Tentang KamiArtikel TerbaruUpdate Terakhir |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SOTeRI Memahami Alkitab Secara Menyeluruh
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Artikel yang ditulis oleh Christopher J.H. Wright dengan judul "Memahami Alkitab Secara Menyeluruh" ini, sangat menolong saya untuk melihat kronologi "Perjanjian" (Covenant) yang Allah berikan dan turunkan dari Nuh sampai ke Daud, bahkan sampai masa Perjanjian Baru. Jika orang Kristen dapat memahami kronologi ini, maka saya yakin banyak orang Kristen akan melihat Alkitab dengan cara yang jauh lebih jelas. Kita tidak lagi berani mencomot kisah dalam Alkitab dan melepaskannya dari konteks keseluruhan Alkitab. Kisah-kisah dalam Alkitab saling berhubungan dan memberi makna secara luas dan mendalam sebagaimana maksud misi agung Allah. Cara berpikir kita pun akan dibentuk oleh pola pikir Alkitab, sehingga kita mulai dapat melihat ayat-ayat Alkitab selaras dengan maksud pemikiran Allah. Ini merupakan pencerahan pemikiran Kristen yang luar biasa. Melalui artikel ini kita akan diyakinkan bahwa kekristenan benar-benar berbeda dengan agama- agama lain. Oleh sebab itu, saya sangat merekomendasikan Anda membaca artikel di bawah ini dengan teliti dan perlahan-lahan. Setiap bagian harus dicerna dengan baik-baik. Setelah membaca artikel ini, Anda pun harus perlahan-lahan mengubah cara berpikir lama Anda supaya Anda bisa melihat Alkitab secara utuh. Saya yakin Anda akan semakin bergairah dalam mempelajari Alkitab karena Anda akan semakin mengerti cara pikir Allah. Selamat membaca. Redaksi e-Reformed,
Penulis:
Christopher J.H. Wright
Edisi:
132/September 2012
Tanggal:
Oktober 2012
Isi:
Memahami Alkitab Secara MenyeluruhArtikel Terkait
Dalam memahami Alkitab, kita perlu melihat Alkitab dengan cara "melihat ke atas". Tujuannya adalah supaya kita dapat memercayai Alkitab sebagai firman Allah. Namun, kita juga perlu "melihat ke bawah" supaya dapat memelajari Alkitab yang disampaikan dalam wujud kata-kata penulisnya, yang adalah manusia, yang hidup dalam konteks mereka masing-masing. Langkah kita berikutnya adalah mengakui bahwa setiap perikop di dalam Alkitab merupakan bagian dari suatu kerangka keseluruhan Alkitab. Di satu sisi, pemahaman kita tentang suatu perikop tertentu akan dipengaruhi oleh posisinya sebagai bagian dari Alkitab, yang merupakan satu kesatuan dan kita juga harus mengartikannya di bawah terang bagian Alkitab lainnya. Di sisi lain, perikop tunggal itu sendiri memberikan sumbangannya -- entah kecil atau besar -- kepada pesan Alkitab secara keseluruhan. Seluruh bagian lain dalam Alkitab akan memengaruhi pemahaman kita mengenai suatu perikop tertentu, sementara pemahaman kita tentang masing-masing perikop akan memengaruhi pemahaman kita tentang bagian Alkitab lainnya secara menyeluruh. Karena alasan di atas, kita perlu memahami Alkitab secara keseluruhan dan mengerti tentang Penyataan-Nya (wahyu) yang luar biasa luas. Demikian juga, saat memelajari suatu perikop, kita perlu "melihat ke belakang" dan "melihat ke depan" isi Alkitab secara keseluruhan, untuk memerhatikan hal-hal yang mendahului dan mengikuti suatu perikop. Setelah kita membaca perikop secara berulang-ulang dengan melihat perikop-perikop Alkitab yang lain, kita sebenarnya sedang membangun sebuah pola pandang alkitabiah. Artinya, Alkitab sebagai suatu keseluruhan akan menjadi lensa/kaca mata yang kita pakai, yang melaluinya kita menafsirkan kehidupan, juga berbagai peristiwa dan gagasan. Secara berangsur-angsur, kita bukan lagi sekadar memikirkan "tentang" Alkitab, melainkan "berpikir selaras dengan" pola pikir Alkitab. Mari kita mengambil contoh dari Rasul Paulus mengenai pendekatan sistematis terhadap Alkitab ini. Paulus tampaknya menggunakan sebagian besar waktunya untuk membimbing jemaat di Efesus. Dari Alkitab, kita tahu bahwa di kota Efesus ini Paulus mengajar di sebuah ruang kuliah sewaan setiap hari, dan juga menjadi gembala bagi jemaat di kota serta mengunjungi rumah-rumah mereka. Ia menggambarkan tiga tahun pelayanannya kepada jemaat dengan dua cara, yaitu saat ia mengucapkan perpisahan kepada para penatua jemaat di Efesus sebagaimana dicatat dalam Kisah Para Rasul 20. Pertama, dalam ayat 20 Paulus berkata, "Sungguh pun demikian aku tidak pernah melalaikan apa yang berguna bagi kamu. Semua kuberitakan dan kuajarkan kepada kamu, baik di muka umum maupun dalam perkumpulan-perkumpulan di rumah kamu." Jadi, pengajaran dan pemberitaan Paulus memunyai relevansi lokal dan kontekstual -- "aku tidak pernah melalaikan apa yang berguna bagi kamu." Ia langsung mengatasi kebutuhan dan menjawab berbagai pertanyaan mereka. Namun, fakta bahwa ia "memberitakan" dan "mengajar" hampir dipastikan mengandung makna bahwa ia menggunakan firman Allah (yang sekarang kita sebut Perjanjian Lama) untuk melakukannya. Ia menggunakan dan menerapkan firman Allah pada masalah-masalah yang dihadapi oleh orang percaya di Efesus pada masa hidup mereka. Cara pengajaran Paulus serupa dengan apa yang sekarang kita sebut sebagai khotbah topikal dan tematis. Namun, di ayat 27 Paulus menambahkan, "Sebab aku tidak lalai memberitakan seluruh maksud Allah kepadamu". Bagi Paulus "seluruh maksud Allah" atau seluruh kehendak, atau seluruh pendapat Allah berarti seluruh wahyu Allah yang tertuang di dalam Alkitab. Jelas bahwa Paulus memahami tujuan dan misi Allah melalui firman Allah pada waktu itu (yaitu Perjanjian Lama) melalui penciptaan dan sejarah Israel dalam PL. Firman Allah menyatakan urutan janji-janji dalam perjanjian Allah yang luar biasa, yang melaluinya Allah menyatakan komitmen-Nya untuk memberkati Israel, bangsa-bangsa, dan seluruh dunia. Dengan demikian, Paulus secara sistematis mengajarkan kepada orang-orang percaya baru segala pengajaran alkitabiah, yaitu hukum, sejarah, nabi-nabi, Mazmur, dan kitab-kitab hikmat, yang merupakan bagian yang menyusun "seluruh maksud Allah". Tujuan kita membaca dan memahami Alkitab semestinya juga sama. Seperti Paulus, kita harus menggunakan Alkitab dalam cara yang relevan dengan kebutuhan nyata orang-orang zaman sekarang. Sebagaimana Paulus, kita semestinya menggunakan Alkitab saat kita melayani kebutuhan mereka. Jadi, tugas kita adalah untuk memadukan:
"Bukan" -- menyampaikan pesan yang relevan dengan kebutuhan orang-orang tanpa mengacu pada Alkitab. "Bukan" -- mengajarkan Alkitab tanpa ada relevansinya dengan kebutuhan orang-orang yang kita layani. Memperlakukan Alkitab Secara Keseluruhan: Memahami Kesatuan Isi AlkitabMembahas kesatuan Alkitab adalah salah satu implikasi dari pengakuan kita bahwa Alkitab adalah firman Allah, yang penulisnya secara keseluruhan adalah Allah sendiri. Namun, kami juga sudah menunjukkan bahwa kesatuan ini memiliki arti ada suatu tema utama secara keseluruhan, yang bagian-bagiannya bisa dinalar dengan jelas dan setiap bagian itu saling memengaruhi. Kesatuan di sini bukan berarti keseragaman karena Alkitab mengandung banyak sekali keragaman. Alkitab tidak seperti sebuah kanal yang aliran airnya mengalir mulus melalui satu saluran, yang tepiannya ditandai dengan jelas dan mengarah ke satu tujuan tertentu saja. Alkitab lebih menyerupai sebuah sistem sungai yang besar. Ada banyak anak sungai dan belokan-belokan serta perubahan arah aliran airnya. Ada banyak pulau dan danau di sepanjang alirannya. Demikian juga, ada banyak tempat yang airnya mengalir lurus, dalam, dan tenang; sementara tempat lainnya dipenuhi dengan batu-batu besar dan riam berair deras yang menghasilkan berbagai bunyi dan percikan air; ada air terjun dan kolam-kolam; ada jarak yang panjang sekali antara sumber air dan muara sungai, dan ada rentang waktu yang panjang yang dibutuhkan oleh air sungai itu untuk menempuh jarak yang jauh. Namun, pada akhirnya semua aliran air yang membentuk suatu sistem sungai besar itu merupakan satu kesatuan, dan semua airnya akan menuju ke arah yang sama, yaitu laut. Demikian pula dengan Alkitab, yang dalam segala kekayaan keragamannya memiliki satu kesatuan tujuan; semua bagiannya turut memberikan sumbangan dan seluruhnya bergerak mencapai tujuan akhir, yaitu ke arah Kristus sebagai pusatnya dan ciptaan baru sebagai titik terakhirnya. Ada berbagai cara yang bisa digunakan untuk mencoba mengungkapkan nuansa kesatuan Alkitab. Berikut ini beberapa contoh, tetapi tidak ada satu pun cara yang "paling benar" atau "terbaik". Semuanya menggunakan penalaran dan mengandung sejumlah kebenaran. Anda bahkan bisa merancang skema Anda sendiri. Semua skema yang disarankan ini memunyai satu kesamaan, yaitu fokusnya adalah Yesus Kristus, faktor pemersatu dalam semua penafsiran Kristen tentang Alkitab (sebagaimana yang ditunjukkan Yesus kepada dua orang murid dalam perjalanan ke Emaus). Berikut beberapa contoh kemungkinan cara yang bisa digunakan untuk melihat kesatuan struktur Alkitab secara keseluruhan: Kisah Agung Karya Allah: Dari Penciptaan Sampai Penciptaan BaruSesungguhnya, Alkitab adalah sebuah kisah. Kisah ini diawali dengan penciptaan dan diakhiri dengan penciptaan baru. Di antara dua titik ini, Alkitab menceritakan berbagai masalah mengerikan yang disebabkan oleh dosa manusia dan pemberontakannya (kejatuhan manusia dalam dosa), kemudian dilanjutkan (dalam bagian terbesar di Alkitab) dengan kisah berbagai tindakan karya penebusan Allah yang dilakukan-Nya di sepanjang sejarah. Melalui tindakan-tindakan ini Allah mengatasi masalah dosa, menebus umat manusia, dan memulihkan seluruh ciptaan-Nya. Kisah ini bagaikan suatu garis tebal yang terbagi menjadi empat bagian utama. Bagian-bagian ini secara bersama-sama merupakan empat pilar alkitabiah yang mendasari iman Kristen: Penciptaan, Kejatuhan Manusia, Sejarah Karya Penebusan, dan Harapan Masa Depan. Alur kisah Alkitab yang sangat jelas ini, yang mencakup kesatuan berbagai kitab dalam Alkitab yang saling memengaruhi, merupakan satu keistimewaan Alkitab yang membedakannya dari kitab-kitab suci agama lain. Karena itu, penting sekali bagi kita untuk memiliki pandangan menyeluruh mengenai kisah agung dalam Alkitab. Kita perlu memahami perikop mana saja yang sedang kita pelajari, bukan hanya dalam konteks sejarah dan sastra di mana perikop itu berada, melainkan juga meletakkannya dalam konteks alur kisah secara keseluruhan di dalam Alkitab. Kita perlu mengetahui di titik mana suatu perikop berada dalam alur utama Alkitab, sehingga kita bisa mengerti maknanya dengan diterangi oleh bagaimana Allah berhadapan dengan umat-Nya, sampai di titik tersebut. Kita tidak semestinya membaca Alkitab dengan pola pikir seakan-akan semua isinya diberikan pada waktu yang sama, dan semua tokoh yang ada di dalamnya mengerti segala sesuatu sebagaimana yang kita ketahui sekarang. Kita tahu isi Alkitab dengan lengkap karena sudah membaca semuanya. Allah memilih memberikan firman-Nya melalui media sejarah, sehingga kita perlu memperhitungkan hal ini ketika berusaha memahami setiap bagiannya dalam terang kisah secara keseluruhan. Mengetahui keseluruhan kisah juga penting karena dua alasan. Pertama, keseluruhan kisah ini masuk akal bagi kita sebagai orang Kristen yang melihatnya dalam terang Yesus Kristus dari Nazaret, Mesias bagi Israel, dan Juru Selamat dunia. Seluruh Perjanjian Lama menunjuk Yesus sebagai titik klimaks (sebagaimana ditunjukkan Matius yang memulai Injilnya dengan menuliskan silsilah Yesus, yang mengingatkan keseluruhan narasi PL sejak dari Abraham). Perjanjian Lama menceritakan kisah yang semuanya digenapi di dalam Kristus dan menyatakan janji yang kemudian dipenuhi di dalam Yesus. Perjanjian Lama itu bagaikan perjalanan panjang di mana Kristus adalah tujuan akhirnya. Selanjutnya, tentu saja, PB menunjukkan bagaimana kisah yang sama itu bergerak maju dengan cepat ke arah masyarakat multinasional, terus berkembang sepanjang sejarah dan wilayah geografis, sampai misi Allah yang luar biasa terpenuhi bagi setiap ciptaan ketika Kristus datang kembali nanti. Dengan demikian, supaya bisa memahami Kristus, yaitu pribadi-Nya, misi-Nya, kehidupan, dan kematian-Nya, serta pentingnya Kristus bagi semua bangsa dan semua ciptaan, kita perlu memahami keseluruhan kisah dalam Alkitab. Alasan penting yang kedua adalah karena kisah agung ini merupakan dasar bagi pola pandang Kristen. Semua elemen kunci yang merupakan dasar keyakinan kita sebagai orang Kristen bersumber dari narasi agung ini. Misalnya, coba pikirkan semua doktrin utama kekristenan. Anda pasti akan melihat bagaimana doktrin-doktrin itu secara bersama-sama saling terkait di sepanjang kisah agung ini: doktrin-doktrin tentang Allah, penciptaan, umat manusia, dosa, keselamatan, kristologi, doktrin tentang Roh Kudus, gereja, misi, dan eskatologi. Semua doktrin ini bukan sekadar keyakinan filosofis yang abstrak, melainkan merupakan ringkasan pernyataan mengenai makna semua momen agung yang ada di dalam kisah-kisah Alkitab. Kita perlu memiliki pemahaman yang saling terkait tentang iman kita, dengan sebuah pola pandang yang konsisten. Karena itu, kita perlu menangkap kisah Alkitab sebagai satu keseluruhan. Dalam penjelasan berikut ini, kita akan memerhatikan betapa pentingnya membangun sebuah pola pandang alkitabiah.
Urutan Sejumlah Perjanjian AllahSalah satu cara lain yang bisa digunakan untuk melihat saling keterkaitan isi Alkitab secara keseluruhan adalah dengan mengamati bagaimana suatu kisah terurai melalui serangkaian perjanjian. Di titik-titik kunci, Allah memberikan sebuah janji khusus dan panggilan-panggilan yang menuntut respons yang tepat dari pihak yang melakukan perjanjian dengan Allah. Cara pemahaman ini juga bisa digambarkan dengan sebuah garis. Rangkaian perjanjian yang dicatat dalam Alkitab ini bagaikan sederetan tanda penunjuk arah dalam kisah respons Allah yang bergerak maju dalam menyelamatkan umat manusia dari keadaan yang begitu menyedihkan. Masing-masing tanda menunjuk kepada tanda berikutnya, dan semua tanda secara bersama-sama menunjuk kepada tujuan akhir Allah untuk menyelamatkan ciptaan-Nya dan umat manusia. Sesungguhnya, mengamati jejak urutan berbagai perjanjian utama yang ada di dalam Alkitab merupakan cara yang sangat menolong untuk memandang Alkitab sebagai satu kesatuan, yaitu untuk melihat alur cerita yang saling bertalian di dalam seluruh bagiannya. Jadi, marilah kita dengan cepat dan ringkas mengamati perjanjian-perjanjian utama ini secara berurutan. Saya mengulas secara rinci tentang hal ini dalam buku "Knowing Jesus through the Old Testament", khususnya Bab 11 yang membahas kepentingan misi dalam perjanjian-perjanjian ini.NuhKetika TUHAN mencium persembahan yang harum itu, berfirmanlah TUHAN dalam hati-Nya, "Aku takkan mengutuk bumi ini lagi karena manusia, sekalipun yang ditimbulkan hatinya adalah jahat dari sejak kecilnya, dan Aku takkan membinasakan lagi segala yang hidup seperti yang telah Kulakukan. Selama bumi masih ada, takkan berhenti-henti musim menabur dan menuai, dingin dan panas, kemarau dan hujan, siang dan malam."
Berfirmanlah Allah kepada Nuh dan anak-anaknya yang bersama-sama dengan dia: "Sesungguhnya Aku mengadakan perjanjian-Ku dengan kamu dan dengan keturunanmu, dan dengan segala makhluk hidup yang bersama-sama dengan kamu: burung-burung, ternak dan binatang-binatang liar di bumi yang bersama-sama dengan kamu, segala yang keluar dari bahtera itu, segala binatang di bumi. Maka Ku adakan perjanjian-Ku dengan kamu, bahwa sejak ini tidak ada yang hidup yang akan dilenyapkan oleh air bah lagi, dan tidak akan ada lagi air bah untuk memusnahkan bumi." Dan Allah berfirman: "Inilah tanda perjanjian yang Kuadakan antara Aku dan kamu serta segala makhluk yang hidup, yang bersama-sama dengan kamu, turun-temurun, untuk selama-lamanya: Busur-Ku Kutaruh di awan, supaya itu menjadi tanda perjanjian antara Aku dan bumi. Apabila kemudian Kudatangkan awan di atas bumi dan busur itu tampak di awan, maka Aku akan mengingat perjanjian-Ku yang telah ada antara Aku dan kamu serta segala makhluk yang hidup, segala yang bernyawa, sehingga segenap air tidak lagi menjadi air bah untuk memusnahkan segala yang hidup. Jika busur itu ada di awan, maka Aku akan melihatnya, sehingga Aku mengingat perjanjian-Ku yang kekal antara Allah dan segala makhluk yang hidup, segala makhluk yang ada di bumi." Berfirmanlah Allah kepada Nuh: "Inilah tanda perjanjian yang Kuadakan antara Aku dan segala makhluk yang ada di bumi." (Kejadian 9:8-17) Perjanjian dengan Nuh, yang dicatat dalam Kejadian 8:20-9:17, memastikan kelangsungan kehidupan di atas bumi ini. Perjanjian ini memberikan landasan universal yang memungkinkan kita untuk hidup sebagai umat manusia yang berdosa di sebuah planet yang terkutuk, tetapi dengan tingkat keyakinan bahwa kita bisa bertahan hidup. Dibandingkan dengan semua perjanjian yang ada, ini merupakan perjanjian yang paling "luas". Sebab, di dalamnya Allah membuat janji yang menyangkut "bumi sebagai suatu keseluruhan" -- bukan hanya janji kepada umat manusia saja. Janji ini diberikan sesudah terjadinya Air Bah -- sebuah kisah yang sekaligus mencakup pengadilan Allah atas dunia yang berdosa dan karya penyelamatan Allah atas Nuh dan keluarganya. Jadi, perjanjian Allah dengan Nuh, sama seperti perjanjian-perjanjian lainnya, diletakkan di atas dasar kasih karunia Allah yang menyelamatkan dan kehendak Allah yang sangat kuat untuk memberkati. Perjanjian ini akhirnya menunjuk ke masa depan yang baik bagi bumi dan umat manusia. AbrahamPerjanjian dengan Abraham adalah titik awal sejarah penyelamatan dalam Alkitab. Janji ini memunculkan umat yang diberkati, yaitu mereka yang akan diberkati dalam hubungannya dengan Allah, dan sekaligus menjadi alat yang membuat semua bangsa mengalami berkat-berkat Allah. Perjanjian ini pertama dicatat dalam Kejadian 12:1-3, tetapi ungkapan yang masih segar dan merupakan pengembangannya bisa ditemukan dalam Kejadian 15, 17, dan 22. Abraham adalah bapak bagi semua umat Allah, nenek moyang (fisik) bangsa Israel dalam Perjanjian Lama, dan bapak rohani bagi semua orang dari segala bangsa yang diselamatkan melalui Kristus. Ketika menjelaskan kesatuan yang utama dari orang-orang yang memiliki iman seperti Abraham, Paulus berkata: "Karena itulah kebenaran berdasarkan iman supaya merupakan kasih karunia, sehingga janji itu berlaku bagi semua keturunan Abraham, bukan hanya bagi mereka yang hidup dari hukum Taurat, tetapi juga bagi mereka yang hidup dari iman Abraham. Sebab Abraham adalah bapa kita semua, seperti ada tertulis: `Engkau telah Kutetapkan menjadi bapa banyak bangsa` di hadapan Allah yang kepada-Nya ia percaya, yaitu Allah yang menghidupkan orang mati dan yang menjadikan dengan firman-Nya apa yang tidak ada menjadi ada." (Roma 4:16-17) Elemen universal ini ("olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat") merupakan inti perjanjian Allah dengan Abraham. Abraham adalah titik awal kisah tentang respons penebusan Allah atas masalah yang dimulai oleh Adam, yaitu pemberontakan dan dosa manusia. Dan karena dosa adalah masalah universal (memengaruhi semua orang dari segala bangsa), maka janji Allah juga bersifat universal (orang dari segala bangsa akan mendapatkan berkat melalui apa yang dilakukan Allah melalui Abraham dan pada akhirnya melalui Kristus). Dalam pengertian inilah perjanjian dengan Abraham menjadi landasan bagi doktrin tentang gereja dan misi kita. MusaPerjanjian di Sinai yang dilakukan Allah dengan Musa mengikat umat Israel sebagai bangsa di dalam PL dengan Yahweh, Allah mereka. Perjanjian ini dilakukan setelah tindakan perkasa Allah menyelamatkan mereka, yaitu peristiwa keluarnya bangsa Israel dari tanah Mesir. Jelas sekali bahwa tindakan penyelamatan ini didasarkan pada perjanjian Allah dengan Abraham. Allah bertindak membebaskan bangsa Israel dari tanah Mesir karena ia "mengingat" perjanjian-Nya dengan Abraham (Keluaran 2:24; 3:6,15; 6:2-8). Namun, bukan berarti bahwa waktu itu Allah "lupa" dengan perjanjian-Nya itu. Sebaliknya, kisah ini lebih menunjukkan bahwa waktunya sudah tiba bagi Allah untuk mengambil tindakan berdasarkan janji-Nya. Karena itu, kita semestinya tidak menganggap bahwa perjanjian di Sinai itu adalah bagian yang terpisah, atau lebih tinggi dari perjanjian dengan Abraham. Sebaliknya, kita harus memandangnya sebagai peneguhan dari apa yang sudah dijanjikan Allah kepada Abraham dan sekarang satu bagian dari janji itu sudah terpenuhi, yaitu kenyataan bahwa keturunannya sudah menjadi bangsa yang besar (Keluaran 1:7). Misi Allah (yaitu tujuan akhirnya) tetaplah sama, yaitu untuk memberkati bangsa-bangsa melalui keturunan Abraham. Namun sebagai satu bangsa, umat Israel juga perlu memberi respons kepada Allah seperti yang dilakukan oleh Abraham, yaitu melalui iman dan ketaatan. Inilah intisari perjanjian yang diterakan (disebutkan secara tertulis, Red.) di Sinai. Pembukaan dari pemberian hukum-hukum dan perjanjian di Sinai jelas menunjukkan bahwa asal perjanjian ini adalah karya penyelamatan Allah sendiri ("Aku telah membawamu keluar dari tanah Mesir"), dan tujuannya terkait dengan peran Israel di antara segala bangsa di atas bumi yang adalah milik Allah juga ("Akulah yang empunya seluruh bumi"). "Kamu sendiri telah melihat apa yang Kulakukan kepada orang Mesir, dan bagaimana Aku telah mendukung kamu di atas sayap rajawali dan membawa kamu kepada-Ku. Jadi sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala bangsa, sebab Akulah yang empunya seluruh bumi. Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah semuanya firman yang harus kaukatakan kepada orang Israel." (Keluaran 19:4-6) Perjanjian Sinai memuat hukum-hukum Allah. Namun, hukum-hukum itu pun merupakan kasih karunia yang dimaksudkan untuk membentuk Israel menjadi umat yang berbeda dan menjadi bangsa yang kudus: syarat yang mereka perlukan untuk menjadi "imam" di antara bangsa-bangsa. Pemberian hukum-hukum ini terjadi "sesudah" Israel keluar dari Mesir. Sebelum perjanjian Sinai, Kitab Keluaran telah mencatat 18 pasal yang berbicara tentang penyelamatan yang dilakukan Allah sebelum satu pasal pun di dalamnya yang berbicara tentang hukum. Setelah kisah penyelamatan (pasal 19), Sepuluh Perintah Allah (pasal 20), dan pembuatan perjanjian (pasal 24), kita hanya sampai pada Perjanjian Sinai . Perjanjian Sinai, sama seperti semua perjanjian alkitabiah lainnya, didasarkan atas kasih karunia Allah dan dimotivasi oleh misi Allah sendiri. Artinya, perjanjian ini "melihat ke belakang", melihat pada karya yang sudah dilakukan Allah bagi bangsa Israel oleh karena kasih dan kasih karunia-Nya dalam membebaskan mereka dari perbudakan. Perjanjian ini juga "melihat ke depan" kepada tujuan Allah dalam sejarah yang dilakukan-Nya melalui Israel, yaitu menjadikan mereka sebagai alat bagi-Nya untuk memberkati bangsa-bangsa. Hukum-hukum yang diberikan terkait dengan dua sudut pandang ini. Dengan demikian, kita seharusnya tidak menafsirkan hukum-hukum PL secara tersendiri, terpisah dari narasi dan konteks teologis di mana hukum tersebut diberikan. Hukum-hukum itu juga tidak diberikan sebagai alat bagi bangsa Israel untuk mencapai atau menjadikan diri mereka layak mendapatkan keselamatan dari Allah. Hukum itu juga tidak diberikan sebagai peraturan-peraturan kekal yang harus diterapkan secara universal dan harfiah yang kaku. Hukum ini sesungguhnya diberikan kepada umat Allah yang sudah ditebus, untuk memampukan mereka, dalam konteks sejarah dan budaya mereka sendiri. Fungsinya adalah untuk memampukan mereka merespons dengan tepat kasih karunia Allah yang menyelamatkan dan untuk hidup dengan cara menunjukkan watak dan kehendak Allah bagi bangsa-bangsa. DaudPenetapan raja di Israel diwarnai banyak kelemahan, yang disebabkan oleh kegagalan manusia dan motivasi yang salah. Namun Allah, sebagaimana yang sering terjadi, bahkan mengambil inisiatif manusia yang penuh kekurangan sekali pun, dan membangunnya untuk mencapai tujuan-Nya yang agung dan menyelamatkan. Allah juga membuat perjanjian dengan Daud (2 Samuel 7). Oleh sebab itu, beginilah kaukatakan kepada hamba-Ku Daud: "Beginilah firman TUHAN semesta alam: Akulah yang mengambil engkau dari padang, ketika menggiring kambing domba, untuk menjadi raja atas umat-Ku Israel. Aku telah menyertai engkau di segala tempat yang kaujalani dan telah melenyapkan segala musuhmu dari depanmu. Aku membuat besar namamu seperti nama orang-orang besar yang ada di bumi. Aku menentukan tempat bagi umat-Ku Israel dan menanamkannya, sehingga ia dapat diam di tempatnya sendiri dengan tidak lagi dikejutkan dan tidak pula ditindas oleh orang-orang lalim seperti dahulu, sejak Aku mengangkat hakim-hakim atas umatKu Israel. Aku mengaruniakan keamanan kepadamu dari pada semua musuhmu. Juga diberitahukan TUHAN kepadamu: TUHAN akan memberikan keturunan kepadamu. Apabila umurmu sudah genap dan engkau telah mendapat perhentian bersama-sama dengan nenek moyangmu, maka Aku akan membangkitkan keturunanmu yang kemudian, anak kandungmu, dan Aku akan mengokohkan kerajaannya. Dialah yang akan mendirikan rumah bagi nama-Ku dan Aku akan mengokohkan takhta kerajaannya untuk selama-lamanya. Aku akan menjadi Bapanya, dan ia akan menjadi anak-Ku. Apabila ia melakukan kesalahan, maka Aku akan menghukum dia dengan rotan yang dipakai orang dan dengan pukulan yang diberikan anak-anak manusia. Tetapi kasih setia-Ku tidak akan hilang dari padanya, seperti yang Kuhilangkan dari pada Saul, yang telah Kujauhkan dari hadapanmu. Keluarga dan kerajaanmu akan kokoh untuk selama- lamanya di hadapan-Ku, takhtamu akan kokoh untuk selama-lamanya." (2 Samuel 7:8-16) Sesungguhnya dalam 2 Samuel 7 itu sendiri tidak ada kata "perjanjian" tetapi ada bagian perikop lainnya yang dengan jelas memahami dan memuat janji yang dibuat Allah ini sebagai sebuah perjanjian: "Sebab Ia menegakkan bagiku suatu perjanjian kekal, teratur dalam segala-galanya dan terjamin" (2 Samuel 23:5). Baca juga Mazmur 89:4-5, "Engkau telah berkata: `Telah Kuikat perjanjian dengan orang pilihan-Ku, Aku telah bersumpah kepada Daud, hamba-Ku: Untuk selama-lamanya Aku hendak menegakkan anak cucumu, dan membangun takhtamu turun-temurun.`" Sekali lagi kita melihat bahwa inisiatif perjanjian ini datang dari Allah, dan ini adalah sebuah tindakan kemurahan karunia dan kasih-Nya. Daud hanya bisa memberi respons dengan keheranan dan ucapan syukur. Perjanjian dengan Daud juga menggemakan perjanjian yang pernah dibuat dengan Abraham. Sama seperti perjanjian dengan Abraham:
Selain itu, perjanjian dengan Daud akhirnya menjadi "dasar pengharapan akan Mesias" dalam PL, yaitu pengharapan bahwa Allah akan membangkitkan Anak Daud yang sejati, yang akan menyelamatkan umat Allah dari semua musuhnya, dan kemudian memerintah atas umat Allah dalam kedamaian dan keadilan yang sempurna, kekal selamanya. Pada akhirnya, PB melihat pemenuhan perjanjian Daud ini dalam diri Yesus. PERJANJIAN YANG BARUSederetan raja-raja di Yehuda dan Israel bisa dikatakan bergerak dari yang buruk menjadi lebih buruk lagi (dengan beberapa pengecualian yang patut dicatat, seperti Hizkia dan Yosia). Bangsa Israel jatuh ke dalam lubang pemberontakan yang semakin dalam, melawan Allah dan mengabaikan hukum-hukum serta perjanjian-Nya. Pada akhirnya, Allah menyatakan bahwa ancaman yang termuat sebagai bagian tak terpisahkan dari perjanjian itu harus dipenuhi. Karena itu, Allah mengirim Israel ke pembuangan sebagai bentuk penghukuman. Yerusalem dihancurkan oleh Nebukadnezar dan orang-orang Israel digiring sebagai tawanan di Babel. Namun demikian, janji Allah kepada Abraham tidak pernah dilupakan. Di balik hukuman itu masih ada harapan karena kesetiaan Allah terhadap misi yang sudah dicanangkan-Nya. Harapan inilah yang disampaikan oleh nabi-nabi sebelum masa pembuangan, dan yang diteguhkan kembali oleh nabi-nabi pada masa pembuangan. Maka bangkitlah visi tentang sebuah perjanjian baru. Visi ini bukan merupakan sesuatu yang berbeda sekali dari perjanjian aslinya, tetapi sebagai sebuah perjanjian yang lebih lengkap dan memberikan kesempurnaan dalam hubungan Allah dengan umat-Nya. Pernyataan yang paling jelas terdapat dalam Yeremia 31:31-34, yang kita kenal dengan baik karena ayat-ayat ini dikutip dua kali dalam surat Ibrani. Yeremialah yang mengungkapkannya dalam kata-kata yang sangat tepat, yaitu sebuah "perjanjian baru": "Sesungguhnya, akan datang waktunya, demikianlah firman TUHAN, Aku akan mengadakan perjanjian baru dengan kaum Israel dan kaum Yehuda, bukan seperti perjanjian yang telah Kuadakan dengan nenek moyang mereka pada waktu Aku memegang tangan mereka untuk membawa mereka keluar dari tanah Mesir; perjanjian-Ku itu telah mereka ingkari, meskipun Aku menjadi tuan yang berkuasa atas mereka, demikianlah firman TUHAN. Tetapi beginilah perjanjian yang Kuadakan dengan kaum Israel sesudah waktu itu, demikianlah firman TUHAN: Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka; maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku. Dan tidak usah lagi orang mengajar sesamanya atau mengajar saudaranya dengan mengatakan: Kenallah TUHAN! Sebab mereka semua, besar kecil, akan mengenal Aku, demikianlah firman TUHAN, sebab Aku akan mengampuni kesalahan mereka dan tidak lagi mengingat dosa mereka." (Yeremia 31:31-34) Konsep dan janji akan adanya sebuah rencana perjanjian baru antara Allah dan umat-Nya juga terdapat di beberapa tempat lainnya dalam tulisan para nabi. Misalnya, Yehezkiel pasal 34-37 melihat pemulihan di masa depan dan pembentukan ulang Israel dalam bahasa yang menggemakan semua perjanjian dengan Nuh, Daud, dan yang di Sinai (misalnya, Yehezkiel 34:23-31). Seluruh nada penglihatan Yehezkiel tentang masa depan sangat bernuansa perjanjian. Kitab Yesaya juga menggunakan bahasa perjanjian untuk mengekspresikan masa depan secara universal, yang mencakup bangsa-bangsa. Yesaya 42:6 dan 49:6 menyatakan bahwa salah satu misi hamba TUHAN adalah menjadi "perjanjian bagi umat manusia yang harus dipahami sebagai setara dengan menjadi `terang bagi bangsa-bangsa`". Perjanjian dengan Daud disebutkan dalam Yesaya 55:3-5, tetapi janji itu menjadi universal dan meluas menjangkau seluruh umat manusia. Bahkan perjanjian dengan Nuh dikukuhkan dengan tingkat kepastian berkat janji Allah bagi umat-Nya di masa depan, yaitu dalam Yesaya 54:7-10. Semua nubuatan Perjanjian Lama tentang perjanjian yang baru tentu saja diteruskan oleh PB dan diterapkan kepada Yesus. Ia dipandang sebagai yang menghadirkan perjanjian baru, dan meluaskan janji itu kepada semua orang dalam rangka pemenuhan perjanjian kepada Abraham. Yesus sendiri, dalam perjamuan malam terakhir di malam Paskah sebelum disalibkan, berbicara tentang anggur dengan menggunakan istilah yang sangat sarat makna: "Cawan ini adalah perjanjian baru oleh darah-Ku, yang ditumpahkan bagi kamu." (Lukas 22:20) Dengan kata lain, darah Yesus yang ditumpahkan di kayu salib, memeteraikan perjanjian yang baru, yang melaluinya memungkinkan keselamatan dan pengampunan dosa. Karena itu tidak mengejutkan jika dokumen-dokumen yang akhirnya dikumpulkan bersama-sama, yang memberi kesaksian tentang Yesus, menceritakan kematian-Nya dan kebangkitan-Nya, karunia-karunia Roh Kudus, dan tugas misi awal pengikut-Nya dalam kehidupan bangsa-bangsa bukan Yahudi, secara keseluruhan disebut "Perjanjian Baru". Dasar kesatuan antara PL dan PB adalah perjanjian Allah. Akhirnya, Alkitab menunjukkan kepada kita pemenuhan kesempurnaan perjanjian Allah dengan Abraham dalam kitab Wahyu. Bahkan semua perjanjian agung di Alkitab ada di dalam kitab ini.
Semua contoh di atas menunjukkan klimaks agung sejarah panjang perjanjian di seluruh Alkitab. Semua perjanjian tersebut secara bersama-sama menyatakan misi Allah untuk memenuhi janji yang akan ditepati-Nya bagi bangsa-bangsa dan seluruh ciptaan. Kitab Wahyu bisa dianggap sebagai deklarasi perjanjian yang terakhir: "Misi telah terlaksana!" TUJUAN MISI ALLAHCara lain yang bisa dipakai untuk memahami pesan Alkitab sebagai suatu keseluruhan adalah dengan memikirkan Alkitab dalam hubungannya dengan misi Allah. Maksud saya di sini bukanlah sekadar misi kita (atau sejumlah misi), yaitu pelayanan gereja mengirimkan misionarisnya melayani ke luar negara mereka. Maksud saya mengenai misi adalah misi agung Allah untuk mendatangkan penebusan dan pemulihan bagi seluruh ciptaan, termasuk keselamatan manusia dan segala bangsa dan menggandeng mereka sebagai bagian dalam umat manusia baru yang telah ditebus sebagai ciptaan yang baru. Bagian akhir Alkitab memiliki gema yang sama luar biasanya dengan di bagian awalnya, sehingga sangat menolong kita dalam memahami isi sepanjang bagian tengahnya. Kejadian dimulai dengan penciptaan, kemudian bergerak memasuki dunia bangsa-bangsa. Pemberontakan dan dosa mereka membuat manusia terpecah menyebar ke mana-mana dan ada di bawah kutuk. Kitab Wahyu menggambarkan bagaimana bangsa-bangsa dipulihkan saat mereka nantinya berkumpul bersama dalam satu kesatuan, di bawah berkat Allah, dalam pujian dan penyembahan. Kemudian dari sini semuanya bergerak menuju ciptaan baru, di mana Allah sekali lagi berdiam di antara umat-Nya. Sesudah cerita Menara Babel dalam Kejadian 11 (klimaks dari cerita pemberontakan manusia), Allah kemudian memanggil Abraham (Kejadian 12) untuk menjadi titik awal dari rencana-Nya memberkati semua bangsa. Dari Abraham, Allah menciptakan satu bangsa, yaitu bangsa Israel dalam PL. Mereka dipanggil untuk menjadi terang bagi bangsa-bangsa, untuk memenuhi janji Allah kepada Abraham. Dalam banyak hal Israel telah gagal. Namun karena kesetiaan akan janji-Nya, Allah mengirim Hamba dan Anak-Nya, Yesus dari Nazaret, untuk mewujudkan identitas Israel dan misinya (sebagai Mesias), dan untuk memungkinkan Injil Keselamatan disampaikan kepada bangsa-bangsa melalui kematian dan kebangkitan-Nya. Kemudian dalam PB, kita melihat pertumbuhan umat Allah, yang berawal dari satu etnik tunggal (kaum Israel) menjadi jemaat multinasional dari berbagai bangsa, yang semuanya dipersatukan di dalam Yesus sang Mesias. Setiap kali Injil Yesus melintasi etnik lain, menerobos penghalang-penghalang budaya dan bahasa, sebenarnya Allah sedang memenuhi janji-Nya kepada Abraham. Allah berjanji bahwa "melaluimu segala bangsa akan diberkati." Inilah yang sebenarnya terus berlangsung melalui tugas misi Umat Allah, yaitu mewujudkan misi Allah, karena misi kita pada dasarnya mengalir dari misi Allah. Pada akhirnya nanti, janji kepada Abraham dalam kitab Kejadian itu akan dipenuhi seperti yang dicatat oleh kitab Wahyu, ketika "sesungguhnya, suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhitung banyaknya, dari segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa, berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak Domba." (Wahyu 7:9)
---Satu bangsa: Satu manusia-Kristus: Gereja Multibangsa------> Dari Kejadian ke Wahyu
Jadi, sekali lagi kita menemukan bahwa Alkitab secara keseluruhan memiliki alur yang kuat di sekitar tema inti ini. Mungkin inilah yang dimaksud Rasul Paulus ketika mengatakan bahwa ia sudah mengajarkan kepada orang-orang Kristen di Efesus tentang "seluruh maksud Allah". Ada tiga cara yang bisa digunakan untuk menyatakan kesatuan Alkitab yang memengaruhi seluruh bagiannya sebagai satu keutuhan. Mungkin Anda bisa memikirkan cara lainnya. Namun yang penting, kita selalu berlatih menerapkan mentalitas "memandang Alkitab secara keseluruhan". Maksudnya, ketika Anda bermaksud mempelajari dan menggunakan perikop tertentu dalam Alkitab, pikirkanlah perikop itu dalam konteks Alkitab yang lebih luas. Kapan saja Anda mencari sudut pandang alkitabiah mengenai suatu masalah tertentu atau pertanyaan atau gagasan kontemporer yang sedang mengemuka, jangan sekadar mencari satu atau dua ayat secara acak yang menurut Anda relevan. Namun, tatalah masalah itu secara berurut dalam terang seluruh kisah Alkitab, dan perhatikan terang apa yang menerangi masalah tersebut dari semua bagian-bagian utama yang ada di Alkitab.
Sumber:
Diambil dari:
KomentarPublikasi e-Reformed |