Motivasi Bagi Penginjilan

Editorial: 

Dear Netters,

Dalam melayani Tuhan dibutuhkan motivasi yang murni sehingga hati dan jiwa kita tetap lurus dan tidak ada unsur-unsur campuran yang menghalangi pelayanan kita. Bagaimana cara kita memiliki motivasi yang murni? Dalam artikel yang dibawakan oleh Pdt. Stephen Tong di bawah ini kita akan belajar bahwa motivasi melayani sangat penting dalam pelayanan supaya kita dapat bertahan menghadapi kesulitan apapun yang menghadang kita, terkhusus ketika kita menjalankan tugas penginjilan. Lalu, apa hubungan motivasi dan kehendak Allah dalam penginjilan? Allah dalam kehendak-Nya yang kudus dan agung memercayakan kepada kita tugas pemberitaan Injil supaya orang-orang yang belum mendengar Injil tidak berjalan menuju kebinasaan, tetapi bertobat dan menjadi anak-anak Allah.

Saya berharap melalui artikel yang kami siapkan bulan ini, para pembaca akan semakin sadar bahwa memberitakan Injil adalah kehendak Allah. Jika semakin hari semakin banyak kita melihat jiwa yang berjalan menuju kebinasaan, apa yang akan kita lakukan? Termotivasikah kita untuk menjangkau mereka dan menjalankan kehendak Allah? Karena itu, marilah kita sungguh-sungguh menggunakan waktu dan kesempatan yang ada untuk memberitakan Injil dengan serius dan meminta anugerah Tuhan agar kehendak-Nya terjadi. Soli Deo gloria!

Amidya

Pemimpin Redaksi e-Reformed,
Amidya

Edisi: 
Edisi 199/April 2018
Isi: 

Kita harus terlebih dahulu mengerti dengan jelas tentang istilah motivasi. Motivasi bukanlah tujuan, dan tujuan bukan motivasi. Motivasi adalah penyebab yang menghasilkan suatu tindakan, sedangkan tujuan adalah hasil yang diharapkan dapat tercapai melalui tindakan itu. Sering kali, kita mencampuradukkan kedua istilah tersebut. Misalnya, orang yang percaya kepada Yesus memperoleh hidup yang kekal. Hidup yang kekal adalah istilah hasil dari percaya, bukan motivasi untuk percaya. Motivasinya adalah: karena kasih karunia Allah telah dicurahkan kepada kita, Kristus telah mati bagi kita, dan telah menebus kita supaya kita menjadi milik-Nya; karena terdorong oleh kasih-Nya itulah, kita mau kembali kepada-Nya. Itulah motivasi untuk percaya, sedangkan masuk surga merupakan akibatnya atau hasilnya, bukan motivasinya.

Misi

Demikian pula, motivasi dan tujuan pemberitaan Injil berbeda. Jika seseorang memiliki motivasi yang murni, dia pasti memiliki jiwa yang lurus, baik antara Allah dan manusia, maupun antara langit dan bumi. Sebaliknya, jika seseorang tidak memiliki motivasi yang murni, betapa pun banyaknya bakat dan talenta yang dia miliki, dia tidak akan dapat mencapai hasil yang positif secara menyeluruh. Motivasi memang sangat penting. Allah tidak akan menerima pelayanan yang bermotivasi campuran. Oleh karena itu, kita harus meniadakan unsur-unsur campuran dalam motivasi pelayanan kita.

Dalam dunia kekristenan, banyak orang berbakat yang tidak mencapai hasil pelayanan yang seharusnya dicapainya. Salah satu penyebab utama ialah motivasi yang tidak murni. Paulus berkata, "Aku telah mempertunangkan kamu kepada satu laki-laki untuk membawa kamu sebagai perawan suci kepada Kristus" (2 Korintus 11:2). Kesucian dan kemurnian adalah hal yang terpenting pada saat kita melayani. Motivasi yang paling dasar dan paling minimal ini haruslah kita pertahankan.

Seorang yang bermotivasi murni tidak mudah mengalami depresi pada saat putus asa, tidak mudah berkompromi pada saat menghadapi musuh yang kuat, dan tidak mudah goyah pada saat menghadapi banyak godaan. Sebaliknya, motivasi yang benar memberi kekuatan yang besar pada saat yang paling melelahkan, memberi keteguhan pada waktu penganiayaan menimpa, dan memberi sukacita pada waktu sengsara menekan; pada saat lingkungan menunjukkan kegelapan yang paling dahsyat, cahaya dalam hati kita menjadi makin terang. Maka dari itu, motivasi yang murni dan hati nurani yang suci adalah salah satu penyebab paling penting bagi suksesnya pelayanan kita. Kalau begitu, apakah sebenarnya motivasi yang murni dalam penginjilan?

A. Kehendak Allah

Kehendak Allah

Kehendak Allah adalah unsur yang menentukan eksistensi dari segala sesuatu. Selain Allah sendiri, tidak ada hal lain yang lebih besar dari kehendak-Nya. Apakah kehendak Allah? Yaitu segala sesuatu yang telah ditetapkan dalam hati Allah. Allah adalah Allah yang kekal, yang melampaui sejarah, yang menciptakan waktu dan ruang. Segala sesuatu yang telah direncanakan dan ditetapkan dalam hati Allah melampaui waktu dan ruang adalah hal-hal yang berhubungan dengan kekekalan. Kehendak Allah tidak perlu dirundingkan dengan manusia. Keterlaksanaannya juga tidak perlu tergantung pada kerja sama manusia dengan-Nya. Dia adalah Allah yang melakukan segala sesuatu menurut kehendak sendiri. Sebagaimana perintah Raja harus dilaksanakan, terlebih lagi kehendak Allah pasti Dia genapi.

Orang Tionghoa menyebut perintah raja sebagai perintah atau kehendak kudus. Karena itu, ketika utusan raja membawa perintah raja dan memasuki sebuah kota, juga disebut perintah kudus, maka berlututlah kepala daerah dan semua orang kepadanya. Bolehkah mereka berkata, "Perintah raja yang bagaimana? Dapatkah kita mendiskusikannya sebentar supaya kita tahu apakah perintah itu dapat dilaksanakan atau tidak?" Tentu tidak mungkin hal seperti itu terjadi. Yang ada hanya kewajiban untuk mematuhi. Rakyat tidak diberi kesempatan untuk berdiskusi. Jika raja dunia yang salah berbuat demikian, lalu bagaimanakah sikap kita terhadap Allah yang tidak mungkin berbuat salah?

Saya tidak terlalu sering menggunakan istilah "kehendak" karena banyak orang Kristen yang ceroboh memakai istilah "kehendak Allah" atau "pimpinan Roh Kudus". "Dunia ini sedang lenyap dengan keinginannya, tetapi orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup selama-lamanya" (1 Yohanes 2:17). Oleh sebab itu, kita harus membedakan dengan tegas antara kehendak dan pimpinan.

Kehendak Allah berbeda dengan pimpinan Roh Kudus, tetapi keduanya mempunyai hubungan. Pimpinan Roh Kudus akan membawa manusia memasuki kehendak Allah yang kekal; pimpinan adalah proses, sedangkan kehendak adalah ketetapan. Segala sesuatu yang direncanakan Allah dalam kekekalan merupakan keputusan yang tidak dapat diubah, tetapi bagaimana mungkin manusia yang berdosa dapat masuk ke dalam kehendak Allah? Untuk itu, diperlukan pimpinan Roh Kudus. Siapakah yang dapat dipimpin oleh Roh Kudus kecuali anak-anak Allah? (Roma 8:14) Roh bukan saja memperanakkan kita, tetapi Ia juga memimpin kita yang diperanakkan-Nya masuk ke dalam kehendak Allah untuk disempurnakan-Nya.

Karena memberitakan Injil adalah hal yang sudah Allah tetapkan dalam kekekalan dan dipercayakan kepada kita untuk melaksanakannya, maka orang-orang yang dipredestinasikan oleh Allah akan menerima Injil, dan menjadi anak-anak Allah. Apakah doktrin ini menghambat pemberitaan Injil? Tidak! Sebab, predestinasi Allahlah yang menjamin kita berhasil dalam pemberitaan Injil. Jika kita sungguh-sungguh tahu bahwa penginjilan adalah menjalankan kehendak Allah, kita tidak terpengaruh oleh hasil kita. Bukankah Nuh sudah menjadi contoh bagi kita? Setelah 120 tahun memberitakan firman, yang menerima hanya keluarganya sendiri. Itu sebabnya, saya menganggap Nuh sebagai penginjil yang teragung sepanjang sejarah karena dia memberitakan berdasarkan kehendak Allah, bukan terpengaruh oleh hasil pemberitaannya. Sekalipun demikian, faktanya, pada saat kita memberitakan Injil, tidak mungkin tanpa ada hasil.

B. Pengutusan Kristus

Pengutusan Kristus

Setelah Tuhan Yesus menang atas kuasa maut, Dia lalu mengutus gereja-Nya untuk memberitakan Injil. Jadi, kita memberitakan Injil karena Raja di atas segala raja dan Tuan di atas segala tuan telah memercayakan tugas penginjilan kepada kita. Paulus berkata, "Kalau andaikata aku melakukannya menurut kehendakku sendiri, ... pemberitaan itu adalah tugas penyelenggaraan yang ditanggungkan kepadaku" (1 Korintus 9:17). Tuhan memercayakan tugas itu kepada diri kita. Betapa mulia hal ini, dan menakutkan! Siapakah yang telah menyerahkan tugas ini kepada kita? Pencipta semesta alam, Tuhan yang telah menyelamatkan saya, yang akan menghakimi saya, bahkan menghakimi seluruh dunia! Tuhan yang begitu terhormat dan mulia menyerahkan tugas itu kepada kita, maka kita pun patut memiliki rasa tanggung jawab yang serius terhadapnya.

Gerakan penginjilan sepanjang sejarah merupakan kepatuhan anak-anak Tuhan kepada pengutusan Kristus ini. Sejak saat rasul-rasul menerima Amanat Agung di bukit Galilea sampai sekarang, kita melihat dalil yang tidak pernah berubah, yaitu barang siapa mematuhi pengutusan ini, mereka menerima pertolongan Roh Kudus. Mereka menikmati penyertaan Allah, dan mereka menjadi rekan Allah untuk memberitakan Injil kepada umat manusia.

C. Dorongan Kasih Kristus

Paulus menyebutkan dengan jelas, "Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa" (Roma 5:8). Di sini terlihat bahwa "Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka" (2 Korintus 5:15).

Ketika kasih hadir dalam hidup seseorang, dia akan menemukan bahwa hidupnya dilingkungi, dipegang, dan diliputi oleh kasih. Kasih telah menguasai kebebasannya, juga telah menentukan arah langkahnya. Oleh sebab itu, dirinya sendiri rela ia serahkan kepada Tuhan, dan segenap potensi yang ada pada dirinya ia serahkan sepenuhnya. Dengan kasih Allah inilah, beribu-ribu misionaris rela meninggalkan keluarga mereka, bangsa mereka, dan menuju tempat yang jauh untuk memberitakan Injil.

Pada tahun 1969, saya pertama kali melintasi benua Asia menuju Eropa. Pada saat melewati Turki, karena terdorong oleh rasa ingin tahu, saya melihat keadaan di bawah melalui jendela pesawat terbang. Di situ terbentang provinsi Galatia, Atalia, dan daerah-daerah lain yang pernah dijelajahi oleh Paulus. Baru saya tahu bahwa daerah itu begitu tandus, begitu luas, begitu kering. Di daerah padang belantara yang kering kerontang semacam ini, bisakah kita membayangkan bagaimana Paulus telah pergi dengan kaki sebagai kendaraannya untuk memberitakan Injil? Jika bukan kasih Kristus yang mendorongnya, mungkinkah Paulus rela berkorban seperti ini?

Dalam hati para rasul, terdapat suatu tekad yang agung, yaitu pergi, pergi! Paulus pergi, Petrus pergi, Yohanes pergi, Tomas pergi; pergi ke Afrika Utara, ke Arab, ke Eropa, ke India, ke Asia kecil; baik di padang belantara, di hutan rimba, mereka hanya tahu pergi, tanpa bertanya ke mana mereka harus pergi, kapan mereka kembali, apakah dijamin dapat kembali. Asalkan bisa pergi, hati mereka sudah cukup puas. Bagi orang yang rela mati di tangan Tuhan, adakah tempat yang tidak dapat dikunjunginya? Manusia semacam ini, semakin berat jatuhnya, semakin besar aniaya yang dideritanya, justru mendesak dia untuk menyelinap ke dalam lengan Tuhan yang penuh kasih dan kelembutan. Itulah sebabnya, mereka rela pergi.

Di sinilah, letak rahasia rohani: berapa besar kasih seseorang terhadap Tuhan tergantung sampai berapa dalam dia menyelami kasih dan pengorbanan Tuhan di bukit Golgota. Bila seseorang sudah mengalami kasih itu dan menyelaminya dengan sungguh-sungguh, dengan sendirinya dia dapat mengasihi Tuhan dengan lebih mendalam.

Paulus mengalami pelbagai mara bahaya, baik yang berasal dari banjir, penyamun, saudara-saudara palsu, di darat, di laut, dari orang Yahudi, dan bukan Yahudi; dalam keadaan telanjang, dihina, sengsara, kedinginan, diadili dan dipukul, mengalami penganiayaan dan penderitaan, tetapi dia tetap memberitakan Injil. Apakah sebabnya dia rela menanggung semua itu? Gilakah dia? Bodohkah dia? Sama sekali tidak! Sebaliknya, Paulus tergolong kaum intelektual agung pada zaman itu. Sampai hari ini, dia tetap termasuk salah seorang dari puluhan pemikir yang paling besar pengaruhnya terhadap umat manusia dalam sejarah. Tokoh yang demikian besar ternyata telah melalui suatu kehidupan yang amat sangat menderita -- dia dipukuli, dicaci maki, dan dianiaya. Apakah sebabnya dia mau menderita penganiayaan dunia yang sementara ini? Paulus sendiri pasti merasa heran sehingga dia menjawab, "Sebab kasih Kristus yang menguasai kami ...." (2 Korintus 5:14; dalam terjemahan lain: menggerakkan dan mendorong). Sebagaimana seorang ibu yang melahirkan tidak lagi bisa tahan ketika saatnya sudah tiba, demikian juga orang yang didorong oleh kasih Tuhan tidak mungkin menahan diri untuk memberitakan Injil. Itulah arti dari "menggerakkan dan mendorong".

D. Perasaan Berutang

Jika kita sungguh-sungguh tahu bahwa penginjilan adalah menjalankan kehendak Allah, kita tidak terpengaruh oleh hasil kita.

FacebookTwitterWhatsAppTelegram

Orang Kristen adalah orang yang menuju kesempurnaan melalui perasaan berutang. Dalam Alkitab, kita melihat utang kemuliaan kita terhadap Allah, utang kasih kita terhadap sesama, dan lebih dari itu, kita masih mempunyai utang terhadap dunia, yaitu utang Injil. Bila gereja hari ini tidak maju, itu adalah karena gereja tidak memiliki perasaan berutang. Paulus berkata, "Aku berhutang baik kepada orang Yunani, maupun kepada orang bukan Yunani, baik kepada orang terpelajar, maupun kepada orang tidak terpelajar" (Roma 1:14). Perasaan berutang semacam inilah yang selalu mendesak Paulus memberitakan Injil kepada manusia dari lapisan mana saja. Bagaimanakah dengan kita? Apakah kita juga menuju kesempurnaan melalui perasaan berutang ini, atau merasa diri sudah kaya sehingga menuju kepada kemiskinan rohani kita? Bukankah kita yang seharusnya menginjili dunia, tidak peduli siapa mereka, baik kaum miskin, kaum kaya, orang intelektual, maupun rakyat jelata, yang sama-sama membutuhkan Injil? Bukankah perasaan berutang ini harus diikuti oleh pembayarannya, yakni melaksanakan penginjilan? Apakah kita sudah memperlengkapi diri untuk mengisi kebutuhan setiap lapisan masyarakat dengan Injil secara relevan?

E. Pengharapan Manusia

Alkitab dengan jelas memberitakan bahwa, "Injil Kerajaan ini akan diberitakan di seluruh dunia menjadi kesaksian bagi semua bangsa, sesudah itu barulah tiba kesudahannya" (Matius 24:14). Jadi, apakah yang harus dilakukan oleh orang-orang yang mengharapkan kedatangan Tuhan kembali? Ada dua hal yang harus kita lakukan: yang pertama, menyucikan diri, dan yang kedua, menyelesaikan pekerjaan-Nya melalui pemberitaan Injil.

Bagaimanakah kita harus menyambut kedatangan Tuhan kembali? Bukankah dengan hati yang bersih dan tangan yang suci? Dengan demikian, kita harus meniadakan kejahatan dari hati kita, dan menghapus tipu daya dari tangan kita, menghapus segala kenajisan dan hati yang bercabang, supaya kita dapat menantikan kedatangan Yesus Kristus kembali dengan tulus, dengan tekad yang bulat, dengan hati nurani yang bersih, dengan kehidupan yang suci. Alkitab hampir tidak menyinggung berdasarkan apakah kita dipakai oleh Tuhan, kecuali menjadi kudus. "Jika orang menyucikan dirinya dengan hal-hal yang jahat, ia akan menjadi perabot rumah untuk maksud yang mulia, ia dikuduskan, dipandang layak untuk dipakai tuannya dan disediakan untuk setiap pekerjaan yang mulia" (2 Timotius 2:21). Taat kepada Roh Kudus, membiarkan Roh Kudus bekerja dalam diri kita. Dengan itulah, baru kita dapat mempunyai kehidupan yang kudus dan menghasilkan buah-buah Roh Kudus.

Hal yang kedua, yaitu memberitakan Injil sampai Kristus datang kembali. Sebab, kedatangan Kristus yang kedua kali itu bukan dengan status Juru Selamat, bukan lagi sebagai utusan perdamaian, melainkan sebagai Hakim yang terakhir, penghakiman dari yang Maha Kuasa. Itu sebabnya, kita harus memberitakan firman Tuhan dengan serius, menasihati orang agar bertobat kembali kepada Kristus.

Audio Motivasi Bagi Penginjilan

Diambil dari:
Judul buku : Konsultasi Pelayanan
Judul asli artikel : Motivasi Bagi Penginjilan
Penulis : Pdt. Dr. Stephen Tong
Penerbit : LPMI dan Gereja-Gereja Mitra, 1996
Halaman : 21 -- 26

Komentar