Praktika

warning: Creating default object from empty value in /home/sabdaorg/public_sabda/reformed/modules/taxonomy/taxonomy.pages.inc on line 33.
Teologia Praktika adalah teologia yang berisi penerapan pengajaran Alkitab dalam kehidupan praktis untuk pembangunan, pengudusan, pembinaan, pendidikan dan pelayanan umat Tuhan.

Aksi Sosial Kristen dan Kepedulian Kepada Orang Miskin

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Menjalani abad 21 ini, perkembangan karya manusia begitu cepat, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan. Hal ini memengaruhi budaya dan pola pikir manusia pada umumnya, tak terkecuali orang-orang Kristen. Kemajuan jaman seringkali justru semakin mempermudah orang Kristen hidup dan memikirkan hanya untuk dirinya sendiri, sehingga rasa kemanusiaan semakin terkikis oleh nafsu duniawi yang berpusat pada diri.

Pada edisi e-Reformed 134 ini, artikel yang disuguhkan ingin menggedor sensitivitas kita sebagai bagian dari Tubuh Kristus, untuk berani menyikapi tindakan orang Kristen yang mulai terprovokasi untuk melawan dunia (kemiskinan, kelaparan, terpinggirkan), tetapi tidak mengubah dunia dengan kasih Kristus. Dr. Joseph Tong, penulis artikel ini, mendorong kita untuk merenungkan 2 hal yang sangat penting dalam menjalankan tindakan sosial Kristen: kemampuan memberi dan kuasa memberi. Silakan merenungkan pembahasan beliau karena hal ini akan menolong mengubah pola pikir kita dalam hal memberi agar semakin serupa dengan ajaran Kristus. Selamat menerungkan.

Staf Redaksi e-Reformed,
Yonathan Sigit
< http://reformed.sabda.org >

Penulis: 
Dr. Joseph Tong
Edisi: 
134/november 2012
Tanggal: 
27 november 2012
Isi: 

Aksi Sosial Kristen dan Kepedulian Kepada Orang Miskin

Menjadi orang Kristen di dunia sekuler tidak mudah, terutama dalam abad ke-21 ini. Kesadaran sosial telah membawa pada realitas yang belum terlihat sekarang, yaitu gejala dari sisi tergelap manusia. Hal- hal yang belum pernah kita dengar, bahkan belum pernah terbayangkan di masa lalu, telah menjadi hal yang biasa pada tahun-tahun terakhir ini. Mereka menuntut hak-hak legal dengan berani di pengadilan publik, lembaga-lembaga hukum dan legislatif, serta melanjutkan tuntutan akan pengakuan dalam segala bidang kehidupan, termasuk agama dan moralitas. Cukup aneh. Hal-hal ini bukan saja merembes dan mengubah moralitas Dunia Barat, tetapi juga memenangkan tempat dalam banyak negara yang baru terbentuk dari budaya dan tradisi yang paling ortodoks. Dapat dikatakan, dunia ini nampaknya akan dijungkirbalikkan secara moral. Inilah pasang-surut zaman. Nampaknya, suatu gelombang yang tidak tertahankan sedang memenangkan lahan komunitas Kristen. Mendapati diri kita sendiri dalam suatu situasi semacam ini, roh kita tergugah, seperti ketika Paulus ada di tengah-tengah para pemuja berhala Athena.

Orang Kristen dan Perhatian Sosialnya

Dari waktu ke waktu kita melihat ada orang-orang Kristen yang akan berdiri tegak bagi Yesus, sebagaimana yang dihimbaukan oleh himne terkait, berperang dalam "pertempuran yang baik". Untuk membalikkan situasi dengan mengambil tindakan sosial, mereka tidak raga-ragu membawa kasus itu ke tempat terbuka, ke jalan, untuk memprotes tempat perdagangan dan mengawali keributan. Mereka siap mengambil risiko ditahan demi mengingatkan kesadaran sosial dan hati nurani publik untuk membangkitkan perubahan sosial. Suatu kasus klasik pemberontakan sipil. Beberapa bahkan mengambil suatu sikap militan, tanpa maksud mengabaikan provokasi apa pun, bahkan yang terkecil sekalipun. Sayangnya, semangat untuk melawan balik telah menjadi suatu tanggapan refleks bagi mereka, bahkan kadang kala tercampur dengan sikap membenci dan kekerasan.

Dunia

Dalam konteks diskusi isu relasi antara gereja dan masyarakat, kita semua sepakat bahwa gereja akan selalu berfungsi sebagai "hati nurani sosial" dan menjadi "referensi sosial", serta pada waktunya akan mengambil peran "Agen perubahan sosial". Memenuhi panggilan dan mandat semacam itu, apa yang seharusnya menjadi sikap gereja dan apa yang akan menjadi tindakan Kristen? Bagi beberapa orang Kristen, apa pun yang terjadi di dalam dunia yang tidak kristiani, di mata mereka selalu membangkitkan kemurkaan. Dengan menanggapi secara kasar rangsangan provokatif itu, orang-orang Kristen kelihatannya selalu siap bergerak untuk mengambil tindakan. Murka Allah adalah model mereka. Sayangnya dalam analisis finalnya, kita selalu melihat bahwa tindakan-tindakan mereka hanyalah ledakan dari roh batiniah yang tidak tenang, yang pada akhirnya menghabiskan energi untuk menanggung kesaksian hidup bagi Injil yang penuh anugerah dan Yesus Kristus. Sayangnya, walaupun mereka mungkin berhasil dalam tindakan, mereka harus membayar harganya, yaitu menjadi hangus sama sekali.

Provokasi atau Tantangan?

Apakah orang-orang Kristen itu mudah terprovokasi kapan saja? Tentu saja tidak. Secara etimologi, terprovokasi adalah tergugah ke arah kemarahan dan terbangkitkan secara emosional untuk melakukan tindakan spontan. Ketika Kristus menjanjikan damai sejahtera-Nya bagi para murid-Nya, Ia memang mengingatkan mereka akan masa kesusahan, perlawanan, dan situasi-situasi antagonistik. Sewaktu mengingatkan mereka akan situasi-situasi demikian, Ia berkata, "Damai-Ku, Kutinggalkan bagimu." Ketika berhadapan dengan hakim-hakim yang tidak adil dan saksi palsu, bahkan pencuri yang disalibkan, Ia dengan tegas menolak penuduhan. Dengan damai Ia menolak kejahatan dan membuktikan diri sendiri kebal terhadap provokasi. Khotbah di bukit yang Ia sampaikan memberikan prinsip-prinsip kehidupan bagi murid-murid-Nya. Mereka harus menjalani kehidupan yang sederhana dan penuh kedamaian. Mereka harus kebal terhadap provokasi, bahkan terhadap provokasi yang paling tidak adil dan jahat.

Contoh praktis yang Ia berikan adalah bahwa mereka harus membiarkan orang lain memiliki baju sekaligus jubah, memberkati orang yang mengutuk mereka, dan bahkan memberikan pipi yang sebelahnya kepada orang yang menampar mereka. Orang-orang Kristen harus memiliki hati yang penuh damai dan membiarkan Tuhan yang memegang kendali. Demikianlah mereka akan membuktikan roh yang tidak dapat diprovokasi dan iman yang tidak berubah-ubah. Mereka diingatkan akan perintah Tuhan: "diamlah dan ketahuilah bahwa Akulah Tuhan." (Mazmur 46:10)

Kalau begitu, apakah kita ini lamban? Tentu saja tidak. Kita juga tidak apatis. Di hadapan kejahatan dan ketidakadilan, terutama dalam konteks tindakan sosial, orang-orang Kristen memiliki sisi lain dari kuasa yang hakiki, kuasa dari maksud Injil, yaitu kuasa penyelamatan Kristus. Kuasa untuk menerima tantangan, bukannya terprovokasi. Kuasa ini bukanlah untuk bertempur melawan dunia, tetapi untuk mengubah dunia dan membaruinya.

Diperhadapkan dengan gejala sosial yang tidak menyenangkan, seperti permasalahan moral, ketidakadilan, dan praktik-praktik yang tidak etis, maka orang-orang Kristen dipanggil untuk mengambil posisi damai dan memproklamasikan firman Tuhan yang hidup. Orang-orang Kristen dipanggil untuk mempertahankan jati diri sebelum mempertahankan hak- hak mereka. Untuk memberi pertanggungjawaban iman dan menerima undang- undang, bukan provokasi-provokasi, untuk menanggapi panggilan realitas demi mengemban kesaksian untuk kebenaran. Motivasi utama di sini adalah untuk bersaksi ketimbang bertindak. Dengan demikian, daripada memilih jalur tanggapan untuk memenangkan pujian dan upah, saya percaya adalah tugas kita untuk menanggapi dengan menerima tantangan sebagai imamat yang rajani, untuk memproklamasikan dekret Ilahi dengan hati yang berdoa. Adalah suatu mandat Kristiani untuk terlibat dalam cabang-cabang pemerintahan eksekutif, legislatif, dan hukum. Bersikap baik, ramah, dan penuh kuasa, akan selalu membuat suatu pembedaan antara provokasi dan tantangan, serta membuktikan bahwa kita bukan anak-anak jalanan, yang cocok dan yang memilih untuk tanggapan refleks, berupa angkara dan perkelahian yang tidak ada gunanya, kecuali untuk provokasi.

Prinsip Kristen Tentang "Memberi"

Dalam pemberian Kristen, dua hal harus selalu tampil sebagai aspek yang sangat penting dari memberi: kemampuan memberi dan kuasa memberi. Supaya seseorang dapat memberi, ia harus memiliki sesuatu untuk diberikan. Apa yang dimilikinya memampukan dia untuk memberi. Tentu saja kalau ia memiliki hati, dorongan, dan niat baik untuk memberi.

Bagi beberapa pengumpul dana profesional, demi memotivasi seseorang untuk memberi dengan murah hati, mereka perlu membangkitkan dorongan. Dalam istilah psikologi, memicu "n-succorant -- need-succorant" (suatu kebutuhan yang kuat atau tak tertahankan untuk menolong orang lain) -- Begitu seseorang telah tergugah simpatinya, ia pasti akan memberi, bahkan memberi melebihi kemampuannya. Seseorang perlu didorong untuk meningkatkan level empatinya dan kesadaran kemanusiaannya, atau dengan meningkatkan level kekhawatirannya, dengan cara menghadapkan seseorang pada kebutuhan orang lain, maka orang tersebut pasti akan membuka hati dan dompetnya pula. Ini prosedur normal dari praktik mengumpulkan dana. Ini adalah suatu praktik yang sama sekali dapat diterima di antara kegiatan para pengumpul dana kemanusiaan.

Nah, sekarang bagaimana dengan pandangan Kristen tentang memberi? Atau untuk lebih konkretnya, atas dasar apa kita meminta orang-orang, terutama umat Tuhan untuk memberi? Adakah sesuatu selain praktik umum para pengumpul dana yang dapat kita gunakan, demi menjaga perbedaan dan mencapai sasaran yang diharapkan? Saya percaya, isu semacam ini menuntut perenungan yang cermat dari diri kita.

Secara alkitabiah, kita memberi oleh karena kita telah lebih dulu menerima. Tuhan sebagai sumber dari segala berkat, pertama-tama telah memberi kita Putra-Nya, dan bersama dengan Dia, Ia telah dengan murah hati memberi kita segala sesuatu (Roma 8:32). Memberi itu adalah Ilahi, tetapi menerima tidak selalu manusiawi. Hanya apabila seseorang dipanggil oleh kemurahan Tuhan, pada iman dalam Kristus, ia tahu apa yang harus diterima, bukan untuk mengambil. Untuk dapat menerima, seseorang harus mengakui keadaannya yang kekurangan dan kebutuhannya. Demikianlah ia mengakui tindakan belas kasihan dari Sang Pemberi. Pada waktu Yohanes memproklamasikan, "Semua orang yang menerima-Nya diberi- Nya `kuasa` supaya menjadi anak-anak Allah," hal ini menyiratkan bahwa seseorang yang menerima, diberi kuasa untuk menjadi anak-anak Tuhan dalam konteks anugerah. Dengan pemahaman seperti ini, menerima anugerah Tuhan berarti menerima kuasa untuk menjadi apa yang Tuhan inginkan: anak-anak Tuhan.

Dalam pemberian Kristen, kita tertarik pada fakta bahwa kita mengambil bagian dalam tindakan Tuhan dalam penyediaan-Nya yang baik... Fakta bahwa Tuhanlah yang pertama- tama memberi mereka anugerah adalah alasan yang cukup bagi mereka untuk memberi.

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Dalam konteks ini, kita mengamati lebih dekat interaksi dengan sesama -- terutama mereka yang kurang beruntung dan dilanda kemiskinan -- Saya percaya, kita akan membedakan kuasa memberi dan kemampuan memberi. Sementara, baik kuasa maupun kemampuan memberi adalah aspek- aspek memberi sebagai tanda kemurahan hati manusia terhadap sesamanya; kemampuan memberi banyak tergantung pada sumber yang dimiliki seseorang, daripada kondisinya. Seseorang dapat memberi karena ia memiliki sesuatu untuk diberikan. Ia telah mencapai hal-hal tertentu atau ia memiliki akses kepada sumber-sumber itu, maka ia memberi. Ia tidak dapat memberi, jika ia tidak memunyai apa-apa untuk diberikan. Jika ia miskin, tidak ada yang menyalahkannya karena tidak ada yang mengharapkan sesuatu darinya. Peraturannya adalah bahwa seorang pengemis tidak akan meminta sedekah dari pengemis lainnya.

Orang-orang Kristen memunyai peraturan lain. Mereka memahami aspek yang mendasar dari memberi, yaitu kuasa memberi dalam tindakan memberi. Dalam pemberian Kristen, kita tertarik pada fakta bahwa kita mengambil bagian dalam tindakan Tuhan dalam penyediaan-Nya yang baik. Seperti orang-orang Kristen di Makedonia, di tengah-tengah kemiskinan ekstrem, sukacita mereka yang berlimpah-limpah meluap dengan penuh kemurahan hati (2 Korintus 8:1). Fakta bahwa Tuhanlah yang pertama- tama memberi mereka anugerah adalah alasan yang cukup bagi mereka untuk memberi.

Jadi, di dalam iman kita telah menerima dan di dalam tindakan menerima, kita dijadikan alat oleh Tuhan untuk menjadi anak-anak-Nya di dunia ini. Dalam memberi dan bertindak sebagai anak-anak Tuhan, kita tidak memberikan apa yang kita miliki, tetapi apa yang telah Tuhan berikan kepada kita sebagai hasil dari apa yang Tuhan perbuat. Kita bertindak demi Dia dalam membagi-bagikan anugerah-Nya dan karunia-karunia-Nya. Untuk tindakan-tindakan semacam itu, kita tidak memerlukan apa-apa, kecuali wewenang Tuhan dan kuasa memberi, supaya penerimanya juga dimampukan oleh anugerah-Nya, sehingga ia akan menjadi seorang pemberi, bukan sekadar penerima.

Inilah pembedaan antara pemberian Kristiani dan pemberian kemanusiaan belaka. Amal sosial telah menjadi dan selalu merupakan relasi dan interaksi antara dan di antara kelembagaan mereka "yang punya" dan mereka "yang tidak punya". Demikianlah para sponsor telah tanpa sengaja atau bahkan adakalanya sengaja, bertanggung jawab atas adanya pembedaan antara strata sosial yang tidak adil, praktik pemisahan, dan diskriminasi. Pihak yang menerima, tanpa sengaja ataupun dengan sengaja dilukai justru dalam tindakan memberi dan menolong. Luka dan rasa sakit, entah ditingkatkan atau diabaikan dari waktu ke waktu. Kita melakukan hal yang baik, tetapi mungkin masih jauh dari melakukan hal yang benar.

Kuasa Memberi

Apabila seseorang memahami kuasa memberi dalam konteks Kristen dan memberi sebagai pelaksanaan kuasa memberi, maka ia dapat melihat bahwa pemberiannya tidak bergantung pada kemampuannya memberi. Dengan memandang melampaui dirinya sendiri, si pemberi akan selalu melihat kepada pihak penerima dan pemberiannya: di sana ada sesamanya yang sama seperti dia, seseorang yang memantulkan citra Tuhan. Oleh anugerah Tuhan dan penyediaan-Nya, maka sesamanya ditempatkan di hadapannya, supaya ia dapat melaksanakan kuasa memberi. Dengan berbuat demikian, boleh jadi mendayakan di dalam dirinya kuasa Tuhan untuk menjadikan sesamanya seorang anak Tuhan. Suatu pribadi yang bermartabat kerajaan dan mulia, daripada seorang pengemis yang dilanda kemiskinan dan patut dikasihani. Dengan kuasa memberi, maka ia akan memberi. Dalam konteks semacam ini, memberi tidak lagi sekadar tindakan kemanusiaan, tetapi suatu mandat Ilahi, yang pada gilirannya akan membuat si penerima melihat Bapa segala terang, yang daripada-Nya berasal segala hadiah yang baik dan sempurna (Yakobus 1:16). Dengan demikian, kita telah melaksanakan anugerah Allah, "kuasa memberi".

Sumber: 

Tulisan "Aksi Sosial Kristen dan Kepedulian Kepada Orang Miskin" pernah dimuat dalam Jurnal Teologi STULOS 3/2, STT Bandung, Desember 2004, Hal. 1-12.

Judul buku :Keunggulan Anugerah Mutlak: Kumpulan Refleksi Teologis Atas Iman Kristen
Judul artikel :Aksi Sosial Kristen dan Kepedulian Kepada Orang Miskin
Penulis :Dr. Joseph Tong
Penerbit :Sekolah Tinggi Teologia Bandung, 2006
Halaman :203 -- 215

Kepedulian Terhadap Ciptaan

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Salah satu kelebihan yang saya lihat dalam teologia Reformed adalah penekanannya yang sangat jelas akan kepemilikan Allah atas dunia dan jagat raya alam ini. Berdasarkan ayat Alkitab, "Sesungguhnya, TUHAN, Allahmulah yang empunya langit, bahkan langit yang mengatasi segala langit, dan bumi dengan segala isinya." (Ulangan 10:14), kita diingatkan bahwa manusia bukan pemilik dunia ini, tetapi Tuhan. Karena itu di dalam teologia Reformed, disamping "mandat penginjilan", "mandat budaya", juga menjadi satu tugas yang tidak boleh diabaikan oleh umat Kristen. Dengan memelihara alam semesta, sebagaimana yang Tuhan kehendaki, maka kita telah mewujudkan salah satu bentuk ibadah yang diperkenan oleh Tuhan.

Nah, artikel e-Reformed yang saya pilihkan bulan ini yang berjudul, "Kepedulian Terhadap Ciptaan", semoga menjadi teguran untuk kita semua, apakah sebagai anak Tuhan kita sudah bertanggung jawab dengan lingkungan dan bumi tempat kita tinggal ini? Silakan direnungkan dan kiranya dapat mengetuk kesadaran kita, sehingga kita mau ambil bagian dalam penyelamatan bumi dan lingkungan sekitar kita dari perusakan yang dilakukan oleh manusia yang tidak bertanggung jawab.

Selamat membaca dan merenungkan!

In Christ, Yulia Oen < http://reformed.sabda.org >

Penulis: 
John R.W. Stott
Edisi: 
133/Oktober 2012
Tanggal: 
30 Oktober 2012
Isi: 

Dalam menunjukkan apa yang (dalam pandangan saya) merupakan beberapa aspek yang terlupakan dari pemuridan yang radikal, kita tidak boleh menyangka bahwa hal-hal ini terbatas pada ranah-ranah personal dan individual. Kita juga harus memerhatikan dalam perspektif yang lebih luas tentang tugas kita kepada Allah dan sesama kita, yang sebagian merupakan bagian dari topik pada bab ini: kepedulian terhadap lingkungan hidup kita.

Alkitab mengatakan kepada kita bahwa dalam penciptaan, Allah mendirikan bagi manusia tiga relasi yang sangat fundamental: pertama relasi terhadap diri-Nya sendiri, sebab Ia menciptakan mereka dalam gambar dan rupa-Nya; kedua relasi satu terhadap yang lain, sebab umat manusia merupakan makhluk yang majemuk sejak mulanya; dan ketiga, relasi terhadap bumi yang diciptakan, beserta dengan segala ciptaan di dalamnya.

Selanjutnya, ketiga relasi ini menyimpang akibat kejatuhan. Adam dan Hawa terpisah dari hadirat Tuhan Allah di taman tersebut, mereka saling menyalahkan satu dengan yang lain untuk apa yang telah terjadi, dan bumi yang baik terkutuk akibat ketidaktaatan mereka.

Dunia

Ini kemudian menjadi alasan yang kuat mengapa rencana pemulihan Allah tidak hanya meliputi pendamaian kita dengan Allah dan sesama, tetapi juga pembebasan terhadap ciptaan yang sama-sama sedang merintih. Kita dapat dengan pasti meyakini bahwa satu hari kelak akan hadir surga dan bumi yang baru (2 Petrus 3:13; Wahyu 21:1), sebab ini merupakan bagian yang esensial dari pengharapan kita bagi kesempurnaan masa depan yang sedang menanti kita pada akhir masa. Namun, sementara itu, seluruh ciptaan sedang merintih, mengalami sakit bersalin dari ciptaan baru (Roma 8:18-23). Sampai sejauh mana tujuan akhir bumi akan dapat dialami/dinikmati saat ini, masih merupakan bahan yang dapat diperdebatkan. Namun, kita dapat dengan pasti mengatakan bahwa sebagaimana pemahaman kita terhadap tujuan akhir dari tubuh kebangkitan kita, harusnya memengaruhi cara berpikir kita dan cara kita memperlakukan tubuh kita sekarang ini, sehingga pengetahuan kita akan langit dan bumi baru seharusnya memengaruhi dan meningkatkan penghargaan akan bumi melalui cara kita memperlakukannya sekarang.

Jadi, bagaimana seharusnya sikap kita terhadap bumi? Alkitab menunjukkan caranya dengan membuat dua penguatan yang sangat mendasar: "Tuhanlah yang empunya bumi" (Mazmur 24:1), dan "Langit itu langit kepunyaan TUHAN, dan bumi itu telah diberikan-Nya kepada anak-anak manusia" (Mazmur 115:16).

Pada bulan Mei 1999, saya mendapatkan hak istimewa untuk mengambil bagian dalam seminar sehari di Nairobi dengan tema "Kekristenan dan Lingkungan Hidup". Yang menjadi pembicara bersama saya adalah Dr. Calvin De Witt, dari "Au Sable Institute" Michigan dan Peter Harris dari "A Rocha International". Para peserta yang hadir saat itu termasuk para pemimpin Kenya, baik dari kalangan pemerintahan maupun wakil dari gereja-gereja, organisasi-organisasi misi, dan berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM). Pertemuan ini mendapatkan perhatian luas. Ini merupakan bukti bahwa kepedulian terhadap lingkungan hidup bukanlah kepentingan egois yang dikembangkan oleh negara-negara maju, atau pun antusiasme minoritas yang semata-mata milik para pengamat burung atau pecinta bunga, tetapi secara perlahan-lahan tetapi pasti, hal ini menjadi perhatian dari kekristenan arus utama.

Segera sesudah itu, Deklarasi Kaum Injili tentang Evangelical Declaration on the Care of Creation (Kepedulian terhadap Lingkungan Hidup) diterbitkan (1999), dan pada tahun berikutnya, sebuah penjelasan yang penting tentang deklarasi ini muncul, disunting oleh R.J. Berry dan berjudul The Care of Creation (Kepedulian terhadap Alam Ciptaan). [1]

Pernyataan bahwa "Tuhanlah yang empunya bumi" dan bahwa "bumi itu telah diberikan-Nya kepada anak-anak manusia", merupakan dua hal yang saling melengkapi dan tidaklah saling bertentangan. Sebab, bumi merupakan milik Allah, karena memang diciptakan oleh Allah dan merupakan milik kita, karena didelegasikan oleh Allah. Ini tidak berarti bahwa Allah telah menyerahkannya kepada kita, sehingga Ia kehilangan hak atasnya, tetapi ini berarti bahwa Ia telah memberikan kepada kita tanggung jawab untuk menjaga dan mengembangkan bumi ini demi Dia.

Jika demikian, bagaimana seharusnya kita berelasi dengan bumi ini? Jika kita mengingat bahwa ciptaan dihadirkan oleh Allah dan didelegasikan kepada kita, kita akan menghindarkan diri dari dua posisi ekstrem yang saling bertolak belakang, dan sebaliknya kita akan mengembangkan relasi ketiga dan yang lebih baik dengan alam.

Pertama, kita akan menghindarkan diri dari mengilahkan alam. Inilah kesalahan kaum panteis yang mengindentifikasikan Pencipta dengan ciptaan-Nya, atau dari kepercayaan animisme yang percaya bahwa dunia natural dipenuhi oleh roh-roh, dan dari Zaman Baru yaitu Gerakan "Gaia" (Gerakan ini memercayai bahwa bumi adalah superorganisme yang mampu menyesuaikan diri dan juga memelihara kehidupan yang berjalan di dalamnya) yang menyatakan bahwa sifat pada alam itu mandiri, memiliki mekanisme keteraturan sendiri, dan mampu memperbarui diri sendiri. Namun, semua pandangan yang membingungkan ini menghina Sang Pencipta. Kesadaran umat kristiani bahwa alam merupakan ciptaan bukan Pencipta, merupakan pengantar yang tak terbantahkan bagi seluruh upaya ilmu pengetahuan, dan sangat penting bagi pengembangan sumber daya yang dimiliki bumi saat ini. Kita menghargai alam sebab Allah menjadikannya; kita tidak menyembah alam seolah-olah itu adalah Allah sendiri.

Kedua, kita harus menghindarkan diri dari posisi ekstrem yang sebaliknya, yakni eksploitasi alam. Ini bukanlah tindakan menjilat alam seolah-olah ia adalah Allah, tetapi ini adalah tindakan yang arogan terhadap alam bahwa seolah-olah kita adalah Allah. Kejadian 1 dengan tidak adil telah dipersalahkan akibat kerusakan lingkungan. Memang benar Allah memerintahkan umat manusia untuk "memerintah atas" bumi dan untuk "menaklukkannya" (Kejadian 1:26-28), dan memang benar bahwa dua kata kerja Ibrani ini adalah kata yang kuat. Namun, sangat menggelikan bila membayangkan bahwa Ia yang telah "menciptakan" bumi ini, kemudian menyerahkannya kepada kita untuk "dihancurkan". Tentu tidak, kuasa Allah yang telah diberikan kepada kita seharusnya dilihat sebagai sebuah tanggung jawab pelayanan, bukan sebuah dominasi yang menghancurkan.

Relasi ketiga dan yang tepat antara umat manusia dan alam adalah kerja sama dengan Allah. Tentu saja, kita sendiri adalah bagian dari ciptaan, sama bergantungnya kepada Pencipta sebagaimana semua ciptaan-Nya yang lain. Namun, pada saat yang sama, Ia telah dengan sengaja merendahkan diri-Nya untuk menjadikan sebuah kemitraan bersama Allah -- manusia yang diperlukan. Ia menciptakan bumi ini, tetapi kemudian memerintahkan kita untuk menaklukkannya. Ia menjadikan sebuah taman, tetapi kemudian menempatkan Adam di dalamnya "untuk mengusahakan dan memeliharanya" (Kejadian 2:15). Ini sering disebut sebagai mandat budaya. Sebab, apa yang telah Allah berikan kepada kita disebut "alam", sedangkan apa yang kita lakukan terhadap alam disebut "budaya". Kita tidak hanya dipanggil untuk melestarikan alam, tetapi juga untuk mengembangkan sumber-sumber daya yang ada di dalamnya bagi kebaikan bersama.

Panggilan bekerja sama dengan Allah untuk menggenapi rencana-Nya, dalam mentransformasi seluruh ciptaan untuk kenikmatan dan keuntungan semua merupakan panggilan yang sangat mulia. Dalam hal inilah pekerjaan kita semestinya menjadi sebuah ekspresi dari ibadah kita, sebab kepedulian kita terhadap lingkungan akan mencerminkan kasih kita terhadap Sang Pencipta.

Pandangan yang lain: sangat mungkin terjadi penekanan yang berlebihan terhadap upaya manusia dalam konservasi dan transformasi lingkungan hidup. Dalam eksposisinya yang sangat baik terhadap tiga pasal pertama dari Kitab Kejadian, lewat bukunya In the Beginning, [2] Henri Blocher menyatakan bahwa puncak dari Kejadian pasal 1 bukanlah penciptaan dari manusia sebagai pekerja, melainkan institusi Sabat bagi umat manusia sebagai penyembah-penyembah Allah. Puncak dari semuanya ini bukanlah kerja keras kita (menaklukkan bumi ini), melainkan tindakan meninggalkan kerja keras kita pada hari Sabat (perhentian). Sebab, Sabat menempatkan pentingnya pekerjaan dalam perspektif yang tepat. Sabat melindungi kita dari penghisapan total diri kita ke dalam pekerjaan, seolah-olah hanya itulah arti dan tujuan keberadaan diri kita. Ini tidak benar. Kita sebagai manusia menemukan kemanusiaan kita tidak hanya dari relasi kita dengan bumi ini, yang memang menjadi panggilan kita untuk mentransformasinya, melainkan dalam relasi dengan Allah yang haruslah kita sembah; tidak hanya dalam kaitannya dengan ciptaan, tetapi terutama relasi dengan Sang Pencipta. Allah menginginkan agar pekerjaan kita merupakan ekspresi dari penyembahan kita, dan kepedulian kita terhadap ciptaan merupakan cerminan dari kasih kita kepada-Nya. Hanya dengan demikianlah, apa pun yang kita lakukan, dalam kata dan karya, kita sanggup melakukannya bagi Kejadian pasal 1kemuliaan Allah (1 Korintus 10:31).

Hal-hal ini dan tema-tema Alkitab yang lain dibukakan, baik lewat "Deklarasi Kaum Injili tentang Kepedulian terhadap Lingkungan Hidup" maupun dalam penjelasannya. Hal-hal ini layak untuk kita pelajari dengan saksama. [3]

Krisis Ekologi

Ini adalah latar belakang pengajaran alkitabiah yang sangat penting, yang kita perlukan untuk menghadapi krisis ekologi yang terjadi saat ini. Hal ini telah ditelaah dalam pelbagai cara, tetapi setiap analisis yang ada tersebut mengandung empat aspek berikut.

1. Terjadi percepatan pertumbuhan penduduk dunia.

Berdasarkan perkiraan divisi populasi Perserikatan Bangsa-Bangsa, penghitungan dimulai dari tahun 1804 SM, ketika penduduk dunia mencapai 1 milyar jiwa. [4] Pada permulaan abad ke-20, populasi dunia tersebut telah mencapai angka 6,8 milyar jiwa, dan pada pertengahan abad ini diperkirakan angkanya akan mencapai jumlah yang luar biasa yaitu, 9,5 milyar jiwa.

Karena agak sulit mengingat angka-angka dalam statistik, maka sebuah "jembatan keledai" sederhana mungkin dapat membantu kita untuk mengingat hal ini:

Dunia

Masa lampau -- 1804 SM -- 1 milyar

Masa kini -- 2000 M -- 6,8 milyar

Masa depan -- 2050 M -- 9,5 milyar

Bagaimana mungkin memberi makan sedemikian banyak orang, terutama ketika seperlima dari mereka tidak memiliki kebutuhan pokok untuk bertahan hidup?

2. Semakin menipisnya sumber daya alam yang dimiliki bumi.

E.F. Shumacher, dalam buku populernya Small is Beautiful, [5] melukiskan perhatian dunia terhadap perbedaan antara modal dan pendapatan. Sebagai contoh, bahan bakar fosil merupakan modal habis, sekali mereka digunakan, mereka tidak dapat digantikan. Proses mengerikan yang disebut deforestatifikasi dan penggurunan juga merupakan contoh-contoh yang sama dengan apa yang terjadi pada bahan bakar fosil. Contoh-contoh yang lain adalah terjadinya degradasi atau polusi terhadap habitat plankton di laut lepas, dataran hijau di bumi, makhluk hidup, dan habitat makhluk hidup yang sangat bergantung kepada ketersediaan udara dan air bersih.

3. Masalah pembuangan limbah.

Populasi penduduk yang meningkat turut mendorong peningkatan masalah diakibatkan oleh perlu dipikirkannya cara penanganan pembuangan limbah proses produksi, pengepakan, dan konsumsi yang aman. Rata-rata orang di Inggris membuang sampah yang setara dengan berat badan mereka setiap tiga bulan. Pada tahun 1994, sebuah laporan dari Inggris bertajuk Sustainable Development: The UK Strategy merekomendasikan empat cara "hieraki dari manajemen limbah" sebagai upaya mewadahi masalah yang terus meningkat ini.

4. Perubahan iklim.

Dari semua tantangan global yang dihadapi oleh planet kita, ini adalah tantangan yang paling serius.

Lapisan atmosfer melindungi kita dari radiasi Ultraviolet, dan jika lapisan ozon rusak, sinar tersebut dapat masuk kemudian menyebabkan kanker kulit dan mengganggu sistem kekebalan kita. Itulah sebabnya ketika tahun 1983, sebuah lubang besar pada lapisan ozon tampak di atas daerah Antartika dan pada negara-negara sekitarnya, hal tersebut membangkitkan peringatan besar dari khalayak umum.

Beberapa tahun kemudian, lubang yang sama tampak di atas hemisphere bagian Utara. Dari peristiwa itu diketahui bahwa penipisan ozon tersebut diakibatkan oleh kloroflurokarbon (CFC), bahan kimia yang digunakan dalam pendingin ruangan, lemari es, dan propelan. Protokol Montreal menyerukan kepada semua negara untuk mengurangi setengah emisi CFC mulai tahun 1997.

Perubahan iklim adalah masalah yang berkaitan dengan hal ini. Pemanasan permukaan bumi (hal yang sangat esensial bagi kelangsungan planet kita) diakibatkan oleh kombinasi dari radiasi sinar matahari dan radiasi inframerah yang dipantulkan ke angkasa. Ini disebut "efek rumah kaca." Polusi atmosfir oleh "gas-gas yang menyebabkan efek rumah kaca" (khususnya karbondioksida) mengurangi emisi inframerah dan meningkatkan temperatur dari permukaan bumi. Inilah gambaran dari pemanasan global yang sangat mungkin dapat mengakibatkan malapetaka terhadap susunan geografis dunia dan pola iklim. [6]

Berefleksi dari empat bahaya terhadap lingkungan ini, kita dapat melihat bahwa planet kita sedang ada dalam bahaya yang besar. "Krisis" bukanlah kata yang terlalu dramatis untuk digunakan. Respons seperti apa yang tepat dalam situasi seperti ini? Untuk memulainya, kita patut berterima kasih bahwa pada akhirnya di tahun 1992, pertemuan yang disebut "Earth Summit" (KTT tentang Bumi) dilangsungkan di Rio de Janeiro dan dihasilkan sebuah kesepakatan "global sustainable development". Pertemuan-pertemuan berikutnya telah memberi kepastian bahwa persoalan-persoalan lingkungan hidup telah menjadi perhatian para pemimpin dunia.

Namun, di samping pertemuan-pertemuan para pemimpin ini, beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) telah bermunculan. Saya hanya akan menyebutkan dua organisasi Kristen yang paling terdepan, yakni "Tearfund" dan "A Rocha", keduanya baru saja merayakan hari jadi mereka yang spesial (masing-masing 40 tahun dan 20 tahun).

"Tearfund" didirikan oleh George Hoffman, berkomitmen pada pengembangan dalam makna yang luas, dan bekerja sama secara dekat dengan "partner" di negara-negara berkembang. Kisah yang sangat indah dari "Tearfund" telah didokumentasikan oleh Mike Hollow dalam bukunya A Future and a Hope.[7]

"A Rocha" memiliki perbedaan sebab berada pada lingkup yang lebih kecil. Lembaga ini didirikan pada tahun 1983 oleh Peter Harris, yang telah mendokumentasikan pertumbuhan lembaga ini dalam dua buku: Under the Bright Wings (sepuluh tahun pertama dari organisasi ini) dan Kingfisher`s Fire (memberikan informasi aktual dari kisah lembaga ini).[8] Perkembangan yang perlahan namun terus-menerus dari lembaga ini sangat mengagumkan, saat ini mereka bekerja di delapan belas negara, mendirikan pusat studi keilmuan di semua benua di dunia.

Dalam hal inilah pekerjaan kita semestinya menjadi sebuah ekspresi dari ibadah kita, sebab kepedulian kita terhadap lingkungan akan mencerminkan kasih kita terhadap Sang Pencipta.

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Merupakan hal yang sangat baik untuk memberi dukungan kepada LSM-LSM Kristen yang bergerak di bidang lingkungan hidup, namun apa bentuk tanggung jawab pribadi kita? Saya mengizinkan Chris Wright untuk menjawab pertanyaan ini, Apa yang dapat dilakukan oleh seorang murid yang radikal bagi alam ciptaan ini?

Chris memimpikan hadirnya sekumpulan besar orang-orang Kristen yang peduli dengan alam dan mereka memegang tanggung jawab lingkungan hidup secara serius: "Mereka memilih untuk menggunakan bentuk-bentuk energi yang dapat bertahan lama ketika memungkinkan. Mereka mematikan alat-alat elektronik yang tidak diperlukan. Mereka membeli makanan, barang-barang, dan layanan sedapat mungkin dari perusahaan-perusahaan yang dalam etikanya memberlakukan kebijakan-kebijakan terhadap lingkungan hidup. Mereka bergabung dalam perhimpunan-perhimpunan konservasi lingkungan hidup. Mereka menghindarkan diri dari konsumsi yang berlebihan dan limbah yang tidak diperlukan dan menggunakan bahan- bahan daur ulang sebanyak mungkin." [9]

Chris juga rindu melihat semakin banyaknya orang-orang Kristen yang turut menyertakan kepedulian terhadap lingkungan hidup dalam pemahaman alkitabiah mereka terhadap misi: "Pada waktu lampau, kekristenan secara spontan sangat peduli terhadap isu-isu yang besar dan penting dalam setiap generasi .... Hal-hal ini termasuk bahaya dari penyakit, perbudakan, dan bentuk-bentuk kekejaman dan eksploitasi dalam berbagai bentuk. Orang-orang Kristen mengambil tanggung jawab bagi para janda, anak-anak yatim piatu, pengungsi akibat peperangan, tawanan perang, orang-orang sakit jiwa, orang-orang kelaparan -- dan yang terkini makin banyak orang-orang Kristen yang berkomitmen untuk 'membuat kemiskinan tinggal sejarah'."

Saya ingin menggemakan kesimpulan Chris Wright yang mengesankan: "Ada satu hal yang bagi saya sulit dijelaskan, mengapa ada sebagian orang Kristen yang mengklaim bahwa mengasihi dan menyembah Allah juga menjadi murid Yesus, tetapi tidak punya kepedulian terhadap bumi yang justru membuktikan secara sah kepemilikan Allah. Mereka tidak peduli terhadap penyalahgunaan bumi dan bahkan, oleh gaya hidup mereka yang boros dan terlampau konsumtif, mereka juga termasuk di dalamnya. Allah menghendaki... kepedulian kita terhadap ciptaan, mencerminkan kasih kita kepada Sang Pencipta." [10]

"Sesungguhnya, TUHAN, Allahmulah yang empunya langit, bahkan langit yang mengatasi segala langit, dan bumi dengan segala isinya." (Ulangan 10:14)

Keterangan:
[1] IVP, 2000.
[2] IVP, 1984
[3] Diadaptasi dengan izin dari Kata Pengantar saya dalam buku The Care of Creation. Dua buku baru yang sangat berguna tentang pokok ini adalah R.J. Berry (ed.), When Enough is Enough: A Christian Framework for Environmental Sustainability (Appollos, 2007) dan Dave Bookless, Planetwise: Dare to Care for God`s World (IVP, 2008).
[4] "1 milyar" digunakan di Inggris yang berarti satu juta juta. Namun kini istilah ini hampir merupakan ungkapan universal untuk seribu juta.
[5] Sphere, 1973.
[6] Untuk isi dari bab ini lihatlah Bab 5, Caring for Creation dalam John Stott, Issues Facing Christian Today (Zondervan, 4th edition, 2006,), sepenuhnya telah diperbarui oleh Roy McCloughry.
[7] Monarch Books, 2008
[8] Peter Harris, Under the Bright Wings (Regent College Publishing,2000); Kingfisher`s Fire (Monarch, 2008)
[9] Kutipan ini dan selanjutnya diambil dari buku Chris Wright, The Mission of God (IVP, 2008)
[10] Dikutip dari kata pengantar John Stott untuk The Care of Creation.

Audio: Kepedulian Terhadap Ciptaan

Sumber: 

Diambil dari:

Judul asli buku: The Radical Discipline
Judul buku : The Radical Discipline (Murid yang Radikal)
Judul artikel : Kepedulian terhadap Ciptaan
Penulis : John R.W. Stott
Penerjemah : Perdian K.M. Tumanan
Penerbit : Literatur Perkantas Jawa Timur, Surabaya 2010
Halaman : 45 -- 54

Mengenal Hati Allah Bagi Dunia

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Akhir-akhir ini, saya tergerak oleh panggilan Allah untuk menjadi orang yang peduli pada orang yang bukan Kristen. Saya sering kali menyadari bahwa saya tidak punya teman non-Kristen. Dulu, saya tidak peduli dengan hal ini, bahkan membuat alasan yang merasionalisasikan pikiran saya itu -- "tentu saja saya tidak mempunyai teman non-Kristen karena saya ada di pelayanan Kristen, sehingga tidak ada kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang non-Kristen." Akan tetapi, benarkah demikian? Tentu saja tidak. Saya jadi bertanya-tanya pada diri sendiri, mengapa saya tidak peduli? Sekarang, saya tahu jawabannya: karena saya sedang tidak melayani mereka. Oleh karena itu, di tengah kesibukan saya beberapa waktu ini, saya berdoa, "Tuhan, berikan kepada saya ide untuk terlibat dalam pelayanan kepada orang non-Kristen."

Tuhan menjawab dengan artikel yang saya kirim kepada Anda semua di bawah ini dan menjadi salah satu pendorong saya untuk mencari tahu bagaimana mulai melibatkan diri dalam pelayanan kepada orang non- Kristen. Saya semakin menyadari bahwa selama ini, saya bukan saja tidak peduli pada orang non-Kristen, tetapi juga sedang tidak mempedulikan hati Allah bagi dunia. Saya sunggu merasa tertegur. Karena itu, saya ingin membagi artikel ini dengan Anda semua. Semoga Tuhan juga berbicara kepada Anda, sama seperti Ia telah berbicara kepada saya.

Selamat membaca dan merenungkan.

Redaksi e-Reformed,
Yulia Oeniyati
< yulia(at)in-christ.net >
< http://reformed.sabda.org >

Penulis: 
Amy Brooke
Edisi: 
131/Agustus 2012
Tanggal: 
30 Agustus 2012
Isi: 

Mengenal Hati Allah Bagi Dunia

Saat itu, saya berusia lima belas tahun dan keluarga saya sedang berada di sebuah pantai di East Coast (pesisir Timur Amerika). Pada suatu sore ketika saya dan salah satu saudara perempuan sedang mencuci rakit di genangan air pasang, seorang gadis kecil dan anak laki-laki menceburkan diri di dekat kami. Sebuah pikiran melintas di benak saya: "Katakan pada mereka untuk tidak bermain di sini". Tetapi, saya mengabaikannya. Adalah tugas orang tua mereka untuk menjaga mereka. Beri tahu mereka tentang kedalaman air itu adalah pikiran saya berikutnya. Mungkin saya harus mengatakan sesuatu pada mereka. Namun sekali lagi, saya beralasan itu bukan tanggung jawab saya.

Saya mencelupkan rakit saya sekali lagi dan mulai mengikuti keluarga saya. "Amy!" Saya mendengar nama saya dipanggil dengan jelas dari arah belakang (padahal tak seorang pun yang saya kenal ada di sana). Saya berbalik dan melihat anak laki-laki kecil itu tenggelam, dan saudara perempuannya berjuang mempertahankan diri agar tetap mengapung di atas air. Saya menarik gadis kecil itu dan saudara perempuan saya menarik anak laki-laki itu dari air, yang bahkan kami hampir tidak dapat menyentuh dasarnya.

Saya tidak tahu apakah Allah yang memanggil nama saya. Meskipun saya tidak tahu nama mereka atau dari mana asal mereka, saya pasti tidak dapat memaafkan diri saya jika saya tidak menolong mereka. Mengingat kembali peristiwa itu, saya menyadari bahwa saya hampir saja melewatkan kesempatan berharga untuk terlibat dalam hidup orang lain hanya karena pikiran bahwa itu bukanlah tanggung jawab saya.

Yunus: Misionaris Ogah-ogahan

Sebagai seorang nabi Allah, tugas Yunus adalah menyampaikan kepada orang-orang tentang segala sesuatu yang Allah ingin mereka ketahui. Ketika Allah menyuruh Yunus pergi dan memperingatkan kota Niniwe tentang penghakiman yang akan datang, ia menolak. Mengapa ia harus pergi memperingatkan orang-orang Asyur yang kotor itu? Mereka menyembah allah lain dan menaklukkan orang Israel, bangsanya. Mereka tidak pantas menerima sebuah peringatan. Yunus berpikir bahwa penghakiman Allah atas mereka merupakan ide yang bagus. Dan jika Allah butuh ide-ide tentang apa yang harus Dia lakukan terhadap mereka, Yunus bisa memberikannya.

Setelah mengalami banyak hal untuk meyakinkannya (termasuk pelayaran ala kapal selam dalam perut ikan besar), akhirnya Yunus melaksanakan apa yang Allah perintahkan dengan enggan. Tepat seperti yang ditakutkan Yunus, orang Niniwe bertobat! Mereka berbalik dari tingkah laku mereka yang jahat dan Allah menangguhkan penghakiman-Nya. Yunus begitu marah atas kemurahan hati Allah, ia ingin mati saja. Merasa dimanfaatkan dan disalahpahami, Yunus mengembara ke padang gurun.

Menjadi seorang Kristen dunia dan menjadi seorang murid adalah hal mengembangkan sebuah hati yang semakin mirip dengan hati Allah sendiri.

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Allah memutuskan bahwa ini adalah waktu yang tepat untuk memberi pelajaran kepada Yunus. Melihat ketidaknyamanan Yunus di bawah terik matahari, Allah secara ajaib menumbuhkan pohon jarak untuk menaungi Yunus. Tetapi keesokan harinya, Allah mendatangkan seekor ulat yang menggerek pohon jarak itu, sehingga layu dan mati. Ini benar-benar menjengkelkan hati Yunus.

Tetapi firman Allah kepada Yunus, "Layakkah engkau marah karena pohon jarak itu?" "Ya," jawabnya. "Selayaknyalah aku marah sampai mati." Tetapi, Allah berfirman, "Engkau sayang kepada pohon jarak itu, yang untuknya sedikit pun engkau tidak berjerih payah dan yang tidak engkau tumbuhkan, yang tumbuh dalam satu malam dan binasa dalam satu malam pula. Bagaimana tidak Aku akan sayang kepada Niniwe, kota yang besar itu, yang berpenduduk lebih dari 120.000 orang, yang semuanya tak tahu membedakan tangan kanan dari tangan kiri, dengan ternaknya yang banyak?" (Yunus 4:9-11, NIV)

Yunus adalah seorang yang kurang peduli terhadap orang-orang di luar Israel. Ia lebih sedih karena kematian pohon jarak ketimbang kemungkinan binasanya 120.000 orang Niniwe. Ia kurang mengenal hati Allah.

Pada tahun 1995, terjadi gempa bumi yang dahsyat di Kobe, Jepang. Saya bergidik saat melihat gambar gedung-gedung yang roboh. Saya cemas apakah ayah saya dan istrinya baik-baik saja karena mereka tinggal di sana.

Tinggal di daerah Midwest, saya tidak terlalu memedulikan peringatan adanya angin topan. Tetapi pada bulan Juli 1996, angin topan Greta mengancam pantai Florida. Saya memedulikannya karena saudara perempuan, kakak ipar, dan keponakan-keponakan saya yang masih kecil terancam oleh amukan Greta.

Setiap kali mendengar berita, saya mendengar cerita-cerita tentang banyak orang yang mati akibat perang, bom-bom teroris, kelaparan, gempa bumi, dan banjir. Hal-hal seperti itu sudah terjadi di sepanjang hidup saya. Namun, jika tidak ada seorang pun yang saya kenal terlibat dalam musibah itu, berita-berita itu jarang sekali memengaruhi emosi saya. Saya lebih mirip Yunus ketimbang yang saya inginkan.

Yang saya inginkan adalah tidak menjadi seperti Yunus, tetapi menjadi seorang "Kristen Dunia" -- seseorang yang memunyai sebagian hati Allah untuk semua orang di semua tempat. Seorang Kristen dunia bukan hanya seorang misionaris di negara yang jauh. Pesan kristiani sama dibutuhkannya di negara Barat maupun di negara berkembang di dunia. Menjadi seorang Kristen dunia dan menjadi seorang murid adalah hal mengembangkan sebuah hati yang semakin mirip dengan hati Allah sendiri.

Titik awal bagi proses "bedah jantung" semacam itu adalah firman Allah. Salah satu cara saya memandang Kitab Suci adalah dengan membaginya menjadi tiga bagian sederhana: penciptaan (Kejadian 1 dan 2), kejatuhan (Kejadian 3), penebusan (Kejadian 4 - Wahyu). Mempelajari Kitab Suci menunjukkan kepada kita bahwa hati Allah bertekad membawa kembali dunia yang sudah jatuh kepada relasi dengan Dia. Upaya-Nya untuk melaksanakan tekad itulah yang merupakan sebagian besar isi Kitab Suci. Kitab Suci menjelaskan dengan gamblang bahwa Allah mengharapkan umat-Nya mau bergabung dengan-Nya dalam upaya itu.

Sebuah Janji dan Sebuah Berkat

Ketika Allah berfirman kepada Abram (kemudian dikenal sebagai Abraham) untuk meninggalkan rumahnya dan pergi ke negeri yang jauh, Dia juga memberi sebuah janji kepada Abraham. "Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur, `dan engkau akan menjadi berkat`. Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, `dan olehmu semua kaum di bumi akan mendapat berkat`." (Kejadian 12:2-3).

Ini adalah suatu janji yang ajaib: membuat satu orang menjadi sebuah bangsa. Itulah yang akan saya tangkap jika saya menjadi Abram. Artinya: "Saya akan menjadi orang yang benar-benar penting!" Tetapi, Allah tidak akan membuat Abram masyhur untuk kepentingan Abram sendiri, tetapi untuk kepentingan manusia yang lain. "Sehingga engkau akan menjadi berkat... melalui engkau seluruh umat manusia di bumi akan diberkati." Maksud Allah adalah keturunan dari Abram akan menjadi bagian rencana penebusan dunia. Galatia 3:29 mengatakan bahwa sebagai orang Kristen, kita adalah keturunan Abraham (Abram).

Memainkan bagian dalam penebusan dunia adalah rencana Allah bagi gereja mula-mula dan rencana-Nya bagi kita saat ini. Kalimat perpisahan Yesus dengan murid-murid-Nya adalah, "Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman." (Matius 28:19-20)

Menjadi Orang Kristen Dunia

Sebelum menjadi seorang "Kristen Dunia", saya perlu menyatakan rasa tanggung jawab saya untuk terlibat (dalam masalah orang lain). Yesus menceritakan sebuah kisah dalam Matius 25, tentang seseorang yang memunyai tiga hamba. Ia memberi hambanya yang pertama 10 talenta, hamba kedua 5 talenta, dan hamba ketiga 1 talenta. Dua hamba yang pertama menjalankan uang untuk mendapatkan laba. Tuannya merasa puas. Hamba yang ketiga menyembunyikan talentanya. Ketika tuannya meminta perhitungan, ia tidak dapat menunjukkan apa-apa kepada tuannya. Karena hamba tersebut tidak mempergunakan uang itu untuk mendapatkan keuntungan bagi tuannya, ia kemudian dilempar keluar. Allah mengharapkan kita untuk bertanggung jawab tentang cara kita menggunakan sumber daya, uang, waktu, keterampilan, dan kemampuan kita.

Amanat Agung

Belajar tentang misi dan budaya-budaya yang berbeda memampukan saya untuk berdoa secara spesifik. Allah menjawab doa-doa umum, tetapi mendapatkan lebih banyak informasi mengenai sebuah negara memungkinkan kita untuk berdoa secara spesifik. Saya pernah berada dalam satu kelompok yang berdoa untuk Albania, dan bersyukur kepada Tuhan karena mengira Albania adalah negara dengan mayoritas Kristen. Sayangnya, itu tidak benar. Menurut "Operation World", Albania adalah negara termiskin di Eropa, dengan angka pengangguran sekitar 70 persen. Negara ini pernah menjadi bagian dari rezim komunis, yang mencoba untuk menghapuskan semua agama. Sekarang ini, 41,9 persen dari penduduk Albania tidak beragama, 40 persen Muslim, dan hanya 18 persen penduduk Albania adalah Kristen. Dengan mengetahui sedikit lebih banyak mengenai Albania, doa-doa saya lebih bisa menyentuh kebutuhan yang sesungguhnya.

Proyek-proyek yang baik melebihi kemampuan saya untuk menginvestasikan diri saya dan segala sumber daya saya di dalamnya. Dengan belajar dan berdoa, saya dapat membiarkan Allah mengarahkan sumber daya saya. Ketika sebuah kelompok meminta sumbangan dan ketika mempelajari kegiatan mereka, saya menemukan praktik-praktik yang bertentangan dengan Alkitab. Saya menjadi peka dan mengerti bahwa Allah tidak menginginkan saya menggunakan sumber daya-Nya untuk mendukung hal-hal seperti itu. Hal yang lebih berat lagi adalah ketika ada beberapa proyek yang semuanya baik untuk berinvestasi di dalamnya. Pada situasi seperti itu, Allah memberi kebebasan untuk memilih sesuai dengan kepribadian kita. Kita juga dapat menentukan kebutuhan mana yang lebih penting.

Sumber-sumber untuk menjadi seorang "Kristen Dunia":

  1. Dapatkan sebuah buku "Operation World" oleh Jason Mandryk untuk mengetahui bagaimana berdoa secara khusus untuk berbagai bangsa! Buku ini diperbarui secara teratur, jadi carilah edisi terakhir. [Buku ini diterbitkan oleh Katalis -- divisi penerbitan Yayasan Gloria. Informasi lebih lanjut , Red]

  2. Gunakan internet untuk mencari informasi tentang berbagai negara!

  3. Gunakan internet untuk mencari sahabat dari negara yang diinginkan!

  4. Tulislah surat kepada kedutaan besar dari negara yang Anda minati untuk memperoleh lebih banyak informasi!

  5. Berkomitmenlah untuk terus mengikuti berita-berita dunia atau sekurang-kurangnya berita dari satu atau dua negara yang diminati!

  6. Berkenalanlah dengan pelajar-pelajar dari mancanegara!

  7. Carilah keterangan tentang misionaris-misionaris yang didukung oleh gereja Anda! Pikirkanlah untuk berkorespondensi dengan salah satu dari mereka!

  8. Pertimbangkanlah untuk menghadiri "Urbana Mission Convention", yang diselenggarakan oleh InterVarsity setiap tiga tahun sekali! Informasi lebih lanjut kunjungi < www.gospelcom.net/iv >.

Contoh lain ialah ketika saya memutuskan untuk menjadi sukarelawan, tetapi tidak mengetahui kebutuhan sebenarnya. Melalui buku petunjuk daerah, saya memperoleh informasi tentang kurang lebih tiga puluh kelompok berbeda yang membutuhkan pertolongan. Saya menelusuri petunjuk itu dan menandai yang cocok bagi saya, menelepon beberapa, dan berdoa. Akhirnya, saya memutuskan untuk menjadi tenaga sukarela di panti asuhan anak-anak. Keputusan ini saya ambil setelah saya melakukan penelitian terlebih dulu.

Walaupun kasus-kasus khusus kadang kala muncul, saya cenderung memberi dan mendoakan beberapa kelompok saja. Ini memungkinkan saya membangun relasi dengan orang-orang yang saya dukung. Sebagai seseorang yang menggalang dukungan keuangan, saya tahu betapa dipedulikan dan didukungnya perasaan saya ketika orang-orang terus setia menemani saya dalam jangka panjang. Mereka juga adalah orang-orang yang mengetahui semua pelayanan saya, dan bagaimana cara berdoa secara khusus untuk mendukung saya.

Mungkin alasan terbaik untuk menjadi seorang Kristen dunia adalah perubahan yang terjadi, yang muncul dari dalam diri kita. Setelah enam minggu di Rusia, saya sudah ingin pulang. Saya ingin bisa makan tanpa bertanya-tanya terlebih dulu apa yang saya makan, minum tanpa merebusnya terlebih dahulu, mengerti segala sesuatu yang dikatakan kepada saya, mengendarai mobil saya, memakai bantal bulu, tidak harus menukarkan mata uang, menggunakan mesin cuci dan pengeringnya, dan lain-lain. Saya tidak berharap merindukan Rusia. Setelah sebulan pulang, saya mendapati diri saya tertarik akan koran dan berita-berita yang memuat apa pun tentang Rusia. Hati saya berlonjak gembira pagi ini ketika memperoleh email dari seorang Rusia yang saya kenal dalam perjalanan saya ke sana. Sesuatu telah berubah selama hari-hari saya di sana. Entah hati saya yang membesar atau dunia yang semakin mengecil. Mungkin keduanya. Hati saya terlihat semakin mirip dengan hati Allah.

Misi-Misi Jangka Pendek: Memberi Dunia Sebuah Wajah

Namun, kecuali Allah mengatur kembali hidup saya, saya sangsi bahwa saya akan menjadi misionaris jangka panjang ke luar negeri. Itu tidak masalah. Allah memakai orang yang berbeda-beda dengan cara yang berbeda pula. Setelah berkata demikian, kita seharusnya mengambil kesempatan untuk pergi dalam jangka pendek. Berbagai badan misi memunyai proyek-proyek yang berkisar dari satu minggu sampai dua bulan. Cara yang baik untuk memperoleh keterangan tentang mereka adalah dengan mengikuti semacam "Urbana Mission Conference", yang diselenggarakan oleh InterVarsity Christian Fellowship. Juga gereja-gereja daerah sering mensponsori perjalanan-perjalanan singkat. Pergi bersama gereja Anda memungkinkan Anda untuk ambil bagian dalam hati Allah bagi dunia, juga membangun relasi dalam gereja Anda.

Sebelum saya pergi ke Rusia, wajah-wajah yang saya asosiasikan dengan Rusia adalah milik Lenin, Stalin, Gorbachev, Yeltsin, dan siapa pun yang kebetulan berkuasa dan menghiasi berita-berita pada pukul 6 sore. Sekarang, jika saya mendengar orang berbincang tentang Rusia, saya teringat Tatiana, teman sekamar saya dalam perjalanan itu yang akhirnya datang pada Penelaahan Alkitab kami yang terakhir; Olga, seorang Kristen yang masih muda tapi bertumbuh; Elena yang keluarganya bekerja dari pukul 7 pagi sampai pukul 2 malam untuk menyediakan hidangan khusus bagi kami dan yang menangis ketika kami pergi; Basil, yang mulai membaca Alkitab yang diberikan kepadanya; Alexa; dan yang lainnya. Pergi dalam misi jangka pendek membantu kita melihat mengapa Allah begitu peduli kepada semua orang di dunia. Ketika Anda diutus untuk misi jangka pendek, dunia tiba-tiba memunyai wajah.

Cara lain untuk menemukan wajah dunia adalah dengan terlibat dalam melintasi budaya secara lokal. Ini dapat terjadi dengan memilih untuk mengunjungi suatu gereja, yang sebagian anggotanya berbeda ras dari Anda. Ini bisa berarti Anda membantu dapur umum atau badan misi lokal. Ini dapat berarti menjangkau mahasiswa-mahasiswa internasional di perguruan tinggi lokal, atau mereka yang bekerja pada perusahaan Anda. Ke mana saja dan dengan cara apa pun, ini berarti mengenal seseorang dari budaya lain pada level pribadi.

Misi-Misi Jangka Panjang: Mengubah Wajah Dunia

Yesus berfirman kepada murid-murid-Nya, "Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Karena itu mintalah pada tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja tuaian itu." (Matius 9:37-38) Walaupun kita bisa menjadi bagian penuaian di rumah, penting bagi kita untuk bertanya, "Apakah Allah meminta saya untuk melayani sebagai utusan jangka panjang di luar negeri?"

Statistik yang dikutip dalam "The New Context of World Mission" sangat mengejutkan. Mereka menunjukkan kebutuhan besar di seluruh dunia. Di bagian-bagian dunia yang paling sedikit diinjili (negara-negara seperti Bangladesh, sebagian negara China dan India, Pakistan, Turki, dan Myanmar), ada lebih dari 1,1 miliar orang yang mungkin tidak akan mendengar Injil kecuali seseorang datang kepada mereka. Lima ratus kelompok orang di wilayah ini tidak pernah mendengar tentang kebenaran mengenai Yesus, dan dari 332.000 misionaris yang ada di dunia, hanya empat ribu yang tersebar di sana.

Jika engkau berpikir untuk ikut ambil bagian dalam pelayanan ke luar negeri untuk jangka panjang...

  1. Kenalilah Alkitab! Temukan seseorang untuk membantu Anda belajar tentang firman Allah secara mendalam!

  2. Terlibatlah dalam persekutuan setempat! Anda akan membutuhkan dan menginginkan gereja Anda untuk mendukung Anda dalam doa-doa, dorongan semangat, dan keuangan.

  3. Cari tahu seperti apa "hidup di ladang pelayanan"! Berbicaralah dengan misionaris jika Anda memiliki kesempatan!

  4. Bacalah biografi dan otobiografi dari para misionaris!

  5. Berilah tumpangan bagi para misionaris yang sedang cuti!

  6. Telitilah badan-badan misi (Urbana Missions Conference adalah tempat yang bagus untuk diperkenalkan kepada ratusan badan misi yang bagus)!

  7. Carilah seorang mentor! Berbicaralah dengan pendeta Anda! Biarkan orang-orang mengetahui apa yang Anda pikirkan, sehingga mereka dapat membimbing Anda!

  8. Berdoalah untuk masa depan Anda!

  9. Berdoalah untuk para misionaris yang ada sekarang!

  10. Ikutilah berita-berita dari belahan dunia yang menarik hati Anda!

  11. Cari tahu pendidikan, keterampilan, atau bahasa apa yang mungkin Anda perlukan!

  12. Mengambil bagian dalam misi jangka pendek.

  13. Pertimbangkanlah untuk bekerja di sebuah kantor bisnis sekuler di luar negeri (yang disebut juga pembuat tenda/tentmaking) dan membagikan Injil! Orang-orang bisnis diizinkan masuk ke negara-negara di mana visa misionaris dibatasi atau mustahil diperoleh.

Apakah Allah berbisik (atau berteriak) di telinga Anda agar Anda terlibat? Apakah Anda berpikir bahwa itu semua bukan tanggung jawab Anda, bahwa orang lainlah yang akan berdoa, memberi, atau pergi? Pikirkanlah lagi! Tanyakanlah pada diri Anda sendiri, "Apakah hatiku mirip dengan hati Yunus atau hati Allah?" Ambillah beberapa langkah hari ini untuk membuatnya mirip dengan hati Allah. Hati seorang murid haruslah mencerminkan hati Allah.

Menjalankan Iman Anda

  1. Gambarkan perbedaan hati Allah dan hati Yunus! Apakah hati Anda lebih menyerupai hati Yunus atau Allah? Mengapa?

  2. Bukti apa yang ada dalam Alkitab tentang kepedulian Allah bagi seluruh dunia?

  3. Sebutkan tiga peristiwa utama yang terjadi di dunia minggu lalu! Jika Anda tidak tahu, pergilah ke perpustakaan dan carilah di koran-koran internasional! Menurut Anda, bagaimana perasaan Allah tentang peristiwa-peristiwa tersebut? Bagaimana perasaan Anda sendiri?

  4. Langkah-langkah apa yang dapat Anda ambil hari ini untuk menjadi seorang Kristen dunia?

Bacaan yang Disarankan

  1. "Your Mission, Should You Accept It" oleh Stephen Gaukroger, InterVarsity Press.

  2. "Shadow of the Almighty" oleh Elisabeth Elliott, Harper, San Fransisco.

  3. "Six Dangerous Questions to Transform Your View of the World" oleh Paul Borthwick, InterVarsity Press.

Sumber: 

Diambil dari:

Judul asli buku :Faith on the Edge
Judul buku terjemahan :Iman di Saat Krisis: Tetap Setia Mengikut Yesus
Judul bab :Mengganggu Dunia
Penulis :Amy Brooke
Penerjemah :Iwan Wibowo
Penerbit :Literatur Perkantas, Jakarta 2010
Halaman :168 -- 177

Pandangan Tentang Waktu

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Setelah sekian lama tidak berjumpa, senang sekali akhirnya kami bisa menjumpai lagi para pelanggan e-Reformed. Doa kami, kiranya Anda memaafkan keabsenan e-Reformed selama satu setengah tahun terakhir ini dan menyambut baik kemunculan kembali e-Reformed di tahun 2012.

Edisi Januari 2012 di bawah ini ingin mengajak Anda untuk merenungkan kembali tentang konsep WAKTU, sebuah artikel yang kami ambil dari buku yang berjudul "Waktu dan Hikmat" yang merupakan transkrip khotbah dari Pdt. Dr. Stephen Tong.

Melalui perenungan artikel ini saya berharap Anda akan lebih berhati-hati menggunakan waktu Anda, dan menggunakannya untuk sesuatu yang bermakna kekal. Kalau selama ini Anda hanya melewatkan waktu seadanya saja, tanpa dipikirkan, semoga setelah membaca artikel ini Anda bertobat dan bisa menjadi lebih berhikmat karena tahu bahwa waktu adalah anugerah kesempatan yang Tuhan berikan untuk melakukan apa yang berkenan kepada-Nya, yaitu memuliakan nama-Nya. Mari kita menjalani tahun 2012 dengan cara pandang waktu yang alkitabiah sehingga Tuhan dimuliakan melalui hidup kita dan kita tidak memakai hidup kita dengan sia-sia.

Selamat menyimak.

Pemimpin Redaksi e-Reformed,

Yulia Oeniyati
< yulia(at)in-christ.net >
< http://reformed.sabda.org >
Penulis: 
Pdt. Dr. Stephen Tong
Edisi: 
124/Januari 2012
Tanggal: 
01-02-2012
Isi: 
Pandangan tentang Waktu

Pandangan tentang Waktu

"Kita perlu pula memikirkan kembali pandangan orang-orang dunia mengenai waktu. Mereka sering berkata, 'Time is Money' -- Waktu adalah uang."

Apakah Waktu Itu?

Agustinus mengakui, "Kalau ditanyakan pada saya, baru saya sadar bahwa saya tidak mengerti apa itu waktu." Seorang sastrawan Cina pernah berkata, "Waktu adalah sesuatu yang tidak kelihatan, tetapi begitu nyata." Pada waktu kita berjalan, waktu itu lewat di antara kaki kita. Pada waktu kita tidur, "waktu" sedang lewat di sekitar tempat tidur kita. Ini semua memberikan keinsafan kepada kita, bahwa waktu sedang kita pakai, baik secara sadar maupun tidak. Kita sedang menjelajah di dalam sejarah, memakai waktu yang diberikan Tuhan kepada kita.

Di dalam sejarah filsafat, kita melihat pada abad ke-20, kesadaran dan kepekaan tentang waktu yang ditulis oleh banyak orang. Salah seorang pemikir terbesar dari Jerman di abad ke-20, yang bernama Martin Heidegger (1889-1976), menulis buku Being and Time, (1927) -- Keberadaan dan Waktu, yang tebalnya lebih dari 1500 halaman. Kesimpulannya, manusia harus hidup secara otentik, hidup di dalam waktu. Akan tetapi, para penganut eksistensialisme yang lebih pesimis mengatakan bahwa, keadaan dari keberadaan akan ditelan oleh ketidakberadaan. Maksudnya, ketika waktu kita selesai, kita akan menjadi nihil. Ini bukan konsep Kristen, tetapi konsep ini sudah muncul dalam pemikiran beberapa tokoh eksistensialisme sayap kiri yang ateis, seperti Jean-Paul Sartre (1905-1980). Inilah pemikiran orang-orang yang belum mengenal kebenaran, keberadaan manusia menuju kepada keberadaan yang nihil atau kosong. Artinya, sekarang kita ada, hidup dan menikmati segala sesuatu. Akan tetapi, pada suatu hari, pada waktu kita mati, segalanya selesai dan tidak ada apa-apa.

Waktu

Kita sudah belajar bahwa salah satu hal yang paling sulit untuk kita mengerti mengenai waktu adalah realitas waktu itu sendiri. Ada beberapa butir yang penting mengenai waktu. Pertama, waktu merupakan sesuatu esensi proses di dalam dunia yang relatif; waktu berkaitan dengan proses. Segala sesuatu yang berada di dalam proses tidak bersifat mutlak. Ini dalil yang sangat penting. Hanya Allah yang bersifat mutlak. Allah adalah Pencipta langit dan bumi; Dia telah menciptakan dunia relatif, maka Dia sendiri tidak terikat atau terbatas di dalam dunia relatif. Itulah sebabnya Allah tidak memerlukan proses; Dia adalah "I Am that I Am" -- Yang Ada dan Kekal Sampai Kekal, Yang Tidak Berubah. Akan tetapi, kita semua yang diciptakan di dalam dunia mengalami proses, dan di dalam proses kita memerlukan waktu, dan proses mengalami suatu esensi waktu. Itulah sebabnya, waktu adalah esensi dari proses di dalam dunia relatif.

Kedua, waktu merupakan suatu harta milik yang bersifat paradoks dan eksistensi kita. Uang, rumah, mobil, emas, dan segala sesuatu yang kita miliki merupakan harta milik kita di luar diri kita, tetapi waktu merupakan harta milik di dalam diri kita. Jadi, waktu merupakan sesuatu yang begitu penting dan serius, karena waktu adalah harta milik yang selalu dijalankan oleh manusia. Banyak orang mementingkan uang, harta di luar diri mereka, dan menggantinya dengan harta di dalam diri mereka; sering kali mereka merasa menjadi orang yang sangat pandai karena bisa mendapatkan banyak uang. Namun, pada saat mereka kehilangan waktu yang ada dalam diri mereka untuk mendapatkan sesuatu yang nilainya kurang daripada waktu, mereka sebenarnya adalah orang-orang bodoh. Setelah mereka mendapatkan segala sesuatu, pada waktu mereka akan mati, mereka baru menyadari bukan saja semua itu tidak bisa dibawa mati, tetapi juga mereka sudah menghamburkan waktu yang penting untuk hal yang tidak bernilai kekal.

Uang memang penting dan kita perlukan, tetapi uang tidak pernah menjadi lebih penting daripada hidup kita. Mengapa kita harus menghabiskan waktu berpuluh-puluh tahun hanya untuk uang; beruang hanya untuk satu nilai? Salah satu penilaian yang paling tidak bernilai adalah penilaian yang diwarisi oleh kebudayaan Tionghoa, "Nilai satu-satunya adalah uang." Apakah bangsa yang paling mementingkan (mengejar) uang menjadi bangsa yang terkaya di dunia? Belum tentu! Sayang sekali, jika manusia tidak mempunyai tujuan hidup yang lain, kecuali mencari uang; mereka sebenarnya adalah orang-orang miskin. Kita tidak boleh lupa, waktu yang ada pada kita adalah harta milik yang sangat penting dan paling berharga, dan yang tidak dapat digantikan oleh apa pun.

Musa begitu sadar akan hal ini. Dia adalah orang pertama yang mendapat wahyu Tuhan tentang ciptaan, tentang segala perubahan, tentang banjir besar pada zaman Nuh, tentang permulaan dosa dan kematian, dan dia orang pertama yang mencatat sejarah manusia. Waktu Musa mencatat, dia menyadari orang pertama (Adam) 930 tahun umurnya, yang paling tua (Metusalah) 969 tahun. Nuh 950 tahun, Abraham 175 tahun, Harun 123 tahun, dan Musa sendiri 120 tahun. Sedangkan orang-orang sezamannya kebanyakan hanya berusia 70 sampai 80 tahun. Dari sinilah Musa mempunyai kesadaran yang belum pernah ada pada orang lain. Kesadaran ini begitu dalam di dalam diri Musa, sehingga dia menuliskan, "Tuhan, hari-hari kami dihanyutkan, dihanguskan di dalam gemas dan kemarahan-Mu".

Konsep waktu kita mengerti dengan jelas pada waktu kita mempunyai keadaan yang memiliki relasi dengan Tuhan Allah. Kalau kita tidak hidup tanpa kesadaran eksistensi menghadap Tuhan Allah, kita akan hidup tanpa kesadaran akan waktu. Inilah perbedaan antara manusia dengan binatang. Manusia diciptakan bagi Allah, dengan pengertian dan kesadaran menghadap Allah, maka manusia mempunyai kemungkinan kesadaran akan waktu, sedangkan binatang tidak. Binatang tidak pernah sadar bahwa waktu sedang memproses mereka menjadi tua dan mati. Musa adalah orang yang paling mengerti paradoks tentang waktu ini.

Ketiga, waktu merupakan suatu realitas yang berhubungan dengan ruang. Semua yang diciptakan Allah mempunyai tiga unsur yang paling penting, yaitu ruang, waktu, dan eksistensi. Ruang dan waktu merupakan wadah eksistensi segala yang diciptakan Allah. Maksudnya, Allah menciptakan segala sesuatu dan segala sesuatu itu ditaruh di dalam dua wadah, yaitu ruang dan waktu. Sering kali kita hanya memikirkan ruang sebagai wadah, padahal waktu pun merupakan wadah. Jadi, ruang dan waktu merupakan wadah yang menampung eksistensi kita; ini penting kita sadari. Dalam surat kabar, kedua wadah ini secara tidak sadar diakui, hari ini tanggal ..., terbit ... halaman. Demikian juga di batu-batu nisan, lahir di ..., tanggal/tahun ...

Banyak orang hanya memikirkan soal ruang; sudah berapa luas tanah yang mereka beli, rumah yang mereka miliki, uang dan kekayaan yang mereka punyai, dan sebagainya. Sedangkan soal waktu mereka sama sekali buta. Mengapa sering kali manusia hanya melihat ruang sebagai wadah dan kurang bisa memandang waktu juga sebagai wadah? Karena sebagai wadah, ruang kelihatan lebih konkret dibandingkan dengan waktu. Orang yang bijaksana mempunyai kepekaan terhadap waktu, dan waktu dengan ruang diseimbangkan; orang ini akan mempunyai kekuatan yang luar biasa di dalam hidupnya.

Pengertian dan kesadaran akan waktu ini penting sekali. Dan kalau kita mau menggarap pekerjaan Tuhan, kita tidak boleh membuang-buang waktu hanya untuk perselisihan dan saling mengkritik. Ada orang yang demikian sempit di dalam memandang Kerajaan Allah. Paulus berkata, "Asal Injil (Kristus) diberitakan, baik dengan maksud palsu maupun dengan jujur." (Filipi 1:18) Dia melihat waktu lebih penting daripada metode dan yang lainnya. Akan tetapi, ini tidak berarti motivasi kita di dalam melayani Tuhan tidak penting, karena kita akan bertanggung jawab di hadapan Tuhan.

Keempat, waktu merupakan kebutuhan bagi benda bergerak di dalam ruang. Pada waktu suatu benda di dalam ruang bergerak, mendatangkan dimensi yang keempat. Apakah hal-hal rohani termasuk dimensi keempat? Bukan, karena hal-hal rohani termasuk dimensi tidak terbatas. Kalau kita mengerti hal-hal rohani hanya di dalam dimensi keempat, ini akan menjadi sangat sempit (dangkal). Sebenarnya, istilah dimensi keempat ini sudah dipakai di dalam bidang fisika sebelum tahun empat puluhan oleh Albert Einstein; dia mengatakan bahwa ruang adalah tiga dimensi, tetapi waktu termasuk dimensi keempat. Pada waktu titik bergerak menjadi garis, garis bergerak menjadi bidang, bidang bergerak menjadi ruang, dan pada saat ruang bergerak memerlukan waktu; inilah yang dimaksud oleh Einstein sebagai dimensi keempat.

Dimensi keempat ini hanyalah merupakan suatu pelengkap dimensi ketiga (ruang); keduanya sama-sama diciptakan Allah sebagai wadah bagi ciptaan. Sedangkan hal-hal rohani, hubungan kita dengan Tuhan, termasuk dimensi tidak terbatas, jauh lebih tinggi daripada dimensi keempat; semua yang terbatas tidak mungkin mengerti hal rohani. Di dalam peribahasa Tionghoa kuno, alam semesta dilukiskan dengan dua istilah. Istilah pertama, berarti atas, bawah, dan keempat sudut. Istilah kedua berarti dulu, sekarang, dan selama-lamanya. Atas, bawah, dan keempat sudut melukiskan ruang. Dulu, sekarang, dan seterusnya melukiskan garis waktu. Maka, ruang dan waktu membentuk alam semesta. Demikianlah waktu merupakan dimensi yang keempat, yang memperlengkapi ketiga dimensi lain yang menjadi unsur pertama.

Pada waktu Musa sudah tua, dia mengetahui usianya sudah cukup panjang, dan dia sadar waktu hidupnya sudah semakin singkat. Dia mau masuk ke dalam tanah yang dijanjikan Tuhan; waktunya sudah terbatas, tetapi ruangnya masih banyak sekali. Lalu, dia mohon kepada Tuhan, "Izinkanlah aku masuk ke tanah yang Kau janjikan itu." Namun, Tuhan berkata, "Tidak, karena engkau pernah tidak menguduskan Aku di hadapan umat-Ku" (Bilangan 27:12-14; Ulangan 3:23-27; 32:48-52). Tuhan hanya memerintahkan Musa naik ke puncak gunung Pisga dan memandang tanah perjanjian itu, tetapi dia tidak diperkenankan masuk ke sana; ruangnya bisa dilihat, tetapi waktunya tidak ada lagi.

Kelima, waktu merupakan suatu wadah untuk menampung segala peristiwa sejarah. Sejarah dicatat dalam buku, tetapi sejarah tidak ditampung di dalam buku, melainkan di dalam waktu. Waktu membentuk sejarah. Waktu dan kejadian-kejadian yang berada di dalam kelangsungan proses waktu membentuk keseluruhan sejarah; dan ini merupakan suatu hal yang sangat serius. Wells, seorang sejarawan Inggris yang bukan Kristen, pernah berkata, "Setiap titik dari sejarah demikian dekat pada Allah." Sayangnya, kita tidak mempunyai kesempatan untuk menanyakan apa maksud perkataannya itu sebenarnya. Akan tetapi, kebanyakan orang yang menyelidiki sejarah memang mempunyai kepekaan yang luar biasa tentang waktu. Mengapa tidak semua yang terjadi di dalam waktu dicatat sebagai sejarah? Karena dianggap tidak bermakna. Hanya kejadian-kejadian yang bermakna yang dikumpulkan dan dicatat sebagai sejarah.

Konsep waktu kita mengerti dengan jelas pada waktu kita mempunyai keadaan yang memiliki relasi dengan Tuhan Allah.

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Di dalam bahasa Yunani (bahasa yang dipakai Allah untuk mewahyukan kebenaran Kitab Suci), kata yang dipakai untuk waktu ada dua, yaitu "kronos" dan "kairos". "Kronos" adalah urutan waktu, sedangkan "kairos" menunjukkan hakikat waktu. Orang Yunani sangat peka mengenai waktu, sehingga waktu dibagi ke dalam 64 tenses. Bahasa Inggris mempunyai 16 tenses. Bahasa Indonesia tidak mengenal sistem seperti ini. Kalau kita memelajari kebudayaan Yunani sebelum Kristus datang ke dunia, kita akan merasa kagum. Di dalam seni, mereka berusaha memakai ruang untuk menangkap waktu, dan hal ini diwariskan sampai Renaissance, bahkan hingga zaman modern. Lukisan, ukiran, dan patung-patung seni yang bermutu selalu berusaha menggabungkan ruang dan waktu. Banyak karya seni yang tinggi mencetuskan filsafat atau pikiran orang-orang yang berbobot, dan mengajar kita sebagai manusia yang pernah hidup di dalam dunia, untuk tidak membiarkan waktu kita lewat bersama ruang yang sekaligus menjadi wadah (penampung) dari eksistensi kita. Apalagi sebagai orang Kristen, kita harus mempunyai kepekaan mengenai waktu yang melebihi orang-orang yang bukan Kristen.

Konsep Mengenai Waktu

Kita perlu memikirkan kembali pandangan orang-orang dunia mengenai waktu. Mereka sering berkata, "Time is Money" -- waktu adalah uang. Pepatah ini bodoh sekali. Waktu bukan uang; kalau waktu adalah uang, maka kita bisa menukar waktu dengan uang. Ada peribahasa mengatakan, "Lebih mudah mencari uang dengan waktu, tetapi tidak mudah dengan uang mencari waktu." Pepatah Tionghoa kuno mengatakan, "Satu inci waktu sama dengan satu inci emas nilainya, tetapi satu inci emas tidak bisa menggantikan satu inci waktu." Kalau orang di Barat berkata, "Time is Money", maka orang di Timur (Tionghoa) berkata "Time is money, but money is not time". Kalau waktu bukan uang, bagaimanakah kita memandang waktu?

Waktu adalah Hidup

Berapa panjang hidup kita, itulah seberapa panjang waktu kita; selesai hidup kita, selesai pula waktu kita; berhentinya eksistensi kita ditentukan berhentinya waktu yang ada pada kita. Kalau kita benar-benar mencintai diri kita sendiri, cintailah waktu yang ada pada hidup kita sendiri. Apa yang dapat kita kerjakan sekarang, jangan tunda sampai besok; apa yang bisa kita pelajari di masa muda, jangan tunggu sampai tua. Berapa banyak orang yang menyesali hidupnya; mengeluh karena tidak mungkin memutar kembali (mengembalikan) sejarah atau waktu yang sudah lewat. Penyesalan merupakan suatu kesedihan yang perlu kita prihatinkan, tetapi kita tidak mempunyai daya apa-apa untuk menolong, karena penyesalan berarti mengakui ketidakberdayaan diri kita yang berada di dalam keterbatasan. Agar hidup kita tidak penuh penyesalan, kita harus cepat-cepat mengerjakan apa yang Tuhan inginkan kita kerjakan sekarang.

Waktu adalah Kesempatan.

terbenam

Sebenarnya waktu lebih daripada kesempatan, tetapi setiap kesempatan tidak mungkin berada di luar waktu. Semua kesempatan berada di dalam waktu. Hal ini tidak berarti kita boleh memilih setiap kesempatan berdasarkan interes (keinginan/kecenderungan) kita sendiri, tetapi kita harus peka terhadap pimpinan Tuhan, lalu kita menangkap semua kesempatan yang penting.

Di dalam mitologi Yunani, dewa kesempatan dilukiskan dengan kepala botak di bagian belakang dan rambutnya hanya di bagian depan, dan mempunyai sayap di kakinya, sehingga dewa kesempatan berjalan cepat sekali. Dewa kesempatan jarang lewat, maka manusia harus mencarinya. Kalau dewa kesempatan itu lewat dan manusia berusaha mengejarnya; ia tidak mungkin dapat mengejarnya, karena ia mempunyai sayap di kakinya. Lagi pula, kita tidak bisa menangkapnya dari belakang, karena kepala bagian belakangnya botak. Akan tetapi, kalau manusia sudah bersiap-siap untuk menangkapnya sebelum dia tiba, dan begitu dia tiba langsung menangkapnya, masih bisa menangkapnya dengan memegang rambutnya yang di depan. Kita tidak memercayai mitologi mana pun, tetapi di dalam mitologi seperti itu ada pelajaran yang bisa kita dapatkan. Hal ini digabungkan dengan tiga kalimat, "Orang bodoh selalu membuang kesempatan; orang biasa menunggu kesempatan; orang pandai (bijaksana) mencari kesempatan". Kalau hari ini kesempatan itu datang, biarlah kita sudah bersiap-siap menangkapnya. Ketika banyak kesempatan yang disodorkan kepada kita, kita harus memilih yang terpenting.

Hidup kita hanya sekali; kita tidak kembali lagi setelah mati. Kita harus mengerjakan apa yang Tuhan ingin kita lakukan selama hari masih siang, sebab pada waktu malam tidak ada seorang pun dapat bekerja (band. Yohanes 9:4).

Waktu adalah Catatan (Red.: "legacy" (Ingr))

Yakni catatan segala sesuatu di dalam hidup pribadi kita masing-masing. Tidak ada yang lebih serius dibandingkan dengan waktu, karena segala sesuatu dicatat di dalam waktu; segala sesuatu akan dan harus kita pertanggungjawabkan di hadapan Pencipta, Penebus, dan Hakim kita yang agung. Segala yang kita pikirkan dan kerjakan pasti akan memperhadapkan kita kepada Tuhan Allah, dan pada waktu itu kelak tidak ada seorang pun dapat menolong kita. Biarlah sekarang juga kita bertobat, meninggalkan segala dosa, memperbaiki kehidupan kita masing-masing, dan serahkan diri kepada Tuhan. Selama kita masih ada waktu untuk hidup, selama masih bereksistensi, selama masih diberikan kesempatan oleh Tuhan, biarlah kita gunakan waktu kita sebaik-baiknya.

Kita tidak mengetahui hidup kita di dunia ini berapa lama. Marilah kita masing-masing menanyakan diri kita sendiri, "Sebelum saya pergi menuju kekekalan, menghadap Tuhan, apa yang sudah saya persiapkan dan yang akan saya persembahkan kepada-Nya?" Biarlah setiap kita mempunyai kesadaran akan waktu.

Audio: Pandangan tentang Waktu

Sumber: 

Diambil dari:

Judul buku :Waktu dan Hikmat
Judul bab :Pandangan Tentang Waktu
Penulis :Pdt. Dr. Stephen Tong
Penerbit :Lembaga Reformed Injili Indonesia, Jakarta 1994
Halaman :29 -- 38

Melawan Kebohongan Gerakan Pengembangan Diri -- (Bagian 1)

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Saya minta maaf sebesar-besarnya karena untuk beberapa saat e-Reformed tidak mengirimkan artikel. Semoga dengan pengiriman ini, Anda tidak lagi perlu menunggu. Doakan juga supaya pengiriman selanjutnya bisa kembali dilakukan secara teratur.

Kali ini saya mengirimkan sebuah artikel yang cukup panjang, karena itu saya akan membaginya menjadi dua bagian (dalam dua surat terpisah). Artikel ini adalah salah satu bab dari buku yang berjudul: "Help Yourself; Today's Obsession with Satan's Oldest Lie". Buku ini sangat menarik karena ditulis oleh seorang yang sangat prihatin melihat perkembangan gerakan pengembangan diri yang dilakukan oleh motivator-motivator yang notabene 'Kristen' tetapi sebenarnya mereka justru lebih banyak melawan konsep-konsep dasar iman Kristen. Tapi anehnya banyak orang Kristen, khususnya di Indonesia, yang tidak tanggap sehingga ikut terbawa arus jaman yang sangat trendi pada 5 tahun terakhir ini.

Yang lebih menakutkan lagi adalah pemimpin-pemimpin gereja pun ikut tergiur dengan penyesatan ini sehingga banyak gereja yang ikut-ikut mengadakan berbagai seminar-seminar motivasi yang bertemakan tentang, self-esteem/rasa percaya diri, berpikir positif, aktualisasi diri, keberhasilan/kesuksesan/kebahagiaan, pengembangan kepribadian yang holistik, kepemimpinan yang berpusatkan pada kekuatan/kharisma diri, dll.. Pemimpin gereja-gereja kecil, yang tidak mungkin bisa mengundang para motivator besar yang 'mahal', biasanya dengan diam-diam mulai membaca buku-buku motivasi pengembangan diri yang sekarang banyak sekali memenuhi toko-toko buku umum dan Kristen. Mereka melihat kunci ketidakberhasilan dirinya dan gerejanya bukan pada hal yang rohani tetapi pada diri, kepribadian dan sumber-sumber sekular yang jauh dari kebenaran Allah.

Penulis artikel di bawah ini sangat kuatir melihat trend gerakan pengembangan diri jaman ini yang dengan sangat mudah menyeret dan membohongi orang-orang Kristen untuk tidak lagi melihat Allah sebagai sumber kekuatan hidupnya, tetapi pada hal-hal lain. Karena itu, ia memberikan jalan keluar bagi mereka yang sedang atau yang sudah terlanjur tercebur dalam arus penyesatan ini dengan langkah-langkah yang tepat, yaitu:

  1. Mempelajari Alkitab
  2. Mempelajari Sejarah Gereja
  3. Pelajarilah Kredo-Kredo Gereja
  4. Mempelajari Apologetika
  5. Belajar Untuk Menerima Paradoks
  6. Mengevaluasi Buku-Buku Kehidupan Kristen
  7. Ingatlah Siapa Musuh Kita

Silakan membaca dan merenungkan seluruh artikel ini dengan teliti. Marilah kita dengan rendah hati segera kembali ke jalan yang benar dan kembali menempatkan dasar-dasar iman Kristen kita di atas "Batu Karang yang Teguh" supaya tidak mudah diombang-ambingkan oleh berbagai ajaran penyesatan yang ditawarkan oleh setan.

Selamat menyimak. In Christ, Yulia Oeniyati < yulia(at)in-christ.net > http://fb.sabda.org/reformed

Penulis: 
Stephanie Forbes
Edisi: 
No. 122/VI/2010
Tanggal: 
25-6-2010
Isi: 
Melawan Kebohongan Gerakan Pengembangan Diri (Bagian 1)

Adalah tugas utama seorang penulis untuk mengamati dan memberikan komentar kepada masyarakat sekitarnya, alih-alih menawarkan solusi- solusi kepada permasalahan-permasalahan mereka. Seperti para seniman lainnya, para penulis mengangkat pertanyaan-pertanyaan yang tidak harus mereka jawab sendiri. Tujuan seorang penulis adalah membuat pembaca berpikir.

Ada hal-hal yang dapat dan perlu kita lakukan sebagai orang-orang Kristen untuk melindungi diri kita melawan godaan kebohongan dari (penulis-penulis) gerakan pengembangan diri. Oleh karena itu, saya menawarkan saran-saran saya dalam artikel ini dengan kerendahan hati.

1. Mempelajari Alkitab

Garis perlindungan pertama kita melawan kebohongan musuh adalah Alkitab. Yesus sendiri menggunakan firman Allah untuk melawan serangan Iblis; Paulus membimbing Timotius dan mengatakan, "Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik"[1]. Dalam salah satu konfrontasinya dengan orang-orang Saduki, Yesus mengatakan bahwa mereka jatuh kepada kesalahan karena mereka tidak mengetahui Alkitab - - ini tudingan serius untuk orang Yahudi terpelajar mana pun. Bahkan kecaman Yesus, "Tidakkah kamu baca apa yang difirmankan Allah kepadamu," lebih keras daripada bantahan yang biasa dikeluarkan oleh para pendebat Yahudi, yang mengatakan kepada lawan-lawan mereka, "pergi dan baca" bagian firman Allah untuk menyudahi suatu argumen. Dalam tudingan-Nya, Yesus tidak hanya menekankan pentingnya Alkitab dalam kehidupan bangsa pilihan Allah, tetapi Dia juga menyalahkan mereka karena melalaikan tugas mereka kepada Tuhan, yaitu mempelajari Alkitab[2].

Kecaman Yesus bahkan lebih tepat lagi ditujukan untuk zaman sekarang. Pada orang-orang Kristen, baik kaum Protestan maupun Injili, karena terdapat jurang pemisah yang lebar antara pengetahuan mereka dan Alkitab. Menurut jajak pendapat Gallup, sekalipun delapan dari sepuluh orang AS mengaku bahwa ia orang Kristen, pengetahuan dasar Alkitab mereka mencapai titik terendah [di Amerika]. George Gallup, yang memiliki perusahaan untuk melakukan penelitian terhadap tren-tren rohani selama lima puluh tahun terakhir, mengatakan bahwa orang-orang AS tidak tahu apa yang mereka percayai ataupun mengapa mereka percaya. Gallup juga percaya bahwa buta Alkitab adalah masalah rohani, agama, dan kebudayaan yang serius di AS[3]. Thomas Ehrlich, profesor etika dan rektor Universitas Indiana, setuju dengan pendapat tersebut. Dia mengamati bahwa saat ini hanya segelintir mahasiswa saja yang membaca Alkitab sejak kecil[4].

Pujian

Seburuk-buruknya buta Alkitab, membelokkan (menyalahgunakan) Alkitab adalah masalah yang lebih serius lagi. Tidak memedulikan firman Allah berbeda dengan membelokkan (melakukan distorsi) firman Allah. Tidak memedulikan Alkitab hanya memengaruhi orang yang hidup dalam ketidakpedulian itu sendiri. Tetapi, membelokkan Alkitab memengaruhi semua orang yang mendengarnya -- baik orang yang percaya, lebih buruk lagi orang yang belum percaya -- yang mungkin dipengaruhi oleh interpretasi yang salah tersebut.

Distorsi Alkitab adalah taktik yang lazim digunakan di antara penulis- penulis buku pengembangan diri, baik penulis Kristen maupun non- Kristen. Salah satu penulis pengembangan diri Kristen menganjurkan kita untuk mendengar firman Allah dengan saksama, dan kita akan mendengar bahwa Allah mengatakan, Dia menyukai diri kita apa adanya[5]. Penulis teologi sukses Kristen lainnya mengutip Perjanjian Lama dan Baru secara acak untuk membuktikan bahwa Yesus adalah penjual ulung yang telah memberikan kita alat untuk meraih kekayaan dan prestasi[6]. Penulis lain mengatakan bahwa tantangan sesungguhnya dari Alkitab bukannya memberi, melainkan menerima kasih[7]. Selain itu, salah satu penulis non-Kristen yang menulis buku pengembangan diri menafsirkan perkataan Yesus "Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah" dengan mengartikan bahwa orang yang menyucikan kesadarannya akan melihat diri mereka sendiri sebagai Allah[8]. Hampir semua pengikut gerakan berpikir positif mengutip Amsal 23:7 untuk membuktikan bahwa, "apa yang engkau pikirkan, demikianlah hal itu terjadi."

"Tindakan memanipulasi Alkitab mengalir seperti sungai di sepanjang sejarah gereja. Tetapi saat ini, pelecehan seperti itu telah berubah menjadi banjir," tulis G. Walter Hansen, seorang pakar Perjanjian Baru. Ia memperingatkan kita, "jika kita menggunakan Alkitab hanya sebagai cermin untuk melihat diri sendiri, kita akan berakhir dengan melihat refleksi keinginan diri kita sendiri lebih daripada pengungkapan kehendak Allah"[9].

Namun, sebelum kita menyalahkan [para pendukung] gerakan pengembangan diri untuk pelecehan ini, kita perlu menanyakan diri kita sendiri apakah kita juga bersalah. Berapa banyak kelas-kelas pedalaman Alkitab yang Anda hadiri yang pembinanya menanyakan, "Apa makna ayat ini 'bagi Anda'?" Atau berapa kali Anda sendiri telah memimpin kelas dan menanyakan pertanyaan tersebut? Kesalahan dari pertanyaan ini adalah ia gagal memberikan perbedaan mendasar antara kepentingan pribadi dan artinya. Walt Russell, seorang pakar Alkitab, menjelaskan perbedaannya: "Arti dari sebuah tulisan tidak pernah berubah. Sebaliknya, kepentingan tulisan tersebut bagi saya atau orang lain sangat tak tetap dan fleksibel. Dengan membingungkan kedua aspek proses interpretasi ini, orang-orang Injili, memahami Alkitab dengan "interpretive relativism". Jika [sebuah tulisan] memiliki satu arti tertentu bagi Anda tapi berlawanan dengan yang saya mengerti, maka tidak ada lembaga tinggi apapun untuk bisa naik banding. Kita tidak akan pernah dapat menetapkan dan memvalidasikan interpretasi mana yang benar"[10].

Relativisme? Saya merasa tidak ada serangan lain yang lebih menjijikkan di mata orang-orang Injili daripada keyakinan relativisme. Memang benar, orang-orang Injili sering menyerang relativisme masyarakat modern, moralitas modern, etika modern, dan kebenaran modern. Akan tetapi, simaklah statistik-statistik dari jajak pendapat Barna Research Group berikut ini. Saat ditanyai tentang kebenaran absolut, 66 persen orang AS dewasa (dan jumlah mengejutkan sebanyak 72 persen orang AS antara umur 18 sampai 25 tahun) menganggap bahwa tidak ada yang namanya kebenaran absolut. Sebagian besar orang AS saat ini percaya bahwa orang dapat membantah kebenaran dan tetap merasa betul[11]. Jika kita memerhatikan jumlah orang AS yang menyatakan diri sebagai orang Injili, tampak jelas bahwa pasti ada satu atau dua orang yang menolak kebenaran absolut, dan logikanya, ia menolak pernyataan Yesus yang mengaku diri sebagai Kebenaran yang absolut itu.

Dalam kerinduan mereka untuk membuat Alkitab bermakna bagi setiap individu, dan untuk menemukan aplikasi hidup yang langsung dan pribadi, kaum Injili cenderung mengabaikan konteks sejarah, kebudayaan, dan kesusastraan dari perikop atau pasal atau kitab dari Alkitab. "Pada saat kita memercayai bahwa firman Allah berbicara kepada kita secara langsung, maka kita mengabaikan bahwa firman Tuhan berbicara tentang kebutuhan kita MELALUI konteks historis dan konteks tulisan dari penulis-penulis Alkitab," ujar Walt Russel[12]. Thomas Olden, seorang teolog, telah menggemakan pandangan ini dan mengamati bahwa beberapa orang-orang Injili "telah terpaku pada 'aku dan Alkitab, dan terutama aku,' sehingga pembacaan Alkitab terutama hanyalah untuk keinginan dari perasaan dalam diri"[13].

Jadi, bagaimana seharusnya kita mempelajari Alkitab? Pertama, kita perlu mempelajari Alkitab untuk kepentingan Alkitab itu sendiri, bukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang kita rasakan. Kita perlu bertanya, "Apa yang Alkitab katakan?" bukan, "Apa yang Alkitab katakan kepadaku?" Jika saya mempelajari Alkitab untuk mencari bukti bahwa Allah menginginkan saya bahagia, atau sukses, atau puas, yakinlah bahwa saya akan menemukannya, karena pola pikir saya akan menentukan interpretasi saya terhadap Alkitab. Ketika saya membaca Alkitab dengan kebutuhan-kebutuhan yang saya rasakan dalam pikiran saya, saya berarti telah melucuti Alkitab dari segala kebenaran obyektifnya. Yang tersisa hanyalah relativisme cair yang berubah sesuai dengan keadaan, temperamen, dan kebutuhan-kebutuhan saya. Membaca Alkitab secara subyektif, akan meninggikan konteks saya di atas konteks Alkitab. Perspektif ini, tegas Russel, berbahaya karena "perspektif ini memberikan praduga pada cara pandang eksistensialis dan yang berfokus pada manusia"[14].

Akan tetapi, inilah praduga yang mendasari pemikiran pengembangan diri, keyakinan bahwa saya ada untuk diri saya sendiri, dan kalau Allah ada, maka Dia ada untuk membantu saya melihat diri saya dengan lebih jelas dan dengan pandangan yang lebih positif. Tepatnya, inilah anggapan yang didukung Robert Schuller ketika dia menekankan bahwa kita memerlukan teologi yang berpusat pada manusia. Ini adalah cara pandangan dunia yang merendahkan Allah menjadi Penolong supranatural dari keinginan eksistensial kita dan Injil menjadi resep bagi kemajuan dan pencerahan serta pemenuhan kebutuhan pribadi kita. Dalam konteks pengembangan diri, Alkitab tidak dipercaya sebagai pewahyuan Allah akan diri-Nya kepada kita. Alkitab ada untuk membantu kita mengerti diri kita sendiri.

Bahkan pedalaman Alkitab yang berfokus pada pemuridan dapat berubah menjadi kegiatan yang hanya sekadar melayani diri sendiri dan berpusat pada diri sendiri. Sebagai orang Kristen, kita perlu membaca Alkitab apa adanya, bukan untuk mencari sesuatu yang dapat dilakukan Alkitab untuk kita. Kita mempelajari Alkitab karena itu adalah firman Allah, karena firman Allah berasal dari Yang Esa, objek dari kerinduan terbesar kita, keinginan kita yang terkuat.

Saya teringat kasih yang tampaknya membanjiri saya ketika masing- masing anak saya lahir. Ketika mereka bertumbuh, saya akan menghabiskan waktu berjam-jam untuk melihat mereka, mempelajari setiap gerakan mereka, mempelajari sifat kepribadian mereka yang mulai terbentuk, perubahan pola pikir mereka yang menonjol, dan ekspresi pemikiran mereka yang khas. Saya ingin mengenal anak-anak saya, bukan karena apa yang bisa mereka berikan kepada saya, bahkan bukan karena saya ingin menjadi ibu yang lebih baik, tetapi benar-benar hanya karena saya mencintai mereka.

Garis perlindungan pertama kita melawan kebohongan musuh adalah Alkitab.

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Kasih kita kepada Allah harus jauh lebih besar lagi. Keinginan kita kepada-Nya harusnya menjadi hasrat yang membara bahwa kita ingin tahu segala sesuatu yang bisa kita ketahui tentang Dia. Betul, kita mempelajari Alkitab untuk belajar tentang pemuridan, tetapi belajar seperti itu tak ubahnya seperti tulang-tulang yang kering jika dibandingkan dengan mempelajari dengan penuh hasrat Kekasih kita, karena kita mencintai-Nya dan kita rindu berada di dekat-Nya.

Jadi, dalam pemahaman Alkitab, tujuan kita adalah sebisa mungkin menjauhkan keinginan diri kita. Kita perlu ingat bahwa Firman Allah adalah kebenaran, bahwa Allah ingin mengungkapkan Diri-Nya kepada kita, dan bahwa semua kitab memunyai arti sesuai dengan yang Penulis inginkan. Untuk menemukan kebenaran itu, untuk mengerti pewahyuan Allah itu, kita perlu mempelajari Alkitab secara obyektif, termasuk di dalamnya penelusuran dan penelitian eksegese ke dalam konteks kebudayaan, sejarah, dan kesusastraan Alkitab. Saat kita mendekati setiap kitab dalam Alkitab, kita perlu tahu sebisa mungkin segala hal tentang sang penulis kitab yang diberi inspirasi oleh Allah -- kehidupannya, jamannya, tujuannya menulis kitab tersebut, dan pembacanya. Kita perlu mengetahui apakah buku itu adalah buku nubuatan, sejarah, atau syair. Kita perlu mengerti bagaimana buku tersebut disatukan dan apa tema-tema besarnya.

Karena kita tidak memunyai naskah asli Kitab Suci (dan kalau adapun hanya sebagian kecil orang yang bisa membacanya), maka kita membaca Alkitab hanya dari terjemahannya. Terjemahan yang Anda pilih mungkin tergantung dari selera dan latar belakang pribadi Anda. Ingatlah bahwa terjemahan-terjemahan Alkitab memunyai kelebihan dan kekurangan mereka masing-masing. Kadang kita mendapatkan pemahaman baru dengan membaca terjemahan yang lain. Dalam hal ini ingatlah: "Masalah-masalah yang muncul sebenarnya bukanlah disebabkan karena orang-orang membaca Alkitab dengan terjemahan yang berbeda-beda; masalah yang paling serius adalah karena banyak orang tidak membaca Alkitab!"[15]

Terjemahan apa pun yang Anda pilih akan membantu Anda "mempelajari" versi terjemahan tersebut. Pendalaman Alkitab biasanya termasuk informasi tentang latar belakang penulis seperti yang digambarkan di atas. Anda juga perlu memunyai konkordansi yang lengkap, yang akan menolong Anda melakukan eksegese yang mendalam, dan Anda perlu tafsiran Alkitab sebanyak mungkin, milik Anda sendiri atau pinjaman dari perpustakaan, teman, atau pendeta.

Sekilas tentang tafsiran. Sepanjang sejarah, kaum Injili telah menunjukkan bias melawan otoritas. Karena gerakan Injili berakar pada masyarakat yang demokratis, maka mereka sering menekankan kemampuan setiap orang dalam menafsirkan Alkitab. Walaupun pedalaman Alkitab secara mandiri dapat memberikan keuntungan, saya yakin membaca karya pakar-pakar Alkitab yang telah mendedikasikan hidup mereka untuk mempelajari teks tertua yang ada akan lebih menjelaskan makna dan kebenaran Alkitab. Allah telah memanggil para pakar Alkitab untuk tugas mulia ini, dan saya percaya mengabaikan pekerjaan mereka adalah perbuatan konyol yang membuang-buang waktu.

2. Mempelajari Sejarah Gereja

Thomas Oden mengamati bahwa fokus kaum Injili yang luar biasa besar pada pengalaman pribadi dalam pedalaman Alkitab "telah menghambat pembaca untuk belajar bahwa Roh memunyai sejarah, dan bahwa tubuh Kristus yang dipanggil dari dalam sejarah itu memunyai satu kesatuan...." Berhati-hatilah terhadap 'orang-orang Injili' yang ingin membaca Alkitab tanpa suara dari sejarah gereja, dan hanya mau mendengar suaranya sendiri atau suara-suara kontemporer saja. Orang- orang Injili sering menjadi pecundang ketika mereka secara sistematis mengabaikan orang-orang suci dan para martir serta penulis-penulis konsensus dari abad-abad awal kekristenan"[16]. Yang Oden katakan adalah orang-orang Injili perlu mempelajari sejarah gereja dan karya penulis-penulis besar Kristen, para teolog, dan para ahli yang karyanya dapat memberitahu kita, paling sedikit, atau mungkin banyak, tentang kebenaran dan makna Alkitab sebanyak atau lebih dari para penafsir modern.

Alkitab

Banyak kaum Injili mendekati kekristenan dengan pikiran seolah-olah hanya gerakan Injili modern yang memiliki doktrin yang benar dan kesetiaan sejati terhadap Kristus. Ada kecurigaan dari kaum Injili terhadap Roma Katolik dan bahkan denominasi Protestan, bahwa mereka sulit menemukan kekristenan yang nyata di antara mereka. Sayangnya, sikap ini menyebabkan mereka mengabaikan sejarah gereja, gerakan- gerakannya yang penting dan pemimpin-pemimpinnya yang hebat.

Jika kita tidak belajar dari masa lalu, maka kita bisa dipastikan akan mengulangi kesalahan yang sama. Gnostisisme, contohnya, telah mengancam kekristenan sejak awal masa perkembangannya. Jika kita tidak mempelajari masa lalu, maka kita tidak akan menyadari bahwa manifestasi-manifestasi kontemporer dari musuh lama ini, muncul lagi dalam buku-buku pengembangan diri. Dan Pelagianisme -- kepercayaan bahwa manusia pada hakikatnya adalah baik dan bahwa seseorang dapat menyempurnakan diri mereka sendiri dengan kekuatan mereka -- mengajarkan filsafat yang sama dengan yang sedang diajarkan oleh gerakan pengembangan diri. Ketika kita tidak mengerti masa lalu, kita akan kesulitan mengenali musuh lama kita yang muncul dalam bentuknya yang baru.

Kalau kita gagal mempelajari sejarah gereja, maka kita akan terpaksa mengulanginya lagi -- memikirkan ulang doktrin kekristenan, dan mendefinisikan ulang ajaran-ajaran ortodoks. Kita gagal menyadari bahwa kebenaran kekristenan adalah kebenaran yang tidak lekang oleh waktu. Kebenaran itu sama, kemarin, hari ini, hingga selamanya. Dengan mempelajari sejarah gereja, kita mengakui kualitas kebenaran Kekristenan yang tidak dibatasi oleh waktu, dan kita memasukkan pemahaman kita dengan unsur yang melampaui pemikiran kita yang dibatasi oleh waktu, pemikiran picik akhir abad keduapuluh yang menekankan bahwa "lebih baru lebih baik".

Lebih jauh lagi, hanya dengan mempelajari masa lalu, kita dapat menangkap sepintas hakikat gereja yang nyata dan abadi. Berada di dalam waktu, kita hanya bisa melihat bayangan kecil gereja. Berada di luar waktu, Allah bisa melihat gereja sepanjang sejarah dari masa para rasul mula-mula sampai masa depan ketika gereja disatukan dengan Kristus. Inilah gereja yang Allah pakai yang di dalamnya kita turut ambil bagian. Kita tidak sendirian karena gereja pada saat ini sedang berada dalam sungai waktu. Kita terhubung dengan saudara-saudara kita dari segala masa, dan untuk segala masa, dalam pemujaan kekaguman kepada Allah yang terus menerus dan komitmen kepada Kristus yang memberikan gereja kekuatan. Dengan mempelajari masa lalu kita, kita dapat mengumpulkan kekuatan untuk melindungi kepercayaan kita dari kesalahan besar pengembangan diri yang berpusat pada diri yang meyakinkan kita untuk menciptakan ulang gereja yang dapat memuaskan kebutuhan modern. Kebutuhan kita bukanlah kebutuhan modern. Kebutuhan itu adalah kebutuhan setiap orang Kristen sepanjang masa. Kebutuhan itu adalah kebutuhan untuk mengenal Allah, untuk diselamatkan oleh anugerah-Nya dan tinggal bersama-Nya dan untuk-Nya selamanya.

Dengan cara yang sama, mempelajari kehidupan pemimpin-pemimpin gereja menunjukkan kepada kita siapa pahlawan-pahlawan yang nyata, bukannya seperti pahlawan-pahlawan sekuler pengembangan diri. Tidak ada Tony Robbins atau Stephen Covey di sini, tetapi pria dan wanita yang hidup menjalankan pengajaran Alkitab dengan menyerahkan diri mereka sendiri sebagai pelayanan kasih kepada Yesus Kristus, kepada Gereja yang kudus, dan kepada satu sama lain. Dan karya-karya agung dari tokoh- tokoh besar Kristen ini memberikan pencerahan terhadap Alkitab dengan pemahaman dan penerimaan kebenaran yang tidak mungkin kita abaikan.

Sebagai contoh, percaya pada keabsahan total Alkitab bukanlah pandangan teologia modern, sebagaimana banyak kaum Injili percayai. Baik Gregorius dari Nyssa maupun Santo Agustinus menegaskan bahwa Alkitab berbicara bersama suara Allah. Timothy George, dekan Beeson Divinity School, menggarisbawahi pentingnya kita kembali kepada karya Bapa-Bapa Gereja, dan mengatakan bahwa "konsensus besar-besaran sepanjang zaman tentang interpretasi pemikiran Kristen pada Alkitab (dan pada hal-hal paling penting lainnya) tidak mungkin salah"[17].

Catatan kaki:

  1. 2 Timotius 3:16-17.
  2. Matius 22:29-33.
  3. Dikutip di Karen R.Long, "Bible Knowledge at Record Low, Pollster Says," National Catholic Reporter, 15 Juli 1994, p.9.
  4. Thomas Ehrlich, "The Bible: Our Heritage," The Saturday Evening Post, Mei/Juni 1991, p.66.
  5. Earl D. Wilson, The Discovered Self: The Search for Self-Acceptance (Downers Grove, Illinois: InterVarsity Press, 1985), p.9.
  6. Mike Murdock, One-Minute Businessman's Devotional (Tulsa, Oklahoma: Honor Books, 1992).
  7. Robert J. Wicks, Touching the Holy: Ordinariness, Self-Esteem, and Friendship (Notre Dame, Indiana: Ave Maria Press, 1992), p.9.
  8. Dikutip di G. Walter Hansen, "Words from God's Heart," Christianity Today, 23 Oktober 1995, p.23.
  9. Ibid., p.25.
  10. Walt Rusell, "What It Means to Me," Christianity Today, 26 Oktober 1992, pp.30-31 [penekanan di "interpretive relativism" oleh saya].
  11. Ibid., p.30.
  12. Ibid., p.31 [penekanan oleh penulis asli].
  13. Dikutip di "Classic and Contemporary Excerpts," Christianity Today, 25 Oktober 1993, p.73.
  14. Walt Russell, "What It Means to Me," p.32.
  15. Jack P. Lewis, The English Bible from KJV to NIV: A History and Evaluation (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1981), p.366.
  16. Dikutip di Christianity Today, 25 Oktober 1993, p.73.
  17. Timothy George, "What We Mean When We Say It's True," Christianity Today, 23 Oktober 1995, p.19.

Audio: Melawan Kebohongan Gerakan Pengembangan Diri (1)

Sumber: 

Diterjemahkan dan disunting dari:

Judul buku: Help Yourself; Today's Obsession with Satan's Oldest Lie
Penulis: Stephanie Forbes
Penerbit: Crossway Book, Wheaton Illinois
Tahun: 1996
Halaman: 177 - 184

Percaya Kepada Allah dalam Segala Sesuatu -- (Bagian 2)

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Berikut ini adalah bagian kedua dari artikel yang dikirimkan sebelumnya. Harap kami supaya setelah Anda selesai membaca seluruh artikel ini, Anda dapat mengambil kesimpulan bahwa hidup menurut hikmat Allah bukan merupakan pilihan, tapi kepastian. Berpalinglah dari hikmat duniawi yang pada akhirnya hanya menjanjikan kekosongan. Kembalilah kepada Tuhan, karena hanya di dalam Dialah Anda akan dapat menemukan arti kekayaan hidup yang sesungguhnya.

Selamat membaca.

In Christ,
Yulia
http://reformed.sabda.org
http://fb.sabda.org/reformed

Penulis: 
Bill Hybels
Edisi: 
118/II/2010
Tanggal: 
28-2-2010
Isi: 

Percaya Kepada Allah di dalam Segala Sesuatu (Bagian 2)

Catatan-catatan Mental

Saya yakin bahwa siapa pun yang bertindak dalam iman akan menemukan bahwa Allah dapat dipercaya untuk keselamatannya. Tetapi, itu hanyalah permulaan. Langkah berikutnya adalah percaya kepada Allah dalam segala keputusan hidup sehari-hari. Melalui tulisan ini, saya telah membandingkan dua jalan, pertama berdasarkan hikmat manusia, yang lain berdasarkan hikmat Tuhan. Saya telah melakukan yang terbaik untuk mengembangkan sebuah kasus menarik mengenai keunggulan hikmat Allah.

Saya telah mencoba meyakinkan Anda bahwa mengambil inisiatif adalah lebih baik daripada bersikap pasif, malas, atau fatalistis; bahwa berbuat baik mengalahkan tindakan memusatkan diri sendiri yang mematirasakan jiwa kita; bahwa kedisiplinan diri, meskipun sulit untuk dibangun, memberikan banyak keuntungan; bahwa mengatakan kebenaran dengan kasih adalah lebih baik daripada berkelit dalam kebohongan; bahwa memilih teman dengan bijaksana adalah kunci penting untuk bertumbuh dalam hikmat; bahwa menikah dengan baik adalah dasar dari sebuah pernikahan yang langgeng; bahwa tempaan keluarga yang kuat adalah cara terbaik untuk memberikan warisan positif dari satu generasi ke generasi berikut; bahwa menumbuhkan kasih sayang adalah cara yang ampuh untuk mengubah dunia; dan bahwa pengelolaan kemarahan secara konstruktif penting untuk kebahagiaan pribadi dan keharmonisan hubungan.

Kitab Amsal telah banyak mengajarkan kepada saya tentang bagaimana menjalani hidup saya, dan saya berharap saya telah efektif dalam menyampaikan apa yang telah saya pelajari. Tetapi masih tersisa pertanyaan, akankah kita memilih jalan Tuhan di berbagai persimpangan kehidupan sehari-hari? Akankah kita memercayai Allah secara cukup untuk menyesuaikan kehendak kita dengan jalan-Nya?

Sudah hampir tiga puluh tahun sejak saya memutuskan untuk mencoba memercayakan seluruh hidup saya kepada Allah, dan sekarang saya semakin yakin bahwa Allah dapat dipercaya lebih dari yang saya pernah lakukan dalam hidup saya. Ketika saya melihat kembali ke tahun-tahun lampau, saya tidak menyesali saat-saat ketika saya mengikuti jalan Tuhan. Tidak satu pun. Kadang-kadang sulit, kadang-kadang membingungkan, tetapi selalu, pada akhirnya, saya berbahagia telah memilih hikmat Allah.

Pada sisi lain, saya bisa memenuhi berjilid-jilid catatan dengan penyesalan yang saya bawa ketika saya sengaja memilih jalan lain. Saya teringat satu catatan yang disebut "Catatan Saya yang Sangat Bodoh", berisi kenangan segala sesuatu pada saat saya berada di persimpangan kritis dalam hidup, dan saya memilih jalan yang bodoh. Setiap kali, saya mengakhirinya dengan berkata, "Itu sangat bodoh. Lihatlah akibatnya. Lihatlah orang yang telah saya sakiti. Lihatlah rasa bersalah yang saya bawa. Lihatlah waktu saya yang telah terhilang. Menolak mengikuti cara Allah itu bodoh sekali."

Seperti yang saya katakan pada bab pertama buku ini, kita tidak dilahirkan bijak; kita dilahirkan dengan kebodohan dalam hati dan pikiran kita. Salah satu tugas hidup yang utama adalah keluar dari kebodohan dan bertumbuh ke arah kebijaksanaan. Belajar dari kesalahan merupakan bagian dari proses pertumbuhan. Oleh karena itu, setiap kali saya mendapat pelajaran dari pilihan bodoh saya, yang memungkinkan saya untuk membuat pilihan yang bijaksana kali berikutnya, saya secara mental menyimpan pilihan-pilihan tersebut ke dalam "Catatan Saya yang Sangat Cerdas". Membaca dan membandingkan dua catatan tersebut merupakan salah satu cara paling efektif untuk membangun kepercayaan di dalam Tuhan. Jelas sekali bahwa setiap saya berjalan di jalan Allah, hidup saya menjadi lebih baik. Setiap saya percaya kepada-Nya dengan menaati perintah-Nya, bertindak sesuai kebijaksanaan-Nya, atau berserah pada bimbingan-Nya, Ia membuktikan kelayakan-Nya untuk saya percayai: kebijaksanaan-Nya terbukti, perintah-Nya adil, dan bimbingan-Nya membantu saya. Akhirnya, saya bisa mengatakan tanpa ragu-ragu, "Saya percaya Allah dengan segenap hatiku! Saya tidak sedang membual atau membuat pernyataan palsu. Saya percaya kepada Tuhan karena Ia telah membuktikan diri-Nya dapat dipercaya."

Janganlah Bersandar pada Pengertianmu Sendiri

Apa arti bagian kedua dari Amsal 3:5-6? Ketika Alkitab memerintahkan kita "janganlah bersandar pada pengertian kita sendiri," apakah itu berarti kita harus membuang jauh otak kita untuk tumbuh sebagai orang Kristen? Apakah ini berarti kita harus mengabaikan kecerdasan kita dan menganggap bahwa kita tidak memiliki pemahaman apa pun, bahwa kita tidak belajar apa pun sepanjang hidup kita? Tentu saja tidak. Tapi itu peringatan bagi kita untuk waspada terhadap reaksi refleksif manusiawi kita terhadap situasi kehidupan yang kompleks. Kita akui atau tidak, perspektif manusia selalu terbatas, dan intuisi alamiah selalu sedikit meragukan. Sejujurnya, kita semua akan mengacaukan hidup kita ke tingkat tertentu jika kita hanya mengikuti pemahaman kita sendiri. Kita membutuhkan masukan dari Allah dalam proses pengambilan keputusan dalam kehidupan sehari-hari.

Baru-baru ini saya membaca sebuah artikel berjudul "178 Detik untuk Hidup." Artikel ini bercerita tentang dua puluh orang pilot yang cakap tetapi yang tidak pernah menerima pelatihan simulasi. Masing-masing dari kedua puluh pilot ini diikutsertakan dalam simulasi penerbangan dan diperintahkan untuk melakukan apa saja yang bisa mereka lakukan agar pesawat terbang tetap terkendali di dalam cuaca berawan tebal, gelap, dan berbadai. Artikel tersebut menyatakan bahwa kedua puluh pilot itu "jatuh dan membunuh diri mereka sendiri" dalam waktu rata-rata 178 detik. Dibutuhkan waktu kurang dari 3 menit bagi para pilot yang memiliki intuisi yang terlatih ini untuk menghancurkan diri mereka sendiri segera sesudah mereka kehilangan titik acuan visual mereka.

Beberapa waktu lalu, saya sedang menjadi kopilot sebuah pesawat dalam perjalanan malam kembali ke Chicago dari Pesisir Timur AS. Sementara pilot yang bertugas sedang sibuk memasukkan data ke dalam komputer, saya melakukan lepas landas dan menambah ketinggian, menjaga agar pesawat tetap lurus dan datar dan berada di jalurnya. Semua berjalan lancar sampai kami memasuki lapisan awan yang sangat tebal. Tanpa adanya titik acuan di luar pesawat, dengan tenang saya fokus pada peralatan di panel kokpit dan membuat koreksi apa saja yang diperintahkan. Tetapi, beberapa menit setelah memasuki awan itu, peralatan-peralatan tersebut memerintahkan saya untuk membuat koreksi atas semua kesalahan saya; peralatan-peralatan tersebut menunjukkan bahwa kami perlahan-lahan berbelok ke kiri. Namun, saya tahu bahwa saya tidak mengubah kendali sedikit pun, dan saya yakin bahwa tidak ada pergeseran atau turbulensi angin apa pun. Jadi, saya duduk dan berkata kepada diri sendiri, "Tidak ada keharusan kita untuk berbelok ke kiri." Dan saya tidak melakukan koreksi yang diperintahkan.

Alasan saya sangat sederhana: Saya telah mengemudikan pesawat terbang sejak saya berumur lima belas tahun -- pesawat biasa, pesawat amfibi, pesawat bermesin satu, pesawat bermesin ganda, pesawat berbaling-baling turbo, pesawat jet, bahkan helikopter -- tanpa satu pun kecelakaan atau nyaris kecelakaan. Saya menganggap bahwa karena saya telah melakukan begitu banyak penerbangan dan mempertahankan catatan yang baik, saya jelas telah mengembangkan intuisi yang andal menyangkut gerakan pesawat. Jadi, pada malam itu, saya sengaja memilih percaya pada intuisi saya sendiri dan bukan tanda-tanda yang tampak pada peralatan di panel kokpit. Saya berkata, "Saya tahu lebih baik. Jika harus memilih salah satu di antara percaya pada peralatan atau intuisi pribadi, saya akan percaya pada intuisi saya."

Pilihan yang buruk. Untung saja, pada waktu itu pilot melihat dari petanya, memeriksa peralatan, meraih kendali, dan segera membuat koreksi. Dia melirik seolah-olah bertanya, "Apa kamu gila?" Kemudian dia tersenyum kecut kepada saya, menunjuk ke peralatan tersebut, dan berkata, "Percayalah pada alat ini. Kita berdua akan hidup lebih lama." Selama sisa penerbangan itu saya katakan kepada Anda bahwa saya menatap lekat-lekat ke peralatan-peralatan tersebut, dan saya membuat setiap koreksi kecil yang ditunjukkan oleh panel.

Ketika penulis Kitab Amsal mengatakan kepada kita untuk tidak bersandar pada pengertian kita sendiri, dia menunjukkan bahwa secerdas atau sebanyak apa pun pengalaman hidup kita, kita masih perlu menyadari bahwa penilaian manusia selalu terbatas dan kadang-kadang salah. Kadang-kadang gagasan terbaik kita tentang apa yang seharusnya dikatakan atau dilakukan ternyata keliru, berbahaya, bahkan merusak. Ketika sampai pada keputusan penting dalam hidup kita, kita hampir selalu membutuhkan pemahaman yang lebih dalam dan perspektif yang lebih luas dari sekadar yang ditawarkan oleh hikmat manusia kepada kita.

Apa yang kita sangat butuhkan adalah pikiran Tuhan mengenai hal-hal serius dalam hidup ini. Ia menawarkannya kepada kita melalui ajaran firman-Nya dan bimbingan Roh-Nya. Tugas kita bukanlah untuk mempertanyakan atau menganggap bahwa kita sudah tahu lebih baik, seperti pilot yang terlalu percaya diri yang menomorduakan petunjuk dari peralatan-peralatannya, tetapi untuk percaya bahwa Allah mengetahui lebih baik bagaimana mengisi hidup kita. Sebuah aturan rohani yang barangkali berguna: "Jika ragu, selalu, selalu, dan selalu percayalah pada hikmat Allah."

Akuilah Dia dalam Segala Lakumu

Mari kita langsung pada pokok frasa berikut ini. Dalam konteks kutipan pendek ini, "mengakui Allah" berarti mengakui kebijaksanaan, wawasan, dan pemahaman-Nya. Itulah yang dibahas dalam buku ini. "Di dalam semua laku kita" berarti ... yah, di "semua" laku kita. Kita dapat diyakinkan bahwa setiap bidang kehidupan yang kita putuskan untuk kita kelola tanpa menggunakan hikmat, wawasan, dan pemahaman dari Allah akan berakhir dalam masalah. Setiap bidang yang kita beri tanda "Dilarang Masuk Tanpa Izin" dan mencoba mengabaikan Tuhan, tampaknya akan menjadi bidang yang membahayakan kualitas hidup kita dan mengancam orang-orang di sekitar kita. Untuk menenggelamkan sebuah kapal tidak diperlukan banyak lubang, cukup satu saja. Dan satu lubang itu pun tidak harus berukuran besar.

Beberapa orang melihat ambisi karir mereka, yang lain memandang seksualitas, sebagian lagi pada uang, pilihan teman-teman, atau kegiatan pada waktu luang, dan mereka berkata, "Aku mengetahui semua tentang kebijaksanaan-Mu, Tuhan. Aku mengetahui apa yang Alkitab katakan tentang hal ini. Aku mengetahui bagaimana Roh-Mu mendorongku. Tetapi, jawabanku adalah tidak. Aku tidak menginginkan nasihat-Mu. Aku tidak menginginkan kebijaksanaan-Mu. Aku sendiri yang akan mengatur hal ini."

Ingatlah bab tentang inisiatif? Ingatlah orang-orang yang menepuk punggung sendiri tatkala mereka mengambil inisiatif di hampir setiap bidang kehidupan, bahkan mungkin sembilan dari sepuluh orang, tetapi mereka gagal menyadari kerusakan yang bisa dilakukan oleh satu bidang kemalasan? Prinsip ini berulang. Sembilan dari sepuluh orang tidaklah cukup, baik itu berarti mengambil inisiatif atau berbagai bentuk lain untuk pembangunan karakter atau ketaatan. Satu saja bidang kehidupan yang tidak diserahkan sudah berkonsekuensi negatif dan meluas. Pada suatu waktu kelak, hal itu hampir pasti akan berdampak buruk pada dimensi lain dalam kehidupan kita. Akhirnya, ketika hidup tidak lagi berjalan dengan baik, kita mungkin akan melihat ke belakang dan berkata, "Semuanya dimulai dengan satu kendali pribadi yang kecil, bahwa saya merasa bisa mengelola diri lebih baik daripada Allah ... dan sekarang beginilah jadinya."

Banyak orang tampak bertekad untuk mempelajari segala sesuatu yang sulit. Tetapi kita semua bisa menyelamatkan diri kita sendiri dan beban masalah orang lain jika kita bisa mempelajari apa yang telah dipelajari oleh jutaan orang sebelum kita: Berbagai bidang kehidupan, yang tidak ditempatkan di bawah kepemimpinan dan kebijaksanaan Tuhan, pada akhirnya akan menjadi sumber frustrasi, sakit hati, dan nyeri yang hebat.

Penulis Amsal sunguh-sungguh meminta agar kita tidak menjerumuskan diri sendiri ke dalam risiko ini. Jika kita mengakui Allah dalam semua hal, dalam setiap bidang kehidupan kita, kita dapat mengurangi risiko permasalahan itu secara signifikan. Itu seperti menambal satu lubang yang mengancam akan menenggelamkan kapal kita.

Adakah kendali pribadi yang Anda belum serahkan kepada Allah? Jika ya, mengapa Anda tidak menyerahkannya kepada Allah? Turunkanlah tanda "Dilarang Masuk Tanpa Izin" dan persilakanlah Tuhan masuk. Saya belum pernah bertemu orang yang menyesali keputusan ini. Sekarang giliran Anda. Saya mendorong Anda.

Maka Ia Akan Meluruskan Jalanmu

Sebelum baris terakhir pada bagian ini menjauhkan siapa pun dari topik utamanya, saya ingin menjelaskan apa yang bukan merupakan arti dari kalimat tersebut. Kalimat tersebut tidak berarti bahwa Allah akan membuat kita sehat, kaya, dan bahagia. Kalimat tersebut tidak berarti bahwa Ia akan membuat kita nyaman, populer, dan langsing. Kalimat tersebut tidak berarti bahwa Ia akan memenuhi semua pengharapan sepele dan keinginan sesaat kita. "Ia akan meluruskan jalanmu" berarti bahwa Ia akan memberikan arah, tujuan, fokus, dan pemenuhan hidup kita. Ia akan membimbing kita melewati rawa-rawa dan parit-parit sehingga kita bisa tetap di jalan yang benar. Ia akan bekerja di dalam kita untuk mengubah hati dan jiwa kita. Ia akan bekerja di kedalaman pribadi untuk mengubah hati dan jiwa kita. Ia akan bekerja melalui diri kita supaya kita berdampak pada orang lain. Dan ketika kita sudah tiada, Ia akan memimpin kita melewati pintu gerbang surga. Ketika Anda merenungkan hal ini, apa lagi yang kita bisa minta?

Saya baru-baru ini menghadiri pemakaman ayah salah seorang teman terdekat saya. Pemakaman itu diadakan di pekuburan gereja yang saya kunjungi sepanjang masa kanak-kanak dan remaja saya. Semua tampak persis seperti tiga puluh tahun sebelumnya. Pada saat saya duduk di sana, teringatlah saya pada banyak kenangan.

Saya sangat ingat pada seorang pria tua yang telah menantang saya untuk memercayai Allah dengan segenap hati dan mengizinkan Dia membimbing serta mengarahkan hidup saya. Ketika saya memikirkan kembali arti peristiwa tersebut dalam hidup saya selama tiga puluh tahun sebelumnya, saya nyaris tidak bisa menahan emosi. Saya tersenyum ketika menyadari bahwa saya tidak dapat menghabiskan satu malam dengan melempar dan berbalik ke tiga puluhan-tahun yang lalu itu tanpa saya kehilangan arti, tujuan, atau petualangannya.

Lalu saya kembali menahan air mata saat memikirkan semua yang mungkin saya lewatkan seandainya saya memilih untuk mengatur sendiri kehidupan saya: pekerjaan yang membuat saya bersemangat untuk bangun pada pagi hari, teman-teman yang sudah seperti keluarga bagi saya, pernikahan yang terus bertumbuh, dan anak-anak yang memberikan kebahagiaan terbesar di dalam hidup saya.

Dalam upacara pemakaman tersebut, saya meletakkan tangan saya di atas lutut dengan telapak tangan tengadah, dan saya berkata, "Tuhan, setengah hidupku mungkin telah berlalu, tetapi aku ingin membuat kesepakatan yang sama mengenai apa pun dengan waktu yang tersisa, yang saya akan buat sehubungan dengan masa lalu. Aku ingin percaya kepada-Mu dengan sepenuh hati, dan tidak bersandar pada pengertianku sendiri. Di seluruh jalanku, aku ingin mengakui-Mu, dan aku ingin memercayai-Mu untuk meluruskan jalanku." Saya tidak bisa menggambarkan rasa damai dan harapan yang membanjiri jiwa saya. Jika masa depan adalah segala sesuatu seperti tiga puluh tahun yang lalu, itu akan menjadi sebuah bola!

Jangan lewatkan Petualangannya

Saya menyukai Yeremia 29:11 ketika Tuhan berkata, "Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu ... yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan." Saya senang merenungkan ayat ini. Saya senang merenung tentang Allah yang merancang suatu rencana khusus untuk hidup saya. Saya ingin kebenaran ini meresap ke dalam jiwa saya.

Allah memiliki rencana, hari depan dan harapan untuk kita masing-masing, dengan nama kita sendiri di atasnya. Meskipun Allah tidak menjanjikan suatu kehidupan yang bebas dari masalah atau sakit, Dia menjanjikan suatu kehidupan yang terlalu baik untuk dilewatkan. Tetapi, kita masih tidak akan pernah menemukan petualangan hidup itu -- sampai kita memercayakan diri kita pada bimbingan dan pimpinan-Nya! Allah mengenal kita dengan lebih baik daripada diri kita sendiri. Dia memahami kemampuan dan keterbatasan kita. Dia mengetahui persis apa kesulitan yang kita harus hindari dan melihat potensi kita sepenuhnya. Dia memiliki pandangan tinggi yang ditetapkan untuk kita, dan Dia bersedia memberikan segala bentuk bantuan yang kita butuhkan untuk menggenapi rancangan-Nya dengan sempurna. Namun, kita harus sepenuhnya berpaling dan memercayai-Nya.

Apa pun langkah iman yang Anda perlu ambil, saya berharap dan berdoa agar Anda akan mengambilnya. Saya tidak mengetahui apa yang Allah sediakan untuk hidup Anda, tetapi saya mengetahui pasti bahwa Anda tidak ingin melewatkan petualangan ini!

Sumber: 

Sumber:

Judul buku : Making Life Work
Judul artikel : Trust God in Everything (Bab 12)
Penulis : Bill Hybels
Penerbit : InterVarsity Press
Halaman : 192 - 206

Percaya Kepada Allah dalam Segala Sesuatu -- (Bagian 1)

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

"Making Life Work: Putting God`s Wisdom into Action" (Downers Grove, Illinois: InterVaesity Press, 1998), adalah buku yang ditulis oleh Bill Hybels sebagai hasil perenungan ketika dia bercengkerama dengan Tuhan melalui kitab Amsal. Menurut Bill Hybels, kitab Amsal berbicara tentang bagaimana hidup secara optimal, dan kunci utama untuk kita bisa mendapatkan hidup yang seperti itu adalah dengan percaya sepenuhnya "pada" dan "di dalam" Allah atas segala sesuatu. Pada bab ke-12 dari bukunya tersebut, yaitu artikel yang ada di edisi e- Reformed kali ini, Bill Hybels menguraikan dengan sangat sederhana beberapa jawaban dari pertanyaan reflektif, seperti: Apakah artinya "percaya" pada Allah? Mengapa memercayai Allah merupakan satu keputusan paling penting untuk memulainya? Mengapa kita senantiasa dicobai untuk memercayai penilaian kita sendiri, alih-alih memercayai Allah sepenuhnya? Apa sajakah keuntungan memercayai kepemimpinan Allah dalam hidup kita? Beranikah kita menyerahkan hidup kita sepenuhnya pada Allah?

Terjemahan dari bab ke-12 dari buku "Making Life Work" ini cukup panjang, karena itu kami akan menyajikannya secara berturut-turut dalam dua edisi. Bagi Anda yang saat ini sedang mengalami hidup yang "biasa-biasa saja" dan melihat hidup hanya sebagai rutinitas belaka, maka buku ini akan menolong Anda untuk berani mengambil langkah yang akan mengubah hidup Anda selamanya. Bagaimana caranya? Selamat menemukan jawabannya di artikel di bawah ini.

In Christ, Redaksi Tamu e-Reformed S. Heru Winoto http://reformed.sabda.org http://fb.sabda.org/reformed

Penulis: 
Bill Hybels
Edisi: 
117/I/2010
Tanggal: 
30-1-2010
Isi: 
Percaya Kepada Allah Dalam Segala Sesuatu (Bagian 1)

Kitab Amsal dapat diringkas menjadi satu bagian singkat yang mungkin dihafal oleh lebih banyak pengikut Kristus daripada kitab lain dalam Alkitab. Jika Anda sudah lama hidup bergereja, Anda mungkin bisa mengutip dua ayat pendek ini lebih cepat daripada saya menulisnya. Ayat-ayat itu adalah Amsal 3:5-6: "Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu." Saya menganggap ayat ini sebagai puncak dari semua ayat Amsal bukan hanya karena akrab bagi begitu banyak orang, tetapi juga karena berpengaruh besar dalam kehidupan saya pribadi.

Segera setelah saya menjadi seorang Kristen, saya melakukan apa yang dilakukan oleh kebanyakan orang yang baru percaya: saya diam-diam mempertimbangkan sejauh mana keseriusan saya untuk mengikuti iman saya yang baru. Saya menyadari bahwa Yesus telah mati untuk saya, dan saya ingin menunjukkan rasa terima kasih kepada Tuhan dengan mencoba berjalan bersama-Nya. Tetapi, sejauh manakah kesediaan saya untuk berjalan bersama-Nya? Setidaknya saya menyadari bahwa saya harus membaca Alkitab. Saya harus senantiasa berdoa. Saya juga perlu melibatkan diri di dalam gereja saya. Sekali lagi, sejauh mana saya bersedia melakukan semua itu?

Saya mengenal beberapa orang yang menjadi sangat bersemangat, benar- benar setia, dan menjadi orang Kristen yang luar biasa. Tampaknya, dalam waktu semalam, iman mereka mampu mengubah segalanya: moralitas, hubungan mereka dengan orang lain, pengelolaan keuangan mereka, dan pada beberapa kasus karier mereka juga diubahkan. Perubahan ini tampak agak ekstrem bagi saya. Saya sangat yakin bahwa saya tidak ingin berubah hingga sejauh itu. Namun, sejauh manakah saya ingin melakukannya? Sejauh manakah saya memperkenankan iman baru saya memengaruhi kehidupan saya sehari-hari?

Ketika itu seorang Kristen yang bijak, yang mengenal saya dengan baik, merasakan perjuangan saya. "Bill," katanya, "aku punya tantangan untukmu. Mengapa kamu tidak menyerahkan seluruh hidupmu ke dalam tangan Tuhan? Mengapa kamu tidak memercayai-Nya sepenuhnya? Mengapa kamu tidak menyandarkan hidupmu kepada-Nya? Mengapa tidak kaubiarkan Ia memimpin dan membimbingmu di dalam setiap bidang kehidupanmu, selama Ia membuktikan diri-Nya dapat dipercaya? Jika suatu saat Ia menunjukkan diri-Nya tidak dapat dipercaya, kamu tentu dapat membebaskan diri, keluar, meninggalkan-Nya, atau apa saja. Tetapi, sebelum itu terjadi, berilah Allah kesempatan untuk memimpin dan membimbing hidupmu. Beri Ia kesempatan untuk membuktikan bahwa diri- Nya dapat dipercaya."

Orang ini sangat mengenal saya, dia mengetahui saya tidak pernah mundur selangkah pun dari tantangan yang sulit. Saya merasa dia juga mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati saya: bahwa saya tidak akan pernah puas jika saya tidak mengambil risiko untuk memercayai Allah sepenuhnya. Jika Allah sebagaimana yang Ia katakan, Ia pasti mengenal lebih banyak tentang diri saya dan masa depan saya daripada saya sendiri. Betapa bodohnya saya jika melewatkan kesempatan untuk mendapatkan pengetahuan, wawasan, dan bimbingan-Nya.

Apakah yang Allah kehendaki untuk hidup saya? Ke mana Ia ingin saya pergi? Apa yang Ia inginkan untuk saya lakukan, atau Ia menghendaki saya menjadi apa? Bagaimana jika Ia mempunyai rencana yang luar biasa untuk seorang anak berumur tujuh belas tahun dari Kalamazoo, Michigan? Bagaimana jika Ia menyuruh saya untuk bertemu dengan orang-orang yang mengagumkan? Bagaimana jika Ia memberikan karir yang berisiko tinggi untuk saya? Bagaimana jika Ia telah menyiapkan tantangan dan petualangan yang tak terbayangkan sebelumnya, yang telah menunggu saya? Bagaimana jika saya melewatkan semua ini karena saya tidak memberi-Nya kesempatan membimbing dengan hikmat-Nya?

Benar-benar tidak tampak seperti doa yang bersungguh-sungguh, bukan? Itu lebih mirip kenekadan daripada pertaruhan yang bijaksana. Saya bertindak sepenuhnya pragmatis dan membayangkan bahwa hanya ada risiko yang kecil di dalamnya. Orang itu mengatakan bahwa saya bisa keluar kapan saja jika sistemnya tidak bekerja, yaitu saat Allah membuktikan diri-Nya tidak dapat dipercaya. Saya setengah berharap itu yang akan terjadi, tetapi saya melihat kemungkinan terbaik, dan saya memutuskan memilih yang kerugiannya hanya sedikit. Jadi saya berkata, "Oke, Tuhan, saya membuat keputusan hari ini. Saya akan memberi Engkau kesempatan untuk memimpin. Aku adalah milik-Mu."

Saya menyadari betapa sombong kedengarannya, seorang anak tujuh belas tahun memutuskan "memberi Allah kesempatan untuk memimpin," seolah- olah saya sedang membantu-Nya. Tetapi, begitulah cara saya melihat masa muda saya. Betapa saya bersyukur bahwa Allah memandang lebih dalam dari sekadar permukaan luar hidup saya, Ia memandang ke dalam hati dan jiwa yang sangat membutuhkan-Nya. Betapa saya bersyukur bahwa Ia bersedia membalas iman saya yang penuh perhitungan dengan kasih karunia dan bimbingan-Nya.

Mengapa saya begitu bersyukur? Karena pada hari saya membuat transaksi tersebut dengan Allah, dan Ia bersama saya, itulah yang mengawali petualangan terbesar di dalam hidup saya. Saya ngeri membayangkan apa yang akan saya lewatkan bila saya membuat pilihan yang berbeda.

Kesempatan yang sama terbuka bagi kita semua. Siapa pun dapat membuat keputusan yang sama untuk memercayai Allah, untuk "memberi Allah kesempatan untuk memimpin." Ia menerima kita semua di mana pun kita berada, beserta semua keraguan dan keengganan kita -- sama seperti Ia menerima saya. Kita harus memercayai-Nya hari demi hari. Seperti kata teman saya, bahwa kita harus memercayai-Nya hanya selama Ia membuktikan diri-Nya layak untuk dipercaya.

Percayalah kepada Tuhan

Mungkin Anda hampir siap membuat keputusan ini, tetapi Anda memiliki beberapa pertanyaan. Mungkin Anda menilik bagian pertama Amsal 3:5-6 ("Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu"), dan Anda berpikir untuk mencobanya, tetapi Anda tidak cukup meyakini artinya. Bagaimana cara untuk mulai memercayai Allah setiap hari?

Kenangan tentang bagaimana Anda berpacaran pada masa lalu mungkin akan membantu. Bayangkan kembali laki-laki atau perempuan muda yang membuat jantung Anda berdetak kencang. Ingatkah Anda akan hari pertama ketika Anda mengumpulkan keberanian untuk mengajak seseorang berkencan? atau menerima kencan? Pada momen pertama berinteraksi itu, Anda pasti mengamati dengan cermat tanpa ragu untuk menilai apakah fokus baru Anda pada keromantisan itu dapat dipercaya. Entah Anda menguji orang tersebut secara sadar maupun tidak sadar, Anda sedang mencocokkan berbagai unsur yang Anda lihat dalam diri orang tersebut untuk menentukan apakah ia benar-benar bisa atau tidak bisa Anda percayai.

Jika orang yang Anda kasihi berkata bahwa dia akan berada di rumah Anda pukul 19.00, Anda boleh lega ketika ia datang tepat waktu. Ketika ia datang terlambat satu jam tanpa banyak menjelaskan keterlambatannya, Anda mungkin akan mengernyitkan dahi, meskipun hanya di dalam hati. Ketepatan waktu mungkin tampak sepele, tetapi jauh di dalam hati, Anda menyadari bahwa itu menandai kelayakan seseorang untuk dipercaya. Bagaimana Anda bisa memercayakan permasalahan yang lebih besar menyangkut hidup Anda kepada seseorang yang bahkan tidak cukup dapat dipercaya untuk datang tepat waktu?

Tetapi, mari kita asumsikan teman kencan Anda datang tepat waktu dan terbukti dapat dipercaya dalam masalah-masalah kecil lainnya yang muncul dalam hidup. Langkah selanjutnya untuk membangun kepercayaan barangkali dengan melakukan beberapa percakapan berisiko dan mendiskusikan beberapa hal dari hati ke hati. Ketika teman Anda itu berbicara, dengarkanlah dengan cermat, cobalah untuk mengenali kebenaran yang terkandung di dalam kata-katanya. Apakah pikiran, gagasan, dan deskripsi pengalaman orang ini tampak masuk akal dan dapat dipercaya, atau terlihat dibuat-buat dan sedikit menyimpang dari kenyataan?

Dan ketika Anda berbicara jujur dan terbuka, apakah orang itu mendengarkan dengan cermat dan merespons dengan tepat? Apakah dia memberikan saran yang baik, kasih sayang yang tulus, penegasan yang bijak, atau tantangan yang perlu? Natur percakapan itu dan setiap percakapan berikutnya dapat meningkatkan atau mengikis kepercayaan Anda kepada orang ini.

Jika kepercayaan Anda semakin meningkat sampai ke tahap Anda memutuskan untuk berkencan dengan orang ini secara khusus, lanjutkan tes kepercayaan ke tingkat yang lebih tinggi. Itu harus dilakukan. Semakin besar komitmen yang terjalin dalam suatu hubungan, semakin besar tingkat kepercayaan yang diperlukan. Yang mulanya merupakan perhatian pada ketepatan waktu pasangan Anda dan kemudian perhatian atas kejujuran ucapannya, sekarang telah berkembang menjadi perhatian terhadap masalah-masalah yang menyangkut keterandalan, komitmen, dan kesetiaan jangka panjang. Semakin komitmen Anda meluas, kepercayaan Anda juga perlu semakin dalam. Ini merupakan bagian dari usaha-usaha agar berhasil dalam menjalin hubungan. Kita tidak bisa duduk diam menunggu kepercayaan itu berkembang. Membangun kepercayaan membutuhkan tindakan. Kita perlu mengambil langkah-langkah kecil dan kemudian menilai kemajuannya. Kita perlu mengambil risiko-risiko kecil dan kemudian mengevaluasi konsekuensi-konsekuensinya.

Setelah terlibat dalam proses tersebut selama berbulan-bulan, bahkan mungkin bertahun-tahun, kita sampai pada saat kita dapat berkata, "Saya bisa memercayai orang ini sepenuhnya. Saya tidak meragukannya. Berkali-kali melalui berbagai pengalaman, saya mendapatkan kesempatan untuk diyakinkan bahwa orang tersebut dapat dipercaya. Sejauh yang saya perhatikan, bukti itu ada. Orang ini adalah teman yang dapat dipercaya!" Atau waktu dan pengalaman bisa memaksa kita untuk menyimpulkan bahwa orang itu tidak dapat dipercaya. Kita melihat terlalu banyak ketidakkonsistenan karakter pada orang itu dan menyaksikan terlalu banyak perilaku yang tidak bertanggung jawab. Dalam berhubungan dengannya, kita mengalami terlalu banyak kekecewaan. Semua indikator tersebut menunjukkan kepada kita bahwa orang ini membawa risiko yang buruk.

Memercayai atau tidak memercayai seseorang. Ini bukanlah keputusan kecil atau keputusan yang kita buat dalam satu saat. Saya menganggapnya lebih daripada satu keputusan tetapi langkah bertahap menuju kesimpulan yang telah diberikan, suatu kesimpulan berdasarkan ratusan interaksi pribadi dan perenungan yang mendalam.

Langkah Besar

Hal ini sama seperti hubungan kita dengan Allah. "Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu," kata penulis ayat ini. Namun ini bukanlah pernyataan yang sederhana. Tidak ada jalan pintas untuk percaya. Meskipun kita dapat dan harus menemukan alasan untuk percaya kepada Tuhan seperti yang kita baca dalam Alkitab mengenai tindakan Tuhan yang dapat dipercaya sepanjang sejarah, ada dimensi pribadi dalam memercayai Tuhan, yang harus kita kembangkan dengan cara yang sama seperti kita mengembangkan kepercayaan terhadap teman, teman kencan, atau pasangan hidup: dengan melibatkan diri secara nyata dalam situasi hidup sehari-hari selama jangka waktu yang panjang. Itulah satu-satunya cara bagi diri kita sendiri untuk memutuskan apakah aman dan bijaksana untuk memercayakan hidup kita kepada Tuhan.

Bahkan ketika Anda sedang membaca tulisan ini, Anda mungkin sedang memantau alat pengukur kepercayaan Anda. Ketika Anda telah membaca dan merenungkan ayat-ayat Alkitab yang saya kutip, cerita-cerita yang saya berikan mengenai kehidupan orang lain, dan pengalaman saya, Anda pasti menjadi semakin mau atau tidak mau untuk percaya pada Allah. Saya harap Anda berada di sisi yang "semakin mau" daripada di sisi yang "semakin tidak mau". Jika Anda belum menjadi Kristen, saya berharap bahwa Anda akan menjadi semakin lebih percaya bahwa Alkitab itu benar, bahwa Allah adalah sama seperti Ia katakan-Nya, dan bahwa Yesus adalah Juru Selamat dunia ini.

Anda mungkin sedang mendengar bisikan halus ketika Anda selesai membaca. Anda mungkin tidak siap untuk memercayai hal ini, tetapi Roh Allah terkenal dalam hal menyampaikan kebenaran dalam keheningan roh kita. "Aku ini nyata," Roh Allah mungkin berkata kepada Anda. "Semua ini adalah benar. Aku mengasihimu. Jika kamu bersedia sedikit percaya saja, Aku akan membuktikan bahwa Aku dapat dipercaya. Bagaimana?"

Di manakah Anda berada dalam perjalanan rohani Anda? Apakah sejauh ini Allah telah membuktikan diri-Nya kepada Anda sehingga Anda siap untuk menapakkan kaki Anda kepada langkah iman berikutnya? Jika Anda masih baru dalam hal ini, langkah berikutnya mungkin adalah langkah yang besar, tetapi hubungan Anda dengan Allah tidak akan dapat berkembang sampai Anda melakukannya. Yohanes 1:12 mengatakan bahwa "untuk semua orang yang menerima-Nya, diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya." Cepat atau lambat, setiap orang yang sedang menyelidiki kekristenan dan menemukan bahwa Tuhan itu dapat dipercaya; mereka harus mengambil langkah besar untuk secara pribadi menerima perkataan Kristus dan percaya bahwa Ia adalah seperti yang dikatakan-Nya, Anak Allah, yang kehidupan dan kematian- Nya membuka jalan bagi kita untuk diangkat menjadi keluarga Allah.

Roma 10:13 mengatakan kepada kita bahwa "barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan, akan diselamatkan." Kata "barangsiapa" menyatakan maksud terdalam dari hati Allah. Tetapi dua kata kunci, "yang berseru," mengingatkan bahwa kita harus bertindak -- sebagai suatu tanggapan atas kemurahan Allah. Ia menawari kita pengampunan, tetapi kita harus mengakui bahwa kita membutuhkannya dan kemudian bersedia menerimanya. Ia menawarkan kepemimpinan yang penuh kasih dan hikmat atas hidup kita, tetapi kita harus menyatakan kepada-Nya bahwa kita menginginkannya. Ia menawarkan anugerah, tetapi kita harus mengulurkan tangan kita dan memegangnya.

Banyak orang yang sampai pada tahap mengambil keputusan dan bertanya, "Bagaimana bila saya berseru kepada Allah untuk mengampuni dosa-dosa saya dan meminta-Nya untuk memimpin hidup saya, tetapi saya menemukan tidak ada siapa pun di surga? Bagaimana jika tidak ada yang terjadi? Bagaimana jika tidak ada jawaban?" Satu-satunya jawaban yang dapat saya berikan adalah bahwa hanya ada satu cara untuk mengetahuinya: Lakukanlah hal itu dan lihatlah apakah Allah membuktikan diri-Nya dapat dipercaya. Jika yang ada hanya keheningan dari surga, Anda mendapatkan jawabannya. Anda sudah mencobanya dan hal tersebut tidak berhasil. Rupanya hal itu tidak nyata. Sekarang Anda bebas untuk pergi, dan Anda tidak perlu melihat ke belakang.

Hal ini bisa saja terjadi. Anda bisa dengan tulus mencari Allah dan menemukan bahwa Ia tidak ada. Walaupun janji-janji Kitab Suci dan pengalaman jutaan orang sepanjang sejarah sangat menyarankan hal yang sebaliknya dan memberi kita banyak alasan untuk percaya bahwa Allah itu ada, mereka tidak memberikan bukti nyata kepada kita. Mengambil langkah besar untuk datang kepada Allah selalu melibatkan tindakan iman. Namun lihatlah dengan cara ini: hidup yang bernilai adalah hidup yang membutuhkan banyak langkah iman.

Pada pengalaman terjun payung pertama saya, saya menoleh ke instruktur saya, menepuk parasut saya dan berkata, "Apakah saya dapat mempercayai benda ini akan terbuka?" Dia berkata, "Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya." Lalu ia terkekeh dan menambahkan, "Yang saya dapat katakan adalah bahwa parasut saya tidak pernah gagal terbuka." Beberapa saat kemudian kami berdua meluncur ke bawah pada tingkat kecepatan yang sangat tinggi. Jelas parasut saya terbuka, demikian pula parasut miliknya.

Meskipun terjun payung berisiko tinggi -- hidup dan mati bergantung pada tali pembuka parasut -- dan sensasinya luar biasa, ini adalah pengalaman yang tidak harus kita jalani. Jika tampak terlalu menakutkan bagi kita, kita tidak perlu melakukannya. Kecuali jika kita terpikat oleh tantangan dan kesenangan dalam terjun payung, tidak ada alasan bagi kita untuk melatih iman kita dengan melompat keluar dari pesawat yang sedang terbang pada ketinggian 5.000 kaki.

Namun demikian memilih keselamatan yang ditawarkan Kristus merupakan suatu hal yang harus kita lakukan. Kekekalan menjadi taruhannya, dan kita harus memilih. Kedua-duanya memerlukan iman: memilih untuk menempatkan kepercayaan kita di dalam Kristus menuntut iman kepada Pencipta dan Pemelihara dan Pengasih dan Juru Selamat yang tidak dapat kita lihat atau dengar atau rasakan oleh indera kita. Berpaling dari tawaran Kristus juga menuntut iman dari diri kita untuk menghadap Allah yang kekal seorang diri, ataupun iman terhadap alam semesta yang tidak bertuhan. Ke mana Anda ingin berjalan bersama iman Anda?

Saya bisa menceritakan kepada Anda berbagai kisah orang yang telah memilih untuk menempatkan iman mereka kepada Allah dan telah mengalami perubahan jiwa yang mendalam. Bagi sebagian orang, hal ini merupakan pengalaman emosional, tetapi tidak bagi yang lainnya. Seorang pengusaha yang baru saja menerima pengampunan dari Kristus bercerita kepada saya, "Rasanya seperti gugatan yang baru saja dibatalkan, perasaan dihakimi yang sangat berat di kepala saya selama bertahun- tahun itu sudah hilang." Orang-orang lain bersaksi tentang rasa damai atau ketenangan jiwa yang mendalam, tidak sama seperti perasaan lain yang pernah mereka ketahui.

Saya mengalami perubahan tersebut di perkemahan Kristen ketika saya berusia tujuh belas tahun. Saya bukan seorang yang mengutamakan perasaan, apalagi ketika saya masih seorang remaja. Tetapi, ketika saya berseru agar Sang Juru Selamat dunia menyelamatkan saya secara pribadi, sesuatu yang benar-benar tidak terduga terjadi dalam tiga puluh detik berikutnya. Saya tidak menjadi emosional. Saya tidak menangis, menjerit, atau tertawa, seperti yang terjadi pada beberapa orang sebagai suatu ekspresi tulus yang keluar karena perubahan di dalam diri mereka. Tetapi, saya benar-benar mengalami kasih ilahi yang murni, melimpah, dan mendalam, yang membuat saya mengira diri saya akan meledak. Saya merasa bahwa saya harus memberitahukan hal ini kepada seseorang, sehingga meskipun sudah larut malam, saya membangunkan beberapa teman saya, menarik mereka dari tempat tidur dan mengatakan kepada mereka apa yang terjadi. "Aku baru saja mengundang Kristus ke dalam hidupku, dan aku merasa sangat berbeda di dalam diriku. Aku tidak dapat menemukan kata-kata untuk menjelaskan apa yang terjadi, tetapi aku tahu itu nyata."

Dalam Lukas 15:10 Yesus berkata, "Aku berkata kepadamu: Demikian juga akan ada sukacita pada malaikat-malaikat Allah karena satu orang berdosa yang bertobat." Saya tidak tahu apakah malaikat-malaikat pada malam itu merayakan pertobatan saya, tetapi yang jelas teman-teman saya bergembira. Saya tidak menyadari bahwa banyak dari mereka telah lama berdoa agar saya mengambil langkah penting ini. Tidak perlu saya katakan lagi, mereka tak henti-hentinya memberikan dukungan, dan perayaan kami berlanjut sampai larut malam.

Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda siap untuk mengambil langkah iman yang besar? Anda dapat melakukannya dengan menaikkan doa yang sederhana: "Yesus Kristus, saya membutuhkan Juru Selamat. Saya memerlukan seseorang untuk mengampuni dosa-dosa saya dan untuk memimpin hidup saya. Tolong lakukan itu untuk saya."

Beberapa dari Anda mungkin telah melakukannya sejak lama, tetapi kemudian Anda berpaling dari kepemimpinan Allah; karena berbagai alasan, Anda kembali mencoba menjalani hidup dengan cara Anda sendiri. Tetapi, Anda sekarang sudah siap untuk meminta pengampunan Allah dan sekali lagi percaya pada kepemimpinan-Nya. Jika Anda siap melakukan itu, tolong jangan menahan diri. Katakan kepada Allah bahwa Anda memerlukan bantuan dan bimbingan-Nya dan bahwa Anda mengabdikan diri kembali kepada-Nya. Dia menunggu untuk mendengar kata-kata ini.

Sumber: 

Sumber:

Judul buku: Making Life Work
Judul artikel: Trust God in Everything (Bab 12)
Penulis: Bill Hybels
Penerbit: InterVarsity Press
Halaman: 192 - 206

Tell The Truth -- Beritakan Kebenaran

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Tulisan yang saya kirimkan di bawah ini sebenarnya hanyalah sebuah bab pendahuluan dari sebuah buku yang berjudul "Tell The Truth -- Beritakan Kebenaran", yang ditulis oleh Will Metzger.

Saya ingin membagikan tulisan yang berisi pendahuluan ini karena saya sangat terkesan dengan isinya. Kalau Anda teliti, hampir pada setiap paragraf selalu terselip pertanyaan, bahkan ada paragraf yang isinya hanya pertanyaan. Lah, apa menariknya membaca tulisan yang berisi pertanyaan? Bukankah lebih berguna kalau membaca artikel yang berisi banyak pengetahuan dan penjelasan daripada pertanyaan? Membaca tulisan yang berisi informasi atau pengetahuan hanya akan membuat kita menjadi "passive recipient" (penerima pasif). Tapi membaca tulisan yang berisi banyak pertanyaan, kalau kita tertantang untuk menjawabnya, maka tulisan itu akan membuat kita menjadi "active participant" (peserta aktif). Hasilnya, kita dapat menggali lebih banyak dan belajar lebih banyak. Pertanyaan yang bermutu akan menggelitik kita untuk berpikir secara aktif dan mencari solusi masalah secara efektif.

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan penulis buku tersebut berkisar pada masalah penginjilan. Percayakah Anda bahwa sebenarnya ada lebih banyak pertanyaan tentang penginjilan daripada nasihat tentang bagaimana melakukan penginjilan dengan baik. Itu sebabnya ada banyak alasan orang tidak melakukan penginjilan. Jika pertanyaan-pertanyaan itu Anda renungkan dengan baik, mungkin kita akan menemukan pemecahan kesulitan dan ketidakberesan dari cara kita menginjili sehingga menghasilkan cara dan motivasi penginjilan yang alkitabiah.

Perhatikan salah satu paragraf yang berisi bayak pertanyaan seperti ini.

"Banyak ketidakpastian yang mengusik pikiran saya. Mungkinkah seseorang termotivasi untuk bersaksi, tetapi akhirnya mempermalukan Tuhan dan salah menyampaikan berita-Nya karena ketidaktahuan atau manipulasi? Apakah saya termotivasi oleh rasa bersalah atau oleh harapan orang lain? Apakah saya berusaha mencari dalih atas minimnya semangat saya dan ketidaksuksesan saya? Mengapa saya hendak membatasi pekerjaan Tuhan melalui diri saya hanya sejauh kalangan "teman-teman" dan "undangan ke pertemuan"? Bagaimana dapat saya pungkiri bahwa oleh penentuan Allah saya dipertemukan dengan orang-orang tertentu, sekalipun hanya untuk beberapa menit?"

Bagaimana Anda akan menjawab pertanyaan -- atau lebih baik kalau saya ganti dengan kata pergumulan -- yang penulis ajukan ini? Belum lagi pertanyaan yang berkaitan dengan masalah teologi, ada banyak penginjilan yang sukses tapi karena tidak mengutamakan pengajaran yang benar maka akhirnya justru membuat kekristenan menjadi lemah (tidak ada mutunya) dan menghasilkan petobat-petobat "palsu". Jadi, ternyata menginjili tidak sesederhana yang kita pikirkan, bukan? Itu sebabnya hanya sedikit orang yang mau menginjili, padahal panggilan Allah untuk orang yang sudah percaya dan menerima Kristus hanya satu, "pergilah dan beritakanlah Injil."

Melalui bab pendahuluan ini, pembaca bisa memiliki gambaran besar isi bukunya. Dengan membaca bab pendahuluan ini, saya berharap Anda akan terdorong untuk memiliki kerinduan menjadi penginjil yang memberitakan kebenaran. Sekarang Anda pasti menjadi semakin penasaran untuk mengetahui keseluruhan isi buku tersebut, bukan? Karena itu, Anda harus membeli buku ini. Silakan menghubungi toko buku Kristen terdekat untuk mendapatkan keseluruhan buku. Saya jamin Anda tidak akan rugi.

Selamat merenungkan.

In Christ,
Yulia
< yulia(at)in-christ.net >
< http://soteri.sabda.org/>
< http://fb.sabda.org/reformed >

Penulis: 
Will Metzger
Edisi: 
116/XI/2009
Tanggal: 
1-1-2010
Isi: 

Pendahuluan

Pernahkah Anda menemui jalan buntu dalam penginjilan? Apakah Anda merasa terjepit di antara dua alternatif yang keduanya tidak mungkin dilaksanakan dan tidak dapat menemukan jalan keluar? Di satu sisi Anda melihat orang-orang Kristen yang sanggup bergaul akrab dengan banyak orang, tetapi tidak banyak menceritakan tentang Yesus Kristus. Di sisi lain ada orang-orang yang senantiasa "memberitakan Injil", tetapi tampaknya tidak mengerti apa-apa tentang persahabatan yang sejati. Kedua ekstrem di kalangan Kristen ini benar-benar menimbulkan frustrasi.

Buku ini bertujuan menolong Anda dalam "memperlihatkan dan menyampaikan" Injil dalam cara yang mempermuliakan Allah, bermanfaat bagi orang lain, dan melegakan bagi Anda sendiri. Ini bukan rencana untuk memaksa orang, juga bukan anjuran untuk sekadar menjadi orang baik dan menunggu orang lain datang kepada Anda seandainya mereka ingin berbicara tentang perkara-perkara rohani. Namun, tujuannya adalah membantu Anda menemukan kembali inti teologis dari Injil, sebab hanya bila persepsi Anda tentang anugerah Allah yang aktif dalam keselamatan berubah, barulah Anda akan sanggup menemukan keyakinan, sukacita, dan rasa syukur untuk mendukung gaya hidup Injili yang baru.

Seperti Apakah Model yang Alkitabiah?

filsafat

Saya termasuk kelompok orang Kristen yang percaya pada penginjilan berdasarkan persahabatan, tetapi saya mendapati bahwa ternyata yang terwujud hanya persahabatan dan sedikit sekali penginjilan. Motivasi bukan masalah bagi saya. Saya telah mengalami pertobatan dan hidup baru dalam Kristus semasa saya masih duduk di bangku sekolah menengah atas, dan Yesus Kristus sungguh nyata bagi saya. Saya memiliki kerinduan yang kuat untuk menceritakan pada orang lain mengenai Dia, tetapi kebanyakan sosok panutan yang saya ikuti cenderung berada pada salah satu dari kedua ekstrem yang saya singgung di atas. Juga banyak kendala lain: pengetahuan Alkitab saya kurang, kepribadian saya kurang dewasa, karena saya masih cenderung menganggap Tuhan ada hanya untuk menguntungkan diri saya sendiri dan merasa takut ditolak. Dengan segala kekurangan ini, saya memulai perjalanan rohani pribadi untuk berusaha menjadi saksi Kristus.

Awalnya, bersaksi tampaknya begitu sederhana. Saya tahu beritanya dan tahu siapa yang membutuhkan. Apa yang membingungkan atau menyulitkan di sini? Tak lama kemudian saya mengetahuinya. Saya tidak mempunyai konsep yang jelas mengenai isi Injil. Karena itu, kehidupan Kristen saya tetap kerdil dan kemampuan saya untuk membawa orang-orang yang belum percaya kepada Kristus terhambat.

Kemudian, saya dihujani serentetan nasihat. Ada yang memberi tahu bahwa saya harus bersaksi dengan menyenangkan orang lain, mengajak teman-teman sekolah saya untuk berkumpul dan bersenang-senang di gereja atau di lingkungan yang netral seperti rumah. Lalu, malamnya akan diakhiri dengan pembicaraan yang menggugah hati. Kedengarannya mudah. Orang lain akan menyampaikan Injil bagi saya.

Di perguruan tinggi, saya berjumpa dengan orang-orang Kristen yang menganjurkan pendekatan yang lebih langsung: saya harus mengundang semua orang untuk menghadiri suatu kelompok kecil pemahaman Alkitab atau suatu pertemuan di lingkungan yang "netral" dengan pembicaranya seorang awam. Orang-orang yang belum percaya harus dikonfrontasi secara langsung dengan Kitab Suci. Ah, demikian pikir saya, ini kedengarannya masuk akal. Mungkin pendekatan ini yang harus saya ambil. Namun, rasanya cara ini tidak bersahabat dan mengandung unsur manipulasi. Saya mendambakan metode penginjilan yang efektif. Ada banyak sekali seminar-seminar pelatihan dan buku-buku panduan mengenai hal ini.

Setelah ini, saya semakin bingung karena berjumpa dengan orang-orang Kristen lain yang menyarankan untuk menginjili menurut pola apostolik: yakni dengan mengajak teman-teman saya mendengarkan pembicara-pembicara yang berbakat di gereja atau di pertemuan khusus. Namun, dengan cara demikian, saya tetap mengandalkan orang lain untuk bersaksi.

Kemudian, saya seakan-akan tersentak bangun. Saya menyadari bahwa saya yang harus bersaksi, bukan sekadar membawa orang-orang kepada orang lain yang akan bersaksi bagi saya. Saya yakin akan kewajiban saya, tetapi karena merasa takut, maka saya mencari pertolongan. Lagi-lagi, saya bertemu orang-orang Kristen yang sangat bersemangat dan memaparkan pada saya serangkaian gagasan dan teknik baru untuk penginjilan pribadi. Saya terdorong oleh rasa tanggung jawab yang besar dan rasa bersalah yang semakin kuat karena saya diyakinkan bahwa saya tidak rohani -- atau setidaknya, tidak setia -- jika saya tidak pernah "membawa seseorang pada Kristus". Maka, saya dengan serta-merta mempraktikkan beragam cara bersaksi itu. Pendekatan ini memang membuat saya menyampaikan kebenaran pada orang lain. Namun, kriteria suksesnya bagaikan permainan bilangan: menghitung jumlah orang yang berdoa, yang mengangkat tangan, atau yang mengisi formulir.

Saya merasa gagal. Saya telah mengawali dengan keragu-raguan perihal teknik-teknik licin yang dianjurkan oleh beberapa penginjil yang "sukses". Pada akhirnya, saya tetap ragu-ragu apakah cara-cara ini sesuai dengan Kitab Suci. Keprihatinan ini membawa saya pada beberapa pertanyaan mendasar tentang teologi.

Banyak ketidakpastian yang mengusik pikiran saya. Mungkinkah seseorang termotivasi untuk bersaksi, tetapi akhirnya mempermalukan Tuhan dan salah menyampaikan berita-Nya karena ketidaktahuan atau manipulasi? Apakah saya termotivasi oleh rasa bersalah atau oleh harapan orang lain? Apakah saya berusaha mencari dalih atas minimnya semangat saya dan ketidaksuksesan saya? Mengapa saya hendak membatasi pekerjaan Tuhan melalui diri saya hanya sejauh kalangan "teman-teman" dan "undangan ke pertemuan"? Bagaimana dapat saya pungkiri bahwa oleh penentuan Allah saya dipertemukan dengan orang-orang tertentu, sekalipun hanya untuk beberapa menit?

Saya merasa seolah-olah terjebak dalam pintu putar. Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benak saya dan membuat saya terus-menerus berputar di tempat yang sama. Bagaimana caranya untuk berbicara dengan kasih pada orang-orang (bahkan termasuk juga mereka yang tidak saya kenal) yang oleh Tuhan dipertemukan dengan saya? Mengapa petobat- petobat dari berbagai kelompok Kristen yang berbeda-beda sering kali dapat dibedakan satu sama lain oleh ciri kepribadian tertentu? Apakah saya menginjili hanya bilamana saya melihat ada pertobatan? Apa unsur- unsur terpenting dari berita yang kita sampaikan? Apakah saya bergabung dengan orang lain dalam penginjilan karena kebutuhan yang besar dari orang banyak untuk mendengarkan Injil atau karena kami menganut doktrin Injil yang sama? Mengapa dasar alkitabiah dalam metode-metode penginjilan tidak pernah dibahas (khususnya yang dipraktikkan oleh gereja kita)?

Mengapa ada begitu banyak perbedaan pendapat, kebingungan, dan kekaburan di antara orang-orang yang bersaksi, juga mengenai unsur- unsur yang paling pokok dari Injil? Contohnya, apakah kita memperkenalkan Kristus sebagai Juru Selamat atau juga sebagai Tuhan kepada orang yang tidak percaya? Apakah pertobatan dan pengajaran akan Hukum Taurat Allah merupakan bagian dari Injil? Mengapa perlu lahir baru? Apa yang sebenarnya terjadi pada saat kelahiran baru? Apa bagian kita dalam keselamatan, dan apa bagian Tuhan? Bagaimana seseorang bisa mengetahui bahwa ia sudah dilahirkan kembali? Apakah Injil berupa sekumpulan doktrin atau mengenai satu Pribadi? Jika Tuhan telah melakukan apa yang dapat dilakukan dan sekarang menyerahkan pada kemauan kita sendiri untuk menerima keselamatan, bagaimana orang-orang yang mati rohani dapat menanggapi?

Saya tak habis mengerti mengapa setelah orang Kristen memahami konsep umum bahwa setiap orang membutuhkan Kristus untuk keselamatan, lalu timbul kebingungan dan bahkan pertentangan pendapat berkaitan dengan apa yang mencetuskan kelahiran baru -- iman dan pertobatan kita atau Roh Allah yang memampukan kita? Ini merupakan pertanyaan-pertanyaan penting dan fundamental yang terus merongrong pikiran kita. Mengapa kebanyakan kelompok Injili tidak menyadari perlunya menyelidiki seperti apakah Injil yang alkitabiah itu? Saya melihat ada banyak metode yang keliru, dan saya sempat merasa putus asa untuk dapat menemukan cara bersaksi yang terbentuk dari kebenaran, bukan dari pertimbangan praktis atau kekuatan kehendak kita dalam keselamatan. Semua pertanyaan saya di atas dapat dirangkum dalam satu pertanyaan ini: Seperti apakah cara bersaksi berdasarkan persepsi kita akan Allah Pencipta sekaligus Penebus yang bukan sekadar menyediakan keselamatan tetapi juga memampukan seseorang untuk menanggapi dengan jalan bertobat dan menerimanya?

Kendati saran-saran yang awalnya diberikan pada saya perihal penginjilan pribadi tidak banyak membantu, saya harus mengakui bahwa bangkitnya kembali minat dalam topik ini di kalangan Injili adalah sesuatu yang baik. Siapa yang dapat memungkiri kenyataan bahwa partisipasi dalam penginjilan sekarang meningkat? Siapa yang dapat menyalahkan keprihatinan yang timbul dalam diri banyak orang Kristen berkaitan dengan penginjilan? Mereka telah mengorbankan banyak uang, waktu, dan tenaga. Mereka memanfaatkan media modern dengan kreatif. Saya sungguh bersyukur untuk hal ini. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hati saya -- dan saya rasa hati nurani orang-orang lain juga terusik. Mungkinkah ada aspek-aspek penginjilan masa kini yang kurang dalam hal integritas alkitabiah?

Metodologi Timbul dari Teologi

Sebelum kita dapat menemukan jawaban atas pertanyaan penting ini, kita perlu mengevaluasi praktik-praktik penginjilan dewasa ini. Izinkan saya mengulas maklumat yang disampaikan Francis Schaeffer pada Kongres Penginjilan Sedunia di Berlin (1966): Justru karena kita memiliki komitmen pada penginjilan, maka kita terkadang harus membahas antitesisnya. Jika kita tidak mengindikasikan dengan jelas melalui perkataan dan perbuatan mengenai posisi kita terhadap kebenaran dan terhadap doktrin sesat, kita seolah-olah membangun tembok pemisah di antara generasi penerus dan berita Injil. Kesatuan dari kaum Injili haruslah berdasarkan pada kebenaran dan bukannya berdasarkan pada penginjilan itu sendiri. Bila tidak demikian, "kesuksesan" dalam penginjilan dapat berakibat pada melemahnya kekristenan. Pembahasan tentang metode adalah hal yang sekunder setelah prinsip utama ini. Kendati kita harus mengevaluasi doktrin dan metode, tetapi kita tidak boleh menghakimi motivasi orang.

Pada bagian pertama buku ini, saya akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang relevan berkaitan dengan teologi yang mendasari metode-metode penginjilan modern. Saya tidak berniat memaparkan teologi penginjilan dengan panjang lebar. Saya berbicara sebagai seorang anggota keluarga kepada anggota-anggota lain dalam keluarga Allah. Marilah kita memandang ke dalam hati kita dan meneliti Alkitab untuk mencari cara menjadi penginjil yang lebih baik. Saya harap analisis saya dapat mengantarkan kita semua kepada pembahasan dan modifikasi yang konstruktif. Adakah suatu tradisi, teknik, atau pun pribadi yang berada di luar jangkauan evaluasi kita yang mengacu pada standar Alkitab? Saya rasa tidak.

Jikalau benar bahwa ada perbedaan pendapat yang serius di kalangan Injili berkaitan dengan berita dan metode penginjilan, maka kita patut mempertanyakan sampai sejauh mana perbedaan ini dapat dibenarkan? Bila perbedaan ini sekadar karena hendak menjangkau kelompok pendengar yang berbeda atau karena keanekaragaman karunia yang Tuhan berikan pada kita, maka ini tidak jelek. Akan tetapi, jikalau dalam penginjilan kita hanya setia mengikuti tradisi kita, membentuk kebenaran supaya sesuai dengan kepribadian kita, mengurangi kekuatan Injil, atau memanipulasi orang, maka kita salah. Jikalau kita yakin bahwa ada dasar teologis untuk metode kita, kita dapat dibenarkan bila menginjili sesuai dengan itu. Dalam hal ini, perbedaan kita hanya soal hati nurani kita yang dipengaruhi oleh persepsi kita tentang ajaran Kitab Suci. Doktrin yang alkitabiah mengenai penginjilan harus menjadi unsur pengendali dalam setiap praktik penginjilan.

Namun, meskipun kita dapat mengemukakan dasar teologis dari penginjilan kita, tanggung jawab kita tidak berhenti sampai di sini saja. Kita perlu membandingkan pemahaman doktrinal kita dengan orang lain dan dengan rendah hati bersedia merenungkan kembali apa yang difirmankan oleh Roh Kudus pada kita dalam Kitab Suci. Jika tidak demikian, kita tidak dapat belajar dari orang-orang lain. Hal ini sama saja dengan menolak terbitnya terang yang baru atas pemahaman kita akan Kitab Suci. Ini berarti membatasi Roh Kudus dalam berkomunikasi pada kita melalui orang Kristen lain. Berarti, penginjilan kita berdasarkan pada pola tradisi dan tidak berdasarkan pada keyakinan.

Singkatnya, keengganan untuk mengevaluasi penginjilan kita dalam terang Alkitab sama saja dengan menganggap Kitab Suci tidak serius. Akibatnya, kita tidak jujur terhadap satu sama lain, orang-orang yang belum percaya akan mendapat bimbingan yang keliru, dan menimbulkan frustrasi pada mereka yang ingin belajar bersaksi. Sebagai imbasnya, kita dapat membawa anak-anak kita dan gereja kita pada berbagai macam masalah. Kita akan mempermalukan Allah dari Injil itu sendiri. Kita wajib meneliti dengan cermat praktik-praktik penginjilan dewasa ini untuk melihat apakah kita yang bersaksi bagi Kristus memiliki Injil yang utuh dan seimbang.

Kemudian, dalam bagian kedua, saya menguraikan dampak keseluruhan dari Injil itu atas kehidupan kita dan kehidupan orang-orang yang kita jangkau. Sekali lagi, perlu evaluasi untuk menentukan mengapa ada begitu banyak pertobatan "palsu". Komitmen pada Kristus bukan sekadar suatu doa lalu selesai. Namun, ini merupakan pertobatan yang berarti seluruh hidup kita diubahkan. Paulus mengatakan bahwa kita menjadi ciptaan baru. Saya membahas bagaimana perubahan ini harus mencakup seluruh keberadaan kita -- akal budi kita, kemauan kita, dan perasaan kita -- pribadi seutuhnya.

Bagian ketiga menggali kedalaman bagaimana kasih karunia Allah berkarya dalam keselamatan. Kasih karunia mencabut tiga perkara ibarat perisai, menghalangi orang terhadap dampak penuh dari Injil -- yakni hak-hak saya yang mutlak, kebaikan manusiawi saya, dan kehendak bebas saya. Perisai-perisai ini hanya dapat ditembus oleh kasih karunia. Hanya Injil yang berfokuskan pada anugerah yang sanggup membawa pada keselamatan dan membuat orang sanggup menanggapinya, yang merupakan solusi bagi masalah utama orang yang belum percaya. Ini menghasilkan penyembahan yang bergairah, yang merupakan tujuan dari penginjilan -- bukan sekadar menghasilkan keputusan ikut Kristus, melainkan menghasilkan murid-murid Kristus yang bersungguh-sungguh.

Namun, tanggung jawab kita belum selesai setelah tercapai pengertian yang benar tentang kelahiran baru. Kita harus menerapkan Injil itu dalam perbuatan. Kita harus taat pada panggilan untuk memberitakan kebenaran kepada orang lain. Maka, bagian keempat membahas praktik bersaksi, disertai beberapa gagasan praktis tentang bagaimana memulainya. Kita harus menjadi pribadi-pribadi yang utuh (lengkap dan riil). Akhirnya, bagian terakhir memuat beberapa lembar kerja yang dapat diperbanyak untuk melatih diri Anda sendiri maupun orang lain, sebuah diagram Injil yang berfokuskan pada Allah, dan suatu ulasan tentang kontroversi yang sehat.

Penginjilan: Dimenangkan oleh Satu Pribadi

Saya sengaja membatasi pembahasan saya hanya di seputar penginjilan pribadi. Bukan karena bentuk penginjilan lain tidak bermanfaat, melainkan karena sebagaimana dikemukakan oleh penginjil dan negarawan Carl Henry, pendekatan dari pribadi ke pribadi yang diprakarsai oleh setiap orang percaya menciptakan peluang paling baik untuk memberitakan Injil ke seluruh bumi dalam abad ini. Ahli sejarah dari Universitas Yale yang ternama, Kenneth S. Latourette, menekankan konsep ini dalam perkataannya bahwa "orang-orang yang berhasil dalam memperluas kekristenan tampaknya bukan mereka yang berprofesi sebagai penginjil ... melainkan laki-laki maupun wanita yang mempunyai pekerjaan atau mata pencaharian yang murni sekuler dan berbicara mengenai iman mereka kepada orang-orang yang dijumpainya sehari-hari".

Ada orang yang meragukan anjuran yang menekankan penginjilan pribadi ke pribadi. Mungkin keraguan mereka timbul karena begitu banyak penyalahgunaan dalam pendekatan ini. Namun, keraguan yang beralasan pun jangan sampai membuat Anda mengabaikan perintah Kitab Suci untuk bersaksi kepada orang lain. Reaksi yang berlebihan terhadap sisi ekstrem dari individualisme telah mendorong beberapa orang untuk membatasi sifat umum dari kesaksian Kristen. "Supaya mereka sempurna menjadi satu, agar dunia tahu, bahwa Engkau yang telah mengutus Aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi Aku" (Yoh. 17:23). Orang-orang percaya yang bersatu, walaupun berasal dari berbagai latar belakang ekonomi dan etnis, sambil tetap mempertahankan kepribadian dan minat individualnya, seharusnya ibarat lampu neon yang bercahaya terang bagi dunia. Kesatuan yang mengagumkan dari keanekaragaman dalam tubuh Kristus harus mampu meyakinkan orang yang belum percaya bahwa Yesus Kristus diutus oleh Allah. Kelompok yang dinamis dari orang-orang Kristen yang penuh semangat merupakan dasar dari penginjilan, tetapi jika tiap pribadi dalam kelompok itu tidak memberitakan Injil, akhirnya akan menghasilkan pengijilan yang lemah. Kendati tidak diakui secara terbuka, alasan meremehkan inisiatif pribadi dalam bersaksi mungkin adalah kesombongan, roh yang kritis, rasa takut menyinggung perasaan orang, atau bahkan pandangan bahwa "mempermuliakan Tuhan dalam pekerjaanku" sudah cukup.

Pintu masuk menuju kesaksian yang penuh harapan dan sukacita akan ditemukan bila kita memusatkan pandangan pada Allah sebagai Pencipta dan Penebus.
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Dalam Kitab Suci, kita menjumpai banyak contoh di mana Injil disebarkan dari pribadi ke pribadi. Yesus sendiri selalu bersaksi kepada orang-orang yang ditakdirkan untuk bertemu dengan-Nya. Ia membawa firman kehidupan kepada mereka di tengah kehidupan sehari-hari mereka. Kristus menjanjikan kepada murid-murid-Nya bahwa mereka akan menjadi penjala manusia, dan kemudian, dua kali Ia mengutus para pengikut-Nya pergi berdua-dua untuk memberitakan kabar baik itu (Mrk. 6:7-13; Luk. 10:1-24). Di gereja mula-mula, setiap orang Kristen memberitakan Injil (Kis. 8:1, 4). Seorang pemimpin gereja, Filipus, oleh Tuhan diperintahkan untuk meninggalkan pelayanannya yang berhasil untuk berbicara pada satu pribadi yang sedang mencari (Kis. 8:26-40). Paulus menekankan tanggung jawab semua orang percaya sebagai utusan-utusan Kristus dan berkata bahwa pelayanan pendamaian telah dipercayakan kepada mereka (2 Kor. 5:17-20). Allah mengaruniakan kemampuan yang lebih besar dalam menginjil kepada orang-orang tertentu bukan supaya mereka saja yang melakukan semuanya, melainkan untuk memperlengkapi setiap orang percaya dalam tubuh Kristus untuk mengerjakan pelayanan ini (Ef. 4:11-12).

Di dunia kita, mungkin 99,9 persen dari semua orang Kristen tidak berkecimpung dalam pelayanan. Sebelum setiap orang terlibat dalam penginjilan -- berdoa, berinisiatif, dan memberitakan Injil dengan berapi-api -- tak banyak yang dapat terjadi. Kelahiran baru ke dalam Kerajaan Allah biasanya melibatkan orang-orang yang bertindak sebagai bidan-bidan rohani. Seperti anak-anak kecil, kita "memperlihatkan dan menyampaikan" Injil. Dalam setiap pendekatan untuk penginjilan (berupa kelompok kecil pemahaman Alkitab, khotbah, pemanfaatan berbagai media, dll.) terkandung unsur perjumpaan pribadi. Acap kali, orang harus berbicara dengan orang-orang non-Kristen untuk menjelaskan dan mendorong mereka untuk percaya. Bukankah Anda menjadi orang percaya juga karena ada seseorang yang secara pribadi menjangkau Anda? Semua orang Kristen merupakan utusan-utusan Kristus; merekalah yang ditugaskan oleh Allah untuk memberitakan Injil. Bukalah mulut Anda. Allah akan mengisinya dengan firman-Nya.

Sebagai penutup, saya tambahkan sepatah kata pembangkit semangat bagi mereka yang berjuang untuk tetap setia dalam penginjilan. Tidak ada potensi yang lebih besar untuk menimbulkan rasa bersalah dalam diri orang Kristen selain satu topik ini (kecuali bila membahas tentang seks!). Saya tahu reaksi yang akan saya lihat jika saya berbicara tentang topik ini: mata memandang ke lantai, menggerak-gerakkan kaki dan tangan dengan gelisah. Biasanya, ada tawa untuk mengendurkan ketegangan. Namun, semua reaksi itu tidak perlu. Anda dapat menemukan pengharapan, dorongan, dan kelegaan bila penginjilan didasarkan pada Injil yang berfokuskan Allah. Pintu masuk menuju kesaksian yang penuh harapan dan sukacita akan ditemukan bila kita memusatkan pandangan pada Allah sebagai Pencipta dan Penebus.

Dalam buku ini, saya akan meletakkan dasar teologis: Injil yang utuh ... sepenuhnya oleh anugerah. Tempat di mana kita dapat membangun kehidupan penginjilan adalah dalam kedaulatan Tuhan. Kita akan melihat jalinan yang terampil dari setiap pribadi Trinitas yang berkarya dengan harmonis dalam keselamatan. Bapa telah merencanakan keselamatan. Kristus telah mengerjakannya. Roh niscaya akan menerapkannya. Jadi, tak akan ada tempat duduk yang kosong di meja perjamuan dalam Kerajaan Allah. Semua tempat duduk telah dipesan, dengan setiap kartu nama di tempatnya, sebab mereka telah mendengar panggilan batin dari kasih yang menawan itu dan datang ke perjamuan. Tuhan selalu berjalan di depan kita sementara kita bersaksi. Sambil belajar dan memberitakan kebenaran, kiranya kita mendapati teologi kita berubah menjadi puji-pujian (doksologi)!

Audio: Tell The Truth -- Beritakan Kebenaran

Sumber: 

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Judul buku: Tell The Truth -- Beritakan Kebenaran
Penulis: Will Metzger
Penerjemah:
Penerbit: Momentum, Surabaya 2005
Hal: 1 -- 10

Pentingnya Pendidikan Firman Tuhan dalam Hidup Berjemaat

Editorial: 
Dear e-Reformed Netters,

Pertama, maaf seribu maaf, akhir-akhir ini saya sangat sibuk sehingga pengiriman e-Reformed jadi terlambat. Semoga pengiriman artikel di bawah ini bisa menjadi pengganti pengiriman yang terlambat.

Minggu lalu adalah minggu perayaan Hari Reformasi Gereja. Saya ingin bertanya, masih adakah gereja yang merayakannya? Sepertinya, Hari Reformasi ini semakin lama menjadi semakin tidak dikenal. Mau melakukan sedikit eksperimen? Silakan Anda bertanya kepada jemaat biasa, apakah mereka tahu tentang Hari Reformasi Gereja? Saya tidak heran kalau mereka menggelengkan kepala, tanda tidak tahu. Atau kalau pun tahu, maka hanya terbatas di kalangan gereja-gereja beraliran teologi reformed saja. Itu pun karena nama gereja mereka adalah Reformed, sehingga mereka tahu kalau gereja mereka pasti ada sangkut pautnya dengan reformasi. Tapi, ini hanya pandangan saya saja yang cenderung skeptik.

Mengapa artikel di bawah ini saya pilih untuk mengingatkan kita semua pada Hari Reformasi Gereja? Artikel yang ditulis oleh Pdt. D.S. Hananiel yang berjudul PENTINGNYA PENDIDIKAN FIRMAN TUHAN DALAM HIDUP BERJEMAAT ini merupakan isu utama mengapa banyak gereja sekarang ini tidak lagi memiliki kuasa. Saya sangat setuju dengan pengamatan beliau.

Gereja Tuhan yang benar dibangun di atas pengajaran para nabi (Perjanjian Lama) dan rasul (Perjanjian Baru) dalam Alkitab. Kalau gereja tidak lagi memberitakan firman Tuhan dan firman Tuhan tidak lagi diajarkan pada jemaat, maka gereja itu pada dasarnya sudah tidak lagi memiliki dasar untuk berdiri. Nah, semangat untuk kembali kepada pengajaran firman Tuhan dan menekankan pentingnya firman Tuhan ditegakkan adalah semangat reformasi. Apakah berlebihan kalau saya sekarang ini mengajak kita semua mereformasi gereja kita masing- masing?

In Christ, Yulia < yulia(at)in-christ.net > < http://reformed.sabda.org/ > < http://fb.sabda.org/reformed/ >

Penulis: 
Pdt. D.S. Hananiel
Edisi: 
115/IX/2009
Tanggal: 
30 September 2009
Isi: 
Pentingnya Pendidikan Firman Tuhan dalam Hidup Berjemaat

Pentingnya Pendidikan Firman Tuhan dalam Hidup Berjemaat

Alkitab

Sejarah bangsa Indonesia telah membuktikan bahwa keberhasilan penjajahan dalam kurun waktu 3,5 abad lamanya adalah karena si penjajah TIDAK menyediakan PENDIDIKAN bagi rakyat. Alhasil, rakyat tidak dapat berpolitik, mudah dikelabui, bahkan tidak mampu mengambil alih pemerintahan. Demikian pula saya berkeyakinan, bahwa manusia tidak akan dapat menikmati kepenuhan kemerdekaan yang disediakan oleh Tuhan Yesus bila orang-orang Kristen TIDAK DIDIDIK dalam KEBENARAN ALLAH. Bahkan firman Tuhan mengatakan, merajalelanya ajaran-ajaran palsu yang berkedok "kekristenan" dan "Roh Kudus", dapat mengakibatkan orang Kristen kembali "dijajah" oleh kuasa kegelapan. Sungguh menakutkan kalau kita membayangkan hal ini. Saya pribadi merasa ngeri, bila kekhawatiran Paulus yang diutarakan pada jemaat di Korintus sungguh akan menjadi kenyataan, yakni "orang-orang Kristen menyia-nyiakan kasih karunia Allah" (2 Kor. 6:1).

Kalau kita memerhatikan keadaan gereja-gereja, anak-anak Tuhan pada dewasa ini, sungguhlah harus menimbulkan beban untuk benar-benar memikirkan bagaimana MENDIDIK anak-anak Tuhan, gereja-gereja Tuhan, pengerja-pengerja Tuhan dengan kebenaran Tuhan yang "ada sejak semula" (meminjam istilah para rasul).

Menurut observasi kami, dewasa ini terdapat beberapa gejala sebagai berikut.

Anak-anak Tuhan yang begitu besar hasratnya untuk mengetahui kebenaran telah berhasil dipikat untuk mendengar serta mempelajari "kebenaran-kebenaran" yang sudah banyak dibubuhi dengan "bumbu-bumbu masak" supaya "asyik", "enak rasanya", dan "sedap kedengarannya". Apakah sudah tiba saatnya apa yang dinubuatkan Rasul Paulus menjadi kenyataan, bahwa orang-orang mengumpulkan "guru" menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya?! Menurut hemat saya, belum! Akan tetapi, kita selaku hamba-hamba Tuhan telah gagal dalam menggembalakan domba-domba Allah. Kita lebih tertarik pada "yang di luar"; undangan- undangan yang begitu memikat untuk khotbah/memimpin di luar, undangan- undangan untuk membawakan berbagai seminar, bahkan undangan dan tawaran studi. Tak heran kalau Tuhan, Gembala yang Agung berkeluh kesah: "Celakalah gembala-gembala Israel yang menggembalakan dirinya sendiri! Domba- domba-Ku berserak dan tersesat di semua gunung dan di semua bukit yang tinggi." Maka dalam kelaparannya, domba-domba Tuhan makan apa saja yang dapat dimakannya!

Gereja yang seharusnya menjadi tiang kebenaran kini mengikuti mode-mode persekutuan, mode tepuk tangan, mode "oikumene", dll.. Gereja kini sudah kehilangan identitasnya -- merah tidak, putih pun tidak tetapi samar-samar. Hamba-hamba Tuhan takut mengajarkan doktrin-doktrin tegas, jelas, dan nyata. Gereja kita menjadi "banci". Maklum, tanpa penyesuaian diri kita akan kehilangan jemaat! Gereja dewasa ini merupakan gereja massa, gereja manusia dan bukannya gereja Kristus yang JELAS IDENTITASNYA. Adanya perbedaan paham doktrinal tidak perlu menjadikan kita eksklusif! Bukankah gereja Tuhan adalah satu?

Dikhawatirkan bahwa dewasa ini (kaum saya) para hamba Tuhan sudah kehilangan wibawa untuk berkata: "Demikianlah SABDA Tuhan serta sekalian alam!" Apakah hamba Tuhan merupakan suatu profesi atau suatu panggilan Allah? Maklum dengan kemajuan zaman, ada banyak tuntutan- tuntutan -- tuntutan kebutuhan pribadi, tuntutan kebutuhan keluarga, dan sebagainya. Kasihan manusia-manusia yang "ditakdirkan" tinggal di desa dan kota kecil yang "kering". Mereka "terpaksa" harus belajar untuk berdikari. Gedung-gedung mewah yang penuh sesak sudah menanti. Di situlah dibutuhkan "hamba Tuhan". Tidak mengherankan kalau ada orang yang bertanya: "Masih perlukah ada gereja? Masih perlukah hamba- hamba Tuhan?" Sebaliknya, "Perlukah saya menjadi seorang hamba Tuhan pada zaman modern ini, yang hanya menjadi 'sasaran' frustrasi manusia, menjadi 'budak-budak' tuan-tuan dalam gereja? Bukankah perbuatan yang bodoh untuk menjadi 'seperti Gembala Agung yang tidak membuka mulut-Nya ketika diguntingi bulu-Nya?'"

Jeritan panggilan Tuhan Yesus tetap belum tercoret dari Kitab Suci yang demikian bunyinya: "Siapakah yang dapat: Kusuruhkan?" Lihatlah semuanya sudah menguning! Penuai begitu jarang! Maklum mentalitas penuai modern: Berapa gajinya? Bagaimana jaminan sosialnya? Apa haknya? Apa kerjanya?

Kaumku, para hamba Tuhan, "gelap" sudah hampir tiba! Pekerjaan masih jauh dari sempurna. Penuai tetap (bahkan berkurang). Sudahkah kita lupa pengorbanan Kristus yang begitu besar, berharga, dan sungguh tidak terbayarkan!

Tekanan yang terdapat dalam Kitab Suci, kesibukan utama Tuhan Yesus sewaktu Ia masih ada di dunia, yang diikuti oleh kegiatan para rasul, kemudian adalah PENDIDIKAN, PENGAJARAN! Maka marilah kita MENDIDIK, MENGAJAR, MENGGEMBALAKAN domba-domba yang sudah ditebus-Nya dan yang dipercayakan kepada kita untuk dipeliharakan.

Jangan kita singkirkan dan tolak undangan-undangan luar. Maklum di satu pihak, gereja Tuhan bukanlah gereja yang kita asuh saja. Gereja Tuhan itu universal. Setiap hamba Tuhan menanggung kewajiban untuk melayani semua domba Tuhan, SEJAUH MANA yang DIPERKENAN oleh Tuhan. Pada lain segi, katak dalam tempurung. Hamba Tuhan dalam gereja sendiri saja akan merugikan jemaat juga. Maka perlu disusun suatu daftar prioritas berdasarkan:

Di manakah kita dipanggil untuk bekerja?

Di manakah kini kita ditempatkan Tuhan yang Empunya kebun anggur?

Hamba Tuhan berbeda dengan guru pengajar yang tinggal mengajar berdasarkan kurikulum. Hamba Tuhan menyampaikan BERITA Allah, KEHENDAK Allah, dan PENGETAHUAN Allah. Dan, semua itu, selain membutuhkan persiapan yang saksama dan bertanggung jawab, juga komunikasi intensif dengan Dia. Hal ini tidak saja membutuhkan waktu banyak, tapi juga konsentrasi dan ketaatan yang meminta pengorbanan! Kalau guru pengajar sudah memiliki pedoman buku pelajaran yang ditetapkan oleh atasan, tidaklah demikian dengan hamba Tuhan yang perlu menggali sampai dalam, melalui pengalaman - pengalaman hamba Tuhan lainnya, para penulis buku- buku yang tetap memegang kebenaran "yang dari semula", juga pengalaman hidup kita sendiri dengan Tuhan, karena bukankah kita seharusnya menyampaikan apa yang telah "kita dengar dan alami sendiri dari Tuhan"? Melalui pengalaman ini, yang kita peroleh kalau kita bersedia untuk menerima pahit getir hidup, dengan menelan garam untuk diperbudak dan diperalatnya kita oleh tuan-tuan gereja, barulah kita "berguna" bagi anak-anak Tuhan. Dan meminjam istilah Rasul Paulus, seorang hamba Tuhan perlu mengalami pengalaman "ditindas, habis akal, dianiaya, ditinggalkan sendirian, dihempaskan". Ya, kita perlu senantiasa mengalami "kematian Yesus dalam tubuh kita" (2 Kor. 4). Dunia sudah muak dengan filsafat, politik, dan "ajaran yang tinggi". Manusia/domba-domba Allah/anak-anak Tuhan membutuhkan makanan yang dapat dimakan, yang bergizi, menyehatkan, enak, dan praktis untuk diterapkan.

Pencobaan Rasul Paulus sebagai seorang ahli filsafat untuk mengajar secara "hebat" sangat besar, tetapi ia memilih bahasa yang dianggap "kebodohan" oleh dunia tetapi yang memiliki kuasa, karena firman Allah saja yang diberitakannya. Memang dunia dewasa ini minta "bahasa hikmat", tetapi panggilan hamba Tuhan adalah: bukan menggunakan kata- kata hikmat tetapi kata-kata yang memiliki kekuatan Roh (1 Kor. 2) Untuk itu, perlu ada kesetian pada firman Allah saja! Kewajiban hamba Tuhan bukanlah memberikan impresi, melainkan REVELASI dan REGENERASI. Di samping itu, perlu juga MAKANAN DAGING YANG KERAS, yaitu doktrin-doktrin yang mendalam, yang tegas, yang berani kita ajarkan, agar sebagaimana tulang belulang memberi bentuk kepada tubuh seseorang, demikianlah kita dapat memberi bentuk kepada gereja dan anak-anak Tuhan.

salah satu kegagalan pendidikan hamba Tuhan dewasa ini adalah: kita tidak dapat memberikan teladan hidup kepada jemaat kita.

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Kedudukan yang tinggi yang tidak dapat digantikan orang lain, memang menjamin keberadaan kita, "dibutuhkannya" kita dalam gereja. Akan tetapi, Tuhan Yesus "membutuhkan" dua belas murid. Musa membutuhkan wakil-wakilnya, para penatua. Para Rasul membutuhkan juga penatua- penatua. Memang aristokrasi gereja tidaklah sesuai dengan pola Tuhan Yesus dalam pendirian gereja-Nya. Hal ini ditekankan melalui gambaran fungsi seluruh anggota tubuh yang bergantung satu pada yang lain untuk kemudian bekerja sama -sama. Oleh sebab itu, sesuai panggilan-Nya (Ef. 4:11-12), kita wajib MELENGKAPI, MENDIDIK, MEMBEKALI, serta MELIBATKAN sebanyak mungkin anak-anak Tuhan dalam pelayanan, pemerintahan. Bahaya senantiasa mengancam hamba-hamba Tuhan, yang pada suatu saat ingin menguasai segala sesuatu, tetapi pada lain saat "melepaskan" semua kepada anak-anak Tuhan tanpa pengarahan, pembekalan, dan pendidikan. Akibatnya anak-anak Tuhan/para pengerja gereja, masing-masing berbuat apa yang benar di matanya sendiri, ini adalah merupakan pengulangan gejala pada zaman Hakim-Hakim.

Masih dalam rangka pendidikan, Rasul Paulus suka menasihati jemaatnya, agar mereka mengikuti teladan hidupnya. Menurut pengamatan saya, salah satu kegagalan pendidikan hamba Tuhan dewasa ini adalah: kita tidak dapat memberikan teladan hidup kepada jemaat kita. Sebagai contoh: Persoalan "hari Sabat". Kita selaku hamba Tuhan dengan keras dan tegas menuntut jemaat kita memegang teguh hari Sabat tersebut misalnya dengan menutup toko, berhenti bekerja. Akan tetapi, bagaimana dengan pekerjaan kita sendiri selaku hamba Tuhan? Apakah peraturan Sabat tidak berlaku bagi seorang hamba Tuhan? Benarkah kalau hari Sabat, yaitu sehari berhenti setelah bekerja 6 hari, dilaksanakan sebentar pada hari ini, sebentar pada hari lain oleh seorang hamba Tuhan? Apakah salah kalau jemaat meniru teladan hamba Tuhan tadi? Harus diakui bahwa kegagalan banyak hamba Tuhan untuk melaksanakan hari Sabat adalah tidak diperolehnya izin dari majelis/pengurus gereja. Akan tetapi, apakah kegagalan mendapat izin ini tidak terletak pada diri kita sendiri yang gagal mendidik, gagal bekerja sungguh-sungguh selama 6 hari?! Teladan lain adalah berbaktinya keluarga hamba Tuhan terutama kalau anak-anak masih kecil -- belum sekolah -- apakah perlu ke kebaktian anak-anak? Dan, kalau sudah bertumbuh, perlukah mereka semua terlibat dalam pelayanan juga? Salahkah suami istri untuk bertugas bersama-sama keluar kota memenuhi undangan pelayanan? Salahkah kalau seminggu sekali seluruh keluarga -- hamba Tuhan, istri dan anak-anak -- pergi bersama-sama untuk rileks? Sampai di manakah di dalam pendidikan jemaat kita, kita membenarkan suami, karena kesibukannya, tidak perlu mendampingi keluarganya pergi? Pernah seorang penulis buku yang alkitabiah mengemukakan bahwa panggilan hamba Tuhan adalah:

melayani Tuhan pertama-tama,

melayani keluarganya sebagai yang kedua, dan

melayani jemaat/gereja sebagai yang ketiga.

Sebagai penutup, perkenankan kami untuk mohon maaf, seandainya melalui artikel ini, saya mungkin telah menyinggung teman-teman sejawat saya, karena melalui artikel ini, saya tidak ingin menggurui, sebaliknya ingin sharing observasi, sharing beban, sharing pandangan untuk mendapatkan pandangan, pendapat, nasihat, serta bimbingan dari teman- teman sejawat, karena bukankah kita sama-sama pelayan-Nya yang ditugaskan untuk membangun gereja-Nya, memelihara domba-domba-Nya. Kita wajib melaksanakan kewajiban/panggilan kita tadi dengan sebaik- baiknya.

Catatan: Pdt. D.S. Hananiel lahir di Surabaya. Pada tahun 1934 hijrah dan menetap di kota Malang. Karena mengalami berbagai zaman, maka pendidikan beliau sangat bervariasi: pendidikan Belanda, Tionghoa, Jepang, Indonesia, dan Inggris. Selama 24 tahun terdidik dan mengabdi kepada Khong Hu Cu, Kwan Im, dan Kong Co di Kelenteng Malang. Oleh sebab itu, beliau pada dasarnya adalah anti-Kristus. Pertobatan beliau dimulai dari penyelidikan Kitab Suci yang tujuan semulanya adalah untuk mencari kelemahan dan kesalahan kekristenan. Setelah menjadi anak Tuhan, beliau menyerahkan diri menjadi hamba Tuhan. Dan pada tahun 1960, beliau melayani sebagai penginjil, kemudian pada tahun 1969 ditahbiskan menjadi pendeta. Saat ini melayani Gereja Eleos Malang, juga selaku dosen dan penanggung jawab kerohanian (Kristen) di kampus Universitas Brawijaya Malang.

Audio: Pentingnya Pendidikan Firman Tuhan

Sumber: 

Diambil dari:

Nama majalah: Pelita Zaman (edisi no. 2 tahun 1987)
Penulis: Pdt. D.S. Hananiel
Penerbit: Pelita Zaman, Surabaya 1987
Halaman: 45 -- 48

Etika Lingkungan Hidup dari Perspektif Teologi Kristen

Editorial: 

Dear e-Reformed Netters,

Di dalam sejarah peradaban manusia, terdapat tiga revolusi yang telah mengubah pola kehidupan bermasyarakat selamanya, baik dari segi produksi, distribusi, maupun konsumsi. Yang pertama adalah Revolusi Agraria pada masa prasejarah, yang kedua adalah Revolusi Industri pada abad ke-18, dan yang ketiga adalah revolusi yang berhubungan dengan pengolahan minyak bumi pada paruh abad ke-19.

Revolusi Agraria adalah berubahnya metode pencarian makanan dan pekerjaan yang dulunya pemburu dan pengumpul makanan menjadi petani dan penggarap kebun/ladang. Revolusi ini memungkinkan manusia untuk memproduksi makanan lebih dari yang ia butuhkan, sehingga terjadi surplus. Dari sana berkembanglah penimbunan, perdagangan, dan pemukiman yang lebih besar.

Revolusi Industri ditandai dengan proses otomatisasi produksi, terutama tenaga kerja manusia digantikan dengan mesin yang berakibat pada penggunaan batu bara dalam jumlah besar serta berlanjut pada pencarian sumber energi alternatif yang lebih mudah diperoleh serta lebih "ramah lingkungan", karena seperti yang kita ketahui proses penambangan batu bara sering kali memakan korban jiwa selain juga menimbulkan dampak polusi yang sangat hebat.

Penemuan cara penyulingan "minyak batu" (petroleum) menjawab kebutuhan tersebut. Minyak bumi dapat dihasilkan lebih cepat daripada batu bara dengan polusi yang relatif lebih kecil dibandingkan batu bara. Namun penggunaan minyak bumi secara luas, terutama sejak Perang Dunia II, baik pada kendaraan bermotor maupun pabrik-pabrik, telah menghasilkan polusi yang luar biasa besarnya sebagai timbal balik dari segala fasilitas yang dapat dinikmati oleh manusia saat ini.

Adalah tugas kita, terkhusus sebagai anak-anak Tuhan, untuk mengelola bumi dan memanfaatkan sumber daya alamnya secara bertanggung jawab. Kita perlu memikirkan tidak hanya kepentingan sesaat saja, tetapi juga untuk berpikir ke depan, untuk anak-anak serta generasi-generasi yang akan datang supaya mereka tidak hidup di tengah-tengah dunia yang rusak akibat polutan-polutan yang telah kita tinggalkan serta sumber daya yang telah kita habiskan. Jadilah orang Kristen yang mencintai lingkungan.

Kiranya artikel di bawah ini menolong Anda untuk menyadari bahwa dari awal penciptaan, Tuhan telah memanggil manusia untuk mengelola dan memelihara alam ciptaan-Nya sesuai dengan rancangan-Nya yang ajaib. Menyimpang dari rancangan-Nya akan menyebabkan malapetaka. Apakah rancangan-Nya itu? Selamat menyimak artikel yang diambil dari Jurnal Pelita Zaman dan ditulis oleh Robert P. Borrong di bawah ini.

In Christ, Redaksi Tamu e-Reformed,
Kusuma Negara
http://reformed.sabda.org/

Penulis: 
Robert P. Borrong
Edisi: 
114/VIII/2009
Tanggal: 
28-8-2009
Isi: 

Etika Lingkungan Hidup dari Perspektif Teologi Kristen

I. Pengantar

Akhir-akhir ini, perhatian dan kesadaran umat manusia untuk menjaga dan memelihara kelestarian lingkungan hidupnya semakin meningkat. Hal itu sejalan dengan pengetahuan yang semakin banyak dan pengalaman yang semakin nyata bahwa lingkungan hidup atau planet bumi sedang sakit atau rusak. Sakit atau rusaknya planet bumi itu disebabkan oleh ulah manusia sendiri, yaitu dalam kaitannya dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber-sumber alam. Cara memanfaatkan dan mengelola lingkungan cenderung bersifat eksploitatif dan destruktif. Maka proses pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan mengandung aspek perusakan lingkungan, baik sengaja maupun tidak sengaja.

Sebenarnya proses perusakan lingkungan sudah berjalan lama, yaitu sejak dimulainya proses industrialisasi. Industrialisasi menyadarkan manusia bahwa alam merupakan deposit kekayaan yang dapat memakmurkan. Maka, mulai saat itu sumber-sumber alam dieksploitasi untuk diolah menjadi barang guna memenuhi kebutuhan demi kemakmuran hidup manusia. Dengan adanya alat ampuh, yaitu mesin, maka alam pun dipandang dan dikelola secara mekanis. Terjadilah intensitas pengeksploitasian lingkungan menjadi semakin gencar tak terkendali. Alam tidak lebih dari benda mekanis yang hanya bernilai sebagai instrumen untuk kepentingan manusia. Alam tidak lagi dihargai sebagai organisme. Sayangnya, kesadaran akan semakin rusaknya lingkungan hidup mulai muncul sejak sesudah Perang Dunia II dan mulai mengglobal tiga dekade yang lalu ketika alam terlanjur rusak berat atau sakit parah. Ketika itu manusia makin menyadari bahwa sumber-sumber alam (khususnya " non-renewable resources ") semakin menipis.

Eden

Pengelolaan alam secara mekanistik yang diikuti pula oleh pertumbuhan demografi yang terus melaju sehingga pada akhir dekade 1960-an ditandai dengan "ledakan penduduk dunia". Kenyataan itu mendorong digerakkannya pembangunan yang berorientasi pada "pertumbuhan ekonomi" yang justru semakin meningkatkan pengeksploitasian sumber-sumber alam. Hal ini tidak untuk kemakmuran saja, tetapi bahkan untuk memenuhi kebutuhan paling dasar dari umat manusia yang semakin banyak. Misalnya, hutan selain sebagai sumber bahan baku untuk diolah menjadi bahan produk, juga dikonversi menjadi lahan pertanian. Perusakan ini diperberat oleh polusi atau pencemaran. Untuk menjaga kesuburan lahan pertanian, digunakan pupuk kimia, dan untuk menjaga panen dari serangan hama, digunakan pestisida secara besar-besaran sehingga produksi pertanian meningkat. Semua itu, bersama dengan industri dan transportasi yang dibangun untuk meningkatkan produksi dan distribusi, membentur alam dalam bentuk polusi. Akibatnya sumber alam semakin menipis, kemampuan daya dukung alam berkurang dan mengancam kehidupan manusia sendiri.

Dari keterangan di atas, menjadi nyata bahwa benturan yang menyebabkan lingkungan hidup menderita sakit atau rusak datang dari manusia dalam proses mengambil, mengolah, dan mengonsumsi sumber-sumber alam. Benturan terjadi ketika proses-proses itu melampui batas-batas kewajaran atau proposionalitas. Batas-batas kewajaran atau proposionalitas itu terlampaui ketika manusia semakin mampu dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi memanfaatkan sumber- sumber secara masal, intensif, dan cepat dan sekaligus mengotori atau mencemarinya. Akan tetapi, yang lebih parah lagi, yaitu bahwa manusia yang merasa semakin enak semakin tidak tahu diri, sehingga ia seolah-olah menjelma menjadi tuan dan pemilik alam. Maka kesadaran untuk menjaga dan memelihara lingkungan hidup harus dikembalikan pada manusia, dengan mempertanyakan tentang dirinya dan kelakuannya terhadap alam. Apa kata teologi atau etika Kristen?

II. Dasar Teologis Etika Lingkungan

Dalam cerita penciptaan dikatakan bahwa manusia diciptakan bersama dengan seluruh alam semesta. Itu berarti bahwa manusia mempunyai keterkaitan dan kesatuan dengan lingkungan hidupnya. Akan tetapi, diceritakan pula bahwa hanya manusia yang diciptakan sebagai gambar Allah (" Imago Dei ") dan yang diberikan kewenangan untuk menguasai dan menaklukkan bumi dengan segala isinya. Jadi di satu segi, manusia adalah bagian integral dari ciptaan (lingkungan), akan tetapi pada lain segi, ia diberikan kekuasaan untuk memerintah dan memelihara bumi. Maka, hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya seperti dua sisi dari mata uang yang mesti dijalani secara seimbang.

1. Kesatuan Manusia dengan Alam

Alkitab menggambarkan kesatuan manusia dengan alam dalam cerita tentang penciptaan manusia: "Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah" (Kej. 2:7), seperti Ia juga "membentuk dari tanah segala binatang hutan dan segala burung di udara" (Kej. 2:19). Dalam bahasa Ibrani, manusia disebut " adam ". Nama itu mempunyai akar yang sama dengan kata untuk tanah, " adamah ", yang berarti warna merah kecokelatan yang mengungkapkan warna kulit manusia dan warna tanah. Dalam bahasa Latin, manusia disebut " hom ", yang juga mempunyai makna yang berkaitan dengan "humus", yaitu tanah. Dalam artian itu, tanah yang biasa diartikan dengan bumi, mempunyai hubungan lipat tiga yang kait-mengait dengan manusia: manusia diciptakan dari tanah (Kej. 2:7; 3:19, 23), ia harus hidup dari menggarap tanah (Kej. 3:23), dan ia pasti akan kembali kepada tanah (Kej. 3:19; Maz. 90:3). Di sini nyata bahwa manusia dan alam (lingkungan hidup) hidup saling bergantung -- sesuai dengan hukum ekosistem. Karena itu, kalau manusia merusak alam, maka secara otomatis berarti ia juga merusak dirinya sendiri.

2. Kepemimpinan Manusia Atas Alam

Walaupun manusia dengan alam saling bergantung, Alkitab juga mencatat dengan jelas adanya perbedaan manusia dengan unsur-unsur alam yang lain. Hanya manusia yang diciptakan segambar dengan Allah dan yang diberikan kuasa untuk menguasai dan menaklukkan bumi dengan seluruh ciptaan yang lain (Kej. 2:26-28), dan untuk mengelola dan memelihara lingkungan hidupnya (Kej. 2:15). Jadi, manusia mempunyai kuasa yang lebih besar daripada makhluk yang lain. Ia dinobatkan menjadi "raja" di bumi yang dimahkotai kemuliaan dan hormat (Maz. 8:6). Ia menjadi wakil Allah yang memerintah atas nama Allah terhadap makhluk-makhluk yang lain. Ia hidup di dunia sebagai duta Allah. Ia adalah citra, maka ia ditunjuk menjadi mitra Allah. Karena ia menjadi wakil dan mitra Allah, maka kekuasaan manusia adalah kekuasaan perwakilan dan perwalian. Kekuasaan itu adalah kekuasaan yang terbatas dan yang harus dipertanggungjawabkan kepada pemberi kuasa, yaitu Allah. Itu sebabnya manusia tidak boleh sewenang-wenang terhadap alam. Ia tidak boleh menjadi "raja lalim". Kekuasaan manusia adalah kekuasaan " care-taker". Maka, sebaiknya manusia memberlakukan secara seimbang, artinya pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber alam diimbangi dengan usaha pemeliharaan atau pelestarian alam.

Kata "mengelola" dalam Kejadian 2:15, digunakan istilah Ibrani "abudah", yang sama maknanya dengan kata ibadah dan mengabdi. Maka, manusia sebagai citra Allah seharusnya memanfaatkan alam sebagai bagian dari ibadah dan pengabdiannya kepada Allah. Dengan kata lain, penguasaan atas alam seharusnya dijalankan secara bertanggung jawab: memanfaatkan sambil menjaga dan memelihara. Ibadah yang sejati adalah melakukan apa saja yang merupakan kehendak Allah dalam hidup manusia, termasuk hal mengelola (" abudah ") dan memelihara (" samar") lingkungan hidup yang dipercayakan kekuasaan atau kepemimpinannya pada manusia.

3. Kegagalan Manusia Memelihara Alam

Alkitab mencatat secara khusus adanya "keinginan" dalam diri manusia untuk menjadi sama seperti Allah dan karena keinginan itu ia "melanggar" amanat Allah (Kej. 3:5-6). Tindakan melanggar amanat Allah membawa dampak bukan hanya rusaknya hubungan manusia dengan Allah, tetapi juga dengan sesamanya dan dengan alam. Manusia menghadapi alam tidak lagi dalam konteks "sesama ciptaan", tetapi mengarah pada hubungan "tuan dengan miliknya". Manusia memperlakukan alam sebagai objek yang semata-mata berguna untuk dimiliki dan dikonsumsi. Alam diperhatikan hanya dalam konteks kegunaan (utilistik-materialistik). Manusia hanya memerhatikan tugas menguasai, tetapi tidak memerhatikan tugas memelihara. Dengan demikian, manusia gagal melaksanakan tugas kepemimpinannya atas alam.

Akar perlakuan buruk manusia terhadap alam terungkap dalam istilah seperti: "tanah yang terkutuk", "susah payah kerja", dan "semak duri dan rumput duri yang akan dihasilkan bumi" (Kej. 3:17-19). Manusia selalu dibayangi oleh rasa kuatir akan hari esok yang mendorongnya cenderung rakus dan materialistik (baca Mat. 6:19-25 par.). Secara teologis, dapat dikatakan bahwa akar kerusakan lingkungan alam dewasa ini terletak dalam sikap rakus manusia yang dirumuskan oleh John Stott sebagai "economic gain by environmental loss". Manusia berdosa menghadapi alam tidak lagi sekadar untuk memenuhi kebutuhannya, tetapi sekaligus untuk memenuhi keserakahannya. Dengan kata lain, manusia berdosa adalah manusia yang hakikatnya berubah dari "a needy being" menjadi "a greedy being". Kegagalan dalam melaksanakan tugas kepemimpinan atas alam merupakan pula kegagalan manusia dalam mengendalikan dirinya, khususnya keinginan-keinginannya.

4. Hubungan Baru Manusia-Alam

Alkitab, khususnya Perjanjian Baru, mencatat bahwa Allah yang Mahakasih mengasihi dunia ciptaan-Nya (kosmos) sehingga Ia mengutus anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, yaitu Tuhan Yesus Kristus (Yoh. 3:16). Tuhan Yesus Kristus yang disebut Firman (logos) penciptaan (Kol. 1:15-17; Yoh. 1:3, 10a) telah berinkarnasi (mengambil bentuk materi dengan menjelma menjadi manusia: Yoh. 1:1, 14); dan melalui pengorbanan-Nya di atas kayu salib serta kebangkitan-Nya dari antara orang mati, Ia telah mendamaikan Allah dengan segala sesuatu (ta panta) atau dunia (kosmos) ini (Kol. 1:19-20; 2 Kor. 5:18-19). Tuhan Yesus telah memulihkan hubungan Allah dengan manusia dan dengan seluruh ciptaan-Nya dan memulihkan hubungan manusia dengan alam. Atas dasar itu, maka hubungan harmonis dalam Eden (Firdaus) telah dipulihkan.

Apa yang dibayangkan dalam Perjanjian Lama sebagai nubuat tentang kedamaian seluruh bumi dan di antara seluruh makhluk (Yes. 11:6-9; 65:17; 66:22; Hos. 2:18-23) telah dipenuhi dalam diri Tuhan Yesus Kristus. Maka, dalam iman Kristen, hubungan baru manusia dengan alam bukan saja hubungan " dominio " (menguasai), tetapi juga hubungan " comunio " (persekutuan). Itu sebabnya Tuhan Yesus yang telah berinkarnasi itu menggunakan pula unsur-unsur alam, yaitu "air, angggur, dan roti" dalam sakramen yang menjadi tanda dan meterai hubungan baru manusia dengan Allah. Dengan kata lain, hubungan manusia dengan Allah yang baik harus tercermin dalam hubungan yang baik antara manusia dengan alam. Persekutuan dengan Allah harus tercermin dalam persekutuan dengan alam. Hubungan yang baik dengan alam, sekaligus mengarahkan kita pada penyempurnaan ciptaan dalam "langit dan bumi yang baru" (Why. 21:1-5) yang menjadi tujuan akhir dari karya penebusan Allah melalui Tuhan Yesus Kristus. Dalam langit dan bumi yang baru itulah Firdaus yang hilang akan dipulihkan.

III. Norma Etika Lingkungan

Akhir-akhir ini, etika lingkungan biasanya dibagi atas dua atau tiga bagian yang antroposentris, ekosentris, dan biosentris. Bahkan, Robert Elliot mengemukakan lima konsep, yaitu yang disebutnya " human centered ethics ", " animal centered ethics ", " life centered ethics ", " everything centered ethics ", dan " ecological holism ethics ". Saya hanya akan mengikuti tiga pandangan yang saya kemukakan di atas. Pandangan pertama, yaitu antroposentris, adalah pandangan yang telah lama dianut oleh umat manusia yang beranggapan bahwa alam atau lingkungan hanya mempunyai nilai alat ( instrumental value ) bagi kepentingan manusia. Pandangan antroposentris ini sering dihubungkan dengan pandangan Barat yang melihat lingkungan hidup sebatas maknanya bagi kesejahteraan dan kemakmuran manusia. Manusia Barat menganut pandangan mengenai hubungan diskontinuitas antara manusia dengan alam. Hanya manusia yang subjek, sedangkan alam atau lingkungan adalah objek. Maka, alam diteliti, dieksplorasi, lalu dieksploitasi. Maka, etika antroposentris ini tidak sejalan dengan etika Kristen yang menekankan adanya kontinuitas antara manusia dengan alam ( adam-adamah, homo-humus ).

Pandangan yang kedua adalah biosentris. Penganut pandangan ini berpendirian bahwa semua unsur dalam alam mempunyai nilai bawaan ( inherent value ), misalnya kayu mempunyai nilai bawaan bagi kayu sendiri sebagai alasan berada. Jadi, kayu tidak berada demi untuk kepentingan manusia saja. Demikianlah seluruh makhluk hidup memiliki nilai inheren lepas dari kepentingannya bagi manusia. Manusia dan makhluk-makhluk hidup lainnya mempunyai hubungan kontiunitas, maka manusia dan lingkungan mempunyai tujuannya masing-masing. Maka tiap makhluk mempunyai hak mendapatkan perlakuan sesuai dengan hak yang melekat padanya. Pandangan ini misalnya dianut oleh Paul Taylor, Peter Singer, dan Albert Schweitzer.

Pandangan ketiga, yaitu ekosentris, berpendirian bahwa bumi sebagai keseluruhan atau sebagai sistem tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain. Maka, lingkungan harus diperhatikan karena manusia hanyalah salah satu subsistem atau bagian kecil dari seluruh ekosistem. Pandangan ini dianut umumnya oleh manusia Timur, termasuk orang Indonesia, yang sangat menekankan hubungan erat antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Manusia adalah mikro dari makro kosmos. Menurut pandangan ini, bumi memiliki nilai hakiki ( intrinsic value ) yang harus dihormati oleh manusia. Maka, alam atau lingkungan tidak boleh diperlakukan semena-mena, karena bumi mempunyai nilainya yang luhur yang harus dijaga, dihormati, dan dianggap suci.

Kita akan mencoba melihat pandangan-pandangan ini berdasarkan kesaksian Alkitab sebagaimana yang dikemukakan di bagian II di atas. Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa etika lingkungan tidak bersifat antroposentris, tetapi juga tidak sekadar bersifat biosentris atau ekosentris. Manusia dan semua makhluk hidup lainnya, bahkan seluruh planet bumi ini, bersumber dari Allah. Allah yang menciptakannya dan Allah menghendaki seluruhnya berada, topang-menopang, dan saling membutuhkan. Maka etika lingkungan, dari perspektif teologi Kristen, mestinya bersifat teosentris, artinya berpusat pada Allah sendiri. Kita perlu menjaga dan memelihara lingkungan hidup bukan saja karena kita membutuhkan sumber-sumber di dalamnya dan karena bumi ini adalah rumah kita (antroposentris), bukan pula karena makhluk hidup memiliki hak asasi seperti hak asasi manusia (biosentris), juga bukan karena bumi ini merupakan suatu ekosistem yang memiliki nilai intrinsik (ekosentris); kita perlu menjaga dan memelihara lingkungan hidup karena lingkungan hidup adalah ciptaan Allah, termasuk manusia, yang diciptakan untuk hormat dan kemuliaan-Nya.

Kalau kita memelihara lingkungan sekadar karena diperlukan untuk menopang hidup manusia, kita akan jatuh ke dalam materialisme, nilai etis yang telah terbukti merusak lingkungan. Kalau kita memelihara lingkungan karena sekadar kecintaan kita pada lingkungan yang memiliki hak seperti kita, maka kita akan jatuh ke dalam romantisisme, nilai etis yang cenderung utopis. Kita perlu memelihara lingkungan hidup kita sebagai ungkapan syukur pada Allah Sang Pencipta yang telah mengaruniakan lingkungan dengan segala kekayaan di dalamnya untuk menopang hidup kita dan yang membuat hidup kita aman dan nyaman. Juga, sebagai tanda syukur kita atas pembaruan dan penebusan yang telah dilakukan Allah melalui pengorbanan Yesus Kristus. Maka, memelihara lingkungan tidak lain dari ibadah kita kepada Allah. Bagaimana menjabarkan ibadah ini, norma-norma berikut kiranya perlu dikembangkan sebagai penjabaran etika lingkungan yang bersifat teosentris, dengan menunjukkan solidaritas dengan semua makhluk, dengan sesama (termasuk generasi penerus) dalam kasih dan keadilan.

1. Solidaritas dengan Alam

ecoliving

Karena manusia dengan lingkungan hidup adalah sesama ciptaan yang telah dipulihkan hubungannya oleh Tuhan Yesus Kristus, maka manusia, khususnya manusia baru dalam Kristus (2 Kor. 5:7), seharusnya membangun hubungan solider dengan alam. Hubungan solider (sesama ciptaan dan sesama tebusan) berarti alam mestinya diperlakukan dengan penuh belas kasihan. Manusia harus merasakan penderitaan alam sebagai penderitaannya dan kerusakan alam sebagai kerusakannya juga. Seluruh makhluk dan lingkungan sekitar tidak diperlakukan semena-mena, tidak dirusak, tidak dicemari dan semua isinya tidak dibiarkan musnah atau punah. Manusia tidak boleh bersikap kejam terhadap alam, khususnya terhadap sesama makhluk. Dengan cara itu, manusia dan alam secara bersama (kooperatif) menjaga dan memelihara ekosistem. Contoh konkret: manusia berdisiplin dalam membuang sampah atau limbah (individu, rumah tangga, industri, kantor, dan sebagainya) agar tidak mencemari lingkungan dan merusak ekosistem. Pencemaran/polusi mestinya dicegah, diminimalisir, dan dihapuskan supaya alam tidak sakit atau rusak. Kita bertanggung jawab atas kesehatan dan kesegaran alam kita.

Sikap solider dengan alam dapat pula ditunjukkan dengan sikap hormat dan menghargai (respek) terhadap alam. Tidak berarti alam disembah, tetapi alam dihargai sebagai ciptaan yang dikaruniakan Tuhan untuk memenuhi kebutuhan manusia, sekaligus yang menjadi cerminan kemuliaan Allah. Menghargai alam berarti menghargai Sang Pencipta dan Sang Penebus. Contoh konkret misalnya tidak membabat hutan sembarangan, sebab membabat hutan dapat memusnahkan aneka ragam spesies dalam hutan. Contoh lain, tidak menangkap ikan dengan menggunakan bahan peledak atau bahan pemusnah lainnya. Sebaliknya, usaha menghargai dapat dilakukan melalui usaha-usaha kreatif mendukung dan melindungi kehidupan seluruh makhluk dan lingkungan hidup misalnya dengan tidak hanya penghijauan, pembudidayaan, tetapi juga usaha pemulihan dengan membersihkan lingkungan yang terlanjur rusak. Pokoknya, sikap solidaritas dengan alam dapat ditunjukkan dengan pola hidup berdisiplin dalam menjaga dan memelihara keseimbangan ekosistem secara konstan.

2. Pelayanan yang Bertanggung Jawab (Stewardship)

Alam adalah titipan dari Allah untuk dimanfaatkan/dipakai/digunakan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi sekaligus adalah rumahnya. Maka, sumber-sumber alam diberikan kepada manusia tidak untuk diboroskan. Manusia harus menggunakan dan memanfaatkan sumber-sumber alam itu secara bertanggung jawab. Maka, pemanfaatan/penggunaan sumber- sumber alam haruslah dilihat sebagai bagian dari pelayanan. Alam digunakan dengan memerhatikan keseimbangan antara kebutuhan manusia dengan kebutuhan lingkungan, yaitu menjaga ekosistem. Akan tetapi, alam juga digunakan dengan memerhatikan kebutuhan sesama, termasuk generasi yang akan datang.

Memanfaatkan alam adalah bagian dari pertanggungjawaban talenta yang diberikan/dipercayakan oleh Tuhan kepada manusia (Mat. 25:14-30 par.). Allah telah memercayakan alam ini untuk dimanfaatkan dan dipakai. Untuk dilipatgandakan hasilnya, untuk disuburkan, dan dijaga agar tetap sehat sehingga produknya tetap optimal. Oleh karena itu, alam mesti dipelihara dan keuntungan yang didapat dari alam sebagian dikembalikan sebagai deposit terhadap alam. Akan tetapi, juga dipergunakan secara adil dengan semua orang. Ketidakadilan dalam memanfaatkan sumber-sumber alam adalah juga salah satu penyebab rusaknya alam. Sebab, mereka yang merasa kurang akan mengambil kebutuhannnya dari alam dengan cara yang sering kurang memerhatikan kelestarian alam, misalnya dengan membakar hutan, mengebom bunga karang untuk ikan, dan sebagainya. Sebaliknya, mereka yang tergoda akan kekayaan melakukan pengurasan sumber alam secara tanpa batas.

Panggilan untuk memanfaatkan sumber-sumber alam sebagai pelayanan dan pertanggungjawaban talenta akan mendorong kita melestarikan sumber-sumber alam, sekaligus melakukan keadilan terhadap sesama. Contoh konkret: manusia menghemat menggunakan sumber-sumber alam (bahan bakar fosil, hutan, mineral, dan sebagainya) agar tetap mencukupi kebutuhan manusia dan makhluk hidup lain secara berkesinambungan. Penghematan ini tidak hanya berarti penggunaan seminimal mungkin sumber-sumber alam sesuai kebutuhan (air, energi, kayu, dan sebagainya), tetapi mencakup pula pola 4R -- " reduce", "reuse", "recycle", "replace " (atau mengurangi, menggunakan ulang, mendaur ulang, dan mengganti) sumber- sumber alam yang kita pergunakan setiap hari. Dunia modern yang sangat praktis mengajar kita memakai lalu membuang. Sayangnya, yang sering dibuang itu adalah yang semestinya masih berguna kalau didaur. Tidak jarang pula yang dibuang itu sekaligus merusak lingkungan, misalnya bahan kimia atau kemasan kaleng dan plastik. Karena itu, bahan-bahan yang merusak alam sebaiknya tidak digunakan terlalu banyak dan tidak dibuang sembarangan.

3. Pertobatan dan Pengendalian Diri

Kerusakan lingkungan berakar dalam keserakahan dan kerakusan manusia. Itu sebabnya manusia yang dikuasai dosa keserakahan dan kerakusan itu cenderung sangat konsumtif. Secara teologis, dapat dikatakan bahwa dosa telah menyebabkan krisis moral/krisis etika dan krisis moral ini menyebabkan krisis ekologis, krisis lingkungan. Dengan demikian, setiap perilaku yang merusak lingkungan adalah pencerminan krisis moral yang berarti tindakan dosa. Dalam arti itu, maka upaya pelestarian lingkungan hidup harus dilihat sebagai tindakan pertobatan dan pengendalian diri. Dilihat dari sudut pandang Kristen, maka tugas pelestarian lingkungan hidup yang pertama dan utama adalah mempraktikkan pola hidup baru, hidup yang penuh pertobatan dan pengendalian diri, sehingga hidup kita tidak dikendalikan dosa dan keinginannya, tetapi dikendalikan oleh cinta kasih.

Materialisme adalah akar kerusakan lingkungan hidup. Maka, materialisme menjadi praktik penyembahan alam (dinamisme modern). Alam dalam bentuk benda menjadi tujuan yang diprioritaskan bahkan disembah menggantikan Allah. Kristus mengingatkan bahaya mamonisme (cinta uang/harta) yang dapat disamakan dengan sikap rakus terhadap sumber-sumber alam (Mat. 6:19-24 par.; 1 Tim. 6:6-10). Karena mencintai materi, alam dieksploitasi guna mendapatkan keuntungan material. Maka, supaya alam dapat dipelihara dan dijaga kelestariannya, manusia harus berubah (bertobat) dan mengendalikan dirinya. Manusia harus menyembah Allah dan bukan materi. Dalam arti itulah maka usaha pelestarian alam harus dilihat sebagai ibadah kepada Allah melawan penyembahan alam, khususnya penyembahan alam modern alias materialisme/mamonisme. Pelestarian alam juga harus dilihat sebagai wujud kecintaan kita kepada sesama sesuai ajaran Yesus Kristus, di mana salah satu penjabarannya adalah terhadap seluruh ciptaan Allah sebagai sesama ciptaan.

IV. Kesimpulan

tugas pelestarian lingkungan hidup yang pertama dan utama adalah mempraktikkan pola hidup baru, hidup yang penuh pertobatan dan pengendalian diri, sehingga hidup kita tidak dikendalikan dosa dan keinginannya, tetapi dikendalikan oleh cinta kasih.
  1. Facebook
  2. Twitter
  3. WhatsApp
  4. Telegram

Alam atau lingkungan hidup telah dikaruniakan oleh Tuhan kepada kita untuk digunakan dan dimanfaatkan demi kesejahteraan manusia. Manusia dapat menggunakan alam untuk menopang hidupnya. Dengan kata lain, alam diciptakan oleh Tuhan dengan fungsi ekonomis, yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Akan tetapi, bukan hanya kebutuhan manusia menjadi alasan penciptaan. Alam ini dibutuhkan pula oleh makhluk hidup lainnya bahkan oleh seluruh sistem kehidupan atau ekosistem. Alam ini berfungsi ekumenis (untuk didiami) oleh seluruh ciptaan lainnya. Alam ini rumah kita. Kata-kata "ekonomi", "ekumene", dan "ekologi" berakar dalam kata Yunani " oikos " yang artinya rumah. "Ekonomi" berarti menata rumah; itulah tugas pengelolaan kebutuhan hidup. " Ekumene " berarti mendiami rumah; itulah tugas penataan kehidupan yang harmonis. "Ekologi" berarti mengetahui/menyelidiki rumah; itulah tugas memahami tanggung jawab terhadap alam.

Manusia adalah penata dalam rumah bersama ini. Pertama, ia adalah pengelola ekonomi, tetapi ia lebih dikuasai oleh kerakusan. Karena itu, diperlukan pembaruan/pertobatan dan pengendalian diri supaya timbul sikap respek dan tindakan penuh tanggung jawab terhadap lingkungan. Maka tanggung jawab Kristen dalam memelihara kelestarian lingkungan kiranya dapat pula dirumuskan dalam pola 4R -- "repent", "restraint", "respect", "responsible" (atau bertobat, menahan diri, menghormati, dan bertanggung jawab). Ibadah yang sejati adalah ibadah yang dapat diimplementasikan secara bertanggung jawab dalam hidup yang nyata.

Dalam menata kehidupan bersama, umat Kristen harus bermitra dengan semua orang, bahkan dengan semua makhluk. "Ekumene" berarti bekerja bersama membangun kehidupan di atas planet ini. Tugas itu adalah tugas bersama semua orang dan seluruh ciptaan. Maka tugas orang Kristen adalah memberi kontribusinya sesuai dengan iman dan pengharapan kepada Allah, memperkaya dan mengoptimalkan ibadahnya dengan terus-menerus menjaga dan memelihara kehidupan yang diberikan Tuhan kepadanya sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan. Optimalisasi ibadah itu dinyatakan dalam bentuk disiplin, penghematan, dan pengendalian diri.

Kepustakaan

Berkhof, Hendrikus. Christian Faith . Grand Rapids: Eermands, 1997.

Bhagat, Shantilal P. Creation in Crises: Responding to God Covenant . Illionis: Bredren, 1990.

Birch, Charles. et. al. eds. Liberating Life: Contemporary Approach to Ecological Theology . Maryknoll: Orbis, 1990.

Derr, Thomas Sieger. Ecology and Human Liberation . Geneva: WCC, 1973.

Drummond, Celia-Dianne. A Handbook in Theology and Ecology . London: SCM Press, 1996.

Pojman, Louis P. ed. Environmental Ethics . Oxford: Blackwell, 1993.

Stott, John. Issues Facing Christian Today . London: Marshall Morgan and Scott, 1984.

Wolf, H. W. Antropology of the Old Testament . Philadelphia: Fortress, 1981.

Audio: Etika Lingkungan Hidup dari Perspektif Teologi Kristen

Sumber: 

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Nama jurnal: Jurnal Pelita Zaman; Volume 13 No. 1, 1998
Penulis : Robert P. Borrong
Penerbit : Yayasan Pengembangan Pelayanan Kristen Pelita Zaman, Bandung 1998
Halaman : 8--18

Komentar


Syndicate content