Sistematika

warning: Creating default object from empty value in /home/sabdaorg/public_sabda/reformed/modules/taxonomy/taxonomy.pages.inc on line 33.
Teologia Sistematika adalah teologia yang disusun berdasarkan penataan doktrin-doktrin iman Kristen secara sistematis dan logis.

Penebusan Yang Terbatas

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Tak lama lagi, kita akan merayakan Paskah. Saya berharap artikel yang saya kirimkan ini dapat menolong kita semua untuk mempersiapkan hati merenungkan kasih Allah yang luar biasa bagi kita, umat pilihan-Nya.

Ada banyak orang Kristen yang mungkin merayakan Paskah sekadar sebagai tradisi gereja saja. Kristus dipandang hanya sebagai "Pahlawan" kemanusiaan, bahwa Ia rela mati untuk manusia secara umum. Kita ikut senang karena kita adalah anggota dari manusia secara umum. Karena itu, perayaan Paskah acap kali menjadi sangat "impersonal". Namun, pernahkah Anda sungguh-sungguh merenungkan bahwa secara khusus Kristus datang, menanggung sengsara, dan mati adalah untuk Anda secara pribadi? Nah, artikel di bawah ini akan memaksa Anda untuk mengetahui kebenaran ini.

Selamat merayakan Paskah. Biarlah kebenaran bahwa Kristus telah mengalahkan maut supaya kita dapat hidup, menjadi kekuatan kita untuk terus hidup bagi Dia.

"Hidup bagiku adalah Kristus." (Fil. 1:21)

In Christ,
Yulia Oeniyati
< yulia(at)in-christ.net >

Penulis: 
Cheah Fook Meng
Edisi: 
109/III/2009
Tanggal: 
25-3-2009
Isi: 

Penebusan yang Terbatas

(Limited Atonement)

Hal mendasar yang paling kontroversial dalam iman Reformed adalah doktrin tentang penebusan yang terbatas (limited atonement). Istilah itu sendiri kontroversial karena sepertinya menyiratkan gagasan bahwa penebusan itu terbatas dalam kuasanya yang menyelamatkan. Namun, isi doktrinnya mungkin lebih kontroversial daripada istilahnya. Karena menurut doktrin iman Reformed -- bertentangan dengan sudut pandang aliran teologi lain -- menyatakan bahwa Kristus mati hanya untuk sejumlah orang saja.

Seperti halnya banyak orang, saya dulu memercayai gagasan umum bahwa Kristus mati untuk semua manusia. Awalnya saya berpikir bahwa itulah kebenaran paling logis untuk dipercayai, apalagi saat Anda melihat fakta Alkitab yang mengatakan, "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini" (Yohanes 3:16). Pemikiran saya yang sederhana mengatakan bahwa sesuatu yang baik seperti anugerah keselamatan pasti menguntungkan semua manusia. Jika anugerah ini sifatnya selektif, maka Allah tidak adil.

keselamatan

Namun, saat saya merenungkan isu penebusan dosa ini dengan lebih dalam, saya menyadari bahwa pendapat saya tentang "Kristus mati untuk semua manusia" sebenarnya tidak terlalu konsisten dengan apa yang selama ini Alkitab ajarkan tentang natur dan desain penebusan dosa. Pemahaman saya yang terbatas tentang penebusan dosa menghalangi saya mengetahui kuasa dan tujuan kematian Kristus bagi para pendosa.

Sebelum kita masuk lebih dalam kepada kontroversi itu, kita perlu memahami lebih dahulu konsep-konsep yang ada dalam doktrin penebusan.

Istilah Penebusan (Atonement)

Di Alkitab, istilah "penebusan" digunakan dalam dua hal. Di Perjanjian Lama (PL), istilah ini berarti "menutupi, atau menyembunyikan". Istilah yang digunakan di konteks ibadah PL merujuk pada makna menutupi dosa seseorang. Penebusan dosa ini melibatkan penyembelihan anak domba yang tidak bercela. Pada saat anak domba ini disembelih, darahnya dipercikkan ke selubung emas Tabut Perjanjian untuk menghapus murka Allah. Darah itu juga dipercikkan kepada anak domba kedua yang kemudian dibiarkan bebas. Kebebasan ini mengindikasikan kebebasan pendosa. Dia dibebaskan dari dosa karena hidupnya sudah ditebus oleh darah anak domba.

Di Perjanjian Baru (PB), istilah "penebusan" digunakan di Roma 3:5 untuk kata "pendamaian". Pendamaian mencakup pemadaman murka Allah sehingga seorang pendosa tidak perlu lagi mananggung penderitaan akibat murka Allah terhadapnya. Hasil dari pendamaian ini adalah anugerah pengampunan dan kebebasan. Pendosa dibebaskan dari dosa dan diperdamaikan dengan Allah.

Penebusan Kristus: Pelunasan Keadilan Tuhan Yang Sungguh Menyelamatkan

Alkitab mengatakan bahwa Yesus Kristus adalah Penebus kita. Dia adalah Anak Domba yang tidak bercela yang digiring ke Kalvari untuk menutupi dosa kita dengan darah-Nya. Kematian Yesus tidak terjadi karena Dia melakukan tindak kriminal. Yesus mati sebagai penanggung dosa kita. Dia mengambil dosa-dosa kita dan menjadi bersalah karena dosa-dosa kita. Dan, oleh karena hal ini, Dia menanggung murka Allah.

Dengan kematian-Nya, Kristus juga menghapus murka Allah. Dia melakukan ini untuk memenuhi semua persyaratan yang Allah tetapkan untuk seorang pendosa kembali kepada-Nya. Allah itu adil. Keadilan-Nya menuntut dua hal dari pendosa agar dapat diperdamaikan dengan Allah. Pertama, semua pendosa harus mati untuk dosanya. Tuhan tidak main-main dengan dosa. Dia menghukum semua pendosa dengan maut. Kedua, pendosa yang ingin diselamatkan dari murka-Nya harus memenuhi semua perintah hukum Allah yang benar. Dosa adalah suatu pelanggaran terhadap hukum Allah. Dan untuk diperdamaikan dengan Allah, seseorang harus menaati semua perintah-perintah Allah. Jika kita dapat memenuhi dua persyaratan tersebut, Allah akan mencabut murka-Nya atas kita.

Masalahnya sudah jelas. Semua orang telah berdosa. Tidak ada satu orang pun yang dapat memenuhi persyaratan Allah yang sempurna. Manusia harus menemukan penggantinya. Pengganti kita adalah Yesus Kristus.

Yesus Kristus pergi ke Kalvari untuk memenuhi tuntutan kebenaran Allah dan untuk menarik murka-Nya atas kita. Yesus Kristus sangat cocok untuk melakukan penebusan ini karena Dia adalah Manusia yang sempurna, Manusia tak berdosa. Pada saat Yesus Kristus menawarkan diri-Nya sebagai Penebus kita, Dia melakukannya sebagai Seseorang yang menanggung dosa-dosa kita. Jadi, Yesus menggantikan kita menanggung maut. Selain itu, saat Dia memberikan diri-Nya sendiri kepada Allah sebagai Penebus dosa-dosa kita, Dia menampilkan diri-Nya sendiri sebagai Seseorang yang telah memenuhi tuntutan kebenaran Allah demi kita.

Allah dipuaskan dengan kematian Yesus. Di sepanjang hidup-Nya, Yesus menaati mandat Bapa untuk menderita bagi umat-Nya dan menaati hukum atas nama mereka. Dia tidak menyerah terhadap tekanan yang mendesak-Nya untuk meninggalkan tugas-Nya. Dia memenuhi misi-Nya, bahkan saat Dia mengetahui bahwa misi tersebut mengharuskan-Nya untuk menanggung murka Bapa. Yesus berhasil menuntaskan misi tersebut. Di kayu salib, Dia berteriak, "Sudah selesai." Penebusan telah terpenuhi. Arti sesungguhnya dari hal ini adalah bahwa Yesus sungguh dan secara efektif menghapuskan murka Allah dan membawa perdamaian antara Allah dan manusia. Pada kematian-Nya, Dia telah mencurahkan darah-Nya untuk menutupi dosa-dosa kita sehingga Allah tidak lagi menghukum kita dengan maut. Dalam kematian Kristus, kita sungguh-sungguh dibebaskan. Kita dapat mengatakan bahwa penebusan-Nya efektif; yakni, penebusan ini sungguh menyelamatkan kita dari murka Allah, karena kalau tidak, kita pasti sudah masuk neraka.

Bahkan sebelum kita menjawab pertanyaan tentang arti luas penebusan, yakni, "Untuk siapa Kristus mati?", kita harus yakin pada fakta bahwa Kristus, dengan kematian-Nya, sesungguhnya memenuhi keadilan Allah yang sempurna, dan akhirnya menebus kita dari kutuk maut. Bukti dari hal ini adalah di Ibrani 9:12: "dan Ia telah masuk satu kali untuk selama-lamanya ke dalam tempat yang kudus bukan dengan membawa darah domba jantan dan darah anak lembu, tetapi dengan membawa darah-Nya sendiri. Dan, dengan itu Ia telah mendapat kelepasan yang kekal."

Ayat ini menunjukkan bahwa penebusan Kristus adalah tindakan penyelamatan yang pasti. Ini adalah kematian yang sungguh menyelamatkan. Ayat tersebut mengatakan bahwa Kristus telah "mendapat kelepasan yang kekal". Kata "mendapatkan" berarti penebusan telah tercapai dan terwujud. Salah satu versi terjemahan Alkitab menggunakan kata "memperoleh".

Bagi non-Calvinis, penebusan hanyalah sebuah syarat. Kristus mati hanya untuk membuat keselamatan menjadi mungkin. Kematian Kristus, kata mereka, telah menyingkirkan segala halangan yang mencegah pendosa untuk datang kepada Kristus. Tidak ada apa pun yang berdiri di antara dirinya dan Kristus, kecuali ketidakmauannya sendiri.

Hal ini tidak benar. Nilai apa yang ada dalam penebusan semacam ini? Jika penebusan hanya membentuk dasar dari keselamatan, tetapi tidak memiliki kuasa untuk menyelamatkan, nilai apa yang terkandung di dalamnya? Nilai apa yang didapat dari sebuah penebusan yang tidak memberikan keselamatan?

Lebih tepat untuk mengatakan bahwa Kristus mati demi menghapus dosa kita. Kristus tidak mati hanya untuk membuka jalan yang memungkinkan penghapusan dosa dan keselamatan dapat dialami oleh para pendosa. Kematian-Nya sungguh merupakan suatu penebusan dosa, yaitu, Dia benar- benar mati untuk menghapus dosa-dosa kita. Meskipun kenyataan pengampunan ini tidak dialami seorang pendosa hingga ia menerimanya dengan iman, Kristus benar-benar menggantikan kita di kayu salib. Dosa kita ditanggungkan pada Kristus, dan kebenaran-Nya diberikan kepada kita. Perubahan pribadi tentu saja tidak terjadi hingga kita menaruh iman kita pada Kristus. Namun, sebuah penggantian benar-benar terjadi dalam alam spiritual saat Kristus berteriak, "Sudah selesai." Hal ini terlihat abstrak. Saya akan menjelaskannya dengan sebuah contoh.

Jimmy berusia 7 tahun. Ayahnya mengirim $1 juta ke rekening Jimmy. Akan tetapi, karena dia masih terlalu muda untuk menggunakan uang sebanyak itu, ayahnya mengatakan padanya bahwa dia hanya dapat menarik uangnya pada saat ia berumur 25 tahun. Meskipun Jimmy hanya dapat memilikinya di kehidupannya nanti, tetapi $1 juta yang telah didepositokan di bank itu sungguh ada dan nyata. Buku tabungan atas namanya benar-benar menunjukkan saldo $1 juta. Pada umur 7 tahun, Jimmy memiliki $1 juta. Namun, dia belum benar-benar menjadi seorang miliuner hingga ia dewasa nanti.

Kematian Kristus sungguh-sungguh merupakan karya penyelamatan, di mana benar-benar terjadi sebuah pertukaran. Murka Allah secara efektif dihapuskan; dosa-dosa kita sungguh dilenyapkan, dan perdamaian terjadi. Kematian-Nya bukanlah, saya katakan lagi, sebuah prasyarat, di mana Dia hanya membuka jalan bagi para pendosa untuk kembali kepada Allah. Iman Reformed mengajarkan bahwa dalam buku kehidupan Allah, pertukaran terpenuhi saat Kristus mati di kayu salib. Pertukaran yang sungguh terjadi ini menjamin perubahan sejati yang akan terjadi pada saat pendosa secara sadar datang kepada Kristus untuk hidup yang baru.

Sekarang kita yakin (saya harap), bahwa kematian Kristus benar-benar merupakan karya keselamatan, dan kita siap untuk menghadapi pertanyaan, "Untuk siapa Kristus mati?" Pertanyaan ini adalah pertanyaan logis yang mengikuti kesimpulan kita sebelumnya. Jika Kristus sungguh melakukan sebuah karya penyelamatan di kayu salib, untuk siapakah Dia menyerahkan diri-Nya untuk membawa keselamatan?

Kematian Kristus adalah Sebuah Substitusi

Alkitab selalu menggunakan istilah penggantian (substitusi) untuk istilah penebusan dosa. Teologi Kristen mengatakan bahwa kematian Kristus adalah kematian yang menggantikan. Ini merupakan faktor dasar dalam menganalisa doktrin penebusan dosa yang terbatas. Dalam kematian-Nya, Ia menanggung dosa. Akan tetapi, dosa siapa? Dia dihukum demi kita. Namun, "kita" itu siapa?

Pertanyaan "untuk siapa Kristus mati?" adalah pertanyaan yang menyinggung penebusan dalam arti luas. Kita harus menjawab pertanyaan ini dengan terlebih dahulu menegaskan apa yang telah kita katakan sebelumnya tentang natur penebusan dosa oleh Kristus. Anda ingat, penebusan dosa merupakan karya nyata keselamatan yang membawa sebuah transaksi yang benar-benar menyelamatkan antara Allah dan pendosa. Kenyataan ini adalah kebenaran yang tidak dapat ditawar-tawar. Faktor kedua yang harus dipertimbangkan adalah karakter penggantinya.

Iman Reformed memandang penebusan dosa sebagai sebuah penggantian (substitution). Ini berarti bahwa Kristus mati untuk menggantikan kita.

Kita semua tahu apa arti substitusi/penggantian itu. Dalam permainan sepak bola, seorang pelatih kadang memanggil seorang pemain cadangan untuk menggantikan pemain lain yang cedera atau permainannya buruk. Pemain itu keluar dan pemain cadangan menggantikan tempatnya.

Kristus adalah pengganti kita di kayu salib. Dia mati menggantikan kita. Alih-alih memaku kita di salib, Allah menyediakan pengganti bagi kita di kayu salib dan mencurahkan murka-Nya atas-Nya. Namun di kayu salib, Allah juga memberikan kepada kita kebenaran (righteousness) Kristus.

Hal ini, seperti Rev. Carl Haak (seorang pendeta gereja Reformed Protestan) katakan dalam salah satu pesannya melalui radio, adalah sesuatu yang tidak biasa. Ketika seorang pemain cadangan dalam olahraga menggantikan posisi pemain lain, skor yang diperolehnya tidak diberikan pada orang yang dia gantikan. Namun, skor yang ia dapat adalah untuk dirinya sendiri.

Namun, penggantian yang Kristus lakukan di kayu salib berbeda. Ketika Dia mati di kayu salib, Tuhan memberikan kebenaran-Nya pada kita! Apa yang Pengganti kita dapatkan untuk kita, diberikan-Nya kepada kita.

Dalam teologi Kristen, kita menyebut penebusan ini sebagai penebusan yang dilakukan untuk orang lain. Alkitab menggunakan preposisi "untuk" (dalam bahasa Yunani -- "atas nama") untuk menunjukkan natur penebusan dosa yang substitusional dan dilakukan untuk orang lain ini.

"Sebab kasih Kristus yang menguasai kami, karena kami telah mengerti, bahwa jika satu orang sudah mati untuk (atas nama) semua orang, maka mereka semua sudah mati." (2 Korintus 5:14)

"dan kamu tidak insaf, bahwa lebih berguna bagimu, jika satu orang mati untuk (atas nama) bangsa kita dari pada seluruh bangsa kita ini binasa." (Yohanes 11:50)

"Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk (atas nama) kita, ketika kita masih berdosa." (Roma 5:8)

"yang sudah mati untuk (atas nama) kita, supaya entah kita berjaga-jaga, entah kita tidur, kita hidup bersama-sama dengan Dia." (1 Tesalonika 5:10)

"Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristuspun telah menderita untuk (atas nama) kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya." (1 Petrus 2:21)

"Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk (atas nama) kita; jadi kitapun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita." (1 Yohanes 3:16)

Kristus mati hanya untuk orang-orang pilihan. Ini adalah doktrin Alkitab yang jelas dan menyakinkan.

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Pengertian penggantian ini bukanlah pengertian asing yang ada dalam agama dan budaya Ibrani. Dalam budaya Ibrani, ada sebuah praktik yang sangat menarik yang disebut penebus kerabat yang bisa menggambarkan aspek penggantian dalam penebusan dosa yang dilakukan Kristus.

Pada masa lalu, saat seorang wanita kehilangan suaminya, dia sangat rawan sekali dirugikan dan berada dalam bahaya. Dalam masyarakat yang menganut sistem patrilineal, di mana para pria yang berkuasa dan bekerja, sulit bagi seorang janda mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Dan lagi, dia juga menjadi mangsa yang empuk bagi orang-orang jahat yang ingin mengambil keuntungan dari status hidupnya yang inferior.

Untuk melindungi seorang janda, hukum Musa mengizinkan seorang kerabat dekat untuk menikahinya. Kerabat pria yang akan menikahinya untuk menyelamatkannya dari situasi berbahaya ini disebut penebus kerabat.

Kamus Alkitab Easton mencatat beberapa fakta mengenai penebus kerabat dari Alkitab:

1. Bahasa Ibrani untuk kerabat adalah "goel". Akar makna goel adalah menebus. Ini menyiratkan bahwa dalam pola pikir Ibrani, penebusan dilakukan untuk menyelamatkan orang-orang tertentu.

2. "Goel" di antara kaum Ibrani, haruslah pria yang memiliki hubungan darah terdekat.

3. "Goel" ini dibutuhkan untuk menyelesaikan beberapa kewajiban pentingnya. Bila seseorang dalam keadaan miskin dan tidak dapat menebus hartanya, adalah tugas kerabat untuk menebusnya (Imamat 25:25, 28; Rut 3:9, 12). Dia juga harus menebus kerabatnya yang telah menjual diri sebagai budak (Imamat 25:48, 49).

4. "Goel" juga merupakan penuntut darah (Bilangan 35:21) bila kerabatnya mati dibunuh.

Yang paling mengesankan adalah fakta bahwa Allah adalah "Goel" umat- Nya, sebab Dia menebus mereka.

"Sebab itu katakanlah kepada orang Israel: Akulah TUHAN, Aku akan membebaskan kamu dari kerja paksa orang Mesir, melepaskan kamu dari perbudakan mereka dan menebus kamu dengan tangan yang teracung dan dengan hukuman-hukuman yang berat." (Keluaran 6:6)

"Tetapi sekarang, beginilah firman TUHAN yang menciptakan engkau, hai Yakub, yang membentuk engkau, hai Israel: "Janganlah takut, sebab Aku telah menebus engkau, Aku telah memanggil engkau dengan namamu, engkau ini kepunyaan-Ku." (Yesaya 43:1)

"Dia yang menebus hidupmu dari lobang kubur, yang memahkotai engkau dengan kasih setia dan rahmat," (Mazmur 103:4)

Baca juga Yesaya 41:14; 44:6, 22; 48:20 dan Ayub 19:25.

Kristus adalah Penebus kerabat, "Goel", yang menebus umat Allah dari dosa. Penulis Perjanjian Baru menerapkan kebenaran ini dalam banyak cara. Salah satu pasal tentang hal ini terdapat dalam Roma 5.

Dalam Roma 5, Paulus membahas dua kepala umat manusia. Adam, katanya, adalah kepala umat manusia yang telah jatuh dalam dosa. Kristus adalah Kepala umat manusia yang sudah ditebus dan dibenarkan.

"Sebab itu, sama seperti oleh satu pelanggaran semua orang beroleh penghukuman, demikian pula oleh satu perbuatan kebenaran semua orang beroleh pembenaran untuk hidup. Jadi sama seperti oleh ketidaktaatan satu orang semua orang telah menjadi orang berdosa, demikian pula oleh ketaatan satu orang semua orang menjadi orang benar." (Roma 5:8, 19)

Ketidakpatuhan Adam telah membawa maut bagi semua yang berdosa. Ini termasuk tiap-tiap manusia. Sebab, setiap manusia berdosa akibat dosa asal yang diwariskan Adam.

Ketaatan Kristus membawa kehidupan bagi manusia yang dibenarkan dalam kehidupan. Namun tentu saja, hal ini bukan untuk setiap manusia, karena tidak setiap manusia diselamatkan di dalam dan oleh Kristus.

Alasan mengapa semua orang mati karena Adam adalah karena Adam bertindak sebagai wakil kita di Taman Firdaus. Karena itu, dosa pribadinya memiliki konsekuensi yang sangat luas. Dosanya itu menghancurkan seluruh manusia. Dengan prinsip perwakilan yang sama, ketaatan Kristus telah memberikan kehidupan bagi banyak orang. Alasan mengapa tidak semua manusia dibenarkan dalam hidup adalah karena Kristus bukan wakil dari setiap manusia. Dia datang dan mati sebagai wakil dari umat pilihan Allah.

Bagaimana dengan kata "semua" di ayat 19? Kata ini jelas tidak secara serta-merta menunjuk kepada semua orang. Kata "semua" yang digunakan dalam teks tersebut digunakan untuk menunjukkan fakta bahwa konsekuensi dari dosa Adam berdampak pada lebih dari satu orang. Demikian pula, ketaatan Kristus membawa kehidupan bagi lebih dari satu orang. Ketaatan-Nya memberikan kehidupan bagi banyak orang.

Prinsip perwakilan ini adalah sebuah prinsip umum yang berlaku dalam banyak bidang kehidupan. Misalnya saja tragedi 11 September. Ketika Presiden Bush mengumumkan perang terhadap terorisme, pengumuman ini tidak hanya merupakan pernyataan pribadi. Meskipun keputusan itu dibuat oleh presiden, pernyataan itu merupakan proklamasi nasional. Suaranya mewakili suara seluruh rakyat Amerika.

Penebusan adalah penggantian. Penebusan juga adalah sebuah pelunasan. Apa yang diajarkan oleh dua kebenaran ini adalah bahwa penebusan Kristus melalui kematian-Nya benar-benar menghapuskan murka Allah terhadap mereka yang telah ditebus melalui kematian Kristus.

Tiga Kemungkinan

Kita telah mengerti dua konsep dasar mengenai penebusan ini, sekarang marilah kita membahas tiga kemungkinan yang berhubungan dengan arti luas dari penebusan.

  1. Kristus mati untuk semua orang.
  2. Kristus mati bukan untuk siapa-siapa.
  3. Kristus mati untuk beberapa orang.

Apakah Kristus mati untuk semua manusia? Pernyataan pertama yang mengatakan, "Kristus mati untuk semua", saya katakan pada Anda, adalah hal yang mustahil. Jika Kristus benar-benar mati untuk menghapus murka Allah terhadap semua manusia di bumi, maka tidak ada seorang pun yang akan masuk neraka. Dan, jika Kristus benar-benar menanggung kesalahan semua manusia di atas kayu salib, maka akibatnya pasti semua manusia akan diampuni, dibenarkan, dan diselamatkan. Pernyataan ini tentu saja tidak sesuai dengan apa yang kita lihat dalam kehidupan yang sebenarnya. Bahkan, orang-orang non-Kristen dapat melihat bahwa tidak setiap orang masuk surga. Malahan, di dalam kehidupan nyata, banyak orang yang tersesat tanpa Tuhan.

Pandangan yang menyatakan bahwa Kristus mati untuk semua orang disebut sebagai universalisme. Pandangan ini dianut oleh sedikit kaum Kristen. Namun, kaum liberal sangat berpegang teguh memertahankan pandangan bahwa semua manusia suatu hari nanti akan diselamatkan.

Apakah Kristus mati bukan untuk siapa-siapa? Pernyataan bahwa Kristus mati bukan untuk siapa-siapa menunjukkan bahwa kematian Kristus semata-mata hanya sebagai suatu syarat. Dengan kata lain, Dia mati untuk membukakan jalan bagi para pendosa untuk diperdamaikan dengan Allah, dan mendapatkan pengampunan dan keselamatan.

Jelas ada masalah dalam pernyataan ini. Karena untuk mengatakan bahwa Kristus mati bukan untuk siapa-siapa benar-benar membuat penebusan itu tidak ada artinya. Sekali lagi, kita harus menanamkan dalam pikiran kita bahwa penebusan adalah suatu pelunasan dan penggantian yang benar-benar terjadi. Penebusan ini benar-benar menghapuskan murka Allah terhadap orang-orang yang ditebus melalui kematian Kristus. Pernyataan yang pertama paling tidak mengatakan bahwa Kristus benar-benar mati untuk manusia. Dia mati untuk semua orang. Akan tetapi, opini yang kedua ini menghina seluruh doktrin penebusan. Karena opini yang kedua ini mengatakan bahwa Kristus menghapus keadilan Allah, tetapi bukan untuk siapa-siapa. Dan, Kristus bukanlah penebus dosa bagi siapa pun. Dia juga tidak menghapus kesalahan setiap pendosa. Dan, jika Kristus tidak menanggung dosa siapa pun, lalu untuk siapa Dia mati? Pernyataan ini membuat pernyataan di Alkitab yang menyatakan bahwa "Kristus mati bagi orang-orang yang berdosa" menjadi tidak berarti. Apakah Dia mati untuk semua manusia? Atau apakah Dia mati bukan untuk siapa-siapa? Kedua pernyataan itu tidak benar.

Jika kematian Kristus bagi semua orang berarti bahwa semua manusia akan masuk surga, maka Kristus mati bukan untuk siapa-siapa menunjukkan bahwa tidak seorang pun akan masuk surga. Pernyataan pertama tidaklah masuk akal, sedang pernyataan kedua adalah konyol. Bagaimana mungkin seseorang bisa mengatakan bahwa Kristus mati untuk pendosa bila pada saat yang sama dia menyatakan bahwa Dia mati bukan untuk para pendosa? Hal ini seperti meminta seorang manajer bank mengatakan bahwa Anda tidak punya uang di bank padahal sebenarnya Anda sudah mendepositokan uang Anda seminggu yang lalu.

Pernyataan kedua membuat penebusan menjadi benar-benar tidak diperlukan. Bila Kristus mati bukan untuk siapa-siapa, maka Dia datang tanpa tujuan yang spesifik untuk menyelamatkan manusia yang ini atau yang itu. Keselamatan benar-benar merupakan pilihan manusia. Kristus mati hanya untuk membuka jalan kepada Tuhan. Di kayu salib, Dia hanya bisa berharap bahwa manusia akan berbalik kepada-Nya. Kristus menunggu para pendosa kembali kepada-Nya. Karya-Nya telah selesai. Kini giliran kita. Dan Kristus tidak bisa menyelamatkan kita bila kita tidak melakukan sesuatu dengan kehendak dan kemampuan bebas kita.

Apa yang saya lihat sangat kurang dalam pandangan Arminian tentang penebusan ini adalah pandangan alkitabiah tentang penggantian (substitution). Suatu penebusan pengganti yang tidak menggantikan, menurut saya bukanlah suatu penebusan. Seorang yang tidak menebus tidak bisa disebut sebagai penebus.

Kristus Mati untuk Mereka yang Terpilih

Salib Kristus

Pernyataan terakhir yang menyatakan bahwa Kristus mati hanya untuk beberapa orang adalah satu-satunya doktrin yang benar. Pernyataan tersebut benar bukan karena kita telah menolak kedua pernyataan sebelumnya, sehingga kita tinggal memiliki satu pilihan. Pernyataan tersebut benar karena doktrin ini sesuai dengan natur alkitabiah dalam doktrin penebusan. Kristus disalib untuk membayar lunas dosa orang-orang pilihan-Nya.

Mari kita lihat beberapa bukti alkitabiah yang menyiratkan bahwa Kristus mati untuk orang-orang tertentu.

Kristus mati untuk "umat-Nya":

"Ia akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka." (Matius 1:21)

Kristus mati untuk domba-domba-Nya:

"Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya;" (Yohanes 10:11)

Kristus mati untuk gereja-Nya:

"Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya" (Efesus 5:25)

Kristus mati untuk orang-orang pilihan:

"Siapakah yang akan menggugat orang-orang pilihan Allah? Allah, yang membenarkan mereka? Siapakah yang akan menghukum mereka? Kristus Yesus, yang telah mati? Bahkan lebih lagi: yang telah bangkit, yang juga duduk di sebelah kanan Allah, yang malah menjadi Pembela bagi kita?" (Roma 8:33-34)

Dari semua ayat di Alkitab yang membuktikan penebusan yang terbatas (ada banyak lagi ayat selain yang disebutkan di atas), saya paling suka menggunakan ayat dalam Roma 8. Dalam ayat 33, Paulus menguatkan pembacanya dengan mengatakan kepada mereka bahwa tidak seorang pun bisa menggugat orang-orang pilihan Allah dan menghukum mereka. Paulus menjelaskan alasannya di ayat 34, bahwa Kristus adalah Pribadi yang mati bagi mereka.

Kristus mati hanya untuk orang-orang pilihan. Ini adalah doktrin Alkitab yang jelas dan menyakinkan. (t/Dian)

Audio: Penebusan yang Terbatas

Sumber: 

Diterjemahkan dari:

Judul buku: The Readable Tulip: Understanding the Doctrines of Grace
Judul asli artikel: Limited Atonement
Penulis: Cheah Fook Meng
Penerbit: Genesis Book, Singapore 2003
Halaman: 29 -- 42

Perjanjian Baru: Kovenan Penebusan dalam Yesus Kristus

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Selamat Natal 2008 dan Tahun Baru 2009, saya ucapkan kepada para Anggota e-Reformed. Di tengah kemeriahan Natal serta hiruk pikuk keadaan ekonomi dan politik ini, semoga kita disadarkan akan satu -satunya berita Natal yang penting, Kristus telah datang ke dunia dengan suatu misi yang sangat jelas, yaitu untuk lahir, mati, dan bangkit demi menggenapi rencana penebusan Allah atas umat pilihan -Nya.

Bagi Anda yang masih ingin merayakan Natal tanpa Kristus, yaitu dengan berpesta pora dan bermewah-mewahan, maka, maaf sebelumnya, saya hanya ingin mengingatkan bahwa Anda tak ubahnya seperti orang -orang duniawi yang sedang menghibur diri karena tahu bahwa kenikmatan seperti itu tidak mungkin bisa Anda nikmati lagi ketika sedang dalam penghakiman-Nya.

Artikel yang saya hadirkan di bawah ini memberikan gambaran yang sangat jelas akan misi Kristus datang ke dunia. Biarlah menjadi perenungan bagi kita selama memperingati perayaan Natal tahun ini.

Buku berjudul "Membangun Wawasan Dunia Kristen", sumber di mana artikel di bawah ini diambil, terdiri dari dua volume dan diterbitkan oleh Penerbit Momentum. Saya merekomendasikan buku ini untuk Anda miliki karena buku ini berisi dasar-dasar pengertian iman Kristen yang kokoh.

Edisi e-Reformed bulan ini adalah edisi terakhir pada tahun 2008. Kita akan bertemu lagi pada tahun 2009, mudah-mudahan dengan lebih bersemangat lagi untuk hidup bagi Kristus, yang telah lahir di hati kita dan telah menjadi teladan bagi hidup kita. Amin!Edisi e-Reformed bulan ini adalah edisi terakhir pada tahun 2008. Kita akan bertemu lagi pada tahun 2009, mudah-mudahan dengan lebih bersemangat lagi untuk hidup bagi Kristus, yang telah lahir di hati kita dan telah menjadi teladan bagi hidup kita. Amin!

Redaksi e-Reformed, Yulia Oeniyati < yulia(at)in-christ.net > < http://reformed.sabda.org >

Penulis: 
G. K. Beale dan James Bibza
Edisi: 
106/XII/2008
Tanggal: 
24-12-2008
Isi: 

Latar Belakang Kovenantal Perjanjian Lama

Seluruh Alkitab adalah tentang suatu kovenan yang akan menebus manusia dari dosa, dan Perjanjian Baru menceritakan bagaimana kedatangan Kristus menggenapi penebusan yang telah dijanjikan itu. Frasa "Old Testament" (Wasiat Lama) sesungguhnya berarti "Kovenan Lama" dan "New Testament" (Wasiat Baru) secara literal berarti "Kovenan Baru". Nama-nama ini menunjukkan bahwa ada suatu kontinuitas kovenantal yang esensial antara dua bagian dasar Alkitab itu.

Seperti yang disebutkan dalam Perjanjian Lama, Allah menetapkan "kovenan penciptaan" dengan manusia di Taman Eden ketika Ia menciptakan Adam menurut gambar-Nya sebagai wakil-Nya yang memerintah di atas bumi. Tuhan menjanjikan kepada Adam persekutuan yang intim dengan diri-Nya selama Adam dengan setia melaksanakan tanggung jawab pelayanannya. Tetapi ketidaktaatan Adam menghancurkan hubungan yang sempurna antara Allah dan dirinya, dan berakhirlah kovenan penciptaan. Karena Allah mengasihi manusia, Ia menetapkan satu kovenan yang baru, yaitu "kovenan penebusan", yang melaluinya manusia dapat dipulihkan ke dalam hubungan yang benar dengan Allah. *(1)

Kovenan penebusan ini tidak hanya memberikan sarana untuk penebusan manusia, tetapi juga dengan jelas menyatakan natur Allah, khususnya atribut-atribut-Nya yang tidak berubah, seperti anugerah, kasih, dan keadilan di dalam sejarah ruang dan waktu. Melalui hubungan kovenantal ini, Allah bertindak dalam dunia (yaitu bahwa Ia adalah Allah yang imanen), tidak seperti bentuk-bentuk impersonal dari Plato dan "penggerak yang tak bergerak" yang pasif dari Aristoteles.

Kedatangan Yesus Kristus ke bumi mengukuhkan Perjanjian Baru. Dengan mati di atas salib, Ia mengesahkan kovenan penebusan yang telah dijanjikan dan yang telah lama dinantikan (lihat Ibr. 7:21-22; 9:24 -26). Misi Kristus yang terutama adalah untuk mengungkapkan natur Allah Bapa-Nya kepada dunia dan, yang kedua, untuk menyediakan sarana keselamatan bagi manusia yang telah terjatuh ke dalam dosa.

Teologi Perjanjian Baru: Pribadi dan Karya Kristus

Namun, setelah kita mengemukakan hal di atas, kita harus mengangkat pertanyaan tentang siapakah Yesus dan apa yang sesungguhnya telah dilakukan-Nya. Kita akan menemukan bahwa gelar-gelar Kristus, pengajaran, dan berbagai mukjizat-Nya, di samping juga kematian dan kebangkitan-Nya, semuanya secara integral berkaitan dengan karya-Nya melaksanakan kovenan penebusan, dan semua ini bersaksi tentang keilahian dan kemanusiaan-Nya yang sejati.

Gelar-Gelar Yesus

"Mesias"

Perjanjian Lama sering berbicara tentang datangnya suatu zaman mesianis di mana Allah akan membebaskan Israel dari para penjajahnya dan menegakkannya sebagai kerajaan yang dominan di atas bumi. *(2) Kata Mesias, "Yang Diurapi", atau Kristus (Yun.: Christos), dipakai dua kali dalam Perjanjian Lama untuk menyatakan tentang pembebas yang akan datang (Mzm. 2:2; Dan. 9:25). Dalam Israel kuno, para raja, imam, dan nabi, yang dipilih oleh Allah untuk maksud-maksud khusus, diurapi dengan minyak sebagai simbol penunjukan ilahi.

Selama berabad-abad, sesaat sebelum kelahiran Kristus, kebanyakan orang Yahudi dengan berapi-api percaya bahwa Mesias yang akan datang tersebut akan mengalahkan para musuh secara militer dan menegakkan kembali bangsa itu sebagai suatu kerajaan yang kuat di bumi. *(3) Meskipun Sang Mesias itu terutama dipandang sebagai seorang pemimpin politik, Ia juga diharapkan memunyai keyakinan-keyakinan religius yang kuat. Perjanjian Baru memberi bukti lebih lanjut bahwa tradisi Yahudi memahami Mesias yang dijanjikan itu, terutama dalam pengertian jabatan raja Perjanjian Lama (Mrk. 15:26; Luk. 23:2). Misalnya, ketika orang banyak mulai menangkap mukjizat-mukjizat Yesus sebagai suatu tanda kemesiasan-Nya, mereka "hendak membawa Dia dengan paksa untuk menjadikan Dia raja (di bumi)". Namun, ini adalah suatu pengharapan yang salah karena Yesus datang sebagai Mesias yang tujuan terutamanya adalah maksud-maksud rohani dan penebusan. Sebab itu, Ia menyingkir dari kerumunan orang banyak dan tidak membiarkan mereka memenuhi keinginan mereka yang salah (Yoh. 6:6-15).

Agak mengherankan juga bahwa dalam Kitab-Kitab Injil, Yesus jarang merujuk tentang diri-Nya sebagai "Mesias." Markus 8:29-30 khususnya sulit dimengerti. Dalam nas ini, Petrus mengaku bahwa Yesus sesungguhnya adalah Mesias itu, tetapi Yesus memerintahkan para murid-Nya agar tidak mengungkapkan jati diri-Nya kepada orang-orang Yahudi. Mengapa Yesus berusaha menyembunyikan fakta ini dari orang banyak? Sejumlah pakar menjawab bahwa Ia tidak melakukannya. Mereka membuat teori bahwa gereja Kristen di kemudian hari yang menambahkan perkataan ini untuk menerangkan mengapa Yesus begitu jarang berbicara tentang misi mesianis dan mengapa Dia tidak secara terbuka dikenal sebagai Mesias. Namun, teori itu tampaknya tidak masuk akal. Jika Yesus tidak pernah mengklaim diri sebagai Mesias, bagaimana kita menjelaskan bahwa gereja abad pertama itu begitu yakin bahwa Ia memang adalah Mesias? Tidak mungkin gereja mula-mula mengarang sendiri ide ini, karena menyatakan orang yang disalibkan sebagai orang yang diberkati adalah penghujatan, apalagi menyebut orang seperti itu sebagai seorang Mesias! (bandingkan Ul. 21:23; Gal. 3:13-14).

Sebaliknya, Kitab-Kitab Injil menyatakan bahwa Yesus sesungguhnya memandang diri-Nya sendiri sebagai Mesias, tetapi penafsiran-Nya atas peran tersebut sangat berbeda dari penafsiran mayoritas orang Yahudi. Karena kebanyakan orang Yahudi mengharapkan Mesias sebagai seorang pemimpin politik, Yesus tidak menghendaki kemesiasan-Nya diketahui publik sampai mereka dengan jelas memahami bahwa Ia tidak datang untuk mendirikan suatu pemerintahan di bumi. Pemahaman Yesus sendiri dinyatakan dalam Markus 8:31. Ia menerangkan kepada para murid-Nya bahwa kemesiasan-Nya harus dipahami menurut terang dari fakta bahwa Ia "harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak ... lalu dibunuh dan bangkit sesudah tiga hari" (bandingkan Mrk. 9:12 -13). Ia datang untuk mengukuhkan suatu kerajaan rohani dengan mati di atas salib. Hanya sesudah kebangkitan-Nya, barulah orang-orang - - termasuk para murid -- dapat memahami misi mesianis yang ironis ini. Setelah kebangkitan-Nya, Yesus dengan bebas menyatakan kemesiasan-Nya karena pada waktu itu sudah jelas bagi semua orang bahwa Ia bukan seorang pemimpin politik (Luk. 24:26).

Matius 16:16 dan Lukas 9:20 dengan jelas menyatakan kesadaran mesianis Yesus ketika Ia menerangkan natur spiritual dari misi-Nya. Yesus percaya bahwa Ia sedang menggenapi nubuat-nubuat Perjanjian Lama tentang Sang Mesias yang akan datang terutama untuk menyelamatkan manusia dari dosa-dosa mereka untuk menggenapi janji -janji dari kovenan penebusan.

Selama proses pengadilan-Nya, Yesus ditanya oleh Kayafas secara langsung, "Apakah Engkau Mesias?" (Mat. 26:63-68; Mrk. 14:61-65). Tuduhan Kayafas bahwa jawaban Yesus adalah penghujatan, dan tuduhan -tuduhan berikutnya oleh para pendakwa-Nya bahwa Ia menyebut diri -Nya Mesias, menunjukkan bahwa Yesus mengiyakan pertanyaan Kayafas (Mat. 26:68; 27:17, 22; Mrk. 15:32). Dengan pengakuan-Nya sebagai Mesias, Yesus mengakui bahwa Ia memegang jabatan-jabatan Perjanjian Lama sebagai Nabi, Imam, dan Raja. Sesungguhnya tanggapan bahwa klaim Yesus adalah penghujatan menyiratkan bahwa klaim-Nya itu berkonotasi ilahi.

"Anak Allah"

Dua ide utama diasosiasikan dengan gelar ini. Dalam suatu upacara penobatan raja di Timur Dekat kuno, seorang raja sering dirujuk sebagai "anak" karena ia mewarisi jabatan raja dari ayahnya, raja sebelumnya. Sebutan formal "Anak", bersama dengan metafora-metafora kelahiran, melambangkan transfer otoritas secara resmi dan dimulainya pemerintahan sang putra yang telah lama dinantikan, yang untuknya ia dilahirkan. Latar belakang ini menolong menjelaskan nubuat dalam Mazmur 2:6-8, yang terutama bercerita tentang penerimaan jabatan raja oleh Yesus dalam Kitab-Kitab Injil: "Akulah yang telah melantik raja-Ku .... Anak-Ku engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini. Mintalah kepada-Ku, maka bangsa-bangsa akan Kuberikan kepadamu sebagai milik pusakamu ...." Para penulis Injil merujuk pada mazmur ini ketika mereka menarasikan perkataan Allah kepada Yesus pada waktu Ia dibaptiskan pada permulaan pelayanan-Nya. "Ini adalah Anak yang Kukasihi ...." (misal Mat. 3:17; Mrk. 1:11). Setelah kebangkitan-Nya, frasa yang sama ini diterapkan pada Yesus lagi untuk menunjukkan permulaan pemerintahan surgawi-Nya dan pewarisan kerajaan Bapa-Nya sebagai warisan atau milik pusaka-Nya (misal Kis. 13:33; Ibr. 1:2-5).

Ide kedua yang berkaitan dengan "Anak Allah" adalah hubungan kasih sayang Sang Anak yang unik kepada Bapa-Nya, yang secara langsung menunjukkan bahwa Kristus memunyai natur ilahi yang sama seperti Bapa-Nya (Yoh. 10:30-38). Yesus merujuk Allah sebagai Bapa-Nya lebih dari seratus lima puluh kali di keempat Kitab Injil. Matius 11:27 (bandingkan Luk. 10:22) menyatakan posisi Yesus yang unik sebagai Anak. Ayat ini menyatakan bahwa hanya Yesus yang dapat mengungkapkan Sang Bapa kepada umat manusia, menunjukkan bahwa Ia memunyai hubungan yang eksklusif dengan Allah, hubungan yang tidak dimiliki oleh manusia lainnya. Di samping itu, pengetahuan Sang Anak di sini tampaknya setara dengan pengetahuan Sang Bapa, yang jelas menunjukkan keilahian Sang Anak.

Injil Yohanes menekankan posisi Yesus yang unik sebagai Anak lebih dari Injil-injil Sinoptik. Empat kali Yesus disebut "Anak Tunggal" (Yoh. 1:14, 18; 3:16, 18). Penyataan-penyataan tentang keilahian Yesus yang esensial sebagai Anak Allah secara langsung mengajarkan keunikan-Nya. Misalnya, setelah Yesus menyembuhkan seorang lumpuh pada hari Sabat, orang-orang Yahudi menuduh Dia melanggar Taurat Allah yang mengharuskan orang beristirahat pada hari Sabat. Yesus membela tindakan-Nya dengan menyatakan bahwa karena Bapa-Nya bekerja pada hari Sabat, Ia juga harus bekerja, dengan demikian Ia "menyamakan diri-Nya dengan Allah" (Yoh. 5:18). Dalam Yohanes 10, Yesus berkata, "Aku dan Bapa adalah satu (dalam esensi)." Sebagai tanggapan atas pernyataan ini, orang-orang Yahudi mengambil batu hendak membunuh Yesus karena mereka menyadari bahwa Ia menyamakan diri-Nya dengan Allah (lihat Yoh. 10:33). Yang menarik adalah, Yesus tidak menyangkali pemahaman mereka terhadap klaim-Nya, tetapi justru menegur mereka karena kurangnya iman mereka! Sesungguhnya, salah satu tujuan utama dari misi Yesus adalah untuk menerangkan tentang Bapa kepada dunia (Yoh. 1:18) melalui penyataan natur ilahi-Nya sendiri, natur yang juga dimiliki oleh Bapa surgawi-Nya (Yoh. 1:1,14).

Beberapa ciri lainnya juga menunjukkan keunikan Yesus sebagai Anak Allah yang ilahi. Pernyataan-pernyataan Yesus yang berulang-ulang bahwa Ia "telah diutus oleh Bapa" memberi kesaksian tentang praeksistensi-Nya yang ilahi (Yoh. 3:34-35; 5:36, 38). Dalam Yohanes 8, Yesus menyatakan bahwa "sebelum Abraham jadi, Aku telah ada". Abraham hidup kira-kira 1800 tahun sebelum Kristus. Ketika mengatakan hal ini, Yesus mengidentifikasi diri-Nya dengan Sang "AKU ADALAH AKU" yang agung itu, yaitu TUHAN (Yahweh), Allah Perjanjian Lama (bandingkan Kel. 3:14; Yoh. 8:58). Juga hanya Sang Anak yang dapat menyatakan Bapa dan mengatakan firman-Nya (misal Yoh. 6:46; 8:26). Kemudian, fungsi-fungsi sang Putra diidentifikasikan dengan fungsi-fungsi Allah, seperti menghakimi dan memberi hidup yang kekal (misal Yoh. 5:19-30).

Dengan penekanan yang begitu kuat pada keilahian Anak Allah dalam Injil Yohanes, orang bisa menyangka bahwa Yohanes menyangkal kemanusiaan Yesus yang sejati. Tidak ada yang lebih salah dari pernyataan itu. Sesungguhnya, dalam Yohanes 1:14 kita menemukan salah satu penegasan yang paling eksplisit tentang kemanusiaan Yesus: "Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita ...."

Sejumlah pernyataan Yesus memang menunjukkan bahwa Sang Anak memunyai keterbatasan-keterbatasan yang tidak dipunyai oleh Bapa (misal Mat. 24:36; Mrk. 13:32; Yoh. 5:19). Pernyataan-pernyataan Yesus harus dimengerti bahwa Ia sedang membandingkan kondisi surgawi yang tak terbatas dari Allah (Bapa) dengan kondisi-Nya sendiri yang terbatas sebagai Allah yang berinkarnasi di bumi. Sementara di atas bumi, Yesus secara sukarela menyerahkan bukan keilahian-Nya, tetapi kebebasan untuk menggunakan sebagian atribut-atribut ilahi-Nya sampai sesudah Ia dibangkitkan (bandingkan Flp. 2:5-11).

"Anak Manusia"

Gelar Yesus lainnya yang penting tetapi misterius adalah "Anak Manusia". Sebelum kelahiran Kristus, gelar ini dipakai hanya dalam Perjanjian Lama. Karena Yesus mengambil gelar tersebut dari sumber ini, maka harus dipahami bagaimana frasa ini dipakai dalam Perjanjian Lama.

Frasa "Anak Manusia" terdapat dalam Mazmur 8:5-7, Mazmur 80:18-20, di seluruh Yehezkiel, dan dalam Daniel 7:13. Daniel 7:13 khususnya memunyai pengaruh yang besar atas pemakaian gelar ini oleh Yesus. Dalam pasal 7, Daniel menceritakan tentang penglihatan di mana ia melihat bahwa pada akhir zaman, Allah akan menghakimi kerajaan -kerajaan dunia yang jahat dan penguasa ultimatnya, yaitu Iblis, dengan menjatuhkan kerajaan mereka (Dan. 7:1-12, 17, 19-22b, 23-26). Daniel melihat bahwa:

"tampak datang dengan awan-awan dari langit seorang seperti anak manusia; datanglah ia kepada Yang Lanjut Usianya itu, dan ia dibawa ke hadapan-Nya. Lalu diberikan kepadanya kekuasaan dan kemuliaan dan kekuasaan sebagai raja .... Kekuasaannya ialah kekuasaan yang kekal, yang tidak akan lenyap, dan kerajaannya ialah kerajaan yang tidak akan musnah." (Dan. 7:13-14)

Allah menyatakan kepada Daniel bahwa Anak Manusia diberi kekuasaan atas dunia, yang telah diambil dari para raja yang jahat itu. Dan orang-orang kudus akan menerima kerajaan kekal yang sama dan memerintah bersama dengan Anak Manusia, tetapi hanya setelah mereka menderita terlebih dulu (Dan. 7:18, 21-22, 24-25, 27).

Walaupun sejumlah pakar berpendapat bahwa Kristus tidak secara aktual mengucapkan banyak perkataan tentang Anak Manusia, fakta bahwa para penulis surat-surat Perjanjian Baru memakai gelar ini bagi Yesus hanya sebanyak tiga kali menunjuk kepada arah yang berlainan. Gelar ini otentik dengan Kristus sendiri yang sering memakainya karena gelar ini meringkaskan dengan baik jenis pelayanan yang Ia lakukan sebelum penyaliban. Setelah kematian-Nya, frasa ini jarang dipakai karena gelar-gelar lainnya menjelaskan dengan lebih baik natur pelayanan pascakebangkitan-Nya.

Dengan latar belakang Perjanjian Lama ini dalam pikiran, kita menemukan bahwa Yesus memakai frasa "Anak Manusia" dalam dua cara utama. Pertama, gelar ini merujuk pada masa tiga tahun pelayanan publik-Nya, di mana Ia menjalani kehidupan yang menderita sebagai hamba yang hina. Apa yang tampak dalam penglihatan Daniel seperti seorang Anak Manusia yang datang dalam kemuliaan ke hadapan takhta surgawi Allah untuk menerima jabatan Raja Surgawi, dimulai penggenapannya di atas bumi secara paradoksal dalam tiga tahun pelayanan Yesus yang tidak ada semaraknya. Tetapi misi Yesus memang berpuncak pada penobatan-Nya sebagai Raja di hadapan takhta ilahi pada peristiwa kenaikan-Nya. Kemudian, Yesus juga memakai "Anak Manusia" untuk merujuk pada pemuliaan-Nya sebagai Raja atas segalanya di masa depan.

Arti penting yang sentral dalam penggunaan sebutan ini adalah tujuan Sang Anak Manusia untuk menyerahkan nyawa-Nya sebagai pembayaran hukuman bagi dosa manusia (misal Mrk. 8:31; 9:12; 10:45). Barangkali nas yang paling signifikan dalam kategori ini adalah Markus 10:45 (Mat. 20:28): "Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." Di samping itu, ada indikasi-indikasi yang jelas bahwa Yesus yang mulia itu akan kembali pada akhir sejarah untuk menghakimi yang jahat dan membebaskan orang-orang kudus-Nya (misal Mrk. 13:24-27; 14:62).

"Hamba yang Menderita"

Penekanan Yesus pada penderitaan dan korban kematian-Nya membuat kita berpikir tentang konsep "hamba yang menderita". Meskipun frasa ini bukan gelar yang formal bagi Yesus, Ia memang menerapkan konsep penting dalam Perjanjian Lama ini pada diri-Nya sendiri. Nas utama yang darinya Yesus mengambil konsep tentang "hamba yang menderita" itu adalah Yesaya 52:13-53:12 (bandingkan Yes. 42:1-9; 43:10; 49:16). Yesaya 53 menyatakan beberapa ciri yang menubuatkan misi Yesus. Hamba itu akan ditolak, dihina, dan ditinggalkan oleh bangsa -Nya sendiri (53:1-3). Ia akan menderita hukuman siksaan yang sangat kejam dan tidak selayaknya demi dosa-dosa bangsa ini, meskipun Ia sendiri tidak berdosa (53:4-12). Penderitaan-Nya akan menjadi pengganti. Melalui penderitaan ini, orang-orang yang berdosa akan dibebaskan dari hukuman yang memang pantas bagi mereka (53:5, 10 -12). Meskipun Ia akan dikuburkan bersama dengan orang-orang jahat, Ia akan dikuburkan dalam kuburan seorang kaya (53:9, RSV). Melalui kematian-Nya, Hamba itu akan menang atas kematian dan menerima suatu pahala juga (53:10-12).

Dengan demikian, Yesaya 53 adalah penjelasan yang paling jelas tentang penderitaan substitusioner seorang Hamba yang ilahi. Karena Yesus akan segera menggenapi peran ini, secara wajar Ia menerapkan nas ini pada misi-Nya (misal Mrk. 9:12; Luk. 22:37; Yoh. 12:38). Markus 10:45 adalah yang paling jelas mengilustrasikan nas-nas tentang Hamba yang menderita di mana Yesus menerapkan kepada diri -Nya sendiri ide-ide yang khas Hamba yang menderita seperti dalam Yesaya 52:13-53:12. Ia "melayani" dalam ketaatan kepada Allah dan untuk kepentingan orang-orang lain. Ia "memberi nyawa-Nya" sebagai "tebusan" -- sebagai persembahan korban pengganti bagi hukuman atau kesalahan. Korban karena kesalahan ini adalah untuk "banyak orang" (53:11-12). Seluruh ayat ini merupakan suatu ringkasan yang baik dari tema-tema besar Yesaya 53. Kita harus memerhatikan bahwa unsur -unsur Yesaya 53 menunjuk pada seorang hamba yang sungguh-sungguh manusia. Para penulis Injil dengan jelas bersaksi tentang keilahian dan kemanusiaan Yesus. Sementara Ia terus memiliki natur dan atribut-atribut yang sama dengan Bapa-Nya, tetapi Ia juga sedih, lapar, dan menjadi lelah -- semua ini adalah ciri-ciri manusia.

Pengkajian kita tentang empat dari tujuh puluh gelar yang diterapkan pada Yesus dalam Perjanjian Baru memberi kita pemahaman tentang siapa Dia dan apa yang Dia lakukan. Hal yang paling menonjol adalah bahwa tidak ada seorang pun sebelum Yesus yang menerapkan empat gelar itu pada satu orang. Secara khusus, tak seorang pun yang pernah menerangkan bahwa gelar-gelar "Mesias," "Anak Allah," dan "Anak Manusia" dapat dipahami melalui konsep Hamba yang menderita dalam Yesaya 53. Misi mesianis yang secara tradisional diasosiasikan dengan tiga gelar pertama itu kini ditafsirkan dalam terang Yesaya 53, yang secara radikal merupakan suatu penyimpangan yang kreatif dan baru dari pandangan tradisional Yahudi. Markus 8:27-37 adalah suatu nas yang signifikan dalam hal ini, karena tiga gelar ini diterapkan pada Yesus dalam suatu percakapan yang singkat, dan gelar keempat, yaitu gelar "Anak Allah" disiratkan dalam gelar "Mesias" (bandingkan Mrk. 1:1; Mat. 16:16; 26:63).

*(1): Kovenan ini sesungguhnya adalah suatu janji keselamatan, yang diisyaratkan dalam Kejadian 3:15, di mana dinubuatkan bahwa salah seorang keturunan Hawa di masa depan akan secara fatal membinasakan si ular yang mewakili Iblis, dan dalam Kejadian 2:21, di mana Allah mencurahkan darah binatang dan menutupi Adam dan Hawa dengan kulitnya, suatu antisipasi simbolik tentang pencurahan darah Anak Domba di atas salib untuk menutup dosa manusia. Janji Allah dinyatakan lebih lanjut dalam Kejadian 12:1-3, 13:15, dan 15:18, dan berkembang terus dalam sisa Perjanjian Lama. *(2): Yesaya 26-29; Yehezkiel 38, dst.; Daniel 2, 7, 12; Zakharia 14, dsb.. *(3): Bandingkan Kebijaksanaan Salomo 17-18; 4 Ezra 12-13.

Sumber: 

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Judul buku: Membangun Wawasan Dunia Kristen, Vol. 1: Allah, Manusia dan Pengetahuan
Judul asli buku: Building Christian Worldview, Vol 1: God, Man, and Knowledge
Penulis : G. K. Beale dan James Bibza
Penerjemah: Peter Suwandi Wong
Penerbit : Momentum, Surabaya 2006
Halaman : 53 -- 61

Gereja Beraliran Teologi Reformed

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Saya membeli sebuah buku kecil dengan judul yang sangat menarik, "The Readable TULIP". Buku tersebut ditulis oleh seorang Pendeta Gereja Covenant Evangelical Reformed di Singapura yang bernama Cheah Fook Meng. Belum pernah terbayang dalam benak saya ada buku yang membahas TULIP (Lima Inti Calvinisme), sekecil dan setipis itu. Tentu menyenangkan sekali menemukan kenyataan bahwa itu bukan mimpi lagi.

Saya kira kata "Readable" yang dipakai di sini bukan dimaksudkan sebagai sindiran (kalau untuk sindiran, kata-katanya mungkin akan seperti ini: "TULIP for the Dumies"), tapi sebagai pembelaan, bahwa walaupun kebenaran iman Reformed memang tidak mudah (harus berpikir), namun bukan berarti tidak bisa dijelaskan dengan sederhana, khususnya bagi orang Reformed baru. Yang menjadi masalah adalah, yang mempersulitnya justru orang Reformed itu sendiri. Selain bahasanya yang sederhana, cara penyampaian gagasan dalam buku ini kelihatan bersahaja. Memang ada kesan tegas, solid, dan bertahan pada pendirian, namun tidak sombong. Memang ada kesan elite, tapi tidak eksklusif.

Bagian pertama buku ini menjelaskan tentang TULIP. Namun, saya sengaja tidak mengambil bagian ini untuk saya bagikan kepada Anda karena saya berasumsi bahwa kebanyakan dari Anda sudah tahu. Saya justru mengambil dua artikel pendek lain sesudahnya karena bagi saya, bagian ini lebih menarik. Dua bab yang saya ambil adalah:

  • Why We are Reformed?
  • What if We Reject the Reformed Faith?

Silakan menyimak. Jika Anda ingin memberi komentar, silakan berkunjung (tapi harus mendaftar menjadi anggota dulu) ke situs Soteri di:
==> http://reformed.sabda.org

In Christ,
Yulia Oeniyati
< yulia(at)in-christ.net >

Penulis: 
Cheah Fook Meng
Edisi: 
102/VIII/2008
Tanggal: 
14-8-2008
Isi: 

GEREJA BERALIRAN TEOLOGI REFORMED

MENGAPA KAMI MENJADI JEMAAT REFORMED?

Gereja dan teologi Reformed tidak populer untuk banyak orang. Kalau mau jujur, kalau saya bercita-cita ingin membangun gereja yang nantinya akan dipenuhi dengan pengunjung, maka saya tidak akan membangun gereja Reformed. Gereja-gereja kontemporer dengan musik pop dan nada musik yang keras serta panggung/mimbar yang ditata dengan apik, lebih populer. Gereja-gereja yang sangat menekankan pemuridan (red: sel group), sedang digemari pada era milenium ini. Gereja-gereja yang memfokuskan diri pada kebutuhan manusia juga memiliki banyak jemaat. Namun, posisi gereja Reformed tidak terlalu baik dalam popularitas kekristenan.

Citra umum gereja Reformed adalah bahwa gereja ini membosankan dan banyak batasannya. Gaya penyembahannya yang kuno tidak relevan dengan budaya modern berteknologi tinggi. Jemaatnya berpenampilan terlalu tenang karena penekanannya pada kerusakan moral; hidup mereka nampak pasif karena ajaran predestinasi. Dan lagi, usaha penginjilannya tidak menarik untuk zaman sekarang. Namun meski kurang populer, kami tetap ingin menjadi jemaat Reformed. Mengapa?

Pertama, menjadi jemaat Reformed bukanlah pilihan, namun pendirian. Menjadi jemaat Reformed berarti menjadi alkitabiah. Semua doktrin iman Reformed -- predestinasi, kerusakan moral total, penebusan dosa yang absolut, anugerah yang luar biasa, dan ketekunan orang percaya --merupakan kebenaran yang ada dalam Injil. Meskipun istilah-istilah yang kami gunakan untuk menyimpulkan iman Reformed, tercipta dari panasnya debat teologi, namun kebenarannya berakar dalam pada pengajaran Alkitab. Seperti yang dikatakan sang pengkhotbah, Charles Spurgeon, "menjadi Calvinis berarti menjadi alkitabiah".

Kedua, menjadi Reformed berarti menjadi apostolik. Kami tidak percaya pada rangkaian apostolik seperti agama Katolik Roma memercayainya. Mereka percaya pada rangkaian jasa para santo. Namun, kami percaya pada rangkaian doktrin orang kudus. Iman Reformed bukanlah suatu ajaran baru. Iman Reformed muncul pada era Reformasi abad ke-16. Meskipun namanya diambil dari kata Reformasi, doktrin iman Reformed diajarkan oleh Agustinus bahkan sebelum Martin Luther melontarkan 95 tesisnya. Iman Reformed dan penekanannya pada kedaulatan anugerah Allah, bersumber pada wahyu Injil.

Ketiga, iman Reformed memuliakan Allah. Gereja superbesar (megachurch) pada zaman sekarang menyembah Allah dengan musik kontemporer dan aksi panggung yang terus berkembang. Gereja Reformed memuliakan Allah dengan pengagungannya yang dalam pada kedaulatan dan kekudusan Allah. Allah berdaulat atas karya penciptaan dan pemeliharaan. Kedaulatan Allah adalah sebuah kebenaran yang sangat diakui oleh iman Reformed. Namun iman Reformed mengatakan lebih dari itu. Karena saat kami mengakui bahwa Allah berdaulat atas karya penebusan, kami mengatakan bahwa keselamatan adalah murni karena anugerah. Kami tidak mulai bertobat dengan sendirinya. Allah mengubahkan kami oleh anugerah-Nya. Dengan kuasa-Nya, Ia membuat kami berkehendak untuk berubah. Respons iman adalah sebuah anugerah yang Allah kerjakan dalam hati orang-orang pilihan-Nya. Hal ini bertentangan dengan teologi populer. Dalam banyak presentasi Injil, karya keselamatan dinyatakan sebagai sebuah kerja sama. Allah mengerjakan 50% dalam anugerah-Nya dan menunggu tak berdaya untuk manusia mengerjakan 50% sisanya dalam kehendak bebasnya. Charles Spurgeon pernah mengatakan bahwa jika ada satu persen kehendak manusia dalam selubung kebenaran-Nya, ia akan selamanya tersesat.

Keempat, iman Reformed memberikan jaminan sejati bagi gereja dan jemaatnya dalam masa pencobaan dan krisis. Iman Reformed bukanlah sebuah doktrin teoritis alternatif. Iman Reformed merupakan teologi dengan kebenaran yang secara praktis sangat berkuasa. Saat seorang anak Allah mengalami pencobaan hebat, ia memandang pada kasih pemeliharaan Allah dan mengakui bahwa Allah berkuasa atas segalanya. Ia mengakui bahwa Allah berkuasa memberikan kelepasan. Lebih daripada mengharapkan datangnya kelepasan, orang itu akan berpegang pada imannya yang percaya bahwa Allah sanggup membawa kebaikan bahkan, dalam situasi yang paling buruk sekalipun.

Orang Reformed tidak pernah putus asa. Bandingkan iman sederhana ini dengan pengakuan arogan beberapa pendoa kesembuhan. Mereka mengatakan kepada kita bahwa Allah ingin menyembuhkan penyakit kita. Dan saat kesembuhan tidak terjadi, kesalahan ditimpakan kepada orang percaya dengan alasan bahwa ia tidak cukup beriman untuk dapat sembuh. Namun, orang Kristen Reformed lebih dewasa dalam pandangannya. Pertama-tama, ia menginginkan kesembuhan jiwa. Saat ia memohon kesembuhan fisik, ia tahu bahwa Allah mungkin akan mengabulkannya, tapi mungkin juga tidak, sesuai dengan kedaulatan tujuan-Nya. Dan saat kesembuhan tidak juga datang, itu bukan karena ia kurang beriman, namun karena Allah ingin ia percaya bahwa Ia sanggup memberikan kebaikan, bahkan dalam hal buruk sekalipun. Orang Kristen Reformed mensyukuri kekayaan dan kebahagiaan, tapi juga dalam penderitaan. Ia tahu bahwa Allah berkuasa atas dua hal ekstrim yang ada dalam kehidupan itu.

Kelima, iman Reformed selalu memperbaiki. Iman Reformed tidak pernah mandek (stagnan). Meski mengakui iman yang sudah kuno, namun iman ini selalu bekerja keras memahami lebih banyak kebenara-Nya dari firman Tuhan. Kita tidak akan pernah dapat memahami segalanya tentang Allah. Meski Allah dapat dikenali, Ia juga tidak terpahami. Pengetahuan kita akan Allah akan semakin dalam, khususnya pada

saat-saat Ia mencobai kita dengan kesulitan-kesulitan. Dari pencobaan-pencobaan itulah kami biasanya melihat lebih banyak keindahan dan kemuliaan-Nya. Iman Reformed tidak berkembang dari perenungan di tempat tinggi dengan suasana yang tenang. Kebenaran iman Reformed diformulasi saat ada pertumpahan darah, ancaman, dan kontroversi. Kebenaran-kebenaran itu dikembangkan untuk memenuhi perjuangan umat Allah sehari-hari. Katekisme Heidelberg, yang jelas merupakan iman Reformed paling disukai, diawali dengan pertanyaan yang benar-benar praktis dalam instruksinya, "Apa yang menjadi satu-satunya penghiburan bagi Anda dalam kehidupan dan kematian?"

Yang terakhir namun tak kalah pentingnya, iman Reformed selalu konsisten. Dispensasionalisme memiliki banyak variasi. Karismatisme memiliki banyak jemaat. Arminianisme mengubah Allah dan membuatnya makin terbuka dan mudah dikecam. Namun, iman Reformed konsisten dalam pengakuannya atas anugerah kedaulatan Allah. Apa yang diakui iman Reformed kini sama dengan yang diakui pada generasi yang akan datang. Setiap generasi mungkin memerluasnya. Namun presuposisi dan prinsip dasarnya tetap sama -- Allahlah yang berkuasa. Dan karena kekonsistenannya ini, hanya iman Reformedlah yang dapat membawa gereja melalui masa depan yang terus berubah. Kebenaran-Nya tidak pernah berubah. Allah berkuasa kemarin. Ia berkuasa sekarang ini. Dan Ia berkuasa selamanya.

BAGAIMANA JADINYA JIKA KITA MENOLAK IMAN REFORMED?

Menyepelekan Allah adalah Konsekuensi dari Menolak Iman Reformed

"Aku percaya padamu". Siapa yang mengucapkannya? Itulah yang pertama kali terlintas di benak saya saat melewati sebuah gereja yang memasang spanduk bertuliskan kalimat itu. Filsuf, psikologis, humanis, atau ahli manajemen mana yang telah mengatakan sesuatu yang sangat berpusat pada manusia itu? "Apakah filsuf besar Yunani, Socrates, yang mengatakannya?" tanyaku. Ia adalah orang yang bersikeras bahwa Anda harus "mengenal diri Anda sendiri". Apakah Narcissus, seorang pemikir sombong yang jatuh cinta dengan citra dirinya sendiri dan memuji kebajikannya sebagai manusia dan keterlibatan pribadinya?

Saat saya melihat di bagian bawah tulisan yang dicetak tebal itu untuk mencari sumbernya, saya benar-benar kaget. Allah yang mengatakannya. Allah? Saya segera membaca cepat seluruh Perjanjian Lama dan Baru untuk mencari firman Allah yang mengatakan, "Aku percaya padamu." Saya tidak bisa menemukannya. Kalimat itu tidak ada dalam Alkitab.

"Sejak kapan Allah menempatkan manusia sebagai objek kepercayaan-Nya," pikirku. Kalimat itu mungkin terlihat keren bagi generasi modern, namun tidak sesuai dengan teologi yang saya tahu di Alkitab.

Alkitab menjelaskan kejatuhan manusia sebagai "maut dalam pelanggaran dan dosa". Alkitab mengatakan kepada kita bahwa "keinginan daging adalah perseteruan terhadap Allah". Alkitab mengatakan bahwa setiap manusia telah berdosa dan kehilangan kemuliaan Allah. Dan bahkan Alkitab dengan berani mengatakan bahwa kita "diperanakkan dalam kesalahan dan dikandung ibu kita dalam dosa.

Dengan pernyataan-pernyataan tegas tentang keadaan manusia yang tersesat seperti itu, hal baik apa yang membuat manusia yang sudah berdosa dan rusak itu menjadi objek kepercayaan-Nya?

Pernyataan itu memang tegas. Seperti kebanyakan tipu muslihat iklan, pernyataan itu ditujukan untuk menarik perhatian masyarakat modern. Dan dalam usahanya menarik massa, bahkan ada juga yang cukup berani menulis ulang pokok-pokok iman Kristen.

Mereka menulis ulang apa yang Injil katakan tentang manusia, dan membuatnya menjadi seseorang dengan bawaan lahir ilahi yang disenangi Allah. Namun, Injil menegaskan bahwa manusia jasmani tidak dapat menyenangkan Allah (Roma 8:6-8). Mengatakan Allah percaya pada manusia berarti menyatakan secara tak langsung bahwa manusia memiliki kebaikan dan keterampilan spiritual yang terhadapnya Allah berkenan. Hal baik apa yang ada dalam manusia berdosa yang dapat membuat Allah mengatakan padanya, "Aku percaya padamu?"

Mungkin Allah terkesan dengan intelegensi kita. Lagipula, kita adalah manusia yang berpendidikan tinggi dan inovatif. Kita telah menghasilkan sarjana-sarjana dan menciptakan sistem yang memiliki kontribusi besar dalam membentuk masyarakat global.

Mungkin Allah terkesan dengan budaya populer kita. Pada 1960-an, kita memiliki Beatles dan kemudian, Bee Gees, dan kini kita punya Westlife dan Britney Spears. Mungkin Allah senang dengan bagaimana kita memakai musik untuk menghilangkan stres dan membuat jiwa kita menari.

Mungkin Allah terkesan dengan bagaimana kita saling mencintai satu sama lain sebagai manusia. Karena kasih adalah hal yang terpenting, mungkin Allah tergerak oleh bagaimana kita mengasihi tanpa penilaian, pernikahan, etika, dan tanggung jawab. Mungkin Ia terkesan dengan bagaimana kita dapat dengan mudah terlibat dan melakukan pernikahan sesama jenis.

Mungkin Allah terkesan dengan bagaimana kita dapat lebih maju dalam memandang kehidupan. Ada yang bilang kita berasal dari kera. Yang lain berkata bahwa materialisme dan kesenangan hidup adalah yang terpenting. Namun, yang lain lagi berkata bahwa kita harus memutuskan etika kita berdasarkan perasaan kita -- jika dirasa baik, lakukan. Dan mungkin Allah terkesan dengan bagaimana pandangan- pandangan ini mampu bertahan dalam pasar publik tanpa persaingan.

Atau mungkin terkesan dengan bagaimana kita percaya terhadap diri kita sendiri. Manusia adalah tolok ukur segala sesuatu. Ia adalah kapten dari takdirnya sendiri. Ia memiliki kemampuan untuk membentuk dunia tanpa Allah. Dan karena semua yang dapat dilakukan manusia itu, Allah percaya padanya.

"Aku percaya padamu?" Sebaliknya, saya menemukan di Alkitab kalimat yang jauh lebih menenangkan. Allah mengatakan kepada setiap orang yang memusatkan diri pada manusia bahwa jika Anda hidup dalam daging, Anda akan mati (Roma 8:13).

Pernyataan itu mengubah apa yang sudah dituliskan Allah, karena merendahkan kedaulatan Allah dan menjadikan Allah sekadar sebagai penonton, motivator, "Aku percaya padamu, kamu pasti bisa!"

Allah, dalam kepercayaan Protestan tradisional, disembah sebagai Pencipta dan Penebus. Ia memutuskan hidup semua manusia. Ia menentukan bagaimana segala sesuatu akan terjadi. Ia melakukan segala sesuatu menurut kehendak-Nya. Tidak seorang pun dapat menggagalkan rencana-Nya. Tak seorang pun mampu menentang perkataan- Nya. Dan tak seorang pun yang menyarankan-Nya bahwa rencana B jauh lebih baik. Salah satu pernyataan paling indah tentang Allah ada di Yesaya 46.

"... Akulah Allah dan tidak ada yang lain, Akulah Allah dan tidak ada yang seperti Aku, yang memberitahukan dari mulanya hal yang kemudian dan dari zaman purbakala apa yang belum terlaksana, yang berkata: Keputusan-Ku akan sampai, dan segala kehendak-Ku akan Kulaksanakan." (Yesaya 46:9-10)

Allah tidak perlu percaya kepada siapa pun. Ia sendiri adalah Yang Mahakuasa. Tak ada yang seperti-Nya. Tak seorang pun memiliki kuasa membentuk masa depan. Tak seorang pun dapat menebus kejatuhan manusia. Tak seorang pun dapat melakukan sesuatu tanpa Allah. Tanpa Allah, manusia dan segala ciptaan bahkan tidak dapat hidup barang sesaat. Mengapa Allah mengatakan kepada manusia, "Aku percaya padamu?"

"Aku percaya padamu" hanyalah satu dari banyak peryataan yang dapat Anda temukan di www.lovesingapore.org.sg. Pernyataan lain di antaranya: "Aku berpikir akan membuat dunia hitam dan putih. Lalu Aku berpikir ... naaaah." "Aku benci aturan. Itulah sebabnya mengapa aku hanya membuat sepuluh aturan." Dan semua pernyataan itu dipertautkan dengan Allah.

"Golden rules" seperti itu dimaksudkan untuk menempatkan Allah di jantung kota, untuk membuat-Nya nampak keren, jenaka, tak ketinggalan zaman, dan dapat diterima. Namun sungguh, hal ini merupakan sesuatu yang menjelaskan bagaimana gereja modern sudah melangkah terlalu jauh. Gereja masa kini telah kalah oleh budaya populer. Jika sesuatu tidak modern, maka sesuatu itu tidak relevan. Karena itu gereja yang memakai metode iklan baru ini memutuskan untuk membuat Allah lebih modern.

Namun dengan membuat Allah menjadi lebih relevan, mereka tidak menghormati Allah. Kini, Allah menjadi seperti produk konsumen. Ia harus didikte untuk berkata sesuatu yang tampak keren di budaya populer kita. Jadi, perkataan-Nya harus dinyatakan ulang, status-Nya diposisikan ulang, dan kedaulatan-Nya direndahkan dalam rangka membuat-Nya lebih relevan dengan keadaan masa kini. Allah harus mengatakan apa yang para pembuat iklan inginkan untuk Dia katakan. Dan orang-orang yang mendanainya sepertinya tidak merasa bahwa menggunakan nama Allah dengan begitu sembarangan dan tidak menghormati adalah pelanggaran perintah yang ketiga, "Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu, dengan sembarangan." Nama Allah, yang adalah kemuliaan-Nya, kini direduksikan menjadi label komersial, untuk mempromosikan produk baru Injil masa kini.

Penyepelean Allah ini adalah sesuatu yang serius. Perhatikan komentar Warren Wiersbe, seorang pengkhotbah Kristen yang terkenal, "Kita tidak perlu mengutuk atau bersumpah untuk menyebut nama Allah dengan sembarangan. Kita hanya perlu menggunakan nama-Nya dalam hal- hal sepele, maka kita pun sudah menghina nama Allah. Tak semestinya familiaritas dapat merendahkan nama ilahi layaknya penghinaan nama Allah yang jelas-jelas diucapkan. Mengucapkan hal-hal spiritual yang berharga dengan cara seadanya dan terkesan menyepelekan merupakan sebuah dosa dan sekaligus menyangkal kebenaran-Nya.

Menyepelekan Allah sama dengan menyingkirkan Allah dari kekristenan historis. Pernyataan "Aku percaya padamu" bukanlah pernyataan yang netral dan tak berbahaya. Pernyataan itu adalah perusakan teisme dan humanisme. Pernyataan itu merupakan sebuah paduan yang jelas antialkitabiah. Pernyataan itu lebih buruk daripada Arminianisme yang membawa masalah bagi gereja pada era Reformasi. Arminianisme bersifat sinergis. Paham ini mengatakan bahwa Allah membutuhkan kerja sama manusia. Namun pernyataan "Aku percaya padamu" nampak seperti sinkretisme, yang membawa suara humanistis yang halus namun tegas. Manusia memiliki masa depan yang dapat ia atur sendiri. Manusia dapat melakukan apapun menurut kehendaknya untuk menyenangkan Allah. Dan saat manusia itu berhasil, Allah bertepuk tangan untuknya dan berkata, "Benar, kan, kamu pasti bisa melakukannya. Aku selalu percaya padamu." Pernyataan ini menempatkan Allah dan manusia pada derajat yang sama.

Allah yang dipromosikan dalam iklan-iklan itu bukanlah Allah yang ada di dalam Injil. Saya yakin gereja-gereja yang mendukung slogan ini tidak bermaksud untuk merendahkan dan menyingkirkan Allah dari kekristenan historis. Namun pernyataan itu jelas membuktikannya. Hal ini membawa saya kepada pertanyaan yang perlu diselidiki: "Sudahkah kita menjadi sedemikian acuh secara teologis sampai-sampai kita tidak lagi mampu membedakan dasar kekristenan dari humanisme dan ketidakpercayaan?"

Memasang tulisan-tulisan seperti itu di dalam dan di luar gereja tidak akan membuat kekristenan menjadi keren dan relevan. Pernyataan itu hanya menunjukkan seberapa jauh komunitas Kristen secara teologis sudah sangat tersesat. Fakta banyaknya gereja terkemuka memasang spanduk seperti itu telah mencerminkan tidak adanya kepemimpinan teologis dalam komunitas Kristen lokal. Warisan Protestan di Singapura telah kalah oleh roh zaman ini. Allah alkitabiah tidak ada lagi dalam spanduk-spanduknya. Segera, Ia akan hilang dari aula suci kita ... kecuali kita kembali kepada kesehatan rohani alkitabiah dan mulai menghormati Allah serta menyadari kemuliaan-Nya. (t/Dian)

Sumber: 

Diterjemahkan dari:

Judul buku : The Readable TULIP
Judul asli artikel : 1. Why We are Reformed? 2. What if We Reject Reformed Faith?
Penulis : Cheah Fook Meng
Penerbit : Genesis Books, Singapura 2003
Halaman : 62 -- 71

Inti Kekristenan

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Mungkin kita pernah mendengar komentar seperti ini: "Katanya dia sudah menjadi orang Kristen, tapi hidupnya kok masih amburadul, tidak mencerminkan karakter Kristus?"

Menjadi Kristen bukan sekadar mengalami adanya perubahan tingkah laku dan kondisi. Menjadi Kristen berarti kita memiliki status yang baru, yaitu menjadi orang yang tidak lagi ada dalam penghukuman (berdosa) dan menjadi orang yang "dibenarkan" (tidak berdosa) karena kita sekarang ada di "DALAM KRISTUS". Status manusia baru kita adalah di "DALAM KRISTUS". Jangan lagi mencoba memerbaiki manusia lama kita karena hal ini hanya akan mengubah yang di luar saja (tingkah laku), tapi dalamnya masih busuk. Menjadi manusia baru di "DALAM KRISTUS"lah yang akan menjadikan hidup kekristenan kita nyata mencerminkan karakter Kristus karena perubahan itu terjadi dari dalam hati dan terpancar ke luar (tercermin dalam tingkah laku).

Banyak orang Kristen yang belum menyadari arti berada di "DALAM KRISTUS" yang sesungguhnya. Artikel yang saya cuplik dari buku tulisan Ray dan Anne Ortlund ini, semoga menolong kita untuk benar-benar hidup sebagaimana layaknya manusia "DALAM KRISTUS" yang Tuhan kehendaki. Selamat merenungkan.

In Christ, Yulia < yulia(at)in-christ.net >

Penulis: 

Ray dan Anne Ortlund

Edisi: 

099/V/2008

Tanggal: 

16-05-2008

Isi: 
Inti Kekristenan

Inti Kekristenan

Di dalam Kristus, tentukan posisimu
Di mana Dia berada, di situlah Anda berada.
Di dalam Kristus, tentukan siapakah Anda Seperti apa Dia, seperti itulah dirimu.
Di dalam Kristus, tentukan bagianmu Apa yang Dia punya, bagikanlah.
Di dalam Kristus, tentukan langkahmu Apa yang Dia lakukan, lakukanlah.

INTI KEKRISTENAN

Ray menjadi anggota klub atletik di kampung halaman kami, daerah Pantai Newport. Klub itu memiliki satu keistimewaan. Anda tidak akan bisa masuk kecuali Anda menjadi anggotanya. Pemilik klub itu adalah teman kami yang bernama John, seorang Kristen yang merasa sangat terbantu oleh pelayanan Ray ketika ia menjadi pembicara di siaran radio "Haven of Rest". Itulah sebabnya ia begitu baik memberikan fasilitas keanggotaan gratis bagi Ray di klubnya.

Ray diperlakukan sama seperti anggota-anggota lain yang telah membayar. Ia masuk ke klub dan tak seorang pun yang mengusirnya. Ia mengangkat barbel, berlari di lintasan, menggunakan "jacuzzi", dan mandi di sana. Ia benar-benar menjadi anggota klub itu.

Di mata penjaga klub olahraga itu, ada orang yang boleh masuk dan menggunakan fasilitas, dan ada orang yang tidak boleh. Jadi, ada dua kategori, yang menjadi anggota dan yang tidak. Ini bukan masalah apakah klub itu menyukai beberapa orang lebih dari yang lain atau mengagumi seseorang lebih dari yang lain -- ini adalah masalah siapa yang adalah anggota dan siapa yang bukan anggota.

relasi dengan Allah

Di mata Tuhan, ada juga orang-orang "yang anggota" dan "yang bukan anggota". Dan, bukan masalah bila Tuhan mengasihi yang satu lebih dari yang lain -- Tuhan mengasihi semua orang. Akan tetapi, untuk berada "di dalam Kristus", ada harga yang harus dibayar; penyelamatan oleh Kristus, melalui kematian dan kebangkitan-Nya. Dengan harga yang telah dibayar lunas oleh diri-Nya sendiri, Dia memberikan keanggotaan gratis sehingga mereka dapat menjadi anggota.

Betapa sangat disayangkan apabila Ray tidak pernah mencoba keanggotaan gratisnya. Hal itu juga akan sangat menyakitkan bagi John yang sudah berbaik hati memberikan keanggotaan gratis itu kepada Ray. Akan tetapi, jauh lebih buruk bila orang-orang percaya yang telah memiliki keanggotaan di dalam Kristus, yang karena keinginan mereka sendiri, tak pernah berjalan masuk dan menikmati semua hak-hak istimewa dan fasilitas yang Tuhan tawarkan bagi siapa saja yang berada di dalam-Nya.

Salah satu alasan mengapa orang tidak menjadi anggota keluarga Allah adalah karena mereka belum mengenal Yesus. Mereka tidak punya gambaran akan keuntungan dan bagaimana masuk ke dalam keanggotaan kerajaan Allah. Strong, dalam bukunya "Systematic Theology" (Teologia Sistematika), mengatakan bahwa doktrin untuk hidup di dalam Kristus adalah inti dari seluruh ajaran kekristenan, tetapi juga merupakan hal yang paling sering diabaikan.

Perhatikan bahwa inti kekristenan bukanlah pengetahuan, juga bukan kesetiaan pada gereja, bukan pula etika Kristen. INTI KEKRISTENAN ADALAH HIDUP DI DALAM KRISTUS.

Mari kita merenungkan hal ini lebih dari sekadar pengetahuan sejarah tentang Kristus. Merenungkannya lebih dari sekadar tentang menerima kematian-Nya di atas kayu salib untuk menebus dosa-dosa kita, yang oleh-Nya nama kita boleh berada dalam daftar keanggotaan Tuhan.

"Dua kata `dalam Kristus` ini sangat menjelaskan siapa diri kita jika dibandingkan dengan kata yang lain dan tidak ada deskripsi lain tentang kita yang jauh lebih menakjubkan daripada `dalam Kristus` atau pun implikasi lain selain `dalam Kristus`."

Dengan keinginan dan pengalaman sehari-hari, mulailah untuk hidup, bergerak, dan menempatkan diri Anda "di dalam Dia". Seperti yang Huegel katakan, "Serahkanlah hidupmu menjadi ... milik yang Empunya hidup." (Huegel 1980:7)

DIRI ANDA YANG BARU

"Suatu kejadian aneh sering terjadi dalam salah satu perjalanan ke luar angkasa," tulis San Diego Union (19 Mei 1979). "Setelah itu, beberapa astronot terus membicarakannya." Frank Borman mengatakan bahwa kejadian itu adalah "tujuan akhir dalam pengalaman rohani saya". Rusty Schweickart berkata, "Saya tidak lagi menjadi orang yang sama." James Irwin menimpali, "Saya ingin memberitahu orang banyak tentang ... pesan dari Tuhan Yesus."

Beberapa dari kita dapat pergi ke bulan, tetapi kita perlu mundur, menganggap seolah-olah kita berada di luar diri kita dan mendapatkan pandangan kekekalan tentang diri kita sendiri sebagai orang Kristen. Demikian juga kita perlu menjauhkan diri dari kesibukan kita sehari- hari dan melihat hidup kita secara keseluruhan dan mengetahui apa sebenarnya arti hidup di dalam Kristus.

Ketika Rasul Paulus menulis suratnya, dia sering menggunakan kata "dalam Kristus", yang membuat Anda berpikir bahwa pencetak masa itu pastilah sering sekali mencetak kata "dalam". Dari sembilan surat- suratnya kepada berbagai jemaat, enam di antaranya menyebutkan jemaat yang hidup "dalam Kristus". Tak peduli apakah mereka jemaat di Korintus yang lemah dan memikirkan hal-hal duniawi atau jemaat di Filipi yang kuat dan dewasa imannya -- apa pun kondisi iman mereka, Paulus mengatakan bahwa mereka berada di dalam Kristus. Tidak peduli betapa baiknya Anda, jika Anda adalah orang percaya ..., Anda harus ada di "dalam Dia".

Tahukah Anda betapa pentingnya posisi Anda sebenarnya di dalam Kristus? Sadarkah Anda betapa radikalnya pribadi Anda yang telah diperbarui sebagai hasil hidup dalam Kristus? "Jadi, siapa yang ada `di dalam Kristus`, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang." (2 Korintus 5:17).

"Keberadaan Anda di dalam Dia telah mengubah diri Anda dan telah mengubah segala sesuatu yang berhubungan dengan Anda."

"Yang lama telah berlalu". Pikirkanlah pernyataan ini. Di mata Allah - - dan lebih dari yang Anda bayangkan -- karakter lama yang ingin Anda ubah adalah cerita lama; tujuan lama Anda yang tidak berharga telah pergi; kecerobohan dan keegoisan Anda telah dibuang; sekarang dan selamanya Anda berada di DALAM KRISTUS.

"Yang baru sudah datang". Cobalah untuk menganalisa menurut kacamata Allah yang Anda miliki tentang hidupmu yang diperbaharui, kebaikan yang baru, kendali yang baru, hikmat baru, belas kasihan yang baru, pandangan iman baru yang dibentuk dan diproses untuk jadi sempurna -- semuanya dapat terjadi karena Anda ada di DALAM KRISTUS.

SEBUAH PERSPEKTIF BARU

Dalam Yohanes 14 dan 15, Yesus sendiri yang menumbuhkan ide pentingnya agar Anda berada di dalam Dia. Paulus kemudian juga menekankan indahnya hidup di dalam Dia dan betapa banyak hal indah yang bisa kita rasakan di dalam Dia.

Kita menikah hanya "di dalam Tuhan". Anak-anak harus mematuhi orang tuanya "di dalam Tuhan". Sukacita, kesengsaraan, kemenangan, dan penderitaan semuanya "di dalam Tuhan". Penghiburan kita ada "di dalam Yesus Kristus". Teman sekerja kita "di dalam Yesus Kristus". Jerih payah kita tidak akan sia-sia "di dalam Kristus". Baptisan kita "di dalam nama Kristus Yesus". "Aku bersukacita di dalam Tuhan," kata Paulus. Salam "Damai sejahtera di dalam Tuhan Yesus Kristus". Ungkapan "Saudaraku yang terkasih dalam Tuhan Yesus Kristus". Ungkapan "... yang aku kasihi di dalam Tuhan Yesus Kristus". Ungkapan "Semua yang baik di dalam Tuhan Yesus Kristus". Ungkapan "diberkatilah mereka yang mati di dalam Tuhan Yesus Kristus".

"Karena orang percaya berakar di dalam Dia," tulis The Daily Walk, "dibangun di dalam Dia, mati bersama-Nya, bangkit bersama Dia, hidup dengan Dia, tersembunyi dalam-Nya, dan dilengkapi oleh Dia, jadi sangat tidak mungkin bila orang percaya hidup tanpa Dia. Dilingkupi oleh kasih sayang Tuhan, dengan damai sejahtera-Nya yang memimpin hidup dan hati, mereka diperlengkapi untuk membuat Kristus semakin nyata dalam hidup sehari-hari." [Daily Walk, 30 November 1986]

Beradalah "di dalam Dia" ketika membangun relasi dengan seseorang. (Berdoalah: "Tuhan, Kau telah memberikan ______ (sebutkan namanya) ke dalam hidupku. Tolonglah agar aku dapat senantiasa memberkatinya dalam setiap pertemuanku dengannya? Berikan cara agar aku dapat bertumbuh dan membantu dia untuk bertumbuh bersama.")

Beradalah "di dalam Dia" agar Anda menjadi bijak. (Berdoalah: "Tuhan, tolong aku untuk menerima kekudusan-Mu yang membakar habis karakterku yang buruk dan menguatkan aku untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik yang menyenangkan Engkau.")

Beradalah "di dalam Dia" agar Anda nyaman. (Berdoalah: "Tuhan, aku mengamini bahwa kesusahan dalam hidupku semuanya atas kehendak-Mu. Tetapi, tolonglah agar jangan sampai aku berkeluh kesah seperti orang yang tidak punya pengharapan. Terpujilah nama-Mu yang disebut orang sebagai Pemberi rasa aman!")

Beradalah "di dalam Dia" agar Anda dipimpin, diselamatkan, disembuhkan, dan ditolong. (Berdoalah: "Tuhan, sekarang dan dalam setiap peristiwa yang terjadi dalam hidupku hari ini, biarlah setiap hal yang aku lakukan menjadi doa dan membawaku semakin mendekat pada-Mu.")

Tinggallah di dalam Dia -- karena segala sesuatu dijadikan baik dan indah bagimu.

Teruslah mengaku, "Tuhan, Kaulah tempat perlindunganku."

POSISI ANDA DI DALAM KRISTUS

Gambar: anugerah

Dalam salah satu perjalanan ke Israel, kami berdua sempat menghabiskan beberapa waktu di Swiss. Menghabiskan satu malam di sebuah hotel di Swiss adalah pengalaman yang paling tak terlupakan. Saat itu musim dingin di daerah pegunungan Alpen dan kami menghangatkan perut kami dengan makan malam yang lezat sambil duduk di dekat perapian dan kemudian beranjak tidur. Keesokan paginya, kami bangun dan menikmati sarapan yang mengenyangkan sebelum berenang di kolam renang hotel yang sangat mewah. Airnya hangat. Dua dari empat dinding di kolam renang ruang tertutup tersebut terbuat dari kaca dengan sedikit salju yang menempel di bagian luar dinding kaca itu. Di kejauhan, tampak pemandangan lereng gunung yang indah dan orang-orang yang bermain ski menuruni gunung dan melintas beberapa meter saja dari dinding kaca kami. Kami melihat semuanya itu -- Pegunungan Alpen, salju, dan para pemain ski -- menyatu dengan hangatnya air kolam renang.

Sama seperti semua kenyamanan yang ada di hotel Swiss tersebut -- posisi kita sangat menentukan -- apakah kita berada "di luar" atau "di dalam". Berada "di dalam Kristus" membuat semua perbedaan dalam kehidupan kekristenan Anda. Semua titik keseimbangan Anda sebagai seorang Kristen, pemahaman Anda mengenai sebuah hubungan, takdir, fungsi-fungsi diri, semuanya berasal dari pengertian "di mana Anda berada". Ketika Anda mengerti "di mana posisi Anda", apa artinya berada di dalam Kristus, Anda akan memahami bagaimana Anda diperlengkapi dan apa yang akan Anda lakukan sebagai hasilnya.

Paulus sebenarnya tidak pernah mendefinisikan istilah "di dalam Kristus"; kita pun tidak perlu melakukannya. Dia hanya "menggunakannya" secara terus-menerus sampai Anda melihat pengaruhnya yang besar. Itu bukan semata masalah yang klise, tetapi salah satu hal yang mendukung banyak aspek kehidupan kekristenan.

APA MAKSUDNYA BERADA DI DALAM KRISTUS?

"ARTINYA KEDEKATAN YANG AMAT SANGAT DENGAN TUHAN." Ketika Anda berada di dalam Kristus, Anda menjadi bagian dari-Nya, Anda terhubung dengan Dia. Tidak ada situasi yang lebih dekat daripada ketika Anda sudah berada di dalam Dia.

Paulus tahu bahwa dalam penjara di Roma, dalam kapal yang diserang badai, di aula pengadilan Kaisar -- di mana pun dia, semuanya baik- baik saja. Mengapa? Karena "di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada" (Kisah Para Rasul 17:28). Lebih lanjut, Tennyson mengatakan demikian:

Berbicaralah kepada-Nya, sebab Ia mendengar, Agar rohmu dan Roh-Nya dapat bertemu. Dia lebih dekat dari napasmu, Dia lebih terjangkau dari tangan dan kakimu.

Jika saat ini Anda merasa jauh dari Allah, kita bukanlah subjek atau yang "merasakan". Jangan pernah melandaskan apa yang Anda percayai pada apa yang Anda alami, tetapi landaskanlah kepada kebenaran firman Allah. Entah Anda merasakan atau tidak, ALLAH DEKAT KEPADA ANDA DAN ANDA DEKAT KEPADA ALLAH -- amat sangat dekat.

Jika kedekatan itu menggetarkan jiwa Anda, berarti Allah berada sangat dekat dengan Anda.

Jika kedekatan itu tidak menggetarkan Anda, Allah pun tetap dekat kepada Anda.

Sementara Anda belajar untuk berjalan dengan iman dan bukan dengan apa yang tampak, kedamaian dan kenyamanan akan mulai menyebar di jiwa Anda. Anda akan tahu, seperti Paulus, DI MANA PUN ANDA BERADA, SEGALANYA akan berjalan baik -- karena Anda dekat, sangat dekat kepada-Nya. Anda berada DI DALAM DIA.

"BERADA 'DI DALAM KRISTUS', SEMUA KEBUTUHAN ANDA AKAN TERPENUHI." "Allahku akan memenuhi semua kebutuhanmu," dikatakan di Filipi 4:19, " ... di dalam Kristus Yesus." Jadi tidak ada situasi-situasi yang percuma ketika situasi-situasi itu "tidak memenuhi kebutuhan Anda". Anda dilahirkan untuk hidup dalam ketenteraman dengan beberapa kekurangan karena di baliknya, kebutuhan Anda yang terdalam dipenuhi - - di dalam Kristus. Anda mungkin berganti pekerjaan atau berpindah kota -- tetapi itu terjadi bukan karena kebutuhan Anda yang tidak terpenuhi. Bahkan, arena Colosseum dengan singanya yang harus dihadapi -- karena ANDA TAHU DI MANA ANDA BERADA, dan Anda digambar serupa dengan Sumber Anda.

"DI DALAM KRISTUS", ADA PERLINDUNGAN. Kami mengenal seorang ibu dan dua anak perempuannya yang alergi terhadap banyak zat di dunia ini sehingga mereka harus hidup dalam sebuah rumah khusus di hutan yang dibangun dan dilengkapi hanya untuk mereka dalam waktu yang lama.

Kita pernah membaca tentang anak-anak yang dilahirkan tanpa sistem pertahanan tubuh sehingga mereka hidup dalam balon plastik untuk menghindari kuman.

Berada di dalam Kristus, dalam arti rohani, berarti perlindungan yang Anda perlukan untuk menghadapi segala yang jahat dan berbahaya di dunia ini.

"Apa?" kata Anda. "Jadi aku tidak akan pernah mengalami kecelakaan mobil? Aku tidak akan kehilangan orang yang aku kasihi? Aku tidak akan pernah mendengar berita buruk?"

Hidup di dalam Kristus dimulai "dengan membedakan". Itu berarti melibatkan kehidupan yang berlawanan. Ini dimulai dari tingkah laku. Dan, semuanya itu tidak ada hubungannya dengan keadaan lingkungan Anda, tetapi "bagaimana Anda menanggapi" lingkungan Anda. Itulah arena kehidupan yang sesungguhnya.

Pemazmur mengatakan:

"(Orang yang berjalan di dalam Tuhan) tidak akan goyah untuk selamanya ... Ia tidak takut kepada kabar celaka; hatinya tetap, penuh kepercayaan kepada Tuhan. Hatinya teguh, ia tidak takut." (Mazmur 112:6-8)

Tuhan memagari orang yang benar -- seperti yang dilakukan-Nya kepada Ayub (Ayub 1:10). Pagar itu adalah "tinggal di dalam Kristus". Dengan demikian, Dia tahu bahwa tidak ada satu hal pun yang dapat menyentuhnya karena Bapa yang baik dan penuh kasih telah merancangkan rencana terbaik untuknya. Allah berkata kepadanya, "Bukankah telah Kuperintahkan kepadamu: kuatkan dan teguhkanlah hatimu? Janganlah kecut dan tawar hati, sebab TUHAN, Allahmu, menyertai engkau, ke mana pun engkau pergi." (Yosua 1:9). Ketika Anda mulai memahami bahwa ada perisai tak tampak yang melindungi Anda tanpa henti ketika Anda tinggal di dalam Kristus, maka hidup Anda akan mengalami banyak perubahan.

Kami mempunyai teman, seorang pemilik toko buku Kristen dan istrinya, yang baru saja melewati tahun yang berat. Tanpa diketahui, seorang pembeli yang ceroboh membuat mereka berhutang 100.000 dolar Amerika. Dalam pertemuan dengan para penjual buku, istrinya jatuh sakit. Selama berbulan-bulan, dia menderita bronkitis dan sekarang menderita pula penyakit ruam syaraf. Dia menulis kepada kami, "Selain dari masalah- masalah ini, hidupku tampak baik-baik saja!"

Sepanjang kami mengenal mereka, pasangan ini telah menunjukkan kedamaian tinggal di dalam Tuhan. Mereka tidak berlari dari masalah dan menghadapinya dengan iman.

Dalam menghadapi masalah, Alkitab mengajarkan: "Janganlah heran," kata Petrus. "Anggaplah sebagai suatu kebahagiaan," ajar Yakobus. Dan banyak lagi yang mengatakan, "Jangan takut, jangan takut, dan jangan takut." "Tinggallah di dalam Tuhan." "Percayalah kepada Tuhan."

Ketika Anda menyadari bahwa ada perisai yang tak terlihat yang terus melindungi Anda, Anda akan tetap tinggal di dalam Kristus dengan sukacita dan damai sejahtera di hati.

HIDUP ANDA DI DALAM KRISTUS

Seperti apa hidup Anda jika Anda tinggal di dalam Kristus?

KETIKA SITUASI YANG BURUK MENGANCAM, Anda tidak akan takut -- Anda akan berdoa,

"Jagalah aku, ya Allah, sebab pada-Mu aku berlindung." (Mazmur 16:1)

KETIKA ANDA BERGUMUL DENGAN PERASAAN BERSALAH, Anda akan mengingat janji-janji-Nya: "Semua orang yang berlindung pada-Nya tidak akan menanggung hukuman." (Mazmur 34:22). "Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus." (Roma 8:1).

Firman di atas benar adanya bagi teman kami, Mark, yang bergumul dengan banyak rasa ketidakamanan. Dia dibesarkan di panti asuhan, tanpa mengetahui dari mana asalnya atau pun siapakah dia, yang dia tahu adalah dia ada di dunia ini begitu saja. Bahkan, ketika di panti asuhan, dia direndahkan dan akhirnya melarikan diri. Namun, tanpa mengenal siapa dirinya, tanpa uang, tanpa pengalaman apa-apa, Mark menjadi orang yang berhasil, kaya, dan punya banyak pengalaman.

Di dalam dirinya, kecenderungan manusiawinya adalah merendahkan dirinya, rasa khawatir membuatnya bekerja terlalu keras dan berpikir bahwa segala sesuatu tidak akan pernah cukup baginya. Tanpa Kristus, Mark mungkin sudah bunuh diri. Akan tetapi, Mark terus-menerus datang dan bertanya pada Yesus; pengalaman berdoa bersama Mark sungguh merupakan pengalaman yang luar biasa. Posisinya "di dalam Kristus" telah melepaskan ketegangan, menimbulkan sukacita, dan memberinya kekuatan penuh kepadanya untuk melaju.

"DALAM SETIAP KESULITAN", Anda dapat bersandar kepada-Nya.

"Demikianlah TUHAN adalah tempat perlindungan bagi orang yang terinjak, tempat perlindungan pada waktu kesesakan." (Mazmur 9:9)

Kami berlaku sangat emosional beberapa waktu lalu. Tanpa meluangkan waktu untuk berdoa, kami menjadi penanggung hutang seorang teman kami, yang sebenarnya tidak diizinkan menurut kitab Amsal. Kemudian, teman kami bangkrut dan perusahaan yang meminjaminya mengambil semua tabungan kami.

Sampai beberapa tahun lamanya, kami pikir akan kehilangan rumah akibat menanggung hutang teman kami tersebut. Kami harus mengakui, "Tuhan, kami berdosa. Kami yang meminta, maka kami juga harus berani kehilangan." Akan tetapi, kami sungguh mengandalkan Tuhan sebagai tempat perlindungan. Kami menyerahkan masalah ini ke dalam tangan-Nya. (Mungkin inilah yang membantu kami karena pelayanan membuat kami terlalu sibuk untuk benar-benar memikirkannya.)

"KETIKA SESEORANG BERLAKU JAHAT PADA ANDA", Anda akan semakin dalam tinggal di dalam Kristus.

"Ya TUHAN, Allahku, pada-Mu aku berlindung; selamatkanlah aku dari semua orang yang mengejar aku dan lepaskanlah aku." (Mazmur 7:1)

Pada tahun ketiga dari dua puluh tahun pelayanan kami sebagai gembala di Lake Avenue Congregational Church, tiga orang wanita menyatakan bahwa kami mendukung komunis. Mereka menulis surat kepada tiga ribu anggota kami -- termasuk kepada para misionaris yang sedang bertugas di ladang misi karena mereka khawatir tentang pendeta baru mereka yang "liberal". Mereka mendatangi setiap rumah jemaat dengan sebuah petisi agar kami meninggalkan gereja kami; mereka bahkan membawa kami ke badan pengurus gereja.

Melalui tahun yang sulit itu, tidak sekali pun kami mencoba memertahankan diri kami (1 Petrus 2:21-23; Yesaya 53:7). Melihat kembali kejadian itu, kami tahu betapa Allah tidak hanya melepaskan kami dari kesulitan, tetapi Dia juga menggunakan hal ini untuk semakin menyatukan kami dengan jemaat kami.

Ya, ketika reputasi Anda sedang terancam, maka perlindungan Anda datangnya dari Kristus.

"Jagalah kiranya jiwaku dan lepaskanlah aku; janganlah aku mendapat malu, sebab aku berlindung pada-Mu." (Mazmur 25:20)

"DALAM BAHAYA, ANDA AKAN DAPAT BERSUKACITA"

"Tetapi aku mau menyanyikan kekuatan-Mu, pada waktu pagi aku mau bersorak-sorai karena kasih setia-Mu; Engkau telah menjadi kota bentengku, tempat pelarianku pada kesesakanku." (Mazmur 59:16)

Pendek kata, "DI DALAM KRISTUS, ANDA TIDAK AKAN MENGALAMI KEBINGUNGAN":

"Hanya Dialah gunung batuku dan keselamatanku, kota bentengku, aku tidak akan goyah. Pada Allah ada keselamatanku dan kemuliaanku." (Mazmur 62:6,7)

Di dalam Tuhan, Anda akan mengetahui dari manakah sukacita Anda berasal.

"Tetapi semua orang yang berlindung pada-Mu akan bersuka cita, mereka akan bersorak-sorai selama-lamanya." (Mazmur 5:11)

Perjanjian Lama menyebut-Nya sebagai tempat perlindungan, gunung batu, dan kekuatan; kata-kata ini memenuhi pikiran pemazmur. Kami menghitung ada 61 kali di mana kata-kata ini mendeskripsikan Tuhan -- sebagai pendukung Mazmur lain yang mengatakan, "Banyak kesakitan diderita orang fasik, tetapi orang percaya kepada TUHAN dikelilingi-Nya dengan kasih setia." (Mazmur 32:10); "Engkau menyembunyikan mereka dalam naungan wajah-Mu" (Mazmur 31:20); "Engkaulah tempat perteduhan kami turun-temurun." (Mazmur 90:1); "Orang yang duduk dalam lindungan ... dan bermalam dalam naungan ...." (Mazmur 91:1); "... pada-Mulah aku berteduh!" (Mazmur 143:9).

Perjanjian Baru menyebut secara spesifik nama Pelindung teguh ini sebagai Yesus. Haleluya! Bahkan dengan spesifik disebut sebagai Kristus, nama Pemilik kebangkitan dan kuasa.

Dalam kemuliaan menurut Injil Perjanjian Baru, saya dan Anda ada "DI DALAM YESUS KRISTUS".

Anda berada di dalam-Nya sama seperti seorang bayi dalam kandungan -- bahkan lebih nyaman.

Anda berada di dalam-Nya sama seperti ulat dalam kepompong yang akan menjadi kupu-kupu -- tetapi lebih indah daripada itu.

Anda berada di dalam-Nya sama seperti penyelam dalam pakaian selamnya -- bahkan lebih aman daripada itu.

Anda berada di dalam-Nya sama seperti burung di udara atau ikan di dalam air -- tetapi tempat Anda jauh lebih baik.

Berada di dalam Kristus berarti Anda ditempatkan Allah di lingkungan yang baru -- seperti yang dikatakan James Stewart, "Dipindahkan ke dalam tanah yang baru dan iklim yang baru, di mana baik tanah maupun iklim itu, keduanya adalah Kristus." (Stewart: 157)

Atau dapat kami katakan bahwa berada di dalam Kristus berarti hidup Anda dan hidup-Nya yang penuh kemuliaan benar-benar menjadi satu. "Kamu di dalam Aku dan Aku di dalam kamu." (Yohanes 14:20). Dia dan Anda berada "di dalam" satu sama lain -- bergabung, tidak dapat dipisahkan, dan dilihat sebagai suatu kesatuan dengan Allah.

Jika pelajaran "berada di dalam Kristus" merupakan hal yang baru bagi Anda, pengetahuan akan hal itu akan meluaskan pikiran Anda untuk menangkap lebih lagi tentang karya "penyelamatan yang besar", dan pelaksanaan dari pengenalan hidup di dalam Kristus akan mewarnai seluruh kehidupan Anda. Kebenaran yang satu ini sangat penting dan menjadi dasar kekristenan. Anda membangun hidup Anda di atasnya.

inti kekristenan bukanlah pengetahuan, juga bukan kesetiaan pada gereja, bukan pula etika Kristen. INTI KEKRISTENAN ADALAH HIDUP DI DALAM KRISTUS.

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Ketika Anda belajar, Anda akan lebih memahami betapa luar biasa indahnya Tuhan Yesus itu. Siapa yang pernah mendengar ungkapan "berada dalam Abraham Lincoln" atau "berada dalam Shakespeare"? Ketika Anda melihat bahwa diri Anda berada "di dalam Kristus", Anda akan melihat Dia jauh di atas siapa pun yang paling berpengaruh dalam sejarah.

Ketika Martin Luther menulis tentang berada "di dalam Kristus", dia berkata, "Kita merasa seperti anak-anak yang belajar untuk berbicara. Kita hanya dapat berbicara terpatah-patah atau pun hanya beberapa kata ketika kita berbicara mengenai hidup dalam Kristus."

Allah mengangkat seorang pendosa miskin, oleh kasih karunia-Nya, menyelamatkan dia, dan menempatkannya di dalam Kristus. Akan menghabiskan seluruh hidup kita untuk mengetahui apa artinya tindakan Tuhan tersebut. Tetapi, kami tahu hal itu berarti Anda dengan kesungguhan hati dapat mengatakan, "YA TUHAN! KAULAH TEMPAT PERLINDUNGANKU."

SEMAKIN MENGENAL KRISTUS

"Dua kata `dalam Kristus` mungkin merupakan kata yang paling tepat untuk mendefinisikan Anda sebagai seorang Kristen dibanding kata yang lain. Keberadaan Anda di dalam Dia telah mengubah Anda selamanya -- Anda sekarang tak terpisahkan dari Kristus, dilindungi dengan sangat oleh Dia, dan memperoleh hidup kekal melalui Dia. Coba pikirkan lagi beberapa hak dan keistimewaan yang Anda dapatkan di dalam Kristus, dan apa artinya hal tersebut bagi Anda hari ini."

REFLEKSI PRIBADI

Baca 1 Petrus 1:3-9

Sekalipun Petrus tidak menggunakan istilah "di dalam Kristus", dia menjelaskan bagaimana kita bisa berada "di dalam Kristus" pada ayat 3. Bagaimana dia mendeskripsikannya?

Keuntungan apa yang kita dapatkan dengan menjadi seorang Kristen menurut ayat 4? Jelaskan keuntungan itu?

Siapa yang dilindungi oleh perisai kuasa Allah (ayat 5)? Bagaimana caranya?

Baca ayat 6-7. Bagaimana orang percaya dapat "selamat" atau bertahan terhadap berbagai kesengsaraan? Apa tujuan pencobaan- pencobaan itu?

Keuntungan yang disebutkan di ayat 3-7 berkaitan dengan masa depan kita. Keuntungan apa yang ada bagi mereka yang di dalam Kristus sekarang (ayat 8-9)? Apakah Anda mengalaminya? Jika ya, mengapa, dan jika tidak, mengapa?

Baca Efesus 2:11-22

Menurut ayat 12, lima hal apa yang terjadi bila seseorang berada di luar Kristus? Mana dari hal-hal tersebut yang paling menyusahkan Anda jika Anda belum menjadi Kristen?

Keuntungan apa yang dirasakan jemaat di Efesus karena pengenalan mereka yang baru akan Kristus? Mana yang sesuai dengan Anda?

Menurut Anda, mengapa Paulus mengingatkan jemaat Efesus tentang kehidupan mereka yang tanpa Allah? Apakah kehidupan iman Anda akan tertolong jika mengingat hidup Anda dulu sebelum menjadi seorang Kristen? Bagaimana hal itu menolong Anda?

Jika Anda harus memilih satu keistimewaan menjadi seorang Kristen yang paling menguatkan Anda dari perikop ini, keistimewaan yang manakah itu? Mengapa?

Cobalah beberapa saat menjadi seorang penulis lagu. Lalu, coba tuliskan sebuah bait tentang rasa syukur Anda kepada Tuhan atas keistimewaan yang Dia berikan kepada kita di dalam Kristus seperti yang dideskripsikan di dalam perikop ini.

Jika Anda menggunakan pedoman belajar ini dalam kelompok, mintalah setidaknya beberapa anggota untuk membaca bait yang telah mereka tulis. (t/Anggit)

Audio: Inti Kekristenan

Referensi:
Huegel, F.J.. 1980. Bone of His Bone. Michigan : Zondervan Publishing House. Stewart, James. A Man in Christ. New York: Harper and Row.
Diterjemahkan dan disesuaikan dari:
Judul buku : Confident in Christ
Judul asli artikel : The Essence of Christianity
Penulis : Ray dan Anne Ortlund
Penerbit : Multnomah, Portland 1989
Halaman : 17 -- 30

Kejutan dari Seorang Skeptis

Editorial: 

Dear Reformed Netters,

Artikel yang saya kirimkan ke Anda ini sangat menarik untuk disimak. Kiranya dapat menjadi perenungan bagi kita menjelang perayaan Paskah tahun ini. Doa saya, kita semua semakin menghargai pentingnya kematian Kristus bagi iman keselamatan kita.

Selamat merayakan Hari Paskah 2008.

Redaksi, Yulia Oeniyati < yulia(at)in-christ.net >

Penulis: 

Lee Strobel

Edisi: 

096/II/2008

Tanggal: 

14-2-2008

Isi: 
KEJUTAN DARI SEORANG SKEPTIS

Karena menganggap diri seorang ateis, maka saya mengawali perjalanan spiritual saya dengan cara yang tidak biasa.

Saya minta pertolongan Tuhan.

Saya pikir-pikir, apa ruginya? Jika saya ternyata benar dan Tuhan sedang tidak ada di surga, maka saya hanya akan kehilangan waktu selama tiga puluh detik. Jika ternyata saya salah dan Tuhan menjawab saya, maka saya akan mendapat untung besar. Maka, saat sendirian di dalam kamar; pada 20 Januari 1980, saya panjatkan doa demikian ini:

"Tuhan, aku bahkan tidak percaya Engkau ada di sana, tetapi jika memang benar Engkau ada, aku ingin menemukan-Mu. Aku benar-benar ingin mengenal kebenaran-Mu. Maka jika Engkau memang ada, mohon nyatakan diri-Mu padaku."

Apa yang tidak saya ketahui pada waktu itu yaitu, doa sederhana ini melontarkan saya selama hampir dua tahun ke dalam petualangan pencarian yang berakhir dengan sebuah revolusi dalam hidup saya.

Berbekal pelatihan bidang hukum yang pernah saya ikuti, yang memberi saya pengetahuan mengenai bukti, juga latar belakang jurnalistik, yang memberi saya keterampilan-keterampilan dalam mengejar-ngejar fakta, saya pun mulai membaca berbagai macam buku dan mewawancarai banyak ahli. Saya sangat dipengaruhi oleh Josh McDowell melalui buku-bukunya. "More Than a Carpenter"[1] dan "Evidence That Demands a Verdict"[2], telah membuka mata saya pada kemungkinan bahwa seseorang bisa memiliki iman yang dapat dipertahankan secara intelektual.

Tentu saja, saya juga membaca Alkitab. Namun, terlebih dahulu saya sisihkan jauh-jauh pemikiran bahwa Alkitab itu benar-benar adalah firman, yang adalah ilham dari Tuhan. Sebaliknya, pada saat itu saya memandang Alkitab dengan sudut pandang yang tak terbantahkan -- sebagai suatu kumpulan dokumen masa lampau yang merekam kejadian- kejadian yang memiliki nilai historis.

Saya juga membaca tulisan-tulisan religius lainnya, termasuk Kitab Mormon, sebab saya rasa penting untuk memeriksa alternatif keyakinan rohani yang berbeda. Sebagian besar keyakinan itu mudah dibuyarkan. Sebagai contoh, Mormonisme dengan cepat runtuh di tengah penelitian saya setelah saya menemukan beberapa ketidaksesuaian yang tidak dapat ditolerir antara kesaksian-kesaksian sang pendiri, Joseph Smith, dengan penemuan-penemuan arkeologi modern. Berbeda dengan kekristenan, yang semakin saya teliti, semakin membangkitkan ketertarikan saya.

Saya gambarkan proses ini seolah-olah saya sedang merangkai suatu "jigsaw" (teka-teki bergambar) raksasa dalam benak saya. Tiap kali menemukan bukti atau jawaban, itu seperti menemukan letak potongan jigsaw yang tepat pada posisi yang semestinya. Saya tidak tahu seperti apa jadinya gambar akhir dari rangkaian jigsaw tersebut -- itu adalah suatu misteri -- tetapi setiap fakta yang dapat saya ungkap mengarah pada satu langkah ke depan untuk makin dekat pada solusinya.

JAWABAN BAGI SEORANG ATEIS

Tak lama kemudian, saya menemukan bahwa orang Kristen telah melakukan suatu kesalahan taktis. Agama-agama lain percaya pada berbagai dewa atau tuhan yang tak berwujud, tidak kelihatan, dan pemahaman itu sulit untuk diubah. Tetapi orang Kristen mendasarkan agama mereka pada hal- hal yang katanya adalah ajaran dan mukjizat dari sesosok Pribadi yang mereka klaim atau akui sebagai Orang yang secara historis adalah nyata -- Yesus Kristus -- yang menurut mereka, adalah Tuhan.

Saya rasa ini merupakan suatu kekeliruan yang besar sebab jika Yesus benar-benar hidup, Ia pasti meninggalkan bukti-bukti historis. Saya pun berpikir bahwa yang perlu saya lakukan adalah berusaha memastikan kebenaran historis tentang Yesus dan mungkin saja saya akan menemukan bahwa Dia adalah Orang yang baik, mungkin sangat bermoral dan seorang Guru yang sempurna, tetapi yang pasti, sama sekali tidak menyerupai Tuhan.

Saya memulainya dengan menanyakan pada diri saya sendiri pertanyaan pertama dari seorang wartawan yang baik: "Ada berapa pasang mata di sana?" "Mata" adalah istilah lain untuk saksi. Setiap orang tahu betapa kuatnya kesaksian saksi mata dalam menetapkan kejujuran suatu peristiwa. Percayalah, saya sudah melihat banyak terdakwa yang digiring ke penjara oleh saksi mata.

Maka saya ingin mengetahui, "Ada berapa banyak saksi mata yang menjumpai orang bernama Yesus ini? Berapa banyak yang mendengar-Nya saat Dia memberikan pengajaran-pengajaran? Berapa banyak yang melihat- Nya melakukan mukjizat-mukjizat? Berapa banyak yang benar-benar telah melihat-Nya setelah Dia, yang katanya bangkit dari kematian?"

Saya terkejut saat menemukan bahwa tidak hanya satu saksi mata yang ada di sana; melainkan ada banyak, dan Perjanjian Baru dengan jelas menyebutkan beberapa orang dari mereka. Sebagai contoh, ada Matius, Petrus, Yohanes, dan Yakobus -- mereka semua adalah saksi mata. Markus, seorang sejarawan, yang menulis berdasarkan wawancara langsung dengan Petrus sendiri; Lukas, seorang dokter yang menulis riwayat hidup Yesus berdasarkan kesaksian para saksi mata; dan juga Paulus, yang hidupnya berubah 180 derajat setelah dia berkata bahwa dirinya telah bertemu dengan Kristus yang telah bangkit kembali.

Petrus dengan teguh meyakinkan bahwa dia dengan teliti telah mencatat informasi yang diperolehnya secara langsung. "Kami tidak mengarang kisah-kisah yang kami ciptakan dengan cerdik saat kami mengatakan kepada Anda mengenai kuasa dan kedatangan dari Tuhan kita Yesus Kristus," tulisnya, "tetapi kami adalah saksi mata dari kebesaran- Nya."[3]

Yohanes berkata, dia telah menuliskan tentang hal-hal "yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan, dan yang telah kami raba dengan tangan kami."[4]

KESAKSIAN YANG DAPAT DIPERCAYA

Orang-orang ini tidak hanya menyaksikan secara langsung, tetapi McDowell dengan jelas menunjukkan, mereka telah berkhotbah tentang Yesus pada orang-orang yang hidup pada masa dan di daerah yang sama dengan Yesus sendiri. Hal ini sangat penting sebab jika para murid itu melebih-lebihkan atau hanya sekadar menulis ulang sejarah, maka para pendengar, yang terkadang memusuhi mereka, pasti akan mengetahui kebohongan itu dan menolak mereka. Tetapi sebaliknya, mereka dapat berbincang-bincang mengenai berbagai hal yang telah diketahui orang banyak dengan para pendengar tersebut.[5]

Sebagai contoh, tidak lama sesudah Yesus dibunuh, Petrus berkhotbah pada orang banyak di kota yang sama di mana penyaliban itu berlangsung. Banyak di antara mereka mungkin melihat Yesus dibunuh. Petrus memulainya dengan berkata: "Hai orang Israel, dengarlah perkataan ini: `Yang aku maksudkan, ialah Yesus dari Nazaret, seorang yang telah ditentukan Allah dan yang dinyatakan kepadamu dengan kekuatan-kekuatan dan mukjizat-mukjizat dan tanda-tanda yang dilakukan oleh Allah dengan perantaraan Dia di tengah-tengah kamu, seperti yang kamu tahu.`"[6]

Dengan kata lain, "Ayolah, kalian semua -- kamu sudah mengetahui apa yang Yesus lakukan. Kamu sendiri telah melihat hal-hal ini!" Lalu dia mengungkapkan bahwa Raja Daud telah mati dan dikuburkan dan kuburannya masih ada sampai hari ini, "Yesus inilah yang dibangkitkan Allah, dan tentang hal itu kami adalah saksi."[7]

Yang menarik adalah reaksi para pendengar. Mereka tidak berkata, "Kami tidak tahu apa yang kamu bicarakan!" Sebaliknya, mereka panik dan ingin tahu apa yang harus mereka lakukan. Pada hari itu juga, sekitar tiga ribu orang meminta pengampunan dan banyak lainnya juga turut serta -- sepertinya itu karena mereka mengetahui bahwa Petrus telah mengatakan hal yang sebenarnya.[8]

Saya pun bertanya pada diri sendiri, "Apakah kekristenan dapat tumbuh berakar dengan cepat karena memang benar tidak dapat dibantah jika para murid itu berkeliling menyebarkan perkataan yang telah diketahui oleh para pendengar mereka bahwa hal-hal itu dilebih-lebihkan atau bahkan palsu?"

Potongan-potongan jigsaw mulai tertata tepat pada tempatnya.

Satu bukti lagi yang ditawarkan orang Kristen pada saya -- namun saya tidak memercayainya -- yakni para murid Yesus pasti percaya pada apa yang telah mereka khotbahkan tentang Dia karena sepuluh dari sebelas orang murid memilih mengalami kematian yang mengerikan daripada menarik kembali kesaksian mereka bahwa Yesus adalah Anak Allah yang telah bangkit dari kematian. Beberapa orang lainnya disiksa hingga mati melalui penyaliban.

Awalnya saya tidak menyadari hal menarik ini. Saya bisa menunjukkan semua kelemahannya melalui sejarah, yakni ada orang-orang yang rela mati karena membela keyakinan mereka. Tetapi para murid itu berbeda, kata McDowell. Orang akan rela mati demi kepercayaan mereka jika telah yakin dengan kebenaran kepercayaan itu, tetapi orang tidak akan mau mati untuk kepercayaan jika tahu bahwa kepercayaan itu palsu.

Dengan kata lain, keseluruhan iman Kristen bergantung pada apakah Yesus Kristus benar-benar bangkit dari kematian.[9] Tidak ada kebangkitan, berarti tidak ada kekristenan. Para murid berkata bahwa mereka melihat Yesus setelah Dia dibangkitkan dari kematian. Mereka mengetahui apakah mereka berbohong atau tidak; hal itu tidak mungkin merupakan halusinasi atau kekeliruan. Dan jika mereka memang berbohong, akankah mereka dengan sepenuh hati rela mati demi hal yang mereka ketahui adalah palsu?

Seperti yang diamati oleh McDowell, tidak ada orang yang dengan sadar dan dengan sepenuh hati rela mati demi suatu kepalsuan.[10]

Fakta tunggal itu sangat memengaruhi saya, terlebih lagi ketika saya mengetahui apa yang terjadi pada para murid setelah penyaliban. Sejarah menunjukkan bahwa mereka muncul dan dengan terus terang menyatakan bahwa Yesus mengatasi dunia kematian. Tiba-tiba, orang- orang yang dahulunya penakut ini dipenuhi dengan keberanian, bersedia berkhotbah hingga mati bahwa Yesus adalah Anak Allah.

Apa yang mengubah mereka? Saya tidak mendapatkan penjelasan yang lebih masuk akal lagi selain bahwa para murid itu telah memeroleh pengalaman yang mengubah hidup mereka bersama dengan Kristus yang telah dibangkitkan kembali.

SEORANG SKEPTIS ABAD PERTAMA

Penyelidikan saya terutama sampai pada diri seorang murid bernama Thomas, sebab dia sama skeptisnya seperti saya. Saya rasa dia pasti dapat menjadi seorang wartawan terkenal. Thomas berkata dia tidak akan percaya bahwa Yesus telah kembali hidup kecuali jika dia bisa secara pribadi memeriksa luka-luka di tangan dan kaki Yesus.

Menurut catatan dalam Perjanjian Baru, Yesus muncul dan memanggil Thomas untuk memeriksa bukti bagi dirinya agar percaya, dan Thomas melihat bahwa luka-luka itu benar. Saya terpesona saat mengetahui bagaimana Thomas menghabiskan sisa hidupnya. Menurut sejarah, dia mengakhiri hidupnya dengan tetap menyatakan -- hingga ditikam sampai mati di India -- bahwa Yesus adalah Anak Allah yang telah bangkit kembali dari kematian. Baginya, bukti telah meyakinkan dirinya dengan sangat jelas.

Selain itu, adalah penting untuk membaca apa yang Thomas katakan setelah dia menjadi puas oleh bukti bahwa Yesus telah mengalahkan kematian. Thomas menyatakan: "Tuhanku dan Allahku."[11]

Selanjutnya, Yesus tidak menanggapinya dengan berkata, "Stop! Tunggu sebentar, Thom. Jangan menyembah aku. Kamu hanya boleh menyembah Tuhan, dan ingat, aku hanyalah seorang guru besar dan Manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral." Sebaliknya, Yesus menerima penyembahan Thomas.

Dengan demikian, tidak perlu lagi mencari kesalahan dari konsepsi populer bahwa Yesus tidak pernah mengklaim atau mengaku bahwa Dia adalah Allah. Selama bertahun-tahun, orang-orang yang skeptis atau tidak percaya telah bercerita kepada saya bahwa Yesus tidak pernah menganggap diri-Nya lebih dari sekadar manusia biasa dan bahwa Dia marah di dalam kuburan-Nya jika Dia mengetahui bahwa orang-orang menyembah diri-Nya. Tetapi ketika saya membaca Alkitab, saya menemukan bahwa Yesus menyatakan berulang kali -- baik melalui perkataan maupun perbuatan -- siapa diri-Nya sebenarnya.

Riwayat hidup Kristus yang paling tua menggambarkan bagaimana Dia ditanyai secara langsung oleh imam besar selama proses pengadilan: "Apakah Engkau Mesias, Anak dari Yang Terpuji?"[12] Yesus tidak ragu- ragu. Dua kata pertama yang diucapkan-Nya adalah: "Akulah Dia."[13]

Imam besar tahu apa yang Yesus katakan, karena itu dia dengan marah menyatakan pada pengadilan, "Kamu sudah mendengar hujatan-Nya terhadap Allah"[14] Hujat apa? Bahwa Yesus telah mengaku diri-Nya adalah Allah! Ini, setelah saya pelajari, adalah kejahatan yang membuat-Nya dihukum mati.

Ketika saya menjadi semakin yakin terhadap para saksi mata dalam Perjanjian Baru, saya tetap teringat pada seorang skeptis lain yang berbicara kepada saya bertahun-tahun yang lalu. Mereka mengklaim bahwa Perjanjian Baru tidak bisa dipercayai karena buku itu ditulis seratus tahun atau bahkan lebih setelah masa kehidupan Yesus. Mereka berkata bahwa mitos-mitos tentang Yesus telah tumbuh subur selama masa itu dan telah menyimpangkan kebenarannya tanpa disadari.

Tetapi ketika saya menguji fakta-fakta dengan objektif, saya mendapati bahwa penemuan-penemuan arkeologis terbaru telah memaksa para ahli untuk memberikan pernyataan bahwa masa penulisan Perjanjian Baru lebih awal dari pernyataan sebelumnya.

Dr. William Albright, seorang profesor terkenal dari Universitas John Hopkins dan mantan Direktur American School of Oriental Research in Jerusalem, berkata bahwa ia yakin berbagai buku dari Kitab Perjanjian Baru ditulis dalam masa lima puluh tahun setelah penyaliban dan sangat mungkin dalam dua puluh atau empat puluh lima tahun sesudah masa Yesus.[15] Ini berarti usia Perjanjian Baru sama tuanya dengan masa kehidupan para saksi mata, yang pasti akan memperdebatkan isinya jika penulisannya dibuat-buat.

Terlebih lagi, para ahli telah mempelajari mengenai waktu yang diperlukan bagi suatu legenda untuk berkembang pada masa lampau. Dan kesimpulan mereka yakni: Tidak ada waktu yang cukup, antara kematian Yesus dan penulisan Perjanjian Baru, bagi suatu legenda untuk dapat menyimpangkan kebenaran historis.[16]

Bahkan, saya kemudian mempelajari bahwa suatu pengakuan iman dari gereja mula-mula -- yang menyatakan bahwa Yesus mati untuk dosa-dosa kita, dan dibangkitkan kembali, serta muncul di hadapan banyak saksi - -telah ditelusuri ulang hingga tiga sampai delapan tahun setelah kematian Yesus. Pernyataan iman ini, yang dilaporkan oleh Rasul Paulus dalam 1 Korintus 15:3-7, ditulis berdasarkan kesaksian langsung dan merupakan suatu konfirmasi paling awal mengenai inti dari Injil.[17]

Sepotong demi sepotong, teka-teki jigsaw mental saya pun semakin menyatu.

KUASA NUBUATAN

Selanjutnya saya mengarah pada nubuatan-nubuatan Alkitab, wilayah di mana saya biasanya bersikap sangat sinis. Saya telah menulis banyak artikel selama bertahun-tahun mengenai ramalan-ramalan tentang masa depan -- salah satu dari kisah-kisah Tahun Baru yang menyibukkan semua reporter pemula -- dan saya mengetahui betapa sedikitnya ramalan- ramalan yang benar-benar terjadi. Sebagai contoh, setiap tahun orang- orang di Chicago tetap percaya bahwa tim Chicago Cubs pasti akan memenangkan kejuaraan dunia, dan hal itu belum pernah terjadi sepanjang hidup saya!

Meskipun demikian, semakin banyak saya menganalisa nubuatan-nubuatan dalam Perjanjian Lama, keyakinan saya menjadi semakin kuat bahwa nubuat-nubuat tersebut membentuk rangkaian bukti-bukti historis yang mengagumkan dalam mendukung klaim bahwa Yesus adalah Mesias dan Anak Allah.

Sebagai contoh, saya membaca Yesaya 53 di Perjanjian Lama dan menemukan hal yang sangat aneh mengenai gambaran bahwa Yesus disalibkan -- dan itu ditulis lebih dari tujuh ratus tahun sebelum penyaliban itu terjadi. Hal itu seperti upaya saya memprediksikan bahwa Cubs akan berhasil pada tahun tahun 2700-an! Semuanya, ada sekitar lima lusin nubuat utama mengenai sang Mesias, dan semakin dalam saya mempelajari nubuat-nubuat itu, makin banyak kesulitan yang saya temui untuk menjelaskannya.

Garis pertahanan pertama saya dalam menolak kekristenan adalah bahwa Yesus mungkin dengan sengaja telah mengatur riwayat hidup-Nya agar dapat menggenapi nubuatan-nubuatan tersebut sehingga Ia akan dikira Mesias yang telah lama ditunggu-tunggu kedatangan-Nya. Sebagai contoh, da1am Zakharia 9:9 diramalkan bahwa Mesias akan mengendarai seekor keledai memasuki kota Yerusalem. Mungkin ketika Yesus akan memasuki kota, Ia mengatakan pada para murid-Nya, "Pergi ambilkan Aku seekor keledai. Aku ingin mengelabuhi orang-orang di sini hingga berpikir Aku adalah Mesias karena Aku benar-benar ingin disiksa sampai mati!"

Tetapi argumentasi itu runtuh ketika saya membaca nubuat-nubuat tentang peristiwa-peristiwa yang tidak mungkin dapat diatur oleh Yesus, seperti tempat kelahiran-Nya, yang telah diramalkan oleh nabi Mikha tujuh ratus tahun sebelum Dia dilahirkan, juga silsilah keluarga-Nya, bagaimana kejadian kelahiran-Nya, bagaimana Ia dikhianati demi uang dalam jumlah tertentu, bagaimana Ia dibunuh, bagaimana tulang-tulang-Nya tetap utuh dan tidak ada yang dipatahkan (berbeda dengan kedua penjahat yang disalibkan bersama dengan Dia), bagaimana para prajurit mengundi pakaian-Nya, dan seterusnya.[18]

Garis pertahanan saya yang kedua adalah bahwa Yesus bukan satu-satunya orang kepada siapa nubuat-nubuat itu ditujukan. Mungkin saja beberapa orang dalam sejarah cocok dengan ramalan-ramalan tersebut, tetapi karena Yesus memunyai lebih banyak agen hubungan masyarakat yang baik, dengan demikian Dia menjadi yang paling diingat oleh setiap orang.

Tetapi setelah membaca sebuah buku karya Petrus Stoner, seorang profesor ilmu alam di Westmont College yang telah pensiun, keraguan tersebut pun tersingkap. Stoner dengan enam ratus siswanya telah melakukan perhitungan secara matematis bahwa hingga saat ini peluang kemungkinan bagi setiap orang hanya dapat memenuhi delapan nubuat Perjanjian Lama.[19] Peluang kemungkinan dalam hal ini, yaitu satu peluang dengan kemampuan sebesar sepuluh per tujuh belas. Itu adalah sebuah nominal dengan tujuh belas angka nol di belakangnya!

Untuk berusaha memahami jumlah yang sangat besar itu, saya melakukan beberapa penghitungan. Saya membayangkan seluruh dunia ditutup oleh ubin lantai berwarna putih berukuran satu setengah inci persegi -- setiap permukaan tanah di bumi -- dan hanya satu ubin yang dasarnya berwarna merah.

Selanjutnya seseorang diizinkan untuk mengembara seumur hidup di tujuh benua. Ia hanya boleh membungkuk sekali untuk mengambil satu potong ubin. Apakah aneh jika ternyata satu ubin yang diambil itu dasarnya berwarna merah? Hal yang sama anehnya adalah hanya ada peluang sebanyak delapan nubuat Perjanjian Lama yang dapat dipenuhi oleh setiap orang sepanjang sejarah!

Hal itu cukup mengesankan, akan tetapi berikutnya Stoner menganalisa empat puluh delapan nubuatan. Dia menyimpulkan bahwa hanya akan ada satu peluang dengan kekuatan sebesar sepuluh per 157 yang akan terjadi pada diri setiap orang sepanjang sejarah.[20] Itu adalah sebuah nominal dengan 157 angka nol di belakangnya!

Saya telah melakukan suatu riset dan mempelajari bahwa atom itu begitu kecilnya hingga diperlukan satu juta atom dibariskan agar sama dengan lebar dari selembar rambut manusia. Saya juga mewawancarai para ilmuwan mengenai perkiraan mereka akan jumlah atom yang ada di seluruh alam semesta.

Dan sementara hasilnya adalah jumlah yang amat sangat besar, saya simpulkan bahwa keanehan empat puluh delapan nubuat Perjanjian Lama berpeluang terjadi pada diri individu mana pun adalah sama seperti seseorang yang memilih secara acak satu atom yang telah ditentukan lebih dahulu di antara semua atom di dalam jutaan triliun triliun triliun triliun galaksi seukuran galaksi kita!

Yesus berkata Dia datang untuk menggenapi nubuat-nubuat tersebut. Ia berkata, "Yakni bahwa harus digenapi semua yang tertulis tentang Aku dalam kitab Taurat Musa dan kitab Nabi-nabi dan kitab Mazmur."[21] Saya pun mulai percaya bahwa semua nubuat itu digenapi -- hanya dalam Yesus Kristus.

Saya bertanya kepada diri saya sendiri, jika seseorang menawari saya suatu bisnis yang memiliki peluang rugi hanya sebesar sepuluh per 157, berapa banyak uang yang akan saya investasikan? Saya akan menaruh semua yang saya miliki untuk satu kesempatan -- pasti -- menang seperti itu! Dan saya pun mulai berpikir, "Dengan adanya semua keanehan tersebut, sepertinya saya perlu menginvestasikan hidup saya pada Kristus."

REALITAS DARI KEBANGKITAN

Karena merupakan hal yang sentral bagi kekristenan, saya pun menghabiskan cukup banyak waktu untuk meneliti bukti historis pada kebangkitan Yesus. Saya bukan orang skeptis pertama yang melakukannya. Ada banyak orang yang telah melakukan pengujian serupa dan kemudian menjadi orang Kristen.

Sebagai contoh, seorang wartawan sekaligus pengacara Inggris bernama Frank Morison yang ditugaskan untuk menulis buku yang menunjukkan bahwa kebangkitan adalah suatu mitos. Namun, setelah bersusah payah mempelajari bukti, dia menjadi seorang Kristen, dan berkata bahwa tidak ada keraguan bahwa kebangkitan memiliki "suatu dasar historis yang kuat dan mendalam"[22]. Buku tentang penyelidikan rohani yang akhirnya dia tulis, memberi saya suatu analisa seorang pengacara yang kritis mengenai kebangkitan.

Sudut pandang hukum lainnya datang dari Simon Greenleaf, seorang profesor cerdas yang mendapat penghargaan karena membantu Harvard Law School dalam meraih reputasi unggul bagi sekolah hukum tersebut. Greenleaf menulis salah satu dari risalah-risalah hukum Amerika terbaik yang pernah ditulis, dengan topik tentang apa yang mendasari pembuktian secara hukum.

Bahkan, Mahkamah Agung Amerika Serikat pun mengutip perkataannya. London Law Journal berkata bahwa Greenleaf mengetahui tentang hukum pembuktian jauh lebih banyak daripada "semua pengacara yang memenuhi pengadilan-pengadilan di Eropa".[23]

Greenleaf mengejek kebangkitan sampai seorang siswa menantangnya untuk membuktikannya sendiri. Secara metodis, dia menerapkan pengujian- pengujian secara hukum pembuktian dan menjadi yakin bahwa kebangkitan adalah suatu peristiwa historis yang nyata. Profesor berdarah Yahudi itu lalu menyerahkan hidupnya bagi Kristus.[24]

Secara ringkas, bukti dari kebangkitan adalah bahwa Yesus mati dibunuh dengan cara disalib dan ditikam dengan tombak; Ia telah dinyatakan mati oleh para ahli; Ia dibalut dengan kain kafan berisi tujuh puluh lima pon rempah-rempah; Ia dibaringkan di dalam sebuah gua makam; sebuah batu karang yang sangat besar digulingkan menutupi jalan masuk ke dalam makam itu (menurut satu catatan historis masa lampau, begitu besarnya batu itu hingga dua puluh orang pun tidak dapat memindahkannya); dan makam itu dijaga oleh para prajurit berdisiplin tinggi.

Lalu, tiga hari kemudian makam itu ditemui dalam keadaan kosong, dan para saksi mata mengaku hingga ajal mereka bahwa Yesus muncul di tengah-tengah mereka.

Siapa yang memunyai motif untuk mencuri tubuh Yesus? Para murid tidak akan menyembunyikannya hingga disiksa sampai mati karena berbohong mengenai hal itu. Para pemimpin Yahudi dan Romawi akan senang dan berpawai mempertontonkan tubuh Yesus menyusuri jalanan Yerusalem; sebab itu akan langsung mematikan kemashyuran agama baru yang mulai menanjak itu, yang telah sekian lama ingin mereka habisi.

Tetapi yang terjadi selanjutnya adalah selama empat puluh hari, Yesus muncul secara langsung sebanyak dua belas kali pada waktu yang berbeda-beda di hadapan lebih dari 515 orang -- menemui para skeptis seperti Thomas dan Yakobus, dan suatu waktu muncul di hadapan sekelompok orang, pada waktu lainnya menemui seseorang secara pribadi, suatu saat muncul di dalam rumah, di saat yang lain muncul di tempat terbuka pada siang hari. Ia berbincang-bincang dengan orang-orang dan bahkan makan bersama dengan mereka.

Beberapa tahun kemudian, ketika Rasul Paulus menyebutkan bahwa ada beberapa saksi mata kebangkitan Yesus, dia mencatat bahwa banyak di antara mereka masih hidup, seolah-olah ia tujukan kepada para skeptis abad pertama, "Pergi pastikan sendiri pada mereka jika kamu tidak percaya padaku."[25]

Bahkan, jika Anda mendatangi para saksi menanyai setiap orang yang benar-benar melihat Yesus yang dibangkitkan kembali, dan jika Anda melakukan uji silang terhadap tiap-tiap orang selama hanya lima belas menit, dan jika Anda lakukan hal ini siang dan malam selama 24 jam tanpa berhenti, Anda akan mendengarkan kesaksian para saksi langsung selama lebih dari lima hari yang melelahkan.

Dibandingkan dengan pengadilan-pengadilan yang saya liput, ini adalah banjir bukti. Lebih banyak lagi jigsaw yang terkunci tepat pada tempatnya.

MENGGALI KEBENARAN

Saya mengamati arkeologi dan ternyata bidang ini menegaskan catatan Alkitab dari waktu ke waktu. Terus terang, masih ada beberapa isu yang belum terungkap. Namun, seorang ahli arkeologi yang istimewa, Dr. Nelson Gleuck, berkata: "Dapat dikatakan dengan pasti bahwa tidak ada penemuan arkeologis yang berlawanan dengan referensi Alkitab. Bahkan, sejumlah penemuan arkeologis mengkonfirmasikan dengan sangat jelas atau sangat detail pernyataan-pernyataan historis yang ada dalam Alkitab."[26]

Saya sangat terpesona oleh kisah seorang arkeolog terbesar sepanjang sejarah, yakni Sir William Ramsay dari Universitas Oxford, Inggris. Dia adalah seorang ateis; bahkan, putra dari pasangan ateis. Dia menghabiskan dua puluh lima tahun untuk melakukan penggalian arkeologis demi membuktikan kesalahan Kitab Kisah Para Rasul, yang ditulis oleh Lukas, sejarawan yang juga menulis Injil dengan namanya {Injil Lukas).

Tetapi bukannya meragukan Kitab Lukas, penemuan-penemuan Ramsay justru mendukungnya. Akhirnya, ia menyimpulkan bahwa Lukas adalah salah satu sejarawan paling akurat yang pernah hidup. Dipacu oleh bukti-bukti arkeologis tersebut, Ramsay menjadi seorang Kristen.[27]

Saya pun berkata, "Baiklah, memang terbukti Perjanjian Baru dapat dipercaya berdasarkan fakta sejarah. Tetapi apakah ada bukti mengenai Yesus di luar Alkitab?"

Saya terkagum-kagum saat menemukan bahwa ada sekitar selusin penulis sejarah kuno non-Kristen yang mengutip catatan sejarah mengenai kehidupan Yesus, termasuk fakta bahwa Ia melakukan hal-hal yang ajaib, bahwa Ia dikenal sebagai seorang yang berbudi luhur, bahwa Ia disebut Mesias, bahwa Ia disalibkan, bahwa langit menjadi gelap saat Ia terpaku di kayu salib, bahwa para murid-Nya berkata Ia telah bangkit kembali dari dunia orang mati, dan bahwa mereka menyembah-Nya sebagai Tuhan.[28]

Sebenarnya, ini hanyalah suatu ringkasan singkat dari penyelidikan rohani saya, sebab saya telah menyelidiki secara mendalam terhadap lebih banyak detil dibanding dengan yang digambarkan di sini. Dan saya tidak menyarankan buku ini semata hanya sebagai latihan akademis murni. Ada banyak ungkapan emosi yang terlibat di dalamnya. Tetapi nampaknya, ke mana pun saya memandang, keandalan catatan Alkitab tentang kehidupan, kematian, serta kebangkitan Yesus Kristus tampak semakin nyata.

MEMECAHKAN TEKA-TEKI

Saya telah memilah-milah bukti selama satu tahun sembilan bulan hingga sepulang dari gereja pada Minggu, 8 November 1981. Saya sedang sendirian di dalam kamar tidur, dan saya berkesimpulan bahwa waktunya telah sampai pada suatu putusan.

Kekristenan belum mutlak terbukti. Jika itu memang terbukti, maka tidak akan ada ruang bagi iman. Tetapi jika memertimbangkan fakta- fakta yang ada, saya menarik kesimpulan bahwa bukti historis yang ada dengan jelas mendukung klaim-klaim tentang Kristus jauh melampaui setiap keraguan. Bahkan sebenarnya, berdasarkan pada apa yang telah saya pelajari, perlu lebih banyak iman agar tetap ateis daripada menjadi seorang Kristen!

Oleh karena itu, setelah saya meletakkan potongan terakhir dari jigsaw mental saya pada tempatnya, seolah-olah saya berhenti sejenak untuk melihat potongan gambar dari rangkaian potongan jigsaw yang secara sistematis telah saya satukan dalam benak saya selama hampir dua tahun.

Gambar itu adalah potret dari Yesus Kristus, Anak Allah.

Seperti halnya Thomas, seorang skeptis terdahulu, saya pun merespons hal ini dengan menyatakan: "Tuhanku dan Allahku!"

Setelah itu, saya menuju dapur, di mana Leslie sedang berdiri di samping Alison di depan bak pencucian. Putri kami berusia lima tahun pada saat itu, dan dengan berjinjit, untuk pertama kalinya ia hampir mampu menggapai kran dapur.

"Lihat, Ayah, lihat!" serunya. "Aku dapat meraihnya! Aku dapat meraihnya!"

"Ya Sayang, hebat sekali," kata saya sambil memeluk dirinya. Lalu saya berkata kepada Leslie, "Kamu tahu, seperti itulah yang kini kurasakan. Aku telah berusaha meraih seseorang dalam waktu yang lama, dan hari ini akhirnya aku mampu meraih-Nya."

Dia mengetahui apa yang sedang saya katakan. Dengan berlinangan air mata, kami berpelukan.

Dan selanjutnya, Leslie dan para sahabatnya berdoa bagi saya hampir setiap hari sepanjang perjalanan rohani saya. Sering kali, doa-doa Leslie terfokus pada ayat dari Perjanjian Lama ini:

"Kamu akan Kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru dalam batinmu dan Aku akan menjauhkan dari hatimu hati yang keras dan Kuberikan hati yang taat."[29]

Puji syukur kepada Tuhan, sebab Dia setia pada janji-Nya itu.

Catatan Kaki:

  1. Josh McDowell, "More Than a Carpenter" (Wheaton, Ill.: Living Books, 1977).
  2. Josh McDowell, "Evidence That Demands a Verdict" (San Bernardino: Here`s Life, 1979).
  3. 2 Pet. 1:16
  4. 1 Yoh. 1:1
  5. Lihat Josh McDowell, "More Than a Carpenter", 51-53, untuk sebuah pembahasan akan topik ini.
  6. Kis. 2:22.
  7. Kis. 2:32
  8. Kis. 2:41
  9. 1 Kor. 15:14
  10. Poin ini dibahas oleh Josh McDowell dalam bukunya, "More Than Carpenter", 70-71.
  11. Yoh. 20:28
  12. Mar. 14:61
  13. Lihat Mar. 14:62
  14. Mar. 14:64
  15. Josh McDowell, "Evidence That Demands a Verdict", 62-63.
  16. A. N. Sherwin-White, "Roman Society and Roman Lazy in the New Testament" (Grand Rapids, Mich.: Baker, 1978), 186-93.
  17. Lihat J. P. Moreland, "Scaling the Secular City" (Grand Rapids, Mich.: Baker, 1987), 150-51.
  18. Josh McDowell, "Evidence That Demands a Verdict", 166.
  19. Peter W Stoner, "Science Speaks" (Chicago: Moody Press, 1969), 107.
  20. Ibid., 109.
  21. Luk. 24:44
  22. Frank Morison, "Who Moved the Stone?" (Grand Rapids, Mich.: Lamplighter, 1958. Reprint of 1938 edition. London: Faber & Faber, Ltd.), 193.
  23. Irwin H. Linton, "A Lawyer Examines the Bible" (Grand Rapids, Mich.: Baker, 1943), 36.
  24. Simon Greenleaf, "An Examination of the Testimony of the Four Evangelists by the Rules of Evidence Administered in the Courts of Justice" (Qersey City, NJ.: Frederick D. Linn & Co., 1881).
  25. Lihat 1 Kor. 15:6
  26. Henry M. Morris, "The Bible and Modern Science" (Chicago: Moody, 1968), 95.
  27. D. James Kennedy, "Why I Believe" (Dallas: Word, 1980), 33.
  28. Untuk ringkasan bukti dari Yesus di luar Alkitab, lihat Gary R. Habermas, "The Verdict History: Conclusive Evidence for the Life of Jesus" (Nashville: Nelson, 1988).
  29. Yeh. 36:26

Diambil dan diedit seperlunya dari:

Judul buku : Inside the Mind of Unchurched Harry and Mary
Judul artikel: Kejutan dari Seorang Skeptis
Penulis : Lee Strobel
Penerjemah : Jonathan Santoso
Penerbit : Majesty Books Publisher, Surabaya 2007
Halaman : 29 -- 42

Esensi dan Relevansi Teologi Reformasi

Editorial: 

Salam,

Reformasi abad ke-16 yang dimotori oleh Martin Luther adalah momentum Illahi. Sebuah gerakan pembaharuan rohani yang muncul tepat pada puncak penduniawian gereja oleh Katolik Roma. Momen ini dapat ditafsirkan sebagai sejarah yang terulang sejak Reformasi Ezra dan Nehemia dalam sejarah umat Allah untuk pemurnian umat.

Dipublikasikannya 95 Tesis sebagai data akurat dan tidak terbantahkan yang disusun oleh Martin Luther untuk menunjukkan bukti penyimpangan ajaran dan korupsi gereja Katolik Roma di gerbang gereja Wittenburg adalah titik penentu keefektifan Reformasi ini. Efektivitas Reformasi yang terutama adalah revitalisasi religiusitas dan teologis. Reformasi adalah awal babak baru pemurnian iman dan pengajaran dalam gereja Tuhan dan menjadi penentu arah perkembangan teologi dan pengajaran di kemudian hari.

Calvin, penerus Luther, adalah salah seorang reformator yang mampu menafsirkan gerakan itu sebagai momen yang mampu merevitalisasi kehidupan religius dan teologia pada zamannya dan berefek sampai hari ini. Baginya, kebenaran ajaran dan teologi gereja ditentukan dan didasarkan pada Alkitab dan interpretasinya yang benar. Prinsip Sola Scriptura adalah penentu keberhasilan Reformasi. Dari prinsip ini akan ditemui prinsip-prinsip yang menyertainya, seperti Sola Gratia dan Sola Fide, termasuk Sola Gloria.

Tugas Calvin, khususnya sebagai penafsir Alkitab, telah berhasil membawa Reformasi keluar dari mistikisme gereja; corak dominan pengajaran dan teologia gereja abad pertengahan, dengan cara menolak interpretasi Alkitab secara alegoris. Sebaliknya, Calvin, secara realistis sanggup memadukan doktrin dan mengajarkannya dari sudut pandang pembinaan untuk warga jemaat secara sistematis dan alkitabiah. Calvin mampu mengajarkan kemuliaan Allah berdasarkan kebutuhan rohani pada zamannya yang secara esensi tidak bisa dilepaskan dari prinsip Alkitab. Gerakan Reformasi itu sangat biblikal karena menekankan pentingnya penafsiran Alkitab secara literal dan historis.

Alkitab adalah dasar Reformasi dan kedaulatan Allah adalah segala- galanya. Karena Reformasi sangat menekankan Alkitab dan kedaulatan Allah sebagai pusat teologi, maka pada era-era sekarang, teologi Reformasi cenderung menjadi "tolok ukur" untuk menguji teologia- teologia lainnya. Teologi Reformasi "mampu mengukur" konsistensi dan ketepatan, sekaligus mendeteksi penyimpangan berbagai aliran teologi. Dari sinilah prinsip Calvin, "Speak where the Scriptures speak; be silent where they are silent" menjadi terkenal. Bagi Calvin, Alkitab dan Allah tidak dapat dipisahkan dalam pengajaran dan teologia alkitabiah. Inilah salah satu warisan Reformasi yang sangat berpengaruh sampai saat ini di samping warisan-warisan besar lainnya.

Untuk memperingati Hari Reformasi Gereja, yang akan diperingati tanggal 31 Oktober 2007 nanti, dan juga untuk mengingat kembali efektivitas gerakan Reformasi abad ke-16 yang lalu dan menguji kembali apakah kebenaran yang telah ditegakkan oleh para reformator, khususnya Calvin, tentang pentingnya Alkitab sebagai sumber final pengajaran dan teologi itu masih relevan, maka, tulisan Dr. Daniel Lucas Lukito di bawah ini mencoba menganalisa kesinambungan esensi dan relevansi gerakan tersebut dalam pengajaran iman dan teologi Kristen hari ini.

Selamat memperingati Hari Reformasi Gereja!

Sola Gratia,
Riwon Alfrey

Penulis: 

Daniel Lucas Lukito

Edisi: 

092/X/2007 (15-10-2007)

Tanggal: 

15-10-2007

Isi: 

PENDAHULUAN

Menurut kronologi sejarah, gereja Protestan mulai bereksistensi pada peristiwa Reformasi abad ke-16. Sekalipun saat itu Martin Luther -- juga kemudian John Calvin -- menentang ajaran gereja Katolik Roma, mereka tidak bermaksud mendirikan gereja yang baru. Tujuan Reformasi itu sendiri adalah untuk menyerukan sebuah amanat agar gereja kembali kepada dasar ajaran dan misi yang sesungguhnya; gereja disadarkan dan dibangunkan agar berpaling pada "raison d`etre" dan vitalitasnya di bawah terang Injil.

Menurut ajaran gereja Katolik Roma pada zaman itu, gereja memiliki "gudang" penyimpanan anugerah berlimpah yang diperoleh dari orang- orang kudus yang perbuatan baiknya melampaui tuntutan kewajiban bagi keselamatan mereka. Itulah sebabnya, bagi mereka yang kekurangan anugerah, gereja sebagai sumber dapat menyalurkannya. Dari konsep pemikiran tersebut, meluncurlah ajaran tentang "surat penghapusan siksa" (indulgences) yang dapat diperjualbelikan. Bahkan Paus Sixtus IV, pada ca. 1460 mendeklarasikan bahwa khasiat dari surat penghapusan itu dapat ditransferkan kepada orang Kristen yang jiwanya "tersangkut" dalam purgatori atau (tempat) api penyucian.

Karena itulah, pada 31 Oktober 1517 Luther memakukan 95 tesis atau keberatan pada pintu sebuah gereja di Wittenberg. Ia mengajukan keberatan sekaligus protes yang isinya sebenarnya ditujukan kepada penyimpangan ajaran dan korupsi gereja, khususnya dalam hal penjualan "surat penghapusan siksa" di mana seakan-akan pengampunan dosa itu sendiri dapat diperoleh secara kontribusional atau komersial.[1] Jadi, tujuan Luther yang sepolos-polosnya dan semurni-murninya ialah mengembalikan gereja pada esensi yang sesungguhnya dari iman Kristen.

Memang secara umum, istilah "reformasi" menunjuk pada adanya suatu penyimpangan atau penyelewengan yang dienyahkan serta adanya suatu usaha penataan kembali terhadap hal-hal yang esensial. Singkatnya, terdapat koreksi dan perbaikan dari sebuah keadaan. Sebagai contoh, Raja Hizkia (2Raj. 18:1-18) jelas mengadakan suatu reformasi berupa pemberantasan terhadap penyimpangan di dalam ibadah, serta perpalingan kembali untuk menyembah Yahweh. Demikian pula yang dilakukan oleh Raja Yosia (2Raj. 23:4-20); ia mengoreksi peribadatan bangsa Israel yang korup, sekaligus mengembalikan bangsanya pada penyembahan yang benar (ay. 21-23).

Dalam sejarah gereja, Reformasi (dengan huruf "r" kapital) menunjuk pada pembaruan terhadap gereja melalui usaha yang tidak jauh berbeda dengan dua kejadian di atas. Gereja seolah-olah direvitalisasikan atau dihidupkan kembali agar kembali pada sumber pemberi hidupnya, yaitu Allah dan firman-Nya. Jadi, Reformasi terhadap gereja pada abad 16 merupakan usaha pembaruan, bukan pemberontakan (It was a reform, not a revolt). Alasannya, kontinuitas terhadap sumber ajaran yang esensial itu tetap dipelihara. Kalaupun pada akhirnya berdiri gereja Protestan sebagai gereja yang baru, gereja itu sendiri sebenarnya adalah gereja yang lama dari zaman para rasul. Inti permasalahannya hanyalah gereja yang ada saat itu (gereja Katolik Roma) menolak usaha pengoreksian tersebut, bahkan menolak usaha pengembalian pada ajaran gereja yang rasuli. Hal ini juga berarti bahwa semua faktor (seperti kaitan sosial, politik, dan intelektual) yang menyertai peristiwa Reformasi abad 16 itu bukanlah faktor yang utama karena asal-usul dan maksud Reformasi itu sendiri bersifat religius dan teologis.

Dengan demikian, kita dapat mengerti bahwa kelanjutan dari Reformasi yang dikerjakan oleh Calvin, Melanchthon, Zwingli, Bucer, Oecolampadius, Farel, Beza, Bullinger, Knox, Ursinus, Olevianus, dan lainnya, semuanya tidak jauh berbeda dari Luther bila ditinjau dari esensi pemikiran dasarnya. Tulisan ini mencoba melihat teologi Reformasi dari segi hakikat/esensinya serta kaitan/relevansinya dengan iman Kristen pada masa kini. Karena keterbatasan ruang, penulis lebih banyak memfokuskan pembahasan pada pandangan J. Calvin (1509 -- 1564) tentang esensi Reformasi itu sendiri karena di dalam pemikiran Calvinlah kita dapat menemukan pemikiran dasar teologi Reformasi dalam struktur yang lebih mendalam dan sistematis.

ESENSI TEOLOGI REFORMASI

Calvin lebih dikenal sebagai juru sistematisir dari Reformasi yang dimulai oleh Luther. Meskipun ia adalah tokoh generasi kedua, ternyata ia sanggup memadukan doktrin dari Alkitab secara sistematis. Bila dilihat dari karyanya yang agung seperti "Institutes of the Christian Religion",[2] komentari, dan karya-karya tulis lainnya, tampaknya tidak ada seorang reformator pun baik sebelum atau sesudah Calvin yang sanggup melampaui karya-karyanya tersebut. Penulis sendiri merasa "iri" kepada kejeniusannya yang pada usia 27 tahun (tahun 1536) telah menghasilkan karya monumental (Institutio) untuk pertama kali.[3]

Mungkin ada sebagian orang mengira Calvin adalah seorang teolog yang aktivitasnya kebanyakan hanya di belakang meja tulis (zaman sekarang, di belakang meja komputer) dan menjadi seorang "scholar" yang nongkrong di atas "menara gading." Perkiraan seperti itu benar-benar keliru. Calvin pertama-tama adalah seorang gembala atau pendeta yang melayani di gereja. Di dalam pelayanan tersebut, ia berpikir dan menulis karya-karya teologinya selalu dari sudut pandang pembinaan untuk warga jemaat.[4] Ia sendiri mengatakan hal ini dengan jelas di dalam edisi perdana dari "Institutio"-nya bahwa karya tersebut ditujukan "terutama untuk masyarakat awam Prancis, di mana banyak di antara mereka yang lapar dan haus akan (pengenalan pada) Kristus. Buku ini sendiri boleh dikata merupakan bentuk pengajaran yang sederhana dan elementer." Di dalam karya tersebut kita melihat catatan-catatan yang bersifat pastoral, pembinaan gereja, pendidikan agama Kristen di rumah dan gereja, bahan katekisasi, dan sejenisnya. Itu sebabnya, tidak mengherankan jika gereja yang dilayani oleh Calvin di Geneva menjadi gereja model bagi gerakan Reformasi.

Sekarang, bila kita hendak meninjau ciri-ciri teologi Reformasi satu per satu, ini tentu merupakan sesuatu hal yang tidak mungkin. Dari satu sisi, seseorang dapat mengembangkan ajaran tentang teosentrisitas Allah atau tentang kedaulatan Allah dalam teologi Reformasi. Dari sisi yang berbeda orang yang lain dapat menekankan keajaiban kasih karunia (sola gratia), atau tentang satu-satunya iman yang ajaib (sola fide). Dari sisi yang lebih spesifik, bisa saja orang yang lain lagi membicarakan epistemologi dari teologi Reformasi, atau tentang keunikan manusia, tentang keselamatan, tentang "covenant", predestinasi, kerajaan Allah, gereja, perjamuan kudus, kebudayaan, dan seterusnya. Apabila kesemuanya itu hendak dibahas atau ditinjau satu per satu, tidaklah menjadi masalah. Hanya saja, apabila seseorang mau menelusuri teologi Reformasi secara konsisten, ia harus mengakui bahwa esensi atau "benang merah" dari Reformasi itu sendiri tidak bisa dilepaskan dari ajaran atau prinsip yang berakar pada Alkitab (the Scriptural principle).[5]

Sebagai contoh, Calvin sendiri membahas siapa Allah, siapa manusia, dan kaitan antara kedua tema itu. "True knowledge of man is unattainable without knowledge of the living God."[6] Namun, ia senantiasa menimba ajaran-ajaran tersebut dari prinsip dasar Alkitab. Singkatnya, "worldview" dan "lifeview"-nya selalu memiliki referensi yang tepat di dalam Alkitab. Sebagai gembala, pengkhotbah, ekseget dan teolog, ia selalu tidak terlepas relasinya dengan Alkitab. "Holy Scripture contains a perfect doctrine, to which one can add nothing .... "[7] Dengan demikian, dari satu segi, Calvin boleh dikata pertama-tama adalah seorang "biblical theologian", oleh karena ia memang betul-betul terlatih dan menguasai teknik-teknik eksegese yang berhubungan dengan penelitian sejarah dan tata bahasa Alkitab.

Melalui karya-karyanya, Calvin jelas menolak metode interpretasi dari teolog abad pertengahan yang cenderung mengalegorikan, merohanikan, dan memolarisasikan Alkitab. Ia menegaskan bahwa penafsiran Alkitab yang benar harus kembali pada arti yang literal dari perkataan Alkitab dan sesuai konteks historisnya. Maksudnya, apa yang orang Kristen katakan tentang Allah haruslah sejauh yang Alkitab katakan tentang Allah. Oleh karena itu, di dalam pikirannya setiap orang Kristen harus sampai pada pengakuan bahwa pengenalannya akan Allah memiliki batas dan di dalam pengenalan itu senantiasa terdapat suatu misteri. Batas dan misteri tersebut tidak dapat ditembus oleh pikiran manusia. Itulah sebabnya, Calvin kerap mengutip Ulangan 29:29 di dalam karyanya.

Penekanan pada prinsip bahwa Alkitab menjadi sumber satu-satunya tersebut membuat Calvin "tertawan" pada pikiran bahwa Alkitablah satu- satunya otoritas terakhir yang menentukan kepercayaan, tindakan, dan kehidupan Kristen. Pandangan tersebut barangkali terkesan naif, simplistis, dan tidak cocok bagi kalangan atau aliran modern tertentu dewasa ini. Bagi orang yang berteologi liberal, Alkitab tidak terlalu berbeda dengan kitab-kitab suci lainnya. Bagi orang yang berteologi neo-ortodoks, Alkitab tidak mungkin dijadikan otoritas satu-satunya karena Alkitab tidak identik dengan firman Allah. Kalaupun kedua kalangan tersebut mengatakan bahwa mereka menerima otoritas Alkitab, esensi dari pandangan tersebut berbeda dengan posisi Calvin.

Sedangkan bagi kalangan yang "gemar" berglosolalia, menikmati penglihatan, sampai kepada mereka yang senang bertumbangan dalam Roh, dibedah oleh Roh, muntah-muntah di dalam Roh, bahkan cekikikan dalam Roh, Alkitab menurut pandangan Calvin di atas hanyalah "pelengkap penderita" atau "catatan kaki" bagi usaha pelegitimasian atau pengesahan pengalaman mereka. Tidak heran kalau pada akhirnya Alkitab sebenarnya tidak atau kurang dihargai di kalangan tersebut.

Esensi teologi Reformasi, sekali lagi, terletak pada kesetiaan terhadap prinsip Alkitab tersebut. Menurut Calvin, Alkitab ialah sumber wahyu satu-satunya di dalam kekristenan, dan karena itu, "message" atau berita dari berita Injil hanya dapat ditemukan di dalam atau di balik teks Alkitab. Maksudnya, kebenaran apa pun yang Allah ingin sampaikan kepada manusia (apalagi hal yang penting seperti keselamatan), arti sesungguhnya hanya ditemukan di dalam Alkitab. Karena itulah, di dalam seluruh "Institutio"-nya ia menulis dengan dua tujuan yang jelas: pertama, memperjelas Alkitab pada seluruh bagiannya. Hal ini dapat dibuktikan bahwa selama bertahun-tahun ia menulis komentari untuk setiap kitab dalam Alkitab (walaupun ternyata pada akhir hidupnya tidak semua kitab dalam Alkitab berhasil diselesaikan penafsirannya). Kedua, menyusun berita Alkitab secara sistematis dengan penjudulan yang tepat.[8] Hal ini tidak mengherankan, sebab "Institutio" bukan karya yang ia tujukan bagi para teolog atau guru besar di bidang penelitian iman Kristen, melainkan untuk pembaca Alkitab dan para pemula dalam iman Kristen.

Bersamaan dengan itu, perlu dimengerti bahwa bagi Calvin bukan hanya bagian tertentu dari Alkitab saja yang menjadi otoritas iman Kristen. Sebaliknya, Alkitab secara keseluruhan (tota Scriptura), kanon Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, ialah firman Allah yang utuh.[9] Sekalipun ia cenderung menggemari kitab Kejadian, Mazmur, Matius, Yohanes, Roma, dan 1 Korintus, ia justru terlihat mengupayakan pengajarannya secara menyeluruh dari Alkitab.[10] Meskipun Calvin adalah seorang ekseget Alkitab yang terkemuka dalam teologi Reformasi, ia menegaskan berulang-ulang: "Speak where the Scriptures speak; be silent where they are silent."[11] Sungguh, zaman sekarang ini banyak aliran yang telah bergeser terlalu jauh dari diktum di atas.

Ada kalangan yang begitu berani menceritakan pengalamannya mondar- mandir ke surga. Yang lain, sepertinya tidak ingin kalah dengan pengalaman tersebut, menceritakan tentang "darmawisata"-nya ke neraka. Masih ada lagi yang tidak mau kalah menceritakan pengalaman hebat- hebat lainnya, yang intinya kebanyakan dari pengalaman itu sudah atau berusaha melampaui apa yang ada di dalam Alkitab. Teologi Reformasi seakan-akan menegaskan proposisi ini: "Dengarlah, taatilah Alkitab, dan hindarkan spekulasi." Dengan demikian, prinsip tersebut menempatkan manusia di bawah kebenaran (mengaktualisasikan kebenaran), dan bukan manusia di atas kebenaran (mengakomodasikan kebenaran).[12] Karena Alkitab yang adalah firman Tuhan adalah kebenaran, Alkitab harus menjadi satu-satunya sumber di dalam pengajaran iman Kristen dan satu-satunya patokan atau standar bagi doktrin Kristen.

Lebih lanjut, di dalam tafsirannya terhadap Injil Yohanes, Calvin menegaskan bahwa Kristus tidak dapat dikenal secara benar dengan cara apa pun kecuali melalui Alkitab. Maksudnya, bila seseorang menolak ajaran Alkitab sebagai ajaran yang berotoritas penuh, ia sebenarnya menolak Kristus. Apabila kita bertanya kepada Calvin, bagaimana seharusnya seseorang atau gereja membaca Alkitab, ia akan menjawab dengan tegas: kita harus membaca Alkitab secara kristologis dan kristosentris. "First then, we must hold that Christ cannot be properly known from anywhere but the Scriptures. And if that is so, it follows that the Scriptures should be read with the aim of finding Christ in them."[13] Perhatikan bagaimana esensialnya keberadaan dan kepentingan Alkitab di mata Calvin; baginya Alkitab dan Kristus tidak dapat dipisahkan.

Jadi dapat disimpulkan, bagi gereja Reformasi yang ada dan melayani di zaman modern ini, pengakuan dan disposisi Calvin tersebut harus tetap berlaku. Esensi pengajarannya adalah: gereja tidak boleh mengabaikan, apalagi membuang, pengajaran Alkitab karena Alkitab merupakan otoritas satu-satunya yang menentukan hidup matinya pengajaran gereja. Bukan itu saja, Alkitab menentukan pengenalan gereja akan Juru Selamat satu- satunya, yaitu Tuhan Yesus Kristus. Maka pada waktu seseorang menyimpang dari Alkitab, saat itu juga hidupnya menyimpang dari Kristus.

RELEVANSI TEOLOGI REFORMASI

Pada bagian sebelumnya, kita telah melihat bahwa Calvin bukanlah seorang teolog yang berbicara "di atas angin," melainkan ia pertama- tama adalah seorang gembala, pengkhotbah, pengajar yang sangat "down to earth" (realistis). Di sinilah kita melihat relevansi yang paling pertama dan utama bagi gereja Reformasi zaman modern, yaitu gereja harus menerapkan pendidikan dan pengajaran yang sederhana kepada para anggotanya persis seperti yang pernah dilakukan oleh Calvin sendiri karena tradisi Reformasi yang paling menonjol adalah perhatian yang serius terhadap pendidikan Kristen bagi anggota jemaat.

Kebanyakan pihak setuju bahwa penginjilan dan usaha misionaris yang memenangkan banyak jiwa adalah usaha yang esensial; tetapi pendidikan dan pembinaan terhadap warga gereja adalah usaha yang tidak kalah pentingnya. Usaha tersebut tidak terbatas pada pengajaran di kelas katekisasi, sekolah minggu, kelas pembinaan khusus, melainkan lebih jauh lagi sampai menjangkau pembinaan di kampus, sekolah teologi, lembaga Kristen, bahkan yang lebih penting lagi, pembinaan melalui literatur Kristen.[14] Dengan demikian, "Christian scholarship" seperti yang pernah diupayakan oleh Abraham Kuyper, dapat merambah ke segala bidang. Gereja tidak boleh melupakan usaha besar yang pernah dilakukan oleh tokoh-tokoh besar seperti J. H. Bavinck, Herman Dooyeweerd, D. H. Th. Vollenhoven, James Orr, J. Gresham Machen, C. Van Til, Pierre Marcel, dan yang lainnya, yang pernah mengabdikan diri serta memperkembangkan suatu pendekatan yang tetap setia kepada tradisi Reformasi di dalam berbagai bidang. Usaha besar seperti inilah yang perlu dihidupkan kembali pada zaman sekarang.

Bagi gereja di Asia pada umumnya, dan gereja di Indonesia khususnya, tampaknya penerapan terhadap pendidikan agama Kristen dan gerakan penghargaan terhadap Alkitab tidaklah terlalu sulit. Mengapa? Karena kita melihat bangsa Timur lebih mudah beradaptasi dengan hal-hal yang bersifat panutan dan tradisi. Orang Timur juga lebih mudah menyesuaikan diri dengan pola pengajaran yang bersifat patriarkat dan seminal. Selain itu, kebanyakan gereja di Indonesia dimulai dan bertumbuh melalui pekerjaan misi dari Eropa yang menekankan tradisi Reformasi. Hanya pertanyaannya, apakah tradisi yang baik itu (penekanan pada pendidikan Kristen dan penghargaan terhadap Alkitab) tetap mendapatkan prioritas utama di dalam agenda pelayanan gereja? Pertanyaan mendasar ini perlu dijawab oleh gereja-gereja di Indonesia yang menerima landasan teologi Reformasi sebagai azas beriman dan azas bergerejanya.

Kedua, hal lain yang tidak kalah penting dengan di atas ialah, selain pendidikan Kristen, tradisi Reformasi juga menjunjung tinggi sentralitas pemberitaan firman Allah, baik untuk penginjilan, pengajaran, maupun aplikasi pastoral. Gereja di Asia dan Indonesia yang bertumbuh dengan benar dan baik pastilah merupakan gereja yang menghargai pemberitaan firman dengan pengupasan yang tepat tentang isi Alkitab. Sebaliknya, bila pemberitaan gereja hanya mengumandangkan ajaran-ajaran moral yang umum, ideologi-ideologi politis, atau terapi- terapi sosiologis, psikologis, dan seterusnya, dan tidak memberitakan ajaran Alkitab yang adalah firman Allah, gereja tersebut akan mengalami kemerosotan di dalam pemahaman yang benar dan tepat terhadap firman Allah.

Ketiga, teologi Reformasi yang sehat bukan menekankan pemberitaan kerugma saja, tetapi juga memberi penekanan yang benar tentang tanggung jawab sosial yang berdasarkan pada pengajaran Alkitab.[15] Calvin jelas pernah mengajarkan bahwa jabatan dan fungsi seorang diaken adalah untuk maksud seperti itu, yakni untuk menjadi administrator dan pelayan sosial. Memang benar bahwa menjadi seseorang yang setia kepada ajaran Reformasi haruslah menerapkan keyakinan tersebut di dalam segala bidang kehidupan. Dengan perkataan lain, ketuhanan Kristus yang diajarkan dalam Alkitab harus bergema di dalam setiap aspek kehidupan, baik itu aspek sosial, ekonomi, politik, seni dan lainnya.[16] Boleh dikata keberadaan gereja Reformasi di dalam dunia adalah untuk berinteraksi dengan setiap aspek dari ciptaan Tuhan. Misinya yang utama adalah untuk mengubah dunia, yaitu agar dunia mengenal, menjalani hidup, dan mempraktikkan kasih karunia Allah yang bekerja secara ajaib di dalam Yesus Kristus. Singkatnya, gereja Reformasi tidak hanya terpanggil untuk sekadar memiliki iman kepercayaan atau komitmen yang kuat, ia juga terpanggil untuk menaati dan melaksanakan misi Allah sesuai dengan ajaran Alkitab.

PENUTUP

Dunia kita sekarang ini, dengan segala ajaran yang pluralis di dalamnya, tampaknya sedang mengalami keguncangan karena manusia lebih cenderung menerima hal-hal yang bersifat relatif. Cukup banyak orang Kristen dan gereja cenderung meninggalkan paham dan tradisi lama yang kebanyakan dianggap bersifat anakronistis atau sudah ketinggalan zaman. Hal ini disebabkan oleh munculnya ideologi, -isme, dan keyakinan baru yang menyaingi kepercayaan yang lama. Lebih daripada itu, kepercayaan yang baru seakan-akan lebih mengena dan pragmatis sifatnya dalam memberikan jawaban untuk mengatasi kebingungan manusia modern. Bahkan banyak ajaran yang baru seolah-olah telah sanggup secara total mengatasi problema manusia di dalam hal dosa, sakit penyakit, dan memberikan arti kehidupan yang baru.

Pada saat seperti inilah dunia kekristenan memerlukan tuntunan dan pengarahan yang sesuai dengan ajaran Alkitab. Pengajaran dan pelayanan gereja yang berbobot sangat esensial serta menentukan sekali untuk memberi arah kepada manusia agar tidak dibingungkan oleh rupa-rupa angin pengajaran yang palsu. Itu sebabnya, pandangan dari teologi Reformasi yang diterapkan menjadi program yang sistematis untuk pendidikan, pemberitaan firman, dan pengajaran melalui gereja adalah sesuatu yang integral dengan konsepsi dari Calvin tentang kehidupan Kristen yang benar. Mengabaikan hal ini berarti sama saja dengan melepaskan sebuah kesempatan yang tak ternilai untuk menggarami kehidupan jemaat di gereja dan umat manusia di dunia ini.

Footnote: --------- *Artikel ini pernah diterbitkan dalam buku "Perjuangan Menantang Zaman" (ed. Hendra G. Mulia; Jakarta: Reformed Institute, 2000) 3-16, dan dimuat dengan izin tertulis dari Reformed Institute Press tanggal 5 Juni 2001.

  1. Untuk melihat ringkasan sejarah Reformasi, lih. J. E. McGoldrick, "Three Principles of Protestantism," Reformation & Revival Journal 1/1 (Winter 1992) 13-15; W Stevenson, The Story of the Reformation (Richmond: John Knox, 1959) 29-49; H. J. Hillerbrand, The Protestant Reformation (NY: Harper Torchbooks, 1968) xi-xxvii. Mengenai Luther dan sejarah hidupnya, lih. H. A. Oberman Luther: Man Between God and the Devil (New Haven: York University Press, 1982) 3-206; M. Brecht, Martin Luther: His Road to Reformation 1483-1521 (Minneapolis: Fortress, 1985).
  2. Calvin: Institutes of the Christian Religion (ed. J. T McNeill; LCC; 2 vols.; Philadelphia: Westminster, 1960).
  3. Lih. pujian dan deskripsi terhadap Institutio oleh W Cunningham, The Reformers and the Theology of the Reformation (Edinburgh: Banner of Truth, 1989) 294-296.
  4. Menurut J. L. Mays, ketika menuliskan tafsiran Mazmur pun, Calvin menulisnya guna kepentingan jemaat Tuhan, bukan untuk para scholars ("Calvin`s Commentary on the Psalms: The Preface as Introduction" dalam John Calvin and the Church: A Prism of Reform [ed. T George; Louisville: Westminster/John Knox, 1990] 197).
  5. Istilah ini diadopsi dari artikel F. H. Klooster, "The Uniqueness of Reformed Theology," Calvin Theological Journal 14/1 (April 1979) 39; bdk. J. F. Peter, "The Place of Tradition in Reformed Theology," Scottish Journal of Theology 18/3 (1965) 294-307. (Dalam beberapa segi pemikiran dasar untuk artikel ini penulis berhutang banyak pada kedua tulisan tersebut.) Perlu dicatat bahwa istilah "the Scriptural principle" di atas berbeda pengertiannya dengan K. Barth ("The Scripture Principle" dalam The Gottingen Dogmatics: Instruction in the Christian Religion [Grand Rapids: Eerdmans, 1991] I: 201-226).
  6. J. D. Gort, "The Contours of the Reformed Understanding of Christian Mission," Calvin Theological Journal 15/1 (April 1980) 49.
  7. Dikutip dari J. H Leith, Introduction to the Reformed Tradition (Atlanta: John Knox, 1977) 101.
  8. Institutes 4, Intro. ix; bdk. pendapat R. C. Gamble, "Exposition and Method in Calvin," Westminster Theological Journal 49 (1987) 153- 165, khususnya kesimpulan h. 164.
  9. Menurut D. H. Kelsey (The Uses of Scripture in Recent Theology [Philadelphia: Fortress, 1975]), hampir setiap teolog Protestan modern (seperti B. B. Warfield, K. Barth, R. Bultmann, P. Tillich) selalu ingin menyesuaikan teologinya dengan isi Alkitab dalam batas-batas tertentu; tetapi menurut Kelsey, masing-masing dari mereka hanya menampilkan aspek tertentu saja dari Alkitab yang dianggap berotoritas; jadi, bukan Alkitab secara menyeluruh.
  10. Leith, Introduction 103.
  11. Dikutip dari Klooster, "The Uniqueness" 39.
  12. Istilah H. Thielicke, The Evangelical Faith (Grand Rapids: Eerdmans, 1977) 1:27.
  13. J. Calvin, The Gospel According to St. John 1-10 (repr. ed.; Grand Rapids: Eerdmans, 1961) 139, yaitu tafsiran terhadap Yoh. 5:39; lih. juga K. Runia, "The Hermeneutics of the Reformers," Calvin Theological Journal 19/2 (November 1984) 144; dan W Niesel, The Theology of Calvin (Philadelphia: Westminster, 1956) 27. Sama dengan hal itu, Calvin juga menegaskan bahwa Alkitab harus menjadi otoritas yang manunggal dengan kehidupan gereja. Hal ini bukan hanya bertalian dengan pemberitaan gereja semata-mata, tetapi juga bersangkutan dengan seluruh aspek kehidupan dan pelayanan gereja.
  14. Lih. juga penekanan yang mirip dengan di atas dari D. K. McKim, "Reformed Perspective on the Mission of the Church in Society," Reformed World 38/8 (1985) 405-421; bdk. D. H. Bouma "Sociological Implications for Reformed Christianity," Reformed Review 2/2 (1966) 50-63; O. Fourie, "Thinking Biblically; Education: Whose Responsibility?," Calvinism Today 3/1 (January 1993) 24-29; R. S. Wallace, Calvin, Geneva and the Reformation: A Study of Calvin as Social Reformer, Churchman, Pastor and Theologian (Grand Rapids: Baker, 1988) 131-218; E. H. Harbison, "Calvin" dalam The Christian Scholar in the Age of the Reformation (New York: Charles Scribner`s Sons, 1956) 145-146.
  15. Perh. himbauan dari K. Runia, "Evangelical Responsibility in A Secularized World," Christianity Today 14/19 (1970) 851-854; bdk. P. F. Scotchmer, "Reformed Foundations for Social Concern," Westminster Theological Journal 40/2 (1978) 318-349; W. J. Bouwsma, John Calvin: A Sixteenth Century Portrait (NY: Oxford University Press, 1988) 191- 203, dan R. M. Kingdon, "Calvinism and Social Welfare," Calvin Theological Journal 17/2 (November 1982) 212-230.
  16. Ketuhanan Kristus dalam gereja Reformasi bukan hanya menuntut gereja terus-menerus diperbarui secara internal (ecclesia reformata semper reformanda), melainkan juga memperbarui masyarakat dunia dan kebudayaan (sempersocietas reformanda); lih. J. Verkuyl, Theology of Transformation, or Towards a Political Theology (Johannesburg: The Christian Institute of Southern Africa, 1973) 2.

Diambil dari:

Judul majalah: Veritas; Jurnal Teologi dan Pelayanan (Vol. 2 No. 2)
Judul artikel: Esensi dan Relevansi Teologi Reformasi
Penulis : Daniel Lucas Lukito
Halaman : 149 -- 157

Anatomi Kepercayaan Dan Iman: Sebuah Refleksi Teologis Dan Pastoral (2)

Dear e-Reformed netters,

Artikel berikut ini adalah sambungan dari artikel yang diterbitkan di Edisi e-Reformed sebelumnya. Jika Anda belum menerima edisi sebelumnya tersebut, silakan menghubungi saya.

In Christ,
Yulia
< yulia(at)in-christ.net >

Editorial: 

Dear e-Reformed netters,

Artikel berikut ini adalah sambungan dari artikel yang diterbitkan di Edisi e-Reformed sebelumnya. Jika Anda belum menerima edisi sebelumnya tersebut, silakan menghubungi saya.

In Christ,
Yulia
< yulia(at)in-christ.net >

Penulis: 
Joseph Tong, Ph.D.
Edisi: 
082/II/2007
Isi: 

ANATOMI KEPERCAYAAN DAN IMAN: Sebuah Refleksi Teologis Dan Pastoral (1)

MAKNA DAN DAMPAK IMAN

Berbicara dari sudut pandang teologis, iman berarti komitmen total dan memercayakan diri dalam Kebenaran dan memiliki hidup persekutuan dengan Allah sejati yang Esa -- sebuah perpalingan ontologikal kembali kepada Sang Pencipta. Perpalingan kembali ini tidak boleh dimengerti dalam pola pikir struktur pantheistik atau panentheistik, perpalingan kembali ke asal, seperti dalam praktik-praktik kontemplatif para-religius, kembali kepada sifat ketuhanan di dalam. Tidak juga boleh dimengerti sebagai kemampuan mencapai Firman untuk menjadi seperti Tuhan, atau untuk menjadi Tuhan. Sebaliknya, ini adalah sebuah perpalingan kembali yang asasi kepada Allah dalam konteks keselamatan kristiani. Pengertian yang benar akan kekristenan adalah bahwa Kristus adalah Firman yang menjadi daging supaya kita menjadi manusia, bukan menjadi allah. Sewaktu kita kembali kepada Allah, kita menjadi anak-anak Allah. Iman kita di dalam Kristus menghasilkan kepastian dan jaminan di dalam diri kita dengan cara-cara berikut ini dalam pengertian akan realitas:

Kepastian akan Kebaikan dan Kesempurnaan Allah

Masalah kejahatan dalam filsafat hanya dapat dijelaskan dalam konteks iman kristiani, di mana iman menyediakan pembacaan dan interpretasi yang benar akan realitas secara keseluruhan. Tanpa iman dan kepercayaan kepada Firman Allah, tidak akan ada makna bagi keberadaan apa pun. Iman kita dalam Kristus memberikan jaminan kepada kita akan kepastian kebaikan, sekaligus meyakinkan bahwa kejahatan adalah kesia-siaan. Dalam kekristenan, kejahatan tidak memiliki keberadaan yang nyata. Sebenarnya, kejahatan bukanlah lawan dari kebaikan, tetapi ketiadaan atau miskinnya kebaikan. Karya dan tindakan dari Allah yang sempurna selalu baik. Kebaikan seperti itu adalah fondasi dari semua kebaikan. Oleh karena itu, dalam iman, apa yang kita miliki dan apa yang kita alami adalah baik sempurna. Kesempurnaan seperti itu menjadi lengkap dan menjadi subjek pujian dalam keselamatan di dalam Yesus Kristus bagi anak-anak-Nya yang ditebus.

Adalah benar bahwa kehidupan di dunia ini penuh kesulitan, penderitaan, dan tragedi. Akan tetapi, bagi orang beriman, hidup itu penuh dengan anugerah dan hal-hal yang menyenangkan. Sebagaimana terang menjadi lebih cemerlang dalam kegelapan, kebaikan menjadi lebih manis di tengah-tengah kepahitan, begitu pula hidup kita lebih bermakna di dalam kesulitan, kesedihan dan penderitaan. Bagi mereka yang memiliki iman, segala sesuatu bekerja bersama untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Allah, yaitu mereka yang dipanggil oleh Allah (Roma 8:28). Dalam imanlah kita melihat keindahan ciptaan, pemeliharaan dan penebusan Allah.

Jaminan akan Makna dan Nilai yang Sejati

Dalam psikologi sosial dan ekonomi, nilai selalu mengikuti harga sedemikian rupa sehingga nilai dapat diciptakan oleh harga. Makna kemudian mengikuti. Oleh karena itu, selama seseorang berani untuk membayar harganya, walaupun mungkin tidak ada pasaran untuk sementara waktu, tetapi bila ia dapat bertahan cukup lama dan berani untuk melipatgandakannya dengan propaganda dan promosi yang baik, orang lain pastinya akan menerima nilai dalam harga tersebut, atau harga yang mereka bayar. Dalam perilaku seperti itu, harga menentukan pasar, dan lebih lanjut lagi, nilai dibentuk ketika harga dibayar. Manusia bahkan akan berpikir bahwa makna yang benar sejalan dengan harga. Walaupun kenyataannya tidak sesederhana itu, akan tetapi, seperti inilah tepatnya bagaimana struktur nilai dalam pola pikir modern berjalan pada saat ini. Kebanyakan orang tidak lagi tertarik dalam mencari makna dan nilai. Inilah penyebab utama dari kerusakan moral pada saat ini: Deskripsi yang murni dari manusia yang tidak mempunyai iman.

Secara teologis, maknalah yang menentukan nilai. Intisari dari makna tidak ditemukan dalam pembacaan dan interpretasi kenyataan, tetapi dalam relasi dan kesatuan antara makna tersebut dengan kebenaran dari kenyataan secara keseluruhan. Kebenaran adalah dasar dari semua makna. Sebenarnya, masalah kita bukanlah bahwa kita menyangkal kenyataan bahwa kebenaran ada, tetapi dalam asumsi kita bahwa kebenaran perlu dimengerti sebagai sesuatu yang nyata dan bermakna. Inilah tepatnya alasan kebanyakan orang menganggap pembacaan dan interpretasi kenyataan sebagai realitas dan kebenaran, meyakini bahwa tanpa pembacaan dan interpretasi, fakta, realitas dan kebenaran tidak memiliki makna dan oleh karena itu tidak memiliki nilai.

Asumsi seperti itu menegaskan bahwa kebenaran adalah murni keberadaan yang pasif. Ini adalah asumsi yang salah. Oleh karena pembacaan dan interpretasi harus dimulai dengan beberapa pendirian dan mengasumsikan dasar-dasar tertentu, yang tanpanya tidak mungkin ada komunikasi. Oleh sebab itu, dapat dicatat bahwa kebenaran tidaklah pasif. Sebaliknya kebenaran harus aktif. Seseorang yang membaca, memahami, dan menginterpretasikan, harus mengambil peran sebagai peran pembantu. Aktor utamanya, dalam hal ini, adalah Kebenaran itu sendiri atau pemberi Kebenaran. Iman hanyalah sebuah agen dalam proses tersebut.

Dalam teologi, kita menganggap iman adalah sesuatu yang dianugerahkan Allah oleh kemurahan-Nya di dalam hati manusia, yang memampukannya untuk membuat tanggapan yang sepatutnya pada saat kebenaran dinyatakan. Iman membuka pikiran manusia untuk menerima wahyu Allah dan berserah kepada Kebenaran, mengenal Kebenaran, menyatakan makna, menegaskan nilai dan mempertandingkan keberadaan kita. Secara sederhana, iman yang sejati membawa kita kepada pengertian yang jelas akan makna, merasakan nilainya, dan menikmati keberadaan kita. Tanpa iman, makna menghilang, nilai terlepas, dan keberadaan dipenuhi dengan kecemasan dan tekanan. Ini menjawab pertanyaan mengapa orang yang tidak beriman selalu hidup dalam kesia-siaan dan berkeluh tanpa harapan.

Kepastian akan Kenikmatan dari Keberadaan

Dalam penciptaan, keberadaan adalah sebuah keharusan ontological. Seperti itu, keberadaan menjadi tidak ada rasanya, tidak bermakna, membuat kita putus asa. Secara filosofis, selain Allah yang membuat keberadaan-Nya sendiri, segala sesuatu penuh keterbatasan. Oleh karena itu, jikalau tidak ada iman, tidak ada suatu apa pun dapat dinikmati. Keberadan tanpa iman menghasilkan ketidakberdayaan dan membawa keputusasaan, frustasi dan kebosanan. Iman membawa kita untuk merasakan kenikmatan dari kehidupan. Inilah tepatnya mengapa Paulus dapat berkata; Aku hidup oleh karena iman di dalam Anak Allah.

Bagi orang Kristen, karena kita percaya dalam Kristus dan mengambil bagian dalam sifat Allah, kita pastinya mengalami kebesaran dan kebaikan Allah, dan juga Allah sendiri, dalam keberadaan kita. Augustine pernah berkata, Allah memberikan segala sesuatu bagi kita untuk digunakan (uti) sehingga kita dapat menikmati (frui) Allah. Dalam pengertian seperti itu, walaupun kita harus melalui pencobaan-pencobaan Ayub, kita masih dapat bersukacita dalam penderitaan, seperti Ayub menyatakan bahwa: "Tuhan yang memberi, Tuhan juga yang mengambil. Terpujilah nama Tuhan." (Ayub 1:21). Oleh karena itu, sekalipun Ia membunuhku, aku akan tetap percaya kepada-Nya. Iman membawa kita untuk merasakan anugerah-Nya dan Diri-Nya sendiri, membuat kita tidak hanya bersuka dalam kehadiran Allah, tetapi juga bersuka di dalam Tuhan. (Ibrani 11:6; Roma 5:11).

Puncak Kepercayaan dan Iman dalam Tindakan

Bagi kebanyakan orang, iman adalah suatu alat untuk mencapai atau menegaskan anugerah Allah. Hal ini benar hanya dalam pandangan pengertian religius akan iman. Secara teologis, iman bukanlah suatu alat; melainkan iman adalah suatu keadaan hati dan jiwa sebagai kepercayaan dan komitmen yang total kepada Allah. Kata "fiducia" dalam teologi mengandung banyak makna yang dalam. Kadang kala disebut "fiducia cordis" sebagai hati dan inti dari iman. Dalam bagian penggunaannya sepanjang sejarah Gereja, kata itu tampaknya kehilangan maksud dan maknanya seiring berlalunya waktu. Gereja secara bertahap telah bergeser dari penekanannya pada aspek percaya seperti yang dituntut oleh objek yang kita percayai, kepada aspek-aspek percaya tertentu dari seseorang yang percaya. Bergeser dari penekanan teosentris kepada penekanan antroposentris, dari teologi ke antropologi.

Bagi manusia, perwujudan kepercayaan dan iman adalah tindakan dan perilaku yang baik, secara umum dikenal sebagai pembenaran di hadapan manusia dan dipuji oleh orang lain. Karena Allah tidak memerhatikan penampilan, Allah tidak perlu untuk mendasarkan pembenarannya pada perbuatan baik manusia. Oleh karena itu, walaupun iman selalu didukung oleh perbuatan baik, tetapi iman dalam ciri-cirinya sendiri adalah perbuatan baik dihadapan Allah, bukan di hadapan manusia. Inilah mengapa iman kadang-kadang disebut tindakan baik semata. (Lihat Lukas 12:8). Iman adalah tindakan kepada Allah dan di hadapan Allah. Inilah mengapa Allah membenarkan manusia karena imannya bukan perbuatannya. Dengan kata-kata biasa, karena iman adalah percaya dalam Allah, percaya adalah penyerahan diri yang total kepada Allah, seperti Paulus menyatakan bahwa kita dapat percaya pada-Nya dan juga menderita bagi-Nya. (Filipi 1:29).

Sisa makalah ini akan mendedikasikan dirinya pada penjelasan mengenai iman dalam arti "fiducia", dimana teologi Kristen menjelaskan lebih lanjut maknanya dalam istilah-istilah "iman yang takut" (apprehensio fiducialis); "iman inti atau hati yang percaya" (fiducia cordis), dan "kebaikan iman atau tindakan iman" (actus fidei).

Aspek-aspek yang Takut dari Iman

Apa yang kita maksud dengan iman yang takut adalah hasil dari tindakan dan pekerjaan yang mulia dari Roh Kudus, membuat manusia mampu mengamati dan memahami anugerah, karya, dan kehendak sempurna dari Allah dalam tindakan-Nya. Dengan kata lain, dalam iman yang takut, pikiran manusia ditangkap oleh Firman Allah. Karenanya, dia akan sepenuhnya mengerti dalam pengetahuan dan penyerahan kepada Allah dan Firman-Nya yang dinyatakan, dan dengan rela menerima penghakiman dan pengampunan-Nya.

Seperti Abraham, dia percaya apa yang telah Allah janjikan, dan Allah menganggap hal ini sebagai kebajikan-Nya. Inilah dasar dari iman kristiani, tantangan dan pencobaan yang utama yang dihadapi orang-orang Kristen saat ini. Pemazmur berkata, apabila dasar-dasar dihancurkan, apakah yang dapat dibuat oleh orang benar itu? (Mazmur 11:2). Inilah tepatnya dimana penyakit-penyakit Gereja modern dan teologi modern dihasilkan. Baru-baru ini, banyak usaha didedikasikan pada diskusi-diskusi dan rekonstruksi teologi kristiani, mengabaikan fakta bahwa kita telah meragukan dasar iman kita dan mencoba untuk menggantikan Allah dengan nama-nama yang lain. (Mazmur 16:4). Ini adalah sebuah tanda yang nyata akan kurangnya iman yang takut. Usaha seperti itu dianggap gagal, karena bibit kerusakan ditanam pada saat itu bahkan sebelum usaha itu memulai rekonstruksi.

Iman yang sejati memahami kehadiran Allah dan kebesaran Allah, bahkan sebuah pengertian akan membawa kita pada pengalaman dari Yusuf muda yang pernah berkata, "Bagaimana bisa aku melakukan dosa yang begitu besar terhadap Allah! Bahkan ketika tak seorangpun tahu!"

Iman Inti atau Hati yang Percaya

Kata "cordis fiducia" mengandung dua arti: 1) sebagai sebuah indikasi bahwa tempat iman adalah dalam hati manusia, dan 2) bahwa inti dari iman adalah ketika hati menyatu dengan iman mengarahkan diri pada Kebenaran. Hal yang terakhir menunjuk pada fakta bahwa iman senantiasa melampaui intelektual dan ia berada pada jiwa yakni bagian utama dari eksistensi manusia. "Cordis fiduca" menentukan religiusitas manusia dan hubungannya dengan Allah. Hal yang terakhir itu mengacu pada fakta bahwa jiwa memiliki kemampuan mengasihi, memerhatikan, dan melekatkan diri pada Allah dan firman-Nya.

Secara harafiah dapat dikatakan bahwa kemampuan mengasihi dan memberi penghargaan adalah dua hal yang berbeda. Kasih cenderung lebih nyata sedangkan penghargaan berbentuk konkret. Keduanya adalah tanda dari sebuah kondisi dari perasaan dan karya yang benar sebagai suatu ungkapan dari sikapnya terhadap obyek dari keyakinan dan kasihnya. Iman yang sejati mengungkapkan diri sendiri dalam hati dan lewat ucapan. Hati dan ucapan berjalan seiring memercayai dan mengakui bahwa Kristus adalah Tuhan (Rm. 10:9-10). Iman yang sejati lebih dari sekedar itu, ia tidak akan pernah malu pada injil Yesus Kristus (Rm. 1:16; Mrk. 8:38-39).

Dalam konteks pastoral, iman mengandung aspek mistik dan keajaiban. Iman membawa seseorang yang percaya dalam keberadaan tertawan, sehingga orang itu tidak dapat menahan diri untuk bersaksi di depan umum ataupun menolak dorongan untuk memproklamirkan nama Kristus dan memuliakan-Nya. Sesungguhnya, orang itu begitu bangga menjadi miliki Allah.

Dari zaman ke zaman, kita telah menyaksikan bahwa walaupun memercayai Yesus adalah hal spiritual dan pribadi, namun sejauh kaitannya dengan iman, sekali orang mengakui imannya pada Kristus (?). Dia tidak akan ragu untuk memproklamirkannya di depan umum sekalipun ia harus membayar harga dengan nyawanya sendiri. Bagi orang lain, seorang yang sudah percaya tidaklah perlu begitu offensif. Beberapa orang bahkan berpikir bahwa orang percaya meyakini dan berdoa secara diam-diam sendiri. Namun bagi orang percaya sejati, iman mereka membara sehingga mereka tidak memiliki pilihan lain selain melakukan sesuatu. Seperti Maria dari Betania, orang percaya yang sejati akan menghancurkan kendi minyak narwastu untuk mengurapi kaki Tuhan, meresikokan dirinya diserang oleh kritik tajam dan kecaman orang lain. Hal ini merupakan ekspresi dari penghargaan yang terbaik. Iman yang sejati tidaklah dapat diungkapkan sepenuhnya. Iman sejati dapat memperlihatkan dorongan yang dashyat, yang mampu memindahkan gunung dan membelah lautan. Iman sejati seperti api yang menghanguskan dan seperti air yang tiada henti menetes melubangi batu kerikil yang tebal. Semua hal ini merupakan penjelasan tentang iman, keyakinan yang dirasakan oleh hati.

Kebajikan atau Tindakan Iman

Sebagaimana kita diskusikan dalam tulisan ini, iman sejati tidaklah membutuhkan perbuatan untuk membuktikannya. Iman sejati sebaliknya merupakan perbuatan itu sendiri di hadapan Allah dan diterima oleh Allah. Teologi merujuk kebenaran ini sebagai kebajikan iman atau tindakan iman. Mengikuti Paulus, gereja tradisional menyakini iman, pengharapan, dan kasih sebagai tiga pilar utama dari keutamaan Kristen. Kebajikan iman, dipahami secara umum sebagai hal yang paling jelas di antara ketiganya. Sekalipun demikian, secara ontologis, iman sesungguhnya merupakan sebuah kesadaran diri yang jelas mengenai kehadiran ilahi yang menuntut sebuah ketertundukan total dan komitmen pada Allah dan firman-Nya. Penjelasan berikut ini memberikan gambaran mengenai tindakan iman sebagai kebajikan moral.

IMAN DALAM KOMITMEN

Komitmen merupakan sebuah tindakan sukarela alami dari seorang yang sudah diyakini oleh Kebenaran. Hal ini membawa kita pada beberapa pertanyaan teologis, sejauh pembahasan dalam konteks iman dan komitmen, apakah iman adalah hasil dari kemampuan subyektif manusia, "habitus fidei", ataukah hasil dari anugerah Allah, yang memampukan orang itu untuk secara total menyerahkan dirinya di hadapan Allah? Jika iman adalah inisiatif ilahi, maka apa yang seorang manusia lakukan hanyalah mempraktikkan hak istimewa yang diberikan oleh Allah saat ia berkonfrontasi dengan wahyu ilahi. Manusia tidaklah memiliki pilihan lain selain daripada respons yang sewajarnya kepada panggilan Allah. Berbicara dalam terang keyakinan Reformed, komitmen iman bukanlah usaha manusia, sebaliknya, iman adalah anugerah Allah. Dan dengan demikian, keutamaan iman merupakan pekerjaan Allah itu sendiri. Jelas tidak ada kontribusi manusia sama sekali. Oleh sebab itu tidak ada alasan bagi manusia untuk mengakui bahwa iman itu miliknya. Iman itu ada karena Allah bersedia tinggal di dalam manusia. Sebagaimana pepohonan dihanyutkan oleh banjir badang, demikianlah manusia disandera oleh Allah dan oleh kasih-Nya. Oleh sebab itu, komitmen penulis adalah agar kita dapat tinggal tenang seperti anak yang terlelap, sepenuhnya menyerahkan diri di atas pangkuan sang ibu. Dan hal ini merupakan tanda dari iman yang sejati yang membawa ucapan syukur dan pujian dalam diri kita. Orang yang memiliki iman tidaklah pernah menyombongkan diri, dia lebih memilih untuk berkomitmen total dan hanya bersedia berbicara hal yang besar mengenai Kristus yang tersalib (1Kor. 2:1-5).

IMAN DALAM KETERTUNDUKAN DAN KETAATAN

Iman dan ketaatan tidak dapat dipisahkan, keduanya merupakan ekspresi konkret dari keyakinan terhadap Kristus. Secara teologis, lawan dari iman bukanlah ketidakpercayaan, ataupun keragu-raguan melainkan kesombongan dan ketidaktaatan. Kejatuhan dari Adam dan Hawa, dan seluruh tokoh Alkitab merujuk pada fakta bahwa mereka terlalu sombong dan tidak taat. Alkitab menyatakan bahwa kesombongan mendahului kehancuran. Langkah pertama dari iman yang sejati adalah penyangkalan dan penyerahan diri dalam rangka mengikut Tuhan. Ketaatan dalam iman melibatkan hal berikut:

Pengetahuan akan Allah

Mengenal kedaulatan dan kemuliaan Allah. Keberadaan kita amat bergantung pada diri-Nya. Bagaimana kita dapat mempertanyakan Allah dan meragukan diri-Nya, dan firman-Nya? Pemazmur pernah mengatakan, "Aku kelu, tidak kubuka mulutku, sebab Engkau sendirilah yang bertindak" (Mzm. 39:10). Demikian juga kita mendengar pemilik kebun anggur berkata. "Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? (Mat. 20:15) Apakah yang dapat kita lakukan selain berkata "Aku hanya hamba Allah, lakukanlah sebagaimana yang Engkau kehendaki." Ketika Anak Allah datang ke dunia ini, Dia sengaja mengosongkan diri dan merendahkan diri. Mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi manusia. Saat menjadi seorang manusia, Ia merendahkan diri sedemikian rupa dan taat sampai mati bahkan sampai mati di kayu salib! (Fil. 2:6-8). Dia bahkan tetap taat saat menderita (Ibr. 5:8). Jika kita pernah mengenal Allah, mengapa kita tidak merendahkan diri dan secara penuh merendahkan diri kepada Tuan kita?

Pengetahuan akan Diri Sendiri

Dalam kenyataannya, kita sering membandingkan diri kita pada yang lain. Dengan berbuat demikian, kita akan terjebak di dalam kealpaan terhadap diri, posisi dan pendirian kita sendiri. Sesungguhnya, sebagian besar orang tidaklah puas terhadap hak istimewa yang mereka miliki. Hal ini merupakan hasil dari kealpaan kita terhadap fakta bahwa kita merupakan anggota keluarga sorgawi dan dunia (Ef. 3:15). Saat Petrus masih berpikir banyak mengenai nasib yang akan menimpa Yohanes, Yesus menjawab apa yang harus kamu lakukan adalah mengikuti Aku (Yoh. 21:22).

Sesungguhnya Allah telah menyediakan bagian dan piala bagi kita; Dia menjaga harta benda kita agar tetap aman. Sebagaimana Pemazmur mengungkapkan "Tali pengukur jatuh bagiku di tempat-tempat yang permai; ya milik pusakaku menyenangkan hatiku." (Mzm. 16:6-8). Oleh sebab itu, mari kita berdiam dan menenangkan diri dan ketahuilah bahwa ialah Allah (Mzm. 46:10). Mari kita dengar perkataan-Nya pada Daniel, "Tetapi engkau, pergilah sampai tiba akhir zaman, dan engkau akan beristirahat, dan akan bangkit untuk mendapatkan bagianmu pada kesudahan zaman" (Dan. 12:13). Tunduklah pada rencana dan pengaturan-Nya. Lakukan hal terbaik untuk tetap menaati-Nya. Karena Dialah bagian dari warisan dan piala kita (Mzm. 16:5). Jika Anda memiliki iman, akuilah dan puaslah dengan keadaanmu saat ini -- inilah tanda dari pengetahuan yang benar mengenai diri sendiri.

Pengetahuan akan Otoritas

Takut akan orang yang memiliki kuasa merupakan sebuah praktik yang wajar. Oleh sebab itu, otoritas dan kuasa telah menjadi tempat dimana orang mudah untuk menunjukkan ketaatan. Ketakutan jenis ini merupakan hasil dari ketidaktahuan akan otoritas yang sebenarnya. Ketaatan yang sejati menyerahkan diri pada otoritas yang tidak mengenal ketakutan. Otoritas itu adalah buah dari iman yang sejati. Di dalam otoritas seperti ini, kasih dimungkinkan untuk bertumbuh.

Kita percaya dan taat pada Kristus bukan karena kita takut pada-Nya namun karena kita terpaku oleh kedashyatan kasih Allah, dan oleh karenanya kita mengasihi Allah. Dalam konteks ini, ketaatan dan ketertundukan bukan lagi persoalan intelektual dan pemahaman sensasional, melainkan sebuah dorongan dari jiwa menuju pemenuhan. Oleh sebab itu, kita menjadikan hal menyenangkan hati Allah sebagai tujuan hidup kita (2Kor. 5:9). Sekalipun kita tidak pernah melihat Dia, kita mengasihi Dia. Dan sekalipun kita tidak melihat Dia saat ini, kita percaya pada-Nya dan hati kita dipenuhi oleh sukacita yang tidak dapat diungkapkan, karena kita telah menerima tujuan dari iman kita, yakni keselamatan dari jiwa ini (1Pet. 1:8-9). Klarifikasi dari pemahaman kita akan otoritas akan selalu menghasilkan ketaatan batiniah dalam diri kita.

IMAN DAN HAL MENGIKUT YESUS

Apa yang Kristus inginkan dari para pengikut-Nya adalah usaha menyangkal diri mereka sendiri, memikul salib dan mengikuti-Nya. Orang yang percaya pada Allah, akan mengikut Allah. Hal ini memerlukan iman. Yohanes, murid yang dikasihi Kristus menyatakan bahwa orang yang mengikut Kristus adalah mereka yang menaati firman-Nya, di mana kasih Allah sungguh sempurna berada dalam diri mereka ... sebab barangsiapa yang berkata ia hidup di dalam Dia haruslah ia melakukan apa yang Yesus lakukan (1Yoh. 2:5-6).

Pesan terakhir Kristus kepada para murid-Nya hampir sama dengan ungkapan di atas, Dia berkata: "sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu. Aku berkata kepadamu: sesungguhnya seorang hamba tidaklah lebih tinggi dari pada tuannya, ataupun seorang utusan daripada dia yang mengutusnya. Jikalau kamu tahu semua ini, maka berbahagialah kamu, jika kamu melakukannya" (Yoh. 13:15-17). Mengikuti Kristus adalah salah satu karakteristik yang terpenting dari menjadi seorang Kristen. Jika iman didirikan di atas dasar Firman Allah, maka hasilnya adalah kasih terhadap Allah dan meneladani hidup Kristus. Dokumen dan warisan literatur pada masa Abad Pertengahan mengindikasikan bahwa para orang-orang kudus mewariskan praktik hidup yang meneladani Kristus. Mereka mengikut Tuhan secara konstan dan konsisten. Dibandingkan dengan hidup kita hari ini, patutlah kita menjadi malu, karena walaupun kita mengakui telah mengenal Kristus dan memproklamirkan nama-Nya, namun dalam hal ketertundukan dan penyerahan diri untuk mengikuti serta meneladani-Nya, kita masih jauh dari apa yang Tuhan harapkan.

KESIMPULAN

Penyederhanaan iman rupanya merupakan paradoks pada kenyataannya. Setelah kejatuhan manusia, tidak ada seorangpun memiliki iman. Kita telah jatuh di dalam perangkap kepercayaan, yakni ketidakpercayaan dan keraguan terhadap hal-hal yang benar dan dapat dipercaya. Inilah sebabnya sejarahwan dan filosof, Will Durant pernah berkata: "Agama datang dan pergi, namun ketakhayulan berlangsung selamanya." Dalam perjalanan sejarah umat manusia, ketakhayulan tampaknya selalu mendahului agama yang sejati. Oleh sebab itu cara terbaik untuk memperlakukan kepalsuan dan ketakhayulan ini bukanlah dengan kekuasaan, politik, ideologi, teori ataupun uang. Bahkan tidak dengan agama ataupun kepercayaan agama, melainkan melalui iman yang sejati -- yakni iman yang berakar dalam Firman Allah dan pemahaman yang benar mengenai Allah dan wahyu-Nya. Allah pernah berkata pada Yeremia: "Nabi yang beroleh mimpi, biarlah menceritakan mimpinya itu, dan nabi yang beroleh firman-Ku, biarlah menceritakan firman-Ku itu dengan benar! Apakah sangkut-paut jerami dengan gandum? Demikian Firman Tuhan. Bukankah firman-Ku seperti api, demikianlah firman Tuhan dan seperti palu yang menghancurkan bukit batu?" (Yer. 23:28-29).

Firman Tuhan adalah satu-satunya perisai yang paling ampuh untuk berhadapan dengan ketakhayulan dan keyakinan yang palsu. Biarkan kita membangun diri kita dengan iman yang paling suci dan berdoa di dalam Roh Kudus. Senantiasa berada di dalam lingkaran kasih Allah sementara kita menunggu belas kasihan Yesus Kristus yang akan membawa kita kepada hidup yang kekal (Yud. 20). Sebagaimana kita telah mengakhiri pertandingan yang baik, "aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman" (2Tim 4:7-8), oleh sebab itu mari kita senantiasa percaya dan dengan gembira menaati Dia. Menjadi orang yang taat dan menjadi manusia beriman yang kelak mendapat pujian dari Allah.

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Jurnal Teologi Stulos, Volume 4, Nomor 1, Juni 2005
Judul Artikel :Anatomi Kepercayaan dan Iman: Sebuah Refleksi
Teologis dan Pastoral
Penulis : Joseph Tong, Ph.D.
Penerjemah : -
Penerbit : Sekolah Tinggi Teologia Bandung
Halaman : 103 - 108

Anatomi Kepercayaan Dan Iman: Sebuah Refleksi Teologis Dan Pastoral (1)

Editorial: 

Dear e-Reformed netters,

Masyarakat Kristen saat ini telah dikacaukan dengan berbagai paham `positif thinking` yang sangat tidak alkitabiah, terutama melalui pengajaran-pengajaran dari teologia kemakmuran dan sejenisnya. Pernahkah Anda mendengar kata-kata seperti berikut ini, "jika Anda beriman, maka Anda akan sembuh" atau "jika Anda beriman maka Anda kaya". Jika ternyata Anda sudah berdoa dan tidak sembuh atau tidak kaya, maka itu tandanya Anda tidak beriman. Iman tak ubahnya dengan rasa percaya diri, karena itu untuk mendapatkan apa yang Anda inginkan Anda harus beriman lebih keras lagi. Ini adalah pengajaran yang tidak sesuai dengan Alkitab. Dari praktik-praktik pengajaran yang sesat seperti ini, tidak heran jika banyak masyarakat Kristen Indonesia yang memiliki kehidupan, cita-cita, dan pemikiran yang tidak jauh berbeda dengan orang-orang yang bukan pengikut Kristus. Betapa jauhnya orang mengerti tentang iman sebagaimana yang Alkitab maksudkan.

Iman bukan sesuatu yang diusahakan, tapi diterima. Iman juga bukan sesuatu yang menghasilkan keuntungan bagi manusia, tapi ketaatan dan kemuliaan bagi Allah. Lawan kata dari `iman` bukan `keragu-raguan` atau `ketidakyakinan`, tapi `ketidaktaatan` atau kesombongan. Bagaimana menjelaskannya?

Artikel yang saya baca beberapa waktu yang lalu dari Jurnal Teologi Stulos, yang ditulis oleh Dr. Joseph Tong, telah menggugah saya untuk mempelajari lebih dalam pengertian tentang iman. Saya sangat terkesan dan melihat iman seakan-akan seperti melihatnya dengan cara pandang yang baru, lain dari yang biasa saya lakukan. Sangat filosofis, karena itu Anda harus membacanya perlahan-lahan dan dikunyah satu persatu, kalau tidak Anda bisa tersedak alias mabok! Tapi percaya saya, `it`s worth reading`. Ada banyak pokok-pokok pemikiran penting yang perlu mendapat perhatian, khususnya bagi Anda yang dulunya merasa sudah mengerti tentang arti iman. Biarlah kita semua semakin diperkaya dengan kekayaan Firman-Nya, yaitu Firman yang hidup dan menghidupkan. Selamat menyimak.

In Christ,
Yulia
< yulia(at)in-christ.net >

Penulis: 
Joseph Tong, Ph.D.
Edisi: 
081/I/2007
Isi: 

Anatomi Kepercayaan dan Iman: Sebuah Refleksi Teologis dan Pastoral (1)

Pendahuluan

Pada umumnya, kepercayaan dan iman dimengerti sebagai hal yang identik. Secara harafiah, "kepercayaan" kurang lebih dianggap bersifat subjektif dan pribadi, sedangkan "iman" dianggap sebagai sesuatu yang condong obyektif, yaitu sebagai 'pengakuan kepercayaan di depan publik.' Namun, dalam konteks studi keagamaan, penggunaan dua kata dapat dipertukarkan dan menunjuk pada suatu keadaan khusus dalam diri seseorang, atau pendirian yang dimiliki seseorang, ketika menghadap suatu Pribadi yang kudus, yang mulia atau yang tak terpahami. Kepercayaan dan iman diperlakukan secara berbeda hanya ketika aspek-aspek khusus ingin ditekankan dalam wacana-wacana keagamaan atau teologis.

Sebenarnya, kata "iman" telah beberapa kali mengalami perubahan makna sepanjang zaman. Secara keagamaan, iman tentunya adalah pengetahuan akal dan hati yang mengindikasikan soal dasar dan menyeluruh dari jiwa dan pikiran manusia sebagai 'suatu keadaan dasar yang menentukan perilaku dan keberadaan manusia.' Berbeda dengan kepercayaan, iman bukan semata-mata masalah pribadi, atau hanyalah keputusan yang bersifat pribadi yang tidak berhubungan dengan yang lainnya. Sebenarnya, dalam teologi Kristen, baik kepercayaan maupun iman tidak dapat dianggap hal pribadi atau hasil dari pikiran, emosi atau keinginan pribadi; sebaliknya kepercayaan dan iman berasal dari Allah dan wahyu Allah. Itulah sebabnya dikatakan, "Walaupun kepercayaan adalah hasil dari pikiran, pendirian atau pengalaman religius dari komitmen pribadi, tetapi kepercayaan bukanlah semata-mata hal pribadi." Iman adalah tanggapan atau pernyataan tanggapan, ketika seseorang merenungkan Allah serta karya dan penyataan-Nya. Secara sederhana, sifat positif dari tanggapan seperti itu disebut "iman," sedangkan sifat negatifnya disebut "ketidakpercayaan" atau "kepercayaan jahat atau sesat."

Bible

Persoalannya menjadi lebih rumit pembahasannya ketika kita merenungkan atau menganalisis masalah tersebut secara teologis. Hal ini dikarenakan oleh kenyataan bahwa kepercayaan dan iman tidak hanya tentang pendirian, agama dan komitmen seseorang. Iman sebenarnya adalah jumlah keseluruhan dari pikiran, perilaku dan keberadaan seseorang, bahkan jaminan dan kepastian eksistensi seseorang. Inilah sebabnya mengapa penulis kitab Ibrani memberikan pernyataan yang membingungkan, tetapi meyakinkan itu, bahwa, "Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat!" (Ibrani 11:1)

Makalah ini dimaksudkan untuk membahas di dalam kerangka filosofis, dengan menyajikan suatu refleksi anatomi yang positif, di dalam wacana teologis dan disertai kepedulian pastoral, tentang masalah tersebut. Tujuan utamanya adalah untuk menjelaskan secara terperinci unsur-unsur iman, hakikat, makna, konsekuensi dan dampak-dampak iman kepercayaan dalam kehidupan orang-orang yang memilikinya. Penulis berharap bahwa gereja akan memiliki pengertian yang lebih baik tentang Kebenaran yang dipercayakan kepada kita dalam konteks pastoral, sehingga kita dapat memegang teguh iman yang kita miliki dan lebih berbuah dan setia di dalam gereja, maupun di dalam masyarakat kita.

Penjelasan Mengenai Unsur-Unsur Iman

Secara Alkitabiah, Allah adalah satu-satunya sumber iman dan Firman-Nya adalah dasar iman kita. Tanpa Allah dan Firman Allah, tidak akan pernah ada iman, dan kita pun tidak membutuhkan iman. Sebagaimana hubungan antara Allah dan Firman-Nya, demikian pula seharusnya hubungan iman dengan Firman Tuhan. Iman selalu berkembang ketika Roh Allah bekerja dan manusia menanggapi secara kooperatif. Secara sederhana, iman tidak dapat datang dari manusia, atau atas inisiatif manusia, juga tidak dapat dilengkapi oleh manusia. Seperti yang pernah dikemukakan Paulus, "Iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus ...." "Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!" (Roma 10:17; 11:36). Allah ialah yang pertama memberi kita Firman-Nya, dan Roh Kudus yang bekerja dalam cara yang khusus untuk membuat kita berbalik kepada Allah dari berhala-berhala untuk melayani Allah yang hidup dan yang benar (1 Tesalonika 1:9).

Oleh karena itu, secara teologis, iman itu murni pemberian Allah. Adalah Allah, yang dalam kemurahan-Nya, menyatakan Firman-Nya kepada kita melalui wahyu, inkarnasi, pengilhaman dan penulisan Alkitab, dan penyataan, untuk membawa kita mendengar Firman-Nya dan menanggapi panggilan-Nya kepada pertobatan dan pengampunan dosa.

Namun, dari sudut pandang manusia, iman harus dimengerti sebagai tanggapan dan perilaku manusia yang sepantasnya serta aktual terhadap kehadiran Allah melalui penyajian Firman-Nya. Dalam teologi tradisional, Alkitab menggambarkan iman dalam 3 cara, yaitu, iman intelektual (noticia), iman perasaan (assensus), dan iman kehendak (fiducia); untuk mengindikasikan unsur-unsur intelektual, emosional dan kemauan dalam iman serta pengaruh-pengaruhnya pada keberadaan manusia, secara berurutan. Semua ini dihasilkan dari pekerjaan Roh Kudus melalui Firman dari penyajian Firman serta pernyataan-Nya. Firman itu membuka hati manusia dan memperbarui pikiran mereka agar mereka dapat mengenal Allah dan wahyu-Nya. Demikianlah, manusia mulai mengetahui kebodohan, kesia-siaan, kebandelan dan kegelapan dari keberadaannya yang mula-mula. Di bawah penerangan Allah, pikiran kita mulai menyadari dan merasakan kesedihan yang mendalam akan kehidupan kita yang berdosa, kemudian dengan rela dan senang menyetujui teguran dari Roh, selagi hati kita tersayat dan berbalik kepada Allah (lihat Kisah Para Rasul 2:37). Akhirnya, kita dapat dengan bahagia memercayakan diri kepada Allah dan Firman-Nya, dan menerima penghakiman-Nya tanpa syarat, untuk kemudian menerima anugerah pengampunan-Nya menuju regenerasi untuk memasuki kerajaan dari Anak-Nya yang terkasih (Kolose 1:13).

Sebenarnya, baik iman intelektual maupun iman perasaan adalah keadaan pikiran dalam alam intelektual dan emosional. Secara berurutan keduanya disebut "pengetahuan intelektual" dan "pengetahuan indrawi. Keduanya disebut "iman yang sementara," karena keduanya dibatasi oleh hal-hal fisik dan eksistensial atau pengalaman. Karena fakta bahwa iman yang sementara berserah kepada bukti-bukti faktual dan fisik, maka iman sementara itu rentan untuk berubah dan menghilang dalam ruang dan waktu. Tidak diragukan, iman intelektual dan iman indra memiliki kepastian faktual; namun keduanya bersifat sementara sehingga tidak bertahan lama. Inilah tepatnya, alasan mengapa kebanyakan gereja tradisional menemukan dirinya mengalami kesulitan untuk menerima gerakan Karismatik dan pekerjaannya di dalam gereja.

Sejauh berbicara mengenai iman, pengetahuan intelektual dan pengetahuan indera memerlukan keputusan yang berkemauan dan komitmen untuk menyelesaikan bagiannya. Keduanya membutuhkan penanaman Firman untuk membangun kepenuhannya untuk dapat disebut "iman yang sejati."

Dalam teologi, komitmen yang berkemauan disebut "fiducia", atau 'mempercayakan diri' (trust). Dalam konteks ini, keimanan yang memercayakan diri adalah suatu bentuk yang sama sekali berbeda dari iman. Iman yang memercayakan diri tidak hanya peduli tentang kemauan, pilihan, keputusan, komitmen dan tindakan semata-mata. Sebenarnya, iman yang memercayakan diri untuk dinilai oleh obyek iman, yang merupakan sasaran iman, bukan oleh iman itu sendiri. Yang dipercaya, dan bukan yang memercayai, yang menentukan kepastiannya, maknanya dan nilai dari iman yang memercayakan diri itu. Dengan perkataan lain, dalam iman yang memercayakan diri, fokusnya bukan hanya kepada keputusan dan tindakan iman yang memercayakan diri itu saja; melainkan haruslah pada apa yang seseorang percayai dan siapa yang dia percayai. Dalam doktrin kristiani, orang Kristen mempunyai dua objek iman yang memercayakan diri itu, yakni: Kebenaran atau Firman Allah dan Allah sendiri. Yang pertama disebut "iman berpreposisi" atau "iman doktrinal," sedangkan yang kemudian disebut "iman relasional" atau "iman yang hidup," yakni isi kebenaran atau isi kehidupan dari iman. Secara sederhana, itu berarti mengetahui apa yang engkau percayai dan siapa yang engkau percayai; dan mau mati bagi imanmu, seperti halnya mau hidup baginya (atau bagi-Nya) pada saat situasi mengharuskannya.

Walaupun orang-orang setia tidak takut mati; tetapi mereka lebih suka hidup bagi iman mereka. Dilaporkan, ketika Uni Soviet yang dulu terpecah, banyak pejabat-pejabat tingkat tinggi melakukan bunuh diri. Alasannya antara lain, adalah: bahwa mereka memiliki iman dalam komunisme dan percaya bahwa ada sesuatu yang layak untuk ditebus dengan kematian, tetapi sekarang mereka tidak menemukan sesuatu yang layak untuk dijalani dalam kehidupan. Sementara kematian memang memberi kesaksian pada sesuatu yang dipercayai seseorang, tetapi ketika ia menemukan bahwa hidup tidak menyatakan kebenaran, apa gunanya lagi hidup baginya? Sejauh berbicara mengenai Kebenaran, ketika seseorang berkomitmen pada ideologi yang tidak benar, mungkin akan ada banyak alasan yang layak untuk mati baginya, karena kematian mengakhiri segala hal secara tidak dapat dikembalikan lagi, tetapi tidak ada satupun alasan untuk hidup baginya, karena untuk hidup terus adalah suatu penantian yang tidak ada akhirnya dan sia-sia.

Signifikansi iman Kristen yang sangat menonjol adalah, bahwa iman Kristen memiliki Kebenaran sebagai presuposisinya; juga memiliki Kristus yang hidup, Sang Juru Selamat, sebagai dasar hidup dan relasi bagi imannya. Dalam konteks seperti itu, iman percaya membuat seorang percaya tidak hanya rela mati bagi apa yang diyakininya, tetapi juga membuatnya mampu untuk terus menjalani apa yang diyakininya dalam kehidupan. Karena Ia hidup, maka kita hidup, dan kita akan melayani-Nya dengan gembira (Yohanes 14:19, 12:24-26). Karena memiliki iman yang mempercayakan diri seperti ini, kita dapat berseru seperti Paulus, "Karena bagiku hidup adalah Kristus ..." dan "... hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku." (Filipi 1:21; Galatia 2:20).

Intisari Iman - Firman Allah

dalam iman yang memercayakan diri, fokusnya bukan hanya kepada keputusan dan tindakan iman yang memercayakan diri itu saja; melainkan haruslah pada apa yang seseorang percayai dan siapa yang dia percayai.
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Analisis filosofis menghasilkan fakta bahwa segala sesuatu yang memiliki makna kekal atau nilai kekal harus memiliki hubungan langsung dengan Kebenaran. Manusia tidak dapat hidup tanpa iman. Ini adalah akibat fakta bahwa Allah telah membebankan kekekalan pada manusia (Pengkhotbah 3:10). Jiwa yang kekal menjadi pemacu yang tidak ada akhirnya, mendorong manusia untuk mengejar apa yang kekal dan abadi -- Kebenaran. Kita semua tahu bahwa manifestasi-manifestasi kebenaran yang luar biasa di dalam dunia fisik adalah fakta-fakta yang konkrit. Kita juga pasti tahu bahwa manifestasi-manifestasi konkret/pengaktualisasian kebenaran itu (fakta-fakta) belum tentu Kebenaran itu sendiri. Namun demikian, kita tetap tidak henti-hentinya mencari fakta-fakta, seolah-olah kebenaran adalah jumlah keseluruhan dari fakta-fakta. Meskipun ini tidak jelas, kita tetap rela dan bahkan terus-menerus menderita begitu banyak untuk pengejaran yang demikian sia-sia. Mengambil dalil kerangka struktur pengertian dari Kant, pengejaran terus-menerus yang seperti itu dengan jelas mengindikasikan kita yakin bahwa Kebenaran betul-betul ada. Kita bahkan rela mendedikasikan diri kita pada pengejarannya yang tiada akhir dan dengan gembira menyerahkan diri kita di bawahnya.

Dalam pandangan kristiani, kebenaran tidak hanya bersandar pada Allah yang kekal semata; kebenaran juga bersandar pada wahyu yang Allah telah berikan kepada manusia. Inilah alasan bagi kita untuk mengatakan bahwa intisari dari iman bukanlah pada fakta-fakta, atau keyakinan seseorang, ataupun pada kepercayaan diri seseorang atas fakta-fakta semacam itu, tetapi pada Firman Allah yang diwahyukan. Karena Firman berasal dari Allah yang kekal, Firman adalah saksi-Nya. Firman itu telah menjadi daging dalam Kristus dan tinggal di antara kita. Firman itu dinyatakan dan dipelihara oleh gereja yang telah ditebus Kristus. Untuk alasan ini, teologi menjadikan Gereja sebagai pelindung iman, sebagai yang memiliki simpanan iman. Alkitab menyebut gereja sebagai tiang penopang dan dasar dari Kebenaran. (1 Timotius 3:15).

Seseorang yang berada di dalam Gereja tidak akan hanya memiliki iman terhadap Injil (fides evangelica) untuk menjadi anak Allah; ia akan terpelihara dengan baik dalam Firman Allah dan bertambah dalam iman dan berkepenuhannya. Oleh karena itu, iman yang sejati tidak hanya dimulai oleh Firman, iman yang sejati juga harus ditanam di tanah yang subur: Gereja. Iman yang sejati perlu dilestarikan dan dipelihara dalam persekutuan yang penuh kasih dari orang-orang pilihan Allah. Dalam konteks ini, Roh Kudus akan menyucikan kita dan memurnikan iman kita dengan Firman-Nya untuk membuat kita berbuah. Inilah tujuan utama teologi pastoral dan pelayanan.

(Bersambung)

Audio: Anatomi Kepercayaan dan Iman (1)

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Jurnal Teologi Stulos, Volume 4, Nomor 1, Juni 2005
Judul Artikel :Anatomi Kepercayaan dan Iman: Sebuah
Refleksi Teologis dan Pastoral
Penulis : Joseph Tong, Ph.D.
Penerjemah : -
Penerbit : Sekolah Tinggi Teologia Bandung
Halaman : 103-108

Perspektif Kristen Tentang Ekonomi (1)

Editorial: 

Dear e-Reformed netters,

Artikel yang saya kirim ini cukup panjang, karena itu saya akan persingkat prakatanya dengan menyimpulkan bahwa orang Kristen yang dekat dengan Tuhan dapat dilihat dari pertanggungjawaban sikapnya terhadap uang. Nah, selamat membaca, kiranya bisa menjadi bahan perenungan untuk bulan ini. Nantikan sambungan artikel yang ditulis oleh Paul Hidayat ini di edisi e-Reformed mendatang.

In Christ,
Yulia
< yulia@in-christ.net >

Penulis: 
Paul Hidayat
Edisi: 
075/VI/2006
Isi: 

PERSPEKTIF KRISTEN TENTANG EKONOMI (1)

Peristiwa yang belum lama ini menimpa Indonesia dan kawasan Asia Timur dalam bidang ekonomi dan politik, tepat bila dinilai sebagai pengukuhan kebenaran firman yang diucapkan Tuhan Yesus dalam perumpamaan-Nya "dua macam dasar" (Mat. 7:24-27). Perumpamaan Tuhan Yesus yang diambil dari fakta hidup sehari-hari itu jelas mengandung "common sense" yang berlaku bukan saja bagi pembangunan kehidupan spiritual tetapi juga bagi seluruh aspek kehidupan termasuk pembangunan kehidupan sosial ekonomi-politik. Bila kehidupan sosial- ekonomi-politik tidak dibangun atas dasar-dasar yang kokoh yaitu prinsip-prinsip keadilan, kejujuran, kerja keras dan cerdas, pelaksanaan hukum secara benar, pencerdasan bangsa, sikap hemat, dlsb., maka hal-hal yang berhasil dibangun betapa pun megahnya ternyata hanya berdiri di atas dasar-dasar yang rapuh.

Kebangkrutan ekonomi dan kejatuhan kepemimpinan politik belum lama ini adalah akibat dari diabaikannya prasyarat-prasyarat tersebut. Penjarahan dan perusakan yang belum lama ini terjadi di berbagai kota kita, betapapun dengan pedih dan marah kita menyikapinya, hanya mungkin terjadi di dalam kondisi di mana para penguasa dan pengusaha lebih dulu telah menjarahi kalangan bawah dan membangun kegemilangan di atas kehancuran banyak pihak. Prinsip yang sama pun berlaku juga untuk lingkup lebih luas. Lautan api yang melahap ratusan ribu hektar hutan-hutan di Kalimantan, Sumatera; perikliman dunia yang beberapa tahun terakhir ini menjadi kacau; malapetaka El Nino yang mungkin sekali akan berkelanjutan dengan datangnya La Nina; semua kemungkinan besar diakibatkan oleh kebijakan dan perilaku ekonomi-politik yang memperkosa prinsip-prinsip ekologis. Badai memang menyukai negeri tempat orang menabur angin.

Tak terduga bahwa ekonomi Asia akan goncang, ekonomi Indonesia akan runtuh. Sejak tahun 1970-an ketika seluruh dunia mengalami lesu darah ekonomi, pertumbuhan ekonomi Asia Timur justru deras mencengangkan. Hong Kong, Taiwan, Singapura, Korea Selatan, disusul Thailand, Indonesia, Malaysia, menjadi naga-naga ekonomi mengikuti kiprah Jepang, sang naga ekonomi besar. Sampai dengan kwartal ketiga tahun 1997, Indonesia mampu mencapai tingkat pertumbuhan antara 6,4 sampai 7% secara berkesinambungan. Selama kurun waktu tersebut, tiap RAPBN selalu mencerminkan gairah pertumbuhan yang tak habis-habis. Karena keberhasilan itulah, Indonesia beroleh reputasi internasional. Indonesia begitu yakin akan segera memasuki "era lepas landas", berkiprah besar dalam era pasar bebas Asia dan berikutnya dunia. Keyakinan ini dipompakan setelah berhasil menjadi negara berswasembada pangan, meningkatkan pendapatan per kapita sampai 18 kali dalam kurun waktu 30 tahun, dari US $ 60 di tahun 1966 menjadi US $ 1100 di tahun 1996, menyebabkan persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan merosot drastis dari 60% menjadi hanya 11% dari total penduduk, berkembang dari negara pertanian menjadi negara industri bahkan tak kepalang tanggung memasuki sektor industri pesawat dirgantara. Ditambah dengan sediaan cadangan devisa yang dianggap cukup dan tingkat inflasi di bawah dua digit, para pemimpin beranggapan bahwa fundamental ekonomi Indonesia sangat baik.

Tetapi bangunan ekonomi megah tersebut ternyata menjulang di atas dasar-dasar yang rapuh dan menggunakan bahan-bahan konstruksi yang keropos. Komentar Paul Krugman yang semula dianggap menyakitkan dan tidak benar namun kemudian ternyata benar bahwa mukjizat ekonomi Asia hanya mitos belaka, justru seharusnya lebih dipertajam dengan 2pernyataan bahwa yang kita alami sekarang adalah kutuk dari membangun mukjizat palsu dalam bidang ekonomi (the curse of fake economic miracle). Tingkah laku yang menyebabkan keruntuhan ekonomi itu adalah hal-hal yang melanggar prinsip moral dan etika. Kebangunan ekonomi Asia terutama didorong oleh faktor suntikan modal asing, upah kerja yang rendah, penggunaan pinjaman asing berbunga rendah bukan untuk produksi tetapi untuk prestise (mega proyek, property yang sering dianggap seperti milik sendiri), sementara sistem ekonominya tidak sehat dan berbiaya tinggi, pelaku manufakturnya tidak andal, teknologinya kepalang tanggung, mentalitas budayanya bapakisme dan wawasan hidupnya tentang realita dan waktu bersifat mistis melihat hidup sebagai roda pedati menghasilkan sikap hidup nrimo.

Ketika imbas gempa moneter di Thailand, bergerak ke Indonesia, mulailah rentetan keruntuhan ekonomi Indonesia. Nilai rupiah terhadap dolar terbanting berulang kali, menjadi tidak sampai seperempatnya dari nilai rupiah pada kwartal ketiga tahun 1997. Harga-harga membubung tinggi, bank-bank bertumbangan, perusahaan-perusahaan hancur, PHK melonjak, jumlah pengangguran meningkat menjadi sekitar 20 juta orang, harga saham anjlok, hutang luar negeri menjadi membengkak hitungannya dalam rupiah dan tidak terbayar, BBM dinaikkan, harga- harga melangit. Hal-hal tadi dan masih banyak lagi lainnya menjadi terowongan gelap yang di dalamnya keruntuhan ekonomi Indonesia terjun bebas belum lagi menyentuh dasar. Ketika tulisan ini disusun, empat bulan pertama 1998 inflasi sudah mendekati 45% (diramalkan akan sekitar 85% tahun 1998) dan tingkat pertumbuhan melorot terus dari 0%, ke -5% dan belakangan diramalkan lagi akan -20%. Tiba-tiba bagaikan mimpi buruk di siang bolong, seluruh Indonesia jatuh miskin. Tingkat pendapatan per kapita anjlok menjadi setara dengan penduduk Zambia. 2Yang sudah miskin makin jatuh ke bawah, yang sempat mencicipi kenikmatan hidup kelas menengah harus kembali lagi paling tidak ke kelas menengah bawah, yang kaya bahkan konglomerat pun jatuh miskin karena andaikan seluruh aset yang dimiliki dijual pun tetap tidak memadai untuk membayar hutang-hutang luar negeri. Dan karena banyak negara tetangga lain sedang menelan pil pahit yang sama, ratusan ribu TKI mulai dipulangkan ke tanah air, membuat masukan devisa menipis dan masalah bertambah seiring bertambahnya pengangguran. "Berkat" dari ekspor yang diharapkan, akibat melorotnya nilai rupiah, ternyata tidak terjadi, sebab harga-harga bahan baku yang harus diimport tidak mungkin lagi dapat dijangkau. Penyakit ekonomi yang dialami Indonesia kini sudah menjadi gejala komplikasi penyakit yang parah: depresiasi rupiah, kenaikan harga-harga, inflasi, kebangkrutan perusahaan dan perbankan, PHK, tingkat pengangguran bertambah, kerawanan politik, ketidakpercayaan investor asing, semua ini membuat perekonomian Indonesia makin terus terpuruk.

Mengapa dengan fundamental ekonomi yang kuat dan sehat itu, ekonomi Indonesia goncang dan hancur juga? Mengapa naga ini kini mendadak berubah menjadi cacing belaka? Lalu ramai-ramai orang membuat berbagai macam analisis. Karena tidak jujur, tidak mawas diri, kambing-kambing hitam pun dicari. "Soros sampai Sosro" (menggunakan permainan kata Wimar Witoelar, Kompas, 23 Nov. 1997, hlm. 2) yaitu para spekulan manca negara dan dalam negeri dituduh sebagai penyebab semua masalah ekonomi ini. Baru sesudah masalah ekonomi ini berubah menjadi masalah politik, krisis moneter berubah menjadi krisis kepercayaan, ramai- ramai; orang meneriakkan pengakuan bahwa penyebab semuanya adalah dilanggarnya prinsip-prinsip moral. Fondasi bangunan ekonomi Indonsia itu ternyata bernama korupsi dan kolusi, lalu bahan-bahan konstruksi yang dipakai untuk mengisi sistem perekonomian Indonesia adalah nepotisme dan koncoisme. Beramai-ramai pula orang menyerukan perlunya reformasi di segala bidang. Semoga saja ramai-ramainya teriakan dan tudingan ini bukan sekadar latah, gejala lain dari sakit yang entah sudah stadium ke berapa diidap bangsa kita.

Kegagalan Gereja

Seharusnya gereja di Indonesia mengaku jujur bahwa problem ekonomi di Indonesia ini tidak lepas juga dari andil kegagalan Gereja, teolog dan umat Kristen di Indonesia dalam menaati kebenaran firman Tuhan. Gereja gagal memberikan pengajaran yang jelas dan benar tentang implikasi- implikasi kebenaran Alkitab ke dalam dunia ekonomi, tentang prinsip- prinsip etika ekonomi dan moral bisnis, baik kepada warganya maupun menyuarakannya sebagai wawasan dan sikap Kristen tentang ekonomi kepada dunia luas. Sebaliknya Gereja sendiri malah cenderung membuat kesalahan fatal memahami berita keselamatan dari Allah dalam simbol- simbol moneter (Albert Widjaja, "Perspektif Ekonomi-Teologis: Peran serta Kekristenan dalam Perkembangan Ekonomi di Era Globalisasi Bagian I," hlm. 8). Kebanyakan gereja yang "maju" adalah gereja-gereja yang bersemangat mengabarkan injil kemakmuran dan kesehatan, gereja-gereja yang pandai memanfaatkan teknik, metode dan alat-alat canggih yang sama seperti dikembangkan dalam teknik-teknik marketing. Kebanyakan teori tentang kemajuan pertumbuhan gereja menggunakan ukuran-ukuran kuantitatif dan bukan perilaku pertobatan sampai ke segi-segi kehidupan ekonomi. Sebaliknya dari menyuarakan pesan kenabian dan mengemban gaya hidup prihatin yang konsisten dengan firman Tuhan, gereja sekadar membeo mengikuti berbagai suara dan aspirasi yang dunia ini canangkan.

Para hamba Tuhan atau teolog pun terbagi ke dalam dua kutub. Yang rohani sempit tidak paham tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam dunia ekonomi-politik. Lalu mereka menyampaikan pesan-pesan surgawi yang tidak kontekstual dengan kenyataan dan pergumulan hidup sehari- hari. Akibatnya, di gereja orang bertingkah rohani, di dunia orang kembali ke sifat asalnya yang sama dengan orang dunia yang tidak kenal Tuhan: serakah, takut berbuat benar, licik, menghalalkan segala cara, dll. Yang duniawi luas tidak lagi memercayai kebenaran-kebenaran rohani seperti yang dinyatakan firman Allah, meski berupaya tetap punya peran dalam dunia ini. Namun karena prinsip, landasan berpikir, dan sumber wibawa yang diandalkan tidak beda dengan yang dipahami orang dunia, usaha mereka menjadi sia-sia. Situasi itu terjadi sebab kebanyakan sekolah-sekolah teologi tidak mampu mengembangkan pola pendidikan yang solid berdasarkan komitmen pada kebenaran Alkitab dan yang jernih menarik implikasi-implikasi teologis kebenaran tersebut ke segala aspek kehidupan.

Tidak heran bila para warga gereja yang dibesarkan dalam suasana kehidupan gereja yang notabene sama memberhalakan mamon dan sama sekularnya dengan dunia ini pun meneruskan itu dalam perilaku bisnis dan kerja mereka. Tidak banyak Kristen yang memiliki prinsip berani membayar harga untuk tidak membayar suap demi melicinkan tender, misalnya. Tidak banyak Kristen yang tidak main tempel penguasa untuk beroleh kemudahan sehingga benar-benar mencapai kemajuan bisnis karena cara-cara yang fair dan benar. Bila tiap kali berurusan dengan aparat pemerintah ketika mengurus KTP, IMB, paspor, pajak, tilang, dlsb. kita selalu siap dengan salam tempel; bila budaya dusta (baca: tidak transparan), suap, sogok, korupsi, kolusi, koncoisme sama biasanya kita lakukan dalam berbagai urusan; bila para pendeta sendiri mengartikan perannya bukan sebagai panggilan tetapi sebagai karir atau profesi; bila gereja sendiri pecah karena hal-hal seperti perebutan aset, penggelapan, ketidakjujuran; tidak heran bila dunia ekonomi kita kini terpuruk dan dunia politik kita terancam hal yang sama.

Kiranya kealpaan gereja selama ini tidak kita teruskan dalam keterlenaan seterusnya. Momentum kini, ketika orang menyadari perlunya reformasi dan pentingnya mentalitas, sikap kerja, etika ekonomi, moral bisnis, justru harus diisi dengan pertobatan gereja dan pribadi Kristen dari dosa-dosa ekonomi yang selama ini telah kita buat, baik terhadap Allah maupun terhadap sesama kita. Kita yang mengaku telah mengalami kuasa transformasi Allah atas hidup kita seharusnya konsisten mengajarkan prinsip-prinsip kehidupan ekonomi dan moral bisnis yang Alkitabiah agar boleh terjadi penghayatan dan pewartaan yang memberi arah yang benar dalam momentum reformasi ini. Inilah kesempatan untuk gereja menyatakan kebenaran ekonomi Allah (oikonomia tou Theou = tugas penyelenggaraan kasih karunia Allah, Ef. 3:2) yang meliputi seluruh kehidupan secara lengkap dan utuh. Tulisan ini ingin menelusuri ajaran Alkitab tentang isu-isu ekonomi, mempelajari implikasi ekonomis dari beberapa prinsip teologis Kristen, membandingkannya dengan berbagai pandangan tentang isu-isu ekonomi yang dianut orang, meneropong berbagai permasalahan yang relevan dalam bidang ekonomi dan mencoba menarik petunjuk-petunjuk prinsipil praktis bagi kehidupan ekonomi kita masa kini.

Alkitab tentang Isu-isu Ekonomi

Di awal upaya menemukan petunjuk dan prinsip ekonomi dalam Alkitab, kita harus berhadapan dulu dengan berbagai pertanyaan kritis. Ada tiga keberatan yang sering diajukan orang. Pertama, mungkinkah menarik prinsip-prinsip universal dan permanen dari Alkitab yang lahir di tengah kultur yang zaman dan lokasinya berbeda jauh dari dunia dan negara kita kini? Kedua, tepatkah menarik kesimpulan-kesimpulan tentang prinsip-prinsip ekonomi dari suatu kitab yang pada hakikatnya adalah kitab peribadahan? Ketiga, bagaimana mungkin memberlakukan bagian-bagian Alkitab yang berbicara tentang berbagai isu ekonomi, bila kebanyakan isi Alkitab itu terdapat dalam Perjanjian Lama yang tidak memisahkan kehidupan bernegara dari kehidupan beragama (baca: teokrasi), padahal kita tidak hidup dalam negara yang teokratis. Seiring dengan itu, ada keberatan terhadap diberlakukannya prinsip- prinsip etis ekonomi dalam Perjanjian Baru kepada konteks masyarakat luas karena anggapan bahwa ajaran-ajaran itu hanya bisa diberlakukan di antara umat tebusan Allah dan tidak di antara orang- orang yang belum ditebus.

Terhadap keberatan pertama dapat kita ingat bahwa memang ada perbedaan dan kesenjangan budaya/zaman antara dunia Alkitab dan dunia modern masa kini. Namun justru pengambilan prinsip tersebut bisa terjadi karena mempertimbangkan dan bukan mengabaikan adanya kesenjangan itu. Dengan demikian keberatan tentang kesenjangan budaya ini sebenarnya dapat dijawab melalui usaha-usaha penafsiran Alkitab yang teliti mempertimbangkan perbedaan konteks zaman dan budaya Alkitab dengan konteks zaman dan budaya kita kini.

Terhadap keberatan kedua, kita akui bahwa Alkitab memang bukan buku teks ekonomi, juga bukan buku teks ilmu-ilmu lain, bahkan bukan pula buku teks dogma dan teologi. Dengan mengatakan demikian artinya kita menyadari bahwa Alkitab tidak berisikan uraian deskriptif, analitis, dan sistematis tentang hal-hal tadi seperti yang kita temukan dalam buku-buku sumber pelajaran. Namun mengatakan demikian tidak harus berarti bahwa kita tidak dapat melakukan abstraksi untuk menemukan pola-pola wawasan dan petunjuk-petunjuk prinsipil tentang berbagai segi kehidupan di dunia ini dari dalam isi Alkitab. Bila dari Alkitab kita dapat menarik prinsip-prinsip dogmatis, seyogianya tentang hal- hal yang mencakup segi ekonomi kehidupan manusia pun dapat kita simpulkan dari firman Allah ini sebab Alkitab adalah firman Allah dalam kata-kata manusia, yaitu kata-kata yang lahir untuk dan dari dalam pergumulan-pergumulan nyata kehidupan dengan berbagai aspeknya. Seperti halnya ketika Allah bersabda, Allah tidak saja membentangkan diri-Nya kepada manusia tetapi juga membentangkan bagaimana adanya dan bagaimana harusnya manusia, demikianlah isi Alkitab adalah sekaligus prinsip-prinsip spiritual teologis yang mewujud nyata di dalam segi- segi kehidupan sosial, ekonomi, budaya, politis, pendidikan, dlsb. Oleh karena kita tidak hendak mengambil model-model sistem ekonomi secara rinci yang berasal dari situasi masyarakat nomad dan agraris, melainkan prinsip-prinsip dasar etika ekonomi dan moral bisnis, tentunya keberatan tadi tidak tepat.

Keberatan terakhir dapat kita sanggah dengan mengingat bahwa sebagian besar prinsip-prinsip yang Tuhan nyatakan juga diberlakukan (baca: dikaruniakan) Tuhan atas bangsa-bangsa lain dan orang bukan Kristen pada umumnya. Hal mana dapat kita lihat dari teguran-teguran para nabi seperti Yesaya kepada bangsa-bangsa sekitar Israel. Dengan mengingat bahwa di dalam penyataan dan anugerah umum Allah bekerja juga di dalam seluruh umat manusia, memberikan nurani, kerinduan moral, kepekaan etis dan agamawi, serta kekuatan kehendak untuk memperjuangkan hal-hal yang indah, tertib, dan benar, maka menyuarakan dan memberlakukan prinsip-prinsip wahyu ke dalam masyarakat luas adalah tindakan nyata dari keyakinan bahwa Allah bekerja serasi dalam penyataan umum maupun penyataan khusus. Dengan demikian keberatan ketiga ini pun pada intinya telah teratasi.

Singkat kata, di balik keberatan-keberatan itu terdapat awal dan akhir berwawasan yang harus kita tentang sebagai orang beriman yaitu menyingkirkan Allah dari realitas ekonomi. Justru kebobrokan ekonomi- politik yang sedang kita derita kini adalah akibat dari orang-orang yang berpola pikir dan bertingkah laku memberontak menolak Allah dari percaturan bisnis dan kehidupan ekonomi. Apabila Kristen dan gereja ingin berkontribusi nyata menyebabkan reformasi ekonomi berarah benar, maka haruslah kita mulai dari pemikiran alkitabiah.

Apa kata Alkitab tentang isu-isu ekonomi? Kita akan terkejut atas fakta bahwa Alkitab begitu banyak berbicara tentang isu-isu ekonomi. Dari kisah yang sedang kita siap untuk masuki, penciptaan, kejatuhan, perjanjian dengan Nuh, perjanjian dengan Abraham, keluaran dari Mesir, pemberian Sepuluh Hukum, kitab-kitab hikmat, kitab-kitab para rabi, ajaran Tuhan Yesus, gaya hidup jemaat mula-mula, ajaran para rasul, kita temui banyak sekali bahan untuk menyimpulkan prinsip-prinsip ekonomi.

Kisah penciptaan (Kej. 1-2) adalah fondasi di atas mana seluruh realitas ciptaan berdiri dan di dalam terangnya realitas harus kita pahami. Apa yang dipaparkan dalam kisah penciptaan, apabila dibandingkan dengan pandangan dan sikap bangsa-bangsa purba di Timur Tengah, adalah sesuatu yang radikal. Di dalamnya kita menjumpai suatu visi ekonomi sebagai implikasi dari kebenaran-kebenaran teologis yang Allah tanamkan dalam umat-Nya. Di tengah pengilahian alam dan benda yang tidak memungkinkan perlakuan objektif eksploratif terhadap alam serta tidak menumbuhkan visi ekonomi, umat Tuhan justru diajar untuk melihat adanya perbedaan ontologis antara Allah dan segenap ciptaan, juga adanya kesamaan dan ketidaksamaan antara manusia dan alam serta makhluk-makhluk lainnya. Terhadap Allah yang menciptakan manusia dan yang menamai manusia, manusia menyapa Allah dengan "Engkau". Terhadap alam, manusia ditempatkan Allah sebagai wakil-Nya yang bertanggung jawab untuk mengelola dan memelihara alam demi kemuliaan Allah dan demi kebaikan manusia dan segenap ciptaan. Di dalam pemahaman demikian, logis bertumbuh sikap ilmiah sebab manusia melihat alam sebagai sesuatu yang boleh diusahakan, ditaklukkan, dan dikelola melalui keahlian, teknologi, institusi untuk membangun peradaban.

Umat Tuhan diajar untuk menerima alam sebagai hal yang baik adanya karena demikianlah keadaannya sebagai ciptaan Tuhan, dan karena itu kita boleh menerima dan memanfaatkan semuanya itu dalam semangat syukur kepada Allah. Di dalam tindakan Adam memberi nama kepada binatang-binatang, terlihat sekaligus posisi Adam yang lebih tinggi daripada binatang dan ciptaan lainnya, tetapi juga sikap Adam yang menghargai, memelihara dan bukan merusak ciptaan-ciptaan Tuhan itu.

Kisah penciptaan memberi kita prinsip ekonomi bahwa hanya Allah yang patut disembah dan dilayani oleh segenap hidup manusia, bahwa manusia diberi makna hidup yang sangat mulia oleh Allah, bahwa panggilan hidup manusia sebagai gambar Allah yang mulia itu adalah menjadi hamba Allah, bahwa alam dan segenap potensinya boleh diterima dan dikelola dengan penuh syukur oleh manusia, dan bahwa kekayaan alam atau pun kekayaan hasil dari tindak kreatif manusia mengelola alam itu bukan milik mutlak manusia tetapi Allah, sehingga tidak boleh diberi tempat mutlak di dalam keberadaan manusia. Tidak ada tempat bagi kehidupan ekonomi yang egosentris, yang serakah, atau yang kebalikannya yaitu merendahkan benda dalam hidup bertarak, atau sikap tidak ilmiah yang melumpuhkan kehidupan ekonomi karena pantang menjamah alam dan materi yang dianggap suci ilahi.

Sayang sekali visi ekonomi yang sedemikian gemilang itu dirusakkan manusia dalam Kejatuhan kita di dalam Adam dan Hawa ke dalam dosa (Kej. 3). Manusia menerima aspirasi sesat, yaitu ingin menyamai Allah. Kisah kejatuhan ini bukan sekadar peristiwa sejarah tetapi pembedahan radikal dan peringatan untuk seluruh umat manusia. Dosa berarti menarik diri dari Allah, menjadikan diri "allah" bagi diri sendiri, membuat norma kita sendiri tentang apa yang baik dan apa yang jahat. Kejatuhan pada hakikatnya adalah daya yang berbalik membelokkan visi ekonomi penciptaan. Ekonomi Allah yang kini diganti oleh ekonomi manusia, berbalik menjadi mukjizat palsu penuh kutuk. Kerja bukan lagi tanggung jawab yang menyukakan tetapi membuat orang berjerih payah, bumi yang tadinya menjadi sumber penopang hidup berubah mengeluarkan onak duri, dan manusia sendiri yang tadinya makhluk ciptaan mulia sejak itu tinggal debu yang kembali kepada debu saja. Ekonomi manusia itu hanyalah kerajaan yang meluncur menuju kehancuran dan maut. Namun, puji Tuhan bahwa anugerah Tuhan menahan dampak kutuk dosa itu. Meski mengeluarkan onak duri, bumi masih juga mampu menumbuhkan padi yang memberi manusia beras untuk dimakan. Janji benih perempuan yang akan meremukkan kepala si penipu menunjukkan bahwa bumi kini bukan lagi firdaus, namun bukan juga neraka, tetapi adalah arena peperangan rohani yang akan ditebus dan dimenangkan oleh Sang Pengemban Janji itu.

Berturut-turut kita melihat akibat-akibat buruk dari ekonomi manusia (Kej. 4 dan 6). Diawali oleh konflik halus antara Adam dan Hawa, diikuti oleh pembantaian Habel oleh Kain, pembangunan kota penuh aspirasi jumawa manusia (Kain menamai kota itu dengan nama putranya) yang berpuncak pada pemberontakan masal manusia melawan Allah via menara Babel. Ketika Allah menindak manusia dan membuat perjanjian dengan orang pilihan-Nya yaitu Nuh, tampak beberapa hal. Pertama, Allah memperbarui perjanjian-Nya akan mempertahankan bumi dengan berbagai potensi baik yang telah diciptakan-Nya diawal zaman. Kedua, Allah menegaskan ulang wibawa manusia atas alam. Ketiga, meski manusia berkuasa atas binatang namun kini ditandai oleh takut manusia akan binatang buas dan penumpahan darah binatang untuk menopang hidup manusia. Dari ketiga hal ini jelaslah bahwa providensia Allah adalah upaya Allah untuk merombak ekonomi manusia agar berbalik arah kembali ke Ekonomi Allah. Namun providensia adalah sesuatu yang transisional dan temporal yang menantikan kedatangan transformasi total di dalam tindakan Allah dalam kepenuhan waktu.

Kitab Keluaran bukan saja sangat hakiki bagi eksistensi umat Allah Perjanjian Lama tetapi juga sangat fundamental bagi pemahaman kita agar lebih matang tentang visi ekonomi. Kitab Keluaran mengungkapkan kesetiaan Allah untuk mengembalikan manusia kepada Ekonomi Allah. Dosa bukan saja masalah individual tetapi juga masalah institusional. Allah memihak umat-Nya, melepaskan mereka dari perbudakan kejam rejim Firaun. Bila sebelumnya Allah meneguhkan kebaikan bumi ini bagi manusia, dalam Kitab Keluaran Allah memulihkan institusi demi kebaikan umat-Nya dengan menciptakan suatu umat perjanjian yang dianugerahi hukum-hukum kemerdekaan. Bagaimana kemerdekaan hidup individu dan sosial itu harus dihargai dan diisi kini dinyatakan Allah di dalam Sepuluh Hukum (Kel. 20), di dalam hukum-hukum ibadah di Kitab Imamat, di dalam aturan-aturan tentang bagaimana umat Allah harus memperlakukan sesamanya, pekerja-pekerjanya, institusi-institusi hukum dan peradilannya, tanah, binatang-binatang dan harta miliknya, hari kerja dan hari istirahatnya, hutang piutang, dlsb. Kita dapat membaca perhatian Allah yang sedemikian teliti yang mengatur berbagai aspek kehidupan ekonomi manusia agar umat Allah boleh mencerminkan Ekonomi Allah itu dalam Imamat 25, Ulangan 15, Ulangan 25, dll. Pelajaran yang dapat kita jadikan prinsip di sini adalah bahwa kemilikan, kerja, hidup sangat berharga karena berasal dari Allah. Karena itu manusia yang merdeka adalah manusia yang menghormati Allah, menghormati kemilikan dirinya dan sesamanya, mengisi hidup berekonomi dalam suasana syukur dan penuh sikap murah hati. Visi ekonomi Keluaran bukan visi sosialisme atau kapitalisme, tetapi visi ekonomi yang kudus sebagai akibat menghargai kepemilikan mutlak Allah, mensyukuri setiap pemberian Allah dalam sikap penatalayanan, dan ekonomi yang bergerak maju di dalam keadilan, kebenaran, kesucian, kebersyukuran, kepedulian, kemurahan hati, kejuangan ibadah, dan kesemarakan anugerah.

Pada intinya para nabi dan para penulis hikmat juga mengumandangkan visi Ekonomi Ilahi. Sebelum pembuangan, umat Allah kembali berbalik ke visi ekonomi yang berporoskan pada pemberontakan melawan Allah. Kisah Pembuangan adalah kebalikan total dari Kisah Keluaran. Oleh karena berpaling dari Allah kepada berhala-berhala yang intinya adalah memperilah alam dan materi, pada giliran berikutnya umat Tuhan mengalami kemerosotan dalam berbagai aspek hidup. Oleh karena budak- budak yang telah dimerdekakan Allah menjadi umat itu memperbudak sesamanya sendiri (lihat Amos), Allah membuang mereka kembali ke dalam perbudakan. Realisasi dosa manusia itu tampak dalam tingkah laku dan tindakan ekonomi yang menyimpang. Pengalaman ekonomi memang bisa menjadi salah satu ukuran apakah umat di dalam berkat Ekonomi Allah atau kutuk yang dijatuhkan Allah ke atas ekonomi manusia. Hukuman Allah dicanangkan bukan atas kesukaan menikmati kekayaan, tetapi atas kehidupan yang bergelimang dosa dan nafsu yang tidak mencerminkan dengan benar kegemilangan hidup dalam prinsip dominasi yang benar seperti yang Allah inginkan. Apabila kini segelintir orang mengartikan kelimpahan materi dan kesehatan sebagai fakta-fakta berkat Allah, sikap itu sebenarnya ada benarnya. Logikanya adalah, ketaatan kepada kehendak Allah berarti menempatkan diri serasi dengan Allah sumber segala berkat, kesehatan, kemakmuran, kelimpahan hidup. Inisiatif Allah memberikan perjanjian dan menganugerahi berkat-berkat rohani dan jasmani tidak berarti bahwa manusia tinggal pasif saja. Sebaliknya perjanjian dan anugerah justru membangkitkan umat yang tahu bersyukur, taat, berkarya nyata. Dengan demikian, kondisi spiritual terukur objektif di dalam yang material, asalkan tidak kita lepaskan fakta bahwa visi nabi-nabi ini beranjak dari visi ekonomi Kejadian dan Keluaran.

Bagaimana dengan visi ekonomi Tuhan Yesus? Di satu pihak kita mengakui fakta bahwa Yesus lahir dalam kandang miskin di suatu keluarga sederhana. Kita juga mengakui bahwa Yesus banyak berbicara kritis terhadap para penguasa kaya yang hidupnya dan hidup ekonominya dalam dosa. Jadi dapat dimengerti bila sebagian orang beranggapan bahwa Yesus menganjurkan pemahaman ekonomi yang mendekati paham sosialisme. Kesimpulan ini gegabah karena tidak teliti mempertimbangkan banyak faktor dari hidup dan ajaran Yesus. Ia memang dibesarkan dalam sebuah keluarga sederhana. Dibandingkan dengan inkarnasi-Nya dari keberadaan Ilahi-Nya menjadi manusia, tepatlah Paulus menyatakan bahwa Ia telah menjadi miskin (2Kor. 8:9). Yang Paulus maksudkan itu ialah tindakan Yesus menjembatani sedemikian luasnya bentangan antara Allah dan manusia melalui inkarnasi dan kematian-Nya. Namun itu tidak berarti bahwa Ia dibesarkan dalam sebuah keluarga miskin. Yusuf adalah seorang tukang kayu, berarti tergolong kelas pekerja yang relatif berekonomi cukup baik zaman itu. Yesus pun tidak menolak disokong oleh beberapa perempuan berharta, bergaul dengan orang-orang berharta, tidak segan diejek sebagai pelahap dan peminum (Luk. 7:34,35), memiliki pengikut dari kalangan menengah dan atas seperti Petrus, Andreas, atau Filipus yang memiliki usaha penangkapan ikan, Zakheus, Maria dan Marta, dlsb. Tentu saja Yesus melawan perolehan kekayaan dari usaha memutarbalikkan tujuan ibadah (Yoh. 2:13-25).

Ada kesamaan antara sikap dan ajaran Yesus dengan prinsip-prinsip ekonomi yang telah kita pelajari sebelum ini. Bila Yesus mengajarkan para pengikut-Nya untuk tidak kehilangan kesukaan hidup karena harta (Luk. 6:24-25;18:24-25) dan mendorong hidup yang murah hati (Luk. 18:22), itu disebabkan Yesus menerima ajaran Taurat tentang kepemilikan mutlak Allah atas harta dan tanggung jawab penatalayanan manusia atas hartanya. Namun yang radikal ialah Yesus menyatakan bahwa di dalam diri-Nya, yaitu hidup, ajaran dan karya-karya-Nya seluruh maksud Allah dan segala kuasa di langit dan di bumi bertumpu dan beroperasi, mewujudkan Ekonomi Allah dalam penciptaan suatu umat baru. Umat Perjanjian Baru itu adalah bagian dari Kerajaan Allah, orang- orang yang menikmati berlakunya pemerintahan Allah yang memerdekakan, yang membuat mereka menikmati hidup seutuhnya sepenuhnya, mensyukuri setiap pemberian Allah dalam sikap murah hati, menatalayan, dan karena itu tidak terikat melainkan merdeka. Di dalam Yesus, Ekonomi Allah memungkinkan ekonomi manusia tidak menjadi perhambaan materi, pemberhalaan hartabenda, perbudakan keserakahan, melainkan merdeka penuh syukur, kesemarakan yang saling menumbuhkan dan yang menyukakan hati Allah. Itulah kehidupan ekonomi yang berkualitas penuh harkat sejati karena diporosi oleh Ekonomi Allah.

Suasana koinonia itulah yang kita saksikan dalam kehidupan gereja purba yang juga menjadi inti pengajaran surat-surat rasuli. Kehidupan gereja purba bukanlah komunisme ala Kristen melainkan pewujudnyataan visi Ekonomi Allah di dalam kehidupan umat. Tindakan koinonia di Kisah Para Rasul 7 dan pengiriman bantuan oleh jemaat-jemaat Makedonia ke jemaat Yerusalem lebih dari sekadar simpati membagi-bagi sembako kepada pihak miskin. Tindakan itu adalah tindakan merdeka merayakan tindakan pembebasan, penebusan, pembenaran, pemulihan, pendamaian, penyelamatan, pengayaan, pengutuhan yang Allah selaku Sang Liberator telah aktakan di dalam diri Yesus Kristus, dan yang telah mengikutsertakan umat kepunyaan-Nya sebagai koliberator (baca rekan sekerja-Nya dalam karya penyelamatan-Nya) bagi sesamanya. Lihat gema prinsip-prinsip ini dalam nasihat Paulus agar jemaat bekerja (1Tes. 4:10-11; 2Tes. 3:10), tentang bahaya mencintai uang (2Tim. 3:2), agar orang kaya menjadi kaya dalam kemurahan hati (1Tim. 6:17-19), dan peringatan Yakobus terhadap orang-orang yang mengejar kekayaan (Yak. 2:1-7; 4:13-5:6). Dan ke arah Yerusalem baru yang tanpa cacat cela, oleh oikonomia tou Theou (Ekonomi Allah atau penyelenggaraan kasih karunia Allah) itulah kita semua sedang berarak mengikuti Yesus.

Dari menelusuri drama-drama besar Alkitabiah ini dapat kita tarik kesimpulan awal berikut tentang prinsip-prinsip ekonomi.

  1. Penyataan Allah secara khusus dan penyataan Allah secara umum perlu dilihat sebagai dua kekuatan harmonis berdampak ekonomi, keduanya terang terpercaya bagi pola pikir dan pengambilan keputusan ekonomi manusia.
  2. Allah adalah Pencipta-Pemelihara-Penebus, sumber dan pemilik mutlak dari segala karunia yang manusia nikmati dalam hidup ini. Hanya Allah boleh menerima kepercayaan, ketaatan, dan ketergantungan mutlak manusia.
  3. Manusia diciptakan Allah sebagai wakil Allah, dilimpahi berbagai kemungkinan dan potensi untuk menikmati kebaikan-kebaikan Allah, menggunakan wibawa-Nya dengan penuh tanggung jawab, mengembangkan segenap aspek hidup, ekonomi-sosial-politis dalam semangat syukur dan menatalayan. Harta benda adalah berkat Allah.
  4. Harta benda baik adanya, patut disyukuri, namun bukan yang terpenting dalam hidup, tidak tepat dijadikan andalan dan orientasi hidup, bukan ukuran mutlak tentang kerohanian. Kita hanya pemilik kedua di bawah kepemilikan mutlak Allah yang menciptakan dan mengadakan semua itu demi kebaikan kita
  5. .

  6. Dosa adalah pemutarbalikkan prinsip-prinsip ekonomi tadi, mendatangkan berbagai kutuk yang merusak dan menghancurkan. Wawasan ekonomi yang materialistis, egosentris, kompetitif tak terkendali, sekuler, tidak mensyukuri dan memuliakan Allah, menyingkirkan etika dan moral dari ekonomi dan bisnis, adalah akibat dari kerusakan manusia dalam dosa. Reformasi terhadap kondisi jahat itu dapat terjadi bila manusia pada umumnya kembali kepada prinsip-prinsip yang Tuhan telah nyatakan dalam hati nurani dan prinsip keluhuran hidup dengan pertolongan Allah dan bila manusia Kristen konsisten memberlakukan prinsip etika Kristennya.

Sepanjang sejarah manusia, dari Perjanjian ke Perjanjian sampai puncaknya dalam Sang Penggenap Perjanjian, Allah menyelenggarakan Ekonomi-Nya yang beranugerah, memerdekakan, memanusiawikan. Visi Ekonomi Allah dalam Perjanjian Lama digenapi dalam Ekonomi hidup- ajaran-karya penebusan Yesus Kristus. Gereja Tuhan sebagai pengejawantahan Ekonomi Baru dari Allah itu patut menghayati penuh, membagi dan memberitakan kebenaran Injil berdampak holistik itu bagi sesamanya pada segala tempat dan segala zaman.

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Hidup dalam Ritme Allah
Judul Artikel : -
Penulis : Paul Hidayat
Penerjemah : -
Penerbit : Persekutuan Pembaca Alkitab, Jakarta 2005
Halaman : 107 - 123

Siapakah Kristus Yang Naik Ke Surga?

Editorial: 

Dear e-Reformed netters,

Meskipun Hari Kenaikan Tuhan Yesus sudah berlalu seminggu y.l. namun gaung pesan yang muncul dari peristiwa kenaikan tersebut tidak akan pernah berlalu dari muka bumi ini sebelum kedatangan Tuhan Yesus kembali yang kedua kalinya. Oleh karena itu mari kita camkan baik-baik pesan penting yang diberikan Kristus sebelum Ia naik ke surga.

Kiranya artikel dari khotbah Pdt. Stephen Tong ini menolong kita melihat dengan jelas makna kenaikan Tuhan Yesus Kristus ke surga, karena itulah yang menjadi misi kita orang-orang Kristen selama masih diijinkan Tuhan hidup di dunia ini. Selamat menyimak.

In Christ,
Yulia
< yulia@in-christ.net >

Penulis: 
Pdt. Dr. Stephen Tong
Edisi: 
074/V/2006
Isi: 

Artikel ini disarikan dari khotbah Pdt. Dr. Stephen Tong di GRII Jakarta.

Dalam Mazmur 24:7-10, kita membaca mengenai adanya pintu kekekalan yang dibuka menyambut seorang pemenang untuk selama-lamanya. Di Vatikan, di dalam Gereja Basilica of Saint Peter, ada pintu yang hanya boleh dibuka satu kali dalam 50 tahun. Pada waktu mereka membuka pintu itu, kadang-kadang mereka membaca ayat ini. Mereka menganggap itu merupakan suatu upacara yang agung sekali. Sebenarnya pintu itu tidak mempunyai makna yang terlalu berarti bila dibandingkan dengan ayat- ayat yang tercantum di sini.

"Semua pintu gerbang, terbukalah!" Untuk siapa pintu yang kekal dibuka? "Untuk raja yang pernah berperang di dalam medan peperangan." Siapakah raja yang pernah menang perang di medan peperangan? "Yaitu yang diutus oleh Yehovah, yang menjadi Tuhan di atas segala sesuatu."

"Angkatlah kepalamu, hai pintu-pintu gerbang, dan terangkatlah kamu, hai pintu-pintu yang berabad-abad, supaya masuk Raja Kemuliaan!" Siapakah dia itu Raja Kemuliaan? "Tuhan semesta alam, Dialah raja semesta alam, Dia Raja Kemuliaan."

Tapi Dia pernah datang, pernah dicobai, pernah diberi kesempatan untuk berjuang dan bertarung dengan kuasa-kuasa kejahatan. Iblis berusaha meremukkan dan menjatuhkan Dia. Tetapi Dia naik ke surga. Ini membuktikan bahwa Dialah Raja yang mulia, Raja yang menang, Raja yang pernah bertempur di dalam medan pertempuran rohani menggantikan engkau dan saya.

"Hai pintu gerbang, gerbang yang mulia, pintu yang kekal, bukalah! Angkatlah kepalamu, bukalah pintumu menyambut Yesus Kristus sebagai yang menang!"

Di dalam Pengakuan Iman Rasuli tertulis, "Dia naik ke surga, duduk di sebelah kanan Allah Bapa". Bagian ini jangan dimengerti sebagai suatu lokasi atau semacam pengertian secara tata ruang. Jikalau Yesus betul- betul berada di sebelah kanan, berarti ada lokasinya. Bukankah ini juga berarti bahwa Bapa berada di sebelah kiri Yesus? Jikalau Bapa berada di kiri, lalu Yesus di kanan, yang mana yang lebih besar? Yang kanan atau yang kiri? Lalu, di manakah Roh Kudus? Bila demikian, hal ini akan mengaburkan arti rohaninya. Padahal pengertian tempat seperti itu mempunyai arti rohani yang jauh lebih dalam.

Di dalam pemikiran Kitab Suci, tempat kanan mempunyai tiga arti.

Arti pertama, Yesus Kristus adalah orang yang sudah diterima dengan sukacita oleh Tuhan Allah. Ini adalah delighted decision. Suatu tempat yang diterima dengan baik, suatu tempat yang diberikan karena yang memberi begitu senang kepada Dia. Kristus adalah Anak kesayangan Bapa. "Dengarlah Dia! Dengarlah Anak yang Aku suka ini."

Arti kedua, tempat sebelah kanan berarti tempat pemenang. Setelah orang yang bertempur dalam medan peperangan pulang, ia diberikan tempat di sebelah kanan oleh raja. Jenderal yang menang, jenderal yang begitu penting, duduk di sebelah kanan. Yesus Kristus menjadi pemenang di dalam medan peperangan. Itu sebabnya Ia duduk di sebelah kanan Bapa.

Ketiga, tempat kanan berarti tempat penguasa. Tuhan memberikan kekuatan, kuasa, dan mandat yang melampaui apapun di bumi kepada-Nya. Itulah kuasa yang diberikan kepada Yesus Kristus.

Puji Tuhan! "Angkatlah kepalamu, hai pintu-pintu gerbang! Dan terangkatlah kamu, hai pintu-pintu yang berabad-abad, supaya masuk Raja Kemuliaan. Siapakah Dia, Raja Kemuliaan itu?" Itulah Tuhan semesta alam, Dialah Raja Kemuliaan

Bagian kedua diambil dari Matius 28:18, dst. Yesus Kristus bukan saja seorang pemenang, tapi Dia naik ke surga. Sewaktu naik ke surga, Dia memberikan suatu amanat yang paling agung kepada semua orang yang mengikuti Dia.

Pada zaman reformasi, orang-orang reformasi, khususnya yang berada di Jenewa, menganggap amanat agung hanya diberikan kepada rasul-rasul pada waktu itu. Ini merupakan suatu kelemahan besar yang mengakibatkan kira-kira selama dua abad orang-orang reformasi, orang-orang Lutheran, hanya mengerjakan penggembalaan di Eropa. Mereka tidak mengutus orang keluar untuk mengabarkan Injil. Karena kesalahtanggapan itu, akhirnya gereja menjadi lemah dalam penginjilan.

Lambat laun Tuhan membangkitkan orang-orang untuk membawa kita kembali kepada visi yang benar, bahwa penginjilan itu bukan tugas gereja mula- mula saja. Penginjilan bukan sudah tidak ada, tetapi ada pada setiap zaman. Para rasul dan para nabi memang sudah tidak ada. Namun, fungsi- fungsi kerasulan dan kenabian masih tetap ada. Jadi, yang diutus mewakili Tuhan untuk berbicara adalah fungsi yang masih berada dalam segala zaman. Maka kita juga harus menegaskan hal ini. Pengertian tentang kesadaran semacam ini akan mengubah dan menggugat kembali tugas kita terhadap dunia ini.

Yesus berkata, "Pergilah ke seluruh dunia dan jadikan segala bangsa murid-Ku." Ini merupakan suatu penanaman visi, semacam pikiran yang begitu besar kepada gereja. Bila suatu zaman tidak memiliki visi, maka zaman itu akan penuh dengan kekacauan. Gereja yang sudah kehilangan ketajaman dalam melihat visi akan menjadi tidak berdaya, tidak dinamis lagi. Namun, bila visi itu kembali dipertajam dan menggugah hati manusia, mau tidak mau gereja akan menjadi militan dan dinamis di dalam pelayanan.

Begitu banyak orang Kristen yang malas, yang imannya kendur, yang hidup rohaninya begitu sembarangan dan etikanya begitu tidak bertanggung jawab karena sudah kehilangan ketajaman dan keinsyafan tentang visi dan mandat dari Tuhan! Tetapi puji Tuhan! Yesus bukan memberikan suatu khotbah dan amanat yang agung itu kepada mereka di tempat sembarangan. Mereka naik ke gunung dan di atas gunung itu Yesus mengutus mereka.

Pada waktu naik ke atas bukit, berada di tempat yang tinggi, kita akan melihat suatu dataran yang lebih besar. Kita akan mempunyai pemandangan yang jauh lebih luas dan di situ Tuhan membentuk suatu pemikiran atau semacam wawasan yang luas bagi orang-orang yang mau mengabarkan Injil. Barangsiapa yang tidak mempunyai hati yang luas, yang tidak mempunyai pandangan rohani dengan wawasan yang luas, tidak mungkin mempunyai penginjilan yang kekuatannya lebih besar daripada pelayanan yang lain. Di sini kita melihat, gereja harus kembali mengikuti teladan dan menaati perintah Yesus Kristus.

Kenaikan Kristus ke surga bukan hanya merupakan suatu catatan sejarah, tetapi juga suatu amanat. Dia pergi dan tugas-Nya dikerjakan oleh engkau dan saya. Barangsiapa merayakan hari kenaikan Kristus, dia juga harus mengingat pesan Yesus sebelum Ia pergi.

Pesannya adalah "Pergilah ke seluruh dunia, jadikan segala bangsa murid-Ku. Apa yang Aku katakan kepadamu ajarkanlah mereka, supaya mereka menjalankannya dan engkau yang mengabarkan Injil akan Kusertai, sampai kesudahan, sampai selama-lamanya."

Selanjutnya, kita akan melihat apa yang dikaitkan dengan kenaikan Yesus ke surga. Dalam Yohanes 16:7-8, tertera suatu perjanjian yang lebih penting lagi. Jikalau Yesus Kristus, yang sudah memberikan perintah untuk pergi mengabarkan Injil ke seluruh dunia hanya membiarkan pengikut-pengikut-Nya dengan keadaan yang begitu sulit, dengan penganiayaan-penganiayaan yang kejam, yang ganas dan tidak berperikemanusiaan, bukankah Ia adalah Tuhan yang meletakkan kewajiban dan pergi melarikan diri? Tetapi bukanlah demikian. Alkitab mengatakan, "Aku pergi justru berfaedah besar bagimu. Aku pergi untuk kamu karena jikalau Aku tidak pergi Roh Kudus tidak turun." Di sini Yesus Kristus mengaitkan kenaikkan-Nya ke surga dengan rencana yang berkesinambungan di dalam konsistensi pikiran Tuhan Allah yang kekal.

Allah bukanlah Allah yang tidak berprogram. Allah adalah Allah yang mempunyai program yang tertinggi. Allah adalah Allah yang mempunyai cara berorganisasi dan mempunyai cara pemikiran dan jadwal yang paling tepat. Itu sebabnya Tuhan berkata, "Jikalau Aku tidak pergi, tidak ada faedahnya bagimu. Tetapi jikalau Aku pergi, kepergian-Ku akan mendatangkan keuntungan bagimu, sebab setelah Aku pergi, Roh Kudus akan dikirim turun dan menyertai serta menjadi penghibur bagimu."

Siapakah Kristus yang naik ke surga? Kristus yang naik ke surga adalah Kristus, Raja pemenang. Siapakah Kristus yang naik ke surga? Kristus yang naik ke surga adalah Kristus, yang mengutus kita mengabarkan Injil ke seluruh dunia. Siapakah Kristus yang naik ke surga? Kristus yang naik ke surga adalah Kristus, yang bersama dengan Bapa mengutus Roh Kudus menjadi pendamping bagi gereja.

Jikalau kita melihat abad pertama, kita mengetahui bahwa orang Kristen bukan saja minoritas. Orang Kristen berada di kalangan bawah. Kebanyakan yang menjadi orang Kristen adalah budak, nelayan, orang miskin, orang di pasar, dan sedikit sekali pejabat-pejabat tinggi, konglomerat, atau orang-orang penting di dalam masyarakat yang beriman kepada Yesus Kristus. Dari antara 12 murid Yesus, kita melihat begitu banyak nelayan yang dipanggil. Pengaruh mereka mulai dari grass-root, mulai dari lapisan yang paling bawah sekali.

Yesus menjadi teman dari pemungut cukai, dari orang-orang berdosa. Ia menerima orang-orang yang dibuang oleh masyarakat.

Melalui kira-kira 300 tahun, kita melihat pengaruh kekristenan sudah mengakibatkan Raja Konstantin akhirnya harus berlutut di hadapan Yesus dan mengakui Dia sebagai Tuhan. Di sini kita melihat di dalam 300 tahun permulaan itu, gereja mengalami penganiayaan, pengucilan, pembunuhan, dan penyiksaan. Begitu banyak martir yang mati mengalirkan darah, mati syahid bagi kepercayaan dan iman kekristenan yang mereka yakini.

Siapakah yang memberikan kekuatan? Bagaimana mereka bisa bertahan bila tidak ada penolong yang setiap saat berada dengan mereka, yang mempunyai kuasa ilahi, yang berada di tengah-tengah mereka? Siapakah Penolong itu? Dialah Roh Kudus.

Maka Yesus berkata, "Aku harus pergi. Aku pergi, maka Dia akan datang. Aku pergi dan bersama dengan Bapa mengirim Roh Kudus agar turun ke atas kamu. Roh Kudus turun ke atas kamu, maka kamu akan berkuasa." Berkuasa atas apa? Berkuasa atas penderitaan, penganiayaan, dan segala kesulitan sehingga engkau dapat tetap memegang imanmu.

Sebagaimana dalam Perjanjian Lama, umumnya masyarakat saat ini memahami kuasa Allah melalui pertolongan dan kelancaran hidup serta pemberian berkat secara materi atau jasmani. Tetapi kuasa yang kita lihat dalam Perjanjian Baru setelah Kristus naik justru sama sekali terbalik. Kalau Tuhan berkuasa, kenapa tidak menyembuhkan saya? Kalau Tuhan berkuasa kenapa tidak menyertai? Kalau Tuhan berkuasa, kenapa situasi politik dan situasi ekonomi begitu jelek? Kalau Tuhan berkuasa, mengapa Nero saja bisa menganiaya rasul? Bisa memaku mati Petrus secara terbalik? Di mana kuasa Tuhan?

Kekristenan justru memahami kuasa dari kerajaan Tuhan secara antitesis. Di dalam penganiayaan, di dalam kesulitan, di dalam desakan, di dalam kesempitan, di dalam segala sesuatu: kesulitan, sengsara, penderitaan politik, ekonomi dan apa pun juga, iman orang Kristen tidak berkompromi. Orang Kristen tidak menyerah kepada musuh. Itulah kuasa Roh Kudus.

Saya sangat takut kalau gereja sudah menjadi sangat kaya. Saya sangat takut kalau hamba Tuhan sudah beroleh segala kelonggaran sehingga tidak lagi bersandar kepada Tuhan. Padahal melalui kemiskinan dan kesulitanlah iman kita memiliki kesempatan untuk dilatih agar memiliki suatu kekayaan rohani. Sebaliknya, saat kita sudah mempunyai segala sesuatu, kita menjadi sangat miskin di dalam iman.

Tuhan berkata, "Aku pergi dan Aku mengirim Roh Kudus. Roh Kudus mendampingi engkau, saat engkau diutus ke dalam dunia sebagai utusan Tuhan."

Saya minta maaf jikalau saya harus memakai suatu kalimat, bahwa itulah pengutusan yang paling kejam dalam sejarah. Jangan heran kalau ada orang Kristen yang dibunuh. Jangan heran kalau gereja dianiaya. Jangan heran kalau kadang-kadang kita dibiarkan miskin dan sulit luar biasa. Jangan mengomel apalagi heran karena itu cara pengutusan dari Tuhan. "Aku mengutus engkau seperti domba di tengah-tengah kawanan serigala!" Bukankah itu hal yang paling kejam? Coba Saudara bayangkan, seekor domba yang dikelilingi oleh kawanan serigala yang begitu kejam. Serigala yang mempunyai gigi begitu tajam, sifat yang begitu keras, kelompok yang begitu banyak kawannya. Itulah namanya utusan Tuhan. "Aku mengutus engkau seperti domba di tengah-tengah serigala."

Itu sebabnya saya minta maaf kalau saya katakan pengutusan Tuhan adalah pengutusan yang kejam. Tetapi tidak menjadi soal, jikalau domba itu mengerti bahwa Roh Kudus sedang diutus untuk menyertainya. "Aku pergi supaya Roh Kudus turun!" Inilah sudut ketiga yang kita lihat dari kenaikkan Yesus ke surga.

Siapakah Dia yang naik ke surga? Dia Raja yang menang di dalam pertempuran rohani. Siapakah Dia yang naik ke surga? Dia adalah Tuhan yang memberikan mandat kepada kita, amanat yang paling agung: mengabarkan Injil ke seluruh dunia. Siapakah Yesus yang naik ke surga? Dia adalah yang mengutus Roh Kudus yang menjadi parakletos, menjadi penghibur, pendamping untuk kita.

Keempat, kita membaca dalam Ibrani 4:14-16. Bagian ini menyatakan bahwa kita memiliki seorang Imam Besar yang sudah melintasi segala langit. Yesus naik ke surga bukan berarti menghilang dari bumi ini setelah kurang lebih 33 tahun berada di dunia. Atau seperti yang dikatakan oleh doketisme, keberadaan-Nya hanya suatu dokaio saja. Dia hanya dibayang-bayangkan pernah datang ke dunia, lalu hilang. Setelah pergi, Ia naik ke surga dan melintasi segala langit. Ini merupakan suatu ajaran yang begitu besar.

Pada hari kenaikan ini, saya merenungkan, terus merenungkan kenaikan Yesus Kristus. Lalu saya berkata, "Puji Tuhan! Agama lain tak pernah mempunyai seorang pendiri, tak pernah mempunyai seorang penghulu agama yang datang dari sana ke sini, dan juga tidak pernah ada yang dari sini ke sana dengan melintasi segala langit, kecuali Yesus Kristus." Mereka hanya membayangkan adanya satu allah. Allah, yang belum pernah datang ke dunia. Allah, yang katanya mencipta, menyelamatkan dan mengampuni, satu-satunya yang rahmani, rahimi. Tapi allah yang mereka bayangkan berbeda dengan Yesus Kristus yang adalah Allah yang pernah meninjau sendiri, datang sendiri, menyelamatkan kita, hidup di tengah- tengah kita, yang dengan mulut-Nya memakai bahasa manusia untuk memberikan pengajaran yang terindah di dalam sejarah kepada kita, lalu pergi setelah menyelesaikan tugas-Nya.

Sewaktu mengenang Kristus, kita mengenang Allah yang pernah datang. Wujud-Nya begitu konkrit. Hubungan-Nya dengan manusia juga begitu intim. Dalam bagian Firman ini dikatakan suatu kalimat yang begitu menyentuh. Kita bukan mempunyai seorang Imam yang tidak mengerti segala kelemahan kita. Saya percaya di dalam hidup setiap orang, sedalam-dalamnya ada keluhan kesusahan hidup dalam dunia. Baik orang kaya maupun orang miskin, orang sukses maupun orang yang penuh dengan kegagalan, baik engkau yang kelihatan mempunyai materi yang begitu besar, begitu banyak, atau mereka yang selalu mengejar hanya untuk menyambung hidup saja.

Setiap orang mempunyai keluhan akan hal yang begitu sulit. Namun, siapakah yang sungguh-sungguh dapat mengerti setiap orang? Suami ingin dimengerti oleh isteri. Tapi justru isteri ingin dimengerti oleh suami! Kekuatan kita untuk mengerti dan kemampuan kita untuk mau mengerti dibandingkan dengan kebutuhan kita untuk dimengerti, selalu tidak seimbang.

Adakah yang mengerti? Ada! Yesus Kristus mengerti segalanya. Dia pernah datang. Dia pernah dilahirkan di tempat binatang. Dia pernah diejek oleh bangsanya sendiri. Dia pernah seorang diri mengalami puasa 40 hari dan dicobai oleh iblis. Dia pernah menanggung berat. Dia pernah menderita, berkorban emosi, berkorban perasaan. Yesus Kristus mengerti segala kelemahan kita. Dia mengerti karena Dia sama seperti kita. Dia merasakan segala pengalaman kita. Sebaliknya sama seperti kita, Ia telah dicobai tetapi tidak berbuat dosa.

Yesus yang telah naik ke surga menjadi Imam Besar. Imam Besar inilah yang membawa kesulitan kita kepada Allah yang sulit kita capai. Ia juga membawa anugerah dari Allah kepada kita, anugerah yang tidak layak kita terima. Inilah pekerjaan Imam. Imam yang berada di antara yang hidup dan yang mati. Imam yang berada di antara yang tidak kelihatan dan yang kelihatan. Imam yang berada di antara Allah dan manusia. Kristuslah pengantara yang menjalankan tugas imam sekaligus sebagai korban. Inilah perbedaan imam dalam sejarah orang Yahudi dengan Imam yang paling besar, Yesus Kristus, bagi gereja-Nya. Imam- imam yang lain tidak menjadi korban. Mereka mempersembahkan korban, namun mereka sendiri bukan korban. Hanya Yesus yang bertindak sebagai Imam Besar sekaligus korban.

Dengan bahasanya, manusia tidak akan sanggup untuk mengungkapkan keagungan dan kebesaran cinta kasih Tuhan yang adalah Imam Besar sekaligus korban. Ia mempersembahkan diri dengan roh-Nya yang kekal dan darah-Nya yang suci yang tak bercacat cela untuk membersihkan dan menjadikan kita milik-Nya yang dilayakkan untuk berdamai dengan Tuhan Allah. Inilah Imam kita. Dan inilah bagian keempat yang kita lihat.

Selanjutnya, dalam Ibrani 7:24-25 kita melihat bahwa Yesus Kristus mempunyai pekerjaan lain setelah naik ke surga. Dalam ayat 26, dikatakan bahwa Yesus Kristus mempunyai tingkatan tertinggi sebagai pengantara untuk berdoa syafaat bagi setiap kita. Dalam pasal 7 ayat 27-28, serta pasal 9 ayat 27-28 terlihat bahwa Dialah yang menanggung dosa kita dan yang menjadi pengantara yang berdoa syafaat bagi setiap orang yang percaya kepada-Nya.

Siapakah Kristus? Dia pemenang, bukan? Siapakah Kristus? Dia pengutus, bukan? Siapakah Kristus? Dia yang memberikan Roh Kudus kepada kita. Siapakah Kristus? Dia yang berdoa bagi kita dengan pengertian karena Ia sendiri pernah datang ke dalam dunia ini. Tidak hanya itu, Yesus adalah Tuhan yang kembali ke surga untuk menyiapkan tempat bagi kita.

Dalam Injil Yohanes 14:1-4 Yesus berkata, "Aku pergi untuk menyediakan tempat bagimu. Jikalau Aku tidak pergi tidak ada yang menyediakan tempat bagimu dan jikalau Aku sudah menyediakan tempat bagimu Aku pasti akan datang kembali lagi. Di mana Aku ada di sana pun engkau akan berada."

Adakah penghiburan yang lebih besar dari ini? Tidak ada. Adakah seorang Juruselamat seperti Kristus? Tidak ada. Dialah satu-satunya dan Dialah yang paling sempurna di dalam menyediakan segala sesuatu bagi umat-Nya. "Di jalan itu Aku pergi. Jalan satu-satunya dan engkau tahu juga."

Pada waktu Filipus bertanya kepada Dia, "Hai Guru, tunjukkan jalan itu kepada kami," maka Yesus Kristus dengan menggelengkan kepala bertanya, "Sudah sekian lama engkau mengikut Aku, engkau masih belum tahu di mana jalan itu? Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: `Akulah jalan, Akulah kebenaran, dan Akulah hidup.`"

Saya melihat ketiga butir ini sebagai suatu gambaran tentang seluruh dunia, yaitu di dalam filsafat, kebudayaan agama, dan kebijaksanaan, yang terkristalisasi di dalam dunia mental manusia.

"Akulah jalan, Akulah kebenaran." Mengapa Yesus mengatakan: "Akulah jalan"? Karena semua agama mencari jalan. Itulah yang dibutuhkan oleh orang di Timur. "Akulah kebenaran." Mengapa Yesus menyatakan kebenaran diidentikkan dengan diri-Nya? Karena manusia di Barat yang mencari filsafat ingin mengetahui kebenaran dan Yesus mengisi kebutuhan itu. Pada waktu Yesus mengatakan: "Akulah jalan", Ia sedang menunjukkan kepada orang Timur yang mau mendapatkan jalan di dalam agama. Ia berkata, "The way is not there. The way you are seeking is not in religion, but in Me, in My life."

Yesus telah mengajak dunia Timur dan Barat untuk menerima kesimpulan- Nya, "Akulah hidup yang tidak ada pada agama-agama, tidak ada pada filsafat-filsafat dan sistem epistemologi dunia." Semua pendiri agama akhirnya mati di tengah usahanya mencari jalan. Para filsuf juga akhirnya mati di tengah usahanya mencari kebenaran. Dan Kristus akhirnya berkata, "Di manakah jalan itu? Akulah jalan itu. Di manakah kebenaran itu? Akulah kebenaran itu. Dan Akulah hidup."

Inilah satu-satunya solusi. The only solution, the only answer, for seeking the truth in way thru philosophy, religion, culture, and human wisdom concluded only in Jesus Christ, the truth revelation of God in human form. Puji Tuhan! Dialah pernyataan Allah yang berbentuk manusia, yang telah menyimpulkan segala sesuatu yang sedang digumuli dan dicari agama maupun filsafat.

Paul Tillich, seorang teolog besar mengatakan, munculnya Yesus di dalam sejarah harus menghentikan usaha semua agama dalam mencari apa pun yang paling berharga yang mereka inginkan. The revelation of Christ, the appearance of Christ in history is to cease off the effort of seeking truth and way in religions. Puji Tuhan!

"Akulah jalan. Dan jalan itu bukan dari sini ke sana melainkan dari sana ke sini. Akulah yang menghampiri manusia."

Manusia tidak akan pernah dapat menghampiri takhta Allah dengan usaha dan kekuatannya sendiri. Allah yang suci dan kekal tidak akan dapat dijangkau oleh manusia yang berdosa dan terbatas. Bagaimana mungkin sesuatu yang terbatas, yang dicipta, yang bisa rusak dapat menghampiri Tuhan yang tak terbatas dan kekal? Hal ini hanya mungkin bila Allah, dari takhta yang tidak terbatas, yang kekal, yang tidak bisa rusak, rela turun, lalu pergi kembali untuk menjadi jaminan kita.

Kalau agama-agama lain hanyalah one way traffic in human effort, jalan yang hanya satu arah dari usaha manusia, kekristenan percaya kepada suatu sistem keselamatan berupa two way traffic which initiative from God and assured in the term of God. Kita percaya pada sistem dua jalur, dari sana telah ke sini, yang membawa kita dari sini ke sana, yang dijamin di dalam segala kekuatan yang kekal di dalam takhta Tuhan. Puji Tuhan!

"Aku pergi untuk menyediakan tempat bagimu. Aku pergi untuk mempersiapkan segala sesuatu bagimu dan Aku akan datang kembali untuk menyambut engkau sebagai seorang mempelai lelaki yang akan menyambut mempelai perempuan." Gereja harus siap sedia. Gereja harus senantiasa mempersiapkan diri dengan tidak menodai, tidak mencemari tubuh Kristus. Gereja harus bersiap untuk menjadi mempelai perempuan Kristus yang akan bersatu di dalam cinta kasih yang paling inti yang digambarkan dalam hubungan suami isteri.

Ia yang akan datang kembali telah menyediakan tempat bagi kita. Ia berkata, "Di mana Aku berada, di situ engkau berada."

Bagian terakhir ialah Kisah Para Rasul 1:9-11. "Hai orang Galilea, mengapa engkau melihat seperti ini? Ingatlah, Yesus yang kau lihat diangkat ke surga, akan datang dengan cara yang sama, kembali ke dalam dunia ini."

Seluruh Kitab Suci mempunyai suatu konsistensi, mempunyai suatu hubungan organis yang begitu erat, sehingga tidak bisa dipisah- pisahkan sembarangan, kecuali oleh mereka yang sengaja atau mereka yang tidak mengerti. Di dalamnya kita melihat rencana Allah yang sudah terbentuk begitu sempurna. Yesus Kristus naik ke surga bukan karena Ia melarikan diri. Ia tidak menyembunyikan diri. Ia pergi dengan tugas. Ia pergi dengan rencana Allah yang sudah ditetapkan dan itu bukan titik yang terakhir. Itu merupakan suatu janji bahwa suatu hari kelak Ia akan datang kembali dengan cara yang sama, kembali ke dalam dunia.

Saya membayangkan orang-orang Galilea seperti Petrus dan Yohanes yang sudah terbiasa didampingi oleh Yesus, yang bila ada kesulitan langsung beralih kepada Yesus dan bertanya, "Bagaimanakah Tuhan? Bagaimanakah cara-Mu menangani kesulitan ini, Guru?" Mereka sudah terbiasa disertai, ditolong, dan berada bersama dengan Yesus Kristus. Sekarang, untuk pertama kali dalam hidupnya, mereka sadar bahwa Yesus tidak selamanya berada di samping mereka. Yesus harus pergi dan mereka harus menghadapi dunia secara faktual, menghadapi dunia ini dengan segala sesuatu yang tidak terlalu bersahabat dengan orang Kristen. "Akan bagaimana perlakuan Herodes terhadap kita? Akan bagaimana Pilatus terhadap kita? Dan bagaimana prinsip Kaisar dan politikus-politikus Romawi? Dan jika berganti gubernur yang lain, akan bagaimana? Kami tidak tahu."

Mereka hanya tahu Yesus pergi. "Lalu, hanya mimpikah 3 1/2 tahun yang lampau itu? Janji kosongkah itu? Hanya menjadi catatan sejarahkah itu semua? Ataukah kedatangan-Nya itu suatu kesempatan yang belum pernah ada dalam sejarah sehingga kami dapat menikmatinya? Kalau Tuhan sudah pernah turun, kenapa pergi lagi? Kalau Dia sudah menyertai, kenapa naik lagi? Setelah naik lalu bagaimana?"

Kenaikan Yesus Kristus memaksa mereka untuk memikirkan pertangungjawaban iman dan respon mereka terhadap kalimat nubuat yang pernah diucapkan Yesus. Mereka harus memberikan semacam tantangan kepada setiap orang percaya. Mereka harus mempertanggungjawabkan tentang bagaimana meresponi, mengimani, dan mengaplikasikan setiap kalimat nubuat yang pernah diucapkan Yesus saat Ia ada di dunia.

Kadang-kadang saat papa dan mama ada kita tidak menghargai mereka. Saat Tuhan memanggil mereka pulang, barulah kita sadar dan kalang kabut. Sekarang kita harus menghadapi kenyataan bagaimana hidup di dalam dunia ini. Baru kita ditantang untuk berpikir kembali, "Apa yang pernah papa katakan dulu kalau menghadapi orang yang begini?" Sekarang kita mulai mengingat-ingat. Sama persis dengan keadaan sewaktu Yesus naik ke surga.

Waktu naik ke surga Yesus berkata, "Aku akan mengirim Roh Kudus untuk kembali mengingatkan perkataan-perkataan yang sudah pernah Aku katakan kepadamu."

Itu sebabnya kita ditantang untuk berespon, bertanggung jawab, dan berdikari. Gereja ditantang untuk menjadi wakil Tuhan di dunia dengan memuliakan Tuhan, merefleksikan segala moral kesucian, keadilan, cinta kasih Allah dari zaman ke zaman. Inilah tugas gereja.

"Hai orang Galilea, untuk apa melihat terus ke awan? Mengapa melihat terus ke langit? Yesus yang pernah beserta denganmu, yang pernah kau saksikan pelayanan-Nya, sekarang sudah naik ke surga dan akan datang kembali."

Setelah membaca enam bagian Kitab Suci yang begitu penting ini, dan jikalau kita sungguh-sungguh menunggu dan mengharapkan Yesus Kristus datang kembali, maka ada dua hal penting yang harus kita kerjakan.

Pertama, kita harus mengabarkan Injil kepada sesama. Tidak ada jalan lain. Ini merupakan keikhlasan orang yang menantikan kedatangan Yesus Kristus. Jikalau Injil ini dikabarkan ke seluruh dunia, maka hari itu akan tiba. Berarti sebelum Injil dikabarkan kepada segala bangsa, segala suku, segala sudut, Kristus tidak akan kembali.

Saya betul-betul salut, sedalam-dalamnya dari dalam hati saya, kepada orang-orang di Wiclyffe Bible Translation Association. Mereka berada di lembaga Alkitab yang khusus menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa- bahasa yang terpencil di daerah-daerah yang dilupakan oleh manusia. Mereka pergi ke tempat yang begitu terpelosok, begitu dalam, begitu sulit dicapai. Saya salut melihat mereka.

Saya berdoa dan mengajak kita semua supaya menjadikan gereja kita sebagai gereja yang mau mendukung penginjilan, gereja yang menghasilkan penginjil, gereja yang mengerti makna Injil, dan gereja yang mau melibatkan diri ke dalam penginjilan misi seluruh dunia. Bila kita menunggu kedatangan-Nya dengan hati yang sungguh-sungguh ikhlas haruslah kita tunjukkan dengan menunjang dan melibatkan diri ke dalam penginjilan.

"Hai orang-orang Galilea, mengapa melihat seperti ini? Mengapa terus menengadah ke langit? Memang Yesus sudah naik, tapi tugasmu bukan memandang Dia, tetapi pergi ke dunia mengabarkan Injil!"

Kedua, orang yang sungguh-sungguh menanti kedatangan Yesus Kristus adalah orang yang menjaga hidup di dalam kesucian. Hidup di dalam kesucian berarti kita terus memelihara diri kita supaya pada waktu Ia datang kembali kita sudah siap, boleh menerima dan diterima oleh-Nya. Barangsiapa yang menaruh pengharapan seperti ini kepada-Nya, biarlah ia membersihkan dirinya! Ini adalah perintah dari Yohanes di dalam 1Yohanes 3. Barangsiapa yang menaruh pengharapan kepada kedatangan Kristus biarlah ia menjaga dirinya, memelihara kesucian dan menunggu di dalam doa akan kedatangan Yesus Kristus.

Terakhir kita akan melihat ayat terakhir dari seluruh Kitab Suci, yaitu dalam Wahyu 22:20-21. Ayat terakhir dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, diakhiri dengan kutukan. Ayat terakhir dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, diakhiri dengan berkat.

Siapakah Ia, yang dalam ayat 20 berfirman dan memberi kesaksian tentang semuanya? Jadi, Yesus Kristus berkata, "Ya, Aku datang segera. Aku akan datang kembali secepat mungkin." "Amin. Datanglah Tuhan Yesus." Atau terjemahan lain: "Oh Yesus, aku mengharapkan Engkau datang!" Yesus berkata, "Ya, Aku datang segera." Gereja menjawab, "Amin. Kami menunggu kedatangan-Mu."

Dengan mengingat kenaikan-Nya ke surga, kita kembali menyadari bahwa Ialah pemenang, pemberi Roh Kudus, sekaligus pendoa syafaat yang mengerti kesengsaraan kita. Ia pula yang menyediakan tempat di surga yang akan datang kembali bagi kita. Kita pun bersedia menanti kedatangan Tuhan kedua kalinya. Kiranya Tuhan memberkati kita masing- masing di dalam hidup kita sebagai orang Kristen di dunia.(EL)

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Momentum, 40, Triwulan II/1999
Judul Artikel : -
Penulis : Pdt. Dr. Stephen Tong
Penerjemah : -
Penerbit : Lembaga Reformed Injili Indonesia
Halaman : 3 - 13

Komentar


Syndicate content