Tentang KamiArtikel TerbaruUpdate Terakhir |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SOTeRI Reformasi - Dahulu dan SekarangPenulis_artikel:
W. Robert Godfrey
Tanggal_artikel:
9 Desember 2021
Isi_artikel:
"Saya yakin bahwa peristiwa terbesar bagi kekristenan dalam 1.500 tahun terakhir adalah Reformasi Protestan."[1] Profesor John Murray mengucapkan kata-kata ini dalam kuliah kelasnya tentang pembenaran (tindakan Allah untuk menghapus kutuk dosa oleh anugerah dan membenarkan orang berdosa melalui iman dalam penebusan Yesus Kristus - Red.) pada pertengahan 1960-an. Pada saat itu, 40 tahun yang lalu, akan sulit untuk membayangkan siapa pun di gereja Reformed atau evangelis menemukan sesuatu yang luar biasa dari perkataan Murray. Namun, hari ini, di dunia yang akan membuat orang takjub, doktrin-doktrin sentral Reformasi sedang diserang, tidak hanya di kalangan liberal dan ekumenis, tetapi di tengah gereja-gereja evangelis dan Reformed. Kritik masa kini terhadap doktrin Reformasi, menurut saya (seorang sejarawan Reformasi), biasanya muncul dari mereka yang tidak terlalu mengenal teologi para Reformator, kekhawatiran yang memotivasi mereka, atau landasan alkitabiah untuk pengajaran mereka. Dalam artikel singkat ini, kita tidak dapat menyurvei atau menjawab semua kritik. Akan tetapi, kita dapat melakukan tinjauan singkat tentang keyakinan fundamental para Reformator dan melihat sifatnya yang terus-menerus penting bagi kehidupan umat Allah dan gereja-gereja kita. Pemikiran John Calvin tentang Reformasi adalah tempat yang baik untuk memulai. Dalam perjalanan hidupnya, dia menulis tiga risalah penting yang membela dan menjelaskan perlunya reformasi di gereja. Yang pertama adalah pernyataannya yang cukup pribadi untuk membela reformasi di Jenewa, yang biasa disebut "Surat Balasan kepada Sadoleto" (1539). Yang kedua, "Perlunya Reformasi Gereja" (1543), ditulis atas permintaan Martin Bucer untuk dipresentasikan kepada Kaisar Charles V pada pertemuan Diet kekaisaran. Risalah ketiga, "Metode Sejati dalam Membawa Perdamaian kepada Kekristenan dan Mereformasi Gereja" (1548), ditulis sebagai tanggapan atas kemenangan kekaisaran atas pemimpin Protestan dan pengenaan Interim Augsburg yang mensyaratkan kesesuaian Protestan dengan praktik-praktik tertentu dari Katolik Roma. Meski ada perbedaan di antara risalah-risalah ini, yang mencerminkan waktu yang berbeda saat risalah tersebut ditulis, mereka benar-benar berbicara dengan satu suara, memberi kita pemahaman Calvin tentang pandangan dasar Reformasi. Risalah-risalah ini menunjukkan bahwa baginya, Reformasi memiliki lima masalah utama (bukan lima poin tradisional Calvinisme!). Yang pertama adalah bahwa Alkitablah satu-satunya otoritas di gereja untuk masalah-masalah keagamaan. Yang kedua adalah bahwa gereja harus menyembah Allah secara murni, menurut Alkitab. Yang ketiga adalah bahwa pembenaran adalah oleh kasih karunia saja melalui iman saja dalam kebenaran Kristus saja. Yang keempat adalah bahwa gereja harus memiliki pemahaman yang benar tentang dua (dan hanya dua) sakramen yang ditetapkan oleh Kristus, yaitu Baptisan dan Perjamuan Kudus. Kelima adalah bahwa jabatan pastoral dan pengajaran yang sejati harus dipulihkan dalam gereja. Alkitab Otoritas Alkitab sebagai sumber yang benar-benar dapat diandalkan dan dapat diakses dari semua kebenaran agama adalah dasar bagi Protestantisme. Reformasi mengambil sikap menentang klaim palsu Roma untuk menjadikan tradisi sebagai otoritas selain Alkitab dan menjadikan paus satu-satunya penengah utama makna Alkitab dan tradisi. Calvin menulis, "Meskipun kita harus taat kepada para penatua dan atasan kita, semua ketaatan itu harus diuji oleh firman Allah; kesimpulannya, kita [adalah] gereja yang kepedulian tertingginya adalah dengan rendah hati dan religius menghormati firman Allah, dan tunduk pada otoritasnya."[2] Alkitab bukan hanya otoritas formal bagi Calvin. Ia adalah otoritas yang vital dan perlu dalam kehidupan umat Allah. Dalam Katekismus Jenewanya, Calvin mengajarkan cara penggunaan Alkitab: Jika kita memegangnya dengan keyakinan sepenuh hati sebagai kebenaran pasti yang turun dari surga; jika kita menunjukkan diri kita patuh padanya; jika kita menundukkan keinginan dan pikiran kita pada ketaatannya; jika kita mencintainya sepenuh hati; jika sekali ia terukir dalam hati kita dan akarnya tetap di sana sehingga menghasilkan buah dalam hidup kita; jika akhirnya kita dibentuk sesuai aturannya -- maka ia akan berubah menjadi keselamatan kita sebagaimana dimaksudkan.[3] Hari ini doktrin Reformasi Kitab Suci sedang dirusak di beberapa tempat oleh profesor perguruan tinggi dan seminari dan di tempat lain oleh para penghasut yang tidak berpendidikan. Beberapa profesor berpendapat bahwa kecuali seseorang memiliki pengetahuan rahasia tentang zaman kuno, seseorang tidak dapat memahami pesan dasar Alkitab. Di sisi lain, beberapa penghasut arogan berpendapat bahwa mereka sendiri, tanpa belajar, benar-benar memahami Alkitab. Entah klaim-klaim ini bertumpu pada seruan kepada ilmu pengetahuan atau seruan kepada Roh, mereka menyangkal otoritas Alkitab. Gereja masih perlu mempelajari dan memercayai Alkitab sebagai firman Allah yang tidak salah, yang dapat dipahami dengan interpretasi gramatikal-historis yang teliti. Gereja perlu mengasihi dan mempelajari firman itu, yakin bahwa firman itu mengarahkan kita kepada kebenaran yang harus kita percayai dan hidupi. Ibadah Calvin percaya bahwa salah satu kerusakan gereja yang paling serius pada periode abad pertengahan adalah kerusakan ibadah. Ibadah telah menjadi penyembahan berhala, dengan penemuan dan ciptaan manusia yang menggantikan institusi ilahi. Ibadah telah menjadi berpusat pada manusia, berfokus pada tindakan dan reaksi manusia. Terhadap kerusakan ini, Calvin bersikeras bahwa penyembahan harus diarahkan oleh firman Allah saja: "Saya tahu betapa sulitnya meyakinkan dunia bahwa Allah tidak menyetujui semua cara penyembahan yang jelas-jelas tidak disetujui oleh firman-Nya. Persuasi berlawanan yang mengikat mereka, secara lengkap dan menyeluruh, adalah bahwa apa pun yang mereka lakukan memiliki persetujuan yang cukup dalam dirinya sendiri, asalkan itu menunjukkan semacam semangat untuk menghormati Allah. Akan tetapi, karena Allah tidak hanya menganggapnya sia-sia, tetapi juga jelas-jelas keji, apa pun yang kita lakukan dari semangat untuk menyembah-Nya, jika bertentangan dengan perintah-Nya, apa yang kita peroleh dengan jalan sebaliknya?"[4] Ibadah Protestan pada zaman kita telah menjadi pabrik penemuan musik, dramatis, dan artistik. Menyanyikan firman, mendoakan firman, dan membaca serta memberitakan firman sering dipandang tidak cukup untuk menghasilkan pengalaman dengan Allah yang banyak dicari. Ibadah yang serius sebagai pertemuan umat perjanjian dengan Allah mereka melalui firman-Nya tampaknya mundur jauh dan luas. Hikmat manusia dalam ibadah menggantikan kebenaran ilahi, seperti yang terjadi pada Abad Pertengahan. Mereka yang mencintai firman perlu memulihkan ibadah sesuai firman. Pembenaran Murray, segera setelah kata-kata yang memulai artikel ini, menyatakan: "Apa percikan yang menyalakan kobaran gairah evangelis? Itu adalah, oleh kasih karunia Allah, menurut Luther, dilanda rasa keterasingannya dari Allah dan merasakan dalam jiwanya yang terdalam sengatan murka-Nya dan penyesalan hati nurani yang ketakutan, akan jalan yang benar dan satu-satunya tempat seseorang dapat dibenarkan di hadapan Allah. Menurutnya, kebenaran tentang pembenaran oleh anugerah melalui iman mengangkatnya dari kedalaman ketakutan akan neraka kepada sukacita perdamaian dengan Allah dan harapan kemuliaan. Jika ada satu hal yang dibutuhkan gereja hari ini, itu adalah republikasi tentang iman dan gairah dari praanggapan doktrin pembenaran dan penerapan kembali tentang ini, yaitu hal tentang gereja yang tetap atau jatuh." Di sini, Murray menyatakan bahwa doktrin pembenaran berada di pusat iman dan kehidupan Kristen kita. Dia mendukung Luther dalam hal ini. Murray melihat bahwa sentralitas pembenaran muncul dari pemahaman yang tepat tentang betapa besar dosa kita dan betapa buruknya kondisi rohani kita di luar Kristus. Murray, seperti Calvin dan Paulus, tahu bahwa hanya perhitungan kebenaran Kristus yang sempurna yang akan memungkinkan orang berdosa berdiri di hadapan Allah yang benar-benar kudus. Calvin menulis: "Kami mempertahankan, bahwa deskripsi apa pun tentang perbuatan seseorang, dia dianggap sebagai orang benar di hadapan Allah hanya berdasarkan belas kasihan yang cuma-cuma; karena Allah, tanpa menilai perbuatan, atas kehendak-Nya sendiri mengadopsi dia dalam Kristus, dengan memperhitungkan kebenaran Kristus kepadanya, seolah-olah itu adalah kebenarannya sendiri."[5] Doktrin pembenaran Protestan telah diganti di banyak kalangan evangelis modern dengan pembicaraan yang tidak jelas tentang mengasihi Yesus dan bertobat. Pernyataan ekumenis mengungkapkan sentimen ambigu yang tidak secara jelas menjunjung tinggi Injil. Bahkan, para sarjana Reformed yang telah menganut pengakuan Reformed tampaknya tidak memahami doktrin tersebut. Seperti yang dikatakan Murray dengan benar, tanpa kebenaran tentang pembenaran yang alkitabiah dan Reformed, gereja akan jatuh. Dia tidak berbicara tentang runtuhnya sebuah institusi, tetapi runtuhnya gereja sejati sebagai benteng kebenaran. Sakramen Di gereja pada abad pertengahan, sakramen telah berlipat ganda dan menjadi pusat ibadah dan pengalaman Kristen. Seni dan ritual gereja mendukung penyelewengan itu, yang oleh para Reformator dengan tepat disebut penyembahan berhala. Reformasi kembali ke dua sakramen yang ditetapkan oleh Yesus dan berusaha memahaminya dalam arti alkitabiahnya. Calvin menulis: "Kristus menetapkan berbagai Sakramen bukan hanya sebagai lambang agama yang benar, yang dapat membedakan anak-anak Allah dari yang duniawi, tetapi juga sebagai bukti, dan karena itu menjanjikan kemurahan ilahi bagi kita. Dalam Baptisan, baik pengampunan dosa maupun roh pembaharuan diberikan kepada kita; dalam Perjamuan Kudus, kita diundang untuk menikmati hidup Kristus beserta segala manfaat-Nya."[6] Di banyak gereja evangelis saat ini, sakramen-sakramen alkitabiah dipertahankan, tetapi dipinggirkan. Alih-alih melihat tanda-tanda yang terlihat dan nyata yang telah diberikan Allah kepada kita untuk menegaskan dan memperkuat kasih karunia-Nya, gereja-gereja mencari bantuan lain yang terlihat untuk kehidupan Kristen -- sekali lagi mengikuti pola Kekristenan abad pertengahan. Di beberapa tempat, sakramen-sakramen telah dihapus dari Hari Tuhan, digabungkan dengan acara-acara ibadah lainnya atau bahkan dijadikan urusan keluarga di rumah. Gereja harus menangkap kembali ajaran kitab suci tentang makna dan nilai sakramen demi kesetiaan dan kesejahteraannya. Sakramen, seperti pemberitaan firman yang setia, adalah sarana anugerah gereja. Gereja
Bagi Calvin, gereja Roma telah menjadi institusi tirani, yang mengikat hati nurani para anggotanya dengan doktrin dan praktik penemuan manusia: Karena itu, menjadi tugas kita untuk membebaskan hati nurani umat beriman dari belenggu yang tidak semestinya tempat mereka ditahan, demikian pula kita mengajarkan bahwa mereka bebas dan tidak terkekang oleh hukum manusia, dan bahwa kebebasan ini, yang dibeli dengan darah Kristus, tidak dapat dirusak.[7] Calvin tidak hanya menentang tirani gereja, tetapi juga berusaha mengembalikan jabatan pelayan atau pendeta ke dalam karakter alkitabiahnya. Penunjukan dari firman Tuhan adalah inti dari jabatan ini. Calvin menulis: "Tidak seorang pun adalah gembala gereja sejati jika dia tidak menjalankan tugas mengajar."[8] Akan tetapi, hari ini, banyak gereja dipimpin oleh orang-orang yang melihat jabatan pastoral dalam hal administrasi, psikologi populer, dan hiburan. Seminari berada di bawah tekanan besar untuk melatih "pemimpin" daripada mendidik pengkhotbah dan pengajar firman Allah. Jika berkhotbah adalah sarana anugerah -- bahkan, sarana utama anugerah -- maka Reformasi benar bahwa para pendeta harus menjadi pengkhotbah yang setia, efektif, dididik dengan sungguh-sungguh untuk memahami, percaya, dan mengomunikasikan firman Allah. Pemberitaan Reformasi membangun gereja-gereja dengan jutaan anggota yang bertahan selama berabad-abad. Para pragmatis di antara kita harus memerhatikan bahwa karena gereja-gereja di Amerika, mengikuti nasihat para ahli pertumbuhan gereja, telah menjauh dari penyembahan dan khotbah yang setia, maka gereja di Amerika lebih kecil dan kurang berpengaruh daripada 40 tahun yang lalu. Kita masih membutuhkan pendeta yang akan memberitakan hukum Taurat dan Injil. Kesimpulan Kita seharusnya tidak terlalu terkejut dengan berbagai serangan terhadap kebenaran alkitabiah yang ditemukan oleh Reformasi. Selama ini selalu begitu, dan akan selalu begitu sampai Tuhan kita kembali. Namun, kita tidak boleh meremehkan keseriusan gereja-gereja Reformed yang gagal mengkhotbahkan kebenaran Reformasi dengan jelas dan antusias. Kita harus merenungkan kata-kata serius, tetapi menginspirasi dari John Owen, yang ditulis pada 1682, hanya 35 tahun setelah prinsip/pedoman Westminster lengkap: Marilah kita berhati-hati dalam diri kita sendiri dari setiap kecenderungan terhadap pendapat baru, terutama dalam, atau tentang, atau terhadap poin-poin iman seperti mereka yang pergi sebelum kita dan terlena mendapatkan kehidupan, kenyamanan, dan kekuasaan. Siapa yang mengira bahwa kita mengalami ketidakpedulian terhadap doktrin pembenaran, lalu bertengkar dan berselisih tentang pentingnya perbuatan dalam pembenaran, tentang penebusan umum, yang menghilangkan kecukupan karya penebusan Kristus; dan tentang ketekunan orang-orang kudus; ketika ini adalah jiwa dan kehidupan mereka yang pergi sebelum kita, siapa yang menemukan kekuatan dan keyakinan tentang hal-hal tersebut? Kita tidak akan mempertahankan kebenaran-kebenaran ini, kecuali kita menemukan keyakinan yang sama di dalamnya seperti mereka .... Namun, sekarang hal itu bertumbuh menjadi hal yang tidak dipedulikan; dan kerusakan mengerikan yang kita rasakan yang harusnya diperkenalkan dalam doktrin pembenaran telah melemahkan semua vitalitas agama. Marilah kita, untuk sisa hari-hari kita, "membeli kebenaran, dan jangan menjualnya;" dan marilah kita bertekun dan waspada terhadap segala sesuatu yang timbul dalam jemaat kita.[9] (t/Jing-Jing) -- --- [1] John Murray, Collected Writings, vol. 2 (Edinburgh: Banner of Truth Trust, 1977), p. 203. [2] John Calvin, "Reply to Sadoleto," in A Reformation Debate, ed. John C. Olin (New York: Harper and Row, 1966), p. 75. [3] "The Catechism of the Church of Geneva," in Calvin: Theological Treatises (Philadelphia: Westminster, 1954), p. 130. [4] John Calvin, "The Necessity of Reforming the Church," in Selected Works of John Calvin: Tracts and Letters, ed. H. Beveridge and J. Bonnet (Grand Rapids: Baker, 1983), vol. 1, p. 128. [5] Ibid., p. 161. [6] Calvin, "The True Method of Giving Peace to Christendom and Reforming the Church," in Selected Works of John Calvin: Tracts and Letters, ed. H. Beveridge and J. Bonnet (Grand Rapids: Baker, 1983), vol. 3, p. 274. [7] Calvin, "The Necessity of Reforming the Church," p. 176. [8] Ibid., p. 140. [9] John Owen, "The Duty of a Pastor," in Works, vol. 9 (Edinburgh: Banner of Truth Trust, 1968), pp. 459-60. |