Tentang KamiArtikel TerbaruUpdate Terakhir |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SOTeRI Perspektif Kristen Tentang Ekonomi (1)
Editorial:
Dear e-Reformed netters, Artikel yang saya kirim ini cukup panjang, karena itu saya akan persingkat prakatanya dengan menyimpulkan bahwa orang Kristen yang dekat dengan Tuhan dapat dilihat dari pertanggungjawaban sikapnya terhadap uang. Nah, selamat membaca, kiranya bisa menjadi bahan perenungan untuk bulan ini. Nantikan sambungan artikel yang ditulis oleh Paul Hidayat ini di edisi e-Reformed mendatang. In Christ,
Penulis:
Paul Hidayat
Edisi:
075/VI/2006
Isi:
PERSPEKTIF KRISTEN TENTANG EKONOMI (1) Peristiwa yang belum lama ini menimpa Indonesia dan kawasan Asia Timur dalam bidang ekonomi dan politik, tepat bila dinilai sebagai pengukuhan kebenaran firman yang diucapkan Tuhan Yesus dalam perumpamaan-Nya "dua macam dasar" (Mat. 7:24-27). Perumpamaan Tuhan Yesus yang diambil dari fakta hidup sehari-hari itu jelas mengandung "common sense" yang berlaku bukan saja bagi pembangunan kehidupan spiritual tetapi juga bagi seluruh aspek kehidupan termasuk pembangunan kehidupan sosial ekonomi-politik. Bila kehidupan sosial- ekonomi-politik tidak dibangun atas dasar-dasar yang kokoh yaitu prinsip-prinsip keadilan, kejujuran, kerja keras dan cerdas, pelaksanaan hukum secara benar, pencerdasan bangsa, sikap hemat, dlsb., maka hal-hal yang berhasil dibangun betapa pun megahnya ternyata hanya berdiri di atas dasar-dasar yang rapuh. Kebangkrutan ekonomi dan kejatuhan kepemimpinan politik belum lama ini adalah akibat dari diabaikannya prasyarat-prasyarat tersebut. Penjarahan dan perusakan yang belum lama ini terjadi di berbagai kota kita, betapapun dengan pedih dan marah kita menyikapinya, hanya mungkin terjadi di dalam kondisi di mana para penguasa dan pengusaha lebih dulu telah menjarahi kalangan bawah dan membangun kegemilangan di atas kehancuran banyak pihak. Prinsip yang sama pun berlaku juga untuk lingkup lebih luas. Lautan api yang melahap ratusan ribu hektar hutan-hutan di Kalimantan, Sumatera; perikliman dunia yang beberapa tahun terakhir ini menjadi kacau; malapetaka El Nino yang mungkin sekali akan berkelanjutan dengan datangnya La Nina; semua kemungkinan besar diakibatkan oleh kebijakan dan perilaku ekonomi-politik yang memperkosa prinsip-prinsip ekologis. Badai memang menyukai negeri tempat orang menabur angin. Tak terduga bahwa ekonomi Asia akan goncang, ekonomi Indonesia akan runtuh. Sejak tahun 1970-an ketika seluruh dunia mengalami lesu darah ekonomi, pertumbuhan ekonomi Asia Timur justru deras mencengangkan. Hong Kong, Taiwan, Singapura, Korea Selatan, disusul Thailand, Indonesia, Malaysia, menjadi naga-naga ekonomi mengikuti kiprah Jepang, sang naga ekonomi besar. Sampai dengan kwartal ketiga tahun 1997, Indonesia mampu mencapai tingkat pertumbuhan antara 6,4 sampai 7% secara berkesinambungan. Selama kurun waktu tersebut, tiap RAPBN selalu mencerminkan gairah pertumbuhan yang tak habis-habis. Karena keberhasilan itulah, Indonesia beroleh reputasi internasional. Indonesia begitu yakin akan segera memasuki "era lepas landas", berkiprah besar dalam era pasar bebas Asia dan berikutnya dunia. Keyakinan ini dipompakan setelah berhasil menjadi negara berswasembada pangan, meningkatkan pendapatan per kapita sampai 18 kali dalam kurun waktu 30 tahun, dari US $ 60 di tahun 1966 menjadi US $ 1100 di tahun 1996, menyebabkan persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan merosot drastis dari 60% menjadi hanya 11% dari total penduduk, berkembang dari negara pertanian menjadi negara industri bahkan tak kepalang tanggung memasuki sektor industri pesawat dirgantara. Ditambah dengan sediaan cadangan devisa yang dianggap cukup dan tingkat inflasi di bawah dua digit, para pemimpin beranggapan bahwa fundamental ekonomi Indonesia sangat baik. Tetapi bangunan ekonomi megah tersebut ternyata menjulang di atas dasar-dasar yang rapuh dan menggunakan bahan-bahan konstruksi yang keropos. Komentar Paul Krugman yang semula dianggap menyakitkan dan tidak benar namun kemudian ternyata benar bahwa mukjizat ekonomi Asia hanya mitos belaka, justru seharusnya lebih dipertajam dengan 2pernyataan bahwa yang kita alami sekarang adalah kutuk dari membangun mukjizat palsu dalam bidang ekonomi (the curse of fake economic miracle). Tingkah laku yang menyebabkan keruntuhan ekonomi itu adalah hal-hal yang melanggar prinsip moral dan etika. Kebangunan ekonomi Asia terutama didorong oleh faktor suntikan modal asing, upah kerja yang rendah, penggunaan pinjaman asing berbunga rendah bukan untuk produksi tetapi untuk prestise (mega proyek, property yang sering dianggap seperti milik sendiri), sementara sistem ekonominya tidak sehat dan berbiaya tinggi, pelaku manufakturnya tidak andal, teknologinya kepalang tanggung, mentalitas budayanya bapakisme dan wawasan hidupnya tentang realita dan waktu bersifat mistis melihat hidup sebagai roda pedati menghasilkan sikap hidup nrimo. Ketika imbas gempa moneter di Thailand, bergerak ke Indonesia, mulailah rentetan keruntuhan ekonomi Indonesia. Nilai rupiah terhadap dolar terbanting berulang kali, menjadi tidak sampai seperempatnya dari nilai rupiah pada kwartal ketiga tahun 1997. Harga-harga membubung tinggi, bank-bank bertumbangan, perusahaan-perusahaan hancur, PHK melonjak, jumlah pengangguran meningkat menjadi sekitar 20 juta orang, harga saham anjlok, hutang luar negeri menjadi membengkak hitungannya dalam rupiah dan tidak terbayar, BBM dinaikkan, harga- harga melangit. Hal-hal tadi dan masih banyak lagi lainnya menjadi terowongan gelap yang di dalamnya keruntuhan ekonomi Indonesia terjun bebas belum lagi menyentuh dasar. Ketika tulisan ini disusun, empat bulan pertama 1998 inflasi sudah mendekati 45% (diramalkan akan sekitar 85% tahun 1998) dan tingkat pertumbuhan melorot terus dari 0%, ke -5% dan belakangan diramalkan lagi akan -20%. Tiba-tiba bagaikan mimpi buruk di siang bolong, seluruh Indonesia jatuh miskin. Tingkat pendapatan per kapita anjlok menjadi setara dengan penduduk Zambia. 2Yang sudah miskin makin jatuh ke bawah, yang sempat mencicipi kenikmatan hidup kelas menengah harus kembali lagi paling tidak ke kelas menengah bawah, yang kaya bahkan konglomerat pun jatuh miskin karena andaikan seluruh aset yang dimiliki dijual pun tetap tidak memadai untuk membayar hutang-hutang luar negeri. Dan karena banyak negara tetangga lain sedang menelan pil pahit yang sama, ratusan ribu TKI mulai dipulangkan ke tanah air, membuat masukan devisa menipis dan masalah bertambah seiring bertambahnya pengangguran. "Berkat" dari ekspor yang diharapkan, akibat melorotnya nilai rupiah, ternyata tidak terjadi, sebab harga-harga bahan baku yang harus diimport tidak mungkin lagi dapat dijangkau. Penyakit ekonomi yang dialami Indonesia kini sudah menjadi gejala komplikasi penyakit yang parah: depresiasi rupiah, kenaikan harga-harga, inflasi, kebangkrutan perusahaan dan perbankan, PHK, tingkat pengangguran bertambah, kerawanan politik, ketidakpercayaan investor asing, semua ini membuat perekonomian Indonesia makin terus terpuruk. Mengapa dengan fundamental ekonomi yang kuat dan sehat itu, ekonomi Indonesia goncang dan hancur juga? Mengapa naga ini kini mendadak berubah menjadi cacing belaka? Lalu ramai-ramai orang membuat berbagai macam analisis. Karena tidak jujur, tidak mawas diri, kambing-kambing hitam pun dicari. "Soros sampai Sosro" (menggunakan permainan kata Wimar Witoelar, Kompas, 23 Nov. 1997, hlm. 2) yaitu para spekulan manca negara dan dalam negeri dituduh sebagai penyebab semua masalah ekonomi ini. Baru sesudah masalah ekonomi ini berubah menjadi masalah politik, krisis moneter berubah menjadi krisis kepercayaan, ramai- ramai; orang meneriakkan pengakuan bahwa penyebab semuanya adalah dilanggarnya prinsip-prinsip moral. Fondasi bangunan ekonomi Indonsia itu ternyata bernama korupsi dan kolusi, lalu bahan-bahan konstruksi yang dipakai untuk mengisi sistem perekonomian Indonesia adalah nepotisme dan koncoisme. Beramai-ramai pula orang menyerukan perlunya reformasi di segala bidang. Semoga saja ramai-ramainya teriakan dan tudingan ini bukan sekadar latah, gejala lain dari sakit yang entah sudah stadium ke berapa diidap bangsa kita. Kegagalan Gereja Seharusnya gereja di Indonesia mengaku jujur bahwa problem ekonomi di Indonesia ini tidak lepas juga dari andil kegagalan Gereja, teolog dan umat Kristen di Indonesia dalam menaati kebenaran firman Tuhan. Gereja gagal memberikan pengajaran yang jelas dan benar tentang implikasi- implikasi kebenaran Alkitab ke dalam dunia ekonomi, tentang prinsip- prinsip etika ekonomi dan moral bisnis, baik kepada warganya maupun menyuarakannya sebagai wawasan dan sikap Kristen tentang ekonomi kepada dunia luas. Sebaliknya Gereja sendiri malah cenderung membuat kesalahan fatal memahami berita keselamatan dari Allah dalam simbol- simbol moneter (Albert Widjaja, "Perspektif Ekonomi-Teologis: Peran serta Kekristenan dalam Perkembangan Ekonomi di Era Globalisasi Bagian I," hlm. 8). Kebanyakan gereja yang "maju" adalah gereja-gereja yang bersemangat mengabarkan injil kemakmuran dan kesehatan, gereja-gereja yang pandai memanfaatkan teknik, metode dan alat-alat canggih yang sama seperti dikembangkan dalam teknik-teknik marketing. Kebanyakan teori tentang kemajuan pertumbuhan gereja menggunakan ukuran-ukuran kuantitatif dan bukan perilaku pertobatan sampai ke segi-segi kehidupan ekonomi. Sebaliknya dari menyuarakan pesan kenabian dan mengemban gaya hidup prihatin yang konsisten dengan firman Tuhan, gereja sekadar membeo mengikuti berbagai suara dan aspirasi yang dunia ini canangkan. Para hamba Tuhan atau teolog pun terbagi ke dalam dua kutub. Yang rohani sempit tidak paham tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam dunia ekonomi-politik. Lalu mereka menyampaikan pesan-pesan surgawi yang tidak kontekstual dengan kenyataan dan pergumulan hidup sehari- hari. Akibatnya, di gereja orang bertingkah rohani, di dunia orang kembali ke sifat asalnya yang sama dengan orang dunia yang tidak kenal Tuhan: serakah, takut berbuat benar, licik, menghalalkan segala cara, dll. Yang duniawi luas tidak lagi memercayai kebenaran-kebenaran rohani seperti yang dinyatakan firman Allah, meski berupaya tetap punya peran dalam dunia ini. Namun karena prinsip, landasan berpikir, dan sumber wibawa yang diandalkan tidak beda dengan yang dipahami orang dunia, usaha mereka menjadi sia-sia. Situasi itu terjadi sebab kebanyakan sekolah-sekolah teologi tidak mampu mengembangkan pola pendidikan yang solid berdasarkan komitmen pada kebenaran Alkitab dan yang jernih menarik implikasi-implikasi teologis kebenaran tersebut ke segala aspek kehidupan. Tidak heran bila para warga gereja yang dibesarkan dalam suasana kehidupan gereja yang notabene sama memberhalakan mamon dan sama sekularnya dengan dunia ini pun meneruskan itu dalam perilaku bisnis dan kerja mereka. Tidak banyak Kristen yang memiliki prinsip berani membayar harga untuk tidak membayar suap demi melicinkan tender, misalnya. Tidak banyak Kristen yang tidak main tempel penguasa untuk beroleh kemudahan sehingga benar-benar mencapai kemajuan bisnis karena cara-cara yang fair dan benar. Bila tiap kali berurusan dengan aparat pemerintah ketika mengurus KTP, IMB, paspor, pajak, tilang, dlsb. kita selalu siap dengan salam tempel; bila budaya dusta (baca: tidak transparan), suap, sogok, korupsi, kolusi, koncoisme sama biasanya kita lakukan dalam berbagai urusan; bila para pendeta sendiri mengartikan perannya bukan sebagai panggilan tetapi sebagai karir atau profesi; bila gereja sendiri pecah karena hal-hal seperti perebutan aset, penggelapan, ketidakjujuran; tidak heran bila dunia ekonomi kita kini terpuruk dan dunia politik kita terancam hal yang sama. Kiranya kealpaan gereja selama ini tidak kita teruskan dalam keterlenaan seterusnya. Momentum kini, ketika orang menyadari perlunya reformasi dan pentingnya mentalitas, sikap kerja, etika ekonomi, moral bisnis, justru harus diisi dengan pertobatan gereja dan pribadi Kristen dari dosa-dosa ekonomi yang selama ini telah kita buat, baik terhadap Allah maupun terhadap sesama kita. Kita yang mengaku telah mengalami kuasa transformasi Allah atas hidup kita seharusnya konsisten mengajarkan prinsip-prinsip kehidupan ekonomi dan moral bisnis yang Alkitabiah agar boleh terjadi penghayatan dan pewartaan yang memberi arah yang benar dalam momentum reformasi ini. Inilah kesempatan untuk gereja menyatakan kebenaran ekonomi Allah (oikonomia tou Theou = tugas penyelenggaraan kasih karunia Allah, Ef. 3:2) yang meliputi seluruh kehidupan secara lengkap dan utuh. Tulisan ini ingin menelusuri ajaran Alkitab tentang isu-isu ekonomi, mempelajari implikasi ekonomis dari beberapa prinsip teologis Kristen, membandingkannya dengan berbagai pandangan tentang isu-isu ekonomi yang dianut orang, meneropong berbagai permasalahan yang relevan dalam bidang ekonomi dan mencoba menarik petunjuk-petunjuk prinsipil praktis bagi kehidupan ekonomi kita masa kini. Alkitab tentang Isu-isu Ekonomi Di awal upaya menemukan petunjuk dan prinsip ekonomi dalam Alkitab, kita harus berhadapan dulu dengan berbagai pertanyaan kritis. Ada tiga keberatan yang sering diajukan orang. Pertama, mungkinkah menarik prinsip-prinsip universal dan permanen dari Alkitab yang lahir di tengah kultur yang zaman dan lokasinya berbeda jauh dari dunia dan negara kita kini? Kedua, tepatkah menarik kesimpulan-kesimpulan tentang prinsip-prinsip ekonomi dari suatu kitab yang pada hakikatnya adalah kitab peribadahan? Ketiga, bagaimana mungkin memberlakukan bagian-bagian Alkitab yang berbicara tentang berbagai isu ekonomi, bila kebanyakan isi Alkitab itu terdapat dalam Perjanjian Lama yang tidak memisahkan kehidupan bernegara dari kehidupan beragama (baca: teokrasi), padahal kita tidak hidup dalam negara yang teokratis. Seiring dengan itu, ada keberatan terhadap diberlakukannya prinsip- prinsip etis ekonomi dalam Perjanjian Baru kepada konteks masyarakat luas karena anggapan bahwa ajaran-ajaran itu hanya bisa diberlakukan di antara umat tebusan Allah dan tidak di antara orang- orang yang belum ditebus. Terhadap keberatan pertama dapat kita ingat bahwa memang ada perbedaan dan kesenjangan budaya/zaman antara dunia Alkitab dan dunia modern masa kini. Namun justru pengambilan prinsip tersebut bisa terjadi karena mempertimbangkan dan bukan mengabaikan adanya kesenjangan itu. Dengan demikian keberatan tentang kesenjangan budaya ini sebenarnya dapat dijawab melalui usaha-usaha penafsiran Alkitab yang teliti mempertimbangkan perbedaan konteks zaman dan budaya Alkitab dengan konteks zaman dan budaya kita kini. Terhadap keberatan kedua, kita akui bahwa Alkitab memang bukan buku teks ekonomi, juga bukan buku teks ilmu-ilmu lain, bahkan bukan pula buku teks dogma dan teologi. Dengan mengatakan demikian artinya kita menyadari bahwa Alkitab tidak berisikan uraian deskriptif, analitis, dan sistematis tentang hal-hal tadi seperti yang kita temukan dalam buku-buku sumber pelajaran. Namun mengatakan demikian tidak harus berarti bahwa kita tidak dapat melakukan abstraksi untuk menemukan pola-pola wawasan dan petunjuk-petunjuk prinsipil tentang berbagai segi kehidupan di dunia ini dari dalam isi Alkitab. Bila dari Alkitab kita dapat menarik prinsip-prinsip dogmatis, seyogianya tentang hal- hal yang mencakup segi ekonomi kehidupan manusia pun dapat kita simpulkan dari firman Allah ini sebab Alkitab adalah firman Allah dalam kata-kata manusia, yaitu kata-kata yang lahir untuk dan dari dalam pergumulan-pergumulan nyata kehidupan dengan berbagai aspeknya. Seperti halnya ketika Allah bersabda, Allah tidak saja membentangkan diri-Nya kepada manusia tetapi juga membentangkan bagaimana adanya dan bagaimana harusnya manusia, demikianlah isi Alkitab adalah sekaligus prinsip-prinsip spiritual teologis yang mewujud nyata di dalam segi- segi kehidupan sosial, ekonomi, budaya, politis, pendidikan, dlsb. Oleh karena kita tidak hendak mengambil model-model sistem ekonomi secara rinci yang berasal dari situasi masyarakat nomad dan agraris, melainkan prinsip-prinsip dasar etika ekonomi dan moral bisnis, tentunya keberatan tadi tidak tepat. Keberatan terakhir dapat kita sanggah dengan mengingat bahwa sebagian besar prinsip-prinsip yang Tuhan nyatakan juga diberlakukan (baca: dikaruniakan) Tuhan atas bangsa-bangsa lain dan orang bukan Kristen pada umumnya. Hal mana dapat kita lihat dari teguran-teguran para nabi seperti Yesaya kepada bangsa-bangsa sekitar Israel. Dengan mengingat bahwa di dalam penyataan dan anugerah umum Allah bekerja juga di dalam seluruh umat manusia, memberikan nurani, kerinduan moral, kepekaan etis dan agamawi, serta kekuatan kehendak untuk memperjuangkan hal-hal yang indah, tertib, dan benar, maka menyuarakan dan memberlakukan prinsip-prinsip wahyu ke dalam masyarakat luas adalah tindakan nyata dari keyakinan bahwa Allah bekerja serasi dalam penyataan umum maupun penyataan khusus. Dengan demikian keberatan ketiga ini pun pada intinya telah teratasi. Singkat kata, di balik keberatan-keberatan itu terdapat awal dan akhir berwawasan yang harus kita tentang sebagai orang beriman yaitu menyingkirkan Allah dari realitas ekonomi. Justru kebobrokan ekonomi- politik yang sedang kita derita kini adalah akibat dari orang-orang yang berpola pikir dan bertingkah laku memberontak menolak Allah dari percaturan bisnis dan kehidupan ekonomi. Apabila Kristen dan gereja ingin berkontribusi nyata menyebabkan reformasi ekonomi berarah benar, maka haruslah kita mulai dari pemikiran alkitabiah. Apa kata Alkitab tentang isu-isu ekonomi? Kita akan terkejut atas fakta bahwa Alkitab begitu banyak berbicara tentang isu-isu ekonomi. Dari kisah yang sedang kita siap untuk masuki, penciptaan, kejatuhan, perjanjian dengan Nuh, perjanjian dengan Abraham, keluaran dari Mesir, pemberian Sepuluh Hukum, kitab-kitab hikmat, kitab-kitab para rabi, ajaran Tuhan Yesus, gaya hidup jemaat mula-mula, ajaran para rasul, kita temui banyak sekali bahan untuk menyimpulkan prinsip-prinsip ekonomi. Kisah penciptaan (Kej. 1-2) adalah fondasi di atas mana seluruh realitas ciptaan berdiri dan di dalam terangnya realitas harus kita pahami. Apa yang dipaparkan dalam kisah penciptaan, apabila dibandingkan dengan pandangan dan sikap bangsa-bangsa purba di Timur Tengah, adalah sesuatu yang radikal. Di dalamnya kita menjumpai suatu visi ekonomi sebagai implikasi dari kebenaran-kebenaran teologis yang Allah tanamkan dalam umat-Nya. Di tengah pengilahian alam dan benda yang tidak memungkinkan perlakuan objektif eksploratif terhadap alam serta tidak menumbuhkan visi ekonomi, umat Tuhan justru diajar untuk melihat adanya perbedaan ontologis antara Allah dan segenap ciptaan, juga adanya kesamaan dan ketidaksamaan antara manusia dan alam serta makhluk-makhluk lainnya. Terhadap Allah yang menciptakan manusia dan yang menamai manusia, manusia menyapa Allah dengan "Engkau". Terhadap alam, manusia ditempatkan Allah sebagai wakil-Nya yang bertanggung jawab untuk mengelola dan memelihara alam demi kemuliaan Allah dan demi kebaikan manusia dan segenap ciptaan. Di dalam pemahaman demikian, logis bertumbuh sikap ilmiah sebab manusia melihat alam sebagai sesuatu yang boleh diusahakan, ditaklukkan, dan dikelola melalui keahlian, teknologi, institusi untuk membangun peradaban. Umat Tuhan diajar untuk menerima alam sebagai hal yang baik adanya karena demikianlah keadaannya sebagai ciptaan Tuhan, dan karena itu kita boleh menerima dan memanfaatkan semuanya itu dalam semangat syukur kepada Allah. Di dalam tindakan Adam memberi nama kepada binatang-binatang, terlihat sekaligus posisi Adam yang lebih tinggi daripada binatang dan ciptaan lainnya, tetapi juga sikap Adam yang menghargai, memelihara dan bukan merusak ciptaan-ciptaan Tuhan itu. Kisah penciptaan memberi kita prinsip ekonomi bahwa hanya Allah yang patut disembah dan dilayani oleh segenap hidup manusia, bahwa manusia diberi makna hidup yang sangat mulia oleh Allah, bahwa panggilan hidup manusia sebagai gambar Allah yang mulia itu adalah menjadi hamba Allah, bahwa alam dan segenap potensinya boleh diterima dan dikelola dengan penuh syukur oleh manusia, dan bahwa kekayaan alam atau pun kekayaan hasil dari tindak kreatif manusia mengelola alam itu bukan milik mutlak manusia tetapi Allah, sehingga tidak boleh diberi tempat mutlak di dalam keberadaan manusia. Tidak ada tempat bagi kehidupan ekonomi yang egosentris, yang serakah, atau yang kebalikannya yaitu merendahkan benda dalam hidup bertarak, atau sikap tidak ilmiah yang melumpuhkan kehidupan ekonomi karena pantang menjamah alam dan materi yang dianggap suci ilahi. Sayang sekali visi ekonomi yang sedemikian gemilang itu dirusakkan manusia dalam Kejatuhan kita di dalam Adam dan Hawa ke dalam dosa (Kej. 3). Manusia menerima aspirasi sesat, yaitu ingin menyamai Allah. Kisah kejatuhan ini bukan sekadar peristiwa sejarah tetapi pembedahan radikal dan peringatan untuk seluruh umat manusia. Dosa berarti menarik diri dari Allah, menjadikan diri "allah" bagi diri sendiri, membuat norma kita sendiri tentang apa yang baik dan apa yang jahat. Kejatuhan pada hakikatnya adalah daya yang berbalik membelokkan visi ekonomi penciptaan. Ekonomi Allah yang kini diganti oleh ekonomi manusia, berbalik menjadi mukjizat palsu penuh kutuk. Kerja bukan lagi tanggung jawab yang menyukakan tetapi membuat orang berjerih payah, bumi yang tadinya menjadi sumber penopang hidup berubah mengeluarkan onak duri, dan manusia sendiri yang tadinya makhluk ciptaan mulia sejak itu tinggal debu yang kembali kepada debu saja. Ekonomi manusia itu hanyalah kerajaan yang meluncur menuju kehancuran dan maut. Namun, puji Tuhan bahwa anugerah Tuhan menahan dampak kutuk dosa itu. Meski mengeluarkan onak duri, bumi masih juga mampu menumbuhkan padi yang memberi manusia beras untuk dimakan. Janji benih perempuan yang akan meremukkan kepala si penipu menunjukkan bahwa bumi kini bukan lagi firdaus, namun bukan juga neraka, tetapi adalah arena peperangan rohani yang akan ditebus dan dimenangkan oleh Sang Pengemban Janji itu. Berturut-turut kita melihat akibat-akibat buruk dari ekonomi manusia (Kej. 4 dan 6). Diawali oleh konflik halus antara Adam dan Hawa, diikuti oleh pembantaian Habel oleh Kain, pembangunan kota penuh aspirasi jumawa manusia (Kain menamai kota itu dengan nama putranya) yang berpuncak pada pemberontakan masal manusia melawan Allah via menara Babel. Ketika Allah menindak manusia dan membuat perjanjian dengan orang pilihan-Nya yaitu Nuh, tampak beberapa hal. Pertama, Allah memperbarui perjanjian-Nya akan mempertahankan bumi dengan berbagai potensi baik yang telah diciptakan-Nya diawal zaman. Kedua, Allah menegaskan ulang wibawa manusia atas alam. Ketiga, meski manusia berkuasa atas binatang namun kini ditandai oleh takut manusia akan binatang buas dan penumpahan darah binatang untuk menopang hidup manusia. Dari ketiga hal ini jelaslah bahwa providensia Allah adalah upaya Allah untuk merombak ekonomi manusia agar berbalik arah kembali ke Ekonomi Allah. Namun providensia adalah sesuatu yang transisional dan temporal yang menantikan kedatangan transformasi total di dalam tindakan Allah dalam kepenuhan waktu. Kitab Keluaran bukan saja sangat hakiki bagi eksistensi umat Allah Perjanjian Lama tetapi juga sangat fundamental bagi pemahaman kita agar lebih matang tentang visi ekonomi. Kitab Keluaran mengungkapkan kesetiaan Allah untuk mengembalikan manusia kepada Ekonomi Allah. Dosa bukan saja masalah individual tetapi juga masalah institusional. Allah memihak umat-Nya, melepaskan mereka dari perbudakan kejam rejim Firaun. Bila sebelumnya Allah meneguhkan kebaikan bumi ini bagi manusia, dalam Kitab Keluaran Allah memulihkan institusi demi kebaikan umat-Nya dengan menciptakan suatu umat perjanjian yang dianugerahi hukum-hukum kemerdekaan. Bagaimana kemerdekaan hidup individu dan sosial itu harus dihargai dan diisi kini dinyatakan Allah di dalam Sepuluh Hukum (Kel. 20), di dalam hukum-hukum ibadah di Kitab Imamat, di dalam aturan-aturan tentang bagaimana umat Allah harus memperlakukan sesamanya, pekerja-pekerjanya, institusi-institusi hukum dan peradilannya, tanah, binatang-binatang dan harta miliknya, hari kerja dan hari istirahatnya, hutang piutang, dlsb. Kita dapat membaca perhatian Allah yang sedemikian teliti yang mengatur berbagai aspek kehidupan ekonomi manusia agar umat Allah boleh mencerminkan Ekonomi Allah itu dalam Imamat 25, Ulangan 15, Ulangan 25, dll. Pelajaran yang dapat kita jadikan prinsip di sini adalah bahwa kemilikan, kerja, hidup sangat berharga karena berasal dari Allah. Karena itu manusia yang merdeka adalah manusia yang menghormati Allah, menghormati kemilikan dirinya dan sesamanya, mengisi hidup berekonomi dalam suasana syukur dan penuh sikap murah hati. Visi ekonomi Keluaran bukan visi sosialisme atau kapitalisme, tetapi visi ekonomi yang kudus sebagai akibat menghargai kepemilikan mutlak Allah, mensyukuri setiap pemberian Allah dalam sikap penatalayanan, dan ekonomi yang bergerak maju di dalam keadilan, kebenaran, kesucian, kebersyukuran, kepedulian, kemurahan hati, kejuangan ibadah, dan kesemarakan anugerah. Pada intinya para nabi dan para penulis hikmat juga mengumandangkan visi Ekonomi Ilahi. Sebelum pembuangan, umat Allah kembali berbalik ke visi ekonomi yang berporoskan pada pemberontakan melawan Allah. Kisah Pembuangan adalah kebalikan total dari Kisah Keluaran. Oleh karena berpaling dari Allah kepada berhala-berhala yang intinya adalah memperilah alam dan materi, pada giliran berikutnya umat Tuhan mengalami kemerosotan dalam berbagai aspek hidup. Oleh karena budak- budak yang telah dimerdekakan Allah menjadi umat itu memperbudak sesamanya sendiri (lihat Amos), Allah membuang mereka kembali ke dalam perbudakan. Realisasi dosa manusia itu tampak dalam tingkah laku dan tindakan ekonomi yang menyimpang. Pengalaman ekonomi memang bisa menjadi salah satu ukuran apakah umat di dalam berkat Ekonomi Allah atau kutuk yang dijatuhkan Allah ke atas ekonomi manusia. Hukuman Allah dicanangkan bukan atas kesukaan menikmati kekayaan, tetapi atas kehidupan yang bergelimang dosa dan nafsu yang tidak mencerminkan dengan benar kegemilangan hidup dalam prinsip dominasi yang benar seperti yang Allah inginkan. Apabila kini segelintir orang mengartikan kelimpahan materi dan kesehatan sebagai fakta-fakta berkat Allah, sikap itu sebenarnya ada benarnya. Logikanya adalah, ketaatan kepada kehendak Allah berarti menempatkan diri serasi dengan Allah sumber segala berkat, kesehatan, kemakmuran, kelimpahan hidup. Inisiatif Allah memberikan perjanjian dan menganugerahi berkat-berkat rohani dan jasmani tidak berarti bahwa manusia tinggal pasif saja. Sebaliknya perjanjian dan anugerah justru membangkitkan umat yang tahu bersyukur, taat, berkarya nyata. Dengan demikian, kondisi spiritual terukur objektif di dalam yang material, asalkan tidak kita lepaskan fakta bahwa visi nabi-nabi ini beranjak dari visi ekonomi Kejadian dan Keluaran. Bagaimana dengan visi ekonomi Tuhan Yesus? Di satu pihak kita mengakui fakta bahwa Yesus lahir dalam kandang miskin di suatu keluarga sederhana. Kita juga mengakui bahwa Yesus banyak berbicara kritis terhadap para penguasa kaya yang hidupnya dan hidup ekonominya dalam dosa. Jadi dapat dimengerti bila sebagian orang beranggapan bahwa Yesus menganjurkan pemahaman ekonomi yang mendekati paham sosialisme. Kesimpulan ini gegabah karena tidak teliti mempertimbangkan banyak faktor dari hidup dan ajaran Yesus. Ia memang dibesarkan dalam sebuah keluarga sederhana. Dibandingkan dengan inkarnasi-Nya dari keberadaan Ilahi-Nya menjadi manusia, tepatlah Paulus menyatakan bahwa Ia telah menjadi miskin (2Kor. 8:9). Yang Paulus maksudkan itu ialah tindakan Yesus menjembatani sedemikian luasnya bentangan antara Allah dan manusia melalui inkarnasi dan kematian-Nya. Namun itu tidak berarti bahwa Ia dibesarkan dalam sebuah keluarga miskin. Yusuf adalah seorang tukang kayu, berarti tergolong kelas pekerja yang relatif berekonomi cukup baik zaman itu. Yesus pun tidak menolak disokong oleh beberapa perempuan berharta, bergaul dengan orang-orang berharta, tidak segan diejek sebagai pelahap dan peminum (Luk. 7:34,35), memiliki pengikut dari kalangan menengah dan atas seperti Petrus, Andreas, atau Filipus yang memiliki usaha penangkapan ikan, Zakheus, Maria dan Marta, dlsb. Tentu saja Yesus melawan perolehan kekayaan dari usaha memutarbalikkan tujuan ibadah (Yoh. 2:13-25). Ada kesamaan antara sikap dan ajaran Yesus dengan prinsip-prinsip ekonomi yang telah kita pelajari sebelum ini. Bila Yesus mengajarkan para pengikut-Nya untuk tidak kehilangan kesukaan hidup karena harta (Luk. 6:24-25;18:24-25) dan mendorong hidup yang murah hati (Luk. 18:22), itu disebabkan Yesus menerima ajaran Taurat tentang kepemilikan mutlak Allah atas harta dan tanggung jawab penatalayanan manusia atas hartanya. Namun yang radikal ialah Yesus menyatakan bahwa di dalam diri-Nya, yaitu hidup, ajaran dan karya-karya-Nya seluruh maksud Allah dan segala kuasa di langit dan di bumi bertumpu dan beroperasi, mewujudkan Ekonomi Allah dalam penciptaan suatu umat baru. Umat Perjanjian Baru itu adalah bagian dari Kerajaan Allah, orang- orang yang menikmati berlakunya pemerintahan Allah yang memerdekakan, yang membuat mereka menikmati hidup seutuhnya sepenuhnya, mensyukuri setiap pemberian Allah dalam sikap murah hati, menatalayan, dan karena itu tidak terikat melainkan merdeka. Di dalam Yesus, Ekonomi Allah memungkinkan ekonomi manusia tidak menjadi perhambaan materi, pemberhalaan hartabenda, perbudakan keserakahan, melainkan merdeka penuh syukur, kesemarakan yang saling menumbuhkan dan yang menyukakan hati Allah. Itulah kehidupan ekonomi yang berkualitas penuh harkat sejati karena diporosi oleh Ekonomi Allah. Suasana koinonia itulah yang kita saksikan dalam kehidupan gereja purba yang juga menjadi inti pengajaran surat-surat rasuli. Kehidupan gereja purba bukanlah komunisme ala Kristen melainkan pewujudnyataan visi Ekonomi Allah di dalam kehidupan umat. Tindakan koinonia di Kisah Para Rasul 7 dan pengiriman bantuan oleh jemaat-jemaat Makedonia ke jemaat Yerusalem lebih dari sekadar simpati membagi-bagi sembako kepada pihak miskin. Tindakan itu adalah tindakan merdeka merayakan tindakan pembebasan, penebusan, pembenaran, pemulihan, pendamaian, penyelamatan, pengayaan, pengutuhan yang Allah selaku Sang Liberator telah aktakan di dalam diri Yesus Kristus, dan yang telah mengikutsertakan umat kepunyaan-Nya sebagai koliberator (baca rekan sekerja-Nya dalam karya penyelamatan-Nya) bagi sesamanya. Lihat gema prinsip-prinsip ini dalam nasihat Paulus agar jemaat bekerja (1Tes. 4:10-11; 2Tes. 3:10), tentang bahaya mencintai uang (2Tim. 3:2), agar orang kaya menjadi kaya dalam kemurahan hati (1Tim. 6:17-19), dan peringatan Yakobus terhadap orang-orang yang mengejar kekayaan (Yak. 2:1-7; 4:13-5:6). Dan ke arah Yerusalem baru yang tanpa cacat cela, oleh oikonomia tou Theou (Ekonomi Allah atau penyelenggaraan kasih karunia Allah) itulah kita semua sedang berarak mengikuti Yesus. Dari menelusuri drama-drama besar Alkitabiah ini dapat kita tarik kesimpulan awal berikut tentang prinsip-prinsip ekonomi.
Sepanjang sejarah manusia, dari Perjanjian ke Perjanjian sampai puncaknya dalam Sang Penggenap Perjanjian, Allah menyelenggarakan Ekonomi-Nya yang beranugerah, memerdekakan, memanusiawikan. Visi Ekonomi Allah dalam Perjanjian Lama digenapi dalam Ekonomi hidup- ajaran-karya penebusan Yesus Kristus. Gereja Tuhan sebagai pengejawantahan Ekonomi Baru dari Allah itu patut menghayati penuh, membagi dan memberitakan kebenaran Injil berdampak holistik itu bagi sesamanya pada segala tempat dan segala zaman.
Sumber:
Sumber diambil dari:
Komentar |
Kunjungi Situs Natalhttps://natal.sabda.org Publikasi e-Reformed |