Tata Gereja Perancis (1559)

Dalam tahun 1550-an, Reformasi Calvinis di Perancis mulai mantap. Para penganut Calvinisme membentuk jemaat-jemaat dan mulai mengembangkan bentuk tata gereja dan tata kebaktian sendiri. Kegiatan ini berlangsung di bawah pimpinan Calvin, yang dari kota Jenewa, dekat dengan perbatasan Perancis, memelihara hubungan erat dengan para penganut Reformasi di negeri asalnya. Pada tahun 1559 para utusan jemaat-jemaat Calvinis berkumpul di Paris. Sinode mereka yang pertama itu menerima pengakuan iman dan tata gereja tersendiri. Karena permusuhan para pemimpin Gereja Katolik bersama pemerintah Perancis, yang berupaya membasmi gerakan Protestan, semuanya harus berlangsung dengan serba rahasia. Akibatnya, tidak banyak diketahui mengenai asal usul pengakuan dan tata gereja tersebut. Sebab keduanya mencerminkan teologi Calvin, orang menduga Calvin-lah yang merancangkannya. Kemungkinan juga seorang pendeta muda bermana Antoine de la Roche Chandieu yang menjadi pengarang tata gereja yang diterima di Sinode Paris tersebut. Tata gereja ini berbeda secara asasi dengan tata gereja jenewa dari yang berlaku di Jenewa. Di Perancis, aparat negara memusuhi Gereja Protestan dan berupaya menumpas gerakan Protestan. Maka negara tidak dapat memainkan peranan apa pun dalam kehidupan gereja, dan tata gereja tidak mengenal kerja sama antara gereja serta negara seperti yang terdapat dalam tata geraja Jenewa. Karena itu, dibandingkan dengan tata gereja Jenewa, tata gereja Perancis ini tampak lebih 'modern'.

1. Pertama, tidak satu pun Gereja boleh menuntut keutamaan atau kuasa atas Gereja lain.2

2. Dalam setiap musyawarah atau Sinode orang akan memilih seorang ketua, dengan suara bulat, agar ia mengetuai musyawarah atau Sinode itu dan melakukan apa yang termasuk tugasnya. Tugas itu akan berakhir bersama musyawarah atau Sinode masing-masing.

3. Para Pelayan membawa serta ke Sinode itu masing-masing satu atau beberapa orang Penatua atau Diaken dari jemaat mereka.

4. Pada Sinode-sinode Am, yang berkumpul menurut kebutuhan Gereja-gereja, akan ada pemeriksaan semua hadirin, dalam suasana persahabatan dan persaudaraan. Sesudah itu, orang akan merayakan Perjamuan Tuhan kita yesus Kristus.

5. Para Pelayan, dan paling tidak satu Penatua atau Diaken dari tiap-tiap jemaat atau provinsi, akan berkumpul dua kali setahun.

6. Para Pelayan akan dipilih dalam rapat Konsistori oleh para Penatua dan Diaken, dan akan diperkenalkan kepada warga jemaat yang akan mereka layani setelah ditahbiskan. Dan jika ada yang menentang maka Konsistori berwenang mengambil keputusan tentangnya. Dalam hal salah satu pihak merasa tidak senang, seluruh perkara itu akan dilaporkan kepada Konsili se-provinsi, bukan dengan maksud memaksa warga jemaat menerima Pelayan yang telah dipilih, melainkan untuk membela dia.

7. Pelayan-pelayan tidak boleh dipindahkan dari gereja lain tanpa surat-surat yang sah; kalau mereka tidak membawa surat-surat ini, atau tidak diperiksa baik- baik, mereka tidak akan diterima.

8. Mereka yang terpilih harus menandatangani pengakuan iman yang telah ditetapkan dalam Gereja-gereja tempat mereka dipilih, dan juga dalam Gereja- gereja lain bila mereka dipindahkan ke sana. Pemilihannya akan diteguhkan dengan doa, dan dengan penumpangan tangan para Pelayan, tetapi dengan menghindarkan takhayul apa saja.

9. para pelayan salah gereja tidak boleh memimpin ibadah dalam Gereja lain tanpa persetujuan Pelayan Gereja itu, atau konsistori Pelayan itu tidak hadir.

10. Orang yang telah dipilih untuk menjabat pelayan di tempat tertentu akan didorong dan dinasehati agar ia menerimanya, tetapi ia tidak akan dipaksa. Para pelayan yang tidak dapat melaksanakan tugasnya di tempat yang ditentukan bagi mereka, lalu, berdasarkan keputusan Gereja, disuruh pergi ke tempat lain, tetapi tidak bersedia pergi ke sana, akan mengungkapkan alasan penolakan itu kepada Konsistori, dan Konsistori itu akan menilai apakah alasan itu dapat diterima. kalau tidak dapat diterima dan mereka bersikeras tidak mau menerima penugasan tersebut, perkaranya akan diputuskan oleh Sinode se-provinsi.

11. Orang yang masuk dengan tidak sah tidak boleh diterima oleh para Pelayan yang berdekatan atau Pelayan-pelayan lain, sekalipun ia diterima oleh warga jemaatnya, kalau salah satu Gereja lain berkeberatan terhadap peneguhannya. Sebelum diambil tindakan lebih lanjut, Sinode se-provinsi harus dikumpulkan secepat mungkin agar mengambil keputusan dalam hal itu.

12. Mereka yang pernah dipilih menjadi Pelayan Firman harus memahami bahwa mereka dipilih untuk menjadi pelayan seumur hidup.

13. Adapun mereka yang dikirim untuk sementara waktu bila Gerja-gereja tidak dapat memenuhi keperluan kawanan domba itu dengan cara lain, tidak boleh meninggalkan Gerejanya, sebab Yesus Kristus telah mati bagi Gereja itu.

14. Dalam hal penganiayaan yang terlalu besar, orang dapat untuk sementara waktu berpindah dari Gereja yang satu ke Gereja yang lain, dengan persetujuan kedua Gereja yang bersangkutan. Orang dapat berbuat begitu juga karena alasan-alasan lain yang wajar, yang harus dilaporkan dengan Sinode se-provinsi dan dinilai oleh Sinode itu.

15. Mereka yaang membawakan ajaran jahat, dan tidak berhenti berbuat begitu setelah diperingatkan, juga yang perilakunya menghebohkan sehingga patut dihukum oleh pengadilan, atau dihukum dengan pengucilan dari Gereja, atau yang tidak patuh pada Konsistori, atau yang melakukan tugasnya dengan kurang baik karena sebab yang lain, akan diberhentikan.

16. Adapun mereka yang karena umur lanjut, penyakit, atau kesusahan lain yang serupa sudah tidak mampu lagi menyelenggarakan tugasnya, akan tetap terhormat, dan Gereja mereka akan diminta agar tetap menanggung mereka, sedangkan tugasnya akan diselenggarakan oleh seorang lain.

17. Perbuatan buruk yang menghebohkan dan patut dihukum oleh pengadilan, yang menimbulkan kehebohan besar dalam Gereja, merupakan alasan untuk memberhentikan pelayan, apa pun waktu perbuatan itu dilakukan, apakah ketika masih jaman kejahilan atau sesudahnya. Adapun perbuatan buruk lain, yang tidak menimbulkan kehebohan besar, akan diserahkan kepada kebijaksanaan dan penilaian Sinode se- provinsi.

18. Pemberhentian akan dilakukan segera oleh Konsistori dalam hal perbuatan buruk yang keterlaluan, setelah memanggil dua atau tiga pendeta. Bila yang bersangkutan mengajukan keluhan mengenai kesaksian, atau karena kesaksian itu dianggap fitnah, perkara akan diserahkan kepada Sinode se-provinsi.

19. Alasan-alasan pemberhentian tidak akan dinyatakan kepada warga jemaat kecuali kalau benar-benar perlu; hal ini akan dinilai oleh Konsistori.

20. Para Penatua dan Diaken merupakan Dewan Perwakilan Gereja, yang harus diketuai para Pelayan Firman.

21.Jabatan Penatua ialah: mengumpulkan warga jemaat, memberitahukan peristiwa- peristiwa yang menghebohkan kepada Konsistori, dan hal-hal lain yang serupa, sesuai dengan pedoman tertulis yang akan ada di tiap-tiap Gereja menurut kebutuhan tempat dan zaman. Dan jabatan Penatua sebagaimana kita kenal sekarang tidak dipegeng untuk selamanya.

22. Para Diaken dan Penatua akan bertugas mengunjungi orang-orang miskin, para tawanan, dan orang sakit, serta pergi memberi pengajaran katekisasi di rumah orang.

23. Jabatan para Diaken bukanlah memberitakan Firman atau melayankan sakramen- sakramen, meski dalam hal-hal itu mereka boleh memberi bantuan. Pun tugas mereka tidak berlaku untuk selamanya. Sekalipun demikian, mereka dan para Penatua tidak dapat menanggalkannya tanpa izin Gereja-gereja.

24. Bila Pelayan tidak hadir, atau sedang sakit, atau mempunyai urusan mendesak yang lain, Diaken boleh mengucapkan doa-doa dan membacakan nas dari Alkitab, tanpa pemberitaan Firman dalam bentuk apapun.

25. Para Diaken dan Penatua akan diberhentikan dari kedudukannya karena alasan- alasan yang sama seperti para Pelayan Firman. Dan bila mereka dijatuhi hukuman oleh Konsistori dan naik banding, mereka kena skorsing hingga perkaranya diputuskan oleh Sinode se-provinsi.

26. Para Pelayan dan warga Gereja lainnya tidak boleh menyuruh mencetak buku- buku karangan mereka atau orang lain perihal agama, dan tidak boleh menerbitkannya dengan cara lain, tanpa memberitahukan isinya kepada dua atau tiga Pelayan Firman yang tidak dicurigai.

27. Orang bidat, orang yang menista Allah, yang membangkang terhadap Konsistori, yang membelot dari Gereja, yang tertular, bahkan sama sekali dikuasai, oleh kejahatan yang patut diganjar dengan hukuman badan, dan mereka yang menyebabkan seluruh Gereja heboh, akan dikucilkan seluruhnya, dan dilarang ikut serta bukan hanya dalam perayaan sakramen, melainkan juga dalam semua perkumpulan. Adapun perbuatan buruk lainnya diserahkan kepada kebijaksanaan Gereja siapa yang harus diterima dalam ibadah pemberitaan Firman setelah dilarang ikut serta dalam perayaan sakramen-sakramen.

28. Mereka yang dikucilkan karena menganut ajaran bidat, menista Allah, menyebabkan keretakan dalam Gereja, membelot dari Gereja, membangkang terhadap Gereja, dan karena perbuatan buruk lainnyayang menimbulkan kehebohan besar dalam seluruh Gereja, akan dinyatakan terkucil di hadapan warga jemaat, dengan memberitahukan alasan-alasan pengucilan mereka.

29. adapun mereka yang dikucilkan karena alasan-alasan lebih ringan diserahkan kepada kebijaksanaan Gereja untuk menentukan apakah mereka harus diperkenalkan kepada warga jemaat atau tidak, hingga Sinode Am yang berikut mengambil keputusan dalam perkara itu.

30. Mereka yang telah dikucilkan harus datang kepada Konsistori memohon agar didamaikan denganGereja, lalu Gereja itu akan menilai penyesalan mereka. Jika mereka telah dikucilkan di muka umum, mereka akan juga menyatakan penyesalannya di muka umum; jika mereka tidak dikucilkan di muka umum, mereka harus melakukannya di hadapan Konsistori saja.

31. Mereka yang telah murtad dalam penganiayaan tidak boleh diterima dalam Gereja kecuali dengan menyatakan penyesalannya di hadapan warga jemaat.

32. Pada masa penganiayaan sengit, atau peperangan, atau wabah pes, atau kelaparan, atau kesengsaraan besar yang lain, begitu juga bila orang hendak memilih para Pelayan Firman, dan bila orang mempertimbangkan diadakannya Sinode, orang dapat mengumumkan ibadah doa umum luar biasa, disertai puasa, tetapi tanpa paksaan terhadap hati nurani dan tanpa takhayUla

33. Perkawinan akan diberitahukan kepada Konsistori. Orang harus membawa ke sana surat akad nikah yang telah disahkan oleh seorang notaris umum, lalu perkawinan itu akan diumumkan paling tidak dua kali dalam jangka waktu dua minggu. Sesudah jangka waktu itu, acara nikah dapat diselenggarakan di tengah perkumpulan jemaat. Tertib ini tidak boleh diputuskan kecuali karena alasan yang sangat penting, yang perlu diketahui oleh Konsistori.

34. Baik perkawinan maupun pembabtisan harus didaftarkan dan disimpan dengan teliti di dalam Gereja, bersama nama ayah ibu serta bapak ibu permandian anak- anak yang telah dibaptis.

35. Berkenaan dengan hubungan darah atau pertalian kekerabatan, orang percaya tidak boleh menikah dengan seseorang kalau hal itu dapat menimbulkan kehebohan besar, dan Gereja perlu mengetahui hal itu.

36. Orang percaya yang memegangbukti bahwa suami atau istri mereka telah berbuat zina akan diberi nasihat agar bergabung kembali dengannya. Jika mereka tidak mau berbuat begitu, orang akan menjelaskan kepada mereka bahwa mwnurut Firman Allah mereka bebas. Akan tetapi, Gereja-gereja sama sekali tidak boleh membubarkan perkawinan, agar mereka tidak melanggar wewenang pengadilan.

37. Orang muda yang masih di bawah umur tidak boleh mengikat perkawinan tanpa persetujuan ayah dan ibu mereka. Akan tetapi, jika ayah dan ibu mereka sama sekali tidak bisa diajak menggunakan akal sehat, sampai-sampai tidak mau menyetujui sesuatu yang suci dan bermanfaat, Konsistori berwenang mengambil keputusan tentangnya.

38. Janji nikah yang diberikan secara sah tidak dapat ditiadakan, bahkan tidak juga atas kesepakatan kedua belah pihak yang telah memberikannya. Janji itu, kalau diberikan secara sah, harus diketahui oleh Konsistori.

39. Tidak satu pun Gereja boleh melakukan sesuatu yang berakibat jauh, yang menyangkut kepentingan Gereja-gereja lainnya dan dapat membawa serta kerugian baginya, tanpa meminta pendapat Sinode se-provinsi, kalau sinode itu dapat dikumpulkan. Dan bila urusannya mendesak, Gereja yang bersangkutan harus memberitahukan perkaranya kepada Gereja-gereja lain si provinsi itu, dan mendapat nasihat serta persetujuannya, paling tidak melalui surat-suRat

40. Pasal-pasal yang dimuat di sini berkenaan dengan tata tertib, tidak ditetapkan di tengah-tengah kita begitu rupa sehingga tidak boleh diubah jika kepentingan Gereja menuntutnya. Akan tetapi, orang perseorangan tidak berwenang mengubahnya tanpa nasihat dan persetujuan Sinode Am.

Demikianlah ditandatangani dalam naskah aslinya: Francois de Morel, yang dipilih sebagai ketua Sinode dengan suara bulat. Dibuat di Paris pada tanggal 28 Mei 1559, dalam tahun ketiga belas pemerintahan Raja Henri.1

Komentar