Besarlah Allahku

Penulis_artikel: 
Haryono Tafianoto
Tanggal_artikel: 
20 Juli 2018
Isi_artikel: 

Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada mereka. Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dari keilahian-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih. (Roma 1:19-20)

Mengunjungi berbagai wilayah di Nusantara adalah salah satu kegiatan yang paling menarik bagi sebagian orang. Melihat keindahan budaya, dan yang terutama, alam Nusantara yang tidak ada bandingannya adalah pengalaman yang tak ternilai. Banyak wisatawan yang sengaja bangun pagi-pagi buta untuk melihat fajar di Kelimutu atau Bromo. Atau, berjam-jam berkendaraan melewati jalan yang rusak untuk menuju Kiluan. Atau, menempuh perjalanan jauh, termasuk menggunakan kapal berjam-jam menyeberang lautan demi mencapai Derawan. Juga, menginap di kapal beberapa malam demi menikmati berbagai kepulauan di sekitar Flores dan Komodo. Tak tertinggal, menelusuri Samosir untuk menikmati keindahan alam di sekitar Danau Toba. Lalu, pengalaman apa yang mereka dapatkan dari perjalanan tersebut?

Mungkin ada yang tidak bisa menikmati perjalanan demikian. Namun, bagi yang melakukannya, paling sedikit ada dua respons yang diberikan. Yang pertama adalah mungkin seperti, “Wow! Indah!” “Keren!” “Luar biasa!” Tidak berhenti di situ, karena dianggap sebagai situs-situs instagrammable, banyak yang foto selfie untuk dipajang di akun sosmed mereka. Setelah puas dengan hasilnya, mereka pun beralih ke objek wisata lainnya sebagai target selfie. Mungkin wisatawan yang lebih sophisticated akan memandang sejenak dan mempelajari apa yang terjadi dengan alam sekitarnya untuk menambah wawasan.

Namun, respons yang satu lagi adalah kekaguman yang tak terkatakan. Bukan hanya takjub dengan pemandangan alam yang ada, rasa takjub itu justru ditujukan kepada Sang Seniman Agung, yaitu Allah Pencipta. Seperti lagu Besarlah Allahku, refrainnya berbunyi, “Maka jiwaku pun memuji-Mu, sungguh besar Kau Allahku.” Bukankah ketika melihat sebuah hasil karya yang sangat indah, sang seniman akan dikagumi lebih daripada karyanya? Demikianlah nyanyian yang muncul ketika melihat keindahan alam.

Sebagai orang yang mengaku percaya kepada Allah pencipta langit dan bumi, hal pertama yang muncul di benak kita seharusnya kekaguman kepada Allah ketika melihat ciptaan-Nya. Atau mungkin kita juga ber-selfie ria mengikuti hip kekinian? Jadi apa yang Anda pikirkan ketika melihat alam Nusantara nan indah? Semoga rasa kagum kita tidak berhenti hanya pada ciptaan-Nya saja, tapi melihat kemuliaan Sang Pencipta di dalamnya. How great Thou art! Soli Deo Gloria.

Audio: Besarlah Allahku

Sumber Artikel: 
Diambil dari:
Nama situs : Buletin Pemuda Gereja Reformed Injili Indonesia - Pillar
Alamat situs : http://www.buletinpillar.org/renungan/besarlah-allahku
Judul asli artikel : Besarlah Allahku
Penulis : Haryono Tafianoto
Tanggal akses : 18 Juli 2018

Julukan

Penulis_artikel: 
Haryono Tafianoto
Tanggal_artikel: 
18 Juli 2018
Isi_artikel: 

Salah satu bentuk perundungan yang sering terjadi di sekolah adalah memanggil seseorang dengan julukan atau istilah tertentu. Sadar atau tidak sadar, kita pasti pernah melakukannya. Biasanya tindakan ini, mengejek atau melabel, dianggap sebagai candaan, bukan satu hal yang serius. Namun, bisa juga dengan sengaja hinaan diberikan untuk merendahkan seseorang. Tidak jarang, orang-orang dewasa juga melakukannya baik terhadap rekannya maupun terhadap yang lebih muda darinya. Ironisnya, ini juga terjadi di lingkungan sekolah Kristen, atau bahkan di gereja.

Jika kita melihat pada Kisah Penciptaan, Kejadian 1:27, manusia dicipta di dalam gambar rupa Allah, imago Dei. Manusia sebagai representasi Allah adalah wakil-Nya atas seluruh ciptaan, dan membawa gambar Allah di dalam dirinya ke mana pun ia pergi. Sebagai gambar Allah, kita memiliki sifat-sifat Allah, di antaranya kekudusan, kasih, kebaikan, dan keadilan. Dalam menjalankan mandat budaya dan mandat Injil, manusia dipanggil memancarkan sifat- sifat Allah.

Lalu apa hubungannya imago Dei dengan menjuluki seseorang? Objek yang sedang dipermainkan adalah gambar Allah, ciptaan tertinggi yang menjadi wakil Allah untuk menaklukkan dan menguasai seluruh ciptaan (Kej. 1:28). Bayangkan jika Anda menghina penguasa sebuah negara. Tentunya akan ada konsekuensi hukum yang Anda alami. Namun, sekarang yang memberi mandat adalah Allah sendiri, dan yang dihina adalah gambar-Nya! Sebagaimana penghinaan terhadap perwakilan sebuah negara dianggap sebagai penghinaan terhadap negara tersebut, maka julukan yang ditujukan pada wakil Allah adalah penghinaan terhadap Allah!

Sebagaimana disebut di atas, manusia dipanggil untuk memancarkan sifat-sifat Allah, maka seharusnya yang kita pancarkan bukanlah ejekan, hinaan, dan pelabelan untuk merendahkan dan mem-bully sesama kita. Namun, kasih, kebaikan, kekudusan, dan keadilanlah yang seharusnya menjadi refleksi dari tindakan dan ucapan kita. Sudah pasti ejekan tidak memancarkan sifat Allah, bukan?

Ketika menyaksikan tindakan perundungan terjadi, sebagai gambar Allah, kita tidak bisa hanya diam saja. Sebagai pernyataan kasih dan keadilan, kita patut membela sang korban dan menegur si pelaku. Bukankah itu yang Yesus Kristus, sebagai gambar Allah yang sejati, lakukan, membela mereka yang tertindas dengan kasih. Ia bahkan menyatakan kasih dan keadilan Allah Bapa di atas kayu salib untuk melepaskan kita dari cengkraman penindasan si jahat.

Mengikuti teladan Yesus Kristus, marilah kita menghidupi natur kita yang seharusnya sebagai gambar dan rupa Allah. Bagaimana Anda akan memperlakukan sesamamu, gambar dan rupa Allah, mulai hari ini? Kiranya cinta kasih Allah terpancar dari hidup kita semua. Soli Deo gloria.

Sumber Artikel: 
Diambil dari:
Nama situs : Buletin Pemuda Gereja Reformed Injili Indonesia - Pillar
Alamat situs : http://www.buletinpillar.org/renungan/julukan
Judul asli artikel : Julukan
Penulis : Haryono Tafianoto
Tanggal akses : 18 Juli 2018

Progsif "Roh Kudus, Malaikat, dan Roh Jahat"

Oleh: N. Risanti

Senin, 25 Juni 2018, saya dan beberapa teman mengikuti acara progsif (program intensif) bertema Roh Kudus, Malaikat, dan Roh Jahat yang diadakan oleh STRIS (Sekolah Tinggi Reformed Injili Surakarta) di Hotel Adiwangsa. Progsif yang berlangsung sekitar 2,5 jam ini dibawakan oleh Pendeta Jimmy Pardede dari Jakarta, yang juga adalah dosen Perjanjian Lama. Berikut adalah beberapa hal yang saya dapatkan dari acara progsif tersebut. selengkapnya...»

Teologia Reformed adalah Teologia Perjanjian

Penulis_artikel: 
Richard Pratt Jr.
Tanggal_artikel: 
10 Januari 2018
Isi_artikel: 

Teologia Reformed adalah Teologia Perjanjian

Teologia Reformed sering kali dikaitkan dengan "teologia perjanjian". Jika Anda menyimak baik-baik, kerap akan Anda dengar para pendeta dan pengajar menyebut diri mereka (penganut aliran) "Reformed dan perjanjian." Istilah Reformed dan perjanjian secara umum digunakan berbarengan sehingga memaksa kita memahami mengapa keduanya terkait.

Teologia perjanjian merujuk pada salah satu kepercayaan mendasar yang dianut oleh Calvinis mengenai Alkitab. Semua orang Protestan yang tetap setia pada warisan (doktrin) mereka mengakui Sola Scriptura, yaitu keyakinan bahwa Alkitab merupakan otoritas tertinggi dan tak perlu diragukan. Akan tetapi, teologia perjanjian membedakan pandangan Reformed terhadap Alkitab dari pandangan aliran Protestan lain, dengan menekankan bahwa perjanjian ilahi mempersatukan semua ajaran dalam seluruh Alkitab.

Perkembangan yang lebih awal dalam Reformed, pengertian perjanjian Kitab Suci mencapai titik krusial pada abad ketujuh belas di Inggris dengan adanya Pengakuan Iman Westminster (1646), Deklarasi Savoy (1658), Pengakuan Gereja Baptis London 1689, masing-masing mewakili penganut Calvinist berbahasa Inggris dari kelompok yang berbeda. Dengan hanya sedikit perbedaan di antara mereka, dokumen-dokumen tersebut mendedikasikan satu bab utuh untuk membahas bagaimana perjanjian Allah dengan umat manusia menyingkapkan kesatuan seluruh pengajaran Alkitab.

Misalnya, Pengakuan Iman Westminster berbicara mengenai turunnya Allah untuk mewahyukan Diri kepada manusia dengan jalan perjanjian. Hal tersebut kemudian membagi seluruh sejarah dalam Alkitab menjadi hanya dua perjanjian: "Perjanjian kerja" dalam Adam dan "perjanjian anugrah" dalam Kristus. Perjanjian kerja merupakan kesepakatan Allah dengan Adam dan Hawa sebelum mereka jatuh dalam dosa. Perjanjian anugrah menguasai seluruh kisah Alkitab selebihnya. Menurut pandangan ini, semua tahap dalam perjanjian anugerah adalah sama secara substansi. Perbedaannya hanyalah bagaimana Allah menyelenggarakan satu perjanjian anugerah tersebut dalam Kristus dengan berbagai cara sepanjang sejarah Alkitab.

Selama itu juga, sejumlah teolog Reformed yang terkemudian menegaskan kesatuan perjanjian dalam Kitab Suci dengan menghubungkan perjanjian-perjanjian Alkitabiah dengan "Kerajaan Allah", sebagaiamana Perjanjian Baru menyebutnya. Yesus menunjukkan pentingnya Kerajaan Allah dalam kata-kata pembuka Doa Bapa Kami: "Bapa kami yang di surga, dikuduskanlah Nama-Mu. Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga" (Wahyu 11:15, pada akhir zaman, "Seluruh kerajaan dunia (akan) menjadi milik Tuhan kita dan Kristus, dan Ia akan memerintah selama-lamanya."

Penemuan arkeologis terbaru menunjukkan bagaimana perjanjian Allah terkait dengan kerajaan-Nya di bumi. Pada zaman alkitab, banyak raja-raja negeri sekeliling Israel menyelenggarakan ekspansi kerajaan mereka melalui perjanjian internasional. Para ahli biblika menemukan kesamaan yang mengagumkan antara kesepakatan kuno ini dan perjanjian alkitab dengan Adam, Nuh, Abraham, Musa, Daud, dan Kristus. Kesamaan ini menyatakan bahwa Kitab Suci menghadirkan perjanjian sebagai cara Allah memperluas kerajaan-Nya di bumi.

Perjanjian Alkitab menekankan apa yang dibutuhkan pada setiap tahap Kerajaan Allah dengan mengembangkan prinsip perjanjian sebelumnya. Dimulai dengan Adam, Allah menyatakan Diri-Nya sebagai raja, peran umat manusia, dan tujuan akhir yang telah Ia rencakanakan bagi bumi (Kejadian 6, 9). Allah kemudian mengembangkan perjanjian sebelumnya dengan menjanjikan bahwa keturunan Abraham akan menjadi besar dan menyebarkan berkat-berkat Allah kepada bangsa-bangsa lain (Kejadian 15, 17). Di atas perjanjian-perjanjian tersebut, Allah memberkati Israel dengan memberikan hukum-Nya pada zaman Musa (Keluaran 19-24). Setiap perjanjian sebelumnya terus diperjelas selagi Allah mendirikan kerajaan Daud serta menjanjikan bahwa salah satu dari anaknya akan memerintah dengan keadilan atas Israel dan seluruh dunia (Mazmur 72; 89; 132). Semua perjanjian yang diadakan pada era Perjanjian Lama kemudian diteruskan dan digenapi dalam Kristus (Yeremia 31:31; 2 Korintus 1:19-20). Sebagai Anak Daud yang besar, kehidupan, kematian, kebangkitan, kenaikan, dan kedatangan Kristus yang kedua menjamin kepastian transformasi seluruh bumi menjadi Kerajaan Allah yang mulia.

Banyak orang Kristen Injili saat ini kesulitan untuk percaya bahwa segala sesuatu dalam Kitab Suci setelah Kejadian 3:15 ialah berkenaan dengan Kerajaan Allah yang dikelola melalui penyingkapan perjanjian anugerah. Mayoritas kaum Injili Amerika memandang Kitab Suci terbagi menjadi periode-periode waktu terpisah yang masing-masing diatur oleh prinsip teologis yang berbeda secara substansi. Bila orang Kristen mengikuti pandangan populer terhadap Alkitab ini, mereka akan segera terpengaruh bahwa perjanjian yang baru di zaman kita bertentangan dengan banyak aspek Perjanjian Lama.

Setidaknya ada tiga isu yang kerap diangkat: perbuatan dan anugerah, iman jemaat dan iman pribadi, serta perkara duniawi dan rohani. Pertama, banyak kaum injili meyakini bahwa penekanan Perjanjian Lama akan perbuatan baik tidak sesuai dengan keselamatan oleh anugerah melalui iman dalam Kristus. Kedua, hubungan jemaah Israel sebagai satu kesatuan komunitas dengan Allah tampaknya telah diganti dengan fokus pada hubungan tiap individu secara pribadi dengan Allah. Ketiga, banyak orang injili percaya bahwa panggilan Perjanjian Lama untuk mendirikan kerajaan Allah secara fisik di bumi kontras dengan penekanan Perjanjian Baru terhadap kerajaan rohani dalam Kristus.

Teologia perjanjian memampukan para teolog Reformed untuk melihat bahwa sesungguhnya Perjanjian Baru (PB) dan Perjanjian Lama (PL) sangat serupa dalam ketiga hal ini. Pertama, pandangan bahwa keselamatan oleh anugerah melalui iman dalam Kristus merupakan satu-satunya jalan keselamatan dalam PB maupun PL. Seluruh Alkitab menuntut perbuatan baik karena iman yang menyelamatkan selalu menghasilkan buah ketaatan kepada Allah. Kedua, teologia perjanjian membantu kita melihat bahwa baik PL maupun PB berbicara tentang relasi dengan Allah secara pribadi dan korporat. Seluruh perjanjian Allah meliputi kedua tataran tersebut. Ketiga, teologia perjanjian menunjukkan bahwa Kerajaan Allah sejak semula senantiasa bersifat rohani sekaligus berada di bumi. PL dan PB berfokus pada pelayanan kita dalam kedua ranah tersebut. Dalam hal-hal itu dan juga yang lain, teologia perjanjian memiliki pandangan yang lebih luas bagi kaum injili.

Lebih lagi, kita mendapati bahwa teologia Reformed telah dipersempit menjadi sesuatu yang sering kita sebut doktrin anugerah - kepercayaan terkenal seperti kerusakan total, pemilihan tak bersyarat, penebusan terbatas, anugerah yang tidak dapat ditolak, dan ketekunan orang kudus. Tentu kita harus menghargai nilai kebenaran Kitab Suci ini, tetapi, ketika gagal menekankan kerangka pikir teologia perjanjian yang lebih luas, pengertian kita tentang Alkitab akan segera jatuh ke dalam tiga area ini.

Pertama, doktrin anugerah tanpa teologia perjanjian telah membuat sebagian orang meyakini bahwa teologia Reformed terutama mengajarkan bahwa anugerah Allah menopang kehidupan orang Kristen sejak awal hingga akhir. Tentu saja hal ini benar. Namun, perjanjian dalam PL dan PB secara konsisten mengajarkan bahwa Allah selalu menuntut usaha sepenuh hati dari umat-Nya sebagai respon terhadap anugerah-Nya, dan bahwa Ia akan memberikan upah bagi ketaatan dan menghukum ketidaktaatan.

Kedua, terlepas dari teologia perjanjian, banyak orang dalam lingkaran kita tampaknya berpikir bahwa teologia kita hanyalah tentang mencari cara-cara Reformed yang unik bagi individu untuk meningkatkan hubungan mereka dengan Allah. Pada zaman kita, sejumlah jalan menuju kekudusan dan saat teduh pribadi telah dianggap fitur sentral dalam teologia Reformed. Padahal, teologia perjanjian juga menekankan relasi komunal kita dengan Allah, sama pentingnya seperti nilai seorang individu dalam Alkitab. Tidak ada perjanjian dalam Alkitab yang dibuat dengan satu orang saja. Perjanjian-perjanjian tersebut juga melibatkan relasi yang dibangun Allah dengan sekelompok orang. Karena alasan ini, kedua perjanjian mengajarkan bahwa keluarga umat percaya merupakan komunitas perjanjian yang di dalamnya anugerah Allah diteruskan dari generasi ke generasi. Selain itu, gereja yang kelihatan (visible church) dalam PL dan PB merupakan komunitas perjanjian yang melaluinya kita menerima injil dan anugerah.

Ketiga, doktrin anugerah dengan mudah memberikan kesan bahwa teologia Reformed hanya mengurusi hal-hal spiritual. Banyak orang dalam lingkungan kita begitu peduli dengan transformasi batin melalui pengertian Kitab Suci yang benar. Namun, sering kali kita mengabaikan dampak fisik dan sosial dari dosa dan keselamatan. Teologia perjanjian memberi kita visi (pandangan) yang jauh lebih luas serta mengagumkan mengenai pengharapan kita sebagai orang Kristen. Dalam PL dan PB, orang percaya memperluas Kerajaan Allah baik secara rohani maupun jasmani. Kita harus mengajarkan Injil Kristus kepada segala bangsa supaya orang diubahkan dalam hal spiritual, tetapi pembaharuan spiritual ini ialah bagi perluasan kerajaan Kristus kepada setiap faset dan kultur di seluruh dunia.

Semua pembahasan di atas menyatakan bahwa teologia perjanjian memiliki banyak hal untuk ditawarkan kepada setiap orang Kristen. Jadi, ketika kita bertanya pada diri sendiri, "Apakah teologia Reformed itu?" kita dapat dengan yakin menjawab, "Teologia Reformed adalah teologia perjanjian."(t/joy)

Diambil dari:
Nama situs: Ligonier
Alamat: https://www.ligonier.org/learn/articles/reformed-theology-covenant-theology/
Judul asli: Reformed Theology is Covenant Theology
Penulis: Richard Pratt Jr.
Tanggal akses: 10 Januari 2018

Memperingati HUT e-Reformed ke-14 dan Hari Reformasi Gereja

Dua hari ini adalah hari yang bersejarah bagi e-Reformed.
Pada tgl 30 Oktober ini e-Reformed berulang tahun yang ke-14, dan besok tgl 31 Oktober adalah Hari Reformasi Gereja. Dalam rangka memperingati kedua hari bersejarah ini, kami membagikan sebuah artikel yang bertujuan untuk menyegarkan kita kembali akan prinsip-prinsip reformed yang dirumuskan oleh Martin Luther di dalam Lima Sola. Berharap artikel ini dapat menjadi berkat dan membangkitkan semangat reformasi bagi kita semua.

Selamat Ulang Tahun e-Reformed yang ke-14! Soli Deo Gloria!

HUT e-Reformed ke-14 dan Hari Reformasi Gereja : Mengingat Lima Sola

Hari ini adalah Hari Ulang Tahun e-Reformed ke-14 dan besok adalah Hari Reformasi Gereja. Kami redaksi e-Reformed mengucap syukur atas penyertaan Tuhan sejak 1517, Martin Luther, John Calvin, dan tokoh-tokoh reformasi lainnya memperjuangkan kebenaran di tengah kesesatan gereja pada masa itu, hingga hari ini perjuangan tersebut masih boleh diperingati sebagai Hari Reformasi Gereja tgl 31 Oktober. Gerakan Reformed inilah yang juga menjadi dasar lahirnya publikasi e-reformed tgl 30 Oktober 1999. selengkapnya...»

PERAYAAN 15 TAHUN SABDA

SABDA adalah Firman-NYA, dan Visi Biblical Computing bagi Indonesia, dan singkatan dari: Software Alkitab, Biblika, Dan Alat-Alat!!
PERAYAAN 15 TAHUN SABDA
(1994 -- 2009)

Merayakan kebaikan Tuhan adalah keharusan bagi orang-orang yang mengasihi Tuhan, demikian juga bagi Yayasan Lembaga SABDA (YLSA). Tahun 1994 adalah tahun istimewa karena walaupun organisasi YLSA belum lahir (akta resmi tahun 1995) tapi benih visi pelayanan YLSA dalam bidang "Biblical Computing" telah diberikan Tuhan kepada pendiri YLSA pada awal tahun itu. Dengan ditandai oleh hadirnya produk pertama pada bulan Oktober 1994, yaitu modul teks digital Alkitab TB dan BIS dari LAI yang dikerjakan untuk proyek OnLine Bible -- maka sejak itu YLSA dengan setia menjalankan visi "Biblical Computing" yang Tuhan taruh dalam hati kami. Tahun 2009 bulan Oktober menjadi peringatan 15 tahun sejak benih visi YLSA itu ditanamkan dan akhirnya menjelma menjadi SABDA, software Alkitab lengkap pertama dalam bahasa Indonesia yang sampai sekarang menjadi alat tercanggih yang sangat berguna untuk mempelajari Alkitab. Puji Tuhan! selengkapnya...»

Welcome Letter Situs SOTeRI


Selamat datang di Situs SOTeRI!

Doa dan harapan kami, bahan-bahan yang terdapat dalam situs ini dapat memberikan wawasan tentang corak pemahaman teologia Reformed yang alkitabiah. Biarlah dengan memiliki pengajaran Alkitab yang benar maka hidup kerohanian kita juga semakin berbuah dan memberikan kemuliaan hanya bagi Tuhan saja.

Soli Deo gloria!

Tolong! Saya Bergumul dengan Doktrin Predestinasi

Penulis_artikel: 
Joel R. Beeke dan Paul M. Smalley
Tanggal_artikel: 
13-11-23
Isi_artikel: 

Apa itu Predestinasi?

Doktrin predestinasi adalah ajaran bahwa sebelum penciptaan dunia, Allah memutuskan takdir kekal dari semua makhluk rasional, yaitu semua malaikat dan semua manusia. "Beberapa manusia dan malaikat ditentukan untuk hidup kekal, dan yang lain ditentukan sebelumnya untuk kematian kekal."[1] Pilihan Allah untuk menyelamatkan orang-orang berdosa tertentu melalui anugerah disebut pemilihan, dan pilihan-Nya untuk menyerahkan orang-orang berdosa tertentu pada hukuman yang pantas mereka terima adalah reprobasi. Predestinasi adalah bagian dari ketetapan Allah, dalam tujuan kekal-Nya Dia telah memutuskan semua yang akan terjadi, menetapkan segalanya bagi manifestasi kemuliaan-Nya.

Jika Anda bergumul dengan doktrin ini, Anda tidak sendirian. Seorang pemuda brilian bernama Jonathan Edwards pernah bergumul dengan apa yang kemudian dia pandang sebagai "doktrin yang menakutkan," meskipun dia kemudian menjadi sepenuhnya yakin dengan itu dan mendapati dirinya diliputi oleh keilahian yang melimpah tentang "Raja yang kekal" (1Tim. 1:17). Ada berbagai alasan mengapa orang merasa sulit untuk menerima gagasan bahwa Allah menakdirkan beberapa orang pada surga dan yang lainnya ke neraka. Seperti yang akan kita lihat, masing-masing alasan ini dimulai dengan kebenaran alkitabiah tentang predestinasi dan menarik darinya kesimpulan salah yang mengarah pada pergumulan iman melalui pengalaman.

Spekulasi yang memecah belah dan tidak alkitabiah?

Doktrin predestinasi bukanlah tema sentral dari Alkitab; pusatnya adalah Kristus dan keselamatan melalui pertobatan dan iman di dalam Dia (Luk. 24:44-47; 2Tim. 3:15). Lebih jauh lagi, perdebatan tentang predestinasi terkadang memecah-belah umat Kristen dan bahkan memecah-belah gereja. Oleh karena itu, orang mungkin menyimpulkan bahwa itu adalah doktrin yang sebaiknya dihindari.

Gambar: bersyukur

Orang Kristen mungkin bernalar, kita tidak dapat memahami pertanyaan teologis yang begitu dalam. Mari kita berpegang teguh pada apa yang Alkitab katakan. Orang Kristen harus berhenti berdebat tentang teologi dan memberi tahu dunia tentang Yesus. Penalaran seperti itu membuat orang takut akan predestinasi dan menghindari mempelajari apa yang firman Allah katakan mengenai hal itu.

Raja yang Tidak Peduli?

Doktrin predestinasi menggambarkan Allah sebagai raja absolut yang melakukan apa yang dikehendaki-Nya dalam semua ciptaan (Mzm. 135:6) dan menentukan nasib kekal setiap orang (Rm. 9:22-23). Secara khusus, pemilihan Allah untuk keselamatan sama sekali tidak bergantung pada apa yang dilakukan atau diputuskan oleh orang-orang pilihan (Rm. 9:11). Beberapa orang mungkin berpikir bahwa doktrin ini menyiratkan bahwa Allah tidak peduli dengan manusia atau keadilan. Allah, dikatakan, membuang orang yang tak terhitung jumlahnya ke neraka terlepas dari apakah mereka menjalani kehidupan yang benar atau jahat.

Akibatnya, seseorang mungkin mempertanyakan apakah Allah atas predestinasi adalah Allah yang baik dan penuh kasih. Mengapa Dia tidak memilih untuk menyelamatkan semua orang jika Dia memiliki kuasa untuk melakukannya? Keraguan seperti itu dapat menyebabkan seseorang mengalami kesulitan berdoa kepada Allah atau bersukacita dalam kasih-Nya. Lebih buruk lagi, seseorang mungkin menganggap Allah atas predestinasi lebih seperti iblis daripada Juru Selamat ilahi, dan dengan demikian mungkin menolak Dia.

Fatalisme Tanpa Tempat untuk Pilihan dan Upaya Manusia?

Menurut doktrin predestinasi, adalah kehendak Allah, bukan kehendak manusia, yang mengendalikan segala sesuatu dalam ruang dan waktu (Ul. 4:35; Ef. 1:11), termasuk sejarah individu setiap orang (Kis. 13:48; Rm. 8:30). Orang terkadang menyimpulkan bahwa predestinasi mutlak menyiratkan fatalisme: pilihan kita adalah ilusi, dan upaya kita untuk mengubah diri kita sendiri dan dunia kita adalah sia-sia.

Fatalisme menghancurkan motivasi. Seseorang mungkin berkata, saya tidak perlu bertobat dari dosa-dosa saya dan percaya kepada Kristus. Jika Allah telah menentukan saya untuk keselamatan, maka saya akan diselamatkan terlepas dari apa yang saya lakukan. Demikian pula, mengapa orang percaya harus berjuang melawan dosa dan kerja keras untuk bertumbuh dalam kekudusan, padahal semuanya sudah ditentukan sebelumnya? Orang lain mungkin berpendapat, kita seharusnya tidak memaksakan diri untuk memanggil orang berdosa kepada Kristus. Allah pasti akan menyelamatkan orang-orang pilihan-Nya. Buah beracun dari fatalisme adalah kematian rohani dan kemunduran ke dalam dosa, yang sangat mencemarkan Injil.

Ketidakpastian yang Merongrong Jaminan Keselamatan?

Doktrin predestinasi mengajarkan bahwa setiap orang yang diselamatkan dipilih oleh Allah sebelum dunia dijadikan (Ef. 1:4; 2Tes. 2:13). Orang mungkin menyimpulkan bahwa tidak seorang pun dapat mengetahui dengan pasti apakah dia diselamatkan dan akan masuk surga. Mereka mungkin bernalar sebagai berikut: Hanya orang-orang pilihan Allah yang akan diselamatkan. Keputusan pemilihan Allah tersembunyi dalam kehendak rahasia atau rencana kekal-Nya. Oleh karena itu, tidak mungkin untuk mengetahui apakah Anda diselamatkan, kecuali jika Anda menerima tanda khusus dari Allah.

Akibatnya, beberapa orang Kristen yang percaya pada predestinasi mungkin sangat menderita karena kecemasan akan takdir kekal mereka. Mereka mungkin mencari kepastian dalam pengalaman mistik atau pengejaran kesempurnaan yang legalistik. Atau, mereka mungkin tenggelam dalam keputusasaan.

Betapa mengerikan pergumulan yang bisa dialami orang-orang atas doktrin predestinasi! Namun, setiap pergumulan ini didasarkan pada pemahaman yang salah tentang apa yang Alkitab ajarkan tentang predestinasi Allah atas orang-orang kudus-Nya. Doktrin alkitabiah memelihara kerendahan hati, damai sejahtera, kepastian, dan pengharapan di dalam Kristus. Mari kita kembali ke masing-masing poin ini dan melihat bagaimana hal ini dengan benar.

Predestinasi: Ajaran Utama Alkitab tentang Keselamatan oleh Anugerah Saja

Memang benar bahwa predestinasi bukanlah tema sentral dari Kitab Suci, itu adalah doktrin utama alkitabiah, bukan spekulasi manusia. Kita menemukan referensi untuk predestinasi dan pemilihan untuk keselamatan di seluruh Perjanjian Baru (Mat. 22:14; 24:22, 24, 31; Mrk. 4:11-12; Luk. 10:21-22; 18:7; Yoh. 15:16, 19; Kis. 4:28; 13:48; Rm. 8:29-30, 33; 9:6-23; 11:5, 7, 28; 16:13; 1Kor. 1:27-28; Gal. 1:15; Ef. 1:4-5; Kol. 3:12; 1Tes. 1:4; 2Tes. 2:13; 2Tim. 2:10; Tit. 1:1; Yak. 2:5; 1Ptr. 1:2; 2:9; 2Ptr. 1:10; 2Yoh. 1, 13; Why. 17:14). Roh Kudus tidak malu dengan doktrin ini ketika Ia mengilhami penulisan firman Allah; kita juga tidak perlu malu karenanya.

Predestinasi adalah karakteristik penting dari doktrin keselamatan yang lebih besar oleh anugerah saja (Rm. 11:5-6). Jelaslah bahwa Allah menyelamatkan hanya dengan kuasa, hikmat, dan kebenaran-Nya, bukan manusia. Jika ajaran anugerah yang penuh kasih dan setia saja telah menyakiti hati orang -- dan kita harus bermurah hati dalam menyampaikan doktrin anugerah -- maka kita tidak boleh mundur dari ajaran ini untuk menyenangkan manusia, karena penting untuk menunjukkan bahwa keselamatan adalah demi kemuliaan Allah saja.

Predestinasi oleh Bapa Tuhan kita Yesus Kristus

Predestinasi adalah tindakan kasih Bapa yang tak terbatas, membawa orang luar ke dalam keluarga-Nya selamanya.

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Allah yang menentukan adalah benar-benar Raja yang maha kuasa, tetapi juga Bapa yang pengasih dan adil yang "menetapkan kita dari semula untuk diangkat menjadi anak-anak" (Ef. 1:5, AYT). Predestinasi adalah tindakan kasih Bapa yang tak terbatas, membawa orang luar ke dalam keluarga-Nya selamanya. Pemilihan Allah atas orang-orang berdosa terlepas dari jasa mereka sendiri mengarahkan keselamatan "bagi kepujian kemuliaan anugerah-Nya" (Ef. 1:6, AYT). Akan tetapi, Allah bukan tidak peduli pada keadilan. Jauh dari itu! Karena Ia telah menentukan orang-orang pilihan-Nya untuk diselamatkan "melalui Kristus Yesus" (Ef. 1:5, AYT), yang menuntut agar Kristus memenuhi keadilan-Nya dengan "penebusan melalui darah-Nya" (Ef. 1:7, AYT).

Kita tidak mengerti mengapa Allah memilih beberapa dan bukan yang lain. Namun, Mengapa Allah tidak memilih untuk menyelamatkan semua orang? adalah pertanyaan yang salah untuk ditanyakan. Mengingat pemberontakan manusia yang keji terhadap Penciptanya, kita harus bertanya, mengapa Allah tidak membuang semua orang ke neraka? Fakta yang mencengangkan bukanlah bahwa Allah menghukum orang berdosa ke neraka, tetapi bahwa Ia menyelamatkan dan mendamaikan orang berdosa dengan diri-Nya sendiri. Pemilihan tanpa syarat adalah sahabat -- bukan musuh -- para pendosa, karena tanpanya tidak seorang pun akan diselamatkan. Namun, pada akhirnya, kita harus tunduk pada hak-hak Allah sebagai Pencipta kita. Ketika orang menuduh Allah tidak adil karena predestinasi, Paulus menjawab, "Apakah tukang tembikar tidak memiliki hak atas tanah liat?" (Rm. 9:21, AYT). Sang Pencipta berhak melakukan apa yang dikehendaki-Nya terhadap ciptaan-Nya.

Predestinasi Dilaksanakan melalui Pilihan dan Upaya Manusia

Bagi mereka yang bergumul dengan predestinasi karena mereka berpikir bahwa itu menyiratkan fatalisme, kita mengakui bahwa kehendak Allah mengendalikan semua ciptaan-Nya dan semua tindakan mereka, tetapi juga menegaskan bahwa Allah tidak hanya menentukan tujuan melainkan juga cara untuk mencapai tujuan itu. Paulus berkata, "Allah telah memilih kamu sejak semula untuk diselamatkan melalui pengudusan oleh Roh dan iman dalam kebenaran. Untuk itulah Allah memanggil kamu melalui Injil yang kami beritakan" (2Tes. 2:13, AYT). Cara Allah menyelamatkan orang-orang pilihan-Nya mencakup perbuatan lahiriah memberitakan Injil, dan pekerjaan Roh dalam pikiran, hati, dan kehendak mereka yang mendengar Injil diberitakan.

Jauh dari menghilangkan pilihan dan tindakan manusia dari semua signifikansi, predestinasi menanamkan mereka dengan makna kekal. Paulus memanggil orang-orang percaya untuk "mengerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar. Sebab, Allahlah yang bekerja di dalam kamu, baik untuk mengingini maupun untuk mengerjakan apa yang menyenangkan-Nya" (Flp. 2:12-13, AYT). Kita dapat bersukacita ketika orang berpaling kepada Tuhan, karena kuasa Injil untuk menghasilkan iman, kasih, dan harapan yang bertahan lama menunjukkan "pilihan Allah" mereka (1Tes. 1:3). Setiap langkah ketaatan orang Kristen ditopang oleh tujuan kedaulatan Allah, karena "Ia memilih kita ... supaya kita menjadi kudus" (Ef. 1:4, AYT). Pasukan Anak Domba mengalahkan dunia ini, karena mereka "dipanggil, dipilih, dan setia" (Why. 17:14, AYT).

Predestinasi Menjamin Kepastian Sekarang dan Selamanya

Doktrin predestinasi memang mengajarkan bahwa hanya orang-orang pilihan Allah yang akan diselamatkan. Itu tidak berarti bahwa kita tidak dapat mengetahui dengan pasti apakah kita telah diselamatkan. Sebaliknya, pemberian cuma-cuma Allah dari "segala sesuatu yang berkenaan dengan hidup dan kesalehan, melalui pengetahuan akan Dia [yaitu, Kristus Yesus] yang telah memanggil kita menuju kemuliaan dan kebajikan-Nya" memungkinkan orang percaya untuk "memastikan bahwa kamu benar-benar dipanggil dan dipilih" dengan bertumbuh dalam pengetahuan, iman, dan kekudusan praktis (2Ptr. 1:3-10).

Paulus menjelaskan bahwa predestinasi memulai rantai emas tindakan ilahi yang terikat bersama dalam tujuan Allah: "siapa yang Dia tentukan sejak semula, juga Dia panggil, juga Dia benarkan, dan siapa yang Dia benarkan, juga Dia muliakan" (Rm. 8:30, AYT). Jika Allah telah dengan jelas "memanggil" seseorang melalui Injil dan "membenarkan" dia melalui iman, maka dia dapat yakin bahwa dia akan "dimuliakan" bersama Kristus.

Oleh karena itu, meskipun kita memahami mengapa orang mungkin bergumul dengan doktrin predestinasi, iman yang diterangi Roh dalam doktrin ini menuntun anak-anak Allah untuk menerima janji-janji Allah, mematuhi kehendak Allah, dan bersukacita dalam pengharapan akan kemuliaan Allah melalui Yesus Kristus, Tuhan kita. Untuk alasan ini, kita harus berusaha untuk mengetahui dengan akurat dan jelas semua yang telah Allah ungkapkan tentang kebenaran yang berharga ini dan mengajarkannya kepada orang lain. (t/Jing-Jing)

Catatan:

[1] Pengakuan Iman Westminster, 3.3

Sumber Artikel: 
Diterjemahkan dari:
Nama situs : Crossway
Alamat situs : https://crossway.org/articles/help-im-struggling-with-the-doctrine-of-predestination
Judul asli artikel : Help! I'm Struggling with the Doctrine of Predestination
Penulis artikel : Joel R. Beeke dan Paul M. Smalley

Apa Artinya Allah Memilih Kita Sebelum Permulaan Dunia? Efesus 1

Baca ayatnya (AYT)

3 Terpujilah Allah dan Bapa dari Tuhan kita Kristus Yesus, yang telah memberkati kita dalam Kristus dengan setiap berkat rohani di tempat surgawi.

4 Sebab, Ia memilih kita dalam Kristus sebelum permulaan dunia supaya kita menjadi kudus dan tidak bercela di hadapan-Nya. Dalam kasih,

5 Ia menetapkan kita dari semula untuk diangkat menjadi anak-anak-Nya melalui Kristus Yesus sesuai dengan kesukaan kehendak-Nya. selengkapnya...»

Komentar


Syndicate content