Praktika

warning: Creating default object from empty value in /home/sabdaorg/public_sabda/reformed/modules/taxonomy/taxonomy.pages.inc on line 33.
Teologia Praktika adalah teologia yang berisi penerapan pengajaran Alkitab dalam kehidupan praktis untuk pembangunan, pengudusan, pembinaan, pendidikan dan pelayanan umat Tuhan.

Semangat Reformasi

Editorial: 

Dear e-Reformed netters,

Pemikiran tentang reformasi selalu menarik perhatian saya, karena dalam konsep reformasi terkandung suatu praanggapan bahwa "sesuatu" yang direformasi itu berarti masih bisa menjadi lebih baik, lebih benar, dan lebih sempurna. "Sesuatu" itu bisa berupa konsep, pemikiran, pandangan, cara kerja, tapi bisa juga berupa sikap, tingkah laku, dan kepribadian. Seperti dalam artikel yang saya postingkan di bawah ini, disinggung tentang pentingnya kita (sebagai individu) dan gereja (sebagai komunitas orang percaya), memiliki semangat reformasi, yang mau terus-menerus memperbaiki diri dalam semua segi.

Memperbaiki diri dalam semua segi, secara teori kelihatannya mudah, tapi dalam praktik, lain lagi ceritanya. Oleh karena itu, tidak salah kalau saya mengambil kesimpulan bahwa untuk memiliki semangat reformasi seseorang harus memiliki kerendahan hati, ... (yang besar sekali). Siapa sih yang mau dibilang: "pemikiranmu perlu diperbaiki", atau "cara kerjamu perlu dikoreksi", atau "sikapmu perlu diubah....." Perlu sikap gentleman dan sportif untuk mau direformasi. Salah tidak kalau saya katakan bahwa orang yang berani menamakan diri kelompok orang "reformed" seharusnya tidak sombong, mau dikritik, dan terbuka untuk berubah .....? Wah... omong-omong soal berubah.... saya jadi malu sendiri, karena saya juga bukan orang yang gampang berubah....

Itulah sebabnya, saya ingin bagikan artikel tulisan dari Paul Hidayat, yang diambil dari bukunya yang berjudul MENERBANGI TEROWONGAN CAHAYA, terbitan dari PPA (Persekutuan Pembaca Alkitab). Saya banyak belajar, khususnya tentang inti dari semangat Reformasi. Harapan saya, artikel ini menolong kita untuk melihat diri (mengoreksi) lagi, apakah gereja kita mulai menyimpang dari Firman Tuhan, apakah kita, para pelayan Tuhan, telah membuat jemaat semakin bingung untuk mengerti Firman Tuhan, atau apakah kita telah mengganti kesalehan hidup dengan legalisme rohani ...... dan masih banyak lagi....... Selamat membaca.

Sebagai penutup, saya kutipkan kembali penutup dari artikel Paul Hidayat: "Iman yang riil, kuasa firman, kenyataan tubuh Kristus, dan kesalehan yang ceria, itulah yang kita sangat perlukan terjadi kembali secara baru masa kini!"

In Christ,
Yulia Oen
<yulia@in-christ.net>

Penulis: 
Paul Hidayat
Edisi: 
063/VI/2005
Isi: 

"Bila kita menimbang dan mencermati dengan hati-hati seluruh perjalanan reformasi ini, kita akan mendapati bahwa Ia telah mengendalikan penuh, melalui metode-metode yang menakjubkan bahkan bertentangan dengan semua yang kita harapkan. Kepada kekuatan inilah, karena itu, yang telah seringkali Ia kedepankan demi kita. Marilah di tengah segala kerumitan pergumulan kita, kita gantungkan diri penuh dan utuh." (John Calvin)

"Sejauh gereja menyesuaikan diri dengan dunia, dan kedua komunitas itu tampak kepada para pengamat mereka sebagai sekadar dua versi dari satu hal yang sama, gereja tengah menentang jati diri sejatinya. Tidak ada komentar lebih menyakitkan bagi orang Kristen daripada kata-kata. 'Tetapi Anda tidak beda dari orang lain.'" (John Stott)

Gereja, dan kehidupan Kristen yang tidak terus-menerus mengalami reformasi dapat diumpamakan seperti kehidupan dan alam yang mengalami kemerosotan tanpa peremajaan.

Untuk mempertahankan kehidupan, Allah mengatur agar sel-sel tubuh kita terus-menerus mengalami proses penggantian dan peremajaan. Sel-sel tubuh kita sampai usia tertentu diganti dengan sel-sel baru. Demikian juga dalam alam terjadi hal yang sama. Tanah gersang musim kemarau berganti menjadi tanah subur musim penghujan. Daun-daun tua layu dan rontok, tetapi daun-daun muda bersemi segar menggantikan yang tua dan mati tadi. Apa yang kita saksikan dan alami dalam kehidupan dan alam, tadi adalah lukisan nyata bekerjanya kuasa pembaruan Allah yang beroperasi terus-menerus menopang dan mempertahankan kehidupan. Dia yang menciptakan segala sesuatu terus menopang mempertahankan ciptaan-ciptaan-Nya agar dapat berlangsung terus.

Reformasi pada dasarnya seirama dan seprinsip dengan rehabilitasi, rekonsiliasi, regenerasi yang terjadi dalam alam dan kehidupan. Bila demikian, bolehlah kita katakan bahwa gereja dan orang Kristen yang tidak terus-menerus mengalami reformasi bertentangan dengan kerinduan Allah agar ciptaan-Nya (baik alam maupun Gereja sebagai ciptaan baru) terus diperbarui-Nya. Tidak mengalami reformasi seumpama menggunakan gergaji tua, usang, dan tumpul untuk menggergaji batang kayu yang liat dengan akibat gergajinya yang rompal dan bukan kayunya yang putus.

Mengapa Diperlukan Reformasi Terus-Menerus?

Gereja, dan kehidupan Kristen yang tidak terus-menerus mengalami reformasi dapat diumpamakan seperti kehidupan dan alam yang mengalami kemerosotan tanpa peremajaan.
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Di dalam realitas dunia ini, beroperasi dua kekuatan: kekuatan kehidupan dan kekuatan kematian. Kekuatan kematianlah yang menyebabkan sel-sel tubuh kita menua, organisme-organisme mengalami pelapukan dan peluruhan. Secara langsung atau tidak langsung, penyebab penuaan yang menuju kematian pada manusia itu adalah dosa. Andaikata manusia tidak berdosa di dalam Adam, untuk manusia mungkin sekali proses tersebut tidak berakhir di jurang kematian, tetapi ke gelombang-gelombang samudera kematangan dan keindahan hidup.

Kekuatan kehidupan adalah cara Allah untuk mempertahankan kelanggengan ciptaan-Nya. Oleh karena itu, reformasi pada intinya selaras dengan maksud Allah untuk menjaga kelestarian hidup ini.

Mengapa gereja dan kehidupan Kristen harus dan perlu mengalami reformasi terus-menerus? Karena gereja masih dalam dunia yang berdosa dan dosa masih dapat menyusup dalam bentuk struktur dan kehidupan gereja yang tidak selaras dengan dinamika kebenaran firman Allah. Bahaya-bahaya penyimpangan dalam gereja-gereja yang disurati para rasul, baik dalam Perjanjian Baru maupun dalam era selanjutnya terutama dalam era pra reformasi membuktikan perlunya pembaruan terus- menerus.

Selain harus setia memelihara Injil dan bertumpu pada kebenaran firman Allah, gereja dari zaman ke zaman bertugas mengkontekstualkan isi dan penghayatan imannya ke dalam situasi dunianya. Dunia kita kini tidak lagi sama dengan dunia para apologet atau para bapa gereja abad pertengahan, bahkan sudah jauh berbeda dari zaman era reformasi sendiri. Berbagai perumusan teologis yang pernah dibuat para pendahulu kita perlu dikaji ulang sebab perumusan tersebut dibuat agar relevan dengan zaman mereka. Mereka mencoba menyajikan kebenaran firman Allah dalam paradigma yang diambil dari konteks pemahaman zaman itu. Jika kita ingin lebih segar memahami isi iman kita dan lebih mampu mengkomunikasikan apa yang kita imani kepada orang sezaman kita, kita pun perlu menggumuli dan mengungkapkan ulang kebenaran firman yang kekal itu dalam paradigma-paradigma baru yang lebih sesuai dengan zaman ini. Sebagai contoh, menjelaskan kelahiran kembali kepada para cendekiawan zaman ini mungkin lebih tepat menggunakan gambaran "format ulang" dari dunia komputer. Alasan lain mengapa kita perlu menggumuli ulang cara mengungkapkan isi iman kita ialah karena tradisi yang kita pegang kini merupakan warisan teologi Barat. Adalah lebih efektif bila sari kebenaran Ilahi itu coba kita tuangkan dalam pola pikir yang lebih sesuai dengan konteks kita di Indonesia.

Apa Saja yang Perlu Direformasi?

Reformasi Swiss.

Semua segi pemahaman iman dan penghayatan kehidupan Kristen kita sehari-hari! Pertama, isi iman yang kita pahami haruslah benar-benar bersumberkan Alkitab, bergumul di tengah-tengah konteks kebudayaan dan kebutuhan masyarakat Indonesia masa kini, sehingga isinya sekaligus sinambung dengan tradisi gereja dari abad ke abad, namun kontekstual dan kontemporer.

Kedua, kita memerlukan kuasa firman yang dihidupkan Roh Kudus agar mampu menghayati iman kita kepada Kristus secara riil, segar, dinamis. Penghayatan iman Kristen kita tidak boleh berpuas diri sebatas penghayatan iman pribadi seperti perihal keselamatan pribadi, tetapi harus mampu mewujudkan dirinya dalam keterlibatan yang nyata di tengah-tengah pergumulan masyarakat Indonesia yang pluralistis masa kini. Dalam garis ini, perlu sekali diperhatikan ketulusan orang-orang Kristen dalam berbangsa dan bernegara sebagai manifestasi pengabdian kita kepada Allah, Tuhan atas sejarah. Juga kebutuhan sangat mendesak masa kini ialah keberanian orang-orang Kristen untuk mempraktikkan kebenaran dan menyuarakan kebenaran seiring dengan menyatakan kesalahan dan konsisten menghindari hal-hal yang tidak etis.

Ketiga, dalam dunia yang sedemikian pesat dibanjiri oleh kemudahan- kemudahan karena teknologi tinggi, ibadah-ibadah kita harus diisi dengan seluruh aspek liturgis yang sejati, segar dan riil. Bila khotbah-khotbah loyo membosankan, bila puji-pujian lesu menjemukan, bila persekutuan semu dan dangkal, akan habislah ibadah kita ditelan imbas banjir alat hiburan yang membanjiri pasar. Untuk itu kita memerlukan keberanian agar tidak kolot mempertahankan pola, bentuk, dan isi liturgi yang tidak lagi menampung kesegaran Injil, kehangatan kasih, kekayaan kreativitas untuk menampung penyampaian uraian firman, puja sembah, dan persekutuan kita satu dengan lain.

Inti Semangat Reformasi

Pikiran Kristus

Jiwa reformasi seperti yang ditemukan Luther, Zwingli, Calvin, John Knox, dan lain-lain. itu tidak lain adalah seperti yang disiratkan dalam moto reformasi: Sola Gracia, Sola Fide, Solo Christo, Sola Scriptura. Pertama, Reformasi menemukan ulang realitas anugerah penyelamatan Allah dalam Kristus melalui iman semata. Dengan kata lain, hubungan yang riil dan intim dengan Allah, itulah yang ditemukan Luther dan Calvin dan yang menopang mereka terus sampai ajal mereka.

Kedua, media yang melaluinya Allah memimpin mereka menemukan pemahaman dan penghayatan segar indah itu ialah Alkitab. Alkitab sejak itu menjadi suatu kitab terbuka. Seluruh umat bebas membaca dan menimba dari dalamnya aliran-aliran air kehidupan dan arus tenaga pembaruan. Problem masa kini ialah tanpa sadar umat telah kembali bergantung pada "kepausan" baru, yaitu para teolog dan pengkhotbah. Reformasi ulang akan terjadi bila awam tidak lagi awam dalam pemahaman Alkitab!

Ketiga, Reformasi pada intinya mensyukuri fakta bahwa semua warga gereja adalah imam-imam Perjanjian Baru. Kita semua adalah gereja, imamat yang rajani. Masing-masing kita memiliki karunia untuk dibagikan dan tanggung jawab untuk dipikul, yaitu mewartakan pekerjaan-pekerjaan besar Allah kepada sesama kita dan saling melayani membangun tubuh Kristus.

Keempat, Reformasi sebenarnya adalah penolakan terhadap teologi skolastisisme. Teologi pra reformasi telah membuat iman menjadi sesuatu yang rumit dan ruwet. Bukan saja teologi telah dilacurkan dengan filsafat zamannya, melainkan juga kesalehan pun telah dibuat rumit dengan berbagai aturan selibat, ziarah, penyembahan patung, dan lain sebagainya. Reformasi menemukan bahwa iman Kristen adalah kemerdekaan, adalah perayaan, adalah kesukaan yang dapat dipahami dan dihayati siapa saja yang terbuka pada kasih karunia-Nya.

Iman yang riil, kuasa firman, kenyataan tubuh Kristus, dan kesalehan yang ceria, itulah yang kita sangat perlukan terjadi kembali secara baru masa kini!

Audio: Semangat Reformasi

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Menerbangi Terowongan Cahaya
Judul Artikel : -
Penulis : Paul Hidayat
Penerjemah : -
Penerbit : PPA, Jakarta, 2002
Halaman : 54 - 58

Apa yang Menggerakkan Kehidupan Anda?

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Senang sekali bertemu Anda semua di awal tahun 2005 ini. Apakah ada di antara Anda yang punya tradisi/kebiasaan memulai tahun baru dengan suatu RESOLUSI? Saya sering melakukannya, khususnya kalau ada banyak kegagalan/kesalahan/kekecewaan yang saya alami tahun sebelumnya, sehingga hal itu mendorong saya untuk membuat rencana yang diharapkan akan dapat menebus kegagalan/kesalahan/kekecewaan itu. Dorongan rasa bersalah akhirnya mewarnai rencana-rencana hidup yang saya buat.

Berbicara tentang membuat rencana hidup dan resolusi tahun baru, saya teringat dengan buku yang pada akhir tahun 2004 kemarin banyak dibicarakan orang, yaitu bukunya Rick Warren yang berjudul The Purpose Drive Life, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi "Kehidupan yang Digerakkan oleh Tujuan". Saya kira buku tersebut memang patut mendapat perhatian istimewa karena sangat "inspiring". Berikut adalah satu di antara 40 Bab yang dibahas dalam buku tersebut, yang saya kutipkan untuk Anda, khususnya yang belum kebagian membeli buku tersebut.

Hal yang menarik dari artikel ini (buku ini) adalah kepandaian Rick untuk membuat pemikiran filosofis yang berat dan rumit tentang hidup menjadi suatu hal yang praktis dan simple. Ada beberapa hal yang dapat kita tarik menjadi pelajaran yang berguna:

  1. Mengetahui apa yang memotivasi hidup kita, akan membongkar prinsip- prinsip hidup yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Seperti motivasi saya dalam membuat resolusi tahun baru, yaitu rasa bersalah, ternyata tanpa saya sadari telah menghambat rencana Allah bagi hidup saya. Dan yang lebih parah lagi, saya tidak dapat sungguh-sungguh hidup dalam anugerah-Nya.
  2. Apa yang memotivasi kita hidup ternyata ada korelasi dengan apa yang memotivasi kita menjadi orang Kristen. Contohnya, jika materialisme yang menjadi motivasi hidup kita, maka tidak heran kalau berkat-berkat Tuhanlah yang kita kejar-kejar terus, bukan Tuhannya.
  3. Memikirkan tentang apa yang memotivasi hidup kita, mendorong kita untuk memikirkan apa yang sebenarnya kita anggap paling penting dalam hidup kita. Jika Allahlah yang menjadi sumber motivasi kita untuk melanjutkan hidup ini, maka kita akan mencari tahu apa yang Tuhan kehendaki bagi hidup kita selanjutnya. "Hidup bagiku adalah Kristus", kata Rasul Paulus, maka kita akan terdorong untuk melakukan apa yang penting bagi Tuhan, dan bukan apa yang penting bagi diri kita.

Dan masih banyak lagi yang saya yakin dapat kita timba dari merenungkan artikel ini. Oleh karena itu, saya persilakan Anda menyimaknya sendiri dan selamat mengisi tahun 2005 dengan hal-hal yang berkenan bagi Tuhan.

In Christ,
Yulia Oen

Penulis: 
Rick Warren
Edisi: 
057/XII/2004
Isi: 

"Kemudian aku melihat bahwa pada dasarnya segala jerih payah dan keberhasilan orang didorong oleh perasaan iri hatinya. ..."

Pengkhotbah 4:4 (FAYH)

Manusia tanpa suatu tujuan adalah ibarat sebuah kapal tanpa kemudi -- anak terlantar, hal sia-sia, bukan siapa-siapa.

Thomas Carlyle

Kehidupan setiap orang digerakkan oleh sesuatu.

Banyak kamus mendefinisikan kata kerja menggerakkan sebagai "membimbing, mengendalikan, atau mengarahkan". Entah Anda menggerakkan sebuah mobil, sebuah paku, atau bola golf, Anda sedang membimbing, mengendalikan, dan mengarahkannya pada saat itu. Apakah yang menjadi daya penggerak di dalam kehidupan Anda?

Membaca buku.

Sekarang, Anda mungkin digerakkan oleh suatu masalah, suatu tekanan, atau suatu batas waktu. Anda mungkin digerakkan oleh ingatan yang menyedihkan, ketakutan yang menghantui, atau suatu keyakinan yang tidak disadari. Ada ratusan kondisi, nilai, dan emosi yang bisa menggerakkan kehidupan Anda. Berikut ini adalah lima penggerak yang paling umum:

  1. Banyak orang digerakkan oleh rasa bersalah.

    Mereka menghabiskan seluruh hidup mereka dengan berlari dari rasa penyesalan dan menyembunyikan rasa malu mereka. Orang-orang yang digerakkan oleh rasa bersalah dimanipulasi oleh ingatan-ingatan. Mereka membiarkan masa lalu mereka mengendalikan masa depan mereka. Mereka seringkali secara tidak sadar menghukum diri sendiri dengan merusakkan keberhasilan mereka sendiri. Ketika Kain berdosa, rasa bersalahnya memisahkan diri dari hadirat Allah, dan Allah berfirman, "Engkau menjadi seorang pelarian dan pengembara di bumi. Hal tersebut menggambarkan sebagian besar orang saat ini, yang menjalani kehidupan tanpa suatu tujuan.

    Kita adalah produk dari masa lalu kita sendiri, tetapi kita tidak perlu menjadi tawanan masa lalu. Tujuan Allah tidak dibatasi oleh masa lalu Anda. Dia mengubah seorang pembunuh bernama Musa menjadi seorang pemimpin, dan seorang pengecut bernama Gideon menjadi seorang pahlawan yang gagah berani, dan Dia juga mampu melakukan hal-hal ajaib dalam sisa hidup Anda. Allah ahli dalam memberi orang-orang suatu awal yang baru. Alkitab berkata, "Alangkah bahagianya orang-orang yang kesalahannya telah diampuni!... Alangkah leganya hati orang yang telah mengakui dosa-dosanya dan Allah telah menghapus semua dosa itu"
  2. Banyak orang digerakkan oleh kebencian dan kemarahan.

    Mereka mempertahankan kepahitan dan tidak pernah sembuh darinya. Bukannya melepaskan penderitaan mereka melalui pengampunan, mereka malah mengulanginya berkali-kali dalam pikiran mereka. Sebagian orang yang digerakkan oleh kebencian bersikap "bungkam" dan menyimpan sendiri kemarahan mereka, sementara sebagian lain bersikap "amat marah" dan mencetuskannya kepada orang lain. Kedua tanggapan tersebut tidak sehat dan tidak berguna.

    Kebencian selalu lebih melukai Anda ketimbang orang yang Anda benci. Sementara orang yang menyakiti hati Anda mungkin telah melupakan perbuatannya tersebut dan melanjutkan hidup, Anda terus dipenuhi penderitaan Anda, dengan mengabadikan masa lalu.

    Perhatikan: Orang-orang yang melukai Anda pada masa lalu tidak mungkin terus melukai Anda sekarang, kecuali jika Anda mempertahankan rasa sakit itu melalui kebencian. Masa lalu Anda adalah masa lalu! Tidak ada yang bisa mengubahnya. Anda hanya melukai diri dengan kepahitan Anda. Demi diri Anda sendiri, belajarlah dari masa lalu tersebut, lalu jangan mengingatnya lagi. Alkitab berkata, "Hanyalah orang yang bodoh saja yang mati sebab sakit hatinya."
  3. Banyak orang digerakkan oleh rasa takut.

    Ketakutan-ketakutan mereka mungkin merupakan akibat dari adanya pengalaman traumatis, harapan-harapan yang tidak masuk akal, bertumbuh dalam keluarga dengan pengawasan keras, atau bahkan kecenderungan genetik. Tanpa memandang penyebabnya, orang-orang yang digerakkan oleh ketakutan seringkali kehilangan kesempatan-kesempatan besar karena mereka takut untuk menanggung risiko. Sebaliknya, mereka mencari aman, menghindari risiko-risiko dan berupaya untuk memelihara status quo.

    Ketakutan adalah penjara yang dibangun oleh diri sendiri yang akan menghalangi Anda untuk menjadi apa yang Allah maksudkan bagi Anda. Anda harus bergerak melawannya dengan senjata iman dan kasih. Alkitab mengatakan, "Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalamm kasih."
  4. Banyak orang digerakkan oleh materialisme.

    Keinginan mereka untuk memiliki menjadi keseluruhan sasaran kehidupan mereka. Gerakan hati untuk selalu ingin lebih ini didasarkan pada kesalahpahaman bahwa memiliki lebih banyak akan membuat orang lebih bahagia, lebih penting, dan lebih aman, tetapi ketiga gagasan ini tidak benar. Hal-hal yang dimiliki hanya memberikan kebahagiaan sementara. Karena hal-hal tidak berubah, kita akhirnya menjadi bosan dengannya, dan selanjutnya mengingini jenis-jenis yang lebih baru, yang lebih besar, dan lebih baik.

    Juga hanya mitos yang menyatakan bahwa jika saya mendapat lebih banyak, saya akan menjadi lebih penting. Nilai diri sendiri dan nilai hal-hal yang Anda miliki tidaklah sama. Nilai Anda tidak ditentukan oleh barang-barang berharga Anda. Dan Allah berfirman bahwa hal-hal yang paling berharga dalam kehidupan bukanlah barang-barang!

    Mitos yang paling umum mengenai uang adalah bahwa memiliki lebih banyak uang akan membuat saya lebih aman. Tidak akan demikian. Kekayaan bisa hilang dalam sekejap -- melalui berbagai faktor yang tidak bisa dikendalikan. Rasa aman yang sesungguhnya hanya bisa ditemukan di dalam apa yang tidak pernah bisa diambil dari Anda, yaitu hubungan Anda dengan Allah.
  5. Banyak orang digerakkan oleh kebutuhan akan pengakuan.

    Mereka membiarkan harapan-harapan orangtua atau pasangan atau anak atau guru-guru atau teman mengendalikan kehidupan mereka. Banyak orang dewasa tetap berusaha untuk mendapatkan pengakuan orangtua yang tidak bisa disenangkan. Orang lain digerakkan oleh tekanan teman sebaya, selalu kuatir dengan apa yang mungkin dipikirkan orang lain. Sayangnya, orang-orang yang mengikuti orang banyak biasanya terpengaruh oleh pantangan orang banyak itu.

    Saya tidak mengetahui semua kunci menuju keberhasilan, tetapi salah satu kunci menuju kegagalan adalah berusaha menyenangkan semua orang. Dikendalikan oleh pendapat orang lain adalah cara yang pasti untuk kehilangan tujuan-tujuan Allah bagi kehidupan Anda. Yesus berkata, "Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan."

    Ada kekuatan lain yang bisa menggerakkan kehidupan Anda, tetapi semuanya akan membawa kepada jalan buntu yang sama: potensi yang tidak digunakan, rasa tertekan yang tidak perlu, dan kehidupan yang tidak memuaskan.
Perjalanan empat puluh hari ini akan menunjukkan kepada Anda, bagaimana menjalani suatu kehidupan yang memiliki tujuan - suatu kehidupan yang dituntun, dikendalikan, dan dipimpin oleh tujuan-tujuan Allah. Tidak ada hal yang lebih penting daripada mengetahui tujuan- tujuan Allah bagi kehidupan Anda, dan tidak ada yang bisa mengganti kerugiannya jika Anda tidak mengetahui tujuan-tujuan tersebut, entah itu keberhasilan, kekayaan, kepopuleran, atau pun kesenangan. Tanpa suatu tujuan, kehidupan bagaikan gerakan tanpa makna, kegiatan tanpa arah, dan peristiwa tanpa alasan. Tanpa suatu tujuan, kehidupan tidak berarti.

BERBAGAI MANFAAT KEHIDUPAN YANG DIGERAKKAN OLEH TUJUAN

Ada lima manfaat besar dari kehidupan yang memiliki tujuan:
  1. Mengenali tujuan Anda memberi makna bagi kehidupan Anda.

    Kita diciptakan untuk memiliki makna. Itulah sebabnya manusia mencoba metode-metode yang meragukan, seperti astrologi atau fisika, untuk menemukan makna tersebut. Apabila kehidupan memiliki makna, Anda bisa menanggung hampir segala hal; tanpa makna, tidak ada sesuatu pun yang bisa ditanggung.

    Seorang anak muda yang berusia dua puluhan menulis, "Saya merasa gagal karena saya berjuang untuk menjadi sesuatu, dan saya bahkan tidak mengetahui apa sesuatu itu. Satu-satunya cara bertindak yang saya ketahui adalah bertahan. Suatu hari, jika saya menemukan tujuan saya, saya akan merasa mulai hidup."

    Tanpa Allah, kehidupan tidak memiliki tujuan, dan tanpa tujuan, kehidupan tidak memiliki makna. Tanpa makna, kehidupan tidak memiliki arti atau harapan. Dalam Alkitab, bermacam-macam orang mengekspresikan keputusasaan ini. Yesaya mengeluh, "Aku telah bersusah-susah dengan percuma, dan telah menghabiskan kekuatanku dengan sia-sia dan tak berguna." Ayub berkata, "Hari-hari hidupku meluncur dengan cepatnya, habis tanpa harapan," dan "Aku jemu, aku tidak mau hidup untuk selama- lamanya. Biarkanlah aku, karena hari-hariku hanya seperti hembusan nafas saja." Tragedi terbesar bukanlah kematian, melainkan kehidupan tanpa tujuan.

    Harapan sama pentingnya seperti udara dan air bagi kehidupan Anda. Anda membutuhkan harapan untuk bertahan hidup. Dr. Bernie Siegel merasa dia bisa memperkirakan pasien kanker yang mana yang akan mengalami pengurangan penyakit dengan bertanya, "Apakah Anda ingin hidup sampai umur seratus?" Pasien dengan perasaan memiliki tujuan hidup menjawab ya dan merupakan orang-orang yang paling mungkin bertahan hidup. Harapan muncul karena ada tujuan.

    Jika Anda merasa putus asa, bertahanlah! Perubahan-perubahan yang mengagumkan akan terjadi dalam kehidupan Anda ketika Anda mulai menjalaninya dengan suatu tujuan. Allah berfirman, "Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu,... yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan." Anda mungkin merasa sedang menghadapi suatu situasi yang mustahil, tetapi Alkitab berkata, "Allah... dapat melakukan jauh lebih banyak hal daripada yang berani kita bayangkan -- sama sekali melebihi segala doa, keinginan, pikiran dan pengharapan kita."
  2. Mengenali tujuan Anda memuduhkan kehidupan Anda.

    Tujuan hidup menetapkan apa yang Anda kerjakan dan apa yang tidak Anda kerjakan. Tujuan Anda menjadi patokan yang Anda pakai untuk mengevaluasi kegiatan-kegiatan mana yang penting dan mana yang tidak. Anda hanya bertanya, "Apakah kegiatan ini membantu saya memenuhi salah satu dari tujuan Allah bagi kehidupan saya?"

    Tanpa suatu tujuan yang jelas, Anda tidak memiliki dasar di mana Anda melandasi keputusan Anda, membagi waktu Anda, dan menggunakan sumber daya Anda. Anda akan cenderung membuat pilihan-pilihan berdasarkan situasi, tekanan dan suasana hati Anda kala itu. Orang-orang yang tidak mengenali tujuan mereka berusaha untuk melakukan terlalu banyak hal -- dan hal itulah yang menyebabkan rasa tertekan, kelelahan, dan konflik.

    Mustahil melakukan segala hal yang orang lain ingin Anda lakukan. Anda hanya memiliki cukup waktu untuk melakukan kehendak Allah. Jika Anda tidak bisa menyelesaikan semuanya, itu berarti Anda sedang mencoba melakukan lebih dari apa yang Allah maksudkan untuk Anda lakukan (atau, mungkin, Anda terlalu banyak menonton televisi. Kehidupan yang memiliki tujuan membawa pada gaya hidup yang lebih sederhana dan jadwal yang lebih terkendali. Alkitab berkata, "Kehidupan yang mewah dan suka pamer adalah kehidupan yang kosong; kehidupan yang biasa dan sederhana adalah kehidupan yang penuh." Kehidupan yang memiliki tujuan juga membawa kepada ketenangan pikiran: "Engkau, TUHAN, memberikan damai sejahtera yang sempurna kepada orang-orang yang mengikuti dengan teguh tujuan mereka dan menaruh kepercayaan mereka kepada-Mu."
  3. Kewalahan

  4. Mengenali tujuan Anda membuat kehidupan Anda memiliki fokus.

    Tujuan itu akan memusatkan usaha dan energi Anda pada apa yang penting. Anda menjadi efektif karena bersikap selektif.

    Sudah merupakan sifat manusia untuk bingung karena soal-soal kecil. Kita bermain Trivial Pursuit (mengejar hal-hal sepele) dengan hidup kita. Henry David Thoreau mengamati bahwa banyak orang menjalani kehidupan "putus asa secara diam," tetapi sekarang gambaran yang lebih baik adalah bingung tanpa tujuan. Banyak orang seperti giroskop, yang berputar dengan kecepatan luar biasa, tetapi tidak pernah beranjak ke mana pun.

    Tanpa tujuan yang jelas, Anda akan terus mengubah arah, pekerjaan, hubungan, gereja, atau lingkungan - dengan berharap bahwa setiap perubahan akan menghentikan kebingungan atau mengisi kekosongan di dalam hati Anda. Anda berpikir, Mungkin sekarang akan berbeda, tetapi itu tidak memecahkan masalah Anda yang sesungguhnya, yaitu kurangnya fokus dan tujuan.

    Alkitab berkata, "Sebab itu janganlah kamu bodoh, tetapi usahakanlah supaya kamu mengerti kehendak Tuhan.

    Kuasa karena memiliki fokus adalah ibarat cahaya. Cahaya yang menyebar memiliki sedikit kuasa atau pengaruh, tetapi Anda bisa memusatkan energinya dengan memfokuskannya. Dengan kaca pembesar, sinar matahari bisa difokuskan untuk membakar rumput atau kertas. Ketika cahaya lebih difokuskan lagi seperti sinar laser, ia bisa memotong baja.

    Kekuatan dari suatu kehidupan yang terfokus hampir tidak ada duanya, yaitu kehidupan yang dijalani berdasarkan tujuan. Laki-laki dan perempuan yang berpengaruh paling besar dalam sejarah adalah orang- orang yang sangat terfokus. Misalnya, Rasul Paulus nyaris sendirian menyebarkan Agama Kristen di seluruh kekaisaran Romawi. Rahasianya adalah kehidupan yang terfokus. Paulus berkata, "Aku memfokuskan seluruh tenagaku pada satu hal ini: Melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku."

    Jika Anda ingin hidup Anda memiliki pengaruh, fokuslah! Berhentilah bermain-main. Berhentilah mencoba melakukan segala hal. Kurangi hal- hal yang Anda lakukan. Bahkan kurangi kegiatan-kegiatan yang baik dan hanya melakukan hal-hal yang paling penting. Jangan pernah mengacaukan antara aktivitas dengan produktivitas. Anda bisa sibuk tanpa memiliki tujuan, tetapi apa gunanya? Paulus berkata, "Marilah kita tetap fokus pada sasaran itu, kita yang ingin mencapai segala sesuatu yang Allah sediakan bagi kita."
  5. Mengenali tujuan Anda akan memotivasi kehidupan Anda.

    Tujuan selalu menghasilkan keinginan yang kuat. Tidak ada yang bisa membangkitkan energi seperti tujuan yang jelas. Sebaliknya, keinginan yang kuat memudar bila Anda tidak mempunyai tujuan. Bangun dari tempat tidur saja menjadi suatu tugas besar. Biasanya pekerjaan yang tidak berarti, dan bukan kelebihan kerja, yang meletihkan kita, menguras tenaga kita, dan merampas sukacita kita.

    George Bernard Shaw menulis, "Inilah sukacita sejati dalam hidup: dipakai untuk suatu tujuan yang disadari oleh diri Anda sebagai tujuan yang hebat; menjadi suatu kekuatan alam dan bukannya sedikit penyakit dan keluhan yang bersifat mementingkan diri, dengan mengeluh bahwa dunia tidak mau memberikan segalanya untuk membuat Anda bahagia."
  6. Mengenali tujuan Anda akan mempersiapkan Anda untuk menghadapi kekekalan.

    Banyak orang menghabiskan hidupnya dengan berupaya menciptakan warisan yang tanpa akhir di bumi. Mereka ingin dikenang ketika mereka meninggal. Namun, apa yang akhirnya paling penting bukanlah apa yang orang lain katakan tentang kehidupan Anda tetapi apa yang Allah katakan. Apa yang gagal disadari oleh orang-orang adalah bahwa segala pencapaian pada akhirnya lewat, catatan-catatan rusak, reputasi memudar, dan pujian dilupakan. Di kampus, sasaran James Dobson adalah menjadi juara tenis sekolah. Dia merasa bangga ketika pialanya ditempatkan secara menonjol di lemari piala sekolah. Bertahun-tahun kemudian, seseorang mengiriminya piala tersebut. Mereka menemukannya di sebuah tempat sampah ketika sekolah tersebut diperbaiki. Jim berkata, "Sesudah waktu yang cukup lama, semua piala Anda akan dianggap sampah oleh orang lain!"
    Tanpa Allah, kehidupan tidak memiliki tujuan, dan tanpa tujuan, kehidupan tidak memiliki makna. Tanpa makna, kehidupan tidak memiliki arti atau harapan.
    1. Facebook
    2. Twitter
    3. WhatsApp
    4. Telegram


    Hidup untuk menghasilkan warisan dunia adalah sasaran yang dangkal. Adalah lebih bijaksana kalau orang menggunakan waktunya untuk membangun suatu warisan kekal. Anda tidak ditempatkan di bumi untuk diingat. Anda ditempatkan di sini untuk bersiap-siap menghadapi kekekalan.

    Suatu hari, Anda akan berdiri di hadapan Allah, dan Dia akan memeriksa kehidupan Anda, suatu ujian akhir, sebelum Anda memasuki kekekalan. Alkitab mengatakan, "Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Allah... Demikianlah setiap orang di antara kita akan memberi pertanggungan jawab tentang dirinya sendiri kepada Allah." Untunglah, Allah ingin kita lulus ujian tersebut, karena itu Dia telah memberi kita pertanyaan-pertanyaannya sebelumnya. Dari Alkitab kita bisa menyimpulkan bahwa Allah akan menanyai kita dengan dua pertanyaan penting:

    PERTAMA, "Apa yang telah kamu lakukan terhadap Anak-Ku, Yesus Kristus?" Allah tidak akan bertanya tentang latar belakang agama atau pandangan doktrin Anda. Satu-satunya hal yang penting adalah apakah Anda menerima apa yang Yesus kerjakan bagi Anda dan apakah Anda belajar untuk mengasihi dan mempercayai-Nya? Yesus berkata, "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku."

    KEDUA, "Apa yang telah kamu lakukan terhadap apa yang telah Aku berikan kepadamu?" Apa yang telah Anda lakukan dengan kehidupan Anda, yakni semua karunia, talenta, kesempatan, energi, hubungan, dan kekayaan yang telah Allah berikan kepada Anda? Apakah Anda menggunakannya bagi diri Anda sendiri, ataukah Anda menggunakannya bagi tujuan-tujuan yang untuknya Allah menciptakan Anda?

BERPIKIR TENTANG TUJUAN SAYA

Pokok untuk Direnungkan:
Hidup berdasarkan tujuan adalah jalan menuju damai sejahtera.

Ayat untuk Diingat:
"Engkau, TUHAN, memberikan damai sejahtera yang sempurna kepada orang- orang yang dengan teguh memelihara tujuan mereka dan percaya kepada- Mu."

Yesaya 26:3 (TEV)

Pertanyaan untuk Dipikirkan:
Apakah yang menurut keluarga dan teman-teman saya merupakan daya penggerak kehidupan saya? Apa yang saya inginkan untuk menjadi penggerak kehidupan saya?

Sumber: 

Diambil dari:

Judul Buku : The Purpose Drive Life
-- Kehidupan yang Digerakkan oleh Tujuan
Judul Artikel : Apa yang Menggerakkan Kehidupan Anda?
Penulis : Rick Warren
Penerjemah : -
Penerbit : Gandum Mas, Malang Tahun 2004
Halaman : 29 - 37

Disiplin atau Rutinitas?

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Beberapa bulan terakhir ini, waktu saya habis untuk memikirkan tentang pembangunan kantor Yayasan Lembaga SABDA , yayasan yang saya bersama rekan-rekan pelayan lain terlibat dalam pelayanan. Saya menjadi sangat capai, khususnya secara mental dan fisik. Ketika jam sudah menunjukkan saya harus tidur, karena sudah larut, maka badan saya rasanya sudah sedikit "mati rasa". Begitu badan terhempas ke tempat tidur, pikiran sudah tidak ingat apa-apa sampai keesokan harinya. Karena berhari-hari demikian, maka badan "complain" dan "menagih" untuk mendapat "proper treatment". Badan saya mulai merasa tidak "fit" (segar), karena tenaga selalu terkuras habis, bahkan lebih dari yang saya miliki. Mulailah saya menerapkan "disiplin ekstra makan yang bergizi", karena saya tidak mau sakit. Hasilnya cukup lumayan, sampai hari ini saya masih hidup dan tidak sakit (meskipun capai terus).

Ternyata hal ini juga terjadi dengan kondisi kerohanian saya. Kerohanian saya mulai "capai" karena terkuras oleh banyaknya hal, khususnya kekuatiran dalam hal dana dan "accountability" terhadap Tuhan yang harus terus saya perjuangkan. Maka saya pun mulai menerapkan hal yang sama untuk kebutuhan rohani saya, yaitu "disiplin ektra makan yang bergizi". Saya teringat dengan banyak nasehat dari hamba Tuhan yang setia kepada Tuhan, "semakin sibuk dan banyak masalah, semakin banyak waktu untuk berdoa." Nah, mulailah saya melakukan disiplin untuk lebih banyak berdoa, berserah kepada Tuhan, merenung dan berdiam diri dengan Dia, (bahkan suami berpuasa). Hasilnya sangat luar biasa, secara rohani saya terus disegarkan, sehingga saya terus memuji Tuhan (meskipun masalah masih terus datang silih berganti).

Kisah saya di atas tentu ada hubungannya dengan artikel yang saya bagikan pada Anda di bawah ini (meskipun terlambat mengirimkannya, harusnya akhir bulan September, mohon dimaklumi ya). Saya membaca buku "Disciplines of Grace" beberapa bulan yang lalu (April), dan saya sangat terkesan dengan uraian penulis, betapa tepatnya ia menggambarkan tentang perbedaan antara disiplin rohani dan rutinitas rohani. Sejak itu, saya mencoba untuk terus sadar agar saya tidak terjebak dengan rutinitas rohani. Saya mendapat banyak berkat. Oleh karena itu, saya ingin membagikannya pada e-Reformed netters. Terima kasih banyak untuk Sdr. Joko yang membantu saya menerjemahkan artikel ini. Tuhan memberkati!

Artikel di bawah ini sebenarnya hanyalah cuplikan dari Bab I (tidak saya ambil semuanya, hanya bagian yang khusus menguraikan tentang perbedaan antara disiplin dan rutinitas). Semoga menjadi bahan renungan yang dapat menggugah semangat Anda dan memperbarui gaya hidup Anda.

In Christ,
Yulia Oen

Edisi: 
054/IX/2004
Isi: 

Orang Kristen modern tidak kurang ´relevansinya´ dengan dunia ini.
Kekurangan mereka adalah kehidupan yang disiplin dan pikiran yang
kritis untuk melawan pencobaan-pencobaan yang telah mengubahnya
menjadi seperti yang orang-orang dunia pikirkan dan lakukan.
(Simon Chan)

"Tetapi bertumbuhlah dalam kasih karunia dan dalam pengenalan akan
Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus.
Bagi-Nya kemuliaan sekarang dan sampai selama-lamanya.
(2Petrus 3:18)

Ada beberapa perbedaan yang mendasar antara rutinitas dan disiplin. Meskipun keduanya sangat penting bagi kehidupan, namun keduanya tidaklah sama. Karena alasan itulah, maka menjaga kedisiplinan agar tidak berubah menjadi suatu rutinitas sangatlah penting. Hal ini juga penting dalam kehidupan rohani kita, karena banyak sekali pengikut Kristus yang telah mengubah anugerah disiplin, yang diberikan Allah untuk membantu kita bertumbuh di dalam Dia, menjadi aktivitas- aktivitas rutin yang sama sekali tidak memiliki kuasa untuk mengubah kehidupan.

RUTINITAS DAN DISIPLIN

Orang tua yang sibuk.

Rutinitas adalah sesuatu yang kita lakukan untuk menjaga status quo, seperti menyikat gigi dan bersiap-siap untuk berangkat bekerja, mengganti oli mobil, mengunci pintu, mematikan lampu sebelum tidur, mengatur tempat tidur setiap pagi, dan lain-lain. Rutinitas-rutinitas ini menempati posisi penting dalam kehidupan kita, namun rutinitas- rutinitas ini tidak mengubah atau meningkatkan apa pun. Rutinitas hanya menjaga agar kita tetap berada pada tingkat tertentu, sehingga menolong semua sistem hidup kita berfungsi dengan normal.

Rutinitas tidak membutuhkan banyak usaha keras. Kita tidak perlu bersusah payah untuk melakukannya. Bahkan, mungkin kita melakukan rutinitas tanpa kita sadari -- seperti menyetir mobil ke kantor atau membuang sampah -- tanpa ada energi atau usaha tambahan sama sekali. Selain itu, rutinitas hanya membutuhkan sedikit pemikiran. Mengerjakan rutinitas tidak memerlukan perencanaan, tidak membutuhkan pengawasan yang serius atau evaluasi, dan dilakukan sepanjang waktu tanpa perlu pemikiran. Malah, ketika kita sedang melakukan rutinitas, kita menggunakan pikiran kita untuk memikirkan hal-hal lain. Hal ini sama seperti ketika seseorang mendengarkan radio sambil mempersiapkan diri untuk berangkat bekerja atau sambil menyetir kendaraan ke kantor. Rutinitas hanya membutuhkan sedikit waktu dan sedikit ketidaknyamanan, yang mana sebenarnya kita rela memberikannya karena kita telah mendapatkan keuntungan dari memeliharanya setiap hari. Rutinitas juga jarang diubah. Kita setiap hari selalu berangkat kerja melewati jalan- jalan yang sama, melakukan persiapan kerja dengan mengikuti urutan yang sama atau membersihkan dapur setelah makan dengan cara yang sama. Kita tidak merasa perlu untuk mengubah rutinitas, sehingga kita terus mengikutinya tanpa banyak berpikir atau menyesuaikan diri dari hari ke hari, dari tahun ke tahun. Rutinitas tersebut baik bagi kita, karena membuat kita tetap berada pada posisi status quo dalam beragam bidang kehidupan kita, namun sebenarnya rutinitas tidak membuat kita berkembang di bidang-bidang kehidupan tersebut.

Sedangkan disiplin berbeda. Disiplin adalah sesuatu yang kita lakukan dengan tujuan agar terjadi perubahan. Seperti yang dikatakan oleh Dallas Willard: "Disiplin adalah setiap aktivitas yang ada di bawah kuasa kita untuk kita lakukan, yang memampukan kita untuk melakukan apa yang tidak dapat kita lakukan tanpa "usaha terarah". Misalnya, menurunkan berat badan atau membentuk tubuh (sehingga kita tampil dan merasa lebih baik dan berumur lebih panjang); atau belajar ketrampilan baru dalam pekerjaan (sehingga kita bisa mendapatkan promosi atau naik posisi). Kita tidak bisa membuat diri kita merasa lebih baik, dan kita tidak bisa mendapatkan promosi atau naik posisi hanya dengan usaha biasa. Jadi, kita harus melakukan disiplin-disiplin tertentu yang kita percaya bisa memampukan kita untuk mencapai target yang kita inginkan tersebut -- hal-hal yang tidak dapat segera kita peroleh hanya dengan kekuatan biasa saja."

Kedisiplinan bisa menyedot usaha yang besar. Kita memaksa tubuh kita untuk naik ke level yang lebih tinggi melalui latihan setiap hari; atau kita meluaskan wawasan pikiran kita ke arah yang baru untuk memahami prosedur-prosedur baru atau menguasai teknologi baru. Kita memaksa otak dan tubuh kita untuk melakukan aktivitas yang terfokus dan sungguh-sungguh untuk mempersiapkan diri menerima peran dan tanggung jawab baru atau menjalani gaya hidup baru yang diinginkan. Disiplin yang baik membutuhkan keterlibatan intelektual yang serius -- yaitu membuat rencana, mengawasi kemajuan, mengevaluasi tingkat- tingkat penguasaan, dan lain sebagainya.

Lebih jauh lagi, disiplin cenderung melibatkan investasi waktu yang sangat besar. Untuk melakukan disiplin-disiplin tersebut kita harus mengorbankan aktivitas-aktivitas lain yang mungkin sebenarnya lebih kita sukai dan kita sungguh-sungguh akan mengkonsentrasikan waktu dan usaha agar bisa menguasai disiplin-disiplin tersebut karena kita yakin usaha tersebut dapat memberikan apa yang kita inginkan. Kita harus mau mengorbankan sesuatu yang kita senangi -- makanan, aktivitas-aktivitas di waktu luang, atau istirahat -- agar kita dapat mencurahkan waktu dan usaha yang diperlukan, misalnya untuk membentuk tubuh yang lebih sehat, menjadi karyawan yang lebih baik, atau menyiapkan diri untuk memperoleh pekerjaan baru. Disiplin cenderung perlu penyesuaian dari waktu ke waktu. Ketika kita telah mencapai satu tingkat tertentu atau penguasaan suatu hal, kita bisa mengubah disiplin-disiplin yang kita targetkan untuk mendorong kita mencapai tingkat yang lebih tinggi lagi.

Baik rutinitas maupun kedisiplinan, keduanya sangat penting dalam hidup kita. Namun, dua hal itu jelas tidak sama. Permasalahan timbul ketika kita mengizinkan hal yang disiplin menjadi semacam rutinitas saja. Ketika hal itu terjadi, maka disiplin yang kita terapkan, tidak hanya tidak menghasilkan apa yang kita inginkan tapi juga membuat disiplin menjadi sesuatu yang berat, menjengkelkan dan membosankan. Kita mungkin setia melakukan disiplin tersebut, namun tidak dengan cara sebagaimana seharusnya disiplin itu dirancang dan tentu saja, tidak banyak hasil yang diperoleh dari usaha yang kita lakukan itu.

Masalah ini menjadi hal yang serius, khususnya dalam area kehidupan rohani, yaitu ketika mempraktikkan anugerah disiplin, kita izinkan menjadi sesuatu yang tidak lebih dari sekedar rutinitas rohani belaka.

"Disiplin adalah setiap aktivitas yang ada di bawah kuasa kita untuk kita lakukan, yang memampukan kita untuk melakukan apa yang tidak dapat kita lakukan tanpa 'usaha terarah'." (Dallas Willard)

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Allah memberikan kita anugerah disiplin (disiplin rohani) sebagai cara untuk menolong kita bertumbuh dalam kasih kepada-Nya dan kepada sesama kita. Sarana-sarana yang berharga ini -- doa, Firman Tuhan, penyembahan, waktu sendiri bersama Tuhan (solitude), memberi persembahan, berpuasa, diam di hadirat Tuhan, dan lain-lain -- membawa kita masuk ke dalam hadirat-Nya, dengan cara yang tidak bisa didapatkan hanya dari kegiatan sehari-hari. Disiplin-disiplin ini akan memampukan kita untuk melihat sekilas kemuliaan-Nya dan masuk ke dalam kuasa-Nya yang dapat memberi pembaharuan hidup setiap hari dalam Yesus Kristus. Namun, ketika praktik disiplin rohani diizinkan berubah menjadi aktivitas-aktivitas rutin saja -- maka disiplin rohani itu kehilangan kuasanya untuk membawa kita bertatap muka dengan Tuhan dalam cara-cara yang mentransformasi hidup.

Pada zaman Yesus hidup di dunia, tidak ada kelompok lain yang dikenal lebih disiplin selain para pemimpin agama Yahudi. Semua orang zaman itu mengenal mereka sebagai orang yang paling banyak berdoa, paling mengenal Alkitab, paling setia berpuasa, dan paling sering memberi sedekah kepada orang miskin. Beberapa diantara mereka sangat sungguh- sungguh, misalnya Zakharia dan Nikodemus. Namun, sebagian besar diantara mereka tidaklah demikian. Disiplin-disiplin rohani yang mereka lakukan tidak mampu mempersiapkan hati mereka untuk menyambut kedatangan Mesias dan tidak mampu membuat mereka mengenali Yesus saat Dia muncul di tengah-tengah mereka untuk mengajar dan melakukan hal- hal yang baik. Praktik disiplin rohani yang mereka lakukan, tidak membantu mereka bertumbuh dalam kasih, baik kepada Tuhan maupun sesama. Banyak diantara mereka malah menjadi sombong, serakah, mengabaikan orang banyak dan sangat melindungi status istimewa mereka di mata masyarakat. Mereka melihat Yesus sebagai ancaman dan setelah tiga tahun mengawasinya, maka kemudian mereka bersekongkol merencanakan pembunuhan terhadap Dia.

Semua disiplin rohani orang-orang Farisi tidak berguna untuk menolong mereka mengalami kemuliaan Tuhan dan masuk ke dalam anugerah-Nya. Mereka menjalankan praktik disiplin rohani hanya untuk menjaga status mereka di masyarakat dan bukan supaya mereka bertumbuh dalam anugerah dan pengetahuan akan Tuhan. Disiplin rohani mereka telah menjadi rutinitas, yang hanya memberikan kepuasan diri yang besar dan membuat status mereka terlindungi di mata orang banyak. Namun, kehidupan rohani mereka kosong dan tidak mendapatkan persekutuan yang sungguh- sungguh dengan Tuhan. Mereka telah menjadi "kuburan yang dilabur putih", seperti yang diamati Yesus -- mereka memuaskan diri sendiri, membenarkan diri sendiri, bangga terhadap diri sendiri, dan congkak.

Sebelum kehidupan rohani kita berubah ke arah kondisi seperti itu, dan kita menjadi negatif dan suka menghakimi, kurang mengasihi dan tidak memiliki semangat untuk hidup dalam iman atau melakukan misi Yesus, maka kita perlu mempertimbangkan, apakah praktik disiplin rohani kita benar-benar sesuai dengan yang Tuhan inginkan dan rencanakan.

KONDISI DISIPLIN ROHANI MASA KINI

Gereja

Melalui gereja masa kini, kita sangat diberkati dengan berlimpahnya sumber bahan dan nasihat dan dorongan semangat yang tiada hentinya untuk menggunakan disiplin rohani bagi kemuliaan Kristus dan kerajaan- Nya. Tidak pernah ada kekurangan Alkitab dan bahan-bahan pemahaman Alkitab, kelompok kecil dan persekutuan untuk bersama-sama mempelajari Firman Tuhan, buku-buku dan konferensi doa, panduan dan juga kesempatan untuk menyembah atau ajakan untuk berpuasa. Kebanyakan orang yang saya kenal, yang menyatakan dirinya sebagai pengikut Kristus, telah melakukan disiplin-disiplin rohani pada tingkat-tingkat tertentu, meskipun banyak diantara mereka, pada saat yang sama, mengakui akan ketidakpuasan mereka pada kehidupan rohaninya. Walaupun demikian, secara keseluruhan, dari tampilan luar, praktik disiplin rohani tampak hidup dan sepertinya dijalankan dengan baik oleh jemaat gereja.

Tetapi, pertanyaan yang muncul adalah mengapa gereja kelihatan kurang kuasa. Mengapa keyakinan alkitabiah memainkan peran yang sangat kecil dalam membentuk budaya dan memberi arah bagi masyarakat kita? Mengapa pamor gereja-gereja semakin menurun bila dibandingkan dengan persentase populasi secara keseluruhan -- tanpa mengabaikan adanya fenomena gereja-gereja berjemaat besar (megachurch)? Mengapa tingkah laku, seperti sikap tidak sopan, kasar, dan asusila semakin berkembang dan ditoleransi oleh masyarakat kita? Mengapa orang percaya secara umum sangat tertutup mengenai iman mereka? Mengapa kita lebih banyak mencurahkan tenaga untuk membahas perdebatan-perdebatan sengit tentang masalah-masalah, seperti cara-cara tertentu dalam penyembahan, peran wanita dalam gereja, dan tempat budaya pop Kristen dalam kehidupan orang percaya? Mengapa kita dipandang rendah, bahkan dibenci oleh mereka dari kalangan elit budaya dan elit sosial dalam masyarakat kita? Dan mengapa, ketika kita berada di tengah-tengah masyarakat yang seharusnya menjadi ragi Kerajaan Kristus bagi roti zaman yang penuh dosa dan sedang sekarat ini, kita malah tidak menampakkan jati diri kita sebagai warga Kerajaan Surga?

Tidak diragukan, pasti ada banyak jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas, tapi satu dari jawaban tersebut yang saya ambil berdasarkan observasi saya secara pribadi, termasuk hasil membaca dan studi saya, membutuhkan penelitian lebih lanjut. Jawaban itu adalah, sebagai sebuah komunitas, orang percaya tidak mengalami apa yang Allah inginkan terjadi dalam hidup mereka melalui praktik disiplin-disiplin rohani yang mereka lakukan. Seperti kutipan kata-kata Simon Chan di awal artikel ini, orang Kristen modern tidak lagi terlibat dalam melakukan disiplin rohani atau kalaupun terlibat, keterlibatan mereka telah menjadi tidak sungguh-sungguh dan tidak bisa menjadi sumber anugerah dan kemuliaan yang mampu mengubah hidup mereka. Hal ini mungkin terjadi karena banyak dari mereka yang telah membiarkan disiplin rohaninya jatuh sebagai rutinitas saja tanpa mereka sadari. Mereka berdoa, membaca Alkitab, dan rajin beribadah, namun tidak terjadi apa-apa dalam kehidupan mereka sebagai warga Kerajaan Allah. Mereka masih terus terikat dengan dosa-dosa yang sama, semakin sulit mempersembahkan diri dalam pelayanan, menjadi cepat untuk mengkritik dan menghakimi orang-orang yang tidak sepaham dengan hal-hal rohani yang mereka percayai, dan enggan berbincang-bincang tentang hal-hal rohani dengan tetangga-tetangga mereka untuk kepentingan penyebaran Injil. Tapi pada saat yang sama mereka aktif menjalankan disiplin- disiplin rohani mereka -- rajin saat teduh, ikut kelompok pemahaman Alkitab, tekun menghadiri persekutuan -- namun, mereka tidak bertumbuh dalam anugerah-Nya. Sebaliknya, mereka malah hampir tidak lagi berusaha kecuali sekedar memelihara semacam status quo kehidupan rohaninya di tengah-tengah tekanan pencobaan-pencobaan, kewajiban dan pesatnya kemajuan masyarakat postmodern.

Untuk orang-orang seperti itu, bisa jadi disiplin-disiplin rohani telah berubah menjadi sekedar rutinitas, yang tidak punya kekuatan dan pengaruh untuk mengubah dunia ini bagi Kristus.

Disiplin-disiplin yang Allah inginkan untuk membawa kita masuk dalam hadirat kemuliaan-Nya dan mengubah kita untuk menjadi serupa dengan gambar Anak-Nya, bagi sebagian besar diantara kita, hanya tinggal rutinitas saja -- tidak lagi dipikirkan, tidak lagi diusahakan, tidak memberikan buah kecuali hanya sekedar untuk memenuhi tanggung jawab. Jika demikian, maka kita sama sekali tidak mungkin memperlengkapi diri untuk bisa hidup bagi Kerajaan-Nya di dunia ini.

Sumber: 

Bahan di atas dikutip dari:

Judul Buku:Disciplines of Grace
Judul Artikel:Disiplines or Routines?
Penulis:T.M. Moore
Penerbit:InterVarsity Press
Tahun:2001
Halaman:14-18

Langkah-langkah Mencari Kehendak Allah

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Kiriman artikel saya bulan Juli ini adalah tentang "Langkah-langkah Mencari Kehendak Allah". Memang, sudah ada banyak buku, artikel, bahkan seminar-seminar yang membahas tentang topik bagaimana mencari kehendak Allah. Bahan yang saya bagikan ini, kiranya bukan hanya menjadi pelengkap dari bahan-bahan yang sudah ada karena setelah membaca, saya melihat bahwa dalam memaparkan prinsip-prinsipnya, Dr. Stephen Tong sangat lengkap dan teliti. Pembahasan bukan hanya dari sisi teori saja, tapi juga dari pengalaman dan keduanya saling terintegritas.

Harapan saya, kiranya melalui artikel ini, para pembaca dapat hidup semakin dekat dengan kehendak Allah, khususnya untuk mereka yang sedang menggumulkan tentang masa depan.

"Di manakah manusia bisa mendapatkan keamanan
dan ketentraman hidup yang sejati di dunia ini?
Keamanan dan ketentraman hidup yang sejati hanya
akan Anda dapatkan dari hidup yang menjalankan
kehendak Allah."

In Christ,
Yulia Oen

Edisi: 
052/VII/2004
Isi: 

Alkitab berkata kepada kita bahwa ada orang yang akan binasa beserta dengan dunia yang penuh dengan nafsu. Akan tetapi, ada orang-orang yang akan tetap hidup kekal di hadapan Tuhan karena menjalankan kehendak Allah. Yesus Kristus berkata bahwa suatu hari akan datang orang-orang yang berkata, "Tuhan bukankah kami sudah melakukan mukjizat demi nama-Mu, menyembuhkan orang lain demi nama-Mu, mengusir setan demi nama-Mu?" Yesus akan menjawab, "Pergilah engkau, karena Aku belum pernah mengenal kamu." (Matius 7:22,23). Maka, jangan menganggap bahwa mereka yang menyebut Tuhan pasti masuk ke dalam kerajaan Allah. Hanya mereka yang menjalankan kehendak Allah yang akan masuk ke dalam kerajaan Allah.

Alkitab dah berdoa.

Ayat-ayat ini sangat membuat kita gentar. Siapakah orang Kristen yang sejati itu? Banyak orang yang menggunakan nama Yesus untuk melakukan mukjizat menyembuhkan orang lain, sepertinya Roh Kudus bekerja, tetapi hidup mereka tidak mengenal Allah, sehingga Allah harus mengatakan, "Aku belum pernah mengenal engkau."

Kalau perkataan itu keluar dari mulut seorang hamba Tuhan, ia akan dianggap terlalu keras. Akan tetapi, jikalau perkataan itu keluar dari mulut Yesus Kristus, maka tidak ada tempat untuk naik banding lagi. Tuhan Yesus begitu jelas mengajarkan kepada kita untuk menjalankan kehendak Allah lebih baik daripada memiliki karunia dan talenta dan memakai nama-Nya di dalam melakukan pelayanan.

I. Tidak Ada Jalan Pintas untuk Mengenal Kehendak Allah.

Siapa yang bisa mengenal kehendak Allah? Mungkinkah manusia mengenal kehendak Allah? Dengan cara bagaimana manusia mengenal kehendak Allah? Kita akan masuk ke dalam uraian yang lebih praktis dan pragmatis. Akan tetapi, pada zaman yang serba pragmatis ini, justru membuat manusia lebih sulit untuk mengenal kehendak Allah.

Kita tidak ingin belajar tata bahasa, tetapi ingin dapat berbicara dalam bahasa Inggris dengan baik. Kita tidak mau belajar teori musik dan vokal, tetapi ingin masuk televisi. Kita tidak mau belajar hal-hal yang penting dari Tuhan, tetapi ingin langsung menjadi hamba Tuhan yang menonjol. Itu adalah jalan pintas, dan jalan pintas ini adalah hal yang melawan kehendak Allah.

Tidak ada jalan yang pendek. Yang ada adalah menurut jalan yang sudah ditetapkan dalam prinsip-prinsip Alkitab! Jika Allah mau memakai jalan pendek, mudah sekali Ia menyelamatkan kita. Kuasa-Nya terlalu besar. Akan tetapi, tidak ada jalan pintas dalam rencana Allah. Ia harus mengutus Tuhan Yesus masuk ke dalam dunia melalui proses dilahirkan oleh anak dara, menjadi bayi, dibesarkan lewat makanan, menjadi dewasa, dan menyerahkan tubuh-Nya untuk disalib.

Saya tidak mau langsung masuk ke dalam hal praktis, oleh karena saya mau mempersiapkan zaman ini menjadi generasi yang bertanggung jawab, yang belajar baik-baik di hadapan Tuhan. Itu panggilan yang tidak boleh saya tolak. Gereja didirikan bukan untuk hura-hura, tetapi mempersiapkan generasi yang memiliki prinsip yang ketat dan konsisten terhadap Firman Tuhan.

Mungkinkah kita mengenal kehendak Allah? Manusia mungkin mengenal kehendak Allah! Jika manusia menganggap tidak mungkin mengenal kehendak Allah, itu berarti kita sudah menerima pandangan yang salah dari filsafat Skeptisisme dan Agnostisisme yang mengatakan bahwa manusia tidak mungkin mengenal realitas yang terakhir. Itu bukan ajaran Kristen!

Jikalau manusia tidak mungkin mengenal kehendak Allah, maka Allah tidak perlu mewahyukan Alkitab kepada kita. Allah tidak perlu susah payah melewati 1600 tahun dengan 40 orang nabi dan rasul mencatatkan kehendak-Nya bagi kita masing-masing. Akan tetapi, sekarang banyak orang Kristen yang menginginkan jalan pintas, tidak mau membaca Kitab Suci, tetapi langsung mencuplik ayat sana-sini. Orang yang demikian, tidak mungkin mengenal kehendak Allah dengan tepat dan total.

II. Mengenal Kehendak Allah Secara Total.

Apa yang Allah inginkan agar manusia mengerti kehendak dan rencana-Nya secara total?

a. Menjadi murid yang mau mendengar dan taat.

Telinga kita bukan cuma untuk mendengar musik rock, gosip, teori manusia, dan berita tiap hari yang tidak ada habisnya. Itu adalah hal yang lebih remeh dan tidak terlalu penting. Yang terpenting adalah mendengar Firman Tuhan dan prinsip-prinsip Alkitab untuk mengenal rencana Allah secara total. Utamakanlah segala potensi Saudara berfungsi untuk mengerti rencana Allah yang benar.

Nabi Yesaya berkata, "Berikanlah padaku lidah yang mau diajar." (Bdk. Yesaya 0:4). Mengapa tidak dikatakan "lidah yang pandai mengajar?" Bukankah itu dibutuhkan oleh seorang nabi? Maksudnya di sini, seorang yang mau mengajar harus diajar lebih dulu, seorang yang mau memberitakan Firman harus lebih dulu peka mendengar suara Tuhan.

Saya dilahirkan dalam suasana yang tidak baik. Saya lahir dalam suasana perang, tidak lama kemudian ayah saya meninggal, sehingga saya tumbuh sebagai anak yang minder. Akan tetapi, setelah dewasa, sebagai seorang pemberita Injil, saya menjadi berani. Selama menjadi pendeta saya gentar, karena harus baik-baik mendengar Firman Tuhan yang akan saya sampaikan untuk memenuhi kebutuhan rohani Saudara. Saya harus taat lebih dulu kepada Tuhan, itulah lidah yang mau menerima pengajaran.

Jangan terlalu cepat melibatkan diri dalam pelayanan yang muluk-muluk tanpa memiliki iman yang sehat dan benar. Itu akan merusak iman orang lain. Alkitab mengingatkan, jangan banyak orang menjadi guru karena mereka akan menerima hukuman yang lebih berat (Yakobus 3:1). Bukannya saya mau menahan Saudara dari keberanian mengajar dan semangat pelayanan. Akan tetapi, tunggu dulu! Seperti Amanat Agung diberikan, tetapi harus menunggu sampai Roh Kudus turun (Kisah Para Rasul 1:4). Ini adalah paradoks, di satu pihak harus mengabarkan Injil, di pihak lain harus menunggu dulu; harus mengajar, tapi harus belajar dulu. Ini semua dilakukan untuk kepentingan kita masing-masing untuk menjadi hamba Tuhan yang stabil.

Langkah pertama adalah menetapkan dulu untuk taat. Yesus Kristus berkata, "Barangsiapa mau melakukan kehendak Allah, ia akan tahu bahwa ajaran-Ku berasal dari Bapa." (Yohanes 7:17)

Pernyataan ini bertentangan dengan dua filsafat Tiongkok. Pertama, filsafat yang mengatakan: "Lebih mudah untuk tahu, tetapi menjalankan susah." Misalnya, orang yang berdagang, secara teori mungkin dia banyak tahu, tetapi begitu terjun dalam perdagangan, belum tentu bisa sukses.

Yang kedua mengatakan: "Lebih mudah menjalankan, tetapi untuk mengetahui sesuatu itu tidak mudah." Misalnya, bayi menyusu dari ibunya. Ia tahu bagaimana menyusu, tapi ia tidak tahu bagaimana susu bisa menyehatkan dia. Jadi menurut Saudara, pendapat mana yang benar? Pendapat pertama atau yang kedua?

Sadar atau tidak, kita sudah terjerumus di dalam salah satu pandangan ini. Namun, kedua pandangan ini ditolak oleh ayat di atas. Bukan karena tahu baru bisa menjalankan atau karena menjalankan akhirnya menjadi tahu. Akan tetapi, jika seseorang mau mengenal kehendak Allah, dengan niat mau menjalankannya, maka barulah ia akan tahu! Di sini, Kristus menetapkan kemauan yang taat mendahului hal mengetahui dan menjalankan. The will to know, the will to do, and the will to submit yourself to do the will of God is prior to the knowledge and to the practical action. Ini merupakan suatu ajaran yang besar sekali dan menjadi filsafat yang lebih tinggi dari filsafat manusia serta menjadi jaminan bahwa kita pasti mengetahui kehendak Allah.

Allah tidak akan menyatakan pimpinan kehendak-Nya kepada mereka yang tidak berniat taat kepada Tuhan. Jikalau Saudara tidak berniat untuk taat kepada Tuhan dan hanya ingin bermain-main saja, Allah tidak akan memberitahukan kepada Saudara apa yang harus Saudara jalankan. Di dalam Allah, ada anugerah yang diberikan secara cuma-cuma, tetapi tidak dijual murah. The grace of God is free but not cheap. Kalimat ini diucapkan oleh Dietrich Boenhoefer yang dibunuh oleh Hitler.

Begitu banyak orang menganggap Allah terlalu murah hati, sehingga bermain-main dan mengira Tuhan gampang mengampuninya. Allah kita seperti api yang menghanguskan. Oleh sebab itu, kita harus berhati-hati di hadapan-Nya. Jika kita mau sungguh-sungguh menjalankan kehendak Allah, maka Allah akan menyatakan kehendak-Nya. Kalau tidak, Allah akan membiarkan Saudara sembarangan menerima ajaran yang tidak beres dan seumur hidup engkau akan dibuang ke dalam tangan setan.

b. Berada di dalam jalur Alkitab.

Tidak mungkin ada sesuatu yang dikatakan kehendak Tuhan, tetapi bertentangan dan di luar jalur Kitab Suci. Apa yang dicantumkan dalam Kitab Suci merupakan patokan dan lingkar batasan di mana di dalamnya kita menemukan cara Tuhan memimpin kita. Tetapkan hati Saudara hanya mengerti Firman Tuhan di dalam Alkitab saja.

Saya paling takut kalau melihat orang yang mengaku rohani, tetapi sebenarnya melawan prinsip-prinsip rohani; mereka yang sering mengatakan "ini kehendak Tuhan" justru kebanyakan tidak mengerti kehendak Tuhan. Mereka memakai Kitab Suci dan mengutip ayat-ayat, padahal di antara mereka ada yang sama sekali tidak mengerti Alkitab dengan baik. Itulah gejala-gejala yang berlainan dengan esensi kekristenan yang sejati.

Jika Saudara mengaku mendapat mimpi dan ternyata mimpi itu tidak sesuai dengan Kitab Suci, buang mimpi itu! Pengalaman dan perasaan itu tidak boleh disamaratakan dengan Firman Tuhan. Firman Tuhan lebih besar dari pengalaman manusia. Kebenaran yang memimpin pengalaman, bukan pengalaman memimpin kebenaran. Firman ini adalah kebenaran yang mengadili pengalaman manusia.

Ada seseorang yang mendapat mimpi-mimpi luar biasa, kemudian mimpi-mimpi itu dilukiskan dan dipigurakan. Baginya, lukisan mimpi itu penting dan terus diingat, bahkan sampai ia lebih mementingkan lukisan itu daripada Alkitab. Ia berdoa kepada Tuhan di hadapan lukisan-lukisan ini karena merasa di situlah ia bisa betul-betul berkonsentrasi dalam berdoa. Ia berniat untuk mewariskan lukisan itu kepada keturunannya.

Baginya, wahyu kepada nabi sejajar dengan wahyu lewat mimpinya. Bahkan yang didapatnya itu lebih sempurna, karena diberi belakangan. Saya katakan kepadanya, "Buang dan bakar lukisan itu supaya keturunanmu tidak menjadi bidat. Bawa mereka kembali kepada Alkitab."

c. Jangan mengabaikan prinsip-prinsip Alkitab.

Kalau Saudara bertanya, "Bagaimana kalau Alkitab tidak memberitahu hal yang saya ingin tahu, misalnya tentang berjudi, merokok dan sebagainya?" Banyak hal yang tidak ditulis oleh Alkitab, tetapi bukan berarti kita boleh melakukan sesuatu dengan sembarangan. Alkitab memang tidak menyatakan berbagai hal secara jelas, tetapi tetap ada prinsip-prinsip yang diberikan. Paulus memberikan tiga prinsip Alkitab terhadap hal-hal yang demikian, yaitu:

1. Aku Boleh Berbuat Segala Sesuatu, tetapi Harus Memuliakan Allah.

Janganlah melakukan apa yang tidak memuliakan Allah, meskipun tidak dilarang oleh Alkitab! Pada prinsip pertama ini memang terlihat bahwa orang Kristen mempunyai kebebasan, tetapi kebebasan Kristen bukan kebebasan yang liar. Kebebasan Kristen harus berada di dalam jalur kebenaran, kesucian, keadilan, dan cinta kasih. Hal-hal ini melingkari kita, menjadi batasan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

2. Apakah yang Saya Lakukan ini Berfaedah dan Membangun Orang Lain?

Satu kalimat saja bisa membangun atau menjatuhkan seseorang! Mulut kita harus hati-hati di dalam berkata-kata. Bukan karena kebebasan kita, maka kita boleh sembarangan saja. Tetapi, kebebasan yang sudah kita letakkan di bawah kedaulatan Tuhan Allahlah yang mengakibatkan saya harus memilih cara berbicara, berlaku dan berbuat sesuatu sehingga membangun orang lain. Jikalau apa yang hendak Saudara lakukan itu mempermalukan Allah dan merusak iman orang lain, bagaimanapun juga jangan lakukan itu, karena itu pasti bukan kehendak Allah.

3. Tidak Ada Ikatan yang Akan Membatasi atau Membelenggu.

Jika kita pergi ke suatu tempat, akhirnya tempat itu mengikat kita, jangan pergi ke situ lagi. Jika ada satu buku yang mengikat Saudara, berhentilah membaca buku itu. Kalau apa yang Saudara kerjakan telah merebut tempat yang seharusnya Tuhan bertakhta, jangan lakukan itu. Alkitab tidak mengatakan tidak boleh merokok, mengisap ganja atau mabuk-mabukan. Akan tetapi, Alkitab mengatakan dengan jelas bahwa kita tidak boleh terbelenggu oleh apa pun yang kita kerjakan.

Pertama kali Saudara merokok, mungkin karena diajak teman, atau tergiur iklan. Akan tetapi, akhirnya Saudara terikat, kecanduan, dan tidak bisa berhenti. Tahukah Saudara bahwa sebatang rokok bisa membunuh tujuh ekor burung gelatik? Ingatlah: yang bermain-main dengan dosa justru akan dipermainkan oleh dosa!

Di dalam cerita Tiongkok kuno, ada seseorang, setelah perang melewati perkebunan yang tidak bertuan lagi. Ia sangat haus, sementara di kebun itu banyak buah semangka. Temannya menyarankan untuk mengambil saja, karena tanah itu tidak ada pemiliknya. Akan tetapi, ia tidak mau mengambil, karena sekalipun tanah itu tidak ada pemiliknya, di hatinya ada pemiliknya. Janganlah kita mau dikuasai oleh yang jahat, tetapi kita mau dikuasai oleh yang baik. Tidak ada tempat yang lebih aman daripada cara Tuhan memelihara kita masing-masing.

Yang terpenting adalah mendengar Firman Tuhan dan prinsip-prinsip Alkitab untuk mengenal rencana Allah secara total.

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Saya tidak mau Saudara bertindak ekstrim dalam menjalankan kehendak Allah. Maksudnya, kita tidak perlu sampai menjadi orang schizophrenik, tiap hari bertanya kepada Tuhan untuk hal-hal yang remeh, seperti harus pakai baju apa dan sebagainya. Yang penting prinsip-prinsip Alkitab tidak dilanggar.

Orang Kristen hidup diberi kebebasan. Kita bukan hidup hanya berdasarkan larangan, tidak boleh ini dan itu, tetapi berdasarkan kesadaran untuk tidak mau melakukan hal-hal yang tidak Tuhan kehendaki.

d. Sejahtera Kristus memerintah dalam hati.

Bagaimana kalau tiga prinsip ini tidak terlanggar, tetapi Saudara masih belum yakin kehendak Tuhan atau bukan? Kita masuk ke dalam prinsip ke-4, yaitu damai sejahtera Kristus memerintah hati Saudara atau tidak. Memang, prinsip-prinsip di atas tidak terlanggar, tetapi sewaktu ingin melakukannya kenapa hati merasa tidak tenang, ada ketegangan? Itu karena Roh Kudus adalah Roh yang hidup, Roh Kudus adalah Allah. Dan, Allah yang sudah memberi hidup baru kepada Saudara adalah Allah yang bertanggung jawab memelihara hidup itu dalam diri orang yang sudah lahir baru. Roh Kudus akan memimpin orang itu seperti seorang ibu yang tidak akan membiarkan bayinya begitu saja. Ia akan terus menjaga bayi itu. Hati nurani kita yang sudah diperbaharui dan dibersihkan oleh darah Yesus Kristus akan menjadi hati yang peka terhadap suara Roh Kudus. Kita harus memiliki kepekaan untuk taat kepada Tuhan. Paulus mengatakan, "Biarlah sejahtera Kristus memerintah hatimu." Maksudnya, waktu Saudara mengerjakan sesuatu, biarlah hatimu sejahtera. Kalau tidak sejahtera, jangan lakukan!

Kalau ada orang yang mengatakan, "Saya selalu sejahtera melakukan segala sesuatu. Membunuh orang, rasanya sejahtera; menipu orang juga rasanya sejahtera saja." Hal ini terbentur pada dua hal:

PRINSIP PERTAMA: bertekad bulat untuk taat.

Orang yang melakukan segala sesuatu dengan sejahtera tanpa ketaatan, berarti orang itu berada di luar jalur kehendak Allah.

PRINSIP KEDUA: 1Yohanes 3:20. Lakukan segala sesuatu, tetapi ingat bahwa Tuhan lebih besar dari hati kita.

Yohanes memberikan prinsip yang penting sekali. Ketika Saudara melakukan suatu perbuatan salah pertama kali, mungkin merasa tidak sejahtera, tetapi semakin diulang, perasaan tidak sejahtera itu semakin berkurang, pada akhirnya Saudara melakukannya tanpa ada tuduhan dari hati nurani. Akan tetapi, ingat bahwa Allah lebih besar dari hati kita. Maka, berlutut dan berdoalah kembali. Waktu berdoa lagi, sesuatu penyegaran ulang terjadi dan suara Tuhan akan bekerja dalam hatimu.

Sejahtera Kristus adalah istilah khusus yang bersangkut paut dengan penganiayaan dalam menjalankan kehendak Allah. Pada waktu kita mau menjalankan kehendak Allah, kita mungkin akan mengalami penganiayaan atau kesulitan. Di sinilah sejahtera Allah memelihara Saudara. Dalam Yohanes 14:27; 6:33, dua kali Tuhan Yesus mengatakan bahwa di dalam Dia ada sejahtera yang berbeda dengan sejahtera dunia yang mau diberikan kepada para murid. Itu sebabnya, Yesus begitu tenang di kayu salib, bahkan Ia mendoakan para musuh-Nya. Setelah Kristus bangkit, Ia terus mengulang istilah ini kepada para murid.

Damai sejahtera Kristus adalah suatu istilah khusus untuk mereka yang menjalankan kehendak Tuhan. Mereka akan mempunyai ketenangan dan damai yang tidak mungkin direbut siapa pun. Sejahtera Kristus penting bagi mereka yang mau melayani dalam penderitaan. Kerjakan sesuatu dengan perintah dari sejahtera Kristus dalam hatimu.

e. Proses pengujian.

Waktu seseorang memutuskan untuk menikah, ia tetap perlu mencari kehendak Tuhan. Ia perlu berdoa dengan setia tanpa terpengaruh dengan unsur dari luar. Saya gambarkan: bila seseorang jatuh cinta, maka waktu ia berdoa, makin berdoa, makin yakin bahwa pilihannya itu adalah kehendak Allah. Karena ketika tutup mata yang terbayang adalah wajah orang yang dicintainya, sehingga ia makin merasa yakin ini adalah kehendak Tuhan. Akan tetapi, ketika ia mengatakan kepada pilihannya bahwa Tuhan berkehendak agar mereka berdua menikah, maka pilihannya itu perlu pula untuk merasa tahu bahwa Tuhan memang menghendaki demikian. Dalam hal ini jika benar itu adalah kehendak Allah, maka kedua belah pihak akan mengerti. Karena itu, jangan pakai istilah ini untuk menakut-nakuti orang yang kurang rohani. Kehendak Tuhan harus berkaitan dengan orang yang bersangkutan.

Contoh: Eliezer mencari menantu untuk Abraham (Kejadian 24). Eliezer berdoa kepada Tuhan meminta pimpinan Tuhan dengan jelas, sehingga ia tidak salah mengambil keputusan. Eliezer berdoa, "Tuhan, di sini aku berdiri di dekat mata air, dan gadis-gadis kota ini datang keluar untuk menimba air. Tuhan tunjukkan siapa gadis yang rela memberikan air bagiku dan unta-untaku, sehingga aku tahu dialah yang Kau tentukan bagi Ishak."

Apa yang didoakannya kemudian terjadi, di mana seorang gadis cantik bernama Ribka melakukan semua yang diminta Eliezer. Dengan demikian, Eliezer baru berani meminang gadis itu dan membawanya bagi Ishak. Eliezer tidak memaksa Ribka. Ia hanya meminta, kalau boleh Tuhan menggerakkan hati gadis ini. Kemudian hal yang luar biasa terjadi, Ribka dan keluarganya mau menerima pinangan Eliezer. Sekarang tinggal satu hal lagi, yaitu apakah Ishak sendiri mau menerima Ribka atau tidak. Alkitab mencatat reaksi Ishak dengan jelas, setelah melihat Ribka ia jatuh cinta dan mau mengambil Ribka menjadi istrinya. Di sini kita melihat semua pihak tidak ada yang berkontradiksi dengan pimpinan Tuhan satu sama lain.

Dua puluh tahun yang lalu, di kota Semarang ada seorang wanita berkata kepada saya bahwa hidupnya begitu susah karena ia tidak mencintai suaminya. Tiap hari mereka bertengkar dan hidup seperti di dalam neraka, sehingga ia mau bunuh diri. Saya tanyakan mengapa ia dulu memutuskan mau menikah dengan pria itu. Ia katakan karena ada seorang pendeta yang mengaku dipenuhi Roh Kudus dan mendapat pimpinan Tuhan untuk menikahkan mereka berdua. Karena takut melawan kehendak Tuhan, akhirnya mereka mau dinikahkan, tapi tak pernah satu haripun mereka lalui dengan damai. Celakalah pendeta seperti ini, yang tidak mau membimbing dengan baik-baik, sehingga mengorbankan dua orang seumur hidup berada di dalam kesulitan.

Jangan sembarangan menerima nasihat seperti itu. Alkitab mengatakan, ujilah apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna (Roma 2:2). Hati-hati kepada mereka yang memakai nama Tuhan tetapi telah merusak kekristenan dan iman banyak orang.

Cari kehendak Allah dalam suatu pengujian. Tanpa proses pengujian ini kita tidak akan mengenal kehendak Allah dengan jelas. Kita akan menjadi orang yang sembrono dan menipu diri serta menipu orang lain.

f. Berdiskusi dan rendah hati mencari pengertian dari mereka yang dewasa rohaninya.

Carilah nasihat dari orang yang dewasa rohani. Meskipun ini tidak mutlak, namun baik untuk dilakukan. Coba dengarkan apa yang orangtua atau pembimbing rohani Saudara katakan, karena mereka setia berdoa bagi Saudara dan mengerti Firman Tuhan dengan baik. Mereka mempunyai pengalaman dan pertimbangan yang lebih banyak daripada Saudara. Biarlah mereka memberikan pandangan dan prinsip-prinsip yang penting, sehingga Saudara taat.

Bukan berarti mereka 100% benar, karena orang rohani pun bisa salah. Tetapi, tidak ada ruginya kalau Saudara mau mendengarkan pandangan mereka. Dengan demikian, Saudara bisa menghindarkan diri dari jalan-jalan yang tidak berguna, dan tidak perlu menghamburkan waktu dan energi.

g. Tunggu dan sabar terhadap waktu Tuhan.

Waktu merupakan faktor yang terpenting. Mengapakah kita tidak betul-betul mengerti kehendak Tuhan? Karena sebelum waktu Tuhan sampai, Saudara sudah tidak sabar dan melangkahi Tuhan. Padahal, jika genap waktunya di dalam rencana Allah, maka pekerjaan Tuhan tidak akan salah. Mungkin kita harus menunggu bertahun-tahun sampai genap waktu Tuhan.

Musa pada umur 80 tahun baru dipanggil oleh Tuhan. Ini tidak berarti ia menghambur waktu selama 80 tahun, tetapi 40 tahun berikutnya yang dijalani dalam hidupnya dapat ia pakai untuk melayani Tuhan dengan matang tanpa melakukan kesalahan yang besar. Meskipun ada cacat, tetapi tidak fatal.

Yesus Kristus harus menunggu sampai berumur 30 tahun dan hanya melayani tiga setengah tahun lamanya. Sepertinya hal ini amat disayangkan. Bukankah kalau Kristus memulai pelayanan pada umur 16 tahun, Ia bisa dipakai lebih banyak? Tidak bisa! Itu adalah waktu Tuhan sendiri. Kadang-kadang, semua prinsip sudah kita jalankan dan tidak ada yang terlanggar, tetapi kita mesti menunggu sampai suatu hari kita akan jelas mengerti waktu Tuhan untuk bertindak.

Alangkah indahnya jika hidup Saudara mulai digarap Tuhan. Meskipun belum jelas tahu kehendak Tuhan, tetapi jika Saudara mau sungguh-sungguh taat kepada Tuhan dan mengetahui prinsip Alkitab dengan jelas, maka beranilah melangkah!

Membaca Alkitab.

Kutipan Ayat-ayat Alkitab:

1. 1 Yohanes 3:19,20

Demikianlah kita ketahui, bahwa kita berasal dari kebenaran. Demikian pula kita boleh menenangkan hati kita di hadapan Allah, sebab jika kita dituduh olehnya, Allah adalah lebih besar dari pada hati kita serta mengetahui segala sesuatu.

2. Kolose 3:15

Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah di dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh dan bersyukurlah.

3. 1 Korintus 6:12

Segala sesuatu halal bagiku tetapi bukan semuanya berguna, segala sesuatu halal bagiku tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh suatu apa pun.

Terj. lain:

Saya boleh berbuat segala sesuatu, karena tidak ada larangan bagiku untuk berbuat segala sesuatu, tetapi bukan berarti segala sesuatu yang saya perbuat ada faedahnya bagiku. Waktu saya mengerjakan sesuatu saya tidak boleh diikat oleh apa yang saya perbuat.

4. 1 Korintus 10:23,24,31

"Segala sesuatu diperbolehkan." Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. "Segala sesuatu diperbolehkan." Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun. Jangan seorangpun yang mencari keuntungannya sendiri, tetapi hendaklah tiap-tiap orang mencari keuntungan orang lain. Aku menjawab. Jika engkau makan atau minum, atau jika engkau melakukan segala sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.

5. Yohanes 7:17

Barangsiapa mau melakukan kehendak-Nya, ia akan tahu entah ajaran-Ku ini berasal dari Allah entah Aku berkata kata dari diri-Ku sendiri.

Terj. lain:

Barangsiapa yang berkehendak untuk menjalankan kehendak Allah, pasti ia mengakui ajaran-Ku ini berasal dari Bapa, bukan dari diri-Ku sendiri.

Audio: Langkah-Langkah Mengetahui Kehendak Allah

Sumber: 

Bahan di atas dikutip dari:

Judul Buku:Mengetahui Kehendak Allah
Judul:Langkah-langkah Mencari Kehendak Allah
Penulis:Pdt. Dr. Stephen Tong
Penerbit:Pusat Literatur Kristen Momentum - 1999
Hal:169 - 182

Postmodernis Cilik

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Sebelum saya sendiri memiliki anak, saya tidak pernah membayangkan bahwa ternyata anak-anak itu bukan hanya malaikat-malaikat kecil, tapi mereka adalah filosof-filosof kecil. Jika kita cukup peka mengamati apa yang mereka katakan, apa yang mereka pikirkan dan apa yang mereka lakukan, maka kita akan sering dikejutkan dengan kepolosan pandangan mereka terhadap dunia sekelilingnya. Ternyata mereka sangat sensitif. Tapi, pernah tidak kita meluangkan waktu memikirkan apa yang dapat kita pelajari dari anak-anak kita itu?

Tulisan J. Mack Stiles yang saya sajikan untuk Publikasi e-Reformed bulan ini membuktikan bahwa ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari anak kecil, ... kalau kita mau .... :( J. Mack Stiles adalah Direktur Regional InterVarsity Christian Fellowship di kawasan Amerika Tenggara yang tinggal di Lexington, Kentucky. Ketiga anak laki-lakinya, Tristan, David, dan Isaac, memberi inspirasi bagi bukunya yang berjudul: 17 HAL YANG DIAJARKAN ANAKKU TENTANG ALLAH. (Salah satu hal tersebut dapat Anda simak melalui artikel di bawah ini).
Nah, selamat membaca dan merenungkan.

In Christ,
Yulia Oen

Edisi: 
050/V/2004
Isi: 

Anak saya Isaac, sewaktu berusia 23 bulan dan masih terlalu kecil untuk memahami hari-hari dalam seminggu, telah mulai menyadari suatu pola di sekitarnya: panekuk berarti hari Sabtu, bunyi jam weker David berarti hari sekolah, bila setiap orang berpakaian bagus berarti perjalanan menuju tempat penitipan anak di gereja, yang tidak disukainya.

Hari itu hari Minggu. Kami telah berganti pakaian dan siap ke gereja. Saya sedang menghirup kopi dan membaca koran bagian rubrik olahraga di meja makan ketika Isaac bertanya, "Yah, sekarang hari apa?"

"Isaac," jawab saya dari balik koran, "Sekarang Minggu pagi. Hari ini kita akan pergi ke gereja." Saya menghirup kopi sekali lagi.

"Minggu itu apa?" tanyanya.

"Minggu adalah hari pertama dalam sepekan, dan itulah hari Tuhan."

"Kemarin hari apa?"

"Hmm ... Isaac, kemarin hari Sabtu, akhir pekan, hari Sabat orang Yahudi."

"Hari ini hari apa?" ulang Isaac.

"Hari ini harinya Tuhan, Isaac. Hari yang kita rayakan untuk memperingati kebangkitan Tuhan, hari saat Dia bangkit dengan penuh kemenangan atas maut dan kubur. Inilah hari Sabat orang kristiani." Saya meliriknya dari balik koran. Saya bangga bisa memberikan jawaban ini sambil membaca berita tentang kemenangan kelompok Wildcat atas Georgia.

Sebaliknya, Isaac malah mengernyitkan alis dan merenung, kemudian menghela napas panjang, pertanda ia sangat tidak puas dengan jawaban saya. Ia menyilangkan kedua lengannya yang montok dan mencondongkan tubuhnya ke arah saya, sampai sikunya menggilas Cheerios. "Bukan, Ayah," sanggahnya, "sekarang bukan hari Minggu."

"Maaf, Isaac, kenyataannya sekarang hari Minggu," sahut saya seraya membalik halaman koran.

Namun, Isaac telah membuat suatu keputusan. "Ini hari Kamis," ia mengumumkan.

Saya meletakkan koran yang saya baca, lalu saya tatap matanya. Saya memutuskan untuk menyisihkan aspek teologi dan segera menangani pokok persoalannya. "Isaac, sekarang hari Minggu dan kau harus ke gereja."

"Tidaaaaak!" katanya mempertahankan pendapat. "Sekarang hari Kamis."

"Isaac, sekarang hari Minggu."

"Kamis!"

"Minggu!" kata saya tidak mau kalah.

Leeann (istri saya) meletakkan selembar roti panggang di piring saya dan mengingatkan bahwa saya sedang berdebat dengan seorang anak berumur dua tahun. "Ingat," katanya sambil tersenyum, "berdebat dengan seorang anak berumur dua tahun tidak mungkin menang."

"Ayah," kata Isaac ngotot, "sekarang bukan hari Minggu ... karena ini hari Kamis -- bagiku."

Tiba-tiba terbersitlah kesadaran yang membuat saya melihat bahwa ini bukan diskusi tentang hari-hari dalam sepekan -- dan bukan sekadar tentang tempat penitipan anak. Ini merupakan diskusi tentang pandangan mengenai dunia. Selagi saya menatap matanya yang tak berkedip (saya juga tidak berkedip), semuanya jadi jelas: saya sedang berbicara dengan seorang postmodernis cilik! [Catatan: Postmodernis ialah orang yang berfaham menentang segala dogma dan aturan yang diyakini oleh orang lain karena menganggap ia bebas bertindak atau berpendapat apa saja.]

Bagaimana Pandangan Anda Tentang Dunia?

Bola dunia.

Hari Minggu benar-benar jadi hari Kamis! Isaac jelas-jelas telah menolak cerita saya tentang hari Minggu yang merupakan suatu metanarasi yang menindas, yakni suatu unjuk kekuatan yang dirancang untuk memaksanya tinggal di tempat penitipan anak yang tidak disukainya. Isaac, di usianya yang masih sangat muda, telah menolak atau tepatnya, memandang rendah segala realisme yang kritis! Pikiran saya melayang ke awang-awang.

"Halo, Michel Foucault? ... Ya, saya menelepon hanya untuk memberi tahu bahwa saya lihat anak laki-laki saya telah memakai kebebasan individunya untuk mendapatkan kesenangan sepuas-puasnya, padahal saya dan ibunya telah bersekongkol untuk melumpuhkan hasratnya dalam mengekspresikan keinginan .... Tidak, astaga, tidak, tidak begitu ya, ia menggunakan yogurt .... Hm-em, ya... ya... kelihatannya ia setuju dengan penilaian Beiner bahwa hukum adalah sama dengan penindasan, dan pembebasan dari tuduhan kriminal sama dengan kebebasan .... Tidak, kami tidak akan hadir di acara Pesta Dansa Amal Para Anarkis .... Ia harus dititipkan ke tempat penitipan anak -- ia baru berumur dua tahun, dan kami akan berusaha sebaik mungkin untuk menetapkan satu metanarasi padanya .... Terima kasih .... baiklah, ya ... tidak jadi masalah. Sampai jumpa."

Sewaktu saya mengamati pengungkapan relativistis Isaac yang ia nyatakan dengan mengusapkan yogurt rasberi dan Cheerios bergantian di atas kepalanya, saya terus bertanya-tanya kesalahan apa yang telah Leeann dan saya lakukan. Apakah Isaac telah mulai menganut nihilisme [penolakan total atas semua organisasi sosial, politik, dan agama traditional serta nilai-nilai moral] karena kesalahan orangtua dalam mengasuhnya? Saya hampir tak dapat memahaminya.

Akan tetapi, mungkin, cuma mungkin, saya dan Leeann tidak salah. Mungkin, para realitivis bingung sekarang hari apa dan merekalah yang bertingkah laku seperti Isaac, dan bukan Isaac yang meniru mereka. Apakah mereka sedang melakukan pemberontakan kanak-kanak terhadap Allah? Mungkin mereka telah merancang suatu argumentasi untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, bukan untuk memperoleh kebenaran.

Pandangan Dunia Berdasarkan Stiker Mobil

Dalam bukunya The Universe Next Door, Jim Sire menuliskan, "Hanya sedikit orang yang melakukan pendekatan filsafat yang jelas, paling tidak seperti dicontohkan para filsuf besar. Bahkan saya kira lebih sedikit lagi orang yang memiliki pandangan teologi yang terkonstruksi dengan hati-hati. Namun, setiap orang memiliki pandangan dunia dalam benaknya." Bahkan anak-anak pun punya! Namun, ada masalah terbesar: dalam dunia nyata, kebanyakan orang menjalankan pandangan dunia yang belum teruji. Demikian pula saya. Saya seolah membentuk pandangan saya sendiri tentang dunia berdasarkan kata-kata klise dan slogan-slogan yang biasanya tertulis pada stiker mobil. Saya cenderung menyomot dan memilih kata-kata klise yang kedengarannya paling baik di antara berbagai pandangan dunia yang berlaku atau bahkan yang bertentangan. Saya memegang faham teisme ketika menghadiri pemakaman, faham eksistensialisme saat mencari sosok pahlawan, dan naturalisme ketika ke dokter. Kalau dicampur jadi satu, "isme-isme" ini menjadi sebuah pandangan dunia yang benar-benar baru, yang saya sebut pandangan dunia berdasarkan stiker mobil (disingkat pandangan dunia SM). Inilah prinsip dasar pandangan SM: segala sesuatu itu relatif, dan tak ada kebenaran mutlak, baik atau buruk: Anda memegang kebenaran Anda, dan saya memegang kebenaran saya. Namun, Anda salah kalau memercayai kemutlakan. Tidak baik menjadi seorang moralis atau orang yang suka menghakimi -- Alkitab pun berkata demikian. Terlalu fanatik pada ajaran agama juga tidak baik. Sebuah pandangan SM membenci orang-orang yang membenarkan diri sendiri -- mereka itu bodoh. (Ingat, Anda tak perlu mengkhawatirkan kontradiksi dalam pandangan SM.)

Pandangan SM meyakini bahwa ilmu pengetahuan adalah untuk dunia nyata sedangkan agama untuk dunia rohani, jadi jangan mencampuradukkan keduanya. Ilmu pengetahuan menyanggah Alkitab dan tentu saja Alkitab tidak mungkin membantah ilmu pengetahuan; Alkitab adalah untuk orang- orang yang "beriman". (Jadi, pastilah ilmu pengetahuan tidak membutuhkan iman!) Bagaimana pun, proses evolusi telah menghasilkan dunia yang menakjubkan. Kita merupakan perwujudan dari apa kita makan, kita dilahirkan untuk berbelanja, dan jajak pendapat merupakan satu- satunya sumber kebenaran dan moral karena hal itu ilmiah.

Menurut pandangan dunia SM kita telah sangat maju, bahkan melampaui orang-orang zaman dahulu karena kita tahu banyak hal yang tidak mereka ketahui. Alkitab juga ditulis dalam konteks bertahun-tahun yang lalu. Jadi tidak masalah kalau ada sedikit pemikiran keagamaan atau filosofi baru yang berharga. Meski ada hal-hal yang bertentangan, yang jelas segalanya menjadi lebih baik. Sebuah jajak pendapat telah membuktikan hal itu.

Yesus mengajar.

Pandangan dunia SM mengakui Yesus sebagai seorang guru besar moral, kecuali ajaran moral-Nya tentang uang, perceraian, orang miskin, dan bagaimana memperlakukan sesama. Orang Yahudi, Muslim, dan Kristiani, semuanya mengimani hal yang sama -- mereka hanya perlu saling bersikap baik dan menyadari bahwa semua agama hanya menempuh jalan yang berbeda, tetapi menuju puncak yang sama. Tidak masalah bila ada perbedaan-perbedaan ajaran agama mengenai surga, neraka, sejarah, dosa, kenyataan utama, dan bagaimana cara untuk sampai kepada Allah. Karena Allah yang baik tidak boleh, tidak dapat, dan tidak akan mengirimkan orang baik ke neraka, kita semua pasti akan masuk surga! Kecuali Hitler dan Stalin, tentu saja ... dan orang yang memotong jalan Anda minggu lalu. (Ingatlah selalu pada beberapa perkecualian itu). Selain orang-orang seperti itu, kita semua secara unik cukup baik ... unik seperti setiap orang lain. Dan karena kita semua baik, kita tidak butuh pengampunan -- rasa bersalah kita lah yang buruk, bukan kita. Lagi pula, kita kan cuma manusia. Jadi lakukanlah dan jadilah yang terbaik. Jangan pusingkan orang lain yang benar-benar menjadi seorang yang rasis, atau pemerkosa, dan yang lain ahli dalam penipuan pajak. (Mungkin itulah kebenaran menurut mereka; paling tidak itulah yang dikatakan Michael Foucault). Namun, jangan khawatir; Allah itu pengampun. Itu memang tugas-Nya. Dosa yang lain merupakan kesalahan orangtua Anda. Alangkah hebatnya sistem itu!

Ada masalah yang mengganjal dalam pikiran saya apabila saya menganut pandangan SM seperti di atas. Saya berpikir bahwa mungkin percampuran hal-hal klise yang membingungkan ini, hanyalah slogan. Mungkin ada Allah yang selalu mengamati dosa saya. Mungkin Dia membenci kesombongan dan kecongkakan saya yang tersembunyi. Mungkin Dia muak dengan kebiasaan saya yang suka membenarkan diri sendiri dan merasa paling benar. Mungkin Dia tidak menanggungkan dosa leluhur kepada saya sampai tibanya Hari Penghakiman. Pada hari itu, saya akan segera dibebaskan dari pengadilan. Dan hari itu merupakan hari yang disebut- sebut Yesus dengan penuh keyakinan, hari yang pasti akan datang karena hasil jajak pendapat terakhir membenarkan hal tersebut: setiap orang pasti mati. Hei, mungkin sekarang memang hari Minggu, dan bukan hari Kamis seperti yang dipercayai oleh pandangan SM!

Mengakhiri Pandangan Dunia Berdasarkan Stiker Mobil

Yesus selalu berbicara dengan memakai pengertian yang mendalam. Maka jika kita hanya puas dengan pandangan dunia yang semata-mata merupakan gabungan kata-kata klise dan kepalsuan sebagai suatu filosofi, itu berbahaya. Pandangan itu merupakan suatu sistem terselubung yang terpusat pada diri sendiri untuk membenarkan tindakan sesuatu yang diimpikan oleh anak berumur dua tahun.

Pandangan dunia SM sangat berbahaya bagi orang-orang kristiani -- orang-orang kristiani yang bermaksud baik, yang berhati baik -- karena tanpa sadar, kita bisa terjebak dan hidup dalam pandangan dunia SM yang tidak sesuai dengan Kitab Suci. Kita menjadi buta terhadap kenyataan rohani dalam dunia di sekitar kita. Yesus berkata,

"Apabila kamu melihat awan naik di sebelah barat, segera kamu berkata: Akan datang hujan, dan hal itu memang terjadi. Dan apabila kamu melihat angin selatan bertiup, kamu berkata: Hari akan panas terik, dan hal itu memang terjadi. Hai orang-orang munafik, rupa bumi dan langit kamu tahu menilainya, mengapakah kamu tidak dapat menilai zaman ini?" (Lukas 12:54-56).

Saya suka stiker mobil yang berbunyi, "Kita ini cukup muda; tapi apakah kita cukup cerdas?" Camkanlah ini: kalau kita boleh memilih, kita tidak ingin diberitahu mana yang benar dan mana yang salah, tidak beda jauh dengan Isaac yang enggan ke penitipan anak atau saya yang enggan membayar pajak. Semua ciptaan memberontak terhadap Allah. Tak seorang pun baik kecuali Allah. Menyerahkan hidup kita kepada Kristus berarti menyerahkan pikiran kita juga.

Saya ingin mengajukan sebuah permintaan. Pertama kepada Isaac, kemudian kepada siapa saja yang mau mendengarkan. Jauhilah semua kata klise yang pada mulanya terdengar bijak. Periksalah kata-kata tersebut dalam terang Kitab Suci. Perangilah pandangan dunia SM. Jadikan Injil sebagai pandangan dunia Anda: kenalilah, pelajarilah, dan hiduplah di dalamnya. Tenggelamkan diri Anda dalam pesan Injil Kristus, karena Injil Kristus dapat mengusir pandangan dunia yang membawa konflik dan pandangan dunia yang penuh persaingan dengan terang-Nya.

Kenyataannya, hari itu memang benar-benar hari Minggu, bahkan bagi Isaac. Tempat penitipan anak yang penuh dengan mainan dan kehadiran anak-anak lain telah meyakinkannya. Kita yang terlalu terikat dengan pandangan dunia kita sendiri akan lebih sulit berubah. Jangan salah: ada kalanya sukar membangun pandangan berdasarkan Injil, seperti yang ditulis G. K. Chesterton,

"Bukan karena kekristenan telah dicoba dan ternyata di situ terdapat kekurangan, tetapi karena kekristenan terbukti sukar untuk dipraktikkan, karenanya tak pernah dicoba."

Namun, pada akhirnya kekristenan memberikan pencerahan. Tak perlu lagi jajak pendapat.

Sumber: 
Bahan di atas dikutip dari:
Judul Buku:17 Hal yang Diajarkan Anakku tentang Allah
Judul Artikel:Postmodernis Cilik
Penulis:J. Mack Stiles
Penerbit:Gloria Graffa, Yogyakarta
Tahun:2004
Halaman:27-34

Kitab yang Terbuka

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Salam sejahtera,

Artikel yang ingin saya bagikan kali ini mungkin agak lain dari biasanya. Tidak ada analisa teologis, yang ada adalah pengamatan sederhana (bahkan terkesan lambat) tentang hidup Kristen yang jujur. Sangat penting bagi kita untuk introspeksi ke dalam diri sendiri, khususnya para pelayan Tuhan yang aktif melayani Tuhan, betulkah hidup bak "Kitab yang Terbuka" itu menjadi salah satu ciri khas hidup Kristen kita, sebagaimana hal itu menjadi Trademark Tuhan?

Artikel ini diambil dari buku "Trademark Tuhan" karangan George Otis Jr. Untuk menolong kita mengerti seluruh buku itu, maka berikut ini saya kutipkan Prakata bukunya:

"Saya sering mengajukan pertanyaan kepada para pemirsa Kristen, apa yang perlu dibawa oleh seseorang, jika ia ingin memancing perhatian kawanan Winnie the Pooh (beruang kartun dari Walt Disney - red) yang lucu. Jawab mereka dengan cepat dan pasti: "Madu -- dan bila perlu dua atau tiga panci!".
Sayangnya ketika para pendengar yang sama ditanya apa yang diperlukan untuk menarik hadirat Allah, jawaban mereka jauh dari mantap. Barangkali doa? Mungkin penyembahan? Atau kekudusan? Jawaban- jawaban yang tidak mengandung kepastian tersebut menunjukkan bahwa kita sesungguhnya lebih mengenal tokoh beruang kartun daripada karakter Bapa kita yang di sorga.
Buku ini berusaha untuk mengubah ketidak-akraban kita terhadap sifat ilahi, dengan menyoroti tujuh karakteristik (atau Trademark) Tuhan yang menonjol -- otoritas, kejujuran, kerendahan hati, kasih, kreativitas, produktivitas, dan kesabaran. Karakter-karakter ini tidak hanya menunjukkan kepada kita seperti apa Bapa itu, tetapi juga apa yang akan terjadi terhadap diri kita jika kita mengizinkan hadirat-Nya meresap dalam hidup dan pelayanan kita."

Nah, Anda tertarik untuk membaca buku ini? Baca terlebih dulu artikel di bawah ini.

In Christ,
Yulia

Edisi: 
048/II/2004
Isi: 
Kitab yang Terbuka

Kitab yang Terbuka

"Satu-satunya cara supaya Anda dapat benar-benar mengendalikan perilaku Anda adalah dengan terus menerus bersikap jujur."
(Tom Hanks)

Diskusi mengenai kejujuran terjadi jutaan kali dalam sehari di ribuan tempat yang berbeda. Ibu-ibu berbincang dengan putrinya mengenai teman- teman cowoknya yang baru; pemilik toko berbincang dengan pegawainya mengenai pelanggannya yang tidak jujur; para pria setengah baya berbincang dengan tukang cukur mengenai tokoh-tokoh politik. Kebanyakan dari perbincangan ini, khususnya yang menyangkut tokoh publik atau situasi yang berkembang, diselingi dengan anekdot dan lelucon sarkastis.

Dua di antara peribahasa yang sering digunakan adalah "Anda tidak selalu dapat menilai sebuah buku hanya dari sampulnya" dan "Apa yang Anda lihat itulah yang Anda dapat". Yang pertama bertujuan untuk mengingatkan para pendengar dengan hikmat agar tidak terburu-buru memberikan suatu penilaian sedangkan yang kedua menegaskan bahwa penampilan adalah kenyataan -- kesan pertama merefleksikan dasar kebenaran. Yang pertama tadi menyamaratakan permasalahan dan objektif sedangkan yang kedua hampir sepenuhnya tergantung dari kejujuran yang menyatakannya.

Keterangan-keterangan yang autentik sungguh membantu, sehingga seringkali kita berusaha keras untuk mendapatkannya. Para wartawan memeriksa dengan teliti pidato-pidato pembukaan, dan catatan-catatan pemungutan suara para kandidat politik, para majikan mewawancarai banyak referensi sebelum menggaji calon karyawan-karyawatinya; para wanita muda berusaha mengorek keterangan sebanyak mungkin dari cowok yang baru dikenalnya (terutama mengenai para mantan pacar). Sayangnya, sekalipun kita telah berhasil mengorek banyak keterangan, tetapi keterangan tersebut jarang yang memberikan kita suatu kepastian. Kebanyakan kita telah belajar dari pengalaman pahit bahwa apa yang kita lihat hampir tidak pernah kita dapatkan. Untuk lebih amannya kita mengambil pendekatan yang tidak terburu-buru dan menangguhkan penilaian.

Kitab yang terbuka

Salah satu kecenderungan manusia yang kurang menarik ialah adanya agenda-agenda tersembunyi. Sedemikian terampilnya kita dengan permainan ini, sehingga kita kadang dijuluki tukang sulap moral. Akan tetapi, inilah susahnya: Apa yang mampu kita lakukan terhadap orang lain, mereka juga mampu melakukannya terhadap kita. Memang inilah yang terus menerus menjadi kekhawatiran kita. Dalam percintaan yang sedang bersemi, dalam negosiasi bisnis, dalam wawancara media massa, dalam kemitraan pelayanan, otak kita selalu was-was: Bagaimana jika orang ini mengkhianati saya? Kita hampir terus menerus bersikap defensif.

"Ada beberapa hal yang menyenangkan di dalam hidup ini," Malcolm Muggeridge menulis di dalam bukunya Chronicle of Waste Time, "mungkinkah persahabatan didasarkan atas pikiran yang benar-benar jujur dan transparan". Pertanyaannya adalah, di mana kita dapat menemukan pikiran-pikiran yang demikian? Jika semua itu bukanlah hal- hal yang asing di masyarakat kita, pastilah merupakan hal yang langka.

Perjalanan kita menyelusuri pikiran yang benar-benar jujur harus dimulai, seperti yang berlaku untuk semua kebajikan mutlak, dari Allah sendiri. Hanya dengan kita datang ke hadirat-Nya tanpa syarat, barulah kita mampu menanggalkan semua hikmat manusia. Terbebas dari segala pertimbangan yang membebani pikiran kita, dan mengarahkan kembali waktu serta tenaga kita untuk menggali karakter ilahi.

Trademark Tuhan yang kedua adalah apa yang saya sebut dengan "kitab yang terbuka", suatu pernyataan kejujuran dan integritas yang mutlak. Setiap penelitian terhadap cara-cara-Nya meyakinkan kita bahwa apa yang kita lihat sesungguhnya adalah apa yang kita dapatkan. Namun, juga sebaliknya dengan apa yang tidak kita lihat. Sebab kedalaman karakter-Nya tidak terukur -- bukannya seperti jurang maut yang gelap tetapi sebagai sumber kemuliaan yang tiada habis-habisnya. Meskipun pencerahan-pencerahan baru muncul setiap hari, tidak ada yang tidak konsisten dengan apa yang telah kita ketahui mengenai hal-hal pokok dalam Pribadi Allah. Wahyu-wahyu tersebut merupakan ekstrapolasi (perluasan data di luar data yang tersedia, tetapi masih mengikuti kecenderungan pola data yang tersedia - Red.) bukan penemuan-penemuan baru. Pewahyuan-pewahyuan tersebut memberi kita alasan untuk meneliti perkara-perkara ilahi yang belum terungkap bukannya menjadi takut terhadap hal-hal tersebut.

Allah itu jujur, tetapi Ia tidak seperti sindiran yang ditulis oleh seorang pujangga abad ke 17, sebuah "bantal duduk yang empuk dan enak yang di atasnya para bajingan beristirahat dan menjadi gemuk." (Pelajarilah Pengkhotbah 8:11 dan Zefanya 1:12 mengenai bahaya dari penundaan hukuman.) Sebaliknya, sebagaimana ditulis oleh C.S. Lewis di dalam bukunya The Lion, the Witch dan the Wardrobe, "[Ia] bagaikan seekor singa -- Singa, Singa yang besar."

"Ooh!" kata Susan, "Saya kira ia seorang manusia. Apakah ia - benar-benar aman? Saya merasa agak gugup kalau bertemu seekor singa."

"Pasti Anda akan senang melihatnya, sayang, dan tidak salah," kata Nyonya Beaver, "jika ada orang-orang yang berani tampil di hadapan Aslan tanpa gemetaran kakinya, mereka itu pasti lebih berani dari orang kebanyakan atau orang bodoh.

"Jadi, ia tidak aman?" kata Lucy.

"Aman?" kata Tuan Beaver. "Apakah Anda tidak mendengar apa yang dikatakan Nyonya Beaver kepada Anda? Siapa yang bilang aman? Tentu saja tidak aman. Akan tetapi, Ia baik. Saya beritahukan kepada Anda, Ia adalah Raja."

"Saya rindu melihatnya," kata Peter, "walaupun saya merasa takut ..."

Di dalam buku-bukunya yang lain. Lewis menyebut reaksi ini sebagai "rasa hormat yang kudus". Hadirat Allah yang sebenarnya merupakan perasaan yang tidak terdefinisikan, menakutkan sekaligus membanggakan suatu kemuliaan yang tidak terlukiskan:

... Orang-orang Yahudilah yang sepenuhnya mampu mengidentifikasikan dengan jelas. Hadirat-Nya yang sangat dahsyat dan menakutkan di puncak gunung yang gelap, dengan awan dan guntur yang bergema "Tuhan yang adil" yang "mengasihi keadilan" ... (Mazmur 1:7). Ada seorang yang lahir di antara orang Yahudi ini yang mengklaim sebagai, atau menjadi anak dari, atau menjadi "satu dengan," suatu Pribadi yang sangat dahsyat dan menakutkan di alam ini yang memberi hukum moral."

Melihat di Balik Sampul

Benar jika dikatakan bahwa sebuah buku yang bagus berisi kekayaan yang lebih banyak daripada bank yang terkenal. Kekayaannya yang berlimpah dapat mencakup pengetahuan yang teruji, inspirasi-inspirasi baru dan kemampuan yang mengagumkan yang dapat mengantar kita ke alam yang nyata maupun alam khayal. Namun, sebelum kita dapat menambang kekayaan ini, pertama-tama kita harus menentukan apakah isi buku itu benar- benar baik.

Sampul, sebagaimana pepatah kuno mengingatkan, hanya sedikit membantu. Bentuknya yang menarik dan kata-kata sambutannya yang mantap akan mendorong kita untuk menelaah lebih jauh buku tersebut, atau bahkan membelinya, tetapi sampul tersebut tidak dapat menjawab mengenai nilai intrinsiknya. Sampul dirancang untuk menarik perhatian kita, tidak untuk memberikan kita suatu analisis yang objektif mengenai bab-bab yang ada di dalamnya.

Tidak mengherankan, sampul buku yang bagus kadang dapat mengecoh kita karena subjek pembahasannya ternyata tidak sesuai dengan apa yang kita cari. Sampul juga dipakai untuk menutupi keterbatasan atau bobotnya yang di bawah standar. Satu-satunya cara agar kita tidak terkecoh (dan timbul kekecewaan lagi) adalah buka sampulnya dan membaca semua huruf cetaknya yang halus.

Hal yang seperti ini dapat kita lakukan dengan berjilid-jilid buku, tetapi tidak dengan manusia. Manusia lebih rumit dan seringkali segan membuka pintu masuk bagi orang luar untuk mengetahui keadaan diri mereka yang sebenarnya. Banyak yang memiliki kelemahan-kelemahan atau dosa-dosa tersembunyi. Yang lainnya cenderung mempertahankan suatu persepsi publik yang palsu (dan seringkali membumbung) mengenai karakter, kemampuan, prestasi atau tujuan-tujuan mereka.

Sedemikian meresapnya kecenderungan membungkus diri dan "bersandiwara" sehingga orang jadi bertanya-tanya apakah ada pelayanan yang benar- benar dapat mengetahuinya. Beberapa orang, seperti pujangga abad 18 Susanna Centlivre merasa pesimis. "Dia hanya si jujur yang tidak dapat kutemukan," ia menulisnya dalam buku The Artifice. Sementara penilaian ini dihasilkan karena banyaknya perkataan-perkataan sinis, tanggapan tersebut dapat dipahami mengingat pola perilaku di antara para pemimpin Kristen dan organisasi-organisasinya yang semakin hari semakin menggelisahkan.

Banyak "hamba Tuhan" yang bersikap manis dan terbuka sampai ada orang yang berani melontarkan pertanyaan-pertanyaan "salah", seperti: "Dari mana Anda memperoleh sumber mengenai kisah tersebut?" atau "Bagaimana Anda mengimbangi antara pelayanan dan kehidupan berkeluarga?" atau "Apakah laporan keuangan Anda sudah diperiksa oleh auditor luar?" Ketika perkataan ini meluncur dari mulut salah seorang jemaat atau pengerja gereja, segera sikap mereka menjadi gelap bagaikan hujan badai yang disertai kilat dan petir. Mereka ingin kita hanya melihat kepada sampul mereka, jangan membukanya.

Barang siapa yang mengklaim reputasinya dapat dipertanggungjawabkan, tetapi secara diam-diam meremehkan tanggung jawab tersebut, umumnya memiliki sesuatu yang disembunyikan (atau paling tidak mempunyai keinginan untuk melakukan hal tersebut). Saya teringat kepada tiga orang -- diantaranya adalah seorang penginjil televisi, seorang pemusik Kristen terkenal, dan seorang pembicara radio terkenal -- yang akhir-akhir ini berjuang keras untuk membantah penyelidikan mengenai gaya hidup mereka yang bermewah-mewah. Saya mengenal seorang gembala yang masih memimpin suatu gereja besar di Northwest yang secara tidak sengaja tertangkap dalam foto, ketika baru keluar dari suatu bioskop XXX khusus untuk orang dewasa. Bukan tujuan saya untuk mempersalahkan orang-orang tersebut, tetapi hal ini mengingatkan kita bahwa isi suatu buku tidak selalu sebanding dengan sampulnya. Mereka seperti wanita yang merajah dandanannya, sehingga tetap kelihatan sempurna. Selama orang-orang tetap melihatnya dari kejauhan. Dan, selama ia tidak menjerit, tidak seorang pun yang tahu.

"Ketidakjujuran selalu mencari tempat bernaung, sampul, atau tempat persembunyian. Itu adalah kecondongan hidup di dalam kegelapan." (William Bennet)

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Seorang pengusaha situs pornografi yang sudah bertobat, Steve Lane, pernah dipancing oleh pemirsa di ruang tanya jawab suatu acara Kristen. "Steve, apakah Anda mempunyai catatan tentang berapa dari mereka yang menjadi pelanggan situs tersebut," dengan menyesal Steve mengatakan "Kira-kira 5 dari 10." Lane percaya bahwa pornografi merupakan suatu rahasia kecil yang terdapat pada banyak pemimpin Kristen, terutama pria. "Saya mengenal gereja-gereja di mana semuanya kelihatan baik: penyembahan, persepuluhan; penutup kursinya yang indah dan panji-panjinya yang megah -- tetapi tidak seorang pun di gereja tersebut yang mengetahui bahwa gembala mereka sudah diperbudak oleh pornografi selama 20 tahun ..." Kejatuhan Lane sendiri ke dalam hawa nafsu dan kemarahan berawal dari masa kanak-kanaknya, ketika itu ibunya berselingkuh dengan sang gembala, yang kemudian dinikahinya. Tidak seorang pun yang mengetahui bahwa si pengkhotbah "api dan belerang" ini sangat ketagihan pornografi. "Dari luar kelihatannya seperti rumah tangga Kristen yang sempurna," kenang Lane, "tetapi di dalamnya kehidupan saya seperti di neraka. "

Hamba yang saleh tidak boleh bermuka dua. Seperti yang dikatakan oleh Yesus kepada murid-murid-Nya, "(Haruslah) bagi seorang murid menjadi sama seperti gurunya dan bagi seorang hamba menjadi sama seperti tuannya" (Matius 10:25). Hidup kita seharusnya transparan sehingga kita dapat berkata seperti Kristus, "Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa" (Yohanes 4:9). Siapa pun yang memeriksa catatan sejarah Anda tidak boleh ada yang menemukan sampul yang lain atau bab yang hilang. Bila kita tidak menyembunyikan sesuatu, kita tidak perlu takut akan ada hal-hal yang terbongkar ketika ada yang menyelidiki kehidupan pribadi kita (lihat Lukas 2:2). Ciri-ciri moral yang transparan adalah, kita dapat berkata, "Penguasa dunia ini boleh datang (tetapi) ia tidak akan menemukan apa-apa atas diriku." (Yohanes 4:30)

Para misionaris dan lembaga-lembaga yang berasal dari Tuhan, tidak akan pernah menolak penyelidikan terhadap karakter mereka. Memang, keterbukaan adalah salah satu dari trademark utama mereka. Mereka mengundang dunia untuk melihat dari dekat, karena mereka ingin melihat, dan memeluk kejujuran serta integritas yang sejati. Itulah sebabnya Rasul Paulus berani berkata, "(Teladanilah aku), sama seperti aku juga [meneladani] Kristus" (1Korintus 11:1; lihat juga Filipi 3:17; 4:9). Seperti yang dijelaskannya kepada jemaat di Korintus,

Demikianlah pula, ketika aku datang kepadamu, saudara-saudara, aku tidak datang dengan kata-kata yang indah atau dengan hikmat untuk menyampaikan kesaksian Allah kepada kamu. ... Baik perkataanku maupun pemberitaanku tidak kusampaikan dengan kata-kata hikmat yang meyakinkan, tetapi dengan keyakinan akan kekuatan Roh, supaya iman kamu jangan bergantung pada hikmat manusia, tetapi pada kekuatan Allah. (1 Korintus 2:1, 4-5)

Pendekatan yang terbuka dan rendah hati ini, disokong oleh Ann Kiemel Anderson, salah satu komunikator Kristen yang paling terkenal. Dalam bukunya yang segar dan jujur Seduced by Success, Anderson mengakui bahwa perspektifnya yang baru, adalah hasil dari suatu pernikahan yang hampir kandas, dan suatu ketergantungan diam-diam kepada pil penahan sakit. "Saya harus belajar bahwa sebagai seorang penulis buku- buku terlaris yang selalu dikelilingi dengan sambutan sorak sorai, tepuk tangan sambil berdiri tidak membuat diri seseorang menjadi utuh (sempurna)," katanya. "Allahlah yang harus melepaskan saya dari diri saya sendiri."

Jika Ya, Katakan Ya

Orang-orang Kristen yang ingin mempertahankan tujuan dan sumber pendapatan mereka sekaligus, seringkali terjebak ke dalam tindakan "melakukan setengah kebenaran" atau agenda-agenda tersembunyi dengan cara memukul semak-belukar yang padat. Hampir tidak ada di hutan modern ini yang terlihat apa adanya. Mereka yang memelihara bayang-bayangnya memanifestasikan khayalan akan kebesaran dan berpura-pura peduli. Mereka memutar kepalsuan hingga dalam dan merayakan keberhasilan yang sementara. Rela kehilangan seluruh hikmat, ketulusan, komitmen dan prestasi yang sejati.

Sebagaimana yang ditulis oleh William Bennet dalam bukunya The Book of Virtues, "Ketidakjujuran selalu mencari tempat bernaung, sampul, atau tempat persembunyian. Itu adalah kecondongan hidup di dalam kegelapan." orang-orang yang tidak jujur adalah orang-orang yang tinggal di hutan. Mereka memerlukan bayangan-bayangan dan lampu warna- warni untuk menciptakan khayalan. Mereka "mempercayai dusta", Muggeridge menulis di dalam bukunya The Green Stick, "Bukan karena mereka diberi penjelasan yang masuk akal, tetapi karena mereka ingin mempercayainya."

Sebaliknya, orang-orang yang jujur dan terbuka, menghindari jalan penyesatan (penipuan) apa pun bentuknya. Mereka menolak untuk melakukan manipulasi, tindakan yang membesar-besarkan atau bermain dengan agenda-agenda yang tersembunyi. Kedudukan mereka tidak bergeming. Komitmen-komitmen mereka tidak ditulis dengan tinta yang tidak kelihatan. Mereka sangat memerhatikan nasihat Tuhan Yesus, "Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak" (Matius 5:37).

Sayangnya, tulis Tozer, "Banyak dari guru dan pengkhotbah kita yang terkenal mengembangkan suatu teknik berbicara dengan suara perut agar suara mereka kelihatan lebih berwibawa dan seolah datang dari berbagai penjuru angin." John White menambahkan bahwa hal yang sama juga terjadi di kalangan eksekutif pelayanan; khususnya ketika meminta bantuan keuangan mereka seringkali menggunakan kata-kata sandi dan berputar-putar. Untuk memastikan maksud mereka, sering kali kita terpaksa mengartikan sendiri apa yang tersirat.

Perkataan iman (telah) mendapat suatu pengertian teknis dan (sekarang) merupakan suatu tanda pengenal rohani yang terhormat. Dewasa ini kita hampir tidak pernah tersenyum lagi mendengar ketidak-konsistenan dari suatu program radio Kristen yang menutup siarannya dengan kata-kata, "Sebagaimana Anda ketahui usaha ini berjalan karena iman. Kami hanya berharap kepada Allah untuk memenuhi segala kebutuhan kami, dan juga kepada Anda sebagai umat-Nya yang memberi dengan murah hati untuk mendukung usaha ini yang akan menjangkau jutaan orang miskin dengan Injil. Program kami memerlukan biaya $50.000,- per minggu. Tulislah untuk memberikan dorongan kepada kami. Surat Anda sangat berarti bagi kami ... Kami akan mengirimkan Anda secara gratis sebuah buklet yang berjudul ...." Dan, seterusnya.

Orang-orang Kristen yang dewasa paham bahwa Allah mempunyai andil dalam keberhasilan setiap pesan dan misi yang telah Ia tetapkan, Ia dapat diandalkan untuk mempersiapkan jalan bagi hamba-hamba-Nya. Ia ahli dalam melembutkan hati dari mereka yang terhilang dan menggerakkan hati para donatur. Para pelayan tidak perlu berkeliling memukul semak-belukar -- dan mereka yang melakukan hal tersebut menunjukkan kurangnya keyakinannya dalam panggilan Allah atau menunjukkan adanya suatu agenda yang tersembunyi.

Fakta-Fakta Ketidakjujuran

Para pendusta senang bergabung dengan para pembual. Keengganan mereka untuk berpegang teguh pada kebenaran membuatnya mudah bergaul dengan orang-orang yang suka membual. Sekali fakta-fakta ketidakjujuran ditolerir, ia akan meningkat menjadi penyesatan yang selektif dan pada gilirannya mereka akan menjadi terbiasa "mengubah kenyataan".

Para pemimpin dan pengumpul dana Kristen berusaha keras untuk menyokong kampanye-kampanye besar yang terus terang, terlalu berat pencobaannya di bidang ini. Setelah mengumbar ,"janji-janji surga" kepada para pendukungnya, mereka harus memilih salah satu, yaitu memberikan yang besar sesuai dengan janji-janji mereka atau kehilangan kesempatan memperoleh uang banyak tanpa harus bersusah payah. Masalahnya adalah kebutuhan-kebutuhan dunia yang nyata ini terlalu besar dan terlalu rumit untuk ditanggulangi oleh satu organisasi saja. Jalan keluarnya (yang tidak jujur) ialah mereka memperkecil tantangan yang seharusnya dihadapi; dengan cara membuat program yang bertema umum-umun saja, agar tidak dapat diklaim, misalnya: Afrika bagi Kristus, Kampanye Untuk Memenangkan Jutaan Jiwa" dengan data statistik yang meragukan (biasanya hanya berdasarkan perkiraan kehadiran KKR atau pendengar siaran yang potensial). Kedua muslihat inilah yang paling sering digunakan untuk mencapai batas maksimal penghasilan mereka. Karena terus terang sulit untuk menguji perkiraan dan efektivitas mereka yang sebenarnya.

Realita yang cenderung dibesar-besarkan ini, lebih terkesan lagi bila menyangkut data-data dari luar negeri. "Sungguh," Muggeridge menulis di dalam otobiografinya, "orang-orang terlanjur kagum terhadap berita yang direkayasa dari suatu tempat pengumpul berita, padahal sesungguhnya berbeda dengan kebenaran berita yang dikirim." Ditambah lagi naluri kita yang umumnya cenderung mudah mempercayai hal-hal berbau misi. Memang, diperlukan waktu dan biaya yang besar untuk mengecek ulang fakta-fakta di tempat yang jauh, itu sebabnya para operator yang tidak jujur sangat menyukai program-program internasional.

John White menceritakan secara panjang lebar contoh sebuah organisasi Kristen yang melatih para pekerjanya untuk menetapkan kuota penginjilan dan kemudian mengemas kesaksian-kesaksian dari para petobat baru sebagai "kisah-kisah perang" untuk dipublikasikan. Namun, menurut salah seorang pekerja, "Sementara tintanya belum kering di kertas yang dicetak, kebanyakan dari petobat baru tersebut telah meninggalkan 'iman' mereka." Hal ini terjadi terus menerus. Sebagaimana disebutkan oleh White, informasi yang ada di dalam berita doa tersebut menyesatkan. "Kisah-kisah yang dituliskan dalam berita bukanlah kisah-kisah yang diceritakan ketika berita tersebut dibaca."

Kisah ini, dan kisah-kisah lainnya yang seperti ini mendorong kita untuk bertanya beberapa pertanyaan penting. Pertama dan yang paling jelas, Apakah kemajuan organisasi ini merupakan prioritas yang lebih tinggi dari pada perluasan Kerajaan Allah? Apakah hal ini membuat para eksekutif pelayanan berkompromi dengan standar kebenaran yang alkitabiah? Apakah ini merupakan "keserakahan" yang dimaksud oleh Rasul Petrus, yang akan menyebabkan beberapa pemimpin Kristen berusaha "mencari untung dari kamu dengan cerita-cerita isapan jempol mereka" (2 Petrus 2:3)?

Bisikan Roh Kudus versus Rayuan Manusia

Banyak orang percaya merasa sulit untuk membedakan antara bisikan Roh Kudus dengan rayuan manusia. Kedua pendekatan tersebut merangsang pikiran dan perasaan. Keduanya mengajak kita untuk mendukung alasan- alasan yang layak dan bisa dilihat. Namun, ada satu perbedaan yang besar. Bisikan Roh Kudus tidak membuat risih, lembut, sopan dan jujur. Sedangkan rayuan manusia cenderung vulgar; melihat orang sebagai objek untuk mendapatkan keuntungan. Yang satu berorientasi kepada hubungan sedangkan yang lain berorientasi kepada program.

Harus diakui bahwa dalam banyak kasus rayuan manusia ternyata berhasil. Kenyataannya adalah, seluruh industri telah tumbuh dan berkembang dengan mempraktikkan hal tersebut. Para penjajak pendapat menemukan apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh orang-orang; para penerbit menyampaikan hasil-hasilnya ke dalam desktop kita; dan para konsultan serta pengajar di seminar mengajar kita bagaimana mendapatkan keuntungan dari apa yang kita ketahui.

Karena banyaknya orang Kristen yang menerapkan pendekatan perhitungan ini ke dalam pelayanan mereka, mungkin sudah waktunya untuk kita bertanya-tanya apakah kita ini anak-anak Allah atau anak-anak ilmu pengetahuan. White mengkhawatirkan bahwa metode-metode modern, kalau kita tidak berhati-hati menyeleksinya dapat merongrong iman di dalam Roh Kudus. Walaupun iklan dan rayuan secara intrinsik bukanlah kejahatan, tetapi hal itu dapat menimbulkan kerugian yang besar "bila motivasinya adalah keserakahan atau eksploitasi (tidak memperlakukan umat manusia sebagai manusia, mengabaikan martabat mereka dan menganggap mereka sebagai objek untuk manipulasi)".

Mercusuar

Mampukah kita membuat pernyataan seperti Paulus bahwa "kami menolak segala perbuatan tersembunyi yang memalukan"? Dapatkah kita berkata bahwa "kami tidak berlaku licik dan tidak memalsukan firman Allah"? Apakah kita bersedia untuk mempraktekkan kebenaran apa adanya untuk "menyerahkan diri kita untuk dipertimbangkan oleh semua orang di hadapan Allah" (2 Korintus 4:2)?

Meskipun secara psikologis kadang-kadang manipulasi membuahkan hasil-hasil jangka pendek, hal tersebut tidak sebanding dengan keyakinan yang datang dari Roh Kudus. Orang-orang Yerusalem tidak memerlukan panggilan ke depan (altar call) pada akhir khotbah Petrus di hari Pentakosta. Tidak ada suara serak-serak basah yang mengatakan "Raihlah waktu yang istimewa ini". Tidak ada pemain organ yang memainkan musik lembut "Kuserahkan". Sebaliknya, Alkitab menceriterakan kepada kita bahwa orang banyak tersebut "hatinya sangat terharu" dan mereka langsung bertanya kepada Petrus dan rasul-rasul yang lain: "Apakah yang harus kami perbuat, saudara-saudara?" (Kisah 2:37). Setelah kejadian itu, gereja bertambah 3.000 jiwa. "Setiap orang" kata Alkitab "dipenuhi rasa kagum" (ayat 43). Ini bukan untuk meragukan metode panggilan ke depan (altar call). Namun, untuk mengingatkan bahwa adakalanya kita harus membiarkan sang Mempelai Pria melayani kita langsung.

Tata cara yang dilakukan terhadap seseorang yang hendak dilamar mencerminkan maksud dari pelamarnya -- baik pria maupun wanita. Jika tujuannya adalah anjungan satu malam (sumbangan yang didasarkan atas perhitungan untung rugi, suatu sumbangan yang impulsif), maka manipulasi yang akan menang. Akan tetapi, jika tujuan akhirnya adalah menghasilkan (seorang murid yang kuat, mitra jangka panjang), maka kita perlu merayu hati kekasih kita.

Banyak dari kita tidak jujur di hadapan manusia karena kita tidak jujur di hadapan Allah. Kita membawa ambisi-ambisi pribadi kita dan dosa-dosa yang tersembunyi -- "apa yang tersembunyi dalam kegelapan" yang pada suatu hari akan diungkapkan (1 Korintus 4:5). Tetapi, Allah menginginkan kebenaran "dalam batin" (Mazmur 1:8), dan Ia membuatnya menjadi jelas bahwa setiap usaha untuk menyembunyikan dosa tidak akan beruntung (Amsal 8:13).

Jika kehidupan kita adalah kitab yang terbuka, satu-satunya harapan yang dapat kita lakukan adalah berteriak seperti Daud, "Selidikilah aku, ya Allah, dan ketahuilah akan hatiku" (Mazmur 139:23) dan seperti Ayub, "Apa yang tidak kumengerti, ajarkanlah kepadaku" (Ayub 4:32). Hanya sebagaimana kita sendiri diuji dan dimurnikan barulah kita mampu mengenali ketidakjujuran yang ada di dalam diri orang lain.

Audio: Kitab yang Terbuka

Sumber: 
Judul Buku:Trademark TUHAN
Pengarang:George Otis Jr.
Penerbit:Indo Gracia, Jakarta
Halaman:41 - 55

Pemimpin dan Arogansi

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Selamat berjumpa lagi.

Artikel yang saya sajikan bulan ini adalah kiriman dari Sdr. Yanto Soetianto . Saya mendapat banyak berkat dari tulisan ini sehingga saya ingin membagikannya untuk rekan-rekan anggota e-Reformed. Semoga artikel ini dapat menolong kita untuk hidup lebih waspada.

Untuk Sdr. Yanto, terima kasih banyak atas kirimannya. Untuk rekan-rekan anggota e-Reformed, selamat menyimak!

In Christ,
Yulia

Edisi: 
041/VII/2003
Isi: 

"Setelah raja Uzia menjadi kuat, ia menjadi tinggi hati sehingga ia melakukan hal yang merusak." (2 Tawarikh 26:16)

Kesombongan bagaikan penyakit yang aneh. Yang menderita bukanlah orang yang mengidap penyakit tersebut, namun orang lain di sekilingnya. Orang yang menderita penyakit ini pada umumnya tidak merasakan gejala apa-apa, namun orang lain yang berinteraksi dengannya merasa mual dan muak.

Penyakit arogansi ini menjangkiti semua orang: kaya dan miskin, bodoh dan pandai, jahat dan baik, ateis dan teis, Injili dan Liberal, Republican dan Democrat, Arminian dan Calvinist, dan seterusnya. Pendek kata, semua orang. Tidak ada yang imun dari penyakit ini.

Yang menarik, penyakit ini dapat menjadi ganas dan menular apabila itu diderita oleh pemimpin, karena pengaruh yang dimiliki oleh pemimpin. Semakin besar pengaruh yang dimiliki seorang pemimpin, karena peran atau posisinya, semakin berbahaya apabila ia menjadi sombong.

Pemimpin Tinggi Hati

Percaya atau tidak, jenis manusia yang sangat rentan dan mudah terjangkiti penyakit ini adalah pemimpin. Paling tidak ada tiga hal yang dapat menjelaskan hal ini: (1) kuasa, (2) persepsi umum dan perlakuan khusus, dan (3) keberhasilan.

Banyak pemimpin yang pada awal proses kepemimpinannya rendah hati berubah menjadi tinggi hati. Hal ini seringkali terjadi karena kuasa yang dilekatkan pada diri para pemimpin tersebut tatkala mereka diberi kepercayaan untuk memimpin orang lain (mempengaruhi, mengajar, memotivasi, memberdayakan, dan sebagainya).

Kuasa sangat ampuh dalam membentuk dan mengubah karakter pemimpin. Abraham Lincoln, presiden Amerika ke-16 dan seorang pemimpin besar dalam sejarah, pernah mengatakan:
"Nearly all men can stand adversity, but if you want to test a man's character, give him power."

Disadari atau tidak, sebutan "hamba Tuhan" mengimplikasikan sebuah persepsi kuasa yang dapat menjebak pemimpin Kristen. "Memang saya hamba, tapi tunggu dulu, saya bukan hamba sembarangan. Saya hamba-nya TUHAN." Konsep diri seperti ini seringkali membuat pemimpin Kristen berlaku seperti Tuhan ketimbang seperti hamba. Karena hamba-nya Tuhan, maka ia merasa statusnya lebih superior dari orang lain dan berhak menjadi tuan atas mereka. Pertanyaannya bagi pemimpin Kristen: mana yang lebih cocok menggambarkan dirinya: hamba atau Tuhan?

Kedua, saat seorang pemimpin menerima legitimasi dari orang lain dan diterima kepemimpinannya, itu berarti ia dipersepsi oleh publik sebagai seorang yang lebih superior ketimbang yang lain, minimal dalam satu hal (kompetensi atau pengalaman, misalnya). Yang menarik, persepsi ini kemudian tidak berlaku hanya dalam satu hal tersebut, namun perlahan-lahan diterapkan dalam berbagai hal. Sehingga yang muncul adalah persepsi bahwa pemimpin memang berstatus lebih superior dibanding orang lain dalam semua hal. Hal ini mudah terjadi khususnya dalam kultur yang paternalistis.

Persepsi ini seringkali disertai dengan perlakuan-perlakuan yang lebih istimewa terhadap pemimpin dibanding non-pemimpin. Kebutuhannya didahulukan dan keinginanannya dinomorsatukan. Orang sangat ingin mendengar pandangan dan pendapat pemimpin, sehingga apa yang ia katakan jauh lebih penting daripada perkataan orang lain.

Persepsi dan perlakuan khusus terhadap pemimpin sering kali tidak dapat dihindari karena terjadi dengan natural. Yang dapat dihindari adalah reaksi atau respon pemimpin terhadapnya. Apabila tidak mawas diri, maka persepsi dan perlakuan istimewa ini menjadi sebuah jebakan yang menjerumuskan karakter pemimpin. Dari rendah hati ke tinggi hati. Kalau hari ini banyak pemimpin yang menderita superiority complex, itu menunjukkan betapa mereka memilih untuk hidup dalam persepsi, bukan realita. Dan memilih untuk terlena dengan berbagai perlakuan khusus tadi.

Hal ketiga yang barangkali paling fatal adalah keberhasilan seorang pemimpin. Banyak pemimpin yang efektif menjadi gagal karena keberhasilannya. Kutipan ayat di awal tulisan ini menceritakan tentang raja Uzia yang jatuh justru karena karir politiknya yang sukses. Ada motto yang mengatakan Success breeds success. Namun realitanya, Success also breeds failure. Karena kesuksesan dapat menjelma menjadi penjara yang membelenggu dan membesarkan ego pemimpin.

Dalam 2 Tawarikh 26, kita membaca bagaimana raja Uzia memulai peran dan posisinya sebagai pemimpin dengan sangat baik. Ia melakukan apa yang benar di mata Tuhan (ay. 4), dan Allah menyertainya dalam berbagai usahanya. Namanya menjadi terkenal sampai ke negeri jauh. Meskipun bukan karena kehebatannya sendiri melainkan karena ia "ditolong dengan ajaib" (ay. 15). Inilah klimaks dari pelayanannya sebagai pemimpin, karena setelah itu ia lupa diri.

Ia menganggap dirinya hebat dan merasa tidak lagi perlu tunduk kepada Tuhan. Ia lupa ia hanyalah hamba-Nya, alat-Nya. Ia malah mencoba menjadi allah kecil. Alhasil, bukan saja kepemimpinannya hancur, namun hidupnya berakhir dengan tragis. Ia terkena penyakit kusta secara instan di dalam bait Tuhan (ay. 19-21) dan diasingkan seumur hidup sampai saat kematiannya.

Natur Kesombongan

C.S. Lewis

Kesombongan adalah dosa yang sangat serius dan sentral. C.S. Lewis menguraikan hal ini dengan menggarisbawahi natur dari kesombongan, yaitu kompetisi.

Kita umumnya berpikir bahwa seseorang menjadi sombong karena ia kaya, pandai, cantik/tampan, berpengalaman, atau berkuasa. Persepsi ini keliru. Yang membuat seseorang sombong adalah perbandingan yang ia lakukan terhadap orang lain. Seseorang menjadi sombong karena ia lebih kaya, lebih pandai, lebih cantik/tampan, lebih berpengalaman, atau lebih berkuasa dibanding orang lain. Karena jika semua orang lain menjadi sama kaya, sama pandai, sama cantik/tampan, sama berpengalaman, sama berkuasa, maka tidak ada lagi hal yang ia dapat sombongkan.

Kesombongan mengalami kepuasan bukan karena memiliki sesuatu, namun karena memiliki sesuatu yang lebih dari orang lain. Hal ini dilukiskan Yesus secara gamblang dalam diri orang Farisi yang bersama-sama seorang pemungut cukai berdoa di Bait Allah. Orang Farisi itu mengucapkan doa demikian dalam hatinya: "Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah, dan bukan juga seperti pemungut cukai ini." (Lukas 18:11) Orang Farisi tersebut arogan karena ia membandingkan dirinya dengan orang lain, khususnya dengan si pemungut cukai yang berada didekatnya. Ia merasa lebih superior dan memiliki hak untuk bermegah dalam dirinya sendiri.

Yang menarik untuk dicermati adalah frase "dalam hatinya". Inilah yang menyebabkan kesombongan itu menjadi dosa yang "subtle", begitu sulit terdeteksi. Karena dosa tersebut tidak perlu terungkap keluar secara verbal. Cukup berada dalam hati. Tanpa refleksi yang sungguh- sungguh, sulit untuk memeriksa, menerima, apalagi mengakui bahwa kita sombong.

Superioritas Pemimpin

Setelah menggumuli hal-hal di atas, terlintas sebuah pertanyaan di benak saya. Bukankah memang seorang pemimpin itu lebih superior dibanding orang yang dipimpin, minimal dalam satu hal? Kalau pun ia tidak lebih superior dalam kompetensi atau pengalaman, ia superior karena ia mendapat panggilan Allah sementara yang lain tidak (lihat para pemimpin di Alkitab yang Allah panggil). Jadi bagaimana menjaga agar seorang pemimpin tidak berubah sombong dalam superioritas-nya?

Salah satu kuncinya saya pikir adalah menaruh superioritas itu pada konteks yang tepat. Superioritas di sini harus dimengerti bukan sebagai status, namun sebagai fungsi. Pemimpin lebih superior dibanding non-pemimpin dalam menjalankan beberapa fungsi tertentu, seperti menangkap visi, memotivasi, menangani konflik, dan seterusnya. Namun itu tidak lalu berarti ia memiliki status lebih superior dibanding orang lain. Karena pemimpin tetap orang berdosa dan hidup dalam tubuh yang fana, sehingga bisa salah atau jatuh.

Pemimpin menjadi pemimpin karena Allah yang mengijinkan, karena Allah yang memberi panggilan, karena Allah yang memberi kemampuan. Dengan kata lain, karena anugerah. Jadi tidak ada alasan untuk menjadi tinggi hati.

Saat pemimpin sadar bahwa ia adalah bukan siapa-siapa di hadapan Tuhan yang adalah segalanya, di sana ia memiliki kerendahan hati. Kerendahan hati hanya dapat dimiliki apabila seorang pemimpin tahu jelas siapa Allah dan siapa dirinya di hadapan-Nya.

Tapi bolehkah pemimpin menerima pujian dari orang lain dan bersenang hati karenanya? Saya kira sah-sah saja, karena itu adalah buah dari apa yang sudah ia kerjakan dalam rangka menjalankan peran dan tugasnya sebagai pemimpin. Masalahnya datang tatkala dalam menikmati pujian tersebut, si pemimpin lalu mulai berpikir, "Hmm, ternyata jelek-jelek begini saya hebat juga." Pergeseran tersebut mencuri kredit dari Allah dan merancukan konsep diri pemimpin.

Allah dan Manusia Sombong

"Yang paling menakutkan dari kesombongan adalah bahwa Allah bukan saja membenci dosa tersebut, namun secara aktif menentangnya."

Facebook TwitterWhatsAppTelegram

Jika saya seorang yang sombong, maka selama ada satu orang saja di dunia yang lebih berkuasa, lebih kaya, lebih pandai, maka dia adalah saingan saya, musuh saya. Jadi arogansi yang ada dalam diri saya selalu berkompetisi dengan arogansi yang ada dalam diri orang lain. Itu sebab mengapa semakin saya sombong, semakin saya membenci orang yang sombong. Orang yang suka mencari perhatian akan segera merasa tersaingi apabila ada orang yang juga suka mencari perhatian di dekatnya.

Ketika seseorang berhadapan dengan Allah, maka ia berhadapan dengan sesuatu yang jauh lebih superior dibanding dirinya dalam aspek apapun. Tanpa kesadaran dan pengakuan ini, tidak mungkin ia dapat mengalami perjumpaan yang sejati dengan Allah. Di sinilah orang sombong, khususnya pemimpin yang congkak, mengalami masalah. Jika ia menganggap orang yang lebih superior adalah saingan dan musuhnya, maka ia akan kesulitan untuk benar-benar menaklukkan diri di bawah Allah. Dalam kalimat C.S. Lewis, "A proud man is always looking down on things and people, and, of course, as long as you are looking down, you cannot see something that is above you."

Yang paling menakutkan dari kesombongan adalah bahwa Allah bukan saja membenci dosa tersebut, namun secara aktif menentangnya. Ia tidak berdiam diri terhadap orang sombong, namun berinisiatif melawannya. "Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati." (1 Petrus 5:5) "Setiap orang yang tinggi hati adalah kekejian bagi Tuhan, sungguh ia tidak akan luput dari hukuman." Amsal 16:5)

Saya pikir hal yang paling mengerikan yang dapat dialami oleh orang Kristen adalah berhadapan dengan Allah sebagai musuh-Nya. Tidak ada lagi yang lebih menakutkan.

Yang menarik dari tulisan-tulisan C.S. Lewis, Andrew Murray, dan Jeremy Taylor tentang kesombongan hati adalah mereka secara harmonis menyuarakan dengan keras bahwa kesombongan adalah dosa yang terbesar dan tersulit dikalahkan. Dan semakin saya merefleksikan mengapa demikian, semakin saya setuju dengan mereka. Contohnya sederhana saja.

Dengan mencantumkan ketiga nama terkenal tersebut, saya bisa saja ingin menunjukkan kepada pembaca tulisan ini bahwa saya sudah membaca dan mengerti topik ini dengan baik, paling tidak dibanding dengan banyak orang lain. Atau saya mungkin ingin membuktikan bahwa saya membaca banyak buku yang berbobot. Percikan kesombongan ini belum tentu tertangkap oleh orang lain, namun hati nurani saya tidak bisa tutup mulut tentang hal ini.

Bahkan yang lebih subtle lagi adalah proses berikut. Karena telah mengerti bahaya kesombongan, maka saya merasa ditegur dan mulai berubah untuk rendah hati. Lalu saya bercerita kepada orang lain bahwa saya telah belajar dan berhasil menjadi orang rendah hati. Orang tersebut menjadi kagum terhadap perubahan yang fantastis tersebut. Sementara hati kecil saya berteriak mengatakan bahwa saya telah menyombongkan kerendah-hatian saya. Sungguh sebuah skandal internal yang canggih!

Itu sebab langkah pertama untuk mengalahkan kesombongan adalah mengakui bahwa kita adalah orang sombong! Entah apa langkah yang terakhir, saya tidak tahu. Yang penting jangan sampai kita harus berhadapan dengan Allah sebagai musuh gara-gara masalah ini.

"Ketidakjelasan" dalam Panggilan Tuhan

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Setelah absen cukup lama, mudah-mudahan Anda tidak terkejut dengan munculnya kembali publikasi e-Reformed ini.

Untuk edisi bulan Juni ini, saya tertarik untuk menyajikan tulisan berikut ini yang dikutip dari Majalah Momentum. Tulisan ini sebenarnya adalah hasil ceramah yang disampaikan dalam Seminar Pembinaan Pelayanan Kristen oleh Pdt. Dr. Stephen Tong, November 1987 (memang sudah lama), tapi isinya saya kira tidak out-of-date. Bagi Anda-anda yang sedang bergumul dengan panggilan Anda untuk menjadi hamba Tuhan, silakan simak artikel di bawah ini.

Selamat membaca!
In Christ,
Yulia

Edisi: 
040/VI/2003
Isi: 

Saya kira tema ini harusnya diganti, yaitu tentang bagaimana "jelasnya panggilan Tuhan". Jadi bukan tentang ketidakjelasannya, tetapi tentang jelasnya. Jelas lebih baik daripada tidak jelas, bukan? Seorang yang melayani Tuhan, kalau dia sendiri tidak jelas bahwa dia dipanggil Tuhan, dan dia sedang mengerjakan sesuatu menurut panggilan Tuhan, tak mungkin pelayanannya menjadi kuat. Celaka sekali kalau mereka yang melayani jiwa-jiwa lain dan seharusnya meneguhkannya, ternyata mereka sendiri berada dalam kegoncangan. Salah satu bahaya dalam gereja ialah jika para pemimpinnya sendiri masih meraba-raba, masih ragu-ragu dan belum jelas apakah yang mereka kerjakan benar atau tidak.

Kalau saudara sendiri belum jelas, bagaimana saudara dapat memimpin orang lain? Kalau saudara sendiri berada dalam kegelapan, bagaimana saudara dapat mengeluarkan orang lain dari kegelapan masuk ke dalam terang? Kalau saudara tidak mempunyai suatu keyakinan yang teguh, bagaimana saudara bisa meneguhkan orang lain? Itu tidak mungkin.

Di dalam Kristus kita tidak pernah melihat kepemimpinan-Nya dipenuhi keraguan. Di dalam Kristus ada suatu keyakinan yang dalam, yang sangat mutlak, akan panggilan Allah yang jelas. Demikian juga di dalam Paulus. Musa dan semua pejuang Kerajaan Allah, termasuk nabi-nabi dalam Perjanjian Lama dan rasul-rasul dalam Perjanjian Baru. Mereka semua mempunyai keyakinan yang jelas, teguh dan kuat tentang panggilan Tuhan kepada mereka.

Untuk sampai pada kejelasan panggilan Tuhan itu, mungkin mereka pernah mengalami pergumulan yang lama dan menyakitkan, tetapi ada satu hal yang tidak mungkin tidak ada, yaitu mereka betul-betul mau tahu kehendak Allah dan rela menjalankannya. Ini suatu rahasia yang kita mungkin tahu atau tidak mungkin tahu, yang kita bisa tahu atau tidak bisa tahu. Kalau kita bisa tahu adalah karena kita mau betul-betul menaklukkan diri untuk menjalankan kehendak Allah. Saya kira kemauan ini bukan saja faktor yang paling dasar, tetapi faktor yang paling penting.

Alkitab

Dari seluruh Kitab Suci kita melihat suatu gambaran, bahwa Allah tidak mau menyatakan kehendak-Nya kepada mereka yang tidak mau menjalankannya. Dari sini nyata bahwa kemauan untuk tahu ini merupakan suatu reaksi, suatu respon yang wajar dari seorang anak Tuhan terhadap kedaulatan Allah. Maksudnya, sebelum engkau mencapai titik ini, Saudara mungkin mempunyai motivasi lain. Tetapi kemudian Roh Kudus menormalkan kemauan Saudara, yaitu yang tadinya bengkok sedikit, kurang benar, sekarang fungsi dan arahnya dibetulkan. Sesudah Roh Kudus membetulkan kemauan Saudara yang senantiasa menyeleweng dan kurang mampu untuk menaati Tuhan, barulah Saudara bisa mengatakan "ya" kepada Allah.

Tuhan adalah Tuhan yang berdaulat. Kalau Tuhan tidak berdaulat, Tuhan bukan Tuhan. Kalau Tuhan berdaulat maka biarlah kita yang menyebut Dia "Tuhan" menaklukkan diri kita kepada kedaulatan-Nya. Dan kita mengatakan "mau taat", bukan hanya sebagai suatu ide dan berhenti di situ, tetapi harus langsung mempraktekkanya. Banyak orang menulis dalam formulir panggilan: "Saya mau menjadi hamba Tuhan." Dalam hal ini ada dua macam orang. Yang semacam ialah orang yang hanya menulis konsep "saya mau", tetapi bukan mau yang sesungguhnya. Dia hanya menyampaikan konsepnya; kemauan itu mungkin akan diwujudkan, tetapi tidak secara langsung, tidak dipraktekkan dengan sesungguhnya. Itu berbahaya sekali. Orang seperti itu lambat-laun jadi mengabaikan panggilan Tuhan. Nah, kalau mengabaikan panggilan Tuhan yang rugi bukan Tuhan. Akibatnya adalah ia sendiri menjadi kebal dan tidak lagi peka terhadap suara Tuhan. Jadi pada waktu engkau memberi respon kepada Allah, itu merupakan salah satu momen yang paling serius dalam hidupmu. Saat kita berkata "ya" atau "tidak" kepada Allah adalah saat yang begitu serius dan penting, sehingga menentukan arah hidup kita selanjutnya.

Saya kira para peserta seminar sehari ini adalah orang-orang yang pernah mengatakan, "Saya mau melayani Tuhan." Jadi konsep kemauan itu sudah ada, sekarang Saudara mungkin terjepit di tengah-tengah, konsep itu mau dipraktekkan sulit, tapi kalau salah bagaimana. Supaya tidak salah lebih baik hati-hati, perlu mendengar lebih banyak, sehingga keyakinan itu mempunyai dasar yang kuat. Nah, ini bagus.

Kita kembali ke kalimat tadi: Allah tidak rela menyatakan kehendak-Nya kepada orang-orang yang tidak mau mengetahui dan menjalankan kehendak-Nya. Prinsip yang paling penting dalam mengerti dengan jelas panggilan serta kehendak Allah, adalah kemauan untuk menjalankannya. The Will of man to do the will of God. Kemauan manusia untuk menjalankan kemauan Allah. Ini menjadi faktor yang menentukan.

Yohanes 7:17 mengatakan, "Barangsiapa mau melakukan kehendak-Nya, ia akan tahu entah ajaranKu ini berasal dari Allah, entah Aku berkata- kata dari diriKu sendiri." Di dalam kalimat ini terkandung suatu prinsip yang sangat penting mengenai tiga hal: kemauan, pengetahuan, dan kelakuan. Saya lakukan dulu baru tahu, atau tahu dulu baru lakukan? Ini selalu menjadi debat dan diskusi dalam filsafat. Khususnya dalam filsafat Tionghoa ada dua aliran. Yang satu mengatakan, jalan lebih gampang daripada tahu: yang satu lagi mengatakan, tidak, tahu lebih gampang daripada jalan. Filsafat Barat sangat mementingkan teori. Filsafat Timur mementingkan praktek. Orang Timur kebanyakan tidak belajar musik tetapi menjadi bintang nyanyi TV. Orang Barat sudah belajar mati-matian tidak jadi bintang. Teorinya tahu semua, prakteknya kurang. Orang Timur mementingkan pragmatisme secara tidak sadar. Jalankan dulu, nanti tahu sendiri. Kalau Barat, belajar dulu semua teori, semua prinsipnya sudah dikuasai, baru dijalankan.

Kita melihat di sini, kedua kebudayaan manusia mempunyai dua kutub, jalan dulu baru tahu atau tahu dulu baru jalan. Teori dulu baru praktek atau praktek dulu baru tahu. Kedua-duanya disingkirkan oleh Tuhan Yesus dengan prinsip Kitab Suci yang lebih tinggi. Ayat di atas adalah ayat yang sederhana, tetapi bagi saya ini sekaligus mengikat dua macam kebudayaan di dunia, yaitu bukan jalan dulu baru tahu atau tahu dulu baru jalan, melainkan mau jalan dulu baru bisa tahu apakah itu benar atau tidak. Jadi kemauan mendahalui pengetahuan dan kelakuan. Ini adalah prinsip Kristen, prinsip Alkitab dan prinsip yang disimpulkan dari ajaran Yesus Kristus yang jauh lebih tinggi daripada kebijaksanaan kebudayaan, baik dalam agama maupun dalam filsafat.

Saudara, barangsiapa mau melakukan (ini faktor penentu), maka dia akan tahu. Saya harap kita yang mau jelas bagaimana Tuhan membimbing kita, kembali kepada Alkitab terlebih dahulu. Dengan faktor penentu yang kita pegang sebagai prinsip yang penting, tidak mungkin tidak diberkati "Tuhan, di sini aku, aku bersedia. Aku mau melakukan." Lalu Tuhan memberitahu. Engkau akan tahu apakah yang diajarkan oleh Yesus benar atau tidak. Tahu apakah yang menjadi panggilan khusus untuk dirimu, kalau engkau mau menjalankan. Bila dirumuskan dengan kalimat yang lebih gampang: Penyerahan adalah langkah utama untuk mengenali dan melakukan pimpinan Tuhan. Penyerahan, dedication.

Sekarang saya mau menggabungkan beberapa istilah dalam salah satu kategori, yaitu penyerahan, iman, taat dan kerohanian. Aspek-aspek ini tergolong dalam kategori yang saya sebut sebagai "meletakkan kebebasan diri di bawah kedaulatan Allah". Apa itu iman? Iman berarti meletakkan kebebasan Saudara di hadapan kedaulatan Allah. Iman berarti menyerahkan pikiran Saudara di bawah Firman Allah. Apa itu rohani? Rohani berarti orang rela menyerahkan diri di bawah pimpinan Tuhan. Jadi istilah dedikasi, iman, ketaatan, kehormatan itu adalah sama, yaitu mengakui keTuhanan Tuhan.

Dari Yohanes 7:17 dapat disimpulkan suatu kepastian, bahwa manusia bisa mengetahui dengan jelas kehendak Allah. Tetapi saya ingin bertanya, sampai di manakah kepastian kita bahwa kita mengetahui kehendak Allah? Ada atau tidak, orang yang kurang jelas tentang kehendak Allah tetapi sedang berjalan di dalam kehendak-Nya? Adakah orang yang katanya jelas tentang kehendak Allah tetapi yang dikerjakannya melawan kehendak Allah? Ada!

Saya minta Saudara perhatikan, jangan terlalu gampang percaya kepada mereka yang selalu mengatakan dirinya sudah jelas mengetahui kehendak Tuhan. Orang yang terus menyebut dengan mulutnya. "Saya jelas tentang kehendak Tuhan", malah sering tidak terlalu jelas. Orang yang betul- betul mau menjalankan kehendak Tuhan tidak sembarangan menyebut istilah ini. Karena istilah ini terlalu besar, suatu istilah yang begitu berat, sehingga orang yang takut akan Tuhan tidak sembarang menyebut nama Tuhan dan kehendak-Nya. Setiap kali Alkitab menyebut kehendak Allah, itu sangat serius, tidak main-main ketika kita menyinggung tentang kehendak Allah.

Calvin berkata, "Tidak ada apa pun yang lebih besar daripada kehendak Allah kecuali Allah sendiri." Kalimat ini mengingatkan kita kembali bahwa kehendak Allah begitu terhormat, begitu agung, begitu serius, sehingga kita harus hati-hati ketika kita menjelajah ke dalam wilayah kehendak Allah.

Apa yang terjadi pada orang yang terus berbicara tentang kehendak Allah tetapi jauh dari kehendak-Nya? Apa yang terjadi pada mereka yang tidak jelas akan kehendak Allah tetapi sedang berjalan dalam kehendak-Nya? Ada tiga faktor yang perlu diperhatikan, yaitu faktor takut kepada Tuhan, faktor percaya, dan betul-betul sadar dan peka bahwa Allah lebih besar daripada perasaan hatimu sendiri. Kita membaca 1Yohanes 3:19-22, "Demikianlah kita ketahui, bahwa kita berasal dari kebenaran. Demikian pula kita boleh menenangkan hati kita di hadapan Allah, sebab jika dituduh olehnya (Oleh siapa? Oleh hati kita sendiri!) Allah adalah lebih besar daripada hati kita serta mengetahui segala sesuatu". Saudara-saudaraku yang kekasih, jika hati kita tidak menuduh kita, maka kita mempunyai keberanian percaya untuk mendekati Allah, dan apa saja yang kita minta, kita memperolehnya dari pada-Nya, karena kita menuruti segala perintah-Nya dan berbuat apa yang berkenan kepada-Nya.

Kata-kata sesudah kata "karena" berarti itu adalah suatu dasar. Kalau kita sudah menjalankan perintah-Nya, kalau kita sudah menaati apa yang diminta Tuhan, maka biarlah hati kita selalu tenang dan mendapat damai sejahtera (Kolose 3:15). Jadi kalau hati kita menegur, jangan kerjakan. Kalau hati kita tidak menegur, kita tenang saja, kita boleh datang kepada Tuhan dengan berani. Apakah itu lalu berarti, hati dan perasaan kita menjadi faktor penentu untuk kita berani mengerjakan sesuatu atau tidak? Saudara, kalimat yang paling penting di sini adalah: Ketahuilah bahwa Allah lebih besar daripada hati.

Nah, kalau orang mengatakan "Saya tahu ini kehendak Tuhan karena hati saya tidak menegur", orang itu tetap mungkin berada dalam bahaya besar, karena dia belum menetapkan sikap bahwa Allah lebih besar daripada hati. Dan inilah yang terjadi pada kasus tadi, orang mengatakan ini kehendak Tuhan tetapi dia menyeleweng jauh dari kehendak Tuhan.

Sedangkan orang yang betul-betul mau menjalankan kehendak Tuhan tetapi kurang jelas apakah itu kehendak Tuhan atau tidak, berarti dia sudah merasa Allah lebih tinggi daripada hati, tetapi hatinya masih belum teguh, karena ia kurang mahir dalam pergaulan dan kurang komunikasi dengan Allah.

Prinsip mengetahui kehendak Tuhan

Umat Allah

Sekarang secara singkat kita memikirkan beberapa prinsip bagaimana mengetahui kehendak Tuhan.

  1. Mengetahui kehendak Tuhan karena Alkitab menulisnya. Ini hal yang penting. Segala sesuatu yang bersangkut-paut dengan kehendak Tuhan, tidak mungkin melawan prinsip Kitab Suci, tidak mungkin melawan catatan-catatan yang mengandung prinsip Kitab Suci.
  2. Hal-hal yang bersangkut-paut dengan kehendak Tuhan, jika tidak dicatat dalam Kitab Suci: pasti tidak melawan prinsip-prinsip etika dasar yang sudah diberikan Kitab Suci. Contohnya, jika Kitab Suci tidak menyebut apakah sesuatu diperbolehkan atau tidak, bagaimana saya tahu? Misalnya, apakah Kitab Suci pernah mengatakan, 'Jangan berjudi"? Nah, prinsip dasar Kitab Suci mengenai etika Kristen mengandung tiga prinsip besar:
    1. Memuliakan Allah;
    2. Memberi faedah atau membangun iman orang lain;
    3. Tidak ada ikatan dosa.
    Ketiga prinsip ini didasarkan pada tulisan Paulus, "Segala sesuatu diperbolehkan". Saya boleh mengerjakan segala sesuatu, tetapi waktu saya mengerjakan itu, prinsip pertama ialah, saya memuliakan Allah atau tidak. Kedua, saya boleh mengerjakan segala sesuatu karena saya sudah dibebaskan oleh Yesus Kristus. Tetapi di dalam saya mengerjakan segala sesuatu itu apakah saya membangun iman orang lain atau tidak. Ketiga, saya boleh mengerjakan segala sesuatu dan di dalam mengerjakannya saya betul-betul tidak ada ikatan dosa, ataukah ada.

    Selain tiga prinsip yang besar ini masih ada tiga lingkaran, yaitu kerjakan segala sesuatu di dalam lingkaran motivasi kasih, lingkaran ikatan kebenaran dan lingkaran prinsip keadilan. Tiga prinsip dasar dan tiga lingkaran ini membantu kita untuk tidak berjalan di luar kehendak Allah.
  3. Kalau kehendak Tuhan ini bersangkut-paut dengan orang lain, maka saya harus jelas bahwa orang yang bersangkutan juga dipimpin oleh Tuhan dengan jelas. Itu akan memastikan bahwa saya sedang berjalan di dalam kehendak Tuhan. Misalnya, seseorang yang menyerahkan diri menjadi hamba Tuhan, betul-betul mau mencintai Tuhan dan mau mengabarkan Injil, berniat untuk menikah. Dia ingin jelas tentang pimpinan Tuhan dalam pernikahan ini. Tidak bisa dia memaksa orang lain untuk menikah dengan dia, sekalipun ia merasa dirinya sudah berjalan dalam kehendak Tuhan. Pernikahan bukan persoalan satu orang, melainkan persoalan dua pihak. Maka pihak lain pun harus merasa dipimpin oleh Tuhan. Ini sangat penting. Khusus hari ini saya menyinggung tentang pernikahan, karena banyak orang dipanggil dan menyatakan mau melayani Tuhan, namun akhirnya tidak jadi sebab telah mempunyai jodoh yang tidak bisa dilepas dan tidak mau mengikut, sehingga panggilan Tuhan dalam dirinya seolah-olah gagal. Ini sering terjadi.

    Jadi untuk mengetahui kehendak Tuhan, yang bersangkut-paut itu harus ikut ambil bagian, harus saling menghormati. Tidak tentu seorang lulusan teologi harus menikah dengan seorang lulusan teologi juga. Mengapa? Karena yang paling penting adalah dua-duanya tahu bahwa mereka menikah untuk menjalankan satu tugas, satu panggilan, dan mereka rela menaati panggilan itu.

    Kadang-kadang pimpinan Tuhan kepada pasangan kita tidak dinyatakan pada waktu yang bersamaan dengan kita. Karena itu kita harus sabar. C.T. Studd, salah seorang misionaris yang teragung dalam sejarah, yang mendirikan World Evangelization Crusade (WEC), sebelum menikah berkata kepada seorang wanita Kristen (waktu itu belum menjadi istrinya), "Aku tahu kehendak Tuhan, aku mau menikah dengan engkau. Engkau berdoa baik-baik, pasti engkau segera diberitahu oleh Tuhan. "Waktu wanita itu menerima surat tersebut, dia mulai berdoa sungguh-sungguh. Lalu Tuhan memberi dia kesadaran bahwa dia dipimpin oleh Tuhan untuk menikah dengan C.T. Studd.

    Di sini kita melihat, prinsip "waktunya tidak bersamaan" itu tetap diambil dari Alkitab. Alkitab menyatakan, kita mengasihi Allah karena Allah mengasihi kita lebih dahulu. Maka ada sepihak yang lebih dulu dan ada sepihak lagi yang belakangan. Dengan demikian perbedaan waktu tidak menjadi soal selama kedua pihak sama- sama menjalankan kehendak Tuhan. Tetapi ingat, entah waktunya sama atau tidak sama, yang bersangkutan harus mempunyai pimpinan Tuhan yang jelas.
  4. Sejahtera Kristus harus memerintah dalam hati seseorang. Point keempat ini bersangkut-paut dengan yang tadi kita katakan sebagai faktor penentu. Faktor penentu yaitu Allah tidak mau menyatakan kehendak-Nya pada mereka yang tidak mau menjalankan kehendak-Nya. Ini terambil dari Kolose 3:15, "Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh." Apakah yang diartikan dengan pemerintahan damai sejahtera? Itu berarti bahwa damai yang berasal dari Kristus sedang memimpin, mengontrol dan memerintah dalam hatimu. Pemerintahan damai sejahtera berarti Tuhan memberikan semacam kestabilan rohani agar kita tidak ragu-ragu.

    Jika engkau mengerjakan sesuatu dan seluruh dunia setuju, belum tentu itu kehendak Allah. Tetapi jika engkau mengerjakan sesuatu, disetujui orang lain, dan hatimu diperintah oleh damai Yesus Kristus, itu bagus, bukan? Sedangkan kalau terjadi kasus yang yang terbalik, dalam hatimu ada damai Kristus tetapi kau tidak disetujui orang lain, engkau lebih berani, kerjakan! Daripada engkau disetujui banyak orang tetapi tidak ada pemerintahan damai sejahtera Kristus.

    Saya tidak mau mengekstrimkan kasus pertama dan ketiga ini sehingga menimbulkan efek sampingan yang tidak perlu. Maksudnya, kalau engkau menganggap asal semua setuju berarti itu kehendak Allah, ini bahaya. Tetapi kalau engkau menganggap asal damai saja hatinya, orang semua tidak setuju, tidak apa, jalankan saja, itu juga bahaya. Kalau engkau mengatakan, "Hatiku damai, kok!" jangan lupa prinsip mengaitkan dengan faktor penentu, jangan lupa bahwa Allah lebih besar daripada hati kita. Kembali kepada tadi. Hatimu begitu taat kepada kedaulatan-Nya, sehingga yang disebut ada damai sejahtera Kristus di dalam hati, bukan hanya suatu bayang-bayang, melainkan suatu fakta melalui ketaatan yang sejati tadi.
  5. Sesudah engkau mempunyai keempat hal di atas, tetapi masih kurang jelas juga, maka faktor kelima sekarang muncul, yaitu jangan lupa berkonsultasi dengan orang yang rohani, yang sungguh-sungguh cinta Tuhan dan rela mengerti sesama. Saya kira point ini penting sekali.

    Kadang-kadang dalam pelayanan kita, ada banyak orang tidak setuju dengan tindakan kita. Nah, kalau ini terjadi pada Stephen Tong, bagaimana? Saya tenang dan berdoa di hadapan Tuhan, sesudah itu saya bertanya, orang yang menentang saya itu mencintai Tuhan atau tidak? Kalau dia betul-betul mencintai Tuhan dan motivasinya mau mengerti, bukan karena iri hati dan lain-lain, saya boleh baik- baik mengoreksi diri. Tetapi kalau orang itu tidak cinta Tuhan, tidak cinta kerajaan Allah dan tidak cinta sesama, dan bukan betul- betul mau mengerti, maka penentangnya tidak begitu berharga dalam penilaian saya.

    Hal ini memerlukan kepekaan. Setiap hari kita yang mau menjalankan kehendak Tuhan harus bertekad untuk tidak mau menyeleweng, tidak mau keluar dari pimpinan itu.

    Jadi itulah yang dianjurkan oleh Alkitab, berdoa bersama mereka yang hatinya suci untuk mencari keadilan, mencari damai dari Tuhan. Kalau engkau menghadapi kesulitan, carilah beberapa orang Kristen yang mahir, yang rohaninya baik, yang betul-betul mau mengerti. Mungkin nasihat mereka tidak seratus persen benar, tapi cobalah mendengarnya dan menghargainya. Kadang-kadang melalui orang yang mencintai Tuhan dan mencintai Saudara ada pengalaman-pengalaman seperti ini yang keluar dari mulutnya, yang dapat menjadi pedoman bagimu.
  6. Prinsip yang ke enam: kalau masih kurang jelas tetapi waktu mendesak, sedangkan engkau harus mengambil keputusan, bagaimana? Ini situasi yang sangat kritis. Bolehkah kita mengambil keputusan tanpa suatu dasar yang jelas mutlak? Saudara-saudara, saya menjelaskan hal ini demikian. Kadang-kadang Allah memperbolehkan suatu periode kabur bagi orang yang Dia cintai. Engkau harus memberi peluang ini, kalau tidak, masih ada bahaya besar. Kadang- kadang Allah memperbolehkan orang-orang yang dicintai-Nya mengalami suatu periode yang kabur, kurang jelas. Contohnya, Abraham pernah mengalami kekurangtahuan akan kehendak dan pimpinan Tuhan, sehingga dia bertanya, mengapa Tuhan menyembunyikan kehendak-Nya kepadanya. Di dalam Alkitab Allah menyebut Abraham sebagai "sahabatKu, Abraham". Keakraban itu melebihi hubungan Allah dengan siapapun. Kalau Allah mengizinkan hal ini, apakah artinya bagi kita? Saudara, jawaban ada pada pernyataan Tuhan Yesus: akhirnya engkau akan tahu dengan jelas. Meskipun sekarang tidak begitu jelas, jalankan saja, asalkan kelima prinsip di atas sudah ditempuh. Kalau ini kehendak Allah, kalau ini tidak melanggar prinsip Alkitab, kalau ini berdasarkan memuliakan Allah, kalau ini tidak ada ikatan dosa, orang yang berkaitan juga sudah jelas akan pimpinan Tuhan, kalau ada damai sejahtera Roh Kudus dan Kristus memerintah di dalam hatimu, maka jalankanlah.

    Alkitab berkata tentang orang-orang yang berada dalam periode kekaburan itu: "Jika ia hidup dalam kegelapan dan tidak ada cahaya bersinar baginya, baiklah ia percaya kepada nama Tuhan dan bersandar kepada Allahnya!" (Yesaya 0:10). Firman ini merupakan penghiburan yang besar bagi mereka yang berada sementara dalam masa kekaburan itu. Orang yang takut akan Allah, sementara berjalan dalam kegelapan peganglah teguh akan Tuhan.

Apakah saya dipanggil untuk menjadi hamba Tuhan?

Untuk mengetahui apakah saya dipanggil menjadi hamba Tuhan, dan bagaimana saya secara praktis, secara prinsip, boleh mengetahui dengan jelas, ada tiga prinsip yang penting, yang perlu kita ketahui./

  1. Saya jelas tahu tugas ini berat, pelayanan ini sulit, bahaya besar, risikonya besar, tetapi ada semacam kerelaan dan kemauan yang terus- menerus mendorong, tidak habis-habisnya. Inilah tanda pertama Tuhan memanggil engkau menjadi hamba-Nya.

    Sambil mendengar prinsip yang penting ini, saya minta Saudara mulai menyelidiki diri, introspeksi ke dalam dirimu. Apakah yang menjadi motivasi sehingga Saudara mau menjadi hamba Tuhan? Apakah karena engkau ingin seperti Billy Graham? Apakah engkau ingin menjadi hamba Tuhan yang besar, kelihatan menonjol di hadpaan orang banyak, begitu hebat dan megah berdiri di depan? Apakah engkau ingin seperti itu? Kalau itu yang menjadi motivasimu berarti engkau tidak akan dipanggil oleh Tuhan. Orang yang dipanggil Tuhan justru mengetahui hal ini tidak gampang, ini sulit, ini berat, tugas yang berat dan satu risiko yang besar. Sesudah jelas tapi ternyata kemauan itu terus saja ada, terus mendorong, ini membuktikan tanda pertama. Allah sedang memanggil dia.
  2. Engkau mempunyai kerelaan berdasarkan yang tidak habis-habis untuk menjadi full-timer, namun kesulitan-kesulitan selalu memberikan peringatan sehingga engkau tidak berani, akhirnya engkau mundur dan hanya menjadi pelayan Tuhan part-time. Hal ini selalu terjadi dalam gereja.

    Waktu konflik ini terjadi dan engkau mengambil keputusan untuk melayani part-time, langsung engkau kehilangan sejahtera. Damai sejahtera yang memerintah itu sekarang mulai menghilang, engkau mulai kacau karena tidak ada sejahtera. Ini tanda kedua bahwa Tuhan mau engkau full-time. Kadang-kadang engkau berdalih, "Tidak semua harus menjadi pendeta, kan? Banyak juga yang melayani part-time, malah sebagai orang Kristen awam bisa lebih baik daripada yang menjadi hamba Tuhan." Ini benar. Saya percaya banyak orang awam yamg rohaninya mungkin lebih baik daripada sebagian pendeta yang kurang bertanggungjawab. Saya percaya itu. Tetapi bukan karena engkau lebih baik dibandingkan dengan yang menjadi pendeta full- time, lalu itu berarti engkau sudah diperbolehkan oleh Allah menjadi part-timer seumur hidup. Tidak! Saudara harus melihat suatu prinsip: apakah yang sebaiknya bagimu? Bukan karena engkau dibandingkan dengan orang lain. Sekali lagi, apa yang direncanakan Tuhan untukmu tidak bisa ditentukan dengan membandingkan dirimu dengan orang lain. Karena setelah Adam berdosa manusia mempunyai satu kecenderungan, selalu membandingkan dengan yang lebih jelek. "Oh, saya toh lebih baik dari pendeta ini." Cukup, lalu memuaskan diri. Kalau kepuasan yang bukan dari Allah itu engkau sudah ambil sebagai suatu bagian dalam hidupmu untuk menipu diri, maka Allah akan tarik kembali pemerintahan damai sejahtera dalam dirimu.

    Saudara-saudara, engkau harus betul-betul datang kepada Tuhan, minta penjelasan dari Tuhan. Apakah dirimu sudah mencapai keadaan maksimal yang ditetapkan oleh Tuhan? Jadi prinsip yang kedua, yaitu kemungkinan kehilangan damai itu, sampai engkau menjadi full-timer baru engkau merasa damai itu kembali.
  3. Setelah engkau diberi tanda pertama dan kedua, tetapi engkau tetap menolak, maka baru tanda ketiga datang melalui cambukan, pukulan, ajaran yang keras dari Tuhan sehingga engkau tidak bisa tidak taat.

    Saya memberikan tiga prinsip ini bukan berdasarkan hal-hal yang selalu berubah. Tetapi berdasarkan suatu kemantapan yang jika Saudara kelak, bertahun-tahun kemudian memikirkannya kembali, bisa dipertanggungjawabkan.

    Prinsip pertama diambil dari Filipi 2:13, "Karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu, baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya." Ini adalah satu-satunya ayat di mana kemauan ganda itu muncul. The will of man and the will of God. Karena Allah-lah yang telah mengerjakan dalam dirimu menurut kemauan-Nya: yang dikerjakan adalah kemauanmu. Jadi kemauan Allah sedang bekerja untuk menormalkan kemauan manusia. Engkau sendiri tidak mengerti mengapa sudah tahu menjadi hamba Tuhan itu sulit, mempunyai risiko yang besar, tugas yang berat tapi dorongan kemauan itu terus ada, itu dari mana? Saudara-saudara, sesudah Adam jatuh manusia berdosa tidak mungkin mempunyai kemauan untuk menanggung yang berat-berat, yang sudah ia ketahui sebelumnya, meskipun orang-orang kolerik lebih dekat dengan kemungkinan ini. Tetapi Alkitab berkata bahwa kemauan Allah yang mengerjakan di dalam dirimu kemauan dan perbuatan itu.

    Prinsip kedua tadi diambil dari Kolose 3:15. Damai Kristus memerintah di dalam hatimu dan kalau engkau tidak taat, damai itu tidak lagi memerintah, ia hilang dan engkau mengalami ketidakmantapan dalam hatimu.

    Ketiga, kalau engkau masih tidak taat dipukul dan dihajar, itu prinsip yang diambil dari Ibrani 12, yaitu Dia menghajar anak-Nya sendiri. Ibrani 12:7-10, "jika kau harus menanggung ganjaran, Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya? Tetapi jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang." Selanjutnya dari ayah kita yang sebenarnya kita beroleh ganjaran, dan mereka kita hormati; kalau demikian bukankah kita harus lebih taat kepada segala roh, supaya kita boleh hidup? Sebab mereka mendidik kita dalam waktu yang pendek sesuai dengan apa yang mereka anggap baik, tetapi Dia menghajar kita untuk kebaikan kita, supaya kita beroleh bagian dalam kekudusan-Nya.
Sumber: 
Judul Buku : Momentum Vol. 4 Desember 1987
Judul Artikel: "Ketidakjelasan" dalam Panggilan Tuhan
Penulis: Pdt. Dr. Stephen Tong
Penerbit: LRII (Lembaga Reformed Injili Indonesia)
Halaman : 8-10, 18-21

Pasang Surut Kehidupan Doa

Editorial: 
Edisi: 
039/V/2003
Isi: 

Beberapa bulan yang lalu saya berbicara dengan beberapa orang Kristen yang merasa malu. Mereka pernah terbiasa hidup berdoa, kata mereka. Tapi keadaan berubah. Mereka tidak berdoa lagi seperti dulu sehingga mereka merasa malu. Ada yang menggambarkannya begini:

"Waktu saya baru percaya, angan-angan berbicara dengan Allah alam semesta dan Allah mendengarkan saya mempedulikan saya, menanggapi kepentingan saya angan-angan itu membanjiri pikiran saya sehingga hampir saya tidak dapat memahaminya."

"Begitu saya tahu bahwa saya dapat melakukannya, saya mulai berdoa sepanjang hari. Saya berdoa waktu bangun. Saya berdoa di meja waktu sarapan pagi. Saya berdoa dalam perjalanan ke tempat kerja. Saya berdoa di meja saya di kantor, dengan teman-teman melalui telepon, waktu makan siang, dengan keluarga waktu makan malam, dengan anak- anak waktu mereka hendak tidur malam. Saya berdoa dengan kelompok kecil. Saya sangat senang waktu berdoa di gereja.

"Saya berdoa sepanjang waktu, dan itu membuat saya bersukacita. Allah menjawab doa-doa saya. Hidup saya berubah. Hidup orang lain berubah. Sungguh menyenangkan."

"Apa yang terjadi?" tanya saya.

"Saya tidak tahu," jawab orang itu. "Terus terang, saya tidak tahu. Rasanya hidup berdoa saya surut." Kemudian dia berkata dengan sangat sedih, "Saya jarang sekali berdoa sekarang."

Musim Tanpa Doa

Saya tahu masalah mereka. "Hampir setiap pengikut Yesus Kristus pada suatu waktu mengalami persis seperti apa yang Anda gambarkan," kata saya. "Saya tahu saya juga pernah begitu."

Waktu saya menoleh ke riwayat hidup rohani saya, saya menemukan musim tertentu di mana saya sering berdoa dengan penuh semangat. Saya dipenuhi sukacita dan harapan akan berkat Allah. Tanda ajaib terjadi dalam hidup saya, dalam hidup orang yang saya doakan dan dalam gereja saya.

Kemudian, tanpa sebab yang jelas, hidup berdoa saya mulai surut sampai saya hampir berhenti berdoa. Ya, saya masih berdoa pada waktu makan dan pada kegiatan-kegiatan di gereja tapi tidak lebih dari itu. Doa nampaknya hambar, membosankan dan tanpa arti. Musim tanpa doa itu bisa berlangsung berminggu-minggu atau bahkan berbulan- bulan.

Lalu tiba-tiba kuat kuasa Allah melimpah lagi dalam hidup saya, seperti sebelumnya. Sekali lagi saya merasa senang datang ke hadirat Allah. Sekali lagi saya sering berdoa dan berhasil. Sampai kepudaran kambuh lagi, seperti selalu terjadi.

Apa yang menyebabkan pasang-surut dalam hidup berdoa kita? Mengapa kita kehilangan minat dalam berdoa? Mengapa kita berhenti berdoa?

Satu penyebab kita berhenti berdoa atau membiarkan hidup berdoa kita pudar, ialah bahwa kita terlalu senang - puas dengan keadaan. Itu sifat dasar manusiawi.

Bila badai mengamuk, topan menderu dan gelombang menimpa geladak, setiap orang di atas kapal berdoa seperti orang gila. Bila telepon yang menyeramkan datang di tengah malam, bila dokter berkata bahwa yang dirawat tidak begitu memberi harapan, atau waktu suami/istri kita berkata bahwa ada orang lain yang sangat menarik, doa adalah sifat dasar kedua. Dalam situasi yang sukar seperti itu, hampir setiap orang berdoa - sungguh-sungguh, berulang-ulang, penuh harapan, bahkan mati- matian.

Kemudian badai berlalu, laut tenang, angin reda dan Allah sekali lagi membuktikan diriNya setia. Sebagian besar motivasi kita untuk berdoa turun, dan mulai lagi doa yang sangat memudar.

Melupakan Allah

Dapat dipahami, hal ini mempengaruhi hati Allah. Ia sedih bila anak- anak-Nya bertindak seperti mahasiswa, yang menghubungi orang tua hanya kalau uang mereka mulai kurang.

Ada tema sedih dalam Perjanjian Lama. Allah memberkati anak-anak- Nya, tapi mereka melupakan-Nya. Ia memberkati mereka lagi, dan mereka melupakan-Nya lagi. Mereka mengalami kesukaran besar dan mohon pertolongan, dan Allah datang dan menyelamatkan mereka. Tapi mereka lagi-lagi melupakan-Nya.

Baca Alkitab.

Bacalah, misalnya, litani yang sedih dalam Mzm 78. Walau Allah memberikan hukum kepada Israel, dibelah-Nya laut supaya mereka bisa menyeberang, memimpin mereka melalui padang gurun, memberikan mereka makanan dan air dengan cara ajaib, dan memukul mundur musuh mereka, "Berulang kali mereka mencobai Allah; ... Mereka tidak ingat kepada kekuasaan-Nya,..." (ay 41-42). Atau dalam Mzm 106:6-13

Nenek moyang kami di Mesir tidak mengerti perbuatan-perbuatan-Mu yang ajaib,
tidak ingat besarnya kasih setia-Mu,
tetapi mereka memberontak terhadap Yang Mahatinggi di tepi Laut Teberau.
Namun diselamatkan-Nya mereka oleh karena nama-Nya,
untuk memperkenalkan keperkasaan-Nya.
Dihardik-Nya Laut Teberau, sehingga kering, dibawa-Nya mereka berjalan melalui samudra raya seperti melalui padang gurun. Demikian diselamatkan-Nya mereka dari tangan pembenci,
ditebus-Nya mereka dari tangan musuh;
air menutupi para lawan mereka,
seorang pun dari mereka tiada tinggal.
Ketika itu percayalah mereka kepada segala firman-Nya,
mereka menyanyikan puji-pujian kepada-Nya.
Tetapi segera mereka melupakan perbuatan-perbuatan-Nya,
dan tidak menantikan nasihat-Nya.
Dengan sedih, kata pemazmur itu: "Kami dan nenek moyang kami telah berbuat dosa" (ay 6). Kita tidak ingin melupakan Allah. Kita ingin agar hidup berdoa kita konsisten. Bagaimana kita bisa tetap mengingat kebaikan Allah? Bagaimana kita ingat untuk berdoa?

Irama Sehari-hari

Kita dapat mengingat untuk berdoa sama dengan cara kita mengingat apa saja yang menjadi urusan kita dengan memasukkan doa dalam jadwal harian kita. Seperti kita lihat, Yesus menganggap bahwa pengikut-Nya akan menyediakan waktu untuk berdoa. Kalau kita merasa bahwa kita kian jarang berdoa, itu mungkin karena kita tidak pernah menjadikan doa suatu bagian tertentu dari jadwal harian kita.

Ada orang yang menentukan waktu untuk berdoa bahkan sebelum turun dari tempat tidur di pagi hari. Yang lain berdoa waktu minum kopi, atau waktu makan siang, atau persis sesudah pulang dari tempat kerja atau sekolah, atau sesudah makan malam, atau sebelum waktu tidur. Waktu yang kita pilih tidak menjadi soal, selama kita menatanya dengan setia. Doa perlu menjadi bagian dari irama hidup sehari-hari kita.

Pilihlah satu waktu pada waktu mana Anda biasanya tidak terganggu. Anda bisa menutup diri dari dunia dan mendengarkan Allah. Bersamaan dengan itu, pilihlah tempat yang dapat menjadi tempat pelarian Anda, tempat perlindungan Anda, sementara Anda duduk di hadapan hadirat Allah.

Para kenalan saya yang konsisten tiap hari berdoa dengan sungguh- sungguh dan penuh sukacita, biasanya telah memilih tempat tertentu yang mereka gunakan untuk berdoa setiap hari. Saya mengenal seorang yang berdoa sepanjang jalan ke tempat kerja, dalam kereta api lima hari seminggu. Itu empat puluh menit kalau mendapat kereta api ekspres dan kalau tidak, satu jam. Dia berkata bahwa tempat duduknya di kereta adalah tempat suci baginya.

Saya mengenal seorang yang berdoa di meja pojok di restoran sebelum bekerja tiap hari. Ada yang berdoa sambil duduk dekat pintu sorong dari kaca dengan pemandangan taman di luar. Ada yang menulis doanya dalam komputer di kantornya. Tempat apa saja bisa menjadi tempat berdoa. Yang penting, kalau kita hendak ingat untuk berdoa, ialah menentukan tempat khusus dan waktu khusus untuk bertemu dengan Tuhan.

Dosa Sehari-hari

Tapi untuk kebanyakan dari kita, masalah tidak setia berdoa bukanlah karena tidak ada waktu atau tempat. Kita mempunyai tempat berdoa, dan dulu kita pergi ke sana tiap hari. Tanpa sebab tertentu semangat kita pergi ke sana sirna. Kita tidak berhasrat lagi untuk berdoa.

Kalau itu yang menggambarkan perasaan kita, kita mungkin menderita rasa salah atau malu. Sesuatu yang telah kita perbuat - atau sedang perbuat sekarang - telah menjadi rintangan antara kita dan Allah.

Kadang-kadang bila saya mencoba menolong seorang untuk mengerti mengapa mereka tidak berdoa lagi, saya berkata, "Mari kita telusuri. Apakah Anda tahu kapan Anda mulai merasa seperti ini? Apa lagi yang sedang terjadi dalam hidup Anda pada waktu itu?"

Orang yang jujur dan sadar-sendiri sering mengatakan sesuatu seperti ini, "Ya, pada waktu itu saya mulai berpesta-pora, banyak mengelana dan membiarkan hidup saya sedikit di luar kendali."

Seorang lagi berkata, "Pada waktu itu saya sangat sibuk di tempat kerja dan kerakusan memancing saya sehingga mencari uang menjadi tenaga pendorong yang merasuki hidup saya."

"Saya kira pada waktu saya menerima konseling, itu pada mulanya menolong. Tapi kemudian bukannya mengatasi masalah saya, saya terbenam dalam diri sendiri, dan saya kian menjadi pusat dunia saya sendiri. Saya mengesampingkan Allah."

"Mungkin itu pada waktu saya pindah sekamar dengan pacar saya."

Saya harus memberitahu orang-orang ini, apa pun rinciannya, dosa sehari-hari cukup kuat untuk menciptakan kesenjangan yang kian lebar dalam hubungan kita dengan Allah. Kian lebar kesenjangan itu, kian jarang kita berdoa. Dan kian jarang kita berdoa, kesenjangan itu menjadi kian lebar.

Menghina Nama Allah

Saya ingat satu waktu ketika saya tahu saya sedang berbuat dosa. Saya kebingungan mengapa doa pagi saya di kantor ternyata sangat kaku dan tidak berarti. Saya mempunyai waktu berdoa yang sangat teratur dan tempat berdoa yang tetap; tapi saya tidak mau terlibat percakapan mendalam dengan Allah.

Kemudian saya membaca firman Allah dalam Kitab Mal 1:6: "... di manakah hormat yang kepada-Ku itu? ...firman TUHAN semesta alam kepada kamu, hai para imam yang menghina nama-Ku. Tetapi kamu berkata: 'Dengan cara bagaimanakah kami menghina nama-Mu?'" (Mal 1:6).

Banyak cara, kata Allah melalui Maleakhi. Marilah saya sebutkan beberapa.

Mereka menipu Allah. Kendati petunjuk Allah jelas untuk mempersembahkan hewan yang terbaik sebagai kurban kepada Tuhan. Tapi orang Israel membawa ternak mereka yang terbaik ke pasar, di mana mereka bisa mendapatkan harga mahal untuk ternak itu. Kemudian mereka membawa hewan yang tidak berharga - yang buta, yang timpang, yang sakit hampir mati - dan membawanya ke mezbah Allah (lih Mal 1:6-8).

Mereka juga telah menipu orang miskin - menindas orang upahan, menyulitkan hidup ekonomi para janda dan curang terhadap para orang asing pendatang liar (lih Mal 3:5).

Di samping itu, mereka telah menipu keluarganya. Perceraian merajalela. "... Kamu menutupi mezbah TUHAN dengan air mata, dengan tangisan dan rintihan, tidak lagi berpaling kepada persembahan dan tidak berkenan menerimanya dari tanganmu. Dan kamu bertanya: 'Oleh karena apa?' Oleh sebab TUHAN telah menjadi saksi antara engkau dan istri masa mudamu yang kepadanya engkau telah tidak setia, padahal dialah teman sekutumu dan istri seperjanjianmu" (Mal 2:14-15).

Melalui Maleakhi Allah berseru, "Setelah menipu Aku, orang yang tertindas di antara kamu dan bahkan keluargamu sendiri, kamu berani meminta berkat-Mu? Kamu terang-terangan berdosa kepada-Ku dan kemudian punya nyali untuk meminta kemurahan hati? Kamu memberontak melawan Aku dan mengharapkan Aku tidak terpengaruh oleh ketidakpatuhanmu? Aku sangat sedih. Dosamu menghancurkan hati-Ku. Itu terasa seperti pengkhianatan."

Kalau kita tidak hidup dalam kepatuhan kepada Allah, kita kehilangan rasa hangat dan akrab dengan Dia. Kita bisa bernostalgia dengan waktu berdoa yang dulu, tapi kita telah mendirikan satu perintang doa yang harus dirubuhkan sebelum kita bisa menikmati lagi hubungan kasih sayang dengan Dia. Kita tidak mempunyai persekutuan yang erat dan langgeng dengan Allah, kecuali kalau kita mematuhi-Nya - mutlak.

Merubuhkan Perintang

Hal yang mengherankan ialah bahwa Allah sendiri mau merubuhkan perintang yang memisahkan kita.

Alkitab menceritakan kepada kita bahwa Allah terhadap Siapa kita berdosa, Allah yang kita acungi tinju kita, merentangkan tangan-Nya kepada kita dan berkata, "Pulanglah. Kau tidak ingin hidup dengan cara demikian, bukan? Kau tidak mau menempuh jalan itu. Akuilah dosamu Anda. Katakanlah kepada-Ku bahwa hidupmu kacau-balau. Bersepakatlah dengan Aku bahwa engkau berada di jalan yang salah. Berbaliklah, dan kita akan berhubungan akrab kembali. Maka doamu akan kaya dan berarti lagi. Kita akan berjalan bersama-sama kembali."

Marilah, baiklah kita berperkara! - firman TUHAN - Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba (Yes 1:18).
Kabar baik ialah bahwa Anda bisa kembali ke dalam persekutuan dengan Bapa sekarang juga. Anda boleh mengucapkan doa pertobatan: "Ya Allah, saya minta ampun atas --. Ampunilah saya. Saya mau berbalik dari cara hidup ini, dan saya mau kembali ke dalam hubungan yang akrab dengan Engkau."

Bila Anda mengucapkan doa itu, Allah akan memulihkan Anda. Anda akan berdoa dengan cara lain sesudah pemulihan itu. Anda kembali ke jalan yang benar.

Apakah Allah Tuli?

Barangkali Anda menyisipkan ke dalam jadwal harian Anda acara untuk berdoa, dan Anda tidak sadar bahwa ada dosa yang memisahkan Anda dari Allah. Namun Anda tahu bahwa Anda sudah mulai menjauhi Dia. Anda hampir menghentikan doa Anda, karena merasa kecil hati. Kecewa. Atau bahkan putus asa.

Anda berdoa sungguh-sungguh agar ayah Anda selamat dalam pembedahan, tapi ternyata ia meninggal.

Anda berdoa agar putra Anda dan anak mantu akan rujuk dan tetap utuh, tapi mereka bercerai.

Anda berdoa agar bisnis Anda dapat bertahan terhadap satu pesaing baru - tapi tidak berhasil.

Anda tahu bahwa dosa Anda sudah Anda akui, dan Anda mencoba menempuh hidup etis. Permintaan Anda tidak egois. Dan sekarang karena ayah Anda sudah meninggal, anak bercerai dan bisnis Anda ditutup, Allah tidak mungkin menyuruh Anda menunggu. Sudah terlambat.

Berdoa

Agaknya doa tidak berhasil. Mengapa membuang-buang napas Anda? Kalau surga tidak mendengar, kalau Allah tidak peduli, atau kalau Allah tidak berkuasa untuk mengubah keadaan, mengapa harus berdoa? Lebih baik menghadapi kenyataan dan berhenti membohongi diri sendiri.

Kalau Anda pernah mengalami kekecewaan yang menghancurkan yang tidak diatasi oleh doa, dan kalau Anda adalah pengikut Kristus yang jujur, Anda tentu pernah bergumul dengan pertanyaan seperti ini. Saya tidak mempunyai jawaban yang pasti bagi Anda. Ada hal-hal yang tidak akan pernah jelas selama kita hidup di dunia ini. "Hidup kami ini adalah hidup berdasarkan iman", kata Rasul Paulus, "bukan berdasarkan apa yang kelihatan" (2 Kor 5:7).

Tapi saya dapat menceritakan kepada Anda perkataan Yesus kepada para rasul ketika mereka kecil hati: "Yesus menyampaikan... kepada mereka untuk menegaskan bahwa mereka harus selalu berdoa tanpa jemu-jemu," tulis Lukas. Setelah memberikan perumpamaan untuk menggambarkan maksud- Nya, Yesus bertanya, "Tidakkah Allah akan membenarkan orang-orang pilihan-Nya yang siang-malam berseru kepada-Nya? Apakah Ia mengulur- ulur waktu sebelum menolong mereka? Aku berkata kepadamu: Ia akan segera membenarkan mereka..." (Luk 18:1, 7-8).

Saya meminta dengan sangat kepada kamu, kata Yesus, jangan kehilangan nyali. Berdoa terus. Bapa mendengarkan. Ia mendengarkan setiap doa yang kita panjatkan. Ia sungguh mempedulikan segala sesuatu yang mempengaruhi kita. Ia memiliki kuat kuasa yang tidak terbatas untuk menanggulangi apa saja yang mengganggu kita. Memang Ia tidak menjawab setiap doa kita sesuai yang manusia berdosa menghendakinya. Tapi Ia menghendaki kita bertahan. Ia suka bersekutu dengan kita. Ia mau melakukan apa saja yang terbaik untuk kita.

Saya Terus Berdoa

Beberapa tahun yang lalu kami menyelenggarakan baptisan. Banyak orang menegaskan di depan umum keputusan mereka untuk mengikuti Kristus. Rasanya hati saya akan meledak karena kegirangan. Kemudian, di tangga, saya menemukan seorang wanita sedang menangis. Saya tidak dapat mengerti mengapa ada orang yang menangis sesudah upacara yang demikian menggembirakan, jadi saya berhenti dan bertanya apa yang terjadi dengan dia.

"Tidak," katanya, "Saya sedang bergumul. Ibu saya dibaptis hari ini."

Apakah ini menjadi masalah? pikir saya.

"Saya berdoa untuk dia tiap hari selama 20 tahun," katanya, dan kemudian menangis kembali.

"Tolong saya agar mengerti soal ini," kata saya.

"Saya menangis," jawabnya, "karena saya nyaris - nyaris sekali - menyerah. Maksud saya, setelah 5 tahun terus-menerus berdoa saya berkata, 'Siapa yang memerlukan ini? Allah tidak mendengarkan.' Setelah 10 tahun terus-menerus berdoa saya berkata, 'Mengapa saya harus menghabiskan nafas? Setelah 15 tahun terus-menerus berdoa saya berkata, 'Ini tidak masuk akal.' Setelah 19 tahun saya berkata, 'Saya ini tolol.' Tapi saya masih berdoa terus, walaupun iman saya lemah. Saya berdoa terus, dan Ibu saya menyerahkan hidupnya kepada Kristus, dan dia dibaptis hari ini."

Wanita itu berhenti menangis dan menatap ke mata saya. "Saya tidak akan pernah meragukan kuat kuasa doa lagi," katanya.

Tanya-jawab untuk Renungan dan Pembahasan
  1. Sebagai apa doa itu bagi Anda waktu pertama kalinya Anda sungguh-sungguh tentang berdoa? Pernahkah Anda mengalami periode surut dalam kehidupan berdoa Anda?
  2. Bill Hybels berkata, "Satu sebab kita berhenti berdoa atau membiarkan kehidupan berdoa kita hilang, ialah bahwa kita terlalu keenakan." Anda setuju? Pernahkah Anda terlalu keenakan sampai tidak berdoa?
  3. Pernahkah Anda terdorong untuk berdoa karena masalah-masalah gawat yang Anda hadapi? Apakah Anda terus berdoa setelah masalah itu terpecahkan?
  4. Apakah Anda menentukan waktu dan tempat untuk berdoa dalam jadwal harian Anda? Bilamana dan di mana Anda berdoa?
  5. Pernahkah kesalahan mencegah Anda berdoa? Pada waktu itu, apakah Anda menyadari bagaimana dosa Anda berdampak atas waktu Anda bersama Allah?
  6. Penipuan apa yang terjadi di zaman Maleakhi? Bagaimana kita menipu dalam kategori itu di zaman sekarang?
  7. Bagaimana kita dapat meruntuhkan dosa perintang dan memulihkan hubungan kita dengan Allah?
  8. Berapa lama kita harus bertahan berdoa untuk hal-hal yang sia-sia?
Sumber: 
Bahan dikutip dari :
Judul Buku: Terlalu Sibuk? Justru Harus Berdoa
Judul Asli : Pasang Surut Hidup Berdoa
Penulis: Bill Hybels
Penerbit: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1998

Prinsip Dasar Etika Kristen tentang Perang: Sebuah Tinjauan terhadap Pacifism dan Just War Theory

Editorial: 
Penulis: 
Kalvin S. Budiman
Edisi: 
038/IV/2003
Isi: 

[Catatan : **Angka merah dalam artikel adalah Catatan Kaki yang dapat ditemukan pada akhir artikel]

Adakah perang yang dapat dibenarkan ('justified')? Pertanyaan ini bukan sedang diarahkan kepada perang tertentu, entah yang pernah atau sedang terjadi, tetapi lebih sebagai pertanyaan yang bersifat prinsip. Artinya, berdasarkan prinsip etika Kristen, adakah dasar-dasar pertimbangan untuk membenarkan perang atau penggunaan kekerasan demi mencapai suatu sasaran kemanusiaan yang lebih mulia? Sebagai orang Kristen yang lekat dengan prinsip kasih, tentu kita bukanlah orang- orang yang terpanggil untuk mengobarkan semangat perang. Namun demikian, di tengah dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa di mana kekerasan merupakan isu moral yang tidak pernah dapat dihindari, sering kali kita harus mengakui bahwa perang atau penggunaan kekerasan demi alasan kemanusiaan dengan segala etika yang terkandung di dalamnya, adalah pilihan yang harus kita pertimbangkan. Barangkali contoh sederhana adalah dari Francis Schaeffer:

I am walking down the street and I come upon a big, burly man beating a tiny tot to death-beating this little girl...I plead with him to stop. Suppose he refuses? What does love mean now? Love means that I stop him in any way I can, including hitting him.**1

Isu etika tentang perang memang tidak harus selalu berarti kekerasan. Di dalamnya terkandung pertanyaan-pertanyaan etika lainnya seperti: bagaimana jika seorang Kristen terpanggil sebagai polisi atau tentara? Apakah kita harus memandang profesi semacam itu sebagai 'anomali' bagi kekristenan? Bagaimana dengan keterlibatan orang Kristen dalam politik atau bernegara? Bagaimana pula seandainya keutuhan negara kita terancam oleh kekuatan politik atau senjata, baik dari negara lain ataupun dari dalam negeri? Serangkaian pertanyaan ini bisa terus kita kembangkan, tetapi pada intinya isu ini menuntut setiap orang Kristen untuk dengan serius mempertimbangkan tanggung jawab dan panggilannya sebagai warga negara. Atau menurut istilah Agustinus, salah seorang bapa gereja, meskipun pengharapan utama setiap orang percaya adalah digenapinya secara penuh 'City of God' di dalam langit dan bumi yang baru, tetapi selama masih tinggal di bumi ini kita tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab di dalam 'civitas terrena' (kota duniawi) yang kita tinggali.**2

Gereja memang pernah dinodai oleh deklarasi "perang suci" dari pihak kekristenan. Namun jikalau kita meneliti sejarah gereja, sebenarnya ada dua posisi lain yang kebenarannya lebih dapat dipertanggungjawabkan menurut firman Tuhan serta patut kita pertimbangkan, yaitu 'pacifism'**3 dan just war theory.**4 'Pacifism' pada hakikatnya adalah pandangan yang berpendapat bahwa berdasarkan prinsip iman Kristen, tidak ada satu pun perang atau penggunaan kekerasan yang dapat dibenarkan, sekalipun dengan alasan kemanusiaan. Setiap orang Kristen harus secara mutlak menolak isu tentang perang, bahkan sebagian pendukung kelompok ini menegaskan bahwa penolakan tersebut termasuk dalam profesi sebagai prajurit. Sebaliknya, setiap orang yang sudah ditebus oleh Kristus harus sanggup memancarkan kasih Kristus di dalam situasi dan kondisi apa pun. Sedangkan pandangan kedua, just war theory, percaya ada perang atau penggunaan kekerasan demi alasan kemanusiaan yang dapat dibenarkan. Sekalipun karakter utama setiap orang Kristen adalah kasih, namun menurut pendukung teori ini pelaksanaan kasih di dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa ini tidak dapat dilepaskan dari keadilan (justice) yang adakalanya mengandung aspek kekerasan.

Artikel ini merupakan sebuah usaha untuk memberikan landasan biblika dan teologis dalam mengambil posisi etika antara kedua paham tersebut. Untuk itu pada bagian berikut akan dibahas terlebih dahulu pandangan masing-masing posisi. Selanjutnya, dengan menggunakan pendekatan hermeneutik dan teologis, pada bagian akhir, kita akan mencoba menyimpulkan posisi etika yang kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Penulis menyadari bahwa semua kategori pembahasan dalam artikel ini adalah topik-topik diskusi yang sangat luas, karena itu melalui artikel yang tidak terlalu panjang ini, rasanya berlebihan jika seseorang mengharapkan pembahasan secara detail dan menyeluruh. Penulis hanya berharap artikel ini dapat memberikan sedikit sumbangsih bagi pergumulan etika, khususnya isu tentang perang.

PACIFISM

Posisi ini berangkat dari suatu kesadaran akan adanya pertentangan yang tajam antara penggunaan kekerasan dalam PL dan PB. Kita dapat membaca misalnya tentang "Hukum Perang" di Ulangan 20, di mana salah satu ayatnya mengatakan ketika bangsa Israel memasuki sebuah kota yang menolak tawaran perdamaian, maka Tuhan berkata, "Haruslah engkau membunuh seluruh penduduknya yang laki-laki dengan mata pedang" (ay. 13). Pada bagian selanjutnya dikatakan bahwa dari kota-kota bangsa- bangsa lain yang diberikan kepada Israel, Tuhan berkata, "janganlah kaubiarkan hidup apa pun yang bernafas, melainkan kautumpas sama sekali, yakni orang Het, orang Amori, orang Kanaan, orang Feris, orang Hewi, dan orang Yebus, seperti yang diperintahkan kepadamu oleh Tuhan, Allahmu" (ay. 16-17). Tetapi jika kita membaca PB, khususnya Khotbah di Bukit, kita akan mendapati nuansa yang sama sekali berbeda. Tuhan Yesus berkata,

Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. Dan siapa pun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil... Kamu telah mendengar fiman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu (Mat 5:38-41, 43- 44).

Berangkat dari ayat-ayat PB seperti di atas, tradisi 'pacifism' dengan tegas menyatakan bahwa hukum perang di PL sudah tidak berlaku lagi. Tanpa terjebak kepada bidat Marcion yang memisahkan dan membedakan Allah di PL dari Allah PB, Tertullian, seorang bapa gereja abad ketiga, mengatakan bahwa berita yang Kristus sampaikan melalui Khotbah di Bukit, bila dibandingkan dengan hukum di PL merupakan penyingkapan maksud Allah sebenarnya, yaitu bahwa pembalasan dan murka adalah hak Allah. Panggilan utama hidup Kristen adalah untuk setiap saat siap sedia "memberikan pipi kiri jika pipi kanan kita ditampar" atau dengan kata lain, rela menderita bagi Kristus dalam situasi apa pun.**5 Hippolytus, seorang bapa gereja yang hidup sezaman dengan Tertullian, lebih jauh berkata, "If a catechumen or a baptized Christian wishes to become a soldier, let him be cast out. For he has despised God."**6 Dalam tulisannya yang lain, "The Soldier's Chaplet", Tertullian juga menegaskan bahwa berdasarkan prinsip kasih yang Kristus telah ajarkan, maka profesi militer adalah sebuah jabatan yang sifatnya "offending God." Baginya, kisah seperti prajurit-prajurit yang datang kepada Yohanes Pembaptis untuk dibaptiskan ataupun perwira pasukan yang mengundang Petrus ke rumahnya adalah "sebelum" iman Kristen sungguh- sungguh berakar dalam diri mereka. Tetapi begitu iman yang sejati telah tumbuh maka profesi semacam itu harus ditinggalkan.**7

Pada abad ke-16, tradisi Tertullian tersebut diteruskan oleh kelompok Anabaptist yang dengan tegas menyatakan: "Christ is now our Lord, not the Old Testament."**8 Akibatnya, mereka percaya bahwa setiap murid Kristus terpanggil untuk hidup dalam kasih, ketaatan dan kesetiaan yang radikal terhadap segala perkataan Kristus. Salah satu contoh ekstrem dari Anabaptist adalah kasus Michael Sattler. Pada abad ke-16 ketika Eropa Barat diserang oleh orang-orang Turks, di hadapan publik Sattler berseru, "We should not resist any of our persecutors with the sword, but with prayer cling to God that He might resist and defend."**9 Lebih jauh ia menegur orang-orang Kristen yang turut berperang, "The Turks knows nothing about the Christian faith, he is a 'Turk according to the flesh.' But you want to be considered Christians, boast of being Christ's and still persecute His pious witnesses, you are Turks according to the spirit."**10

Dengan kata lain, mereka percaya bahwa dalam prinsip pewahyuan secara progresif, PB telah menggantikan PL. Ajaran Yesus dan para rasul harus dilihat lebih superior daripada tulisan Musa, Yosua dan para nabi lain. Bagi kelompok ini, etika PB jelas mengajarkan prinsip pacifism. Panggilan perang dan penggunaan kekerasan apa pun alasannya adalah hal yang sepenuhnya bertentangan dengan panggilan sebagai murid Kristus. Setiap orang yang telah ditebus harus mengenakan senjata rohani dan hidup di dalam kasih yang sifatnya 'defenseless' (tanpa pembelaan). Etika PL yang menekankan perang, penggunaan kekerasan dan pembalasan sekarang telah digantikan oleh model hamba yang menderita yang telah dicontohkan oleh Kristus sendiri.**11

Pada masa sekarang tradisi pacifism terus dikumandangkan oleh kelompok Neo-Augustinian.**12 Salah seorang di antaranya yang sangat menonjol ialah Richard B. Hays, seorang pengajar PB di Duke University. Ia menegaskan tradisi Tertullian maupun Anabaptist tentang 'pacifism' dengan berkata bahwa salib dan kebangkitan telah merumuskan prinsip dasar hidup Kristiani yang semestinya, yaitu kasih dan damai.

...the New Testament's witness is finally normative. If irreconcilable tensions exist between the moral vision of the New Testament and that of particular Old Testament texts, the New Testament vision trumps the Old Testament... So also Jesus' explicit teaching and example of nonviolence reshapes our understanding of God and of the covenant community in such a way that killing enemies is no longer a justifiable option... Once that word has been spoken to us and perfectly embodied in the story of Jesus' life and death, we cannot appeal back to Samuel as a counterexample to Jesus. Everything is changed by the cross and resurrection.**13

Sedikit berbeda dengan Anabaptist, Hays tidak menegaskan bahwa PB telah menggantikan PL. Yang hendak ia ajarkan adalah, jika ada prinsip moral PL yang bertentangan dengan PB, maka prinsip moral di PB sifatnya 'normatif' sehingga harus dipandang lebih superior ketimbang PL. Isu tentang perang adalah salah satu contoh di mana kita harus melihat prinsip kasih di PB sebagai yang lebih normatif daripada hukum perang di PL.

Di dalam konteks tentang perang, bagi Hays, setiap orang Kristen terpanggil untuk hidup di dalam prinsip moral yang sama sekali berbeda dengan dunia. Ia melihat, misalnya, ketika Tuhan Yesus menyampaikan Khotbah di Bukit, khotbah ini diberikan dalam sebuah situasi di mana kekristenan bukan sebagai penguasa politik pada masa tersebut, tetapi sebagai kelompok marginal yang berada di luar lingkaran politik. Hal ini mengandung pengertian bahwa jika orang Kristen ingin sungguh- sungguh hidup menurut ajaran dan teladan Tuhan Yesus, maka ia harus memiliki standar moral yang berbeda secara radikal dari komunitas duniawi. Dengan demikian, tugas dan panggilan gereja adalah "to tell an alternative story" dan "to resist the seductions of violence" di tengah-tengah mayoritas komunitas dunia yang sejak Adam jatuh dalam dosa terus terikat oleh kekerasan dan peperangan.**14 Ia menegaskan jika gereja ingin sungguh-sungguh menjadi komunitas yang dibangun atas dasar Alkitab maka gereja harus mau terus-menerus meneladani "nonviolent countercultural community" sebagaimana telah dicontohkan melalui Khotbah di Bukit.**15 Ia merasa heran sekarang ini gereja ingin memberi pengaruh kepada dunia dengan cara menjadi serupa dengan dunia (appearing reasonable in the eyes of the world), dengan cara mereduksi sedapat mungkin prinsip-prinsip inti iman Kristen. Ini bukanlah panggilan murid Kristus; baginya, justru komunitas Kristen akan memberikan dampak yang besar seandainya orang-orang percaya "less concerned about appearing reasonable in the eyes of the world and more concerned about faithfully embodying the New Testament's teaching against violence."**16 Dengan kata lain, kasih Kristus baru dapat terpancar dengan terang ketika kita tidak mengikuti pola hidup dunia yang sudah terjebak oleh kekerasan. Hal ini tidak perlu diartikan bahwa orang-orang pacifist bukanlah warga negara yang baik. Yang hendak mereka tekankan adalah, sebagai orang Kristen mereka harus hidup sebagai warga negara yang baik dengan cara menyaksikan prinsip- prinsip moral yang secara eksklusif dibangun atas dasar Alkitab, yang sama sekali tidak dikompromikan dengan prinsip moral apa pun yang ada di dunia ini.

Strategi pacifism Hays jelas mengandung risiko dan bahaya. Di satu pihak, dengan hidup berbeda secara radikal dari dunia umat Kristen harus selalu siap untuk terus menjadi kelompok marginal. Di lain pihak, prinsip semacam ini barangkali hanya berbeda selangkah dari bunuh diri, sebab apa pun yang terjadi orang Kristen tidak boleh memilih jalur politik atau penggunaan kekerasan demi membela diri ataupun orang lain. Hays bukan tidak menyadari hal ini. Menurutnya, prinsip hidup yang meneladani kasih Kristus, "in calculable terms, this way is sheer folly. Why do we choose the way of nonviolent love of enemies?"**17 Namun dengan indah ia mengkalimatkan jawaban untuk pertanyaan retorik ini sebagai berikut.

If our reasons for that choice are shaped by the New Testament, we are motivated not by the sheer horror of war, not by the desire for saving our own skins and the skins of our children (if we are trying to save our skins, pacifism is a very poor strategy), not by some general feeling of reverence for human life, not by the naive hope that all people are really nice and will be friendly if we are friendly first. No, if our reasons for choosing nonviolence are shaped by the New Testament witness, we act in simple obedience to the God who willed that his own Son should give himself up to death on a cross. We make this choice in the hope and anticipation that God's love will finally prevail through the way of the cross, despite our inability to see how this is posibble.... When the church as a community is faithful to that calling, it prefigures the peaceable kingdom of God in a world wracked by violence.

**18

Dengan demikian, bukan kekuatan manusia yang diandalkan dalam prinsip pacifism, tetapi kekuatan Allah sendiri untuk bekerja di dalam dunia yang sudah terjebak oleh peperangan dan kekerasan. Kita hanyalah lilin-lilin kecil yang tak berdaya yang dipakai untuk memancarkan terang kasih Kristus yang penuh kuasa.

JUST WAR THEORY

Agustinus umumnya dipandang sebagai pemikir Kristen pertama yang mencetuskan ide just war theory (teori tentang adanya perang yang dapat dibenarkan). Meskipun ia sendiri tidak pernah merumuskan secara sistematis - pembahasannya tentang perang bersifat menyebar dalam berbagai tulisannya dan dalam konteks pembelaan iman Kristen - banyak ahli telah mencoba memformulasikan secara sistematis konsep politik dan perang melalui tulisannya. Tidak heran bila di kemudian hari banyak perbedaan di antara penganut just war theory, sekalipun mereka sama-sama mengklaim berdiri di dalam tradisi Agustinus.**19

Dalam salah satu bukunya yang sangat terkenal, The City of God, yang ditulis antara 413 dan 427, Agustinus memberikan pembelaan terhadap umat Kristen yang saat itu oleh kekaisaran Romawi dituduh sebagai penyebab melemahnya kekuatan kerajaan sehingga membuka peluang bagi serangan dari suku barbar (Alaric dan Goths). Hal ini dapat terjadi sebab, di mata orang-orang Romawi, doktrin Kristen tentang kasih persaudaraan, kasih terhadap orang yang memusuhi, kerendahan hati, kesabaran dan yang sejenisnya, telah melemahkan semangat untuk berjuang bagi negara.**20

Menghadapi tuduhan itu, Agustinus menulis bahwa kekristenan sama sekali tidak meniadakan patriotisme, melainkan justru mengangkat semangat itu hingga kepada level sebagai ketaatan iman (religious obligation).**21 Berbeda dengan Tertullian, Agustinus yang hidup kurang lebih satu abad sesudahnya (354-430), dapat melihat patriotisme dalam bernegara sebagai bentuk ketaatan rohani adalah karena ia tidak mempertentangkan PL dan PB secara tajam. Ia melihat bahwa perang yang dilaksanakan oleh perintah Allah di PL harus dipandang di dalam konteks sebagai "just and righteous retribution" terhadap dosa bangsa tertentu, termasuk Israel. Baginya, perang yang didasarkan bukan pada motivasi kenikmatan terhadap kekerasan itu sendiri, tetapi karena ketaatan kepada Allah dan penghukuman terhadap pelaku kejahatan demi mencegah dosa yang lebih besar, merupakan "an act of love."**22 Perintah agar kita "tidak membalas kejahatan dengan kejahatan" (Mat 5:39), menurutnya bukanlah larangan secara mutlak bagi perang itu sendiri, tetapi bagi kebencian (malice) yang merupakan bahaya sebenarnya di dalam hubungan antara sesama. Demikian pula perintah agar kita "memberikan pipi kiri jika pipi kanan ditampar" lebih ditujukan kepada motivasi kasih dan kesabaran, ketimbang perilaku secara harafiah. Dengan membedakan antara motivasi dan perbuatan, Agustinus sanggup mengatakan bahwa kasih tidak selalu bertentangan dengan penggunaan kekerasan, sebab, misalnya "when Moses killed sinners [di dalam perangnya dengan bangsa-bangsa lain] he was motivated by charity, not cruelty. Love for one's enemies did not prevent a 'benevolent severity' toward them."**23

Pandangan Agustinus juga berbeda dengan tradisi Tertullian mengenai profesi sebagai prajurit. Baginya, PB tidak pernah memerintahkan prajurit-prajurit yang disebutkan dalam Alkitab untuk meninggalkan jabatan mereka. Hal ini diakui oleh Hays, seorang pacifist, bahwa beberapa perikop yang menyinggung profesi prajurit, seperti Lukas 3:14- 15; Matius 8:5-13; Kisah Para Rasul 10:1-11:18, dapat menjadi dasar yang sah bahwa menjadi murid Kristus sama sekali tidak berarti menjauhkan diri dari penggunaan kekerasan demi mempertahankan kesejahteraan sosial atau keadilan.**24 Tetapi yang lebih menjadi fokus dan perhatian Agustinus adalah hati yang sudah diperbaharui, bukan profesi atau tindakan perang itu sendiri. Artinya, kalaupun seseorang memutuskan untuk pergi berperang, hal itu harus dilaksanakan di dalam "benevolent design and without undue harshness."**25 Ia mengakui bahwa dalam situasi tertentu kondisi damai dapat dicapai melalui pengampunan tanpa harus menggunakan kekerasan. Tetapi dalam situasi-situasi lain, membiarkan kejahatan tanpa adanya usaha untuk mencegahnya dengan segala daya upaya, termasuk menggunakan kekerasan, sama saja dengan membiarkan kejahatan menindas keadilan. Dengan demikian, perang adalah suatu tindakan yang sifatnya "permissible", tetapi hanya dan jika hanya "undertaken out of necessity and for the sake of peace."**26 Namun demikian, di bagian lain, ia menyangkal adanya perang yang dibenarkan jika alasannya adalah untuk kepentingan pribadi. Ia menegaskan bahwa penggunaan kekerasan untuk kepentingan pribadi akan selalu merupakan ekspresi kebencian. Apa yang hendak ia katakan adalah perang atau penggunaan kekerasan hanya mungkin dibenarkan jika yang mengambil keputusan adalah pemerintah yang sah atau public officials. Ringkasnya, mereka yang berada dalam tradisi Agustinus umumnya sepakat bahwa bagi Agustinus sebuah perang dapat dibenarkan jikalau memenuhi tiga kriteria berikut: dilaksanakan oleh legitimate authority (penguasa yang sah), just cause of avenging injuries (alasan yang dapat dibenarkan dalam melaksanakan hukuman) dan righteous intention (motivasi yang benar).**27

Sekalipun pada hakikatnya bagi Agustinus perang adalah sesuatu yang sifatnya permissible atau occasionally necessary, ia tidak pernah mengatakan bahwa perang adalah sesuatu yang baik. Kalaupun sebuah perang dapat dibenarkan ia tetap melihat hal itu cenderung akan memberi peluang bagi kejahatan dan penderitaan umat manusia.**28 Karena itu dalam memahami konsepnya tentang just war theory, lebih tepat bila kita menyimpulkan bahwa baginya perang bukanlah cara positif untuk meraih keadilan dan kedamaian, melainkan sebuah "cara negatif untuk mencegah ketidakadilan" sehingga sifatnya "always to be regretted."**29 Itu sebabnya, ada kesengajaan dari pihak Agustinus sendiri untuk tidak membahas secara detail ketiga kriteria perang - kalaupun ia memang memberikan ketiga hal tersebut. Ia memang jelas berpendapat bahwa berdasarkan PL, otoritas yang paling sah dalam memutuskan sebuah perang adalah Allah sendiri. Jika demikian pertanyaannya adalah: pada masa kini siapa yang dapat berkata, sekalipun ia adalah pemerintah yang resmi, bahwa ketika ia memutuskan untuk berperang, ia sedang mewakili kehendak Allah? Ia juga mengatakan satu-satunya alasan yang dapat dibenarkan untuk penggunaan kekerasan adalah untuk memelihara kedamaian sosial yang terancam. Kendati demikian hal ini pun masih dapat dipertanyakan, yaitu bagaimana kita dapat yakin bahwa perang tersebut akan menimbulkan kedamaian, bukan kebencian lainnya, mengingat hakikat manusia yang berdosa? Ia jelas pula berkata bahwa motivasi yang benar dalam sebuah peperangan adalah demi kepentingan mempertahankan negara sehingga perang adalah pilihan terakhir dalam penyelesaian sebuah konflik, bukan sesuatu yang secara aktif kita adakan. Tetapi bagaimana kita tahu bahwa kita sudah cukup bertahan sehingga perang boleh menjadi pilihan kita? Apa batasan untuk "bertahan" sehingga itu tidak merupakan "serangan" bagi pihak lain? Dengan kata lain, pada hakikatnya just war theory adalah sebuah teori yang menegaskan perlunya kesadaran untuk secara terus-menerus dan serius mengevaluasi berbagai aspek yang terkandung dalam masing- masing kriteria.

TINJAUAN SECARA HERMENEUTIK DAN TEOLOGIS

Jika kita perhatikan masing-masing pandangan di atas, maka tanpa bermaksud mengabaikan aspek-aspek pertimbangan lainnya, tinjauan teologis ini dapat kita fokuskan ke dalam dua kategori permasalahan, yaitu permasalahan hermeneutik hubungan antara PL dan PB, serta permasalahan teologis antara kasih dan keadilan. Permasalahan pertama ditujukan untuk menjawab pertanyaan seperti: bagaimana seharusnya kita memandang adanya pernyataan-pernyataan tentang perang yang secara harafiah bertentangan antara PL dan PB? Sedangkan kategori kedua ditujukan untuk menjawab pertanyaan seperti: apakah kasih yang sifatnya nonkekerasan dalam pelaksanaannya dapat dipisahkan dari keadilan yang sering kali mengandung unsur penggunaan kekerasan?

Pendekatan Hermeneutik: Problema Relasi PL dan PB

Hays benar ketika ia menyatakan bahwa salib dan kebangkitan Kristus adalah kunci untuk memahami PL. Sejak Kristus menggenapi nubuat- nubuat di PL ada suatu perubahan prinsip moral yang radikal yang harus disadari oleh setiap murid-Nya. Namun demikian, dalam prinsip hermeneutiknya ada aspek lain yang dilupakan atau kurang diberi tekanan oleh Hays dan juga tradisi Tertullian atau Anabaptist, yaitu kontinuitas atau kesinambungan antara kedua perjanjian.**30 Yang dimaksud kontinuitas bukan dalam arti "menggantikan" atau "memperbaharui untuk meniadakan yang lama," tetapi kontinuitas dalam pengertian melihat PL dan PB sebagai satu kesatuan pewahyuan Allah yang sifatnya progresif. Namun bukan pula progresivitas pewahyuan seperti yang dimengerti oleh Anabaptist yang percaya bahwa wahyu di PB telah menggantikan PL, melainkan progresivitas dalam pengertian bahwa baik PL maupun PB, keduanya sama-sama berbicara tentang Kristus, tetapi di dalam bentuk, wujud atau cara yang berbeda. Jika PL berbicara secara simbolik dan samar-samar tentang Kristus, maka di PB Kristus hadir dalam wujud yang tampak oleh mata jasmani. Sebaliknya, ada hukum-hukum di PL yang sifatnya lahiriah tetapi berita sebenarnya adalah prinsip rohani atau moral yang terkandung di dalamnya, seperti yang banyak ditekankan di PB melalui kehadiran Kristus. Artinya, baik PL maupun PB sama-sama berbicara tentang rencana penebusan Allah melalui kedatangan sang Mesias, yaitu Yesus Kristus, tetapi dalam cara yang berbeda.

Kebenaran prinsip hermeneutik di atas dapat kita lihat melalui kata- kata Tuhan Yesus sendiri. Dalam Matius 5:17-20 Ia menyatakan tiga macam sikap terhadap hukum Taurat sebagai akibat dari kedatangan-Nya. Pertama, di ayat 17 Ia menyatakan bahwa kedatangan-Nya bukan untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi, melainkan untuk menggenapinya. Kalimat ini mengandung pengertian bahwa di satu pihak, berkaitan dengan nubuat para nabi, realita yang mereka nubuatkan telah terwujud melalui kedatangan Tuhan Yesus. Di lain pihak, berkaitan dengan hukum Taurat, kedatangan Kristus merupakan "a realization in history of the righteousness articulated in the law."**31 Artinya, kehadiran Kristus menyingkapkan maksud asali (original intention) dari kehendak Allah, yang di PL diwakili oleh hukum-hukum yang tertulis dalam Taurat maupun tulisan para nabi. Sehingga dengan kata lain, kebenaran yang Kristus ajarkan pada hakikatnya merupakan kontinuitas dari kebenaran yang dituntut melalui hukum Taurat dalam PL.**32 Dengan demikian, sebagai contoh, ketika di bagian selanjutnya Kristus mengkontraskan apa yang orang-orang pernah dengar tentang "mengasihi sesama dan membenci musuh" dengan "kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu" (Mat 5:43), di sini Ia sedang mengungkapkan kehendak Allah yang sebenarnya, yang sudah dinyatakan dari sejak PL namun baru tersingkap dengan jelas ketika Ia sudah datang dengan membawa prinsip hidup kerajaan Allah di dalam dunia ini.

Kedua, dalam Matius 5:18 Tuhan Yesus mengatakan, "selama belum lenyap langit dan bumi ini" dan "sebelum semuanya terjadi atau tergenapi (genetai)," satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat. Kalimat ini lebih jauh lagi menegaskan bahwa hukum di PL tetap berlaku bagi orang-orang percaya, bahkan bagian yang tampaknya tidak terlalu berarti (satu iota atau satu titik), sehingga kita tidak dapat berkata tentang hukum-hukum tertentu di PL, "This is rescinded, this is cancelled."**33 Namun demikian, untuk memahami kalimat ini dengan benar kita tidak boleh melepaskannya dari pengertian pertama di atas. Sudah tentu maksud Tuhan Yesus bukan tulisan secara harafiah yang lebih dipentingkan, tetapi agar kita dapat memahami maksud Allah melalui PL maka seluruh hukum yang sudah dinyatakan harus kita terima secara utuh. Di pihak lain, kita harus mencermati dua kategori penggenapan yang Kristus sebutkan di ayat ini, yaitu "selama belum lenyap langit dan bumi ini" serta "sebelum semuanya tergenapi." Kategori pertama menyatakan bahwa sampai pada kesudahan dunia, hukum Taurat harus tetap kita terima secara utuh. Kategori kedua bersangkut-paut dengan kedatangan Kristus; kedatangan- Nya yang menggenapi hukum Taurat telah menyebabkan kita "mengalami" hukum Taurat secara berbeda. Maksudnya,

...even though Jesus affirms the ongoing validity of the law until the close of the age, the Christian has no direct access to that validity apart from the fulfillment in Christ. The fact that something is required by a specific Old Testament commandment does not directly dictate the shape of Christian obedience. The shape of that obedience is understood only by following the teachings and actions of Jesus Christ... Only as fulfilled and radicalized in the teaching and life of Jesus does the Old Testament law retain its validity until the close of the age.**34

Sikap ketiga terhadap hukum Taurat sebagai akibat kedatangan Kristus adalah hidup keagamaan yang lebih tinggi daripada ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi (Mat 5:20). D.A. Carson percaya bahwa dengan kalimat ini Kristus sedang memperkenalkan pembenaran melalui iman dan kelahiran baru melalui karya Roh Kudus,**35 suatu hal yang tidak mungkin diraih sekalipun kita menaati seluruh hukum Taurat. Sedikit berbeda, J.M. Boice menegaskan bahwa apa yang Kristus tuntut di sini adalah ketaatan melalui perubahan hati, bukan secara lahiriah.**36 Sudah tentu sikap semacam ini Allah telah kehendaki bahkan sejak PL. Dengan kata lain, jika kita kembali kepada perkataan Tuhan Yesus yang pertama (Mat 5:17), maka sikap ketiga terhadap hukum Taurat ini menyingkapkan kehendak Allah sejak semula.

Ketiga sikap terhadap hukum Taurat yang Kristus ajarkan menyatakan bahwa "Jesus does not conceive of his life and ministry in terms of opposition to the Old Testament, but in terms of bringing to fruition that toward which it points."**37 Bagaimanakah kita memakai prinsip kontinuitas ini untuk memahami hukum perang di PL? Apakah original intention dari kehendak Allah dalam pernyataan-Nya tentang perang yang sangat eksplisit di PL, namun sama sekali tidak dinyatakan dalam PB?

Jika kita berdiri pada posisi pacifist, kita dapat mengabaikan hukum perang di PL begitu saja dan menganggapnya sebagai prinsip moral yang sudah tidak berlaku lagi. Kesulitan dari keyakinan semacam ini adalah kita harus membuang sebagian besar isi PL, yang harus diakui sangat penuh dengan pernyataan tentang perang, apa pun pengertiannya (simbolik, rohani, maupun harafiah). Namun tidak berarti bahwa jika kita menerima prinsip just war theory maka kita tidak akan mengalami kesulitan. Seperti yang dikatakan John H. Yoder, secara struktural perang yang Allah canangkan di PL sifatnya sangat berbeda dengan perang-perang yang manusia jalani di sepanjang zaman.**38 Akibatnya, penganut just war theory tidak dapat dengan serta-merta menarik garis paralel antara perang di PL dengan perang-perang yang dilaksanakan dengan prinsip just war theory pada masa kini. Ada prinsip teologis tentang maksud dan rencana Allah yang harus kita mengerti terlebih dahulu sebelum kita memutuskan untuk menolak atau memasukkannya ke dalam prinsip moral tentang perang untuk masa sekarang ini. Paul Hanson berkata bahwa perang di PL adalah sebuah isu yang sangat kompleks. Seseorang harus memahami adanya struktur rohani, nilai dan tujuan di dalam setiap perang yang dikehendaki oleh Allah.**39

John Wood memberikan lima perspektif tentang hubungan antara Allah dengan perang di dalam PL:**40 pertama, tradisi perang di PL bersifat "revelatory," artinya bukan perang itu sendiri yang menjadi berita utama para penulis PL, melainkan kebesaran dan kemuliaan Allah dibandingkan kuasa-kuasa lainnya atau kesombongan manusia. Kedua, Allah adalah Allah yang memelihara keteraturan alam semesta (universal order), sehingga sekalipun kuasa dosa dan kejahatan ada di bawah kontrol Allah, namun kuasa-kuasa itu harus diperangi. Kehidupan umat manusia, dengan demikian, adalah sebuah "medan peperangan" di mana Allah akan tampil sebagai pemenangnya.

Ketiga, perang di PL senantiasa berkaitan dengan konsep kosmologi dunia kuno di mana orang-orang pada zaman itu selalu kuatir terhadap timbulnya 'chaos' yaitu suatu kekacauan atau ketidakharmonisan di dalam tatanan dunia ciptaan. Hanya Allah yang sanggup memerangi dan mengalahkan kuasa-kuasa penyebab chaos yang patut disembah. Relasi perjanjian Allah dengan umat-Nya adalah bentuk keharmonisan yang harus dijaga bahkan dengan jalan perang. Keempat, perang dalam PL bersangkut- paut dengan pembuktian iman bangsa Israel bahwa Allah yang mereka sembah adalah Allah yang bertindak di dalam sejarah, yang membedakan Israel dari agama-agama lain pada masa itu. Umat Allah saat itu percaya bahwa Allah adalah Allah yang hadir di dalam setiap aspek sejarah, termasuk dalam perang. Kelima, sekalipun Allah adalah Allah yang mengizinkan perang sebagai salah satu sarana untuk menyatakan kebesaran-Nya, namun ini bukan sebuah legitimasi bagi Israel untuk memutuskan perang. Ada tujuan lain yang Allah hendak capai yaitu ditegakkannya keadilan dan kebenaran di tengah-tengah umat-Nya - sehingga adakalanya Allah bahkan mendisiplin umat-Nya sendiri dengan jalan perang - serta terwujudnya rencana penebusan-Nya di bumi (Yes 2:2-4; Mi 4:1-4).

Dari penjelasan Wood dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya hubungan antara Allah dan perang di PL berada di dalam kompleksitas konteks: dosa, keadilan ('justice') dan keteraturan ('order'). Allah memakai perang untuk mencegah atau menghukum dosa, menegakkan keadilan-Nya dan mencegah 'chaos', atau untuk mencapai damai dan keteraturan bagi umat- Nya maupun bumi ciptaan-Nya (lih. a.l. Kej 6:7; 15:13-16; Kel 12:12; 15:3-4; Bil 33:50-56; Yos 1:1-9; 1Sam 17:1- 54; Mzm 9:9; Yes 13:11; Am 1, 2). Perlu diingat bahwa apa yang ditekankan di sini bukanlah "perang" itu sendiri, tetapi sikap hati Allah terhadap dosa, ketidakadilan dan chaos. Hanya dengan memahami konteks ini baru kita dapat melihat kontinuitas kehadiran Kristus dengan hukum perang di PL. Secara rohani kita dapat berkata bahwa kedatangan Kristus adalah untuk "berperang" dengan dosa, ketidakadilan dan chaos. Secara sosial, apakah perang masih merupakan sarana yang dapat dibenarkan? Ada indikasi yang kuat di PB bahwa perang tetap merupakan sarana sosial yang dapat dipakai untuk berurusan dengan dosa, ketidakadilan dan kekacauan. Pertama, melalui wewenang yang Allah "titipkan" kepada pemerintah (Rm 13:1-7 bdk. Ams 8:15-16; Yer 27:6-12); kedua, melalui penerimaan jabatan prajurit di dalam komunitas orang-orang percaya (Mat 8:5-13; Luk 3:12-14; Kis 10:22).

Pendekatan Teologis: Hubungan antara Kasih dan Keadilan

Perdebatan antara 'pacifism' dan just war theory juga berkisar di sekitar kategori hubungan antara kasih dan keadilan. Kelompok pertama percaya bahwa panggilan utama murid Kristus adalah untuk menyatakan kasih Kristus secara radikal dengan menolak segala bentuk kekerasan apa pun alasannya, bahkan termasuk konsistensi jabatan prajurit dengan iman Kristen. Kelompok kedua, walaupun tidak menyangkali proklamasi kasih Kristus sebagai panggilan utama, namun di dalam dunia yang sudah jatuh di dalam dosa, perwujudan kasih tidak dapat dilepaskan dari keadilan yang sering kali mengandung unsur penghukuman atau penggunaan kekerasan. Pemahaman secara teologis terhadap hubungan antara kasih dan keadilan akan memberikan kita satu lagi prinsip dasar etika Kristen dalam mengevaluasi paham 'pacifism' dan just war theory.

Henry Stob dalam salah satu tulisannya mencoba memetakan hubungan antara kasih dan keadilan ke dalam tiga kategori: (1) dalam karya penebusan Allah; (2) aktivitas manusia dalam arena sosial; (3) aktivitas manusia dalam relasi pribadi dengan sesama.**41 Dalam ketiga kategori ini Stob mendapati adanya hubungan dialektik antara kasih dan keadilan yang tidak mungkin dapat dipisahkan. Dalam karya penebusan Allah misalnya, kita melihat bahwa ketika Allah menyatakan kasih-Nya, Ia bukan meniadakan keadilan tetapi justru menanggungnya. Demikian pula dalam relasi pribadi dengan sesama (kategori ketiga), salah satu pengertian "mengasihi" ialah "never acts unjustly."**42 Karena isu yang sedang kita bicarakan adalah isu sosial, maka kita akan memfokuskan pembahasan hanya pada kategori kedua.

Di dalam kategori hubungan yang kedua, Stob memaparkan adanya lima macam hubungan antara kasih dan keadilan yang bisa diringkas sebagai berikut:**43 pertama, kasih di dalam konteks sosial menuntut agar masyarakat ('society') menjalankan keadilan kepada setiap anggotanya. Kesadaran akan kasih mengharuskan kita untuk menegakkan keadilan sosial di masyarakat, sehingga setiap anggota di dalamnya dapat memperoleh kebebasan dan kebutuhan sesuai dengan hak-haknya. Memberitakan Injil memang adalah bentuk pernyataan kasih, tetapi jika kita berhenti sampai di sana maka kita belum cukup mengasihi. Ia berkata, "One does not love the neighbor enough if one does not also sponsor and defend his earthly right to be treated in the public arena as an image bearer of God with his own vocation."**44 Artinya, kasih baru benar-benar terwujud di dalam masyarakat jika dalam pelaksanaannya ia memberi ruang bagi terwujudnya keadilan. Lebih jauh, supaya keadilan dapat langgeng selama kurun waktu yang cukup lama maka ia harus distrukturkan di dalam lembaga atau hukum-hukum yang dampak baliknya ialah memberikan kesempatan lebih luas bagi pelaksanaan kasih di dalam masyarakat. Jadi ada hubungan timbal balik antara kasih dan keadilan. Di satu pihak, masyarakat yang mengasihi adalah masyarakat yang mewujudkan keadilan sosial, dan di lain pihak, keadilan sosial yang terstruktur dengan baik ialah sarana yang kondusif bagi pelaksanaan kasih.

Kedua, berangkat dari prinsip kerajaan Allah yang sifatnya telah digenapi meskipun masih belum sepenuhnya, menurut Stob kita harus dapat membedakan antara berita kasih dalam PB yang sifatnya 'justitia evangelica' dengan kasih di dalam dunia yang sifatnya 'justicia civilis' (mewujudkan keadilan sosial berdasarkan prinsip-prinsip kemanusiaan).**45 Baginya, kasih seperti yang diajarkan dalam Khotbah di Bukit adalah kasih yang sifatnya sempurna dan yang baru dapat diwujudkan secara penuh pada waktu kedatangan Kristus yang kedua kali, yaitu ketika janji langit dan bumi yang baru digenapi. Dengan kata lain, kasih yang Kristus wartakan sekalipun di dalamnya mengandung aspek keadilan yang dibutuhkan masyarakat, sifat utamanya adalah sebagai "kabar baik" ('evangelica'), sehingga kita tidak perlu frustasi ketika prinsip yang ideal itu tidak tercapai di dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa ini. Selama kita masih menantikan tergenapinya langit dan bumi yang baru kita harus waspada agar tidak jatuh ke dalam prinsip hidup di dalam kasih yang ideal yang mengabaikan sama sekali 'justicia civil', atau sebaliknya, kita hidup semata-mata dalam 'justicia civil' dengan mengabaikan kasih yang Kristus sudah wartakan. Ketegangan ini akan terus mewarnai perwujudan etika Kristen di dalam dunia ini.

Jika kita menarik prinsip ini ke dalam lingkup yang lebih luas, yaitu seluruh dunia, jelas bahwa panggilan setiap umat manusia, khususnya orang-orang percaya, adalah menegakkan kasih dan keadilan di dalam proporsi yang semestinya. Hal ini didasarkan atas sikap Allah sendiri kepada umat manusia; sekalipun Allah adalah Allah yang mahakasih, Ia juga mahaadil dan merupakan "api yang menghanguskan" bagi mereka yang terus hidup di dalam kefasikan (bdk. Ul 4:24; Ibr 12:29). Menekankan kasih Allah secara berlebihan dan mengabaikan keadilan-Nya sama bahayanya dengan menekankan keadilan Allah secara berlebihan dan mengabaikan kasih-Nya. Membiarkan dosa dan ketidakadilan tanpa usaha mencegahnya, sama saja dengan kita menyetujui perbuatan dosa yang mendukakan hati Allah. Demikian pula, penekanan yang berlebihan pada hukum-hukum keadilan tanpa mengenal prinsip kasih akan menyebabkan kita jatuh pada legalisme mutlak yang menghambat hubungan yang harmonis antarsesama.

Prinsip kasih dan keadilan, dengan kata lain, memberi peluang bagi adanya kemungkinan perang yang bisa dibenarkan. Namun demikian, pada saat yang bersamaan, kompleksitas hubungan yang paradoks antara kasih dan keadilan menyingkapkan bahwa untuk sampai pada suatu keyakinan bahwa perang adalah pilihan yang adil merupakan hal yang sangat sulit, kalau bukan mustahil. Akan tetapi, paling tidak melalui pertimbangan ini umat Kristen memiliki dasar kebenaran untuk, misalnya, menjawab panggilan sebagai seorang prajurit atau terlibat dalam masalah sosial politik.

KESIMPULAN

Sekalipun pada dasarnya posisi just war theory lebih dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara hermeneutik dan teologis, saya tetap melihat bahwa mestinya kedua posisi ini tidak dipertentangkan secara tajam. Umat Kristen yang menerima paham 'pacifism' adalah orang-orang yang secara aktif mengusahakan kedamaian dunia dengan cara menolak sama sekali aspek "violence" termasuk profesi-profesi tertentu, seperti prajurit, yang sifatnya membuka peluang bagi penggunaan kekerasan. Hal yang terakhir memang harus diakui sangat berlebihan. Namun sejauh mereka adalah orang-orang yang berangkat dari asumsi "damai", maka pada hakikatnya 'pacifism' tidak bertentangan dengan just war theory. Orang-orang yang mempercayai adanya perang yang dapat dibenarkan, asumsi dasarnya bukan "kekerasan" atau "peperangan," tetapi juga "kedamaian." Seseorang yang menerima panggilan sebagai seorang prajurit, motivasi utamanya bukanlah "perang," tetapi kedamaian dan keteraturan. Richard Neuhaus dalam dialognya dengan Stanley Hauerwas berkata,

The presumption of just war theory is against the use of military force. The theory erects an obstacle course of moral testings aimed at preventing the unjust resort to war... The goal is "to secure just order in an essentially disordered world." The question is not violence vs. nonviolence but legitimate vs. illegitimate uses of force. Violence is better understood as the illegitimate use of force, and just war theory is designed to restrain that as much as possible in a history that will always be marked by violence short of the End Time.**46

Demikian pula, jikalau 'pacifism' menekankan pentingnya hidup sesuai dengan jati diri kita sebagai murid Kristus, maka orang Kristen yang menerima just war theory juga menyadari panggilan ini. Kembali mengutip kata-kata Neuhaus, ia berkata, "I believe that Christians are alien citizens whose primary loyalty is to the heavenly polis and whose obedience to Christ the King entails responsibility for the earthly polis."**47 Hanya saja jika 'pacifism' memandang perlunya menjadi warga negara di dalam 'earthly polis' dengan cara mengusahakan kehadiran kerajaan Kristus secara nyata sekarang ini dan di bumi ini, maka just war theory lebih melihat kerajaan Allah sebagai paradoks antara yang sudah digenapi oleh Kristus dan yang belum sepenuhnya terwujud. Sehingga, Neuhaus melanjutkan,

I will continue to caution that no world order will be free from the radical disorder of sin, and no hope for earthly peace should be confused with the saving peace that is ours in Christ. God willing, there will be something like a "new world order" that will restrain the violence... To be sure, it will be partial and it will be only for a time, but I would like to think that you join me in prayer that it will be.**48

Footnote (Catatan Kaki):

**1. Francis Schaeffer, et al., Who is for Peace? (Nashville: Thomas Nelson, 1983) 23-24 [garis bawah adalah penekanan penulis]

**2. Agustinus tidak menggunakan istilah "cities" hanya kepada lokasi atau zaman tertentu, melainkan kepada dua macam sikap kepada Allah - antara orang percaya dan tidak - yang akan terus bersitegang di dalam dunia ini, "Two cities, then, have been created by two loves: that is, the earthly by love of self extending even to contempt of God, and the heavenly by love of God extending to contempt of self" (lih. The City of God against the Pagans [ed. & tr. R.W. Dyson; Cambridge: Cambridge University Press, 1998] 632.XIV.28)

**3. Ada sebagian orang yang keliru memahami pacifism sebagai passivism (pasif-isme). Pacifism berasal dari pacifist (bukan passivist), artinya "peace lover." Dengan kata lain, orang-orang pacifist ialah mereka yang secara aktif mempromosikan ajaran cinta damai

**4. Variasi kedua pandangan ini memang sangat banyak, tetapi tanpa harus masuk ke dalam detail perbedaan pandangan di dalamnya, pada artikel ini penulis berusaha untuk tidak mengorbankan esensi keduanya. Beberapa buku yang dengan baik menjelaskan variasi pandangan tersebut adalah John Howard Yoder, Nevertheless: The Varieties and Shortcomings of Religious Pacifism (Scottdale: Herald, 1992); Albert Marrin, ed., War and the Christian Conscience (Chicago: Henry Regnery, 1971)

**5. The Five Books against Marcion (The Ages Digital Library Collections ver.2.0: The Ante-Nicene Fathers Vol. III; eds. A. Roberts & J. Donaldson; tr. Dr. Holmes, IV. 16; Albany: Books for the Ages, 1997) 666-667

**6. Gregory Dix, The Treatise on the Apostolic Tradition of St. Hippolytus of Rome (London: Alban, 1937) 27

**7. Pemahaman ini merupakan tafsiran Tertullian yang tidak ditegaskan secara harafiah dalam Alkitab (Lih. "The Soldier Chaplet" dalam War and the Christian Conscience [ed. Albert Marrin; Chicago: Henry Regney, 1971] 29-30)

**8. Harold Bender, "The Pacifism of Sixteenth Century Anabaptists," Mennonite Quarterly Review (1956) 17

**9. Ibid. 11-12

**10. Ibid. Sattler ditangkap dan diadili karena pernyataannya ini

**11. Ibid. 17

**12. Orang-orang yang dimasukkan ke dalam kelompok ini antara lain:
George Lindbeck, Stanley Hauerwas, John Milbank, David Yeago, Reinhard Hutter, Richard Hays dan N.T. Wright (lih. Robert Benne, "The Neo-Agustinian Temptation," First Thing 81 [March 1998] 14).

**13. The Moral Vision of the New Testament (New York: HarperCollins, 1996) 336-337

**14. Ibid. 342

**15. Ibid. 342-343

**16. Ibid. 343 [garis bawah dari penulis]

**17. Ibid

**18. Ibid. [garis bawah dari penulis]

**19. Lihat misalnya kata-kata R.W. Dyson dalam bagian "Introduction" (The City of God xiv dst.). Yang unik adalah bahkan ada sekelompok penganut pacifism yang juga menyatakan telah mewarisi tradisi Agustinus. Contohnya, Stanley Hauerwas, seorang pacifist, memandang sekelompok just war theory telah salah membaca tulisan Agustinus. Dalam salah satu suratnya kepada Richard John Neuhaus, seorang pengikut just war theory, ia berkata bahwa Agustinus senantiasa memisahkan komunitas orang percaya dari dunia. Sehingga sekalipun Agustinus berbicara tentang 'two cities' dalam 'The City of God', pada hakikatnya ia lebih menekankan komunitas gereja yang ciri utamanya adalah kerajaan Allah yang diwujudkan melalui Kristus (lih. Stanley Hauerwas & Richard John Neuhaus, "Pacifism, Just War & the Gulf," First Thing 13 [May 1991] 41)

**20. Ernest L. Fortin, "Civitate Dei, De" (The City of God) dalam: Augustine Through the Ages (ed. Allan D. Fitzgerald; Grand Rapids: Eerdmans, 1999) 197. Perlu diingat bahwa 'The City of God' ditulis oleh Agustinus jauh sesudah Edict of Milan dicanangkan (313 M), yaitu pengakuan agama Kristen sebagai agama resmi kekaisaran pada masa itu

**21. Ibid

**22. Frederick H. Russell, "War" dalam Augustine Through the Ages 875

**23. Ibid

**24. The Moral Vision 335-336

**25. Fortin, "Civitate Dei, De" 198

**26. Ibid

**27. Agustinus sendiri tidak pernah memformulasikan ketiga kriteria ini; ketiganya merupakan kesimpulan yang ditarik dari tulisannya (lih. William R. Stevenson, Jr., Christian Love and Just War [Macon: Mercer University Press, 1987] 4)

**28. The City of God XIX. 7

**29. Stevenson, Christian Love 39, 41

**30. Khususnya dalam isu tentang perang. Penulis tidak bermaksud menerapkan evaluasi ini secara general terhadap prinsip hermeneutik Hays; dalam banyak aspek, penulis sangat menghormati ajaran Hays

**31. David E. Holwerda, Jesus and Israel: One Covenant or Two? (Grand Rapids: Eerdmans, 1995) 132

**32. Ibid. 131

**33. Ibid. 132

**34. Ibid. 132-133

**35. The Sermon on the Mount (Grand Rapids: Baker, 1978) 39

**36. The Sermon on the Mount (Grand Rapids: Zondervan, 1972) 100 s

**37. Carson, The Sermon 37

**38. Lih. Millard Lind, Yahweh is Warrior (Scottdale: Herald, 1980) 18 (Introduction)

**39. "War, Peace, and Justice in Early Israel," Bible Review (Fall 1987) 45

**40. Perspective on War in the Bible (Macon: Mercer University Press, 1998) 163-172

**41. Ethical Reflections: Essays on Moral Themes (Grand Rapids: Eerdmans, 1978) 135

**42. Ibid. 141

**43. Bdk. pandangan Stob dengan Lewis B. Smedes yang juga mengupas hubungan antara kasih dan keadilan dengan sangat baik di dalam bukunya Mere Morality: What God Expects from Ordinary People (Grand Rapids: Eerdmans, 1999), perhatikan khususnya bab 2 dan 3

**44. Ethical Reflections 137

**45. Ibid. 139

**46. "Pacifism, Just War" 43 [garis bawah dari penulis]

**47. Ibid

**48. Ibid. 44-45

Sumber: 

Sumber diambil dari:

Judul Buku : VERITAS 4/1 (April 2003)
Judul Artikel : Prinsip Dasar Etika Kristen tentang Perang:
Sebuah Tinjauan terhadap Pacifism dan Just War Theory
Penulis : Kalvin S. Budiman
Penerjemah : -
Penerbit : Seminari Alkitab Asia Tenggara
Halaman : -

Komentar


Syndicate content