Tanggung Jawab Seorang Intelektual Kristen

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Selamat bertemu kembali di publikasi e-Reformed. Kami berharap Anda semua senantiasa bersyukur karena hidup dalam pemeliharaan Tuhan.

Kiriman artikel e-Reformed kali ini berjudul "Tanggung Jawab Seorang Intelektual Kristen". Tapi kalau saya kutip seluruh bab akan terlalu panjang, karena itu saya hanya ambil inti utamanya saja. Selebihnya, silakan beli bukunya .... :)

Harapan saya, artikel ini akan memicu kita untuk semakin melihat kepentingan intelektual yang Tuhan berikan kepada kita, sebagai manusia yang diciptakan-Nya. Alangkah indahnya jika alat yang kecil dalam otak kita ini kita gunakan untuk memikirkan tentang Kebenaran (yang mutlak) dan bagaimana Kebenaran ini kita bagikan kepada manusia lain yang juga sedang mencari kebenaran. Dengan demikian, kita akan ditantang untuk hidup sungguh-sungguh dalam integritas yang utuh, apa adanya, dan penuh tanggung jawab.

Selamat merenungkan.

Pimpinan Redaksi e-Reformed,
Yulia Oeniyati
< yulia(at)in-christ.net >

Penulis: 

James W. Sire

Edisi: 

108/XX/2009

Tanggal: 

26-2-2009

Isi: 
Tanggung Jawab Seorang Intelektual Kristen

Mempelajari Kebenaran


Ada banyak orang yang mencari pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri: itu adalah keingintahuan. Ada orang lainnya yang mencari pengetahuan dengan tujuan agar mereka bisa dikenal: itu adalah keangkuhan. Orang lainnya lagi mencari pengetahuan dengan tujuan menjualnya: itu tidak terhormat. Tetapi ada lagi yang mencari pengetahuan agar bisa meneguhkan orang lain: itulah kasih (caritas).

ST. BERNARD OF CLAIRVAUX

Paruh pertama dari hidup di dalam kebenaran adalah mempelajari kebenaran. Mempelajari kebenaran pada dasarnya adalah masalah menerima sesuatu yang diberikan kepada kita. Kebenaran tidak direbut dari realitas, dan seakan-akan kita berada dalam sebuah misi penyerangan. Ini adalah gambaran khas dari Francis Bacon dan Rene' Descartes, tetapi bukan dari Alkitab atau bahkan filsafat sebelum abad ketujuh belas. Sebaliknya, filsafat, pencarian akan kebenaran tentang setiap hal, dimulai dengan rasa ingin tahu. Kita dihadapkan dengan perikeberadaan dari keberadaan (beingness of being). Kita menerima pengetahuan sebagai sebuah karunia dari Allah melalui dunia alam atau dunia yang diciptakan ini, atau dari dunia buku-buku, khususnya Alkitab. Pieper menyatakan hal ini dengan baik:

Bukan hanya pemikir-pemikir Yunani secara umum -- Aristoteles yang tidak kalah dari Plato -- tetapi para pemikir besar di abad pertengahan juga, semuanya berpendapat bahwa terdapat satu unsur "penglihatan" yang secara murni reseptif, bukan hanya di dalam indra persepsi, tetapi juga di dalam hal mengetahui secara intelektual atau, seperti dikatakan Heraclitus, "Mendengarkan ke dalam keberadaan perihal-perihal."

Para pemikir abad pertengahan membedakan antara intelek sebagai ratio dan intelek sebagai intellectus. Ratio merupakan kemampuan pemikiran diskursif, dari pencarian dan pencarian ulang, mengabstraksi, memurnikan, dan menyimpulkan (bdk. Latin discurrere, "berlari mondar-mandir"), sedangkan intellectus mengacu kepada kemampuan dari "sekadar melihat" (simplex intuitus), yang kepadanya kebenaran menyatakan dirinya seperti sebuah pemandangan menyatakan dirinya kepada mata. Kemampuan untuk mengetahui yang rohani yang dimiliki akal budi manusia, sebagaimana dipahami para pemikir kuno, sebenarnya adalah dua hal yang menjadi satu: ratio dan intellectus: semua hal mengetahui meliputi keduanya. Alur penalaran yang diskursif disertai dan dipenetrasi oleh visi intellectus yang tak pernah berhenti, yang bukan bersifat aktif tetapi pasif, atau lebih tepat lagi bersifat reseptif -- suatu kemampuan intelek yang beroperasi secara reseptif.

Maka, pengejaran yang aktif akan kebenaran melibatkan resepsi yang pasif atas apa yang diberikan kepada kita dan kerja aktif akal budi kita, apa yang disebut John Henry Newman sebagai "kekuatan rasio yang elastis."

Memberitakan Kebenaran

Paruh kedua dari hidup dalam kebenaran melibatkan memberitakan kebenaran.

Tukang sayur di dalam esai Havel mengambil cara yang sederhana untuk hidup dalam kebenaran. Dia sekadar menolak untuk terus hidup di dalam kebohongan. Dia berhenti memajang slogan-slogan ideologis. Setiap orang Kristen -- intelektual atau bukan -- bisa melakukan hal yang serupa. Publikasi bukan hal yang perlu untuk hidup di dalam kebenaran. Ketika sebuah keluarga Kristen memutuskan untuk tidak memiliki TV di rumah atau membatasi penggunaan TV secara ketat, keluarga itu mulai hidup di dalam kebenaran. Tidak perlu waktu lama bagi anak-anak tetangganya untuk mengetahui bahwa tidak ada TV di dalam keluarga itu (atau bahwa tidak seorang pun yang diperkenankan untuk menggunakan TV itu untuk program-program yang mengandung unsur yang destruktif secara eksplisit atau implisit); mereka akan bertanya mengapa, dan pewartaan kebenaran akan dimulai. Siapa pun dapat menambahkan contoh-contoh lain.


Yesus akan merasa sepenuhnya nyaman di dalam konteks profesional di mana kebaikan sedang dilakukan hari ini. Tetapi Dia sudah pasti akan terus mengecam semua bentuk pengembangan diri yang angkuh dan perlakuan yang tidak benar terhadap sesama yang terus terjadi di dalam lingkungan- lingkungan profesional. Di dalam hal ini dan yang lainnya, profesi- profesi kita sangat merindukan kehadiran-Nya.

DALLAS WILLARD
"Jesus The Logician"

Tetapi cukup kiranya contoh di atas bagi orang Kristen. Apa maksudnya seorang intelektual Kristen memberitakan kebenaran? Setidaknya ini berarti seorang intelektual Kristen melakukan komunikasi sehari-harinya dengan integritas yang tinggi, tidak perlu menutup-nutupi apa pun yang relevan terhadap situasi yang ada terhadap siapa pun. Itu dinyatakan dengan sangat umum. Yang dimaksudkannya dalam praktik memiliki perbedaan yang sangat beragam dengan peran yang dimainkan orang tersebut dalam masyarakat. Apa yang biasanya dituliskan oleh orang tersebut? Surat bisnis, laporan hukum, laporan ilmiah, analisis finansial? Dengan siapa dia biasanya berbincang-bincang? Para klien, siswa, majikan, karyawan, tetangga, sesama penumpang di dalam sebuah pesawat? Itu adalah konteks untuk memberitakan kebenaran.

Mari kita ambil satu contoh dari sebuah bidang di mana saya telah menghabiskan sebagian besar kehidupan saya: riset dan mengajar di universitas. Para intelektual sekuler di univesitas-universitas jelas tidak pernah bosan untuk memberitahukan kita apa yang telah mereka yakini sebagai hal yang benar atau apa yang baru-baru ini sedang mereka konstruksikan untuk ditampilkan sebagai kebenaran. Para intelektual Kristen juga tidak kalah aktif. Tetapi banyak pihak yang berada di dalam maupun di luar dunia Kristen yang tidak mengetahui hal ini, atau setidaknya berpura-pura tidak tahu.

Sebagai contoh, konferensi-konferensi akademis diadakan, tetapi melampaui studi-studi filsafat, agama, dan alkitabiah. Keberadaan koran-koran Kristen dengan isi yang khas Kristen begitu sedikit. Saya curiga bahwa ada jauh lebih banyak akademisi Kristen daripada mereka yang makalah-makalah akademisnya merefleksikan wawasan dunia Kristen. Ini mungkin tidak terlalu bermasalah di bidang matematika dan ilmu-ilmu pengetahuan alam, seperti kimia, fisika, dan sebagian besar biologi. Tetapi di dalam studi tentang asal usul biologi, dan yang pasti di dalam psikologi, sosiologi, dan antropologi, seperti juga di dalam sejarah, sastra, dan seni, sejumlah kebenaran yang dinyatakan tentang wawasan dunia Kristen juga begitu relevan sehingga jika kita tidak membawa kebenaran-kebenaran ini ke dalam gambaran kehidupan, kita hidup dalam kebohongan.


Di dalam kasus para intelektual, satu-satunya perkara spesifik yang menjadi tanggung jawab mereka secara profesional adalah penggunaan kata yang baik -- yaitu penggunaan yang benar dan paling tidak, tidak menyesatkan. Hal ini lebih merupakan perkara semangat kebenaran daripada perkara kebenaran, karena tidak seorang pun yang bisa menjanjikan bahwa dia tidak akan pernah membuat kekeliruan; tetapi adalah mungkin untuk memelihara semangat kebenaran, yang berarti tidak pernah meninggalkan kecurigaan dan selalu waspada terhadap perkataan dan identifikasinya sendiri, mengetahui bagaimana menarik kembali kesalahannya sendiri, dan mampu mengoreksi diri sendiri. Hal itu mungkin secara manusiawi, dan orang mengharapkan hal demikian ada pada diri-diri para intelektual karena, untuk alasan yang jelas, kualitas-kualitas manusia yang lazim berupa keangkuhan dan ketamakan akan kuasa di antara para intelektual mungkin memiliki akibat-akibat tertentu yang sangat merusak dan membahayakan.

LESZEK KOLAKOWSKI
"Modernity on Endless Trial"

Bukankah fakta yang paling penting tentang diri kita adalah bahwa kita dijadikan menurut gambar Allah? Akan tetapi, buku teks mana, atau publikasi akademis mana, atau program riset di dalam teori psikologi, sosiologi, dan antropologi, sejarah, serta sastra mana yang pernah menyebut ide tersebut? Ide tersebut jika bukan serta-merta dianggap salah, maka akan dianggap sama sekali tidak relevan dengan bidang yang bersangkutan. Makalah-makalah mana yang dipublikasikan jurnal-jurnal akademis yang terhormat atau buku-buku yang diterbitkan oleh penerbit- penerbit akademis yang bisa kita tunjukkan sebagai contoh kesarjanaan Kristen dalam bidang-bidang tersebut? Ada beberapa. Saya bisa menunjukkan dua: "The Political Meaning of Christianity" oleh Glenn Tinder, seorang guru besar bidang ilmu politik di University of Massachusetts di Boston; dan "The American Hour: A Time of Reckoning and the Once and Future Role of Faith" oleh Os Guinness, seorang sosiolog dan rekanan senior di Trinity Forum. Guinness mungkin paling tepat dideskripsikan sebagai seorang Kristen dan seorang intelektual publik yang independen.

Atau dalam ilmu-ilmu alam, bukankah fakta yang paling penting mengenai apa yang disebut tatanan alam, di dalam satu maknanya yang terpenting, sama sekali bukan "alamiah"? Tantangan John Henry Newman sangat tepat:

Akuilah seorang Allah maka Anda memasukkan di antara bidang-bidang pengetahuan Anda sebuah fakta yang meliputi, yang membatasi, menyerap setiap fakta lain yang bisa dipikirkan. Bagaimana kita bisa menginvestigasi suatu bagian dari suatu tatanan pengetahuan, tetapi tidak menginvestigasi fakta yang menyeruak ke dalam setiap tatanan itu? Semua prinsip yang benar berlimpah dengannya, semua fenomena mengarah kepadanya.

Di manakah di dalam literatur ilmiah, suatu bagian yang lumayan besar yang dituliskan oleh orang-orang Kristen di dalam bidang ilmu pengetahuan, terdapat suatu pengakuan akan fakta tentang penciptaan dan imanensi Allah?

Para sarjana Kristen di universitas-universitas sekuler, dan tragisnya banyak pula yang di universitas-universitas Kristen, telah terjebak oleh ideologi naturalisme. Seperti penjual sayur di dalam esai Havel, banyak guru, secara sadar atau tidak, telah memajang berbagai plakat naturalis yang cocok dengan disiplin akademis mereka, mengubah plakat- plakat ini seiring perubahan ideologi yang spesifik dalam disiplin mereka:

  1. "Semua sejarah ditulis oleh para pemenang."
  2. "Sejarah paling baik dituturkan dari bawah ke atas."
  3. "Pandangan-pandangan yang terpolarisasi -- ini benar, itu salah --
    tidak terlalu serius memikirkan pertanyaan-pertanyaan sejarah.
  4. "Di dalam ilmu pengetahuan, hanya faktor-faktor materi yang masuk ke
    dalam penjelasan-penjelasan kita; kita tidak bisa berbicara tentang
    rancangan."
  5. "Literatur adalah sebuah ideologi."
  6. "Tidak ada teks yang memiliki penulis."
  7. "Amati fungsi dari gambar-gambar Kristus di dalam kisah ini; jangan
    bertanya tentang Kristus itu sendiri."
  8. "Theologi sistematika adalah studi tentang apa yang telah dituliskan
    dan dipercayai oleh para teolog sistematika; ini bukan mengenai objek
    kepercayaan."
  9. "Efek-efek kebenaran dihasilkan di dalam wacana-wacana yang pada
    dirinya sendiri tidak benar dan juga tidak salah."
  10. "Umat manusia mengonstruksi natur mereka sendiri."

Pada dasar semua plakat ini mungkin terdapat prinsip yang paling dekaden dari semuanya (hal ini kebetulan terdengar di sebuah konferensi akademis tentang agama): "Tidak satu pun dari kita yang memercayai hal apa pun yang tengah kita bahas, tetapi dengan cara inilah kita mendapatkan penghasilan." Di dalam sebuah arena akademis seperti itu, tidak mudah untuk memajang sebuah plakat iman Kristen yang gamblang.

Ahli ilmu politik, John C. Green, menuliskan:

"Jika seorang guru besar berbicara mengenai mempelajari sesuatu dari sebuah sudut pandang Marxis, pihak lain mungkin tidak setuju, tetapi tidak akan mengesampingkan ide tersebut. Tetapi jika seorang guru besar berbicara tentang mempelajari sesuatu dari sudut pandang Katolik atau Protestan, dia akan diperlakukan seakan-akan dia mengatakan untuk mempelajari sesuatu dari sudut pandang makhluk dari planet Mars."

Pastilah sangat mengejutkan ketika mendengar Charles Habib Malik menyampaikan Pascal Lectures mengenai "Kekristenan dan Universitas" di University of Waterloo, Ontario, Kanada. Kredibilitas akademis Malik meliputi posisi sebagai guru besar di Harvard, Dartmouth, dan Catholic University of America; kredibilitas politisnya meliputi kedudukan sebagai presiden dari General Assembly of the United Nations dan Security Council. Sekarang, bayangkan dia berbicara kepada pendengar yang akademis di sebuah universitas sekuler. Siapakah kritikus final atas universitas? Dia bertanya:

"Kritikus itu, dalam analisis terakhirnya, adalah Yesus Kristus sendiri. Kami tidak sedang menawarkan opini kami; kami sedang mencari penghakiman-Nya atas universitas .... Yesus Kristus eksis di dalam diri-Nya sendiri dan menopang seluruh dunia, termasuk universitas, di telapak tangan-Nya. Kami sedang memohon, mencari, mengetuk untuk menemukan apa tepatnya pendapat Yesus Kristus tentang universitas."

Ceramah Malik adalah satu kekuatan yang mengejutkan karena retorikanya memberikan kekuatan bagi analisisnya yang tajam atas sains dan kemanusiaan. Pada saat itu, suaranya mungkin adalah satu-satunya suara yang terdengar.

Tentu saja sudah ada beberapa orang Kristen yang berani untuk mengakui iman Kristen mereka di tengah-tengah arena akademis sekuler. Pertama- tama, orang akan terpikir kepada C. S. Lewis. Kemudian orang harus bergumul untuk memikirkan siapa lagi yang juga berani mengakui iman mereka. Pada kenyataannya, baru pada tahun-tahun terakhir inilah para sarjana Kristen telah berpikir secara serius tentang peran publik mereka, relevansi terbuka dari iman Kristen mereka kepada disiplin-disiplin akademis mereka. Di antara sosok yang paling menonjol adalah trio akademisi yang berakar di Calvin College: Nicholas Wolterstorff, Alvin Plantinga, dan George Marsden. Ketiganya menjabat posisi pengajar tingkat doktoral di institusi-institusi utama. Dua nama pertama adalah filsuf dan telah berada di garis depan dari terbentuknya kehadiran nyata orang Krissten dalam kesarjanaan di bidang filsafat. Nama terakhir adalah seorang sejarawan, dengan dua bukunya, "The Soul of the American University" dan "The Outrageous Idea of Christian Scholarship", diterbitkan oleh Oxford University Press. Marsden bahkan dihormati dengan foto sampul di The Chronicle of Higher Education, dengan latar mural Yesus yang terlihat di TV oleh banyak orang di setiap Sabtu petang di musim gugur, yaitu di atas stadion sepak bola Notre Dame. Akan sangat luar biasa jika semua akademisi Kristen berpikir dan bertindak seakan-akan Yesus benar-benar tengah mengawasi gerak-gerik mereka. (Dan Yesus memang melakukannya, Anda tahu itu.)


(Siswa-siswa Harvard di tahun 1880-an:) Ini merupakan eksistensi yang malas, tak berarah, dan humoris, tanpa imajinasi yang halus, tanpa suatu isi kesarjanaan yang umum, tanpa agama yang nyata: kepekaan inteligensi dalam kekaburan, terbang menuju permainan yang remeh, dengan tujuan kembali, segera setelah masa kuliah berakhir, kepada kegiatan-kegiatan yang membosankan.

GEORGE SANTAYANA
"Character and Opinion in the United States"

Akan tetapi, secara umum para intelektual Kristen telah menjadi sorotan karena ketidakhadiran mereka dalam koridor pendidikan dan kuasa politis. Mereka sering mengetahui kebenaran tetapi mungkin tidak memiliki platform politis untuk menyatakannya, atau mereka menyia-nyiakan peluang mereka karena takut akan semakin dipinggirkan.

"Tetapi tunggu dulu," mungkin Anda mendengar teman-teman Anda berkata, "Apakah Anda melupakan ratusan buku yang ditulis orang-orang Kristen yang justru persis melakukan apa yang Anda bicarakan? Apakah Anda sebagai editor InterVarsity Press tidak mendorong dan menerbitkan banyak buku seperti itu? Bukankah Zondervan dan penerbit-penerbit lainnya juga telah mengikuti penerbit Anda? Perhatikan saja daftar panjang di bagian daftar pustaka buku Anda sendiri, 'Discipleship of the mind'."

Poin yang disampaikan memang sangat baik. Ya, semuanya itu benar. Tetapi sebenarnya ini membuktikan poin saya. Buku-buku ini -- adalah buku-buku yang sangat baik -- diterbitkan oleh penerbit-penerbit Kristen yang Injili. Eerdmans, dan IVP setelahnya, baru muncul sebagai penerbit- penerbit buku yang layak dibaca oleh pembaca yang akademis di luar batasan-batasan sempit dunia Kristen Injili. Selain itu, sebagian besar penerbitan mereka mengenai topik-topik yang khusus bersifat religius. Masih tetap begitu sedikit buku-buku bermutu yang didasarkan kepada premis-premis yang khas Kristen dalam disiplin-disiplin psikologi, sosiologi, antropologi, ekonomi atau humanitas, dan seni.

Jelas inilah saatnya untuk menaati slogan kampanye di mana saudara ipar saya yang adalah seorang politisi mendukung seorang kandidat yang melawan koleganya, yaitu gubernur negara bagian: "Katakan kebenaran, Terry!" Dengan menyesal saya harus melaporkan bahwa kampanye itu tidak berhasil. Terry dipilih kembali. Tetapi keberhasilan dalam memberitahukan kebenaran, seperti yang saya katakan sebelumnya, tidak diukur oleh hasil- hasilnya. Siswa tingkat pascasarjana yang memberitahukan kebenaran mungkin membahayakan kesempatannya untuk menerima gelar Doktor. Asisten guru besar mungkin mengurangi kesempatan untuk menerima jabatan penuh. Sarjana Kristen mungkin tidak mendapati makalahnya dimuat di dalam jurnal-jurnal ternama dalam bidangnya.


Poin dari kesarjanaan Kristen bukan pengakuan oleh standar-standar yang mapan di dalam kultur yang lebih luas. Poinnya adalah memuji Allah dengan akal budi. Upaya-upaya seperti itu akan membawa pada sejenis integritas intelektual yang kadang menerima pengakuan, tetapi bagi orang Kristen tersebut pengakuan ini hanya produk sampingan yang tidak terlalu penting. Poin yang sebenarnya adalah menghargai apa yang telah Allah jadikan, memercayai bahwa pcnciptaan adalah se"baik" yang dikatakan-Nya, dan mengeksplorasi dimensi-dimensi terpenuh dari maksud Anak Allah untuk "menjadi daging dan diam di antara kita". Dan yang terutama, karya intelektual jenis ini adalah imhalan bagi dirinya sendiri, karena ia terfokus hanya kepada Dia yang pengakuan-Nya penting, Dia yang di hadapan-Nya semua hati terbuka.

MARK NOLL
"The Scandal ofthe Evangelical Mind"

Tetapi Noll benar: "Karya intelektual jenis ini adalah imbalan bagi dirinya sendiri, karena terfokus hanya pada Dia yang pengakuan-Nya terpenting, Dia yang di hadapan-Nya semua hati terbuka."

Sayangnya Camus juga benar -- secara figuratif dan harfiah: "Ide-ide yang keliru selalu berakhir dengan sebuah pertumpahan darah, tetapi di dalam setiap kasusnya itu adalah darah orang lain. Darah yang ditumpahkan oleh ide-ide yang keliru yang dicetuskan orang lain -- seperti mereka yang ingin mencegah tersebarnya kesarjanaan Kristen, misalnya -- mungkin adalah darah para sarjana Kristen sendiri. Memberitahukan kebenaran mungkin benar-benar berbahaya bagi kesehatan profesional seseorang. Tetapi ingatlah bahwa keberanian merupakan salah satu kebajikan dari intelek. Kebajikan ini niscaya secara mutlak bagi orang Kristen yang ada di dunia akademis sekarang ini.

Tanggung Jawab Kepada Allah

Meskipun kita bertanggung jawab untuk hidup di dalam kebenaran -- mempelajari kebenaran dan memberitahukan kebenaran, kepada Allah-lah kita bertanggung jawab. Melampaui tanggung jawab kita kepada keluarga kita, komunitas iman kita, tetangga kita, negara kita, dunia di sekitar kita, kita secara utama bertanggung jawab kepada Pencipta kita, Tuhan kita, Juru Selamat kita -- Bapa, Anak, dan Roh Kudus.

Tanggung jawab umum untuk memuliakan Allah mendahului semua tanggung jawab spesifik lain yang kita miliki sebagai intelektual atau calon intelektual, karena memuliakan Allah merupakan tugas penuh waktu yang melibatkan keseluruhan keberadaan kita. Doa ini mungkin akan sangat baik dinaikkan untuk memulai dan menutup setiap hari Anda:

"Biarlah aku menggunakan segala hal hanya untuk satu alasan saja: untuk menemukan sukacitaku di dalam memberikan kepada-Mu kemuliaan yang besar."

Sumber: 

Diambil dan disesuaikan dari:

Judul buku : Kebiasaan Akal Budi
Judul asli buku : Habits of The Mind
Penulis : James W. Sire
Penerjemah : Irwan Tjulianto
Penerbit : Momentum, Surabaya 2007
Halaman : 273 -- 297

Komentar