"Yang Sangat Penting ..... Kristus Telah Mati"

Dear e-Reformed Netters,

Beberapa hari lagi kita akan merayakan Hari Kematian Kristus dan Hari Kebangkitan Kristus (PASKAH), perayaan dari peristiwa terbesar dalam sejarah kekristenan. Artikel yang saya sajikan berikut ini akan menolong kita memikirkan lebih dalam lagi tentang arti kematian dan kebagnkitan Kristus bagi kita, umat manusia yang dikasihi-Nya. Memang betul bahwa pikiran dan otak manusia tidak mungkin bisa mengetahui dan memahami dengan sejelas-jelasnya dan sedalam-dalamnya kesengsaraan yang dialami Kristus menjelang kematiannya. Tapi bukan berarti dengan demikian maka itu tidak penting untuk kita pikirkan. Uraian yang disampaikan Samuel Zwemer dalam artikel di bawah ini menolong kita melihat bagaimana Alkitab menyatakan bahwa kematian Kristus adalah segala-galanya bagi orang Kristen. Inilah inti dan pusat dari berita keselamatan yang dibawa Kristus ketika Ia datang ke dunia. Oleh karena itu jika seorang Kristen berbahagia menjadi orang Kristen bukan karena berita keselamatan bahwa "Kristus telah mati bagiku, bagi dosa- dosaku", maka kemungkinan besar ia sedang salah mengerti tentang kekristenan. Mengapa demikian? Silakan membaca artikel berikut ini.

SELAMAT MERAYAKAN HARI KEMATIAN DAN KEBANGKITAN KRISTUS!

In Christ,

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Beberapa hari lagi kita akan merayakan Hari Kematian Kristus dan Hari Kebangkitan Kristus (PASKAH), perayaan dari peristiwa terbesar dalam sejarah kekristenan. Artikel yang saya sajikan berikut ini akan menolong kita memikirkan lebih dalam lagi tentang arti kematian dan kebagnkitan Kristus bagi kita, umat manusia yang dikasihi-Nya. Memang betul bahwa pikiran dan otak manusia tidak mungkin bisa mengetahui dan memahami dengan sejelas-jelasnya dan sedalam-dalamnya kesengsaraan yang dialami Kristus menjelang kematiannya. Tapi bukan berarti dengan demikian maka itu tidak penting untuk kita pikirkan. Uraian yang disampaikan Samuel Zwemer dalam artikel di bawah ini menolong kita melihat bagaimana Alkitab menyatakan bahwa kematian Kristus adalah segala-galanya bagi orang Kristen. Inilah inti dan pusat dari berita keselamatan yang dibawa Kristus ketika Ia datang ke dunia. Oleh karena itu jika seorang Kristen berbahagia menjadi orang Kristen bukan karena berita keselamatan bahwa "Kristus telah mati bagiku, bagi dosa- dosaku", maka kemungkinan besar ia sedang salah mengerti tentang kekristenan. Mengapa demikian? Silakan membaca artikel berikut ini.

SELAMAT MERAYAKAN HARI KEMATIAN DAN KEBANGKITAN KRISTUS!

In Christ,
Yulia Oen

Catatan:
Ayat-ayat Alkitab yang dikutip dalam artikel ini diambil dari Alkitab LAI, Terjemahan Lama (TL).

Penulis: 
Samuel Zwemer
Edisi: 
049/IV/2004
Isi: 

"Yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu," kata Paulus dalam Surat Pertama kepada Gereja Korintus, "yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci," [Lihat 1Kor. 15:3] Pembaca yang teliti akan memperhatikan dari konteksnya, bahwa ini adalah pokok dari amanat Rasul Paulus, inti dari ajarannya, satu-satunya injilnya. Paulus mengatakan, bahwa dia menerimanya tidaklah terutama dan hanya dari anggota-anggota jemaat asli, tetapi langsung melalui wahyu (Gal. 1:15-19). Maka jemaat itu, dan Rasul Paulus sendiri, percaya, bahwa kebenaran pertama dan azasi dari iman Kristen adalah kematian Kristus karena dosa-dosa kita. Dan Rasul Paulus menerima dan mengajarkan kebenaran ini dalam waktu tujuh tahun setelah Kristus mati -- menurut penanggalan lain bahkan dalam waktu yang lebih pendek.

Kata Yunani yang diterjemahkan dengan "yang sangat penting" dapat juga diartikan "yang pertama-tama" atau paling depan dari segala kebenaran. Kematian Kristus disalib bagi Rasul Paulus adalah yang paling penting dan pasal yang berpengaruh dalam kepercayaannya. Ini adalah fundamental. Ini adalah rukun syarat dari batu pertama, batu pojok dari kuil kebenaran. Bahwa ini benar nampak jelas dari tempat yang diambil tentang kematian Kristus dalam Alkitab, dalam amanat kerasulan, dalam liturgi-liturgi dari kedua sakramen yang diselenggarakan oleh semua cabang Gereja dan dalam perbendaharaan nyanyian-nyanyian Kristus yang pertama-tama, maupun yang terakhir. Bukti itu bertambah-tambah dan melimpah. Salib itu bukan hanya merupakan lambang universil dari kekristenan; itu adalah amanatnya yang universal dan yang tak dapat disangsikan. Itu adalah pokok dari Injil -- firman yang "hidup dan kuat dan lebih tajam daripada pedang bermata dua."[Lihat Ibr. 4:12] Sebab tidak ada yang menimbulkan kesadaran akan dosa seperti salib.

Salib Kristus adalah lampu sorot Allah. Dia memperlihatkan kasih Allah dan dosa manusia, kekuasaan Allah dan kedaifan manusia, kesucian Allah dan kekotoran manusia. Bila mezbah dan korban penebusan adalah "yang pertama-tama" dalam Perjanjian Lama, maka salib dan perdamaian adalah "yang terutama" dalam Perjanjian Baru. Maka doktrin keselamatan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dengan segala sesuatu yang dicakupnya mengenai hati baru dan masyarakat baru, sorga baru dan dunia baru, dalam garis yang lurus menuju kembali ke arah pusat segala-galanya - "Anak Domba yang telah disembelih."[Lihat Wah. 13:8]

  1. Perhatikanlah tempat ditulisnya cerita mengenai penyaliban dalam Perjanjian Baru. Dia disebut dalam tiap buku kecuali dalam tiga surat-surat pendek, Filemon dan Yohanes 2 dan 3. Matius, Markus, dan Lukas memberikan tempat yang lebih banyak padanya daripada untuk aspek manapun dari hidup dan ajaran Kristus. Matius menceritakan tragedi ini dalam dua pasal dengan seratus empatpuluh satu ayat. Markus menulis seratus sembilan belas ayat mengenai cerita itu, dua pasal yang merupakan yang terpanjang dari enam belas pasal. Lukas menyediakan dua pasal panjang untuk melukiskan penangkapan dan penyaliban itu. Hampir separo dari Injil Yohanes mengisahkan minggu kesengsaraan Kristus.

    Dalam Kisah Para Rasul-rasul semua ajaran berpusat pada kematian dan kebangkitan. Inilah "Berita Baik." "Ia menunjukkan diri-Nya setelah penderitaan-Nya selesai, dan dengan banyak tanda Ia membuktikan, bahwa Ia hidup." Puncak dari kotbah Rasul Petrus pada Pentakosta adalah mengenai Yesus "yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencana-Nya ....... disalibkan dan dibunuh oleh tangan orang-orang kafir". "Allah telah membuat Yesus, yang kamu salibkan itu, menjadi Tuhan dan Kristus."[Lihat Kis. 1:3; 2:23, 36]

    Amanat itu diulangi lagi oleh Rasul Petrus dalam Bait Allah: "Kamu telah menolak Yang Kudus dan Benar, serta menghendaki seorang pembunuh." "Dengan jalan demikian," Petrus kemukakan, "Allah telah menggenapi apa yang telah difirmankan-Nya dahulu dengan perantaraan nabi-nabi-Nya, yaitu bahwa Kristus yang diutus-Nya harus menderita," tetapi "Allah membangkitkan Hamba-Nya dan mengutus-Nya kepada kamu, supaya Ia memberkati kamu dengan memimpin kamu masing-masing kembali dari segala kejahatanmu." Esok harinya dia kembali lagi pada tema "Yesus Kristus, orang Nazaret, yang telah kamu salibkan." Dalam doa upacara pertama dari Gereja Mula-mula kita diingatkan kembali pada penderitaan dan kematian dari "Yesus Hamba-Mu yang kudus." Hasil dari amanat demikian dinyatakan dalam kata-kata yang isinya tidak meragukan: "Kamu telah memenuhi Yerusalem dengan ajaranmu dan kamu hendak menanggungkan darah Orang itu kepada kami." Tetapi rasul-rasul menjawab, "Yesus, yang kamu gantungkan pada kayu salib dan kamu bunuh ....... telah ditinggikan oleh Allah sendiri dengan tangan kanan-Nya menjadi Pemimpin dan Juruselamat."[Lihat Kis. 3:14, 18, 26; 4:10, 27; 5:28, 30-31]

    Stefanus menjadikan kematian Yesus Kristus sebagai tema pembelaannya yang disusul cepat dengan kesyahidannya sendiri (Kis. 7:51-54). Filipus mulai berbicara dan bertolak dari nas itu saat ia memberitakan Injil Yesus kepada sida-sida Ethiopia (Kis. 8:26-40). Kornelius menerima amanat yang sama mengenai Dia: "Mereka telah membunuh Dia dan menggantungkan Dia pada kayu salib. Yesus itu telah dibangkitkan Allah pada hari yang ketiga."[Lihat Kis. 10:39-40]

    Di Antiokia Rasul Paulus bercerita tentang Kristus: "Mereka telah meminta kepada Pilatus supaya Ia dibunuh ......... mereka menurunkan Dia dari kayu salib, lalu membaringkan-Nya di dalam kubur. Tetapi Allah membangkitkan Dia dari antara orang mati." Selama tiga sabat Rasul Paulus memberi uraian dari Perjanjian Lama di Tesalonika, "bahwa Kristus harus menderita dan bangkit dari antara orang mati." Di Anthena dia berkhotbah tentang kematian Yesus Kristus, di Korintus dia hanya mau tahu tentang Yesus Kristus dan bahwa Dia disalibkan. Sebagai kata yang searti dengan Injil dia pakai "pemberitaan tentang salib" atau "berita pendamaian." Festus melukiskan amanat Rasul Paulus sebagai sesuatu yang bersangkutan dengan "seorang yang bernama Yesus, yang sudah mati, sedangkan Paulus katakan dengan pasti, bahwa Ia hidup." Dalam pembelaannya di depan Festus, Rasul Paulus mengatakan, bahwa dia tidak mempunyai amanat lain "kepada orang-orang kecil dan orang-orang besar. Dan apa yang kuberitakan itu tidak lain daripada yang sebelumnya yang telah diberitahukan oleh para nabi dan juga oleh Musa, yaitu bahwa Kristus harus menderita sengsara dan bahwa Ia adalah yang Pertama yang akan bangkit dari antara orang mati, dan bahwa Ia akan memberitakan terang kepada bangsa ini dan kepada orang-orang kafir."[Lihat Kis. 13:28-30; 17:3 1Kor. 1:18; 2Kor. 5:19; Kis. 25:19; 26:22-23]

    Dalam surat-surat Rasul Paulus kita sungguh kagum melihat jumlah yang berlimpah-limpah dari bukti-bukti, bahwa satu-satunya amanatnya adalah salib dan pendamaian. Dia telah memberitakan kabar baik ini selama limabelas tahun sebelum sepucukpun dari surat-suratnya dia tulis. Kita tidak dapat menemukan adanya perbedaan dalam tekanan antara surat- suratnya yang pertama dan yang terakhir dalam hal ini. Itulah yang menjadi pokok dari amanatnya kepada orang-orang Roma dan orang-orang Tesalonika. Kepada jemaat Galatia ia mengatakan dalam kata pendahuluannya bahwa Kristus Yesus "telah menyelamatkan diri-Nya karena dosa-dosa kita," dan (sesudah beberapa kalimat) dia meletus dengan perasaan berang: "Tetapi sekalipun kami atau seorang malaikat dari sorga yang memberitakan kepada kamu suatu Injil yang berbeda dengan Injil yang telah kami beritakan kepadamu, terkutuklah dia."[Lihat Gal. 1:4, 8]

    Bahwa Golgota yang menjadi pusat dari Injil Paulus, adalah jelas dari semua suratnya. Inkarnasi itu ada agar penebusan itu mungkin. Salib itu adalah luhur dan menentukan bagi Allah, bagi manusia dan bagi alam semesta. "Kristus telah mati untuk kita ketika kita masih berdosa." "Siapakah yang akan menghukum mereka? Kristus Yesuskah, yang telah mati?" "Kami memberitakan Kristus yang disalibkan ........ sebab yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya dari pada manusia, dan yang lemah dari Allah lebih kuat dari pada manusia," "Jemaat Allah yang diperoleh-Nya dengan darah-Nya sendiri." Semua orang Kristen, apabila mereka minum dari Cawan itu "memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang." "Aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia." Kristus adalah "kekasih-Nya" yang "oleh darah-Nya kita beroleh penebusan. "Ini adalah rahasia dari abad-abad pelbagai ragam hikmat Allah yang dibukakan bagi kerajaan-kerajaan dan kekuasaan-kekuasaan melalui Gereja. Mereka yang merupakan "seteru salib Kristus," Rasul Paulus menceritakan kepada kita dengan airmata, bermegah dalam keaibannya dan mereka akan binasa. Kristus "yang lebih utama dalam segala sesuatu ........ dan oleh Dialah Allah memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya ........ sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus." Salib itu adalah pusat dari alam semesta dan dari sejarah. Dia masih akan melihat pendamaian segala sesuatu baik yang ada di bumi maupun yang ada di sorga melalui darah-Nya."[Lihat Rom. 5:8; 8:33-34; 1Kor. 1:23, 25; Kis. 20:28; 1Kor. 11:26; Gal. 6:14; Ef. 1:6-7; Fil. 3:18; Kol. 1:18-20]

    Dalam surat kepada orang-orang Ibrani, kematian Kristus (Dia sendiri sebagai imam, korban, dan mezbah) begitu menonjol sehingga kita tidak perlu menunjukkannya lagi. Kristus adalah Imam Besar yang Agung, yang "menyatakan diri-Nya, pada zaman akhir untuk menghapuskan dosa oleh korban-Nya." Darah Yesus Kristus adalah darah perjanjian. Kristus adalah yang mengadakan dan menyempurnakan iman kita karena Dia telah "memikul salib." Darah-Nya yang dipercikkan "berbicara lebih kuat dari pada darah Habel" -- itu adalah "darah perjanjian yang kekal" ditumpahkan oleh "Gembala Agung dari segala domba."[Lihat Ibr. 9:26; 12:2, 24; 13:20]

    Surat-surat Petrus menggemakan pengajarannya yang paling pertama dan sangat banyak menyinggung kesengsaraan Kristus yang "sendiri telah memikul dosa kita dalam tubuh-Nya di kayu salib ........ oleh bilur- bilur-Nya kamu telah sembuh". Akhirnya dalam surat 1 Yohanes dan dalam Wahyu salib itu masih tetap merupakan yang utama. Melaluinya Yesus Kristus merupakan "perdamaian untuk segala dosa kita dan bukan untuk dosa kita saja, tetapi juga untuk dosa seluruh dunia." "Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kita pun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita." "Bagi Dia, yang mengasihi kita dan yang telah melepaskan kita dari dosa kita oleh darah-Nya ........ bagi Dialah kemuliaan dan kuasa sampai selama-lamanya. Amin." "Lihatlah, Ia datang dengan awan dan setiap mata akan melihat Dia, juga mereka yang telah menikam Dia."[Lihat 1Pet. 2:24; 1Yoh. 2:2; 3:16; Wah. 1:5-7]

  2. Kedua sakramen yang diterima oleh Gereja-gereja Timur dan Barat langsung menyebutkan kematian Kristus untuk dosa-dosa kita. Ini jelas, bukan hanya dari penempatan kata-katanya dalam Perjanjian Baru, melainkan juga dari banyak liturgi-liturgi dalam administrasinya. Di sini kita dapat katakan lagi bahwa "yang sangat penting" mereka memberitakan kematian Kristus yang merupakan penebusan kita dari dosa. Pembaptisan adalah upacara penerimaan dalam Kristus. Dimanapun Perjanjian Baru tidak ada menyebut orang-orang Kristen yang tidak dibaptiskan, dan orang-orang percaya yang primitif ini tahu apa yang dimaksudkan Rasul Paulus ketika ia mengatakan, bahwa semua "yang telah dibaptis dalam Kristus, telah dibaptis dalam kematian-Nya." Pengampunan dosa dan pembaptisan berhubungan erat dalam pikiran mereka dengan air dan darah yang mengalir dari sisi Kristus yang robek itu. Kedua sakramen itu dimaksud untuk mengantar amanat Injil dalam perlambangan yang tak dapat disangsikan. Selama sakramen-sakramen itu mempertahankan tempatnya dalam Gereja, mereka adalah -- dengan adanya segala yang ditambahkan dengan upacara dan tahyul sekalipun -- saksi dari arti penyelamatan kematian Kristus, saksi dari sifat penggantiannya, keharusannya, dan wataknya yang menentukan. Gereja Mula-mula terus "bertekun dalam ....... memecahkan roti," karena dengan itu mereka ingin memberitakan kematian Kristus dan pengampunan dosa melalui darah-Nya. Itu adalah "persekutuan dengan darah Kristus ........ dengan tubuh Kristus," turutnya kita dalam "satu Roh," "pengampunan dosa," penyucian "batin kita dari perbuatan-perbuatan yang sia-sia." Inilah yang membuat pemecahan roti itu begitu berharga bagi Gereja Mula-mula dan bagi semua Gereja selama duapuluh abad. [Lihat Rom. 6:3; Kis. 2:42; 1Kor. 10:16; 12:13; Mat. 26:28; Ibr. 9:14]

  3. Bila kita beralih dari liturgi pada kumpulan nyanyian gereja, kita akan mempunyai kesaksian yang sama. Dalam nyanyian-nyanyian Latin dan Yunani masa-masa pertama, dalam nyanyian Gereja-gereja Kopt dan Armenia, maupun dalam nyanyian-nyanyian Gereja Reformasi, salib itu adalah "yang sangat penting", dan kesengsaraaan Tuhan Yesus merupakan tema. Dalam nyanyian Gereja inilah kita menemukan kesatuan dan kedalaman teologi yang kadang-kadang tidak terdapat dalam kepercayaan- kepercayaan sekalipun.

    "Anak Domba yang disembelih itu layak untuk menerima kuasa dan kekayaan, dan hikmat, dan kekuatan, dan hormat, dan kemuliaan, dan puji-pujian!" "Anak Domba yang di tengah-tengah takhta itu." Apapun yang tercipta turut dalam Paduan Suara Haleluya.[Lihat Wah. 5:12; 7:17]

    Anak-anak kecil di berbagai negeri dan bahasa menyanyikan inti dari Injil itu:

    "Yesus mati bagiku. Sorga, buka pintumu! Hutang dosa terhapus, Aku sudah ditebus."

    Betapa besar bagian dari nyanyian-nyanyian dari Gereja itu merupakan nyanyian kesengsaraan atau tafsiran dari penebusan yang dibuat di atas salib! Siapakah yang dapat melupakan pelukisan dalam begitu banyak bahasa dari "O, Haupt voll Blut und Wunden" (O, kepala yang penuh darah dan luka) atau kepiluan lagunya seperti yang dinyanyikan oleh orang Kristen Jerman?

    "..... Tidak cukup kuatku: hanya oleh sayang-Mu, oleh darah-Mu kudus, dapat aku ditebus."

    Andaikata Yesus dari Nasaret hanyalah manusia belaka dan bukan Anak Allah dan Juruselamat kita, kematian-Nya yang menyedihkan itu akan merupakan peristiwa yang terbesar juga dalam sejarah manusia. Banyaknya keterangan-keterangan yang teliti dalam catatan masanya mengenai kesengsaraaan-Nya dan penyaliban-Nya, segala hal-hal yang dahsyat yang menyertainya dalam alam; ketujuh kata dari salib, pengaruhnya terhadap mereka yang melihatnya dan terhadap segala abad dan bangsa -- semuanya ini jelas menunjukkan kepentingannya. Kita jangan mengubah tekanannya. Peristiwa yang utama dalam hidup Yesus Kristus dan bagi Dia sendiri, adalah kematian-Nya di atas salib karena dosa.

    Kata-kata dari James Denny tidaklah terlalu keras:

    "Jika penebusan itu, terlepas dari perumusan yang tepat, berarti sesuatu bagi jiwa, maka dia adalah segala-galanya. Penebusan itu adalah yang paling mendalam dari segala kebenaran dan yang paling kreatif. Lebih dari apapun juga dia menentukan konsepsi kita mengenai Tuhan, manusia, sejarah dan bahkan mengenai alam. Penebusan itu menentukan semuanya ini, karena dengan satu dan lain jalan kita harus menyesuaikan semuanya ini dengan pengertian ini. Penebusan itu adalah tema dari segala pikiran, yang akhir-akhirnya merupakan kunci bagi segala penderitaan. Penebusan manusia dari dosa ini adalah suatu kenyataan yang demikian rupa, sehingga dia tak dapat berkompromi. Maka bagi jiwa modern, maupun bagi yang kolot, daya penarik dan penolakan dari kekristenan itu berpusat pada suatu titik yang sama. Salib Kristus adalah satu-satunya kemuliaan manusia atau perintangannya yang terakhir."

Sumber: 

Bahan di atas dikutip dari sumber :

Judul Buku:Kemuliaan Salib
Judul Artikel : -
Penulis:Samuel Zwemer
Penerjemah : -
Penerbit:Badan Penerbit Kristen untuk OMF, 1970
Halaman:9-15

Kitab yang Terbuka

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Salam sejahtera,

Artikel yang ingin saya bagikan kali ini mungkin agak lain dari biasanya. Tidak ada analisa teologis, yang ada adalah pengamatan sederhana (bahkan terkesan lambat) tentang hidup Kristen yang jujur. Sangat penting bagi kita untuk introspeksi ke dalam diri sendiri, khususnya para pelayan Tuhan yang aktif melayani Tuhan, betulkah hidup bak "Kitab yang Terbuka" itu menjadi salah satu ciri khas hidup Kristen kita, sebagaimana hal itu menjadi Trademark Tuhan?

Artikel ini diambil dari buku "Trademark Tuhan" karangan George Otis Jr. Untuk menolong kita mengerti seluruh buku itu, maka berikut ini saya kutipkan Prakata bukunya:

"Saya sering mengajukan pertanyaan kepada para pemirsa Kristen, apa yang perlu dibawa oleh seseorang, jika ia ingin memancing perhatian kawanan Winnie the Pooh (beruang kartun dari Walt Disney - red) yang lucu. Jawab mereka dengan cepat dan pasti: "Madu -- dan bila perlu dua atau tiga panci!".
Sayangnya ketika para pendengar yang sama ditanya apa yang diperlukan untuk menarik hadirat Allah, jawaban mereka jauh dari mantap. Barangkali doa? Mungkin penyembahan? Atau kekudusan? Jawaban- jawaban yang tidak mengandung kepastian tersebut menunjukkan bahwa kita sesungguhnya lebih mengenal tokoh beruang kartun daripada karakter Bapa kita yang di sorga.
Buku ini berusaha untuk mengubah ketidak-akraban kita terhadap sifat ilahi, dengan menyoroti tujuh karakteristik (atau Trademark) Tuhan yang menonjol -- otoritas, kejujuran, kerendahan hati, kasih, kreativitas, produktivitas, dan kesabaran. Karakter-karakter ini tidak hanya menunjukkan kepada kita seperti apa Bapa itu, tetapi juga apa yang akan terjadi terhadap diri kita jika kita mengizinkan hadirat-Nya meresap dalam hidup dan pelayanan kita."

Nah, Anda tertarik untuk membaca buku ini? Baca terlebih dulu artikel di bawah ini.

In Christ,
Yulia

Edisi: 
048/II/2004
Isi: 
Kitab yang Terbuka

Kitab yang Terbuka

"Satu-satunya cara supaya Anda dapat benar-benar mengendalikan perilaku Anda adalah dengan terus menerus bersikap jujur."
(Tom Hanks)

Diskusi mengenai kejujuran terjadi jutaan kali dalam sehari di ribuan tempat yang berbeda. Ibu-ibu berbincang dengan putrinya mengenai teman- teman cowoknya yang baru; pemilik toko berbincang dengan pegawainya mengenai pelanggannya yang tidak jujur; para pria setengah baya berbincang dengan tukang cukur mengenai tokoh-tokoh politik. Kebanyakan dari perbincangan ini, khususnya yang menyangkut tokoh publik atau situasi yang berkembang, diselingi dengan anekdot dan lelucon sarkastis.

Dua di antara peribahasa yang sering digunakan adalah "Anda tidak selalu dapat menilai sebuah buku hanya dari sampulnya" dan "Apa yang Anda lihat itulah yang Anda dapat". Yang pertama bertujuan untuk mengingatkan para pendengar dengan hikmat agar tidak terburu-buru memberikan suatu penilaian sedangkan yang kedua menegaskan bahwa penampilan adalah kenyataan -- kesan pertama merefleksikan dasar kebenaran. Yang pertama tadi menyamaratakan permasalahan dan objektif sedangkan yang kedua hampir sepenuhnya tergantung dari kejujuran yang menyatakannya.

Keterangan-keterangan yang autentik sungguh membantu, sehingga seringkali kita berusaha keras untuk mendapatkannya. Para wartawan memeriksa dengan teliti pidato-pidato pembukaan, dan catatan-catatan pemungutan suara para kandidat politik, para majikan mewawancarai banyak referensi sebelum menggaji calon karyawan-karyawatinya; para wanita muda berusaha mengorek keterangan sebanyak mungkin dari cowok yang baru dikenalnya (terutama mengenai para mantan pacar). Sayangnya, sekalipun kita telah berhasil mengorek banyak keterangan, tetapi keterangan tersebut jarang yang memberikan kita suatu kepastian. Kebanyakan kita telah belajar dari pengalaman pahit bahwa apa yang kita lihat hampir tidak pernah kita dapatkan. Untuk lebih amannya kita mengambil pendekatan yang tidak terburu-buru dan menangguhkan penilaian.

Kitab yang terbuka

Salah satu kecenderungan manusia yang kurang menarik ialah adanya agenda-agenda tersembunyi. Sedemikian terampilnya kita dengan permainan ini, sehingga kita kadang dijuluki tukang sulap moral. Akan tetapi, inilah susahnya: Apa yang mampu kita lakukan terhadap orang lain, mereka juga mampu melakukannya terhadap kita. Memang inilah yang terus menerus menjadi kekhawatiran kita. Dalam percintaan yang sedang bersemi, dalam negosiasi bisnis, dalam wawancara media massa, dalam kemitraan pelayanan, otak kita selalu was-was: Bagaimana jika orang ini mengkhianati saya? Kita hampir terus menerus bersikap defensif.

"Ada beberapa hal yang menyenangkan di dalam hidup ini," Malcolm Muggeridge menulis di dalam bukunya Chronicle of Waste Time, "mungkinkah persahabatan didasarkan atas pikiran yang benar-benar jujur dan transparan". Pertanyaannya adalah, di mana kita dapat menemukan pikiran-pikiran yang demikian? Jika semua itu bukanlah hal- hal yang asing di masyarakat kita, pastilah merupakan hal yang langka.

Perjalanan kita menyelusuri pikiran yang benar-benar jujur harus dimulai, seperti yang berlaku untuk semua kebajikan mutlak, dari Allah sendiri. Hanya dengan kita datang ke hadirat-Nya tanpa syarat, barulah kita mampu menanggalkan semua hikmat manusia. Terbebas dari segala pertimbangan yang membebani pikiran kita, dan mengarahkan kembali waktu serta tenaga kita untuk menggali karakter ilahi.

Trademark Tuhan yang kedua adalah apa yang saya sebut dengan "kitab yang terbuka", suatu pernyataan kejujuran dan integritas yang mutlak. Setiap penelitian terhadap cara-cara-Nya meyakinkan kita bahwa apa yang kita lihat sesungguhnya adalah apa yang kita dapatkan. Namun, juga sebaliknya dengan apa yang tidak kita lihat. Sebab kedalaman karakter-Nya tidak terukur -- bukannya seperti jurang maut yang gelap tetapi sebagai sumber kemuliaan yang tiada habis-habisnya. Meskipun pencerahan-pencerahan baru muncul setiap hari, tidak ada yang tidak konsisten dengan apa yang telah kita ketahui mengenai hal-hal pokok dalam Pribadi Allah. Wahyu-wahyu tersebut merupakan ekstrapolasi (perluasan data di luar data yang tersedia, tetapi masih mengikuti kecenderungan pola data yang tersedia - Red.) bukan penemuan-penemuan baru. Pewahyuan-pewahyuan tersebut memberi kita alasan untuk meneliti perkara-perkara ilahi yang belum terungkap bukannya menjadi takut terhadap hal-hal tersebut.

Allah itu jujur, tetapi Ia tidak seperti sindiran yang ditulis oleh seorang pujangga abad ke 17, sebuah "bantal duduk yang empuk dan enak yang di atasnya para bajingan beristirahat dan menjadi gemuk." (Pelajarilah Pengkhotbah 8:11 dan Zefanya 1:12 mengenai bahaya dari penundaan hukuman.) Sebaliknya, sebagaimana ditulis oleh C.S. Lewis di dalam bukunya The Lion, the Witch dan the Wardrobe, "[Ia] bagaikan seekor singa -- Singa, Singa yang besar."

"Ooh!" kata Susan, "Saya kira ia seorang manusia. Apakah ia - benar-benar aman? Saya merasa agak gugup kalau bertemu seekor singa."

"Pasti Anda akan senang melihatnya, sayang, dan tidak salah," kata Nyonya Beaver, "jika ada orang-orang yang berani tampil di hadapan Aslan tanpa gemetaran kakinya, mereka itu pasti lebih berani dari orang kebanyakan atau orang bodoh.

"Jadi, ia tidak aman?" kata Lucy.

"Aman?" kata Tuan Beaver. "Apakah Anda tidak mendengar apa yang dikatakan Nyonya Beaver kepada Anda? Siapa yang bilang aman? Tentu saja tidak aman. Akan tetapi, Ia baik. Saya beritahukan kepada Anda, Ia adalah Raja."

"Saya rindu melihatnya," kata Peter, "walaupun saya merasa takut ..."

Di dalam buku-bukunya yang lain. Lewis menyebut reaksi ini sebagai "rasa hormat yang kudus". Hadirat Allah yang sebenarnya merupakan perasaan yang tidak terdefinisikan, menakutkan sekaligus membanggakan suatu kemuliaan yang tidak terlukiskan:

... Orang-orang Yahudilah yang sepenuhnya mampu mengidentifikasikan dengan jelas. Hadirat-Nya yang sangat dahsyat dan menakutkan di puncak gunung yang gelap, dengan awan dan guntur yang bergema "Tuhan yang adil" yang "mengasihi keadilan" ... (Mazmur 1:7). Ada seorang yang lahir di antara orang Yahudi ini yang mengklaim sebagai, atau menjadi anak dari, atau menjadi "satu dengan," suatu Pribadi yang sangat dahsyat dan menakutkan di alam ini yang memberi hukum moral."

Melihat di Balik Sampul

Benar jika dikatakan bahwa sebuah buku yang bagus berisi kekayaan yang lebih banyak daripada bank yang terkenal. Kekayaannya yang berlimpah dapat mencakup pengetahuan yang teruji, inspirasi-inspirasi baru dan kemampuan yang mengagumkan yang dapat mengantar kita ke alam yang nyata maupun alam khayal. Namun, sebelum kita dapat menambang kekayaan ini, pertama-tama kita harus menentukan apakah isi buku itu benar- benar baik.

Sampul, sebagaimana pepatah kuno mengingatkan, hanya sedikit membantu. Bentuknya yang menarik dan kata-kata sambutannya yang mantap akan mendorong kita untuk menelaah lebih jauh buku tersebut, atau bahkan membelinya, tetapi sampul tersebut tidak dapat menjawab mengenai nilai intrinsiknya. Sampul dirancang untuk menarik perhatian kita, tidak untuk memberikan kita suatu analisis yang objektif mengenai bab-bab yang ada di dalamnya.

Tidak mengherankan, sampul buku yang bagus kadang dapat mengecoh kita karena subjek pembahasannya ternyata tidak sesuai dengan apa yang kita cari. Sampul juga dipakai untuk menutupi keterbatasan atau bobotnya yang di bawah standar. Satu-satunya cara agar kita tidak terkecoh (dan timbul kekecewaan lagi) adalah buka sampulnya dan membaca semua huruf cetaknya yang halus.

Hal yang seperti ini dapat kita lakukan dengan berjilid-jilid buku, tetapi tidak dengan manusia. Manusia lebih rumit dan seringkali segan membuka pintu masuk bagi orang luar untuk mengetahui keadaan diri mereka yang sebenarnya. Banyak yang memiliki kelemahan-kelemahan atau dosa-dosa tersembunyi. Yang lainnya cenderung mempertahankan suatu persepsi publik yang palsu (dan seringkali membumbung) mengenai karakter, kemampuan, prestasi atau tujuan-tujuan mereka.

Sedemikian meresapnya kecenderungan membungkus diri dan "bersandiwara" sehingga orang jadi bertanya-tanya apakah ada pelayanan yang benar- benar dapat mengetahuinya. Beberapa orang, seperti pujangga abad 18 Susanna Centlivre merasa pesimis. "Dia hanya si jujur yang tidak dapat kutemukan," ia menulisnya dalam buku The Artifice. Sementara penilaian ini dihasilkan karena banyaknya perkataan-perkataan sinis, tanggapan tersebut dapat dipahami mengingat pola perilaku di antara para pemimpin Kristen dan organisasi-organisasinya yang semakin hari semakin menggelisahkan.

Banyak "hamba Tuhan" yang bersikap manis dan terbuka sampai ada orang yang berani melontarkan pertanyaan-pertanyaan "salah", seperti: "Dari mana Anda memperoleh sumber mengenai kisah tersebut?" atau "Bagaimana Anda mengimbangi antara pelayanan dan kehidupan berkeluarga?" atau "Apakah laporan keuangan Anda sudah diperiksa oleh auditor luar?" Ketika perkataan ini meluncur dari mulut salah seorang jemaat atau pengerja gereja, segera sikap mereka menjadi gelap bagaikan hujan badai yang disertai kilat dan petir. Mereka ingin kita hanya melihat kepada sampul mereka, jangan membukanya.

Barang siapa yang mengklaim reputasinya dapat dipertanggungjawabkan, tetapi secara diam-diam meremehkan tanggung jawab tersebut, umumnya memiliki sesuatu yang disembunyikan (atau paling tidak mempunyai keinginan untuk melakukan hal tersebut). Saya teringat kepada tiga orang -- diantaranya adalah seorang penginjil televisi, seorang pemusik Kristen terkenal, dan seorang pembicara radio terkenal -- yang akhir-akhir ini berjuang keras untuk membantah penyelidikan mengenai gaya hidup mereka yang bermewah-mewah. Saya mengenal seorang gembala yang masih memimpin suatu gereja besar di Northwest yang secara tidak sengaja tertangkap dalam foto, ketika baru keluar dari suatu bioskop XXX khusus untuk orang dewasa. Bukan tujuan saya untuk mempersalahkan orang-orang tersebut, tetapi hal ini mengingatkan kita bahwa isi suatu buku tidak selalu sebanding dengan sampulnya. Mereka seperti wanita yang merajah dandanannya, sehingga tetap kelihatan sempurna. Selama orang-orang tetap melihatnya dari kejauhan. Dan, selama ia tidak menjerit, tidak seorang pun yang tahu.

"Ketidakjujuran selalu mencari tempat bernaung, sampul, atau tempat persembunyian. Itu adalah kecondongan hidup di dalam kegelapan." (William Bennet)

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Seorang pengusaha situs pornografi yang sudah bertobat, Steve Lane, pernah dipancing oleh pemirsa di ruang tanya jawab suatu acara Kristen. "Steve, apakah Anda mempunyai catatan tentang berapa dari mereka yang menjadi pelanggan situs tersebut," dengan menyesal Steve mengatakan "Kira-kira 5 dari 10." Lane percaya bahwa pornografi merupakan suatu rahasia kecil yang terdapat pada banyak pemimpin Kristen, terutama pria. "Saya mengenal gereja-gereja di mana semuanya kelihatan baik: penyembahan, persepuluhan; penutup kursinya yang indah dan panji-panjinya yang megah -- tetapi tidak seorang pun di gereja tersebut yang mengetahui bahwa gembala mereka sudah diperbudak oleh pornografi selama 20 tahun ..." Kejatuhan Lane sendiri ke dalam hawa nafsu dan kemarahan berawal dari masa kanak-kanaknya, ketika itu ibunya berselingkuh dengan sang gembala, yang kemudian dinikahinya. Tidak seorang pun yang mengetahui bahwa si pengkhotbah "api dan belerang" ini sangat ketagihan pornografi. "Dari luar kelihatannya seperti rumah tangga Kristen yang sempurna," kenang Lane, "tetapi di dalamnya kehidupan saya seperti di neraka. "

Hamba yang saleh tidak boleh bermuka dua. Seperti yang dikatakan oleh Yesus kepada murid-murid-Nya, "(Haruslah) bagi seorang murid menjadi sama seperti gurunya dan bagi seorang hamba menjadi sama seperti tuannya" (Matius 10:25). Hidup kita seharusnya transparan sehingga kita dapat berkata seperti Kristus, "Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa" (Yohanes 4:9). Siapa pun yang memeriksa catatan sejarah Anda tidak boleh ada yang menemukan sampul yang lain atau bab yang hilang. Bila kita tidak menyembunyikan sesuatu, kita tidak perlu takut akan ada hal-hal yang terbongkar ketika ada yang menyelidiki kehidupan pribadi kita (lihat Lukas 2:2). Ciri-ciri moral yang transparan adalah, kita dapat berkata, "Penguasa dunia ini boleh datang (tetapi) ia tidak akan menemukan apa-apa atas diriku." (Yohanes 4:30)

Para misionaris dan lembaga-lembaga yang berasal dari Tuhan, tidak akan pernah menolak penyelidikan terhadap karakter mereka. Memang, keterbukaan adalah salah satu dari trademark utama mereka. Mereka mengundang dunia untuk melihat dari dekat, karena mereka ingin melihat, dan memeluk kejujuran serta integritas yang sejati. Itulah sebabnya Rasul Paulus berani berkata, "(Teladanilah aku), sama seperti aku juga [meneladani] Kristus" (1Korintus 11:1; lihat juga Filipi 3:17; 4:9). Seperti yang dijelaskannya kepada jemaat di Korintus,

Demikianlah pula, ketika aku datang kepadamu, saudara-saudara, aku tidak datang dengan kata-kata yang indah atau dengan hikmat untuk menyampaikan kesaksian Allah kepada kamu. ... Baik perkataanku maupun pemberitaanku tidak kusampaikan dengan kata-kata hikmat yang meyakinkan, tetapi dengan keyakinan akan kekuatan Roh, supaya iman kamu jangan bergantung pada hikmat manusia, tetapi pada kekuatan Allah. (1 Korintus 2:1, 4-5)

Pendekatan yang terbuka dan rendah hati ini, disokong oleh Ann Kiemel Anderson, salah satu komunikator Kristen yang paling terkenal. Dalam bukunya yang segar dan jujur Seduced by Success, Anderson mengakui bahwa perspektifnya yang baru, adalah hasil dari suatu pernikahan yang hampir kandas, dan suatu ketergantungan diam-diam kepada pil penahan sakit. "Saya harus belajar bahwa sebagai seorang penulis buku- buku terlaris yang selalu dikelilingi dengan sambutan sorak sorai, tepuk tangan sambil berdiri tidak membuat diri seseorang menjadi utuh (sempurna)," katanya. "Allahlah yang harus melepaskan saya dari diri saya sendiri."

Jika Ya, Katakan Ya

Orang-orang Kristen yang ingin mempertahankan tujuan dan sumber pendapatan mereka sekaligus, seringkali terjebak ke dalam tindakan "melakukan setengah kebenaran" atau agenda-agenda tersembunyi dengan cara memukul semak-belukar yang padat. Hampir tidak ada di hutan modern ini yang terlihat apa adanya. Mereka yang memelihara bayang-bayangnya memanifestasikan khayalan akan kebesaran dan berpura-pura peduli. Mereka memutar kepalsuan hingga dalam dan merayakan keberhasilan yang sementara. Rela kehilangan seluruh hikmat, ketulusan, komitmen dan prestasi yang sejati.

Sebagaimana yang ditulis oleh William Bennet dalam bukunya The Book of Virtues, "Ketidakjujuran selalu mencari tempat bernaung, sampul, atau tempat persembunyian. Itu adalah kecondongan hidup di dalam kegelapan." orang-orang yang tidak jujur adalah orang-orang yang tinggal di hutan. Mereka memerlukan bayangan-bayangan dan lampu warna- warni untuk menciptakan khayalan. Mereka "mempercayai dusta", Muggeridge menulis di dalam bukunya The Green Stick, "Bukan karena mereka diberi penjelasan yang masuk akal, tetapi karena mereka ingin mempercayainya."

Sebaliknya, orang-orang yang jujur dan terbuka, menghindari jalan penyesatan (penipuan) apa pun bentuknya. Mereka menolak untuk melakukan manipulasi, tindakan yang membesar-besarkan atau bermain dengan agenda-agenda yang tersembunyi. Kedudukan mereka tidak bergeming. Komitmen-komitmen mereka tidak ditulis dengan tinta yang tidak kelihatan. Mereka sangat memerhatikan nasihat Tuhan Yesus, "Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak" (Matius 5:37).

Sayangnya, tulis Tozer, "Banyak dari guru dan pengkhotbah kita yang terkenal mengembangkan suatu teknik berbicara dengan suara perut agar suara mereka kelihatan lebih berwibawa dan seolah datang dari berbagai penjuru angin." John White menambahkan bahwa hal yang sama juga terjadi di kalangan eksekutif pelayanan; khususnya ketika meminta bantuan keuangan mereka seringkali menggunakan kata-kata sandi dan berputar-putar. Untuk memastikan maksud mereka, sering kali kita terpaksa mengartikan sendiri apa yang tersirat.

Perkataan iman (telah) mendapat suatu pengertian teknis dan (sekarang) merupakan suatu tanda pengenal rohani yang terhormat. Dewasa ini kita hampir tidak pernah tersenyum lagi mendengar ketidak-konsistenan dari suatu program radio Kristen yang menutup siarannya dengan kata-kata, "Sebagaimana Anda ketahui usaha ini berjalan karena iman. Kami hanya berharap kepada Allah untuk memenuhi segala kebutuhan kami, dan juga kepada Anda sebagai umat-Nya yang memberi dengan murah hati untuk mendukung usaha ini yang akan menjangkau jutaan orang miskin dengan Injil. Program kami memerlukan biaya $50.000,- per minggu. Tulislah untuk memberikan dorongan kepada kami. Surat Anda sangat berarti bagi kami ... Kami akan mengirimkan Anda secara gratis sebuah buklet yang berjudul ...." Dan, seterusnya.

Orang-orang Kristen yang dewasa paham bahwa Allah mempunyai andil dalam keberhasilan setiap pesan dan misi yang telah Ia tetapkan, Ia dapat diandalkan untuk mempersiapkan jalan bagi hamba-hamba-Nya. Ia ahli dalam melembutkan hati dari mereka yang terhilang dan menggerakkan hati para donatur. Para pelayan tidak perlu berkeliling memukul semak-belukar -- dan mereka yang melakukan hal tersebut menunjukkan kurangnya keyakinannya dalam panggilan Allah atau menunjukkan adanya suatu agenda yang tersembunyi.

Fakta-Fakta Ketidakjujuran

Para pendusta senang bergabung dengan para pembual. Keengganan mereka untuk berpegang teguh pada kebenaran membuatnya mudah bergaul dengan orang-orang yang suka membual. Sekali fakta-fakta ketidakjujuran ditolerir, ia akan meningkat menjadi penyesatan yang selektif dan pada gilirannya mereka akan menjadi terbiasa "mengubah kenyataan".

Para pemimpin dan pengumpul dana Kristen berusaha keras untuk menyokong kampanye-kampanye besar yang terus terang, terlalu berat pencobaannya di bidang ini. Setelah mengumbar ,"janji-janji surga" kepada para pendukungnya, mereka harus memilih salah satu, yaitu memberikan yang besar sesuai dengan janji-janji mereka atau kehilangan kesempatan memperoleh uang banyak tanpa harus bersusah payah. Masalahnya adalah kebutuhan-kebutuhan dunia yang nyata ini terlalu besar dan terlalu rumit untuk ditanggulangi oleh satu organisasi saja. Jalan keluarnya (yang tidak jujur) ialah mereka memperkecil tantangan yang seharusnya dihadapi; dengan cara membuat program yang bertema umum-umun saja, agar tidak dapat diklaim, misalnya: Afrika bagi Kristus, Kampanye Untuk Memenangkan Jutaan Jiwa" dengan data statistik yang meragukan (biasanya hanya berdasarkan perkiraan kehadiran KKR atau pendengar siaran yang potensial). Kedua muslihat inilah yang paling sering digunakan untuk mencapai batas maksimal penghasilan mereka. Karena terus terang sulit untuk menguji perkiraan dan efektivitas mereka yang sebenarnya.

Realita yang cenderung dibesar-besarkan ini, lebih terkesan lagi bila menyangkut data-data dari luar negeri. "Sungguh," Muggeridge menulis di dalam otobiografinya, "orang-orang terlanjur kagum terhadap berita yang direkayasa dari suatu tempat pengumpul berita, padahal sesungguhnya berbeda dengan kebenaran berita yang dikirim." Ditambah lagi naluri kita yang umumnya cenderung mudah mempercayai hal-hal berbau misi. Memang, diperlukan waktu dan biaya yang besar untuk mengecek ulang fakta-fakta di tempat yang jauh, itu sebabnya para operator yang tidak jujur sangat menyukai program-program internasional.

John White menceritakan secara panjang lebar contoh sebuah organisasi Kristen yang melatih para pekerjanya untuk menetapkan kuota penginjilan dan kemudian mengemas kesaksian-kesaksian dari para petobat baru sebagai "kisah-kisah perang" untuk dipublikasikan. Namun, menurut salah seorang pekerja, "Sementara tintanya belum kering di kertas yang dicetak, kebanyakan dari petobat baru tersebut telah meninggalkan 'iman' mereka." Hal ini terjadi terus menerus. Sebagaimana disebutkan oleh White, informasi yang ada di dalam berita doa tersebut menyesatkan. "Kisah-kisah yang dituliskan dalam berita bukanlah kisah-kisah yang diceritakan ketika berita tersebut dibaca."

Kisah ini, dan kisah-kisah lainnya yang seperti ini mendorong kita untuk bertanya beberapa pertanyaan penting. Pertama dan yang paling jelas, Apakah kemajuan organisasi ini merupakan prioritas yang lebih tinggi dari pada perluasan Kerajaan Allah? Apakah hal ini membuat para eksekutif pelayanan berkompromi dengan standar kebenaran yang alkitabiah? Apakah ini merupakan "keserakahan" yang dimaksud oleh Rasul Petrus, yang akan menyebabkan beberapa pemimpin Kristen berusaha "mencari untung dari kamu dengan cerita-cerita isapan jempol mereka" (2 Petrus 2:3)?

Bisikan Roh Kudus versus Rayuan Manusia

Banyak orang percaya merasa sulit untuk membedakan antara bisikan Roh Kudus dengan rayuan manusia. Kedua pendekatan tersebut merangsang pikiran dan perasaan. Keduanya mengajak kita untuk mendukung alasan- alasan yang layak dan bisa dilihat. Namun, ada satu perbedaan yang besar. Bisikan Roh Kudus tidak membuat risih, lembut, sopan dan jujur. Sedangkan rayuan manusia cenderung vulgar; melihat orang sebagai objek untuk mendapatkan keuntungan. Yang satu berorientasi kepada hubungan sedangkan yang lain berorientasi kepada program.

Harus diakui bahwa dalam banyak kasus rayuan manusia ternyata berhasil. Kenyataannya adalah, seluruh industri telah tumbuh dan berkembang dengan mempraktikkan hal tersebut. Para penjajak pendapat menemukan apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh orang-orang; para penerbit menyampaikan hasil-hasilnya ke dalam desktop kita; dan para konsultan serta pengajar di seminar mengajar kita bagaimana mendapatkan keuntungan dari apa yang kita ketahui.

Karena banyaknya orang Kristen yang menerapkan pendekatan perhitungan ini ke dalam pelayanan mereka, mungkin sudah waktunya untuk kita bertanya-tanya apakah kita ini anak-anak Allah atau anak-anak ilmu pengetahuan. White mengkhawatirkan bahwa metode-metode modern, kalau kita tidak berhati-hati menyeleksinya dapat merongrong iman di dalam Roh Kudus. Walaupun iklan dan rayuan secara intrinsik bukanlah kejahatan, tetapi hal itu dapat menimbulkan kerugian yang besar "bila motivasinya adalah keserakahan atau eksploitasi (tidak memperlakukan umat manusia sebagai manusia, mengabaikan martabat mereka dan menganggap mereka sebagai objek untuk manipulasi)".

Mercusuar

Mampukah kita membuat pernyataan seperti Paulus bahwa "kami menolak segala perbuatan tersembunyi yang memalukan"? Dapatkah kita berkata bahwa "kami tidak berlaku licik dan tidak memalsukan firman Allah"? Apakah kita bersedia untuk mempraktekkan kebenaran apa adanya untuk "menyerahkan diri kita untuk dipertimbangkan oleh semua orang di hadapan Allah" (2 Korintus 4:2)?

Meskipun secara psikologis kadang-kadang manipulasi membuahkan hasil-hasil jangka pendek, hal tersebut tidak sebanding dengan keyakinan yang datang dari Roh Kudus. Orang-orang Yerusalem tidak memerlukan panggilan ke depan (altar call) pada akhir khotbah Petrus di hari Pentakosta. Tidak ada suara serak-serak basah yang mengatakan "Raihlah waktu yang istimewa ini". Tidak ada pemain organ yang memainkan musik lembut "Kuserahkan". Sebaliknya, Alkitab menceriterakan kepada kita bahwa orang banyak tersebut "hatinya sangat terharu" dan mereka langsung bertanya kepada Petrus dan rasul-rasul yang lain: "Apakah yang harus kami perbuat, saudara-saudara?" (Kisah 2:37). Setelah kejadian itu, gereja bertambah 3.000 jiwa. "Setiap orang" kata Alkitab "dipenuhi rasa kagum" (ayat 43). Ini bukan untuk meragukan metode panggilan ke depan (altar call). Namun, untuk mengingatkan bahwa adakalanya kita harus membiarkan sang Mempelai Pria melayani kita langsung.

Tata cara yang dilakukan terhadap seseorang yang hendak dilamar mencerminkan maksud dari pelamarnya -- baik pria maupun wanita. Jika tujuannya adalah anjungan satu malam (sumbangan yang didasarkan atas perhitungan untung rugi, suatu sumbangan yang impulsif), maka manipulasi yang akan menang. Akan tetapi, jika tujuan akhirnya adalah menghasilkan (seorang murid yang kuat, mitra jangka panjang), maka kita perlu merayu hati kekasih kita.

Banyak dari kita tidak jujur di hadapan manusia karena kita tidak jujur di hadapan Allah. Kita membawa ambisi-ambisi pribadi kita dan dosa-dosa yang tersembunyi -- "apa yang tersembunyi dalam kegelapan" yang pada suatu hari akan diungkapkan (1 Korintus 4:5). Tetapi, Allah menginginkan kebenaran "dalam batin" (Mazmur 1:8), dan Ia membuatnya menjadi jelas bahwa setiap usaha untuk menyembunyikan dosa tidak akan beruntung (Amsal 8:13).

Jika kehidupan kita adalah kitab yang terbuka, satu-satunya harapan yang dapat kita lakukan adalah berteriak seperti Daud, "Selidikilah aku, ya Allah, dan ketahuilah akan hatiku" (Mazmur 139:23) dan seperti Ayub, "Apa yang tidak kumengerti, ajarkanlah kepadaku" (Ayub 4:32). Hanya sebagaimana kita sendiri diuji dan dimurnikan barulah kita mampu mengenali ketidakjujuran yang ada di dalam diri orang lain.

Audio: Kitab yang Terbuka

Sumber: 
Judul Buku:Trademark TUHAN
Pengarang:George Otis Jr.
Penerbit:Indo Gracia, Jakarta
Halaman:41 - 55

Jemaat-jemaat Kristus di Asia Melintasi Abad Ke-21 (Bagian 2)

Editorial: 

Bagaimana penggembalaan gerejawi di Asia menghadapi tendensi perkembangan gereja dan masyarakat abad ke-21?

Berikut adalah bagian kedua dari artikel Jemaat-jemaat Kristus di Asia Melintasi Abad Ke-21.

Edisi: 
047/I/2004
Isi: 

III. PERLENGKAPAN YANG DIBUTUHKAN DALAM PENGGEMBALAAN DI GEREJA-GEREJA ASEAN

Selama 40 tahun lebih, oleh anugerah Tuhan, penulis menjadi pengajar di seminari, mengadakan penginjilan, membuka ladang baru, mendirikan gereja dan sekolah Kristen. Semuanya itu dilakukan penulis selaku hamba kecil yang menaati dan melakukan kehendak-Nya. Dengan pemahaman yang dangkal, melalui kesempatan ini penulis mencoba memberikan beberapa saran, kiranya pembaca yang terhormat berkenan memberi petunjuk dan koreksi.

  1. Dosen seminari dan pemimpin gereja perlu membentuk kelompok pemahaman Alkitab untuk menyelidiki seluruh doktrin Alkitab, kebenaran Alkitab yang tak pernah berubah itu, untuk mengevaluasi doktrin-doktrin yang telah menjadi tradisi denominasi-denominasi gereja Barat, yang selama ini disebut sebagai kepercayaan ortodoks, namun tidak sesuai dengan kebenaran Alkitab. Memisahkan kebenaran Alkitab yang tidak berubah itu dengan kebudayaan barat, agar orang Asean dengan jelas mengenal garis pemisah antara kebenaran agama Kristen dan kebudayaan Barat, untuk mengurangi sikap menentang kebudayaan Barat sebagai alasan menentang kebenaran Kristen.
  2. Injil di Asia

  3. Dosen seminari dan pemimpin gereja perlu membentuk kelompok kecil untuk mempelajari rencana pembangunan nasional. Berdasarkan kebenaran Alkitab, dengan sikap positif meresponinya, serta mendorong orang Kristen turut berperan serta di berbagai sektor pembangunan nasional. Yusuf, Ester, Mordekai, Daniel dan juga tidak sedikit orang Kristen yang saleh yang mempunyai kontribusi dalam politik negara. Alangkah baiknya jika dapat mengundang politikus Kristen untuk hadir dalam pertemuan-pertemuan kelompok kecil ini.
  4. Dosen seminari perlu menyelidiki baik buruknya pemikiran, motivasi, langkah-langkah, dan penafsiran. Menjadwalkan pengadaan seminar, dengan mengundang Gembala atau hamba Tuhan dan orang Kristen yang berpendidikan tinggi, bersama-sama meneliti dan diskusi, kemudian menjelaskan kembali hasilnya kepada jemaat. Hal ini dapat menghindari agama menyalahgunakan nama kekristenan untuk menentang kebenaran Alkitab, yang berdampak negatif bagi citra gereja, juga dapat mencegah orang Kristen menerima teori yang tampak benar tetapi sesungguhnya salah, dan menggantikannya dengan slogan rohani yang muluk-muluk, dengan sembrono mengikutinya demi keuntungan material.
  5. Perlu adanya kerja sama antara seminari dan gereja setempat untuk membentuk pendidikan teologi kaum awam, di mana dosen teologi dan orang Kristen awam dapat berinteraksi secara langsung selaku guru dan sahabat. Kebenaran yang murni itu disampaikan dengan rinci, konkret, praktis, aplikatif, dan universal. Pendidikan teologi kaum awam dapat menjadi tempat di mana dari tangan pertama seorang dosen teologi mendapatkan persoalan-persoalan yang berkaitan langsung dengan kehidupan orang Kristen di tengah-tengah masyarakat dunia, dan orang Kristen memperoleh jawaban yang berbobot yang sesuai dengan kebenaran Alkitab. Gembala Sidang setempat sebaiknya juga menjabat sebagai dosen pendidikan teologi kaum awam, sehingga dalam proses belajar mengajar yang cukup panjang itu, gembala sidang memacu jemaat untuk menyelidiki kebenaran Alkitab dengan saksama.
  6. Gereja harus memberikan kesempatan secara berkala bagi gembala sidang atau hamba Tuhan untuk mengikuti pendidikan teologi lanjutan. Konsep tentang seorang hamba Tuhan cukup berbekalkan pendidikan teologi selama 4 tahun dan kemudian melayani seumur hidup harus diubah. Pada era informatika dan meledaknya pengetahuan kini, jika setiap minggu seorang gembala sidang atau hamba Tuhan tidak secara intensif membaca 1-2 buah buku ilmiah atau yang berbobot, 5-7 tahun kemudian tidak mengikuti 1-2 tahun pendidikan lanjut, maka dengan kerutinan setiap minggu yang harus membuat 2-3 naskah khotbah itu, ia akan terasa begitu sulit dan kering. Setiap kali ia akan merasa letih lesu, kecewa dan putus asa, dengan langkah yang berat dan tidak bersemangat menuju mimbar. Sekalipun jemaat datang beribadah dengan hati yang hormat dan takut kepada Tuhan, rindu untuk memperoleh makanan rohani yang dibutuhkan sebagai pedoman dalam kehidupannya, tetapi kenyataannya ialah: "kata-kata usang atau kata klise belaka, yang tak bermakna", yang tidak dapat memenuhi kebutuhan rohani mereka. Yang lebih fatal, karena pengkhotbah merasa begitu tertekan, seringkali tanpa sadar mengeluarkan kata-kata omelan, sindiran di mimbar, menjadikan jemaat sebagai tempat pelampiasan amarah, akibatnya hubungan antara gembala dengan jemaat akan semakin memburuk. Ini adalah bencana bagi gereja, bahkan bencana yang besar! Jika secara berkala gembala atau hamba Tuhan itu mengikuti pendidikan lanjut, lebih meneliti dan mendalami Alkitab, maka Firman Tuhan akan disampaikannya dengan penuh keyakinan dan suara yang mantap. Ditambah dengan doa serta kuasa Roh Kudus, maka akan seperti air sungai yang mengalir dengan lancar, bersemangat dan mendatangkan berkat bagi yang mendengarkan. Pelayanan mimbar merupakan kesempatan di mana seorang hamba Tuhan bekerja sama dengan Tuhan, juga merupakan suatu kenikmatan rohani. Hal ini merupakan kunci bagi pertumbuhan rohani orang Kristen dan vitalitas gereja.
  7. Setiap minggu gembala sidang atau hamba Tuhan harus berusaha untuk menulis artikel-artikel yang bersifat penelitian dan sistematis, atau mengundang orang Kristen yang pandai dalam kesusasteraan untuk menulisnya. Kemudian dimuat dalam buletin gereja. Di samping melatih diri sendiri agar semakin maju dalam membuat naskah khotbah, (karena untuk diterbitkan, sudah tentu akan lebih teliti memikirkan secara rinci, dan akan berusaha untuk menggunakan materi yang lebih tepat.) juga melatih diri melakukan pelayanan literatur. Jikalau dalam satu tahun memiliki 52 naskah khotbah yang ringkas, pada akhir tahun dapat diterbitkan sebagai sebuah buku, baik untuk dijual kepada orang Kristen, atau sebagai kenang-kenangan pada hari Natal kepada sanak saudara dan sahabat. Dalam anugerah Tuhan, selama pelayanan 50 tahun, ia akan memiliki 50 buah buku kumpulan khotbah, dengan demikian ia telah menjadi gembala yang mengarang. Yang lebih berharga ialah ketika ia kembali ke pangkuan Bapa, hasil karya ini dapat menjadi kesaksian untuk orang banyak. Pelayanan yang tahan lama ini, juga melatih gembala atau hamba Tuhan untuk memiliki kehidupan yang teratur, ulet dan mau berupaya untuk maju. Selain Gembala sidang atau hamba Tuhan harus memiliki tekad ini, gereja juga harus memberi dukungan kepada mereka. Contoh: John Wesley (abad-18), Charles Spurgeon (abad-19), Harun Hadiwijono, R. Sudarmo, J. L. Ch. Abeneno (abad-20).

IV. STRATEGI YANG DIKEMUKAKAN KRISTUS BAGI GEREJA DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN SEJARAH

Kristus belum datang kembali, tetapi gereja telah memasuki abad ke-21. Beberapa pemimpin gereja mengamati sejarah 100 tahun yang lalu, di mana gereja di Eropa dan Amerika semakin melemah dan mundur, sebaliknya agama-agama lain bangkit, bertumbuh, dengan gigih maju mendobrak semua penghalang, menembus masuk ke dalam basis gereja di Eropa dan Amerika. Walaupun di negara-negara Asia memberikan keleluasaan bagi kekristenan, tetapi ketika memperkenalkan anugerah keselamatan Kristus kepada yang lain, seringkali dihalangi karena alasan "kerukunan dan ketenteraman". Sehingga tidak sedikit yang peduli akan masa depan penggembalaan gereja menjadi cemas, dan umumnya bersikap membalas, bahkan untuk menunaikan Amanat Agung sampai ke seluruh dunia, mereka siap membayar harga "lebih baik mati berkalang tanah, daripada hidup bercermin bangkai." Berdasarkan kebenaran Alkitab, kita akan melihat bagaimana Kristus menangani strategi gereja menghadapi perubahan sejarah.

1. Dasar Gereja Kristus

Tuhan Yesus Kristus sendiri adalah dasar bagi gereja (Mat. 16:18-20; lKor. 3:11; Ef. 2:20). Dasar ini bukan bersifat materi, bukan organisasi manusia yang kelihatan, bukan orang banyak yang kenyang karena makan roti, terlebih bukan teologi dari teolog timur dan barat, atau pencerahan khusus para penafsir. Dasar ini adalah: Yesus Kristus, Firman yang telah menjadi manusia, diam di antara manusia, taat sepenuhnya kepada kehendak Bapa, dengan darah-Nya yang kudus oleh Roh yang kekal telah mempersembahkan diri-Nya sebagai korban bagi penebusan dosa umat manusia, yang telah bangkit dari kematian, dan yang telah menang atas segala kuasa. Ia adalah kekal, hidup selama-lamanya, menjadi Pemimpin semua raja-raja di dunia. Dia adalah Raja yang telah diurapi Allah Bapa sejak kekekalan (Mzm. 2:7; Ibr. 1:8-13; Why. 5:9-14; 6:16; 19:11-16; dan sebagainya).

Dengan hidup yang kekal Kristus telah mempersembahkan korban yang kekal. Hidup yang diberikan-Nya adalah hidup dari Allah, dan gereja didirikan oleh-Nya dan merupakan kumpulan orang-orang yang oleh-Nya telah beroleh hidup. (Yoh. 1:12-13; 10:10-11, 17-18; 17:3; 20:31; Ibr. 9:11-14; 10:10-18 dan sebagainya). Oleh sebab itu, gereja Kristus itu adalah hidup dan rohaniah, yang adalah milik Allah yang esa dan benar. Karena gereja didirikan di atas darah tubuh Kristus yang kekal, maka gereja bersifat kekal dan kokoh.

2. Ujian Gereja Kristus

Tuhan Yesus berkata kepada Petrus: "Di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya." (Mat. 16:18). Hal ini menyatakan: Ketika mendirikan jemaat (gereja), ada kekuatan yang menolak dan merusakkannya, tetapi tidak akan dapat menguasainya.

Sejarah gereja juga memberitahukan kepada kita, ketika Kristus memberitakan Injil Kerajaan Surga di bumi ini, untuk menyelamatkan semua bangsa, pemimpin-pemimpin Yahudi menolak-Nya, menyerang-Nya bahkan bersiasat untuk membunuh-Nya (bandingkan Yoh. 5:16; 7:1, 30; 8:59, 34; 11:53, 57; 19:6-7, 15; dan sebagainya). Gereja pada zaman para Rasul juga menderita penganiayaan dari golongan Yudaisme. Orang-orang Yahudi berupaya keras untuk memusnahkan orang Kristen (bandingkan Kis. 4:1-3, 5-7, 17-18; 5:17-40; 6:9-14; 7:54-59; 8:1-3; 9:1-2; 13:50; 14:1-6, 19; 17:1-9; 18:12-17; 21:27-36; 23:12-15 dan sebagainya). Sesudah itu, pada masa Kekaisaran Romawi berkuasa pada tahun 60-12 TM, sepuluh kali gereja menderita penganiayaan besar. Pada abad-7, sebuah agama baru muncul di Timur Tengah dan menghancurkan gereja-gereja di Arab, Mesir, Afrika Utara dan Spanyol, serta membunuh ratusan ribu orang Kristen. Pada abad-14 dan 15, agama Timur Tengah di Turki memusnahkan hampir seluruh umat Kristen di negara itu. Pada abad-20, ketika Partai Komunis berkuasa di Rusia, juga hampir memusnahkan Gereja Ortodoks Yunani, Roma Katolik di Eropa Timur Rusia dan Agama Kristen di Cina. Namun selama 2.000 tahun, gereja yang berakar dalam Kristus yang telah bangkit dan hidup selama-lamanya itu, tetap bereksistensi, bahkan seturut kehendak Allah masuk ke dalam semua lapisan masyarakat, bersaksi kepada penganiaya-penganiaya itu. Seperti yang dikatakan dalam surat Wahyu "Kuasa kegelapan berupaya dengan berbagai cara ingin menyerang dan menelan gereja, bagaikan naga merah yang besar itu menelan anak yang dilahirkan perempuan itu, tetapi Allah sendiri menyediakan tempat bagi perempuan dan anaknya di padang belantara, memeliharanya, sehingga tidak ditelan oleh naga merah besar itu" (Why. 12:1-6, 13-17).

3. Perkembangan Gereja Kristus

Gereja yang ditebus dan didirikan oleh darah Kristus adalah gereja yang hidup dan bersifat rohani. Karena hidup, maka akan terus berkembang biak; karena bersifat rohani, maka tidak dibatasi oleh dunia materi. Kristus pernah memakai perumpamaan benih untuk melukiskan firman yang hidup dan rohani. Ia berkata, "Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah." (Yoh. 12:24). Seorang Kristen yang memiliki hidup dibunuh, berarti sebuah benih yang hidup jatuh ke tanah dan mati. Tidak lama kemudian akan menghasilkan banyak buah. Oleh sebab itu, darah kaum martir adalah benih-benih Injil yang jatuh dan mati. Di mana ada seorang martir Kristen, benih Injil tersebut akan melampaui ruang dan waktu, di situ ia akan menghasilkan banyak buah yaitu orang-orang Kristen yang memiliki hidup Kristus, orang-orang Kristen dari berbagai bangsa dan negara. Contoh: Martir Stefanus (Kis. 7), benih yang mati dan menghasilkan buah yaitu Paulus yang menjadi rasul untuk bangsa bukan Yahudi (Kis. 9).

Selama 2.000 tahun ini sejarah gereja memberitahukan kepada kita: Eksistensi dan misi gereja yang ditebus dan diselamatkan oleh darah Kristus, di tempat, bangsa, budaya dan zaman yang berbeda, selalu ditentang, didesak, difitnah, dilarang, bahkan diancam untuk dibunuh, tetapi karena Kepala gereja adalah Kristus yang telah bangkit, yang telah menang atas kematian dan maut, yang hidup untuk selama-lamanya selalu menyertai gereja-Nya, menderita bersama-sama dengan gereja-Nya. Dengan cara yang ajaib, Ia memelihara semua orang Kristen yang mengasihi-Nya, yang taat memberitakan Injil-Nya di seluruh bumi, sehingga Injil dapat diberitakan dari satu tempat ke tempat yang lain. Gereja berkembang dan menyebar dari satu bangsa ke bangsa yang lain, keselamatan oleh darah Kristus diteruskan dari satu generasi ke generasi yang berikut, Alkitab diterjemahkan dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Penyebaran gereja bagaikan sebuah perahu yang berlayar, mengarungi lautan, menerpa badai dan ombak, dengan gagah maju terus, untuk menggenapkan amanat pemberitaan Injil yang telah ditetapkan Allah dalam kekekalan, agar semua bangsa menjadi murid Kristus.

4. Kesaksian Gereja Kristus

Alkitab Perjanjian Baru secara konkret menjelaskan isi iman Kristen, amanat orang Kristen dalam kehidupan dan karir sehari-hari, baik atau tidak baik waktunya, harus memberitakan keselamatan dalam Kristus. 2.000 tahun silam, kepercayaan Kristen tak putus-putusnya mengalami penolakan dan penyerangan dari kekuatan pikiran filsafat manusia dan arus kejahatan yang ada dalam budaya sekular, agar moral orang Kristen yang bersih dan murni itu dinodai, serta menurunkan standar yang ditetapkan Alkitab. Namun, Kristus yang bangkit, oleh darah-Nya yang tetap berkhasiat, dan kuasa Roh Kudus, senantiasa menyucikan, memelihara kekudusan gereja dan orang Kristen (bandingkan 1Yoh. 1:5-2:2; Why. 7:14; dan sebagainya). Membangun yang gagal, menopang yang lemah, memanggil yang bertekad meneladani Kristus, menyangkal diri, memikul salib-Nya (bandingkan Luk. 22:31-34, 60-62; Yoh. 10:28-29; 1Tes. 5:23-24; Yud. 24-25 dan sebagainya). Roh Kudus seturut kehendak-Nya mengaruniakan berbagai karunia rohani kepada setiap orang Kristen di posisi masing-masing: berkata-kata dengan hikmat, pengetahuan, iman, kasih, mengajar, menasihati, memimpin, membedakan bermacam-macam roh, memberitakan Injil, menggembala-kan jemaat, menafsirkan kebenaran Alkitab dan sebagainya, agar saling melengkapi, membangun kerohanian orang Kristen, di tiap zaman, tiap tempat, tiap bangsa, tiap lapisan masyarakat (bandingkan Rm. 12:6-8; Ef. 4:11; 1Kor. 12:8-10, 28-29; lPtr. 4:10-11 dan sebagainya).

Seturut kehendak Kristus, gereja terus maju dan berani bersaksi kepada orang-orang yang tidak percaya, pada zaman yang jahat dan kacau balau ini.

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Selama 2.000 tahun, dalam kondisi seperti inilah gereja Kristus bereksistensi, bertumbuh dan menyebar sampai ke semua bangsa. Sebelum kedatangan Kristus yang kedua kalinya, gereja dan orang Kristen akan tetap menghadapi tantangan dan penganiayaan, serangan dan kebejatan moral, ketidaktenteraman di dalam dan agresi dari luar, sekalipun secara bentuk dan kualitas berbeda, tetapi satu motivasi yaitu untuk menentang dan memusnahkan gereja. Namun, bagaimanapun dahsyatnya penolakan dan pukulan itu, gereja tetap bereksistensi dan berkembang. Seturut kehendak Kristus, gereja terus maju dan berani bersaksi kepada orang-orang yang tidak percaya, di zaman yang jahat dan kacau balau ini.

Jikalau gembala sidang, hamba Tuhan dan orang Kristen tidak mengerti bahwa penderitaan dan penganiayaan yang dialami itu adalah kesempatan bersaksi yang Tuhan berikan, dan di bawah pengontrolan Kristus, maka ketika orang-orang yang mengasihi Tuhan ini menghadapi ketidaktenteraman di dalam dan agresi dari luar, akan menjadi kecewa dan putus asa, merasa sendiri dan tak berdaya untuk menunaikan amanat beritakan Injil ke seluruh bumi. Bahkan ada sebagian gembala sidang dan hamba Tuhan yang pasif, ketika menghadapi kegarangan tantangan dan serangan iblis, akan menyerah, berkhianat menyangkal Tuhan, menjual saudara seiman, juga menjual diri sendiri.

Perjalanan sejarah gereja selama 2.000 tahun ini membuktikan bahwa Kristus senantiasa beserta dengan gereja-Nya dalam penderitaan, menderita dan menang bersama-sama. Gereja telah melewati milenium ke-2, 20 abad, yakinlah bahwa sebelum Kristus datang lagi, gereja-Nya tetap akan sanggup dan tenang melewati milenium ke-3, abad-21, bahkan memiliki kekuatan bersaksi pada setiap zaman, kepada setiap umat manusia yang kosong hatinya, yang hidup tanpa berpengharapan dan tanpa tujuan yang pasti.

Gembala sidang gereja-gereja di Indonesia yang mengerti dengan baik strategi Kristus yang diwahyukan dalam Alkitab, baiklah bersandar pada bimbingan dan pertolongan Roh Kudus untuk memanfaatkannya. Barulah dapat bersama-sama dengan gembala-gembala sidang yang ada pada setiap zaman menggenapkan amanat misi di seluruh bumi, serta mengalami kemenangan dalam Kristus.

[ Catatan: Artikel ini diterjemahkan (dari bahasa Chinese ke bahasa Indonesia) oleh Ev. Amy Kho, Sm. Th. ]

Audio: Jemaat-jemaat Kristus di Asia Melintasi Abad Ke-21 (Bagian 2)

Sumber: 
Judul Buku : Hamba Tuhan dan Jemaat Kristus yang Melintasi Zaman
Pengarang : Dr. Peter Wongso
Penerbit:Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT)
Tahun:1997/2002
Halaman:7 - 23

Jemaat-jemaat Kristus di Asia Melintasi Abad Ke-21 (Bagian 1)

Editorial: 

Bagaimana penggembalaan gerejawi di Asia menghadapi tendensi perkembangan gereja dan masyarakat abad ke-21?

Ladang pelayanan penggembalaan gereja Asia adalah negara-negara di Asia, maka sebelum membicarakan bagaimana menyusun strategi penggembalaan gerejawi di Asia dalam menghadapi tendensi perkembangan gereja dan masyarakat abad ke-21, perlu meninjau kembali prinsip dan strategi perkembangan sejarah tiap suku bangsa, sambil juga meninjau bagaimana pemimpin-pemimpin negara di Asia merancangkan rencana pembangunan negara untuk masa mendatang. Selain itu, yang terpenting adalah cara-cara Allah. Penguasa sejarah dalam menangani segala perkara dengan benar, yang tercantum dalam Alkitab itu perlu didiskusikan dan dipanuti sebagai strategi yang terbaik.

Edisi: 
046/I/2004
Isi: 

I. MENINJAU KEMBALI PRINSIP DAN STRATEGI PERKEMBANGAN SEJARAH NEGARA-NEGARA DI ASIA

Suku bangsa tertua di Asia adalah suku Jawa. Menurut catatan arkeologi, telah ditemukan fosil "manusia Jawa" yang berumur 10.000-100.000 tahun. Karena belum ada kesimpulan akhir, maka kita tidak perlu membicarakannya. Memang benar bahwa suku Jawa telah 4.000 tahun lebih dapat menerima sejarah itu. Menurut Buku Sejarah yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, 3.000 tahun yang lalu sejumlah besar suku Mongol berimigrasi ke Kepulauan Indonesia. Rute perjalanan suku Mongol ini mula-mula ke Han Chong (daratan Cina Tengah), kemudian Yun Nan, Thailand, Semenanjung Malaka, Sumatra, Jawa, akhirnya tersebar ke Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Kepulauan lainnya. Imigrasi kedua terjadi pada 2.000 tahun yang lampau, sekitar abad ke-1, termasuk sejumlah suku Yun Nan yang berimigrasi ke Selatan. Suku Yun Nan sebenarnya adalah suku Mongol yang mula-mula, setelah imigrasi ke Selatan berbaur dengan suku setempat. Jalur perjalanan imigran kedua ini sama dengan yang pertama. Alasan imigrasi adalah karena kekacauan akibat peperangan, perdagangan, mencari tempat tinggal yang lebih aman dan sejahtera.

Injil di Asia

Imigrasi besar ketiga berasal dari India. Mereka memakai jalur darat dan laut: Lautan Hindia, Thailand, Myanmar ke Sumatra, Jawa, dan kemudian pada abad ke-2 mendirikan Kerajaan Prambanan di Jawa Tengah. Sampai pada abad ke 8, penganut agama Budha dari Cina dan India datang dan mendirikan Kerajaan Sriwijaya di Palembang, Sumatra Selatan.

Imigrasi besar keempat adalah penganut agama Islam dari Arabia, di Timur Tengah. Kebanyakan di antaranya yang kini menjadi orang-orang Pakistan. Pada abad ke-12, dengan amanat untuk menaklukkan dunia bagi Islam, mereka datang ke Aceh, Sumatra Utara, Kalimantan, kemudian ke Selatan, tiba di Pulau Jawa, dan mendirikan Kerajaan Majapahit. Sesudah itu ekspansi ke Timur Laut menaklukkan Sulawesi, dan ke Utara sampai ke Pulau Mindanao, Filipina Selatan. Pada abad ke-15, tentara Spanyol menaklukkan Pulau Luzon, kemudian ke Selatan menghambat rencana ekspansi Islam ke utara ke Pulau Luzon itu.

Kolonialisme Eropa Barat pertama yang berekspansi ke Timur adalah Portugis, yang mulai menaklukkan Goa di pantai Barat India, kemudian menyeberangi selat Malaka di Lautan Hindia, tiba di Pulau Jawa, memerintah Indonesia selama kurang lebih 100 tahun lamanya. Bangsa Spayol menjajah pulau Luzon. Pada abad ke-16, Belanda menyerang Indonesia, mengusir Portugis dan menjajah Indonesia selama 350 tahun lamanya. Pada abad ke-18, kolonialisme Inggris menjajah negara-negara Arab, India, Myanmar, Malaysia, Borneo Utara (sekarang Sarawak, Sabah dan Brunei). Sampai Perang Dunia II, negara-negara Eropa dikalahkan Jepang. Abad ke-19, Perancis menjajah daratan Indocina: Vietnam, Kamboja, Laos. Melihat negara-negara Eropa memiliki negara jajahan di Asia Tenggara, Timur Tengah, daratan India dan memiliki kekayaan yang besar, maka tentara Amerika Serikat maju ke Timur, mengusir Spanyol, dan menjajah Filipina selama 50 tahun lamanya. Usia Perang Dunia II, Amerika Serikat menang atas Jerman, Italia dan Jepang, dan mengusir kolonialisme Inggris, Perancis dan Belanda kembali ke Eropa, bersikap sebagai pahlawan mendukung negara-negara di Asia Tenggara. Perusahaan-perusahaan besar Amerika Serikat mulai menanam modal di Asia Tenggara, melalui pendidikan dan teknologi menarik para cendekiawan untuk melakukan berbagai penelitian. Dengan demikian Amerika Serikat menjadi negara adikuasa dalam bidang pendidikan, kesenian, ekonomi, militer dan dunia hiburan (catatan: Materi di atas dikutip dari Sejarah Indonesia, dan artikel Ensiklopedia Britanica tentang perkembangan kolonialisme di Asia).

Di masa 500 tahun yang silam, kolonialisme yang menjajah negara-negara di Asia Tenggara, memiliki angkatan laut yang kuat, dan menguasai perniagaan dan ekonomi. Dengan filsafat Romawi dan Yunani, serta kemajuan teknologi (sebenarnya adalah relatif), membuat rasa superioritas bangsa dan budaya, yang meremehkan bangsa dan budaya Timur. Pandangan tersebut kemudian berubah sejalan dengan kemajuan ekonomi yang telah dicapai negara-negara Asia akhir-akhir ini.

Meninjau kembali sejarah singkat di atas, Asia didiami oleh berbagai suku bangsa, dan pemeluk berbagai agama, memiliki beraneka ragam budaya dan pemikiran filsafat, serta berbagai sistem pemerintahan. Wilayah ini memiliki sumber daya alam yang kaya raya, oleh sebab itu beratus-ratus tahun lamanya terjadi perebutan kekuasaan, yang kuat menindas yang lemah. Mungkin karena iklim yang baik sepanjang tahun, alam yang indah, sehingga yang pernah datang mengunjungi negeri-negeri di sini, ingin datang lagi, bahkan berusaha menetap untuk jangka waktu yang panjang. Penduduknya ramah dan sopan, lapang dada dan terbuka, mudah menerima kebudayaan dan agama lain yang masuk. Tidak demikian dengan para pendatang yang kuat itu, yang sering menindas, merampok dan membunuh. Namun, setelah lewat puluhan, ratusan tahun, yang tidak membaur, setelah tiba waktunya, di saat kekuatan makin melemah, mereka pun kembali ke negerinya.

Dari perkembangan sejarah di atas, kita dapat mengambil beberapa prinsip: Dengan sikap yang sabar dan lapang dada menerima budaya, agama dan bangsa lain, memberikan ruang gerak bagi mereka dan waktulah yang akan menentukan semuanya. Kebijakan yang diambil oleh negara-negara Asia adalah bersatu berjuang untuk bangsa dan negara, walaupun cara atau strategi berbeda, tetapi tujuannya adalah sama.

II. RENCANA PEMBANGUNAN NEGARA-NEGARA DI ASIA UNTUK MASA MENDATANG

Di masa 30 tahun silam (1965-1995), kebanyakan pemimpin-pemimpin politik di negara-negara Asia berunding dengan kelompok pemikir internasional untuk menggariskan rencana politik negara jangka panjang. Seperti Indonesia, Rencana Pembangunan Jangka Panjang 25 tahun tahap pertama: tahun 1969-1994. Pembangunan tersebut meliputi: Wajib belajar 9 tahun (bebas biaya) untuk warga negara Indonesia. Minimal mendirikan sebuah Perguruan Tinggi di setiap ibukota kabupaten, mendorong lembaga-lembaga keagamaan berperan serta dalam pembangunan di sektor pendidikan. Anggaran pendidikan mencapai 12% dari Rancangan Anggaran Belanja Negara. Mendirikan satu poliklinik dengan tim dokter di setiap desa yang berpenduduk 500 kepala keluarga. Mengupayakan listrik masuk desa. Demi kelancaran transportasi, dibangun jalan-jalan raya, pelabuhan laut, lapangan udara, dan jalan kereta api. Juga membangun tempat-tempat pariwisata. Di sektor perekonomian, mengupayakan kemajuan di bidang industri, perdagangan dan pertanian. Membangun industri minyak bumi, petrokimia, pertambangan, pertanian, perikanan, industri mobil dan pesawat terbang, bank-bank dan perusahaan asuransi yang bertaraf internasional, investasi modal asing. Laporan akhir dari hasil pembangunan jangka panjang tahap pertama ini menunjukkan peningkatan: 12% warga negara sudah dapat mengenyam pendidikan perguruan tinggi, 28% pendidikan menengah dan 48% pendidikan dasar 6 tahun. Pendapatan per kapita setiap tahun meningkat dari US$ 15 menjadi US$ 1,000, 1997. Perdagangan internasional meningkat dari US$ 800 juta menjadi US$ 67,6 miliar. Laju perekonomian tiap tahun meningkat 6,5%-7,8%. Rencana Pembangunan Jangka Panjang tahap kedua dimulai tahun 1994 sampai tahun 2019.

Sejak 30 tahun silam, Singapura juga melaksanakan pembangunan jangka panjang. Penduduk yang dapat mengenyam pendidikan telah mencapai 98%, pendapatan per kapita sebesar US$ 22,520, 98,3% penduduk telah beroleh pekerjaan. Perdagangan internasional mencapai US$ 200 miliar tiap tahun. Laju ekonomi tiap tahun meningkat 6,8-8,3%. Kini Singapura telah mengembangkan industri elektronik yang canggih dan mahal, dan menjadi pusat moneter, pusat perhubungan di Asia, dan kota internasional.

Kebijakan yang diambil oleh negara-negara Asia adalah bersatu berjuang untuk bangsa dan negara, walaupun cara atau strategi berbeda, tetapi tujuannya adalah sama.

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Sejak merdeka di tahun 1957, Malaysia dipimpin oleh lebih dari sepuluh partai politik. Malaysia juga melaksanakan rencana pembangunan jangka panjang tahun 1991-2020. 90% penduduk sudah bisa mengenyam pendidikan. Pendapatan per kapita telah mencapai US$ 3,530. 97,1% penduduk telah beroleh pekerjaan. Perdagangan internasional mencapai US$ 120 miliar lebih per tahun. Laju perekonomian tiap tahun meningkat 8,5-10%. Negara ini kaya akan hasil tambang: minyak bumi, batu bara, timah, tembaga dan sebagainya. Kekayaan hutan yang besar terdapat di Sabah dan Sarawak. Dalam kurun waktu yang tidak lama lagi, negara ini bisa menjadi negara terkaya ke-5 di Asia.

Sistem pemerintahan Thailand adalah monarki konstitusional, dipimpin oleh Kabinet Parlementer. Pada masa lalu secara bergantian dipimpin oleh kekuatan militer, namun kini dikuasai oleh kaum cendekiawan. Walaupun selalu berganti kabinet, tetapi dengan dilaksanakannya rencana pembangunan jangka panjang, maka tercapailah kemajuan di sektor pendidikan dan ekonomi. Pemerataan pendidikan baik pendidikan umum juga pendidikan wihara. 87% penduduk telah mengenyam pendidikan dasar. Pendapatan per kapita telah mencapai US$ 2,315. 96,3% penduduk telah beroleh pekerjaan. Perdagangan internasional mencapai US$ 100 miliar per tahun. Laju perekonomian tiap tahun meningkat sejumlah 7-8%. Setelah Perang Dunia II, negara ini menjadi markas besar ASEAN. Pada masa 20 tahun perang di daratan Indocina, negara ini dijadikan markas bagi tentara PBB dan Amerika Serikat.

Sejak Filipina merdeka di tahun 1946, karena dijajah dan dididik selama 500 tahun lebih oleh Spanyol dan Amerika Serikat, negara ini telah menjadi negara Timur yang sangat dipengaruhi oleh budaya barat. Agama Roma Katolik ditetapkan sebagai agama negara. Pemerataan pendidikan menengah ke atas mencapai angka 90%. Pendapatan per kapita US$ 1,010. 89,1% penduduk telah mendapat pekerjaan. Tetapi diperkirakan ada 600.000 tenaga kerja yang dikirim ke luar negeri, yang menghasilkan devisa negara sebesar US$ 2,5 miliar tiap tahun. Sejak tahun 1986, dibawah kekuatan pemerintahan rakyat, sangat mengutamakan kesejahteraan dan keamanan masyarakat, kemajuan ekonomi, investasi modal asing dan sebagainya.

Brunei adalah sebuah negara kecil yang berpenduduk 300.000 orang. Yang dipimpin oleh Sultan. Secara geografis letaknya tidak terlalu menonjol, namun produksi minyaknya mencapai 200.000 barel per hari, sehingga pendapatan per kapita mencapai US$ 18,500 per tahun. Semua penduduk dapat menikmati pendidikan dan pengobatan gratis. Setiap tahun Departemen Pendidikan menyediakan bea siswa untuk 1.000 orang pemuda yang diutus belajar di universitas-universitas terkemuka di dunia. Setelah menyelesaikan pendidikan, mereka kembali untuk membangun tanah air. Tidak ada pengangguran di negara ini (0%), sebaliknya kira-kira ada 17.000 orang asing yang bekerja di negara ini. Perdagangan internasional mencapai US$ 6 miliar. Laju perekonomian tiap tahun meningkat 3%.

Setelah usai perang Vietnam tahun 1975, walaupun Vietnam menganut paham komunis, pada tahun 1985 Vietnam mulai mengubah perekonomian pasar, dengan memberi kesempatan bagi penanam modal asing untuk mendirikan industri-industri. Walaupun kini pendapatan per kapita hanya US$ 220 per tahun tetapi laju perekonomian telah meningkat 8%. Volume perdagangan internasional telah mencapai US$ 10 miliar. 88% warga negara yang telah beroleh pekerjaan. (Materi di atas diambil dari laporan dalam Majalah Tahunan Bank Dunia edisi 1994, dan Asiaweek edisi Juni 1995).

Dalam segi keagamaan, mayoritas penduduk Indonesia, Malaysia dan Brunei adalah pemeluk agama Islam, juga ada pemeluk agama Kristen, Budha dan Hindu. Mayoritas penduduk Thailand dan Vietnam adalah pemeluk agama Budha, tetapi diberikan juga ruang gerak yang luas bagi agama Islam, Kristen dan agama tradisional Cina. Penduduk di Singapura memeluk agama tradisional Cina, Budha, Kristen, Hindu dan Islam, dan ada kerukunan beragama di sana. Walaupun Filipina adalah negara Roma Katolik, tetapi penduduk di Pulau Mindanao (Selatan Filipina) adalah pemeluk agama Islam, juga ada agama tradisional Cina dan Agama Kristen.

Kini penduduk Asean sudah berjumlah 420 juta jiwa, pertambahan pendudukan per tahun 2,2%, berarti setiap tahun akan bertambah ± 10 juta jiwa. Sampai tahun 2.000, jika Kamboja, Myanmar dan Laos masuk ASEAN, maka jumlah penduduk akan menjadi 500 juta jiwa. Sedangkan umat Kristen, termasuk umat Roma Katolik hanya berjumlah sekitar 100 juta, 20% dari jumlah seluruhnya. Setiap negara berusaha untuk mencapai masyarakat yang sejahtera, agar dapat memajukan perekonomian, sehingga sikap terhadap kemajuan di bidang agama adalah "terbatas tapi bebas, bebas tapi terbatas." Dilarang menyerang kegiatan agama lain. Dilarang melanggar apa yang telah menjadi ketetapan pemerintah. Sebaliknya, mendukung semua kegiatan yang memasyhurkan dan mengharumkan nama bangsa dan negara di mata internasional. Meninjau tendensi-tendensi di atas, bagaimanakah gereja-gereja Asean menggariskan strategi dan langkah-langkah untuk menghadapi era pemerataan pendidikan, era informatika, era globalisasi, pluralis, dan teknologi canggih ini? Semuanya ini harus menjadi perenungan bagi para pemimpin gereja. Berdoalah kepada Kristus, Kepala Gereja itu, agar Ia mengutus Roh Kudus untuk memimpin kita, bagaimana berlandaskan kepada prinsip-prinsip Alkitab untuk mendobrak tradisi-tradisi denominasi gereja, berembuk menyusun rencana dan strategi, yang mendukung rencana pembangunan pemerintah, menunaikan Amanat Agung Kristus, menunggu Kristus datang kembali.

III. PERLENGKAPAN YANG DIBUTUHKAN DALAM PENGGEMBALAAN DI GEREJA-GEREJA ASEAN

(Bersambung ke Bagian 2)

Audio: Jemaat-jemaat Kristus di Asia Melintasi Abad Ke-21 (Bagian 1)

Sumber: 
Judul Buku : Hamba Tuhan dan Jemaat Kristus yang Melintasi Zaman
Pengarang : Dr. Peter Wongso
Penerbit:Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT)
Tahun:1997/2002
Halaman:7 - 23

Mengenang Dr. Cornelius Van Til: Tokoh Apologetika Reformed

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Saya senang membaca biografi orang-orang terkenal, karena ada banyak hal yang dapat kita pelajari dari mereka, khususnya pemikiran-pemikiran mereka yang cemerlang, prinsip-prinsip hidup mereka yang sangat bernilai, dan pengalaman hidup mereka yang penuh perjuangan. Dalam dunia kekristenan ada banyak tokoh "pembela iman" yang kita kenal, tetapi hanya sedikit saja tokoh yang sebagian besar hidupnya dipakai untuk mengajarkan dan menegakkan kebenaran doktrin yang berpusatkan kepada Kristus dan berdasarkan pada Alkitab. Di antara jumlah yang sedikit itu adalah Dr. Cornelius Van Til.

Tulisan Pdt. Cornelius Kuswanto berikut ini akan menolong kita mengenal tokoh Teologia Apologetika Reformed tersebut. Meskipun artikel ini pendek tapi isinya padat. Saya harap kita bisa belajar sesuatu yang berharga dari tulisan tentang Dr. Cornelius Van Til ini dan menghargai karya-karyanya yang memuliakan Tuhan dan yang memberi pengaruh bagi gereja Reformed masa kini.

In Christ,
Yulia

Penulis: 
Pdt. Cornelius Kuswanto
Edisi: 
045/XI/2003
Tanggal: 
1988
Isi: 

Cornelius Van Til dilahirkan di dalam sebuah keluarga Kristen yang mengasihi Tuhan di Nederland pada tanggal 5 Mei 1895. Selain mendapat pendidikan agama Kristen di rumah, Cornelius Van Til juga mendapat pendidikan yang baik dari sekolah Kristen. Melalui latar belakang yang baik ini, Cornelius Van Til mengenal Tuhan Yesus sebagai Juru Selamat dan ia menyadari bahwa semua bidang kehidupan manusia ada di bawah pengaturan Tuhan yang Mahakuasa dan Mahabijaksana.

Pada usia sepuluh tahun, Cornelius Van Til pindah ke Amerika Serikat. Beliau menjadi besar bersama kaum imigran Belanda yang tinggal di negara bagian Indiana. Kemudian beliau melanjutkan sekolah di Calvin College dan Princeton Theological Seminary.

Beliau mendapat gelar Ph.D dari Princeton Seminary. Setelah melayani Tuhan sebagai pendeta di Spring Lake, Michigan, beliau mengajar Apologetika di Princeton Seminary selama satu tahun (1928-1929). Pada tahun 1929, tokoh-tokoh dari PCUSA (Presbyterian Church in the United States of America) mencoba mengubah Princeton Seminary agar tidak menekankan kesetiaan kepada doktrin Reformed. Hal ini menyebabkan beberapa dosen dari Princeton keluar dan mendirikan sebuah seminari yang berdiri teguh pada doktrin Reformed. Tokoh-tokoh yang keluar dari Princeton dan turut serta dalam mendirikan Westminster Seminary ialah Robert Dick Wilson, J. Gresham Machen, Oswald T. Allis, Cornelius Van Til, dan John Murray yang ikut keluar pada tahun berikutnya.

Cornelius van Til

Di Westminster Seminary, Dr. Van Til mengajar Apologetika dari tahun 1929-1972. Dari tahun 1972-1987 Dr. Van Til menjadi guru besar pensiun di Westminster.

Selain merupakan salah seorang tokoh pendiri Westminster Seminary, Dr. Van Til juga merupakan seorang pendiri dari sebuah sekolah Kristen yang terkenal di Philadelphia. Sekolah ini didirikan pada tahun 1942 dan dikenal dengan nama Philadelphia-Montgomery Christian Academy. Sekarang sekolah itu sudah berkembang menjadi tiga sekolah, masing- masing mulai dari TK sampai SMA.

Dr. Van Til meninggal pada tanggal 17 April 1987 dan dimakamkan pada tanggal 22 April. Upacara pemakaman dipimpin oleh Pendeta Steven F. Miller dari Calvary Orthodox Church di mana Dr. Van Til mengetahui bahwa ia akan meninggal, beliau minta Pendeta Miller membacakan dua pasal terakhir dari kitab Wahyu. Bagian Alkitab ini merupakan tujuan dari hidup beliau. Iman beliau menengadah kepada janji Tuhan, yang akan memberikan kesembuhan kepada bangsa-bangsa melalui pohon kehidupan yang ada di taman Tuhan dimana tidak ada lagi kutukan. Dr. Van Til hidup selama 91 tahun dan 11 bulan. Untuk mengenang jasa beliau yang besar terhadap Westminster Seminary, bangunan kelas Westminster diberi nama Van Til Hall.

Pandangan Dan Pikiran Penting Dari Dr. Van Til

Sumbangsih yang terbesar dari Dr. Van Til bagi gereja Tuhan ialah dalam bidang Apologetika. Ayat pegangan bagi beliau untuk melakukan apologetika ialah 2 Korintus 10:5,

"Kami mematahkan setiap siasat orang dan merubuhkan setiap kubu yang dibangun oleh keangkuhan manusia untuk menentang pengenalan akan Allah. Kami menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus."
Dr. Van Til menekankan bahwa ketika Paulus mengajar kita mengenai menawan segala pikiran, Paulus mau agar kita menaklukkan setiap argumentasi dan dalih dari dunia yang menentang Tuhan. Kita harus membawa semua kebenaran kepada kemuliaan Tuhan. Dalam melakukan apologetika, Dr. Van Til setia kepada Alkitab. Beliau menghendaki agar kita juga mengritik pikiran dan pandangan yang bukan Kristen sesuai dengan ajaran Alkitab.

Ajaran ahli filsafat Jerman, Immanuel Kant, merupakan "musuh" Dr. Van Til. Menurut Kant, pengetahuan kita terbatas oleh pengalaman kita. Pengetahuan seseorang dibatasi oleh bidang phenomenal (phenomenal realm) atau bidang pengalaman dan penglihatan manusia. Kita tak dapat menyelidiki kenyataan-kenyataan yang berada di luar batas pengalaman kita. Semua yang berada di luar batas pengalaman kita, menurut Kant. termasuk dalam bidang noumenal (noumenal realm). Dr. Van Til melukiskan posisi Kant sebagai berikut:

noumenal -----> di luar kemampuan kita untuk mengetahui
phenomenal ---> sumber dari semua pengetahuan kita

Kelemahan Kant yang terbesar menurut Dr. Van Til adalah:

  1. Semua pengetahuan adalah bersifat subyektif (tergantung dari orang yang mengetahuinya);
  2. Manusia tidak dapat mempunyai pengetahuan tentang Allah, karena pengetahuan ini termasuk dalam bidang noumenal.
Dualisme ini menurut Dr. Van Til tidak perlu ada. Beliau menyelesaikan persoalan ini dengan membuat sebuah lingkaran yang mengelilingi baik bidang noumenal maupun bidang phenomenal. Tuhan menciptakan kedua bidang ini dan Tuhan dinyatakan dalam dua bidang ini. Baik bidang noumenal maupun bidang phenomenal ada di bawah kekuasaan Tuhan dan mereka adalah satu di dalam ciptaan dan wahyu-Nya. Perbedaan yang dibuat oleh Kant adalah salah.

Dr. Van Til memakai apologetika yang berkeyakinan pada Allah Tritunggal: Bapa, Anak, dan Roh Kudus berbicara kepada kita melalui Alkitab. Alkitab mengajar bahwa kita harus melihat perbedaan posisi yang besar antara Allah sebagai Pencipta dan manusia sebagai ciptaan. Sebagai Pencipta, Allah tidak bergantung kepada manusia. Sebaliknya semua manusia sebagai ciptaan Allah, bergantung kepada Allah.

Menurut Dr. Van Til, pikiran manusia yang sudah jatuh dalam dosa tidak dapat menjadi jawaban untuk menyelesaikan persoalan hidup manusia. Alkitab adalah jawaban yang final untuk menjawab persoalan manusia. Dr. Van Til dengan tegas menolak prinsip manusia yang mau hidup secara otonom, tidak mau bergantung pada Allah. Manusia yang mau hidup otonom adalah manusia yang tidak menyadari bahwa ia adalah ciptaan Allah.

"Tidak ada satu sentimeter pun dari kehidupan di mana Kristus tidak berkata: Itu adalah milik-Ku." (Abraham Kuyper)

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Dr. Van Til berkata bahwa Kristus yang diberitakan dalam Alkitab selalu menjadi titik pusat dari apa yang beliau ajarkan. Seorang guru besar kesayangan Dr. Van Til waktu beliau masih belajar di Princeton Seminary ialah Dr. Geerhardus Vos. Kekaguman Dr. Van Til pada Dr. Vos disebabkan karena Dr. Vos mengajarkan Alkitab yang berpusat pada Kristus. Bertitik tolak dari hal ini, Dr. Van Til meninggikan Kristus dalam apologetika. Segenap bidang kehidupan harus berpusat pada Kristus; bukan saja di gereja, tetapi juga di rumah, di sekolah, di universitas, di pasar, di bidang politik, bahkan segala sesuatu di dalam hidup bermasyarakat.

PENGARUH DR. CORNELIUS VAN TIL BAGI ORANG KRISTEN

Selain menjadi berkat di bidang Apologetika, Dr. Van Til juga memberikan sumbangsih yang besar di bidang-bidang lain. Teologi Sistematika juga tak lepas dari perhatian Dr. Van Til. Dalam bukunya, In Defense of the Faith jilid ke-5, Dr. Van Til membahas mengenai pentingnya Teologi Sistematika. Dr. Richard Gaffin, seorang dosen Teologi Sistematika di Westminster Seminary berkata, "Saya tidak dapat membayangkan Teologi Sistematika tanpa Van Til." Dr. Van Til membedakan antara Teologi Sistematika dan Apologetika. Kedua bidang ini mengajarkan hal yang sama, yaitu Alkitab, tetapi dengan tujuan yang berbeda. Teologi Sistematika dipakai untuk menghadapi gereja, sedangkan Apologetika dipakai untuk menghadapi dunia. Sebagaimana Alkitab merupakan dasar untuk melakukan Apologetika, demikian pula Alkitab merupakan dasar untuk Teologi Sistematika. Menurut Dr. Van Til, kita tak dapat menjadi seorang apologet Kristen yang baik, kalau kita belum mengetahui teologi secara sistematis. Untuk melakukan apologetika dengan baik, kita harus mengetahui Teologi Sistematika dengan baik juga. Kedua bidang ini saling membutuhkan dan saling melengkapi.

Dr. Van Til juga berpengaruh dalam bidang misi dan penginjilan. Dalam 1 Petrus 3:15, Petrus mengimbau kita agar kita siap sedia pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab tentang pengharapan yang ada pada kita. Penginjilan lebih menekankan apa yang kita percaya, sedangkan Apologetika lebih menekankan mengapa kita percaya. Apologetika merupakan langkah lebih lanjut dari penginjilan, di mana kita berusaha membela kebenaran Alkitab dan berusaha meyakinkan orang yang tidak percaya mengenai berita penghukuman dan pengharapan yang ada di dalam Alkitab. Baik dalam melakukan apologetika maupun dalam penginjilan, Dr. Van Til menekankan pentingnya keyakinan Kristen (Dr. Van Til memakai istilah Christian presupposition) dan epistemologi Kristen. Dosen Harvie Conn yang mengepalai Departemen Misi di Westminster Seminary memakai prinsip ini dalam melaksanakan penginjilan. Kita dapat mengenal ajaran Dr. Conn yang bertitik tolak dari prinsip Dr. Van Til melalui bukunya yang berjudul "Eternal Word in Changing World".

Departemen Sejarah Gereja dan Konseling di Westminster Seminary juga mengikuti jejak pendirian Dr. Van Til yang berdiri teguh di atas Alkitab. Van Til tidak menghendaki Sejarah Gereja berada dalam bidang yang netral. Konseling yang diajarkan di Westminster juga bertitik tolak dari ajaran Van Til. Profesor John Bettler, seorang dosen konseling di Westminster berkata, "Kita berusaha mempraktekkan apologetika Van Til di dalam bidang psikologi."

Kita mengucap syukur kepada Tuhan atas berkat Tuhan yang besar pada gereja-Nya melalui kehidupan Dr. Van Til. Kalau Dr. Van Til beserta pikiran dan karya tulisnya sudah menjadi berkat yang besar untuk gereja Tuhan di Amerika, biarlah berkat-berkat tersebut juga boleh menjadi berkat yang besar bagi gereja dan umat Tuhan di Indonesia.

Dr. Van Til gemar mengutip Abraham Kuyper (pendeta, pendiri Free University of Amsterdam, juga mantan perdana menteri Belanda), yang pernah berkata, "Tidak ada satu sentimeter pun dari kehidupan di mana Kristus tidak berkata, 'Itu adalah milik-Ku.'" Biarlah segenap bidang pendidikan dan hidup kita dikuasai seluruhnya oleh Kristus dan dipakai untuk meninggikan serta memuliakan Dia, Raja atas segala raja dan Tuhan atas sekalian yang dipertuan.

Kepustakaan

Beberapa buku (yang penulis miliki) yang ditulis mengenai Van Til:

  • Churchill, Robert K. Lest We Forget. A Personal Reflection on the Formation of the Orthodox Presbyterian Church. Philadelphia: The Committee for the Historian of the Orthodox Presbyterian Church.
  • Notaro, Thom. "Van Til and the Use of Evidence. Phillipsburg, New Jersey: Presbyterian and Reformed, 1980.
  • Pratt, Richard L. Every Thought Captive. Phillipsburg, New Jersey: Presbyterian and Reformed, 1979.
Beberapa buku (yang penulis miliki) yang ditulis oleh Van Til:
  • Van Til, Cornelius. Why I Believe in God. Philadelphia: Great Commission Publication, no date.
  • A Christian Theory of Knowledge. Philipsburg, New Jersey: Presbyterian and Reformed, 1969.
  • The Defense of the Faith. Phillipsburg, New Jersey, Presbyterian and Reformed, 1967. Cetakan ketiga.
  • In Defense of the Faith Vol. 2. A Survey of Christian Epistemology. Phillipsburg, New Jersey: Presbyterian and Reformed, no date.
  • In Defense of the Faith. Vol. 5. An Introduction to Systematic Theology. Phillipsburg, New Jersey: Presbyterian and Reformed, 1974.

Catatan:
Pdt. Cornelius Kuswanto selama 8 tahun menempuh studi lanjut di Amerika Serikat, terakhir di Westminster Theological Seminary. Beliau saat ini mengajar di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang.

Audio: Mengenang Dr. Cornelius Van Til

Sumber: 
Judul Majalah : Momentum 5
Judul Artikel : Mengenang Dr. Cornelius Van Til: Tokoh Apologetika Reformed Gereja
Penulis:Pdt. Cornelius Kuswanto
Penerbit:Lembaga Reformed Injili Indonesia, Jakarta, Des 1988
Halaman:40 - 42

Calvin dan Tuduhan Skisma dari Katolik Roma Terhadap Para Reformator: Sebuah Studi Tentang Kesatuan Gereja (Bag. 2)

Dear e-Reformed Netters,

Selamat Hari Reformasi Gereja 2003!!
Mari kita hayati perjuangan para reformator dalam mengembalikan kemurnian ajaran gereja dengan hidup yang memelihara kesatuan Tubuh Kristus sesuai dengan Firman-Nya!

In Christ,
Yulia

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Selamat Hari Reformasi Gereja 2003!!
Mari kita hayati perjuangan para reformator dalam mengembalikan kemurnian ajaran gereja dengan hidup yang memelihara kesatuan Tubuh Kristus sesuai dengan Firman-Nya!

In Christ,
Yulia

Penulis: 
Hidalgo B. Garcia
Edisi: 
044/X/2003
Isi: 

PELAYANAN GEREJA DAN FIRMAN ALLAH

Salah satu isu yang Calvin bahas dengan Sadoleto adalah masalah jabatan-jabatan gereja. Ia mengamati dari surat Sadoleto bahwa Sadoleto menuntut ketaatan dan kesetiaan kepada pejabat-pejabat gereja dengan landasan bahwa mereka dianugerahkan otoritas. Calvin mengoreksi gagasan yang keliru ini. Baginya, otoritas dan kekuasaan orang-orang yang ditunjuk untuk jabatan gereja dibatasi dalam limit-limit tertentu sesuai jabatan mereka menurut firman Allah. Dalam limitasi ini Kristus membatasi penghormatan yang Ia haruskan untuk diberikan kepada para rasul dan, karena itu, juga kepada para gembala. Tugas utama para gembala adalah memberitakan dan mengajarkan sabda Tuhan guna memajukan gereja. Inilah satu-satunya tujuan kekuasaan rohani, yakni "to avail only for edification, to wear no semblance of domination, and not to be employed in subjugating faith."**46 Paus, meskipun mengklaim sebagai pengganti Petrus, juga tidak dibebaskan dari limitasi ini. Kemerosotan disiplin di kalangan para uskup Roma, menurut pengamatan Calvin, adalah salah satu alasan mengapa gereja telah jatuh ke dalam kondisi yang demikian menyedihkan. Disiplin gereja mempunyai beberapa implikasi bagi kesatuannya karena menurutnya, agar gereja bersatu harus diikat bersama-sama melalui disiplin seperti halnya tubuh yang diikat otot-ototnya. Dalam hal ini menuduh balik para pejabat Katolik Roma yang telah menghancurkan integritas gereja melalui penyalahgunaan jabatan eklesiastikal; merekalah yang menabur benih-benih perpecahan. Ia secara tegas menyangkal tuduhan Sadoleto yang mengatakan bahwa para Reformator melepaskan diri dari kuk tirani gereja agar mereka sendiri bebas untuk melakukan tindakan amoral yang tak terkendalikan.**47

Dalam The Necessity of Reforming the Church, Calvin mengevaluasi pertanyaan tentang suksesi yang berhubungan dengan masalah disiplin gereja, dan dengan demikian, seperti telah kita lihat di atas, berhubungan juga dengan kesatuan gereja. Mengenai hubungan antara kontinuitas (atau suksesi) dan kesatuan ia mengatakan, "no one, therefore, can lay claim to the right of ordaining, who does not, by purity of doctrine, preserve the unity of the Church."**48 Pernyataan ini merupakan reaksi terhadap klaim Katolik Roma bahwa hanya merekalah yang memiliki hak dan kekuasaan untuk menahbiskan orang-orang ke dalam pelayanan gereja dan menentukan bentuk ordinasinya. Para pengikut Paus menyebut kanon-kanon kuno yang mereka klaim telah memberikan superintendensi untuk masalah-masalah mengenai para uskup dan klerus.**49 Suksesi yang konstan telah dilimpahkan kepada mereka, bahkan itu berasal dari para rasul. Mereka menyangkal bahwa jabatan itu bisa ditransfer secara sah kepada orang lain. Dengan demikian, berkaitan dengan klaim suksesi ini, para Reformator yang menjalankan pelayanan tanpa otoritas Katolik Roma, telah merampas kekuasaan eklesiastikal dan telah melakukan invasi terhadap wewenang hierarki Katolik Roma.**50

Calvin membantah klaim suksesi ini dengan menyatakan bahwa suksesi apostolik telah lama diinterupsi oleh keuskupan Katolik Roma.

But if we consider, first, the order in which for several ages have been advanced to this dignity, next the manner in which they conduct themselves in it, and lastly, the kind of persons whom they are accustomed to ordain, and to whom they commit the goverment of churches, we shall see that this succession on which they pride themselves was long ago interrupted.**51
Ia menguraikan tiga kategori aturan penunjukan para uskup, cara bagaimana mereka mengatur diri mereka sendiri dalam jabatan itu, dan jenis orang yang mereka tunjuk.**52 Pertama, oleh karena hierarki Katolik telah merebut bagi diri mereka sendiri kekuasaan tunggal untuk menunjuk para klerus, Calvin mendebatnya dengan bertitik tolak dari sejarah gereja, "the magistracy and people had a discretionary power (arbitrium) of approving or refusing the individual who was nominated by the clergy, in order that no man might be intruded on the unwilling or not consenting."**53 Dalam hal cara para uskup mengatur diri mereka, ia bersikeras agar siapapun yang mengatur gereja, hendaknya ia juga mengajar.**54 Tujuan Kristus menunjuk para uskup dan gembala ialah, seperti dinyatakan Paulus, agar mereka mengajar gereja dengan doktrin yang sehat. Menurut pandangan ini, seorang gembala gereja yang baik tidak mungkin tidak melaksanakan tugas mengajar.**55 Ia mengamati bahwa para uskup tidak melaksanakan tugas ini dengan setia. "As if they had been appointed to secular dominion, there is nothing they less think of than episcopal duty."**56 Tidak heran jika kemudian orang-orang yang mereka promosikan untuk mendapat kehormatan sebagai imam adalah mereka yang memiliki karakter serupa. Ia menuntut dengan tegas agar ada eksaminasi yang ketat terhadap kehidupan dan doktrin mereka yang ingin menjadi pendeta, seperti yang sekarang dilakukan di gereja-gereja para Reformator.**57 Mengenai upacara ordinasi, Calvin berargumen bahwa praktek Katolik Roma tidak bersumber dari Alkitab.**58 "Satu-satunya yang kita baca, seperti yang biasa dilakukan pada zaman kuno, adalah penumpangan tangan."**59

Hal yang sangat kritis dalam semua klaim suksesi apostolik ini ialah doktrin Injil yang murni. Keprihatinannya ini ia rangkum dengan kalimat, "Setiap orang yang melalui tingkah lakunya memperlihatkan bahwa ia adalah musuh dari doktrin yang sehat, apapun gelar yang mungkin ia banggakan, ia telah kehilangan semua otoritasnya dalam gereja,"**60 karena itu ia pun tidak bisa mengklaim suksesi apostolik. Pernyataan-pernyataan ini begitu signifikan sebab telah menggoncangkan fondasi utama gereja Roma.

KESATUAN DAN FIRMAN ALLAH

Pemahaman yang benar mengenai gereja dalam relasinya dengan firman Allah, batasan-batasan dan tujuan jabatan otoritas gereja dan disiplin, serta suksesi apostolik yang tepat telah meletakkan dasar bagi pembelaan Calvin terhadap tuduhan skisma dan bidat. Dalam jawabannya kepada Sadoleto, ia membuat pembelaan ini dengan mempertentangkan pengakuan dari orang Kristen Reformed dengan kesetiaan Katolik yang dipaparkan oleh Sadoleto. Reformator itu mengaku bahwa tidak ada hal lain yang ia lakukan kecuali percaya bahwa tidak ada kebenaran yang dapat mengarahkan jiwa seseorang menuju jalan kehidupan selain dari apa yang dikobarkan melalui firman itu. Segala hal lain yang berasal dari penemuan manusia adalah kesombongan yang sia-sia dan pemberhalaan.

Calvin berusaha menghadirkan dan menguraikan apa yang dipercayainya sebagai doktrin yang murni dan kebenaran Injil. Melalui hal ini ia memperjelas bahwa tujuan para Reformator adalah untuk kebangkitan gereja kembali. Ia memperhatikan bahwa sejumlah besar kebenaran dari doktrin kenabian dan evangelikal telah musnah dan telah "diusir dengan kasar oleh api dan pedang"**61 dalam gereja Roma. Ia menolak tuduhan Sadoleto bahwa semua yang coba dilakukan oleh para Reformator hanyalah untuk menghancurkan semua doktrin sehat yang telah disetujui oleh orang-orang beriman selama lima belas abad. Dengan gamblang ia menjelaskan bahwa para Reformator jauh lebih sesuai dengan zaman awal kekristenan dibanding gereja Roma,**62 dan Sadoleto sendiri tidak dapat menyangkalnya.

Bagi Calvin, bentuk gereja yang telah diinstitusikan oleh para rasul merupakan satu-satunya model yang benar, dan bentuk kuno gereja itu yang dibuktikan dalam tulisan-tulisan bapa-bapa gereja kini telah menjadi puing-puing. Ia memperjelas tujuan tindakan para Reformator yaitu untuk memperbarui gereja, dan perlunya melakukan hal itu bukan disebabkan oleh imoralitas dari keuskupan Roma seperti yang diklaim oleh Sadoleto. Menurut Calvin, yang mendorong para Reformator melakukan reformasi ialah karena "cahaya kebenaran ilahi itu telah dipadamkan, firman Allah telah dikubur, kebaikan Kristus tertinggal dalam pengabaian yang dalam, dan jabatan gembala ditumbangkan."**63 Dengan berjuang menentang kejahatan-kejahatan seperti itu, mereka tidak berperang melawan gereja, namun justru mendampingi gereja di tengah penderitaannya yang sangat.**64 Ia bertanya kepada Sadoleto dengan tajam, apakah seseorang yang "sangat giat untuk kesalehan dan kekudusan seperti pada zaman gereja mula-mula, yang tidak puas dengan kondisi yang ada dalam gereja yang pecah dan rusak, dan berusaha untuk memperbaiki kondisi gereja serta merestorasinya agar mencapai kemegahan yang sejati" akan dianggap sebagai musuh?**65 Pastor Jenewa itu menyebut dua tanda dari gereja yang telah disebutkan di atas dan bertanya kepada kardinal Katolik itu, "dengan yang manakah dari hal- hal ini yang kalian ingin kami gunakan untuk menilai gereja?"**66

Apa yang disebut skisma oleh orang-orang Katolik Roma, Calvin menyatakannya sebagai usaha para Reformator untuk membawa gereja yang terdisintegrasi itu kepada kesatuan.**67 Ia membuat sebuah analogi menarik antara orang yang melakukan Reformasi dan seseorang yang mengangkat panji pimpinan militer untuk memanggil prajurit-prajurit yang terpencar agar kembali ke pos mereka. Pemimpin militer itu adalah Kristus dan prajurit-prajurit yang terpencar itu ialah para pemimpin gereja. Orang yang mengangkat bendera pemimpin itu adalah Reformator, dan diangkatnya bendera menandakan sebuah panggilan bagi kesatuan, yang diekspresikan Calvin dengan tajam,

In order to bring them together, when thus scattered, I raised not a foreign standard, but that noble banner of thine whom we must follow, if we would classed among thy people .... Always, both by word and deed, have I protested how eager I was for unity. Mine, however, was a unity of the Church, which should begin with thee and end in thee. For as oft as thou didst recommend to us peace and concord, thou, at the same time, didst show that thopu wert the only bond for preserving it. But if I desired to be at peace with those who boasted of being the heads of the Church and pillars of faith, I behoved to purchase it with the denial of thy truth. I thought that any thing was to be endured sooner than stoop to such a nefarious paction.**68
Calvin menyamakan para klerus Roma dengan serigala yang sangat lapar dan nabi-nabi palsu yang Kristus prediksikan akan ada di antara umat- Nya. Tindakan para Reformator dibandingkan dengan pelayanan para nabi zaman kuno, yang tidak dianggap skismatik ketika mereka mengharapkan bangkitnya kembali agama yang telah terdekadensi. Mereka tetap berada di dalam kesatuan gereja,**69 "walaupun mereka ditetapkan untuk dihukum mati oleh para pendeta yang jahat, dan dianggap tidak layak memperoleh tempat di antara manusia ..... **70 Jelaslah bahwa motif para Reformator bukan untuk memecah-belah gereja tetapi untuk memperbaharuinya dan memimpin kelompok-kelompok Kristen ke dalam kesatuan.**71 Baginya ada perbedaan besar antara "skisma dari gereja dan belajar untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan di mana gereja sendiri pun telah terkontaminasi."**72 Skisma muncul ketika gereja Roma menolak untuk dikoreksi:
Thou, O Lord, knowest, and the fact itself has testified to men, that the only thing I asked was, that controversies should be decided by thy word, that thus both parties might unite with one mind to establish thy kingdom; and I declined not to restore peace to the Church at the expense of my head, if I were found to have been unnecessarily the cause of tumult. But what did our opponents?... Did they not spurn at all methods of pacification?**73
Ia mengakhiri jawabannya kepada Sadoleto dengan sebuah doa yang merefleksikan esensi responsnya atas tuduhan skisma Katolik Roma:
The Lord grant, Sadolet(o), that you and all your party may at length perceive, that the only true bond of Ecclesiastical unity would exist if Christ the Lord, who hath reconciled us to God the Father, were to gather us out of our present dispersion into the fellowship of his body, that so, through his one Word and Spirit, we might join together with one heart and one soul.**74

OTORITAS GEREJA DAN FIRMAN ALLAH

Kini kita akan mempertimbangkan Response (or Antidote) to Articles Agreed Upon by the Faculty of Sacred Theology of Paris (1543) dari Calvin. Walaupun kepentingan utama dari artikel itu adalah untuk menentukan doktrin-doktrin yang harus diajarkan dan dipercayai, artikel tersebut memiliki implikasi-implikasi penting bagi pemahaman Katolik Roma mengenai kesatuan. Artikel-artikel inilah yang mendefinisikan gereja Katolik yang satu dan kudus. Apa yang mereka sebar luaskan adalah cara Katolik Roma berjuang dengan kekuatan- kekuatan yang memecah-belah di dalamnya; artikel-artikel ini dimaksudkan untuk "menenangkan gelombang opini yang menentang."**75 Prolog dari artikel-artikel ini menyebut peringatan Paulus untuk kesatuan dalam kitab Efesus, yaitu agar mereka jangan "seperti anak- anak yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran." Menanggapi hal ini Calvin memberikan antidot pertama di mana ia menekankan firman Allah, dan bersikeras bahwa inilah (firman Allah) yang menjadi otoritas satu-satunya untuk menyelesaikan atau memutuskan kontroversi-kontroversi. Ia menyebut beberapa bagian dari Alkitab dan bapa-bapa leluhur gereja untuk membuktikan bahwa otoritas satu-satunya yang membuat gereja tetap bereksistensi adalah firman Allah. Ia menyimpulkan,

Oleh karena itu, di tengah pertanyaan-pertanyaan yang bertentangan di masa sekarang ini, marilah kita mengikuti nasihat yang menurut Theodoret, (Lib. I. Hist. Eccles. cap. 7) diberikan oleh Constantine kepada para uskup di konsili Nicea -- marilah kita mencari kebulatan hati dari sabda Allah yang murni.**76
Otoritas Alkitab menjadi sangat berarti ketika kita memperhatikan cara Calvin meletakkannya di atas dan terhadap otoritas gereja seperti yang diajukan dalam Artikel-artikel Iman, khususnya bab XVIII-XXIII, oleh Fakultas Teologi di Paris. Dengan berdasar pada otoritas Alkitab ia menantang klaim gereja mengenai otoritas. Pada Artikel XVII, bersama dengan orang-orang Katolik Roma, ia mengakui bahwa hanya ada satu gereja yang universal. Kendati demikian, pertanyaan yang lebih krusial bagi Calvin adalah bagaimana seseorang mengenali penampakan dari gereja. Jawabannya sederhana, yaitu firman Allah. "Kita menempatkannya di dalam firman Allah, atau, dengan kata lain, karena Kristus adalah Kepalanya, kita percaya bahwa gereja harus dilihat dalam Kristus sebagaimana seseorang dikenali melalui wajahnya."**77 Apa yang ia maksud dengan firman Allah dan Kristus adalah pemberitaan Injil? Baginya, pemberitaan Injil dan visibilitas Kristus dan gereja saling berkorelasi. "Sebagaimana pemberitaan Injil yang murni tidak selalu dinyatakan, maka wajah Kristus pun tidak selalu menarik perhatian,"**78 demikian juga gereja tidak selalu dapat dilihat.**79 Orang-orang Katolik Roma mendasarkan visibilitas dan otoritas gereja Katolik yang satu pada hierarkinya, sedangkan Calvin mendasarkannya pada pemberitaan firman.**80

Pada Artikel XIX, berkenaan dengan otoritas gereja yang visibel dalam mendefinisikan dan menentukan isu-isu kontroversial, Calvin menantang pemikiran bahwa yang visibel selalu benar seperti yang diperlihatkan dalam sejarah. Sikap ini berbahaya karena mereka "yang menerima definisi gereja yang visibel tanpa penilaian, dan tanpa terkecuali, bisa membuat seseorang terpaksa menyangkal Kristus."**81 Sekali lagi ia memberi penekanan pada firman untuk menyelesaikan perbantahan.

Jika muncul pertikaian diantara gereja-gereja, kita mengakui bahwa metode yang sah untuk menciptakan keharmonisan, yang selalu dicari-cari, adalah para pendeta itu berkumpul, dan mendefinisikan dari firman Allah tentang apa yang harus diikuti.**82
Pada artikel XX, berkaitan dengan hal-hal yang tidak diungkapkan secara jelas dan khusus di dalam Alkitab namun bagaimanapun juga harus dipercaya dan diterima oleh gereja melalui tradisi, Calvin mengutip Agustinus dan Chrysostom, selain dari Alkitab, segala sesuatu yang penting untuk keselamatan telah dinyatakan kepada kita dan hal-hal selain Injil tidak boleh dipercaya.

Berkaitan dengan kekuasaan ekskomunikasi, dalam artikel XXI ia mengakui bahwa kekuasaan untuk mengekskomunikasi telah diserahkan kepada gereja, begitu pula cara penggunaannya telah ditentukan (dalam firman Allah). Ini berarti ekskomunikasi harus dilakukan melalui "mulut Allah" dan tujuannya haruslah untuk pertumbuhan kerohanian/ kebaikan.**83 Hal ini jelas merupakan sebuah kontrol atau pembatasan terhadap penyalahgunaan kekuasaan ini yang dilakukan oleh hierarki Katolik yang, Fakultas Teologi di Paris mengakui, tidak boleh mempersoalkan apakah ekskomunikasi itu adil asalkan itu dilakukan dalam nama-Nya (Kristus).**84

Artikel XXII menyatakan bahwa otoritas konsili-konsili tidak dapat salah asal Paus memimpinnya dan bentuk-bentuk legal serta protokol dipelihara sebagaimana mestinya. Terhadap hal ini Calvin menekankan otoritas atau kepemimpinan Kristus. Ia tidak percaya konsili apapun yang hanya bersidang menurut aturan-aturan manusia sebagaimana mestinya, kecuali jika konsili itu dikumpulkan dalam nama Kristus. Maksudnya, Kristuslah yang memimpin, karena jika tidak konsili- konsili itu dipimpin berdasarkan pemikiran mereka sendiri dan karena itu yang mereka lakukan tidak lain dari kesalahan. Sebuah konsili yang berkumpul di dalam nama Kristus dipimpin oleh Roh Kudus, dan di bawah bimbingan-Nya, dipimpin kepada kebenaran.**85

Hal ini mengarah pada pertanyaan mengenai keutamaan Paus dalam Artikel XXII. Artikel ini lebih merupakan suatu pertahanan atas kepausan dari serangan kaum Lutheran, yang bersikeras bahwa Batu Karang itu adalah Kristus sebagai dasar gereja, dan menyangkal suksesi kepausan, serta tidak mau mengakui keutamaan Roma. Bagi Calvin, Kristuslah Kepala Gereja yang universal, bukannya Paus. Alkitab tidak berbicara mengenai pelayanan Paus, dan rasul Paulus pun tidak berpikir bahwa gereja merupakan satu keuskupan yang universal. "Sebagai penghargaan atas kesatuan, ia (Paulus) menyebut satu Tuhan, satu iman, satu baptisan (Efesus 4:11). Mengapa ia tidak menambahkan satu Paus sebagai kepala pelayanan?"**86 Ia menggambarkan relasi antara Petrus dan Paulus dan rasul-rasul yang lain, dan di dalam relasi itu tidak ada isyarat bahwa Petrus superior dibanding yang lain.**87 Bagi Calvin, gereja adalah tubuh Kristus di mana kepada setiap anggotanya diberikan "suatu ukuran yang pasti dan fungsi tertentu serta terbatas agar kekuasaan yang utama dari pemerintah terletak hanya pada Kristus."**88 Dalam keutamaan Kristus yang universal inilah terletak kesatuan dan katolisitas gereja, yang telah terbukti kebenarannya oleh bapa-bapa gereja, antara lain Cyprian dan Gregory. Cyprian secara khusus membuat analogi-analogi tentang satu cahaya (light) dengan banyak berkas cahaya (rays), satu batang yang ditunjang oleh akarnya dan memiliki banyak cabang, (rays), satu batang yang ditunjang oleh akarnya dan memiliki banyak cabang, satu sumber air dan banyak sungai, "demikian juga gereja, dengan diliputi cahaya dari Tuhan, ia mengirim berkas-berkas cahayanya tersebar ke mana-mana; gereja juga memperbanyak cabang-cabangnya, ia mencurahkan sungai-sungai turun ke seluruh dunia; namun tetap semuanya itu berasal dari satu kepala dan satu sumber."**89 Calvin berkomentar bahwa, menurut Cyprian, keuskupan Kristus ialah satu-satunya yang universal, dan ia mengajarkan agar bagian-bagian itu dipegang oleh para pelayan-Nya.**90

KESIMPULAN

Polemik-polemik Calvin dengan Roma mengenai tuduhan skisma tidak diragukan lagi telah menghasilkan refleksi-refleksi yang sangat dalam mengenai gereja dan kesatuannya. Isu dasarnya adalah pemahaman tentang gereja, tetapi tidak terlepas dari Kristus dan firman Allah. Gereja adalah milik Kristus dan dipersatukan di dalam Dia. Hal ini paling jelas terlihat melalui pemberitaan Injil dan pelaksanaan sakramen- sakramen yang tepat. Di dalam firman itulah terletak otoritas gereja. Semua kuasa dan fungsi pelayanan gereja dibatasi dalam firman Allah. Jabatan gereja, disiplin, dan aturan suksesi diatur oleh Roh Kristus menurut firman Allah dan semuanya itu dimaksudkan guna memajukan gereja. Calvin dan para Reformator percaya bahwa gereja Roma telah mengkorupsi doktrin Injil yang murni, menyalahgunakan kekuasaannya, dan mempromosikan segala jenis takhayul. Oleh karena itu, tujuan yang jelas dari para Reformator adalah membantu memulihkan atau memperbarui gereja Roma kepada keadaannya yang lebih murni sesuai pola gereja mula-mula seperti yang dikenal oleh bapa-bapa leluhur gereja. Calvin menganggap tuduhan skisma terhadap mereka sebagai suatu pertanyaan untuk memilih Kristus atau gereja Roma. Itu adalah pertanyaan mengenai yang manakah gereja sejati itu. Karena para Reformator taat kepada Kristus dan firman-Nya, mereka tetap berada dalam satu gereja yang sejati, dan oleh sebab itu mereka tidak dapat dianggap memisahkan diri dari gereja atau memecah-belahnya.

Calvin mencintai gereja seperti ia mencintai Kristus; kedua hal ini tidak dapat dipisahkan. Ia mengabdikan seluruh buku IV dari Institutes untuk menguraikan secara detail mengenai gereja Katolik yang kudus. Ia menyebut gereja itu sebagai ibu, karena Allah telah menyerahkan kita kepadanya agar kita bertumbuh dalam iman.**91 Itu sebabnya sangat penting untuk mengenalnya dan tidak mengabaikannya. Mereka yang tidak memiliki hubungan dengannya berarti juga tidak memiliki hubungan dengan Kristus, dan oleh karena itu mereka tidak memiliki keselamatan. Mereka yang mengabaikannya adalah orang-orang yang murtad, yang membelot dari kebenaran dan dari keluarga Allah, mereka adalah penyangkal-penyangkal Allah dan Kristus. Calvin percaya bahwa gereja terdiri dari semua orang pilihan Allah, termasuk mereka yang telah meninggal dunia. Gereja adalah katolik atau universal, yang berarti gereja adalah satu.

All the elect of God are so joined together in Christ, that as they depend on one head, so they are as it were compacted into one body, being knit together like its different members; made truly one by living together under the same Spirit of God in one faith, hope, and charity, called not only to the same inheritance of eternal life, but to participation in one God and Christ.**92
Sekalipun Calvin berbicara mengenai gereja yang tidak kelihatan, ia tidak mengabaikan berbicara tentang manifestasinya yang kelihatan, tentang jemaat lokal. Ia juga memberi perhatian besar untuk memperlihatkan karakternya yang visibel, yang ditandai terutama sekali dengan kesatuan:
This article of the Creed relates in some measure to the external Church, that every one of us must maintain brotherly concord with all the children of God, give due authority to the Church and, in short, conduct ourselves as sheep of the flock. And hence the additional expression, the "communion of the saints;"...just as it had been said, that saints are united in the fellowship of Christ on this condition, that all the blessings which God bestows upon them are mutually communicated to each other.**93
Tetapi kesatuan ini, agar terpelihara, harus diikat dengan aturan yang telah ditentukan Allah**94 dan dengan kebenaran doktrin ilahi.**95 Hal ini mungkin memberi kita suatu kesan bahwa Calvin adalah seorang pendeta yang tidak fleksibel. Namun bagaimanapun juga ia mengakui bahwa ketidaksempurnaan bisa timbul di dalam pemberitaan Injil dan pelaksanaan sakramen-sakramen. Ia membuat perbedaan antara doktrin-doktrin yang fundamental dengan yang sekunder (adiaphora), dan menyatakan bahwa semuanya ini tidak memiliki nilai yang sama**96. Semua perbedaan minor ini dalam cara apapun seharusnya tidak dijadikan alasan untuk mengabaikan gereja atau untuk menciptakan kelompok lain. "what I say is, that we are not on account of every minute difference to abandon a church, provided it retain sound and unimpaired that doctrine in which the safety of piety consists."**97 Ia juga tidak merekomendasikan agar seseorang meninggalkan gereja karena adanya penyelewengan moral di antara para anggotanya. "Kita terlalu sombong bila kita dengan segera membenarkan diri untuk keluar dari persekutuan gereja, karena kehidupan semua orang tidak sesuai dengan penilaian kita, atau bahkan dengan pernyataan Kristen."**98

Dari presentasi pandangan Calvin mengenai gereja dan kesatuannya, jelaslah bahwa perbedaan-perbedaan antara para Reformator dan gereja Roma pada hakikatnya bersifat fundamental, dan bahwa natur dari Reformasi pada dasarnya bersifat pembaharuan. Tetapi Calvin juga banyak berbicara menentang denominasionalisme dan fundamentalisme yang kaku, yang begitu tidak fleksibelnya sehingga hanya karena ketidaksepakatan doktrinal yang minor dan bahkan karena konflik- konflik pribadi, mereka memecah-belah atau memisahkan diri dari gereja. Boleh dibilang Calvin adalah seorang injili yang ekumenikal.



Catatan Kaki (Bag. 1):
  1. Ibid. 52. Bdk. "Confession of Faith in the Name of the Reformed Churches of France" dalam Tracts and Treatises 2.150-152; Institutes IV.iii.6.
  2. Ibid. 54.
  3. Ibid. 174. Bdk. Institutes IV.iii.10-12.
  4. Ibid. 170. Bdk. Institutes IV.ii.3.
  5. Ibid. 172.
  6. Ibid. 171.
  7. Institutes IV.ii.1-3.
  8. Tracts and Treatises 1.172. Bdk. Institutes IV.v.2. Pada zaman sebelum Calvin, pemerintah dan masyarakat memiliki kekuasaan dalam pengangkatan dan penolakan pejabat gerejawi.
  9. Ibid. 170.
  10. Ibid. 140.
  11. Ibid. 172. Bdk. 197, 198, 203, 204, 219; Institutes IV.v.1.
  12. Ibid. 170, 171, 204, 205. Bdk. "On Ceremonies and the Calling of the Ministers" dalam Calvin Ecclesiastical Advice (tr. Mary Beaty & Benjamin W. Farley; Louisville: Westminster/John Knox, 1991) 90,91.
  13. Ibid. 174, 175.
  14. Ibid. 174. Bdk. Institutes IV.iii.16.
  15. Ibid. 173.
  16. Ibid. 38.
  17. Ibid. 37-39, 48, 49, 66. Calvin sering menyebut bapa-bapa gereja untuk menyangkal tuduhan bahwa pengajaran para Reformator itu adalah inovasi-inovasi dan merupakan sesuatu yang baru. Ia tidak hanya yakin bahwa bapa-bapa gereja ada di pihaknya, tetapi ia juga yakin bahwa mereka adalah oposisi bagi gereja Roma sekarang. Untuk studi yang lebih jelas mengenai Calvin dan bapa-bapa gereja, lihat Anthony N. S. Lane, John Calvin: Student of the Church Fathers (Grand Rapids: Baker, 1999)
  18. Ibid. 49. Suatu pembelaan yang lebih singkat terhadap tuduhan skisma itu tetapi dalam konteks berbeda diberikan dalam "On Book One (of Pighius)" dalam The Bondage and Liberation of the Will: A Defense of the Orthodox Doctrine of Human Choice Against Pighius (ed. A. N. S. Lane; tr. G. I. Davies; Grand Rapids: Baker, 1996) 7-34. Karya itu (1543) adalah respons Calvin terhadap karya Albert Pighius, Ten Books on Human Free Choice and Divine Grace (1542), yang merupakan evaluasi atas Institutesnya Calvin (edisi 1539), khususnya bab 2 dan 8: "The Knowledge of Humanity and Free Choice," dan "The Predestination and Providence of God" secara berturut-turut.
  19. Ibid.
  20. Ibid.
  21. Ibid.
  22. Bdk. Institutes IV.ii.2.
  23. Tracts and Treatises, 1.59.
  24. Ibid. 60. Bdk. Institutes IV.ii.9, 10.
  25. Ibid. Bdk. Institutes IV.ii.10.
  26. Ibid. 67.
  27. Ibid. 63. Bdk. Institutes IV.ii.5
  28. Ibid.
  29. Ibid. 68.
  30. Tracts and Treatises 1.71.
  31. Ibid. 73. Bdk. Institutes IV.ii.10; IV.viii.5.
  32. Ibid. 102. Bdk. Institutes IV.viii.7.
  33. Ibid.
  34. Ibid.Bdk. G. C. Berkouwer, "Calvin and Rome" 185. Berkouwer menganggap pertanyaan mengenai otoritas gereja sebagai isu utama terhadap apa yang diarahkan Calvin dalam polemik-polemiknya.
  35. Ibid. 104.
  36. Ibid.
  37. Ibid. 106. Bdk. Institutes IV.xii.5.
  38. Ibid.
  39. Ibid. 108. Bdk. Institutes IV.viii.10,11;IV.ix.1-4. Dalam The Necessity of Reforming the Church and Canon and Decrees of the Council of Trent, with the Antidote, Calvin tidak melihat adanya pengharapan di dalam konsili yang bersidang atas inisiasi Paus. Dalam traktatnya yang pertama ia menyerukan kepada kaisar Charles V agar mengadakan konsili persidangan propinsi, yang memiliki preseden sejarah. "Sesering bidat-bidat baru muncul, ataupun gereja diganggu oleh beberapa perselisihan, bukankah merupakan suatu kebiasaan untuk segera mengadakan persidangan sinode secara propinsi, sehingga gangguan itu kemudian dapat diakhiri? Tidak pernah menjadi suatu kebiasaan untuk lagi-lagi mengadakan konsili umum sampai suatu cara lain telah diusahakan" (Tracts and Treatises 1.223). Di dalam pendahuluan antidotnya terhadap konsili Trent, Calvin memunculkan pertanyaan-pertanyaan serius mengenai persidangan dari konsili itu. Ia mengangkat pertanyaan mengenai masalah waktu, komposisi Trent, prosedur-prosedur, dan tujuannya. Menyadari bahwa Paus telah menentukan semua hal ini sebelumnya, Calvin membuang semua harapan akan adanya Reformasi di gereja Roma. "Apakah ini? Seluruh dunia mengharapkan adanya sebuah konsili di mana butir-butir yang bertentangan bisa tetap didiskusikan. Orang-orang ini mengakui bahwa mereka hadir tidak lain hanya untuk menghakimi apapun yang tidak sesuai dengan pikiran mereka. Dapatkah seseorang tetap sedemikian bodohnya dengan berpikir untuk mendapat bantuan atas kesusahan-kesusahan kita dari suatu konsili?" (Tracts and Treatises 3.39). Hal yang sama diungkapkan dalam artikel "If Christians Can be Given a Plan for a General Council" dalam Calvin's Ecclesiastical Advice 46-48.
  40. Ibid. 110. Bdk. "Confession of Faith in the Name of the Reformed Churches of France" dalam Tracts and Treatises 2.150, 151; Institutes IV.vi.10.
  41. Bdk. Institutes IV.vi.4.
  42. Ibid. 111. Bdk. Institutes IV.vi.1, 3, 6
  43. Ibid. 112. Bdk. Institutes IV.ii.6;IV.iv.16, 17.
  44. Ibid. Bdk. "The Necessity" 218, di mana Calvin menentang keutamaan Paus berdasarkan pada pemikiran apakah gereja Roma adalah gereja sejati dan apakah Paus adalah uskup yang benar. Demi kepentingan argumentasi jika kita mengatakan "bahwa keutamaan itu adalah dicurahkan secara ilahi pada keuskupan Roma, dan telah didukung oleh persetujuan bersama dari gereja mula-mula; kendati demikian keutamaan ini hanya mungkin jika Roma memiliki gereja dan juga uskup yang sejati. Karena penghormatan terhadap kursi jabatan tersebut tidak bisa tetap bertahan setelah kursi jabatan itu tidak ada lagi."
  45. Institutes IV.i.5.
  46. Ibid.IV.i.2. Bdk."Cathechism of the Church of Geneva" (1541, 1545) dalam Tracts and Treatises 2.50, 51.
  47. Ibid.IV.i.3.
  48. Ibid.IV.i.5.
  49. Ibid.IV.i.9.
  50. Ibid.IV.i.12.
  51. Ibid.
  52. Ibid.IV.i.18.


Sumber: 

Sumber diambil dari:


Judul Buku : Veritas Vol. 3/1 (April 2002)
Judul Artikel : Calvin dan Tuduhan Skisma Dari Katolik Roma Terhadap
Para Reformator: Sebuah Studi Tentang Kesatuan Gereja
Penulis : Hidalgo B. Garcia
Penerjemah : -
Penerbit : SAAT, Malang (2002)
Halaman : 48 - 59

Calvin dan Tuduhan Skisma dari Katolik Roma Terhadap Para Reformator: Sebuah Studi Tentang Kesatuan Gereja (Bag. 1)

Dear e-Reformed Netter,

Seperti yang Anda ketahui pada akhir Oktober nanti kita akan merayakan HARI REFORMASI GEREJA, jadi saya sengaja pilihkan artikel yang sesuai untuk menyambut hari besar gereja itu. Judulnya adalah:

CALVIN DAN TUDUHAN SKISMA DARI KATOLIK ROMA TERHADAP PARA
REFORMATOR: SEBUAH STUDI TENTANG KESATUAN GEREJA
oleh: HIDALGO B. GARCIA

Namun karena artikel ini sangat panjang maka akan bagi menjadi dua bagian. Bagian pertama akan saya kirimkan untuk Publikasi e-Reformed edisi September 2003 (maaf, baru dikirim awal Oktober 2003). Sedangkan bagian kedua akan saya kirimkan sebagai edisi akhir Oktober 2003. Semoga bahan ini bisa memperluas pemahaman kita tentang pandangan para Reformator, khususnya pandangan John Calvin tentang Kesatuan Gereja. Kiranya menjadi berkat.

In Christ,

Editorial: 

Dear e-Reformed Netter,

Seperti yang Anda ketahui pada akhir Oktober nanti kita akan merayakan HARI REFORMASI GEREJA, jadi saya sengaja pilihkan artikel yang sesuai untuk menyambut hari besar gereja itu. Judulnya adalah:

CALVIN DAN TUDUHAN SKISMA DARI KATOLIK ROMA TERHADAP PARA
REFORMATOR: SEBUAH STUDI TENTANG KESATUAN GEREJA
oleh: HIDALGO B. GARCIA

Namun karena artikel ini sangat panjang maka akan bagi menjadi dua bagian. Bagian pertama akan saya kirimkan untuk Publikasi e-Reformed edisi September 2003 (maaf, baru dikirim awal Oktober 2003). Sedangkan bagian kedua akan saya kirimkan sebagai edisi akhir Oktober 2003. Semoga bahan ini bisa memperluas pemahaman kita tentang pandangan para Reformator, khususnya pandangan John Calvin tentang Kesatuan Gereja. Kiranya menjadi berkat.

In Christ,
Yulia

Penulis: 
Hidalgo B. Garcia
Edisi: 
043/IX/2003
Isi: 

Calvin bisa dianggap sebagai seorang pemimpin gereja yang ekumenikal. Namun, dalam kebanyakan studi tentang sikap ekumenikal Calvin, mau tidak mau kita merasakan adanya prasuposisi yang tidak semestinya, yang tidak berhubungan dengan situasi aktual abad keenam belas dan tujuh belas. Mungkin sulit diperlihatkan sampai sejauh mana sikap seseorang terhadap gerakan ekumenikal saat ini mempengaruhi kesimpulannya tentang ekumenisme para Reformator. Studi-studi ekumenikal merupakan subjek persoalan yang sensitif dan melibatkan loyalitas subjektif yang tidak selalu diakui secara terbuka.

Masalah subjektivitas ini merupakan problem metodologis dalam studi mengenai ekumenisme Calvin. Sebelum melakukan pendekatan secara objektif mengenai posisinya terhadap gereja Katolik Roma, pertama- tama kita harus menyadari prasuposisinya yang mendasar dan harus mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tepat. Menurut saya, dari perspektif para Reformator, terutama Calvin, pertanyaannya bukanlah apakah seharusnya ada reuni dengan gereja Roma, tetapi, dengan cara bagaimana gereja itu bisa direformasi ke dalam keadaannya yang lebih murni. Ia tidak ragu-ragu mengatakan bahwa gereja Roma telah kehilangan status privilesenya sebagai gereja sejati.

Richard Stauffer, menurut hemat saya, melakukan pendekatan yang tepat terhadap posisi Calvin berkenaan dengan gereja Roma. Ia mengatakan bahwa kita harus kembali ke latar belakang polemik-polemik abad ke-16 untuk memahami pemosisian Calvin tentang Reformasi berkaitan dengan gereja Roma. "Dalam pandangan Reformator Jenewa itu, sesungguhnya hal itu merupakan masalah pembedaan antara gereja yang sejati dan yang palsu.".**1 Ia bersikeras bahwa hanya ada satu gereja yang katolik dan kudus dan bahwa para Reformator tidak sedang menciptakan gereja yang lain. Baginya, maksud dari Reformasi adalah untuk mereformasi gereja Roma, bukannya membentuk gereja yang lain. Ia mengakui bahwa jemaat-jemaat Protestan memang telah muncul sebagai akibat dari Reformasi, namun semuanya ini merupakan bagian atau ekspresi dari gereja katolik yang satu dan kudus, dan itu tidak dapat menghalangi seseorang dari persekutuan dengan orang-orang Kristen dari komunitas persekutuan lainnya. Dengan kata lain, bagi Calvin, denominasionalisme sebagaimana yang kita kenal sekarang merupakan sebuah anomali. Seharusnya ada partisipasi penuh dan pengakuan mutual serta penerimaan terhadap orang-orang Kristen dari jemaat manapun. Calvin bahkan akan mengingkari gagasan tentang "Calvinisme." Dalam kesemuanya ini, baik pendiriannya terhadap gereja Roma maupun relasinya dengan gereja-gereja Protestan, ia memperlihatkan bahwa maksud dari Reformasi adalah untuk merestorasi gereja katolik yang satu dan kudus itu ke dalam keadaan yang lebih murni. Menurut saya, setiap studi tentang sikap ekumenisme Calvin seharusnya bertolak dari maksud Reformasi ini.

Para sarjana baru-baru ini cenderung terfokus pada pertanyaan tentang apakah Calvin melakukan separasi atau mengupayakan kesatuan dengan gereja Roma. Jean Cadier**2 dan Martin Klauber**3, misalnya, yakin bahwa posisi Calvin adalah separasi dengan gereja Roma. Menurut saya, "separasi" bukanlah kategori yang tepat karena mengandung ambiguitas tertentu di dalamnya. Sebagaimana akan kita lihat yang terlibat adalah soal-soal yang lebih dalam daripada separasi dan Calvin bersikeras bahwa para Reformator bukanlah skismatik. Cadier menyebut konferensi-konferensi dengan Katolik Roma di mana Calvin berpartisipasi dengan begitu aktif. Jika pendirian Calvin terhadap gereja Roma pada intinya adalah separasi, satu pertanyaan perlu diajukan, biar bagaimanapun mengapa ia mau berpartisipasi dalam pertemuan-pertemuan seperti itu? Di sisi lain, pengakuan iman fundamental yang dipresentasikan Klauber, dapat, dan seharusnya, dilihat dengan cara berbeda, bukan hanya "sebagai basis untuk usaha persatuan eklesiastikal di antara berbagai kubu Protestan,"**4 namun juga sebagai dasar untuk diskusi dengan orang-orang Katolik.

Ada sekelompok sarjana lain**5 yang lebih positif memandang relasi Calvin dengan gereja Roma, dan mereka percaya bahwa meski Calvin bersikap nonkompromis dalam keyakinan teologisnya, namun ia tetap mengharapkan kesatuan gereja-gereja, termasuk gereja Roma. John T. McNeil memberikan analisa historis yang baik mengenai usaha-usaha ekumenikal Calvin dan menyimpulkan bahwa ia tidak akan mengalah untuk apa yang ia anggap sebagai kebenaran hakiki, demi memperoleh kedamaian di antara gereja dan menegakkan kebersamaan di antara mereka. Namun McNeil juga setuju dengan kebanyakan sarjana Calvin bahwa ia akan menyambut dengan senang hati setiap kesempatan berunding guna membentuk relasi maksimum dengan setiap gereja, termasuk gereja Roma.**6 I. John Hesselink tiba pada kesimpulan serupa dengan McNeill, meskipun melalui pendekatan berbeda.

Menurut Robert M. Kingdon, posisi Calvin bersifat terbuka dan sikap ini bisa ia pakai sebagai pendekatan ekumenikal. Kingdon mengakui adanya kesepakatan antara Katolikisme Tridentine dan Protestantisme Ortodoks dan ini dapat dipelajari oleh semua orang yang berusaha memahami kepedulian Protestan yang dalam, agar semua doktrin Kristen terkokoh berdasar pada Alkitab.**7 Theodore W. Casteel melihat reaksi Calvin terhadap konsili Trent dalam konteks pemikiran konsiliar sang Reformator. Ia menyimpulkan, "Reformator Jenewa itu melihat harapan terbaik akan adanya rekonsiliasi dalam sebuah konsili yang benar-benar ekumenikal--sebuah proyek yang ia perjuangkan hingga akhir hidupnya.**8

Pada dasarnya saya mengikuti kelompok kedua yang berpendapat bahwa Calvin bersikap nonkompromi dalam keyakinannya, kendati demikian ia tetap mengharapkan reformasi gereja Roma yang akan mengarah pada kesatuan. Saya akan mencoba menunjukkan hal ini dengan cara yang belum pernah ditempuh sebelumnya, yakni, menganalisa jawaban Calvin terhadap tuduhan Katolik Roma bahwa para Reformator adalah skismatik. Artikel ini berisi sebagai berikut: tuduhan skismatik dari Katolik Roma terhadap para Reformator, pemahaman Katolik Roma tentang kesatuan, respons Calvin atas tuduhan skisma, dan akhirnya, pada bagian kesimpulan, pengertian Calvin tentang kesatuan gereja, yang diintisarikan dari responsnya terhadap tuduhan skisma dan dari Institutes. Yang pertama dari tiga bagian ini akan diambil terutama dari traktat-traktat dan risalah-risalah yang berhubungan langsung dengan polemik-polemik Calvin-Roma Katolik.**9 Semua isu yang dipresentasikan dalam artikel ini, tentu saja, terdapat dalam Institutes, dan dengan demikian, saya akan mengutip bagian-bagian Institutes yang paralel dan relevan pada catatan kaki.

TUDUHAN SKISMA ROMA KATOLIK

Tuduhan skisma yang paling menonjol terdapat dalam surat yang ditulis oleh uskup Roma, Sadoleto, kepada senat dan masyarakat Jenewa (1539). Melalui surat ini, ia memanfaatkan kesempatan dalam peristiwa pengusiran Calvin dari Jenewa untuk membujuk penduduk Jenewa agar kembali ke sisi gereja Roma. Ia menggambarkan para Reformator sebagai musuh-musuh kesatuan dan kedamaian Kristen, yang menabur benih-benih perselisihan, dan membuat jemaat Kristus yang setia berbalik dari jalan bapa-bapa dan para leluhur mereka.**10 Ia membandingkan mereka seperti abses, "by which some corrupted flesh being torn off, is separated from the spirit which animates the body, and no longer belongs in substance to the body Ecclesiastic."**11 Paus Paulus III dalam suratnya kepada kaisar Charles V (1544) melukiskan para Reformator sebagai pengacau yang senang dengan pertikaian: "Nay, they rather entirely deprive the Church of all discipline, and of all order, without which no human society can be governed."**12

Sadoleto, dalam surat yang sama, meragukan ajaran-ajaran para Reformator sebab ajaran itu merupakan inovasi yang baru tercipta, yang usianya baru 25 tahun. Ia mengagungkan kemuliaan usia gereja Katolik Roma yang menurutnya telah hadir selama lebih dari 1500 tahun dan mengklaim bahwa bapa-bapa leluhur gereja berada di pihaknya. Klaim atas otoritas bapa-bapa leluhur gereja merupakan salah satu pokok persengketaan dalam polemik Calvin-gereja Roma. Bagi Sadoleto, yang menjadi soal perdebatan adalah apakah ia harus mengikuti gereja Katolik Roma kuno ataukah membenarkan para pendatang baru yang skismatik itu. "Inilah tempatnya, saudara yang terkasih, inilah jalan raya di mana jalan itu terbagi ke dua arah, yang satu mengarah pada kehidupan, dan yang lain pada kematian abadi."**13 Ini merupakan seruan kepada orang Katolik untuk memisahkan diri dari para Reformator, sebuah seruan yang semata-mata dibuat berdasar pada otoritas gereja dan tradisi yang diwarisi dari para orang tua. Dasar seruan ini dibuat menjadi lebih eksplisit melalui gambaran Sadoleto tentang dua pilihan atau dua cara, dengan menghadirkan dua orang yang diuji di hadapan Allah. Orang pertama, anggap saja seorang Katolik yang setia, akan mengakui imannya berdasar otoritas gereja Katolik dengan semua hukum, nasihat dan dekritnya. Ia tampil di hadapan Allah berdasar pada ketaatannya pada gereja bapa-bapanya dan bapa-bapa leluhurnya. Dalam pengakuannya itu terefleksikan tuduhan tanpa bukti terhadap para Reformator:

And though new men had come with the Scripture much in their mouths and hands, who attempted to stir some novelties, to pull down what was ancient, to argue against the Church, to snatch away and wrest from us the obedience which we all yielded to it, I was still desirous to adhere firmly to that which had been delivered to me by my parents, and observed from antiquity, with the consent of most holy and most learned Fathers.**14

Kesetiaan kepada gereja merupakan definisi dari hierarki Katolik tentang orang Kristen yang baik, karena di dalam gerejalah keselamatan kekal seseorang yang setia paling terjamin. Paulus III dalam surat tersebut di atas menasihati kaisar Charles V untuk tidak memberi kelonggaran pada kelompok Protestan dan tetap berpegang pada otoritas gereja:

But, dear son, everything depends on this, that you do not allow yourself to be withdrawn from the unity of the Church, that you do not backslide from the custom of the most religious Princes, your forefathers, but in everything pertaining to the discipline, order, and institutions of the Church, pursue the course by which you have, for many years, given the strongest proofs of heart-felt piety.**15

Selanjutnya, Sadoleto menggambarkan orang yang lain, anggaplah mewakili para Reformator, sebagai seorang yang iri dan dengki pada kekuasaan dan privilese hierarki Roma. Kegagalan para Reformator untuk berbagi kekayaan eklesiastikal telah menggerakkan mereka untuk menyerang gereja dan, "induced a great part of the people to contemn those rights of the Church, which had long before been ratified and inviolate."**16 Ia menuduh mereka semata-mata memberontak pada otoritas konsili, bapa-bapa gereja, para Paus Roma dan tradisi- tradisi.**17 Impresi yang ingin ia bentuk ialah bahwa pemberontak Reformed itu mengklaim mereka tahu lebih banyak dari ajaran-ajaran kuno. Tetapi rasa frustasi karena gagal untuk mengubah gereja akhirnya membuat mereka memecah-belahnya. Pernyataan terakhir sang Reformator yang merasa tidak puas itu, seperti digambarkan oleh Sadoleto, mengatakan demikian:

Having thus by repute for learning and genius acquired fame and estimation among the people, though, indeed, I was not able to overturn the whole authority of the Church, I was, however, the author of great seditions and schisms in it.**18

Di samping itu, tuduh Sadoleto, para Reformator bukan saja memecah gereja tetapi juga mengoyak-ngoyaknya. Ia mengamati bahwa sejak masa Reformasi sekte-sekte berkembang biak. "Sects not agreeing with them, and yet disagreeing with each other--a manifest indication of falsehood, as all doctrine declares."**19. Pemecahan dan pengoyakan gereja yang kudus itu, menurutnya, sepatutnya adalah pekerjaan setan, bukan pekerjaan Allah.

PEMAHAMAN KATOLIK ROMA MENGENAI KESATUAN

Tuduhan skisma yang sama dilakukan dalam Adultero-German Interim (1548),**20 meskipun tidak langsung seperti dalam surat-surat Sadoleto dan Paulus III. Menurut dekrit imperial ini ada dua tanda yang membedakan gereja dari kawanan skismatik dan bidat, yaitu kesatuan dan katolisitas. Di sini kesatuan dijabarkan sebagai ikatan kasih dan damai yang mempersatukan anggota-anggota gereja bersama-sama.**21 Perhatikan bahwa dalam kesatuan tersebut tidak disebutkan adanya fondasi doktrinal dan spiritual, kecuali ketaatan yang mutlak terhadap ajaran dan disiplin gereja. Lebih jauh lagi, gereja Roma menyombongkan diri sebagai katolik melalui klaimnya atas ekspansi geografis dan temporal serta suksesi apostolik: "diffused through all times and places, and through means of the Apostles and their successors, continued even to us, being propagated by succession even to the ends of the earth, according to the promises of God."**22 Skismatik dan bidat-bidat, sebagaimana dituduhkan kepada para Reformator, "break the bond of peace, and to their own destruction deprive themselves of Catholic union, while they prefer their own party to the whole universal Church."**23. Untuk memelihara kesatuan dan integritas gereja Katolik seseorang harus tunduk pada otoritasnya dengan kerendahan dan ketaatan. Sadoleto mengungkapkan sikap demikian:

For we do not arrogate to ourselves anything beyond the opinion and authority of the Church; we do not persuade ourselves that we are wise above what we ought to be; we do not show our pride in contemning the decrees of the Church; we do not make a display among the people of towering intellect or ingenuity, or some new wisdom; but (I speak of true and honest Christians) we proceed in humility and in obedience, and the things delivered to us, and fixed by the authority of our ancestors, (men of the greatest wisdom and holiness) we receive with all faith, as truly dictated and enjoined by the Holy Spirit.**24

Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa bagi gereja Roma makna kesatuan tidak lain dari sikap tunduk, yang menjadi dasar klaim infalibilitas dan otoritas gereja. Terhadap dasar inilah sekarang kita beralih.

Kesatuan gereja, menurut Katolik Roma, bertumpu pada infalibilitasnya. Hal ini terungkap jelas dalam Articles Agreed Upon by the Faculty of the Sacred Theology of Paris (1542).**25 Artikel XVIII menyatakan:

Every Christian is bound firmly to believe, that there is on earth one universal visible Church, incapable of erring in faith and manners, and which, in things which relate to faith and manners, all the faithful are bound to obey.**26

Dari artikel ini jelas terbukti bahwa otoritas gereja merupakan otoritas hierarki. Hierarki disamakan dengan gereja yang visibel dan infalibel. Karena visibilitas gereja didasarkan atas visibilitas hierarki, maka yang belakangan juga dianggap infalibel. Bukti kedua untuk infalibilitas hierarki (dan karena itu, otoritasnya juga) ialah suksesi yang terus-menerus dari Petrus. Karena doktrin inilah apapun yang telah ditentukan gereja Roma bersifat otoritatif. Hal ini juga didukung oleh klaim bahwa gereja dipimpin langsung oleh Roh Kudus, karena Roh Kudus tidak bisa salah, maka gereja pun demikian.**27

Infalibilitas gereja merupakan dasar otoritas gereja, dan menjadi perisai yang tak terkalahkan yang melindungi gereja dari serangan musuh-musuhnya, seperti dinyatakan oleh artikel XVII. Di atas dasar inilah bertumpu doktrin-doktrin dan kekuatan gereja. Artikel-artikel berikut**28 memperlihatkan otoritas infalibel gereja yang berakar dari artikel XVIII yang mendahuluinya:

Article XIX: That to the visible Church belongs definitions in doctrine. If any controversy or doubt arises with regard to any thing in the Scriptures, it belongs to the foresaid Church to define and determine.

Article XX: It is certain that many things are to be which are not expressly and specially delivered in the sacred Scriptures, but which are necessarily to be received from the Church by tradition.

Article XXI: With the same full conviction of its truth ought it to be received, that the power of excommunicating is immediately and of divine right granted to the Church of Christ, and that, on that account, ecclesiastical censures are to be greatly feared.

Article XXII: It is certain that a General Council, lawfully convened, representing the whole Church, cannot err in its determination of faith and practice

Article XXIII: Nor is it less certain that in the Church militant there is, by divine right, a Supreme Pontiff whom all christians are bound to obey, and who, indeed, has the power of granting indulgences.

Semua artikel iman ini dimaksudkan untuk memelihara kesatuan gereja, yang menurut pemahaman hierarki gereja Roma, berdasar pada infalibilitas dan otoritasnya. Calvin menolak semua ini dalam polemik- polemiknya dengan gereja Roma. Sebelum kita melihat penolakannya terhadap artikel-artikel iman Paris ini, kita akan menganalisa responsnya atas tuduhan skisma dari hierarki Katolik Roma.

FIRMAN ALLAH DAN GEREJA: RESPONS CALVIN TERHADAP TUDUHAN SKISMA

Isu mendasar berkaitan dengan tuduhan skisma ialah pemahaman tentang gereja. Pada prinsipnya Calvin sependapat dengan Sadoleto bahwa tidak ada yang lebih membahayakan bagi keselamatan kita daripada ibadah yang sia-sia dan menentang aturan Allah. Ia menganggap prinsip ini sebagai batu loncatan bagi pembelaannya atas tuduhan Sadoleto. Namun pertanyaannya, menurut Calvin, dari dua pihak ini manakah yang memelihara ibadah yang benar pada Allah? Bagi Sadoleto, tulis Calvin, ibadah yang benar adalah seperti yang ditentukan oleh gereja. Namun, ia mengajukan sebuah pertanyaan serius sehubungan dengan penggunaan kata "gereja" oleh Sadoleto dan para pengikut Paus. Ia menuduh Sadoleto memiliki delusi tentang istilah "gereja," atau paling tidak, secara sadar ia memberikan keterangan yang tampaknya mengesankan tetapi palsu. Dalam the Necessity of Reforming the Church, ia mendesak audiensinya untuk tidak merasa takut terhadap penggunaan kata "gereja" oleh para pengikut Paus.**29 Para nabi dan rasul telah berjuang melawan "gereja pura-pura" pada masa mereka. Mereka juga dituduh telah menghina kesatuan gereja. Namun pertanyaannya, gereja yang mana? Bagi Calvin tidaklah cukup hanya menggunakan nama gereja seperti yang dilakukan para pengikut Paus yang berusaha mengejutkan orang-orang dengan memutarbalikkan istilah gereja. "Penilaian harus dilakukan untuk memastikan yang mana gereja sejati, dan apa natur kesatuannya."**30

Menurutnya, ada dua tanda gereja yang sejati, yakni pemberitaan firman yang setia dan pelaksanaan sakramen yang tepat. Berkaitan dengan kesatuan gereja maka hal yang pertama-tama perlu diperhatikan adalah berhati-hati supaya gereja tidak terpisah dari Kristus, Kepalanya.**31 Ia menjabarkan apa yang ia maksud dengan Kristus, "Ketika saya mengatakan Kristus, maka termasuk dalam pengertiannya adalah doktrin-Nya yang Ia meteraikan dengan darah-Nya."**32 Melalui kesatuan antara gereja dan Kristus inilah Calvin menyangkal tuduhan bahwa ia dan para Reformator tidak sependapat dengan gereja.**33 Tuduhan skisma harus dianggap sebagai ketaatan kepada Kristus lebih dari ketaatan kepada gereja Roma. Dalam The Method of Giving Peace to Christendom and Reforming the Church, Calvin, mengutip Hilary, berkeyakinan bahwa satu-satunya kedamaian gereja ialah yang berasal dari Kristus. Ikatan kedamaian adalah kebenaran Injil.**34 Implikasi kesatuan itu diekspresikan demikian: "Wherefore, if we would unite in holding a unity of the Church, let it be by a common consent only to the truth of Christ."**35 Selanjutnya, dalam Remarks on the Letter of Pope Paul III (to the Emperor Charles V), ia mengusulkan sebuah pembedaan antara gereja yang sejati dan yang palsu berdasar pada kesetiaan kepada Kristus, yang merupakan dasar kesatuan.

Let Farnese (Pope) then show that Christ is on his side, and he will prove that unity of the Church is with him. But seeing it is impossible to adhere to him without denying Christ, he who turns aside from him makes no departure from the Church, but discriminates between the true Church and a church adulterous and false.**36

Calvin menekankan firman Allah dalam pemahamannya tentang gereja. Yang ia maksud dengan gereja ialah, "from incorruptible seed begets children for immortality, and, when begotten, nourishes them with spiritual food (the seed and food being the Word of God)."**37 Tempat bagi firman Allah adalah sesuatu yang hilang dalam pengertian gereja Roma. Kepada Sadoleto ia menyatakan,

In defining the term, you omit what would have helped you, is no small degree, to the right understanding of it. When you describe it as that which in all parts, as well as at the present time, in every region of the earth, being united and consenting in Christ, has been always and every where directed by the one Spirit of Christ, what comes of the Word of the Lord, that clearest of all marks, and which the Lord himself, in pointing out the Church, so often recommends to us? For seeing how dangerous it would be to boast of the Spirit without the Word, he declared that the Church is indeed governed by the Holy Spirit, but in order that that government might be not be vague and unstable, he annexed it to the Word of God.**38

Bagi Calvin, Roh dan firman tidak dapat dipisahkan. "Learn, then by your own experience, that it is no less unreasonable to boast of the Spirit without the Word, than it would be absurd to bring forward the Word itself without the Spirit."**39 Dengan prinsip ini, ia memberikan definisi yang lebih tepat tentang gereja, yaitu "sebuah kumpulan dari semua orang kudus, sebuah kumpulan yang menyebar ke seluruh dunia dan hadir di sepanjang zaman, namun terikat bersama- sama oleh satu doktrin, dan satu Roh Kristus, yang mempererat dan memelihara kesatuan iman dan harmoni persaudaraan."**40 Dari definisi ini ia kemudian membuat klaim yang pasti tentang kesatuan: "With this Church we deny that we have any disagreement. Nay, rather, as we revere her as our mother, so we desire to remain in her bosom."**41 Calvin menyatakan bahwa para Reformator menganggap kesatuan gereja sebagai sesuatu yang kudus dan mereka menyampaikan kutuk terhadap semua orang yang dengan cara apapun melanggarnya.**42 Ia memahami kesatuan gereja sebagai sesuatu yang berakar dari prinsip Kitab Suci, "satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua." Ia mencirikan iman dengan mengatakan, "Lebih jauh, kita harus ingat apa yang dikatakan dalam perikop lain, 'bahwa iman datang dari firman Allah.' Karena itu, biarlah itu menjadi poin yang pasti bahwa kesatuan yang kudus hadir di antara kita, ketika kita sepakat dalam doktrin yang murni kita dipersatukan dalam Kristus saja."**43 Syarat kedamaian adalah "Kebenaran Allah yang murni, suara dari Sang Gembala semata," sedangkan "terhadap suara orang-orang asing penjaga menentang dan menolaknya."**44 Melalui hal ini ia menekankan kesepakatan doktrinal lebih dari sekadar ketaatan eksternal kepada gereja. Ia memberikan komentar terhadap perkataan Paulus di Efesus 4:12-15:

Could he [Paul] more plainly comprise the whole unity of the Church in a holy agreement in a true doctrine, than when he calls us back to Christ and to faith, which is included in the knowledge of him, and to obedience to the truth?**45

[Bersambung -- ke Publikasi e-Reformed yang akan terbit pada akhir Oktober 2003.]



Catatan Kaki (Bag. 1):
  1. The Quest for Church Unity from John Calvin to Isaac d'Huisseau (Allison Park: Pickwick, 1986) 3. Pendirian ini dan yang saya anut mirip dengan pendirian Daniel Lucas Lukito dalam artikelnya, "Esensi dan Relevansi Teologi Reformasi," Veritas 2/2 (Oktober 2001) 149-157. Bdk. G. C. Berkouwer, "Calvin and Rome" dalam John Calvin: Contemporary Prophet, A. Symposium (ed. Jacob T. Hoogstra; Grand Rapids: Baker, 1959) 185. Untuk pengertian Calvin mengenai kebenaran, lih. Charles Partee, "Calvin's Polemic: Foundational Convictions in the Service of God's Truth" dalam Calvinus Sincerioris: Calvin as Protector of the Purer Religion (Sixteenth Century Essays and Studies vol. XXXVI; ed. Wilhelm Neuser & Brian G. Armstrong; Kirksville: Sixteenth Century Journal) 97-122.
  2. "Calvin and the Union of the Churches" dalam John Calvin (ed. G. E. Duffield; Grand Rapids: Eerdmans, 1966) 118.
  3. "Calvin on Fundamental Articles and Ecclesiastical Union," Westminster Theological Journal 54 (1992) 342-343.
  4. Ibid. 341
  5. John T. McNeill, "Calvin as an Ecumenical Churchman," Church History 32 (1963) 379 dst. Robert M. Kingdon, "Some French Reactions to the Council of Trent," Church History 33 (1964) 149 dst.; I. John Hesselink, "Calvinus Oecumenicus: Calvin's Vision of the Unity and Catholicity of the Church," Reformed World XXX; Theodore W. Casteel, "Calvin and Trent: Calvin's Reaction to the Council of Trent in the Context of His Conciliar Thought," Harvard Theological Review 63 (1970) 91 dst.
  6. "Calvin as an Ecumenical Churchman" 390-391.
  7. "Some French Reactions" 151.
  8. "Calvin and Trent" 117. Untuk pendapat kontra lih. Robert E. McNally, "The Council of Trent and the German Protestants," Theological Studies 25 (1964) 1-22.
  9. H. Beveridge memberikan introduksi yang baik untuk The Tracts and Treatises on the Reformation of the Church by John Calvin (3 vol.; tr. Henry Beveridge; Grand Rapids: Eerdmans, 1958) v-xli. Referensi selanjutnya bersumber dari buku ini, kecuali jika saya sebutkan lain. Untuk diskusi tentang risalah polemik Calvin, lih. Francis Higman, "I Came Not to Send Peace, But a Sword" dalam Calvinus Sincerioris 123-135.
  10. Tracts and Treatises 1.4,5.
  11. Ibid. 14.
  12. Ibid. 240. Surat Paus Paulus III kepada Charles V (1544) adalah teguran kepada sang kaisar yang memberi kelonggaran, meskipun hanya berupa sedikit keringanan dari tuduhan yang tidak adil kepada kaum Protestan, dan yang telah mengambil yurisdiksi dalam masalah-masalah agama yang berada di luar lingkup jabatannya. Paulus III mengeluh, "the Emperor, in claming illegal jurisdiction, had committed two sins: first, he had presumed, without consulting him, to promise a Council: and secondly, he had not hesitated to undertake an investigation alien to his office" (ibid. 238). Calvin memberi tanggapan yang tajam mengenai surat ini (1544). Ia mengekspos hipokrisi Paus dengan menunjukkan fakta bahwa semua konsili besar gereja pada masa-masa awal diputuskan bukan oleh para Paus atau uskup, tetapi oleh kaisar.
  13. Ibid. 16.
  14. Ibid. 16, 17.
  15. Ibid. 239.
  16. Ibid. 17, bdk. h.5.
  17. Ibid.
  18. Ibid. 18.
  19. Ibid. 19.
  20. Diumumkan secara resmi oleh kaisar Charles V, Interim diduga sebagai rencana kompromis antara orang-orang Katolik dan Protestan selama menunggu keputusan konsili umum. Kecuali artikel-artikel tentang Communion mengenai jenis dan pernikahan para imam, konstitusi imperial itu condong ke arah Katolik Roma. Apa yang dinamakan Common States (negeri-negeri Katolik) yang tetap setia kepada gereja Roma harus terus memelihara ordonansi-ordonansi dan anggaran dasar gereja yang universal, yakni, Katolik Roma, dan States (negeri-negeri protestan) yang telah memeluk apa yang disebut inovasi-inovasi itu diperingatkan untuk menghubungkan diri mereka kembali dengan Common States, dan sepakat dalam memelihara anggaran dasar dan upacara-upacara gereja Katolik yang universal (Tracts and Treatises 3.192).
  21. Ibid. 205.
  22. Ibid.
  23. Ibid.
  24. Tracts and Treatises 1.11.
  25. Sorbonne Theological Faculty pada tahun 1543, dengan otoritas dari Francis I, menyusun dan menerbitkan 25 artikel yang menolak ajaran Reformasi. Calvin menyangkal dan menerbitkan artikel-artikel tersebut pada tahun 1544. Di dalamnya ia memberikan teks dari setiap artikel diikuti dengan komentarnya terhadap artikel tersebut. Dengan status magisterial, artikel-artikel tersebut menentukan bahwa doktrin-doktrin itu mengikat dan harus diajar oleh para doktor dan pendeta dan dipercayai oleh orang-orang yang setia. Bahwa gereja adalah ekuivalen atau di atas Alkitab, terungkap secara eksplisit dalam dokumen ini. "The place ought to have very great authority in the Church; and although our masters are deficient in proofs from Scripture, they compensate the defect by another authority which they have, viz., that of the Church, which is equivalent to Scripture, or even (according to the Doctors) surpassed it in certainty" (ibid. 71, 72).
  26. Ibid. 101.
  27. Ibid. 102.
  28. Ibid. 103-112.
  29. Tracts and Treatises 1.212. "The Necessity of Reforming the Church" dipresentasikan di hadapan Imperial Diet di Spires tahun 1544, menyampaikan sebuah "Supplicatory Remonstrance" kepada kaisar Charles V, sehubungan dengan konsili umum gereja menurut cara gereja mula-mula. Bdk. Institutes IV.ii.2, 4.
  30. Ibid. 213.
  31. Ibid. Dalam Institutes IV.i.2-7, Calvin mengacu pada gereja bukan hanya gereja yang terlihat tetapi juga orang-orang pilihan Allah. Pemilihan sebagai dasar kesatuan gereja bukanlah tema umum dalam polemik-polemiknya dengan gereja Roma. Bdk. Arthur C. Cochrane, "The Mystery of the Continuity of the Church: A Study in Reformed Symbolics," Journal of Ecumenical Studies 2 (1965) 81-96. Cochrane mencatat bahwa menurut pengajaran Reformed misteri kontinuitas gereja terdapat dalam pilihan dan panggilannya, di dalam dan oleh Yesus Kristus.
  32. Ibid.
  33. Bdk. Institutes IV.ii.2.
  34. Tracts and Treaties 3.240. Salah satu traktat terpenting dan serupa isinya dengan "The Necessity of Reforming the Church," "The True Method of Giving Peace to Christendom and of Reforming the Church" (1547), adalah penolakan Calvin terhadap "The Adultero- German Interim."
  35. Ibid. 266.
  36. Tracts anda Treatises 1.259.
  37. Ibid. 214.
  38. Tracts and Treatises 1.35.
  39. Ibid. 37.
  40. Ibid.
  41. Ibid. Bdk. Institutes IV.i.1.
  42. Ibid. 214
  43. Ibid. 215. Bdk. Institutes IV.ii.5.
  44. "The True Method of Giving Peace" dalam Tracts and Treatises 3.242.
  45. Ibid.
Sumber: 

Sumber diambil dari:


Judul Buku : Veritas Vol. 3/1 (April 2002)
Judul Artikel : Calvin dan Tuduhan Skisma Dari Katolik Roma Terhadap
Para Reformator: Sebuah Studi Tentang Kesatuan Gereja
Penulis : Hidalgo B. Garcia
Penerjemah : -
Penerbit : SAAT, Malang (2002)
Halaman : 37 - 59

Gereja; Mau Kemana? Konservatif dan Radikal

Dear e-Reformed Netters,

Selamat bertemu lagi!

Artikel ini saya kutip dari Majalah Momentum yang terbit tahun 1989 yang lalu. Menurut catatan Redaksi dari mana artikel ini diambil, dikatakan bahwa meskipun makalah ini ditulis lebih dari 10 tahun yang lalu (berarti sekarang sudah 24 tahun yang lalu) namun sangat cocok dengan situasi kekristenan di Indonesia sekarang. Saya juga setuju bahwa artikel ini masih cocok dengan situasi kekristenan di Indonesia tahun 2003. Oleh karena itu saya tertarik untuk membagikan artikel ini di milis e-Reformed. Setelah membaca artikel ini marilah kita belajar untuk mementingkan apa yang penting dan tidak mementingkan apa yang tidak penting. Esensi lebih penting dari yang bukan esensi. Nah, apakah esensi dari gereja dan apakah yang tidak esensi dari gereja? Silakan merenungkan artikel ini.

In Christ,

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Selamat bertemu lagi!

Artikel ini saya kutip dari Majalah Momentum yang terbit tahun 1989 yang lalu. Menurut catatan Redaksi dari mana artikel ini diambil, dikatakan bahwa meskipun makalah ini ditulis lebih dari 10 tahun yang lalu (berarti sekarang sudah 24 tahun yang lalu) namun sangat cocok dengan situasi kekristenan di Indonesia sekarang. Saya juga setuju bahwa artikel ini masih cocok dengan situasi kekristenan di Indonesia tahun 2003. Oleh karena itu saya tertarik untuk membagikan artikel ini di milis e-Reformed. Setelah membaca artikel ini marilah kita belajar untuk mementingkan apa yang penting dan tidak mementingkan apa yang tidak penting. Esensi lebih penting dari yang bukan esensi. Nah, apakah esensi dari gereja dan apakah yang tidak esensi dari gereja? Silakan merenungkan artikel ini.

In Christ,
Yulia

Penulis: 
John RW Stott
Edisi: 
042/VIII/2003
Isi: 

Di dalam gereja kontemporer ada dua ekstrim yang tidak seharusnya ada, yaitu aliran konservatif dan aliran radikal. Sebaiknya kita memberikan definisi untuk kedua istilah ini terlebih dahulu. Yang disebut aliran konservatif ditunjukkan kepada sebagian orang yang bertekad untuk memelihara hal-hal yang sudah lewat dan meneruskannya, sehingga menolak perubahan apapun. Sedangkan aliran radikal ditunjukkan kepada sebagian manusia yang melawan tradisi-tradisi yang sudah lampau sehingga senantiasa mencari perubahan di dalam kegelisahan.

Pada tahun 1968 saya mengikuti Sidang Raya IV dari Dewan Gereja Sedunia yang diadakan di Upsala, Swedia sebagai penasehat. Setiba di sana saya mendapatkan bahwa kami semua secara serentak sudah diklasifikasikan, khususnya di dalam surat kabar pada hari itu. Jika bukan dihina dan digolongkan sebagai aliran tradisionil yang konservatif, anti perombakan, pemelihara kondisi sekarang atau aliran tradisionil yang tidak menginginkan kemajuan, maka akan langsung digolongkan dan diterima secara hangat ke dalam aliran radikal yang bersifat perubahan dan revolusionir. Bukankah ini semua merupakan klasifikasi yang tidak berarti sama sekali? Sebenarnya setiap orang Kristen yang seimbang harus berjejak di atas kedua wilayah itu sekaligus. Ijinkan saya memberi penjelasan lebih mendetail mengapa setiap orang Kristen harus sekaligus menjadi konservatif dan juga radikal, khususnya di dalam pengertian tertentu.

Setiap orang Kristen seharusnya bersifat konservatif karena seluruh gereja dipanggil oleh Tuhan untuk memelihara Wahyu-Nya, sehingga boleh memelihara mandat yang diberikan serta mempertahankan kebenaran yang satu kali sudah diberikan kepada orang suci. (Yudas 17: "Ingatlah akan apa yang dahulu telah dikatakan kepada kamu oleh rasul-rasul Tuhan kita, Yesus Kristus"). Tugas gereja bukan menemukan Injil yang baru secara terus menerus atau menemukan teologi baru atau moral baru atau kekristenan yang baru, melainkan menjadi pemelihara yang setia bagi satu-satunya Injil yang bersifat kekal. Wahyu yang diberikan Allah sendiri sudah sempurna di dalam AnakNya Yesus Kristus dan kesaksian- kesaksian rasul-rasulNya terhadap Kristus yang sudah dicatat di dalam seluruh Kitab Suci. Pewahyuan dari diri Allah tidak boleh diubah dengan bentuk dan cara apapun - tidak perduli ditambahkan atau dikurangi- kebenaran dan otoritas Kitab Suci tidak boleh diubah.

Penulis dari buku "Pertumbuhan Dan Persatuan" mengutarakan konsep ini dengan dinamis: "Tugas gereja yang utama adalah memelihara keutuhan Injil. Untuk membicarakan kebiasaan mental ini dengan maksud mengatakan, barang itu memang kuno serta penentang segala pikiran baru, sama sekali bukan maksud kita. Penggemar hal-hal kuno dan penentang pencerahan merupakan kebiasaan buruk orang Kristen, sedangkan konservatifisme merupakan kebajikan orang Kristen."

Namun disesalkan ada sebagian orang Kristen yang tidak hanya membatasi konservatifisme mereka di dalam teologi Alkitabiahnya, tetapi juga dalam hal-hal lain. Bahkan mereka memiliki kepribadian yang konservatif, sehingga mereka selalu bersifat konservatif di dalam pandangannya tentang politik dan sosial, di dalam bentuk hidupnya, pakaiannya, model rambutnya bahkan mode jenggotnya dan segala bentuk hidup yang bisa kita bayangkan. Mereka semua sangat kuno adanya. Bukan saja mereka telah menjerumuskan diri ke dalam lumpur saja, melainkan lumpur yang sudah membeku sebagai semen. Mereka membenci segala macam perubahan. Mereka mirip dengan seorang guru besar yang pernah berbicara di dalam universitas Cambridge pada masa mahasiswanya: "Perubahan macam apa saja di dalam waktu apa saja dengan alasan apa saja, semuanya harus disesalkan"! Motto yang paling digemari adalah "Sebagaimana permulaan dunia ini tetaplah sekarang dan selama-lamanya seperti itu juga sampai selama-lamanya, Amin!"

Di pihak lain aliran radikal adalah mereka yang bertanya-tanya tentang agama negara. Mereka menganggap tidak ada tradisi kebiasaan atau organisasi yang begitu suci sehingga tidak boleh diganggu atau diubah; juga menganggap tidak ada pribadi manusia yang begitu suci sehingga tidak boleh dikritik. Sebaliknya mereka bersedia untuk mengadakan penghakiman dan pengritikan terhadap segala sesuatu yang diwarisi dari masa lampau. Bukan saja demikian, penghakiman semacam ini senantiasa memimpinnya menuju perombakan yang tuntas, jika perlu menuju revolusi (sebagai seorang Kristen mungkin ia tidak memakai kekuatan yang rusuh).

Dilihat sepintas lalu aliran konservatif berlawanan dengan aliran radikal sehingga kita tidak mungkin menghindarkan diri dari keekstriman di dalam masalah ini, tetapi faktanya tidak demikian. Ini semua disebabkan oleh kurangnya pengertian kita bahwa Tuhan kita Yesus Kristus adalah sekaligus konservatif dan radikal, tetapi di dalam segi- segi yang berbeda.

Sikap Tuhan terhadap Alkitab bersifat konservatif - kitab Suci tidak bisa digugurkan. Ia berkata, "Aku datang bukan untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi melainkan untuk menggenapinya."(Matius 5:17). Juga berkata, "Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat sebelum semuanya terjadi." (Matius 5:18). Teguran utama Yesus terhadap pemimpin Yahudi sejamannya adalah mereka tidak menghormati kitab Suci Perjanjian Lama serta kekurangan ketaatan yang sejati terhadap otoritas kitab Suci yang kudus.

Tetapi Yesus juga sebenarnya harus disebut sebagai radikalis, Dia merupakan pengeritik yang tajam terhadap aliran penguasa Yahudi yang tajam, tanpa ketakutan apapun, bukan hanya karena mereka tidak setia kepada firman Allah secara sempurna, juga karena mereka terlampau setia kepada tradisi mereka sendiri. Yesus pernah secara tegas menghapuskan tradisi yang sudah diturunkan secara berabad-abad demi supaya firman Allah boleh dilihat kembali dengan jelas serta terpelihara.

Yesus sangat berani di dalam mendobrak segala kebiasaan sosial. Ia menegaskan pentingnya memperhatikan lapisan masyarakat yang rendah yang selalu dihina dan diabaikan. Ia berbicara dengan perempuan di hadapan umum, yang tidak diijinkan dalam jaman itu, Ia mengundang anak kecil datang kepadaNya, sedangkan di dalam masyarakat orang Romawi anak-anak buangan selalu terlantar dan sangat kotor sehingga umumnya manusia menganggap lumrah jika tidak mau diganggu oleh anak-anak kecil. Ia mengijinkan para pelacur mendekatiNya (umumnya orang Farisi menghindarkan diri dari perempuan macam ini karena membencinya), sedangkan Yesus sendiri sungguh-sungguh menjamah orang berpenyakit kusta yang sebenarnya dilarang untuk dijamah (orang Farisi umumnya melempar batu kepada mereka supaya memelihara diri dari mereka dalam jarak tertentu) di dalam cara-cara seperti ini dan sebagainya. Yesus menolak untuk diikat oleh kebiasaan dan adat manusia, hati nurani dan jiwaNya hanyalah diikat oleh firman Allah. Sebab itu Yesus merupakan sesuatu kombinasi yang unik dari sifat konservatif dan radikal. Ia bersifat konservatif terhadap Kitab Suci tetapi jika diperhatikan secara saksama Ia bersifat radikal terhadap hal-hal lain yang Ia temukan.

"Seorang murid tidak lebih dari pada gurunya, atau seorang hamba dari pada tuannya." (Matius 10:24) demikianlah perkataan Kristus yang pernah diucapkanNya. Maka jika Yesus dapat mengkombinasikan semangat radikal dan semangat konservatif, kita yang menyebut diri sebagai pengikutNya juga dapat meneladaniNya. Secara fakta jika kita hendak setia kepadaNya kita haruslah demikian. Pada masa ini kita sangat memerlukan lebih banyak orang-orang radikal konservatif sehingga orang Kristen Injili memperkembangkan daya penelitian yang lebih bersifat kritis untuk membedakan apakah yang boleh dan harus diubah serta apa yang tidak perlu dan tidak boleh diubah.

Yang lebih patut kita perhatikan adalah kita perlu lebih jelas di dalam membedakan Kitab Suci dan kebudayaan. Karena Kitab Suci merupakan firman Allah yang tidak berubah untuk selama-lamanya. Sedangkan kebudayaan dibentuk oleh tradisi gereja, kebiasaan dan adat masyarakat serta daya kreatif manusia. Segala otoritas yang dimiliki kebudayaan adalah diwarisi oleh masyarakat dan gereja[1]. Sebaliknya kebudayaan berubah sesuai jaman dan tempat. Lebih dari itu kita orang Kristen menyatakan kerelaan kita hidup di bawah otoritas firman Allah, maka seharusnya kita menaklukkan kebudayaan jaman kita di bawah penghakiman Alkitab yang terus menerus tanpa henti sehingga sama sekali tidak merasa bosan atau menentang perubahan kebudayaan. Kita seharusnya berpihak dan berdiri di front mereka yang mengusulkan serta merombak kebudayaan, sehingga kebudayaan boleh menyatakan dengan sungguh-sungguh kehormatan sifat manusia serta menyenangkan Allah Pencipta kita.

Pada suatu kunjungan saya ke sekolah teologi Trinitas di Deerfield, Illinois di Amerika Serikat, mahasiswa sekolah ini memberi kesan yang dalam bagi saya. Meskipun mereka berasal dari latar belakang yang berbeda, namun mereka menemukan bersama bahwa di dalam pengabdian mereka terhadap Kekristenan yang Alkitabiah. Mereka bersatu untuk melepaskan diri dari agama Kristen Amerika kontemporer serta bertekad bulat untuk menerapkan Kitab Suci di dalam segala masalah besar hari ini. Maka mereka bersama-sama membentuk satu persekutuan doa dan studi yang bersifat gabungan. Organisasi tersebut bertumbuh menjadi kesatuan Kekristenan rakyat, sedangkan jurnal mereka adalah "Manusia Amerika yang berlalu". Cover edisi perdananya melukiskan Kristus yang sedang memakai mahkota duri, tangan yang terbelenggu sedang menudungi bendera yang bergaris dan berbintang. Ada yang menganggap gambaran ini bersifat menghujat tetapi saya tidak berpikir demikian. Lukisan ini merupakan pernyataan jenius yang memperhatikan kemuliaan Kristus. Jimmy Wallace di dalam tajuk rencananya mengumumkan: "Serangan terhadap agama yang ada berupa berita yang menjelekkan kekristenan yang bersifat melepaskan agama dari kebudayaan. Lembek dan tanpa daya hidup sehingga dengan sendirinya ditolak oleh generasi kita ini secara gampang... . Kita menemukan bahwa gereja Amerika sangat diikat oleh nilai kebudayaan kita dan bentuk kehidupan kita..."

Ikatan terhadap gereja yang bersifat Amerika ini mengakibatkan hal yang sangat disesalkan yaitu mempersamakan gaya hidup Amerika dengan gaya hidup Kekristenan. Di dalam tempat-tempat lain di dunia penyataan kebudayaan kekristenan juga demikian. Di dalam dunia ketiga dan bagi banyak gereja ini merupakan masalah utama. Kekristenan dicangkokkan oleh misionari dan Eropa dan Amerika Utara, sedangkan gereja sekarang sedang mencari identitas mereka dengan kebudayaan yang ada. Mereka menemukan masalah dalam menghadapi dua kebudayaan.

Pertama mengenai kebudayaan setempat atau suku mereka, khususnya di Afrika, pemimpin Kristen setempat menyadari meskipun banyak kebiasaan tradisional Afrika - yang berfungsi merefleksikan sumber kebudayaan mereka yang kafir tetapi bukan saja tidak merugikan iman, kasih, keadilan, dan hal-hal baik lainnya di dalam kemoralan dan kerohanian, secara faktual mereka harus menaati kedaulatan Kristus yang memungkinkan hidup secara kelimpahan.

Kedua adalah mengenai kebudayaan kafir (tidak perduli Eropa atau Amerika) yaitu masalah setelah Injil dikabarkan di dunia ketiga. Masalah ini sebagian disebabkan seolah-olah Injil, yang mengakibatkan kebudayaan kekristenan, merupakan penghinaan terhadap kehormatan kebudayaan bangsa mereka, sehingga seruan: "Usirlah agama orang putih!" timbul di sana sini. Padahal seruan ini salah adanya. Karena agama Kristen bukan milik orang putih atau organisasi yang lain. Yesus Kristus merupakan Tuhan dari setiap bangsa, negara dan segala usia, tanpa perbedaan. Tetapi untuk orang Asia, Afrika maupun Amerika Latin yang menemukan serta memperkembangkan cara untuk mengutarakan penerapan kebenaran Kristus dan kehidupan kekristenan melalui kebudayaan yang ada pada mereka merupakan hal yang tepat. R. Peddila di dalam kongres Penginjilan Sedunia di Lausanne pada tahun 1974 telah memperdebatkan lagi dengan semangat yang menggebu-gebu tentang masalah kebudayaan Kekristenan.

Itu sebabnya para pemimpin Kristen dari gereja-gereja Gerakan Baru bukan hanya memerlukan hikmat untuk membedakan kebudayaan bangsa dan kebudayaan impor, juga harus dapat membedakan kebudayaan yang bernilai dan kebudayaan yang tidak bernilai. Mereka juga harus memiliki keberanian untuk memelihara yang satu dan menolak yang lain.

Kekristenan di Eropa juga harus demikian, sebab sumbernya boleh ditelusuri sampai 2000 tahun yang lalu. Kekristenan di daerah ini juga terpendam di bawah kebudayaan Spanyol pada abad-abad tersebut. Pada saat kita membicarakan gereja Lutheran, Anglican, Presbyterian atau Brethern kita perlu membedakan secara saksama. Karena setiap aliran mengandung bentuk, tradisi atau kebudayaan Kekeristenan. Warna bentuk kebudayaan tradisionil bukan hanya ditemukan di dalam pengutaraan dotrinal, tetapi juga tidak luput dari liturgi dan musik, arsitektur dan gaya serta pandangan peranan ulama dan kaum awam, juga metode penggembalaan dan pemberitaan Injil. Pada faktanya setiap hal dalam gereja kita adalah demikian dan setiap hal harus ditaklukkan ke bawah penelitian Alkitab yang bersifat ketat dan kritis.

Maka pada saat kita menolak perubahan tidak peduli di dalam gereja atau masyarakat, kita perlu instrospeksi sendiri apakah ini sesuai dengan kitab Suci yang kita pertahankan (bila kebiasaan kita adalah mempertahankan secara ketat), atau hanya terbatas di dalam tradisi yang dihargai oleh sebagian tua-tua gereja atau tradisi kebudayaan saja. Ini tidak berarti semua tradisi harus dibuang hanya karena semua adalah tradisi. Aliran anti adat tanpa sifat kritis sama bodohnya dengan aliran konservatif tanpa kekritisan, bahkan kadang-kadang lebih berbahaya. Yang mau saya tegaskan adalah tidak ada tradisi yang berhak meloloskan diri dari penelitian ulang dan tidak ada hak istimewa pada tradisi tertentu.

Di lain pihak pada waktu kita tergesa-gesa di dalam perubahan, kita harus mengerti dengan jelas Alkitab tidak melawan hal-hal yang ingin kita ubah. Sebaliknya ada tradisi-tradisi yang tidak Alkitabiah sebenarnya boleh diteruskan serta memerlukan perubahan untuk membenarkannya. Jikalau ada yang tidak Alkitabiah dan nyata-nyata melawan prinsip Alkitab, kita harus berani mendongkel serta menghentikannya sekuat tenaga. Jika tradisi yang tidak Alkitabiah seolah-olah tidak relevan dengan Alkitab, minimalnya kita harus mempertimbangkannya dengan kritis.

Pada umumnya kita mengetahui dan mengakui sifat otoritas dari pikiran, kebudayaan yang kita bayangkan, namun kebenaran dan kekekalan hanya dimiliki Kitab Suci. Kebudayaan telah menjadi sebagian perasaan keamanan kita. Bila hal-hal ini diancam, kita juga merasakan ancaman itu sehingga kita selalu menghindari bahaya dan berusaha mempertahankannya.

Kadang-kadang kita kurang menaruh perhatian terhadap otoritas Alkitab. Kita memperlakukan Firman Allah sama dengan cara kita memperlakukan tradisi dan konsep manusia, sehingga gampang melalaikannya. Dengan ini membuktikan kita masih orang Kristen duniawi, yang secara tuntas sudah menerima sikap anti otoritas yang dimiliki oleh orang dunia, sehingga tidak bersedia hidup di bawah otoritas Allah serta otoritas pemerintahanNya terhadap umatNya.

Orang Kristen jaman ini dipanggil untuk menjalankan tali keseimbangan ini. Kita tidak menolak segala perubahan, juga tidak mengubahnya secara total secepat mungkin, lebih dari itu terhadap hal-hal yang diperbolehkan oleh Alkitab dan yang dapat diubah juga kita serang dengan serampangan. Setiap orang Kristen yang percaya Allah di dalam sejarah dan pekerjaan Roh Kudus sepanjang sejarah gereja tidak mungkin merasa senang untuk mengubah sesuatu hanya disebabkan ingin mengubahnya. Kadang-kadang yang lama ada juga baiknya, karena telah bertahan dalam ujian waktu. Kita perlu sikap peka terhadap orang Kristen tua yang beraliran konservatisme. Mereka tidak mudah membiasakan diri terhadap perubahan tetapi lebih gampang merugikan dan menghambat perubahan. Dari pandangan Alkitab kita mengetahui yang kita butuhkan adalah daya membedakan yang bijaksana. Maka kita harus bisa menikmati tradisi yang lampau serta berdaya responsif terhadap aliran- aliran baru. Hanya dengan demikian baru kita dapat mempergunakan penghakiman dari Kitab Suci yang radikal di dalam segala macam kebudayaan, serta di bawah pimpinan Tuhan baru mungkin mencapai perubahan yang lebih baik.

Kiranya Tuhan memberikan kebijaksanaan yang sama kepada kita saat ini. Kiranya Dia juga memberikan keberanian kepada kita sehingga mempergunakan kebijaksanaan ini bukan hanya untuk urusan gerejani, tetapi dapat juga diterapkan ke dalam wilayah sosial, etika, dan politik.

Mungkin saya boleh mempergunakan terminologi biologis untuk mengutarakan maksud saya. Yaitu kita memerlukan kutu sapi Kristen (orang yang membenci kita) untuk mengganggu dan menusuk kita sehingga kita melangsungkan perubahan. Pada saat yang sama kita juga memerlukan anjing penjaga Kristen (pengawal) pada saat kita menyatakan tanda- tanda mengkompromikan kebenaran Alkitab. Di dalam keadaan bagaimanapun, pengawal itu dapat menggonggong dengan suara keras yang bertahan lama. Tidak perduli yang menusuk orang atau menggonggong orang, kedua macam pribadi ini sulit kita ajak kerja sama. Mereka pun tidak gampang menemukan minat persamaan antara mereka sendiri. Namun yang menusuk harus tidak menggigit yang menggonggong dan yang menggonggong harus tidak menelan yang menusuk. Mereka harus belajar hidup rukun dalam gereja Kristus serta mengkonsentrasikan perhatian terhadap umat Tuhan yang begitu banyak, guna melaksanakan tugas mereka masing-masing. Kita sebenarnya sangat membutuhkan kedua macam hamba Tuhan ini.

Setelah peringatan tentang bahaya dari perubahan yang terlalu banyak dan perubahan yang terlalu sedikit, sekarang marilah kita mengambil kesimpulan, yaitu bahaya yang lebih besar (paling sedikit di dalam aliran Injili) adalah salah menanggapi unsur kebudayaan sebagai unsur Alkitabiah sampai akhirnya menjadi terlampau konservatif dan terlampau terikat oleh tradisi. Sehingga tidak bisa melihat hal-hal gerejawi dan sosial yang tidak berkenan kepada Tuhan. Konsekuensinya kita menjadi terlalu kolot di dalam ikatan kondisi sekarang serta menolak pengalaman yang paling tidak enak yaitu perubahan.

BENTUK DAN KEBEBASAN

Dari membicarakan ekstrim konservatif dan radikal mari kita beralih kepada ekstrim berorganisasi dan tidak berorganisasi. Organisasi sekuler sedang mengalami perpecahbelahan di sana sini. Secara global manusia melawan bentuk dan struktur yang kaku serta mengejar kebebasan dan fleksibilitas. Gereja Kristen telah diakui di seluruh dunia sebagai satu struktur organisasi yang menonjol dan mantap. Sehingga kita tidak mungkin luput dari tantangan jaman yang satu ini. Kita harus ingat tantangan ini berasal dari sudut internal maupun eksternal. Banyak orang Kristen yang muda sedang menuntut sesuatu agama Kristen tanpa organisasi untuk menanggalkan beban gereja Kristen yang harus ditanggungnya. Mari kita menganalisa gerakan ini di dalam 3 pernyataannya yang utama.

Pertama orang sedang mencari gereja yang tidak memiliki bentuk yang tetap. Kelompok-kelompok Kekristenan seluruh dunia sedang menerobos tradisi dan mengerjakan segala hal menurut caranya sendiri.

Kedua, orang Kristen sedang mencari macam penyembahan yang tidak terikat peraturan. Pendeta tidak lagi memimpin setiap upacara melainkan mendorong jemaat untuk berpartisipasi, organ sudah diganti oleh gitar, liturgi yang kuno sudah diganti oleh bahasa sehari-hari. Makin banyaknya kebebasan berarti makin sedikitnya upacara. Makin banyaknya inisiatif berarti makin sedikit hal-hal yang statis.

Ketiga, melawan denominasionalisme dan suatu hal yang ditekankan yaitu kebebasan. Rupanya generasi yang baru ini sangat puas dengan membuang segala sesuatu yang lampau. Bahkan semua ikatan gereja-gereja lain pada saat ini. Mereka suka menyebut diri sebagai Kristen dan tidak mau panji denominasi apapun.

Kita tidak perlu ragu bahwa ketiga tuntutan ini mempunyai kekuatan yang meyakinkan. Mereka memiliki perasaan yang berkobar-kobar dan mereka berbicara secara dinamis. Kita tidak bisa mengabaikannya atau menganggapnya sebagai gila, maupun menganggap mereka adalah kaum pemuda yang tidak bertanggung jawab. Karena ini merupakan sesuatu gejala global yang menuntut kebebasan, fleksibilitas, kemandirian dan non-organisasi. Orang Kristen generasi tua dan yang agak bersifat tradisionil perlu mengerti hal ini. Kita harus bisa bersimpati dan sebisa mungkin berjalan bersama dengan mereka. Kita harus mengakui bersama bahwa Roh Kudus mungkin dan kadang-kadang sudah dibelenggu di dalam struktur organisasi kita[2]. Dan terbatas di dalam bentuk yang ada pada kita.

Namun saya masih ingin sampaikan bahwa kebebasan dan kacau balau tidak mempunyai arti yang sama, apakah sebabnya kita memerlukan semacam bentuk dan organisasi tertentu.

Pertama, gereja yang berorganisasi. Orang Kristen berasal dari latar belakang gereja yang berbeda-beda dan mengasihi serta menghargai tradisi yang berbeda-beda. Meskipun tidak semuanya, tapi paling tidak mayoritas menyetujui bahwa pendiri gereja yang asli, yaitu Kristus, menghendaki gerejaNya mempunyai organisasi yang tampak. Gereja juga mempunyai aspek yang tidak bisa dilihat, ini merupakan satu fakta. Di situ hanya ada "orang-orang" yang diketahui sebagai milikNya sendiri. Tetapi tidak boleh kita memakai alasan bahwa gereja sejati adalah yang tidak kelihatan untuk menyangkal bahwa Yesus Kristus mengharapkan umatNya boleh dilihat dan diketahui oleh dunia, Dia sendirilah yang telah menetapkan sakramen pembaptisan sebagai upacara masuk ke dalam gereja, dan baptisan merupakan sesuatu yang terbuka dan bisa dilihat. Dia juga mendirikan sakramen perjamuan suci bagi persekutuan orang Kristen, yang melaluinya gereja boleh dipersatukan dan dengan ini pun mengeksklusifkan orang-orang yang bukan anggota. Sehingga boleh melaksanakan disiplin di dalam anggota-anggota gerejanya. Bukan saja demikian, Dia juga mengutus gembala-gembala untuk memelihara kaum dombaNya. Maka tidak perduli di mana pun, jika ada baptisan, perjamuan suci, pendeta atau istilah-istilah tradisionil, penginjil, sakramen, maka di sana ada organisasi. Mungkin organisasi ini bersifat lebih sederhana dari denominasi-denominasi historis. Mungkin lebih fleksibel tetapi tetap ada sesuatu organisasi yang jelas dan tegas. Lebih dari ini seseorang boleh menyatakan perlawanan yang keras terhadap nilai pemberitaan firman dan nilai sakramen namun pemberitaan firman dan sakramen tetap diakui bersama oleh gereja-gereja yang berbeda.

Kedua, penyembahan yang resmi. Secara pribadi saya sama sekali menyetujui penyembahan kaum muda yang timbul dari dalam hati yang melimpah dengan sukacita dan ramai-ramai. Meskipun kadang-kadang saya merasakan kepahitan di dalamnya seperti pengalaman saya satu kali di suatu tempat. Telinga saya hanya berjarak beberapa inchi dari loud speaker yang keras sekali.

Kadang-kadang penyembahan kita terlalu formil, terlalu tinggi dan monoton. Bahkan di dalam kebaktian modern boleh dikatakan sama sekali sudah kehilangan ibadat sehingga sangat merisaukan. Sebagian orang Kristen seolah-olah menganggap bukti utama penyertaan Roh Kudus adalah keramaian dan inspirasi inisiatif. Bukankah ini mengisyaratkan bahwa kita sudah melupakan bahwa merpati, angin, dan api sama-sama adalah tanda Roh Kudus? Pada saat Roh Kudus hadir dengan kuasa-Nya di tengah- tengah umat, kadang-kadang Ia mendatangkan ketenangan, kesejahteraan, keagungan dan mengakibatkan perasaan takut kepada Tuhan. Suara kecilNya boleh didengar. Di dalam ketakutan terhadap Roh, manusia berlutut di hadapan kuasa Allah yang hidup dan sejati. Menyembah dengan "hanya Tuhan ada di dalam BaitNya yang suci, manusia seluruh bumi sepatutnya berdiam diri dan hormat di hadapanNya". Saya tidak bermaksud untuk mengatakan ibadat dan bentuk pasti bersatu. Karena kebaktian yang tidak resmipun kadang-kadang bersifat ibadat. Sedang penyembahan resmi yang memakai upacara yang agung kadang-kadang tidak memiliki ibadat yang bersifat rohani. Namun di mana terjadi persatuan antara keagungan lahiriah dan ibadat batiniah, di sana penyembahan yang dipersembahkan paling memuliakan Allah.

Ketiga, prinsip yang berelasi. Mayoritas kita menegaskan gereja lokal paling sedikit harus memiliki sifat kemerdekaan tertentu. Sedangkan menurut Kitab Suci gereja lokal adalah penyataan yang nampak di dalam satu tempat yang bersifat gereja global. Sedangkan gereja lokal bukan saja adalah gereja global, juga disebut sebagai Bait Allah dan tubuh Kristus. (Gereja lokal: 1Korintus 3:16; 12:27, gereja global: Efesus 2:19-22; 4:4, 16). Namun gereja lokal mungkin terlalu menekankan prinsip otonomi gereja lokal ini sehingga melalaikan orang Kristen dari jaman lampau dan jaman sekarang. Pada saat terjadinya kondisi semacam ini gereja lokal akan menjadi terlampau memuaskan diri sehingga menekan gereja Tuhan baik secara waktu dan ruang.

Maka kita perlu mengingatkan diri tentang kebenaran-kebenaran Alkitab yang senantiasa mudah dilupakan oleh kaum muda. Apakah anda hanya tertarik dengan keadaan sekarang, apakah generasi ini khusus menggemari kalimat Henry Ford yang menganggap sejarah itu hampa adanya? Kadang-kadang seolah-olah ini benar. Namun Allah macam apakah yang anda percaya? Allah di dalam Kitab Suci adalah Allah sejati, Allah Abraham, Ishak, Yakub, Allah Musa dan nabi-nabi, Allah Yesus Kristus dan rasul-rasulNya, Allah gereja abad permulaan, Dialah yang melampaui segala abad untuk merealisasikan kehendakNya. Jika Allah memang adalah Tuhan sejarah, bagaimana kita boleh melalaikan sejarah atau tidak tertarik kepadanya? Ia adalah juga Allah dari seluruh gereja. Persatuan gereja berasal dari persatuan sifat ilahi karena hanya ada satu Bapa, satu keluarga, karena hanya ada satu Tuhan, satu iman, satu pengharapan, satu baptisan dan hanya karena ada satu Roh Kudus maka hanya ada satu tubuh (gereja).

Jikalau kita tidak boleh melalaikan masa lampau, maka kita juga tidak boleh melalaikan masa sekarang. Seluruh masalah yang berelasi dengan orang Kristen yang lain adalah sangat kompleks dan mudah menimbulkan perselisihan. Alkitab tidak memberikan jaminan untuk menemukan atau memelihara persatuan tanpa kebenaran, tetapi Alkitabpun juga tidak memberikan jaminan bahwa kita boleh menemukan kebenaran tanpa persatuan. Ini benar adanya namun persekutuan di dalam kepercayaan pengakuan bersama itu pun benar adanya.

Sekali lagi saya menyerukan di dalam masalah ini janganlah kita terus menempuh cara ekstrim. Di dalam gereja Kristus berorganisasi atau tanpa organisasi, formil atau tidak formil, suasana khidmat atau inspirasi inisiatif, independen atau bersekutu, kita harus memberikan tempat kepada keduanya.

Gereja masa permulaan telah memberikan teladan yang sempurna kepada kita di dalam masalah ini. Bukankah kita membaca setelah hari Pentakosta orang Kristen yang baru dipenuhi Roh Kudus berbakti ke dalam rumah sembahyang dan memecahkan roti di dalam rumah mereka sendiri. Maka mereka tidak langsung menolak gereja orang Yahudi, tetapi memperbaikinya berdasarkan Injil yang diterimanya, bahkan mereka memakai kebaktian di rumah mereka untuk mengisi penyembahan dan permintaan yang formal di dalam Bait Allah. Apa yang saya lihat di sini setiap gereja lokal seolah-olah harus menampung baik ibadah yang formal di dalam gereja dan persekutuan tidak formal di dalam rumah ke dalam pengaturan programnya. Sedangkan generasi tua dan anggota gereja tradisionil yang senang kepada penyembahan formal memerlukan pengalaman kebebasan dalam penyembahan keluarga. Sedangkan anggota gereja yang muda, yang gemar kepada keramaian dan inspirasi inisiatif memerlukan pengalaman penyembahan gerejani yang bersifat khidmat dan formil. Karena kombinasi semacam ini adalah sangat sehat.

Catatan dari Pdt. Dr. Stephen Tong:

  1. Hal ini merupakan refleksi masyarakat Barat di mana gereja mempunyai peranan penting dalam masyarakat, bukan refleksi masyarakat Timur di mana gereja merupakan minoritas masyarakat.
  2. Sebenarnya Roh Kudus yang membebaskan tidak mungkin dibelenggu oleh kita. Kalimat ini harus dimengerti sebagai berikut, yaitu: Jika kita mementingkan organisasi dan struktur kita, kita akan mengikat diri di dalam keterbatasan kita sendiri sehingga tidak mengalami berkat dan kuasa Roh Kudus yang melampaui keterbatasan kita, maka kitalah yang menjadi terbelenggu, bukan Roh Kudus.

Catatan tentang penulis:

Pendeta John Stott adalah pendeta emiritus dari gereja Segala Orang Suci di London. Seorang teolog Injili yang terkenal di seluruh dunia. Otak utama dari Lausanne Covenant. Beliau menulis banyak buku termasuk Keseimbangan Agama Kristen, Seni Berkhotbah Abad XX, Agama Kristen, Ajaran Khotbah di Bukit dll.

Sumber: 

Sumber:

Judul Buku: Momentum 7
Judul Artikel: Gereja; Mau Kemana? Konservatif dan Radikal
Penulis : John RW Stott
Penerjemah : -
Penerbit: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1989
Halaman: 6-11

Pemimpin dan Arogansi

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Selamat berjumpa lagi.

Artikel yang saya sajikan bulan ini adalah kiriman dari Sdr. Yanto Soetianto . Saya mendapat banyak berkat dari tulisan ini sehingga saya ingin membagikannya untuk rekan-rekan anggota e-Reformed. Semoga artikel ini dapat menolong kita untuk hidup lebih waspada.

Untuk Sdr. Yanto, terima kasih banyak atas kirimannya. Untuk rekan-rekan anggota e-Reformed, selamat menyimak!

In Christ,
Yulia

Edisi: 
041/VII/2003
Isi: 

"Setelah raja Uzia menjadi kuat, ia menjadi tinggi hati sehingga ia melakukan hal yang merusak." (2 Tawarikh 26:16)

Kesombongan bagaikan penyakit yang aneh. Yang menderita bukanlah orang yang mengidap penyakit tersebut, namun orang lain di sekilingnya. Orang yang menderita penyakit ini pada umumnya tidak merasakan gejala apa-apa, namun orang lain yang berinteraksi dengannya merasa mual dan muak.

Penyakit arogansi ini menjangkiti semua orang: kaya dan miskin, bodoh dan pandai, jahat dan baik, ateis dan teis, Injili dan Liberal, Republican dan Democrat, Arminian dan Calvinist, dan seterusnya. Pendek kata, semua orang. Tidak ada yang imun dari penyakit ini.

Yang menarik, penyakit ini dapat menjadi ganas dan menular apabila itu diderita oleh pemimpin, karena pengaruh yang dimiliki oleh pemimpin. Semakin besar pengaruh yang dimiliki seorang pemimpin, karena peran atau posisinya, semakin berbahaya apabila ia menjadi sombong.

Pemimpin Tinggi Hati

Percaya atau tidak, jenis manusia yang sangat rentan dan mudah terjangkiti penyakit ini adalah pemimpin. Paling tidak ada tiga hal yang dapat menjelaskan hal ini: (1) kuasa, (2) persepsi umum dan perlakuan khusus, dan (3) keberhasilan.

Banyak pemimpin yang pada awal proses kepemimpinannya rendah hati berubah menjadi tinggi hati. Hal ini seringkali terjadi karena kuasa yang dilekatkan pada diri para pemimpin tersebut tatkala mereka diberi kepercayaan untuk memimpin orang lain (mempengaruhi, mengajar, memotivasi, memberdayakan, dan sebagainya).

Kuasa sangat ampuh dalam membentuk dan mengubah karakter pemimpin. Abraham Lincoln, presiden Amerika ke-16 dan seorang pemimpin besar dalam sejarah, pernah mengatakan:
"Nearly all men can stand adversity, but if you want to test a man's character, give him power."

Disadari atau tidak, sebutan "hamba Tuhan" mengimplikasikan sebuah persepsi kuasa yang dapat menjebak pemimpin Kristen. "Memang saya hamba, tapi tunggu dulu, saya bukan hamba sembarangan. Saya hamba-nya TUHAN." Konsep diri seperti ini seringkali membuat pemimpin Kristen berlaku seperti Tuhan ketimbang seperti hamba. Karena hamba-nya Tuhan, maka ia merasa statusnya lebih superior dari orang lain dan berhak menjadi tuan atas mereka. Pertanyaannya bagi pemimpin Kristen: mana yang lebih cocok menggambarkan dirinya: hamba atau Tuhan?

Kedua, saat seorang pemimpin menerima legitimasi dari orang lain dan diterima kepemimpinannya, itu berarti ia dipersepsi oleh publik sebagai seorang yang lebih superior ketimbang yang lain, minimal dalam satu hal (kompetensi atau pengalaman, misalnya). Yang menarik, persepsi ini kemudian tidak berlaku hanya dalam satu hal tersebut, namun perlahan-lahan diterapkan dalam berbagai hal. Sehingga yang muncul adalah persepsi bahwa pemimpin memang berstatus lebih superior dibanding orang lain dalam semua hal. Hal ini mudah terjadi khususnya dalam kultur yang paternalistis.

Persepsi ini seringkali disertai dengan perlakuan-perlakuan yang lebih istimewa terhadap pemimpin dibanding non-pemimpin. Kebutuhannya didahulukan dan keinginanannya dinomorsatukan. Orang sangat ingin mendengar pandangan dan pendapat pemimpin, sehingga apa yang ia katakan jauh lebih penting daripada perkataan orang lain.

Persepsi dan perlakuan khusus terhadap pemimpin sering kali tidak dapat dihindari karena terjadi dengan natural. Yang dapat dihindari adalah reaksi atau respon pemimpin terhadapnya. Apabila tidak mawas diri, maka persepsi dan perlakuan istimewa ini menjadi sebuah jebakan yang menjerumuskan karakter pemimpin. Dari rendah hati ke tinggi hati. Kalau hari ini banyak pemimpin yang menderita superiority complex, itu menunjukkan betapa mereka memilih untuk hidup dalam persepsi, bukan realita. Dan memilih untuk terlena dengan berbagai perlakuan khusus tadi.

Hal ketiga yang barangkali paling fatal adalah keberhasilan seorang pemimpin. Banyak pemimpin yang efektif menjadi gagal karena keberhasilannya. Kutipan ayat di awal tulisan ini menceritakan tentang raja Uzia yang jatuh justru karena karir politiknya yang sukses. Ada motto yang mengatakan Success breeds success. Namun realitanya, Success also breeds failure. Karena kesuksesan dapat menjelma menjadi penjara yang membelenggu dan membesarkan ego pemimpin.

Dalam 2 Tawarikh 26, kita membaca bagaimana raja Uzia memulai peran dan posisinya sebagai pemimpin dengan sangat baik. Ia melakukan apa yang benar di mata Tuhan (ay. 4), dan Allah menyertainya dalam berbagai usahanya. Namanya menjadi terkenal sampai ke negeri jauh. Meskipun bukan karena kehebatannya sendiri melainkan karena ia "ditolong dengan ajaib" (ay. 15). Inilah klimaks dari pelayanannya sebagai pemimpin, karena setelah itu ia lupa diri.

Ia menganggap dirinya hebat dan merasa tidak lagi perlu tunduk kepada Tuhan. Ia lupa ia hanyalah hamba-Nya, alat-Nya. Ia malah mencoba menjadi allah kecil. Alhasil, bukan saja kepemimpinannya hancur, namun hidupnya berakhir dengan tragis. Ia terkena penyakit kusta secara instan di dalam bait Tuhan (ay. 19-21) dan diasingkan seumur hidup sampai saat kematiannya.

Natur Kesombongan

C.S. Lewis

Kesombongan adalah dosa yang sangat serius dan sentral. C.S. Lewis menguraikan hal ini dengan menggarisbawahi natur dari kesombongan, yaitu kompetisi.

Kita umumnya berpikir bahwa seseorang menjadi sombong karena ia kaya, pandai, cantik/tampan, berpengalaman, atau berkuasa. Persepsi ini keliru. Yang membuat seseorang sombong adalah perbandingan yang ia lakukan terhadap orang lain. Seseorang menjadi sombong karena ia lebih kaya, lebih pandai, lebih cantik/tampan, lebih berpengalaman, atau lebih berkuasa dibanding orang lain. Karena jika semua orang lain menjadi sama kaya, sama pandai, sama cantik/tampan, sama berpengalaman, sama berkuasa, maka tidak ada lagi hal yang ia dapat sombongkan.

Kesombongan mengalami kepuasan bukan karena memiliki sesuatu, namun karena memiliki sesuatu yang lebih dari orang lain. Hal ini dilukiskan Yesus secara gamblang dalam diri orang Farisi yang bersama-sama seorang pemungut cukai berdoa di Bait Allah. Orang Farisi itu mengucapkan doa demikian dalam hatinya: "Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah, dan bukan juga seperti pemungut cukai ini." (Lukas 18:11) Orang Farisi tersebut arogan karena ia membandingkan dirinya dengan orang lain, khususnya dengan si pemungut cukai yang berada didekatnya. Ia merasa lebih superior dan memiliki hak untuk bermegah dalam dirinya sendiri.

Yang menarik untuk dicermati adalah frase "dalam hatinya". Inilah yang menyebabkan kesombongan itu menjadi dosa yang "subtle", begitu sulit terdeteksi. Karena dosa tersebut tidak perlu terungkap keluar secara verbal. Cukup berada dalam hati. Tanpa refleksi yang sungguh- sungguh, sulit untuk memeriksa, menerima, apalagi mengakui bahwa kita sombong.

Superioritas Pemimpin

Setelah menggumuli hal-hal di atas, terlintas sebuah pertanyaan di benak saya. Bukankah memang seorang pemimpin itu lebih superior dibanding orang yang dipimpin, minimal dalam satu hal? Kalau pun ia tidak lebih superior dalam kompetensi atau pengalaman, ia superior karena ia mendapat panggilan Allah sementara yang lain tidak (lihat para pemimpin di Alkitab yang Allah panggil). Jadi bagaimana menjaga agar seorang pemimpin tidak berubah sombong dalam superioritas-nya?

Salah satu kuncinya saya pikir adalah menaruh superioritas itu pada konteks yang tepat. Superioritas di sini harus dimengerti bukan sebagai status, namun sebagai fungsi. Pemimpin lebih superior dibanding non-pemimpin dalam menjalankan beberapa fungsi tertentu, seperti menangkap visi, memotivasi, menangani konflik, dan seterusnya. Namun itu tidak lalu berarti ia memiliki status lebih superior dibanding orang lain. Karena pemimpin tetap orang berdosa dan hidup dalam tubuh yang fana, sehingga bisa salah atau jatuh.

Pemimpin menjadi pemimpin karena Allah yang mengijinkan, karena Allah yang memberi panggilan, karena Allah yang memberi kemampuan. Dengan kata lain, karena anugerah. Jadi tidak ada alasan untuk menjadi tinggi hati.

Saat pemimpin sadar bahwa ia adalah bukan siapa-siapa di hadapan Tuhan yang adalah segalanya, di sana ia memiliki kerendahan hati. Kerendahan hati hanya dapat dimiliki apabila seorang pemimpin tahu jelas siapa Allah dan siapa dirinya di hadapan-Nya.

Tapi bolehkah pemimpin menerima pujian dari orang lain dan bersenang hati karenanya? Saya kira sah-sah saja, karena itu adalah buah dari apa yang sudah ia kerjakan dalam rangka menjalankan peran dan tugasnya sebagai pemimpin. Masalahnya datang tatkala dalam menikmati pujian tersebut, si pemimpin lalu mulai berpikir, "Hmm, ternyata jelek-jelek begini saya hebat juga." Pergeseran tersebut mencuri kredit dari Allah dan merancukan konsep diri pemimpin.

Allah dan Manusia Sombong

"Yang paling menakutkan dari kesombongan adalah bahwa Allah bukan saja membenci dosa tersebut, namun secara aktif menentangnya."

Facebook TwitterWhatsAppTelegram

Jika saya seorang yang sombong, maka selama ada satu orang saja di dunia yang lebih berkuasa, lebih kaya, lebih pandai, maka dia adalah saingan saya, musuh saya. Jadi arogansi yang ada dalam diri saya selalu berkompetisi dengan arogansi yang ada dalam diri orang lain. Itu sebab mengapa semakin saya sombong, semakin saya membenci orang yang sombong. Orang yang suka mencari perhatian akan segera merasa tersaingi apabila ada orang yang juga suka mencari perhatian di dekatnya.

Ketika seseorang berhadapan dengan Allah, maka ia berhadapan dengan sesuatu yang jauh lebih superior dibanding dirinya dalam aspek apapun. Tanpa kesadaran dan pengakuan ini, tidak mungkin ia dapat mengalami perjumpaan yang sejati dengan Allah. Di sinilah orang sombong, khususnya pemimpin yang congkak, mengalami masalah. Jika ia menganggap orang yang lebih superior adalah saingan dan musuhnya, maka ia akan kesulitan untuk benar-benar menaklukkan diri di bawah Allah. Dalam kalimat C.S. Lewis, "A proud man is always looking down on things and people, and, of course, as long as you are looking down, you cannot see something that is above you."

Yang paling menakutkan dari kesombongan adalah bahwa Allah bukan saja membenci dosa tersebut, namun secara aktif menentangnya. Ia tidak berdiam diri terhadap orang sombong, namun berinisiatif melawannya. "Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati." (1 Petrus 5:5) "Setiap orang yang tinggi hati adalah kekejian bagi Tuhan, sungguh ia tidak akan luput dari hukuman." Amsal 16:5)

Saya pikir hal yang paling mengerikan yang dapat dialami oleh orang Kristen adalah berhadapan dengan Allah sebagai musuh-Nya. Tidak ada lagi yang lebih menakutkan.

Yang menarik dari tulisan-tulisan C.S. Lewis, Andrew Murray, dan Jeremy Taylor tentang kesombongan hati adalah mereka secara harmonis menyuarakan dengan keras bahwa kesombongan adalah dosa yang terbesar dan tersulit dikalahkan. Dan semakin saya merefleksikan mengapa demikian, semakin saya setuju dengan mereka. Contohnya sederhana saja.

Dengan mencantumkan ketiga nama terkenal tersebut, saya bisa saja ingin menunjukkan kepada pembaca tulisan ini bahwa saya sudah membaca dan mengerti topik ini dengan baik, paling tidak dibanding dengan banyak orang lain. Atau saya mungkin ingin membuktikan bahwa saya membaca banyak buku yang berbobot. Percikan kesombongan ini belum tentu tertangkap oleh orang lain, namun hati nurani saya tidak bisa tutup mulut tentang hal ini.

Bahkan yang lebih subtle lagi adalah proses berikut. Karena telah mengerti bahaya kesombongan, maka saya merasa ditegur dan mulai berubah untuk rendah hati. Lalu saya bercerita kepada orang lain bahwa saya telah belajar dan berhasil menjadi orang rendah hati. Orang tersebut menjadi kagum terhadap perubahan yang fantastis tersebut. Sementara hati kecil saya berteriak mengatakan bahwa saya telah menyombongkan kerendah-hatian saya. Sungguh sebuah skandal internal yang canggih!

Itu sebab langkah pertama untuk mengalahkan kesombongan adalah mengakui bahwa kita adalah orang sombong! Entah apa langkah yang terakhir, saya tidak tahu. Yang penting jangan sampai kita harus berhadapan dengan Allah sebagai musuh gara-gara masalah ini.

"Ketidakjelasan" dalam Panggilan Tuhan

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Setelah absen cukup lama, mudah-mudahan Anda tidak terkejut dengan munculnya kembali publikasi e-Reformed ini.

Untuk edisi bulan Juni ini, saya tertarik untuk menyajikan tulisan berikut ini yang dikutip dari Majalah Momentum. Tulisan ini sebenarnya adalah hasil ceramah yang disampaikan dalam Seminar Pembinaan Pelayanan Kristen oleh Pdt. Dr. Stephen Tong, November 1987 (memang sudah lama), tapi isinya saya kira tidak out-of-date. Bagi Anda-anda yang sedang bergumul dengan panggilan Anda untuk menjadi hamba Tuhan, silakan simak artikel di bawah ini.

Selamat membaca!
In Christ,
Yulia

Edisi: 
040/VI/2003
Isi: 

Saya kira tema ini harusnya diganti, yaitu tentang bagaimana "jelasnya panggilan Tuhan". Jadi bukan tentang ketidakjelasannya, tetapi tentang jelasnya. Jelas lebih baik daripada tidak jelas, bukan? Seorang yang melayani Tuhan, kalau dia sendiri tidak jelas bahwa dia dipanggil Tuhan, dan dia sedang mengerjakan sesuatu menurut panggilan Tuhan, tak mungkin pelayanannya menjadi kuat. Celaka sekali kalau mereka yang melayani jiwa-jiwa lain dan seharusnya meneguhkannya, ternyata mereka sendiri berada dalam kegoncangan. Salah satu bahaya dalam gereja ialah jika para pemimpinnya sendiri masih meraba-raba, masih ragu-ragu dan belum jelas apakah yang mereka kerjakan benar atau tidak.

Kalau saudara sendiri belum jelas, bagaimana saudara dapat memimpin orang lain? Kalau saudara sendiri berada dalam kegelapan, bagaimana saudara dapat mengeluarkan orang lain dari kegelapan masuk ke dalam terang? Kalau saudara tidak mempunyai suatu keyakinan yang teguh, bagaimana saudara bisa meneguhkan orang lain? Itu tidak mungkin.

Di dalam Kristus kita tidak pernah melihat kepemimpinan-Nya dipenuhi keraguan. Di dalam Kristus ada suatu keyakinan yang dalam, yang sangat mutlak, akan panggilan Allah yang jelas. Demikian juga di dalam Paulus. Musa dan semua pejuang Kerajaan Allah, termasuk nabi-nabi dalam Perjanjian Lama dan rasul-rasul dalam Perjanjian Baru. Mereka semua mempunyai keyakinan yang jelas, teguh dan kuat tentang panggilan Tuhan kepada mereka.

Untuk sampai pada kejelasan panggilan Tuhan itu, mungkin mereka pernah mengalami pergumulan yang lama dan menyakitkan, tetapi ada satu hal yang tidak mungkin tidak ada, yaitu mereka betul-betul mau tahu kehendak Allah dan rela menjalankannya. Ini suatu rahasia yang kita mungkin tahu atau tidak mungkin tahu, yang kita bisa tahu atau tidak bisa tahu. Kalau kita bisa tahu adalah karena kita mau betul-betul menaklukkan diri untuk menjalankan kehendak Allah. Saya kira kemauan ini bukan saja faktor yang paling dasar, tetapi faktor yang paling penting.

Alkitab

Dari seluruh Kitab Suci kita melihat suatu gambaran, bahwa Allah tidak mau menyatakan kehendak-Nya kepada mereka yang tidak mau menjalankannya. Dari sini nyata bahwa kemauan untuk tahu ini merupakan suatu reaksi, suatu respon yang wajar dari seorang anak Tuhan terhadap kedaulatan Allah. Maksudnya, sebelum engkau mencapai titik ini, Saudara mungkin mempunyai motivasi lain. Tetapi kemudian Roh Kudus menormalkan kemauan Saudara, yaitu yang tadinya bengkok sedikit, kurang benar, sekarang fungsi dan arahnya dibetulkan. Sesudah Roh Kudus membetulkan kemauan Saudara yang senantiasa menyeleweng dan kurang mampu untuk menaati Tuhan, barulah Saudara bisa mengatakan "ya" kepada Allah.

Tuhan adalah Tuhan yang berdaulat. Kalau Tuhan tidak berdaulat, Tuhan bukan Tuhan. Kalau Tuhan berdaulat maka biarlah kita yang menyebut Dia "Tuhan" menaklukkan diri kita kepada kedaulatan-Nya. Dan kita mengatakan "mau taat", bukan hanya sebagai suatu ide dan berhenti di situ, tetapi harus langsung mempraktekkanya. Banyak orang menulis dalam formulir panggilan: "Saya mau menjadi hamba Tuhan." Dalam hal ini ada dua macam orang. Yang semacam ialah orang yang hanya menulis konsep "saya mau", tetapi bukan mau yang sesungguhnya. Dia hanya menyampaikan konsepnya; kemauan itu mungkin akan diwujudkan, tetapi tidak secara langsung, tidak dipraktekkan dengan sesungguhnya. Itu berbahaya sekali. Orang seperti itu lambat-laun jadi mengabaikan panggilan Tuhan. Nah, kalau mengabaikan panggilan Tuhan yang rugi bukan Tuhan. Akibatnya adalah ia sendiri menjadi kebal dan tidak lagi peka terhadap suara Tuhan. Jadi pada waktu engkau memberi respon kepada Allah, itu merupakan salah satu momen yang paling serius dalam hidupmu. Saat kita berkata "ya" atau "tidak" kepada Allah adalah saat yang begitu serius dan penting, sehingga menentukan arah hidup kita selanjutnya.

Saya kira para peserta seminar sehari ini adalah orang-orang yang pernah mengatakan, "Saya mau melayani Tuhan." Jadi konsep kemauan itu sudah ada, sekarang Saudara mungkin terjepit di tengah-tengah, konsep itu mau dipraktekkan sulit, tapi kalau salah bagaimana. Supaya tidak salah lebih baik hati-hati, perlu mendengar lebih banyak, sehingga keyakinan itu mempunyai dasar yang kuat. Nah, ini bagus.

Kita kembali ke kalimat tadi: Allah tidak rela menyatakan kehendak-Nya kepada orang-orang yang tidak mau mengetahui dan menjalankan kehendak-Nya. Prinsip yang paling penting dalam mengerti dengan jelas panggilan serta kehendak Allah, adalah kemauan untuk menjalankannya. The Will of man to do the will of God. Kemauan manusia untuk menjalankan kemauan Allah. Ini menjadi faktor yang menentukan.

Yohanes 7:17 mengatakan, "Barangsiapa mau melakukan kehendak-Nya, ia akan tahu entah ajaranKu ini berasal dari Allah, entah Aku berkata- kata dari diriKu sendiri." Di dalam kalimat ini terkandung suatu prinsip yang sangat penting mengenai tiga hal: kemauan, pengetahuan, dan kelakuan. Saya lakukan dulu baru tahu, atau tahu dulu baru lakukan? Ini selalu menjadi debat dan diskusi dalam filsafat. Khususnya dalam filsafat Tionghoa ada dua aliran. Yang satu mengatakan, jalan lebih gampang daripada tahu: yang satu lagi mengatakan, tidak, tahu lebih gampang daripada jalan. Filsafat Barat sangat mementingkan teori. Filsafat Timur mementingkan praktek. Orang Timur kebanyakan tidak belajar musik tetapi menjadi bintang nyanyi TV. Orang Barat sudah belajar mati-matian tidak jadi bintang. Teorinya tahu semua, prakteknya kurang. Orang Timur mementingkan pragmatisme secara tidak sadar. Jalankan dulu, nanti tahu sendiri. Kalau Barat, belajar dulu semua teori, semua prinsipnya sudah dikuasai, baru dijalankan.

Kita melihat di sini, kedua kebudayaan manusia mempunyai dua kutub, jalan dulu baru tahu atau tahu dulu baru jalan. Teori dulu baru praktek atau praktek dulu baru tahu. Kedua-duanya disingkirkan oleh Tuhan Yesus dengan prinsip Kitab Suci yang lebih tinggi. Ayat di atas adalah ayat yang sederhana, tetapi bagi saya ini sekaligus mengikat dua macam kebudayaan di dunia, yaitu bukan jalan dulu baru tahu atau tahu dulu baru jalan, melainkan mau jalan dulu baru bisa tahu apakah itu benar atau tidak. Jadi kemauan mendahalui pengetahuan dan kelakuan. Ini adalah prinsip Kristen, prinsip Alkitab dan prinsip yang disimpulkan dari ajaran Yesus Kristus yang jauh lebih tinggi daripada kebijaksanaan kebudayaan, baik dalam agama maupun dalam filsafat.

Saudara, barangsiapa mau melakukan (ini faktor penentu), maka dia akan tahu. Saya harap kita yang mau jelas bagaimana Tuhan membimbing kita, kembali kepada Alkitab terlebih dahulu. Dengan faktor penentu yang kita pegang sebagai prinsip yang penting, tidak mungkin tidak diberkati "Tuhan, di sini aku, aku bersedia. Aku mau melakukan." Lalu Tuhan memberitahu. Engkau akan tahu apakah yang diajarkan oleh Yesus benar atau tidak. Tahu apakah yang menjadi panggilan khusus untuk dirimu, kalau engkau mau menjalankan. Bila dirumuskan dengan kalimat yang lebih gampang: Penyerahan adalah langkah utama untuk mengenali dan melakukan pimpinan Tuhan. Penyerahan, dedication.

Sekarang saya mau menggabungkan beberapa istilah dalam salah satu kategori, yaitu penyerahan, iman, taat dan kerohanian. Aspek-aspek ini tergolong dalam kategori yang saya sebut sebagai "meletakkan kebebasan diri di bawah kedaulatan Allah". Apa itu iman? Iman berarti meletakkan kebebasan Saudara di hadapan kedaulatan Allah. Iman berarti menyerahkan pikiran Saudara di bawah Firman Allah. Apa itu rohani? Rohani berarti orang rela menyerahkan diri di bawah pimpinan Tuhan. Jadi istilah dedikasi, iman, ketaatan, kehormatan itu adalah sama, yaitu mengakui keTuhanan Tuhan.

Dari Yohanes 7:17 dapat disimpulkan suatu kepastian, bahwa manusia bisa mengetahui dengan jelas kehendak Allah. Tetapi saya ingin bertanya, sampai di manakah kepastian kita bahwa kita mengetahui kehendak Allah? Ada atau tidak, orang yang kurang jelas tentang kehendak Allah tetapi sedang berjalan di dalam kehendak-Nya? Adakah orang yang katanya jelas tentang kehendak Allah tetapi yang dikerjakannya melawan kehendak Allah? Ada!

Saya minta Saudara perhatikan, jangan terlalu gampang percaya kepada mereka yang selalu mengatakan dirinya sudah jelas mengetahui kehendak Tuhan. Orang yang terus menyebut dengan mulutnya. "Saya jelas tentang kehendak Tuhan", malah sering tidak terlalu jelas. Orang yang betul- betul mau menjalankan kehendak Tuhan tidak sembarangan menyebut istilah ini. Karena istilah ini terlalu besar, suatu istilah yang begitu berat, sehingga orang yang takut akan Tuhan tidak sembarang menyebut nama Tuhan dan kehendak-Nya. Setiap kali Alkitab menyebut kehendak Allah, itu sangat serius, tidak main-main ketika kita menyinggung tentang kehendak Allah.

Calvin berkata, "Tidak ada apa pun yang lebih besar daripada kehendak Allah kecuali Allah sendiri." Kalimat ini mengingatkan kita kembali bahwa kehendak Allah begitu terhormat, begitu agung, begitu serius, sehingga kita harus hati-hati ketika kita menjelajah ke dalam wilayah kehendak Allah.

Apa yang terjadi pada orang yang terus berbicara tentang kehendak Allah tetapi jauh dari kehendak-Nya? Apa yang terjadi pada mereka yang tidak jelas akan kehendak Allah tetapi sedang berjalan dalam kehendak-Nya? Ada tiga faktor yang perlu diperhatikan, yaitu faktor takut kepada Tuhan, faktor percaya, dan betul-betul sadar dan peka bahwa Allah lebih besar daripada perasaan hatimu sendiri. Kita membaca 1Yohanes 3:19-22, "Demikianlah kita ketahui, bahwa kita berasal dari kebenaran. Demikian pula kita boleh menenangkan hati kita di hadapan Allah, sebab jika dituduh olehnya (Oleh siapa? Oleh hati kita sendiri!) Allah adalah lebih besar daripada hati kita serta mengetahui segala sesuatu". Saudara-saudaraku yang kekasih, jika hati kita tidak menuduh kita, maka kita mempunyai keberanian percaya untuk mendekati Allah, dan apa saja yang kita minta, kita memperolehnya dari pada-Nya, karena kita menuruti segala perintah-Nya dan berbuat apa yang berkenan kepada-Nya.

Kata-kata sesudah kata "karena" berarti itu adalah suatu dasar. Kalau kita sudah menjalankan perintah-Nya, kalau kita sudah menaati apa yang diminta Tuhan, maka biarlah hati kita selalu tenang dan mendapat damai sejahtera (Kolose 3:15). Jadi kalau hati kita menegur, jangan kerjakan. Kalau hati kita tidak menegur, kita tenang saja, kita boleh datang kepada Tuhan dengan berani. Apakah itu lalu berarti, hati dan perasaan kita menjadi faktor penentu untuk kita berani mengerjakan sesuatu atau tidak? Saudara, kalimat yang paling penting di sini adalah: Ketahuilah bahwa Allah lebih besar daripada hati.

Nah, kalau orang mengatakan "Saya tahu ini kehendak Tuhan karena hati saya tidak menegur", orang itu tetap mungkin berada dalam bahaya besar, karena dia belum menetapkan sikap bahwa Allah lebih besar daripada hati. Dan inilah yang terjadi pada kasus tadi, orang mengatakan ini kehendak Tuhan tetapi dia menyeleweng jauh dari kehendak Tuhan.

Sedangkan orang yang betul-betul mau menjalankan kehendak Tuhan tetapi kurang jelas apakah itu kehendak Tuhan atau tidak, berarti dia sudah merasa Allah lebih tinggi daripada hati, tetapi hatinya masih belum teguh, karena ia kurang mahir dalam pergaulan dan kurang komunikasi dengan Allah.

Prinsip mengetahui kehendak Tuhan

Umat Allah

Sekarang secara singkat kita memikirkan beberapa prinsip bagaimana mengetahui kehendak Tuhan.

  1. Mengetahui kehendak Tuhan karena Alkitab menulisnya. Ini hal yang penting. Segala sesuatu yang bersangkut-paut dengan kehendak Tuhan, tidak mungkin melawan prinsip Kitab Suci, tidak mungkin melawan catatan-catatan yang mengandung prinsip Kitab Suci.
  2. Hal-hal yang bersangkut-paut dengan kehendak Tuhan, jika tidak dicatat dalam Kitab Suci: pasti tidak melawan prinsip-prinsip etika dasar yang sudah diberikan Kitab Suci. Contohnya, jika Kitab Suci tidak menyebut apakah sesuatu diperbolehkan atau tidak, bagaimana saya tahu? Misalnya, apakah Kitab Suci pernah mengatakan, 'Jangan berjudi"? Nah, prinsip dasar Kitab Suci mengenai etika Kristen mengandung tiga prinsip besar:
    1. Memuliakan Allah;
    2. Memberi faedah atau membangun iman orang lain;
    3. Tidak ada ikatan dosa.
    Ketiga prinsip ini didasarkan pada tulisan Paulus, "Segala sesuatu diperbolehkan". Saya boleh mengerjakan segala sesuatu, tetapi waktu saya mengerjakan itu, prinsip pertama ialah, saya memuliakan Allah atau tidak. Kedua, saya boleh mengerjakan segala sesuatu karena saya sudah dibebaskan oleh Yesus Kristus. Tetapi di dalam saya mengerjakan segala sesuatu itu apakah saya membangun iman orang lain atau tidak. Ketiga, saya boleh mengerjakan segala sesuatu dan di dalam mengerjakannya saya betul-betul tidak ada ikatan dosa, ataukah ada.

    Selain tiga prinsip yang besar ini masih ada tiga lingkaran, yaitu kerjakan segala sesuatu di dalam lingkaran motivasi kasih, lingkaran ikatan kebenaran dan lingkaran prinsip keadilan. Tiga prinsip dasar dan tiga lingkaran ini membantu kita untuk tidak berjalan di luar kehendak Allah.
  3. Kalau kehendak Tuhan ini bersangkut-paut dengan orang lain, maka saya harus jelas bahwa orang yang bersangkutan juga dipimpin oleh Tuhan dengan jelas. Itu akan memastikan bahwa saya sedang berjalan di dalam kehendak Tuhan. Misalnya, seseorang yang menyerahkan diri menjadi hamba Tuhan, betul-betul mau mencintai Tuhan dan mau mengabarkan Injil, berniat untuk menikah. Dia ingin jelas tentang pimpinan Tuhan dalam pernikahan ini. Tidak bisa dia memaksa orang lain untuk menikah dengan dia, sekalipun ia merasa dirinya sudah berjalan dalam kehendak Tuhan. Pernikahan bukan persoalan satu orang, melainkan persoalan dua pihak. Maka pihak lain pun harus merasa dipimpin oleh Tuhan. Ini sangat penting. Khusus hari ini saya menyinggung tentang pernikahan, karena banyak orang dipanggil dan menyatakan mau melayani Tuhan, namun akhirnya tidak jadi sebab telah mempunyai jodoh yang tidak bisa dilepas dan tidak mau mengikut, sehingga panggilan Tuhan dalam dirinya seolah-olah gagal. Ini sering terjadi.

    Jadi untuk mengetahui kehendak Tuhan, yang bersangkut-paut itu harus ikut ambil bagian, harus saling menghormati. Tidak tentu seorang lulusan teologi harus menikah dengan seorang lulusan teologi juga. Mengapa? Karena yang paling penting adalah dua-duanya tahu bahwa mereka menikah untuk menjalankan satu tugas, satu panggilan, dan mereka rela menaati panggilan itu.

    Kadang-kadang pimpinan Tuhan kepada pasangan kita tidak dinyatakan pada waktu yang bersamaan dengan kita. Karena itu kita harus sabar. C.T. Studd, salah seorang misionaris yang teragung dalam sejarah, yang mendirikan World Evangelization Crusade (WEC), sebelum menikah berkata kepada seorang wanita Kristen (waktu itu belum menjadi istrinya), "Aku tahu kehendak Tuhan, aku mau menikah dengan engkau. Engkau berdoa baik-baik, pasti engkau segera diberitahu oleh Tuhan. "Waktu wanita itu menerima surat tersebut, dia mulai berdoa sungguh-sungguh. Lalu Tuhan memberi dia kesadaran bahwa dia dipimpin oleh Tuhan untuk menikah dengan C.T. Studd.

    Di sini kita melihat, prinsip "waktunya tidak bersamaan" itu tetap diambil dari Alkitab. Alkitab menyatakan, kita mengasihi Allah karena Allah mengasihi kita lebih dahulu. Maka ada sepihak yang lebih dulu dan ada sepihak lagi yang belakangan. Dengan demikian perbedaan waktu tidak menjadi soal selama kedua pihak sama- sama menjalankan kehendak Tuhan. Tetapi ingat, entah waktunya sama atau tidak sama, yang bersangkutan harus mempunyai pimpinan Tuhan yang jelas.
  4. Sejahtera Kristus harus memerintah dalam hati seseorang. Point keempat ini bersangkut-paut dengan yang tadi kita katakan sebagai faktor penentu. Faktor penentu yaitu Allah tidak mau menyatakan kehendak-Nya pada mereka yang tidak mau menjalankan kehendak-Nya. Ini terambil dari Kolose 3:15, "Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh." Apakah yang diartikan dengan pemerintahan damai sejahtera? Itu berarti bahwa damai yang berasal dari Kristus sedang memimpin, mengontrol dan memerintah dalam hatimu. Pemerintahan damai sejahtera berarti Tuhan memberikan semacam kestabilan rohani agar kita tidak ragu-ragu.

    Jika engkau mengerjakan sesuatu dan seluruh dunia setuju, belum tentu itu kehendak Allah. Tetapi jika engkau mengerjakan sesuatu, disetujui orang lain, dan hatimu diperintah oleh damai Yesus Kristus, itu bagus, bukan? Sedangkan kalau terjadi kasus yang yang terbalik, dalam hatimu ada damai Kristus tetapi kau tidak disetujui orang lain, engkau lebih berani, kerjakan! Daripada engkau disetujui banyak orang tetapi tidak ada pemerintahan damai sejahtera Kristus.

    Saya tidak mau mengekstrimkan kasus pertama dan ketiga ini sehingga menimbulkan efek sampingan yang tidak perlu. Maksudnya, kalau engkau menganggap asal semua setuju berarti itu kehendak Allah, ini bahaya. Tetapi kalau engkau menganggap asal damai saja hatinya, orang semua tidak setuju, tidak apa, jalankan saja, itu juga bahaya. Kalau engkau mengatakan, "Hatiku damai, kok!" jangan lupa prinsip mengaitkan dengan faktor penentu, jangan lupa bahwa Allah lebih besar daripada hati kita. Kembali kepada tadi. Hatimu begitu taat kepada kedaulatan-Nya, sehingga yang disebut ada damai sejahtera Kristus di dalam hati, bukan hanya suatu bayang-bayang, melainkan suatu fakta melalui ketaatan yang sejati tadi.
  5. Sesudah engkau mempunyai keempat hal di atas, tetapi masih kurang jelas juga, maka faktor kelima sekarang muncul, yaitu jangan lupa berkonsultasi dengan orang yang rohani, yang sungguh-sungguh cinta Tuhan dan rela mengerti sesama. Saya kira point ini penting sekali.

    Kadang-kadang dalam pelayanan kita, ada banyak orang tidak setuju dengan tindakan kita. Nah, kalau ini terjadi pada Stephen Tong, bagaimana? Saya tenang dan berdoa di hadapan Tuhan, sesudah itu saya bertanya, orang yang menentang saya itu mencintai Tuhan atau tidak? Kalau dia betul-betul mencintai Tuhan dan motivasinya mau mengerti, bukan karena iri hati dan lain-lain, saya boleh baik- baik mengoreksi diri. Tetapi kalau orang itu tidak cinta Tuhan, tidak cinta kerajaan Allah dan tidak cinta sesama, dan bukan betul- betul mau mengerti, maka penentangnya tidak begitu berharga dalam penilaian saya.

    Hal ini memerlukan kepekaan. Setiap hari kita yang mau menjalankan kehendak Tuhan harus bertekad untuk tidak mau menyeleweng, tidak mau keluar dari pimpinan itu.

    Jadi itulah yang dianjurkan oleh Alkitab, berdoa bersama mereka yang hatinya suci untuk mencari keadilan, mencari damai dari Tuhan. Kalau engkau menghadapi kesulitan, carilah beberapa orang Kristen yang mahir, yang rohaninya baik, yang betul-betul mau mengerti. Mungkin nasihat mereka tidak seratus persen benar, tapi cobalah mendengarnya dan menghargainya. Kadang-kadang melalui orang yang mencintai Tuhan dan mencintai Saudara ada pengalaman-pengalaman seperti ini yang keluar dari mulutnya, yang dapat menjadi pedoman bagimu.
  6. Prinsip yang ke enam: kalau masih kurang jelas tetapi waktu mendesak, sedangkan engkau harus mengambil keputusan, bagaimana? Ini situasi yang sangat kritis. Bolehkah kita mengambil keputusan tanpa suatu dasar yang jelas mutlak? Saudara-saudara, saya menjelaskan hal ini demikian. Kadang-kadang Allah memperbolehkan suatu periode kabur bagi orang yang Dia cintai. Engkau harus memberi peluang ini, kalau tidak, masih ada bahaya besar. Kadang- kadang Allah memperbolehkan orang-orang yang dicintai-Nya mengalami suatu periode yang kabur, kurang jelas. Contohnya, Abraham pernah mengalami kekurangtahuan akan kehendak dan pimpinan Tuhan, sehingga dia bertanya, mengapa Tuhan menyembunyikan kehendak-Nya kepadanya. Di dalam Alkitab Allah menyebut Abraham sebagai "sahabatKu, Abraham". Keakraban itu melebihi hubungan Allah dengan siapapun. Kalau Allah mengizinkan hal ini, apakah artinya bagi kita? Saudara, jawaban ada pada pernyataan Tuhan Yesus: akhirnya engkau akan tahu dengan jelas. Meskipun sekarang tidak begitu jelas, jalankan saja, asalkan kelima prinsip di atas sudah ditempuh. Kalau ini kehendak Allah, kalau ini tidak melanggar prinsip Alkitab, kalau ini berdasarkan memuliakan Allah, kalau ini tidak ada ikatan dosa, orang yang berkaitan juga sudah jelas akan pimpinan Tuhan, kalau ada damai sejahtera Roh Kudus dan Kristus memerintah di dalam hatimu, maka jalankanlah.

    Alkitab berkata tentang orang-orang yang berada dalam periode kekaburan itu: "Jika ia hidup dalam kegelapan dan tidak ada cahaya bersinar baginya, baiklah ia percaya kepada nama Tuhan dan bersandar kepada Allahnya!" (Yesaya 0:10). Firman ini merupakan penghiburan yang besar bagi mereka yang berada sementara dalam masa kekaburan itu. Orang yang takut akan Allah, sementara berjalan dalam kegelapan peganglah teguh akan Tuhan.

Apakah saya dipanggil untuk menjadi hamba Tuhan?

Untuk mengetahui apakah saya dipanggil menjadi hamba Tuhan, dan bagaimana saya secara praktis, secara prinsip, boleh mengetahui dengan jelas, ada tiga prinsip yang penting, yang perlu kita ketahui./

  1. Saya jelas tahu tugas ini berat, pelayanan ini sulit, bahaya besar, risikonya besar, tetapi ada semacam kerelaan dan kemauan yang terus- menerus mendorong, tidak habis-habisnya. Inilah tanda pertama Tuhan memanggil engkau menjadi hamba-Nya.

    Sambil mendengar prinsip yang penting ini, saya minta Saudara mulai menyelidiki diri, introspeksi ke dalam dirimu. Apakah yang menjadi motivasi sehingga Saudara mau menjadi hamba Tuhan? Apakah karena engkau ingin seperti Billy Graham? Apakah engkau ingin menjadi hamba Tuhan yang besar, kelihatan menonjol di hadpaan orang banyak, begitu hebat dan megah berdiri di depan? Apakah engkau ingin seperti itu? Kalau itu yang menjadi motivasimu berarti engkau tidak akan dipanggil oleh Tuhan. Orang yang dipanggil Tuhan justru mengetahui hal ini tidak gampang, ini sulit, ini berat, tugas yang berat dan satu risiko yang besar. Sesudah jelas tapi ternyata kemauan itu terus saja ada, terus mendorong, ini membuktikan tanda pertama. Allah sedang memanggil dia.
  2. Engkau mempunyai kerelaan berdasarkan yang tidak habis-habis untuk menjadi full-timer, namun kesulitan-kesulitan selalu memberikan peringatan sehingga engkau tidak berani, akhirnya engkau mundur dan hanya menjadi pelayan Tuhan part-time. Hal ini selalu terjadi dalam gereja.

    Waktu konflik ini terjadi dan engkau mengambil keputusan untuk melayani part-time, langsung engkau kehilangan sejahtera. Damai sejahtera yang memerintah itu sekarang mulai menghilang, engkau mulai kacau karena tidak ada sejahtera. Ini tanda kedua bahwa Tuhan mau engkau full-time. Kadang-kadang engkau berdalih, "Tidak semua harus menjadi pendeta, kan? Banyak juga yang melayani part-time, malah sebagai orang Kristen awam bisa lebih baik daripada yang menjadi hamba Tuhan." Ini benar. Saya percaya banyak orang awam yamg rohaninya mungkin lebih baik daripada sebagian pendeta yang kurang bertanggungjawab. Saya percaya itu. Tetapi bukan karena engkau lebih baik dibandingkan dengan yang menjadi pendeta full- time, lalu itu berarti engkau sudah diperbolehkan oleh Allah menjadi part-timer seumur hidup. Tidak! Saudara harus melihat suatu prinsip: apakah yang sebaiknya bagimu? Bukan karena engkau dibandingkan dengan orang lain. Sekali lagi, apa yang direncanakan Tuhan untukmu tidak bisa ditentukan dengan membandingkan dirimu dengan orang lain. Karena setelah Adam berdosa manusia mempunyai satu kecenderungan, selalu membandingkan dengan yang lebih jelek. "Oh, saya toh lebih baik dari pendeta ini." Cukup, lalu memuaskan diri. Kalau kepuasan yang bukan dari Allah itu engkau sudah ambil sebagai suatu bagian dalam hidupmu untuk menipu diri, maka Allah akan tarik kembali pemerintahan damai sejahtera dalam dirimu.

    Saudara-saudara, engkau harus betul-betul datang kepada Tuhan, minta penjelasan dari Tuhan. Apakah dirimu sudah mencapai keadaan maksimal yang ditetapkan oleh Tuhan? Jadi prinsip yang kedua, yaitu kemungkinan kehilangan damai itu, sampai engkau menjadi full-timer baru engkau merasa damai itu kembali.
  3. Setelah engkau diberi tanda pertama dan kedua, tetapi engkau tetap menolak, maka baru tanda ketiga datang melalui cambukan, pukulan, ajaran yang keras dari Tuhan sehingga engkau tidak bisa tidak taat.

    Saya memberikan tiga prinsip ini bukan berdasarkan hal-hal yang selalu berubah. Tetapi berdasarkan suatu kemantapan yang jika Saudara kelak, bertahun-tahun kemudian memikirkannya kembali, bisa dipertanggungjawabkan.

    Prinsip pertama diambil dari Filipi 2:13, "Karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu, baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya." Ini adalah satu-satunya ayat di mana kemauan ganda itu muncul. The will of man and the will of God. Karena Allah-lah yang telah mengerjakan dalam dirimu menurut kemauan-Nya: yang dikerjakan adalah kemauanmu. Jadi kemauan Allah sedang bekerja untuk menormalkan kemauan manusia. Engkau sendiri tidak mengerti mengapa sudah tahu menjadi hamba Tuhan itu sulit, mempunyai risiko yang besar, tugas yang berat tapi dorongan kemauan itu terus ada, itu dari mana? Saudara-saudara, sesudah Adam jatuh manusia berdosa tidak mungkin mempunyai kemauan untuk menanggung yang berat-berat, yang sudah ia ketahui sebelumnya, meskipun orang-orang kolerik lebih dekat dengan kemungkinan ini. Tetapi Alkitab berkata bahwa kemauan Allah yang mengerjakan di dalam dirimu kemauan dan perbuatan itu.

    Prinsip kedua tadi diambil dari Kolose 3:15. Damai Kristus memerintah di dalam hatimu dan kalau engkau tidak taat, damai itu tidak lagi memerintah, ia hilang dan engkau mengalami ketidakmantapan dalam hatimu.

    Ketiga, kalau engkau masih tidak taat dipukul dan dihajar, itu prinsip yang diambil dari Ibrani 12, yaitu Dia menghajar anak-Nya sendiri. Ibrani 12:7-10, "jika kau harus menanggung ganjaran, Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya? Tetapi jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang." Selanjutnya dari ayah kita yang sebenarnya kita beroleh ganjaran, dan mereka kita hormati; kalau demikian bukankah kita harus lebih taat kepada segala roh, supaya kita boleh hidup? Sebab mereka mendidik kita dalam waktu yang pendek sesuai dengan apa yang mereka anggap baik, tetapi Dia menghajar kita untuk kebaikan kita, supaya kita beroleh bagian dalam kekudusan-Nya.
Sumber: 
Judul Buku : Momentum Vol. 4 Desember 1987
Judul Artikel: "Ketidakjelasan" dalam Panggilan Tuhan
Penulis: Pdt. Dr. Stephen Tong
Penerbit: LRII (Lembaga Reformed Injili Indonesia)
Halaman : 8-10, 18-21

Komentar


Syndicate content