Keberadaan Allah

Penulis_artikel: 
James N. Anderson
Tanggal_artikel: 
15 Juli 2022
Isi_artikel: 

DEFINISI

Eksistensi dan sifat-sifat Allah terlihat dari ciptaan itu sendiri, meskipun manusia berdosa menekan dan mendistorsi pengetahuan alamiah mereka tentang Allah.

RINGKASAN

Eksistensi Allah menjadi dasar bagi studi teologi. Alkitab tidak berusaha untuk membuktikan keberadaan Allah, melainkan menerimanya begitu saja. Kitab Suci mengungkapkan doktrin yang kuat tentang wahyu alam: keberadaan dan sifat-sifat Allah terbukti dari ciptaan itu sendiri, meskipun manusia yang berdosa menekan dan mendistorsi pengetahuan alami mereka tentang Allah. Pertanyaan dominan dalam Perjanjian Lama dan Baru bukanlah apakah Allah itu, melainkan siapakah Allah itu. Para filsuf, baik Kristen maupun non-Kristen, telah menawarkan berbagai argumen tentang keberadaan Allah, dan disiplin teologi alam (apa yang dapat diketahui atau dibuktikan tentang Allah hanya dari alam) berkembang pesat saat ini. Namun, beberapa filsuf mengemukakan bahwa kepercayaan kepada Allah itu dibenarkan secara rasional bahkan tanpa argumen atau bukti teistik. Sementara itu, orang-orang yang mengaku ateis mengajukan berbagai argumen yang menentang keberadaan Allah; yang paling populer adalah argumen dari kejahatan, yang menyatakan bahwa keberadaan dan tingkat kejahatan di dunia memberi kita cukup alasan untuk tidak percaya kepada Allah. Sebagai tanggapan, para pemikir Kristen telah mengembangkan berbagai teodisi, yang berusaha menjelaskan mengapa Allah secara moral dibenarkan dalam mengizinkan kejahatan yang kita amati.

Jika teologi adalah studi tentang Allah dan karya-karya-Nya, keberadaan Allah sama mendasarnya bagi teologi seperti halnya keberadaan batu bagi geologi. Dua pertanyaan dasar diajukan mengenai kepercayaan akan keberadaan Allah: (1) Apakah itu benar? (2) Apakah itu dibenarkan secara rasional (dan jika demikian, atas dasar apa)? Pertanyaan kedua berbeda dari yang pertama karena suatu kepercayaan bisa menjadi benar tanpa dibenarkan secara rasional (misalnya, seseorang bisa saja secara irasional percaya bahwa dia akan mati pada hari Kamis, kepercayaan yang ternyata kebetulan benar). Para filsuf telah bergulat dengan kedua pertanyaan itu selama ribuan tahun. Dalam esai ini, kita akan merenungkan apa yang Alkitab katakan sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, sebelum mengambil sampel jawaban dari beberapa pemikir Kristen yang berpengaruh.

Kitab Suci dan Keberadaan Allah

Alkitab

Alkitab diawali bukan dengan bukti keberadaan Allah, tetapi dengan pernyataan tentang karya Allah: "Pada mulanya, Allah menciptakan langit dan bumi." Penegasan dasar Kitab Suci ini mengasumsikan bahwa pembaca tidak hanya sudah mengetahui bahwa Allah itu ada, tetapi juga memiliki pemahaman dasar tentang siapa Allah itu. Sepanjang Perjanjian Lama, kepercayaan kepada Allah pencipta diperlakukan sebagai hal yang normal dan alami bagi semua manusia, meskipun bangsa-bangsa kafir telah jatuh ke dalam kebingungan tentang identitas sebenarnya dari Allah ini. Mazmur 19 dengan gamblang mengungkapkan doktrin wahyu alam: seluruh alam semesta ciptaan 'menyatakan' dan 'mewartakan' karya-karya agung Allah. Amsal memberi tahu kita bahwa "takut akan Tuhan" adalah titik awal pengetahuan dan hikmat (Ams. 1:7; 9:10; lih. Mzm. 111:10). Oleh karena itu, menyangkal keberadaan Allah secara intelektual dan moral adalah menyimpang (Mzm. 14:1; 53:1). Memang, perhatian dominan dalam seluruh Perjanjian Lama bukanlah tentang apakah Allah itu ada, melainkan siapakah Allah itu. Apakah Yahweh adalah satu-satunya Tuhan yang benar atau tidak (Ul. 4:35; 1Raj. 18:21, 37, 39; Yer. 10:10)? Pandangan dunia yang menjadi landasan bagi monoteisme Ibrani adalah politeisme pagan, bukan ateisme sekuler.

Pendirian tentang keberadaan Allah ini berlanjut ke dalam Perjanjian Baru, yang dibangun di atas landasan monoteisme Perjanjian Lama yang tanpa kompromi. Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, Rasul Paulus menegaskan bahwa "kuasa-Nya yang kekal dan sifat keilahian-Nya" jelas terlihat dari tatanan ciptaan itu sendiri. Secara objektif, tidak ada dasar rasional untuk meragukan keberadaan pribadi Pencipta yang transenden, dan dengan demikian tidak ada alasan untuk tidak percaya (Rm. 1:20). Diberkahi dengan pengetahuan alami tentang Pencipta kita, kita berutang hormat dan syukur kepada Allah, dan kegagalan kita untuk melakukannya berfungsi sebagai dasar utama untuk manifestasi murka dan penghakiman Allah. Doktrin sang rasul yang kuat tentang wahyu alam menimbulkan pertanyaan tentang apakah ada orang yang benar-benar bisa menjadi ateis. Jawabannya akan tergantung, pertama, pada bagaimana "ateis" didefinisikan, dan kedua, pada apa tepatnya maksud Paulus ketika dia berbicara tentang orang-orang yang "mengenal" Allah. Jika gagasannya adalah bahwa semua manusia tetap memiliki beberapa pengetahuan sejati tentang Allah, terlepas dari penindasan dosa mereka terhadap wahyu alam, sulit untuk mempertahankan bahwa siapa pun dapat sepenuhnya tidak memiliki kesadaran kognitif tentang keberadaan Allah. Namun, jika "ateis" didefinisikan sebagai seseorang yang menyangkal keberadaan Allah atau mengaku tidak percaya kepada Allah, Roma 1 tidak hanya mengizinkan keberadaan ateis -- pada dasarnya, ia memprediksinya. Ateisme kemudian dapat dipahami sebagai bentuk penipuan diri yang salah.

Keyakinan Paulus tentang wahyu alami diterapkan dalam khotbahnya kepada pendengar non-Yahudi di Listra dan Atena (Kis. 14:15-17; 17:22-31). Paulus berasumsi tidak hanya bahwa para pendengarnya mengetahui hal-hal tertentu tentang Allah dari tatanan ciptaan, tetapi juga bahwa mereka telah dengan penuh dosa menekan dan memutarbalikkan kebenaran-kebenaran yang diwahyukan ini, dan justru beralih ke penyembahan berhala terhadap ciptaan (lih. Rm. 1:22-25). Meski begitu, seruannya kepada wahyu umum tidak pernah ditawarkan secara terpisah dari wahyu khusus: Kitab Suci Perjanjian Lama, pribadi Yesus Kristus, dan kesaksian para rasul Kristus.

Dalam bagian lain dalam Perjanjian Baru, pertanyaan tentang keberadaan Allah hampir tidak pernah secara eksplisit diangkat, melainkan berfungsi sebagai praanggapan dasar, asumsi latar belakang yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Satu pengecualian adalah penulis surat Ibrani, yang menyatakan bahwa "siapa pun yang datang kepada-Nya harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi pahala kepada mereka yang mencari Dia" (11:6, AYT). Secara umum, Perjanjian Baru kurang memperhatikan pertanyaan filosofis tentang keberadaan Allah dibandingkan dengan pertanyaan praktis tentang bagaimana orang berdosa dapat memiliki hubungan yang menyelamatkan bersama Allah yang keberadaan-Nya jelas. Seperti dalam Perjanjian Lama, pertanyaan yang mendesak bukanlah apakah Allah itu ada, melainkan siapakah Allah itu. Apakah Yesus Kristus adalah wahyu Allah dalam daging manusia atau tidak? Itulah inti masalahnya.

Argumen untuk Keberadaan Allah

Renungkan kembali dua pertanyaan yang disebutkan di awal. (1) Apakah kepercayaan kepada Allah itu benar? (2) Apakah itu dibenarkan secara rasional? Salah satu cara menarik untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut dengan tegas adalah dengan menawarkan argumen teistik yang berusaha menyimpulkan keberadaan Allah dari hal-hal lain yang kita ketahui, amati, atau anggap remeh. Argumen teistik yang meyakinkan, asumsinya, tidak hanya akan menunjukkan kebenaran tentang keberadaan Allah, tetapi juga memberikan pembenaran rasional untuk memercayainya. Ada banyak literatur tentang argumen teistik, jadi hanya contoh sorotan yang dapat diberikan di sini.

Generasi pertama apolog Kristen merasa tidak perlu memperdebatkan keberadaan Allah karena alasan yang sama bahwa tidak seorang pun menemukan argumen seperti itu dalam Perjanjian Baru: tantangan utama teisme Kristen bukan berasal dari ateisme, melainkan dari teisme non-Kristen (Yudaisme) dan politeisme pagan. Baru pada periode abad pertengahan kita menemukan argumen-argumen formal tentang keberadaan Allah ditawarkan, dan argumen-argumen itu pun tidak berfungsi terutama sebagai sanggahan ateisme, melainkan sebagai meditasi filosofis tentang sifat Allah dan hubungan antara iman dan akal budi.

Salah satu yang paling terkenal dan kontroversial adalah argumen ontologis St. Anselmus (1033 -- 1109) yang menyatakan bahwa keberadaan Allah dapat disimpulkan hanya dari definisi Allah, sedemikian rupa sehingga ateisme mengarah pada kontradiksi diri. Salah satu ciri khas dari argumen ini adalah bahwa ia bergantung hanya pada akal budi tanpa ketergantungan pada premis empiris. Berbagai versi argumen ontologis telah dikembangkan dan dipertahankan, dan berbagai pendapat terbagi tajam, bahkan di antara para filsuf Kristen, mengenai apakah ada, atau mungkinkah ada, versi yang masuk akal.

Argumen kosmologis berusaha untuk menunjukkan bahwa keberadaan alam semesta, atau beberapa fenomena di dalam alam semesta, menuntut penjelasan kausal yang berasal dari penyebab pertama yang diperlukan di luar alam semesta. St. Thomas Aquinas (1225 -- 1274) terkenal menawarkan "Lima Cara" untuk menunjukkan keberadaan Allah, yang masing-masing dapat dipahami sebagai semacam argumen kosmologis. Sebagai contoh, salah satu dari Lima Cara tersebut berpendapat bahwa setiap gerakan (perubahan) harus dijelaskan oleh semacam penggerak (penyebab). Jika penggerak itu sendiri menunjukkan gerakan, harus ada penggerak sebelumnya untuk menjelaskannya, dan karena tidak mungkin ada kemunduran tak terbatas dari penggerak yang digerakkan, harus ada penggerak asli yang tidak bergerak: penyebab pertama yang abadi, tidak berubah, dan ada dengan sendirinya. Pembela argumen kosmologis terkenal lainnya termasuk G.W. Leibniz (1646 -- 1716) dan Samuel Clarke (1675 -- 1729), dan baru-baru ini Richard Swinburne dan William Lane Craig.

Argumen teleologis, yang bersama dengan argumen kosmologis dapat ditelusuri kembali ke Yunani kuno, berpendapat bahwa Allah adalah penjelasan terbaik untuk desain atau keteraturan yang nyata di dalam alam semesta. Sederhananya, desain membutuhkan seorang desainer, dan dengan demikian penampilan desain di dalam alam adalah bukti dari seorang desainer supranatural. William Paley (1743 -- 1805) terkenal karena argumennya dari analogi yang membandingkan pengaturan fungsional dalam organisme alami dengan yang ada dalam artefak buatan manusia, seperti arloji saku. Sementara argumen desain mengalami kemunduran dengan munculnya teori evolusi Darwin, yang dimaksudkan untuk menjelaskan desain nyata organisme dalam hal proses adaptif tidak terarah, apa yang disebut Gerakan Desain Cerdas telah menghidupkan kembali argumen teleologis dengan wawasan dari kosmologi kontemporer dan biologi molekuler sambil mengungkap kekurangan serius dalam penjelasan Darwinian naturalistik.

Pada abad ke-20, argumen moral memperoleh popularitas yang cukup besar, paling tidak karena penyebarannya oleh C. S. Lewis (1898 -- 1963) dalam buku terlarisnya Mere Christianity ("Sekadar Kekristenan" - Red.). Argumen ini biasanya bertujuan untuk menunjukkan bahwa hanya pandangan dunia teistik yang dapat menjelaskan hukum dan nilai moral yang objektif. Seperti argumen teistik lainnya, ada beragam versi argumen moral, yang memperdagangkan berbagai aspek intuisi dan asumsi moral kita. Karena argumen semacam itu biasanya didasarkan pada realisme moral -- pandangan bahwa ada kebenaran moral objektif yang tidak dapat direduksi menjadi sekadar preferensi atau konvensi manusia -- kerja ekstra sering diperlukan untuk mempertahankan argumen semacam itu dalam budaya tempat kepekaan moral telah terkikis oleh subjektivisme, relativisme, dan nihilisme.

Cornelius Van Til (1895 -- 1987) menjadi terkenal karena kritiknya yang keras terhadap "metode tradisional" apologetika Kristen yang menyerah pada "nalar manusia yang otonom". Van Til berpendapat bahwa setiap argumen teistik yang terhormat harus mengungkapkan ketaksangkalan Allah Tritunggal yang diungkapkan dalam Kitab Suci, bukan hanya Penyebab Pertama atau Perancang Cerdas. Oleh karena itu, dia menganjurkan pendekatan alternatif, yang berpusat pada argumen transendental untuk keberadaan Allah, tempat orang Kristen berusaha untuk menunjukkan akal manusia, jauh dari otonom dan mandiri, mensyaratkan Allah Kekristenan, Sang "Pengondisi Segala Sesuatu" yang menciptakan, menopang, dan mengarahkan segala sesuatu menurut hikmat-Nya. Seperti yang dikatakan Van Til, kita harus berargumentasi "dari ketidakmungkinan sebaliknya": jika kita menyangkal Allah Alkitab, kita membuang alasan untuk berasumsi bahwa pikiran kita memiliki kapasitas untuk berpikir rasional dan memiliki pengetahuan yang dapat diandalkan tentang dunia.

Sejak kebangkitan filsafat Kristen pada paruh kedua abad ke-20, ada minat dan antusiasme baru terhadap proyek pengembangan dan pembelaan argumen teistik. Versi yang baru dan lebih baik dari argumen klasik telah ditawarkan, sementara perkembangan dalam filsafat analitik kontemporer telah membuka jalan baru bagi teologi alam. Dalam kuliahnya pada 1986, "Dua Lusin (atau lebih) Argumen Teistik", Alvin Plantinga membuat sketsa seluruh argumen untuk Allah mulai dari A sampai Z, yang sebagian besar belum pernah dieksplorasi sebelumnya. Saran Plantinga sejak itu telah diperluas dan dibukukan oleh para filsuf lain. Disiplin teologi natural Kristen berkembang pesat melebihi sebelum-sebelumnya.

Keyakinan Dasar tentang Adanya Allah

Namun, apakah satu pun dari argumen ini benar-benar diperlukan? Apakah keyakinan tentang keberadaan Allah harus ditopang oleh bukti-bukti filosofis? Sejak Abad Pencerahan, sering dianggap bahwa kepercayaan kepada Allah itu dibenarkan secara rasional hanya jika dapat didukung oleh bukti filosofis atau bukti ilmiah. Sementara Roma 1:18-21 kadang-kadang diambil sebagai mandat untuk argumen teistik, bahasa Paulus dalam bagian itu menunjukkan bahwa pengetahuan kita tentang Allah dari wahyu alam jauh lebih langsung, intuitif, dan dapat diakses secara universal.

... kita tahu secara naluriah bahwa ada Allah yang menciptakan kita dan kepada-Nya kita harus memberi hormat dan mengucap syukur.
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Dalam bab-bab pembukaan Institutes of the Christian Religion (Pengajaran Agama Kristen atau lebih dikenal sebagai Institutio - Red.) karyanya, John Calvin (1509 -- 1564) mempertimbangkan apa yang dapat diketahui tentang Allah selain dari wahyu khusus dan menegaskan bahwa pengetahuan alam telah ditanamkan secara universal dalam umat manusia oleh Sang Pencipta: "Dalam pikiran manusia, dan betul oleh naluri alami, terdapat kesadaran akan keilahian" (Institutes, I.3.1). Calvin berbicara tentang sensus divinitatis, "rasa terhadap keilahian", yang dimiliki oleh setiap orang karena diciptakan menurut gambar Allah. Kesadaran internal akan Sang Pencipta ini "tidak akan pernah bisa dilenyapkan", meskipun orang-orang berdosa "berjuang mati-matian" untuk menghindarinya. Pengetahuan alami tertanam kita tentang Allah dapat disamakan dalam beberapa hal dengan pengetahuan alami kita tentang hukum moral melalui kemampuan hati nurani yang diberikan Allah (Rm. 2:14-15). Kita tahu secara naluriah bahwa berbohong dan mencuri itu salah; tidak diperlukan argumen filosofis untuk membuktikan hal-hal seperti itu. Demikian pula, kita tahu secara naluriah bahwa ada Allah yang menciptakan kita dan kepada-Nya kita harus memberi hormat dan mengucap syukur.

Pada 1980-an, sejumlah filsuf Protestan yang dipimpin oleh Alvin Plantinga, Nicholas Wolterstorff, dan William Alston mengembangkan pembelaan canggih terhadap gagasan Calvin tentang sensus divinitatis. Dijuluki "epistemolog Reformed", mereka berpendapat bahwa kepercayaan teistik dapat (dan biasanya harus) benar-benar mendasar: dibenarkan secara rasional, bahkan tanpa bukti empiris atau bukti filosofis. Pada pandangan ini, percaya bahwa Allah itu ada sebanding dengan percaya bahwa dunia pengalaman kita benar-benar ada; itu sepenuhnya rasional, bahkan jika kita tidak dapat menunjukkannya secara filosofis. Memang, akan sangat disfungsional untuk percaya sebaliknya.

Argumen Melawan Keberadaan Allah

Bahkan dengan mengakui bahwa ada pengetahuan alam universal tentang Allah, tidak diragukan lagi ada orang yang menyangkal keberadaan Allah dan menawarkan argumen pembelaan mereka. Beberapa orang telah berusaha untuk mengungkap kontradiksi dalam konsep Allah (misalnya, antara kemahatahuan dan kebebasan ilahi) sehingga menyamakan Allah dengan "lingkaran persegi" yang keberadaannya secara logis tidak mungkin. Paling banyak, argumen seperti itu hanya mengesampingkan konsepsi tertentu tentang Allah, yaitu konsepsi-konsepsi yang sering bertentangan dengan pandangan alkitabiah tentang Allah dalam hal apa pun.

Pendekatan yang lebih sedikit ambisius adalah menempatkan beban pembuktian pada kaum teis: dengan tidak adanya argumen yang baik untuk keberadaan Allah, seseorang harus mengadopsi posisi ateisme "bawaan" (atau setidaknya agnostisisme). Sikap ini sulit dipertahankan mengingat banyak argumen teistik mengesankan yang diperjuangkan oleh para filsuf Kristen saat ini, belum lagi argumen para epistemolog Reformed bahwa kepercayaan kepada Allah adalah dasar yang tepat.

Argumen ateistik terpopuler tidak diragukan lagi adalah argumen dari kejahatan. Versi kuat argumen tersebut menyatakan bahwa keberadaan kejahatan secara logis tidak sesuai dengan keberadaan Allah yang mahabaik dan mahakuasa. Versi yang lebih sederhana berpendapat bahwa contoh kejahatan yang sangat mengerikan dan tampaknya serampangan, seperti Holocaust, memberikan bukti kuat untuk melawan keberadaan Allah. Masalah kejahatan telah mengundang berbagai teodisi: upaya untuk menjelaskan bagaimana Allah dapat dibenarkan secara moral dalam mengizinkan kejahatan yang kita temui di dunia. Meskipun penjelasan semacam itu bisa berguna, penjelasan tersebut tidak sepenuhnya diperlukan untuk membantah argumen dari kejahatan. Cukuplah untuk menunjukkan bahwa mengingat kompleksitas dunia dan keterbatasan pengetahuan manusia yang cukup besar, kita tidak berada dalam posisi untuk menyimpulkan bahwa Allah tidak dapat memiliki alasan yang menjustifikasi secara moral untuk mengizinkan kejahatan yang kita amati. Memang, jika kita sudah memiliki dasar untuk percaya kepada Allah, kita dapat menyimpulkan bahwa Allah pasti memiliki alasan seperti itu, terlepas dari apakah kita dapat memahaminya atau tidak.

BACAAN LEBIH LANJUT

  • James N. Anderson, "Can We Prove the Existence of God?" The Gospel Coalition, April 16, 2012.
  • Greg L. Bahnsen, "The Crucial Concept of Self-Deception in Presuppositional Apologetics", Westminster Theological Journal 57 (1995): 1-32.
  • John Calvin, "Institutes of the Christian Religion", Book I, Chapters 1-5.
  • William Lane Craig and J.P. Moreland, eds, "The Blackwell Companion to Natural Theology" (Wiley-Blackwell" 2009).
  • John M. Frame, "Nature's Case for God" (Lexham Press, 2018).
  • C.S. Lewis, "Mere Christianity" (Fontana Books, 1955).
  • Alvin Plantinga, "Knowledge and Christian Belief" (Eerdmans, 2015).
  • Cornelius Van Til, "Why I Believe in God" (Committee on Christian Education, Orthodox Presbyterian Church, 1966).
  • Jerry L. Walls dan Trent Dougherty, eds, "Two Dozen (or so) Arguments for God" (Oxford University Press, 2018).
  • Greg Welty, "Why Is There Evil in the World (And So Much Of It)?" (Christian Focus, 2018).

Audio: Keberadaan Allah

Sumber Artikel: 
Diterjemahkan dari:
Nama situs : The Gospel Coalition
Alamat situs : https://thegospelcoalition.org/essay/the-existence-of-god
Judul asli artikel : The Existence of God
Penulis artikel : James N. Anderson

Reformasi Bahasa Inggris

Penulis_artikel: 
Scott Hubbard
Tanggal_artikel: 
17 Maret 2022
Isi_artikel: 

Bagaimana Alkitab Tyndale Mengubah Bahasa Kita

Pada akhir musim panas atau musim gugur tahun 1525, lembaran-lembaran kertas tipis yang dijahit berpindah-pindah melintasi Selat Inggris, tersembunyi di dalam bungkusan kain dan karung tepung. Mereka berlayar tanpa diketahui, tersembunyi, dari Selat ke galangan kapal London, dari galangan kapal ke tangan pandai besi dan juru masak, pelaut dan tukang sepatu, pendeta dan politisi, ibu dan ayah dan anak-anak. Ketika bungkusan kain dibuka dan karung tepung dibuka, baris pertamanya berbunyi,

Di sini saya telah menerjemahkan (saudara dan saudari yang sangat terkasih dalam Kristus) Perjanjian Baru untuk pengajaran, pertolongan, dan penghiburan rohani Anda.

Dan kemudian, beberapa halaman berikutnya:

Ini adalah kitab silsilah Yesus Kristus anak Daud, anak Abraham juga ...

Inilah Kitab Injil Matius, yang diterjemahkan dari bahasa Yunani asli ke dalam bahasa Inggris untuk pertama kalinya. Seluruh Perjanjian Baru akan segera menyusul, dan kemudian sebagian dari Perjanjian Lama, sebelum penerjemahnya, William Tyndale (1494-1536), akan ditemukan dan dibunuh karena apa yang dia kerjakan.

Mereformasi Bahasa Inggris

Bible

Selama berabad-abad yang lalu, orang Inggris pada umumnya mungkin mengira Allah berbicara dalam bahasa Latin. Satu-satunya Alkitab yang sah di Inggris adalah Alkitab Bahasa Latin, yang diterjemahkan lebih dari satu milenium sebelumnya oleh Bapak gereja Jerome (yang meninggal pada 420). Bagi mereka, Mazmur hanyalah nyanyian dari negeri asing. Sepuluh Perintah bergemuruh ke arah mereka tanpa kejelasan yang lebih dari guntur Sinai. Mereka tahu, mungkin, bahwa Firman itu menjadi daging dan tinggal di antara kita -- tetapi terlepas dari potongan-potongan, mereka tidak pernah mendengar Dia berbicara dalam bahasa mereka. Sampai akhirnya Alkitab Bahasa Inggris datang.

Selama tahun-tahun berikutnya, beberapa orang membakar buku ini, dan beberapa orang dibakar karena buku itu. Beberapa akan menyelundupkan buku ini ke Inggris, dan beberapa akan membuangnya. Namun, buku itu sendiri, setelah diterjemahkan, tidak akan terlupakan. Ilegal atau tidak, Kitab Suci Bahasa Inggris akan menemukan jalan mereka ke mimbar Inggris dan hati orang Inggris, mereformasi Inggris melalui bahasa ibunya.

Dan di sepanjang jalan, reformasi lainnya terjadi -- reformasi yang sering diabaikan, tetapi, dapat dikatakan, sangat besar pengaruhnya. Terjemahan Tyndale tidak hanya akan mereformasi negara Inggris, tetapi juga bahasa Inggris; itu akan membentuk masa depan bukan hanya agama Inggris, tetapi juga bahasa Inggris. Seperti yang ditulis oleh penulis biografi David Daniell, "Tajuk utama surat kabar masih mengutip Tyndale, meskipun tanpa disadari, dan dia telah menjangkau lebih banyak orang daripada Shakespeare" (William Tyndale, 2).

Bahaya Terjemahan

Dari jarak lima ratus tahun, kita mungkin kesulitan untuk memahami bagaimana gereja Kristen Inggris dapat menentang Kitab Suci Kristen Inggris. Karena, cukup mencengangkan, gerejalah yang melarang dan membakar buku ini. Otoritas Katolik pada zaman Tyndale memberikan setidaknya dua alasan.

Pertama, terjemahan pada dasarnya berbahaya. Pada awal 1400-an, satu generasi setelah John Wycliffe (1328-1384) menerbitkan Alkitab bahasa Inggris pertama (diterjemahkan dari Vulgata Latin, bukan dari bahasa Ibrani dan Yunani), Konstitusi Oxford menyatakan,

Adalah berbahaya, seperti yang disaksikan St. Jerome yang dimuliakan, untuk menerjemahkan teks Kitab Suci dari satu bahasa ke bahasa lain, karena dalam terjemahan arti yang sama tidak selalu mudah dipertahankan .... Karena itu kami memutuskan dan menetapkan, bahwa tidak seorang pun, selanjutnya, dengan otoritasnya sendiri menerjemahkan teks Kitab Suci apa pun ke dalam bahasa Inggris atau bahasa lain apa pun ... dan tidak ada orang yang boleh membaca buku seperti itu ... sebagian atau seluruhnya. (God's Bestseller, xxii)

Para imam dan hakim pada zaman Tyndale menegakkan hukum seperti itu dengan kaku, terkadang membakar orang Kristen hidup-hidup hanya karena memiliki Doa Bapa Kami dalam bahasa Inggris. Sebuah Alkitab bahasa Inggris, tentu saja, lebih berbahaya bagi gereja yang korup daripada bagi orang Kristen biasa. Meski demikian, begitulah posisi mereka: terjemahan terlalu berbahaya.

Bahasa Kita yang Kasar dan Berkarat

Dengan Alkitab Tyndale, muncul reformasi -- secara teologis dan spiritual, tetapi juga secara linguistik.
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Akan tetapi, terlepas dari terjemahan itu sendiri yang dianggap berbahaya, gagasan terjemahan bahasa Inggris dianggap "konyol." "Bahasa Inggris, ketika Tyndale mulai menulis," kata Daniell, "adalah bahasa yang buruk, hanya diucapkan oleh beberapa orang di sebuah pulau di lepas landas Eropa .... Pada tahun 1500, bahasa Inggris bagi orang-orang di Eropa sama tidak relevannya dengan bahasa Gaelik Skotlandia sekarang ini bagi orang-orang di kota London" (The Bible in English, 248).

Meskipun bahasa Inggris cukup untuk komunikasi sehari-hari, bahasa Latin mendominasi bidang kehidupan tertinggi. Hakim menulis dalam bahasa Latin. Profesor menulis (dan mengajar) dalam bahasa Latin. Karya sastra muncul dalam bahasa Latin. Para pendeta melakukan pelayanan mereka dalam bahasa Latin. Lalu, bagaimana Alkitab bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris?

Sebuah puisi dari John Skelton, yang ditulis pada awal tahun 1.500-an, menangkap dugaan absurditas terjemahan bahasa Inggris:

Bahasa alami kita kasar,
Dan sulit dijadikan enneude (dihidupkan kembali)
Dengan begitu banyak istilah yang dipoles;
Bahasa kita sangat usang,
Sangat murung dan begitu penuh
Dengan pertentangan [kata-kata sulit], dan sangat membosankan,
Sehingga jika aku hendak memakainya
Untuk menulis dengan indah,
Aku tak tahu di mana menemukan
Istilah untuk mengungkapkan pikiranku. (273)

Bahasa yang kasar dan berkarat seperti itu tidak bisa membawa nubuat Allah. Atau begitulah yang dipikirkan pihak gereja.

Alkitab untuk si Pembajak

kataWilliam Tyndale tumbuh besar, bersama dengan semua anak laki-laki lain seusianya, mendengar firman Tuhan dalam bahasa Latin. Doa Bapa Kami tidak dimulai, "Bapa kami, yang ada di surga," tetapi "Pater noster, qui es in caelis." Dan, seperti anak laki-laki lain seusianya, dia menghabiskan hari-hari sekolahnya mempersiapkan diri untuk mengucapkan kata Latin itu seperti seorang imam kepada generasi berikutnya.

Namun, dia tidak pernah melakukannya -- atau setidaknya tidak lama. Kita tahu beberapa alasan mengapa Tyndale bosan dengan agama yang hanya berbahasa Latin dan mulai bersemangat membaca Alkitab dalam bahasa Inggris. Mungkin dia memperhatikan bahwa, dari seluruh Eropa pada tahun 1520-an, hanya Inggris yang tidak memiliki terjemahan vernakular yang sah (Bible in English, 249). Mungkin dia mendengar tentang -- dan bahkan membaca -- terobosan Alkitab Jerman Martin Luther, yang diterbitkan pada tahun 1522. Mungkin dia memperhatikan semua kejahatan Katolik yang hanya dapat dikonfirmasi oleh Alkitab yang bisu. Dan mungkin, sebagai seorang ahli bahasa yang luar biasa, dia mendengar jauh lebih banyak potensi dalam bahasa Inggris kita daripada gereja pada zamannya.

Akan tetapi, kita tahu bahwa ketika usia dua puluhan Tyndale mendengar seseorang berkata, "Lebih baik kita hidup tanpa hukum Tuhan daripada hukum Paus," dia menjawab, "Saya menentang Paus dan semua hukumnya .... Jika Allah mengizinkan saya hidup lama, saya akan membuat seorang anak laki-laki yang mengemudikan bajak, mengetahui kitab suci lebih banyak daripada Anda" (William Tyndale, 79). Injil di Kitab Suci, Tyndale tahu, "membuat hati seseorang gembira, dan membuatnya bernyanyi, menari, dan melompat kegirangan" (123). Akan tetapi, bagaimana si pembajak akan bernyanyi jika dia tidak mengerti sedikit pun tentang Injil itu?

Maka, Tyndale mulai menerjemahkan. Dia pergi pertama-tama ke London, untuk melihat apakah dia bisa menemukan dukungan untuk pekerjaannya di dekat rumah. Karena tidak menemukan apa pun, dia meninggalkan London menuju benua itu, dan di sana mulai mengerjakan terjemahan yang akan memberikan bukan hanya Alkitab kepada si pembajak, tetapi juga Alkitab dalam bahasa Inggris yang begitu indah, sehingga akan bertahan selama berabad-abad.

Terjemahan Tyndale

Dalam penilaian seorang sarjana, Tyndale "bertanggung jawab hampir seorang diri untuk membuat bahasa ibu, yang pada awal abad keenam belas hampir tidak dapat dihormati di kalangan terpelajar, menjadi sarana yang luwes, kuat, dan sensitif seperti yang terjadi pada zaman Shakespeare" (The King James Version pada 400, 316). Yang lain lebih jauh mengatakan, "Ada kebenaran dalam pernyataan, 'Tanpa Tyndale, tidak ada Shakespeare'" (William Tyndale, 158). Di bawah pena Tyndale, bahasa Inggris bertumbuh dari pemuda yang lemah menjadi pria dewasa, yang mampu mengungkapkan seluk-beluk dan kedalaman Kitab Suci dari Kejadian hingga Wahyu.

Namun, bagaimana dia melakukannya? Dengan memfokuskan semua kejeniusan linguistiknya pada dua tujuan besar: "Pertama," tulis Daniell, "untuk memahami bahasa Yunani dan Ibrani dari teks-teks asli Alkitab serta hal itu dapat dilakukan secara manusiawi. Kedua, menulis dalam bahasa Inggris yang di atas segalanya, dan setiap saat, masuk akal" (92). Akurasi dan kejelasan adalah ciri khas Tyndale, dan mereka membuat bahasa Inggris sekaligus menjadi sesuatu yang baru dan sangat familiar.

MUSA BERBICARA DALAM BAHASA INGGRIS

Pertama, komitmen Tyndale terhadap akurasi membuat bahasa Inggrisnya menjadi hal baru yang aneh. Rasa asing melekat pada frasa bahasa Inggrisnya, seolah-olah bahasanya bepergian ke luar negeri dan pulang dengan aksen baru.

Terkadang, pembaca merasakan perubahan dalam kata-kata baru yang diciptakan Tyndale untuk menangkap makna teks. Syafaat, penebusan, Paskah, kursi pendamaian, kambing hitam -- ini semua adalah Tyndalisme, karya seorang tukang kata di bengkelnya. Alistair McGrath berkomentar, "Dapat dilihat langsung bahwa terjemahan alkitabiah dengan demikian memberikan dorongan besar bagi perkembangan bahasa Inggris, paling tidak dengan menciptakan kata-kata bahasa Inggris baru untuk mengakomodasi ide-ide alkitabiah" (The Word of God in English, 61).

Akan tetapi, Tyndale tidak hanya menghasilkan kata-kata baru, tetapi juga gaya baru, terutama dalam terjemahan Perjanjian Lamanya. Berusaha keras untuk literal, dia menciptakan semacam bahasa Inggris Ibrani, seolah-olah Musa harus berbicara bahasa Inggris dengan pola bahasa ibunya. Misalnya, aneh kelihatannya, konstruksi sederhana "the+noun+of+the+noun" -- "the beasts of the field," "the birds of the air" -- masuk ke dalam bahasa Inggris melalui terjemahan Tyndale dari bentuk Ibrani yang disebut rantai konstruksi (William Tyndale, 285). Tyndale bisa saja memasukkan bentuk Ibrani ini ke dalam sintaksis bahasa Inggris yang ada; sebaliknya, dia menemukan bentuk bahasa Inggris baru, dan dengan demikian menghiasi bahasa Inggris kita dengan jubah Ibrani.

"Mengikuti kontur sintaksis bahasa Ibrani," tulis Robert Alter, "mencapai jenis baru efek menarik, sekaligus unggul dan hampir mencolok" (The King James Bible and the World It Made, 136). Dan, lebih banyak contoh dapat dicantumkan. Pengaruh bahasa Ibrani pada bahasa kita (dan pada tingkat lebih rendah bahasa Yunani), Daniell berpendapat, tidak kurang dari "besar sekali" (William Tyndale, 289) -- dan pujian sebagian besar ditujukan pada Tyndale. Dengan memahami bahasa aslinya begitu erat, dia membawa banyak dari mereka kembali ke bahasa Inggris, kepada kekayaan kita yang luar biasa.

TULISAN SUCI DALAM BAHASA BIASA

Akan tetapi, di samping hal baru yang tidak biasa itu, ada keakraban yang mencolok, yang lahir dari komitmen Tyndale terhadap kejelasan. Bahasa Inggrisnya mungkin telah bepergian ke luar negeri, tetapi tidak pernah kehilangan kontak dengan akarnya -- dan khususnya akar Saxonnya.

Bahasa Latin, seperti yang telah kita lihat, mendominasi karangan terkenal Tyndale yaitu England. Namun, bahkan ketika seorang penulis menulis sesuatu yang penting dalam bahasa Inggris, dia biasanya mengadopsi gaya Latin, bahasa Inggris yang penuh dengan kata-kata bersuku kata abstrak dalam sintaksis yang kompleks. Sebagai contoh, Daniell memberikan kutipan berikut dari terjemahan Lord Berner tahun 1523 tentang sejarah Perancis:

Jadi, ketika saya menerbitkan dan mengingat berbagai artikel sejarah, betapa bermanfaatnya bagi manusia fana, dan betapa terpuji dan berjasanya suatu perbuatan menulis sejarah ... yang saya nilai sangat berguna, perlu, dan menguntungkan memilikinya dalam bahasa Inggris ... (Bible in English, 250)

Dari 46 kata dalam kalimat parsial ini, 11 terdiri dari tiga suku kata atau lebih, 6 di antaranya 11 mencapai kisaran empat atau lima suku kata, dan sebagian besar dalam abstraksi yang tidak jelas. Beralih ke Tyndale, baik dalam tulisan prosanya atau terjemahan Alkitabnya, maka Anda memasuki dunia yang berbeda -- dunia yang lebih Saxon daripada Latin, diisi dengan kata-kata dan kalimat pendek yang membangkitkan gambaran kehidupan nyata. Di sini kita menemukan cahaya, bukan penerangan; makan, bukan menelan; tumbuh, bukan menyuburkan; bakar, bukan hangus.

Kata-kata Latin memiliki tempat mereka dalam bahasa Inggris, tentu saja, tetapi Tyndale tahu bahwa "bahasa daerah Anglo-Saxon yang sederhana" tidak hanya cocok dengan "diksi sederhana dari bahasa Ibrani," tetapi juga bahwa itu berbicara kepada hati pembaca dan pendengar bahasa Inggris (Raja Yakobus Alkitab, 137). Dia menerjemahkan "dalam bahasa yang digunakan orang-orang, bukan seperti yang ditulis oleh para sarjana" (William Tyndale, 3) -- seperti, misalnya, dalam kisah Natal Lukas 2:

And there were in the same region shepherds abiding in the field, and watching their flock by night. And lo: the angel of the Lord stood hard by them, and the brightness of the Lord shone round about them, and they were sore afraid. And the angel said unto them: Be not afraid: Behold I bring you tidings of great joy, that shall come to all the people: for unto you is born this day in the city of David a saviour, which is Christ the Lord. (Luke 2:8-11)
(Di daerah yang sama, ada beberapa gembala yang tinggal di padang untuk menjaga kawanan domba mereka pada waktu malam. Tiba-tiba, malaikat Tuhan berdiri di depan mereka dan kemuliaan Tuhan bersinar di sekeliling mereka sehingga mereka sangat ketakutan. Akan tetapi, malaikat itu berkata kepada mereka, "Jangan takut sebab dengarlah, Aku memberitakan kepadamu kabar baik tentang sukacita besar yang diperuntukkan bagi semua bangsa. Pada hari ini, telah lahir bagimu seorang Juru Selamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud. (Lukas 2:8-11, AYT)

Dari 87 kata dalam perikop ini, hanya satu yang mencapai tiga suku kata (abiding). Inilah bahasa yang akrab dan hangat, dunia kata-kata di mana bahkan seorang pembajak bisa merasa betah. Namun, pada saat yang sama, di sini ada bahasa yang indah, "mata air yang darinya mengalir kejernihan, keluwesan, dan jangkauan ekspresi prosa terbesar setelahnya" (William Tyndale, 116).

Bahasa Tyndalian Kita yang Luar Biasa

Alkitab Tyndale

Pada tahun 1611, 86 tahun setelah sebagian Perjanjian Baru Tyndale diselundupkan ke Inggris, sebuah Alkitab bahasa Inggris baru muncul, sebuah Alkitab yang akan memenangkan hati orang-orang Kristen berbahasa Inggris sehingga, selama tiga abad, Anda hampir dapat menyebutnya sebagai Alkitab bahasa Inggris. Namun, luar biasa, sebagian besar Versi King James milik pena Tyndale: 84 persen Perjanjian Baru berasal dari terjemahannya, bersama dengan 76 persen kitab Perjanjian Lama yang dia selesaikan sebelum dia meninggal (God's Bestseller, 1). Penerjemah tahun 1611 sangat berutang budi pada karya perintisnya sehingga C. S. Lewis dapat mengatakan tentang KJV, "Alkitab kita secara substansial adalah Tyndale" (Word of God in English, 60).

Tidak heran Daniell menulis, "Sumbangsih Tyndale untuk bahasa Inggris tidak terukur" (William Tyndale, 158). Melalui terjemahannya sendiri, dan kemudian melalui KJV, Tyndale -- seorang penerjemah kesepian yang diburu yang akhirnya menjadi martir karena karyanya -- akan mengajari penyair dan penulis drama, politisi dan pendeta, dalam "suara dan ritme serta indera bahasa Inggris" (2). Tyndale memberi kita bahasa Inggris yang layak untuk diucapkan dan ditulis, dan tidak hanya dalam percakapan sehari-hari dan dokumen informal, tetapi juga dalam hal paling berharga tentang hidup dan mati.

Sampai sekarang, kita masih merasakan pengaruhnya yang mendorong setiap kali kita membaca atau mendengar English Standard Version, yang para penerjemahnya mencatat bahwa "kata dan frasa . . . tumbuh dari warisan Tyndale -- King James." Namun pengaruhnya jauh lebih dalam, hingga ke naluri dan dunia pemikiran semua penutur bahasa Inggris. Kita berbicara bahasa Inggris seperti ikan berenang di air, jarang memperhatikan kualitas bahasa di mana kita hidup dan bergerak dan berada (ada ungkapan Tyndale, Kisah Para Rasul 17:28). Seperti yang ditulis David Norton, "Sulit membayangkan bagaimana bahasa kita tanpa tradisi Tyndale yang terkandung dalam KJV -- sebagian besar karena kita begitu terbiasa dengan bahasa yang kita miliki dan oleh karena itu sulit untuk mengamati" (King James Versi, 21).

Akan tetapi, kita tahu bahwa bahasa Inggris bukan lagi bahasa yang kasar dan berkarat seperti yang dipikirkan John Skelton. Dengan Alkitab Tyndale, muncul reformasi -- secara teologis dan spiritual, tetapi juga secara linguistik. Mereka dapat membakar buku itu, dan mereka bahkan dapat membakar orangnya, tetapi mereka tidak dapat membakar habis kata-kata yang didengar banyak orang. Di dalam kedaulatan Allah, Tyndale memberikan kepada dunia berbahasa Inggris Injil tentang pembenaran oleh iman saja, dan dengan melakukan itu, dia memberi kita bahasa baru untuk menyanyikannya. (t/Jing-Jing)

Audio: Reformasi Bahasa Inggris

Sumber Artikel: 
Diterjemahkan dari:
Nama situs : Desiring God
Alamat situs : https://desiringgod.org/articles/the-reformation-of-english
Judul asli artikel : The Reformation of English
Penulis artikel : Scott Hubbard

Reformasi

Penulis_artikel: 
Tim Editor History.com
Tanggal_artikel: 
17 Maret 2022
Isi_artikel: 

Reformasi Protestan adalah pergolakan agama, politik, intelektual dan budaya abad ke-16 yang memecah Eropa yang beragama Katolik, menetapkan struktur dan keyakinan yang akan menentukan benua itu pada era modern.

Di Eropa utara dan tengah, para reformator seperti Martin Luther, John Calvin , dan Henry VIII menantang otoritas kepausan dan mempertanyakan kemampuan Gereja Katolik untuk mendefinisikan praktik Kristen. Mereka menghendaki redistribusi kekuasaan agama dan politik ke tangan pembacaan Alkitab -- dan pamflet -- oleh pendeta dan penguasa. Gangguan tersebut memicu perang, penganiayaan, dan apa yang disebut Kontra-Reformasi, tanggapan Gereja Katolik yang tertunda, tetapi kuat terhadap Protestan.

Penanggalan Reformasi

... Luther dan para reformator lainnya menjadi orang pertama yang terampil menggunakan pengaruh besar dari mesin cetak untuk menyampaikan ide-ide mereka kepada khalayak luas.
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Sejarawan biasanya memberi tanggal dimulainya Reformasi Protestan saat publikasi "95 Tesis" Martin Luther pada tahun 1517. Tanggal akhirnya dapat ditempatkan di mana saja mulai dari Perdamaian Augsburg tahun 1555, yang memungkinkan koeksistensi Katolikisme dan Lutheranisme di Jerman, hingga Perjanjian Westphalia 1648, yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun. Ide-ide utama Reformasi -- panggilan untuk memurnikan gereja dan keyakinan bahwa Alkitab, bukan tradisi, yang harus menjadi satu-satunya sumber otoritas rohani -- bukanlah hal baru. Akan tetapi, Luther dan para reformator lainnya menjadi orang pertama yang terampil menggunakan pengaruh besar dari mesin cetak untuk menyampaikan ide-ide mereka kepada khalayak luas.

[Tahukah Anda? Tidak ada reformator yang lebih mahir daripada Martin Luther dalam menggunakan kekuatan pers untuk menyebarkan ide-idenya. Antara 1518 dan 1525, Luther menerbitkan lebih banyak karya daripada gabungan 17 reformator paling produktif berikutnya.]

Reformasi: Jerman dan Lutheranisme

Martin Luther (1483-1546) adalah seorang biarawan Agustinian dan dosen universitas di Wittenberg ketika dia menyusun "95 Tesis," yang memprotes penjualan penangguhan hukuman dari penebusan dosa, atau indulgensi oleh paus. Meskipun dia berharap untuk memacu pembaruan dari dalam gereja, pada tahun 1521 dia dipanggil ke hadapan Diet of Worms (diet imperial (rakitan) Kekaisaran Romawi Suci yang diadakan di Heylshof Garden di Worms - Red.) dan dikucilkan.

Dilindungi oleh Friedrich, pemilih Saxony, Luther menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Jerman dan melanjutkan pamflet bahasa sehari-harinya. Ketika para petani Jerman, yang sebagian diilhami oleh otorisasi Luther "keimaman semua orang percaya", memberontak pada tahun 1524, Luther memihak para penguasa Jerman. Pada akhir Reformasi, Lutheranisme telah menjadi agama negara di sebagian besar Jerman, Skandinavia, dan Baltik.

Reformasi: Swiss dan Calvinisme

Reformasi Swiss dimulai pada tahun 1519 dengan khotbah Ulrych Zwingli, yang ajarannya sebagian besar sejalan dengan ajaran Luther. Pada tahun 1541 John Calvin, seorang Protestan Perancis yang telah menghabiskan dekade sebelumnya di pengasingan dengan menulis "Institutes of the Christian Religion," diundang untuk menetap di Jenewa dan menerapkan doktrin Reformed-nya -- yang menekankan kuasa Allah dan predestinasi manusia yang telah ditentukan sebelumnya -- ke dalam praktik. Hasilnya adalah rezim teokratis dengan moralitas yang ketat dan dibatasi.

Kota Jenewa Calvin menjadi sarang bagi orang buangan Protestan, dan doktrinnya dengan cepat menyebar ke Skotlandia, Perancis, Transylvania dan Low Countries, di mana Calvinisme Belanda menjadi kekuatan agama dan ekonomi selama 400 tahun ke depan.

Reformasi: Inggris dan "Jalan Tengah"

Martin Luther

Di Inggris, Reformasi dimulai dengan pencarian Henry VIII untuk pewaris laki-laki. Ketika Paus Clement VII menolak untuk membatalkan pernikahan Henry dengan Catherine dari Aragon agar dia dapat menikah lagi, raja Inggris menyatakan pada tahun 1534 bahwa dia sendirilah yang harus menjadi otoritas tertinggi dalam hal-hal yang berkaitan dengan gereja Inggris. Henry membubarkan biara-biara Inggris untuk menyita kekayaan mereka dan menugaskan untuk menempatkan Alkitab di tangan rakyat. Mulai tahun 1536, setiap paroki diharuskan memiliki salinannya.

Setelah kematian Henry, Inggris condong ke Protestantisme yang diresapi Calvinis selama enam tahun pemerintahan Edward VI dan kemudian mengalami lima tahun Katolik reaksioner di bawah Mary I. Pada 1559 Elizabeth I naik takhta dan, selama 44 tahun pemerintahannya, melemparkan Gereja Inggris sebagai "jalan tengah" antara Calvinisme dan Katolik, dengan ibadah bahasa sehari-hari dan Book of Common Prayer yang direvisi.

Kontra-Reformasi

Gereja Katolik lambat menanggapi secara sistematis inovasi teologis dan publisitas Luther dan para reformator lainnya. Konsili Trente, yang bertemu terus menerus dari tahun 1545 sampai 1563, mengartikulasikan jawaban gereja atas masalah-masalah yang memicu Reformasi dan para reformator itu sendiri.

Gereja Katolik era Kontra-Reformasi bertumbuh lebih rohani, lebih melek huruf, dan lebih berpendidikan. Ordo religius baru, terutama Yesuit, menggabungkan spiritualitas yang ketat dengan intelektualisme yang berpikiran global, sementara mistikus seperti Teresa dari Avila menyuntikkan semangat baru ke dalam ordo lama. Inkuisisi, baik di Spanyol maupun di Roma, diorganisasi ulang untuk melawan ancaman bidat Protestan.

Warisan Reformasi

Seiring dengan konsekuensi agama dari Reformasi dan Kontra-Reformasi terjadilah perubahan politik yang mendalam dan bertahan lama. Kebebasan beragama dan politik baru di Eropa Utara dibayar dengan harga yang mahal, dengan puluhan tahun pemberontakan, perang, dan penganiayaan berdarah. Perang Tiga Puluh Tahun saja mungkin telah menelan biaya 40 persen dari populasi Jerman.

Akan tetapi, dampak positif Reformasi dapat dilihat dalam perkembangan intelektual dan budaya yang diilhami di semua sisi perpecahan -- di universitas-universitas Eropa yang berkembang, musik gereja Lutheran J. S. Bach, hiasan altar yang mewah karya Pieter Paul Rubens, dan bahkan kapitalisme pedagang Calvinis Belanda. (t/Jing-Jing)

Audio: Reformasi

Sumber Artikel: 
Diterjemahkan dari:
Nama situs : History.com
Alamat situs : https://history.com/topics/reformation/reformation
Judul asli artikel : The Reformation
Penulis artikel : Tim Editor History.com

Reformasi Protestan

Penulis_artikel: 
Freddie Wilkinson
Tanggal_artikel: 
17 Maret 2022
Isi_artikel: 

Reformasi Protestan yang dimulai oleh Martin Luther pada tahun 1517 memainkan peran penting dalam perkembangan koloni-koloni Amerika Utara dan akhirnya Amerika Serikat.

Reformasi Protestan adalah gerakan reformasi agama yang melanda Eropa pada tahun 1500-an. Hal ini mengakibatkan terciptanya cabang Kekristenan yang disebut Protestantisme, sebuah nama yang digunakan secara kolektif untuk merujuk pada banyak kelompok agama yang terpisah dari Gereja Katolik Roma karena perbedaan doktrin.

Reformasi Protestan dimulai di Wittenberg, Jerman, pada tanggal 31 Oktober 1517, ketika Martin Luther, seorang guru dan seorang biarawan, menerbitkan sebuah dokumen yang disebutnya Disputation on the Power of Indulgences, atau 95 Tesis. Dokumen itu adalah serangkaian 95 gagasan tentang Kekristenan yang dia undang orang untuk berdebat dengannya. Ide-ide ini kontroversial karena secara langsung bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik.

Reformasi Protestan

Pernyataan Luther menantang peran Gereja Katolik sebagai perantara antara manusia dan Allah, khususnya ketika menyangkut sistem indulgensi, yang sebagian memungkinkan orang untuk membeli sertifikat pengampunan atas hukuman dosa-dosa mereka. Luther menentang praktik membeli atau membayar untuk mendapat pengampunan, sebaliknya percaya bahwa keselamatan adalah karunia yang diberikan Allah kepada mereka yang memiliki iman.

Keberatan Luther terhadap sistem indulgensi membuka jalan bagi tantangan lain terhadap doktrin Katolik di seluruh Eropa. Misalnya, John Calvin di Perancis dan Huldrych Zwingli di Swiss mengajukan gagasan baru tentang praktik Perjamuan Kudus, dan sebuah kelompok bernama Anabaptis menolak gagasan bahwa bayi harus dibaptis dan mendukung gagasan bahwa baptisan disediakan untuk orang Kristen dewasa.

Secara umum, sebagian besar tantangan bagi Gereja Katolik berkisar pada gagasan bahwa setiap orang percaya seharusnya tidak terlalu bergantung pada Gereja Katolik, dan paus serta para imamnya, untuk bimbingan rohani dan keselamatan. Sebaliknya, Protestan percaya orang harus mandiri dalam hubungan mereka dengan Allah, mengambil tanggung jawab pribadi untuk iman mereka dan merujuk langsung ke Alkitab, kitab suci Kristen, untuk kebijaksanaan rohani.

Reformasi Protestan di Inggris dimulai oleh Henry VIII pada tahun 1534 karena Paus tidak mau memberinya pembatalan pernikahan. Selanjutnya, Raja Henry menolak otoritas Paus, sebaliknya menciptakan dan mengambil alih otoritas atas Gereja Inggris, semacam gereja hibrida yang menggabungkan beberapa doktrin Katolik dan beberapa pola dasar Protestan. Selama 20 tahun berikutnya, terjadi pergolakan agama di Inggris ketika Ratu Mary (1553-1558) mengembalikan Katolik di Inggris sambil menganiaya dan mengasingkan orang Protestan, tetapi justru Ratu Elizabeth I dan Parlemennya berusaha untuk memimpin negara itu kembali ke Protestan selama pemerintahannya. (1558-1603).

Beberapa warga Inggris yang tidak percaya upaya Ratu Elizabeth untuk mengembalikan Inggris ke Protestantisme bertindak cukup jauh. Warga ini terbagi menjadi dua kelompok, keduanya dicap Puritan oleh lawan-lawannya. Kelompok pertama, yang dikenal sebagai separatis, percaya bahwa Gereja Inggris begitu korup sehingga satu-satunya pilihan mereka adalah meninggalkan Inggris, terpisah dari gereja, dan memulai gereja baru. Mereka menyebutnya Gereja Separatis Inggris.

Sekitar tahun 1607 atau 1609, sebagian kaum separatis mencoba memulai hidup baru yang mereka bayangkan di Belanda, di negeri Belanda. Pada akhirnya, usaha itu gagal karena kemiskinan dan perasaan bahwa anak-anak terlalu banyak berasimilasi dengan budaya Belanda, sehingga banyak separatis yang kembali ke Inggris.

Pada 1620, anggota Gereja Separatis Inggris siap untuk mencoba kedua kalinya dalam membangun kehidupan dan gereja baru. Mereka yang berlayar dengan kapal Mayflower menuju New England dan akhirnya mendarat di dekat Plymouth, Massachusetts, yang akhirnya dikenal sebagai kaum peziarah.

... keselamatan adalah karunia yang diberikan Allah kepada mereka yang memiliki iman.
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Kelompok warga negara Inggris lainnya yang tidak percaya upaya reformasi Ratu Elizabeth bertindak cukup jauh disebut nonseparatis; seiring waktu, istilah "Puritan" akan menjadi sinonim dengan nonseparatis. Mereka tidak berusaha untuk meninggalkan Gereja Inggris; mereka hanya ingin mereformasinya dengan menghilangkan sisa-sisa Katolik yang tersisa. Dalam hal teologi, kebanyakan dari mereka adalah Calvinis.

Meskipun mereka tidak ingin berpisah dari Gereja Inggris, beberapa orang Puritan melihat emigrasi ke New England sebagai kesempatan terbaik mereka untuk reformasi sejati gereja dan kebebasan untuk beribadah sesuai pilihan mereka. Pada tahun 1630, satu dekade setelah para peziarah memulai perjalanan serupa untuk alasan yang sama, kaum Puritan pertama melakukan perjalanan ke New World dan mendirikan Massachusetts Bay Colony di Boston, Massachusetts.

Meskipun golongan separatis dan nonseparatis tidak setuju tentang apakah akan memutuskan hubungan dengan Gereja Inggris, kedua kelompok kolonis Amerika Utara awal sama-sama tidak puas dengan gereja dan memiliki pola pikir bahwa mereka bebas untuk mendirikan gereja yang lebih selaras dengan pandangan rohani mereka. Mungkin bisa ditebak, kebebasan untuk menjalankan agama menurut keyakinan seseorang ini menyebabkan terciptanya banyak sekali gereja, denominasi, dan doktrin yang berbeda di berbagai koloni. Sama-sama dapat diprediksi, sepanjang sejarah keragaman ini telah menyebabkan ketidaksepakatan.

Akan tetapi, keragaman pemikiran keagamaan ini juga telah menjadi bagian inti dari identitas Amerika Serikat: Bill of Rights (nama untuk sepuluh amendemen pertama terhadap Konstitusi Amerika Serikat - Red.) secara eksplisit melarang "pendirian agama, atau melarang pelaksanaannya secara bebas." Lebih dari 400 tahun dalam pembentukannya, keyakinan akan pemberdayaan pribadi dan kemandirian dalam masalah keagamaan, yang berakar pada Reformasi Protestan, telah menjadi bagian yang bertahan lama dalam pola pikir Amerika. (t/Jing-Jing)

Audio: Reformasi Protestan

Sumber Artikel: 
Diterjemahkan dari:
Nama situs : National Geographic
Alamat situs : https://nationalgeographic.org/article/protestant-reformation/12th-grade/
Judul asli artikel : The Protestant Reformation
Penulis artikel : Freddie Wilkinson

Reformasi - Dahulu dan Sekarang

Penulis_artikel: 
W. Robert Godfrey
Tanggal_artikel: 
9 Desember 2021
Isi_artikel: 

"Saya yakin bahwa peristiwa terbesar bagi kekristenan dalam 1.500 tahun terakhir adalah Reformasi Protestan."[1] Profesor John Murray mengucapkan kata-kata ini dalam kuliah kelasnya tentang pembenaran (tindakan Allah untuk menghapus kutuk dosa oleh anugerah dan membenarkan orang berdosa melalui iman dalam penebusan Yesus Kristus - Red.) pada pertengahan 1960-an.

Pada saat itu, 40 tahun yang lalu, akan sulit untuk membayangkan siapa pun di gereja Reformed atau evangelis menemukan sesuatu yang luar biasa dari perkataan Murray. Namun, hari ini, di dunia yang akan membuat orang takjub, doktrin-doktrin sentral Reformasi sedang diserang, tidak hanya di kalangan liberal dan ekumenis, tetapi di tengah gereja-gereja evangelis dan Reformed.

Kritik masa kini terhadap doktrin Reformasi, menurut saya (seorang sejarawan Reformasi), biasanya muncul dari mereka yang tidak terlalu mengenal teologi para Reformator, kekhawatiran yang memotivasi mereka, atau landasan alkitabiah untuk pengajaran mereka. Dalam artikel singkat ini, kita tidak dapat menyurvei atau menjawab semua kritik. Akan tetapi, kita dapat melakukan tinjauan singkat tentang keyakinan fundamental para Reformator dan melihat sifatnya yang terus-menerus penting bagi kehidupan umat Allah dan gereja-gereja kita.

Otoritas Alkitab sebagai sumber yang benar-benar dapat diandalkan dan dapat diakses dari semua kebenaran agama adalah dasar bagi Protestantisme.
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Pemikiran John Calvin tentang Reformasi adalah tempat yang baik untuk memulai. Dalam perjalanan hidupnya, dia menulis tiga risalah penting yang membela dan menjelaskan perlunya reformasi di gereja. Yang pertama adalah pernyataannya yang cukup pribadi untuk membela reformasi di Jenewa, yang biasa disebut "Surat Balasan kepada Sadoleto" (1539). Yang kedua, "Perlunya Reformasi Gereja" (1543), ditulis atas permintaan Martin Bucer untuk dipresentasikan kepada Kaisar Charles V pada pertemuan Diet kekaisaran. Risalah ketiga, "Metode Sejati dalam Membawa Perdamaian kepada Kekristenan dan Mereformasi Gereja" (1548), ditulis sebagai tanggapan atas kemenangan kekaisaran atas pemimpin Protestan dan pengenaan Interim Augsburg yang mensyaratkan kesesuaian Protestan dengan praktik-praktik tertentu dari Katolik Roma.

Meski ada perbedaan di antara risalah-risalah ini, yang mencerminkan waktu yang berbeda saat risalah tersebut ditulis, mereka benar-benar berbicara dengan satu suara, memberi kita pemahaman Calvin tentang pandangan dasar Reformasi. Risalah-risalah ini menunjukkan bahwa baginya, Reformasi memiliki lima masalah utama (bukan lima poin tradisional Calvinisme!). Yang pertama adalah bahwa Alkitablah satu-satunya otoritas di gereja untuk masalah-masalah keagamaan. Yang kedua adalah bahwa gereja harus menyembah Allah secara murni, menurut Alkitab. Yang ketiga adalah bahwa pembenaran adalah oleh kasih karunia saja melalui iman saja dalam kebenaran Kristus saja. Yang keempat adalah bahwa gereja harus memiliki pemahaman yang benar tentang dua (dan hanya dua) sakramen yang ditetapkan oleh Kristus, yaitu Baptisan dan Perjamuan Kudus. Kelima adalah bahwa jabatan pastoral dan pengajaran yang sejati harus dipulihkan dalam gereja.

Alkitab

Otoritas Alkitab sebagai sumber yang benar-benar dapat diandalkan dan dapat diakses dari semua kebenaran agama adalah dasar bagi Protestantisme. Reformasi mengambil sikap menentang klaim palsu Roma untuk menjadikan tradisi sebagai otoritas selain Alkitab dan menjadikan paus satu-satunya penengah utama makna Alkitab dan tradisi. Calvin menulis, "Meskipun kita harus taat kepada para penatua dan atasan kita, semua ketaatan itu harus diuji oleh firman Allah; kesimpulannya, kita [adalah] gereja yang kepedulian tertingginya adalah dengan rendah hati dan religius menghormati firman Allah, dan tunduk pada otoritasnya."[2] Alkitab bukan hanya otoritas formal bagi Calvin. Ia adalah otoritas yang vital dan perlu dalam kehidupan umat Allah. Dalam Katekismus Jenewanya, Calvin mengajarkan cara penggunaan Alkitab:

Jika kita memegangnya dengan keyakinan sepenuh hati sebagai kebenaran pasti yang turun dari surga; jika kita menunjukkan diri kita patuh padanya; jika kita menundukkan keinginan dan pikiran kita pada ketaatannya; jika kita mencintainya sepenuh hati; jika sekali ia terukir dalam hati kita dan akarnya tetap di sana sehingga menghasilkan buah dalam hidup kita; jika akhirnya kita dibentuk sesuai aturannya -- maka ia akan berubah menjadi keselamatan kita sebagaimana dimaksudkan.[3]

Hari ini doktrin Reformasi Kitab Suci sedang dirusak di beberapa tempat oleh profesor perguruan tinggi dan seminari dan di tempat lain oleh para penghasut yang tidak berpendidikan. Beberapa profesor berpendapat bahwa kecuali seseorang memiliki pengetahuan rahasia tentang zaman kuno, seseorang tidak dapat memahami pesan dasar Alkitab. Di sisi lain, beberapa penghasut arogan berpendapat bahwa mereka sendiri, tanpa belajar, benar-benar memahami Alkitab. Entah klaim-klaim ini bertumpu pada seruan kepada ilmu pengetahuan atau seruan kepada Roh, mereka menyangkal otoritas Alkitab. Gereja masih perlu mempelajari dan memercayai Alkitab sebagai firman Allah yang tidak salah, yang dapat dipahami dengan interpretasi gramatikal-historis yang teliti. Gereja perlu mengasihi dan mempelajari firman itu, yakin bahwa firman itu mengarahkan kita kepada kebenaran yang harus kita percayai dan hidupi.

Ibadah

Calvin percaya bahwa salah satu kerusakan gereja yang paling serius pada periode abad pertengahan adalah kerusakan ibadah. Ibadah telah menjadi penyembahan berhala, dengan penemuan dan ciptaan manusia yang menggantikan institusi ilahi. Ibadah telah menjadi berpusat pada manusia, berfokus pada tindakan dan reaksi manusia. Terhadap kerusakan ini, Calvin bersikeras bahwa penyembahan harus diarahkan oleh firman Allah saja:

"Saya tahu betapa sulitnya meyakinkan dunia bahwa Allah tidak menyetujui semua cara penyembahan yang jelas-jelas tidak disetujui oleh firman-Nya. Persuasi berlawanan yang mengikat mereka, secara lengkap dan menyeluruh, adalah bahwa apa pun yang mereka lakukan memiliki persetujuan yang cukup dalam dirinya sendiri, asalkan itu menunjukkan semacam semangat untuk menghormati Allah. Akan tetapi, karena Allah tidak hanya menganggapnya sia-sia, tetapi juga jelas-jelas keji, apa pun yang kita lakukan dari semangat untuk menyembah-Nya, jika bertentangan dengan perintah-Nya, apa yang kita peroleh dengan jalan sebaliknya?"[4]

Ibadah Protestan pada zaman kita telah menjadi pabrik penemuan musik, dramatis, dan artistik. Menyanyikan firman, mendoakan firman, dan membaca serta memberitakan firman sering dipandang tidak cukup untuk menghasilkan pengalaman dengan Allah yang banyak dicari. Ibadah yang serius sebagai pertemuan umat perjanjian dengan Allah mereka melalui firman-Nya tampaknya mundur jauh dan luas. Hikmat manusia dalam ibadah menggantikan kebenaran ilahi, seperti yang terjadi pada Abad Pertengahan. Mereka yang mencintai firman perlu memulihkan ibadah sesuai firman.

Pembenaran

Murray, segera setelah kata-kata yang memulai artikel ini, menyatakan: "Apa percikan yang menyalakan kobaran gairah evangelis? Itu adalah, oleh kasih karunia Allah, menurut Luther, dilanda rasa keterasingannya dari Allah dan merasakan dalam jiwanya yang terdalam sengatan murka-Nya dan penyesalan hati nurani yang ketakutan, akan jalan yang benar dan satu-satunya tempat seseorang dapat dibenarkan di hadapan Allah. Menurutnya, kebenaran tentang pembenaran oleh anugerah melalui iman mengangkatnya dari kedalaman ketakutan akan neraka kepada sukacita perdamaian dengan Allah dan harapan kemuliaan. Jika ada satu hal yang dibutuhkan gereja hari ini, itu adalah republikasi tentang iman dan gairah dari praanggapan doktrin pembenaran dan penerapan kembali tentang ini, yaitu hal tentang gereja yang tetap atau jatuh."

Di sini, Murray menyatakan bahwa doktrin pembenaran berada di pusat iman dan kehidupan Kristen kita. Dia mendukung Luther dalam hal ini. Murray melihat bahwa sentralitas pembenaran muncul dari pemahaman yang tepat tentang betapa besar dosa kita dan betapa buruknya kondisi rohani kita di luar Kristus. Murray, seperti Calvin dan Paulus, tahu bahwa hanya perhitungan kebenaran Kristus yang sempurna yang akan memungkinkan orang berdosa berdiri di hadapan Allah yang benar-benar kudus. Calvin menulis:

"Kami mempertahankan, bahwa deskripsi apa pun tentang perbuatan seseorang, dia dianggap sebagai orang benar di hadapan Allah hanya berdasarkan belas kasihan yang cuma-cuma; karena Allah, tanpa menilai perbuatan, atas kehendak-Nya sendiri mengadopsi dia dalam Kristus, dengan memperhitungkan kebenaran Kristus kepadanya, seolah-olah itu adalah kebenarannya sendiri."[5]

Doktrin pembenaran Protestan telah diganti di banyak kalangan evangelis modern dengan pembicaraan yang tidak jelas tentang mengasihi Yesus dan bertobat. Pernyataan ekumenis mengungkapkan sentimen ambigu yang tidak secara jelas menjunjung tinggi Injil. Bahkan, para sarjana Reformed yang telah menganut pengakuan Reformed tampaknya tidak memahami doktrin tersebut. Seperti yang dikatakan Murray dengan benar, tanpa kebenaran tentang pembenaran yang alkitabiah dan Reformed, gereja akan jatuh. Dia tidak berbicara tentang runtuhnya sebuah institusi, tetapi runtuhnya gereja sejati sebagai benteng kebenaran.

Sakramen

Di gereja pada abad pertengahan, sakramen telah berlipat ganda dan menjadi pusat ibadah dan pengalaman Kristen. Seni dan ritual gereja mendukung penyelewengan itu, yang oleh para Reformator dengan tepat disebut penyembahan berhala. Reformasi kembali ke dua sakramen yang ditetapkan oleh Yesus dan berusaha memahaminya dalam arti alkitabiahnya. Calvin menulis:

"Kristus menetapkan berbagai Sakramen bukan hanya sebagai lambang agama yang benar, yang dapat membedakan anak-anak Allah dari yang duniawi, tetapi juga sebagai bukti, dan karena itu menjanjikan kemurahan ilahi bagi kita. Dalam Baptisan, baik pengampunan dosa maupun roh pembaharuan diberikan kepada kita; dalam Perjamuan Kudus, kita diundang untuk menikmati hidup Kristus beserta segala manfaat-Nya."[6]

Di banyak gereja evangelis saat ini, sakramen-sakramen alkitabiah dipertahankan, tetapi dipinggirkan. Alih-alih melihat tanda-tanda yang terlihat dan nyata yang telah diberikan Allah kepada kita untuk menegaskan dan memperkuat kasih karunia-Nya, gereja-gereja mencari bantuan lain yang terlihat untuk kehidupan Kristen -- sekali lagi mengikuti pola Kekristenan abad pertengahan. Di beberapa tempat, sakramen-sakramen telah dihapus dari Hari Tuhan, digabungkan dengan acara-acara ibadah lainnya atau bahkan dijadikan urusan keluarga di rumah.

Gereja harus menangkap kembali ajaran kitab suci tentang makna dan nilai sakramen demi kesetiaan dan kesejahteraannya. Sakramen, seperti pemberitaan firman yang setia, adalah sarana anugerah gereja.

Gereja

bangku gereja

Bagi Calvin, gereja Roma telah menjadi institusi tirani, yang mengikat hati nurani para anggotanya dengan doktrin dan praktik penemuan manusia: Karena itu, menjadi tugas kita untuk membebaskan hati nurani umat beriman dari belenggu yang tidak semestinya tempat mereka ditahan, demikian pula kita mengajarkan bahwa mereka bebas dan tidak terkekang oleh hukum manusia, dan bahwa kebebasan ini, yang dibeli dengan darah Kristus, tidak dapat dirusak.[7] Calvin tidak hanya menentang tirani gereja, tetapi juga berusaha mengembalikan jabatan pelayan atau pendeta ke dalam karakter alkitabiahnya. Penunjukan dari firman Tuhan adalah inti dari jabatan ini. Calvin menulis: "Tidak seorang pun adalah gembala gereja sejati jika dia tidak menjalankan tugas mengajar."[8]

Akan tetapi, hari ini, banyak gereja dipimpin oleh orang-orang yang melihat jabatan pastoral dalam hal administrasi, psikologi populer, dan hiburan. Seminari berada di bawah tekanan besar untuk melatih "pemimpin" daripada mendidik pengkhotbah dan pengajar firman Allah. Jika berkhotbah adalah sarana anugerah -- bahkan, sarana utama anugerah -- maka Reformasi benar bahwa para pendeta harus menjadi pengkhotbah yang setia, efektif, dididik dengan sungguh-sungguh untuk memahami, percaya, dan mengomunikasikan firman Allah.

Pemberitaan Reformasi membangun gereja-gereja dengan jutaan anggota yang bertahan selama berabad-abad. Para pragmatis di antara kita harus memerhatikan bahwa karena gereja-gereja di Amerika, mengikuti nasihat para ahli pertumbuhan gereja, telah menjauh dari penyembahan dan khotbah yang setia, maka gereja di Amerika lebih kecil dan kurang berpengaruh daripada 40 tahun yang lalu. Kita masih membutuhkan pendeta yang akan memberitakan hukum Taurat dan Injil.

Kesimpulan

Kita seharusnya tidak terlalu terkejut dengan berbagai serangan terhadap kebenaran alkitabiah yang ditemukan oleh Reformasi. Selama ini selalu begitu, dan akan selalu begitu sampai Tuhan kita kembali. Namun, kita tidak boleh meremehkan keseriusan gereja-gereja Reformed yang gagal mengkhotbahkan kebenaran Reformasi dengan jelas dan antusias. Kita harus merenungkan kata-kata serius, tetapi menginspirasi dari John Owen, yang ditulis pada 1682, hanya 35 tahun setelah prinsip/pedoman Westminster lengkap:

Marilah kita berhati-hati dalam diri kita sendiri dari setiap kecenderungan terhadap pendapat baru, terutama dalam, atau tentang, atau terhadap poin-poin iman seperti mereka yang pergi sebelum kita dan terlena mendapatkan kehidupan, kenyamanan, dan kekuasaan. Siapa yang mengira bahwa kita mengalami ketidakpedulian terhadap doktrin pembenaran, lalu bertengkar dan berselisih tentang pentingnya perbuatan dalam pembenaran, tentang penebusan umum, yang menghilangkan kecukupan karya penebusan Kristus; dan tentang ketekunan orang-orang kudus; ketika ini adalah jiwa dan kehidupan mereka yang pergi sebelum kita, siapa yang menemukan kekuatan dan keyakinan tentang hal-hal tersebut? Kita tidak akan mempertahankan kebenaran-kebenaran ini, kecuali kita menemukan keyakinan yang sama di dalamnya seperti mereka .... Namun, sekarang hal itu bertumbuh menjadi hal yang tidak dipedulikan; dan kerusakan mengerikan yang kita rasakan yang harusnya diperkenalkan dalam doktrin pembenaran telah melemahkan semua vitalitas agama. Marilah kita, untuk sisa hari-hari kita, "membeli kebenaran, dan jangan menjualnya;" dan marilah kita bertekun dan waspada terhadap segala sesuatu yang timbul dalam jemaat kita.[9] (t/Jing-Jing)

-- ---

[1] John Murray, Collected Writings, vol. 2 (Edinburgh: Banner of Truth Trust, 1977), p. 203.

[2] John Calvin, "Reply to Sadoleto," in A Reformation Debate, ed. John C. Olin (New York: Harper and Row, 1966), p. 75.

[3] "The Catechism of the Church of Geneva," in Calvin: Theological Treatises (Philadelphia: Westminster, 1954), p. 130.

[4] John Calvin, "The Necessity of Reforming the Church," in Selected Works of John Calvin: Tracts and Letters, ed. H. Beveridge and J. Bonnet (Grand Rapids: Baker, 1983), vol. 1, p. 128.

[5] Ibid., p. 161.

[6] Calvin, "The True Method of Giving Peace to Christendom and Reforming the Church," in Selected Works of John Calvin: Tracts and Letters, ed. H. Beveridge and J. Bonnet (Grand Rapids: Baker, 1983), vol. 3, p. 274.

[7] Calvin, "The Necessity of Reforming the Church," p. 176.

[8] Ibid., p. 140.

[9] John Owen, "The Duty of a Pastor," in Works, vol. 9 (Edinburgh: Banner of Truth Trust, 1968), pp. 459-60.

Sumber Artikel: 
Diterjemahkan dari:
Nama situs : Westminster Seminary California
Alamat situs : https://wscal.edu/resource-center/reformation-then-and-now
Judul asli artikel : Reformation - Then and Now
Penulis artikel : W. Robert Godfrey

Memperjuangkan Iman dalam Budaya yang Bingung

Penulis_artikel: 
Justin Dillehay
Tanggal_artikel: 
9 November 2021
Isi_artikel: 

Kita hidup pada masa kebingungan teologis yang besar. Menurut survei State of Theology terbaru dari Ligonier Ministry, 30 persen orang yang mengaku Injili menolak keilahian Kristus, 46 persen percaya bahwa manusia pada dasarnya baik, dan 22 persen berpikir identitas gender adalah "masalah pilihan pribadi."

Mungkin, jika survei bisa dilakukan pada abad yang lalu, kita akan menemukan bahwa memang selalu demikian keadaannya. Namun, budaya kita pasti telah menyuntikkan dosis relativisme dan individualisme yang kuat sehingga orang sulit mengenali otoritas apa pun di atas diri mereka sendiri. Akibatnya, orang lebih memilih iman yang menolak definisi yang jelas dan kekristenan yang kosong dari pesan tertentu.

Semua ini menjadi saat yang tepat untuk merenungkan Yudas 3, ketika saudara tiri Yesus mendesak kita untuk "berjuang sungguh-sungguh untuk iman yang disampaikan sekali untuk selamanya kepada orang-orang kudus." Saya ingin melihat ayat ini dari tiga sudut yang akan memperjelas arti memperjuangkan iman pada zaman kebingungan moral dan teologis.

1. Iman dengan Batasan dan Pesan yang Pasti

memperjuangkan iman

Kata "iman" biasanya merujuk pada tindakan hati yang dengannya kita menaruh kepercayaan kita kepada Yesus Kristus sebagai satu-satunya harapan kita dalam kehidupan dan kematian. Akan tetapi, "iman" tidak mengacu pada tindakan percaya, melainkan pada sesuatu yang diyakini.

Ini menunjukkan bahwa pada abad pertama pun sudah ada kumpulan ajaran yang diakui dan diharapkan semua orang Kristen menganutnya. Yudas dapat mendesak orang-orang Kristen pada tahun 65 M untuk memperjuangkan "iman" dan menganggap mereka mengerti hal yang ia bicarakan. Tidak seperti beberapa orang skeptis modern, Yudas tidak berbicara tentang banyak "Kekristenan". Seperti Paulus, ia percaya bahwa ada "satu iman" (Ef.4:5) dan mereka yang mengajarkan hal yang bertentangan dengan itu tidak hanya menawarkan alternatif yang diakui, tetapi juga memberitakan Injil palsu (Gal.1:6-9). Orang Kristen tidak harus setuju dalam segala hal (lihat Rm.14), tetapi mereka harus setuju dalam beberapa hal (1 Kor.15:3; Gal.1).

Ini juga menunjukkan bahwa meskipun Alkitab adalah buku besar, pengajarannya dapat diringkas secara akurat. Inilah yang dilakukan oleh kredo atau pengakuan iman yang baik. Jika situs web gereja tidak memuat bagian yang memberi tahu saya "Pengakuan Iman Kami", saya enggan mengarahkan orang ke gereja itu. Anda tidak dapat bersaing untuk sesuatu yang tidak dapat Anda definisikan. Iman bukanlah ember kosong bagi Yudas. Iman memiliki isi. Yang menimbulkan pertanyaan, apa yang ada di dalam ember itu?

2. Iman yang Dipenuhi dengan Kebenaran Moral dan Doktrin

Bagi Yudas dan gereja mula-mula, iman mencakup kebenaran moral dan doktrin yang mendasar.

Kebenaran Moral

Pertama, iman mencakup kebenaran moral mendasar tentang dosa dan kebenaran. Memang, Yudas mengajukan permohonan ini justru, "Sebab, orang-orang tertentu telah menyusup tanpa disadari, ... orang-orang tidak beriman yang menyalahgunakan anugerah Allah kita untuk memuaskan nafsu dan menolak satu-satunya Penguasa dan Tuhan kita, Kristus Yesus." (ay. 4).

Hidup dalam sensualitas, kemudian menciptakan rasionalisasi teologis merupakan penyangkalan terhadap iman -- dan terhadap Kristus. Dengan menggarisbawahi bahwa pasal ini sangat relevan bagi budaya kita, berhubung beberapa gereja mengibarkan bendera pelangi (lambang gerakan/kampanye LGBTQ - Red.) atas nama kasih Kristiani, Yudas mengutipnya sebagai peringatan nasib Sodom dan Gomora, "yang memuaskan diri dalam dosa seksual dan mengejar nafsu yang tidak wajar," sehingga "telah menanggung hukuman api kekal sebagai contoh." (ay. 7).

Jangan salah: iman apostolik kita menyatakan bahwa "kami percaya akan pengampunan dosa" (1 Kor.6:9-11; Kol.1:13-14). Namun, itu juga mengasumsikan bahwa kita tahu arti dosa. Jika "Kristus telah mati untuk dosa-dosa kita" adalah hal yang "sangat penting", pemahaman yang benar tentang dosa juga harus menjadi yang utama.

Yesus tidak datang untuk melonggarkan perintah dan Ia tidak mati untuk mengubah butiran moral alam semesta (Mat.5:19). Ia mati agar kita dapat diampuni dan dibebaskan dari belenggu dosa. Ia bangkit agar kita dapat berjalan dalam kehidupan yang baru. Itulah iman. Dan, itulah yang disangkal oleh guru-guru palsu ini, baik pada zaman Yudas maupun di zaman kita.

Dan, agar saya tidak tampak sepihak, izinkan saya menambahkan bahwa kita dapat menyangkal iman tidak hanya dengan menegaskan amoralitas seksual, tetapi juga dengan menolak untuk merawat orang tua kita yang sudah lanjut usia: "Akan tetapi, jika seseorang tidak memelihara sanak keluarganya sendiri, khususnya keluarga dekatnya, berarti ia telah menyangkali imannya dan ia lebih buruk daripada orang yang tidak percaya." (1 Tim.5:8, AYT). Iman yang sama, yang mengajarkan kita untuk menghindari percabulan, juga mengajarkan kita untuk menghormati Ibu dan Ayah.

Segala upaya untuk mereduksi iman kepada kebenaran doktrinal yang terkandung dalam kredo-kredo semula (biasanya dalam upaya menghindari konflik dengan revolusi seksual) adalah mimpi buruk yang membahayakan jiwa umat.

Kebenaran Doktrin

Jika melihat satu celah Kekristenan hanya untuk menegaskan seperangkat ajaran doktrinal (terlepas dari cara Anda hidup), celah lain melihat kekristenan hanya sekadar agar menjadi orang baik (terlepas dari keyakinan Anda). Lagi pula, tentu seseorang dapat menjadi sesama yang baik tanpa percaya pada Tritunggal!

Tentu saja, tidak seorang pun boleh menyangkal bahwa penganut ateis dan Hindu dapat menjadi sesama yang baik, atau bahwa sesama yang penuh kasih adalah inti dari iman. Namun, itu tidak sepenuh hati. Jangan lupa perintah agung yang pertama, "Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu." Menurut Yesus, "Inilah hidup kekal itu", yaitu mengenal "satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Kristus Yesus yang telah Engkau utus." (Yoh.17:3, AYT).

Seorang Kristen bukan hanya seseorang yang hidup dengan cara tertentu. Seorang Kristen adalah seseorang yang memercayai hal-hal tertentu. Iman menegaskan bahwa peristiwa-peristiwa tertentu benar-benar terjadi -- seperti penciptaan alam semesta "ex nihilo" dan kebangkitan Yesus (Ibr.11:3; 1 Kor.15). Ini menegaskan bahwa pernyataan-pernyataan tertentu sungguh-sungguh benar, seperti "Yesus adalah Tuhan," "TUHAN adalah satu," dan " semua ilah bangsa-bangsa adalah berhala-berhala" (Rm.10:9; 1 Kor.12:3; Ul.6:4; 1 Kor.8:6; Mzm.96:5). Dan, itu menegaskan bahwa peristiwa-peristiwa tertentu benar-benar akan terjadi, seperti penghakiman orang fasik dan kebangkitan tubuh (Yud.6,14; 1 Kor.15; 2 Tim.2:18).

Iman tanpa perbuatan mungkin mati, tetapi perbuatan tanpa iman juga mematikan. Iman bukan hanya tentang menjadi orang baik -- ini tentang mengakui bahwa Anda belum menjadi orang baik. Mengklaim bahwa orang "baik" dapat diselamatkan terlepas dari keyakinan mereka tentang Yesus adalah moralisme, murni dan sederhana. Itu adalah pengingkaran terhadap iman.

3. Iman yang Mengalahkan Zeitgeist (Semangat Zaman)

Iman bukan hanya tentang menjadi orang baik -- ini tentang mengakui bahwa Anda belum menjadi orang baik.
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Orang-orang Kristen Ortodoks telah berulang kali diberi tahu, "Kekristenan harus berubah atau mati karena manusia modern tidak dapat diharapkan untuk percaya pada ________." Ini yang menarik: Trevin Wax menunjukkan bahwa 100 tahun yang lalu hal-hal yang tidak diharapkan untuk dipercaya oleh "manusia modern" biasanya adalah kebenaran doktrinal -- pengajaran seperti kelahiran dari perawan atau kebangkitan. Manusia modern pada tahun 1920 dapat menerima moralitas Alkitab, mereka hanya tidak bisa diharapkan untuk percaya pada mukjizat.

Namun, hari ini hampir kebalikannya. Pengajaran moral Alkitablah yang dianggap menyinggung budaya kita -- terutama dalam hal seksualitas. Dan sekali lagi, kita diberi tahu bahwa kita harus berevolusi atau mati. Namun, jika Anda melihat kembali pada abad ke-20, Anda melihat hal yang sebaliknya. Gereja-gereja yang berkembang adalah gereja-gereja yang mati. Gereja-gereja yang rela kehilangan nyawa merekalah yang menyelamatkan mereka.

Yudas bisa saja sudah memberi tahu kita. Iman bukanlah sesuatu yang dapat kita sesuaikan agar sesuai dengan zeitgeist (semangat zaman - Red). Sebab, iman bukanlah sesuatu yang kita ciptakan. Iman adalah sesuatu yang "disampaikan sekali untuk selamanya kepada orang-orang kudus." Dan, hal itu masih sama sampai hari ini.

Dan, meskipun budaya manusia dapat berganti-ganti pada aspek iman mana yang mereka anggap paling menyinggung, batu sandungan dasar yang sama tetap ada. Orang-orang masih menginginkan Allah yang memungkinkan mereka untuk memanjakan selera indra mereka dan yang menerima mereka berdasarkan perbuatan baik mereka. Iman Kristen tidak menawarkan keduanya. Sebaliknya, iman Kristen menawarkan sesuatu yang lebih baik.

Kita memang hidup pada masa kebingungan teologis yang besar dan godaan untuk memberikan sesuatu yang diinginkan orang-orang daripada hal yang mereka butuhkan untuk bertahan selama-lamanya. Akan tetapi, manusia yang jatuh tidak pernah menjadi hakim yang baik untuk sesuatu yang mereka butuhkan. Jadi, hal paling tidak mengasihi yang dapat kita lakukan adalah mengubah iman dengan memberikan sesuatu yang diinginkan orang-orang. Dan, hal paling penuh kasih yang dapat kita lakukan adalah persis seperti yang Yudas katakan: berjuang sungguh-sungguh untuk iman yang disampaikan sekali untuk selamanya kepada orang-orang kudus. (t/N. Risanti)

Audio: Memperjuangkan Iman dalam Budaya yang Bingung

Sumber Artikel: 
Diterjemahkan dari:
Nama situs : The Gospel Coalition
Alamat situs : https://www.thegospelcoalition.org/article/contending-faith-confused-culture/
Judul asli situs : Contending for the Faith in a Confused Culture
Penulis artikel : Justin Dillehay

Ikuti Trinitas dengan Mengikut Kristus: Pemuridan dalam Kunci Trinitarian

Penulis_artikel: 
Fred Sanders
Tanggal_artikel: 
9 November 2021
Isi_artikel: 

Tidak ada cara yang lebih lugas untuk menggambarkan kehidupan Kristen selain menyebutnya sebagai pemuridan. Menjadi murid Yesus Kristus adalah esensi, fokus, dan sifat utama menjadi orang Kristen. Menjawab panggilan Yesus untuk menjadi murid-Nya menjadi sesuatu yang memberi kehidupan Kristen kesederhanaannya, yaitu kekuatan yang membentuk kehidupan. Itulah yang membuat semua perbedaan antara membaca keempat Injil sebagai adegan-adegan di cerita Alkitab dan membacanya sebagai realitas pengenalan akan Yesus dengan mengikut Dia sebagai murid modern.

Namun, terkadang karena terpikat oleh kesederhanaan hubungan ini, orang Kristen dapat tergoda untuk membandingkannya dengan penegasan yang terdengar lebih kompleks tentang memercayai dan melayani Allah Tritunggal. Anti-trinitarian, tentu saja, menggambarkan hal ini sebagai suatu pertentangan mutlak: dengan menolak doktrin Trinitas, mereka mengaku hanya mengikut Yesus. Akan tetapi, bahkan orang Kristen dengan doktrin yang sehat pun masih dapat merasakan ketegangan antara mengikut Kristus secara sederhana dan penyembahan Tritunggal yang kompleks.

Pada kenyataannya, keduanya pada hakikatnya sama, dan selalu seperti itu. Bahkan, doktrin Trinitas memberikan dasar yang dalam tentang arti menjadi murid Yesus.

Mengubah Pemuridan menjadi Sebuah Kunci Baru

Trinitas

Pikirkan tentang sifat pemuridan. Ketika Yesus memanggil murid-murid pertama untuk mengikut Dia. Yang Ia maksud "mengikut" adalah secara langsung dan harfiah. Ia sedang berjalan dan mereka harus berjalan bersama-Nya. Ia pergi ke kota berikutnya, demikian juga dengan mereka. Intinya adalah "supaya mereka dapat bersama-Nya" (Markus 3:14) untuk mendengar hal yang Ia katakan dan melihat hal yang Ia lakukan sehingga pada waktunya mereka dapat diutus atas nama-Nya.

Akan tetapi, kisah Injil yang dimulai dengan panggilan itu juga berakhir dengan kenaikan Yesus ke sebelah kanan Allah. Terus terang, mengikuti Tuan yang naik dan bertakhta pasti akan terlihat berbeda dari mengikuti Tuan yang berjalan kaki dan berkeliling. Seluruh tema pemuridan, bahkan untuk murid-murid pertama, harus diubah menjadi kunci yang baru. Dan, kunci baru itu adalah trinitarian.

Yesus menempatkan pemuridan ke dalam perspektif trinitarian ketika Ia mengajarkan bahwa Ia akan naik ke sebelah kanan Bapa, yang dari situ Ia dan Bapa akan mengirimkan Roh Kudus (Yohanes 14:16; 14:26; 15:26; 16:7). Rohlah yang akan memampukan para pengikut pertama ini melengkapi pemuridan mereka justru setelah kebangkitan Tuhan. Seperti yang Yesus janjikan, "Sebab, Dia tidak berbicara atas keinginan-Nya sendiri," tetapi "Dia akan memuliakan Aku karena Dia akan menerima yang Aku terima, dan akan memberitahukannya kepadamu." (Yohanes 16:13-14, AYT).

Keintiman pemuridan yang bersifat langsung dan pribadi dilengkapi dalam gerakan rangkap tiga ini. Semua yang dimiliki Bapa adalah milik Anak. Semua milik Anak dinyatakan kepada kita oleh Roh Kudus. Kesatuan ketiganya begitu mendalam sehingga kita tidak seharusnya menganggap diri kita dibingungkan antara tiga anggota komite surgawi yang berbeda. Namun, semakin dekat sepenuhnya dalam realitas identitas Sang Anak karena keterlibatan Roh Kudus. Roh Kudus menjelaskan kepada kita semua yang adalah kepunyaan Anak dan Bapa (yang merupakan prinsip dan sumber dari semua yang dimiliki Putra). Yang dimiliki para murid dalam persekutuan pribadi dengan Yesus adalah bahwa mereka menjadi lebih sempurna dengan memiliki-Nya di dalam Bapa dan oleh Roh.

Semua substruktur trinitaris pemuridan menjadi sangat jelas pada titik ini dalam sejarah keselamatan. Untuk menandai maknanya, kalender Kristen menempatkan Minggu Trinitas segera setelah peringatan kenaikan Kristus serta turunnya Roh Kudus (Minggu Pentakosta). Peristiwa-peristiwa ini menandai karya penyempurnaan Anak yang telah pergi kepada Bapa dan Roh yang diutus oleh Mereka. Murid adalah pengikut Kristus bukan hanya karena Sang Anak, tetapi juga karena Bapa dan Roh. Yesus bersungguh-sungguh ketika Ia berkata, "Aku beritahukan kebenaran kepadamu: lebih baik bagimu jika Aku pergi" (Yohanes 16:7, AYT).

Atas dasar pemenuhan agung ini, kita harus meluangkan waktu sejenak untuk memerhatikan dua hal lagi.

Mengungkap Hal yang Selalu Ada

Pertama, melihat pemuridan digenapi dan diselesaikan dalam kedatangan Roh Kudus mengungkapkan kepada kita bahwa pemuridan adalah realitas trinitas selama ini. Peristiwa dramatis kenaikan Kristus dan turunnya Roh Kudus mengubah cara para pengikut pertama mengalami pemuridan sejak saat itu, juga mengungkapkan struktur trinitarian dari pemuridan yang telah mereka jalani. Tak satu pun dari mereka datang kepada Yesus tanpa ditarik oleh Bapa dan tidak ada yang menyebut Yesus itu Tuhan, kecuali oleh Roh Kudus (Yohanes 6:44; 1 Korintus 12:3).

Begitu Anda memerhatikan hal ini, Anda mulai melihat bahwa Injil penuh dengan saat-saat ketika pengajaran Yesus tentang Bapa dan Roh membumbung tinggi di atas kepala para pengikut-Nya. Para penginjil, yang menulis setelah Pentakosta, dapat memberi tahu para pembaca bahwa "Mereka tidak mengerti bahwa Yesus sedang berbicara kepada mereka tentang Bapa." (Yohanes 8:27, AYT), atau "Hal yang dimaksudkan Yesus adalah Roh, yang akan diterima oleh orang yang percaya kepada-Nya. Sebab, Roh itu belum diberikan karena Yesus belum dimuliakan." (Yohanes 7:39, AYT). Pemuridan selalu dan akan selalu menjadi trinitarian di sepanjang perjalanannya.

Mengalami Keseluruhan Trinitas melalui Yesus

Hal lain yang perlu diperhatikan tentang pemenuhan trinitas pemuridan menjadi lebih dalam dan menjangkau lebih jauh.

Kesatuan Bapa, Anak, dan Roh Kudus adalah persatuan yang lebih dalam, lebih kuat, dan lebih intim daripada ciptaan lainnya.
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Alasan utama Bapa dan Roh bukanlah gangguan dari Anak, atau perpindahan Yesus dari tempat paling utama dalam hidup kita, yaitu bahwa Allah adalah satu. Kesatuan Bapa, Anak, dan Roh Kudus adalah persatuan yang lebih dalam, lebih kuat, dan lebih intim daripada ciptaan lainnya. Sangat tidak mungkin untuk mengenal satu pribadi dari Trinitas tanpa yang lain. Setiap pengalaman tentang Bapa, Anak, atau Roh Kudus secara batiniah terikat dengan kepenuhan keilahian tritunggal. Dalam kesatuan tritunggal yang sempurna di atas segala ciptaan, Anak akan menjadi dirinya sendiri secara kekal dalam berkat ilahi, baik dengan adanya murid-murid maupun tidak. Sebaliknya, Anak tidak pernah ada tanpa Bapa dan Roh Kudus.

Inilah sebabnya, ketika kita hidup sebagai murid Kristus, kita dapat memusatkan perhatian kita pada Yesus. Dan, dalam peristiwa itu juga kita bertemu dengan Bapa dan Roh. Karena itu, jika Anda mengikut Yesus, Anda mengikut Dia kepada Bapa-Nya oleh Roh. (t/N.Risanti)

Audio: Ikuti Trinitas dengan Mengikut Kristus

Sumber Artikel: 
Diterjemahkan dari:
Nama situs : The Gospel Coalition
Alamat situs : https://www.thegospelcoalition.org/article/discipleship-trinitarian-key/
Judul asli situs : Follow the Trinity by Following Christ: Discipleship in a Trinitarian Key
Penulis artikel : Fred Sanders

Berkat dan Kutuk

Penulis_artikel: 
T. Desmond Alexander
Tanggal_artikel: 
9 November 2021
Isi_artikel: 

Meskipun jarang diperhatikan, konsep berkat menjadi bagian terpenting dari Injil. Rasul Paulus menyoroti hal ini dalam suratnya kepada orang-orang percaya Kristen di Galatia. Dalam membela dengan penuh semangat masuknya orang-orang bukan Yahudi menjadi umat Allah, dia menulis, "Kitab Suci, yang telah mengetahui sebelumnya bahwa Allah akan membenarkan orang-orang bukan Yahudi karena iman, telah lebih dahulu memberitakan Injil kepada Abraham, dengan berkata, 'Semua bangsa akan diberkati melalui kamu'" (Gal. 3:8, AYT). Seperti yang terus ditekankan oleh Paulus, berkat yang diberikan kepada Abraham sampai kepada orang-orang bukan Yahudi melalui Yesus Kristus (ay.14).

Pandangan Paulus mengingatkan bagaimana konsep berkat dan kutuk sangat penting dalam Kitab Kejadian. Saat penciptaan, Allah memberkati umat manusia ketika Dia memerintahkan mereka untuk beranak cucu dan berlipat ganda dan memenuhi bumi dan menguasainya (Kej. 1:28, AYT). Sayangnya, ketidaktaatan Adam dan Hawa kepada Allah setelah itu mengakibatkan mereka mendapat penghukuman dari-Nya. Berkat memberi jalan kepada kutuk, saat Allah mengucapkan hukuman yang merusak kehidupan Adam dan Hawa dan keturunan mereka (3:16-19). Kutukan Allah atas umat manusia mendatangkan penderitaan bagi pria dan wanita, yang memengaruhi seluruh ciptaan.

Petrus menekankan bahwa berkat ini hanya datang kepada mereka yang berbalik dari kejahatannya.
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Dengan latar belakang ini, Allah memanggil Abraham untuk memulai proses di mana berkat dapat dipulihkan kepada orang-orang di mana-mana. Bagian kedua dari perintah Allah kepada Abraham menggarisbawahi pentingnya berkat:

"TUHAN berfirman kepada Abram, "Pergilah dari negerimu, dan dari keluargamu, dan dari rumah ayahmu, ke tanah yang akan Kutunjukkan kepadamu. Aku akan menjadikanmu suatu bangsa yang besar, dan Aku akan memberkatimu dan membuat namamu masyhur, dan kamu akan menjadi berkat. Aku akan memberkati mereka yang memberkatimu, tetapi orang yang mengutukmu akan Aku kutuk. Melaluimu semua kaum di bumi akan diberkati." (Kej. 12:1-3, AYT)

Pengulangan kata kerja memberkati dalam ayat-ayat ini menyoroti peran penting yang Allah tetapkan untuk dilakukan oleh Abraham. Dengan Abraham, ada kemungkinan bahwa beberapa orang dapat sekali lagi mengalami berkat Allah.

Meskipun harapan akan berkat dimulai dari Abraham, harapan itu terus berlanjut melalui garis keturunannya yang terpilih, yang juga diberkati oleh Allah. Janji Allah kepada Abraham dalam Kejadian 22 mengaitkan berkat bangsa-bangsa dengan salah satu keturunan Abraham: "Keturunanmu akan menduduki setiap gerbang musuh-musuh mereka, dan melalui keturunanmu, semua bangsa di bumi akan diberkati karena kamu menaati pekataan-Ku." (Kej. 22:17b-18, AYT).

Keturunan yang disebutkan di sini akan berasal dari garis keturunan yang mencakup Ishak, Yakub, dan, awalnya, Yusuf, yang semuanya membawa berkat bagi orang lain. Kita melihat ini terutama dengan Yusuf, yang menyelamatkan orang-orang dari bencana kelaparan di berbagai negara. Secara signifikan, garis keturunan Abraham ini terkait dengan keluarga kerajaan (Kej. 17:6, 16; 35:11; lihat Kej. 27:29; 37:8; 49:8-10). Jadi, dimulai dengan Abraham, ada harapan bahwa berkat Allah atas bangsa-bangsa di bumi akan dicurahkan melalui seorang raja yang akan datang. Pada waktunya, harapan ini terkait dengan kerajaan Daud dan akhirnya dengan Yesus Kristus (lihat Matius 1:1-17).

Gagasan bahwa Yesus Kristus membawa berkat sebagai pemenuhan janji Allah kepada Abraham juga ditegaskan dalam Kisah Para Rasul 3 ketika Petrus berbicara kepada sekelompok orang Yahudi:

"Kamu adalah keturunan dari para nabi dan dari perjanjian yang telah Allah buat dengan nenek moyangmu, dengan berkata kepada Abraham, "Melalui benihmu, semua keturunan di muka bumi akan diberkati." Allah, setelah membangkitkan hamba-Nya, mengirimkan-Nya kepadamu lebih dahulu untuk memberkatimu dengan membuat setiap orang dari antaramu berbalik dari kejahatan." (Kis. 3:25-26, AYT)

Sekali lagi, Yesus Kristus dihadirkan sebagai Pribadi yang menjadi perantara berkat Allah kepada orang lain. Dalam menyatakan hal ini, Petrus menekankan bahwa berkat ini hanya datang kepada mereka yang berbalik dari kejahatannya.

Kembali ke pernyataan Paulus dalam Galatia 3, patut dicatat bahwa dia juga berbicara tentang Kristus "menjadi kutuk" (ay.13) bagi mereka yang gagal "menuruti segala sesuatu yang tertulis dalam Kitab Hukum Taurat" (ay.10). Di sini, Paulus menyinggung tentang perjanjian yang dimulai di Gunung Sinai antara Allah dan orang Israel. Ketika perjanjian ini kemudian diperbarui di dataran Moab, Musa memberikan kepada orang Lewi Kitab Taurat (Ulangan 31:24-26). Sebagai bagian dari proses ini, Musa membuat daftar berkat (28:1-14) dan kutukan (28:15-68; lihat 27:15-26) yang masing-masing akan terjadi atas orang Israel karena menepati atau melanggar perjanjian. Yang tidak menyenangkan, daftar kutukan jauh lebih panjang daripada daftar berkat, dan pernyataan Musa selanjutnya menunjukkan bahwa ketidaktaatan bangsa Israel pada masa depan akan mengakibatkan penghakiman Allah yang berat menimpa mereka.

berkat dan kutuk

Dengan cukup tegas, Paulus mengarahkan perhatian dalam Galatia 3 pada kutukan yang terkait dengan perjanjian Sinai, karena kutukan ini telah menimpa dirinya dan sesama orang Yahudi. Paulus percaya bahwa orang Yahudi pada umumnya berada di bawah kutukan Allah karena mereka telah gagal untuk mematuhi segala sesuatu yang diwajibkan dalam Kitab Taurat. Akibatnya, orang Yahudi tidak memiliki posisi yang lebih baik untuk menikmati berkat Allah daripada orang bukan Yahudi. Paulus jelas menganggap dirinya sebagai salah satu dari mereka yang berada di bawah penghukuman. Sehubungan dengan ini, Paulus menekankan bagaimana Kristus telah menjadi "kutuk bagi kita", yaitu bagi orang-orang yang dihukum oleh Taurat. Ironisnya, para penentang Paulus menginginkan orang bukan Yahudi menjadi orang Yahudi untuk menikmati berkat Allah. Paulus dengan tegas berpendapat bahwa ini tidak perlu, karena berkat datang melalui Kristus.

Terlepas dari pentingnya berkat dan kutuk untuk memahami makna/pentingnya kematian Kristus di kayu salib, kita tidak boleh lupa bahwa dalam pengajaran-Nya, Yesus juga menyoroti perihal menikmati berkat Allah. Dalam hal ini, patut dicatat bahwa Khotbah di Bukit dimulai dengan serangkaian pernyataan yang berfokus pada konsep berkat. Dalam Ucapan Bahagia, Yesus menggambarkan karakteristik orang-orang yang akan diberkati. Dia juga menunjukkan bahwa berkat-berkat ini tidak serta merta dialami. Orientasi masa depan dari Matius 5 menunjukkan bahwa keuntungan menjadi bagian dari kerajaan surga masih menunggu penyempurnaan kerajaan dan penciptaan langit dan bumi yang baru (Wahyu 21:1-4).

Menariknya, Khotbah di Bukit versi Lukas tidak hanya mencantumkan berkat-berkat (Lukas 6:20-23), tetapi juga berisi serangkaian "celaka" (ay. 24-26) yang akan menimpa mereka yang menolak Yesus sebagai Tuhan mereka. Kontras antara mengalami berkat atau kutuk Allah ini merupakan pengingat penting bahwa kita tidak secara otomatis menikmati perkenanan Allah terlepas dari bagaimana kita hidup. Hanya mereka yang benar-benar percaya kepada Yesus sebagai Juru Selamat mereka dan tunduk pada ketuhanan-Nya, yang akan mengalami berkat Allah yang kekal. Ketaatan mendatangkan berkat, bukan karena ketaatan mendatangkan keselamatan, tetapi karena ketaatan menunjukkan realitas iman kita kepada Dia yang memberkati umat-Nya. (t/Jing-Jing)

Sumber Artikel: 
Diterjemahkan dari:
Nama situs : Ligonier
Alamat situs : https://www.ligonier.org/learn/articles/blessing-and-cursing/
Judul asli artikel : Blessing and Cursing
Penulis artikel : T. Desmond Alexander

Perspektif Yesus tentang Sola Fide

Penulis_artikel: 
John MacArthur
Tanggal_artikel: 
13-09-2021
Isi_artikel: 

Banyak orang yang telah menganut "Perspektif Baru tentang Paulus" juga mengajukan pandangan yang berbeda tentang doktrin pembenaran oleh iman. Ketika teks Kitab Suci ditafsirkan dalam terang baru, mereka mengatakan, dukungan Paulus untuk prinsip Sola fide (hanya oleh iman), doktrin imputasi, dan perbedaan antara Hukum Taurat dan Injil tampaknya tidak begitu kuat.

Kita mengatakan itu omong kosong. Kita menolak revisionisme historis dan hermeneutik dari Perspektif Baru, tetapi terlepas dari bagaimana orang menafsirkan Rasul Paulus, telah cukup jelas bahwa Yesus mengajarkan pembenaran hanya oleh iman. Meninggalkan kebenaran ini sama dengan mengabaikan soteriologi alkitabiah sama sekali.

Tidak ada doktrin yang lebih penting bagi teologi injili dibandingkan dengan doktrin pembenaran hanya oleh iman -- prinsip Reformasi tentang Sola fide. Martin Luther dengan tepat mengatakan bahwa gereja berdiri atau jatuh pada doktrin yang satu ini.

Sejarah memberikan banyak bukti objektif untuk menegaskan penilaian Luther. Gereja dan denominasi yang berpegang teguh pada Sola fide tetap bersifat injili. Mereka yang telah menyimpang dari konsensus Reformasi dalam hal ini mau tidak mau menyerah pada liberalisme, kembali ke sacerdotalisme, menganut beberapa bentuk perfeksionisme, atau membelok ke bentuk kemurtadan yang lebih buruk.

Intisari Kekristenan

Taurat

Oleh karena itu, paham injili historis selalu memperlakukan pembenaran oleh iman sebagai pembeda utama alkitabiah -- jika bukan satu-satunya doktrin yang paling penting untuk menjadi benar. Ini adalah doktrin yang membuat Kekristenan yang autentik berbeda dari agama-agama lainnya. Kekristenan adalah agama pemenuhan ilahi -- yang penekanannya selalu pada karya Kristus yang telah selesai. Semua yang lain adalah agama pencapaian manusia. Mau tidak mau, mereka menjadi sibuk dengan upaya si pendosa sendiri untuk menjadi kudus. Tinggalkan doktrin pembenaran oleh iman, maka Anda tidak akan dapat dengan jujur mengaku sebagai seorang injili.

Kitab Suci sendiri menjadikan Sola fide sebagai satu-satunya alternatif untuk sistem kebenaran berdasarkan perbuatan yang memberatkan: "Kepada orang yang bekerja, upahnya tidak diperhitungkan sebagai hadiah, melainkan sebagai haknya. Kepada orang yang TIDAK BEKERJA, TETAPI YANG PERCAYA kepada Dia yang membenarkan orang tidak benar, imannya diperhitungkan sebagai kebenaran" (Rm. 4:4-5, AYT, penekanan ditambahkan).

Dengan perkataan lain, mereka yang percaya kepada Yesus Kristus demi pembenaran hanya oleh iman menerima kebenaran yang sempurna yang diperhitungkan kepada mereka. Mereka yang berusaha menegakkan kebenaran mereka sendiri atau mencampuradukkan iman dengan perbuatan hanya menerima upah mengerikan yang harus dibayar semua orang yang gagal mencapai kesempurnaan. Jadi, baik individu maupun gereja berdiri atau jatuh dengan prinsip Sola fide. Kemurtadan Israel berakar pada pengabaian mereka terhadap pembenaran hanya oleh iman: "Sebab, mereka tidak peduli dengan kebenaran yang datang dari Allah dan berusaha menegakkan kebenaran mereka sendiri, mereka tidak tunduk kepada kebenaran Allah." (Rm. 10:3, AYT)

Pembenaran alkitabiah harus dengan sungguh-sungguh dipertahankan pada dua sisi. Teologi tanpa ketuhanan (kesalahan yang kita bahas dalam Pulpit edisi November/Desember) memutarbalikkan doktrin pembenaran oleh iman untuk mendukung pandangan bahwa ketaatan pada hukum moral Allah bersifat tidak wajib. Ajaran ini berusaha menciutkan seluruh karya penyelamatan Allah menjadi tindakan pembenaran yang bersifat deklaratif. Ia meremehkan regenerasi kelahiran kembali secara rohani (2 Kor. 5:17); ia mengabaikan efek moral dari hati orang percaya yang baru (Yeh. 36:26-27); dan ia membuat pengudusan bergantung pada usaha orang percaya sendiri. Ia cenderung memperlakukan elemen forensik pembenaran -- tindakan Allah yang menyatakan bahwa orang berdosa yang percaya itu dibenarkan -- seolah-olah ini adalah satu-satunya aspek terpenting dari keselamatan. Efek tak terelakkan dari pendekatan ini adalah mengubah kasih karunia Allah menjadi kebejatan (Yudas 4). Pandangan semacam itu disebut antinomianisme.

Pada sisi lain, ada banyak orang yang membuat pembenaran bergantung pada kombinasi dari iman dan perbuatan. Sementara antinomianisme secara radikal mengisolasi pembenaran dari pengudusan, kesalahan ini mencampurkan dua aspek pekerjaan penyelamatan Allah. Efeknya adalah menjadikan pembenaran sebagai proses yang didasarkan pada kebenaran cacat orang percaya itu sendiri, bukannya pada tindakan deklaratif Allah yang berdasar pada kebenaran Kristus yang sempurna.

Segera setelah pembenaran disatukan dengan pengudusan, pekerjaan kebenaran menjadi bagian penting dari proses tersebut. Dengan demikian, iman dilarutkan dengan perbuatan. Sola fide ditinggalkan. Ini adalah kesalahan para legalis Galatia (lih. Gal. 2:16; 5:4). Paulus menyebutnya "injil yang berbeda" (Gal. 1:6, 9). Kesalahan yang sama ditemukan dalam hampir setiap kultus palsu. Ini adalah kesalahan utama dari Katolik Roma. Saya khawatir bahwa kesalahan ini mungkin juga menjadi arah perjalanan banyak orang yang terpesona dengan "Perspektif Baru tentang Paulus".[1]

Jika doktrin secara keseluruhan telah diabaikan pada zaman kita, doktrin pembenaran, khususnya, telah mengalami pengabaian yang kuat. Karya-karya tertulis tentang pembenaran secara nyata hilang dari kumpulan literatur kaum injili terkini.[2] Dalam pengantarnya untuk karya penting James Buchanan yang dicetak ulang pada 1961, "The Doctrine of Justification" ("Doktrin Pembenaran"), J.I. Packer mencatat hal ini:

"Merupakan fakta dengan signifikansi yang tidak menyenangkan bahwa karya klasik Buchanan, yang sekarang berusia satu abad, adalah studi mendalam terkini tentang pembenaran oleh iman yang telah dihasilkan oleh golongan Protestantisme berbahasa Inggris (tanpa melihat lebih jauh). Jika kita dapat menilai dari jumlah karya sastra yang dihasilkannya, tidak pernah ada zaman aktivitas teologis yang begitu jaya seperti yang terjadi dalam 100 tahun terakhir; tetapi di tengah semua keprihatinan teologisnya yang beraneka ragam, ia tidak menghasilkan satu buku pun dalam ukuran apa pun tentang doktrin pembenaran. Jika satu-satunya yang kita ketahui tentang gereja selama abad yang lalu adalah bahwa gereja telah mengabaikan subjek pembenaran dengan cara ini, kita seharusnya sudah berada dalam posisi untuk menyimpulkan bahwa abad ini merupakan abad kemurtadan dan kemerosotan agama.[3]

Setelah mengabaikan doktrin ini selama lebih dari satu abad, kaum injili menjadi kurang diperlengkapi untuk menjawab mereka yang mengatakan bahwa Martin Luther dan para Reformator salah memahami Rasul Paulus sehingga salah memahami doktrin pembenaran.

Gerakan injili berada di ambang meninggalkan prinsip penting Reformasi, dan sebagian besar kaum injili bahkan tidak melihat ancaman itu dan sekalipun mereka dapat melihatnya, mereka tidak akan memiliki jawaban yang meyakinkan.

Apa yang harus kita lakukan untuk diselamatkan? Rasul Paulus menjawab pertanyaan itu untuk kepala penjara Filipi dalam istilah yang paling jelas: "Percayalah dalam Tuhan Yesus dan kamu akan diselamatkan ..." (Kis. 16:31, AYT).

Surat-surat kunci Paulus terkait doktrin -- khususnya Roma dan Galatia -- kemudian memperluas jawaban itu, membuka doktrin pembenaran oleh iman untuk menunjukkan bagaimana kita dibenarkan hanya oleh iman, terlepas dari perbuatan manusia dalam bentuk apa pun.

Setidaknya, itulah interpretasi injili historis tentang Paulus. Akan tetapi, itulah hal yang diserang oleh Perspektif Baru.

Jadi, bagaimana jika kita bergerak melampaui Rasul Paulus? Apakah mungkin untuk membuktikan prinsip Sola fide dari pengajaran Kristus di dunia? Tentu saja.

Injil Menurut Yesus

Meskipun Kristus tidak membuat penjelasan formal tentang doktrin pembenaran (seperti yang dilakukan Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma), pembenaran oleh iman mendasari dan meresapi seluruh pemberitaan Injil-Nya. Meski Yesus tidak pernah memberikan ceramah tentang masalah ini, menunjukkan bahwa Yesus mengajarkan Sola fide dari pelayanan penginjilan-Nya itu mudah.

Sebagai contoh, Yesus sendirilah yang menyatakan, "orang yang mendengar perkataan-Ku dan percaya ... sudah pindah dari kematian ke kehidupan" (Yoh. 5:24, AYT) -- tanpa harus menjalani sakramen atau ritual apa pun, dan tanpa periode penantian atau api penyucian apa pun. Penjahat di atas salib adalah contoh klasiknya. Terhadap pembuktian yang begitu kecil akan imannya itu, Yesus berkata kepadanya, "Aku mengatakan yang sesungguhnya kepadamu, hari ini juga, kamu akan bersama Aku di dalam Firdaus" (Luk. 23:43, AYT). Tidak ada sakramen atau pekerjaan yang dia perlukan untuk mendapatkan keselamatan.

Lebih jauh lagi, banyak penyembuhan yang Yesus lakukan adalah bukti fisik atas kuasa-Nya untuk mengampuni dosa (Mat. 9:5-6). Ketika Dia menyembuhkan, Dia sering berkata, "Imanmu telah menyembuhkanmu" (Mat. 9:22; Mrk. 5:34; 10:52; Luk. 8:48; 17:19; 18:42). Semua penyembuhan itu adalah pelajaran pokok tentang doktrin pembenaran hanya oleh iman.

Akan tetapi, satu peristiwa ketika Yesus benar-benar menyatakan seseorang "dibenarkan" memberikan wawasan terbaik tentang doktrin tersebut seperti yang Dia ajarkan:

Yesus juga menyampaikan perumpamaan ini kepada beberapa orang yang menganggap diri mereka benar dan memandang rendah orang lain. "Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa. Yang seorang adalah orang Farisi dan yang lain adalah seorang pengumpul pajak. Orang Farisi itu berdiri dan mengucapkan doa tentang dirinya, 'Ya, Allah, aku berterima kasih kepada-Mu karena aku tidak seperti orang lain; seperti pemeras, penipu, pezina, atau bahkan seperti pengumpul pajak ini. Aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari seluruh penghasilanku.' Akan tetapi, si pengumpul pajak berdiri agak jauh, bahkan tidak memandang ke langit. Sebaliknya, ia memukul-mukul dadanya sambil berkata, 'Ya, Allah. Berbelas kasihanlah kepadaku, si pendosa ini.' Aku berkata kepadamu, pengumpul pajak ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang lebih DIBENARKAN daripada orang Farisi itu sebab orang yang meninggikan diri akan direndahkan, dan orang yang merendahkan diri akan ditinggikan." (Lukas 18:9-14, AYT, penekanan ditambahkan).

Perumpamaan itu pasti mengejutkan orang-orang yang mendengarkan Yesus! Mereka "menganggap diri mereka benar" (ay. 9) -- definisi yang paling tepat dari pembenaran diri. Pahlawan teologis mereka adalah orang-orang Farisi, yang berpegang pada standar legalistik yang paling kaku. Mereka berpuasa, berdoa dan memberi sedekah dengan pamer, dan bahkan lebih ketat menerapkan hukum-hukum peribadatan daripada yang sebenarnya telah ditetapkan oleh Musa.

Namun, Yesus telah mengejutkan banyak orang dengan berkata, "... jika kebenaranmu tidak lebih baik daripada kebenaran ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, kamu sama sekali tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga." (Mat. 5:20, AYT) -- yang diikuti dengan, "Karena itu, kamu harus menjadi sempurna, seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna" (ay. 48). Jelas, Dia menetapkan standar yang tidak mungkin dipenuhi secara manusiawi, karena tidak seorang pun mampu melampaui kehidupan ketat para ahli Taurat dan orang Farisi.

Sekarang, Dia semakin mengejutkan para pendengar-Nya dengan sebuah perumpamaan yang tampaknya menempatkan seorang pemungut cukai yang menjijikkan dalam posisi yang secara rohani lebih baik daripada seorang Farisi yang berdoa.

Maksud Yesus jelas. Dia mengajarkan bahwa pembenaran hanyalah oleh iman. Seluruh teologi pembenaran terdapat di situ. Akan tetapi, tanpa menyelidiki teologi abstrak, Yesus dengan jelas melukiskan gambaran itu bagi kita dengan sebuah perumpamaan.

Tindakan Penghakiman Allah

Pembenaran terhadap pemungut pajak ini adalah kenyataan yang bersifat seketika. Tidak ada proses, selang waktu, ataupun ketakutan akan api penyucian. Dia "pulang ke rumahnya sebagai orang yang lebih dibenarkan" (ay. 14) -- bukan karena apa yang telah dia lakukan, tetapi karena apa yang telah dilakukan baginya.

Perhatikanlah bahwa si pemungut cukai memahami ketidakberdayaannya sendiri. Dia memiliki utang yang besar, yang dia tahu tidak bisa dibayarnya. Yang bisa dia lakukan hanyalah bertobat dan memohon belas kasihan. Bandingkan doanya dengan doa orang Farisi yang sombong. Si pemungut cukai tidak mengungkit apa yang telah diperbuatnya. Dia tahu bahwa karya terbaiknya pun adalah dosa. Dia tidak menawarkan diri untuk melakukan apa pun bagi Allah. Dia hanya memohon belas kasihan ilahi. Dia sedang mencari Allah untuk melakukan baginya apa yang tidak bisa dia lakukan untuk dirinya sendiri. Itulah sifat dari pertobatan yang Yesus minta.

Hanya Oleh Iman

Ditambah lagi, orang ini pergi dengan benar tanpa melakukan penebusan dosa apa pun, tanpa melakukan sakramen atau ritual apa pun, tanpa perbuatan baik apa pun. Pembenarannya sempurna tanpa melakukan salah satu dari hal-hal itu, karena pembenarannya semata-mata atas dasar iman. Segala sesuatu yang diperlukan untuk menebus dosanya dan menyediakan pengampunan telah dilakukan untuknya. Dia dibenarkan oleh iman saat itu juga.

Sekali lagi, perbuatannya sangat kontras dengan orang Farisi yang sombong, yang begitu yakin bahwa semua puasa, persepuluhan, dan perbuatan lain yang dilakukannya menjadikan dia diterima oleh Allah. Namun, sementara orang Farisi yang berupaya itu tetap tidak dibenarkan, pemungut cukai yang percaya itu menerima pembenaran penuh hanya oleh iman.

Kebenaran yang Diperhitungkan

Pemahaman yang benar tentang pembenaran oleh iman adalah dasar utama dari Injil.
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Ingat pernyataan Yesus dari Khotbah di Bukit, "... jika kebenaranmu tidak lebih baik daripada kebenaran ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, kamu sama sekali tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga" (Mat. 5:20)? Namun, sekarang, Dia menyatakan bahwa pemungut cukai ini -- manusia yang paling jahat ini -- dibenarkan! Bagaimana orang berdosa seperti itu memperoleh kebenaran yang melebihi kebenaran orang Farisi? Jika standarnya adalah kesempurnaan ilahi (ay. 48), bagaimana mungkin seorang pemungut cukai yang berkhianat bisa menjadi benar dalam pandangan Allah?

Satu-satunya jawaban yang mungkin adalah bahwa dia menerima kebenaran yang bukan dari dirinya sendiri (lih. Flp. 3:9). Kebenaran diperhitungkan kepadanya oleh iman (Rm. 4:9-11).

Kebenaran siapa yang diperhitungkan kepadanya? Satu-satunya yang mungkin hanyalah kebenaran sempurna dari Sang Pengganti yang tidak bercela, yang sebagai gantinya harus menanggung dosa si pemungut cukai dan menderita hukuman murka Allah untuk menggantikannya. Dan, Injil memberi tahu kita bahwa itulah yang Yesus lakukan.

Si pemungut pajak dibenarkan. Allah menyatakan dia benar, memperhitungkan kepadanya kebenaran Kristus yang penuh dan sempurna, mengampuni dia dari segala ketidakbenaran, dan membebaskannya dari semua hukuman. Selamanya setelah itu, dia berdiri di hadapan Allah di atas dasar kebenaran yang sempurna yang telah diperhitungkan kepadanya.

Inilah yang dimaksud dengan pembenaran. Inilah satu-satunya Injil yang benar. Semua poin teologi lainnya berasal darinya. Seperti yang ditulis Packer, "Doktrin pembenaran oleh iman itu ibarat Atlas: ia memikul dunia di atas bahunya, yaitu seluruh pengetahuan injili tentang anugerah keselamatan."[4] Perbedaan antara Sola fide dan formula-formula pembenaran lainnya bukanlah perbedaan teologis yang sangat kecil. Pemahaman yang benar tentang pembenaran oleh iman adalah dasar utama dari Injil. Anda tidak bisa keliru dalam hal ini tanpa akhirnya merusak setiap doktrin lainnya juga."

Dan, itulah sebabnya setiap "injil yang berbeda" berada di bawah kutukan Allah yang kekal.

-- -- -- -- --

1. Saya menyampaikan keprihatinan ini karena sebagian besar penganut Perspektif Baru menyangkal adanya perbedaan yang sah antara Taurat dan Injil; mereka sering menggambarkan pembenaran secara bertahap, dengan pembenaran akhir bergantung pada pekerjaan orang percaya itu sendiri; dan banyak dari mereka meremehkan atau menolak imputasi kebenaran Kristus kepada orang percaya. Mereka memfokuskan hermeneutika revisionis mereka pada bagian-bagian tempat Paulus paling jelas mengajarkan doktrin-doktrin ini, seperti 2 Korintus 5:21 dan Filipi 3:9. Untuk memberikan analisis yang lebih menyeluruh, dampak buruk Perspektif Baru terhadap doktrin pembenaran jauh di luar cakupan artikel ini. Akan tetapi, sebagian besar kritikus penganut paham Perspektif Baru telah mengemukakan keprihatinan yang sangat mirip. Lihat, misalnya, karya David Linden: "The New Perspective of N.T. Wright on the Doctrine of Justification".

2. Dua pengecualian penting adalah karya James White, "The God who Justified" (Minneapolis: Bethany House, 2001), dan karya R.C. Sproul, "Faith Alone" (Grand Rapids: Baker, 1995).

3. James I. Packer dalam karya James Buchanan, "The Doctrine of Justification" (Edinburgh: Banner of Truth, 1961 reprint of 1867 original), 2.

4. Packer, dalam Buchanan, 2.

(t/N. Risanti)

Audio: Perspektif Yesus tentang Sola Fide

Sumber Artikel: 
Diterjemahkan dari:
Nama situs : Grace to You
Alamat situs : https://www.gty.org/library/articles/A192/jesus-perspective-on-sola-fide
Judul asli artikel : Perspektif Yesus tentang Sola fide
Penulis artikel : John MacArthur

Menyanjung Bavinck: Pria di Balik 'Dogmatika Reformed'

Penulis_artikel: 
Carlton Wynne
Tanggal_artikel: 
23 Juli 2021
Isi_artikel: 

Ulasan: 'Bavinck: Sebuah Biografi Kritis' oleh James Eglinton

Saat itu tahun 2006 ketika saya menonton TV proyeksi belakang dengan kualitas tampilan HD pertama saya. Gambar itu menunjukkan sebuah turnamen golf dengan kejernihan yang menakjubkan dan warna yang cemerlang, sampai ke lekuk-lekuk pada bola golf. Meski mengesankan, TV itu besar, berat, tidak praktis, yang sekarang jauh dilampaui oleh model-model selanjutnya.

Membaca biografi James Eglinton tentang seorang teolog Belanda dan neo-Calvinis genius, Herman Bavinck (1854 -- 1921) mengingatkan saya pada pengalaman itu, dengan setidaknya satu perbedaan utama. Bavinck: Sebuah Biografi Kritis dipenuhi dengan warna, kecerahan, dan kontras. Namun, tidak seperti TV HD lama, jilid ini ramping dan kukuh, dan pasti akan menarik perhatian generasi-generasi mendatang.

James Eglinton adalah Dosen Senior Meldrum dalam Teologi Reformed di Universitas Edinburgh. Namun, pada saat ini dia mungkin juga disebut sebagai Dosen Reformed Favorit dalam segala hal tentang Bavinck.

Bagi mereka yang tidak terbiasa dengan aliran literatur yang muncul tentang teolog Reformed terbesar abad terakhir, sebagian besar mengikuti kasus ilmiah Eglinton untuk Bavinck sebagai dogmatis Reformed yang konsisten, sebuah bacaan baru yang secara efektif menggantikan perspektif lama yang secara keliru mendeteksi tanda-tanda ortodoks dan modern yang bertentangan dalam tulisan-tulisan Bavinck. Dengan menelaah kompleksitas latar belakang Bavinck, biografi terbaru ini menunjukkan bahwa selain menyembunyikan masalah teologis, tesis "dua Bavinck" juga memiliki cacat historis dan sosiologis.

Bavinck Orangnya

Herman Bavinck

Namun, itu belum semua, Saudara-saudara. Eglinton menggambarkan biografinya sebagai "kritis" dalam arti bahwa biografinya diambil dari beragam sumber asli (buku harian, surat, surat kabar, dll.) untuk menyajikan kompleksitas kehidupan Bavinck secara akurat dan jujur dalam konteks zamannya. Orang mungkin menambahkan bahwa kata "kritis" juga berlaku untuk cara Eglinton yang dengan cekatan memperbaiki sejumlah kesalahan yang muncul di beberapa model biografi Bavinck yang lebih tua. Saya menghargai pembelajaran, misalnya, bahwa (1) seuntai tradisi "Seceder" Bavinck tidak bertentangan dengan integrasi budaya; (2) dia tidak menghadapi ketidaksetujuan orang tua ketika pergi untuk belajar di Leiden; dan (3) dia dan istrinya, Johanna, adalah pasangan teologis yang cocok.

Jadi, pria macam apa yang Eglinton fokuskan saat dia menyajikan apa yang mendorongnya untuk dikatakan melalui metodenya? Penulis menjawab, "Saya menyajikan subjek saya sebagai seorang Eropa modern, seorang Calvinis ortodoks, dan seorang ilmuwan" (xxii).

Kumpulan dalam lima bagian penting yang diuraikan ("Asal", "Mahasiswa", "Pendeta", "Profesor di Kampen", dan "Profesor di Amsterdam"), segmen-segmen kronologis kehidupan dan pekerjaan Bavinck ini mengungkapkan dia sebagai seorang teolog Reformed yang dalam berbagai cara menghadapi, mengembangkan di dalam, dan bergumul dengan lanskap yang berubah dari dunia modern akhir. Tema dasar ini terlalu rumit disajikan dalam buku untuk menangkap dalam ulasan singkat. Akan tetapi, secara umum adalah masuk akal untuk mengatakan bahwa narasi tentang pria ortodoks ini pada zamannya membuka lensa pada skala yang lebih kecil dan lebih besar, masing-masing membawa pelajaran untuk hari ini.

Dibentuk Melalui Penderitaan

Dalam skala yang lebih kecil, Eglinton memperbesar perjuangan Bavinck untuk menghubungkan tradisi Belandanya yang relatif terisolasi dengan bakat intelektualnya yang kuat dan ambisi teologisnya yang luas. Kadang-kadang, yang pertama tidak memuaskannya, dibuktikan dengan keputusannya untuk meninggalkan Sekolah Teologi di Kampen setelah satu tahun belajar di bawah bimbingan para sarjana modernis di Universitas Leiden.

Pada waktu lain, tradisinya tidak berpihak padanya. Misalnya, Bavinck mendekam selama satu dekade berusaha menikahi kekasih remajanya, tetapi malah ditolak oleh ayah gadis itu pada setiap kesempatan. Bertahun-tahun kemudian, setelah kembali ke Kampen untuk mengajar, Bavinck menghadapi konflik tak berujung di dalam fakultas atas penolakan lembaga itu terhadap akademi ilmiah, khususnya prospek kesepakatan kerja sama dengan Free University Abraham Kuyper di Amsterdam.

Dari kisah cintanya yang sulit dengan seorang gadis kampung halaman, hingga perkenalannya dengan minuman keras di Leiden, hingga frustrasinya di dalam fakultas seminari, Bavinck tiba-tiba menjadi terhubung dengan pembaca. Bahkan, para pendeta yang bekerja dalam kesendirian atau yang hidupnya tetap keras kepala tidak sejalan dengan lingkungan mereka akan beresonansi dengan "pengalaman yang sangat kesepian" Bavinck (121) selama penggembalaan singkatnya di Franeker.

Setiap pergumulan ini mengajarkan kita bahwa banyak tulisan Bavinck, termasuk magnum opus-nya, empat jilid "Reformed Dogmatics", tidak jatuh dari langit, tetapi ditempa oleh seorang pria sejati yang menanggung salib di hadapan Juru Selamatnya.

Teologi yang berpusat pada Allah

Akan tetapi, Eglinton juga mencoba untuk mengambil gambar layar lebar tentang pengharapan Bavinck yang gigih untuk melihat teologi Reformed bertemu dengan dan mengubah gerakan dan gagasan pada zamannya. Bertentangan dengan Friedrich Schleiermacher -- juga seluruh tradisi modernis, dalam hal ini -- Bavinck percaya bahwa hanya ketika teologi benar-benar berasal dari Allah dan melekat pada Allah, dan bukan manusia, itu akan memenuhi visi neo-Calvinis untuk membawa ketuhanan Kristus untuk menanggung setiap perjuangan manusia.

Komitmen terhadap apa yang Eglinton sebut sebagai "sifat teologi yang independen" (138) ini memberikan koreksi yang bermanfaat bagi mereka pada zaman kita yang tergoda untuk mengumpulkan bukti yang mendukung argumen mereka untuk Kekristenan berdasarkan intuisi modern yang sekilas secara formal beresonansi dengan pandangan dunia Kristen. Secara sederhana, poin referensi duniawi mungkin berguna untuk memulai percakapan, tetapi bagi Bavinck, seperti yang Eglinton tunjukkan mengenai dia, pemahaman Kristen yang sejati tentang dunia harus diperoleh dengan baik dan jelas dari wahyu penebusan Allah dalam Kitab Suci.

banyak tulisan Bavinck, termasuk magnum opus-nya, empat jilid "Reformed Dogmatics", tidak jatuh dari langit, tetapi ditempa oleh seorang pria sejati yang menanggung salib di hadapan Juru Selamatnya.
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Seperti yang ditulis Bavinck kepada seorang teman yang mendalami kritik modern terhadap Kitab Suci, "Inilah perbedaan antara Anda dan saya ... Anda ingin, melalui dan setelah penelitian, mencapai sudut pandang ini (yaitu, penilaian atas Kitab Suci mencapai sebuah pengetahuan berdasarkan pengamatan bukan pemahaman); Saya bergerak maju dari itu (yaitu, pandangan Kitab Suci menegaskan apriori) dan terus meneliti" (139).

Namun, kesetiaan Bavinck terhadap prinsip-prinsip Reformed seperti itu tampaknya sedikit melemah pada kemudian hari. Dengan munculnya ateisme militan Friedrich Nietzsche, Eglinton mencatat, Bavinck di depan umum mendukung "gagasan umum Kekristenan" (242) daripada Reformed Calvinisme yang spesifik.

Apa yang menyebabkan perubahan strategis ini? Intimidasi oleh besarnya tugas? Kekecewaan atas prospek Calvinisme yang saat itu tampak suram? Sementara Eglinton memberikan petunjuk penjelasan, mungkin grup inti sarjana Bavinck yang berkembang akan menyelidiki pertanyaan ini secara lebih mendalam.

Kata terakhir tentang karya seni untuk sampul bukunya: itu adalah potret Bavinck yang dilukis oleh teman Eglinton dan rekan teolog Oliver Crisp. Wajahnya termenung, mata tertutup, menunjukkan perhatian yang mendalam tentang kebesaran Allah Tritunggal dan keagungan-Nya yang dimasyhurkan di seluruh bumi.

Eglinton telah mengelaborasi gambar itu dengan menghadirkan seorang pria yang di sepanjang hidupnya yang panjang dan menarik, memiliki tujuan untuk mengagungkan kemuliaan Tuhan di dalam dan melalui segala sesuatu. Semoga para pembacanya juga memiliki tujuan ini untuk hidup mereka sendiri, dan suatu hari melihatnya terwujud dalam warna-warna cerah dan kejelasan pada akhir zaman. (t/Jing-Jing)

Audio: Menyanjung Bavinck

Sumber Artikel: 
Diterjemahkan dari:
Nama situs : The Gospel Coalition
Alamat situs : https://www.thegospelcoalition.org/reviews/bavinck-critical-biography/
Judul asli situs : Becoming Bavinck: The Man Behind 'Reformed Dogmatics'
Penulis artikel : Carlton Wynne

Komentar


Syndicate content