Tentang KamiArtikel TerbaruUpdate Terakhir |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SOTeRI Mengapa Yesus Kristus Lahir Melalui Anak Dara?Penulis_artikel:
Ev. Liem Sien Liong
Tanggal_artikel:
20 Desember 2013
Isi_artikel:
Pertanyaan yang sering diajukan berkaitan dengan kelahiran Yesus Kristus (Natal) adalah: Mengapa Yesus Kristus harus lahir melalui anak dara? Tidak cukupkah Ia lahir seperti manusia pada umumnya? Bagaimana mungkin seorang perempuan yang belum bersuami dapat melahirkan anak? PENGGENAPAN JANJI ALLAH Ketika kita menilai peristiwa kelahiran Yesus Kristus melalui anak dara, yang perlu kita ketahui adalah Allah telah menggenapi janji-Nya. Pada saat manusia melanggar perintah Allah dan jatuh ke dalam dosa (Kejadian 3), Allah berfirman (bernubuat) kepada manusia bahwa "keturunan perempuan" akan meremukkan kepala si ular (Iblis). Istilah "keturunan perempuan" sebenarnya bukanlah istilah yang wajar dalam tradisi Yahudi, mengingat garis keturunan selalu dihubungkan dengan laki-laki, bukan perempuan (bdk. Kejadian 5). Namun, faktanya Musa, sang penulis Kitab Kejadian, tidak menuliskannya "keturunan laki-laki", sebaliknya dituliskan "keturunan perempuan" (Kejadian 3:15). Apakah Musa telah melakukan suatu kekeliruan? Tentu saja tidak! Ia menulis apa yang Allah janjikan bagi keselamatan manusia yang telah jatuh ke dalam dosa, bahwa melalui "keturunan perempuan" akan lahir Juru Selamat manusia. Artinya, Sang Juru selamat manusia dilahirkan bukan dari hasil hubungan antara laki-laki dan perempuan, tetapi melalui "perempuan" saja. Janji Allah ini kemudian diberitakan-Nya kembali pada zaman Nabi Yesaya, "Sesungguhnya, seorang perempuan muda (gadis) mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan Dia Imanuel." (Yesaya 7:14) Nubuatan ini mengacu pada berita yang sama, bahwa Sang Imanuel, Juru Selamat manusia, akan lahir melalui seorang gadis muda. Maka, sesuai waktu dan rencana-Nya (Galatia 4:4), Allah menggenapi janji tersebut melalui seorang gadis muda bernama Maria (Lukas 1:34-38). Bagaimana Allah melakukan-Nya? Sesuai janji-Nya, Ia melakukannya tanpa keterlibatan seorang laki-laki (Yusuf). Dalam silsilah Yesus Kristus, Matius memberikan penjelasan yang menarik tentang hal ini. Dari Matius 1:2-15, ia menggunakan bentuk kata kerja aktif untuk kata "memperanakkan". Namun, ketika ia sampai pada kelahiran Yesus Kristus (ayat 16), ia mengatakannya dengan bentuk yang berbeda: (1) Yusuf tidak dikatakan memperanakkan Yesus Kristus secara langsung seperti silsilah sebelumnya. (2) Kelahiran Yesus dihubungkan dengan Maria, bukan Yusuf. Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) tampaknya juga memahami hal ini dengan tepat melalui penggunaan kata yang berbeda. Untuk silsilah sebelumnya, seperti "Abraham memperanakkan Ishak", LAI memakai kata "memperanakkan" yang berarti keterlibatan secara aktif Abraham dalam menurunkan Ishak. Namun, ketika menerjemahkan kelahiran Yesus, LAI menggunakan kata: "melahirkan" yang menjelaskan bahwa kelahiran Yesus itu tidak ada keterlibatan Yusuf secara langsung dalam memperanakkan-Nya. (3) Kata "melahirkan" (ayat 16) berbentuk pasif sehingga hal ini menjelaskan bahwa, meskipun kelahiran Yesus Kristus melalui seorang gadis: Maria, namun kelahiran-Nya adalah mutlak tindakan Allah sendiri, yakni bagaimana Allah (Putra) menjadi manusia (bdk. Yohanes 1:14; Matius 1:20; Lukas 1:35). Jadi, Yesus Kristus datang melalui seorang gadis bernama Maria adalah penggenapan janji Allah sehingga melalui Yesus Kristus, manusia berdosa dapat diselamatkan (bdk. Yohanes 3:16-21; 14:6). ALLAH YANG KUDUS BERJUMPA DENGAN MANUSIA BERDOSA Keberdosaan manusia telah membuat dirinya tidak layak berdiri di hadapan kekudusan Allah. Manusia yang mencoba berhadapan muka dengan Allah secara langsung pasti binasa. Kondisi ini sangat mengerikan karena kekudusan Allah tidak dapat berjumpa dengan keberdosaan manusia. Ketika Musa ingin berhadapan muka dengan Allah secara langsung, apa yang terjadi? Allah harus melindungi Musa dengan tangan-Nya, menempatkannya di lekuk gunung, dan apa yang dapat dilihat Musa? Musa hanya melihat bagian belakang Allah, sebab tidak ada seorang pun yang dapat melihat Allah dapat hidup (Keluaran 33:18-23). Namun, melalui kelahiran anak dara, Allah hadir di tengah-tengah umat-Nya. Allah memakai kelahiran melalui anak dara agar manusia dapat melihat-Nya secara langsung. Kelahiran anak dara merupakan sarana yang tepat, yang membuat keilahian Allah dapat bersatu dengan kemanusiaan, seperti perkataan Yohanes, "Firman itu telah menjadi manusia, ...." (Yohanes 1:14) Mengapa Allah harus menjadi manusia? Sebab, "Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya." (Yohanes 1:18) Artinya, Allah harus menjadi manusia supaya manusia dapat berjumpa dengan-Nya. Hal ini menjelaskan dua hal: Pertama, kekristenan tidak pernah menempatkan manusia Yesus menjadi Allah, seolah-olah kekristenan mengakui bahwa manusia biasa dapat menjadi Allah. Sebaliknya, kekristenan mengakui Yesus adalah Allah yang menjadi manusia. Yesus adalah Allah sejati dan manusia sejati sehingga melalui-Nya, Allah yang kudus dapat berjumpa dengan manusia yang berdosa. Melalui-Nya pula, Allah yang kudus mendamaikan diri-Nya dengan manusia berdosa (2 Korintus 5:17-19). Jadi, Allah memakai kelahiran melalui anak dara agar diri-Nya dapat berjumpa dengan manusia berdosa. Dengan jalan ini pula, yakni melalui Yesus Kristus (Allah dan Manusia sejati), Ia membuka jalan bagi keselamatan manusia (Yohanes 14:6). Kedua, kekristenan tidak pernah mengakui bahwa Yesus berubah menjadi Allah pada saat Ia dibaptis di sungai Yordan (bdk. Matius 3:16-17), seperti pengakuan bidat-bidat Kristen. Sebaliknya, Alkitab menjelaskan bahwa kelahiran Yesus Kristus melalui anak dara membuktikan Dia adalah Allah yang menjadi manusia, bukan manusia yang diangkat menjadi Allah. Yohanes 1:1-3, 14-18, 8:42, 58; dan Wahyu 1:8, 17-18 membuktikan tentang praeksistensi Yesus, yang adalah Allah, dan dengan cara kelahiran melalui anak dara, Ia hadir di tengah-tengah manusia berdosa, agar barangsiapa percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup kekal (Yohanes 3:16). MENJAMIN KEMANUSIAAN YESUS TIDAK BERDOSA Mungkin kita bertanya, "Kelahiran melalui manusia yang berdosa, sudah pasti berdosa; bagaimana kelahiran Yesus Kristus melalui anak dara Maria dapat tidak berdosa? Bukankah Maria adalah seorang berdosa?" Maria adalah manusia berdosa adalah benar. Sebab, kekristenan tidak pernah mengakui Maria sebagai seseorang yang dilahirkan kudus oleh Allah. Alkitab sendiri menjelaskan bahwa Maria memerlukan Allah sebagai Juru Selamatnya (Lukas 1:47), dan ia juga mempersembahkan kurban persembahan sebagai penghapusan dosa (Lukas 2:22-24; bdk. Imamat 12:6-8). Ini berarti Maria adalah manusia berdosa. Namun, bagaimana kelahiran Yesus Kristus melalui anak dara Maria dapat menjamin ketidakberdosaan-Nya? Alkitab menjelaskan bahwa kelahiran Yesus Kristus melalui anak dara tidak bergantung pada keberadaan Maria yang berdosa, tetapi "Kuasa Allah yang Mahatinggi", sehingga "anak yang akan dilahirkannya adalah kudus, Anak Allah" (Lukas 1:35). Perkataan Malaikat kepada Maria tersebut menjawab dua hal: (1) Peristiwa kelahiran Yesus Kristus melalui anak dara adalah karena kuasa Allah; (2) Kuasa Allah sendiri yang menjamin kemanusiaan Yesus tidak berdosa (kudus). Hal ini sama seperti yang diungkapkan Matius ketika ia menjelaskan kelahiran Yesus melalui Maria. Matius menggunakan bentuk kata pasif untuk kata "melahirkan" meskipun Yesus lahir dari Maria. Penggunaan bentuk pasif tersebut menjelaskan bahwa Allah Roh Kuduslah yang menjamin kemanusiaan Yesus yang dikandung Maria adalah kudus. Dengan kata lain, kelahiran melalui anak dara Maria dapat menjamin kekudusan kemanusiaan Yesus Kristus dalam arti: (1) tidak ada keterlibatan manusia berdosa (laki-laki) di dalamnya; (2) Keterlibatan pasif Maria. Artinya, Yesus lahir dari rahim Maria, tetapi kekudusan Yesus bukan bergantung pada keberdosaan Maria, tetapi peran Roh Kudus di dalamnya. Malaikat berkata, "Sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus" (Matius 1:20). Itulah sebabnya, di dalam pengakuan Iman rasuli dikatakan, "Aku percaya kepada Yesus Kristus, yang dikandung daripada Roh Kudus, lahir dari anak dara Maria." MAKNA KELAHIRAN MELALUI ANAK DARA BAGI IMAN KITA Kelahiran Yesus Kristus melalui anak dara Maria memiliki implikasi yang signifikan bagi iman kita: Pertama, Allah tidak pernah berdusta terhadap janji-Nya. Kedua, Allah selalu berinisiatif untuk mengasihi kita. Ketiga, kita memiliki jalan pendamaian melalui Yesus Kristus, yang adalah Allah sejati dan manusia sejati. Keempat, Yesus adalah satu-satunya jalan (perantara) bagi kita berjumpa dengan Allah (bukan melalui Maria, sebab kelahiran melalui anak dara menekankan siapa Yesus sebenarnya, bukan menekankan status Maria). Kelima, Yesus adalah satu-satunya Juru Selamat manusia, sebab di dalam-Nya kita mendapatkan pendamaian dengan Allah. Kiranya dalam menyambut atau memperingati Natal tahun ini, iman kita semakin dikuatkan, berakar, bertumbuh, dan berbuah di dalam Dia. Kiranya Natal tidak membuat kita sibuk, tanpa memperoleh pengertian yang mendasar darinya. Sebaliknya, Natal menjadikan kita semakin mengenal Dia. Amin. Sumber Artikel:
Diambil dan disunting dari:
Siap Atau Tidak?Penulis_artikel:
Agus Barlianto Sadewa
Tanggal_artikel:
13 Desember 2013
Isi_artikel:
Nas: Yesaya 1:1-9; Matius 25:1-13 "Lembu mengenal pemiliknya, tetapi Israel tidak; keledai mengenal palungan yang disediakan tuannya, tetapi umat-Ku tidak memahaminya." (Yesaya 1:3) Adven adalah tentang menunggu. Menunggu Seseorang Yang Akan Datang. Menunggu Mesias. Menunggu dalam Adven tidaklah pasif, melainkan aktif. Mesias datang, dan dengan kedatangan-Nya damai sejahtera dan keadilan memerintah. Oleh karena itu, kita harus rajin bersiap-siap. Sedikitnya, ada dua hal yang dapat menyebabkan kita gagal dalam bersiap, dua cara yang dapat membuat kita "kehilangan" Adven. Yang pertama digambarkan dalam perumpamaan sepuluh gadis. Ada sebuah pernikahan dan sebagaimana lazimnya, gadis-gadis sahabat mempelai perempuan menunggu mempelai laki-laki untuk mengiringinya ke pesta dan perayaan pernikahan. Tetapi, mempelai laki-laki terlambat. Pernikahan-pernikahan Timur Tengah agaknya memang tak pernah tepat waktu. Lima gadis mengantisipasi masalah ini dan bersiap-siap dengan minyak tambahan agar pelita mereka tetap menyala. Akan tetapi, lima gadis lainnya tidak begitu siap. Mereka tidak mengantisipasi kedatangan mempelai laki-laki sebagaimana mestinya dan tidak mempersiapkan diri dalam penantian untuk kemungkinan terjadinya penundaan. Lima menunggu dengan kesiapan, lima lainnya tidak. Mereka yang siap memasuki pesta, mereka yang tidak siap tertinggal di luar. Inilah hal pertama yang dapat menyebabkan kita kehilangan Adven. Kita dapat kehilangan Adven hanya dengan tidak siap, karena tidak menjalani hidup kita dengan cara terus-menerus mempersiapkan diri bagi kedatangan Kerajaan sukacita, damai sejahtera, dan keadilan. Namun, ada cara lain yang dapat membuat kita kehilangan Adven. Kita dapat kehilangan Adven dengan tidak menunggu sama sekali. Anda lihat, bila kita puas dengan hidup kita sendiri, bila kita berpikir bahwa: "Apa yang kau lihat itulah yang kau peroleh," bila kita memiliki suatu pendirian bahwa kita telah "tiba" dan tak perlu melanjutkan perjalanan, maka tak ada lagi yang perlu kita tunggu. Inilah kenyataan yang Nabi Yesaya hadapi delapan abad sebelum Kristus. Kita akan mencoba melihat konteks dari zaman Nabi Yesaya. Pelayanan Yesaya dimulai sejak pemerintahan Raja Uzia yang makmur di Yerusalem. Fakta menunjukkan bahwa sejak Raja Uzia berkuasa, kekuatan dan kemakmuran Yehuda hanya berada di kelas dua bila dibandingkan dengan era Raja Daud dan Salomo. Meskipun peta politis berada dalam proses perubahan terus-menerus (kerajaan utara, yaitu Israel, menjadi tawanan Assyrian pada 722 sM; sementara kerajaan selatan, yaitu Yehuda, sibuk mengikatkan diri pada berbagai aliansi dengan Mesir dan Syria (Aram) demi menjaga keamanannya dari ancaman Assyrian), suasana hati di Yerusalem tetap tenang. Bagaimanapun, Yerusalem adalah kota Daud! Dengan raja keturunan Daud di atas takhta dan Allah di Bait Suci, kejahatan apa yang dapat menimpa kita? Apa yang perlu kita tunggu lagi? Segala yang kita inginkan sudah di sini. Karena kita memiliki perjanjian yang aman dengan Allah Israel, kita telah tiba, dan buktinya ialah kemakmuran kita. Siapa yang butuh Adven bila janji telah digenapi? Maka, masuklah Yesaya dengan pembacaan yang amat berbeda. Yehuda telah datang? Baik, bila sakit parah adalah gagasan Anda tentang kedatangan, maka ya, Yehuda memang telah datang. Dalam nubuat pembukaan, Yesaya menembus rasa puas diri Yehuda terhadap harta kekayaan dan percaya berlebihan pada perjanjian. Ia menggambarkan Yehuda sebagai tubuh yang memar, terluka, dan berdarah-darah. Pada saat Yehuda melihat dirinya aman dalam perbatasan-perbatasannya, Yesaya melukiskan potret orang-orang asing yang melahap hasil tanah dan sebuah kota yang terkepung. Mengapa? Mengapa Yesaya melihat kehancuran dan keambrukan, sementara yang lain melihat kota yang makmur dan aman? Sebab, Yesaya tahu benar bahwa kehidupan kultural dan pribadi Yehuda yang tidak lagi menunggu pemerintahan Allah karena berpikir bahwa pemerintahan itu telah direalisasikan, sesungguh-sungguhnya berada di jalur kematian. Ketika kehidupan perjanjian sudah begitu terstruktur untuk melayani kepentingan si kaya dengan jalan mengorbankan si miskin, maka ini sebenarnya perjanjian dengan kematian. Mempelai laki-laki berkata pada gadis-gadis itu, "Sesungguhnya aku tidak mengenal kamu." Yesaya berkata: Israel tidak mengenal pemiliknya -- "Umat-Ku tidak memahaminya". Marilah kita memasuki masa Adven ini dengan pengenalan dan pemahaman. Marilah kita menunggu dengan penuh harap. Diterjemahkan dari The Advent of Justice: A Book of Meditation (1993). Brian Walsh, Richard Middleton, Mark Vander Vennen, Sylvia Keesmaat. Penerbit CJL Toronto, Canada. Sumber Artikel:
Diambil dan disunting dari :
Memahami Ulang Konteks Berteologi John Calvin dalam Doktrin Predestinasi (2)
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Dalam edisi ini, kita akan melanjutkan bahasan tentang konteks teologi John Calvin dalam usahanya menjelaskan Predestinasi serta aplikasinya bagi hidup orang percaya. Kiranya dari artikel lanjutan ini, Anda semakin mengerti secara lengkap pendekatan-pendekatan yang Calvin lakukan dalam mengaitkan relevansi doktrin ini dengan hidup orang percaya, dan bersyukur atas pemilihan yang Allah lakukan dalam hikmat-Nya yang tak terukur. Mari langsung saja kita simak artikel ini. Selamat menyimak! Tuhan memberkati. Pemimpin Redaksi e-Reformed,Teddy Wirawan < teddy(at)in-christ.net > < http://reformed.sabda.org >
Edisi:
Edisi 145/Oktober 2013
Isi:
PREDESTINASI SEBAGAI JAMINAN KESELAMATAN DAN PANGGILAN HIDUP KRISTEN YANG SALEH Dengan ditempatkannya predestinasi di bawah topik keselamatan, Calvin ingin menunjukkan bahwa predestinasi pun merupakan bagian dari berkat-berkat yang diperoleh orang-orang percaya di dalam Kristus. Pengertian ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Itu sebabnya, sekalipun faktanya doktrin predestinasi mengandung "labyrinth" yang tak terselami sebagai bagian dari wahyu Allah, Calvin percaya bahwa predestinasi adalah "very sweet fruit",[18] atau sesuatu yang sangat bermanfaat bagi orang percaya. Permasalahannya adalah dalam hal apa dan bagaimana memahami predestinasi secara benar sehingga doktrin ini benar-benar memberi manfaat bagi orang percaya? Ini merupakan tanggung jawab yang Calvin merasa yakin terpanggil untuk menjawabnya. Calvin percaya sepenuhnya bahwa rahasia kehendak Allah berdiri di balik realitas orang percaya dan tidak percaya. Namun, ia tidak mau berspekulasi lebih lanjut, tentang mengapa, bagaimana, atau seperti apa persisnya hal itu terjadi di dalam kekekalan karena Alkitab tidak mengatakannya. Calvin yakin sepenuhnya berdasarkan Alkitab bahwa kehendak Allah sebagai dasar utama keselamatan harus ditegakkan. Kepentingannya adalah sebagai jaminan keselamatan, yaitu bahwa keselamatan bukan berdasarkan perbuatan baik kita, melainkan sepenuhnya karena kemurahan Allah. Masalahnya, jika kebebasan manusia memiliki peran yang signifikan dalam hal keselamatan, keselamatan menjadi sesuatu yang tidak pasti. Sebab, apa standarnya? Sampai batas mana manusia harus melakukan kebaikan? Belum lagi adanya realitas dosa yang sangat serius dalam diri manusia. Namun, jika keselamatan bergantung pada ketetapan Allah sendiri, tidak ada hal apa pun juga di bumi maupun di surga yang bisa membatalkan ketetapan Allah tersebut. Dalam satu bab terakhir tentang predestinasi di dalam buku III "Institutes" (1559), ia menjelaskan relasi yang erat antara predestinasi dan soteriologi secara induktif (ordo cognoscendi) sehingga manfaat doktrin predestinasi sebagai jaminan keselamatan nampak sangat jelas. Ada beberapa hal penting yang bisa dipelajari dari pola pendekatan ordo cognoscendi dalam konteks soteriologi untuk memahami predestinasi yang akan diuraikan berikut ini. Dari Sebab Dekat (Proximate Cause) ke Sebab Utama (Ultimate Cause) Dalam tafsirannya terhadap Efesus 1:5-8, Calvin menyimpulkan ada empat sebab keselamatan yang terjadi pada diri seseorang: pertama, kehendak Allah (God's will) sebagai yang menyebabkan pilihan-Nya pasti terlaksana (efficient cause); kedua, sebab yang dapat dilihat (material cause), yaitu Yesus Kristus; ketiga, sebab yang membuat pilihan Allah teraplikasi dalam diri orang berdosa (final cause), yaitu anugerah; dan keempat, sebab yang membuat kebaikan atau anugerah Allah sampai kepada umat manusia (formal cause), yaitu pemberitaan Injil. Di antara keempat sebab ini, efficient dan final cause adalah bagian dari misteri Allah, yang pasti terjadi, tetapi tidak mungkin dapat diselami. Karena itu, pemilihan sebagai jaminan keselamatan hanya dapat dipahami ketika kita mulai menggumulinya mulai dari bagaimana anugerah pemilihan itu sampai kepada kita, yaitu jika kita memulainya dari material dan formal cause. Yesus Kristus sebagai material cause akan kita bahas kemudian. Pada bagian ini, kita akan membahas sedikit lebih jauh arti formal cause. Formal cause -- sebab yang membuat anugerah atau kebaikan Allah itu sampai kepada kita -- terdiri dari tiga hal yang saling berkaitan, yaitu panggilan firman (calling), pekerjaan Allah Roh Kudus secara internal, dan iman. Menurut Calvin, jaminan keselamatan itu memang bersumber dari takhta Allah yang Mahakudus, tetapi Ia tidak pernah meminta kita untuk naik ke hadirat-Nya yang kudus (selama kita di bumi). Dengan menggumuli firman di dalam iman dan pekerjaan Roh Kudus itulah, kita akan dibawa kepada posisi rohani, yang membuat panggilan (klesis) dan pilihan (ekloge) kita semakin teguh (2 Petrus 1:10). Namun sekali lagi, di sini Calvin sama sekali bukan mengatakan bahwa usaha manusialah yang menyebabkan pilihan. Calvin lebih ingin menekankan bagaimana kita sampai kepada "pemilihan kekal Allah" sebagai jaminan keselamatan. Kristus sebagai "The Mirror of Election" Dari penjelasan sebelumnya, telah ditunjukkan keyakinan Calvin bahwa manusia tidak mungkin sanggup mendaki secara langsung ke dalam misteri ketetapan kekal Allah. Namun, terdorong oleh panggilan untuk membuktikan dan menunjukkan bahwa pemilihan kekal Allah merupakan jaminan keselamatan manusia dan bukan sebagai problem metafisika, maka berikutnya ia berusaha untuk tidak secara langsung menarik hubungan antara apa yang terjadi di dalam kekekalan (eternity) dan keselamatan yang terjadi pada manusia di dalam dunia ini (temporal). Artinya, ia tidak ingin terjebak di dalam silogisme: "Karena aku dipilih, maka aku diselamatkan". Sekalipun secara ontologi kalimat ini pasti ia setujui, tetapi ia memandang hal itu berbahaya. Ia lebih mengarahkan argumentasi kepada keberadaan Yesus Kristus, yang adalah Allah sekaligus Manusia, sebagai titik temu antara apa yang terjadi di dalam kekekalan dan keselamatan yang dialami oleh manusia. Di sinilah, terjadi interpenetrasi antara paham tentang Kristus dan predestinasi. Mengarahkan iman kepada Kristus di sini memiliki makna yang sangat dalam, sebab berarti kita bukan sekadar "believe in Him" (Yohanes 3:16), tetapi lebih dari itu, kita percaya: (1) kepada Yesus Kristus sebagai dasar pilihan Allah di dalam kekekalan, yang sekaligus merupakan jaminan kekal yang tak tergoyahkan (Efesus 1:4-6); (2) Kristus di dalam sejarah, menyatakan pemilihan kita oleh Allah di dalam kekekalan (Efesus 1:7-9); (3) Kristus menyingkapkan tujuan pemilihan Allah, yaitu menjadi serupa dengan Kristus (Roma 8:29), mengenakan Kristus sebagai perlengkapan senjata terang (Roma 13:14), dan bertumbuh ke arah Kristus (Efesus 4:15). Hal yang terakhir ini menurut Calvin, sekaligus merupakan panggilan bagi setiap orang percaya untuk memiliki ketekunan dan hidup yang kudus. Melalui "union with Christ" inilah, kita juga akan dibawa kepada jaminan keselamatan yang berdasarkan pada pemilihan kekal Allah. Reprobasi sebagai Misteri Penyataan Keadilan Allah Ketika kita masuk ke dalam pembicaraan tentang reprobasi -- di mana Allah membiarkan sebagian orang dalam dosanya untuk menerima hukuman (reprobat) --, Calvin menekankan bahwa kita tidak bisa memikirkan reprobasi dan pemilihan Allah sebagai dua hal yang bersifat paralel. Artinya, sekalipun pemilihan dan reprobasi adalah dua hal yang memiliki "ultimate cause" di dalam misteri kehendak Allah, dan juga memiliki sebab yang dekat dengan manusia (proximate cause), tetapi ia melihat bahwa yang membedakan keduanya adalah jikalau dalam hal anugerah pemilihan proximate cause itu sama sekali tidak berasal dari manusia (perbuatan manusia tidak diperhitungkan sebagai penyebab), maka di dalam hal penghukuman kekal Allah (reprobation), proximate cause mengandung aspek kebebasan dan natur berdosa manusia (perbuatan berdosa manusia turut menyebabkan penghukuman). Namun, apakah hal ini berarti Allah secara aktif menyebabkan manusia berbuat dosa? Calvin memang mengatakan bahwa "Kehendak dan ketetapan abadi Allah adalah penyebab tunggal dari segala sesuatu yang ada".[19] Namun, ia sama sekali tidak bermaksud untuk melemparkan tanggung jawab atas perbuatan dosa kepada "divine causality" (sebab ilahi) sehingga seolah-olah manusia tidak bertanggung jawab atau hanya merupakan alat saja di tangan Allah. Di dalam kasus kejatuhan Adam ke dalam dosa, ia mengatakan, "Adam dapat tetap teguh jika ia mau, namun kejatuhannya semata-mata karena kehendaknya sendiri".[20] Tetapi, bagaimana hal ini tidak berkontradiksi dengan pernyataan Calvin sebelumnya bahwa ketetapan Allah adalah "penyebab tunggal dari segala sesuatu yang ada?" Pertama-tama, ia mengajak kita untuk menjauhkan Allah dari posisi yang secara aktif menyebabkan terjadinya dosa. Kedua, untuk menjawab problem di atas, Calvin tidak memilih argumentasi yang membedakan ketetapan Allah dengan izin Allah. Sebuah pembedaan yang pada hakikatnya sama saja. Namun, Calvin tetap percaya bahwa kehendak Allah adalah penyebab tunggal dari segala sesuatu yang ada. Jika demikian, bagaimana Allah bukan sebagai penyebab aktif perbuatan dosa manusia? Di dalam buku yang sama (Calvin's Calvinism), ia berangkat dari asumsi bahwa sebuah tindakan dikatakan berdosa adalah karena motivasi yang salah dan tujuan yang jahat. Jadi, ketika seseorang membunuh atau mencuri, perbuatan itu berdosa adalah karena motivasi yang salah dan tujuan yang jahat. Dengan demikian, di dalam kasus-kasus seperti pengerasan hati Firaun atau Yudas, Calvin berpendapat, pertama, kita mesti melihat adanya tujuan mulia dari Allah yang tak terselami dan hikmat-Nya yang Mahabenar yang tak tergapai. Kedua, adanya perbedaan kategori yang tak terseberangi antara kekekalan dan kesementaraan sehingga kita tidak bisa mengukur apa yang Allah lakukan di dalam kekekalan dengan kategori temporal. Itu sebabnya, ia menutup penjelasannya tentang predestinasi dengan pernyataan, "Seperti pernyataan Agustinus, mereka yang mengukur keadilan ilahi dengan standar keadilan manusia telah bertindak salah." Namun, kembali kepada konteks soteriologi dalam pembicaraan tentang predestinasi, maka fungsi paham reprobasi bagi orang-orang percaya menurut Calvin sebenarnya sama halnya dengan anugerah pemilihan Allah, yaitu menyadarkan orang-orang percaya supaya patuh, kagum, heran, rendah hati, dan gemetar di hadapan kemahakuasaan Allah yang tak terselami, namun yang telah dinyatakan dalam Alkitab.[21] Sebagai bagian dari predestinasi, maka sama seperti pemilihan Allah pula, paham reprobasi juga ada di ujung pergumulan iman orang-orang yang percaya kepada Kristus. Kesimpulan Dengan menempatkan doktrin predestinasi dalam konteks soteriologi, Calvin berusaha menunjukkan bahwa fungsionalitas doktrin predestinasi sebagai dasar jaminan keselamatan dapat ditimba oleh setiap orang percaya. Hal ini bisa terjadi apabila kita memulai pemahaman tentang predestinasi dengan berangkat dari tanda-tanda keselamatan yang Allah nyatakan kepada kita, dan dengan memandang kepada Yesus Kristus sebagai "the mirror of election". Cara seperti ini sudah tentu bukan jaminan untuk meniadakan sifat misteri doktrin predestinasi, melainkan justru karena kesadaran bahwa doktrin ini penuh dengan misteri ilahi. Dengan demikian, cara yang dipakai oleh Calvin ini membawa orang percaya kepada sebuah relasi yang paradoks antara pergumulan iman tentang jaminan keselamatan dan predestinasi. Di satu pihak, predestinasi sebagai misteri (tetapi yang telah dinyatakan oleh Allah) adalah penyebab iman, di lain pihak, hal itu hanya bisa dipahami ketika iman sebagai jaminan yang membawa kita kepada rahasia predestinasi Allah. Jadi di sini, pergumulan dengan kebenaran predestinasi bersifat dua arah. Artinya, kita berangkat dari keyakinan akan berita Alkitab tentang ketetapan Allah sebagai sumber keselamatan kita, namun keyakinan itu baru dapat benar-benar kita gapai ketika kita menempatkan ketetapan Allah di ujung pergumulan iman kita. Mengutip perkataan Agustinus, Calvin berkeyakinan bahwa menggumuli predestinasi berarti kita telah memasuki jalur iman.[22] Ketika iman kita membawa kepada keyakinan akan anugerah pemilihan Allah, dampak baliknya adalah penghiburan dan sekaligus panggilan untuk hidup suci. Namun, yang terpenting dalam usaha memahami predestinasi adalah "Mari kita berpegang teguh pada iman. Ia memimpin kita ke kamar Raja, tempat tersimpan seluruh harta pengetahuan dan kebijaksanaan."[23] Catatan Kaki: 18. Institutes III.xxi.1.19. Ibid. I.xvi.8; bdk. III.xxiii.7-8. 20. Ibid. I.xv.1, 8 [huruf tegak dari saya]. 21. Ibid. III.xxi.1; III.xxiii.5; III.xxiv.17. 22. Ibid III.xxi.2. 23. Ibid.
Sumber:
Diambil dan disunting dari:
Memahami Ulang Konteks Berteologi John Calvin dalam Doktrin Predestinasi (1)
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Maafkan kami atas keterlambatan terbit yang sering terjadi akhir-akhir ini. Kami harap Anda dapat terus menikmati artikel-artikel yang kami kirimkan. Artikel e-Reformed bulan September ini membahas seputar doktrin Predestinasi yang pasti sering kita dengar. Namun, dalam edisi ini, kita akan lebih berfokus pada konteks berteologi John Calvin ketika menggumuli doktrin ini. Sebagaimana yang kita tahu, doktrin ini menjadi perdebatan yang tidak pernah terselesaikan, terutama oleh kaum Calvinis dan Armenian. Hal ini terjadi karena banyak orang yang sesungguhnya tidak mengerti konteks ketika doktrin ini dicetuskan, dan menjadi salah kaprah ketika mengartikannya lepas dari konteks. Oleh karena itu, artikel ini berusaha meluruskan kembali konteks pergumulan yang sebenarnya dialami oleh John Calvin ketika mencetuskan doktrin ini. Karena artikel yang asli relatif panjang untuk dimuat, redaksi berusaha memadatkan isi artikel ini sehingga dapat dimuat dalam 2 (dua) edisi September dan Oktober. Kiranya artikel ini dapat membukakan pengertian yang benar akan keagungan dan kekayaan Diri Allah yang tak terselami oleh pikiran manusia. Soli Deo Gloria! Pemimpin Redaksi e-Reformed,Teddy Wirawan < teddy(at)in-christ.net > < http://reformed.sabda.org >
Edisi:
edisi 144/September 2013
Isi:
Pendahuluan Artikel ini tidak bermaksud secara langsung dan detail menguraikan doktrin predestinasi, atau bahkan menjawab serangkaian pertanyaan rumit yang sering kali muncul seputar doktrin ini. Artikel ini lebih merupakan suatu usaha untuk memahami kembali kerangka dasar atau konteks doktrin predestinasi sebagaimana diajarkan oleh John Calvin. Hal ini perlu kita lakukan karena di satu pihak, Calvin percaya bahwa doktrin predestinasi memberikan manfaat yang tidak sedikit dalam kehidupan orang percaya, tetapi di lain pihak, sejak awal ia sendiri telah menyadari banyaknya orang yang akan menyimpangkan ajarannya tentang predestinasi. Penyimpangan-penyimpangan tersebut, sebagaimana dikatakan oleh Henry Cole, telah mengakibatkan orang yang mempelajari doktrin predestinasi Calvin tidak dari sumber aslinya bukan saja menjadi salah mengerti, melainkan juga kehilangan "religious spirit" sebenarnya yang membangun.[1] Hal ini dapat terjadi karena doktrin predestinasi Calvin sering kali hanya dibicarakan secara terpotong-potong, lepas dari konteksnya. Calvin memang bukan orang pertama dan satu-satunya yang mencetuskan doktrin predestinasi. Dalam tulisan-tulisannya, ia banyak memakai argumentasi Agustinus untuk menjelaskan beberapa masalah predestinasi. Namun, bila kemudian doktrin ini sering kali diidentikkan dengan Calvin, tidak lain karena dalam pemikirannya, paham predestinasi memperoleh pengupasan secara lebih komprehensif dan utuh.[2] Di samping itu, ia adalah tokoh yang paling gigih mengajarkan dan membela kebenaran doktrin ini, lebih dari siapa pun, bahkan teolog-teolog di masa kini.[3] Barangkali, prinsip awal dan pertama yang kita bisa pelajari dari Calvin adalah sikapnya yang percaya sepenuhnya dan apa adanya terhadap wahyu Allah di dalam Alkitab. Sikap ini memberikan dua dampak. Pertama, ia berani masuk ke kedalaman firman Tuhan dan mengajarkannya, bahkan hal-hal yang tampaknya kontroversial, dengan suatu keyakinan bahwa baginya, tidak ada hal yang Allah wahyukan yang sifatnya sia-sia, termasuk kebenaran predestinasi. Ia meyakini sepenuhnya bahwa Allah dan firman-Nya adalah sumber kebenaran doktrin ini. Kedua, ia bukan saja dengan penuh rasa hormat kepada Allah berani mengajarkan doktrin predestinasi secara jujur, melainkan juga secara berhati-hati berusaha untuk tidak melampaui apa yang Alkitab katakan sehingga tidak jatuh ke dalam spekulasi metafisika. Walaupun menelusuri sejarah pemikiran Calvin untuk mendapatkan keutuhan kerangka berpikirnya adalah hal yang hampir mustahil, tetapi saya berangkat dari keyakinan sebagaimana dikatakan oleh Richard Muller bahwa selama tulisan-tulisan Calvin masih dapat kita pelajari, berarti masih ada harapan.[4] Itu sebabnya, melalui tulisan ini, saya berharap cukup untuk memberikan kerangka dasar pemikiran Calvin tentang predestinasi, melalui penelusuran secara historis dan teologis terhadap tulisan-tulisan Calvin, khususnya "Institutes".[5] Artikel ini dibagi dalam dua bagian. Bagian pertama membahas konteks pemahaman doktrin predestinasi Calvin dengan mengamati perkembangan tulisan-tulisannya guna melihat kerangka atau pola dasar pemikirannya tentang predestinasi. Bagian kedua merupakan aplikasi pemahaman bagian pertama dalam membaca tulisan Calvin tentang predestinasi, dalam relevansinya dengan konteks yang ia maksud. Survei Historis dan Teologis Pola Dasar Pemikiran Predestinasi Calvin Doktrin predestinasi Calvin tidak ditulis dalam suasana yang "aman dan tentram". Doktrin ini mengalami proses perkembangan hingga menjadi benar-benar matang di dalam karya-karyanya, khususnya "Institutes" edisi 1559, setelah melalui berbagai perlawanan frontal dari lawan-lawannya. Perlawanan dari teolog Roma Katolik, Albertus Pighius, pada tahun 1543, mendorongnya untuk menulis "The Bondage and Liberation of the Will: A Defense of the Orthodox Doctrine of Human Choice against Pighius",[6] guna menolak konsep Pighius yang terlalu menekankan kebebasan manusia. Dua tahun kemudian, yaitu tahun 1545, ia menulis "Treatises Against the Anabaptists and Against the Libertines",[7] sebagai jawaban terhadap kelompok Libertines yang menolak dosa asal. Tahun 1552, ia menulis "Concerning the Eternal Predestination of God",[8] yang isinya bukan saja menjawab Georgius the Sicily, melainkan juga diarahkan kepada Pighius dalam kaitannya dengan problem prapengetahuan Allah dan, lagi-lagi, kebebasan manusia. Di samping karya di atas, masih banyak karya lainnya yang hampir semuanya ditulis dalam suasana "pembelaan iman". Ia juga banyak dibantu oleh murid dan asistennya yang setia, Theodore Beza, dalam menegakkan kebenaran predestinasi, khususnya ketika ia terlibat dalam perdebatan panjang (tahun 1551 -- 1555) dengan Jerome Bolsec, menyangkut kekekalan, prapengetahuan Allah, dan iman.[9] Dalam seluruh rangkaian perdebatan ini, Calvin tetap berpegang teguh pada tradisi monergisme Agustinian, sementara kebanyakan lawannya mengekspresikan pola teologi sinergisme yang merupakan sasaran utama penolakan para tokoh Reformasi. Tradisi monergisme Agustinian menekankan keselamatan yang sepenuhnya berdasarkan anugerah Allah, sedangkan tradisi sinergisme mendasarkan keselamatan kepada pra-pengetahuan Allah (divine foreknowledge) dan usaha iman dari manusia. Pergumulan Calvin di atas, dan tulisan-tulisan lainnya, sudah tentu banyak memengaruhi tulisannya tentang predestinasi, terutama tafsirannya terhadap kitab Roma yang disebut-sebut paling banyak memengaruhi Calvin dalam menulis "Institutes" edisi terakhir (1559).[10] Mulai edisi pertama, 1536, hingga yang terakhir, 1559, "Institutes" mengalami perkembangan yang tidak sedikit, tetapi bukan dalam arti adanya pergeseran posisi atau pengubahan isi yang mendasar dari waktu ke waktu, melainkan usahanya untuk terus menambahkan pokok-pokok ajaran yang ia anggap penting. Sebuah fakta yang mengherankan ialah, ketika memberikan tambahan-tambahan, secara prinsip ia senantiasa konsisten dengan apa yang telah diajarkan sebelumnya. Ketika Calvin menulis "Institutes" pada tahun 1536, doktrin predestinasi belum memperoleh pembahasan secara khusus. Di dalam enam bab tulisannya ini, paham predestinasi ia sisipkan dalam pembahasan tentang "turun ke dalam kerajaan maut" dari pengakuan iman rasuli dan penjelasan tentang hakikat gereja. Dalam penjelasan kalimat yang berdasarkan 1 Petrus 3:19 tersebut -- yang ia mengerti bukan secara harfiah, melainkan sebagai manifestasi kuasa penebusan Kristus kepada mereka yang telah mati pada zaman sebelum Kristus -- ia menyisipkan prinsip perbedaan dampak penebusan Kristus kepada orang-orang percaya dan orang-orang fasik. Sedangkan dalam pembahasan tentang gereja, pengertian predestinasi mendominasi penjelasannya tentang hakikat gereja. Berdasarkan Efesus 1:4, misalnya, ia mendefinisikan gereja sejati sebagai "orang-orang yang telah dipilih di dalam Dia sebelum dunia dijadikan, dengan tujuan agar semua dapat berkumpul di dalam Kerajaan Allah".[11] Gereja adalah universal karena orang-orang percaya di dalamnya dipilih dan dipersatukan di dalam Kristus (Efesus 1:22-23).[12] Hakikat gereja adalah kudus karena "orang-orang yang telah dipilih oleh providensi Allah untuk ditetapkan sebagai anggota-anggota gereja -- mereka dikuduskan oleh Tuhan (Yohanes 17:17-19)".[13] Dari semua contoh di atas, jelas bahwa Calvin senantiasa berusaha untuk tidak melepaskan predestinasi dalam kaitannya dengan landasan bagi identitas umat tebusan Kristus. Pada tahun 1539, ketika "Institutes" bertambah menjadi tujuh belas bab, satu hal yang tetap konsisten adalah bahwa konteks praktis, eklesiologis, dan soteriologis, terus mewarnai pembicaraan tentang predestinasi. Namun, di dalam edisi ini, ia juga membahas predestinasi secara lebih luas sebagai penjelasan ontologis tentang kedaulatan Allah terhadap ciptaan-Nya, dengan tambahan konsep tentang providensi Allah. Barangkali, progresivitas yang paling radikal ada di dalam edisi terakhir, tahun 1559, ketika "Institutes" jadi lima kali lebih panjang dari edisi pertama, dan dibagi menjadi empat "buku", masing-masing dengan topik utama: "The Knowledge of God the Creator", "The Knowledge of God the Redeemer", "The Receiving of the Grace of Christ", dan "The Holy Catholic Church". Di dalam edisi ini, ia bukan saja membahas predestinasi secara khusus dan panjang (empat bab), tetapi ia juga memisahkan pembicaraan predestinasi dari providensi. Jika providensi ditempatkan di akhir pembahasan tentang doktrin Allah (I.xvi-xviii), maka ia meletakkan predestinasi di dalam konteks pembahasan soteriologi, di bawah topik besar "The Receiving of the Grace of Christ", atau tepatnya, sesudah pembicaraan tentang iman, pembenaran, dan doa (III.xxi-xxiv). Dampak pemisahan ini, sekali lagi, bukan karena adanya perubahan konsep teologis dalam diri Calvin mengenai providensi dan predestinasi. Bukan pula pemisahan dalam arti pembedaan secara tajam antara providensi dan predestinasi.[14] Pemisahan tersebut dilakukan karena ia lebih memilih pendekatan "ordo cognoscendi" (urutan secara logis atau mana yang harus diketahui terlebih dahulu) dalam memahami predestinasi, ketimbang "ordo essendi" (urutan secara esensi atau ontologis).[15] Pola semacam ini tampaknya cukup berhasil membuatnya menjauhkan diri dari pembahasan spekulasi metafisika dan determinisme, dan sebaliknya, mendekatkan diri kepada pemahaman tentang predestinasi yang lebih menampung relevansi rohani secara praktis, khususnya dengan jaminan keselamatan orang percaya. Secara praktis, prinsip di atas dapat dibahasakan sebagai berikut. Ketika kita mencoba memahami predestinasi dengan berangkat secara deduktif dari pernyataan seperti: "Kehendak Allah adalah penyebab segala sesuatu," akan menjadi lebih sulit dan tak terselami daripada jika kita mencoba memahami predestinasi dengan berangkat dari pertanyaan seperti: "Mengapa Tuhan mau mengampuni dosaku? Mengapa Yesus Kristus mau mati untukku?" Melalui pola pendekatan ordo cognoscendi, Calvin ingin paham predestinasi itu muncul melalui pemahaman terhadap aspek-aspek penebusan di dalam diri orang percaya. Begitu pemilihan itu telah muncul dalam pikiran dan dipercayai, atau paling tidak, secara samar-samar diterima oleh orang percaya, esensi pemilihan, sejauh yang Alkitab wahyukan, harus segera diajarkan. Belajar dari Calvin, Beza menegaskan bahwa ketika kita mencoba memahami predestinasi dengan memulainya dari "first" atau "final causality" dalam rahasia kekekalan Allah, itu hanya menyebabkan kita tidak bisa menarik makna barang sedikit pun karena pada akhirnya, mata kita akan tertutup terhadap dinamika karya Allah dalam sejarah keselamatan manusia.[16] Sedangkan, Wendel menafsirkan bahwa Calvin memilih ordo cognoscendi dalam konteks soteriologis karena seseorang yang mempelajari doktrin predestinasi dengan berangkat dari hakikat ketetapan-ketetapan Allah atau providensi Allah, atau membawa predestinasi ke dalam kategori pembicaraan providensi Allah, hal itu memang bukan sesuatu yang sepenuhnya salah, tetapi tidak tepat dan bahkan berbahaya.[17] Catatan kaki:
Sumber:
Diambil dan disunting dari:
Budaya dan Alkitab (2)
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Edisi kali ini masih merupakan kelanjutan dari artikel edisi yang lalu, yaitu tentang prinsip menafsirkan Alkitab berkaitan dengan konteks budaya. Pada edisi ini akan dijelaskan pedoman-pedoman praktis yang akan membantu kita untuk mengatasi masalah-masalah di dalam penafsiran. Tidak perlu berlama-lama, mari kita simak kelanjutan artikel berikut ini. Selamat membaca. Soli Deo Gloria! Pemimpin Redaksi e-Reformed,
Edisi:
edisi 143/Agustus 2013
Isi:
Satu hal sudah jelas. Kita memerlukan semacam garis pedoman praktis untuk membantu kita menguraikan problem-problem seperti itu. Garis pedoman praktis berikut ini mestinya berfaedah. Garis Pedoman Praktis
Dengan meneliti cermat Alkitab sendiri, kita dapat mengetahui bahwa Alkitab menunjukkan suatu ruang gerak adat tertentu. Misalnya, prinsip-prinsip ilahi dari budaya Perjanjian Lama telah dinyatakan ulang dalam budaya Perjanjian Baru. Dengan melihat hukum-hukum dan prinsip-prinsip yang dinyatakan ulang dalam Perjanjian Lama, kita dapat melihat bahwa sejumlah prinsip inti yang umum dapat melampaui adat, budaya dan kebiasaan sosial. Pada saat yang sama, kita melihat sejumlah prinsip Perjanjian Lama (seperti hukum-hukum mengenai apa saja yang halal dan apa yang haram dalam Pentateukh atau kelima kitab Musa) dibatalkan dalam Perjanjian Baru. Ini tidak berarti bahwa hukum-hukum mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dimakan semata-mata hanya adat Yahudi, tetapi kita dapat melihat sebuah perbedaan dalam situasi sejarah penebusan waktu Kristus membatalkan hukum yang lama. Apa yang harus kita perhatikan dengan cermat ialah, bahwa baik pemikiran untuk memindahkan prinsip-prinsip Perjanjian Lama seluruhnya ke dalam Perjanjian Baru maupun sama sekali tidak mengindahkannya sedikit pun, tidak dapat dibenarkan oleh Alkitab sendiri. Adat-adat budaya macam apa yang mampu pindah? Bahasa adalah salah satu faktor budaya yang mudah pindah. Hukum-hukum Perjanjian Lama dapat dialihbahasakan dari bahasa Ibrani kepada bahasa Yunani. Paling tidak, hal ini memberikan kepada kita sebuah kunci kepada berbagai macam komunikasi verbal (bahasa). Ini berarti bahwa bahasa adalah sebuah aspek budaya yang terbuka untuk perubahan. Ini tidak berarti bahwa isi Alkitab dapat dibengkokkan secara linguistik, tetapi berarti bahwa Injil dapat dikhotbahkan, baik dalam bahasa Yunani maupun dalam bahasa Inggris. Kedua, kita lihat bahwa metode-metode pakaian Perjanjian Lama tidak selalu cocok di segala zaman untuk umat Allah. Prinsip-prinsip kesederhanaan tetap unggul, tetapi mode-mode pakaian lokal boleh berubah. Perjanjian Lama tidak memerintahkan supaya orang beriman harus memakai pakaian seragam ilahi yang bermode sama untuk segala abad. Perubahan-perubahan budaya lain yang normal, seperti sistem-sistem uang, jelas terbuka untuk perubahan. Orang-orang Kristen tidak diharuskan memakai dinar sebagai ganti dolar. Analisis cara-cara pengungkapan budaya seperti itu mungkin sederhana karena berhubungan dengan pakaian atau uang, tetapi persoalan-persoalan institusi-institusi budaya lebih sulit analisisnya. Misalnya, topik mengenai perbudakan sering diperkenalkan ke dalam perdebatan modern mengenai tidak adanya oposisi terhadap hukum atas dasar hati nurani, juga topik mengenai struktur-struktur otoritas pernikahan. Dalam konteks yang sama, waktu Paulus mengimbau wanita-wanita supaya tunduk pada suami-suami mereka, ia juga mengimbau para budak untuk tunduk kepada tuan-tuan mereka. Sejumlah orang telah berpendapat bahwa karena benih-benih penghapusan perbudakan, demikian juga benih-benih penghapusan sikap tunduk para wanita. Kedua hal tersebut mewakili struktur-struktur institusional yang dipengaruhi budaya jika ditinjau dari segi garis penalaran ini. Di sini, kita harus berhati-hati untuk membedakan antara institusi-institusi yang diakui oleh Alkitab hanya keberadaannya saja, seperti "pemerintah-pemerintah yang ada" (Roma 13:1), dan institusi-institusi yang jelas didirikan, diabsahkan dan ditahbiskan oleh Alkitab. Prinsip tunduk kepada struktur-struktur otoritas yang ada (misalnya pemerintah Roma), tidak mempunyai pengertian yang diperlukan untuk pengabsahan dari pihak Allah mengenai struktur-struktur, tetapi hanya merupakan panggilan untuk kerendahan hati dan kepatuhan hukum dan pemerintah. Allah, di dalam pemeliharaannya yang utama dan rahasia, dapat menetapkan bahwa ada Kaisar Agustus, tanpa mengabsahkan Kaisar sebagai teladan kebajikan Kristen. Namun, institusi struktur-struktur dan pola-pola otoritas pernikahan diberikan dalam konteks institusi dan pengabsahan yang positif dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Tindakan menurut struktur-struktur alkitabiah mengenai rumah tangga setingkat dengan persoalan perbudakan, sama dengan usaha mengaburkan banyak perbedaan antara keduanya. Jadi, Alkitab menyediakan dasar bagi perilaku kristiani di tengah situasi-situasi yang menekan atau yang jahat, Alkitab juga menahbiskan struktur-struktur yang harus menjadi cermin bagi rancangan-rancangan penciptaan yang baik. Usaha memahami isi Alkitab dengan lebih gamblang, dengan cara menyelidiki situasi budaya abad pertama, tidak sama dengan usaha menafsir Perjanjian Baru seolah-olah itu hanya gema budaya abad pertama. Menyamakan kedua usaha tersebut sama dengan mengalami kegagalan dalam usaha menerangkan pertentangan yang serius, yang dialami oleh gereja waktu itu dalam menghadapi dunia abad pertama. Orang-orang Kristen waktu itu tidak dilemparkan ke dalam kandang singa kalau mereka cenderung menjadi konformis. Cara-cara halus untuk merelatifkan teks ialah dengan memasukkan pertimbangan-pertimbangan kultural kita sendiri ke dalam teks, yang sesungguhnya tidak ada dalam teks itu sendiri. Misalnya, sehubungan dengan persoalan kerudung di Korintus, banyak penafsir Epistola itu menunjukkan bahwa tanda lokal wanita tunasusila di Korintus adalah tidak berkerudung. Karena itu, mereka berpendapat inilah alasannya mengapa Paulus ingin para wanita mengerudungi kepala mereka ialah untuk menghindari penampilan wanita-wanita Kristen yang mirip wanita skandal. Apa yang salah pada spekulasi seperti ini? Problem dasar di sini ialah bahwa pengetahuan kita mengenai orang-orang Korintus dari abad pertama yang dikonstruksikan ulang, telah mengakibatkan kita melengkapi Paulus dengan rasional (dasar penalaran) yang asing bagi Paulus sendiri. Jikalau Paulus hanya menyuruh kaum wanita Korintus berkerudung, tanpa memberikan rasional untuk instruksi seperti itu, kita akan sangat cenderung untuk melengkapinya dengan pengetahuan kita sendiri mengenai budaya. Namun hal ini, Paulus menyediakan sebuah rasional yang didasarkan atas imbauan kepada yang alami, bukan kepada adat tunasusila Korintus. Kita harus berhati-hati agar semangat kita terhadap pengetahuan budaya tidak mengaburkan apa yang sebenarnya dikatakan oleh Alkitab. Meletakkan alasan Paulus yang telah dinyatakannya di bawah kekuasaan penalaran kita yang berperspektif spekulatif, sama dengan memfitnah rasul itu dan mengubah eksegesis menjadi metode eisegesis. Jikalau prinsip-prinsip Alkitab melampaui adat-adat lokal, maka berarti prinsip-prinsip tersebut diambil dari yang alami. Dukungan dari peraturan-peraturan alam menunjukkan peraturan-peraturan Allah yang mengikat janji secara hukum dengan manusia dalam fungsi atau sifatnya sebagai manusia. Hukum-hukum alam tidak dibenarkan hanya kepada manusia Ibrani atau manusia Kristen atau manusia Korintus saja, tetapi berakar dalam tanggung jawab dasar semua manusia terhadap Allah. Menyingkirkan prinsip-prinsip alam dengan memandangnya sebagai adat lokal, sama dengan merelatifkan isi Alkitab dan menghilangkan isi Alkitab yang historis. Inilah cara penafsiran yang termasuk paling buruk. Namun, tepatnya dengan cara inilah banyak ahli telah merelatifkan prinsip-prinsip Alkitab. Di sinilah, kita melihat metode eksistensial beroperasi dengan cara yang paling nyata. Untuk menggambarkan pentingnya peraturan-peraturan alam ciptaan Allah, kita dapat meneliti bagaimana Tuhan Yesus menangani persoalan perceraian. Pada waktu orang-orang Farisi menguji Tuhan Yesus dengan bertanya apakah perceraian dibenarkan oleh hukum untuk alasan apa saja, Tuhan Yesus menjawab dengan cara menunjuk kepada aturan penciptaan mengenai pernikahan, "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia" (Matius 19:4-6). Dengan jalan menyusun kembali situasi kehidupan narasi ini, mudah untuk melihat bahwa ujian dari pihak orang-orang Farisi berkaitan dengan keinginan mendapatkan pendapat Tuhan Yesus mengenai pokok persoalan yang secara tajam memisahkan mazhab-mazhab rabi yang bernama Shammai dan Hillel. Tuhan Yesus tidak berpihak kepada salah satu mazhab sepenuhnya, tetapi mengembalikan persoalannya kepada aturan-aturan alam penciptaan untuk mendapatkan norma-norma pernikahan secara tepat. Sudah barang tentu, Ia mengakui modifikasi Musa terhadap hukum penciptaan, tetapi Ia tidak bersedia untuk melemahkan norma itu lebih lanjut, dengan cara menyerah kepada tekanan orang banyak atau pendapat-pendapat budaya orang-orang yang hidup di zaman-Nya. Kesimpulan yang harus kita tarik ialah bahwa aturan-aturan penciptaan adalah normatif, kecuali jikalau secara eksplisit telah dimodifikasi oleh wahyu Alkitab yang lebih belakangan. Bagaimana kalau setelah kita mempertimbangkan dengan cermat sebuah mandat Alkitab, kita masih saja belum yakin mengenai hakikinya, apakah itu prinsip ataukah itu adat? Jikalau kita dihadapkan kepada pilihan untuk memutuskan yang mana di antara keduanya yang betul, tetapi kita tidak mendapatkan sarana-sarana yang cukup dapat dipakai untuk pertimbangan bagi keputusan yang betul, apa yang harus kita lakukan? Di sini, prinsip Alkitab mengenai kerendahan hati dapat berfaedah. Persoalannya mudah. Mana yang lebih baik, menganggap apa yang kemungkinan adalah adat, sebagai prinsip, sehingga bersalah karena dalam usaha kita untuk mematuhi Allah ternyata tidak sesuai dengan kehendak-Nya; Ataukah lebih baik menganggap apa yang kemungkinan adalah prinsip, hanya sebagai adat saja, sehingga kita bersalah karena menurunkan kadar tuntutan Allah yang transenden (di luar pengertian dan pengalaman manusia biasa) kepada tingkat kebiasaan manusiawi saja? Saya harap jawabannya jelas. Jikalau prinsip kerendahan hati dipisahkan dari garis-garis pedoman lain yang telah disebutkan, sangat mudah disalahartikan sebagai dasar untuk legalisme. Kita tidak berhak mengatur hati nurani orang-orang Kristen padahal Allah sendiri tidak mengaturnya. Prinsip ini tidak dapat juga diterapkan, kalau Alkitab sendiri diam mengenai suatu hal yang sedang ditafsir. Prinsip ini dapat diterapkan di tempat yang jelas ada mandat-mandat Alkitab, tetapi hakikinya saja yang tidak pasti (apakah yang ditafsir itu memang adat, ataukah prinsip?), setelah kita bekerja keras untuk mengatasi kesulitan menafsir, dengan metode eksegesis secara tuntas. Kerja keras seperti ini tidak dapat digantikan hanya dengan berhati-hati secara biasa saja (seperti umumnya dilakukan orang yang tidak memakai metode eksegesis). Sikap pokoknya hati-hati menafsir meskipun tanpa eksegesis, berbahaya. Bahayanya ialah mengaburkan antara yang adat dan yang prinsip. Eksegesis harus dilakukan sejak dari awal penyelidikan Alkitab, bukan kalau sudah jalan lain tidak berhasil. Sikap ini dapat merusak kebenaran penafsiran. Problem persyaratan budaya benar-benar problem. Rintangan-rintangan waktu, tempat, dan bahasa sering menyulitkan komunikasi. Namun, rintangan-rintangan budaya tidak begitu keras sehingga menyebabkan kita bersikap skeptis atau putus asa memahami firman Allah. Untungnya, Alkitab benar-benar menunjukkan kemampuan khusus untuk berbicara kepada kebutuhan-kebutuhan manusia yang terdalam dan untuk mengomunikasikan Injil dengan efektif kepada segala bangsa dari segala waktu, tempat dan adat. Halangan budaya tidak dapat mengosongkan kuasa firman Allah.
Sumber:
Diambil dan disunting dari:
Budaya dan Alkitab (1)
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Alkitab dan budaya adalah seperti dua sisi keping mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Ketika melakukan studi Alkitab, sering kali kita masih sulit untuk membedakan mana yang termasuk prinsip dan mana yang sekadar latar belakang budaya ketika Alkitab ditulis. Salah satu kesalahan terbesar dari Kaum Liberal di dalam menafsirkan Alkitab adalah merelatifkan prinsip-prinsip firman Tuhan untuk dikontekstualisasikan ke dalam konteks budaya sehingga beberapa prinsip menjadi berubah makna, bahkan dianggap tidak relevan lagi di dalam konteks zaman sekarang. Kali ini, saya memilih artikel "Budaya dan Alkitab" (dengan beberapa perubahan dan penyesuaian) yang dituliskan oleh R. C. Sproul dalam bukunya "Mengenali Alkitab". Melalui artikel yang dibagi dalam edisi ini dan edisi berikutnya, saya berharap kita dapat mengerti prinsip-prinsip eksegesis menafsirkan Alkitab dalam relevansinya dengan konteks budaya pada masa Alkitab ditulis dengan konteks budaya pada masa sekarang. Selamat menyimak dan merenungkan artikel ini. Soli Deo Gloria! Pemimpin Redaksi e-Reformed,
Edisi:
edisi 142/Juli 2013
Isi:
Herman Melville, di dalam novelnya yang berjudul "Redburn", mengisahkan seorang pemuda yang naik kapal untuk pertama kalinya. Ketika ia berangkat menuju Inggris, ayahnya memberikan sebuah peta kota Liverpool yang sangat tua. Sesuai pelayaran yang sukar itu, Redburn memasuki kota Liverpool dengan keyakinan bahwa peta ayahnya dapat menunjukkan jalan di kota itu. Namun, peta itu tidak berguna baginya. Terlalu banyak perubahan terjadi sejak peta itu dibuat. Tanda-tanda tua telah hilang, jalan-jalan telah berubah nama dan tempat-tempat tinggal penduduk telah tidak ada lagi. Ada orang-orang yang melihat dalam kisah Redburn itu, protes pribadi Melville terhadap Alkitab kuno yang tidak memadai untuk menunjukkan jalan baginya melewati kehidupan ini. Protes yang sama juga dilakukan oleh banyak orang di masa kini. Kondisi Budaya dan Alkitab Suatu pokok persoalan yang membara dalam dunia Kristen ialah mengenai persoalan pengertian dan tingkatan sampai mana Alkitab dipengaruhi oleh budaya. Apakah Alkitab ditulis hanya untuk orang-orang Kristen abad pertama? Ataukah Alkitab ditulis untuk orang-orang dari segala zaman? Kita boleh cepat menjawab menyetujui pertanyaan yang disebut terakhir, tetapi dapatkah kita mengatakannya tanpa syarat? Adakah bagian-bagian Alkitab yang terikat oleh latar budayanya, dan karena itu dalam penerapannya terbatas pada latar budayanya sendiri? Kecuali, kalau kita teguh berpendapat bahwa Alkitab jatuh dari surga, ditulis oleh pena surgawi dalam bahasa surgawi, atau bahwa Alkitab didiktekan secara langsung dan segera oleh Allah tanpa referensi kepada kebiasaan lokal, gaya atau perspektif tertentu, maka kita akan terpaksa menghadapi kesenjangan budaya. Alkitab memantulkan budaya zamannya. Pertanyaannya kalau begitu, bagaimana Alkitab dapat memiliki otoritas atas kita pada zaman kita? Suatu perdebatan gerejawi pada tahun 60-an menggambarkan problem budaya. Pada tahun 1967, United Presbyterian Church di Amerika memakai suatu pengakuan baru dengan pernyataan berikut ini mengenai Alkitab. "Alkitab, yang diberikan di bawah bimbingan Roh Kudus, betapa pun adalah kata-kata manusia, yang dipengaruhi oleh bahasa, bentuk-bentuk pemikiran, gaya-gaya sastra, tempat-tempat, dan waktu-waktu pada waktu ia ditulis. Kitab-kitab dalam Alkitab memantulkan pandangan-pandangan hidup, sejarah dan kosmos yang beredar waktu itu. Karena itu, gereja berkewajiban mendekati Alkitab dengan pengertian sastra dan sejarah. Pada waktu Allah mengucapkan sabda-Nya dalam situasi budaya yang berbeda-beda, gereja yakin bahwa Ia akan tetap berbicara melalui Alkitab dalam dunia yang selalu sedang berubah dan juga dalam setiap bentuk budaya manusia." Kata-kata "Pengakuan 1967" ini menimbulkan banyak perdebatan selama kurun waktu enam puluhan. Perdebatannya dipusatkan pada apa yang tidak dikatakan, lebih daripada apa yang dikatakan oleh Pengakuan itu. Sayangnya, Pengakuan itu tidak menjelaskan dengan mendetail apa yang dimaksudkan oleh setiap pernyataan. Hasilnya ialah setiap kebebasan menarik implikasi-implikasi dan kesimpulan. Jikalau kita mempertimbangkan pernyataan tersebut hanya melalui apa yang dinyatakan secara eksplisit oleh kata-katanya, maka baik B. B. Warfield yang ortodoks maupun Rudolf Bultmann yang eksistensialis, dapat menyetujuinya. Berapa besar otoritas yang dilihat dalam Alkitab amat bergantung pada bagaimana orang memahami kata "dipengaruhi" dalam pengakuan itu. Pada waktu perdebatannya berlangsung, banyak orang konservatif menyatakan kesedihannya yang sangat kalau memikirkan pendapat bahwa Alkitab "dipengaruhi" dengan cara apa pun oleh kebudayaan kuno. Banyak orang liberal berpendapat bahwa Alkitab tidak saja dipengaruhi oleh kebudayaan, tapi terikat oleh kebudayaan. Sebagai tambahan pada persoalan pengertian dan tingkatan sampai di mana pengaruh budaya pada Alkitab, adalah persoalan pengertian dan tingkatan sampai di mana Alkitab memantulkan pandangan-pandangan hidup, sejarah, dan kosmos zaman kuno. Apakah kata memantulkan berarti bahwa Alkitab mengajarkan pandangan-pandangan hidup, sejarah, dan kosmos yang benar, kuno atau tidak benar? Apakah perspektif budaya ini merupakan bagian inti berita Alkitab? Ataukah memantulkan berarti bahwa kita boleh membaca apa yang tersirat di antara kalimat-kalimat Alkitab hal-hal seperti bahasa fenomenal dan melihat latar belakang tempat berita yang melampaui budaya itu diberikan? Bagaimana cara kita menjawab pertanyaan-pertanyaan ini banyak mengungkapkan pandangan kita yang menyeluruh tentang Alkitab. Sekali lagi, hakiki Alkitab memengaruhi penafsiran kita. Pokok persoalannya di sini begini: Sampai di mana relevansi dan wewenang Alkitab dibatasi oleh struktur-struktur dan perspektif-perspektif manusia yang berubah-ubah, dalam teks Alkitab? Seperti yang telah kita lihat, untuk menghasilkan eksegesis teks Alkitab yang akurat dan untuk memahami apa yang dikatakan oleh Alkitab dan apa yang dimaksudkannya, orang yang mempelajari Alkitab harus terlibat dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai bahasa (Ibrani, Aram, Yunani), gaya tulisan, sintaks, konteks sejarah dan geografi, penulis, tujuan, dan bentuk sastra. Analisis seperti ini diperlukan untuk menafsir buah sastra mana saja, bahkan sastra masa kini sekalipun. Ringkasnya, semakin saya memahami budaya Palestina abad pertama, semakin mudah saya mendapat pemahaman yang akurat mengenai apa yang dikatakan. Namun, Alkitab ditulis lama berselang, dalam suatu latar budaya yang lain sekali dari budaya kita sendiri, dan tidak selalu mudah menjembatani kesenjangan waktu antara abad pertama dan abad ke-20. Pengaruh Budaya dan Pembaca Problemnya menjadi lebih berat kalau saya menyadari bahwa tidak saja Alkitab dipengaruhi oleh latar budayanya, tetapi bahwa kita juga dipengaruhi oleh latar budaya kita sendiri. Sering kali menjadi lebih sulit bagi saya untuk membaca dan memahami apa yang dikatakan oleh Alkitab karena saya memasukkan ke dalamnya banyak sekali anggapan yang di luar Alkitab. Inilah mungkin problema pengaruh budaya yang terbesar yang kita hadapi. Setiap dari kita telah menjadi produk zaman. Jika seandainya saya tahu ada ide-ide saya yang tidak cocok dengan Alkitab, saya akan mencoba mengubahnya. Namun, memisah-misahkan pandangan-pandangan saya sendiri tidak selalu mudah. Kita semua cenderung untuk membuat kesalahan yang sama itu berulang kali. Kelemahan kita disebut kelemahan karena kita tidak menyadarinya. Saya yakin bahwa pengaruh tatanan pikiran sekuler abad ke-20 merupakan halangan yang lebih hebat kepada penafsiran Alkitab yang akurat daripada problem pengaruh budaya kuno. Inilah salah satu alasan dasar mengapa tokoh-tokoh Reformed mendekati eksegesis melalui teladan tabula rasa. Penafsir diharuskan berusaha sekeras-kerasnya untuk membaca teks secara objektif melalui metode gramatis historis. Meskipun pengaruh-pengaruh subjektif selalu menunjukkan bahaya pembengkokan yang jelas di zaman ini, orang yang mempelajari Alkitab diharapkan untuk memakai setiap penjagaan yang memungkinkan dalam usaha mengejar yang ideal, yaitu mendengarkan berita Alkitab tanpa mencampurnya dengan prasangkanya sendiri. Pada tahun-tahun akhir ini, metode-metode baru penafsiran Alkitab telah berlomba-lomba untuk diterima. Salah satu metode yang paling penting di antaranya ialah metode eksistensial. Metode eksistensial telah berpaling dengan drastis dari metode klasik melalui hermeneutika yang baru. Misalnya, Bultmann tidak hanya berpendapat bahwa metode tabula rasa tidak mungkin dicapai, melainkan juga menandaskan bahwa itu tidak dikehendaki. Menurut Bultmann, Alkitab perlu dimodernisasikan supaya dapat menjadi relevan bagi kita. Sebabnya ialah karena menurut dia, Alkitab ditulis dalam zaman prasains dan merupakan hasil pengaruh situasi kehidupan masyarakat Kristen mula-mula yang bertumbuh. Bultmann mengimbau diperlukannya "pemahaman sebelumnya", bahkan sebelum kita membaca teks Alkitab itu. Jikalau manusia modern ingin mendapatkan jawaban-jawaban yang absah terhadap pertanyaan-pertanyaannya, dari Alkitab, pertama kali yang harus ia lakukan ialah datang kepada Alkitab itu dengan pertanyaan-pertanyaan tepat. Namun, pengertian seperti itu tidak boleh didapat dari Alkitab, melainkan harus diformulasikan dahulu sebelum membuka Alkitab. Di sinilah, tatanan pikiran abad ke-20 terang-terangan memengaruhi dan mengikat teks-teks abad pertama, berita abad pertama ditelan dan diserap oleh mentalitas abad ke-20. Bahkan, seandainya para penafsir Alkitab dapat menyetujui metode eksegesis dan bahkan dapat menyetujui hasil eksegesis itu sendiri, bahwa Alkitab diinspirasikan oleh Allah dan tidak semata-mata merupakan produk penulis-penulis zaman prasains, kita masih dihadapkan kepada persoalan penerapan, relevansi, dan kewajiban yang dibebankan oleh teks itu. Apakah yang diperintahkan Alkitab supaya dilakukan oleh orang-orang Kristen abad pertama berlaku untuk diterapkan kepada kita? Dalam pengertian yang bagaimana Alkitab berhubungan dengan hati nurani kita sekarang ini? Prinsip dan Adat Dalam banyak kalangan di masa kini, persoalannya ialah prinsip dan adat. Kecuali, kalau kita menyimpulkan bahwa semua isi Alkitab itu prinsip sehingga mengikat semua orang di segala zaman, atau kalau kita berpendapat bahwa seluruh Alkitab adalah adat lokal tanpa relevansi di luar konteks historisnya yang langsung, maka kita dipaksa untuk menetapkan sejumlah kategori dan garis pedoman untuk mengetahui perbedaan antara kedua pendapat itu. Untuk menggambarkan problemnya, marilah kita lihat apa yang terjadi waktu kita memercayai bahwa setiap halaman dalam Alkitab adalah prinsip dan tidak ada yang semata-mata hanya pantulan adat lokal. Jika demikian halnya, maka sejumlah perubahan radikal harus dilaksanakan dalam penginjilan jikalau kita ingin mematuhi Alkitab. Tuhan Yesus berkata, "Janganlah membawa pundi-pundi atau bekal atau kasut, dan janganlah memberi salam kepada siapa pun selama dalam perjalanan" (Lukas 10:4). Jika kita membuat teks ini suatu prinsip transkultural, maka sudah sewaktunya Billy Graham mulai berkhotbah tanpa sepatu! Jelas, maksud teks ini tidak menetapkan persyaratan abadi mengenai penginjilan tanpa sepatu. Namun hal-hal lain yang tidak begitu nyata, misalnya orang-orang Kristen masih belum bersepakat mengenai ritus mencuci kaki, apakah ini merupakan mandat abadi bagi gereja di segala abad, atau hanya adat lokal yang menggambarkan prinsip kerendahan hati seorang pelayan? Apakah prinsipnya tetap dan adatnya hilang dalam budaya memakai sepatu? Ataukah adatnya tetap bersama dengan prinsipnya, tidak peduli adat memakai sepatu atau tidak?
Sumber:
Diambil dan disunting dari:
Membesarkan Anak dalam Tuhan
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Setelah ujian sekolah berakhir, maka hasil belajar anak-anak akan dievaluasi melalui nilai rapor. Namun apakah yang dinamakan pendidikan hanya sebatas nilai rapor saja? Tentu tidak! Betapa sempitnya pandangan kita jika pendidikan anak hanya berfokus pada nilai dan prestasi tinggi yang dicapai di sekolah. Nilai dan prestasi bagus di sekolah tidak menjamin apakah seorang anak telah dididik dan dibesarkan dengan benar. Lalu apa yang dimaksud dengan pendidikan? Bagaimana mengukur keberhasilan pendidikan? Saya sengaja memilih artikel di bawah ini karena saya berharap, para Pembaca, terutama orang tua, para guru, serta para pembimbing rohani mampu mengevaluasi diri apakah selama ini telah mendidik anak-anak kita dengan benar atau belum. Pergumulan di dalam membesarkan anak tentunya berbeda seiring dengan perkembangan zaman. Orang-orang kuno seringkali mendidik anaknya dengan keras bahkan tidak segan-segan menggunakan rotan untuk menghajar anaknya. Namun, pada zaman postmodern ini, tentunya kita tidak dapat lagi menerapkan kekerasan fisik dalam membesarkan anak. Meskipun cara mendidik anak dapat berubah sesuai zaman, tetapi kita harus berpegang pada sebuah prinsip pendidikan yang tidak akan berubah sepanjang zaman: yaitu anak harus dibesarkan dalam Tuhan. Semoga artikel yang saya kirimkan ini dapat membantu kita untuk mengerti prinsip-prinsip membesarkan anak dalam Tuhan dan kita semakin mampu menerapkan kasih, kelemahlembutan, keadilan, dan kebijaksanaan dalam mendidik anak-anak kita. Selamat membaca dan merenungkan. Soli Deo Gloria! Pemimpin Redaksi e-Reformed,Teddy Wirawan < teddy(at)in-christ.net > < http://reformed.sabda.org >
Edisi:
Edisi 141/Juni 2013
Isi:
Membesarkan Anak dalam TuhanMendidik anak bukanlah memikirkan tentang bagaimana melakukan kehendak diri sendiri, melainkan memikirkan apa yang terbaik untuk mereka. Saya kira dalam hal ini banyak para ibu yang gagal. Seorang ibu yang cerewet tidak habis-habis adalah seorang yang setelah cerewet, tidak melakukan apa-apa. Akan tetapi, seorang ayah lebih banyak diam, dan hanya pada saat tertentu di kala perlu, akan memukul anaknya dengan keras. Jadi, makin banyak ibu berbicara, seorang anak akan makin merasa itu sebagai hal biasa yang tak ada pengaruhnya. Makin cerewet, makin tak didengar. Namun, seorang ayah yang memukul, sampai-sampai anak tidak tahu mengapa ia dipukul, juga tidak melakukan hal yang mendidik. Kita melihat begitu banyak ibu yang merasa dirinya sudah mendidik anak, padahal apa yang dikiranya mendidik, isinya hanya membereskan kesumpekan diri sendiri. Seorang ibu yang mengeluh tentang anak tidak berarti bahwa ia mendidik anak. Yang menjadi ibu, mulai hari ini berhentilah dari kecerewetan Anda dan mulai memikirkan tentang apa yang Anda katakan di hadapan anak-anak Anda: Apakah itu mendidik atau mengeluh? Jika seorang ibu hanya mau membereskan kesulitan sendiri, ia belum mempunyai kekuatan mendidik anak, pendidikan orang tua mulai berfungsi jika segala perkataan Anda didasarkan dari hati yang memikirkan segala yang terbaik untuk anak. Jangan lupa, waktu Anda mengomel, waktu Anda mengatakan kalimat yang begitu banyak, tetapi sebenarnya tidak begitu perlu, ingatlah bahwa hal itu malah akan menjengkelkan anak-anak Anda. Akan tetapi, kalimat-kalimat yang penting, katakanlah, katakan dan laksanakan, itu akan membuat anak-anak mau mendengarkan perkataan Anda. Bagaimana anak-anak mendengarkan orang tua, jika orang tua tidak memikirkan yang terbaik untuk anak-anaknya? Hendaklah kita seumur hidup berkeputusan untuk hanya mengatakan hal-hal yang berguna. Itu menjadikan diri berbobot, dan tidak akan dianggap sembarangan oleh orang lain. Dengan menjadi orang berbobot, kehadiran Anda akan lebih dihormati anak-anak Anda. Suatu hari, sehabis pergi mengabarkan Injil, ibu saya pulang dan menemukan kami sedang berkelahi. Ia lalu menanyakan sebab musababnya, tetapi tak ada seorang pun yang mau mengaku. Ia memerintahkan kami berdoa sama-sama, tetapi kami menolak. Tak ada satu pun yang mematuhinya. Ibu lalu pergi ke kamarnya, berhadapan dengan lemari kaca, lalu beliau memukul kaca dengan tangannya dan darah mulai bercucuran. Kami tak tahan lagi, lalu menangis dan berlutut untuk berdoa. Ibu berkata, "Hari ini kamu semua menghina saya. Saya merasa tidak bisa mendidik anak, maka saya pecahkan kaca. Kalau kalian tidak mau taat kepada saya, hal itu tidak mengapa. Tetapi kalau kalian tidak mau taat kepada Tuhan, mau jadi apa?" Akhirnya kami empat saudara yang berkelahi semua berlutut, menangis, dan berdoa minta pengampunan Tuhan. Mendidik anak bukan hanya teori, bukan hanya suatu kepintaran atau kefasihan lidah, tetapi mendidik anak adalah menerjunkan diri, mengorbankan diri, sampai suara hati kita bisa menembusi awan gelap, masuk ke dalam hati anak sampai mereka menyadari arti pendidikan. Berpikirlah untuk kepentingan mereka, bukan hanya mau membereskan kesulitan sendiri. Pendidikan berarti: berhenti dari memikirkan kesulitan-kesulitan sendiri dan mulai memikirkan apa yang bisa diterima dan dirasakan oleh anak kita. Menetapkan Sasaran Pendidikan Pendidikan tanpa sasaran akan menghamburkan tenaga, waktu dan lain sebagainya, sama seperti orang naik mobil kelebihan bensin, berputar-putar tak tahu mau ke mana. Apa tujuan kita mendidik anak? Saya kira orang yang paling malang, adalah orang-orang yang mempunyai ayah ibu yang hanya bisa melahirkan anak, tapi tidak tahu bagaimana mengarahkan hidup anaknya. Pada bulan Februari tahun 1974, saya berkhotbah di Vietnam; di tengah perjalanan ke Dalat, ada seorang menceritakan kepada saya tentang tentara-tentara Amerika yang meniduri wanita Vietnam, lalu melahirkan anak-anak yang cantik. Ada orang-orang tertentu yang mau mengambil anak-anak tanpa ayah itu. Tindakan yang mereka lakukan kelihatannya penuh kasih, tapi sebenarnya tidak. Mereka mengambil anak-anak cantik tersebut, agar dididik dan dibesarkan untuk menjadi pelacur dan menghasilkan banyak uang. Saya tidak tahu mengapa orang yang memiliki hati yang sedemikian dapat disebut sebagai manusia. Jikalau Allah sudah memberikan anak-anak ke dalam tangan kita, tapi kita tidak memiliki tujuan untuk hari depan mereka, maka kita bukanlah orang tua yang baik; kita tidak menjadi wakil yang baik dari Tuhan. Bagaimana menetapkan sasaran? Tetapkanlah tujuan-tujuan yang mulia untuk anak-anak, galilah potensi mereka semaksimal mungkin. Jikalau anak-anak Anda memang tidak berpotensi besar, jangan paksa mereka karena sampai tengah jalan mereka bisa jadi gila. Itu sebabnya, dalam menetapkan sasaran untuk anak-anak pun, kita perlu berhati-hati untuk dua hal: Pertama, mempunyai pengertian tentang apa potensi dan karunia Tuhan bagi mereka. Kedua, sampai sejauh mana potensi dan karunia itu punya kemungkinan untuk digali. Dalam hal ini, kita harus senantiasa bertanggung jawab dalam mengoreksi dan memonitor; mendidik anak bukanlah hal gampang. Set up a goal for your children (Tetapkan sebuah tujuan bagi anak Anda). Orang Kristen memiliki satu sasaran penting, yaitu memuliakan Tuhan di dalam pikiran, percakapan, hidup sehari-hari, dalam pekerjaan dan dalam semua segi kehidupan. Konsep teologi Reformed ini, paling sedikit dapat kita taruh dalam hidup anak-anak, agar di mana pun mereka berada, Allah dipermuliakan. Setelah menggali, menggarap, mengembangkan potensi dan karunia anak, kita tidak perlu menjadi minder. Ada kesaksian tentang seorang yang rela bekerja melayani Tuhan. Akhirnya pada suatu hari, bukan saja ia tidak sempat melayani Tuhan, bahkan kedua kakinya rusak dan harus diamputasi. Pada waktu kedua kakinya dipotong habis, ia menangis. Ia berkata, "Tuhan saya tidak berguna lagi. Saya perempuan, kedua kaki saya dipotong, hidup saya tidak ada arti lagi." Seorang pendeta datang kepadanya, waktu ia sedang menangis. Pendeta itu berkata, "Engkau sudah kehilangan dua kaki, tetapi masih punya dua tangan, kenapa tidak kau persembahkan dua tanganmu untuk Tuhan?" Kalimat itu dipakai oleh Roh Kudus dan memberi satu sinar cerah bagi hatinya. Ia sadar lalu berkata dalam hatinya, "Ya, Tuhan sekarang saya sudah kehilangan kaki, kaki saya tidak dapat dipergunakan lagi, tapi saya masih memiliki dua tangan, sekarang saya mau persembahkan tangan saya untuk mengerjakan pekerjaan Tuhan." Mulai hari itu, ia mulai menulis surat mengabarkan Injil, kalau ada orang yang tergerak, dimintanya dalam surat itu untuk memberikannya kepada orang lain. Demikian cara dia mengabarkan Injil. Pada waktu ia mati, ia sudah mengabarkan Injil kepada sebelas ribu orang, melalui koresponden. Dalam lacinya, ditemukan catatan-catatan tentang orang-orang lain yang bertobat melalui pemberitaannya, jumlahnya ada 680 jiwa. Hal ini diceritakan Dr. Bob Pierce pada saya, di Switzerland tahun 1969 (Dokter Bob Pierce adalah pendiri World Vision). Carilah potensi yang ada pada Anda dan pada anak-anak Anda. Kadang-kadang apa yang Anda inginkan terjadi pada anak Anda, berbeda dengan apa yang Tuhan inginkan, jangan paksakan keinginan Anda. Galilah kemungkinan yang terdapat pada anak Anda, sehingga boleh mengembangkan potensi yang Tuhan sudah tanamkan dalam dirinya, hingga dia berguna menurut kehendak Tuhan, bukan kehendak Anda sendiri. Kesehatian Orang Tua Seorang ayah yang mempunyai cara pendidikan yang berbeda dengan ibu, akan menimbulkan konflik, yang kemudian berkembang menjadi self defeating power atau kekuatan yang saling melemahkan. Akibat dari hal ini yaitu anak tidak hormat dan segan pada kedua orang tuanya. Kalau anak itu melihat ada dualisme dalam didikan ayah dan ibu, ia akan mencari sesuatu untuk bisa diperalat; Ini berbahaya sekali. Anak yang sedang bertumbuh menjadi besar dan mulai menilai akan segera melihat adanya dualisme, dan dengan demikian orang tua akan melemahkan pendidikan terhadap anak sendiri. Perselisihan karena cara mendidik anak yang berbeda dapat menimbulkan perpecahan dan konflik antara kedua orang tua, itulah sebabnya saling menyesuaikan diri, merupakan hal yang penting sekali. Walaupun masih ada banyak perbedaan konsep dalam mendidik anak, tetapi sebagai orang tua, kita harus memiliki kesehatian. Satu kali ada seorang anak kecil memecahkan sebuah kaca yang besar. Waktu ibunya pulang, ia marah sekali dan bertanya, "Siapa yang memecahkan kaca ini?", lalu anaknya menjawab, "Saya." Ibunya berkata, "Nanti saya kasih tahu ayahmu, baru tahu berapa hebat ayahmu!" Anaknya jawab, "Ayah sudah tahu, ia bilang: Nanti saya kasih tahu ibumu, biar kamu tahu berapa hebat ibumu!" Ayah memakai ibu untuk menggertak anak, ibu memakai ayah untuk mengancam anak. Anak melihat kedua orang tuanya tidak hebat. Ini suatu contoh yang kecil, tetapi selalu terjadi. Ketidaksepakatan merupakan kelemahan dalam pendidikan anak. Seorang ayah jangan sekali-kali memakai anak untuk melawan ibu, atau seorang ibu memakai anak memihak dirinya melawan ayah, itu adalah kebodohan besar. Orang tua juga harus mengerti bahwa di antara Diri Allah Tritunggal, ada suatu kerja sama di antara ketiga Oknum, menjadi contoh dari segala komunitas. Kerja sama dalam diri Allah Tritunggal, menjadi basis atau dasar semua komunitas dalam dunia. Satu dasar dalam hubungan komunikasi yang rukun. Allah Bapa, Allah Anak, Allah Roh Kudus begitu rukun. Allah Tritunggal menjadi dasar bagi para wakil Tuhan; baik ibu ataupun bapak untuk belajar bagaimana rukun dan sehati. Kasih dan Keadilan Jika ada anak kita yang tak bisa diperlakukan dengan keras, jangan perlakukan dia dengan keras, tetapi anak yang tak bisa dididik dengan kelembutan, jangan terus diperlakukan lembut. Perlu suatu kebijaksanaan untuk mengatur kedua hal ini. Di atas salib terdapat suatu bijaksana yang paling sempurna dan mendalam. Di kayu salib kita melihat, bagaimana Tuhan tidak menyayangi dosa, bahkan Anak-Nya yang Tunggal harus disalibkan; tetapi justru di atas kayu salib ada kelembutan paling besar, sehingga perampok yang berdosa besar pun bisa diampuni. Inilah kekristenan. Di atas kayu salib kita melihat kelembutan yang paling besar dan keadilan yang paling keras. Keadilan yang tidak mau menerima dosa siapa pun dan pengampunan yang bisa mengampuni orang yang paling berdosa. Allah menyelamatkan kita melalui salib, Allah mendidik kita dengan salib. Allah bukan mengutus profesor-profesor teologi untuk mengajar kita, tetapi dengan mengorbankan Anak-Nya dipaku di atas salib mencurahkan darah. Di atas kayu salib, tertenun keadilan dan cinta kasih Allah. Tanpa cinta kasih ada kekejaman, keganasan, kekerasan; tetapi kasih tanpa keadilan, adalah kompromi dan banjir emosi. Demikian juga di dalam gereja, masyarakat atau keluarga, jika kita tegakkan keadilan tanpa kasih, itu sama dengan kekejaman. Tuhan tidak demikian. Gereja tidak mungkin terbangun, keluarga tidak mungkin berbahagia, suami-istri tidak mungkin memiliki hubungan yang beres, jika kedua prinsip Ilahi ini tidak dikerjakan secara harmonis. Jika kita sebagai orang tua melakukan kekerasan terhadap anak, maka secara rohani mereka akan berontak. Anak-anak tidak dididik dengan baik hanya dengan kekerasan, keadilan, dan dengan menjalankan aturan. Tuhan Allah memberikan dua sifat ini sebagai dasar pendidikan, yaitu keadilan dan kasih. Allah yang Mahakuasa, adalah Allah yang Mahalembut, Allah kita yang Mahaadil, juga adalah Allah yang mengampuni, Allah kita yang penuh dengan bijaksana, rela masuk ke dunia seperti orang bodoh. Di sinilah kita menjumpai suatu paradoks. Kekerasan bertemu dengan kelembutan, keadilan bertemu dengan cinta kasih, pengampunan bertemu dengan keadilan. Waktu kedua hal ini tertenun bersama menjadi satu, di situ ada kuasa pendidikan dan keselamatan. Kalau kita mau mendidik anak kita dengan baik, jadilah orang yang mempunyai sifat keadilan dan kelembutan Tuhan, sehingga anak kita mendapatkan pengertian dan bijaksana tentang bagaimana bisa menggabungkan keadilan dan kelembutan menjadi satu dan inilah bijaksana, dan kalau kedua hal ini menjadi satu, akan menjadi kuasa. Itu sebabnya di kayu salib semua terjadi: kasih, kelembutan, keadilan, bijaksana.
Sumber:
Diambil dan disunting seperlunya dari:
Perspektif Alkitabiah Pelayanan Kaum Awam (2)
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Artikel ini merupakan kelanjutan dari artikel yang kami kirimkan sebelumnya, yang berjudul "Perspektif Alkitabiah Pelayanan Kaum Awam". Jika Anda belum menerima artikel edisi sebelumnya, silakan kontak: Redaksi e-Reformed < reformed@sabda.org >. Selamat menyimak. Staf Redaksi e-Reformed,Teddy Wirawan < http://reformed.sabda.org >
Edisi:
Edisi 140/Mei 2013
Isi:
Intisari Keimamatan Orang Percaya Konsep keimaman orang-orang percaya, yang diambil dari sifat gereja, dapat dengan mudah menjadi slogan teologi Kristen semata-mata, kecuali hakikat konsep tersebut memberikan hakikat yang nyata, praktis, dan berarti. Hakikat keimaman orang-orang percaya yaitu: akses langsung kepada Tuhan, korban atau persembahan rohani, penginjilan, baptisan dan perjamuan kudus, sebagai fungsi mediasi. [21]
Akses langsung kepada Tuhan di Bait Kudus-Nya lewat pengorbanan Kristus. Oleh karena itu, akses langsung terbuka bagi semua orang yang beriman kepada Kristus (Roma 5:2), yang dibaptis dalam Dia (Roma 6:1-11), dan telah menerima Roh Kudus (Efesus 2:18). Lebih lanjut, Ogden menyatakan, "Seluruh orang percaya memiliki akses langsung kepada Tuhan melalui Yesus Kristus ... Kita semua adalah Hamba Tuhan dalam arti kita melayani di hadapan Tuhan. Satu-satunya Imam Besar, Yesus Kristus telah membuka jalan dengan mengorbankan diri-Nya bagi dosa kita, dan Ia duduk di sebelah kanan Allah untuk berdoa syafaat bagi kita terus menerus. Kelas imam tertentu yang mewakili kita kepada Tuhan dan sebaliknya tidak lagi diperlukan. Kita semua adalah imam, dalam arti kita mewakili diri kita sendiri di hadapan Tuhan melalui Sang Pengantara, Yesus Kristus." [22] Jelas sekali dalam Perjanjian Baru, hamba-hamba Tuhan dari golongan orang percaya diperingatkan untuk mempersembahkan korban kepada Tuhan melalui Yesus Kristus (Roma 12:1). Nelson menyatakan bahwa korban-korban rohani terdiri dari sikap etis, perbuatan baik (1 Petrus 2:15; 3:1-2, 4:9), dan ketaatan yang membutuhkan penyangkalan diri (1 Petrus 2:13-14,18; 3:1, 5:6; 5:5-6). [23] Korban-korban Rohani menurut Kung, yaitu doa, pujian dan ucapan syukur, buah-buah pertobatan, iman, dan kasih. Pada dasarnya, korban-korban umat Kristen, bukanlah suatu tambahan korban penebusan karena korban-Nya sempurna. Korban-korban tersebut merupakan respons umat terhadap karya penebusan, respons pujian dan ucapan syukur, respons iman pengaduan pribadi, dan pelayanan kasih dalam Dia. Seluruh orang percaya memiliki tugas keimaman yang sama untuk memberitakan Injil. Tugas tersebut berkaitan erat dengan panggilan Tuhan untuk mewakili Dia di dunia, sebagai umat tebusan melalui iman dan Juru Selamat Yesus Kristus, dengan kata lain, Tuhan telah memanggil keluar bangsa yang kudus untuk mengemban amanat-Nya di dunia, yaitu menyelesaikan pelayanan perdamaian (2 Korintus 5:19; Yohanes 3:16, 17:18). Pemberitaan Injil merupakan pengorbanan tertentu bagi keimaman yang dilatih oleh gereja. Jadi, seluruh orang percaya akan menjadi "Pemenang-pemenang jiwa", karena "penginjilan adalah tugas umat Kristen yang berlaku bagi setiap anggota tubuh Kristus". [24] Dua hal yang paling penting menyangkut penginjilan yang efektif bagi umat Kristen yaitu baptisan dan perjamuan kudus. Kedua hal itu harus dilakukan, karena setiap umat Kristen diberikan kuasa untuk membaptis (Matius 28:19); dan "tiap-tiap umat Kristen pada dasarnya diberikan kuasa untuk berperan aktif dalam perjamuan eskatologis di akhir zaman, pengucapan syukur, dan persekutuan" (Lukas 22:19). [25] Sesuai konteks Perjanjian Lama, pelayanan keimaman bangsa Israel adalah menjadi mediator Tuhan di dunia dan sebaliknya "bangsa ini, kaum umat milik Allah, dipanggil, diangkat, dan ditugaskan untuk menggenapi pelayanan sebagai perantara. Sama halnya dalam Perjanjian Lama, pelayanan keimaman bagi gereja dimulai dari penyembahan komunitas, terutama dalam perjamuan kudus, lalu berkembang keluar ke dunia. Di atas segalanya, pelayanan diberikan kepada tiap-tiap individu dalam komunitas orang percaya dan kepada orang lain di dunia. Di atas segalanya, pelayanan diberikan kepada tiap-tiap individu dalam komunitas orang percaya, dan kepada orang lain di dunia pada waktu yang sama. Penting bagi pelayanan, "keimaman orang percaya bukan hanya sekadar hubungan pribadi dengan Tuhan ... Ibadah berkembang dari penyembahan komunitas orang percaya menjadi penyembahan sehari-hari dalam dunia sekuler". [26] Berkaitan erat dengan pelayanan keimaman dalam komunitas orang percaya dalam dunia, doktrin keimaman seluruh orang percaya dengan jelas menunjukkan bahwa, tiap-tiap orang percaya dipanggil oleh Tuhan bagi misi dan pelayanan. Kung setuju bahwa keimaman seluruh orang percaya, memperlihatkan panggilan mereka yang setia untuk bersaksi tentang Tuhan dan kehendak-Nya di hadapan dunia, dan untuk menawarkan pelayanan kehidupan mereka sehari-hari. Dalam hal ini, kaum awam menerima tanggung jawab utama bagi pelayanan Tuhan di dunia. Doktrin tersebut menyatakan dengan tegas bahwa agen-agen utama dalam pelayanan perdamaian dunia adalah kaum awam. Mereka akan mempersembahkan diri mereka sebagai korban pelayanan bagi dunia, di mana Kristus telah mati. Kaum awam adalah umat Allah yang telah menerima keselamatan sebagai hadiah untuk dinikmati, dan tugas untuk ditampilkan. Hal itu merupakan makna panggilan Ilahi guna menjalani hidup dalam karya keselamatan Allah. Seperti yang terlihat dalam panggilan Tuhan sebagai berikut, "Umat Allah membawa kekudusan ke dalam dunia sekuler ..., lewat ketaatan kepada Tuhan yang memiliki dunia. Sifat dan ruang lingkup panggilan tersebut merupakan tugas seluruh orang percaya, setiap anggota awam berada di bawah panggilan Allah, dan bertanggung jawab untuk merespons kepada-Nya. ... Panggilan adalah karunia dan tugas dari seluruh umat Allah, dilakukan dan dinikmati di dalam sudut pandang konkret dunia, di mana individu itu hidup." [27] Jadi, teologi keimamatan orang percaya sangat jelas, dan bukanlah hanya slogan teologis yang kosong. Ini membentuk suatu realitas konkret yang sangat kaya. Strausch secara empati menegaskan kebenaran dari Allah, bahwa semua orang Kristen berdasarkan Perjanjian Baru telah diteguhkan oleh darah Kristus. Sebagai hasilnya, semua adalah sama sebagai imam. Semua dibersihkan oleh darah Yesus Kristus. Semua didiami oleh Roh Kudus. Jadi, semua diidentifikasi sebagai anggota tubuh Kristus; sebagai pelayan satu dengan lainnya. Implikasi Bagi Pelayanan Gereja Pada dasarnya, umat Allah memasukkan komunitas Kristen secara keseluruhan adalah kerajaan imam. Jadi, seluruh orang percaya diidentifikasi sebagai imam-imam. Berdasarkan hal ini, Richard menantang orang Kristen untuk berkomitmen penuh pada ajaran Alkitab, bahwa setiap orang Kristen adalah "orang percaya-imam". [28] Implikasinya adalah semua orang percaya melayani, bukan hanya rasul-rasul atau para pemimpin utama. Perjanjian Baru mengenali bahwa beberapa orang Kristen dipanggil secara khusus untuk melayani gereja di dalam dunia ini. Tetapi semuanya dipanggil untuk Kristus di dalam dunia ini. Sejalan dengan fungsi keimamatan semua orang percaya, pelayanan bersama membutuhkan gaya kepemimpinan untuk kaum awam. Pelayanan bersama dalam keselarasan seperti yang dicontohkan dalam Efesus 4:11-13. Rasul Paulus berkata bahwa beberapa orang percaya dipanggil; untuk menjadi rasul, nabi, gembala-pengajar, dan pengkhotbah untuk membangun peranan bahwa semua orang percaya dimampukan dalam fungsi pelayanan. Ogden mencatat bahwa pembangunan adalah pendekatan fundamental untuk melatih melayani oleh Gembala. Peran pembangunan pria dan wanita untuk melayani adalah sesuatu yang selayaknya dalam hubungan umat Allah, namun peran ini mengimplikasikan perbedaan fungsional (bukan kualitas) antara awam dan imam. Untuk menekankan signifikansi konsep pembangunan, Ogden memberikan suatu studi istilah Yunaninya secara menyeluruh, Artios -- akar yang lebih baik "dikenal" (Efesus 4:12) dapat diterjemahkan sebagai "predicate adjective" yang diartikan "dialah sempurna". Kata Artios mengandung sasaran-sasaran pembangunan untuk murid secara individual maupun keseluruhan tubuh Kristus. Hal ini mencakup antara pengertian lengkap, penuh, berorasi secara, menemukan, mengisi situasi yang khusus, layak. "Katartimos -- participle" yang digunakan hanya dalam Efesus 4:12 dan dapat diterjemahkan "mempersiapkan" atau "memperlengkapi". [29] Stedman menyatakan bahwa pekerjaan tertinggi gereja bukanlah menghasilkan satu kelompok imam atau awam yang hebat, yang dilatih secara spesifik dan profesional. Namun seharusnya dilakukan oleh seluruh orang percaya (Efesus 4:11-14). Untuk alasan ini Allah memilih beberapa orang menjadi rasul, nabi, penginjil, guru, dan gembala untuk membangun umat-Nya melakukan tugas pelayanan dan membangun komunitas Kristen, Tubuh Kristus. [30] Sasaran terakhir pembangunan adalah kedewasaan setiap anggota gereja dan gereja secara keseluruhan. Kedewasaan adalah konsep induk dari kehidupan Kristen. Pesan Efesus di atas mendefinisikan kedewasaan sebagai "kerendahan relasional" daripada realisasi diri sendiri, "sebagai kepastian doktrinal daripada kemandirian" [31] "sebagai pemimpin-pemimpin membangun umat Allah untuk melayani satu dengan lainnya, tubuh Kristus bertumbuh dan dewasa adalah refleksi pada diri Kristus sendiri. [32] Tulisan ini pernah dimuat dalam STULOS Theological Journal 5, Bandung Theological Seminary, November 1997, Hal. 97-117 Catatan kaki:
22. The New Reformstion, 11 23. Nelson, Raising Up, 475 24. A Cole, The Body of Christ: A New Testament Image of the Church (London: Holdder Staughton, 1964), 41 25. Kung, the Church, 485 26. Ibid, 486, 487 27. Bucy, The New Laity, 16 28. Lawrwnce O. Richard A Theology of Christian Education (Grands Rapids: Zondervan, 1975), 131 29. Ogden, The New Reformation, 98, 99 30. R. Stedman, Body Life (Glandale: REgal, 1972), 88 31. Stevens, Liberating the Laity, hlm 32 32. G.C. Newton, "The Motivation of the Saints and the Interpersonal Competencies of Their Leaders", dalam Christian Educational Journal, 10/3 (1989), 9-15
Sumber:
Diambil dari:
Perspektif Alkitabiah Pelayanan Kaum Awam (1)
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Pelayanan adalah sebuah anugerah yang Tuhan percayakan kepada kita. Meskipun kita tidak layak, tetapi Tuhan melayakkan kita untuk ikut ambil bagian dalam pekerjaan-Nya. Pada bulan ini, kami akan kirimkan satu artikel (2 bagian) yang membahas perspektif alkitabiah tentang pelayanan kaum awam. Banyak orang yang masih membagi umat Allah dalam dua bagian, yaitu para rohaniwan dan para kaum awam. Para rohaniwan yang dianggap layak untuk mengerjakan tugas-tugas pelayanan, sedangkan orang awam hanyalah kaum biasa-biasa saja yang pasif. Tentunya dikotomi ini tidak alkitabiah dan dapat merusak fungsi umat Allah yang sesungguhnya. Artikel pada edisi 2 ini membahas tentang konsep kata "awam" dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dan konsep keimaman seluruh orang percaya yang berasal dari sifat-sifat gereja sendiri. Kiranya artikel ini dapat meluruskan pandangan-pandangan yang salah tentang konsep pelayanan kaum awam dan dapat menggerakkan setiap pembaca untuk semakin giat dalam melayani Tuhan. Soli Deo Gloria! Selamat menyimak. Staf Redaksi e-Reformed,Teddy Wirawan < http://reformed.sabda.org >
Edisi:
Edisi 139/April 2013
Isi:
Isu mengenai pelayanan kaum awam telah menjadi suatu topik populer dalam banyak artikel dan buku-buku, serta disampaikan dalam banyak khotbah. [1] Selain itu, Strauch [2] menyatakan bahwa masalah tentang pembaruan kaum awam telah menjadi suatu bahan diskusi yang meluas. Selain populer, teologi kaum awam banyak disalah mengerti. Bahkan istilah "awam" seringkali ditafsirkan secara salah. Kaum awam kerap dianggap setara dengan golongan "nonprofesional", ketika ditinjau dari keahlian atau kemampuan khusus tiap individu. Dalam organisasi-organisasi keagamaan, orang awam dianggap sebagai "kaum percaya biasa" yang berbeda dari "pengerja" penuh waktu atau hamba Tuhan. [3] Dampak konsep tersebut adalah pembagian umat Allah ke dalam dua tingkatan, yaitu struktur pengerja penuh, yang menampilkan fungsi-fungsi religius masyarakat, dan sejumlah besar kaum awam yang tidak berkualifikasi. [4] Pembagian itu merupakan hasil tiruan pola kepemimpinan "Graeco-Roman", yang membagi administrasi kota menjadi dua bagian yaitu: "para pegawai", yang memimpin dan "kaum awam", warga yang polos serta tidak berpendidikan. [5] Jika pola tersebut diterapkan pada pelayanan di gereja, maka dapat menyebabkan perpecahan yang menghancurkan, menghilangkan partisipasi penuh umat Kristiani dalam pelayanan, serta mencegah pertumbuhan atau kedewasaan Rohani. Konsep Awam dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru Dalam rangka mencegah dikotomi dan mengembangkan suara teologia awam, istilah "awam" harus dijelaskan dengan menggunakan sudut pandang alkitabiah. Istilah tersebut diambil dari kata sifat bahasa Latin "laicus", yang sama dengan kata sifat bahasa Yunani "laikos", yang berarti "milik masyarakat". Kata bendanya adalah "laos", yang mengekspresikan konsep yang signifikan, [6] karena muncul 2000 kali dalam Septuaginta dan ditambah 140 kali dalam Perjanjian Baru. [7] Dalam Perjanjian Lama (Keluaran 19:4-7; Ulangan 4; Ulangan 7:6-12), "laos" biasanya mengacu kepada bangsa Israel. Kata tersebut mengandung "nilai khusus bagi masyarakat, karena keaslian dan tujuannya dalam kasih karunia yang Tuhan tentukan. Bangsa Israel menganggap diri mereka sebagai 'laos theou' (umat pilihan Allah)". [8] Secara teologis, hal tersebut menunjukkan bahwa Bangsa Israel adalah suatu bangsa yang terpisah dari bangsa-bangsa lain di dunia, yang disebabkan oleh pilihan Tuhan atas mereka sebagai milik-Nya (Ulangan 7:6). Mereka memperoleh status istimewa sebagai "umat Allah". Meskipun demikian, umat Allah tidak hanya menerima status istimewa, tetapi juga pelayanan istimewa. Bucy menjelaskan lebih lanjut, "seluruh kaum awam merupakan 'milik Tuhan', dipilih bukan sekadar memperoleh hak-hak istimewa, tapi untuk pelayanan istimewa. Perhatikan juga bahwa sifat pelayanan tersebut, dijabarkan dalam hubungan langsung dengan hak Tuhan atas 'seluruh bumi'. Bangsa Israel terpanggil dari antara 'segala bangsa', untuk melayani sebagai suatu 'kerajaan imam dan segala bangsa yang kudus', mewakili kerajaan-kerajaan dan bangsa-bangsa di dunia". [9] Singkat kata, umat Allah atau kaum awam, dipanggil untuk memenuhi misi penebusan Allah bagi perdamaian dunia. [10] Umat Allah dalam Perjanjian Lama hanya mengacu pada Bangsa Israel. Dalam Perjanjian Baru, umat Allah mengacu kepada bangsa Israel dan bangsa-bangsa lain. Mengenai hal tersebut, Kraemer menegaskan bahwa Yahweh ingin bangsa Israel menjadi kudus-Nya, yang merespons sepenuhnya kepemilikan Tuhan yang telah memilih mereka. Hal yang sama berlaku bagi gereja. [11] Gereja disebut sebagai "umat yang terpilih, imamat rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah." (1 Petrus 2:9) Secara khusus, gereja dalam 1 Petrus 2:5 digambarkan sebagai "batu-batu hidup", yang dibangun menjadi sebuah rumah Rohani, dan mereka mempersembahkan korban-korban rohani yang berkenan di hadapan Allah melalui Yesus Kristus. Kedua pasal memperlihatkan bahwa gereja terdiri dari orang-orang percaya yang disebut "suatu keimamatan". Kata Yunani untuk keimaman ialah "hierateuma", yang menunjukkan suatu gagasan komunitas masyarakat yang melayani sebagai "imam". [12] Oleh karena itu, gereja merupakan komunitas imam atau keimaman dari orang-orang percaya, yang hanya mungkin terjadi melalui Yesus Kristus, Imam Besar perjanjian yang baru, yang telah mengorbankan diri-Nya dan menguduskan, serta menyempurnakan orang-orang percaya sekali untuk selamanya (Ibrani 9:15; 10:10,14). Konsekuensinya yaitu seluruh orang percaya boleh mempersembahkan korban secara langsung melalui Kristus. Mengenai hal ini, Kung menyatakan demikian, "Bila seluruh orang percaya harus mempersembahkan korban lewat Kristus dengan cara tersebut, berarti mereka memiliki fungsi Imam, dalam pengertian yang sama sekali baru, melalui Kristus Sang Imam Besar dan Pengantara. Mengabolisikan kasta istimewa keimaman dan pengertiannya oleh Imam Besar yang baru dan kekal, menurut konsekuensinya yang unik namun logis, memiliki fakta bahwa seluruh orang percaya terlibat dalam keimaman secara universal." [13] Hakikat Gereja Kenyataannya, konsep keimaman orang-orang percaya diperoleh dari sifat gereja itu sendiri, yaitu umat Allah, tubuh Kristus, bangunan rohani, dan Bait Roh Kudus. Konsep itu diperluas sebagai berikut.
Artinya seluruh anggota gereja mempunyai persamaan yang mendasar. Tidak ada istilah kelas atau kasta dalam hubungan antar anggota, karena semuanya adalah: "orang-orang terpilih", "orang-orang kudus", "murid-murid", dan "saudara-saudara". Selain itu, "tidak ada jarak" antar anggota dan tidak ada penduduk kelas dua dalam keluarga Allah. Tentang persamaan, umat Allah diangkat martabatnya sebagai pelayan-pelayan Yesus Kristus. [17] Gibbs dan Morton dengan tegas menyatakan, "Doktrin sejati kaum awam sebagai umat Allah, yang bermitra bersama-sama tanpa perbedaan kelas." [18] Tentang karakter yang saling berkaitan dari anggota-anggota gereja (Roma 12:4-8; 1 Korintus 12:12), tubuh dibangun oleh anggota-anggota yang saling bergantung satu sama lain sebagai kesatuan tubuh. [19] Seluruh anggota tubuh Kristus memainkan peranan penting. Masing-masing memiliki martabat dan fungsi "semuanya saling melayani dalam simpati dan kasih yang menguntungkan, serta dalam sukacita". [20] Gereja adalah bangunan/bait rohani, yang berarti bahwa Roh Kudus tinggal di dalam seluruh orang-orang percaya (Kisah Para Rasul 2). Akibatnya, seluruh umat Kristen dibenarkan, dituntun dan dipimpin, serta hidup oleh Roh Kudus. Dalam 1 Korintus 3:16 dan Efesus 2:22, Rasul Paulus menekankan bahwa Roh Kudus berdiam dalam hati orang-orang percaya. Mereka adalah bait Allah yang kudus. Konsep bait Allah yang kudus di bumi dipersamakan dengan komunitas Kristen yang dimungkinkan hanya melalui Yesus Kristus; hanya melalui Dia, bait Allah yang kudus digantikan oleh "bangsa yang kudus". Ketika suatu gereja dikatakan sebagai Bait Roh Kudus, hal itu mengandung arti setiap anggota gereja adalah suatu Bait yang dipenuhi oleh Roh Kudus. Dalam bentuk ini, Bait tersebut dibangun atas "kunci kehidupan" dan "batu penjuru", Tuhan Yesus, yang telah dibangkitkan dari antara orang mati, batu hidup dan yang setia. Bentuk Bait Keimaman merupakan kelanjutan dari bentuk yang baru saja diperkenalkan (1 Petrus 2:4). Lebih lanjut dikatakan, konsep itu tidak diperuntukkan bagi keimaman resmi suatu kelompok Kristen tertentu, tapi bagi semua orang percaya. "Semua orang yang dipenuhi oleh Roh Kristus, menjadi suatu keimaman yang terpisah; seluruh umat Kristen adalah hamba Tuhan". [Lanjutan artikel ini (Bagian 2) akan kami kirimkan dalam email yang terpisah.] Catatan kaki:
Sumber:
Diambil dari:
Pengantar Mempersiapkan Khotbah Ekspositori: Motivasi, Definisi, dan Ikhtisar Proses Persiapan Khotbah
Editorial:
Dear e-Reformed Netters, Artikel ini adalah lanjutan dari kiriman saya sebelumnya. Jika Anda ingin membacanya edisi sebelumnya, silakan berkunjung ke situs Soteri: http://reformed.sabda.org/pengantar_mempersiapkan_khotbah_ekspositori_motivasi_definisi_dan_ikhtisar_proses_persiapan_khotbah_bag_1Pemimpin Redaksi e-Reformed, Yulia Oeniyati < yulia(at)in-christ.net > < http://reformed.sabda.org >
Edisi:
edisi 137/Februari 2013
Isi:
2. Cara Khotbah EkspositoriCara khotbah ekspositori berkaitan dengan proses. Mari melihat kembali definisi khotbah ekspositori berkaitan dengan proses persiapan kita dan penyampaian pokok teks: Khotbah Ekspositori adalah pemasakinian pernyataan pokok teks Alkitab yang "diperoleh dari metode penafsiran yang tepat serta dinyatakan melalui sarana komunikasi yang efektif" untuk menasihati pikiran, menginsafkan hati, dan memengaruhi perilaku menuju kesalehan. 2.1. PenafsiranKriteria utama metode penafsiran yang tepat adalah adanya hubungan yang dapat ditunjukkan dan dapat diandalkan antara pemahaman penulis dan pembaca asli suatu teks Alkitab dan penafsiran kita. Langkah 1 dari proses menyusun khotbah akan menggambarkan proses ini secara lebih terperinci. Memang benar, Alkitab dapat digunakan untuk mengatakan hampir semua hal yang Anda mungkin akan katakan. Pertanyaan kritisnya adalah: Apakah Anda mengatakan apa yang ingin Alkitab katakan? Sebagai contoh, saya pernah mendengar sebuah khotbah yang baik dari Lukas 19:29-40 yang menawarkan kebenaran berikut ini: "Yesus dan Keledai" Dapatkah khotbah ini dikhotbahkan? Kenyataannya sudah! Apakah khotbah ini setia kepada teks? Tidak! Mengapa? Tanyakan pertanyaan kritis ini: Apakah uraian tersebut adalah apa yang ingin disampaikan oleh penulis kitab dan apa yang dipahami oleh pembaca asli melalui kisah tersebut? Jenis khotbah ini sebenarnya pengajaran yang bersifat "moral". Berikut ini adalah beberapa persoalan dalam pengajaran yang bersifat moral: Setiap kisah inspiratif pasti mengandung nilai-nilai moral. Setiap budaya memunyai perumpamaan-perumpamaan dan kumpulan cerita rakyat untuk menjadi pedoman bertindak dan berpri laku. Yang membedakan kisah Alkitab dengan kisah yang bersifat budaya adalah kehendak Roh Kudus yang disampaikan oleh penulis dalam teks dan dipahami oleh pembaca asli. Moralisme mengurangi Alkitab menjadi sekadar cerita bijak saja. Teks digunakan sebagai ilustrasi dan bukan sebagai sumber uraian yang dibuat. Dalam kisah "keledai", pengkhotbah telah memutuskan bahwa si keledai adalah gambaran manusia. Dalam kisah keledai, dari bagian teks yang manakah pengkhotbah mendapat otoritas untuk menyamakan keledai dengan manusia? Atau anggaplah ketika menggunakan teks tentang Daud dan Goliat, pengkhotbah memutuskan bahwa orang-orang percaya akan dan harus menghadapi permasalahan yang sangat besar. Metode ilustrasi ini gagal karena Goliat tidak bangkit kembali. Kenyataannya, permasalahan-permasalahan yang sangat besar memiliki kemampuan untuk bangkit terus-menerus! Dengan demikian, ilustrasi ini kekurangan otoritas tekstual. Jika khotbah tidak menunjukkan bahwa penulis kitab bermaksud bahwa teks digunakan seperti ini, tidak ada otoritas untuk melakukannya. Setiap pengkhotbah dapat menarik berapa pun ilustrasi dari teks yang diberikan. Akan tetapi, tidak ada yang mengendalikan kesimpulan yang dia tarik. Mengapa lima, bisa saja tiga hal atau dua hal, atau bahkan tujuh hal? Penafsiran pengkhotbah (dan dengan demikian penekanan khotbah) menjadi manasuka. Jemaat akan mulai melihat khotbah sebagai penggunaan teks Alkitab yang digunakan oleh pengkhotbah secara tidak lazim. Metode penafsiran yang tepat harus menyusun kerangka inti khotbah. Pengkhotbah harus lebih dulu menjadi pelaku eksegesis Alkitab sebelum menjadi pelaku ekspositori Kitab Suci. 2.2. KomunikasiJika metode penafsiran yang tepat berkaitan dengan pemahaman penulis dan pembaca asli, komunikasi yang efektif berkaitan dengan hubungan antara pemahaman teks oleh pengkhotbah dan pembaca masa kini. Sebagai contoh, saya dan seorang rekan mengadakan seminar tentang penyusunan rencana bagi para pemimpin gereja lokal di Asia Timur. Rekan saya mengajar di sesi pertama mengenai mengapa kita harus membuat rencana. Inti pertama yang disampaikannya adalah kita harus berencana karena Allah berencana. Allah merencanakan penciptaan, penebusan, dan kerajaan-Nya. Dengan demikian, kita juga harus menyusun rencana. Masalahnya, presentasinya tidak mempertimbangkan pemahaman jemaat tentang kebenaran [yang disampaikan]. Pandangan umum, anggapan, nilai, dan keyakinan mereka semua bercampur dengan pemahaman terhadap maksud rekan saya. Sayangnya, kesimpulan yang mereka tarik setelah mengetahui rancangan ilahi justru bertolak belakang dengan maksud rekan saya. Mereka menyimpulkan: jika Allah berencana, kita tidak perlu menyusun rencana! Agar komunikasi kita efektif, kita harus memahami pandangan umum, proses berpikir, dan budaya jemaat (pendengar khotbah kita). Kemudian, barulah dengan menggunakan analogi dan ilustrasi, gaya dan penyampaian yang tepat, dan penerapan yang relevan kita akan memastikan ketaatan mereka. Kita akan mempertimbangkan beberapa aspek tersebut pada langkah ke-6 dari proses menyusun khotbah. 3. Alasan Memberikan Khotbah EkspositoriAlasan memberikan khotbah ekspositori berkaitan dengan tujuan. Apa tujuan dari persiapan kita dan penyampaian khotbah ekspositori? Mari kembali ke definisi yang kita gunakan: Khotbah Ekspositori adalah pemasakinian pernyataan pokok teks Alkitab yang diperoleh dari metode penafsiran yang tepat serta dinyatakan melalui sarana komunikasi yang efektif, "untuk menasihati pikiran, menginsafkan hati, dan memengaruhi perilaku menuju kesalehan". Alasan khotbah ekspositori terutama berhubungan dengan unsur intelektual, afektif, dan keputusan dalam pengalaman kekristenan. 3.1. Menasihati PikiranSebagai hasil dari mendengarkan khotbah, jemaat harus tahu dan memahami sesuatu, yakni kebenaran Allah. Normalnya, pengetahuan ini terkait dengan pernyataan pokok khotbah. Jika mereka tidak tahu lebih dari yang Allah katakan dan mengharapkan sebagai hasil pengkhotbahan kita, itu bukan bagian kita. Tuhan Yesus menambahkan "untuk mengasihi Allah dengan segenap akal budi kita" dalam versinya tentang hukum yang terutama (baca Matius 22:36-37). 3.2. Menginsafkan HatiTidak semua keputusan manusia dibuat secara masuk akal. Faktor emosi memainkan peran besar dalam keputusan penting. Akan tetapi, kita tidak boleh sekadar mengandalkan emosi. Hati harus diinsafkan sementara pikiran dinasihati. Memang penting dan tidak mustahil untuk membidik takhta semua emosi, yakni hati, melalui pengkhotbahan ekspositori. Pengkhotbah harus membuat jemaatnya antusias menaati Allah. Jika Firman sudah menginsafkan hati jemaat kita, kita bisa yakin bahwa perasaan itu tidak dibuat-buat. Sebagai hasil khotbah kita, jemaat harus merasakan sekaligus menginginkan sesuatu, yakni perlunya ketaatan pribadi akan kebenaran Allah. 3.3. Memengaruhi PerilakuUjian praktis dari khotbah yang baik adalah buah yang dihasilkannya dalam hidup. Alkitab diberikan untuk perubahan perilaku (2 Timotius 3:16-17). Iman harus diikuti dengan perbuatan (baca Kitab Yakobus). Sebagai hasil khotbah kita, jemaat akan melakukan sesuatu. Mereka akan taat. Kesalehan harus menjadi hasil dalam kehidupan mereka. Artinya, mimbar bukan hanya tempat untuk menaburkan lebih banyak informasi, namun menjadi panggung untuk mendorong jemaat kita untuk hidup saleh dengan teladan dan uraian. Mereka harus tahu apa yang Allah harapkan dan bagaimana mereka bisa menaati mandat Allah dari setiap teks dalam Kitab Suci. Pengkhotbahan harus menghasilkan kesalehan. Saya membuat komitmen kepada jemaat saya di New Delhi. Saya berkata kepada mereka, "Ketika saya berhenti memberi kalian sesuatu yang lebih untuk diketahui, sesuatu yang lebih untuk dirasakan, dan sesuatu yang lebih untuk dilakukan sebagai hasil dari saat-saat kita bersekutu dalam firman Allah, itulah saatnya memadamkan lampu gereja." Dari Teks Menjadi Khotbah -------------------------Berikut ini adalah tujuh langkah dari teks menjadi khotbah dalam proses menyusun khotbah. Anda harus menghafal langkah-langkah tersebut. Tujuh Langkah Proses Menyusun Khotbah ![]() Pada kolom sebelah kanan, saya sudah mendaftar bagian-bagian dari patung hidup***** yang berusaha kita ciptakan melalui setiap khotbah.
Dengan mempelajari detail teks, kita memperoleh "daging" teks tersebut. Dalam menyusun kerangka teks, kita mendapat gambaran rangka penyusun teks. Daging dan rangka membentuk bahan mentah teks untuk proses pemahatan. Dari rangka itu, kita melihat pernyataan pokok teks, "jantung", pokok dari khotbah itu. Dari jantung teks kita mengembangkan tujuan bagi jemaat. Tujuan khotbah ini adalah "otak" yang melaluinya pada akhirnya khotbah dirancang dan disampaikan. Otak akan memberi arah dan bentuk bagi jantung khotbah. Dalam tahap ini khotbah membentuk citra dan kerangkanya sendiri. Kerangka pesan akan terlihat. Pada akhirnya, kita akan mengisi detail-detail daging sewaktu kita selesai memahat khotbah yang unik dan istimewa bagi jemaat secara khusus. Cara lain untuk menggambarkan ketujuh langkah tersebut adalah sebagai berikut: Dari Teks Menjadi Khotbah ![]() Setelah menyajikan sistem persiapan khotbah ini, saya melihat cara mudah untuk mengingat ketujuh langkah tersebut. Berikut ini disajikan beberapa petunjuk untuk membantu Anda mengingat urut-urutan ini.
Pemberian nomor atau angka pada langkah-langkah tersebut memberi kita pola yang mudah untuk diingat: 1234321 atau ABCDCBA. Omong-omong, bentuk kesejajaran ini juga ditemukan dalam Alkitab Ibrani dan dikenal dengan konstruksi kiastik. Kemiripan lahiriah dengan Alkitab tidak membuat sistem persiapan khotbah ini terpengaruh dan pasif. Akan tetapi, sistem ini akan memampukan Anda, manusia yang terbatas, untuk membuat khotbah inspiratif. Berikut ini adalah gambaran ringkas setiap langkah dalam menyusun khotbah. Langkah-langkah ini berperan sebagai tinjauan sekilas untuk prosedur lengkapnya. Langkah 1: Mempelajari Teks -- Daging Teks Langkah 1 mengenalkan kita kepada proses mendasar yakni mempelajari teks. Langkah ini menyediakan beberapa kunci untuk menemukan makna teks. Langkah ini juga meletakkan pondasi untuk pendalaman teks dalam "melihat" dan "mencari" secara tepat apa yang Alkitab ingin sampaikan kepada semua orang. Langkah 2: Membuat Kerangka Teks -- Rangka Teks Langkah penting dalam proses pemahatan adalah memahami bagaimana penulis kitab menyusun teks. Dengan cara ini, kita bukan hanya mampu menyampaikan apa yang dikatakan penulis, tetapi bahkan menekankan bagaimana dia menyampaikannya. Langkah 2 memberi petunjuk bagaimana menemukan kerangka teks sehingga Anda dapat meringkas pengajaran setiap bagian teks. Langkah 3: Pernyataan Pokok Teks -- Jantung Teks Sebagaimana fungsi jantung bagi manusia, demikian juga pernyataan pokok bagi teks (dan selanjutnya bagi khotbah). Langkah 3 akan membantu Anda menemukan pengajaran dominan dalam teks, yakni apa yang dikemukakan teks, dalam dua segi: Tema: Apa yang dibahas penulis? Perspektif: Apa yang dikatakan penulis tentang apa yang dibahasnya? Segala sesuatu dalam teks disulam dalam satu tema besar. Ketika tema/perspektif ditemukan, seseorang dapat dengan yakin menguraikan teks dalam otoritas Allah. Langkah 4: Tujuan Khotbah -- Otak Khotbah Langkah 4 sangat penting untuk membuat khotbah ekspositori relevan dengan jemaat. Tujuan adalah otak khotbah, penghubung kunci dari teks ke khotbah. Anda akan belajar untuk mengucapkan tujuan khotbah dengan jelas bagi jemaat Anda. Langkah 5: Pernyataan Pokok Khotbah -- Jantung Khotbah Sama halnya dengan teks yang memunyai tema/perspektif tunggal, khotbah Anda juga harus memunyai tema/perspektif tunggal. Pernyataan pokok khotbah Anda akan mengandung penekanan "tema" dan "perspektif" yang kembar. Dalam tahap ini pernyataan Alkitab (langkah 3) disalurkan lewat tujuan (langkah 4) dan dikontemporerisasi untuk dipahami dan ditaati oleh jemaat. Langkah 6: Membuat Kerangka Khotbah -- Rangka Khotbah Pada langkah ini, Anda akan mempertimbangkan cara-cara dasar dalam mengembangkan khotbah dengan kesatuan, kelanjutan, dan kemajuan. Contoh-contoh bentuk pengembangan yang memengaruhi pemahaman keseluruhan dan menghasilkan ketaatan akan dibahas. Langkah 7: Menyampaikan Khotbah -- Daging Khotbah Anda dapat meningkatkan dampak khotbah Anda melalui ilustrasi, penggunaan kata yang tepat, dan bahasa tubuh dalam penyampaian khotbah. Anda juga akan disarankan untuk menuliskan khotbah sebaik dan sebanyak mungkin yang Anda bisa sebelum menyampaikannya. Anda berada di jalur yang tepat untuk membaca buku ini jika:
Sumber:
Diterjemahkan dari:
Komentar![]() |
Publikasi e-ReformedRSS Blog SABDA
|