Tentang KamiArtikel TerbaruUpdate Terakhir |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SOTeRI Hak Asasi ManusiaPenulis_artikel:
Stephen Pidgeon
Tanggal_artikel:
19 Februari 2019
Isi_artikel:
Hak Asasi ManusiaSebuah frasa penghargaan Nobel, pastinya. Namun, di dalam dunia yang tidak mengenal Allah, tidak ada hak asasi, karena hak asasi manusia, untuk menjadi sebuah hak, harus menunjukkan otoritas yang lebih besar daripada otoritas negara. Inilah sebabnya di dalam negara fasis (di mana otoritas pemimpin bersifat absolut - Red.) tidak ada hak, karena tidak ada otoritas yang diakui melebihi negara. Di mana hanya ada perintah negara, di situ tidak ada hak, hanya hak istimewa dan kejahatan: hak istimewa yang diberikan oleh negara (dan bisa dicabut) dan kejahatan yang dilarang. Hak, hak istimewa, dan kejahatan memiliki sifat yang sama. Mereka muncul dari larangan. Ambil contoh perintah “jangan melakukan kejahatan pembunuhan.” Kejahatan didefinisikan dengan larangan pada perilaku manusia. Sama dengan itu, hak muncul dari larangan dari Allah pada perilaku manusia yang terdapat di perintah “jangan membunuh.” Ini adalah natur yang sama antara kejahatan, hak istimewa, dan hak. Akan tetapi, ketika negara tidak menghargai otoritas yang lebih tinggi daripada negara (fasisme), hak menjadi tidak lebih daripada hak istimewa yang diberikan oleh negara. Hanya ketika negara mengakui Otoritas Ilahi, maka terdapat peluang bagi keberadaan hak asasi manusia. Tentang Kejahatan: Negara biasanya mendefinisikan kejahatan dalam dua kategori umum: mala in se, dan mala prohibita. Mala in se adalah kejahatan yang sudah sifatnya jahat, seperti pembunuhan. Mala prohibita adalah kejahatan yang hanya karena negara mengatakannya demikian, seperti misalnya, melaju 55 mil/jam dalam zona 40 mil/jam. Negara yang tidak mengakui Otoritas Ilahi tidak bisa menyatakan kejahatan mala in se, -- yang sudah sifatnya jahat –- karena tidak bisa ada yang baik dan jahat tanpa pengakuan akan urutan moral superior dari negara. Sama halnya, sebuah negara yang tidak mengakui Otoritas Ilahi tidak dapat mengklaim “aturan hukum” melainkan “aturan perintah.” Aturan hukum menyatakan secara tidak langsung bahwa anggota-anggota kelompok yang memerintah bisa dimintai pertanggungjawaban sesuai standar yang memiliki otoritas lebih besar daripada negaranya. Ketika negara tidak mengakui otoritas yang lebih tinggi atas negara itu, maka tidak ada hukum –- yang ada hanyalah tirani. Tentang Hak Istimewa: Negara biasanya memberikan hak istimewa berdasarkan dua kategori umum: diberikan berdasarkan dampak pragmatis dari hak istimewa (menimbang sampai mana hak istimewa akan paling baik untuk jumlah orang terbanyak), atau diberikan berdasarkan relasi feodal. Masyarakat feodal saat ini paling banyak terdapat di negara-negara Barat, paling banyak negara-negara Marxist, dan kelihatannya semua bersifat diktator. Dengan feodalisme, hak Anda didasarkan pada siapa yang Anda kenal, bukan status yang setara di bawah aturan hukum. Akan tetapi, untuk beberapa alasan yang tidak diketahui, orang-orang di balik pemberian hak istimewa memiliki kebutuhan untuk mendirikan beberapa dasar untuk masing-masing pemberian, dan biasanya, hal-hal ini diatur di dalam daftar nama pemilik hak-hak istimewa. Dengan mengajukan alasan, pemberian hak istimewa tidak terlihat seperti yang sebenarnya: praktek pemaksaan yang tidak menyenangkan. Misalnya, Preamble of the United Nation’s Universal Declaration of Human Rights menyatakan bahwa dasar dari “hak asasi” diproklamasikan di situ sebagai: 1. Deklarasi keluarga pemerintahan internasional (kita katakan demikian) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia diadopsi oleh sebagian besar majelis umum PBB Amerika Serikat, dengan blok Soviet dan Arab Saudi abstain/tidak memberikan suara. Karena pengambilan suaranya tidak menghasilkan suara bulat, deklarasinya bahkan tidak “global” hanya “universal”. Selanjutnya, karena tidak mengakui Otoritas Ilahi, maka hanya mengatur daftar siapa yang mendapat hak istimewa. Terlebih lagi, itu tidak mengikat semua anggota negara. Karena itu, menyebut dokumen itu sebuah Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia adalah jelas sebuah kebohongan. Kenyataannya, itu hanyalah Laporan Deklarasi Sebagian Besar Majelis Umum PBB Amerika Serikat mengenai disetujuinya hak-hak istimewa yang diberikan-oleh pemerintah. Undang-Undang Hak Asasi Manusia Kanada mencontoh Deklarasi Universal ini, mengadopsi pembagian kelompok yang sama. Awalnya, Undang-Undang Hak Asasi Manusia Kanada tidak melindungi orang-orang berdasarkan orientasi seksual mereka, sedangkan Deklarasi Universal melakukannya. Undang-Undang Hak Asasi Manusia Kanada karenanya, diganti dengan keputusan sidang pengadilan untuk memasukkan kelompok ini. Tentang Hak Asasi Manusia: Seperti yang telah saya katakan, kesamaan di antara kejahatan, hak istimewa dan hak, adalah bahwa mereka muncul dari larangan dalam interaksi manusia. Kejahatan dan hak istimewa dilarang dengan tindakan dari negara, meskipun cukup sering bahwa negara menyebut hak istimewa yang mereka berikan sebagai “hak” padahal dalam kenyataannya, perintah itu sendiri adalah sebuah kesalahan atau bahkan sebuah kejahatan (perundang-undangan/pembuatan undang-undang anti-diskriminasi yang mengatur “hak asasi manusia” pada kenyataannya adalah kesalahan perdata jika sanksinya adalah denda, dan sebuah kejahatan jika sanksinya adalah kurungan). Hak istimewa bisa benar-benar menjadi hak hanya jika mereka dengan tepat (untuk mengatakan, dengan benar) mendefinisikan hak sebagaimana dinyatakan di dalam perintah dari Allah (seperti hak untuk bebas beribadah), tetapi ketika “hak” seperti itu diberikan oleh pemerintah – dan karena itu bisa ditarik kembali – maka itu bukanlah hak, itu adalah hak istimewa yang diberikan-pemerintah. Pertimbangkan berapa jauh kita telah menyimpang dari pemahaman ini. Pada tahun 2006, golongan Sosialis yang memerintah di Spanyol mengumpulkan rancangan undang-undang untuk memberikan “hak asasi manusia” kepada empat spesies hewan. Spesies-spesies itu adalah simpanse, bonobo, gorila, dan orangutan: yang disebut “kera besar” atau “hominid”. Pemerintah Spanyol mencoba untuk melekatkan hak “manusia” kepada kera melalui perintah negara, kelihatannya karena mereka percaya bahwa monyet adalah juga manusia. Hak asasi manusia muncul dari larangan pada perilaku manusia. Hak untuk bebas berbicara –- sebuah sifat asli yang hanya ada pada manusia – misalnya, muncul dari larangan pada pemerintahan untuk bertindak bertentangan dengan kebebasan mengemukakan pendapat. Hak yang Diberikan oleh Allah Sekarang perhatikan larangan dari Allah yang terdapat dalam Keluaran 20: Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan. Dari daftar inilah (meskipun ini bukan daftar yang eksklusif) “hak asasi manusia” kita berasal. Saya akan memberi penekanan di sini bahwa kita tidak memiliki “hak” yang bertentangan dengan kehendak Allah – Dialah penulis iman kita, keselamatan kita, dan hak kita. Akan tetapi, dari daftar ini, hak asasi manusia bertambah pada kita karena jika Allah melarang, siapakah manusia yang ingin menentang? Karena itu, kita memiliki hak untuk mempercayai Allah kita sebagai yang lebih tinggi dari semua dewa yang diajukan, termasuk, pemerintah negara, sistem keuangan, sistem sekolah, uang, konsumerisme, kapitalisme, Marxisme, fasisme, komunisme, sosialisme, dan seterusnya. Allah sudah memerintahkan kepada kita untuk tidak memiliki Allah selain Dia; karena itu kita memiliki hak yang diberikan oleh Allah untuk bebas dari negara yang menempatkan dirinya sendiri di atas Allah. Sejak zaman Nebukadnezar sampai dunia modern, ada kegagalan para pemimpin tertentu untuk mengakui bahwa Allah itulah yang mendirikan kekuasaan dan otoritas di bumi sesuai dengan tujuan-Nya. Sebagaimana Nebukadnezar mengatakannya: “Aku, Nebukadnezar, menengadah ke langit, dan akal budiku kembali lagi kepadaku. Lalu aku memuji Yang Mahatinggi dan membesarkan dan memuliakan Yang Hidup kekal itu, karena kekuasaan-Nya ialah kekuasaan yang kekal dan kerajaan-Nya turun-temurun. Semua penduduk bumi dianggap remeh; Ia berbuat menurut kehendak-Nya terhadap bala tantara langit dan penduduk bumi; dan tidak ada seorang pun yang dapat menolak tangan-Nya dengan berkata kepada-Nya: “Apa yang Kaubuat?” (Daniel 4:34-35). Dengan bantuan larangan pada Perintah Kedua, kita mendapatkan hak asasi manusia untuk menolak penyembahan berhala. Tidak ada negara yang mengakui hak ini, tetapi Jerman memiliki hak yang diperoleh dari Allah bukan untuk menyembah berhala Narsisme. Rusia memiliki hak yang diperoleh dari Allah bukan untuk menyembah berhala Vladimir Lenin. Amerika memiliki hak yang diperoleh dari Allah bukan untuk menyembah berhala kaum pagan. Kanada punya hak yang diperoleh dari Allah bukan untuk menyembah humanism sekuler. Kita semua yang berada dalam dunia modern memiliki hak yang diperoleh dari Allah bukan untuk menyembah agama dunia, matahari, titik balik matahari, ilmu pengetahuan Darwinisme. Kita memiliki hak yang diperoleh dari Allah untuk menolak berhala. Dan demikian seterusnya. Kita memiliki hak untuk bebas dari perzinahan. Kita memiliki hak atas kepemilikan kita dan terbebas dari pencuri. Seberapa luas hak atas kepemilikan? Perintah Kesepuluh menyatakan bahwa kita tidak memiliki hak atas apa pun yang bukan milik kita. Ini mencakup pernikahan kita, keluarga kira, relasi kerja kita, kepemilikan intelektual kita, kepemilikan nyata kita dan kepemilikan pribadi kita. Jangan mencuri, maka Anda tidak akan iri hati. Dari larangan inilah kita mengakui ketetapan Allah tentang hak kita atas kepemilikan. Hak untuk Hidup Akan tetapi, mari kita luangkan waktu untuk membahas hak untuk hidup. Allah berkata, jangan membunuh. Istilah Bahasa Ibrani yang digunakan di sini adalah rashach (dengan sengaja membunuh manusia) bukan kata shachat (mengambil nyawa hewan atau manusia). Larangan ini menciptakan hak untuk terbebas dari pembunuhan –- hak untuk bebas dari seseorang yang dengan sengaja mengambil nyawa Anda. Ini adalah sumber hak untuk hidup yang ditetapkan oleh Allah. Karena hak ini ditetapkan oleh Allah, dan karena hak tidak dapat muncul dari sumber lain, kewajiban kita sebagai manusia adalah memutuskan bahwa tentang kapan hak dilekatkan pada keadaan manusia bukanlah pendapat kita, tetapi memutuskan bahwa adalah pendapat Allah mengenai kapan hak itu dilekatkan. Untuk mengesahkan istilah yang dirancang tentang hidup manusia dengan penafsiran kita – jika penafsiran semacam itu tidak memenuhi sasaran Allah –- adalah pengesahan shachat. “Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku. Aku bersyukur kepada-MU oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya. Tulang-tulangku tidak terlindung bagi-Mu, ketika aku dijadikan di tempat yang tersembunyi, dan aku direkam di bagian-bagian bumi yang paling bawah, mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satu pun dari padanya.” (Mazmur 139:13-16). Bagi Anda yang bersikeras berpendapat, “kehidupan dimulai pada saat kelahiran,” Anda sebaiknya membaca ulang bagian ini. Kehidupan manusia dimulai sebelum bagian tubuh manusia yang mana pun dibuat. Ordonansi/Aturan jiwa sudah ada sejak semula, sesuai dengan kehendak dari Sang Pencipta: “Sebab, mereka yang telah dikenal-Nya sejak semula, juga telah ditentukan-Nya sejak semula untuk menjadi serupa dengan gambar Anak-Nya, supaya Ia menjadi yang sulung di antara banyak saudara. Mereka yang telah ditentukan-Nya sejak semula, juga dipanggil-Nya; dan mereka yang dipanggil-Nya, juga dibenarkan-Nya; dan mereka yang dibenarkan-Nya, juga dimuliakan-Nya.” (Roma 8:29-30). Kita memiliki hak untuk hidup, karena hal itu telah ditetapkan oleh Bapa dalam bentuk larangan jangan membunuh. Kita harus mendapatkan pemahaman ini, karena tidak mungkin diragukan bahwa negara internasional yang berkembang dengan cepat menyimpulkan bahwa ada terlalu banyak orang di bumi, yang makan terlalu banyak makanan, menggunakan terlalu banyak minyak dan menciptakan terlalu banyak “gas rumah hijau.” Kecuali negara diingatkan bahwa ada otoritas yang kepadanya negara akan memberikan jawaban akhir, solusi mereka, yang hampir selalu adalah kematian, akan segera sampai pada kita, khususnya ketika mereka menyimpulkan bahwa hak Anda untuk hidup hanyalah hak asasi yang diberikan oleh negara – hak yang mereka berikan, dan hak yang dapat mereka cabut. Apakah Kita Memiliki Hak untuk Hidup?
Jika Anda pernah mengikuti pawai pro-kehidupan atau para pemrotes aborsi Anda mendengar rekan-rekan Kristen berbicara tentang “hak untuk hidup” dari bayi-bayi yang belum lahir. Akan tetapi, apakah ini adalah frasa yang seharusnya digunakan oleh orang Kristen? Apakah itu memiliki dasar alkitabiah? Bisakah orang Kristen menuntut hak untuk hidup, atau tentu saja, hak apa pun juga? Itu semua tergantung pada apa yang Anda maksudkan dengan istilah “hak”. Sebagai ciptaan yang berdosa kita bergantung pada anugerah Allah. Dia tidak berutang apa pun kepada kita. Jadi, apakah kita dalam posisi meminta dari Dia, untuk menuntut “hak” apa pun di hadapan-Nya? Jelas tidak. Akan tetapi, seperti yang dijelaskan Stephen Pidgeon dalam artikelnya, hanya karena kita tidak memiliki hak di hadapan Allah bukan berarti kita tidak memiliki hak yang diberikan oleh Allah. Di dalam Sepuluh Hukum, Allah menyampaikan sejumlah larangan, dan dari larangan-larangan inilah hak kita muncul. Allah berkata, “Jangan membunuh” jadi dari situ kita semua memiliki hak untuk hidup yang diberikan oleh Allah. Tidak ada seorang pun, kelompok apa pun, pemerintah apa pun, yang memiliki hak untuk membunuh kita karena Allah telah melarang itu. Karena hak ini berasal dari larangan yang diberikan oleh Allah, maka tidak ada otoritas di bumi yang bisa mencabut hak itu dari kita. Tentu saja, Allah masih bisa kita adalah milik-Nya, dan Dia bisa melakukan pada kita sesuai keinginan-Nya. Kita tidak memiliki hak di hadapan Allah. Akan tetapi, kita memiliki hak yang diberikan oleh Allah yang bisa kita pertahankan di hadapan manusia. Dan, bayi-bayi yang belum lahir pun, dapat menuntut hak untuk hidup yang diberikan oleh Allah. (t/Jing-Jing)
Komentar |
Publikasi e-Reformed |