. H. Merle D'Aubigne mencatat saling menukar gagasan-gagasan ini dalam kata-kata berikut:

"Kekatolikan Reformasi merupakan ciri yang mulia dalam karakternya. Orang-orang Jerman masuk ke Swiss; orang Prancis ke Jerman; dalam waktu-waktu belakangan orang-orang dari Inggris dan Skotlandia pergi ke Eropa Daratan, dan doktor-doktor dari Eropa Daratan ke Inggris Raya. Reformator-reformator di negara-negara yang berbeda bermunculan hampir tanpa ada kaitannya satu sama lain, tetapi begitu muncul, mereka mengulurkan tangan persekutuan .... Merupakan suatu kesalahan, dalam pendapat kami, jika menulis sebagaimana yang masih terjadi sampai sekarang, tentang sejarah Reformasi untuk satu negeri karena Reformasi itu satu.

Teman-teman Calvin berfungsi untuk menstabilkan dan menstandarisasi suatu gerakan internasional.

Calvin, Farel, dan Peter Viret disebut "tripod" atau "tiga bapak", karena begitu terkenalnya persahabatan mereka. Dalam "Commentary on Titus", Calvin menulis bahwa ia "tidak percaya kalau pernah ada teman-teman seperti itu yang hidup bersama-sama dalam persahabatan yang sedemikian erat dalam gaya hidup mereka sehari-hari di dunia ini seperti yang kami miliki dalam pelayanan kami". Bahkan, ketika ada ketidaksetujuan yang kuat, Calvin merupakan suatu paradigma persahabatan. Ketika Reformator-reformator ini mengalami pergumulan-pergumulan atau sukacita keluarga, Calvin menceritakannya dalam surat-suratnya. Surat-surat kepada berbagai Reformator ini penuh dengan simpati dan cepat menggambarkan kesetiaan yang sehat. Terlebih lagi, korespondensinya dengan pengungsi-pengungsi menunjukkan belas kasihnya yang besar. Bahkan, ia membangun jembatan-jembatan dengan murid-murid Luther setelah pemimpin Jerman itu mencelanya. Calvin menerjemahkan sebuah karya teologis Melanchthon, murid Luther yang terutama.

Persahabatan Calvin

Apa yang dimulai di Jenewa dengan kader rekan-rekan multinasional, yang semuanya berusaha meluaskan "republik Kristus" bertumbuh menjadi suatu gerakan yang bercirikan teologi, gagasan-gagasan, dan pandangan unik tentang sejarah yang menyebar jauh melampaui kota Jenewa. Dengan keyakinan mereka kepada providensi Allah dan pemilihan ilahi, lingkaran teman-teman ini mendorong pemimpin-pemimpin sipil untuk mengadopsi pandangan-pandangan religius dan praktik-praktik politik mereka "yang menyatakan bahwa tidak ada perbatasan-perbatasan, batas-batas, kekang-kekang yang boleh membatasi semangat pangeran-pangeran yang saleh dalam hal kemuliaan Allah dan pemerintahan Kristus". Bagi sejumlah pihak, teologi mereka tentang perlawanan secara politik tampak subversif.

Kadang-kadang, sebagaimana dalam era mana pun, juga ada gangguan-gangguan persahabatan. Calvin harus membantu anggota-anggota gereja dalam hal hubungan-hubungan yang retak, dan ia harus menangani friksi di antara reformator-reformator Protestan. Tidak seorang pemimpin pun seharusnya mengharapkan bahwa segala sesuatu akan selalu berjalan lancar dalam bidang persahabatan. Meskipun demikian, Calvin belajar mendorong orang-orang di sekitarnya dan ia mendelegasikan beberapa tanggung jawab kepada teman-teman sejawatnya.

Richard Stauffer menyimpulkan bahwa Calvin jauh dari "pahlawan yang terisolasi atau jenius yang kesepian yang sering digambarkan tentang dirinya. Sepanjang kariernya, ia memiliki hubungan-hubungan dengan teman-teman yang menunjukkan afeksinya yang tidak ada habis-habisnya dan pengabdian yang tidak kenal lelah. Jika ia menunjukkan pesona seperti itu, hal itu pasti karena ia sendiri merupakan seorang teman yang tidak ada bandingannya. Untuk pengabdian yang orang tunjukkan kepadanya, ia membalas dengan kesetiaan yang tidak tergoyahkan." Setelah kematian Calvin, menjadi tugas rekan-rekannya yang ditunjukkan oleh patung Beza dalam pahatan terkenal pada dinding Reformasi di Jenewa -- untuk menyebarkan firman.

Persahabatan-Persahabatan Calvin

Diambil dari:
Judul buku : Legacy of John Calvin: His Influence on the Modern World
Judul buku terjemahan : Warisan John Calvin: Pengaruhnya di Dunia Modern
Judul bab : John Calvin: Suatu Kehidupan yang Patut Diketahui
Judul asli artikel : Persahabatan-persahabatan Calvin
Penulis artikel : David W. Hall
Penerjemah : Lanna Wahyuni
Penerbit : Momentum, Surabaya 2010
Halaman : 69 -- 76

Komentar


Syndicate content