Tentang KamiArtikel TerbaruUpdate Terakhir |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SOTeRI Bahkan Para Pendeta pun Membutuhkan Teman
Editorial:
Dear e-Reformed netters, Pertama-tama, maaf saya agak terlambat mengirimkan artikel bulan April. Juga saya ingin mengucapka Artikel yang saya kirimkan kali ini bukan berupa uraian teologia yang berat, tapi hal yang sangat Di lain pihak saya melihat banyak jemaat yang ingin sekali berteman dengan pendetanya untuk ngobro Nah, mudah-mudahan artikel ini dapat menolong baik pendeta maupun jemaat untuk saling mengenal keb Selamat berteman! In His love,
Edisi:
028/IV/2002
Isi:
Selama beberapa tahun yang lewat ini saya sering mendengar banyak alasan mengapa para pendeta harus menghindari segala bentuk ikatan persahabatan. Beberapa orang mengatakan bahwa teman-teman itu mungkin menyenangkan, tetapi waktu dan tenaga yang dibutuhkan dalam pelayanan sama sekali tidak memungkinkan menikmati kesenangan diri semacam itu. Banyak orang beranggapan bahwa persahabatan di dalam jemaat tentu akan melanggar batas, dan pendeta yang menikmati permainan golf dengan jemaat akan menimbulkan persoalan. Meskipun belakangan ini sikap demikian telah agak berubah, tetapi bagi pendeta maupun jemaat tetap saja akan menghadapi kesulitan melihat pendeta yang terlibat dalam persahabatan yang begitu manusiawi. Banyak jemaat telah terbiasa dengan anggapan bahwa pendeta itu seharusnya hanya berdiri tegak di atas mimbar yang tinggi, dan banyak pendeta memang menyukai pemandangan dari atas mimbar itu. Mereka merasa enggan untuk turun dari tempat itu dan kemudian menjalin hubungan yang mudah mendatangkan kecaman serta terlalu akrab. Seandainya persahabatan itu terjalin dengan seorang anggota gereja, maka jemaat lainnya akan mulai mencurigai. Tuduhan atas sikap pilih kasih dan pengaruh yang tidak semestinya akan mulai dibisik-bisikkan di gereja. Sesungguhnya, tidak semua alasan ini dengan mudah dapat kita abaikan. Melangsungkan persahabatan memang menuntut "waktu dan tenaga" yang amat banyak (kedua unsur tersebut seringkali tidak dimiliki pendeta). Dan tentunya, beberapa tuduhan mengenai sikap pilih kasih dan pengaruh yang dimiliki itu memang ada dasarnya. Kadang-kadang, para pendeta menyatakan pandangan yang tidak benar dan pendapat yang tidak begitu jelas karena menaruh kesetiaan yang tidak semestinya kepada satu atau dua anggota jemaat. Meskipun mungkin kita tak ingin mengakuinya, tetapi tidak ada peran, jubah, atau pun gelar kependetaan yang dapat menyembunyikan kenyataan bahwa kita adalah manusia. Manusia memerlukan teman -- termasuk manusia yang kebetulan saja menjadi pendeta. Ada banyak contoh dalam Alkitab yang menopang pendapat ini. Dari Raja Daud sampai Yesus hingga Rasul Paulus. Orang-orang bijak itu senantiasa mengetahui bahwa tidaklah bijaksana untuk menempuh jalan kehidupan tanpa keceriaan, kesenangan, serta dorongan-dorongan semangat dari para sahabat. Di luar contoh yang ada dalam Alkitab tadi, ada tiga alasan terbaik yang dapat saya kemukakan untuk membina persahabatan. Orang-orang tersebut adalah: Dick, Jim, dan Gary. Rekan Sekerja Dick adalah pendeta pembantu di gereja Lutheran yang terbesar di Northfield. Sedangkan saya adalah seorang pendeta Baptis di Northfield, Minnesota. Saya dilahirkan dan dibesarkan di Ohio bagian selatan, serta mengikuti kuliah di Columbia, Carolina Selatan. Saya lulus dari sebuah seminari Baptis. Selama waktu itu saya telah menghirup udara Baptis. Tiba-tiba, beberapa tahun yang lalu, saya menemukan diri saya berada dalam lingkungan benteng kaum Lutheran asal Norwegia -- ada lima buah jemaat Lutheran di kota yang berpenduduk dua belas ribu orang. Belum lagi Universitas Saint Olaf, sebuah sekolah Gereja Lutheran Amerika yang menguasai topografi dan teologi di Northfield. Saya harus mempelajari kota Northfield. Saya mulai bertemu dengan sebuah kelompok studi untuk para pendeta yang terdiri dari lima orang Lutheran dan satu orang Baptis (tebak saja siapa?). Di situlah saya bertemu dengan Dick. Melalui sedikit usaha pendekatan -- undangan untuk makan siang, kunjungan-kunjungan secara mendadak ke kantornya -- suatu persahabatan mulai berkembang. Sungguh, hubungan ini merupakan suatu anugerah Allah. Pertama-tama, Dick telah menjadi penerjemah saya dalam ajaran Lutheran. Ia tidak secara formal mendaftarkan saya di kelas katekesasinya, tetapi ia toh mengajarkan sesuatu kepada saya. Selama pembicaraan yang kami adakan, saya telah mendapatkan pandangan yang berarti tentang mengapa orang-orang ini percaya dan bertindak sebagaimana yang mereka lakukan. Tak akan pernah saya lupakan kata seru "Aha!" ketika kami sedang mendiskusikan (berdebat?) tentang masalah baptisan. Tiba-tiba saja, saya mulai mengerti mengapa kami selalu berselisih pendapat tanpa ada ujung pangkalnya, sedangkan kami toh memakai kata-kata yang sama juga dan membuka ayat-ayat yang sama di dalam Alkitab. Ternyata, titik pandang Dick adalah pada aktivitas Allah dalam pembaptisan, sedangkan pandangan saya tertuju pada tanggapan orang percaya yang dibaptiskan. Secara mendadak pula saya menjadi mengerti tentang dasar pemikirannya mengenai baptisan bayi. (Tentunya, kami belum juga sepaham tentang hal itu, tetapi sekarang saya menjadi lebih mengerti mengapa ia berkepercayaan sedemikian aneh itu!) Lebih jauh, di samping peranannya sebagai penerjemah, Dick telah menjadi pendorong bagi pertumbuhan pribadi serta perkembangan pekerjaanku. Kami berdua sama-sama gemar membaca buku, tetapi mempunyai selera yang berbeda-beda. Kegemarannya ialah membaca sejarah, sedangkan saya fiksi. Sambil minum-minum kopi, kami akan bertukar pikiran tentang buku-buku, pengarang-pengarang, tema-tema menarik, pandang-pandangan, serta ilustrasi khotbah yang baik. Saya masih belum bergabung dengan Kelompok Kelompok Pencinta Buku Sejarah (Dick berharap saya bergabung supaya dia bisa mendapat tiga buah buku gratis sebagai hadiah karena membawa seorang anggota baru), tetapi saya telah memperluas selera bacaan saya lebih daripada buku-buku novel. Sama juga, Dick sudah mulai gemar membaca buku-buku Chaim Potok, Saul Bellow dan Frederick Buechner. Bersama-sama kami bergumul dengan buku Kierkegaard, Claus Westermann, dan Rabbi Harold Kushner. Ia merasa tertantang karena saya sering membuat khotbah-khotbah eksegesis berdasarkan teks Yunani yang saya kuasai. Saya menjadi kagum ketika saya mengetahui bahwa ia sedang membaca beberapa ayat dari Kitab Perjanjian Lama dalam bahasa Ibrani setiap malam sebelum beristirahat. 'Besi menajamkan besi' kata Kitab Amsal, dan otak saya kian menjadi tajam setelah diasah oleh sahabat saya ini. Keluarga kami pun telah memperoleh manfaatnya dari hubungan persahabatan kami ini. Anak-anak kami kira-kira berusia sebaya dan isteri kami masing-masing bekerja sebagai jururawat di rumah sakit setempat. Kami merayakan hari-hari ulang tahun bersama-sama, saling mengundang untuk makan malam pada acara Pengucapan Syukur, dan sama-sama merasa kecapaian pada sore hari Paskah setelah memimpin kebaktian secara terus-menerus sepanjang pagi harinya. Hubungan kami telah menambahkan suatu dimensi tertentu tentang kesehatan dan kemantapan dalam kehidupan kami sehingga kami pun dapat menyampaikan cerita-cerita yang indah kepada orang-orang lain yang bisa mengerti tentang kegembiraan serta trauma yang dialami oleh seorang pendeta dan keluarganya. Sang Penasihat Jim, adalah seorang teman saya yang lain. Dan, akan lebih tepat jika saya memperkenalkan dia sebagai Dr. James Mason, sebab dia adalah salah seorang guru besar kesayangan saya selama berada di seminari. Maka, kini di samping menjadi sahabat saya, Jim tetap menjadi penasihat saya dalam pelayanan. Dalam kitab Perjanjian Baru, menasihati itu merupakan suatu pola yang kuat sekali untuk mengembangkan pendeta-pendeta muda. Yesus memberikan nasihat kepada kedua belas murid-Nya, Barnabas membawa Paulus dan Markus, dan pada gilirannya Paulus pun menasihati Timotius dan Titus. Adalah sulit untuk membaca Kitab Injil atau pun Surat-Surat Penggembalaan tanpa merasakan adanya kehangatan persahabatan yang berkembang dan menghasilkan hubungan untuk menasihati ini. Persahabatan saya dengan Jim telah dimulai sejak tahun terakhir saya di seminari dan sampai sekarang hubungan ini masih terpelihara dengan baiknya. Saya bekerja sebagai asisten dosen dan perkenalan ini bertumbuh di luar ruang kelas. Setelah berjalan melewati beberapa waktu yang penuh kesulitan bersama-sama, hubungan kami mulai bertumbuh. Ketika saya lulus, saya tidak menginginkan persahabatan itu hanya tinggal sebagai suatu kenangan indah. Jim pun berpikiran sama seperti saya. Untuk memelihara ikatan kami itu diperlukan suatu tekad serta kesediaan untuk menanggung biayanya. Northfield berada dalam jarak kira-kira satu jam perjalanan dengan mobil dari Seminari Bethel dan pembicaraan lewat telepon adalah interlokal, tetapi biayanya masih bisa terjangkau. Di samping kesukaan dalam saling membagikan pengalaman kehidupan dan iman serta pelayanan dengan Jim, saya telah memperoleh manfaat lain-lainnya. Dia mengenal saya. Saya berada di dalam kelasnya. Dia mengetahui jalan pikiran, prasangka-prasangka, harga diri, serta kelebihan dan kekurangan saya. Selanjutnya, setelah dia berkhotbah di gereja saya dan mengadakan percakapan dengan jemaat, maka dia mengetahui tentang hubungan saya dengan jemaat. Dia juga mengetahui hubungan-hubungan yang lebih luas tentang keadaan jemaat serta tradisi teologis dalam gereja yang saya layani. Waktu yang diluangkan untuk saling membagi cerita ini tak dapat dinilai dengan harta. Kapan saja saya menelepon dia untuk mendapatkan nasihatnya, maka dia langsung dapat menempatkan diri dalam situasi/keadaan saya. Jika saya menghadapi kesulitan dengan khotbah saya, dia segera dapat mengatasinya. Jika saya menghadapi konflik/bentrokan dengan jemaat saya, dia memberikan suatu jalan keluar dan menolong saya untuk bisa melihat persoalan itu dengan lebih jelas. Saya tak dapat memastikan seberapa jauh persahabatan ini telah membuahkan kepuasan dan keberhasilan dalam pelayanan saya. Banyak lubang perangkap telah dapat saya hindari, berbagai masalah pelik dapat diatasi dengan baik, lebih dari satu kali khotbah menjadi tersusun lebih baik -- semua ini dilakukan dengan bantuan penasihat dan sahabat saya. Jika saya merasa bergairah oleh suatu kesempatan yang baru, maka saya dapat meniupkan balon percobaan saya untuk memperoleh penilaian menurut pandangannya. Atau jika saya sedang mengalami kekecewaan, saya langsung dapat menumpahkan seluruh perasaan saya itu dihadapannya. Seperti yang dia katakan kepada saya pada satu hari Senin setelah melampaui hari Minggu yang suram, "Jangan khawatir soal itu. Tujuanmu yang terutama dalam beberapa minggu ini ialah hanya menyelesaikan masalah itu." Saya yakin bahwa penasihat-penasihat yang mempunyai kemampuan seperti Jim sudah disediakan untuk setiap pendeta muda. Seluruh mantan mahaguru, pendeta yang telah berpengalaman, serta pendeta eksekutif yang melayani di wilayah sekitar merupakan penasihat-penasihat yang amat potensial. Persahabatan seperti ini jarang terjadi secara kebetulan saja. Di sini diperlukan sekali adanya maksud baik dan kesediaan untuk memberikan waktu dan pengorbanan uang. Akan tetapi, untuk kedua belah pihak, penasihat maupun pendeta baru, kesukaan dalam kegiatan itu akan berlipat ganda apabila disampaikan kepada orang lain juga. Orang Awam Kelihatannya, persahabatan saya dengan Gary adalah yang paling mengandung risiko, tetapi sekaligus juga paling bermanfaat dari semua persahabatan yang saya alami. Gary adalah seorang awam yang kebetulan menjadi anggota dari gereja yang saya layani. Namun, faedahnya bagi diri saya (dan untuk jemaat) jauh lebih besar daripada risiko yang saya hadapi. Sederhana saja, Gary menghargai kejujuran saya di dalam kehidupan kekristenan saya. Godaan yang paling besar bagi diri saya di dalam pelayanan adalah kecenderungan untuk menjadi seorang "Kristen yang profesional." Hal itu merupakan jebakan yang mudah. Saya dapat memberikan konseling dengan sebaik-baiknya, mengajarkan apa yang difirmankan oleh Alkitab, menyerukan keterikatan kepada jemaat supaya taat dan setia, kemudian pulang dengan anggapan bahwa saya sudah menjalan tugas kehidupan Kristen -- seolah-olah hidup saya bersama Tuhan hanya untuk menjalankan tugas penggembalaan atau melaksanakan tanggung jawab secara profesional saja. Gary tidak akan membiarkan saya bersikap demikian. Dia memiliki suatu kedudukan yang khusus untuk bisa meminta pertanggungjawaban saya. Sebagai anggota yang aktif di dalam jemaat, dia mengetahui apa yang terjadi dalam kebaktian-kebaktian dan di pertemuan-pertemuan urusan gereja. Dia memperhatikan apa yang saya sampaikan dari atas mimbar dengan teliti, dan apa yang saya ajarkan di dalam ruang kelas. Dia juga mengetahui tentang semua keberhasilan maupun kegagalan saya dalam melaksanakan program gereja yang beraneka ragam. Dia mempunyai tempat dalam persahabatan kami untuk menantang diri saya menjadi apa yang saya percayai dan mempraktikkan apa yang saya sampaikan. Dia tidak terperanjat apabila saya berkhotbah tentang sesuatu hal yang tak dapat saya lakukan. Hal apakah yang tak dapat dikhotbahkan oleh pendeta? Akan tetapi, pada saat-saat senda gurau di antara kami berdua atau pada jam-jam doa mingguan, dia mendorong saya supaya menerapkan khotbah-khotbah saya untuk diri saya sendiri. Dia menantang "saya pribadi" untuk berbuat hal yang sama dengan "saya secara umum" atau jemaat. Di samping memberikan dorongan secara langsung itu sesungguhnya kejujuran dalam kehidupannya merupakan motivasi yang sangat menekan kehidupan saya sendiri. Sebagai seorang pelatih bola basket di kampus, dia adalah salah seorang pekerja paling keras yang pernah saya jumpai. Meskipun demikian, persekutuan pribadinya dengan Tuhan, pelayanannya sebgai pemimpin kaum muda, serta keterlibatannya dalam proyek-proyek penjangkauan keluar gereja selalu diutamakan. Dia adalah seorang Kristen yang penuh semangat, bukan seorang Kristen yang profesional. Dia menjadi "suatu peringatan" yang terus-menerus bagi diri saya untuk bersikap sama seperti dia. Tempat Untuk Mendapatkan Seorang Sahabat Dalam menyatakan persahabatan yang saya alami, saya telah menyaring beberapa hal yang harus diperhatikan pada saat mencari seorang sahabat. Patokan awal adalah pada diri Anda sendiri. Pepatah lama yang mengatakan "Mempunyai seorang sahabat, berarti harus bersatu" itu memang benar. Kebanyakan persahabatan tidak terjadi begitu saja; itu adalah hasil dari kehendak/keinginan dan rasa keterikatan. Untuk memperoleh faedah jangka panjang dalam persahabatan sangat memerlukan pengorbanan waktu dan tenaga. Hal ini tidak terjadi pada saya dengan sendirinya. Menyatakan 'ya' terhadap persahabatan biasanya berarti mengatakan 'tidak' terhadap hal-hal yang lain. Kepribadian Corak-A yang ada dalam diri saya, pada tahun-tahun awal saya, tidak banyak memberi kesempatan untuk mencari persahabatan yang sesungguhnya. Namun, selama berada di seminari, seorang teman sekelas dan Tuhan telah membuat banyak perubahan di dalam diri saya. Steve dan saya bisa saling merasakan hubungan persahabatan yang indah, baik di dalam maupun di luar kelas, tetapi barangkali hubungan itu tidak akan berkelanjutan lebih jauh jika saja Steve tidak mempunyai kemauan yang keras. Upaya yang bertumbuh ini mencapai puncaknya ketika dia mengajak saya untuk mengikutinya bersama dua rekan sekelas lainnya menikmati masa liburan ke Minnesota bagian utara untuk memancing ikan. Sebelumnya saya tak pernah pergi memancing, dan ketika saya diberitahu bahwa kami akan berangkat sesaat setelah lewat tengah malam sehingga kami bisa tiba di danau itu sebelum fajar merekah, aku mulai berpikir seribu kali tentang petualangan itu. Akan tetapi toh, saya pergi juga. Kesukaan dalam menyaksikan matahari terbit di Minnesota, pemandangan yang baru pertama kali saya lihat, persahabatan dengan mereka -- semua pengalaman itu telah meyakinkan saya bahwa korban jam tidur yang tak seberapa itu adalah harga murah yang dibayarkan untuk mendapatkan kebijaksanaan yang besar dalam menumbuhkan persahabatan. Ciri yang paling penting yang perlu dimiliki seorang sahabat adalah membiarkan Anda tetap bersikap/berlaku sebagai Anda. Tanpa hal ini, persahabatan yang sesungguhnya tak mungkin bisa terjadi. Hal tersebut tampaknya cukup mendasar, tetapi khususnya para pendeta mengalami bahwa karakteristik atau sifat itu sulit sekali untuk ditemukan. Seorang pendeta harus bersedia untuk "ditanggalkan baju kependetanya", di dalam persahabatan itu. Dan, sahabat itu pun harus bersedia menerima diri Anda tanpa jubah atau gelar kependetaan Anda. Persahabatan terjadi di antara dua orang, bukan hanya dari satu orang saja. Ketika saya tiba di Emmaus, keinginan saya adalah untuk menjadi orang yang sesuai dengan keberadaan saya sebenarnya, dan dalam arti yang lebih dalam menjadi seorang sahabat bagi segenap jemaat. Saya pun segera mengetahui bahwa betapa mustahil hal itu dapat terjadi. Namun di gereja-gereja kecil terdapat begitu banyak anggota jemaat yang dapat menikmati indahnya hubungan persahabatan yang erat dengan setiap orang lainnya. Lebih jauh, tidak semua orang menginginkan diri saya sebagai sahabat mereka (hal ini sungguh amat mengejutkan saya!) Beberapa orang jemaat lebih menyukai melihat diri saya sebagai pendeta mereka saja, bukan sebagai seorang sahabat. Saya harus bisa menerima kenyataan ini. Akan tetapi, kenyataan ini justru membuat lebih penting untuk mempererat persahabatan akan memungkinkan saya menjadi diri saya sendiri. Jika saya ingin memandang tugas kependetaan saya sebagai sarana untuk pelayanan bukannya baju jabatan biasa saja, maka saya harus dapat melepaskannya sewaktu-waktu -- untuk menjadi Rick, bukan Pendeta. Teman-teman saya membiarkan saya berbuat demikian. Teman-teman seperti itu tidaklah mudah ditemukan. Akan tetapi, saya telah mengetahui bahwa mereka memperbarui diri saya sebagai pribadi di hadapan Allah, sehingga peranan saya sebagai pendeta di bawah kuasa Allah semakin dipompa dan diteguhkan dengan rasa kemanusiaan yang sesungguhnya. Persahabatan itu bersifat timbal balik. Agar hal itu bisa terjadi, maka kedua belah pihak harus mendapatkan sesuatu dari hubungan itu. Secara sepintas hal itu tampaknya dingin dan terlalu bersifat ekonomis. Di dalam praktiknya hubungan itu dapat berkembang begitu hangat dan dalamnya. Suatu hubungan persabatan yang secara terus-menerus menguras salah seorang anggotanya, lambat laun pasti akan membosankan. Seorang sahabat yang sejati mempunyai sesuatu untuk diberikan dan pada suatu saat perlu juga menerima sesuatu. Tanpa keseimbangan ini, tak ada hubungan persahabatan yang lestari. Hubungan itu menjadi suatu pelayanan, bukan suatu persahabatan. Saya tidak suka mengakui hal itu, tetapi hal itu memang benar. Dan, saya percaya bahwa sebagian alasan mengapa persahabatan saya dengan Dick, Jim, dan Gary dapat berjalan dengan begitu baik ialah karena kami berada dalam lingkungan yang cukup berbeda sehingga persaingan bukan menjadi pokok persoalan. Kami sungguh-sungguh dapat merasakan kesukaan atas keberhasilan teman-teman kami dan merasa sedih atas kegagalan yang dialami oleh salah seorang di antara kami. Hal ini tak mungkin terjadi apabila terdapat sedikit saja perasaan iri hati di antara kami. Untuk mendapatkan banyak teman berarti harus selalu siap untuk mengutamakan kepentingan orang lain. Teman-teman itu dapat ditemukan dalam diri orang-orang yang paling asing atau aneh. Allah menyukai hal-hal yang tak terduga. Dan, beberapa di antara hal-hal paling tak terduga yang tak dapat dipercaya sebgai teman-teman yang paling kita kasihi. Gary, misalnya, mula-mula sangat anti untuk memasuki gereja kami, karena kami adalah orang Baptis. Ketika dia dan isterinya pindah ke Northfield, saya mengunjungi mereka, setelah mereka mengadakan kunjungan perkenalan kepada kami, kebetulan gereja kami adalah yang terdekat dengan rumah mereka. Hanya sebegitu sajalah yang mungkin dapat mereka lakukan jikalau bukan Allah yang terus-menerus mengarahkan Gary dan Susie untuk bergabung ke gereja kami. Saya masih terheran-heran menyaksikan bahwa suatu kunjungan yang sangat kaku tahu-tahu telah berkembang menjadi salah satu dari hubungan persahabatan saya paling mendalam. Dan, saya yakin bahwa salah satu alasan mengapa Tuhan mengarahkan Gary ke sini ialah agar masing-masing kami dapat memperoleh kekuatan dan dukungan satu sama lain melalui persahabatan kami ini. Untuk menemukan kata yang jelas dari "Pengkhotbah" dalam Kitab Pengkhotbah mungkin akan merupakan masalah yang sulit. Namun, ada dasar yang kuat di dalam kata-kata ini. "Dua lebih baik daripada satu karena mereka memiliki upah yang baik dari kerja keras mereka. Sebab, apabila ada yang jatuh, yang satu dapat mengangkat temannya. Namun, kasihan seseorang yang jatuh, tetapi tidak ada orang kedua yang mengangkatnya." (Pengkhotbah 4:9-10, AYT). Di tengah segala usaha pencarian dan pergumulannya, "sang Pengkhotbah" telah menemukan suatu kebenaran yang tetap menjadi nasihat yang benar bagi para pengkhotbah" yang hidup dalam masa ribuan tahun kemudian: Para pendeta pun membutuhkan teman-teman. Macam persahabatan yang saya anjurkan ini tidak memberi tempat bagi hak untuk menuntut kembali. Sama sekali benar untuk bersikap bersahabat kepada orang-orang yang tak bersahabat dan untuk mendapatkan kembali orang-orang yang dikalahkan oleh perubahan yang terjadi dalam kehidupan. Namun, tipe pelayanan ini hanya memerlukan sumber-sumber yang lebih besar untuk tetap memelihara diri Anda. Demikian pula, Anda tak dapat menempelkan diri Anda pada orang lain seperti lintah yang menghisap seluruh kehidupan orang itu. Jika suatu persabatan ingin bisa tetap lestari, maka persahabatan itu harus bersifat timbal balik. Meskipun kebanyakan di antara kita agaknya tak mau mengakuinya, barangkali kita tak akan mampu untuk mengembangkan suatu persahabatan yang mendalam dengan seseorang yang kita pandang sebagai saingan kita. Saya tahu bahwa seharusnya kita berbakti kepada Yesus Kristus tanpa memikirkan tentang kedudukan, tempat, atau hak istimewa -- dan semua rekan pelayan adalah saudara kita laki-laki dan perempuan, mereka bukan sebagai saingan kita. Saya percaya pada idealisme seperti itu. Namun, seringkali saya tak dapat meyakinkan perasaan-perasaan saya. Saya telah berupaya untuk melanjutkan persahabatan saya dengan teman baik saya di seminari maupun pada saat memancing, Steve. Kami sudah bersama-sama meluangkan waktu yang menyenangkan sejak kami melayani di gereja kami masing-masing, tetapi amatlah sulit dalam mengatasi kecenderungan untuk membanding-bandingkan. Diperlukan suatu upaya yang besar untuk mengatasi kecenderungan untuk membanding-bandingkan. Diperlukan suatu upaya yang besar untuk mengatasi daya saing yang mengarah pada sikap membela diri yang dapat merintangi terciptanya persahabatan yang akrab. Saya belum, dan tidak akan melepaskan keinginan saya untuk bersahabat dengan steve, tetapi rintangan ini harus diatas sebelum kami dapat menikmati ikatan persahabatan yang akrab seperti yang pernah kami alami.
Sumber:
Komentar |
Kunjungi Situs Natalhttps://natal.sabda.org Publikasi e-Reformed |