Pasang Surut Kehidupan Doa

Editorial: 
Edisi: 
039/V/2003
Isi: 

Beberapa bulan yang lalu saya berbicara dengan beberapa orang Kristen yang merasa malu. Mereka pernah terbiasa hidup berdoa, kata mereka. Tapi keadaan berubah. Mereka tidak berdoa lagi seperti dulu sehingga mereka merasa malu. Ada yang menggambarkannya begini:

"Waktu saya baru percaya, angan-angan berbicara dengan Allah alam semesta dan Allah mendengarkan saya mempedulikan saya, menanggapi kepentingan saya angan-angan itu membanjiri pikiran saya sehingga hampir saya tidak dapat memahaminya."

"Begitu saya tahu bahwa saya dapat melakukannya, saya mulai berdoa sepanjang hari. Saya berdoa waktu bangun. Saya berdoa di meja waktu sarapan pagi. Saya berdoa dalam perjalanan ke tempat kerja. Saya berdoa di meja saya di kantor, dengan teman-teman melalui telepon, waktu makan siang, dengan keluarga waktu makan malam, dengan anak- anak waktu mereka hendak tidur malam. Saya berdoa dengan kelompok kecil. Saya sangat senang waktu berdoa di gereja.

"Saya berdoa sepanjang waktu, dan itu membuat saya bersukacita. Allah menjawab doa-doa saya. Hidup saya berubah. Hidup orang lain berubah. Sungguh menyenangkan."

"Apa yang terjadi?" tanya saya.

"Saya tidak tahu," jawab orang itu. "Terus terang, saya tidak tahu. Rasanya hidup berdoa saya surut." Kemudian dia berkata dengan sangat sedih, "Saya jarang sekali berdoa sekarang."

Musim Tanpa Doa

Saya tahu masalah mereka. "Hampir setiap pengikut Yesus Kristus pada suatu waktu mengalami persis seperti apa yang Anda gambarkan," kata saya. "Saya tahu saya juga pernah begitu."

Waktu saya menoleh ke riwayat hidup rohani saya, saya menemukan musim tertentu di mana saya sering berdoa dengan penuh semangat. Saya dipenuhi sukacita dan harapan akan berkat Allah. Tanda ajaib terjadi dalam hidup saya, dalam hidup orang yang saya doakan dan dalam gereja saya.

Kemudian, tanpa sebab yang jelas, hidup berdoa saya mulai surut sampai saya hampir berhenti berdoa. Ya, saya masih berdoa pada waktu makan dan pada kegiatan-kegiatan di gereja tapi tidak lebih dari itu. Doa nampaknya hambar, membosankan dan tanpa arti. Musim tanpa doa itu bisa berlangsung berminggu-minggu atau bahkan berbulan- bulan.

Lalu tiba-tiba kuat kuasa Allah melimpah lagi dalam hidup saya, seperti sebelumnya. Sekali lagi saya merasa senang datang ke hadirat Allah. Sekali lagi saya sering berdoa dan berhasil. Sampai kepudaran kambuh lagi, seperti selalu terjadi.

Apa yang menyebabkan pasang-surut dalam hidup berdoa kita? Mengapa kita kehilangan minat dalam berdoa? Mengapa kita berhenti berdoa?

Satu penyebab kita berhenti berdoa atau membiarkan hidup berdoa kita pudar, ialah bahwa kita terlalu senang - puas dengan keadaan. Itu sifat dasar manusiawi.

Bila badai mengamuk, topan menderu dan gelombang menimpa geladak, setiap orang di atas kapal berdoa seperti orang gila. Bila telepon yang menyeramkan datang di tengah malam, bila dokter berkata bahwa yang dirawat tidak begitu memberi harapan, atau waktu suami/istri kita berkata bahwa ada orang lain yang sangat menarik, doa adalah sifat dasar kedua. Dalam situasi yang sukar seperti itu, hampir setiap orang berdoa - sungguh-sungguh, berulang-ulang, penuh harapan, bahkan mati- matian.

Kemudian badai berlalu, laut tenang, angin reda dan Allah sekali lagi membuktikan diriNya setia. Sebagian besar motivasi kita untuk berdoa turun, dan mulai lagi doa yang sangat memudar.

Melupakan Allah

Dapat dipahami, hal ini mempengaruhi hati Allah. Ia sedih bila anak- anak-Nya bertindak seperti mahasiswa, yang menghubungi orang tua hanya kalau uang mereka mulai kurang.

Ada tema sedih dalam Perjanjian Lama. Allah memberkati anak-anak- Nya, tapi mereka melupakan-Nya. Ia memberkati mereka lagi, dan mereka melupakan-Nya lagi. Mereka mengalami kesukaran besar dan mohon pertolongan, dan Allah datang dan menyelamatkan mereka. Tapi mereka lagi-lagi melupakan-Nya.

Baca Alkitab.

Bacalah, misalnya, litani yang sedih dalam Mzm 78. Walau Allah memberikan hukum kepada Israel, dibelah-Nya laut supaya mereka bisa menyeberang, memimpin mereka melalui padang gurun, memberikan mereka makanan dan air dengan cara ajaib, dan memukul mundur musuh mereka, "Berulang kali mereka mencobai Allah; ... Mereka tidak ingat kepada kekuasaan-Nya,..." (ay 41-42). Atau dalam Mzm 106:6-13

Nenek moyang kami di Mesir tidak mengerti perbuatan-perbuatan-Mu yang ajaib,
tidak ingat besarnya kasih setia-Mu,
tetapi mereka memberontak terhadap Yang Mahatinggi di tepi Laut Teberau.
Namun diselamatkan-Nya mereka oleh karena nama-Nya,
untuk memperkenalkan keperkasaan-Nya.
Dihardik-Nya Laut Teberau, sehingga kering, dibawa-Nya mereka berjalan melalui samudra raya seperti melalui padang gurun. Demikian diselamatkan-Nya mereka dari tangan pembenci,
ditebus-Nya mereka dari tangan musuh;
air menutupi para lawan mereka,
seorang pun dari mereka tiada tinggal.
Ketika itu percayalah mereka kepada segala firman-Nya,
mereka menyanyikan puji-pujian kepada-Nya.
Tetapi segera mereka melupakan perbuatan-perbuatan-Nya,
dan tidak menantikan nasihat-Nya.
Dengan sedih, kata pemazmur itu: "Kami dan nenek moyang kami telah berbuat dosa" (ay 6). Kita tidak ingin melupakan Allah. Kita ingin agar hidup berdoa kita konsisten. Bagaimana kita bisa tetap mengingat kebaikan Allah? Bagaimana kita ingat untuk berdoa?

Irama Sehari-hari

Kita dapat mengingat untuk berdoa sama dengan cara kita mengingat apa saja yang menjadi urusan kita dengan memasukkan doa dalam jadwal harian kita. Seperti kita lihat, Yesus menganggap bahwa pengikut-Nya akan menyediakan waktu untuk berdoa. Kalau kita merasa bahwa kita kian jarang berdoa, itu mungkin karena kita tidak pernah menjadikan doa suatu bagian tertentu dari jadwal harian kita.

Ada orang yang menentukan waktu untuk berdoa bahkan sebelum turun dari tempat tidur di pagi hari. Yang lain berdoa waktu minum kopi, atau waktu makan siang, atau persis sesudah pulang dari tempat kerja atau sekolah, atau sesudah makan malam, atau sebelum waktu tidur. Waktu yang kita pilih tidak menjadi soal, selama kita menatanya dengan setia. Doa perlu menjadi bagian dari irama hidup sehari-hari kita.

Pilihlah satu waktu pada waktu mana Anda biasanya tidak terganggu. Anda bisa menutup diri dari dunia dan mendengarkan Allah. Bersamaan dengan itu, pilihlah tempat yang dapat menjadi tempat pelarian Anda, tempat perlindungan Anda, sementara Anda duduk di hadapan hadirat Allah.

Para kenalan saya yang konsisten tiap hari berdoa dengan sungguh- sungguh dan penuh sukacita, biasanya telah memilih tempat tertentu yang mereka gunakan untuk berdoa setiap hari. Saya mengenal seorang yang berdoa sepanjang jalan ke tempat kerja, dalam kereta api lima hari seminggu. Itu empat puluh menit kalau mendapat kereta api ekspres dan kalau tidak, satu jam. Dia berkata bahwa tempat duduknya di kereta adalah tempat suci baginya.

Saya mengenal seorang yang berdoa di meja pojok di restoran sebelum bekerja tiap hari. Ada yang berdoa sambil duduk dekat pintu sorong dari kaca dengan pemandangan taman di luar. Ada yang menulis doanya dalam komputer di kantornya. Tempat apa saja bisa menjadi tempat berdoa. Yang penting, kalau kita hendak ingat untuk berdoa, ialah menentukan tempat khusus dan waktu khusus untuk bertemu dengan Tuhan.

Dosa Sehari-hari

Tapi untuk kebanyakan dari kita, masalah tidak setia berdoa bukanlah karena tidak ada waktu atau tempat. Kita mempunyai tempat berdoa, dan dulu kita pergi ke sana tiap hari. Tanpa sebab tertentu semangat kita pergi ke sana sirna. Kita tidak berhasrat lagi untuk berdoa.

Kalau itu yang menggambarkan perasaan kita, kita mungkin menderita rasa salah atau malu. Sesuatu yang telah kita perbuat - atau sedang perbuat sekarang - telah menjadi rintangan antara kita dan Allah.

Kadang-kadang bila saya mencoba menolong seorang untuk mengerti mengapa mereka tidak berdoa lagi, saya berkata, "Mari kita telusuri. Apakah Anda tahu kapan Anda mulai merasa seperti ini? Apa lagi yang sedang terjadi dalam hidup Anda pada waktu itu?"

Orang yang jujur dan sadar-sendiri sering mengatakan sesuatu seperti ini, "Ya, pada waktu itu saya mulai berpesta-pora, banyak mengelana dan membiarkan hidup saya sedikit di luar kendali."

Seorang lagi berkata, "Pada waktu itu saya sangat sibuk di tempat kerja dan kerakusan memancing saya sehingga mencari uang menjadi tenaga pendorong yang merasuki hidup saya."

"Saya kira pada waktu saya menerima konseling, itu pada mulanya menolong. Tapi kemudian bukannya mengatasi masalah saya, saya terbenam dalam diri sendiri, dan saya kian menjadi pusat dunia saya sendiri. Saya mengesampingkan Allah."

"Mungkin itu pada waktu saya pindah sekamar dengan pacar saya."

Saya harus memberitahu orang-orang ini, apa pun rinciannya, dosa sehari-hari cukup kuat untuk menciptakan kesenjangan yang kian lebar dalam hubungan kita dengan Allah. Kian lebar kesenjangan itu, kian jarang kita berdoa. Dan kian jarang kita berdoa, kesenjangan itu menjadi kian lebar.

Menghina Nama Allah

Saya ingat satu waktu ketika saya tahu saya sedang berbuat dosa. Saya kebingungan mengapa doa pagi saya di kantor ternyata sangat kaku dan tidak berarti. Saya mempunyai waktu berdoa yang sangat teratur dan tempat berdoa yang tetap; tapi saya tidak mau terlibat percakapan mendalam dengan Allah.

Kemudian saya membaca firman Allah dalam Kitab Mal 1:6: "... di manakah hormat yang kepada-Ku itu? ...firman TUHAN semesta alam kepada kamu, hai para imam yang menghina nama-Ku. Tetapi kamu berkata: 'Dengan cara bagaimanakah kami menghina nama-Mu?'" (Mal 1:6).

Banyak cara, kata Allah melalui Maleakhi. Marilah saya sebutkan beberapa.

Mereka menipu Allah. Kendati petunjuk Allah jelas untuk mempersembahkan hewan yang terbaik sebagai kurban kepada Tuhan. Tapi orang Israel membawa ternak mereka yang terbaik ke pasar, di mana mereka bisa mendapatkan harga mahal untuk ternak itu. Kemudian mereka membawa hewan yang tidak berharga - yang buta, yang timpang, yang sakit hampir mati - dan membawanya ke mezbah Allah (lih Mal 1:6-8).

Mereka juga telah menipu orang miskin - menindas orang upahan, menyulitkan hidup ekonomi para janda dan curang terhadap para orang asing pendatang liar (lih Mal 3:5).

Di samping itu, mereka telah menipu keluarganya. Perceraian merajalela. "... Kamu menutupi mezbah TUHAN dengan air mata, dengan tangisan dan rintihan, tidak lagi berpaling kepada persembahan dan tidak berkenan menerimanya dari tanganmu. Dan kamu bertanya: 'Oleh karena apa?' Oleh sebab TUHAN telah menjadi saksi antara engkau dan istri masa mudamu yang kepadanya engkau telah tidak setia, padahal dialah teman sekutumu dan istri seperjanjianmu" (Mal 2:14-15).

Melalui Maleakhi Allah berseru, "Setelah menipu Aku, orang yang tertindas di antara kamu dan bahkan keluargamu sendiri, kamu berani meminta berkat-Mu? Kamu terang-terangan berdosa kepada-Ku dan kemudian punya nyali untuk meminta kemurahan hati? Kamu memberontak melawan Aku dan mengharapkan Aku tidak terpengaruh oleh ketidakpatuhanmu? Aku sangat sedih. Dosamu menghancurkan hati-Ku. Itu terasa seperti pengkhianatan."

Kalau kita tidak hidup dalam kepatuhan kepada Allah, kita kehilangan rasa hangat dan akrab dengan Dia. Kita bisa bernostalgia dengan waktu berdoa yang dulu, tapi kita telah mendirikan satu perintang doa yang harus dirubuhkan sebelum kita bisa menikmati lagi hubungan kasih sayang dengan Dia. Kita tidak mempunyai persekutuan yang erat dan langgeng dengan Allah, kecuali kalau kita mematuhi-Nya - mutlak.

Merubuhkan Perintang

Hal yang mengherankan ialah bahwa Allah sendiri mau merubuhkan perintang yang memisahkan kita.

Alkitab menceritakan kepada kita bahwa Allah terhadap Siapa kita berdosa, Allah yang kita acungi tinju kita, merentangkan tangan-Nya kepada kita dan berkata, "Pulanglah. Kau tidak ingin hidup dengan cara demikian, bukan? Kau tidak mau menempuh jalan itu. Akuilah dosamu Anda. Katakanlah kepada-Ku bahwa hidupmu kacau-balau. Bersepakatlah dengan Aku bahwa engkau berada di jalan yang salah. Berbaliklah, dan kita akan berhubungan akrab kembali. Maka doamu akan kaya dan berarti lagi. Kita akan berjalan bersama-sama kembali."

Marilah, baiklah kita berperkara! - firman TUHAN - Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba (Yes 1:18).
Kabar baik ialah bahwa Anda bisa kembali ke dalam persekutuan dengan Bapa sekarang juga. Anda boleh mengucapkan doa pertobatan: "Ya Allah, saya minta ampun atas --. Ampunilah saya. Saya mau berbalik dari cara hidup ini, dan saya mau kembali ke dalam hubungan yang akrab dengan Engkau."

Bila Anda mengucapkan doa itu, Allah akan memulihkan Anda. Anda akan berdoa dengan cara lain sesudah pemulihan itu. Anda kembali ke jalan yang benar.

Apakah Allah Tuli?

Barangkali Anda menyisipkan ke dalam jadwal harian Anda acara untuk berdoa, dan Anda tidak sadar bahwa ada dosa yang memisahkan Anda dari Allah. Namun Anda tahu bahwa Anda sudah mulai menjauhi Dia. Anda hampir menghentikan doa Anda, karena merasa kecil hati. Kecewa. Atau bahkan putus asa.

Anda berdoa sungguh-sungguh agar ayah Anda selamat dalam pembedahan, tapi ternyata ia meninggal.

Anda berdoa agar putra Anda dan anak mantu akan rujuk dan tetap utuh, tapi mereka bercerai.

Anda berdoa agar bisnis Anda dapat bertahan terhadap satu pesaing baru - tapi tidak berhasil.

Anda tahu bahwa dosa Anda sudah Anda akui, dan Anda mencoba menempuh hidup etis. Permintaan Anda tidak egois. Dan sekarang karena ayah Anda sudah meninggal, anak bercerai dan bisnis Anda ditutup, Allah tidak mungkin menyuruh Anda menunggu. Sudah terlambat.

Berdoa

Agaknya doa tidak berhasil. Mengapa membuang-buang napas Anda? Kalau surga tidak mendengar, kalau Allah tidak peduli, atau kalau Allah tidak berkuasa untuk mengubah keadaan, mengapa harus berdoa? Lebih baik menghadapi kenyataan dan berhenti membohongi diri sendiri.

Kalau Anda pernah mengalami kekecewaan yang menghancurkan yang tidak diatasi oleh doa, dan kalau Anda adalah pengikut Kristus yang jujur, Anda tentu pernah bergumul dengan pertanyaan seperti ini. Saya tidak mempunyai jawaban yang pasti bagi Anda. Ada hal-hal yang tidak akan pernah jelas selama kita hidup di dunia ini. "Hidup kami ini adalah hidup berdasarkan iman", kata Rasul Paulus, "bukan berdasarkan apa yang kelihatan" (2 Kor 5:7).

Tapi saya dapat menceritakan kepada Anda perkataan Yesus kepada para rasul ketika mereka kecil hati: "Yesus menyampaikan... kepada mereka untuk menegaskan bahwa mereka harus selalu berdoa tanpa jemu-jemu," tulis Lukas. Setelah memberikan perumpamaan untuk menggambarkan maksud- Nya, Yesus bertanya, "Tidakkah Allah akan membenarkan orang-orang pilihan-Nya yang siang-malam berseru kepada-Nya? Apakah Ia mengulur- ulur waktu sebelum menolong mereka? Aku berkata kepadamu: Ia akan segera membenarkan mereka..." (Luk 18:1, 7-8).

Saya meminta dengan sangat kepada kamu, kata Yesus, jangan kehilangan nyali. Berdoa terus. Bapa mendengarkan. Ia mendengarkan setiap doa yang kita panjatkan. Ia sungguh mempedulikan segala sesuatu yang mempengaruhi kita. Ia memiliki kuat kuasa yang tidak terbatas untuk menanggulangi apa saja yang mengganggu kita. Memang Ia tidak menjawab setiap doa kita sesuai yang manusia berdosa menghendakinya. Tapi Ia menghendaki kita bertahan. Ia suka bersekutu dengan kita. Ia mau melakukan apa saja yang terbaik untuk kita.

Saya Terus Berdoa

Beberapa tahun yang lalu kami menyelenggarakan baptisan. Banyak orang menegaskan di depan umum keputusan mereka untuk mengikuti Kristus. Rasanya hati saya akan meledak karena kegirangan. Kemudian, di tangga, saya menemukan seorang wanita sedang menangis. Saya tidak dapat mengerti mengapa ada orang yang menangis sesudah upacara yang demikian menggembirakan, jadi saya berhenti dan bertanya apa yang terjadi dengan dia.

"Tidak," katanya, "Saya sedang bergumul. Ibu saya dibaptis hari ini."

Apakah ini menjadi masalah? pikir saya.

"Saya berdoa untuk dia tiap hari selama 20 tahun," katanya, dan kemudian menangis kembali.

"Tolong saya agar mengerti soal ini," kata saya.

"Saya menangis," jawabnya, "karena saya nyaris - nyaris sekali - menyerah. Maksud saya, setelah 5 tahun terus-menerus berdoa saya berkata, 'Siapa yang memerlukan ini? Allah tidak mendengarkan.' Setelah 10 tahun terus-menerus berdoa saya berkata, 'Mengapa saya harus menghabiskan nafas? Setelah 15 tahun terus-menerus berdoa saya berkata, 'Ini tidak masuk akal.' Setelah 19 tahun saya berkata, 'Saya ini tolol.' Tapi saya masih berdoa terus, walaupun iman saya lemah. Saya berdoa terus, dan Ibu saya menyerahkan hidupnya kepada Kristus, dan dia dibaptis hari ini."

Wanita itu berhenti menangis dan menatap ke mata saya. "Saya tidak akan pernah meragukan kuat kuasa doa lagi," katanya.

Tanya-jawab untuk Renungan dan Pembahasan
  1. Sebagai apa doa itu bagi Anda waktu pertama kalinya Anda sungguh-sungguh tentang berdoa? Pernahkah Anda mengalami periode surut dalam kehidupan berdoa Anda?
  2. Bill Hybels berkata, "Satu sebab kita berhenti berdoa atau membiarkan kehidupan berdoa kita hilang, ialah bahwa kita terlalu keenakan." Anda setuju? Pernahkah Anda terlalu keenakan sampai tidak berdoa?
  3. Pernahkah Anda terdorong untuk berdoa karena masalah-masalah gawat yang Anda hadapi? Apakah Anda terus berdoa setelah masalah itu terpecahkan?
  4. Apakah Anda menentukan waktu dan tempat untuk berdoa dalam jadwal harian Anda? Bilamana dan di mana Anda berdoa?
  5. Pernahkah kesalahan mencegah Anda berdoa? Pada waktu itu, apakah Anda menyadari bagaimana dosa Anda berdampak atas waktu Anda bersama Allah?
  6. Penipuan apa yang terjadi di zaman Maleakhi? Bagaimana kita menipu dalam kategori itu di zaman sekarang?
  7. Bagaimana kita dapat meruntuhkan dosa perintang dan memulihkan hubungan kita dengan Allah?
  8. Berapa lama kita harus bertahan berdoa untuk hal-hal yang sia-sia?
Sumber: 
Bahan dikutip dari :
Judul Buku: Terlalu Sibuk? Justru Harus Berdoa
Judul Asli : Pasang Surut Hidup Berdoa
Penulis: Bill Hybels
Penerbit: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1998

Prinsip Dasar Etika Kristen tentang Perang: Sebuah Tinjauan terhadap Pacifism dan Just War Theory

Editorial: 
Penulis: 
Kalvin S. Budiman
Edisi: 
038/IV/2003
Isi: 

[Catatan : **Angka merah dalam artikel adalah Catatan Kaki yang dapat ditemukan pada akhir artikel]

Adakah perang yang dapat dibenarkan ('justified')? Pertanyaan ini bukan sedang diarahkan kepada perang tertentu, entah yang pernah atau sedang terjadi, tetapi lebih sebagai pertanyaan yang bersifat prinsip. Artinya, berdasarkan prinsip etika Kristen, adakah dasar-dasar pertimbangan untuk membenarkan perang atau penggunaan kekerasan demi mencapai suatu sasaran kemanusiaan yang lebih mulia? Sebagai orang Kristen yang lekat dengan prinsip kasih, tentu kita bukanlah orang- orang yang terpanggil untuk mengobarkan semangat perang. Namun demikian, di tengah dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa di mana kekerasan merupakan isu moral yang tidak pernah dapat dihindari, sering kali kita harus mengakui bahwa perang atau penggunaan kekerasan demi alasan kemanusiaan dengan segala etika yang terkandung di dalamnya, adalah pilihan yang harus kita pertimbangkan. Barangkali contoh sederhana adalah dari Francis Schaeffer:

I am walking down the street and I come upon a big, burly man beating a tiny tot to death-beating this little girl...I plead with him to stop. Suppose he refuses? What does love mean now? Love means that I stop him in any way I can, including hitting him.**1

Isu etika tentang perang memang tidak harus selalu berarti kekerasan. Di dalamnya terkandung pertanyaan-pertanyaan etika lainnya seperti: bagaimana jika seorang Kristen terpanggil sebagai polisi atau tentara? Apakah kita harus memandang profesi semacam itu sebagai 'anomali' bagi kekristenan? Bagaimana dengan keterlibatan orang Kristen dalam politik atau bernegara? Bagaimana pula seandainya keutuhan negara kita terancam oleh kekuatan politik atau senjata, baik dari negara lain ataupun dari dalam negeri? Serangkaian pertanyaan ini bisa terus kita kembangkan, tetapi pada intinya isu ini menuntut setiap orang Kristen untuk dengan serius mempertimbangkan tanggung jawab dan panggilannya sebagai warga negara. Atau menurut istilah Agustinus, salah seorang bapa gereja, meskipun pengharapan utama setiap orang percaya adalah digenapinya secara penuh 'City of God' di dalam langit dan bumi yang baru, tetapi selama masih tinggal di bumi ini kita tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab di dalam 'civitas terrena' (kota duniawi) yang kita tinggali.**2

Gereja memang pernah dinodai oleh deklarasi "perang suci" dari pihak kekristenan. Namun jikalau kita meneliti sejarah gereja, sebenarnya ada dua posisi lain yang kebenarannya lebih dapat dipertanggungjawabkan menurut firman Tuhan serta patut kita pertimbangkan, yaitu 'pacifism'**3 dan just war theory.**4 'Pacifism' pada hakikatnya adalah pandangan yang berpendapat bahwa berdasarkan prinsip iman Kristen, tidak ada satu pun perang atau penggunaan kekerasan yang dapat dibenarkan, sekalipun dengan alasan kemanusiaan. Setiap orang Kristen harus secara mutlak menolak isu tentang perang, bahkan sebagian pendukung kelompok ini menegaskan bahwa penolakan tersebut termasuk dalam profesi sebagai prajurit. Sebaliknya, setiap orang yang sudah ditebus oleh Kristus harus sanggup memancarkan kasih Kristus di dalam situasi dan kondisi apa pun. Sedangkan pandangan kedua, just war theory, percaya ada perang atau penggunaan kekerasan demi alasan kemanusiaan yang dapat dibenarkan. Sekalipun karakter utama setiap orang Kristen adalah kasih, namun menurut pendukung teori ini pelaksanaan kasih di dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa ini tidak dapat dilepaskan dari keadilan (justice) yang adakalanya mengandung aspek kekerasan.

Artikel ini merupakan sebuah usaha untuk memberikan landasan biblika dan teologis dalam mengambil posisi etika antara kedua paham tersebut. Untuk itu pada bagian berikut akan dibahas terlebih dahulu pandangan masing-masing posisi. Selanjutnya, dengan menggunakan pendekatan hermeneutik dan teologis, pada bagian akhir, kita akan mencoba menyimpulkan posisi etika yang kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Penulis menyadari bahwa semua kategori pembahasan dalam artikel ini adalah topik-topik diskusi yang sangat luas, karena itu melalui artikel yang tidak terlalu panjang ini, rasanya berlebihan jika seseorang mengharapkan pembahasan secara detail dan menyeluruh. Penulis hanya berharap artikel ini dapat memberikan sedikit sumbangsih bagi pergumulan etika, khususnya isu tentang perang.

PACIFISM

Posisi ini berangkat dari suatu kesadaran akan adanya pertentangan yang tajam antara penggunaan kekerasan dalam PL dan PB. Kita dapat membaca misalnya tentang "Hukum Perang" di Ulangan 20, di mana salah satu ayatnya mengatakan ketika bangsa Israel memasuki sebuah kota yang menolak tawaran perdamaian, maka Tuhan berkata, "Haruslah engkau membunuh seluruh penduduknya yang laki-laki dengan mata pedang" (ay. 13). Pada bagian selanjutnya dikatakan bahwa dari kota-kota bangsa- bangsa lain yang diberikan kepada Israel, Tuhan berkata, "janganlah kaubiarkan hidup apa pun yang bernafas, melainkan kautumpas sama sekali, yakni orang Het, orang Amori, orang Kanaan, orang Feris, orang Hewi, dan orang Yebus, seperti yang diperintahkan kepadamu oleh Tuhan, Allahmu" (ay. 16-17). Tetapi jika kita membaca PB, khususnya Khotbah di Bukit, kita akan mendapati nuansa yang sama sekali berbeda. Tuhan Yesus berkata,

Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. Dan siapa pun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil... Kamu telah mendengar fiman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu (Mat 5:38-41, 43- 44).

Berangkat dari ayat-ayat PB seperti di atas, tradisi 'pacifism' dengan tegas menyatakan bahwa hukum perang di PL sudah tidak berlaku lagi. Tanpa terjebak kepada bidat Marcion yang memisahkan dan membedakan Allah di PL dari Allah PB, Tertullian, seorang bapa gereja abad ketiga, mengatakan bahwa berita yang Kristus sampaikan melalui Khotbah di Bukit, bila dibandingkan dengan hukum di PL merupakan penyingkapan maksud Allah sebenarnya, yaitu bahwa pembalasan dan murka adalah hak Allah. Panggilan utama hidup Kristen adalah untuk setiap saat siap sedia "memberikan pipi kiri jika pipi kanan kita ditampar" atau dengan kata lain, rela menderita bagi Kristus dalam situasi apa pun.**5 Hippolytus, seorang bapa gereja yang hidup sezaman dengan Tertullian, lebih jauh berkata, "If a catechumen or a baptized Christian wishes to become a soldier, let him be cast out. For he has despised God."**6 Dalam tulisannya yang lain, "The Soldier's Chaplet", Tertullian juga menegaskan bahwa berdasarkan prinsip kasih yang Kristus telah ajarkan, maka profesi militer adalah sebuah jabatan yang sifatnya "offending God." Baginya, kisah seperti prajurit-prajurit yang datang kepada Yohanes Pembaptis untuk dibaptiskan ataupun perwira pasukan yang mengundang Petrus ke rumahnya adalah "sebelum" iman Kristen sungguh- sungguh berakar dalam diri mereka. Tetapi begitu iman yang sejati telah tumbuh maka profesi semacam itu harus ditinggalkan.**7

Pada abad ke-16, tradisi Tertullian tersebut diteruskan oleh kelompok Anabaptist yang dengan tegas menyatakan: "Christ is now our Lord, not the Old Testament."**8 Akibatnya, mereka percaya bahwa setiap murid Kristus terpanggil untuk hidup dalam kasih, ketaatan dan kesetiaan yang radikal terhadap segala perkataan Kristus. Salah satu contoh ekstrem dari Anabaptist adalah kasus Michael Sattler. Pada abad ke-16 ketika Eropa Barat diserang oleh orang-orang Turks, di hadapan publik Sattler berseru, "We should not resist any of our persecutors with the sword, but with prayer cling to God that He might resist and defend."**9 Lebih jauh ia menegur orang-orang Kristen yang turut berperang, "The Turks knows nothing about the Christian faith, he is a 'Turk according to the flesh.' But you want to be considered Christians, boast of being Christ's and still persecute His pious witnesses, you are Turks according to the spirit."**10

Dengan kata lain, mereka percaya bahwa dalam prinsip pewahyuan secara progresif, PB telah menggantikan PL. Ajaran Yesus dan para rasul harus dilihat lebih superior daripada tulisan Musa, Yosua dan para nabi lain. Bagi kelompok ini, etika PB jelas mengajarkan prinsip pacifism. Panggilan perang dan penggunaan kekerasan apa pun alasannya adalah hal yang sepenuhnya bertentangan dengan panggilan sebagai murid Kristus. Setiap orang yang telah ditebus harus mengenakan senjata rohani dan hidup di dalam kasih yang sifatnya 'defenseless' (tanpa pembelaan). Etika PL yang menekankan perang, penggunaan kekerasan dan pembalasan sekarang telah digantikan oleh model hamba yang menderita yang telah dicontohkan oleh Kristus sendiri.**11

Pada masa sekarang tradisi pacifism terus dikumandangkan oleh kelompok Neo-Augustinian.**12 Salah seorang di antaranya yang sangat menonjol ialah Richard B. Hays, seorang pengajar PB di Duke University. Ia menegaskan tradisi Tertullian maupun Anabaptist tentang 'pacifism' dengan berkata bahwa salib dan kebangkitan telah merumuskan prinsip dasar hidup Kristiani yang semestinya, yaitu kasih dan damai.

...the New Testament's witness is finally normative. If irreconcilable tensions exist between the moral vision of the New Testament and that of particular Old Testament texts, the New Testament vision trumps the Old Testament... So also Jesus' explicit teaching and example of nonviolence reshapes our understanding of God and of the covenant community in such a way that killing enemies is no longer a justifiable option... Once that word has been spoken to us and perfectly embodied in the story of Jesus' life and death, we cannot appeal back to Samuel as a counterexample to Jesus. Everything is changed by the cross and resurrection.**13

Sedikit berbeda dengan Anabaptist, Hays tidak menegaskan bahwa PB telah menggantikan PL. Yang hendak ia ajarkan adalah, jika ada prinsip moral PL yang bertentangan dengan PB, maka prinsip moral di PB sifatnya 'normatif' sehingga harus dipandang lebih superior ketimbang PL. Isu tentang perang adalah salah satu contoh di mana kita harus melihat prinsip kasih di PB sebagai yang lebih normatif daripada hukum perang di PL.

Di dalam konteks tentang perang, bagi Hays, setiap orang Kristen terpanggil untuk hidup di dalam prinsip moral yang sama sekali berbeda dengan dunia. Ia melihat, misalnya, ketika Tuhan Yesus menyampaikan Khotbah di Bukit, khotbah ini diberikan dalam sebuah situasi di mana kekristenan bukan sebagai penguasa politik pada masa tersebut, tetapi sebagai kelompok marginal yang berada di luar lingkaran politik. Hal ini mengandung pengertian bahwa jika orang Kristen ingin sungguh- sungguh hidup menurut ajaran dan teladan Tuhan Yesus, maka ia harus memiliki standar moral yang berbeda secara radikal dari komunitas duniawi. Dengan demikian, tugas dan panggilan gereja adalah "to tell an alternative story" dan "to resist the seductions of violence" di tengah-tengah mayoritas komunitas dunia yang sejak Adam jatuh dalam dosa terus terikat oleh kekerasan dan peperangan.**14 Ia menegaskan jika gereja ingin sungguh-sungguh menjadi komunitas yang dibangun atas dasar Alkitab maka gereja harus mau terus-menerus meneladani "nonviolent countercultural community" sebagaimana telah dicontohkan melalui Khotbah di Bukit.**15 Ia merasa heran sekarang ini gereja ingin memberi pengaruh kepada dunia dengan cara menjadi serupa dengan dunia (appearing reasonable in the eyes of the world), dengan cara mereduksi sedapat mungkin prinsip-prinsip inti iman Kristen. Ini bukanlah panggilan murid Kristus; baginya, justru komunitas Kristen akan memberikan dampak yang besar seandainya orang-orang percaya "less concerned about appearing reasonable in the eyes of the world and more concerned about faithfully embodying the New Testament's teaching against violence."**16 Dengan kata lain, kasih Kristus baru dapat terpancar dengan terang ketika kita tidak mengikuti pola hidup dunia yang sudah terjebak oleh kekerasan. Hal ini tidak perlu diartikan bahwa orang-orang pacifist bukanlah warga negara yang baik. Yang hendak mereka tekankan adalah, sebagai orang Kristen mereka harus hidup sebagai warga negara yang baik dengan cara menyaksikan prinsip- prinsip moral yang secara eksklusif dibangun atas dasar Alkitab, yang sama sekali tidak dikompromikan dengan prinsip moral apa pun yang ada di dunia ini.

Strategi pacifism Hays jelas mengandung risiko dan bahaya. Di satu pihak, dengan hidup berbeda secara radikal dari dunia umat Kristen harus selalu siap untuk terus menjadi kelompok marginal. Di lain pihak, prinsip semacam ini barangkali hanya berbeda selangkah dari bunuh diri, sebab apa pun yang terjadi orang Kristen tidak boleh memilih jalur politik atau penggunaan kekerasan demi membela diri ataupun orang lain. Hays bukan tidak menyadari hal ini. Menurutnya, prinsip hidup yang meneladani kasih Kristus, "in calculable terms, this way is sheer folly. Why do we choose the way of nonviolent love of enemies?"**17 Namun dengan indah ia mengkalimatkan jawaban untuk pertanyaan retorik ini sebagai berikut.

If our reasons for that choice are shaped by the New Testament, we are motivated not by the sheer horror of war, not by the desire for saving our own skins and the skins of our children (if we are trying to save our skins, pacifism is a very poor strategy), not by some general feeling of reverence for human life, not by the naive hope that all people are really nice and will be friendly if we are friendly first. No, if our reasons for choosing nonviolence are shaped by the New Testament witness, we act in simple obedience to the God who willed that his own Son should give himself up to death on a cross. We make this choice in the hope and anticipation that God's love will finally prevail through the way of the cross, despite our inability to see how this is posibble.... When the church as a community is faithful to that calling, it prefigures the peaceable kingdom of God in a world wracked by violence.

**18

Dengan demikian, bukan kekuatan manusia yang diandalkan dalam prinsip pacifism, tetapi kekuatan Allah sendiri untuk bekerja di dalam dunia yang sudah terjebak oleh peperangan dan kekerasan. Kita hanyalah lilin-lilin kecil yang tak berdaya yang dipakai untuk memancarkan terang kasih Kristus yang penuh kuasa.

JUST WAR THEORY

Agustinus umumnya dipandang sebagai pemikir Kristen pertama yang mencetuskan ide just war theory (teori tentang adanya perang yang dapat dibenarkan). Meskipun ia sendiri tidak pernah merumuskan secara sistematis - pembahasannya tentang perang bersifat menyebar dalam berbagai tulisannya dan dalam konteks pembelaan iman Kristen - banyak ahli telah mencoba memformulasikan secara sistematis konsep politik dan perang melalui tulisannya. Tidak heran bila di kemudian hari banyak perbedaan di antara penganut just war theory, sekalipun mereka sama-sama mengklaim berdiri di dalam tradisi Agustinus.**19

Dalam salah satu bukunya yang sangat terkenal, The City of God, yang ditulis antara 413 dan 427, Agustinus memberikan pembelaan terhadap umat Kristen yang saat itu oleh kekaisaran Romawi dituduh sebagai penyebab melemahnya kekuatan kerajaan sehingga membuka peluang bagi serangan dari suku barbar (Alaric dan Goths). Hal ini dapat terjadi sebab, di mata orang-orang Romawi, doktrin Kristen tentang kasih persaudaraan, kasih terhadap orang yang memusuhi, kerendahan hati, kesabaran dan yang sejenisnya, telah melemahkan semangat untuk berjuang bagi negara.**20

Menghadapi tuduhan itu, Agustinus menulis bahwa kekristenan sama sekali tidak meniadakan patriotisme, melainkan justru mengangkat semangat itu hingga kepada level sebagai ketaatan iman (religious obligation).**21 Berbeda dengan Tertullian, Agustinus yang hidup kurang lebih satu abad sesudahnya (354-430), dapat melihat patriotisme dalam bernegara sebagai bentuk ketaatan rohani adalah karena ia tidak mempertentangkan PL dan PB secara tajam. Ia melihat bahwa perang yang dilaksanakan oleh perintah Allah di PL harus dipandang di dalam konteks sebagai "just and righteous retribution" terhadap dosa bangsa tertentu, termasuk Israel. Baginya, perang yang didasarkan bukan pada motivasi kenikmatan terhadap kekerasan itu sendiri, tetapi karena ketaatan kepada Allah dan penghukuman terhadap pelaku kejahatan demi mencegah dosa yang lebih besar, merupakan "an act of love."**22 Perintah agar kita "tidak membalas kejahatan dengan kejahatan" (Mat 5:39), menurutnya bukanlah larangan secara mutlak bagi perang itu sendiri, tetapi bagi kebencian (malice) yang merupakan bahaya sebenarnya di dalam hubungan antara sesama. Demikian pula perintah agar kita "memberikan pipi kiri jika pipi kanan ditampar" lebih ditujukan kepada motivasi kasih dan kesabaran, ketimbang perilaku secara harafiah. Dengan membedakan antara motivasi dan perbuatan, Agustinus sanggup mengatakan bahwa kasih tidak selalu bertentangan dengan penggunaan kekerasan, sebab, misalnya "when Moses killed sinners [di dalam perangnya dengan bangsa-bangsa lain] he was motivated by charity, not cruelty. Love for one's enemies did not prevent a 'benevolent severity' toward them."**23

Pandangan Agustinus juga berbeda dengan tradisi Tertullian mengenai profesi sebagai prajurit. Baginya, PB tidak pernah memerintahkan prajurit-prajurit yang disebutkan dalam Alkitab untuk meninggalkan jabatan mereka. Hal ini diakui oleh Hays, seorang pacifist, bahwa beberapa perikop yang menyinggung profesi prajurit, seperti Lukas 3:14- 15; Matius 8:5-13; Kisah Para Rasul 10:1-11:18, dapat menjadi dasar yang sah bahwa menjadi murid Kristus sama sekali tidak berarti menjauhkan diri dari penggunaan kekerasan demi mempertahankan kesejahteraan sosial atau keadilan.**24 Tetapi yang lebih menjadi fokus dan perhatian Agustinus adalah hati yang sudah diperbaharui, bukan profesi atau tindakan perang itu sendiri. Artinya, kalaupun seseorang memutuskan untuk pergi berperang, hal itu harus dilaksanakan di dalam "benevolent design and without undue harshness."**25 Ia mengakui bahwa dalam situasi tertentu kondisi damai dapat dicapai melalui pengampunan tanpa harus menggunakan kekerasan. Tetapi dalam situasi-situasi lain, membiarkan kejahatan tanpa adanya usaha untuk mencegahnya dengan segala daya upaya, termasuk menggunakan kekerasan, sama saja dengan membiarkan kejahatan menindas keadilan. Dengan demikian, perang adalah suatu tindakan yang sifatnya "permissible", tetapi hanya dan jika hanya "undertaken out of necessity and for the sake of peace."**26 Namun demikian, di bagian lain, ia menyangkal adanya perang yang dibenarkan jika alasannya adalah untuk kepentingan pribadi. Ia menegaskan bahwa penggunaan kekerasan untuk kepentingan pribadi akan selalu merupakan ekspresi kebencian. Apa yang hendak ia katakan adalah perang atau penggunaan kekerasan hanya mungkin dibenarkan jika yang mengambil keputusan adalah pemerintah yang sah atau public officials. Ringkasnya, mereka yang berada dalam tradisi Agustinus umumnya sepakat bahwa bagi Agustinus sebuah perang dapat dibenarkan jikalau memenuhi tiga kriteria berikut: dilaksanakan oleh legitimate authority (penguasa yang sah), just cause of avenging injuries (alasan yang dapat dibenarkan dalam melaksanakan hukuman) dan righteous intention (motivasi yang benar).**27

Sekalipun pada hakikatnya bagi Agustinus perang adalah sesuatu yang sifatnya permissible atau occasionally necessary, ia tidak pernah mengatakan bahwa perang adalah sesuatu yang baik. Kalaupun sebuah perang dapat dibenarkan ia tetap melihat hal itu cenderung akan memberi peluang bagi kejahatan dan penderitaan umat manusia.**28 Karena itu dalam memahami konsepnya tentang just war theory, lebih tepat bila kita menyimpulkan bahwa baginya perang bukanlah cara positif untuk meraih keadilan dan kedamaian, melainkan sebuah "cara negatif untuk mencegah ketidakadilan" sehingga sifatnya "always to be regretted."**29 Itu sebabnya, ada kesengajaan dari pihak Agustinus sendiri untuk tidak membahas secara detail ketiga kriteria perang - kalaupun ia memang memberikan ketiga hal tersebut. Ia memang jelas berpendapat bahwa berdasarkan PL, otoritas yang paling sah dalam memutuskan sebuah perang adalah Allah sendiri. Jika demikian pertanyaannya adalah: pada masa kini siapa yang dapat berkata, sekalipun ia adalah pemerintah yang resmi, bahwa ketika ia memutuskan untuk berperang, ia sedang mewakili kehendak Allah? Ia juga mengatakan satu-satunya alasan yang dapat dibenarkan untuk penggunaan kekerasan adalah untuk memelihara kedamaian sosial yang terancam. Kendati demikian hal ini pun masih dapat dipertanyakan, yaitu bagaimana kita dapat yakin bahwa perang tersebut akan menimbulkan kedamaian, bukan kebencian lainnya, mengingat hakikat manusia yang berdosa? Ia jelas pula berkata bahwa motivasi yang benar dalam sebuah peperangan adalah demi kepentingan mempertahankan negara sehingga perang adalah pilihan terakhir dalam penyelesaian sebuah konflik, bukan sesuatu yang secara aktif kita adakan. Tetapi bagaimana kita tahu bahwa kita sudah cukup bertahan sehingga perang boleh menjadi pilihan kita? Apa batasan untuk "bertahan" sehingga itu tidak merupakan "serangan" bagi pihak lain? Dengan kata lain, pada hakikatnya just war theory adalah sebuah teori yang menegaskan perlunya kesadaran untuk secara terus-menerus dan serius mengevaluasi berbagai aspek yang terkandung dalam masing- masing kriteria.

TINJAUAN SECARA HERMENEUTIK DAN TEOLOGIS

Jika kita perhatikan masing-masing pandangan di atas, maka tanpa bermaksud mengabaikan aspek-aspek pertimbangan lainnya, tinjauan teologis ini dapat kita fokuskan ke dalam dua kategori permasalahan, yaitu permasalahan hermeneutik hubungan antara PL dan PB, serta permasalahan teologis antara kasih dan keadilan. Permasalahan pertama ditujukan untuk menjawab pertanyaan seperti: bagaimana seharusnya kita memandang adanya pernyataan-pernyataan tentang perang yang secara harafiah bertentangan antara PL dan PB? Sedangkan kategori kedua ditujukan untuk menjawab pertanyaan seperti: apakah kasih yang sifatnya nonkekerasan dalam pelaksanaannya dapat dipisahkan dari keadilan yang sering kali mengandung unsur penggunaan kekerasan?

Pendekatan Hermeneutik: Problema Relasi PL dan PB

Hays benar ketika ia menyatakan bahwa salib dan kebangkitan Kristus adalah kunci untuk memahami PL. Sejak Kristus menggenapi nubuat- nubuat di PL ada suatu perubahan prinsip moral yang radikal yang harus disadari oleh setiap murid-Nya. Namun demikian, dalam prinsip hermeneutiknya ada aspek lain yang dilupakan atau kurang diberi tekanan oleh Hays dan juga tradisi Tertullian atau Anabaptist, yaitu kontinuitas atau kesinambungan antara kedua perjanjian.**30 Yang dimaksud kontinuitas bukan dalam arti "menggantikan" atau "memperbaharui untuk meniadakan yang lama," tetapi kontinuitas dalam pengertian melihat PL dan PB sebagai satu kesatuan pewahyuan Allah yang sifatnya progresif. Namun bukan pula progresivitas pewahyuan seperti yang dimengerti oleh Anabaptist yang percaya bahwa wahyu di PB telah menggantikan PL, melainkan progresivitas dalam pengertian bahwa baik PL maupun PB, keduanya sama-sama berbicara tentang Kristus, tetapi di dalam bentuk, wujud atau cara yang berbeda. Jika PL berbicara secara simbolik dan samar-samar tentang Kristus, maka di PB Kristus hadir dalam wujud yang tampak oleh mata jasmani. Sebaliknya, ada hukum-hukum di PL yang sifatnya lahiriah tetapi berita sebenarnya adalah prinsip rohani atau moral yang terkandung di dalamnya, seperti yang banyak ditekankan di PB melalui kehadiran Kristus. Artinya, baik PL maupun PB sama-sama berbicara tentang rencana penebusan Allah melalui kedatangan sang Mesias, yaitu Yesus Kristus, tetapi dalam cara yang berbeda.

Kebenaran prinsip hermeneutik di atas dapat kita lihat melalui kata- kata Tuhan Yesus sendiri. Dalam Matius 5:17-20 Ia menyatakan tiga macam sikap terhadap hukum Taurat sebagai akibat dari kedatangan-Nya. Pertama, di ayat 17 Ia menyatakan bahwa kedatangan-Nya bukan untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi, melainkan untuk menggenapinya. Kalimat ini mengandung pengertian bahwa di satu pihak, berkaitan dengan nubuat para nabi, realita yang mereka nubuatkan telah terwujud melalui kedatangan Tuhan Yesus. Di lain pihak, berkaitan dengan hukum Taurat, kedatangan Kristus merupakan "a realization in history of the righteousness articulated in the law."**31 Artinya, kehadiran Kristus menyingkapkan maksud asali (original intention) dari kehendak Allah, yang di PL diwakili oleh hukum-hukum yang tertulis dalam Taurat maupun tulisan para nabi. Sehingga dengan kata lain, kebenaran yang Kristus ajarkan pada hakikatnya merupakan kontinuitas dari kebenaran yang dituntut melalui hukum Taurat dalam PL.**32 Dengan demikian, sebagai contoh, ketika di bagian selanjutnya Kristus mengkontraskan apa yang orang-orang pernah dengar tentang "mengasihi sesama dan membenci musuh" dengan "kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu" (Mat 5:43), di sini Ia sedang mengungkapkan kehendak Allah yang sebenarnya, yang sudah dinyatakan dari sejak PL namun baru tersingkap dengan jelas ketika Ia sudah datang dengan membawa prinsip hidup kerajaan Allah di dalam dunia ini.

Kedua, dalam Matius 5:18 Tuhan Yesus mengatakan, "selama belum lenyap langit dan bumi ini" dan "sebelum semuanya terjadi atau tergenapi (genetai)," satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat. Kalimat ini lebih jauh lagi menegaskan bahwa hukum di PL tetap berlaku bagi orang-orang percaya, bahkan bagian yang tampaknya tidak terlalu berarti (satu iota atau satu titik), sehingga kita tidak dapat berkata tentang hukum-hukum tertentu di PL, "This is rescinded, this is cancelled."**33 Namun demikian, untuk memahami kalimat ini dengan benar kita tidak boleh melepaskannya dari pengertian pertama di atas. Sudah tentu maksud Tuhan Yesus bukan tulisan secara harafiah yang lebih dipentingkan, tetapi agar kita dapat memahami maksud Allah melalui PL maka seluruh hukum yang sudah dinyatakan harus kita terima secara utuh. Di pihak lain, kita harus mencermati dua kategori penggenapan yang Kristus sebutkan di ayat ini, yaitu "selama belum lenyap langit dan bumi ini" serta "sebelum semuanya tergenapi." Kategori pertama menyatakan bahwa sampai pada kesudahan dunia, hukum Taurat harus tetap kita terima secara utuh. Kategori kedua bersangkut-paut dengan kedatangan Kristus; kedatangan- Nya yang menggenapi hukum Taurat telah menyebabkan kita "mengalami" hukum Taurat secara berbeda. Maksudnya,

...even though Jesus affirms the ongoing validity of the law until the close of the age, the Christian has no direct access to that validity apart from the fulfillment in Christ. The fact that something is required by a specific Old Testament commandment does not directly dictate the shape of Christian obedience. The shape of that obedience is understood only by following the teachings and actions of Jesus Christ... Only as fulfilled and radicalized in the teaching and life of Jesus does the Old Testament law retain its validity until the close of the age.**34

Sikap ketiga terhadap hukum Taurat sebagai akibat kedatangan Kristus adalah hidup keagamaan yang lebih tinggi daripada ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi (Mat 5:20). D.A. Carson percaya bahwa dengan kalimat ini Kristus sedang memperkenalkan pembenaran melalui iman dan kelahiran baru melalui karya Roh Kudus,**35 suatu hal yang tidak mungkin diraih sekalipun kita menaati seluruh hukum Taurat. Sedikit berbeda, J.M. Boice menegaskan bahwa apa yang Kristus tuntut di sini adalah ketaatan melalui perubahan hati, bukan secara lahiriah.**36 Sudah tentu sikap semacam ini Allah telah kehendaki bahkan sejak PL. Dengan kata lain, jika kita kembali kepada perkataan Tuhan Yesus yang pertama (Mat 5:17), maka sikap ketiga terhadap hukum Taurat ini menyingkapkan kehendak Allah sejak semula.

Ketiga sikap terhadap hukum Taurat yang Kristus ajarkan menyatakan bahwa "Jesus does not conceive of his life and ministry in terms of opposition to the Old Testament, but in terms of bringing to fruition that toward which it points."**37 Bagaimanakah kita memakai prinsip kontinuitas ini untuk memahami hukum perang di PL? Apakah original intention dari kehendak Allah dalam pernyataan-Nya tentang perang yang sangat eksplisit di PL, namun sama sekali tidak dinyatakan dalam PB?

Jika kita berdiri pada posisi pacifist, kita dapat mengabaikan hukum perang di PL begitu saja dan menganggapnya sebagai prinsip moral yang sudah tidak berlaku lagi. Kesulitan dari keyakinan semacam ini adalah kita harus membuang sebagian besar isi PL, yang harus diakui sangat penuh dengan pernyataan tentang perang, apa pun pengertiannya (simbolik, rohani, maupun harafiah). Namun tidak berarti bahwa jika kita menerima prinsip just war theory maka kita tidak akan mengalami kesulitan. Seperti yang dikatakan John H. Yoder, secara struktural perang yang Allah canangkan di PL sifatnya sangat berbeda dengan perang-perang yang manusia jalani di sepanjang zaman.**38 Akibatnya, penganut just war theory tidak dapat dengan serta-merta menarik garis paralel antara perang di PL dengan perang-perang yang dilaksanakan dengan prinsip just war theory pada masa kini. Ada prinsip teologis tentang maksud dan rencana Allah yang harus kita mengerti terlebih dahulu sebelum kita memutuskan untuk menolak atau memasukkannya ke dalam prinsip moral tentang perang untuk masa sekarang ini. Paul Hanson berkata bahwa perang di PL adalah sebuah isu yang sangat kompleks. Seseorang harus memahami adanya struktur rohani, nilai dan tujuan di dalam setiap perang yang dikehendaki oleh Allah.**39

John Wood memberikan lima perspektif tentang hubungan antara Allah dengan perang di dalam PL:**40 pertama, tradisi perang di PL bersifat "revelatory," artinya bukan perang itu sendiri yang menjadi berita utama para penulis PL, melainkan kebesaran dan kemuliaan Allah dibandingkan kuasa-kuasa lainnya atau kesombongan manusia. Kedua, Allah adalah Allah yang memelihara keteraturan alam semesta (universal order), sehingga sekalipun kuasa dosa dan kejahatan ada di bawah kontrol Allah, namun kuasa-kuasa itu harus diperangi. Kehidupan umat manusia, dengan demikian, adalah sebuah "medan peperangan" di mana Allah akan tampil sebagai pemenangnya.

Ketiga, perang di PL senantiasa berkaitan dengan konsep kosmologi dunia kuno di mana orang-orang pada zaman itu selalu kuatir terhadap timbulnya 'chaos' yaitu suatu kekacauan atau ketidakharmonisan di dalam tatanan dunia ciptaan. Hanya Allah yang sanggup memerangi dan mengalahkan kuasa-kuasa penyebab chaos yang patut disembah. Relasi perjanjian Allah dengan umat-Nya adalah bentuk keharmonisan yang harus dijaga bahkan dengan jalan perang. Keempat, perang dalam PL bersangkut- paut dengan pembuktian iman bangsa Israel bahwa Allah yang mereka sembah adalah Allah yang bertindak di dalam sejarah, yang membedakan Israel dari agama-agama lain pada masa itu. Umat Allah saat itu percaya bahwa Allah adalah Allah yang hadir di dalam setiap aspek sejarah, termasuk dalam perang. Kelima, sekalipun Allah adalah Allah yang mengizinkan perang sebagai salah satu sarana untuk menyatakan kebesaran-Nya, namun ini bukan sebuah legitimasi bagi Israel untuk memutuskan perang. Ada tujuan lain yang Allah hendak capai yaitu ditegakkannya keadilan dan kebenaran di tengah-tengah umat-Nya - sehingga adakalanya Allah bahkan mendisiplin umat-Nya sendiri dengan jalan perang - serta terwujudnya rencana penebusan-Nya di bumi (Yes 2:2-4; Mi 4:1-4).

Dari penjelasan Wood dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya hubungan antara Allah dan perang di PL berada di dalam kompleksitas konteks: dosa, keadilan ('justice') dan keteraturan ('order'). Allah memakai perang untuk mencegah atau menghukum dosa, menegakkan keadilan-Nya dan mencegah 'chaos', atau untuk mencapai damai dan keteraturan bagi umat- Nya maupun bumi ciptaan-Nya (lih. a.l. Kej 6:7; 15:13-16; Kel 12:12; 15:3-4; Bil 33:50-56; Yos 1:1-9; 1Sam 17:1- 54; Mzm 9:9; Yes 13:11; Am 1, 2). Perlu diingat bahwa apa yang ditekankan di sini bukanlah "perang" itu sendiri, tetapi sikap hati Allah terhadap dosa, ketidakadilan dan chaos. Hanya dengan memahami konteks ini baru kita dapat melihat kontinuitas kehadiran Kristus dengan hukum perang di PL. Secara rohani kita dapat berkata bahwa kedatangan Kristus adalah untuk "berperang" dengan dosa, ketidakadilan dan chaos. Secara sosial, apakah perang masih merupakan sarana yang dapat dibenarkan? Ada indikasi yang kuat di PB bahwa perang tetap merupakan sarana sosial yang dapat dipakai untuk berurusan dengan dosa, ketidakadilan dan kekacauan. Pertama, melalui wewenang yang Allah "titipkan" kepada pemerintah (Rm 13:1-7 bdk. Ams 8:15-16; Yer 27:6-12); kedua, melalui penerimaan jabatan prajurit di dalam komunitas orang-orang percaya (Mat 8:5-13; Luk 3:12-14; Kis 10:22).

Pendekatan Teologis: Hubungan antara Kasih dan Keadilan

Perdebatan antara 'pacifism' dan just war theory juga berkisar di sekitar kategori hubungan antara kasih dan keadilan. Kelompok pertama percaya bahwa panggilan utama murid Kristus adalah untuk menyatakan kasih Kristus secara radikal dengan menolak segala bentuk kekerasan apa pun alasannya, bahkan termasuk konsistensi jabatan prajurit dengan iman Kristen. Kelompok kedua, walaupun tidak menyangkali proklamasi kasih Kristus sebagai panggilan utama, namun di dalam dunia yang sudah jatuh di dalam dosa, perwujudan kasih tidak dapat dilepaskan dari keadilan yang sering kali mengandung unsur penghukuman atau penggunaan kekerasan. Pemahaman secara teologis terhadap hubungan antara kasih dan keadilan akan memberikan kita satu lagi prinsip dasar etika Kristen dalam mengevaluasi paham 'pacifism' dan just war theory.

Henry Stob dalam salah satu tulisannya mencoba memetakan hubungan antara kasih dan keadilan ke dalam tiga kategori: (1) dalam karya penebusan Allah; (2) aktivitas manusia dalam arena sosial; (3) aktivitas manusia dalam relasi pribadi dengan sesama.**41 Dalam ketiga kategori ini Stob mendapati adanya hubungan dialektik antara kasih dan keadilan yang tidak mungkin dapat dipisahkan. Dalam karya penebusan Allah misalnya, kita melihat bahwa ketika Allah menyatakan kasih-Nya, Ia bukan meniadakan keadilan tetapi justru menanggungnya. Demikian pula dalam relasi pribadi dengan sesama (kategori ketiga), salah satu pengertian "mengasihi" ialah "never acts unjustly."**42 Karena isu yang sedang kita bicarakan adalah isu sosial, maka kita akan memfokuskan pembahasan hanya pada kategori kedua.

Di dalam kategori hubungan yang kedua, Stob memaparkan adanya lima macam hubungan antara kasih dan keadilan yang bisa diringkas sebagai berikut:**43 pertama, kasih di dalam konteks sosial menuntut agar masyarakat ('society') menjalankan keadilan kepada setiap anggotanya. Kesadaran akan kasih mengharuskan kita untuk menegakkan keadilan sosial di masyarakat, sehingga setiap anggota di dalamnya dapat memperoleh kebebasan dan kebutuhan sesuai dengan hak-haknya. Memberitakan Injil memang adalah bentuk pernyataan kasih, tetapi jika kita berhenti sampai di sana maka kita belum cukup mengasihi. Ia berkata, "One does not love the neighbor enough if one does not also sponsor and defend his earthly right to be treated in the public arena as an image bearer of God with his own vocation."**44 Artinya, kasih baru benar-benar terwujud di dalam masyarakat jika dalam pelaksanaannya ia memberi ruang bagi terwujudnya keadilan. Lebih jauh, supaya keadilan dapat langgeng selama kurun waktu yang cukup lama maka ia harus distrukturkan di dalam lembaga atau hukum-hukum yang dampak baliknya ialah memberikan kesempatan lebih luas bagi pelaksanaan kasih di dalam masyarakat. Jadi ada hubungan timbal balik antara kasih dan keadilan. Di satu pihak, masyarakat yang mengasihi adalah masyarakat yang mewujudkan keadilan sosial, dan di lain pihak, keadilan sosial yang terstruktur dengan baik ialah sarana yang kondusif bagi pelaksanaan kasih.

Kedua, berangkat dari prinsip kerajaan Allah yang sifatnya telah digenapi meskipun masih belum sepenuhnya, menurut Stob kita harus dapat membedakan antara berita kasih dalam PB yang sifatnya 'justitia evangelica' dengan kasih di dalam dunia yang sifatnya 'justicia civilis' (mewujudkan keadilan sosial berdasarkan prinsip-prinsip kemanusiaan).**45 Baginya, kasih seperti yang diajarkan dalam Khotbah di Bukit adalah kasih yang sifatnya sempurna dan yang baru dapat diwujudkan secara penuh pada waktu kedatangan Kristus yang kedua kali, yaitu ketika janji langit dan bumi yang baru digenapi. Dengan kata lain, kasih yang Kristus wartakan sekalipun di dalamnya mengandung aspek keadilan yang dibutuhkan masyarakat, sifat utamanya adalah sebagai "kabar baik" ('evangelica'), sehingga kita tidak perlu frustasi ketika prinsip yang ideal itu tidak tercapai di dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa ini. Selama kita masih menantikan tergenapinya langit dan bumi yang baru kita harus waspada agar tidak jatuh ke dalam prinsip hidup di dalam kasih yang ideal yang mengabaikan sama sekali 'justicia civil', atau sebaliknya, kita hidup semata-mata dalam 'justicia civil' dengan mengabaikan kasih yang Kristus sudah wartakan. Ketegangan ini akan terus mewarnai perwujudan etika Kristen di dalam dunia ini.

Jika kita menarik prinsip ini ke dalam lingkup yang lebih luas, yaitu seluruh dunia, jelas bahwa panggilan setiap umat manusia, khususnya orang-orang percaya, adalah menegakkan kasih dan keadilan di dalam proporsi yang semestinya. Hal ini didasarkan atas sikap Allah sendiri kepada umat manusia; sekalipun Allah adalah Allah yang mahakasih, Ia juga mahaadil dan merupakan "api yang menghanguskan" bagi mereka yang terus hidup di dalam kefasikan (bdk. Ul 4:24; Ibr 12:29). Menekankan kasih Allah secara berlebihan dan mengabaikan keadilan-Nya sama bahayanya dengan menekankan keadilan Allah secara berlebihan dan mengabaikan kasih-Nya. Membiarkan dosa dan ketidakadilan tanpa usaha mencegahnya, sama saja dengan kita menyetujui perbuatan dosa yang mendukakan hati Allah. Demikian pula, penekanan yang berlebihan pada hukum-hukum keadilan tanpa mengenal prinsip kasih akan menyebabkan kita jatuh pada legalisme mutlak yang menghambat hubungan yang harmonis antarsesama.

Prinsip kasih dan keadilan, dengan kata lain, memberi peluang bagi adanya kemungkinan perang yang bisa dibenarkan. Namun demikian, pada saat yang bersamaan, kompleksitas hubungan yang paradoks antara kasih dan keadilan menyingkapkan bahwa untuk sampai pada suatu keyakinan bahwa perang adalah pilihan yang adil merupakan hal yang sangat sulit, kalau bukan mustahil. Akan tetapi, paling tidak melalui pertimbangan ini umat Kristen memiliki dasar kebenaran untuk, misalnya, menjawab panggilan sebagai seorang prajurit atau terlibat dalam masalah sosial politik.

KESIMPULAN

Sekalipun pada dasarnya posisi just war theory lebih dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara hermeneutik dan teologis, saya tetap melihat bahwa mestinya kedua posisi ini tidak dipertentangkan secara tajam. Umat Kristen yang menerima paham 'pacifism' adalah orang-orang yang secara aktif mengusahakan kedamaian dunia dengan cara menolak sama sekali aspek "violence" termasuk profesi-profesi tertentu, seperti prajurit, yang sifatnya membuka peluang bagi penggunaan kekerasan. Hal yang terakhir memang harus diakui sangat berlebihan. Namun sejauh mereka adalah orang-orang yang berangkat dari asumsi "damai", maka pada hakikatnya 'pacifism' tidak bertentangan dengan just war theory. Orang-orang yang mempercayai adanya perang yang dapat dibenarkan, asumsi dasarnya bukan "kekerasan" atau "peperangan," tetapi juga "kedamaian." Seseorang yang menerima panggilan sebagai seorang prajurit, motivasi utamanya bukanlah "perang," tetapi kedamaian dan keteraturan. Richard Neuhaus dalam dialognya dengan Stanley Hauerwas berkata,

The presumption of just war theory is against the use of military force. The theory erects an obstacle course of moral testings aimed at preventing the unjust resort to war... The goal is "to secure just order in an essentially disordered world." The question is not violence vs. nonviolence but legitimate vs. illegitimate uses of force. Violence is better understood as the illegitimate use of force, and just war theory is designed to restrain that as much as possible in a history that will always be marked by violence short of the End Time.**46

Demikian pula, jikalau 'pacifism' menekankan pentingnya hidup sesuai dengan jati diri kita sebagai murid Kristus, maka orang Kristen yang menerima just war theory juga menyadari panggilan ini. Kembali mengutip kata-kata Neuhaus, ia berkata, "I believe that Christians are alien citizens whose primary loyalty is to the heavenly polis and whose obedience to Christ the King entails responsibility for the earthly polis."**47 Hanya saja jika 'pacifism' memandang perlunya menjadi warga negara di dalam 'earthly polis' dengan cara mengusahakan kehadiran kerajaan Kristus secara nyata sekarang ini dan di bumi ini, maka just war theory lebih melihat kerajaan Allah sebagai paradoks antara yang sudah digenapi oleh Kristus dan yang belum sepenuhnya terwujud. Sehingga, Neuhaus melanjutkan,

I will continue to caution that no world order will be free from the radical disorder of sin, and no hope for earthly peace should be confused with the saving peace that is ours in Christ. God willing, there will be something like a "new world order" that will restrain the violence... To be sure, it will be partial and it will be only for a time, but I would like to think that you join me in prayer that it will be.**48

Footnote (Catatan Kaki):

**1. Francis Schaeffer, et al., Who is for Peace? (Nashville: Thomas Nelson, 1983) 23-24 [garis bawah adalah penekanan penulis]

**2. Agustinus tidak menggunakan istilah "cities" hanya kepada lokasi atau zaman tertentu, melainkan kepada dua macam sikap kepada Allah - antara orang percaya dan tidak - yang akan terus bersitegang di dalam dunia ini, "Two cities, then, have been created by two loves: that is, the earthly by love of self extending even to contempt of God, and the heavenly by love of God extending to contempt of self" (lih. The City of God against the Pagans [ed. & tr. R.W. Dyson; Cambridge: Cambridge University Press, 1998] 632.XIV.28)

**3. Ada sebagian orang yang keliru memahami pacifism sebagai passivism (pasif-isme). Pacifism berasal dari pacifist (bukan passivist), artinya "peace lover." Dengan kata lain, orang-orang pacifist ialah mereka yang secara aktif mempromosikan ajaran cinta damai

**4. Variasi kedua pandangan ini memang sangat banyak, tetapi tanpa harus masuk ke dalam detail perbedaan pandangan di dalamnya, pada artikel ini penulis berusaha untuk tidak mengorbankan esensi keduanya. Beberapa buku yang dengan baik menjelaskan variasi pandangan tersebut adalah John Howard Yoder, Nevertheless: The Varieties and Shortcomings of Religious Pacifism (Scottdale: Herald, 1992); Albert Marrin, ed., War and the Christian Conscience (Chicago: Henry Regnery, 1971)

**5. The Five Books against Marcion (The Ages Digital Library Collections ver.2.0: The Ante-Nicene Fathers Vol. III; eds. A. Roberts & J. Donaldson; tr. Dr. Holmes, IV. 16; Albany: Books for the Ages, 1997) 666-667

**6. Gregory Dix, The Treatise on the Apostolic Tradition of St. Hippolytus of Rome (London: Alban, 1937) 27

**7. Pemahaman ini merupakan tafsiran Tertullian yang tidak ditegaskan secara harafiah dalam Alkitab (Lih. "The Soldier Chaplet" dalam War and the Christian Conscience [ed. Albert Marrin; Chicago: Henry Regney, 1971] 29-30)

**8. Harold Bender, "The Pacifism of Sixteenth Century Anabaptists," Mennonite Quarterly Review (1956) 17

**9. Ibid. 11-12

**10. Ibid. Sattler ditangkap dan diadili karena pernyataannya ini

**11. Ibid. 17

**12. Orang-orang yang dimasukkan ke dalam kelompok ini antara lain:
George Lindbeck, Stanley Hauerwas, John Milbank, David Yeago, Reinhard Hutter, Richard Hays dan N.T. Wright (lih. Robert Benne, "The Neo-Agustinian Temptation," First Thing 81 [March 1998] 14).

**13. The Moral Vision of the New Testament (New York: HarperCollins, 1996) 336-337

**14. Ibid. 342

**15. Ibid. 342-343

**16. Ibid. 343 [garis bawah dari penulis]

**17. Ibid

**18. Ibid. [garis bawah dari penulis]

**19. Lihat misalnya kata-kata R.W. Dyson dalam bagian "Introduction" (The City of God xiv dst.). Yang unik adalah bahkan ada sekelompok penganut pacifism yang juga menyatakan telah mewarisi tradisi Agustinus. Contohnya, Stanley Hauerwas, seorang pacifist, memandang sekelompok just war theory telah salah membaca tulisan Agustinus. Dalam salah satu suratnya kepada Richard John Neuhaus, seorang pengikut just war theory, ia berkata bahwa Agustinus senantiasa memisahkan komunitas orang percaya dari dunia. Sehingga sekalipun Agustinus berbicara tentang 'two cities' dalam 'The City of God', pada hakikatnya ia lebih menekankan komunitas gereja yang ciri utamanya adalah kerajaan Allah yang diwujudkan melalui Kristus (lih. Stanley Hauerwas & Richard John Neuhaus, "Pacifism, Just War & the Gulf," First Thing 13 [May 1991] 41)

**20. Ernest L. Fortin, "Civitate Dei, De" (The City of God) dalam: Augustine Through the Ages (ed. Allan D. Fitzgerald; Grand Rapids: Eerdmans, 1999) 197. Perlu diingat bahwa 'The City of God' ditulis oleh Agustinus jauh sesudah Edict of Milan dicanangkan (313 M), yaitu pengakuan agama Kristen sebagai agama resmi kekaisaran pada masa itu

**21. Ibid

**22. Frederick H. Russell, "War" dalam Augustine Through the Ages 875

**23. Ibid

**24. The Moral Vision 335-336

**25. Fortin, "Civitate Dei, De" 198

**26. Ibid

**27. Agustinus sendiri tidak pernah memformulasikan ketiga kriteria ini; ketiganya merupakan kesimpulan yang ditarik dari tulisannya (lih. William R. Stevenson, Jr., Christian Love and Just War [Macon: Mercer University Press, 1987] 4)

**28. The City of God XIX. 7

**29. Stevenson, Christian Love 39, 41

**30. Khususnya dalam isu tentang perang. Penulis tidak bermaksud menerapkan evaluasi ini secara general terhadap prinsip hermeneutik Hays; dalam banyak aspek, penulis sangat menghormati ajaran Hays

**31. David E. Holwerda, Jesus and Israel: One Covenant or Two? (Grand Rapids: Eerdmans, 1995) 132

**32. Ibid. 131

**33. Ibid. 132

**34. Ibid. 132-133

**35. The Sermon on the Mount (Grand Rapids: Baker, 1978) 39

**36. The Sermon on the Mount (Grand Rapids: Zondervan, 1972) 100 s

**37. Carson, The Sermon 37

**38. Lih. Millard Lind, Yahweh is Warrior (Scottdale: Herald, 1980) 18 (Introduction)

**39. "War, Peace, and Justice in Early Israel," Bible Review (Fall 1987) 45

**40. Perspective on War in the Bible (Macon: Mercer University Press, 1998) 163-172

**41. Ethical Reflections: Essays on Moral Themes (Grand Rapids: Eerdmans, 1978) 135

**42. Ibid. 141

**43. Bdk. pandangan Stob dengan Lewis B. Smedes yang juga mengupas hubungan antara kasih dan keadilan dengan sangat baik di dalam bukunya Mere Morality: What God Expects from Ordinary People (Grand Rapids: Eerdmans, 1999), perhatikan khususnya bab 2 dan 3

**44. Ethical Reflections 137

**45. Ibid. 139

**46. "Pacifism, Just War" 43 [garis bawah dari penulis]

**47. Ibid

**48. Ibid. 44-45

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : VERITAS 4/1 (April 2003)
Judul Artikel : Prinsip Dasar Etika Kristen tentang Perang:
Sebuah Tinjauan terhadap Pacifism dan Just War Theory
Penulis : Kalvin S. Budiman
Penerjemah : -
Penerbit : Seminari Alkitab Asia Tenggara
Halaman : -

Spiritualitas Injili: Suatu Tinjauan Ulang


Editorial: 
Penulis: 
Stanley J. Grenz
Edisi: 
037/III/2003
Isi: 

Lane Dennis mengatakan bahwa ciri khas Kaum Injili adalah penekanannya pada keselamatan yang dialami secara pribadi-komitmen kepada Yesus Kristus sebagai Juruselamat saya (pribadi). Kehebatan gerakan ini adalah mempersatukan pengalaman religius dengan bahasa teologis yang sama. Pengertian tentang natur Injili ini menunjukkan perubahan mendasar dari kesadaran Kaum Injili. Perubahan identitas yang berdasar pada pengakuan iman menuju kepada identitas yang berdasarkan spiritualitas.

William W. Wells menyatakan tiga karekteristik unik Gerakan Injil ini: orang Kristen Injili mempercayai otoritas Alkitab; menekankan pengampunan Allah dan hubungan pribadi yang indah dengan Allah melalui Kristus; dan menekankan perjuangan untuk hidup suci melalui disiplin rohani. Meskipun Gerakan Neo-Injili tetap berpegang kepada otoritas Alkitab, namun penekanan sekarang lebih kepada aspek spiritualitas, yang sebelumnya sering terselubungi oleh dimensi intelektual atau doktrinal.

Penekanan kepada dimensi spiritualitas sebenarnya sejalan dengan sejarah Gerakan Injil itu sendiri. Sebelum abad kedua puluh, Puritanisme dan Pietisme memberikan pengaruh yang signifikan terhadap gerakan injil ini. Puritanisme membangkitkan suatu bentuk kesalehan hidup sebagai respon terhadap doktrin pilihan dari Calvinisme. Calvinisme meletakkan keselamatan manusia dalam konteks pilihan Allah yang bersifat misteri. Meskipun teologi ini memelihara kedaulatan Allah, manusia menjadi tidak mempunyai kepastian bahwa dia memiliki status sebagai orang pilihan atau tidak. Karena itu, tidak ada pengakuan iman yang sungguh, tidak ada kesetiaan mengikuti sakramen, maupun serangkaian hidup yang suci, yang dapat menjamin bahwa seseorang merupakan umat pilihan Allah. Di tengah-tengah ketidakpastian inilah kaum Puritan menemukan satu tanda umat pilihan: pengalaman rohani secara pribadi terhadap anugerah keselamatan Allah. Dengan demikian, kepastian status pilihan menjadi bergantung kepada kemampuan seseorang menceritakan pengalaman pertobatannya. Lebih lagi, penekanan kembali kepada hal-hal yang bersifat spiritual ini merupakan pengaruh dari gerakan Pietis, khususnya keinginan mereka untuk mereformasi hidup dan bukan mereformasi doktrin.

Karena itu, seperti John Wesley katakan, titik temu antara Pietisme dan Gerakan Injili adalah pada: penggilan hidup baru, buah-buah rohani, dan suatu hidup yang berbeda dengan kemalasan gereja dan anggota-anggotanya yang sangat duniawi. Kaum Injili bersifat pietist dalam hal fokusnya pada dinamika kehadiran Kristus dalam hidup orang percaya. Hal ini menandai pergeseran dari gerakan sebelumnya yang menekankan pada aktifitas (doing), kepada hal-hal yang bersifat kontemplasi (being). Pembahasan lebih lanjut akan difokuskan kepada keunikan spiritualitas Kaum Injili.

Menuju Pengertian Spiritualitas Injili

Salah satu definisi 'spiritualitas' yang cukup baik diberikan oleh Robert Webber adalah: "Secara luas, spiritualitas dapat didefinisikan sebagai hidup yang sesuai dengan hidup Kristus. Hidup yang menyadari bahwa karya salib Kristus membuat kita menjadi warga negara sorga, dan sorgalah yang menjadi tujuan hidup kita di dunia. Perjalanan hidup ini dikerjakan dalam konteks kita sebagai anggota tubuh Kristus. Melalui ibadah kepada Allah, spiritualitas kita terus- menerus dibentuk. Dan misi kita di dunia adalah untuk memberitakan visi Kristen melalui perkataan dan tindakan kita." Karena itu dapat dikatakan bahwa spiritualitas adalah suatu perjuangan mengejar kesucian di bawah pimpinan Roh Kudus bersama-sama dengan seluruh orang percaya. Mengejar hidup yang dihidupi untuk memuliakan Allah, dalam persatuan dengan Kristus dan hasil dari ketaatan kepada Roh Kudus.

Sesuai dengan ajaran Paulus dalam 1Korintus 2:14-3:3, Kaum Injili sangat menekankan akan 'pola pikir rohani' yang dikontraskan dengan manusia duniawi. Dengan menggabungkan salib dan Pentakosta - yaitu bergantung pada kemenangan Kristus dan kehadiran Roh Kudus - Kaum Injili menjalani hidup yang disebut oleh Watchman Nee sebagai 'the normal Christian life', yaitu hidup yang semakin serupa dengan Kristus yang ditandai dengan ketaatan total kepada kehendak Allah. Dengan demikian Kaum Injili selalu menekankan hidup yang berkemenangan melalui peperangan melawan kuasa setan, manusia lama, dan dunia. Dan dengan kuasa Roh Kudus mengalahkan musuh-musuh rohani orang percaya.

Kita dapat melihat bahwa inti dari spiritualitas Injili adalah suatu usaha untuk menyeimbangkan dua prinsip yang kelihatan bertentangan, yaitu: bagian dalam dari manusia (inward) dengan bagian luar (outward), dan dimensi kesucian personal dengan komunal.

Keseimbangan Antara Inward dan Outward

Spiritualitas Kaum Injili mencoba menyeimbangkan kesucian hati dan aktifitas pelayanan. Hati orang percaya harus dipenuhi dengan kasih kepada Yesus Kristus. Komitmen ini lebih dari sekedar pengetahuan tentang karya Kristus dalam sejarah atau menerima doktrin tentang Kristus. Tetapi adanya suatu hubungan pribadi yang dekat dengan Yesus yang bangkit dan hidup. Karena itu, bagian dalam dari manusia (inward) merupakan fondasi dari spiritualitas. Akibatnya, Kaum Injili lebih tertarik kepada respon pribadi seseorang kepada Yesus daripada kemampuan mereka untuk memformulasikan atau menghafalkan pernyataan doktrinal tentang Yesus.

Kaum Injili juga lebih mementingkan motivasi hati dalam mengikuti ibadah dan perjamuan kudus daripada sekedar memenuhi kewajiban itu secara eksternal. Ibadah eksternal tanpa kesadaran internal hanya merupakan ritual yang mati. Karena itu, Kaum Injili tidak datang ke gereja demi memenuhi tuntutan ibadah secara eksternal, tetapi karena dorongah hati untuk memuliakan Allah dan bersekutu bersama umat percaya. Kita termotivasi dari dalam hati dan bukan dipaksa dari luar untuk menghadiri ibadah bersama. Sikap seperti ini dinyatakan dengan suatu pujian dari hati 'I'm so glad I'm a part of the family of God.'

Dalam kaitan dengan ini, spiritualitas Injili juga sangat menekankan pengalaman religius dalam hidup orang percaya. Penekanan ini berasal dari Gerakan Pietisme yang sangat menekankan teologi lahir baru yang bersumber pada Injil Yohanes: 'Iman harus menjadi nyata dalam pengalaman! Iman harus mentransformasi hidup!' Pengalaman lahir baru merupakan bagian sentral dan titik awal perjalanan hidup orang percaya bersama Tuhan, yang tidak bisa digantikan oleh apapun. Tetapi kelahiran baru ini harus diikuti dengan perjalanan spiritual pribadi yang ditandai dengan pertumbuhan dalam kesucian. Di hadapan Kaum Injili, James Houston menggambarkan spiritualitas sebagai,

'The outworking...of the grace of God in the soul of man, beginning with conversion to conclusion in death or Christ's second advent. It is marked by growth and maturity in a Christlike life.' (Karya anugerah Allah dalam jiwa manusia, yang dimulai dengan kelahiran baru dan diakhiri dengan kematian atau kedatangan Kristus ke dua kali. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan dan kedewasaan dalam hidup seperti Kristus.)

Penekanan pada inward, sangat sentral dalam spiritualitas Injili dan akan membentuk ketegangan kreatif ketika digabungkan dengan bagian luar (outward) dari hidup Kristen. Spiritualitas memang bersumber pertama-tama dari dalam hati, tetapi hidup Kristen juga berarti pemuridan. Dan pemuridan bersifat outward. Faktanya, spiritualitas sejati harus dinyatakan dalam perbuatan yang kelihatan. Perubahan hati harus dinyatakan dalam hidup yang nyata. Tetapi perbuatan nyata ini bukan untuk mendapatkan anugerah Allah, melainkan sebagai wujud dari kerinduan kita untuk mengikuti jejak kaki Yesus. Natur dari kehidupan spiritualitas adalah meneladani Yesus (the imitation of Christ). Pemuridan berarti mengikuti model yang telah dinyatakan dalam hidup Yesus, karena orang Kristen sejati akan merefleksikan karakter Yesus dalam hidupnya.

Pengertian ini mempengaruhi Kaum Injili dalam memandang sakramen. Kita menolak pandangan ekstrem dari sakramentalisme maupun panghapusan sakramen. Di satu sisi, kita menolak memandang sakramen sebagai suatu alat magis untuk mendapatkan anugerah Allah (sakramentalisme), tetapi di lain sisi kita juga tidak membuang sakramen. Kita memandang sakramen (baptisan dan perjamuan kudus) sebagai suatu ibadah yang sangat penting untuk mengekspresikan secara fisik apa yang sudah dikerjakan Allah di dalam hati. Sakramen merupakan tanda yang kasat mata dari anugerah Allah yang tidak kasat mata.

Penekanan Kaum Injili tentang pemuridan sebagai meneladani Kristus juga mempengaruhi pengertian kita tentang kehidupan gereja. Kita menekankan mengikuti Kristus sebagai suatu ibadah setiap hari dan bukan hanya ibadah hari minggu. James Houston menekankan bahwa kekristenan bukanlah suatu acara khusus, tetapi merupakan gaya hidup (life style). Sikap seperti ini mengakibatkan motivasi utama untuk menghadiri ibadah bersama adalah untuk diajar, didorong, dan dikuatkan untuk memiliki gaya hidup yang berkenan kepada Allah. Poin yang terus- menerus ditekankan pada ibadah minggu adalah: 'Jika engkau adalah orang percaya, hidup suci harus menjadi nyata bukan hanya pada hari Minggu tetapi dari Minggu sampai Sabtu. Apa yang Anda dengar pada hari Minggu harus diterjemahkan dalam perbuatan sepanjang minggu. Jika tidak demikian, imanmu hanya merupakan iman hari Minggu.'

Dapat disimpulkan bahwa spiritualitas Injili mencoba menyeimbangkan dimensi dalam dan dimensi luar dari hidup Kristen. Kita mencoba menyeimbangkan hati yang hangat oleh kasih kepada Allah dengan hidup yang mengikuti teladan Yesus. Kita memprioritaskan dimensi dalam sebagai sumber dari dimensi luar, tetapi kita menganggap dimensi dalam mati jika tidak menghasilkan ekspresi luar yang seharusnya dalam hidup pemuridan. Lagu yang sering kita nyanyikan mengekspresikan dengan baik kedua dimensi ini, 'Trust and obey, for there's no other way, to be happy in Jesus, but to trust and obey.'

Keseimbangan Personal dan Komunal

Kekudusan hidup di antara Kaum Injili biasanya hanya dimengerti secara individu. 'Membaca Alkitab' berarti membaca secara pribadi; 'berdoa' berarti berdoa secara pribadi; 'keselamatan' berarti diselamatkan secara pribadi; 'hidup dalam Kristus' berarti memiliki hubungan pribadi dengan Kristus. Seperti dikatakan Daniel Stevick: 'Perjalanan Kristen dijalani sendiri, keselamatan dari Allah ditujukan kepada pribadi. Pertolongan-Nya selalu dalam konteks pribadi. Perjalanan diisi dengan penyucian secara pribadi dan tujuannya adalah istana yang dibangun bagi pribadi.'

Dalam pengertian tertentu, karakteristik yang digambarkan ini memang cukup tepat. Namun, pendekatan Kaum Injili terhadap perjalanan iman orang percaya secara pribadi tidak pernah dilihat sebagai bagian yang terisolasi, melainkan selalu dilihat dalam konteks persekutuan orang percaya. Di sinilah terdapat keseimbangan antara kehidupan personal dan komunal dari hidup spiritualitas.

Jelas kita mengerti spiritualitas Kristen sebagai sesuatu yang bersifat individu atau personal. Kelahiran baru dan pertumbuhan iman harus pertama-tama dialami secara individu. Masing-masing orang percaya harus bertanggung jawab terhadap spiritualitasnya secara pribadi. Setiap individu bertanggung jawab untuk hidup suci dan meneladani Kristus.

Penekanan pada tanggung jawab pribadi ini sejalan dengan prinsip tradisional Protestan tentang keimamatan orang percaya dan terutama penekanannya mengenai 'kompetensi individu'. Prinsip kompetensi individu menyatakan bahwa setiap pribadi bertanggung jawab secara pribadi kepada Allah dan dengan pertolongan Roh Kudus mampu berespon secara pribadi kepada Allah. Prinsip ini memberikan implikasi penting bagi spiritualitas. Hal ini berarti bahwa tidak ada seorang pun yang dapat diperdamaikan dengan Allah oleh orang lain ataupun oleh gereja. Tidak seorang pun dapat mengklaim dirinya sebagai orang Kristen berdasarkan iman orangtua, karena melakukan ritual tertentu, lahir dalam negara tertentu. Kaum Injili biasanya mengatakan: 'Allah hanya mempunyai anak-anak, tetapi tidak mempunyai cucu.' Karena itu para penginjil selalu menekankan: 'Keputusan untuk menerima Kristus atau menolak-Nya ada padamu; tidak ada seorang pun yang dapat menjawabnya bagimu.' Penekanan ini sangat jelas pada lagu yang begitu terkenal: 'Lemah, lembut, Tuhan Yesus memanggil,. Memanggil saya dan kau ...pulang, pulang, kau yang berlelah pulang.'

Karena spiritualitas adalah persoalan pribadi, Kaum Injili sangat menekankan disipllin rohani sebagai sarana untuk pertumbuhan rohani. Disiplin dalam membaca Alkitab setiap hari dengan apa yang disebut sebagai 'saat teduh'; bersaksi secara pribadi; dan juga hal yang tidak kalah pentingnya adalah menghadiri kebaktian secara rutin.

Penekanan pada aspek personal ini juga mempengaruhi strategi dalam misi Kaum Injili. Dalam abad-abad permulaan kekristenan mulai tersebar di luar Kerajaan Romawi ke daerah-daerah yang masih belum tersentuh peradaban. Para misionaris biasanya memfokuskan pemberitaan Injil kepada para pemimpin suku atau raja, sehingga ketika pemimpin ini dibaptis, seluruh rakyatnya juga ikut dibaptis. Kaum Injili sangat kuatir bahwa strategi ini hanya menghasilkan kekristenan yang bersifat pura-pura, dangkal dan bahkan bisa bersifat sinkretistik. Meskipun tidak menolak peran penting yang dimiliki para pemimpin, Kaum Injili sangat menekankan Injil yang diberitakan kepada setiap individu. Karena kita mengerti bahwa spiritualitas adalah tugas dari setiap pribadi.

Meskipun sangat menekankan dimensi personal bagi spiritualitas orang Kristen, Kaum Injili juga menyeimbangkannya dengan dimensi komunal atau korporat. Tidak seorang pun dapat hidup dan bertumbuh dalam mengikuti Yesus dalam isolasi. Tetapi setiap kita harus bersekutu supaya dapat bertumbuh secara dewasa. Analogi yang sering digunakan adalah bara api. Bara api akan saling membakar ketika dikumpulkan bersama. Tetapi ketika satu bara api dikeluarkan dari kelompoknya, dia akan segera padam dan menjadi dingin. Begitu juga hidup Kristen: orang Kristen yang menarik diri dari komunitas orang percaya akan sulit untuk bertumbuh dan cepat menjadi dingin. Tetapi ketika bersekutu bersama, orang Kristen akan saling mendukung dan dengan demikian akan terus hidup dan berapi-api bagi Tuhan.

Jadi dalam pandangan Kaum Injili, meskipun setiap orang bertanggung jawab atas pertumbuhan imannya sendiri, setiap orang juga bergantung kepada kelompok orang percaya. Setiap orang percaya membutuhkan dorongan dan nasihat dari saudara-saudara seiman lainnya.

Pandangan ini memberikan pengertian yang penting mengenai gereja. Jemaat gereja lokal harus merupakan suatu komunitas yang saling menasihatkan, mendukung dan mengajar satu dengan yang lainnya. Lebih jauh, setiap anggota dari persekutuan orang percaya harus terlibat dalam tugas-tugas yang dikerjakan bersama. Kita terpanggil bukan saja untuk beribadah bersama, tetapi juga untuk masuk menjadi bagian dari kehidupan keseharian anggota yang lain. Dengan demikian, setiap orang berpartisipasi dan berperan dalam kehidupan komunitas Kristen. Inilah esensi dari jemaat lokal dalam pandangan Injili.

Prinsip bahwa setiap orang percaya perlu bersekutu dengan yang lainnya menghasilkan suatu penekanan klasik Injili terhadap kehadiran dalam kebaktian. Kita harus hadir dalam kegiatan-kegiatan gerejawi secara bersama. Tetapi tujuan penekanan ini berbeda dengan gereja-gereja liturgikal. Kita tidak melihat kehadiran dalam kegiatan gereja sebagai sarana mendapat anugerah, tetapi dalam perkumpulan orang percaya inilah pengajaran dan kekuatan dinyatakan.

Pengertian di atas memberikan dampak terhadap apa yang dianggap paling penting dalam ibadah Minggu. Roma Katolik menekankan perjamuan kudus dalam ibadah, sedangkan gereja-gereja Injili memfokuskan ibadah minggu pada pemberitaan Firman Tuhan. Di atas segalanya, kita datang untuk mendengar kotbah, yang kita pandang sebagai sarana utama manusia bertemu dengan Allah. Kita mendengarkan kotbah dengan kerinduan untuk mendengar 'Allah sedang berkata-kata kepada saya secara pribadi.' Sebagai akibatnya, kita mendapat peringatan, kekuatan, dan bahkan arahan hidup melalui kehadiran kita dalam ibadah bersama. Kita berkumpul untuk mendengar Firman (Word), supaya kita bisa tersebar sebagai umat Allah di tengah-tengah dunia (world).

Tetapi akhir-akhir ini Kaum Injili memiliki pengertian yang lebih dalam lagi mengenai kepentingan ibadah bersama sebagai elemen yang sentral di samping kotbah. Salah satu pemimpin dalam hal ini adalah Robert Webber yang mengatakan:

'Worship is the rehearsal of our relationship to God. It is at that point through the preaching of the Word and through the administration of the sacrament, that God makes himself uniquely present in the body of Christ. Because worship is not entertainment, there must be a restoration of the incarnational understanding of worship, that is, in worship the divine meets the human. God speaks to us in his Word. He comes to us in the sacrament. We respond in faith and go out to act on it!' (Ibadah adalah gladi bersih dari hubungan kita dengan Allah. Pada titik itulah melalui pemberitaan Firman dan pelaksanaan sakramen, Allah hadir secara khusus dalam tubuh Kristus. Karena ibadah bukan merupakan hiburan, harus ada pengertian baru dari ibadah yang bersifat inkarnasi, yaitu Allah bertemu dengan manusia dalam ibadah. Allah berbicara kepada kita melalui Firman. Dia datang kepada kita dalam sakramen. Kita berespon dengan iman dan keluar untuk hidup sesuai dengan itu!)
Seperti dikatakan Webber, penekanan pada ibadah bersama bukan berarti meniadakan sentralitas kotbah dalam ibadah minggu. Tetapi hal ini lebih merupakan suatu usaha untuk kembali mendapat keseimbangan yang lebih baik lagi demi menjalankan tugas gereja dengan lebih efektif.

Di tengah-tengah penekanan Injili untuk 'menemukan pelayanan dalam gereja', kita mendiskusikan interaksi yang penting antara dimensi personal dan korporal dari iman Kristen. Kita mendorong setiap individu untuk 'menemukan pelayanan' dalam konteks gereja lokal. Dan hal ini jelas berkaitan dengan dimensi korporal dadri spiritualitas Kristen. Sewaktu kita terlibat pelayanan dalam komunitas Kristen, kita berpartisipasi dalam tugas mendorong pertumbuhan orang lain dan juga secara tidak langsung kepada diri kita sendiri. Keterlibatan dalam hidup orang lain merupakan kesempatan untuk mendorong, menasihati, dan memenuhi kebutuhan mereka. Tetapi tujuannya lebih dari itu: supaya mereka yang menerima pelayanan itu bisa bertumbuh dewasaa secara rohani dan kemudian akhirnya ikut melayani anggota lain dalam tubuh Kristus.

Pandangan ini berimplikasi pada eklesiologi. Bagi kita, gereja adalah persekutuan orang percaya, persekutuan murid Kristus, komunitas orang- orang yang dengan serius bertanggung jawab secara pribadi bagi spiritualitasnya dan pada saat yang sama terjun dalam pelayana untuk mendorong pertumbuhan rohani secara korporal. Kaum Injili yang bertanggung jawab bernyanyi bersama: 'Kami akan berjalan bersama, kami akan berjalan bergandengan tangan.' Karena jalan spiritualitas adalah jalan yang mengikat setiap individu bersama- sama.

[Catatan: Tulisan di atas disadur dari buku Stanley J. Grenz; Revisioning Evangelical Theology; A Fresh Agenda for the 21th Century, Downers Grove, Illinois; IVP, 1993. Hal. 37-59]

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Momentum 44/Triwulan III/2000
Judul Artikel : Spiritualitas Injili: Suatu Tinjauan Ulang
Penulis : Stanley J. Grenz
Penerjemah : -
Penerbit : Lembaga Reformed Injili Indonesia
Halaman : 29 - 36

Tujuh Menit Bersama Tuhan

Editorial: 
Edisi: 
036/II/2003
Isi: 
Cara Merencanakan Saat Teduh

,,, Istilah apa saja yang saudara pakai untuk "waktu bersekutu dengan Tuhan" bukan soal, misalnya: waktu teduh, saat teduh, sesaat dengan Allah, renungan pribadi, kebaktian perorangan atau lain sebagainya. Menit-menit yang suci pada permulaan tiap hari, itulah yang menjadi rahasia inti daripada kuasa kehidupan Kristen. Itulah yang menjadi benang emas yang mengikat satu dengan yang lain antara tiap-tiap orang yang dipakai Tuhan secara luar biasa dari Abraham sampai Billy Graham, orang kaya maupun orang miskin, orang pengusaha atau orang militer. Tiap-tiap orang Kristen yang mau dipakai oleh Tuhan harus mengutamakan rencana bersekutu bersama-sama dengan Tuhan tiap-tiap hari.

Daud berseru di Mazmur 37:8, "Hatiku siap, ya Allah, hatiku siap ..." Hati yang siap dan mantap senantiasa menghasilkan hidup yang tidak mudah tergoyangkan. Hanyalah sedikit orang Kristen yang mempunyai hati dan hidup seperti itu. Salah satu kekurangan adalah rencana yang praktis untuk memulai dan melangsungkan pertemuan pribadi dengan Allah secara teratur tiap hari.

Saya ingin menyarankan kepada saudara mulai dengan membatasi waktu hanya tujuh menit saja. Apakah saudara rela memakai waktu sebanyak tujuh menit tiap-tiap hari untuk bersekutu bersama-sama dengan Tuhan? Bukan lima hari seminggu. Bukan juga enam hari seminggu untuk bersama Tuhan, tetapi tujuh hari dalam satu minggu bersama Tuhan! Mohonlah pertolongan Tuhan. Dalam permohonan itu mungkin saudara berkata, "Tuhan, saya ingin bertemu dengan Engkau besok pagi, selama sekurang- kurangnya tujuh menit. Besok pada jam 5.00 saya mempunyai rencana bertemu dengan Engkau."

Berdoa

Pagi harinya saudara harus berdoa lagi. Mungkin saudara ingin berdoa: "Tuhan, pada waktu pagi Engkau mendengar seruanku, pada waktu pagi aku mengatur persembahan bagi-Mu, dan aku menunggu-nunggu" (Mazmur 5:4).

Bagaimana caranya saudara memakai waktu tujuh menit itu? Inilah resepnya. Sesudah keluar dari tempat tidur dan membereskan keperluan pribadi, hendaklah saudara mencari tempat yang teduh dan suasana yang sunyi untuk menikmati persekutuan dengan Allah melalui membaca Firman-Nya dan berdoa.

DOA PERSIAPAN

Pakailah 30 detik yang pertama untuk mempersiapkan hati saudara. Ucapkanlah terima kasih atas pemeliharaan Tuhan semalam dan kesempatan-kesempatan dan pemeliharaan-Nya yang tersedia dalam hari yang baru itu.

Kemudian berdoalah seperti ini, "Tuhan Yesus, sucikanlah hatiku supaya Engkau dapat berbicara kepadaku melalui Firman-Mu. Bukalah hatiku! Penuhilah hatiku dengan Roh-Mu! Jadikanlah pikiranku tajam, jiwaku peka, hatiku terbuka! Tuhan Yesus, kelilingi aku dengan kebesaran kasih dan kuasaMu selama waktu ini! Dalam namaMu aku berdoa. Amin."

PEMBACAAN ALKITAB

Nah, sekarang selama empat menit saudara membaca Alkitab. Kebutuhan pertama adalah mendengarkan Firman dari Allah! Biarkanlah Firman itu memberi terang dalam hati saudara. Usahakanlah pertemuan dengan Tuhan seindah mungkin.

Mulailah pembacaan Alkitab dari salah satu kitab Injil, misalnya Injil Markus. Bacalah secara berurutan pasal demi pasal, ayat demi ayat. Bacalah ayat demi ayat pelan-pelan dengan penuh pengertian. Pembacaan Alkitab ini dilakukan semata-mata untuk menikmati Firman Allah dan mendengarkan Allah berbicara kepada saudara. Mungkin hanya 10 ayat, mungkin juga satu pasal penuh.

Apabila saudara telah menyelesaikan Injil Markus, lanjutkanlah dengan Injil Yohanes. Kemudian saudara perlu meneruskan sampai seluruh Perjanjian Baru selesai saudara baca dan selidiki.

Sesudah Tuhan berbicara kepada saudara melalui kitab-Nya, saudara perlu membalas dalam doa. Sekarang saudara mempunyai dua menit 30 detik untuk bersekutu dengan Dia dalam empat kawasan doa berikut.

DOA PUJIAN

Jenis doa ini adalah doa yang paling murni, sebab dalam doa ini tidak ada sama sekali unsur mementingkan atau menguntungkan diri. Sebagaimana saudara tidak boleh menghadap seorang raja tanpa kata-kata yang patut, demikian juga dengan Allah. Sembahlah Dia. Renungkan kebesaran-nya, kuasa-Nya dan kedaulatan-Nya!

DOA PENGAKUAN DOSA

Doa ini menyatakan kesadaran kita mengenai keberadaan kita dan keberadaan Allah. Dalam hal ini kita harus sadar bahwa Allah berada di tempat mahatinggi dan mahasuci, sedangkan kita berada di tempat kotor dan hina yang penuh dengan kenajisan. Keadaan kita yang penuh dengan dosa itulah yang harus kita akui di hadapan Allah dan harus kita tinggalkan pula bila kita menghadapi-Nya.

Dalam bahasa aslinya kata "pengakuan" berarti "menyetujui bersama dengan." Dalam hubungannya dengan hal dosa, "pengakuan" berarti "setuju dengan pendapat Allah tentang dosa itu." Supaya saudara mendapat gambaran yang jelas mengenai dosa itu dan sikap Allah terhadap dosa, bacalah Mazmur 66:18. "Seandainya ada niat jahat dalam hatiku, tentulah Tuhan tidak mau mendengar." Oleh karena itu, akuilah dosa saudara.

DOA PENGUCAPAN SYUKUR

Doa ini menyatakan kesadaran kita akan besarnya pemeliharaan dan berkat Allah atas kita. Nyatakanlah terima kasih kepada Tuhan. Pertama-tama, karena pengampunan dosa saudara yang baru saja diampuni sesuai dengan janji-Nya dalam 1 Yohanes 1:9.

Ingatlah beberapa hal yang khusus yang mendorong saudara untuk mengucapkan syukur. Misalnya, ucaplah syukur atas pekerjaan saudara dan pelayanan saudara di gereja. Bersyukurlah atas ujian-ujian dan kesulitan-kesulitan yang saudara alami, yang semuanya dapat teratasi melalui pertolongan-Nya. "Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu." (1 Tesalonika 5:18).

DOA PERMOHONAN

Doa ini menyatakan keperluan yang saudara pinta kepada Allah. Meminta dengan sungguh-sungguh dan rendah hati. Meminta untuk orang lain, juga untuk diri sendiri.

Doakanlah orang-orang di keluarga dan di lingkungan sendiri. Doakanlah orang-orang di seluruh dunia, misalnya utusan-utusan Injil dan teman- teman di tempat yang jauh. Dan jangan lupa mendoakan jutaan orang di banyak negara yang belum pernah mendengar kabar kesukaan tentang Yesus Kristus.

Marilah kita menyimpulkan tujuh menit itu.

TUJUH MENIT BERSAMA TUHAN
1/2 menit - Doa PersiapanMazmur 143:8
4 menit - Pembacaan AlkitabMazmur 119:18
Doa
1/2 menit - Pujian1 Tawarikh 29:11
1/2 menit - Pengakuan Dosa1 Yohanes 1:9
1/2 menit - Pengucapan SyukurEfesus 5:20
Permohonan Untuk ...
1/2 menit - ... Diri SendiriMatius 7:7
1/2 menit - ... Orang LainEfesus 6:18-20

Rencana ini bukannya jimat, tetapi pedoman. Kalau saudara melakukannya dengan teratur, maka saudara akan merasakan bahwa waktu tujuh menit kurang cukup lama. Pasti saudara tidak mau lagi membatasi waktu saudara dengan Tuhan hanya tujuh menit. Nanti akan terjadi hal yang menakjubkan. Tujuh menit menjadi duapuluh menit, dan tidak lama kemudian saudara akan menikmati tigapuluh menit yang sangat indah dengan Dia. Janganlah melakukan hal di atas sebagai suatu kebiasaan saja, tetapi lakukanlah itu sebagai suatu pernyataan kerinduan bertemu dengan Yesus, Tuhan saudara. Tuhan telah memberi saudara kesempatan yang tak dapat dinilai harganya, yaitu kesempatan untuk bersekutu dengan dia.

Buatlah perjanjian dengan Allah sekarang juga untuk mengadakan memupuk dan melanjutkan terus-menerus pertemuan saudara dengan Tuhan selama tujuh menit atau lebih tiap-tiap hari. Bila saudara merasa bahwa tujuh menit itu tidak cukup lama, perpanjanglah waktu itu. Bolehlah 15 menit, 30 menit, satu jam, dan lain sebagainya.

Sumber: 
Sumber:Traktat
Catatan:Disadur dengan ijin Para Navigator Untuk Orang Kristen
Penerbit:LLB (LEMBAGA LITERATUR BAPTIS)

Presuposisi Teologi


Editorial: 
Penulis: 
Sutjipto Subeno
Edisi: 
035/I/2003
Isi: 
LATAR BELAKANG

Di dalam kita menggumulkan suatu permasalahan yang dilontarkan seringkali saya mendapat kesan terjadi perdebatan yang serius dikarenakan bukan di dalam permasalahan itu sendiri, tetapi di dalam pola berpikir yang melandasi permasalahan. Inilah yang seringkali dikenal sebagai Problema Presuposisi (atau kemudian dikenal sebagai Pra-asumsi atau yang oleh Thomas Kuhn disebut sebagai Paradigma). Pada intinya, setiap argumentasi yang kita keluarkan, di belakangnya pasti ada satu set pola pikir yang melandasinya, entah ia sadari atau tidak sadari, terstruktur atau acak-acakan, integratif atau kontradiktif.

PROBLEMATIKA PRESUPOSISI

Jika kita menyadari hal ini, tentulah kita segera sadar bahwa akar permasalahan perdebatan kita disebabkan karena tidak adanya dasar pijak yang sama, dan lebih parah lagi, setiap kita (entah sadar atau tidak) tentunya memegang mati dasar pijak tersebut sebagai kebenaran mutlak yang tidak boleh salah. Hal ini dapat dimengerti, karena kalau ia sendiri belum yakin dasar pijaknya sebagai sesuatu yang mutlak benar, tentu ia tidak akan berargumentasi dengan orang lain. Paling jauh ia hanya berani bertanya atau memberi pertimbangan, tetapi tidak berargumentasi, apalagi berdebat. Ketika seseorang sudah berani berdebat, tentulah ia beranggapan dasar pijaknya mutlak benar.

Namun, masalahnya, apakah pasti benar dasar pijak yang dimutlakkan tersebut. Di sini terdapat problematika yang serius. Dengan orang bukan Kristen, pergunjingan ini bisa menimbulkan masalah besar, karena seringkali manusia tidak suka kalau dasar pijaknya mulai dipertanyakan (tentu dengan alasan tertentu, yang akan saya kemukakan kemudian), sehingga lebih menimbulkan amarah ketimbang penyelesaian. Tetapi, bagaimana di kalangan Kekristenan sendiri?

Di tengah Kekristenan, presuposisi ini bukannya tidak menjadi masalah. Tetapi seringkali di tengah era Post-Modernisme yang serba relatif dan dekonstruktif, maka manusia cenderung menolak adanya presuposisi ini, sekalipun penolakan presuposisi sebenarnya merupakan satu presuposisi juga (bahkan filsafat dasar bagi orang itu sekaligus merupakan presuposisi bagi pikiran dan hidupnya juga). Jelas perlu disadari dan diterima bahwa sekalipun sama-sama Kristen, presuposisi setiap orang Kristen tidaklah sama.

PRESUPOSISI DAN TEOLOGI

Banyak orang Kristen yang beranggapan bahwa presuposisi Kristen identik dengan teologi yang dipegangnya. Padahal tidaklah demikian. Presuposisi justru masih berada di belakang teologi (doktrin) yang dipegangnya. Mengapa seseorang lebih mau menerima teologi A ketimbang teologi B, disebabkan karena ia sudah mempunyai 'ancang-ancang' yang baginya lebih 'cocok' dengan teologi A, ketimbang teologi B.

Persoalannya, jarang kita uji, mengapa kita lebih cocok dengan teologi A ketimbang B, atau lebih tajam lagi, betulkah sikap kita lebih mencocoki teologi A ketimbang teologi B? Apa dasar pembenaran, sehingga kita bisa mengatakan bahwa memang menerima dan menyetujui teologi A lebih bertanggung jawab dan lebih tepat benar ketimbang memegang teologi B. Dari pengertian ini, jelaslah bahwa presuposisi tidak sama dengan teologi.

Lebih jauh lagi, hal ini jika dipertajam lagi, menyebabkan seseorang sekalipun memegang teologi tertentu, kemudian dalam bidang-bidang atau aspek-aspek tertentu bisa tidak menyetujuinya, lalu berpindah ke tempat lain. Terkadang hal ini membuat konsep dan pengertian teologinya tidak terintegrasi lagi, alias saling berkontradiksi, karena ia sudah punya presuposisi yang mau dipasangnya.

Yang lebih membahayakan lagi, jika orang itu kemudian menggunakan dalih, yang kelihatannya sangat rohani, tetapi justru menggambarkan egoisme dan ke-'sok tahu'-annya dengan mengatakan bahwa ia tidak memegang teologi A atau B atau C, tetapi memegang teologi 'Yang Alkitabiah.' Di balik perkataan ini, ada presuposisi pribadi yang mengatakan bahwa semua teologi yang sekarang ada adalah teologi yang tidak atau kurang Alkitabiah, dan hanya teologi yang ia bangunlah yang alkitabiah. Kembali lagi, presuposisi ini didasarkan pada apa? Jika setiap orang melakukan ini, maka akan terjadi Anto-isme, Budi-isme, atau John-isme dan berbagai 'teologi baru' yang semuanya mengaku Alkitabiah, padahal justru mungkin paling tidak Alkitabiah. Semangat relativisme seperti ini merupakan bahaya besar di dalam dunia Kekristenan saat ini, karena setiap orang akhirnya menjadi bingung dan berdebat tanpa ujung pangkal, karena seluruh presuposisi yang dipegang setiap orang berbeda tanpa bisa ditelusur dan dibereskan lagi kebenarannya.

MEMBANGUN PRESUPOSISI YANG BENAR

Sentral pembahasan saya ada disini. Dan harus disadari terlebih dahulu, bahwa pembangunan presuposisi inipun merupakan satu presuposisi, sehingga jika ingin mengomentarinya, tentu haruslah juga kita mulai dari sini. Ada beberapa presuposisi dasar yang perlu dipakai untuk membangun suatu presuposisi utama dalam kita berteologi.

  1. Kebenaran sejati bersumber dari Allah sendiri Manusia bukanlah sumber kebenaran, karena manusia sendiri masih mencari kebenaran, dan manusia sendiri sadar bahwa tingkat pengetahuan kebenarannya tidaklah absolut (banyak kesalahan yang masih kita lakukan di dalam hidup kita). Karena itu, jika kita mau mencari kebenaran, haruslah kembali kepada Allah sendiri, yang menjadi sumber kebenaran dan dirinya kebenaran. Secara inkarnasi, maka di sepanjang sejarah, hanya satu 'manusia' saja yang berhak mengklaim diri sebagai Kebenaran, yaitu Yesus Kristus sendiri, Anak Allah yang Tunggal (Yoh 14:6).

  2. Allah mewahyukan kebenaran di dalam Alkitab. Allah menyatakan kebenaran-Nya kepada manusia melalui firman-Nya, yaitu Alkitab. Dengan kata lain, Alkitab merupakan satu-satunya sarana untuk manusia bisa kembali mengerti kebenaran yang paling hakiki. Inilah yang ditekankan dengan proklamasi: Sola Scriptura (Hanya Alkitab Saja). Dengan demikian, maka seluruh kebenaran harus berpresuposisi pada Alkitab. Dengan lebih kritis lagi, bahwa setiap kebenaran yang bisa kita dapat dan mengerti, jika memang benar, maka ia tidak bisa bertentangan dengan Alkitab.

  3. Alkitab merupakan satu kebenaran yang utuh dari Allah yang satu. Karena Allah yang sama mewahyukan seluruh bagian Alkitab, maka seluruh bagian Alkitab tidak bertentangan satu sama lain. Jika terjadi pertentangan, maka bukan pengertian Alkitab itu sendiri, tetapi kesulitan pikiran manusialah yang memang mempertentangkannya. Maka kembali lagi, presuposisi manusia di dalam menghadapi Alkitab adalah presuposisi keutuhan, bukan dekonstruktif.

DASAR PRESUPOSISI KRISTEN

Dalam acuan ini, Cornelius Van Til (18 -1987), seorang teolog dan filsuf abad ini telah dengan sedemikian serius menggumulkan permasalahan ini. Van Til melihat bahwa di dalam berpikir, yang mendasari seluruh konsep teologis dan praktis kehidupan seseorang, hanya ada dua presuposisi dasar yang sangat menentukan, yaitu: (1) Kedaulatan Allah atau (2) Otonomi manusia.

  1. Kedaulatan Allah dengan presuposisi ini, manusia akan mengacu dan melihat segala sesuatu dari aspek kedaulatan Allah. Allah dipandang sebagai Sumber segala sesuatu, Dasar dan Tujuan segala sesuatu (Rom 11:36). Inilah dasar yang benar bagi seluruh pemikiran manusia, apalagi orang Kristen. Kita percaya bahwa Allah adalah Pencipta, Penopang dan Penyempurna seluruh alam semesta, termasuk manusia. Hanya percaya pada kedaulatan Allah, manusia bisa mendapatkan arah dan patokan dasar berpikirnya secara benar.

  2. Otonomi Manusia Gejala ini muncul ketika manusia jatuh ke dalam dosa. Manusia berusaha mencari kebenarannya sendiri di mulai dengan meragukan kebenaran dan kedaulatan Allah di taman Eden (Kej 3:6 dst.). Ciri ini merupakan ciri manusia berdosa di sepanjang sejarah zaman. Ketika manusia mulai berpikir menurut pikirannya sendiri, ada beberapa hal yang pasti akan terjadi:

    1. Non-proportional thinking.
      Manusia jadi tidak lagi bisa berpikir proporsional secara tepat. Karena titik acuannya tidak tepat, maka Martin Luther memisalkan keadaan seperti ini bagaikan roda yang as-nya tidak tepat di tengah. Manusia tidak lagi memiliki acuan yang tepat untuk berpikir, sehingga pemikirannya pasti tidak mungkin berdiri tegak dalam kebenaran yang asasi.

    2. Inconsistency
      Manusia tercemar oleh prinsip dosa, yaitu inkonsistensi. Manusia tidak dapat lagi konsisten secara murni di dalam cara berpikirnya. Akibatnya, manusia hidup terus dalam konflik (entah disadari atau tidak disadari). Dengan kembali kepada presuposisi yang benar, barulah kita bisa membangun seluruh teologi kita secara benar. Dan berdasarkan teologi yang benar, pembentukan konsep berpikir kita juga akan menjadi beres. Tanpa presuposisi yang tepat, maka teologi kita akan diwarnai oleh presuposisi yang tidak tepat, dan akibatnya hidup kitapun akan bercorak dosa. Inilah bahaya kesalahan presuposisi yang seringkali tidak disadari oleh orang Kristen.

PENUTUP

Sebagai penutup, saya ingin memberikan satu contoh kongkrit yang merupakan problematika presuposisi di tengah Kekristenan. Ketika seseorang berpresuposisi dasar 'otonomi manusia', yang berarti manusia menegakkan sendiri apa yang ia anggap benar, maka ia terlebih dahulu sudah menetapkan bahwa dirinya menjadi pusat segala sesuatu (bukan Allah dan kedaulatan-Nya). Dari sini, pasti ia akan memulai segala pemikiran yang akan memuaskan kepentingan dirinya. Itu kemudian tercermin di dalam ia berteologi. Teologi menjadi 'conveyor' (pembawa) pemuasan kepentingannya itu. Maka, karena ia menganggap bahwa hidup ini perlu mendapatkan kepuasan dan kenikmatan, perlu ditunjang dengan pemuasan keinginan duniawi, maka ia akan memperlakukan dan membentuk teologi yang sesuai dengan itu. Dari sini tercermin beberapa implikasi, seperti:

  1. Saya senang lho ke gereja anu, karena di situ saya bisa melepas stress saya, bisa bersukacita, atau

  2. Wah, kalau jadi Kristen ya musti kaya, karena Tuhan ingin kita kaya, nggak mau kita miskin. (Apa iya..?) atau

  3. Kalau saya disembuhkan dari penyakit saya, atau saya bisa sukses bisnis, atau saya bisa dapat pacar yang cantik, ya saya mau jadi Kristen, bahkan,

  4. Kristen memberikan keselamatan buat saya, tetapi cukup sampai sekian, kalau saya disuruh berkorban, ya saya keberatan, karena itu tidak cocok dengan semangat cinta kasih Kristen (Apa iya...?), atau

  5. Jadi Kristen jangan fanatik-fanatik, nanti rugi, apalagi kita nggak diberi makan oleh gereja, dll.

Saya rasa daftar di atas ini bisa diperpanjang tanpa batas, sejauh teologi dibangun berdasarkan Otonomi Manusia. Alkitab meminta kita untuk bertobat, menanggalkan segala pikiran dosa, menjauhkan diri dari nafsu daging dan keinginan daging yang mematikan dan kembali taat kepada kedaulatan Allah (Gal 5: 16 dst.).

Persoalannya, apakah di dunia modern ini, semua orang Kristen, termasuk para hamba Tuhan, menyadari kesalahan-kesalahan seperti ini? Apakah implikasi yang dihasilkan oleh gereja-gereja Kristen saat ini? Sudahkah betul-betul menghasilkan orang-orang Kristen yang bergumul terus semakin mendalam di dalam firman Tuhan, semakin mengerti kebenaran dan mengaplikasikan kebenaran? Ataukah kita hanya menghasilkan orang-orang yang ahli berdebat dan menggunakan argumentasi duniawi untuk menjadi acuan dasar atau presuposisi kita?

Biarlah perenungan ini bisa menjadi berkat bagi kita semua.
Soli Deo Gloria

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : -
Judul Artikel : -
Penulis : -
Penerjemah : -
Penerbit : website GRII Sby-Andhika, http:/www.griis.org
Halaman : -

John Wycliffe dan John Hus

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Artikel di bawah ini sebenarnya saya siapkan untuk menyambut "Hari Reformasi Gereja", tanggal 31 Oktober 2002. Tapi karena satu dan lain hal artikel ini terlambat dikirim. Untuk itu saya mohon maaf sebesar-besarnya. Namun meskipun terlambat, saya kira tidak ada salahnya untuk tetap mengirim artikel ini.

Ada dua judul artikel yang saya siapkan, adalah berupa biografi dari dua tokoh perintis Reformasi yaitu: John Wycliffe dan John Hus. Kedua tokoh ini dianggap memiliki jasa besar karena mereka telah memberikan sumbangsih yang sangat berarti bagi terbukanya jalan yang lebar untuk lahirnya gerakan Reformasi Gereja. Melalui kesaksian hidup yang penuh perjuangan dan tantangan dari kedua tokoh yang luar biasa ini kiranya kita dapat belajar bagaimana dapat memiliki hidup yang berprinsip pada kebenaran Firman Tuhan (Alkitab). Dengan takut akan Tuhan, mari kita teruskan perjuangan para perintis Reformasi gereja ini.

Belated HARI REFORMASI GEREJA 2002!

In Christ,
Yulia

Edisi: 
034/XI/2002
Isi: 

John Wycliffe

John Wycliffe dilahirkan di Yorkshire pada tahun 1325. Studi teologianya ditempuh di Universitas Oxford dan memperoleh gelar doktor teologia di sana pada tahun 1372. Wycliffe dikenal sebagai seorang mahasiswa yang sangat cerdas. Banyak kalangan sangat menghormatinya sebagai orang yang bijaksana dan berpendidikan. Reputasi Universitas Oxford ikut terangkat karena keberadaan Wycliffe sebagai pengajar di universitas ini, yang telah dimulainya sejak tahun 1361. Hampir sebagian besar hidup Wycliffe akhirnya ia habiskan untuk mengabdi di sekolah ini.

Kehidupan Wycliffe pada dasarnya penuh dengan kontroversi. Ia mempunyai kebiasaan berbahaya yaitu mengatakan apa saja yang dipikirkannya. Jika apa yang dipelajarinya membuatnya mempertanyakan tentang ajaran Katolik resmi, maka ia langsung akan menyuarakannya. Namun, hal yang membuat gereja mulai bermusuhan dengan Wycliffe adalah ketika ia mempertanyakan tentang hak Gereja atas kuasa duniawi dan kekayaan gereja. Paus telah menuntut bahwa hak milik gereja-gereja di Inggris adalah milik Paus. Wycliffe sangat tidak menyetujui tuntutan seperti itu. Menurutnya harta milik gereja adalah milik negara. Persoalan inilah yang mendorong Wycliffe mulai menyelidiki prinsip dasar kepemilikan dalam Alkitab. Ia menarik kesimpulan bahwa gereja seharusnya tidak memiliki harta duniawi. Gereja harus menjadi miskin dan sederhana seperti gereja pada masa Perjanjian Baru. Dalam hal ini Paus dikritik secara tajam oleh Wycliffe. Menurutnya, Paus dan konsili seharusnya berada di bawah hukum Allah karena Kristuslah Kepala Gereja. Oleh karena Kristus tidak pernah menahbiskan Paus, maka Paus tidak mempunyai kekuasaan dari Kristus. Bahkan sampai puncaknya, Wycliffe menyebut Paus sebagai Si Anti-Kristus.

Selain itu, Wycliffe juga mempertanyakan tentang penjualan kartu-kartu pengampunan dosa dan jabatan-jabatan gerejawi, penyembahan kepada para santo dan religi yang berbau takhayul. Ia mempertanyakan juga pandangan resmi tentang Ekaristi (doktrin transubstansiasi) yang dikeluarkan oleh Konsili Lateran Keempat. Untuk pandangan-pandangannya inilah Wycliffe sering harus berhadapan dengan para uskup dan konsili-konsili untuk disidang. Namun, Inggris pada dasarnya penuh sentimen terhadap Gereja Roma, khususnya pada tahun- tahun 1300-an. Para pangeran -- dan banyak orang awam yang memegang kepemimpinan yang sangat kuat di Inggris.-- menyesalkan cara Gereja merampas kekuasaan dan harta rakyat. Dalam hal inilah Wycliffe mendapat dukungan dari John Gaunt (Pangeran Lancaster). Dengan memanfaatkan kecerdasan Wycliffe, John Gaunt sering memakai ide-ide dan kepopuleran Wycliffe untuk berargumentasi dengan Gereja. Sebagai imbalannya, Pangeran John Gaunt memberi Wycliffe semacam perlindungan.

"Oleh karena Alkitab berisikan Kristus yang diperlukan untuk mendapatkan keselamatan, maka Alkitab sangat diperlukan bagi semua orang, bukan hanya bagi para imam saja."(Wycliffe)

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Pada tahun 1377, Wycliffe akhirnya diajukan ke persidangan dan diminta menghadap uskup London untuk mempertanggungjawabkan pandangan dan ajaran-ajaran sesat yang dituduhkan kepadanya. Namun, persidangan terpaksa dihentikan, sebelum Wycliffe sempat mengeluarkan sepatah kata pun, karena ternyata John Gaunt dan pemimpin persidangan beradu pendapat tentang bagaimana persidangan dijalankan, tentang apakah Wycliffe harus duduk atau berdiri. Namun sejak itu Paus mengutuk pandangan dan ajaran Wycliffe. Tulisan- tulisan Wycliffe mulai dilarang beredar.

Selama kritik Wycliffe adalah seputar kebusukan-kebusukan Paus dan tentang penyelewengan terhadap pengambilalihan hak milik gereja, maka Wycliffe merupakan pahlawan yang populer. Paus sangat geram terhadap Wycliffe dan memerintahkannya untuk berhenti berkotbah, bahkan meminta universitas Oxford untuk memecatnya, tetapi tidak berhasil karena Wycliffe mendapat perlindungan dari John Gaunt. Oxford justru mendukung Wycliffe. Dewan doktor di Oxford menyatakan bahwa tidak satupun tuduhan itu dapat membuktikan bahwa ajaran Wycliffe salah. Buku yang berjudul Protes akhirnya ditulis Wycliffe, sebagai pembelaan terhadap ajaran-ajarannya.

Namun, ketika Wycliffe mulai menyerang gereja dalam hal doktrin transubstansiasi, ia mulai kehilangan banyak pendukung. Hal lain yang terjadi yang akhirnya menyakitkan Wycliffe adalah Skisma Besar yang menyebabkan Inggris menjalin persekutuan dengan Roma dan Pemberontakan Petani (1381) yang dianggap merupakan hasil dari pengajarannya yang sesat. Akibatnya, tulisan-tulisannya dilarang, bahkan diperintahkan untuk dibakar. Wycliffe sendiri akhirnya kehilangan kedudukannya di Oxford dan dilarang berkhotbah. Para pengikutnya juga diusir dari Oxford.

Akibat pengusirannya ini, Wycliffe justru memanfaatkan waktunya untuk menerjemahkan Alkitab. Menurut Wycliffe, setiap orang harus diberi keleluasaan membaca Kitab Suci dalam bahasanya sendiri. "Oleh karena Alkitab berisikan Kristus yang diperlukan untuk mendapatkan keselamatan, maka Alkitab sangat diperlukan bagi semua orang, bukan hanya bagi para imam saja," tulisnya. Maka meskipun Gereja tidak setuju, ia bekerjasama dengan sarjana lain untuk menerjemahkan Alkitab bahasa Inggris pertama yang lengkap. Menggunakan salinan tulisan tangan Vulgata (Alkitab terjemahan bahasa Latin), Wycliffe berusaha keras membuat Kitab Suci agar dapat dimengerti oleh orang- orang sebangsanya. Edisi pertama diterbitkan. Penerbitan kedua mengalami perbaikkan tetapi baru selesai dikerjakan setelah Wycliffe meninggal. Edisi itu dikenal sebagai "Alkitab Wycliffe", dan dibagi-bagikan secara ilegal oleh para Lollard (skolar dari Oxford).

Karena kelemahan badan yang menyerangnya, Wycliffe akhirnya tinggal di Lutterworth dan menghabiskan waktunya di sana untuk menulis. Begitu produktifnya Wycliffe dalam menulis sampai membuat para musuhnya kagum. Pada tanggal 31 Desember 1384, Wycliffe meninggal karena serangan stroke. Tiga puluh satu tahun setelah Wycliffe dikuburkan, Konsili Konstanz mengucilkan dan menghukum dia. Pada tahun 1428 kuburannya digali dan tulang-tulangnya dibakar, abunya disebarkan di sungai Swift.

Pengaruh ajaran Wycliffe sangat kuat, khususnya keyakinannya yang sangat dalam terhadap otoritas Alkitab sehingga memberi inspirasi yang luar biasa bagi munculnya gerakan Reformasi di kemudian hari. Itu sebabnya sangat pantas jika John Wycliffe mendapat julukan "Si Bintang Fajar Reformasi", karena melalui semangatnya Reformasi mulai muncul seperti munculnya fajar di pagi hari.

Pada dasarnya Wycliffe berusaha untuk tetap bertahan di Gereja Roma, tetapi Gereja tidak lagi menghendakinya. Sesudah Wycliffe, para pengikutnya juga ditindak di Inggris, namun pandangan-pandangannya mulai tersebar dengan cepat ke Eropa. Diantara para pengikut Wycliffe muncul seorang murid Kristus yang setia dan mengikuti jejaknya, yaitu John Hus.

John Hus

John Hus dilahirkan di kota Husinetz, wilayah Bohemia Selatan, dari sebuah keluarga petani. Pendidikan dasar dan menengahnya ditempuh di Husinetz, tetapi kemudian melanjutkan studi teologinya ke Universitas Charles, di Praha, yang diselesaikannya tahun 1396.

John Hus

Di antara teman-teman sebayanya, John Hus dikenal sebagai seorang mahasiswa yang pandai. Kesukaannya membaca melebihi teman-temannya. Hampir semua macam buku dibacanya, baik itu buku-buku teologia yang diakui resmi oleh gereja maupun yang dianggap sesat oleh gereja, seperti halnya buku karangan para pembaharu gereja Bohemia, Milic, Yanov, dan buku-buku John Wycliffe, sang reformator Inggris. John Hus adalah seorang yang sangat ramah dan bersahabat dengan orang- orang di sekitarnya. Selain diakui sebagai seorang yang saleh, ia juga dianggap sebagai seorang yang mempunyai tingkah laku yang sangat terpuji.

Pada tahun 1401, ia ditahbiskan menjadi imam dan tahun 1402 diangkat menjadi rektor Universitas di Praha. Di kampus inilah John Hus menghabiskan sebagian besar waktunya. Namun, di samping tugasnya sebagai rektor, ia juga menjadi pengkhotbah rutin di Kapel Betlehem, sebuah kapel yang sangat berpengaruh, yang letaknya tidak jauh dari universitas itu. Di Kapel ini, Hus berkotbah dua kali sehari.

Kapel Bethlehem banyak dihiasi dengan lukisan-lukisan gambar Kristus dan Paus, tetapi dengan prilaku yang justru sangat berlawanan. Di satu sisi adalah gambar Kristus yang sedang berjalan tanpa alas kaki, di sisi lain gambar Paus yang sedang menunggang kuda. Di satu sisi gambar Yesus yang sedang membasuh kaki murid-murid-Nya, di sisi lain gambar Paus yang sedang diciumi kakinya. Hus sangat geram dengan sifat keduniawian para rohaniwan gereja saat itu, termasuk Paus. Pada kesempatan berkhotbah inilah ia terus menerus mengajarkan tentang kesucian pribadi dan kemurnian hidup. Namun, tak jarang ia gunakan kesempatan kotbahnya untuk mengkritik kehidupan gereja, khususnya para klerus, uskup dan juga kepausan. Dari semua kotbahnya sangat jelas terlihat bahwa ajaran tentang otoritas Alkitab adalah penekanan utamanya.

Di antara buku dan tulisan para reformator gereja pada abad pertengahan, Hus paling tertarik pada pandangan-pandangan Wycliffe. Meskipun John Wycliffe ada di Inggris, tetapi pengaruh tulisannya tersebar sampai ke Bohemia, bahkan sampai ke istana, khususnya ke saudara perempuan raja Bohemia, Anne, yang menikah dengan Raja Richard II dari Inggris. Hus lah yang menjadi penyebar utama ajaran-ajaran Wycliffe di Bohemia. Ajaran-ajaran Wycliffe dikuliahkannya kepada mahasiswanya, bahkan karangan Wycliffe "Trialogus" diterjemahkannya ke dalam bahasa Cekoslowakia. Banyak orang tertarik dengan ajaran yang baru itu sehingga Hus menjadi sangat terkenal, bahkan sampai ke kalangan aristokrat, termasuk sang ratu. Ketika pengaruh Hus di universitas semakin besar, maka semakin populerlah tulisan-tulisan Wycliffe.

Namun, dari pihak gereja, hal ini dipandang sebagai malapetaka. Uskup Agung Praha menolak ajaran Hus dan mulai memerintahkan Hus untuk berhenti berkhotbah. Namun, Hus menolak perintah tsb. Paus Innocentius VII (salah satu dari tiga Paus hasil Skisma Besar) memerintahkan Uskup Agung Bohemia untuk mengambil tindakan-tindakan perlawanan terhadap ajaran Wycliffe yang sudah dinyatakan sesat pada tahun 1407. Universitas secara khusus diperintahkan untuk membakar semua tulisan-tulisan Wycliffe. Paus John XXIII akhirnya menempatkan Praha di bawah "interdict" -- suatu tindakan untuk mengucilkan seluruh kota itu, sehingga tidak ada seorang pun di kota itu yang dapat menerima sakramen gereja. Demi jemaat, akhirnya Hus bersedia meninggalkan kota Praha. Namun, Hus mempunyai cukup banyak pendukung. Tantangan- tantangan yang dihadapi Hus justru membangkitkan semangat nasionalisme rakyat Bohemia, termasuk Raja Bohemia.

Di luar kota Praha Hus terus melanjutkan perjuangannya dengan mengembangkan perlawanan terhadap gaya hidup yang amoral dari kaum rohaniwan, termasuk Paus, bahkan menegaskan bahwa hanya Kristuslah Kepala Gereja, bukan Paus. Dalam bukunya yang berjudul "On the Church", Hus mencela otoritas kaum rohaniwan, tapi menekankan bahwa hanya Allah yang dapat mengampuni dosa. Menurut Hus, jika doktrin gereja bertentangan dengan ajaran Alkitab, ajaran Alkitablah yang harus dijunjung tinggi.

Pengajaran Hus tentang otoritas Alkitab inilah yang sangat menonjol, bahwa Alkitab adalah satu-satunya yang memiliki kewibawaan yang tertinggi dalam gereja. Kristus adalah Kepala yang memerintah gereja, bukan Paus. Semua ajaran gereja yang bertentangan dengan Alkitab ditolak oleh Hus, seperti penjualan surat penghapusan dosa, kehidupan mewah dan amoral dari para pejabat gereja, termasuk Paus, dan mendesak agar roti dan anggur dalam perjamuan juga harus diberikan kepada semua anggota jemaat.

Menyadari sangat berbahayanya ajaran-ajaran Wycliffe yang dipopulerkan oleh Hus, bagi Gereja Katolik Roma saat itu, maka Paus Gregorius memperingatkan Uskup Agung agar melakukan tindakan yang tegas terhadap Hus dan tulisan Wycliffe. Oleh karena itu, pada bulan Juni 1408, diadakan sidang sinode yang memutuskan untuk membrendel semua tulisan Wycliffe dan meminta Hus untuk tidak lagi mengajarkannya. Akibat dari keputusan tersebut Hus mengadakan perlawanan terhadap Uskup Agung. Hal yang tidak dapat dielakkan adalah terjadinya pergolakan dalam Universitas Praha karena ada sebagian orang yang mendukung Hus tapi ada juga yang melawan.

Namun demikian, Hus bertekad untuk menegakkan pengajaran yang ia yakini berdasarkan pada Alkitab. Selama hampir dua tahun ia mencoba mengadakan pembelaan lewat tulisan-tulisan dan khotbah-khotbahnya, sampai akhirnya Paus John XXIII menggunakan kekuasaannya untuk mengucilkan Hus dan para pendukungnya dari gereja. Raja Romawi, Sigismund sebenarnya menaruh simpati terhadap Hus. Itu sebabnya ia menawarkan bantuannya untuk menyelesaikan pertikaian Hus dengan Paus. Didesaknya John Hus untuk mau menghadiri konsili yang akan diadakan oleh Paus pada thun 1414. Pada pikirnya konsili yang akan membahas tentang tindakan-tindakan pembaharuan dalam gereja akan dapat mengakomodasi ide-ide Hus. Karena tempat diadakannya konsili adalah di Contanz, maka jika Hus bersedia menghadirinya, Sigismund menjanjikan keselamatan diri Hus, bahkan jika hasil konsili tidak menguntungkan Hus.

Itikat baik Raja Sigismund diterima dengan baik oleh Hus, sehingga ia setuju untuk menghadiri konsili dengan tujuan agar ia dapat mempertanggungjawabkan pandangan-pandangan teologinya yang dituduh menyesatkan jemaat. Namun, malapetaka menimpa diri Hus, setibanya di Contanz, John Hus ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Kesempatan untuk pembelaan diri dalam konsili ternyata tidak pernah diberikan, sebaliknya Hus dihadapkan ke beberapa kali persidangan dengan tuduhan-tuduhan yang sangat memojokkannya. Konsili akhirnya memutuskan untuk meminta Hus menarik kembali ajaran-ajarannya yang dianggap sesat, tetapi Hus menolak dengan tegas dan menuntut untuk suatu persidangan yang adil. Hus bersedia mengaku bersalah hanya jika konsili berhasil menunjukkan dari Alkitab bahwa ajarannya telah menyimpang. Untuk hal ini Hus tidak pernah mendapatkan jawaban dari sidang konsili. Selama delapan bulan masa persidangan yang silih berganti Hus dipaksa harus meringkuk di dalam penjara dan diperlakukan dengan tidak layak.

Sekali dua kali Raja Sigismund berusaha untuk membujuk anggota sidang konsili agar mereka mendengarkan pembelaan Hus. Namun, konsili menolak bahkan mengancam untuk mengucilkan Raja dari gereja jika ia terus mendesak konsili. Ancaman ini membuat Raja tidak berkutik untuk membela Hus, sehingga janji perlindungan Raja terhadap keselamatan Hus pun terpaksa harus dibatalkan dengan alasan bahwa janji terhadap penyesat tidak perlu ditepati.

Keadaan penjara dan masa persidangan yang panjang membuat kondisi fisik Hus menurun dengan drastis. Namun, di tengah kelemahan tubuh karena kurang tidur dan penyakit yang menyerangnya, serta desakan Raja agar Hus menyerah, Hus tetap menyatakan tidak bersalah, bahkan ia terus menuntut haknya untuk memberikan pembelaan diri atas tuduhan-tuduhan yang diberikan kepadanya. Pada sidang konsili ia berseru: "Meskipun ditawarkan sebuah kapel yang penuh dengan emas, saya tidak akan mundur dari kebenaran." Selama dalam penjara John Hus masih sempat menulis banyak surat kepada sahabat- sahabatnya di Bohemia. Surat-suratnya penuh memuat petunjuk- petunjuk bagi para pengikutnya, bahkan untuk beberapa tahun lamanya surat-surat itu menunjukkan wibawa yang besar.

Pada tanggal 6 Juli 1415, sidang konsili di hadapan jemaat membacakan tiga puluh tuduhan yang diberikan kepada ajaran Hus, yang mana tidak satu pun dari tuduhan itu betul. Gereja akhirnya memutuskan dengan resmi menyatakan bahwa Hus adalah pengajar sesat, jabatannya sebagai imam dicopot dan ia diserahkan kepada pihak otoritas sekuler untuk segera dihukum mati pada hari itu juga. Dalam perjalanan menuju tempat eksekusi, Hus melewati halaman sebuah gereja di mana sedang berkobar sebuah api unggun yang dibuat dari buku-bukunya. Hus masih sempat berseru kepada orang-orang yang berkumpul di jalan agar tidak mempercayai kebohongan yang beredar tentang dia dan ajarannya. Pada saat Hus siap dibakar mati di atas tiang pancang, yaitu hukuman paling keji yang pantas dijatuhkan bagi pengajar sesat zaman itu, pejabat pemerintah yang bertugas melaksanakan hukuman mati masih berharap agar Hus menarik kembali ajaran-ajarannya, tetapi Hus berkata: "Allah adalah saksi saya. Bukti yang mereka kemukakan salah. Saya tidak pernah mengajar atau berkotbah kecuali untuk maksud memenangkan manusia, jika mungkin, dari dosa mereka. Hari ini saya siap mati dengan gembira."

Walaupun John Hus telah mati dibakar hidup-hidup, tetapi pengajarannya masih terus dikumandangkan oleh para pengikutnya yang setia. Mereka menamakan diri Kaum Hussit. Selama beberapa waktu, pengikut kelompok ini dikejar-kejar dan dihambat dengan sangat kejam. Namun, pemerintah Bohemia dan Gereja Katolik Roma tidak mampu membendung semangat mereka. Setelah melewati perang Hussit yang panjang akhirnya Gereja Hussit diakui keberadaannya di Bohemia di samping Gereja Katolik Roma.

Abu jasad John Hus telah hanyut di sungai, tetapi semangat Hus untuk menegakkan pengajaran Alkitab yang murni tidak pernah dihanyutkan oleh zaman dan waktu. Pengaruh dari semangat dan kegigihan John Hus untuk membela kebenaran Alkitab telah membuka jalan bagi pencerahan rohani yang memuncak pada terjadinya Reformasi Gereja Protestan.

Audio:John Wycliffe dan John Hus

Sumber: 

Bahan disusun oleh Yulia Oeniyati dari sumber-sumber:

1.Judul Buku
Judul Artikel
 
Penulis
Penerbit
Halaman
 
:
:
 
:
:
:
Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja
1. Hus, John
2. Wycliffe, John
Drs. F.D. Wellem, M.Th.
PT BPK Gunung Mulia, Jakarta 1989
1. 134-136
2. 246-247
2.Judul Buku
Judul Artikel
 
Penulis
Penerbit
Halaman
 
:
:
 
:
:
:
100 Peristiwa Penting dalam Sejarah Kristen
1. John Hus, Dibakar pada Tiang Pancang
2. Wycliffe Mengawasi Penerjemahan Alkitab ke dalam Bahasa Inggris
A. Kenneth Curtis, dkk.
PT BPK Gunung Mulia, Jakarta 1991
1. 68-69
2. 66-67
3. Judul Buku
Judul Artikel
 
Penulis
Penerbit
Halaman
 
:
:
 
:
:
:
The New International Dictionary of the Christian Church
1. Hus, Jan
2. Wycliffe, John
J. D. Douglas
Zondervan Publishing House
1. 492-493
2. 1064-1065
4. Judul Buku
Judul Artikel
 
Penulis
Penerbit
Halaman
 
:
:
 
:
:
:
New Dictionary of Theology
1. Hus, John
2. Wyclif, John
Sinclair B. Ferguson
InterVarsity Press
1. 323 - 324
2. 732

Kematian Rohani dan Kehidupan Rohani

Dear Reformed Netters,

Howard F. Sugden dalam bukunya yang ditulis bersama-sama dengan Warren W. Wiersbe dan Paul R. Van Gorder, yang berjudul "Prioritas Seorang Pendeta" menuliskan:

"Ketika tiba saatnya untuk membicarakan tugas-tugas pelayanan pendeta, saya menyarankan agar digunakan kata 'gembala' sebagai salah satu istilah untuk menggambarkan pekerjaan yang harus dikerjakan oleh seorang hamba Tuhan dalam hubungan dengan jemaatnya (sebab istilah ini sesuai dengan Kitab Suci). Tetapi ada seseorang yang mengajukan sanggahan, 'Dewasa ini tidak seorang pun yang mengetahui apa gembala itu dan apa yang diperbuatnya dalam dunia kita sekarang ini.' Nampaknya ada pemikiran untuk memperbaharui anggaran dasar sekarang ini dan jangan kembali kepada jaman gembala dahulu.
Saya hampir tak sabar untuk kembali ke ruang belajar, membuka konkordansi dan kamus 'Theological Dictionary of the New Testament' karangan Kittel untuk menyegarkan kembali hati saya dengan kata 'gembala' yang dipakai untuk menyebut Tuhan kita dan hamba-Nya sepanjang jaman.

Editorial: 

Dear Reformed Netters,

Howard F. Sugden dalam bukunya yang ditulis bersama-sama dengan Warren W. Wiersbe dan Paul R. Van Gorder, yang berjudul "Prioritas Seorang Pendeta" menuliskan:

"Ketika tiba saatnya untuk membicarakan tugas-tugas pelayanan pendeta, saya menyarankan agar digunakan kata 'gembala' sebagai salah satu istilah untuk menggambarkan pekerjaan yang harus dikerjakan oleh seorang hamba Tuhan dalam hubungan dengan jemaatnya (sebab istilah ini sesuai dengan Kitab Suci). Tetapi ada seseorang yang mengajukan sanggahan, 'Dewasa ini tidak seorang pun yang mengetahui apa gembala itu dan apa yang diperbuatnya dalam dunia kita sekarang ini.' Nampaknya ada pemikiran untuk memperbaharui anggaran dasar sekarang ini dan jangan kembali kepada jaman gembala dahulu.
Saya hampir tak sabar untuk kembali ke ruang belajar, membuka konkordansi dan kamus 'Theological Dictionary of the New Testament' karangan Kittel untuk menyegarkan kembali hati saya dengan kata 'gembala' yang dipakai untuk menyebut Tuhan kita dan hamba-Nya sepanjang jaman. Saya menemukan bahwa kata 'gembala' atau 'domba' itu digunakan lebih dari empat puluh kali dalam kitab Perjanjian Baru, dan Kittel menjelaskan pokok itu sebanyak tujuh belas halaman.
Tapi betul juga teman saya yang membuat sanggahan itu. Siapakah orang yang hidup pada jaman ini; jaman dimana ada kota-kota besar dan ramai, jalan-jalan lintas cepat, dengan berbagai transportasi modern serta banyak tempat rekreasi, yang masih tahu memikirkan tentang 'domba' dan 'gembala'?"

Jika Anda adalah seorang "gembala" (pemimpin jemaat), ketika membaca kutipan di atas mungkin Anda merasa tersanjung mendapat sebutan sebagai seorang "gembala" karena Yesus sendiri menyebut diri sebagai "Gembala" dan tugas yang diemban oleh "gembala" sangatlah dihargai oleh Tuhan. Menjadi "gembala" merupakan panggilan yang mulia, melakukan tugas sebagai seorang "gembala" merupakan suatu "hak istimewa" yang tidak Tuhan berikan kepada setiap orang, tapi hanya kepada orang-orang tertentu saja.

Tapi jika Anda seorang "domba" (jemaat), maka kutipan di atas membuat anda merasa tersanjung, karena bagi "domba" memiliki "gembala" artinya seperti mendapatkan "hak istimewa" untuk dilayani. Maka tidak heran jika Anda menginginkan seorang "gembala" yang selalu siap sedia melayani dan melindungi 'domba-domba-Nya, kalau perlu 24 jam. Anda akan jengkel kalau mendengar "gembala" yang mengeluh atau mengharapkan pujian dari apa yang dilakukannya, karena sebagai seorang "gembala" sudah sepantasnya kalau ia menderita dan berkorban bagi domba-domba- Nya.

Melihat kontras dua pemikiran di atas, saya tertarik untuk mengutipkan beberapa surat-surat terbuka yang ditulis oleh 'domba-domba" yang ditujukan kepada "gembala-gembala"nya. Sangat menarik mengetahui apa yang dipikirkan oleh "domba-domba" tentang "gembala-gembala"nya. Namun sambil anda membaca kutipan surat-surat tsb., saya mengajak anda untuk merenungkan dan menjawab beberapa pertanyaan di bawah ini:

  1. Jika anda seorang "gembala" jemaat:
    1. Pernahkah anda memahami tugas berat yang harus diemban seorang "gembala"?
    2. Apa reaksi anda bila anda menerima surat-surat seperti itu?
    3. Inginkah anda menerima surat-surat seperti itu dari "domba- domba" anda?
    4. Dalam hal bagaimana anda pantas menerima pujian-pujian dari "domba-domba" anda?
    5. Dalam hal bagaimana anda pantas menerima kritikan-kritikan dari "domba-domba" anda?
  2. Jika anda seorang "domba" jemaat:
    1. Pernahkan anda memahami beratnya tugas seorang "gembala" jemaat?
    2. Pernahkah anda mensyukuri apa yang "gembala" anda lakukan bagi "domba-domba" jemaatnya?
    3. Bagaimana reaksi "gembala" anda jika anda menulis surat-surat seperti itu kepadanya?
    4. Pernahkah anda menyatakan penghargaan kepada 'gembala" anda secara terbuka?
    5. Apa pentingnya bagi "gembala" anda untuk mengetahui apa yang anda pikirkan tentang dia dan tugasnya?

Selamat merenungkan. Kiranya kiriman saya ini dapat menjadi berkat bagi ke dua belah pihak; "gembala" dan "domba".

In Christ,
Yulia

Penulis: 
R.C. Sproul
Edisi: 
033/X/2002
Isi: 

Pasal 5 (Bag. 1)
KEMATIAN ROHANI DAN KEHIDUPAN ROHANI: KELAHIRAN BARU DAN IMAN

Teologi "Reformed" terkenal dengan singkatan TULIP yang dibuat untuk meringkas apa yang disebut "Five points of Calvinism." TULIP dijabarkan sebagai berikut:

T
U
L
I
P
:
:
:
:
:
Total Depravity
Unconditional Election
Limited Atonement
Irresistible Grace
Perseverance of the Saints

TULIP ini telah membantu banyak orang untuk mengingat keunikan teologi "Reformed". Tetapi, TULIP juga telah banyak menimbulkan kebingungan dan kesalahmengertian. Sebuah singkatan biasanya dibuat berdasarkan kata-kata yang telah ada dan disusun sedemikian rupa supaya terlihat indah. Tetapi singkatan ini hanya berfungsi sebagai alat bantu untuk mengingat.

Persoalan pertama tentang TULIP ini adalah dengan huruf pertama. Total Depravity merupakan istilah yang bisa membawa pada konsep yang sangat menyesatkan. Konsep dari "Total Depravity" sering disamakan dengan "Utter Depravity." Dalam teologi "Reformed", "Total Depravity" berarti bahwa seluruh kemanusiaan kita telah jatuh ke dalam dosa. Artinya tidak ada satu bagian pun dari diri kita yang tidak terkena pengaruh dari Kejatuhan itu. Dosa mempengaruhi kehendak kita, hati kita, pikiran kita, dan tubuh kita. Saya kira apabila Adam tidak pernah berdosa, ia tidak akan pernah membutuhkan kacamata plus pada waktu ia mencapai usia setengah baya. Bahkan istilah setengah baya tidak akan berarti apa-apa bagi Adam. Karena, apabila Adam tidak jatuh ke dalam dosa, maka Adam tidak akan mengalami kematian. Bila seseorang hidup untuk selama-lamanya, maka masa setengah baya tentu tidak berlaku bagi dirinya.

"Total Depravity" juga menekankan fakta bahwa dosa telah mencapai pusat dari keberadaan kita. Dosa bukan merupakan sesuatu yang berakibat pada kulitnya saja, atau setitik noda yang mengotori manusia yang sempurna. Dosa berakibat sangat radikal, oleh karena dosa telah menyentuh akar kehidupan kita.

"Total Depravity" bukan "Utter Depravity." "Utter Depravity" berarti bahwa kita semua adalah orang yang berdosa, dimana tidak ada kebaikan lagi yang dapat dihasilkan dari kita. Kita tahu bahwa bukan begitu yang terjadi pada diri manusia. Karena, seberapa pun jauhnya kita telah berbuat dosa, kita masih tetap dapat memikirkan dosa yang lebih buruk yang dapat kita lakukan. Bahkan Adolf Hitler tidak membunuh ibu kandungnya sendiri.

Oleh karena "Total Depravity" sering disamakan artinya dengan "Utter Depravity", maka saya lebih suka memakai istilah "radical corruption" (pencemaran yang radikal) dari manusia, meskipun itu akan mengacaukan singkatan kita. Pengertian karakter dosa yang radikal mungkin merupakan konsep yang paling penting untuk kita mengerti jika kita akan menjelaskan doktrin predestinasi yang Alkitabiah. Sebagaimana yang telah saya singgung dalam pembahasan kita tentang ketidakmampuan moral manusia, ini merupakan inti dari seluruh perdebatan tersebut.

Saya teringat pada waktu mengajar teologi di sebuah Sekolah Teologi. Kelas itu terdiri dari 25 mahasiswa yang berasal dari berbagai denominasi. Pada awal kuliah tentang predestinasi, saya bertanya kepada mereka, berapa orang di antara mereka yang menganggap dirinya memiliki pandangan predestinasi Calvinis. Hanya satu orang yang mengangkat tangannya.

Kami mulai dengan pelajaran tentang keberdosaan manusia. Setelah saya memberikan kuliah selama beberapa hari tentang topik ini, kemudian saya bertanya lagi, "Berapa banyak di antara kalian yang yakin bahwa apa yang baru saja kalian pelajari itu merupakan doktrin keberdosaan manusia yang diajarkan oleh Alkitab?" Semua mahasiswa mengangkat tangannya. Saya bertanya, "Apakah kalian yakin?" Mereka menegaskan bahwa mereka sungguh-sungguh yakin. Saya memberi peringatan selanjutnya, "Hati-hatilah sekarang. Hal ini bisa datang lagi membayangi kalian dalam kuliah-kuliah yang berikutnya." Tetapi, mereka tetap menegaskan bahwa mereka yakin.

Pada waktu itu saya menulis tanggal hari itu di sudut papan tulis. Tepat di samping tanggal itu saya menuliskan angka 25. Saya melingkari catatan itu dan memohon supaya petugas tidak menghapus tulisan tersebut.

Beberapa minggu kemudian, kami mulai belajar doktrin predestinasi. Ketika saya tiba pada topik mengenal ketidakmampuan moral manusia, maka timbul protes keras dari para mahasiswa. Saya kemudian menunjuk pada sudut papan tulis serta menunjukkan catatan persetujuan mereka. Saya membutuhkan waktu dua minggu untuk meyakinkan mereka bahwa jika mereka sungguh-sungguh menerima pandangan Alkitab tentang pencemaran yang terjadi pada umat manusia, maka perdebatan tentang predestinasi telah selesai.

Secara singkat, saya akan berusaha untuk melakukan hal yang sama dalam bagian ini. Saya melanjutkan dengan peringatan yang sama.

PANDANGAN ALKITAB TENTANG PENCEMARAN UMAT MANUSIA

Marilah kita mulai pelajaran kita ini tentang tingkat kejatuhan manusia dengan memperhatikan surat Roma Pasal 3. Di sini Paulus menulis:

"Tidak ada yang benar, seorang pun tidak.
Tidak ada seorang pun yang berakal budi,
tidak ada seorang pun yang mencari Allah.
Semua orang telah menyeleweng,
mereka semua tidak berguna,
tidak ada yang berbuat baik, seorang pun tidak."
(Rm. 3:10-12)

Di sini kita melihat pencemaran umat manusia yang bersifat universal. Dosa itu berakibat sangat luas dan telah mencapai setiap orang tanpa terkecuali. Paulus memakai kata-kata yang tegas untuk memperlihatkan bahwa tidak ada pengecualian di antara manusia yang telah jatuh dalam dosa. Tidak ada seorang pun yang benar, tidak ada seorang pun yang berbuat baik.

Pernyataan "tidak ada yang berbuat baik, seorang pun tidak" adalah menentang asumsi kita yang telah membudaya. Kita bertumbuh menjadi dewasa serta mengetahui bahwa tidak ada seorang pun yang sempurna. Pernyataan bahwa kita adalah orang-orang berdosa merupakan pernyataan yang mudah kita terima, tetapi kita tidak dapat menerima pernyataan bahwa tak seorang pun diantara kita yang berbuat baik. Tidak ada satu orang pun di antara seribu orang yang mau mengakui bahwa dosa adalah masalah yang seserius ini.

Tidak ada seorang pun yang berbuat baik? Bagaimana mungkin hal itu dapat terjadi? Setiap hari kita melihat orang-orang tidak percaya kepada Allah yang berbuat kebaikan. Kita melihat mereka bersedia untuk berkorban, bekerja dengan rajin, hati-hati, dan jujur. Dan kita melihat orang-orang yang tidak percaya itu dengan seksama menaati batas kecepatan, sedangkan mobil-mobil lain, yang menempelkan slogan-slogan Kristen, melaju cepat menyusul mereka.

Paulus pasti menggunakan gaya bahasa hiperbola di sini. Ia pasti dengan sengaja membesar-besarkan dengan maksud menekankan apa yang ia ingin sampaikan. Tetapi sesungguhnya pasti ada manusia yang berbuat baik. Tidak, anggapan itu salah! Allah yang benar, melalui Paulus menyatakan bahwa tidak ada orang yang berbuat baik, seorang pun tidak.

Kita tersandung di sini, karena kita mempunyai pengertian yang relatif tentang arti "baik" itu. Sesungguhnya baik itu adalah istilah yang relatif pula. Sesuatu itu hanya dapat dinilai baik menurut standar tertentu. Kita memakai istilah itu sebagai perbandingan di antara manusia. Ketika kita mengatakan bahwa orang itu baik, maksud kita adalah orang itu baik bila dibandingkan dengan orang-orang lain. Tetapi standar tertinggi untuk kebaikan, yaitu standar yang akan dipakai untuk menghakimi kita, adalah Hukum Allah. Hukum itu bukanlah Allah, tetapi hukum itu datang dari Allah dan merefleksikan karakter Allah yang sempurna. Jika penilaian terhadap manusia didasarkan pada standar Allah itu, maka tidak ada seorang pun yang baik.

Menurut kategori Alkitab, kebaikan diukur dari dua segi. Pertama, kesesuaian lahiriah dengan hukum Allah. Artinya, jika Allah melarang mencuri, maka adalah baik untuk tidak mencuri. Adalah baik untuk mengatakan kebenaran. Adalah baik untuk membayar hutang atau rekening kita tepat pada waktunya. Adalah baik untuk menolong orang lain yang sedang membutuhkan. Perbuatan-perbuatan lahiriah ini dilakukan setiap hari. Oleh karena itu, pada waktu kita melihat orang melakukan kebaikan-kebaikan itu, maka dengan cepat kita menyimpulkan bahwa orang itu sesungguhnya melakukan hal-hal yang baik.

Kedua, cara penilaian yang kedua inilah yang membawa kita pada kesulitan. Karena, sebelum Allah menyatakan bahwa perbuatan itu "baik", Ia tidak hanya menilai kesesuaian tindakan luarnya dengan Hukum Allah, melainkan juga motivasinya. Kita melihat secara lahiriah saja, tetapi Allah melihat apa yang ada di dalam hati kita. Suatu tindakan dinilai baik apabila tindakan itu sesuai dengan Hukum Allah secara lahiriah, dan dilakukan dengan motivasi yang tulus yaitu untuk mengasihi Allah.

Kita ingat Hukum Allah yang terutama, yaitu mengasihi Tuhan Allahmu dengan segenap hati, dengan segenap kekuatan, dan dengan segenap akal budi...dan mengasihi sesama manusia seperti mengasihi diri sendiri. Setiap tindakan yang kita perbuat harus dimulai dari hati yang sepenuhnya mengasihi Allah.

Dari kerangka berpikir seperti ini, maka mudahlah bagi kita untuk melihat kenyataan bahwa tidak ada seorang pun yang berbuat baik. Tindakan-tindakan kita yang terbaik dinodai oleh motivasi yang tidak murni. Tidak ada seorang pun di antara kita yang pernah mengasihi Allah dengan segenap hati atau dengan segenap akal budinya. Ada unsur kedagingan kita yang selalu terlibat dalam semua tindakan kita, sehingga membuat tindakan kita tidak sempurna.

Jonathan Edwards menyatakan tentang konsep Pencerahan Interes Pribadi. Pencerahan Interes Pribadi menunjuk pada motivasi yang mendorong kita untuk melakukan tindakan lahiriah yang benar dan menahan diri terhadap dorongan-dorongan dari dalam diri kita sendiri yang mendorong kita untuk melakukan yang jahat. Ada waktu-waktu tertentu dan tempat-tempat tertentu di mana tindakan kriminal itu tidak menguntungkan. Jika tindakan kriminal itu menanggung resiko hukuman yang lebih berat dari pada upah yang kita terima, maka kita cenderung untuk tidak melakukannya. Sebaliknya, kita mungkin melakukan tindakan-tindakan yang saleh, tetapi hanya untuk mendapatkan sanjungan dari orang. Kita mungkin melakukan perbuatan-perbuatan tertentu yang baik, tetapi hanya untuk mendapat pujian dari guru atau penghargaan dari teman-teman kita.

Seluruh dunia menghargai para artis ketika mereka bersama-sama memproduksi rekaman sebuah album dengan tujuan khusus, yakni mengumpulkan dana untuk membantu bencana kelaparan di Etiopia. Tepukan dan sorakan biasanya tidak merugikan karier seorang artis. Meskipun ada pernyataan sinis yang mengatakan bahwa etika dan bisnis tidak berjalan bersama-sama. Sebaliknya, kebanyakan dari kita telah belajar bahwa etika mengembangkan reputasi kita dalam bisnis.

Saya tidak berpikir sebegitu sinis dengan anggapan bahwa apa yang dilakukan oleh para artis bagi Etiopia itu hanya sekedar untuk mendapatkan pujian bagi si artis itu sendiri semata-mata atau sekedar pertunjukan umum. Pasti ada motivasi yang kuat atas dasar belas kasihan dan perhatian terhadap orang-orang yang kelaparan. Tetapi, saya tidak berfikir sebegitu naif bahwa motivasi mereka sama sekali terlepas dari interes (kepentingan) pribadi. Belas kasihan mereka dapat dikatakan lebih besar dari pada interes pribadi mereka sendiri, tetapi betapapun kecilnya, pasti ada unsur interes pribadi yang terkandung di dalamnya. Hal ini selalu terjadi di dalam diri kita. Jika kita menyangkal akan hal ini, maka saya curiga bahwa penyangkalan kita tersebut sebagian dimotivasi oleh interes pribadi kita.

Kita mau menyangkali dugaan ini. Kita merasakan dalam hati kita sendiri bahwa kadang-kadang kita memiliki perasaan untuk melakukan sesuatu hanya sekedar untuk memenuhi kewajiban belaka. Kita suka beranggapan bahwa kita benar-benar tidak mementingkan diri sendiri. Tetapi tidak pernah seorang pun menyanjung kita lebih dari kita menyanjung diri kita sendiri. Kadang-kadang motivasi kita mungkin lebih cenderung kepada hal mementingkan orang lain, tetapi motivasi kita tidak pernah secara sempurna demi kepentingan orang lain.

Allah menuntut kita untuk sempurna. Tidak seorang pun di antara kita yang dapat melakukan perbuatan sampai pada taraf yang sempurna. Kita tidak pernah melakukan apa yang Allah perintahkan. Karena itu, tentu rasul Paulus tidak berlebih-lebihan. Penilaian-Nya adalah akurat. Tidak ada orang yang berbuat baik, seorang pun tidak. Tuhan Yesus sendiri menekankan hal ini pada waktu Ia berbicara dengan orang muda yang kaya. "... Tak seorangpun yang baik selain dari pada Allah saja" (Luk. 18:19).

Pernyataan yang lain dalam surat Roma, yang sama sukarnya dengan pernyataan ini, bisa lebih mencemaskan kita, khususnya bagi orang Kristen Injili yang berbicara dan berpikir bertentangan dengan pernyataan tersebut. Paulus menyatakan, "Tidak ada seorang pun yang mencari Allah."

Berapa kalikah Anda mendengar orang Kristen berkata, atau Anda sendiri pernah mengatakannya, "Si anu bukan orang Kristen, tetapi ia sedang mencari-cari?" Ini merupakan pernyataan yang biasa di dengar di kalangan orang Kristen. Idenya adalah bahwa ada manusia di dunia ini yang sedang mencari Allah. Persoalan mereka adalah bahwa mereka belum mampu untuk menemukan Dia. Ia sedang bermain "sembunyi-sembunyian". Ia sukar untuk diketemukan.

Di Taman Eden, pada saat dosa masuk ke dalam dunia, siapakah yang bersembunyi? Yesus datang ke dunia ini untuk mencari dan menyelamatkan yang tersesat. Bukan Yesus yang bersembunyi. Allah bukanlah buronan. Kita yang terus melarikan diri. Alkitab menyatakan bahwa orang fasik melarikan diri padahal tidak ada seorang pun yang mengejarnya. Seperti apa yang ditandaskan oleh Luther, "Orang yang tidak percaya Allah gemetar pada bunyi kerisik sehelai daun yang tertiup oleh angin." Ajaran Alkitab yang sama menyatakan bahwa manusia yang jatuh dalam dosa melarikan diri dari Allah. Tak seorang pun yang mencari Allah.

Ajaran Alkitab begitu jelas memaparkan bahwa tidak ada seorang pun yang mencari Allah. Tetapi, mengapa orang Kristen bersikeras untuk menyatakan bahwa ada orang yang sedang mencari Allah tetapi orang itu belum menemukan Dia? Thomas Aquinas memberikan sedikit penjelasan tentang hal ini. Aquinas berkata bahwa kita dibingungkan dengan dua tindakan manusia yang serupa tapi tak sama. Kita melihat orang-orang yang berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan pikiran yang damai, kebebasan dari kesalahan, makna dan tujuan hidup, dan penerimaan yang penuh kasih. Kita tahu bahwa akhirnya hal-hal ini hanya dapat ditemukan di dalam Allah. Karena itu kita menyimpulkan bahwa oleh karena manusia sedang mencari hal-hal ini, maka mereka pasti sedang mencari Allah.

Manusia tidak mencari Allah. Mereka mencari keuntungan-keuntungan yang hanya dapat diberikan oleh Allah. Dosa dari manusia yang telah jatuh ke dalam dosa adalah: Manusia mencari keuntungan-keuntungan dari Allah dan pada waktu yang sama mereka melarikan diri dari Allah itu sendiri. Kita pada dasarnya adalah buronan.

Alkitab berulang kali memerintahkan kepada kita untuk mencari Allah. Perjanjian Lama berseru, "Carilah Tuhan selama Ia berkenan ditemui..." (Yes. 55:6). Yesus bersabda,"... Carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu" (Mat. 7:7). Kesimpulan yang dapat kita ambil dari teks ini adalah bahwa oleh karena kita diperintahkan untuk mencari Allah, maka hal itu pasti berarti bahwa, biarpun kita dalam status telah jatuh ke dalam dosa, tetapi kita tetap mempunyai kemampuan moral untuk mencari-Nya. Tetapi kepada siapakah sebenarnya ayat-ayat ini ditujukan? Di dalam Perjanjian Lama, mereka adalah bangsa Israel yang dipanggil untuk mencari Tuhan. Di dalam Perjanjian Baru, ayat-ayat itu ditujukan kepada orang percaya yang dipanggil untuk mencari kerajaan Allah.

Kita mungkin pernah mendengar seorang hamba Tuhan mengutip dari kitab Wahyu: "Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok; jikalau ada orang yang mendengar suara-Ku dan membukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya dan Aku makan bersama-sama dengan dia, dan ia bersama-sama dengan Aku" (Wahyu 3:20). Biasanya hamba Tuhan mengaplikasikan ayat ini kepada orang yang belum bertobat, dengan berkata, "Yesus sedang mengetok pintu hatimu. Jika engkau membuka pintu, maka Ia akan masuk." Padahal sebenarnya Yesus menujukan ayat ini kepada jemaat-Nya. Ayat ini sebenarnya bukan merupakan seruan penginjilan.

Jadi, orang yang tidak percaya tidak pernah mencari Allah berdasarkan kekuatannya sendiri atau inisiatifnya sendiri. Orang yang tidak percaya tidak akan mencari. Orang yang tidak percaya tidak akan mengetok. Mencari adalah urusan/kesibukan orang-orang percaya. Edwards berkata, "Mencari kerajaan Allah adalah urusan/kesibukan utama dalam kehidupan orang Kristen." Mencari adalah akibat atau hasil dari iman, bukan penyebab dari iman.

Ketika kita bertobat kepada Kristus, kita memakai kata menemukan untuk mengekspresikan pertobatan kita. Kita mengatakan bahwa kita telah menemukan Kristus. Kita mungkin mempunyai sejumlah stiker dengan tulisan, "SAYA TELAH MENEMUKANNYA" Pernyataan ini benar. Tetapi dalam arti sebagai berikut: Pada saat kita menemukan Kristus, saat itu bukan merupakan akhir dari pencarian kita, melainkan awal dari pencarian kita. Biasanya, pada saat kita mendapatkan apa yang kita cari, hal itu merupakan tanda berakhirnya pencarian kita. Tetapi, ketika kita "mendapatkan" Kristus, itu adalah awal dari pencarian kita. Kehidupan orang Kristen dimulai pada saat pertobatan, dan kehidupan ini tidak berakhir pada saat dimulai. Kehidupan ini bertumbuh, bergerak dari iman kepada iman, dari anugerah kepada anugerah, dari hidup kepada hidup. Gerakan pertumbuhan ini digerakkan oleh pencarian akan Allah secara terus menerus.

Ada satu hal lagi yang perlu kita pelajari secara singkat dari surat Roma pasal 3. Rasul Paulus tidak hanya menyatakan bahwa tidak ada seorangpun yang mencari Allah, tetapi ia juga menambahkan bahwa "mereka semua tidak berguna." Kita harus ingat bahwa di sini Paulus sedang berbicara mengenai manusia yang telah jatuh ke dalam dosa, manusia alamiah, manusia yang belum bertobat. Ini adalah gambaran tentang manusia yang masih berada di dalam kedagingannya.

Apa yang dimaksudkan Paulus dengan "Tidak berguna"? Sebelumnya Yesus pernah berbicara tentang hamba yang tidak berguna. Berguna harus dikaitkan dengan nilai yang positif. Orang yang belum bertobat, berjalan dalam kedagingan, tidak menghasilkan nilai yang kekal. Dalam kedagingannya ia boleh mendapatkan seluruh dunia ini tetapi kehilangan hal yang paling berharga dari dirinya sendiri, yaitu jiwanya sendiri. Harta milik yang paling bernilai yang dapat dimiliki seseorang adalah Kristus. Ia adalah mutiara yang termahal. Memiliki Yesus Kristus berarti memiliki keuntungan/manfaat yang terbesar.

Seseorang yang mati secara rohani, maka ia, dengan kedagingannya, tidak dapat mendapatkan manfaat apa-apa dari Kristus. Ia dilukiskan sebagai orang yang tidak memiliki rasa takut akan Allah (Roma 3:18). Orang yang tidak benar, yang tidak berbuat baik, yang tidak pernah mencari Allah, yang sama sekali tak berguna, dan yang tidak takut akan Allah, tidak pernah mengarahkan hatinya kepada Kristus.


Pasal 5 (Bag. 2)
KEMATIAN ROHANI DAN KEHIDUPAN ROHANI: KELAHIRAN BARU DAN IMAN

(Oleh : R.C. Sproul)

KEBANGKITAN DARI KEMATIAN ROHANI

Penyembuhan bagi kematian rohani adalah dengan cara penciptaan kehidupan rohani di dalam jiwa kita oleh Allah Roh Kudus. Ringkasan pekerjaan ini diberikan kepada kita dalam Surat Efesus:

"Kamu dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa- dosamu. Kamu hidup di dalamnya, karena kamu mengikuti jalan dunia ini, karena kamu mentaati penguasa kerajaan angkasa, yaitu roh yang sekarang sedang bekerja di antara orang-orang durhaka. Sebenarnya dahulu kami semua juga terhitung di antara mereka, ketika kami hidup di dalam hawa nafsu daging dan menuruti kehendak daging dan pikiran kami yang jahat. Pada dasarnya kami adalah orang-orang yang harus dimurkai, sama seperti mereka yang lain. Tetapi Allah yang kaya dengan rahmat, oleh karena kasih- Nya yang besar, yang dilimpahkan-Nya kepada kita, telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita--oleh kasih karunia kamu diselamatkan-- dan di dalam Kristus Yesus Ia telah membangkitkan kita juga dan memberikan tempat bersama-sama dengan Dia di sorga, supaya pada masa yang akan datang Ia menunjukkan kepada kita kekayaan kasih karunia-Nya yang melimpah-limpah sesuai dengan kebaikan-Nya terhadap kita dalam Kristus Yesus. Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri. Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya"(Ef. 2:1-10).

Di sini kita menemukan satu perikop tentang predestinasi yang sangat baik dan jelas. Perhatikanlah bahwa sepanjang perikop tersebut Paulus sangat menekankan akan kekayaan anugerah Allah. Kita tidak boleh meremehkan anugerah Allah itu. Perikop ini memproklamasikan kehidupan yang baru yang diciptakan oleh Roh Kudus di dalam diri kita.

Pekerjaan Roh Kudus ini kadang-kadang disebut "quickening" (pembangkitan kembali/pekerjaan menghidupkan kembali). Kata ini hampir tidak pernah kita dengar dalam percakapan sehari-hari. Istilah ini secara eksklusif dipakai untuk melukiskan suatu peristiwa yang terjadi pada waktu kehamilan. "Quickening" menunjuk pada perasaan yang pertama kali dirasakan oleh seorang wanita, yaitu adanya suatu kehidupan dari bayi yang ada di dalam kandungannya.

"Quickening" (pembangkitan kembali/hal menghidupkan kembali) di bagian lain dari Alkitab disebut "regeneration" (kelahiran baru). Istilah "regeneration" itu sendiri berarti "a generating again" (hal membangkitkan lagi atau hal menyebabkan terjadi/mulai lagi). "To generate" berarti menyebabkan terjadi/mulai. Contohnya kitab pertama dalam Alkitab merupakan tentang permulaan-permulaan yang disebut "Genesis". kata depan re berarti "lagi". Kata regeneration berarti memulai lagi sesuatu. Jadi yang kita bicarakan di sini adalah permulaan yang baru suatu kehidupan, yaitu permulaan kehidupan rohani.

Gambaran mengenai kehidupan ini dikontraskan dengan gambaran mengenai kematian. Manusia yang telah jatuh ke dalam dosa dilukiskan sebagai manusia yang telah "mati di dalam dosanya". Untuk membuat manusia yang telah mati di hadapan Allah ini menjadi hidup di hadapan Allah, maka Allah harus melakukan sesuatu "terhadap" dan "untuk" dia. Orang yang telah mati tidak dapat menghidupkan dirinya sendiri. Orang yang telah mati tidak dapat menciptakan kehidupan rohani di dalam dirinya sendiri. Paulus dengan sangat jelas menyatakan bahwa hanya Allah yang dapat menghidupkan kembali manusia itu, dan hanya Allah saja yang dapat membangkitkan/menghidupkan kita dari kematian rohani.

Manusia yang telah jatuh dalam dosa adalah mati di dalam dosa. Ia dilukiskan di sini sebagai orang yang "pada dasarnya adalah orang yang dimurkai." Pola kehidupan orang yang telah jatuh ke dalam dosa adalah "mengikuti jalan dunia ini." Ketaatannya bukanlah kepada Allah, melainkan kepada penguasaan kerajaan angkasa. Paulus menandaskan bahwa ini bukan hanya merupakan kondisi dari orang-orang berdosa yang paling buruk, melainkan kondisi Paulus sendiri dan saudara-saudaranya yang seiman sebelum bertobat. ("Sebenarnya dahulu kami semua juga terhitung di antara mereka, ketika kami hidup di dalam hawa nafsu daging dan menurut kehendak daging dan pikiran kami yang jahat...").

Kebanyakan, pandangan presdestinasi dari "Non-Reformed" tidak secara serius memperhatikan fakta bahwa manusia yang telah jatuh dalam dosa itu adalah mati secara rohani. Kaum Injili yang lain mengakui bahwa manusia telah jatuh ke dalam dosa dan kejatuhan manusia itu merupakan hal yang serius. Mereka bahkan mengakui bahwa dosa merupakan persoalan yang berakibat radikal. Mereka tidak ragu-ragu untuk mengemukakan bahwa manusia itu tidak hanya sekedar sakit, tetapi sakit yang bersifat kekal, sakit sampai mati. Tetapi manusia belum mati. Manusia masih memiliki nafas kehidupan rohani yang kecil yang tertinggal di dalam tubuhnya. Manusia masih memiliki sedikit kebenaran dalam hatinya, sedikit kemampuan moral yang tertinggal dalam kejatuhannya.

Saya pernah mendengar dua ilustrasi dari seorang hamba Tuhan yang memohon pertobatan dari para pendengarnya. Ilustrasi pertama adalah sebuah analogi tentang seseorang yang menderita penyakit yang mematikan. Orang berdosa sama seperti seseorang yang menderita penyakit yang mematikan. Ia tidak mampu untuk menyembuhkan dirinya sendiri dari penyakit itu. Ia terbaring di atas tempat tidur dengan keadaan hampir lumpuh total. Ia tidak dapat sembuh jika Allah tidak memberikan obat yang dapat menyembuhkannya. Orang itu sedemikian buruk kondisinya sehingga ia tidak mampu mengulurkan tangannya untuk menerima obat itu. Oleh karena itu, Allah bukan hanya menawarkan obat itu tetapi Allah harus meletakkan obat itu pada sebuah sendok dan kemudian menyodorkan pada mulut orang itu. Kalau Allah tidak melakukan hal itu, maka orang itu pasti meninggal. Tetapi walaupun Allah telah melakukan 99% dari apa yang harus diperbuat-Nya, orang itu masih tetap harus melakukan yang 1%lagi. Ia harus membuka mulutnya untuk memakan obat itu. Ini adalah saatnya bagi kehendak bebas untuk berperan, di mana keputusan yang diambil oleh orang itu akan menentukan apakah dia akan ke surga atau ke neraka. Orang yang membuka mulutnya untuk menerima pemberian obat itu akan diselamatkan. Sebaliknya, orang yang tetap mengatupkan mulutnya akan binasa.

Analogi ini hampir saja dengan benar menafsirkan pengajaran Alkitab dan pengajaran Paulus tentang anugerah kelahiran baru. Tetapi analogi tersebut tidak sepenuhnya tepat. Alkitab tidak membicarakan orang berdosa yang menderita sakit yang mematikan. Menurut Paulus, orang berdosa telah mati. Tidak ada sedikitpun kehidupan rohani yang teringgal di dalam dirinya. Jikalau orang berdosa mau dijadikan hidup, Allah harus berbuat lebih banyak dari pada sekedar memberikan obat baginya. Orang mati tidak akan membuka mulutnya untuk menerima apapun yang disodorkan. Rahang mereka sudah terkunci dalam kematian itu. Orang berdosa harus dibangkitkan dari kematiannya itu. Orang berdosa harus dibangkitkan dari kematian. Orang berdosa harus menjadi ciptaan baru yang diciptakan oleh Kristus dan dilahirkan kembali oleh Roh Kudus.

Ilustrasi kedua berikut ini merupakan ilustrasi yang juga sangat terkenal dalam usaha penginjilan. Dalam ilustrasi yang kedua ini, manusia yang telah jatuh ke dalam dosa digambarkan sebagai seseorang yang sedang tenggelam dan tidak dapat berenang. Orang ini telah timbul tenggelam cukup lama di dalam air. Jikalau ia terbenam ke dalam air sekali lagi, maka ia akan mati. Harapan satu-satunya ialah Allah melemparkan alat penyelamat kepadanya. Allah lalu melemparkan alat penyelamat itu tepat di sisi jari-jari orang yang akan tenggelam itu. Yang harus dilakukan orang itu supaya diselamatkan adalah memegang erat penyelamat itu. Jika ia memegang alat itu, maka Allah akan menariknya ke darat. Sebaliknya apabila ia menolak alat penyelamat itu, maka ia pasti akan binasa.

Sekali lagi, dalam ilustrasi ini jelas menunjukkan penekanan yang sama: ketidakberdayaan manusia tanpa pertolongan Allah. Orang yang tenggelam itu berada dalam kondisi serius. Ia tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri. Tetapi, ia masih hidup. Ia masih dapat mengulurkan jari-jarinya serta memegang erat alat penyelamat itu. Jari-jarinya merupakan penghubung yang krusial dengan keselamatan dirinya. Nasibnya dalam kekekalan bergantung kepada apa yang dilakukannya dengan jari-jari tangannya itu.

Paulus berkata bahwa manusia telah mati. Manusia tidak hanya akan tenggelam, melainkan ia telah tenggelam di dasar lautan. Oleh karena itu, tidak ada gunanya melemparkan alat penyelamat kepada seorang yang sudah tenggelam. Menurut saya, apa yang dimaksudkan oleh Paulus ialah Allah menyelam ke dalam air serta menarik orang mati itu dari dasar lautan dan kemudian melakukan tindakan ilahi, yaitu menghembuskan nafas kepada orang mati itu dan memberikan hidup yang baru kepadanya.

Adalah penting untuk mengerti bahwa regenerasi itu berhubungan dengan hidup baru. Regenerasi berarti kelahiran baru atau dilahirkan kembali. Orang sering kali bingung dalam hal ini. Kelahiran baru yang disebut dalam Alkitab dikaitkan dengan kehidupan baru yang merupakan milik kita di dalam Kristus. Sama seperti di dalam ilmu biologi natural bahwa tidak akan ada kehidupan tanpa kelahiran, demikian pula halnya dalam hal-hal yang supranatural, yaitu tidak akan ada kehidupan baru tanpa kelahiran baru.

Kelahiran dan kehidupan memang berkaitan erat, tetapi keduanya bukan hal yang sama. Kelahiran adalah awal dari kehidupan yang baru. Kelahiran merupakan saat yang menentukan. Kita mengerti hal itu dalam masalah biologi yang umum. Setiap tahun kita merayakan hari kelahiran kita. Kita tidak sama dengan ratu dalam cerita Alice in wonderland yang merayakan semua hari yang bukan hari kelahirannya. Kelahiran adalah pengalaman satu kali. Hari itu bisa dirayakan tetapi tidak bisa di ulangi. Ini adalah momen transisi yang menentukan apakah seseorang itu sudah dilahirkan atau belum.

Demikian pula halnya dengan kelahiran kembali secara rohani. Kelahiran kembali menghasilkan kehidupan yang baru. Kelahiran kembali itu merupakan awal dari kehidupan baru tetapi bukan merupakan keseluruhan dari kehidupan yang baru. Kelahiran baru adalah momen transisi yang penting dari kematian rohani kepada kehidupan rohani. Seseorang tidak pernah dilahirkan kembali secara sebagian. Oleh karena itu, hanya ada satu kemungkinan: orang itu sudah dilahirkan baru atau belum dilahirkan baru.

Pengajaran Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa regenerasi merupakan pekerjaan Allah semata-mata. Kita tidak dapat melahirbarukan diri kita sendiri. Daging tidak dapat menghasilkan roh. Regenerasi merupakan tindakan penciptaan. Allah yang melakukan penciptaan itu.

Dalam teologi ada istilah teknis yang dapat membantu kita untuk lebih mengerti masalah ini, yaitu monergisme, yang berasal dari dua akar kata. Mono artinya "satu". Monopoli merupakan suatu usaha yang memiliki pasaran untuk dirinya sendiri. "Monoplane" merupakan pesawat terbang dengan single-winged (berbaling-baling satu). Erg menunjuk pada satuan usaha. Dari kata itu kita mendapat kata umum yang selalu dipakai yaitu energi.

Menggabungkan kedua akar kata tersebut, maka kita mendapatkan arti "one-working" (usaha satu pihak). Ketika kita mengatakan bahwa regenerasi adalah monergistik, maksud kita adalah bahwa hanya satu pihak saja yang melakukan pekerjaan itu. Pihak itu adalah Allah Roh Kudus. Dialah yang melahirbarukan kita. Kita tidak mampu untuk melakukannya sendiri, atau membantu-Nya untuk melaksanakan tugas itu.

Seolah-olah kita memperlakukan manusia seperti boneka. Boneka dibuat dari bahan kayu. Boneka tidak dapat memberikan tanggapan. Boneka itu lembam, tanpa kehidupan. Boneka itu digerakkan dengan tali-tali dalam pertunjukan panggung boneka. Tetapi, kita tidak berbicara tentang boneka. Manusia tidak sama dengan boneka. Kita berbicara tentang manusia yang merupakan mayat secara rohani. Manusia ini tidak memiliki hati yang terbuat dari serbuk gergaji, tetapi terbuat dari batu. Manusia ini tidak digerakkan oleh tali-temali. Secara biologis manusia ini masih hidup. Manusia ini dapat bergerak dan bertindak. Manusia ini membuat keputusan-keputusan, tetapi mereka tidak pernah mengambil keputusan bagi Allah.

Setelah Anda melahirbarukan jiwa manusia, yaitu setelah Allah membuat kita hidup kembali secara rohani, kita melakukan pemilihan. Kita percaya. Kita memiliki iman. Kita bersandar kepada Kristus. Perihal kita percaya kepada Kristus itu tidak diputuskan oleh Allah. Allah tidak memutuskan hal percaya itu bagi kita. Tetapi, kita sendirilah yang memutuskan untuk percaya kepada Kristus setelah kita dilahirbarukan oleh Allah. Jadi, iman itu tidak bersifat monergistic (one-working atau usaha satu pihak) seperti kelahiran baru.

Sebelumnya, kita telah membahas tentang keadaan yang buruk dari manusia yang telah jatuh ke dalam dosa dan status dari kehendak manusia itu. Kita menegaskan bahwa walaupun manusia telah jatuh ke dalam dosa, tetapi ia tetap memiliki kehendak bebas, dalam pengertian bahwa ia masih dapat melakukan pemilihan/memilih. Masalah manusia berdosa, yang kita definisikan sebagai ketidakmampuan secara moral, adalah tidak adanya keinginan untuk memilih Kristus. Manusia itu tidak mau dan tidak mempunyai inklinasi untuk memilih Kristus. Manusia harus memiliki keinginan untuk memilih Kristus terlebih dahulu, sebelum ia dapat memilih Kristus. Oleh karena itu, jika manusia manusia itu tidak mempunyai keinginan untuk memiliki Kristus, maka ia tidak akan pernah bersedia menerima Kristus.

Dalam kelahiran baru, Allah mengubah hati kita. Allah memberikan kepada kita karakter yang baru dan kecenderungan yang baru. Ia menanamkan keinginan terhadap Kristus di dalam hati kita. Kita tidak akan pernah percaya kepada Kristus untuk memperoleh keselamatan jika kita tidak terlebih dahulu memiliki keinginan akan Kristus. Itulah sebabnya kami mengatakan bahwa regenerasi mengawali atau mendahului iman. Tanpa kelahiran baru, kita tidak memiliki keinginan akan Kristus, kita tidak memilki keinginan akan Kristus. Tanpa keinginan akan Kristus, kita tidak akan pernah memilih Kristus. Karena itu, kita menyimpulkan bahwa sebelum seseorang akan percaya, dan sebelum seseorang akan percaya, dan sebelum seseorang dapat percaya, Allah terlebih dahulu harus mengubah karakter hati orang tersebut.

Tindakan Allah untuk melahirbarukan kita adalah merupakan tindakan anugerah. Mari kita lihat kembali Efesus 2:4-5.

"Tetapi Allah yang kaya dengan rahmat, oleh karena kasih-Nya yang besar, yang dilimpahkan-Nya kepada kita, telah menghidupkan kita..."

Ada sebuah cindera mata pada meja tulis saya yang disulam oleh seorang wanita di sebuah gereja yang pernah saya layani. Pada cindera mata yang sederhana itu tertulis satu kata saja yakni "Tetapi". Ketika Paulus berbicara mengenai keadaan kerohanian manusia yang telah jatuh ke dalam dosa, pembicaraan itu cukup membuat kita putus asa. Akhirnya sampai kepada kata penting yang membuat kita bisa bernafas lega. "Tetapi". Tanpa kata "tetapi" ini, maka kita diperhadapkan pada kebinasaan. Kata "tetapi" ini menunjuk pada esensi dari kabar baik itu.

Paulus berkata, "Tetapi Allah, yang kaya dengan rahmat..." Perhatikan bahwa ia tidak berkata, "Tetapi manusia, yang kaya dengan rahmat." Hanya Allah saja yang membuat kita hidup. Kapankah Ia melakukan hal itu? Paulus tidak membiarkan kita untuk menebak. Ia berkata, "...ketika kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita." Ini adalah anugerah yang sangat ajaib, karena diberikan kepada kita ketika kita berada dalam kematian rohani.

Paulus menyimpulkan bahwa hal itu semata-mata merupakan anugerah dan bukan hasil usaha manusia. Sebagaimana yang ia nyatakan dalam kesimpulan berikut, "Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman, itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah." Ayat ini harus menjadi meterai bagi masalah ini untuk selama-lamanya. Iman yang menyelamatkan kita merupakan pemberian. Ketika rasul Paulus mengatakan bahwa itu bukan keluar dari diri kita, ia tidak bermaksud bahwa iman itu bukan iman kita. Sekali lagi, Allah tidak membuat kepercayaan itu untuk kita. Iman merupakan iman kita sendiri, tetapi iman itu tidak berasal dari kita. Iman itu diberikan kepada kita. Pemberian itu bukan merupakan hasil usaha kita atau diberikan oleh karena kita layak menerimanya, tetapi merupakan pemberian yang berdasarkan anugerah semata-mata.

Sepanjang "Reformed" Protestan, ada tiga slogan yang menjadi sangat terkenal. Slogan itu dinyatakan dalam bahasa latin: Sola fide, Sola gratia, dan Solo deo gloria. Ketiga slogan ini saling berkaitan erat satu dengan yang lain. Ketiga slogan itu tidak boleh dipisahkan satu dengan yang lain. Slogan itu berarti: Hanya dengan iman, Hanya dengan anugerah, dan Kemuliaan hanya bagi Allah saja.

ANUGERAH YANG TIDAK DAPAT DITOLAK (IRRESSISTIBLE GRACE)

Kebanyakan orang Kristen setuju bahwa pekerjaan Allah dalam regenerasi merupakan anugerah. Titik permasalahan yang telah membuat kita menjadi kelompok-kelompok adalah persoalan tentang apakah anugerah ini dapat ditolak atau tidak dapat ditolak. Apakah mungkin jika seseorang menerima anugerah kelahiran baru tetapi di dalam diri orang itu tetap tidak timbul iman kepada Kristus?

Kaum Calvinis akan menjawab dengan tegas : "Tidak!" Tetapi bukan dalam pengertian bahwa anugerah keselamatan Allah itu secara harfiah tidak bisa ditolak. Sekali lagi kita terbentur pada singkatan TULIP. Kita telah merubah singkatan TULIP menjadi RULIP dan sekarang kita akan mengubahnya lagi menjadi RULEP.

Istilah Irresitible grace dapat menyelewengkan arti yang sebenarnya. Kaum Calvinis percaya bahwa manusia dapat menolak dan benar-benar menolak anugerah Allah. Pertanyaannya adalah, "Apakah anugerah regenerasi dapat gagal untuk menyelesaikan tujuannya?" Patut diingat bahwa manusia yang mati secara rohani adalah masih hidup secara biologis. Mereka masih memiliki kehendak untuk berpaling dari Allah. Mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk menolak anugerah Allah. Sejarah Israel merupakan sejarah kekerasan hati manusia dan sejarah ketegartengkukan manusia yang berulang kali menolak anugerah Allah.

Anugerah Allah dapat ditolak dalam pengertian bahwa kita dapat menolaknya dan memang pada dasarnya kita menolaknya. Anugerah Allah tidak dapat ditolak dalam pengertian bahwa anugerah Allah pasti mencapai tujuannya. Anugerah Allah telah menjadikan kerinduan Allah menjadi kenyataan. Oleh karena itu, saya lebih suka memakai istilah effectual grace, atau anugerah yang efektif.

Kita sedang berbicara mengenai anugerah kelahiran baru. Pada waktu kelahiran baru, Allah menciptakan keinginan terhadap Diri-Nya Sendiri di dalam diri manusia. Dan pada saat keinginan itu ditanamkan dalam diri kita, kita tetap akan bertindak sebagaimana biasanya, yakni kita membuat pilihan/memilih berdasarkan motivasi yang terkuat pada waktu itu. Jadi, apabila Allah memberikan kepada kita keinginan terhadap Kristus, maka kita akan bertindak berdasarkan keinginan itu. Kita pasti akan memilih objek dari keinginan yang ada di dalam diri kita itu, yaitu kita akan memilih Kristus. Pada saat Allah menghidupkan kita secara rohani, maka kita menjadi hidup secara rohani. Allah tidak sekedar menciptakan suatu kemungkinan untuk menjadi hidup secara rohani. Allah sungguh-sungguh menciptakan kehidupan secara rohani di dalam diri kita. Pada saat Allah berfirman, maka terciptalah segala sesuatu yang Ia Firmankan.

Kita berbicara mengenai "panggilan internal dari Allah." Panggilan internal dari Allah memiliki kuasa dan keefektifan yang sama dengan penggilan-Nya ketika ia menciptakan dunia ini. Allah tidak mengundang dunia untuk menjadi ada. Dengan mandat Ilahi-Nya Allah berfirman, "Jadilah terang!" maka jadilah terang itu, dan tidak dapat terjadi sesuatu yang berbeda dengan apa yang difirmankan oleh Allah. Terang itu harus mulai bersinar seketika itu juga.

Apakah Lazarus dapat tinggal dalam kuburan pada waktu Yesus memanggilnya keluar? Yesus berseru, "Lazarus marilah ke luar!" Lazarus segera keluar dari kuburan itu. Ketika Allah melakukan tindakan menciptakan, Allah menggunakan kuasa yang hanya dimiliki oleh Allah sendiri. Hanya Allah yang memiliki kuasa untuk menjadikan sesuatu dari yang tidak ada, dan menjadikan kehidupan dari kematian.

Sampai pada pernyataan ini, kita menemukan lebih banyak kebingungan lagi. Saya teringat akan pelajaran pertama yang pernah saya dengar dari John Gerstner, yaitu berkenaan dengan topik predestinasi. Pada waktu pelajaran diberikan, Dr. Gerstner diinterupsi oleh seorang murid yang mengangkat tangannya. Gerstner kemudian memberikan kesempatan kepada murid itu. Murid itu bertanya, "Dr. Gerstner, apakah saya dapat berasumsi bahwa Bapak adalah seorang Calvinis?" Gerstner menjawab, "Ya!" dan ia melanjutkan lagi pelajarannya. Beberapa menit kemudian Gerstner berbalik bertanya kepada muridnya, "Apakah definisimu tentang seorang Calvinis?"

Murid itu menjawab, "Seorang Calvinis adalah orang yang percaya bahwa Allah memaksa sejumlah orang untuk memilih Kristus dan menghalangi yang lain untuk dapat memilih Kristus." Gerstner sangat terkejut. Ia berkata, "Jikalau itu merupakan definisi seorang Calvinis, maka saya pasti bukan termasuk seorang Calvinis."

Pengertian yang salah akan anugerah yang tidak dapat ditolak telah tersebar luas. Pada suatu waktu saya pernah mendengar seorang rektor dari sebuah Seminari Presbiterian menyatakan, "Saya bukan seorang Calvinis, karena saya tidak percaya bahwa Allah memaksa sejumlah orang untuk masuk ke dalam Kerajaan Surga, padahal sebenarnya orang-orang tersebut menolak mati-matian akan kehendak Allah ini. Dan pada saat yang sama, Allah mengesampingkan orang-orang yang mati-matian ingin masuk ke dalam Kerajaan Surga."

Saya menjadi tercengang mendengar perkataan ini. Saya tidak mengira bahwa seorang rektor seminari Presbiterian dapat memiliki pandangan yang begitu menyimpang dan mengajarkan teologi itu pada gerejanya. Ia sedang menunjukkan gambaran dirinya yang sangat menyimpang dari Calvinisme yang sebenarnya.

Calvinisme tidak pernah mengajarkan bahwa Allah memaksa sejumlah orang yang mati-matian tidak mau untuk masuk ke dalam Kerajaan Surga, dan mengesampingkan orang-orang yang sangat ingin masuk ke sana. Perlu diingat bahwa butir yang paling utama dari doktrin predestinasi "Reformed" adalah terletak pada pengajaran Alkitab tentang kematian rohani manusia. Manusia secara natural tidak menginginkan Kristus. Manusia baru dapat menginginkan Kristus jika Allah menanamkan keinginan terhadap Kristus di dalam hatinya. Pada waktu kerinduan itu telah ditanamkan di dalam dirinya, maka manusia yang datang pada Kristus itu tidak akan datang sambil berteriak-teriak oleh karena dipaksa untuk melakukan sesuatu yang melawan kehendaknya sendiri. Mereka datang karena mereka ingin datang. Mereka sekarang menginginkan Kristus. Mereka segera berlari kepada Sang Juru selamat. Anugerah yang tidak dapat ditolak adalah kelahiran baru yang menghidupkan seseorang ke dalam kehidupan rohani sedemikian rupa, sehingga dapat melihat sifat baik Yesus yang tidak dapat mereka tolak. Yesus menjadi Pribadi yang tidak dapat ditolak oleh orang-orang yang telah dihidupkan keinginannya pada hal-hal yang berhubungan dengan Allah. Setiap jiwa yang hatinya berdegup dengan kehidupan di dalam Allah, maka orang itu akan selalu rindu kepada Kristus yang hidup. Semua yang Bapa berikan kepada Kristus akan datang kepada Kristus (Yoh. 6:37).

Istilah "Anugerah yang Efektif" dapat menghindarkan kita dari kebingungan. Anugerah yang Efektif merupakan anugerah yang secara efektif mewujudkan apa yang Allah inginkan.

Apakah perbedaan pandangan ini dengan pandangan regenerasi dari "Non-Reformed"? Alternatif lain yang sangat populer adalah pandangan Prevenient Grace.

PREVENIENT GRACE

Prevenient Grace adalah anugerah yang datang sebelum/mendahului sesuatu. Secara umum didefinisikan sebagai suatu pekerjaan yang Allah lakukan bagi setiap orang. Allah memberikan kepada semua orang anugerah yang cukup sehingga setiap orang dimungkinkan untuk dapat memberikan tanggapan yang benar kepada Yesus. Dengan kata lain, anugerah Allah cukup untuk memungkinkan seseorang dapat memilih Kristus. Orang-orang yang bersedia untuk bekerja sama dengan Allah dan mau menerima anugerah Allah ini adalah "orang-orang pilihan." Mereka yang menolak untuk bekerja sama dengan anugerah Allah ini adalah orang-orang yang terhilang."

Keunggulan dari pandangan ini adalah mengakui bahwa kondisi rohani menusia yang telah jatuh ke dalam dosa adalah sangat parah sehingga anugerah Allah dibutuhkan untuk menyelamatkannya. Kelemahan pandangan ini dapat dilihat dari dua segi. Pertama, jikalau prevenient grace ini hanya sekedar merupakan terobosan secara eksternal bagi manusia, maka keadaannya sama dengan analogi obat dari tali penyelamat yang sudah dibahas sebelumnya. Apakah manfaat prevenient grace jika diberikan dari luar kepada ciptaan yang mati secara rohani?

Pada segi lain, jikalau "prevenient grace" menunjuk pada sesuatu yang Allah perbuat di dalam hati manusia yang telah jatuh ke dalam dosa, maka pertanyaan kita adalah: "Mengapa anugerah Allah ini tidak selalu efektif?" Mengapa ada manusia yang memutuskan untuk bekerja sama dengan "prevenient grace", dan ada manusia yang tidak mau? Bukankah setiap orang mendapatkan porsi "prevenient grace" yang sama?

Cobalah memikirkan hal ini, bagaimana kalau saudara sendiri yang mengalami secara pribadi. Saudara sebagai orang Kristen tentu dapat melihat orang-orang di sekitar Saudara yang bukan Kristen. Apakah yang membuat Saudara memilih Kristus? Mengapa Saudara berkata, "ya" kepada "prevenient grace" sedangkan mereka mengatakan "tidak"? Apakah karena saudara lebih benar daripada mereka? Apabila demikian, maka itu berarti Saudara memiliki sesuatu yang dapat dibanggakan. Apakah kebenaran Saudara itu merupakan hal yang dicapai oleh usaha Saudara sendiri, atau kebenaran itu merupakan hasil pemberian Allah? Apabila kebenaran itu merupakan hasil usaha Saudara sendiri, maka pada dasarnya keselamatan Saudara bergantung kepada kebenaran Saudara sendiri. Apabila kebenaran itu merupakan pemberian Allah, lalu mengapa Allah tidak memberikan hal yang sama kepada setiap orang?

Mungkin bukan karena Saudara lebih benar dari pada orang lain. Mungkin karena Saudara lebih pandai dari mereka. Mengapa Saudara dapat lebih pandai? Apakah karena Saudara belajar lebih banyak (yang artinya sama dengan Saudara lebih benar dari orang lain)? Atau Saudara lebih pandai oleh karena Allah mengaruniakan kepandaian kepada Saudara yang Allah tidak berikan kepada orang lain?

Yang pasti, kebanyakan orang Kristen yang menganut pandangan "prevenient grace" ini menjadi kecil nyalinya menghadapi jawaban-jawaban seperti di atas. Mereka melihat kecongkakan terselubung di dalam jawaban itu. Walaupun biasanya mereka akan menjawab, "Tidak, saya memilih Kristus karena saya menyadari kebutuhan saya yang sangat serius akan Dia."

Ungkapan tersebut tentu saja nampaknya lebih rendah hati. Tetapi saya harus mengajukan pertanyaan lain. Mengapa Saudara dapat menyadari kebutuhan yang sangat serius akan Kristus sementara sesama Saudara tidak demikian? Apakah karena Saudara lebih benar dari sesama Saudara, atau lebih pandai dari mereka?

Pertanyaan utama bagi pendukung pandangan "prevenient grace" adalah: Mengapa ada orang yang bekerja sama dengan anugerah Allah dan ada orang yang tidak? Jawaban kita terhadap pertanyaan ini akan menyatakan kepercayaan atas keselamatan: keselamatan macam apa yang kita dapatkan.

Pertanyaan berikutnya adalah: "Apakah Alkitab mengajarkan doktrin "prevenient grace" kepada kita? Apabila "ya", di mana?

Kita menyimpulkan bahwa keselamatan kita adalah dari Tuhan. Dialah yang melahirbarukan kita. Orang yang telah dilahirbarukan pasti akan datang kepada Kristus. Jika tidak ada regenerasi maka tak seorang pun akan pernah datang kepada Kristus. Jika kita mengalami regenerasi, maka tidak ada seorang pun yang akan pernah menolak Dia. Anugerah keselamatan Allah itu mengefektifkan apa yang akan Allah kehendaki atas diri seseorang, sehingga apa yang Allah kehendaki itu terlaksana dengan efektif.

RINGKASAN PASAL LIMA:

  1. Keselamatan kita terjadi berdasarkan inisiatif Allah. Allah Roh Kudus yang membebaskan manusia dari belenggu dosa. Allah Roh Kudus yang telah meniupkan nafas kehidupan rohani ke dalam diri kita dan membangkitkan kita dari kematian rohani.
  2. Kondisi kita sebelum dibangkitkan adalah mati secara rohani. Kematian secara rohani ini lebih parah dari pada penyakit yang mematikan. Tidak ada kehidupan rohani sedikitpun di dalam diri kita jika Allah sendiri tidak menghidupkannya.
  3. Jika tidak ada kelahiran baru, maka tak seorang pun akan datang kepada Kristus. Semua orang yang telah dilahirkan baru pasti datang kepada kepada Kristus. Orang yang mati terhadap hal-hal yang berhubungan dengan Allah akan tetap mati terhadap Allah jika Allah tidak menghidupkannya kembali. Orang yang dibangkitkan oleh Allah akan hidup di hadapan Allah. Keselamatan adalah berasal dari Tuhan.

Sumber: 

Sumber diambil dari:
(Bag. 1)

Judul Buku
Judul Artikel
Penulis
Penerbit
Halaman
:
:
:
:
:
Kaum Pilihan Allah
Kematian Rohani dan Kehidupan Rohani: Kelahiran Baru dan Iman
R.C. Sproul
SAAT Malang, 1998
93-104

(Bag. 2)
Judul Buku
Judul Artikel
Penulis
Penerbit
Halaman
:
:
:
:
:
Kaum Pilihan Allah
Kematian Rohani dan Kehidupan Rohani: Kelahiran Baru dan Iman
R.C. Sproul
SAAT Malang, 1998
104-119

Surat-surat Terbuka kepada Pendeta

Editorial: 

Dear Reformed Netters,

Howard F. Sugden dalam bukunya yang ditulis bersama-sama dengan Warren W. Wiersbe dan Paul R. Van Gorder, yang berjudul "Prioritas Seorang Pendeta" menuliskan:

"Ketika tiba saatnya untuk membicarakan tugas-tugas pelayanan pendeta, saya menyarankan agar digunakan kata 'gembala' sebagai salah satu istilah untuk menggambarkan pekerjaan yang harus dikerjakan oleh seorang hamba Tuhan dalam hubungan dengan jemaatnya (sebab istilah ini sesuai dengan Kitab Suci). Tetapi ada seseorang yang mengajukan sanggahan, 'Dewasa ini tidak seorang pun yang mengetahui apa gembala itu dan apa yang diperbuatnya dalam dunia kita sekarang ini.' Nampaknya ada pemikiran untuk memperbaharui anggaran dasar sekarang ini dan jangan kembali kepada jaman gembala dahulu.
Saya hampir tak sabar untuk kembali ke ruang belajar, membuka konkordansi dan kamus 'Theological Dictionary of the New Testament' karangan Kittel untuk menyegarkan kembali hati saya dengan kata 'gembala' yang dipakai untuk menyebut Tuhan kita dan hamba-Nya sepanjang jaman. Saya menemukan bahwa kata 'gembala' atau 'domba' itu digunakan lebih dari empat puluh kali dalam kitab Perjanjian Baru, dan Kittel menjelaskan pokok itu sebanyak tujuh belas halaman.
Tapi betul juga teman saya yang membuat sanggahan itu. Siapakah orang yang hidup pada jaman ini; jaman dimana ada kota-kota besar dan ramai, jalan-jalan lintas cepat, dengan berbagai transportasi modern serta banyak tempat rekreasi, yang masih tahu memikirkan tentang 'domba' dan 'gembala'?"

Jika Anda adalah seorang "gembala" (pemimpin jemaat), ketika membaca kutipan di atas mungkin Anda merasa tersanjung mendapat sebutan sebagai seorang "gembala" karena Yesus sendiri menyebut diri sebagai "Gembala" dan tugas yang diemban oleh "gembala" sangatlah dihargai oleh Tuhan. Menjadi "gembala" merupakan panggilan yang mulia, melakukan tugas sebagai seorang "gembala" merupakan suatu "hak istimewa" yang tidak Tuhan berikan kepada setiap orang, tapi hanya kepada orang-orang tertentu saja.

Tapi jika Anda seorang "domba" (jemaat), maka kutipan di atas membuat Anda merasa tersanjung, karena bagi "domba" memiliki "gembala" artinya seperti mendapatkan "hak istimewa" untuk dilayani. Maka tidak heran jika Anda menginginkan seorang "gembala" yang selalu siap sedia melayani dan melindungi 'domba-domba-Nya, kalau perlu 24 jam. Anda akan jengkel kalau mendengar "gembala" yang mengeluh atau mengharapkan pujian dari apa yang dilakukannya, karena sebagai seorang "gembala" sudah sepantasnya kalau ia menderita dan berkorban bagi domba-domba- Nya.

Melihat kontras dua pemikiran di atas, saya tertarik untuk mengutipkan beberapa surat-surat terbuka yang ditulis oleh 'domba-domba" yang ditujukan kepada "gembala-gembala"nya. Sangat menarik mengetahui apa yang dipikirkan oleh "domba-domba" tentang "gembala-gembala"nya. Namun sambil Anda membaca kutipan surat-surat tsb., saya mengajak Anda untuk merenungkan dan menjawab beberapa pertanyaan di bawah ini:

  1. Jika Anda seorang "gembala" jemaat:
    1. Pernahkah Anda memahami tugas berat yang harus diemban seorang "gembala"?
    2. Apa reaksi Anda bila Anda menerima surat-surat seperti itu?
    3. Inginkah Anda menerima surat-surat seperti itu dari "domba-domba" Anda?
    4. Dalam hal bagaimana Anda pantas menerima pujian-pujian dari "domba-domba" Anda?
    5. Dalam hal bagaimana Anda pantas menerima kritikan-kritikan dari "domba-domba" Anda?
  2. Jika Anda seorang "domba" jemaat:
    1. Pernahkan Anda memahami beratnya tugas seorang "gembala" jemaat?
    2. Pernahkah Anda mensyukuri apa yang "gembala" Anda lakukan bagi "domba-domba" jemaatnya?
    3. Bagaimana reaksi "gembala" Anda jika Anda menulis surat-surat seperti itu kepadanya?
    4. Pernahkah Anda menyatakan penghargaan kepada 'gembala" Anda secara terbuka?
    5. Apa pentingnya bagi "gembala" Anda untuk mengetahui apa yang Anda pikirkan tentang dia dan tugasnya?

Selamat merenungkan. Kiranya kiriman saya ini dapat menjadi berkat bagi ke dua belah pihak; "gembala" dan "domba".

In Christ,
Yulia

Edisi: 
032/IX/2002
Isi: 

"Ketika tiba saatnya untuk membicarakan tugas-tugas pelayanan pendeta, saya menyarankan agar digunakan kata 'gembala' sebagai salah satu istilah untuk menggambarkan pekerjaan yang harus dikerjakan oleh seorang hamba Tuhan dalam hubungan dengan jemaatnya (sebab istilah ini sesuai dengan Kitab Suci). Tetapi ada seseorang yang mengajukan sanggahan, 'Dewasa ini tidak seorang pun yang mengetahui apa gembala itu dan apa yang diperbuatnya dalam dunia kita sekarang ini.' Nampaknya ada pemikiran untuk memperbaharui anggaran dasar sekarang ini dan jangan kembali kepada zaman gembala dahulu.

Saya hampir tak sabar untuk kembali ke ruang belajar, membuka konkordansi dan kamus Theological Dictionary of the New Testament karangan Kittel untuk menyegarkan kembali hati saya dengan kata 'gembala' yang dipakai untuk menyebut Tuhan kita dan hamba-Nya sepanjang jaman. Saya menemukan bahwa kata 'gembala' atau 'domba' itu digunakan lebih dari empat puluh kali dalam kitab Perjanjian Baru, dan Kittel menjelaskan pokok itu sebanyak tujuh belas halaman.

Tapi betul juga teman saya yang membuat sanggahan itu. Siapakah orang yang hidup pada jaman ini; jaman dimana ada kota-kota besar dan ramai, jalan-jalan lintas cepat, dengan berbagai transportasi modern serta banyak tempat rekreasi, yang masih tahu memikirkan tentang 'domba' dan 'gembala'?"

Gereja

Jika Anda adalah seorang "gembala" (pemimpin jemaat), ketika membaca kutipan di atas mungkin Anda merasa tersanjung mendapat sebutan sebagai seorang "gembala" karena Yesus sendiri menyebut diri sebagai "Gembala" dan tugas yang diemban oleh "gembala" sangatlah dihargai oleh Tuhan. Menjadi "gembala" merupakan panggilan yang mulia, melakukan tugas sebagai seorang "gembala" merupakan suatu "hak istimewa" yang tidak Tuhan berikan kepada setiap orang, tapi hanya kepada orang-orang tertentu saja.

Tapi jika Anda seorang "domba" (jemaat), maka kutipan di atas membuat Anda merasa tersanjung, karena bagi "domba" memiliki "gembala" artinya seperti mendapatkan "hak istimewa" untuk dilayani. Maka tidak heran jika Anda menginginkan seorang "gembala" yang selalu siap sedia melayani dan melindungi 'domba-domba-Nya, kalau perlu 24 jam. Anda akan jengkel kalau mendengar "gembala" yang mengeluh atau mengharapkan pujian dari apa yang dilakukannya, karena sebagai seorang "gembala" sudah sepantasnya kalau ia menderita dan berkorban bagi domba-domba- Nya.

Melihat kontras dua pemikiran di atas, saya tertarik untuk mengutipkan beberapa surat-surat terbuka yang ditulis oleh 'domba-domba" yang ditujukan kepada "gembala-gembala"nya. Sangat menarik mengetahui apa yang dipikirkan oleh "domba-domba" tentang "gembala-gembala"nya. Namun sambil Anda membaca kutipan surat-surat tsb., saya mengajak Anda untuk merenungkan dan menjawab beberapa pertanyaan di bawah ini:

  1. Jika Anda seorang "gembala" jemaat:
    1. Pernahkah Anda memahami tugas berat yang harus diemban seorang "gembala"?
    2. Apa reaksi Anda bila Anda menerima surat-surat seperti itu?
    3. Inginkah Anda menerima surat-surat seperti itu dari "domba-domba" Anda?
    4. Dalam hal bagaimana Anda pantas menerima pujian-pujian dari "domba-domba" Anda?
    5. Dalam hal bagaimana Anda pantas menerima kritikan-kritikan dari "domba-domba" Anda?
  2. Jika Anda seorang "domba" jemaat:
    1. Pernahkan Anda memahami beratnya tugas seorang "gembala" jemaat?
    2. Pernahkah Anda mensyukuri apa yang "gembala" Anda lakukan bagi "domba-domba" jemaatnya?
    3. Bagaimana reaksi "gembala" Anda jika Anda menulis surat-surat seperti itu kepadanya?
    4. Pernahkah Anda menyatakan penghargaan kepada "gembala" Anda secara terbuka?
    5. Apa pentingnya bagi "gembala" Anda untuk mengetahui apa yang Anda pikirkan tentang dia dan tugasnya?

Selamat merenungkan. Kiranya kiriman saya ini dapat menjadi berkat bagi ke dua belah pihak; "gembala" dan "domba".

In Christ,
Yulia


SURAT-SURAT TERBUKA KEPADA PENDETA

# Surat (1)

Bapak Pendeta yang baik!

Mungkin Bapak Pendeta merasa luar biasa mendengarkan kabar dari saya. Sebelumnya saya tidak pernah berbicara kepada Bapak Pendeta dan Bapak juga tidak pernah bertanya kepada saya. Saya malu untuk menyebutkan hal-hal ini, tetapi bagi saya itu penting dan saya ingin Bapak mengetahuinya.

Pertama, saya ingin mengucapkan banyak terima kasih atas pengabdian Bapak untuk melayani dan memimpin kami, sampai-sampai Bapak pernah tidak dapat hadir pada perayaan hari ulang tahun anak perempuan Bapak. Berapa kali istri Bapak menunggu untuk makan malam, atau Bapak harus makan makanan yang sudah dingin, bahkan makan sendirian. Pasti, Bapak ingat kesedihan putra Bapak yang berumur 10 tahun karena Bapak tidak dapat menyaksikan dia waktu pertama kali main dalam pertandingan sepak bola.

Setelah saya berterima kasih kepada Bapak, saya ingin menyarankan agar Bapak memberi perhatian yang selayaknya kepada keluarga Bapak. Bersenang-senanglah dengan mereka dan cintailah mereka, sebab hal itu termasuk melayani-Nya. Doronglah para pendeta muda untuk menyediakan waktu bagi keluarga mereka.

Kedua, saya ingin menyarankan kepada Bapak untuk menarik pelajaran dari kebungkaman saya selama bertahun-tahun, sehingga Bapak mulai bercakap-cakap dengan anggota-anggota jemaat. Tanyalah apa yang terjadi dalam kehidupan kami. Beberapa dari kami ingin sekali mengeluarkan apa yang ada dalam hati kami, sedangkan yang lain perlu didorong. Tanyalah bagaimana caranya meningkatkan pelayanan Bapak, dan bagaimana gereja kita bisa lebih maju. Percayalah dan mintalah kepada Tuhan kebijaksanaan, belas kasihan, dan kekuatan untuk mencapai umat-Nya dan memenuhi kebutuhan mereka.

Ketiga, izinkan saya mendorong Bapak agar tetap dalam keyakinan yang dinyatakan oleh Roh Kudus kepada Bapak. Saya tahu bahwa lebih mudah untuk kompromi atau mengabaikan dosa dan ketidakadilan, namun akibatnya ialah Kristus yang dicela dan pelayanan gereja akan kurang efektif. Sudah sering kami tidak mengatakan apa-apa, karena takut orang yang mendengar akan merasa tersinggung. Tempatkan pria dan wanita yang rohani dalam posisi pimpinan. Dengan demikian gereja akan lebih bertambah maju dan kuat.

Akhirnya, yang paling penting menyerahkan diri kepada Yesus Kristus. Biasanya, manusia merasa bangga dapat menemukan sesuatu sendiri. Memang, dengan kekuatan sendiri kita dapat berbuat kebajikan dan bisa melayani dengan baik dalam jabatan kita. Tetapi ini bukanlah cara Tuhan. Tuhan hanya senang kalau kita mengesampingkan keakuan kita dan mengizinkan Tuhan bekerja melalui kita. Maka, kekuatan-Nya, hikmat-Nya, dan belas kasihan-Nya itulah yang akan menjangkau dan melayani umat-Nya. Dengan demikian kebutuhan umat-Nya dicukupi, dan segala hormat kemuliaan diberikan kepada Tuhan.

Terima kasih atas kesediaan Bapak Pendeta untuk mendengarkan saran saya. Saya puji Tuhan karena kasih dan untuk semua yang Tuhan sudah lakukan bagi kami melalui Bapak Pendeta.

Hormat saya di dalam kasih-Nya.

# Surat (2)

Bapak Pendeta yang kekasih,

Pada hari-hari belakangan ini di mana banyak pendeta terus-menerus dikritik oleh jemaat yang tidak tahu berterima kasih, maka saya sungguh-sungguh berterima kasih kepada Bapak atas semua pekerjaan yang Bapak laksanakan demi gereja kita. Bapak tetap bersama-sama kami ketika.....

.....ada orang-orang Kristen yang belum dewasa meskipun dengan maksud baik hampir-hampir membuat perpecahan di gereja pada waktu rapat anggota gereja.

.....anggota-anggota gereja lama tetap berpegang pada pAndangan yang kolot sehingga menghambat kemajuan.

.....seorang gadis remaja dari keluarga terpAndang kedapatan hamil sebelum menikah.

....pasangan suami istri muda yang terancam perceraian datang kepada Bapak untuk konsultasi.

Bapak setia memberitakan Firman Allah. Karena demikian, maka kami melihat hal-hal ini terjadi......

......seorang suami yang belum selamat yang telah kita doakan selama bertahun-tahun, akhirnya diselamatkan.

......banyak kaum muda kini telah menikah dan membangun rumah tangga Kristen serta aktif dalam gereja.

.....majelis gereja telah mengambil alih lebih banyak tanggung jawab dalam gereja.

.....jemaat kita sangat lapar akan Firman Allah dan dengan penuh perhatian mendengarkan ajaran Firman Allah yang Bapak berikan.

Maka dari itu jangan menyerah! Tuhan memberkati gereja kita. Walaupun tidak sering saya mengatakan hal ini, tetapi sebetulnya Bapak adalah orang yang paling saya hormati dalam hidup ini. Saya mendoakan Bapak beserta keluarga Bapak setiap hari. Tuhan pasti menyediakan pahala yang istimewa karena pelayanan Bapak.

Terima kasih karena saya merasa diberkati oleh pelayanan Bapak.

Salam dari seorang anggota Bapak.

# Surat (3)

Bapak pendeta yang terkasih,

Saya hanya ingin minta waktu Bapak Pendeta beberapa menit untuk mengucapkan terima kasih atas pelayanan Bapak yang setia kepada kami.

Sebab gereja kita ini besar, saya kira akan mudah diperlakukan secara umum saja, yaitu sebagai satu jemaat. Tetapi Bapak benar- benar memperhatikan setiap individu. Bapak banyak meluangkan waktu untuk mengenal orang yang memerlukan pelayanan. Saya sering melihat Bapak menolong orang yang baru menerima Kristus, mengajar dan membimbing mereka dalam hidup mereka yang baru. Bapak telah menunjukkan mereka bagaimana mereka harus hidup dengan iman. Bapak mengajar kelas khusus di gereja bagi petobat-petobat baru dan menunjukkan mereka bagaimana mempelajari Alkitab.

Saya sangat menghargai cara Bapak mempraktekkan cara hidup orang Kristen dalam hidup sehari-hari. Hal itu nyata bagi kami sekalian karena Bapak menaruh perhatian kepada orang lain. Sekian.

Hormat dari seorang anggota yang sangat berterima kasih.

# Surat (4)

Bapak Pendeta yang terkasih,

Saya hanya bisa mengucapkan terima kasih dan sangat menghargai teladan yang Bapak berikan kepada kami.

Ketika Bapak menjadi pendeta gereja kami, Bapak mengatakan kepada jemaat bahwa setiap hari Bapak akan melihat daftar anggota dan berdoa untuk lima keluarga. Hari berikutnya Bapak akan mendoakan lima keluarga yang lain, dan begitu seterusnya.

Bapak juga berkata bahwa bila staf berkumpul setiap pagi untuk saat teduh, Bapak akan mendoakan satu orang atau satu keluarga. Kemudian Bapak mengirim kartu kepada orang atau keluarga tersebut untuk mengatakan bahwa Bapak mencintai mereka dan banyak memikirkan mereka.

Berkali-kali kami mendengarkan orang berkata, "Jangan lupa berdoa untuk pendeta saudara." Saya sebagai anggota sangat berterima kasih, karena saya tidak perlu ragu-ragu apakah Bapak Pendeta berdoa buat saya ataukah tidak. Selama bertahun-tahun ini, kartu-kartu yang Bapak kirimkan sangat berarti bagi saya.

Terima kasih atas doa Bapak Pendeta untuk saya.

# Surat (5)

Bapak Pendeta yang terkasih,

Pertama, saya ingin mengucapkan syukur kepada Tuhan karena telah mengirim Bapak Pendeta ke gereja kami. Kami sangat menghargai cinta Bapak kepada Tuhan dan semangat untuk membawa jiwa-jiwa kepada Tuhan.

Akan tetapi, saya harus mengakui bahwa saya agak bosan untuk terus- menerus mendengar khotbah evangelisasi sebagai makanan rohani. Memang, penting sekali untuk membawa jiwa-jiwa kepada keselamatan, dan kami sangat menghargai keinginan Bapak untuk mengisi bangku- bangku kosong yang mengganggu Bapak setiap hari Minggu.

Tetapi saya yakin bahwa perasaan ini terdapat pada banyak saudara yang telah lama menjadi orang Kristen. Bukan hanya susu yang kami perlukan. Kami memerlukan khotbah dan uraian yang lebih luas dan mendalam dari Firman Allah, ibarat daging keras yang perlu dikunyah. Penting juga bagi kami mengetahui sabda Tuhan dan bagaimana menggunakannya dalam hidup kami sekarang ini. Makin lama dunia makin mendesak kami untuk mengikuti modenya. Jika kami tidak berakar dalam Firman Allah, kami tidak dapat bertahan terhadap serangan si jahat itu.

Saya tahu Bapak pasti sibuk sekali dan banyak waktu Bapak disita oleh anggota-anggota jemaat. Namun jagalah, jangan sampai ada yang mengganggu pelajaran Bapak, sebab jam-jam Bapak untuk mempelajari Alkitab adalah sangat bermanfaat bagi Bapak dan kami.

Saya tidak marah atau kurang puas, tetapi ingin agar Bapak mengetahui perasaan saya. Saya mendoakan Bapak setiap hari.

Saudaramu di dalam Kristus.

# Surat (6)

Bapak Pendeta yang terkasih,

Saya menulis surat ini atas dorongan cinta kasih Kristus dan saya tidak bermaksud akan menyakiti hati Bapak Pendeta.

Bapak adalah seorang guru dan pengkhotbah yang baik sekali. Saya yakin tak ada seorang pun yang mencela pelayanan Bapak. Namun, dalam panggilan untuk tugas penggembalaan termasuk menggembalakan kawanan domba seluruhnya, inilah kekurangan yang banyak kami rasakan dalam pelayanan Bapak.

Memang baik membangun jemaat dengan pasangan suami istri yang muda, sebab mereka adalah sokoguru gereja di masa mendatang. Tetapi pada waktu yang bersamaan, domba-domba tua juga memerlukan seorang gembala. Ada baiknya jika Bapak Pendeta menyadari keperluan mereka. Bila mereka sakit, beritahukan melalui pengumuman di gereja sehingga orang lain dapat berdoa untuk mereka. Bila mereka menghadapi suatu masalah, tunjukkan perhatian agar mereka tahu bahwa Bapak juga ikut merasakan dan prihatin. Janganlah Bapak Pendeta menyerahkan semua itu kepada majelis gereja atau kepada pendeta pembantu.

Seorang gembala yang sejati memperhatikan semua domba, dan tidak hanya domba-domba muda dan anak domba. Kita semua juga ingin merasa dibutuhkan dan diperhatikan.

Saudaramu di dalam Kristus.

# Surat (7)

Bapak Pendeta yang terkasih,

Sebagai seorang anggota setia di jemaat Bapak, dan sebagai penyumbang dan pekerja di gereja, saya menghargai pengabdian Bapak Pendeta dan cita-cita Bapak dalam melayani Tuhan.

Baru-baru ini saya mendengar bahwa Bapak Pendeta menawarkan diri sebagai seorang calon untuk menggembalakan gereja yang lain. Saya tidak perlu mengetahui apakah betul atau tidak, tetapi hal ini menimbulkan beberapa pertanyaan dalam pikiran saya tentang lamanya dan mutu pelayanan beberapa hamba Tuhan yang diberikan kepada jemaat mereka. Namun saya juga menyadari bahwa Bapak Pendeta ingin sekali mengetahui dan menuruti kehendak Tuhan.

Inilah beberapa masalah yang saya lihat:

  1. Bapak Pendeta baru bertugas selama 3 tahun di gereja kami. Rupanya Bapak pendeta lebih banyak memikirkan kesejahteraan Bapak sendiri daripada kesejahteraan kami.
  2. Apakah ada semacam promosi yang diharapkan para pendeta sesudah memberikan pelayanan di gereja-gereja yang kecil?
  3. Ketika gereja selalu mengalami pergantian pendeta yang hanya melayani 3 tahun, bagaimana anggotanya bisa belajar untuk saling mencintai dan saling menghormati?
  4. Saya harap Bapak Pendeta tidak salah paham. Saya adalah anggota lama di gereja ini. Namun sukar sekali untuk sering-sering menyesuaikan diri kembali setelah terjadi pergantian pendeta. Apakah kesejahteraan jemaat tidak begitu penting dibandingkan dengan "kehendak Tuhan" bagi pendeta?

Saya harap Bapak pendeta tidak merasa bahwa saya ini suka menggerutu. Saya hanya menginginkan informasi dan perhatian.

Dari seorang anggota yang merasa terganggu.

# Surat (8)

Bapak Pendeta yang terkasih,

Sungguh sukar bagi saya untuk menulis surat ini, karena cinta saya kepada gereja, dan keinginan saya agar Tuhan memakai Bapak Pendeta, oleh karena itu saya merasa perlu mengungkapkan isi hati saya.

Saya mengetahui kesukaran yang Bapak hadapi dapat melemahkan pelayanan Bapak. Jika Bapak Pendeta jujur, pasti akan mengakui bahwa Bapak tidak mempelajari Alkitab sebagaimana mestinya dan juga tidak pernah mengkhotbahkan Firman Allah. Agaknya, Bapak kurang memperhatikan kesejahteraan jemaat Bapak. Sebagai seorang gembala hal ini seharusnya merupakan tanggung jawab Bapak yang penting.

Saya tidak merasa kurang senang terhadap Bapak, bahkan saya selalu berdoa bagi Bapak Pendeta.

Bapak Pendeta yang baik, demi kebaikan Bapak dan gereja saya harap Bapak memperbaharui penyerahan Bapak kepada Tuhan. Setialah terhadap panggilan Tuhan bagi Bapak untuk menyampaikan sabda Allah dan memberi santapan rohani bagi kawanan domba itu. "Karena itu jagalah dirimu dan jagalah seluruh kawanan, karena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik untuk menggembalakan jemaat Allah yang diperoleh-Nya dengan darah Anak-Nya sendiri" (Kisah Para Rasul 20:28).

Salam kasih hangat seorang dari kawanan domba Bapak.

# Surat (9)

Bapak Pendeta yang terkasih,

Sebagai seorang jemaat Bapak, saya mengindahkan Bapak sebagai orang yang ditunjuk oleh Tuhan untuk menjadi gembala. Mengutip suatu bagian dari ucapan perpisahan rasul Paulus yang ditujukan kepada para penatua jemaat di Efesus, saya mohon demi diri sendiri dan seluruh jemaat agar Bapak menjaga diri sendiri dan menjaga seluruh jemaat. Bapak Pendeta telah dipimpin oleh Roh Kudus, dan dipanggil oleh Tuhan untuk melayani kami (Kisah Para Rasul 20:28). Berilah kami susu yang murni dan daging yang keras dari Firman Allah agar kami dapat bertumbuh dan menjadi orang-orang percaya yang dewasa.

Saya harap Bapak Pendeta akan mencintai dan memperhatikan domba yang hilang - mereka yang tidak pernah masuk gereja dan domba-domba lain yang terlepas dari kawanan dombanya.

Sebagai gembala yang baik, Bapak harus ulet. Mudah-mudahan Bapak selalu memiliki kekuatan di balik perisai iman untuk menangkis lawan, serta bijaksana dan mempunyai visi. Bapak harus waspada terhadap orang-orang yang menyelundup masuk untuk merusakkan kita, dan dengan tongkat kebenaran Bapak harus membela kawanan domba dari infiltrasi licik dan pengaruh mereka yang memecah-belahkan kita.

Di samping itu Bapak juga harus lemah lembut. Bapak harus memenuhi kebutuhan orang-orang yang menderita, orang lanjut usia, yang sakit dan yang hampir mati.

Saya rasa bahwa sebenarnya yang saya minta adalah agar Bapak mempunyai hati seorang gembala, yaitu berbelas kasihan, melindungi, dan penuh pengertian.

Dengan anugerah Tuhan saya akan membantu Bapak dengan doa dan kesetiaan saya. Saya berjanji bahwa hanya bila sangat perlu baru saya menelpon Bapak agar tidak mengganggu jam-jam belajar serta persekutuan Bapak dengan Tuhan. Tugas yang suci yaitu menyampaikan firman Allah harus didahulukan.

Sekali lagi, terima kasih!

Sumber: 
Judul Buku
Penulis
Judul Bab
Halaman
Penerbit
:
:
:
:
:
Prioritas Seorang Pendeta
Warren W.Wiersbe, Paul R.Van Gorder, Howard F. Sugden
Surat-surat Terbuka kepada Pendeta
69 - 85
Gandum Mas, 1982

Doktrin Sola Scriptura

Dear e-Reformed netters,

Kiriman artikel bulan Juli ini diambil dari Majalah Veritas (Vol. 3, Nomor 1 - April 2002). Judul dan isi artikel ini saya yakin sangat menarik dan penting, yaitu "Doktrin Sola Scriptura", yang ditulis oleh Sdr. Yohanes Adrie Hartopo. Artikel sebelumnya telah disampaikan dalam Retreat Pembinaan Doktrinal yang diselenggarakan oleh Seminari Alkitab Asia Tenggara dalam rangka Hari Reformasi ke-484, di Hotel Kusuma Agrowisata, Batu, pada 29-31 Oktober 2001.

Selamat membaca.

In Christ,

Editorial: 

Dear e-Reformed netters,

Kiriman artikel bulan Juli ini diambil dari Majalah Veritas (Vol. 3, Nomor 1 - April 2002). Judul dan isi artikel ini saya yakin sangat menarik dan penting, yaitu "Doktrin Sola Scriptura", yang ditulis oleh Sdr. Yohanes Adrie Hartopo. Artikel sebelumnya telah disampaikan dalam Retreat Pembinaan Doktrinal yang diselenggarakan oleh Seminari Alkitab Asia Tenggara dalam rangka Hari Reformasi ke-484, di Hotel Kusuma Agrowisata, Batu, pada 29-31 Oktober 2001.

Selamat membaca.

In Christ,
Yulia

Penulis: 
Yohanes Adrie Hartopo
Edisi: 
031/VII/2002
Isi: 

[Catatan : **Angka merah dalam artikel adalah Catatan Kaki yang dapat ditemukan pada akhir artikel]

PENDAHULUAN

"Unless I am convinced by Sacred Scriptura or by evident reason, I will not recant. My consience is held captive by the Word of God and to act against conscience is neither right nor safe."

Kata-kata ini diucapkan oleh Martin Luther pada 18 April 1521 ketika ia diajukan pada sidang kekaisaran di kota Worms di hadapan kaisar Charles V yang menjadi penguasa Jerman (dan beberapa bagian Eropa lainnya) pada saat itu, serta di hadapan para pemimpin gerejawi. Luther dipanggil ke kota ini dengan tujuan supaya ia menarik kembali perkataan dan pengajarannya. Ia diminta mengaku salah di depan publik untuk apa yang ia tuliskan dan ajarkan tentang Injil, keselamatan melalui iman, dan hakikat gereja. Tetapi ia tidak bersedia melakukannya.**1

Mengapa Luther tidak bersedia? Sebab hati nuraninya dikuasai sepenuhnya oleh firman Tuhan. Ia yakin sepenuhnya bahwa Alkitab dengan jelas mengajarkan kebenaran tentang manusia, jalan keselamatan, dan kehidupan Kristen. Ia melihat bahwa kebenaran-kebenaran yang penting ini sudah dikaburkan dan diselewengkan oleh gereja-gereja pada saat itu, yang seharusnya justru menjadi pembela yang setia. Di mata Luther, dasar penyelewengan gereja pada saat itu adalah pengajaran yang tidak sesuai dengan Alkitab.**2 Ia tidak dapat tahan lagi melihat kerusakan gereja yang telah melawan Alkitab, yang juga sudah mencemari aspek-aspek kehidupan gereja lainnya.

Di sinilah kita melihat sikap Reformasi terhadap Alkitab. Prinsip penting yang ditegakkan dalam gerakan Reformasi adalah Sola Scriptura (hanya percaya kepada apa yang dikatakan oleh Alkitab yang adalah firman Tuhan, karena hanya Alkitab yang memiliki otoritas tertinggi). Kita mengetahui dua ungkapan yang mewakili gerakan Reformasi yaitu Sola Fide dan Sola Scriptura. Sering dikatakan bahwa Sola Fide adalah prinsip material dari pengajaran Reformasi, sedangkan Sola Scriptura adalah prinsip formalnya.**3 Kalau ditelusuri lebih dalam lagi maka jelaslah bahwa prinsip Sola Scriptura ada di balik semua perdebatan mengenai pembenaran melalui iman, karena Luther yakin sekali bahwa kebenaran ini diajarkan di dalam Alkitab.**4

SOLA SCRIPTURA DAN KEWIBAWAAN ALKITAB

Para Reformator tidak pernah berusaha menegakkan doktrin yang baru atau berminat mendirikan gereja yang lain, yang mereka inginkan ialah mereformasi gereja,**5 dalam pengertian mereka ingin menghidupkan kembali kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek gerejawi yang murni berdasarkan Alkitab. John R. de Witt mengatakan, "The Reformation rediscovered and accentuated afresh the authority of the Bible."**6 Para Reformator memiliki semangat untuk mengembalikan iman orang Kristen dan kekristenan kepada otoritas Alkitab. John Calvin mengemukakan,

Biarlah hal ini kemudian menjadi suatu aksioma yang pasti: bahwa tidak ada yang lain yang harus diakui di dalam gereja sebagai firman Allah kecuali apa yang termuat, pertama dalam Torah dan Kitab Nabi- nabi, dan kedua dalam tulisan-tulisan para Rasul; dan bahwa tidak ada metode pengajaran lain di dalam gereja yang berlainan dari apa yang sesuai dengan ketentuan dan aturan dari firman-Nya.**7

Prinsip Sola Scriptura dengan jelas mendobrak tirani dari suatu hierarki gerejawi yang sudah "corrupt" karena gereja menempatkan dirinya lebih tinggi dari firman Tuhan. Padahal, berdasarkan Efesus 2:20 dapat dikatakan bahwa otoritas Alkitab sudah lebih dulu ada sebelum gereja berdiri karena gereja didirikan di atas dasar pengajaran para rasul dan para nabi. Pengajaran para rasul dan nabi adalah pengajaran firman Tuhan, yang jelas bukan hanya lebih tua tetapi juga lebih tinggi dari pengajaran gereja. Alkitab mampu memberikan penilaian atas gereja sekaligus memberikan model bagi gereja yang benar.

Para Reformator memiliki pendapat yang tegas bahwa wewenang gereja dan para penjabatnya (para Paus, dewan-dewan dan teolog-teolog) berada di bawah Alkitab. Ini tidak berarti mereka tidak memiliki wewenang. Namun, sebagaimana diungkapkan Alister McGrath, wewenang tersebut berasal dari Alkitab dan berada di bawah Alkitab.**8 Kewibawaan mereka dilandaskan pada kesetiaan mereka pada firman Allah. Selanjutnya McGrath mengatakan, "Bila orang-orang Katolik menekankan pentingnya kesinambungan historis, para Reformator dengan bobot yang sama menekankan makna penting dari kesinambungan ajaran.**9

Jadi, prinsip Sola Scriptura menolak otoritas tradisi gereja yang disetarakan dengan otoritas Alkitab. Sebuah catatan perlu diberikan di sini guna menghindari kesalahpahaman yang sudah cukup umum. Banyak orang berpikir bahwa para Reformator percaya kepada otoritas Alkitab yang tanpa salah, sedangkan gereja Roma Katolik percaya hanya kepada otoritas gereja dan tradisinya yang tanpa salah. Ini suatu kekeliruan. Pada masa Reformasi, kedua pihak sama-sama mengakui otoritas Alkitab.**10 Contohnya, bagi sebagian besar teolog abad pertengahan, Alkitab merupakan sumber yang mencukupi untuk ajaran Kristen.**11 Yang menjadi pertanyaan dan perdebatan ialah: "Is the Bible the only infallible source of special revelation?"**12

Gereja Roma Katolik mengajarkan ada dua sumber wahyu khusus, yaitu Alkitab dan tradisi. Tradisi di sini dimengerti sebagai satu sumber yang berbeda, di samping Alkitab. Alkitab tidak berkata apa-apa mengenai sejumlah pokok masalah atau doktrin, dan Allah telah menetapkan suatu sumber wahyu kedua untuk melengkapi kekurangan ini. Ini adalah suatu tradisi yang tidak tertulis. Jikalau ditelusuri lebih mendalam, tradisi yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya di dalam gereja, itu dianggap berasal dari para rasul. Jadi tradisi yang dimaksud di sini adalah "a separate, unwritten source handed down by apostolic succession."**13 Dengan demikian, suatu kepercayaan yang tidak ditemukan dalam Alkitab, dapat dibenarkan dengan mengacu pada tradisi yang tidak tertulis tersebut.

Gereja Roma Katolik memberikan otoritas kepada tradisi ini, karena itu mereka tidak mengizinkan siapapun menafsir Alkitab dengan cara yang bertentangan dengan tradisi tersebut. Jelas mereka meninggikan tradisi melebihi Alkitab, bahkan menganggap bahwa Alkitab hanya bisa ditafsirkan dan diajarkan dengan perantaraan Paus atau konsili gerejawi. Para Reformator dengan tegas melawan konsep ini. Dalam perdebatan dengan teolog-teolog Roma Katolik, Luther dengan berani menegaskan bahwa adalah mungkin bagi Paus dan konsili gerejawi untuk melakukan kesalahan.

Prinsip Sola Scriptura juga tidak dapat dilepaskan dari masalah kanon Alkitab. Istilah "kanon" (aturan, norma) digunakan untuk merujuk pada kitab-kitab yang oleh gereja dianggap otentik. Bagi teolog-teolog abad pertengahan dan gereja Roma Katolik, yang dimaksud dengan Alkitab ialah karya-karya yang tercakup dalam Vulgata. Di dalamnya terdapat tambahan kitab-kitab yang sering disebut kitab-kitab Apokrifa, yang tidak terdapat dalam PL bahasa Ibrani. Para Reformator tidak setuju dengan adanya tambahan tersebut, dan mereka merasa berwenang untuk mempersoalkan penilaian ini. Menurut mereka, tulisan-tulisan PL yang dapat diakui untuk masuk ke dalam kanon Alkitab hanyalah yang asli terdapat di dalam Alkitab Ibrani.**14 Kitab-kitab Apokrifa memang merupakan bacaan yang berguna, tetapi tidak bisa digunakan sebagai dasar ajaran.**15 Penegasan Sola Scriptura mengakibatkan mereka menyingkirkan semua kitab di luar keenam puluh enam kitab dalam Alkitab. Perbedaan ini tetap ada sampai sekarang.**16

Mengapa para Reformator sangat menjunjung tinggi otoritas Alkitab? Jawabannya sederhana sekali: karena Alkitab adalah firman Tuhan, maka Alkitab dengan sendirinya memiliki kewibawaan atau otoritas. Luther berkata, "The Scriptures, although they also were written by men, are not of men nor from men, but from God."**17 Sedangkan menurut Calvin,

The Scriptures are the only records in which God has been pleased to consign his truth to perpetual rememberance, the full authority which they ought to possess with faithful is not recognized, unless they are believed to have come from heaven, as directly as if God had been heard giving utterance to them.**18

Jadi ada konsensus bahwa Alkitab harus diterima seakan-akan Allah sendirilah yang sedang berbicara.

Otoritas Alkitab berakar dan berdasarkan pada fakta bahwa Alkitab diberikan melalui inspirasi Allah sendiri (2Tim. 3:16). Inspirasi adalah cara di mana Allah memampukan penulis-penulis manusia dari Alkitab untuk menulis semua perkataan di bawah pengawasan Allah sendiri. Kepribadian dan kemanusiawian para penulis Alkitab diakui aktif dalam proses di mana Roh Allah memimpin mereka dalam proses inspirasi tersebut. Karena itu apa yang ditulis bukan semata-mata tulisan mereka sendiri tetapi firman Allah yang sejati. Calvin memberi komentar mengenai 2Timotius 3:16,

This is the principles that distinguishes our religion from all others, that we know that God hath spoken to us and are fully convinced that the prophets did not speak of themselves, but as organs of the Holy Spirit uttered only that which they had been commissioned from heaven to declare. All those who wish to profit from the Scriptures must first accept this as a settled principle, that the Law and the prophets are not teachings handed on at the pleasure of men, or produced by men's minds as their source, but are dictated by the Holly Spirit.**19

Bagaimana sebenarnya cara atau metode mengenai inspirasi ilahi ini tidak dipaparkan secara jelas dalam Alkitab.**20 Butir yang lebih krusial adalah fakta bahwa "the Scriptures are the direct result of the breathing out of God."**21 B.B. Warfield memberikan komentar yang sangat baik mengenai kata Yunani theopneustos:

The Greek term has...nothing to say inspiring or of inspiration: it speaks only of a "spiring" or "spiration." What it says of Scripture is, not that it is "breathed into by God" or that it is the product of the Divine "inbreathing" into its human authors, but that it is breathed out by God...when Paul declares, then, that "every scripture," or "all scripture" is the product of the Divine breath, "is God-breathed," he asserts with as much energy as he could employ that Scripture is the product of a specifically Divine operation.**22

Ini berarti semua yang ditulis para penulis Alkitab itu berasal dari Allah. Jadi, Alkitab berotoritas adalah karena kenyataan dirinya sebagai penyataan ilahi yang diberikan melalui inspirasi ilahi.

Pertanyaan penting berkaitan dengan otoritas Alkitab ialah: Berdasarkan apa kita menerima otoritas Alkitab tersebut? Bagaimana kita tahu dan yakin bahwa yang kita tegaskan tentang otoritas Alkitab itu benar adanya? Apakah melalui gereja kita mengerti dan diyakinkan akan otoritas Alkitab sebagai firman Allah (pandangan gereja Roma Katolik yang tradisional)? Di dalam sejarah gereja kita melihat ada banyak orang berusaha memberikan argumen-argumen yang rasional guna mendukung klaim bahwa Alkitab adalah firman Tuhan. Tetapi kita pun tahu bahwa sering argumen-argumen itu, meskipun perlu dan penting, tidak sepenuhnya "convincing."

Di sini kita melihat satu pokok pikiran Calvin yang sangat penting berkaitan dengan masalah ini. Ia dengan tidak henti-hentinya menegaskan bahwa dasar satu-satunya yang meyakinkan mengapa kita percaya otoritas Alkitab adalah kesaksian Roh Kudus sendiri. Kita percaya bahwa Alkitab adalah firman Allah karena kesaksian Roh Kudus. Ia mengatakan:

The testimony of the Spirit is more excellent than all reason. For as God alone is a fit witness of himself in his Word, so also the Word will not find acceptance in men's hearts before it is sealed by the inward testimony of the Spirit. The same Spirit, therefore, who has spoken through the mouths of the prophets must penetrate into our hearts to persuade us that they faithfully proclaimed what had been divinely commanded.**23

Jadi, otoritas Alkitab tidak tergantung pada bukti-bukti kehebatan dan kesempurnaannya, tetapi oleh karena iman yang Roh Kudus sudah kerjakan dalam hidup orang-orang percaya sehingga mereka mempercayai kebenaran Alkitab dan menaklukkan diri di bawah otoritas tersebut. James M. Boice mengutarakan bahwa kesaksian Roh Kudus ini adalah "the subjective or internal counterpart of the objective or external revelation."**24

Apa yang Calvin ajarkan di sini sesuai dengan perkataan Paulus di 1Korintus 2:13-14. Jadi, jelas sekali bahwa terlepas dari karya Roh Kudus seseorang tidak akan menerima kebenaran-kebenaran rohani dan secara khusus tidak akan menerima kebenaran bahwa perkataan-perkataan Alkitab adalah firman Allah. Calvin juga mengatakan, "But it is foolish to attempt to prove to infidels that the Scripture is the Word of God. This it cannot be known to be, except by faith."**25

Keyakinan yang datangnya dari kesaksian Roh Kudus adalah keyakinan yang muncul ketika kita membaca firman Tuhan dan mendengar suara Tuhan berbicara melalui perkataan-perkataan Alkitab tersebut serta menyadari bahwa ini bukanlah kitab biasa. Roh Kudus berbicara di dalam (in) dan melalui (through) perkataan-perkataan Alkitab dalam memberikan keyakinan ini.**26 Tepatlah apa yang dikatakan oleh seorang pastor, "If you have the Bible without the Spirit, you will dry up. If you have the Spirit without the Bible, you will blow up. But if you have both the Bible and the Spirit together, you will grow up."

Setelah zaman Reformasi, pandangan ortodoks mengenai Alkitab mendapat serangan demi serangan. Gereja Roma Katolik bahkan secara resmi pada tahun 1546 (konsili Trent) menempatkan tradisi gereja berdampingan dan setara dengan Alkitab sebagai sumber penyataan. Serangan lain datang dari golongan rasionalis pada abad 18 dan 19. Alkitab bukanlah "God word to man" tetapi "man's word about God and man." Alkitab hanya berisi kesaksian atau catatan manusia tentang karya penyataan dan keselamatan Allah dalam sejarah. Sifat ilahi yang unik dari Alkitab ditolak, sehingga otoritasnya pun ditolak. Otoritas tertinggi ialah rasio manusia. Rasio menusia memiliki kebebasan mutlak yang harus terlepas dari klaim-klaim teologis.**27

Bagaimana dengan sikap gereja-gereja Tuhan terhadap Alkitab? Sola Scriptura adalah doktrin yang menegaskan bahwa Alkitab, dan hanya Alkitab, yang memiliki kata akhir untuk semua pengajaran dan kehidupan kita. Seluruh aspek pemikiran dan kehidupan kita harus tunduk pada firman Allah. Benarkah demikian? David Well, dalam bukunya, No Place for Truth,**28 memberikan kritik tajam kepada golongan injili yang sudah jatuh ke dalam berbagai pencobaan zaman modern, sehingga akhirnya kebenaran Allah sudah tidak lagi mengatur gereja-gereja. Hal-hal apa sajakah yang menjadi mentalitas zaman ini? Menurut Well ada beberapa, yakni:

  1. Subjectivism: basing one's life upon human experience rather than upon objective truth
  2. Psychological therapy as the way to deal with human needs
  3. A preoccupation with "professionalism," especially business management and marketing techniques as the model for achievement any kind of common enterprise
  4. Consumerism: the notion that we must always give people what they want or what they can be induced to buy
  5. Pragmatism: the view that results are the ultimate justification for any idea or action

Akibatnya, masih menurut Wells, Allah tidak lagi menjadi sesuatu yang penting dalam hidup manusia. Kebenaran tidak lagi menguasai gereja. Teologi tidak memberikan daya tarik. Khotbah-khotbah hanya berpusatkan pada "felt needs." Teori-teori marketing dan manajemen dalam pertumbuhan gereja menggantikan prinsip-prinsip Alkitab. Hal ini perlu menjadi pemikiran serius bagi gereja-gereja Tuhan.

Bagaimana sikap para hamba Tuhan terhadap Alkitab? Panggilan hamba Tuhan ialah panggilan untuk mempelajari dan menguraikan firman Tuhan (bdk. Kis 20:27, dimana Paulus mengajarkan "the whole counsel of God" selama pelayanannya di Efesus). Menurut de Witt, salah satu ciri khas teologi Reformed ialah pandangan mengenai berkhotbah (preaching) yang distingtif. Ia menulis, "It is by preaching that God confronts people and draws them to himself, conforming them to the pattern of his Son; indeed, it is by preaching that Jesus addresses himself to the hearts and consciences of men (Rom. 10:14)."**29 Berdasarkan apa yang dinyatakan di dalam Alkitab, preaching adalah eksposisi dan aplikasi firman Tuhan. Tugas ini dipercayakan kepada para hamba Tuhan (bdk. Kis. 6:1 dst.). John Stott dengan keras berkata, "Sehat tidaknya keadaan jemaat-jemaat kita lebih banyak tergantung pada mutu pelayanan pemberitaan firman Tuhan daripada hal-hal lainnya...apa yang terjadi di bangku jemaat memancarkan apa yang terjadi di mimbar."**30 Apakah tugas ini sudah kita jalankan dengan penuh kesungguhan dan keseriusan karena kita memberitakan firman yang memiliki otoritas dari Allah?

SOLA SCRIPTURA DAN PENAFSIRAN ALKITAB

Elemen baru di dalam pengajaran Sola Scriptura dari para Reformator sebenarnya bukanlah permasalahan otoritas Alkitab, karena gereja Roma Katolik juga berpegang pada hal itu. Elemen yang baru berkaitan dengan masalah penafsiran Alkitab. Bukanlah hal yang berlebihan kalau dikatakan bahwa Reformasi pada abad 16 tersebut pada dasarnya adalah suatu revolusi hermeneutik.**31 Gerakan Reformasi menolak penafsiran otoritatif terhadap Alkitab, khususnya dari gereja Roma Katolik yang menekankan bahwa Paus atau konsili gerejawilah yang memiliki otoritas untuk menafsirkan Alkitab. Sampai zaman Reformasi Alkitab masih dianggap oleh kebanyakan orang sebagai kitab yang "obscure." Orang awan biasa tidak dapat diharapkan untuk mengertinya, sehingga mereka tidak didorong untuk membacanya. Bahkan Alkitab tidak tersedia dalam bahasa yang mereka mengerti. Mereka jelas bergantung sepenuhnya pada penafsiran gereja yang bersifat otoritatif. Pengajaran Alkitab dikomunikasikan kepada orang-orang Kristen hanya melalui perantaraan Paul, konsili, atau pastor.

Para Reformator sangat menekankan prinsip "private interpretation," yakni hak untuk menafsirkan Alkitab secara pribadi. Dengan demikian setiap orang Kristen memiliki hak untuk membaca dan menafsirkan Alkitab untuk dirinya sendiri.**32 Tetapi ini bukan berarti kepada setiap individu diberikan hak untuk menyelewengkan atau mendistorsi Alkitab. Ini adalah prinsip yang berasumsi bahwa Allah yang hidup berbicara kepada umat-Nya secara langsung dan otoritatif melalui Alkitab. Karena itu orang Kristen harus didorong untuk membaca Alkitab. Alkitab harus diterjemahkan kedalam bahasa umum. Luther, contohnya, sangat menekankan hal ini, sehingga ia menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Jerman.

Para tokoh Reformator sendiri tampaknya menekankan pengertian mereka terhadap Alkitab dengan tidak mempedulikan apakah pengajaran mereka bertentangan dengan keputusan-keputusan konsili atau penafsir-penafsir gerejawi lainnya. Bagi mereka gereja bukanlah penentu arti Alkitab, justru Alkitablah yang harus mengoreksi dan menghakimi gereja. Tetapi pertanyaannya: apakah memang tidak ada peranan pengajaran (tradisi) gereja sama sekali dalam hal ini? Reformasi sering kali dilihat mempunyai ciri khas yaitu suatu "massive break" dengan tradisi gereja. Yang benar adalah, para Reformator menentang otoritas tradisi dan otoritas gereja, hanya sejauh otoritas tersebut mengungguli otoritas Alkitab.**33

Para Reformator tidak pernah menolak tradisi eksegetis dan teologis dari gereja yang didasarkan dan tunduk pada kebenaran Alkitab. Mereka menghormati tradisi, khususnya yang diajarkan oleh bapa-bapa gereja (terutama Agustinus). Luther berkata, "The teachings of the Fathers are useful only to lead us to the Scriptures as they were led, and then we must hold to the Scriptures alone."**34 Calvin, sebagai contoh, menulis edisi Institutes pertama pada tahun 1536 ketika ia masih berusia dua puluhan. Buku ini mengalami revisi beberapa kali, dan edisi akhir adalah tahun 1559. Selama masa dua dekade tersebut ia berkecimpung dan sibuk memberikan eksposisi Alkitab dan berkhotbah. Dalam hal ini ia berinteraksi banyak dengan penafsiran penafsir-penafsir sebelumnya. T. H. L. Parker berkata tentang Calvin:

As his understanding of the Bible broadened and deepened, so the subject matter of the bible demanded ever new understanding in its interrelation within itself, in its relations with secular philosophy, in its interpretation by previous commentators.**35

Maka jelaslah, seperti yang Silva katakan, "the reformation marked a break with the abuse of tradition but not with the tradition itself."**36 Kritik yang diberikan adalah terhadap ajaran dan praktek yang sudah menyeleweng dari, atau bertentangan dengan, Alkitab. Para Reformator masih mempertahankan ajaran-ajaran gereja yang paling tradisional (seperti keilahian Kristus, Trinitas, baptisan anak, dan sebagainya) karena ajaran-ajaran tersebut sesuai dengan Alkitab. Mereka menghargai tulisan-tulisan bapa-bapa gereja yang adalah pembela-pembela kebenaran Alkitab.

Hak "private interpretation" haruslah disertai dengan tanggung jawab untuk memakai dan menafsirkan Alkitab dengan hati-hati dan akurat. Karena itu dalam hal ini kebutuhan akan penafsir dan guru sangat diperlukan. Memang Alkitab dapat dibaca dan dimengerti oleh orang-orang percaya (doktrin the clarity or perspicuity of Scripture), tetapi masih ada hal-hal tertentu yang masih belum jelas dan sulit bagi banyak orang yang sudah tentu membutuhkan suatu penyelidikan dan penelitian akademik. Ketidakjelasan atau kekaburan tersebut lebih banyak disebabkan oleh ketidaktahuan akan bahasa, tata bahasa, dan budaya dari penulis Alkitab, daripada dikarenakan isi pengajaran atau subject-matter-nya. Oleh sebab itu, "biblical scholarship" sangat penting dan diperlukan.

Kontribusi penting dari para Reformator terhadap penafsiran Alkitab ialah penegasan mereka mengenai "plain meaning" (arti yang alamiah atau wajar) dari Alkitab. Secara khusus kepedulian mereka adalah menyelamatkan Alkitab dari penafsiran alegoris yang masih terus ada saat itu.**37 Luther mengungkapkan, "The Holy Spirit is the plainest writer and speaker in heaven and earth and therefore His words cannot have more than one, and that the very simplest sense, which we call the literal, ordinary, natural sense." Apa yang ditekankan di sini bukanlah penafsiran harafiah yang kaku. Prinsip ini menegaskan bahwa "the Bible must be interpreted according to the manner in which it is written."**39 Arti yang "plain" dari Alkitab adalah arti yang dimaksudkan oleh penulis manusia, dan hal itu hanya dapat dimengerti melalui analisa konteks sastra dan sejarah. Jadi jelaslah ada aturan- aturan dalam penafsiran yang harus diikuti untuk menghindari penafsiran yang subjektif dan aneh-aneh. Pengaruh dari semangat Renaissance dalam hal ini tidak bisa dipungkiri. Kita melihat adanya suatu ketertarikan baru terhadap sifat historis dari tulisan-tulisan kuno, di mana Alkitab termasuk di dalamnya.**40

Ada yang mengatakan, "It is almost a truism to say that modern historical study of the Bible could not have come into existence without the Reformation."**41 Prinsip Reformasi ini terkait erat dengan apa yang kita sebut metode penafsiran "Grammatical-Historical," yang berfokus pada "historical setting" dan "grammatical structure" dari bagian-bagian Alkitab. Dalam hal ini para Reformator berfokus pada sifat manusiawi dari Alkitab itu sendiri. Ekses negatif dari pendekatan ini adalah pendapat yang mengatakan bahwa Alkitab harus dimengerti dan ditafsirkan seperti buku biasa lainnya. Inilah yang membuka jalan untuk pendekatan "Historical-Critical" yang berkembang pada abad 18-19. Bedanya dengan pendekatan Reformasi adalah, iman atau komitmen teologi tidak diperbolehkan mempengaruhi penafsiran.**42 Mereka berusaha untuk netral, tetapi sebenarnya tidak dapat netral karena mereka sudah berpegang pada "teologi" (iman) mereka sendiri yaitu teologi yang tidak percaya adanya intervensi Allah dalam dunia ini. Sumbangsih gerakan Reformasi dalam hal penafsiran Alkitab sangat penting, di mana prasuposisi iman tidak mungkin dilepaskan dari penafsiran Alkitab.

Pemikiran Reformasi mengenai penafsiran Alkitab juga menolong kita untuk berhati-hati di dalam merespons segala bentuk pendekatan atau metode penafsiran posmodernisme, yang secara khusus memberikan penekanan pada respons dari pembaca masa kini (reader-response approach). Pendekatan ini beranggapan bahwa tidak ada "meaning" yang pasti dan benar, yang ada hanyalah "meanings" yang muncul atau dihasilkan dari pembaca sendiri. Bahaya subjektivisme dan relativisme sangat terlihat di sini. Memang betul penafsiran Alkitab tidak hanya berhenti pada interpretasi, tetapi aplikasi. Kendati demikian ini bukan berarti aplikasi yang tidak terkontrol dan sembarangan di mana seolah-olah pembacanya yang menentukan arti dan aplikasinya.**43

Gerakan Reformasi juga menetapkan suatu prinsip penting dalam penafsiran yaitu "Scripture is to interpret itself" (Sacra Scriptura sui interpres). Kita menafsirkan Alkitab dengan Alkitab. Oleh sebab itu, kita tidak mempertentangkan satu bagian Alkitab dengan bagian lainnya. Apa yang tidak jelas di suatu bagian mungkin dapat dijelaskan oleh bagian lain. Di balik prinsip ini ada sebuah keyakinan bahwa jikalau Alkitab ialah firman Allah maka ia bersifat koheren dan konsisten pada dirinya sendiri. Allah tidak mungkin berkontradiksi dengan diri-Nya sendiri. Memang benar Alkitab dituliskan oleh orang-orang yang berbeda, yang hidup pada zaman yang berbeda pula. Tetapi kita juga menyadari bahwa Allah adalah Penulis aslinya, sehingga jelas ada kesatuan dan koherensi. Ini tidak sama artinya dengan uniformitas (keseragaman). Para penulis manusia menunjukan tulisan mereka pada situasi yang nyata, tetapi Allah dalam kedaulatan-Nya menuntun mereka dan situasi mereka, bahkan secara langsung mempengaruhi dan mengajar mereka (bdk. 2Ptr. 1:21), sehingga kita melihat kesatuan pikiran di balik semua itu. Untuk mengetahui maksud Allah tidak mungkin kita memperhatikan "bits" dan "pieces" saja. Kita harus melihat Alkitab secara keseluruhan, sama seperti ketika kita bermaksud mengetahui maksud penulis manusia, yaitu dengan membaca hasil akhir karyanya.

Jelaskan bahwa Alkitab menyajikan tujuan ilahi. Concern Alkitab adalah memberitahukan kepada kita suatu "story," yaitu cerita mengenai karya penebusan Allah bagi umat-Nya melalui Yesus Kristus. Alkitab menyajikan kepada kita "Redemptive History." Oleh sebab itu ayat-ayat dalam Alkitab tidak pernah dapat ditafsirkan lepas dari konteks kesatuan keseluruhan Alkitab. Setiap bagian Alkitab berkaitan erat dan tidak boleh ditafsirkan di luar konteks rencana dan aktivitas Allah yang bersifat "redemptive-historical" dan "covenantal" (relasi antara Allah dan umat-Nya).

PENUTUP

Apakah doktrin Sola Scriptura masih relevan untuk dipertahankan? Melihat situasi yang kita hadapi saat ini maka penegasan doktrin yang mendasar ini masih sangat penting. Kita sekarang hidup pada zaman yang sering kali disebut sebagai zaman pascamodernisme. Apa yang menjadi mentalitas zaman ini? William Edgar mengemukakan, "at the heart of the postmodern mentalily is a culture of extreme skepticism... According to many postmodernists, knowledge is no longer objective-nor even useful-and ethics is not universal."**44 Inilah dunia yang tidak kompatibel dengan kebenaran injil, dan di dalam dunia yang seperti ini Tuhan memanggil kita untuk mempertahankan kebenaran firman-Nya.

Daftar Catatan Kaki

**1. Earle E. Cairns, Christianity Through the Centuries (Edisi ketiga; GrandRapids: Zondervan, 1996) 284.

**2. Stephen Tong, Reformasi & Teologi Reformed (Jakarta: LRII, 1991) 13.

**3. Alister E. McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi (Jakarta: Gunung Mulia, 1999) 174.

**4. R. C. Sproul, Grace Unknown: The Heart of Reformed Theology (Grand Rapids: Baker, 1997) 42.

**5. Tony Lane, The Lion Concise Book of Christian Thought (Tring: Lion, 1984) 110-111.

**6. What is the Reformed Faith? (Edinburgh: Banner of Truth, 1981) 5.

**7. McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi 182.

**8. Ibid. 185. McGrath juga mengutip Calvin yang mengatakan, "... kita berpegang bahwa....bapa-bapa gereja dan dewan-dewan hanya berwibawa sejauh mereka sesuai dengan aturan dari firman itu, kita masih memberikan kepada dewan-dewan dan bapa-bapa gereja kehormatan dan kedudukan seperti yang sesuai untuk mereka miliki di bawah Kristus" (Sejarah Pemikiran Reformasi 186).

**9. Ibid. 186.

**10. J.M. Boice, Foundations of the Christian Faith (Downers Grove: IVP, 1986) 48.

**11. Alister McGrath, The Intellectual Origins the European Reformation (Oxford: Oxford University Press, 1987) 140-151.

**12. Sproul, Grace Unknown 42.

**13. J. Van Engen, "Tradition" dalam Evangelical Dictionary of Theology (ed. Walter Elwell; Grand Rapids: Baker, 1984) 1105.

**14. McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi 182-183.

**15. Contohnya, pengajaran Roma Katolik mengenai doa untuk orang mati didasarkan pada 2Makabe 12:40-46. Bagi para Reformator, kebiasaan ini tidak mempunyai dasar alkitabiah, karena kitab tersebut adalah kitab Apokrifa.

**16. Konsili Trent 1546 tetap mendifinisikan kanon sesuai dengan apa yang ada di dalam Alkitab Vulgata.

**17. "That Doctrines of Men Are to Be Rejected" dalam What Luther Says: An Anthology (ed. Elwald M. Plass; St. Louis:Concordia, 1959) 1.63.

**18. Institutes of the Cristian Relegion (tr. H. Beveridge; London: James Clarke, 1953) I.vii.1.

**19. Calvin's New Testament Commentaries (tr. T. A. Small; Grand Rapids: Eerdmands, 1964) 10.330.

**20. Luther sendiri juga tidak pernah mengembangkan teologi tentang inspirasi Alkitab.

**21. Boice, Foundations 39.

**22. The Inspiration and Authority of the Bible (ed. Samuel G. Craig London: Marshall & Scott, 1959) 133.

**23. Institutes I. vii. 4.

**24. Foundation 49.

**25. Institutes I.viii. 13.

**26. Dalam hal inilah kita berbeda dengan pandangan Neo-Ortodoksi mengenai Alkitab. Kita percaya bahwa tulisan-tulisan dalam Alkitab adalah perkataan Allah kepada kita, terlepas dari apakah kita membacanya, mengerti, menerimanya atau tidak. Status Alkitab tidak ditentukan oleh respons manusia. Neo-Ortodoksi menekankan bahwa Alkitab menjadi firman Allah pada saat ada "encounter." Ketika tidak ada encounter, maka Alkitab hanyalah kata-kata manusia belaka yang menuliskannya. Sebenarnya pengertian wahyu sebagai suatu "encounter" tersebut adalah apa yang kita mengerti sebagai iluminasi. Pada saat seseorang diyakinkan akan suatu kebenaran tertentu, itu berarti illuminasi sedang terjadi.

**27. Robert M. Grant dan David Tracy, A Short History of the Interpretation of the Bible (Edisi kedua; Minneapolis: Fortress, 1984) 100-109. Tepatlah apa yang dikatakan Boice, "The Catholic Church weakened the orthodox view of the Bible by exalting human traditions to the stature of Scripture. Protestans weakened the orthodox view of Scripture by lowering the Bible to the level of traditions" (Foundations 70)

**28. Atau Whatever Happened to Evangelical Theology? (Grand Rapids: Eerdmans,1993).

**29. What is the Reformed Faith? 17-18

**30. Alkitab: Buku Untuk Masa Kini (tr. Paul Hidayat; Jakarta: PPA, 1987)60-61.

**31. Moises Silva, Has the Church Misread the Bible? (Grand Rapids:Zondervan, 1987)77.

**32. Sproul, Grace Unknown 55.

**33. Silva, Has the Church 95.

**34. Dikutip dari Dan McCartney dan Charles Clayton, Let the Reader Understand: A Guide to Interpreting and Applying the Bible (Wheathon: Bridgepoint, 1994) 93.

**35. John Calvin: A Biography (Philadelphia: Westminster, 1975) 132.

**36. Silva, Has the Church 96.

**37. Ibid. 77-78.

**38. Works of Martin kLuther (Philadelpia: Holman, 1930) 3.350

**39. Sproul, Grace Unknown 56.

**40. Edgar Krentz, The Historical-Critical Method (Philadelphia: Fortress, 1975) 7-10.

**41. Grant and Tracy, A Short History 92.

**42. Krentz, The Historical 16-30.

**43. Lihat ulasan yang menarik oleh Kevn J. Vanhoozer, Is There A Meaning in the Text? The Bible the Reader, and the Morality of Literary Knowledge (Grand Rapids: Zondervan, 1998) khususnya pasal 4 & 7.

**44. Reasons of the Heart: Recovering Christian Persuasion (Grand Rapids: Baker, 1996) 25.

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Majalah Veritas (Vol. 3, Nomor 1 - April 2002)
Judul Artikel : Doktrin Sola Scriptura
Penulis : Yohanes Adrie Hartopo
Penerjemah : -
Penerbit : -
Halaman : -

Kita Percaya bahwa Kita adalah, dan Selalu akan Menjadi Pakar dalam Berbuat Dosa

Dear e-Reformed netters,

Beberapa waktu yang lalu saya mendapat kesempatan untuk berkunjung ke sebuah toko buku Kristen. Di antara buku-buku menarik yang saya amati ada satu buku yang berjudul:

"12 Langkah Penyembuhan bagi Orang Farisi (seperti saya); Temukan Kasih Karunia agar Hidup Tanpa Topeng". [John Fischer]

Dari membolak-balik buku itu saya mulai melihat beberapa poin yang menarik dan membuat saya melihat diri saya sendiri (sebagai orang Reformed) dengan kacamata yang lain.....

Nah,...

Editorial: 

Dear e-Reformed netters,

Beberapa waktu yang lalu saya mendapat kesempatan untuk berkunjung ke sebuah toko buku Kristen. Di antara buku-buku menarik yang saya amati ada satu buku yang berjudul:

"12 Langkah Penyembuhan bagi Orang Farisi (seperti saya); Temukan Kasih Karunia agar Hidup Tanpa Topeng". [John Fischer]

Dari membolak-balik buku itu saya mulai melihat beberapa poin yang menarik dan membuat saya melihat diri saya sendiri (sebagai orang Reformed) dengan kacamata yang lain.....

Nah,... lepas dari setuju atau tidak setuju pendapat anda dengan isi keseluruhan dari buku tsb., ada satu Bab dalam buku itu yang ingin sekali saya bagikan dengan anda semua. Mudah-mudahan ini bisa menjadi pemacu untuk kita terpaksa mengintrospeksi diri kita sendiri ....

Selamat membaca!

In Christ,
Yulia

Penulis: 
John Fischer
Edisi: 
030/VI/2002
Isi: 

"Dosa adalah sifatku, satu-satunya hal yang aku tahu bagaimana melakukannya."
(Brother Lawrence)

Dalam sebuah percakapan pribadi antara ibu saya dan istri saya, ibu saya mengatakan bahwa saya tidak pernah berbuat dosa. Istri dan saya sudah 10 tahun hidup bersama jadi tentu saja ia mempunyai pendapat yang berbeda tentang masalah ada atau tidaknya dosa pada saya. Saya sendiri kaget mendengar tanggapan ibu saya bahwa saya sempurna, dan meskipun saya ingin seperti yang dikatakan ibu saya, saya takut bahwa istri saya tahu lebih baik. Sekalipun kami sekarang sering berkelakar mengenai hal itu, saya bertanya-tanya apa yang membuat ibu saya berpendapat yang tidak masuk akal seperti itu. Selain dari mitos "anak-saya-tidak-dapat-berbuat-salah" milik para ibu, adakah hal lain yang lebih diungkapan dalam penilaian ini? Saya percaya mungkin ada.

Banyak penginjil salah mengerti bahwa kerohanian dan kedekatan seseorang dengan Tuhan dapat menunjukkan jumlah dosa yang ada di dalam diri orang itu. Banyak dosa, kurang dekat dengan Tuhan. Dekat Tuhan, sedikit, tujuan terakhir adalah untuk menjadi tidak berdosa -- suatu keadaan yang tak seorang pun di dunia ini telah benar-benar meraihnya, tetapi secara teori ini sepertinya masuk akal. Mungkin ibu saya berpikir karena saya dekat dengan Tuhan maka saya tidak mempunyai dosa.

Kenyataan ini memang didukung oleh kesaksian yang menakjubkan dan reputasi mendekati-sempurna dari mereka yang dekat dengan Tuhan. Pendeta-pendeta dan mereka yang berada dalam "pelayanan Kristen purnawaktu" lebih dekat Tuhan daripada siapa pun dan oleh karenanya paling jauh dari dosa. Inilah sebabnya begitu menghancurkan gereja bila orang-orang mendekati-sempurna ini menjadi mangsa kegagalan moral yang mengerikan. Hasilnya, keterkejutan dan ketidakpercayaan. Mereka begitu rohani; bagaimana ini bisa terjadi?

Kebohonongan Besar Orang Kristen

Dalam novelnya yang menarik untuk zamannya yang berjudul "Portofino", Frank Schaeffer, putra Francis dan Edith Schaeffer, dua orang pemikir Kristen yang penting dalam tiga abad terakhir ini mengikis lapisan pengertian peradaban dari apa yang dianggap banyak orang sebagai keluarga Kristen ideal.

Frank -- dahulunya Franky -- menceritakan tentang keluarga penginjil yang tengah berlibur di Itali selama dua musim panas. Kesamaan antara cerita itu dengan kejadian sebenarnya yang dialami Frank sewaktu kecil ditemukan pada banyak bagian dari novel itu. Di dalam cerita itu kita mendapatkan gambaran seorang ayah yang pendiam, yang di luar terlihat mempertahankan kekolotan yang secara budaya cocok dengan Alkitab, tetapi di rumah cenderung tidak stabil dan berperangai keras. Lalu seorang istri yang bertengkar dengan suaminya mengenai siapa di antara mereka yang lebih rohani, dan anak-anak yang dipaksa untuk menjadi lebih "alkitabiah" sebelum mereka tahu apa pun mengenai artinya. Kendati sejumlah situasi itu lucu dan menarik, sisanya terlalu menyakitkan untuk ditertawakan. Karena bertumbuh dalam keluarga injili yang serupa dan standar ganda, baik di rumah maupun di luar rumah, saya memandang "Portofino" ini setidaknya bisa dianggap sebagai obat pencuci perut.

Dalam mencermati buku ini, saya mempunyai dua reaksi terhadap keluarga Kristen ini. Yang pertama, saya senang melihat kekurangan mereka karena saya merasa lebih baik. Reaksi kedua, saya kecewa karena hati kecil saya berharap bahwa seharusnya Frank tidak menelanjangi potret keluarga yang tidak sempurna ini sehingga saya kemudian bisa tetap percaya bahwa setidaknya orang yang saya hormati, seperti Francis dan Edith Schaeffer, telah menjadi orang benar.

Terlintas dalam pikiran saya bahwa reaksi kedua ini bisa dianggap sebagai kebohongan besar yang dilakukan orang Kristen. Artinya, kepercayaan bahwa seseorang, entah di mana, bisa menjadi benar. Bukankah kita selalu berkumpul dengan pembicara dan penyanyi yang berada di depan dan penting karena mereka sudah menjadi benar, dan bukankah mereka berada di atas mimbar sana karena kita berharap bahwa mereka benar? Bila dengan menyakitkan kita tahu jelas bahwa mereka tidak benar dalam sejumlah segi kehidupan, bukankah mereka langsung disingkirkan dari kedudukan mereka? Bukankah semua orang yang tengah tersenyum di kulit muka buku-buku Kristen memberi tahu kita bagaimana kita, juga, dapat menjadi benar jika mengikuti saran mereka?

Tetapi jangan khawatir, para pengusaha Kristen, pasaran buku Kristen tidak sedang goyah, karena imbauan ini telah tertanam sejak Musa turun dari gunung Sinai dengan Sepuluh Perintah Allah untuk menjadi benar. Dan kita terus membawa kebohongan ini.

Daya Pikat dari "Hampir"

Ternyata bukan menjadi benar yang merupakan persoalannya. Bila kita semua menghadapi dosa dengan lebih realistis, kita tidak akan begitu terkejut ketika muncul dosa dalam kehidupan seorang pemimpin rohani. (Saya takut apa yang akan ditulis anak-anak saya tentang saya nanti.) Bila kita jujur pada diri sendiri tentang siapa kita -- semua di antara kita -- kita akan tahu bahwa pemimpin kita juga manusia biasa, sama seperti kita.

Kadang-kadang saya ingin tahu apakah kita ingin para pemimpin rohani kita menjadi sempurna agar kita tidak perlu sempurna. Selama kita percaya ada orang yang sempurna, kita bisa terus mengabadikan mitos bahwa kesempurnaan itu mungkin dan kita terus membungkus dosa kita sendiri dengan baik di balik dusta dari "hampir". Kita hampir berada di sana. Kita hampir tiba di sana. Kita hampir kudus. Satu buku lagi, satu seminar lagi, satu pelayanan kebangunan rohani lagi, dan kita akan persis seperti orang yang ada di kulit muka buku itu atau brosur itu. Tiba-tiba saja, kehidupan rohani yang kita coba miliki ini makin jauh daripada yang kita inginkan. "Hampir" bahkan belum dekat. Pendeta saja jatuh, bagaimana dengan kesempatan untuk kita jatuh?

Bila kita jujur kepada diri sendiri, kita tahu bahwa pertanyaan riilnya bukanlah bagaimana orang yang begitu tinggi dapat jatuh begitu dalam, tetapi kenapa terjadinya tidak lebih awal di dalam atmosfer yang tidak mustahil? Apa yang dilakukan orang-orang ini di atas sana, dan mengapa kita tempatkan mereka di sana? Persoalan riilnya dalam hal ini bukanlah dengan dosa, tetapi dengan pengertian kita yang salah mengenai siapa diri kita menurut kita. Kita perlu mengerti bahwa bila seseorang jatuh, itu bukan akhir dari segalanya; itu baru kebenaran yang akhirnya terungkap. Sebetulnya baik bila kita semua kembali pada Injil, di mana seharusnya kita sudah sejak dahulu berada di sana (kejatuhan).

Saya sering bertanya-tanya bagaimana Injil yang hanya didasarkan pada jasa-jasa seseorang yang sudah mati untuk menghapus dosa dapat diabadikan pada jasa-jasa mereka yang kelihatannya tidak memerlukannya. Bila seluruh maksud dari Injil adalah pengampunan dosa, mengapa kita selalu memaksa untuk memamerkan kehidupan yang "hampir sempurna" di depan sesama kita? Bagaimana orang yang menyatakan tidak mempunyai dosa untuk diampuni? Bagaimana sebuah gereja yang dahulunya bahagia dan terdiri atas nelayan, pelacur, dan pemungut cukai sekarang berubah menjadi tempat kaum elit rohani? Tak pelak lagi, banyak jawaban rumit atas pertanyaan-pertanyaan ini, tetapi saya percaya pada akar dari semua pertanyaan itu sedang tersembunyi masalah orang Farisi.

PANGGILAN ORANG FARISI ZAMAN DAHULU

Dosa hanya muncul ke permukaan pada bagian awal dari keselamatan. Orang-orang berdosa adalah mereka yang perlu diselamatkan, tetapi begitu mereka diselamatkan, kita jarang mendengar tentang dosa lagi. Benar, dosa masih muncul dalam pengertian pada semua orang berdosa yang ada "di luar sana" yang memerlukan Kristus, tetapi bukankah kita yang "di sini" memerlukan Yesus sebanyak ketika kita telah diselamatkan?

Seakan-akan kita percaya ada suatu standar lain yang terjadi begitu kita menjadi orang Kristen. Orang yang tidak percaya perlu menerima pengampunan dosa, akan tetapi orang percaya hanya perlu berhenti berdosa. Darah Yesus menutup dosa saya ketika saya menjadi orang Kristen, tetapi bahwa sekarang saya sudah diselamatkan, saya harus berbenah diri dan menjadi benar. Keselamatan dimaksudkan bagi mereka yang perlu diselamatkan, bukan bagi mereka yang sudah diselamatkan. Dan apabila "tidak berdosa" harus lebih diutamakan daripada "pengampunan dosa" ,... berhati-hatilah hai orang Farisi.

"Siapa di antara kamu yang tidak berdosa?" itu adalah pertanyaan keras yang Yesus ajukan kepada orang-orang Farisi. Kita seharusnya mengajukan kepada diri kita pertanyaan yang sama. Yohanes mengatakannya demikian, "Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita" (1Yohanes 1:8). Walaupun demikian, kita ingin terus ditipu -- untuk mengabadikan mitos tentang diri kita sendiri dan pemimpin-pemimpin kita yang membuat dosa kita tersembunyi karena alternatifnya --menjadi bersih -- begitu menakutkan. Kendati tidak berdosa bukannya tidak mungkin, kita lebih suka untuk mengabadikan keyakinan palsu bahwa ia memang palsu, bukannya menghadapi kenyataan. Kita menciptakan pendeta dan pemimpin terutama untuk membuktikan bahwa tidak berdosa itu dapat dilakukan; tetapi orang-orang itu menjalani kehidupan di luar nilai-nilai rohani. Jika penilaian saya benar, ini sebetulnya karena kasih karunia Tuhan yang diwahyukan sehingga kita semua bisa menghadapi kondisi yang sebenarnya.

Saya bertumbuh dewasa berdasarkan lirik lagu pujian berikut ini: "Siapa yang dapat membasuh dosaku? Tak seorang pun kecuali darah Yesus." Saya perhatikan bahwa penulisnya menggunakan keterangan waktu sekarang, yang berarti bahwa dosa adalah sebuah realitas yang terjadi setiap hari dalam kehidupan orang percaya. Tetapi banyak orang menyanyikannya seakan-akan itu sudah terjadi di masa lalu, "apa yang telah menghapus dosaku?" Seolah-olah dosa kini berada di belakang kita -- sisa dari dosa kita sebelum menjadi orang Kristen.

Orang dapat melihat bagaimana dengan tidak kelihatan kita dapat menjadi calon utama untuk masuk dalam kelompok Farisi. Ketika menjadi sempurna lebih penting daripada diselamatkan -- ketika tidak berdosa lebih diutamakan daripada menangani dosa dengan jujur -- semua kekuatan yang menggoda Saulus dari Tarsus, sekarang siap untuk memberi kita kekuatan yang palsu. Yang dianggap kesempurnaan, susunan standar untuk membuat penghancurannya nyaris tidak mungkin dilakukan, penghakiman atas orang lain, persembunyian, dan tentu saja, kemunafikan, semata-mata terlalu menggoda untuk ditolak.

ORANG GALATIA YANG BODOH

"Hai orang-orang Galatia yang bodoh, siapakah yang telah mempesona kamu?" tulis Paulus. "Adakah kamu sebodoh itu? Kamu telah mulai dengan Roh maukah kamu sekarang mengakhirinya di dalam daging?" (Galatia 3:1,3).

Agaknya, ini bukan persoalan baru. Kita memulai dengan Roh; kita mulai dengan keselamatan; dengan kasih karunia Tuhan yang tidak patut kita terima, tetapi kemudian upaya manusia merayap kembali masuk ke dalam kehidupan kita seperti tanaman liar di kebun. Kita mulai melihat ke dalam diri kita sendiri sambil berpikir bahwa kita harus menemukan apa yang kita perlukan untuk menjadi orang Kristen yang baik, dan pada detik kita mulai melihat diri kita sendiri, kita mulai menutupi dan melindungi dan membandingkan diri kita dengan orang lain, sama seperti orang-orang Farisi. Ini tidak dapat dihindari. Di mana ada perpaduan rohani dengan upaya manusia, di situlah akan ada kejatuhan dari orang-orang Farisi yang menggeliat seperti ular berbisa sedang menunggu ada orang terjerat jatuh.

Jika diperlukan Roh untuk menyelamatkan kita, Paulus berkata, maka dengan Rohlah kita tetap selamat. Mulailah dengan Roh, tetaplah dengan Roh; mulailah dengan keselamatan, tetaplah dengan keselamatan; mulailah dengan kasih karunia, tetaplah dengan kasih karunia. Bagaimana kita dapat menambahkan sesuatu pada apa yang telah Kristus lakukan? Kita diselamatkan setiap kalinya. Kita menyerahkan hidup kita yang penuh dosa kepada-Nya, dengan berbalik dari ketergantungan pada diri sendiri lalu berserah kepada-Nya, dengan berbalik dari ketergantungan pada diri sendiri lalu berserah kepada-Nya, dan menerima hidup-Nya sebagai ganti hidup kita. Kini tidak ada bedanya. Ini adalah transaksi detik-demi-detik.

Orang-orang Galatia mencoba untuk menyempurnakan lewat upaya sendiri apa yang telah dimulai oleh Roh, sementara itu mereka mengingkari Roh yang benar bagi hidup mereka. Masalah mereka sama seperti masalah orang Farisi: ingin menguasai proses itu. Mereka ingin mengembalikan apa yang telah mereka hentikan. Agaknya, mereka merasa terlalu tidak nyaman kalau tidak menguasai. siapa lagi yang mau menolak kasih karunia Tuhan kecuali orang yang tidak ingin mendapat kasih karunia itu? Tragis sekali bahwa sementara ada kasih karunia untuk menutup semua dosa kita, masih ada orang-orang berdosa yang tidak tahu tentang itu dan orang-orang Farisi yang tidak ingin tahu.

KESELAMATAN: DAHULU, SEKARANG, DAN KEMUDIAN

Pengakuan dosa dalam kebanyakan gereja kita berasal dari mereka yang baru saja diselamatkan. Kita mendengar kisah-kisah mereka sebagai gambaran-gambaran "masa lalu" seperti dalam iklan penyedotan lemak dengan semua gelambir lemak yang menjijikkan dan bergantungan ke luar dari baju renang yang tidak pas. Anggapannya adalah, banyak di antara kita telah membuat semua dosa tersedot ke luar dari perut dan bagian belakang tubuh kita, dan sekarang kita sedang menikmati tubuh langsing "sesudah" lemak disedot. Jika dosa dapat mencuat di kemudian hari dalam hidup orang percaya, ini adalah hasil dari kebiasaan kembali ke hidup lama untuk sekian waktu. Kadang kala ini kebetulan menjadi yang terbaik dari kita. Ini dapat "dipecahkan" dengan penyerahan kembali hidup kita kepada Tuhan -- semacam "penyegaran keselamatan". Dosa jarang, seandainya pernah, disebut sebagai bagian yang normal dari pengalaman orang percaya setiap hari.

Apakah keselamatan terjadi satu kali dalam hidup kita atau sesuatu yang kita perlukan setiap hari dalam hidup kita? Jawabannya ya dan ya. Ini sebenarnya dua aspek dari sebuah proses tiga cabang dari keselamatan -- masa yang lalu, sekarang, dan kemudian. Nama teologinya adalah dibenarkan, dikuduskan, dan dimuliakan. Dibenarkan adalah apa yang terjadi terhadap kita dalam kaitannya dengan dosa kita, sekali dan selamanya, di kayu salib. Kematian Yesus sebagai ganti kita telah membenarkan kita selamanya di hadapan Allah sehingga kita dapat bersatu dengan Allah.

Tetapi ini bukan berarti bahwa kita tidak mempunyai dosa. Paulus menyebutnya sebagai "tubuh kematian" yang masih harus kita bawa dalam kehidupan, meskipun kita sudah menerima buah sulung Roh, di dalam hati (Roma 8:23). Kita sering kali terperangkap antara kemuliaan abadi bagi kita ketika kita menerima tubuh yang sudah dibangkitkan seperti Kristus, dan pembenaran kita di masa lalu yang sudah dilakukan oleh Yesus di salib. Segala sesuatu di antara itu adalah pengalaman masa kini dari proses pengudusan.

Orang percaya tidak selalu kembali ke hidup lama yang tercela. Juga tidak selalu tidak taat dengan sengaja. Sering kali, bentuknya hanya dinyatakan atau diperlihatkan karena karya Roh Kudus dalam mengelupasi sifat dosa kita seperti lapisan-lapisan bawang bombay. Kadang kala diungkapkan karena kerja Roh Kudus yang mengupas kita seperti bawang. Makin lama kita mengikut Kristus, makin kita tahu betapa dalam dosa itu berakar, dan betapa dalam dan lebarnya kemurahan dan kasih-Nya. Menyadari dosa, mengaku dosa, dan meminta pengampunan berlangsung sementara kita makin mengenali diri sendiri. Ini menyakitkan, karena kita terus menemukan seberapa jauh kita masih harus pergi, tetapi bermanfaat karena kita terus menemukan, juga, seberapa banyak Kristus telah lakukan untuk kita. Itulah sebabnya mengapa orang percaya yang lebih lama selalu merasa mempunyai pertalian dengan orang percaya baru. Ini adalah proses yang sama. Orang percaya baru mungkin mengalami pengampunan Allah untuk pertama kali, tetapi pengalaman ini langsung, nyata dan perlu bagi keduanya.

Ini juga yang menjadi alasan mengapa orang percaya baru dan orang percaya lama dapat menyanyikan lagu yang sama, menceritakan kisah Injil yang sama, membicarakan pengampunan yang sama yang langsung dari pengalaman masing-masing yang paling mutakhir. Perhatikan lagu ini: [diterjemahkan bebas dari lagu "At the Cross"]

Disalib, disalib, pertama kulihat t'rang, Dan beban hatiku lenyap; Dengan iman kudicelikkan Kini, kusenang selamanya.

Apakah orang yang sudah 20 tahun percaya menyanyikan lagu ini sambil mengingat ke masa 20 tahun yang lalu ketika ia menerima pengampunan? Apakah ia mengingat dan mengalami sendiri pengampunannya itu melalui tangisan seorang petobat baru? Ataukah air matanya tergenang sementara menyanyikan lagu ini untuk kesekian kalinya, karena ia menyadari maknanya jauh lebih dalam dibandingkan ketika ia menyanyikannya karena dosanya baru saja diampuni?

"Tell Me the Old, Old Story" adalah lagu lain yang sering dinyanyikan sewaktu saya kecil. Tetapi lagu lama bisa menjadi lagu baru bila kita mengerti dan mengalami proses pengudusan yang menyakitkan tetapi memuliakan.

MAKIN BANYAK DOSA, MAKIN BANYAK DARI TUHAN

"Tetapi hukum Taurat ditambahkan, supaya pelanggaran menjadi semakin banyak; dan di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah" (Roma 5:20).

Pada permulaan bab ini, saya membicarakan tentang persamaan yang salah: makin banyak dosa, kurang dari Tuhan; makin banyak dari Tuhan, sedikit dosa. Sekarang saya ingin memberi persamaan yang berbeda. Saya ingin memberitahukan bahwa lebih banyak dosa di sini artinya lebih sadar bahwa dosa saya banyak. Jadi, orang yang dekat Tuhan menjadi makin sadar akan dosa daripada yang jauh, dan oleh karenanya, orang itu akan mempunyai lebih banyak pengalaman terkait dengan Tuhan sementara imannya bertumbuh.

Inilah sebabnya mengapa orang-orang Kristen yang dewasa terus menjadi lebih rendah hati sementara mereka semakin tua. Mereka terus menemukan betapa berdosanya mereka dan betapa sabarnya Tuhan terhadap mereka.

Paulus menyatakannya demikian. "Perkataan ini benar dan patut diterima sepenuhnya: 'Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa,' dan di antara mereka akulah yang paling berdosa. Tetapi justru karena itu aku dikasihani, agar dalam diriku ini, sebagai orang yang paling berdosa, Yesus Kristus menunjukkan seluruh kesabaran-Nya. Dengan demikian, aku menjadi contoh bagi mereka yang kemudian percaya kepada-Nya dan mendapat hidup yang kekal" (1Timotius 1:15-16).

Di sini Paulus membuatnya pernyataan yang benar-benar menantang. Orang akan berpikir bahwa pemimpin besar seperti Paulus dapat menyatakan dirinya sebagai teladan untuk orang benar dan orang kudus, tetapi Paulus tidak melakukannya. Ia menyatakan kebalikannya; ia membanggakan diri sebagai orang yang paling hina di antara orang berdosa. Ia lebih suka menjadikan dirinya contoh dengan cara ini sehingga orang-orang lain bisa mempunyai harapan. Jika Kristus masih bisa bersabar terhadap Paulus -- orang berdosa terbesar -- tidak ada orang berdosa yang tidak bisa dijangkau oleh kasih Tuhan.

Inilah hak membanggakan yang benar-benar tidak biasa. Pada hakikatnya, Paulus berkata ia lebih berdosa dibandingkan orang lain, jadi tidak seorangpun dapat mempunyai alasan yang sah untuk tidak diampuni Tuhan. Bila ada harapan untuk Paulus, pasti ada buat yang lain. "Karena aku adalah yang paling hina dari semua rasul, sebab aku telah menganiaya Jemaat Allah. Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras daripada mereka semua; tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku" (1Korintus 15:9-10).

Untuk memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan dalam pernyataan Paulus, saya menyodorkan alinea berikut:

Apakah engkau pikir dosamu terlalu besar sehingga Tuhan tidak mungkin mengampunimu? Nah, pikirkan sekali lagi. Aku membunuh orang-orang Kristen karena iman mereka. Aku menghakimi orang-orang yang Tuhan panggil untuk melaksanakan pekerjaan-Nya. Jubah yang dipakai ketika membunuh teronggok di kakiku. Hal-hal menjijikkan telah dilaksanakan, atas perintahku, terhadap lebih banyak orang yang, dibandingkan yang dapat kuhitung, dahulu dan sekarang adalah saudaraku; dan tanggung jawab untuk ini semua ada dipundakku.

Lebih banyak dari Tuhan, lebih peka terhadap dosa. Semakin saya mencari Tuhan, semakin saya sadar bahwa yang ada di dalam saya bukan berasal dari Tuhan. Itulah sebabnya mengapa pernyataan Paulus di sini menggunakan keterangan waktu sekarang. "Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa -- di mana akulah yang paling berdosa. Kenyataan bahwa ia berdosa semutakhir dan sesegar kenyataan kasih karunia Tuhan. Ia tahu bahwa ia tidak benar-benar mengenal kasih karunia Tuhan tanpa mengetahui dosanya dan betapa ia kurang layak untuk mendapat apa yang sedang ia terima. Jika layak, maka itu bukan lagi kasih karunia.

Bila kita ingin sembuh dari kepalsuan Farisi ini, kita harus sadar dosa-dosa kita sekarang. Kita perlu menjadi ahli dalam menemukan dan menggali dosa-dosa kita sendiri -- bukan dosa orang lain. Kita punya banyak dosa yang harus dibereskan dengan segenap hati tanpa harus mengurus dosa orang lain untuk dikaji. Saya tahu saya adalah orang berdosa paling besar, semata-mata karena saya lebih mengenal diri saya dibandingkan orang lain. Dosa saya adalah yang terburuk karena itu adalah dosa saya. Saya sangat terlibat dalam dosa itu. Saya tahu semua nuansanya yang tak kelihatan, pandangannya yang menyesatkan, pencarian dalihnya dan bagaimana dosa itu ditutup-tutupi. Tentang dosa saya, sayalah pakarnya. Dosa orang lain bukan urusan saya.

Dan ikutilah ini: Yeremia mengatakan bahwa pengetahuan kita "yang canggih" dalam hal dosa masih terbatas. Lebih dalam dari apa yang kita ketahui tentang dosa kita terletak dari apa yang tidak kita ketahui. "Betapa liciknya hati, lebih licik daripada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya" (17:9). Ini suatu sarana pengingat bahwa, bagaimanapun banyaknya kita ketahui mengenai dosa kita, kita masih tidak tahu sama sekali.

Paulus menggunakan tema ini dalam 1Korintus 4:4, "Sebab memang aku tidak sadar akan sesuatu, tetapi bukan karena itulah aku dibenarkan. Dia, yang menghakimi aku, ialah Tuhan." Dosa yang Paulus sadari telah ia bawa kepada Tuhan dan ia sudah menerima pengampunan; apa yang tidak ia ketahui telah diketahui oleh Tuhan dan akan dinyatakan pada waktunya.

Maka, sebuah hati nurani yang bersih tidak berarti kita tidak berdosa. Sebaliknya, ini berarti bahwa kita ditutup oleh darah Yesus untuk apa yang kita ketahui dan apa yang tidak kita ketahui. Ini harus membuat kita rendah hati sampai Dia datang kembali. "Sebab Allah yang telah berfirman: 'Dari dalam gelap akan terbit terang!', Ia juga yang membuat terang-Nya bercahaya di dalam hati kita, supaya kita beroleh terang dari pengetahuan tentang kemuliaan Allah yang tampak pada wajah Kristus" (2Korintus 4:6).

PERNYATAAN IMAN ORANG FARISI YANG INGIN SEMBUH

Bila saya berbicara tentang dosa, saya tidak lagi membicarakannya sebagai sesuatu yang terjadi dahulu sekali. Bila saya membicarakan pengampunan, maksud saya bukan pengampunan yang saya terima pertama kali ketika saya menjadi orang Kristen. Saya akan membicarakan dosa dan pengampunan yang saya alami setiap hari -- yang saya alami sekarang ini -- yang memungkinkan saya menjadi manusiawi, riil dan jujur tentang siapa saya sekarang dan siapa saya kelak. Dan, bila percakapan berubah membahas tentang orang berdosa, saya sadar bahwa percakapan itu benar-benar tentang saya. Saya akan selalu tahu bahwa saya adalah orang yang paling hina dari semua orang berdosa. Saya menempatkan Yesus di salib; dosa saya memaku-Nya di sana. Dan, jika saya pernah sengaja merenungkan bahwa ada orang berdosa yang lebih buruk daripada saya di dunia ini, apa pun kadar kejahatannya, maka pada saat itu saya telah melangkahi batas kemunafikan dan saya sedang membicarakan sesuatu yang saya sendiri tidak tahu apa-apa. Mengenai dosa, saya hanya bisa berbicara tentang diri sendiri tanpa kepastian yang mutlak, dan dalam kaitan dengan diri saya dan dosa, saya yakin mengenai yang satu ini: bahwa saya ahli dalam dosa dan pengampunan. Dosa mendatangkan kesedihan dan pengampunan mendatangkan kebahagiaan. Yang luar biasa bukanlah bahwa saya berdosa, tetapi bahwa, sekalipun saya berdosa, saya masih bisa bersekutu dengan Tuhan dan dipakai oleh Dia untuk rencana-rencana-Nya di dunia ini.

"Sebab itu siapa yang menyangka bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh!" (1Korintus 10:12).

ORANG FARISI TANPA NAMA

Penyembuhan dari kecanduan, baik alkohol, obat-obatan, seks, atau apa saja, tidak pernah sempurna. Tidak pernah selesai. Itulah sebabnya mengapa selalu ada kelompok penyembuhan. Kelompok ini dibentuk bukan saja untuk membantu melepaskan seseorang dari kecanduannya. Pencandu yang berpengalaman tahu bahwa mereka tidak pernah benar-benar "sembuh", artinya bahwa mereka tidak pernah sepenuhnya tidak berisiko untuk kembali pada kecanduan. Peminum tidak berhenti jadi peminum, ia hanya berhenti minum, dan keputusan ini dibuat setiap hari.

Dosa sama saja. Kita tidak menghentikan perjuangan kita untuk mengalahkan dosa setelah kita selamat, seakan-akan tidak lagi bisa berdosa, tetapi kita berupaya dengan kuasa Roh Kudus yang ada di dalam kita agar berhenti berdosa. Bahkan upaya menutupi dosa juga sama. Peminum yang tidak berani menghadapi kebiasaan minumnya, tetapi berpura-pura menjalani kehidupan normal di dalam masyarakat seakan-akan tidak ada yang tidak beres, bagaimanapun juga akan mencuri-curi untuk minum. Dengan cara-cara yang sama, orang Kristen yang berpura-pura menang atas dosa sedang menyembunyikan sesuatu. Orang Farisi selalu pandai menyamar.

Cara penyembuhan ini sama persis dengan orang berdosa yang sudah diselamatkan. Walaupun menyakitkan untuk masuk ke dalam ruang itu dan mengakui siapa kita sebenarnya, tetapi amat menenteramkan dan melegakan untuk menghadapi kebenaran dan tidak melarikan diri dari diri kita sendiri lagi. "Hai, saya John. Saya orang berdosa," tiba-tiba saja tidak lagi menjadi suatu kutukan, melainkan cara memperkenalkan diri kepada kelompok orang yang tahu dan sedang melihat bersama saya apa artinya. Inilah proses penyucian diri yang dibawa ke dalam masyrakat. Setelah bertahun-tahun mencoba dan gagal melawan dosa dengan cara sendiri, kita bisa mendapatkan bantuan, dukungan, dan pertanggungjawaban dari diri orang lain. Dan, orang-orang ini tidak menolak Anda. Tidak pernah. Tidak ada yang lebih buruk daripada yang lain di dalam kelompok ini. Ceritakan kisah Anda di situ dan itu tidak akan membuat satu orang pun terkejut.

Cobalah dan rasakan hasilnya. "Hai, saya ----, dan saya orang berdosa." Dalam kelompok penyembuhan yang sejati ini seruan itu akan segera dibalas dengan "Hai, -----!" yang tulus dari yang berada di kelompok tersebut. Dengan cara itu, mereka sebetulnya menyatakan bahwa mereka mengerti bagaimna rasanya menjadi orang berdosa. Bukan karena dosa atau mabuk-mabukkan itu dianggap benar tetapi bahwa itu tidak masalah karena kita sama-sama di dalam pertempuran ini dan ada harapan. Ada pengampunan. Orang lain mengatakan mereka berdosa juga; mereka ingin melakukan sesuatu seperti kita, dan itulah sebabnya kita semua ada di situ. Bukankah senang rasanya kalau berada di antara sesama teman? Bukankah enak rasanya kalau tidak perlu berbohong lagi? Tidakkah Anda ingin bahwa gereja bisa menjadi lebih daripada sekadar seperti sekarang?

Seperti gereja, dalam setiap kelompok ini, orang ada di dalam bermacam tingkatan dan tahapan dalam pertumbuhan mereka. Beberapa orang sudah ada di sana selama bertahun-tahun dan sekarang sedang mensponsori orang lain dengan membantunya agar sanggup melewati satu hari lagi, bersedia ditelepon atau siap ditemui di kantor bila ada yang jatuh dan perlu ditolong segera. Ada yang baru tiba dan masuk dengan gelisah dan tidak tahu apa yang harus mereka harapkan. Mereka semua berada di sana untuk mendapatkan kasih dan pengertian, dan yang paling utama -- pertolongan.

Di sinilah sebenarnya gereja bisa lebih berperan daripada kelompok A.A. atau kelompok penyembuhan lain apa pun namanya. "Alcoholiscs Anonymous", yang menjadi pencetus penyembuhan ini, dengan tujuan menjaga dua sikap bertentangan yang agamawi, hanya dapat menuntun para pecandu pada satu "Kuasa yang Lebih Tinggi". Gereja menawarkan kepada semua orang sebuah persekutuan yang akrab dengan Yesus Kristus, yang telah mati untuk membebaskan kita dari dosa. Ini sukar ditandingi.

Jadi, sekarang saya menghadapi dosa-dosa saya dan saya telah diampuni dan disokong oleh orang berdosa lain yang sudah mendapat pengampunan juga. Saya hanya berharap bahwa ada sesuatu yang dapat saya lakukan sehubungan dengan kecenderungan membenarkan diri sendiri setelah saya sudah menjadi orang Kristen. Mungkin ada caranya ....

"Hai, saya John, dan saya orang Farisi."

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : 12 Langkah Penyembuhan bagi Orang Farisi
Judul Artikel : -
Penulis : John Fischer
Penerjemah : -
Penerbit : Yayasan Pekabaran Injil IMMANUEL
Halaman : 86 - 98

Komentar


Syndicate content