Tentang KamiArtikel TerbaruUpdate Terakhir |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SOTeRI Tata Gereja Belanda (Emden, 1571)Di negeri Belanda (pada abad ke-16 yang disebut dengan nama itu ialah wilayah Belanda dan Belgia sekarang), Gereja-gereja Calvinis mulai berkembang sejak tahun 1550-an. Mulai tahun 1561 diadakan beberapa rapat antar-jemaat. Tetapi, disebabkan represi dari pihak pemerintah, rapat itu bersifat rahasia; tidak tersimpan catatan tertulis tentang pembicaraan yang diadakan di dalamnya. Pada tahun 1567 sebagian penganut Reformasi terpaksa meninggalkan negeri Belanda. Mereka mendirikan jemaat-jemaat di negara-negara tetangga, khususnya di Inggris dan Jerman. Pada tahun 1568, sejumlah utusan jemaat-jemaat itu berkumpul di kota Wesel, di Jerman Baratlaut, dekat dengan perbatasan Belanda. Sidang di Wesel itu menetapkan sejumlah peraturan di bidang pemerintahan gereja, dengan mengikuti pola Tata Gereja Jenewa. Salah satu ciri khas peraturan itu ialah penetapan suatu badan baru antara majelis jemaat dan sinode, yaitu klasis. Tiga tahun kemudian, para utusan jemaat-jemaat yang hidup berserak berkumpul lagi di kota Emden, di Jerman Utara. Emden itu ibukota daerah Ost-Friesland (Frisia Timur), salah satu daerah otonom dalam kekaisaran Jerman, yang berbatasan dengan Negeri Belanda bagian utara. Di Ost-Friesland aliran Calvinisme dominan; karena itu rajanya bersedia menampung para pengungsi Protestan dari negeri Belanda dan membiarkan sinode mereka berkumpul di wilayahnya. Dalam kumpulan itu, yang dianggap sebagai Sinode (Nasional) pertama Gereja Belanda, soal tata gereja kembali mendapat perhatian besar. Sekarang yang dijadikan sebagai contoh ialah Tata gereja Perancis. Artinya, dalam peraturan-peraturan yang ditetapkan di Emden pemerintah negara tidak diberi peranan. Sebaliknya, di Emden, peranan klasis diteguhkan, dan dimantapkan dengan adanya peraturan khusus untuk rapat-rapat klasis. Peraturan mengenai kehidupan gereja yang ditetapkan di Emden bukan tata gereja dalam arti yang sebenarnya. Sinode bermaksud hendak menata kehidupan gereja dan mengambil sejumlah keputusan di bidang itu. Catatan-catatan mengenai keputusan tersebut berfungsi sebagai tata gereja. Tokoh-tokoh yang menghadiri Sinode Emden pun menyadari bahwa tata gereja itu belum sempurna (pasal 53). Sinode-sinode nasional Belanda yang berikut (Dordrecht 1578, Middelburg 1581, 's-Gravenhage 1586, Dordrecht 1618-1619) memang memperluas tata gereja tahun 1571 dan menyesuaikan isinya dengan keadaan yang berlaku sejak negeri Belanda merupakan negara merdeka yang pemerintahnya beragama Protestan (1572/1581). Dalam naskah asli, pasal-pasal yang tercantum dalam ketiga lampiran mengenai Klasis, Sinode Wilayah dan Sinode Am memakai nomor urut tersendiri. Nomor asli itu kami cantumkan di antara tanda kurung, dengan memakai penomoran sebagaimana terdapat dalam edisi Barth-Niesel. 1. Tidak satu pun Gereja, atau Pelayan, atau Penatua, atau Diaken akan memiliki keutamaan atau kuasa atas Gereja, atau Pelayan, atau Penatua, atau Diaken yang lain. Sebaliknya, mereka harus menghindarkan segala hal yang dapat menimbulkan kecurigaan dan menyediakan kesempatan untuk itu. 2. Sebagai kesaksian tentang kesepakatan Gereja-gereja Belanda dalam hal ajaran, saudara-saudara menganggap baik menandatangani pengakuan iman Gereja-gereja Belanda. Dan sebagai kesaksian tentang kesepakatan dan hubungan Gereja-gereja ini dengan Gereja-gereja di Kerajaan Perancis, mereka menganggap baik menandatangani juga pengakuan iman Gereja-gereja di Kerajaan itu, dengan penuh keyakinan bahwa para Pelayan Gereja-gereja itu pula pada gilirannya akan menandatangani pengakuan iman Gereja-gereja Belanda, sebagai kesaksian tentang kesepakatan kedua belah pihak. 3. Petrus Dathenus dan Yohannes Taffinus dipilih menjadi utusan yang bertugas menyatakan hal itu kepada para Pelayan dalam Sinode berikut di Perancis, dan memberitahukan jawabannya dalam kumpulan saudara-saudara yang berikut. 4. Para Pelayan Belanda yang tidak menghadiri kumpulan ini akan diajak juga agar bersedia memberi tanda tangan mereka. Hal yang sama diminta dari semua orang lain yang di masa depan akan dipanggil menjadi Pelayan Firman, sebelum mereka mulai melaksanakan pelayanannya. 5. Saudara-saudara berpendapat bahwa di Gereja-gereja berbahasa Perancis orang harus memakai kitab Katekismus Jenewa, sedangkan di Gereja-gereja berbahasa Belanda kitab Katekismus Heidelberg, dengan pengertian bahwa Gereja-gereja yang telah memakai kitab Katekismus yang lain, yang sesuai dengan Firman Allah, tidak boleh dipaksa mengubahnya. 6. Dalam tiap-tiap Gereja harus ada Sidang, yakni Konsistori yang terdiri dari Pelayan, Penatua, dan Diaken, yang harus diadakan paling tidak seminggu sekali, di tempat dan pada jam yang paling cocok bagi masing-masing. 7. Selain Sidang-sidang tersebut harus ada rapat-rapat klasikal beberapa Gereja yang berdekatan tiga atau enam bulan sekali, menurut kesempatan dan keperluannya. 8. Di samping itu tiap-tiap tahun akan diadakan rapat-rapat tersendiri, yaitu rapat semua Gerejayang terserak-serak di negeri Jerman dan di Frisia Timur, rapat semua Gereja di Inggris, dan rapat semua Gereja yang di bawah salib. 9. Dua tahun sekali akan diadakan pula rapat semua Gereja Belanda. [pasal 10-12 menetapkan pembagian klasis-klasis. Jemaat-jemaat di Inggris akan didorong membentuk klasis-klasis.] 13. Para Pelayan Firman akan dipilih oleh Konsistori, setelah rapat Klasis atau dua tiga Pelayan yang tinggal dekat memberi pendapat. Setelah mereka dipilih, mereka akan diperkenalkan kepada Gerejanya, supaya mereka diterima tanpa pemungutan suara, ataupun orang mengajukan keberatan dalam jangka waktu sekitar dua minggu, jika ada sesuatu yang menyebabkan Gereja tidak mau menyetujui pemilihannya. Akan tetapi, di beberapa Gereja Pelayan biasa dipilih oleh orang banyak; jika mereka berpendapat kebiasaan itu tidak boleh diubah, hal itu dibiarkan hingga Sinode Am mengeluarkan penetapan lain. 14. Cara itu akan dipakai juga dalam pemilihan Penatua dan Diaken. Hanya saja, dalam hal itu orang tidak perlu menunggu pendapat rapat Klasis atau para Pelayan yang tinggal dekat. 15. Tiap-tiap tahun separo jumlah Penatua dan Diaken harus diganti, dan orang lain diangkat sebagai gantinya; mereka ini akan juga melayani selama dua tahun. Akan tetapi, Gereja-gereja, khususnya Gereja-gereja yang di bawah salib, akan bebas memakai jangka waktu yang lebih singkat atau lebih lama, menurut kesempatan dan kebutuhannya. 16. Para Pelayan akan diuji oleh mereka yang memilihnya. Bila ajaran dan perikehidupan mereka dianggap benar, mereka akan diteguhkan disertai doa-doa khidmat dan peletakan tangan, tetapi dengan menghindarkan takhayul dan paksaan. 17. Seorang Pelayan tidak boleh memimpin ibadah di Gereja lain dengan tidak seizin Pelayan dan Konsistori Gereja itu, atau, kalau Pelayan tidak ada, tanpa izin Konsistori. 18. Orang yang menyusup masuk dalam pelayanan pendeta dengan cara yang tidak sah di tempat yang sudah ada Pelayannya, akan dinasihati oleh Konsistori agar menghindarkan diri. Jika mereka bersikeras terus berbuat begitu, haruslah segera dikumpulkan tiga empat atau, kalau bisa, lebih banyak lagi Pelayan yang tinggal dekat, dari Klasis Gereja itu, lalu di sana ia akan dinyatakan telah menyebabkan keretakan dalam Gereja. Adapun para pendengarnya akan ditindak oleh Konsistori menurut ketentuan disiplin gereja, kalau mereka tidak menghiraukan peringatan-peringatan dan bersikeras pergi mendengarkan orang yang telah dinyatakan menyebabkan keretakan itu. 19. Soal apakah dalam pembaptisan orang diperciki air satu atau tiga kali, dianggap termasuk hal-hal yang tidak penting. Karena itu, kami membiarkan Gereja-gereja bebas mempertahankan cara yang lazim mereka pakai, hingga Sinode Am mengeluarkan ketentuan lain. 20. Hal menghadirkan saksi-saksi pada pembaptisan kami nilai termasuk hal-hal yang tidak penting. Karena itu, cara yang lazim dipakai dalam Gereja-gereja boleh dipertahankan sesuai dengan kebebasan masing-masing, hingga Sinode Am mengeluarkan ketentuan lain. 21. Bila kita diberi peluang mendirikan salah satu Gereja, pada hemat kami dalam Gereja itu seharusnya dipakai roti biasa, yang dipecah-pecahkan pada saat Perjamuan Kudus dilayankan. Sebaliknya, menerima Perjamuan Kudus sambil berjalan, duduk, atau berdiri kami nilai sama saja. Karena itu, Gereja-gereja akan memakai cara yang dianggapnya paling cocok. Hal menyanyikan mazmur atau membacakan sebagian Kitab Suci sementara Perjamuan Kudus dilayankan termasuk kebebasan Gereja-gereja, begitu pula memakai kata-kata Kristus atau Paulus ketika roti dan anggur disuguhkan. Dalam hal ini orang harus menjaga, jangan-jangan lama-kelamaan orang mengubah arti pengucapan kata-kata sehingga mereka mengira dan mengkhayalkan kata-kata itu mengerjakan konsekrasi. 22. Tidak seorang pun yang masih di bawah kuasa orangtua atau mereka yang mengambil tempat orangtua, boleh mengikat perkawinan tanpa persetujuan mereka, dan perjanjian kawin yang diberikan tanpa persetujuan mereka sama sekali tidak sah. Akan tetapi, jika ada orangtua yang dalam hal ini bersikap tidak adil dan sulit untuk diajak berbicara, sehingga mereka sama sekali menolak memberi persetujuan (hal ini kadang-kadang terjadi disebabkan kebencian terhadap agama atau karena alasan lain), Konsistori berwenang menilai apakah ada alasan yang wajar untuk merintangi penyelenggaraan pranata yang begitu suci. 23. Pertunangan yang telah diikat secara sah tidak boleh dibubarkan, bahkan tidak juga dengan persetujuan kedua belah pihak. Karena itu, sebaiknya pelaksanaan pertunangan itu dihadiri seorang Pelayan atau Penatua Gereja, untuk mendapat tahu, sebelum kedua belah pihak saling memberi janji, apakah keduanya mengenut agama yang murni dan apakah orangtua setuju; juga, jika salah satu pihak atau kedua belah pihaknya telah kawin lebih dulu, apakah kematian suami/istri yang terdahulu telah dipastikan melalui kesaksian yang sah. 24. Nama orang yang hendak dinikahkan harusa diumumkan di depan kumpulan Gereja pada tiga hari Minggu berturut-turut, ataupun tiga kali dengan diselingi jangka waktu yang wajar. 25. Kami berpendapat, disiplin gereja perlu dipertahankan di tiap-tiap jemaat. Oleh karena itu, yang termasuk tugas para Pelayan bukan hanya mengajar, menasihati, dan menghukum di depan umum, melainkan juga memperingatkan tiap-tiap orang di bawah empat mata agar menunaikan tugas kewajibannya; sendiri-sendiri; dan seharusnya para Penatua pun berupaya dalam hal ini. 26. Bila seseorang telah keliru dalam hal kemurnian ajaran, atau telah berdosa dalam hal kesucian tingkah laku, asal saja hal itu sembunyi dan tidak menimbulkan kehebohan, orang akan mematuhi aturan yang telah ditetapkan dengan tegas oleh Kristus dalam Mat18. 27. Maka itu, dosa-dosa tersembunyi, asal saja pelakunya ternyata menyesal setelah diperingatkan di bawah empat mata atau dengan dihadiri satu atau dua orang saksi, tidak perlu diadukan kepada Konsistori. Sebaliknya, dosa-dosa yang memang tersembunyi, namun membawa kerugian besar untuk Negara atau Gereja, misalnya perbuatan mengkhianati atau menyesatkan jiwa orang, harus diberitahukan kepada Pelayan, agar berdasarkan nasihatnya orang dapat mempertimbangkan apa yang perlu dilakukan dalam perkara itu. 28. Jika seseorang yang telah melakukan dosa tersembunyi tidak mendengarkan peringatan oleh dua atau tiga orang, atau jika orang melakukan dosa yang diketahui umum, hal itu perlu diadukan kepada Konsistori. 29. Dosa-dosa yang pada hakikatnya diketahui umum, atau yang diberitahukan kepada gereja sebab pelakunya tidak menghiraukan peringatan, patut didamaikan pula di depan umum, berdasarkan pendapat bukan salah seorang pribadi, melainkan Konsistori lengkap, dan dengan memakai cara serta bentuk yang dianggap paling cocok untuk pembinaan Gereja yang bersangkutan. 30. Orang yang bersikeras menolak peringatan-peringatan Konsistori harus untuk sementara waktu dilarang ikut merayakan Perjamuan. Jika ia, sesudah larangan itu dan setalah diperingatkan berkali-kali, sama sekali tidak menunjukkan tanda penyesalan, orang harus melangkah maju ke tindakan pengucilan. 31. Pelayan harus memperingatkan orang berdosa yang tegar itu di depan umum, dari atas mimbar, dengan menjelaskan dosanya dan memaparkan upaya yang telah dilakukan berupa peringatan, larangan merayakan Perjamuan, serta nasihat-nasihat yang giat diajukan kepadanya sesudah itu. Lalu Pelayan harus mendorong Gereja agar rajin mendoakan orang berdosa yang tidak mau menyesal itu, sebelum Gereja terpaksa memakai sarana terakhir, yaitu pengucilan. Peringatan yang demikian harus dilakukantiga kali. Dalam yang pertama, orang tidak usah menyebut nama orang berdosa itu, untuk menenggang perasaannya; dalam yang kedua namanya diumumkan; dalam yang ketiga Gereja harus diberi tahu bahwa ia akan dikucilkan kalau ia tidak bertobat, agar Gereja tidak usah dimintai pendapat bila ia dikucilkan karena tetap bersikeras. Lamanya sela waktu antara peringatan yang satu dengan yang lain boleh ditentukan oleh Konsistori. Jika memalui upaya itu pun yang bersangkutan tidak berhasil dibawa ke pertobatan, maka haruslah diberitahukan di depan Gereja bahwa orang berdosa yang begitu keras kepala itu dikucilkan dan dipisahkan dari umat Gereja. Pelayan harus menjelaskan dengan panjang lebar cara dan tujuan tindakan pengucilan, dan ia harus mengajak orang-orang percaya agar tidak bergaul ramah dengan orang yang telah dikucilkan itu dan tidak memelihara hubungan dengannya di luar yang perlu. Sebaliknya, mereka harus menghindari dia, terutama dengan maksud supaya yang dikucilkan itu merasa malu dan sungguh-sungguh mempertimbangkan untuk bertobat. 32. Bila orang telah melakukan dosa yang mendatangkan malu atas Gereja atau yang layak dihukum oleh kuasa Pemerintah, mereka harus juga dilarang ikut merayakan Perjamuan, kendati mereka telah menyatakan penyesalannya dengan kata-kata. Tetapi, Konsistori boleh menentukan berapa kali larangan itu berlaku. 33. Bila Pelayan, Penatua, atau Diaken telah melakukan dosa yang diketahui umum, yang mendatangkan malu atas Gereja atau layak dihukum oleh kuasa Pemerintah, maka atas wewenang Konsistori para Penatua dan Diaken harus segera diberhentikan dari jabatannya, sedangkan para Pelayan diskors saja. Yang berwenang menilai apakah mereka harus meletakkan pelayanannya ialah rapat Klasis. Jika yang bersangkutan tidak menerima putusan rapat itu, ia boleh naik banding ke Sinode se-provinsi. 34. Bila para Pelayan, Penatua, dan Diaken yang telah diberhentikan dari jabatannya, tetapi sesudah itu memberi kepuasan kepada Gereja karena menyesal, dipilih lagi, maka yang berwenang menilai apakah mereka harus diterima kembali ialah KOnsistori sejauh mengangkut Penatus dan Diaken, sedangkan dalam hal para Pelayan rapat Klasis-lah yang berwenang. 35. Para Pelayan kelahiran Belanda, yang telah menerima tugas dalam Gereja-gereja di luarnegeri, lalu dipanggil kembali oleh Gereja-gereja di Negeri Belanda sendiri, harus berupaya agar dapat mematuhi panggilan itu, dengan menyediakan jangka waktu yang wajar kepada gerejanya untuk mencari bagi dirinyaseorang Pelayan baru dari antara Pelayan-pelayan yang lain. Akan tetapi, jika Gereja-gereja asing itu tidak bersedia melepaskan mereka maka orang harus mencari lagi di Gereja-gereja lain, yang tidak dicurigai. Dalam pada itu, mereka yang belum menerima tugas di salah satu Gereja harus diajak mempertahankan kebebasannya agar dapat mematuhi panggilan. 36. Anggota-anggota Gereja yang memakai jasa seorang Pelayan pada masa Gereja masih bebas, akan diajak menyediakan nafkahnya, jika ia berkekurangan. 37. Mereka yang hidup berserak-serak lalu berkumpul di salah satu kota hendaknya menyediakan nafkah kepada beberapa mahasiswa [teologi]. Mahasiswa itu akan terikat kepadanya, dan jika mereka tidak memerlukan jasa para alumni itu dan membiarkan salah satu Gereja lain mengadakan hubungan dinas resmi dengan mereka maka mereka boleh meminta agar uang yang telah keluar itu dikembalikan, kecuali kalau mereka membiarkannya pergi untuk sementara waktu saja. 38. Telah disusun daftar nama para Pelayan yang kini tidak melayani dan orang-orang lain yang cocok untuk menyelenggarakan pelayanan Firman. Lagi pula, dari antara para Pelayan yang hadir di sini dipilih satu orang dari tiap-tiap Klasis, dengan tugas mendorong para Pelayan Klasisnya ats nama Sinode ini agar mereka rajin mengusut apakah dalam lingkungan Klasisnya ada Gereja yang tidak mempunyai seorang Pelayan, dan mengemukakan beberapa orang yang dimuat dalam daftar tersebut, agar salah seorang di antaranya dipanggil dengan kata sepakat.
40. Bila salah satu Gereja mengalami kekurangan yang begitu besar, sehingga tidak mampu menyediakan nafkah Pelayan yang dipanggilnya, maka Klasis harus melihat lebih dulu apakah beberapa Gereja yang berdekatan dapat digabungkan. DI samping itu, para Pelayan Gereja-gereja yang terserak-serak harus diajak mendorong para anggota Gereja agar memberi bantuan. Mereka harus terutama mengajak para anggota yang tinggal di provinsi yang sama dengan Gereja itu. Dalam hal ini, seharusnya para Pelayan sendiri pun menjadi teladan bagi orang-orang lain. 41. Bila di tempat-tempat yang tertentu tidak mungkin menegakkan pelayanan Firman, para Pelayan Klasis harus melantik Penatua dan Diaken di sana, sebagai sarana pengumpulan Gereja-gereja. 42. Para Pelayan dan Penatua Klasis-klasis di bawah salib harus rajin mencari orang-orang yang condong ke agama yang murni di semua kota dan desa dalam lingkungan Klasis mereka dan yang berdekatan, serta mendorong mereka agar melaksanakan kewajiban mereka. Karena itu, mereka harus berupaya untuk mengumpulkan gereja-gereja atau paling tidak asas-asas Gereja. Agar hal itu diselenggarakandengan sebaik mungkin, hendaklah Klasis-klasis itu membagi-bagikan kota-kota dan desa-desa yang berdekatan, supaya tidak ada yang serupa berhubung dengan dengan kota-kota dan tempat-tempat lain yang berdekatan, khususnya yang terletak agk jauh dari Klasis. Orang-orang percaya yang telah dibuang atau melarikan diri dari tempat huniammua dan yang kini hidup berserak-serak harus membantu para Pelayan Klasis-klasis di bawah salib dalam hal ini, dengan cara menyebut nama orang yang diketahuinya condong ke agama di tempat itu - tetapi dengan hati-hati. 43. Berguna sekali kalau Gereja-gereja memelihara hubungan yang satu dengan yang lain dengan sering kirim-mrngirim surat untuk memberitahukan hal-hal yang dianggap berkenaan dengan pemeliharaan dan perluasan Gereja-gereja pada umumnya atau Gereja-gereja tertentu, dan khususnya menyebut nama orang-orang bidat, penyebab keretakan gereja, orang-orag upahan, petualang, dan perusak yang sejenis, agar gereja-gereja waspada terhadapnya. 44. Gereja-gereja memikul beban semakin berat disebabkan kesembronoan orang yang berpindah-pindah tempat dengan seenaknya, dan orang yang dengan berdalih bahwa mereka orang percaya yang berkebutuhan merampas derma yang sesungguhnya diperlukan dan menjadi hak kawan-kawan seiman di jemaat sendiri. Untuk mengurangi beban itu, kami menilai baik agar di tiap-tiap Gereja diumumkan, bahwa untuk seterusnya orang-orang yang berangkat dari situ ke tempat lain tidak akan mendapat tunjangan di Gereja-gereja lain selaku kawan-kawan seiman, kecuali kalau mereka memiliki surat kesaksian mengenai tingkah laku dan ajarannya pada waktu mereka masih berada dalam gereja yang telah mereka tinggalkan. 45. Akan tetapi, para Pelayan harus menanyai semua orang yang meminta surat kesaksian itu mengenai alasan keberangkatan mereka. Jika mereka mendapat kesan, orang itu berangkat karena alasan yang kurang meyakinkan, mereka harus menolak dengan tegas memberi surat tersebut. Begitu pula, janganlah hendaknya para Pelayan dan Diaken cenderung untuk mengurangi beban Gerejanya dengan mengirim saja orang-orang miskin setempat ke Gereja lain sehingga menjadi beban baginya dengan tidak seharusnya. Dan bila ada yang mereka anggap perlu diberi surat kesaksian itu, mereka harus mencatat di dalamnya nama dan nama keduanya, tempat asalnya, pekerjaannya, alasan perpindahannya, lamanya masa waktu ia berada di tengah Gerejanya, bagaimana tingkah lakunya, waktu keberangkatannya, tempat tujuannya, dan hal-hal yang sejenis. 46. Kepada yang berangkat harus diberikan sebanyak dianggap cukup untuk perjalanan sampai ke Gereja terdekat di rute mereka, tetapi jumlahnya harus dicatat dalam surat kesaksian. Begitu juga seharusnya dilakukan oleh Gereja-gereja lain di rute perjalanan mereka, masing-masing menurut kemampuannya. Setelah surat kesaksian ditunjukkan dan keabsahannya dipastikan, dan setelah juga hal-hal lain diperiksa, mereka harus memberikan sebanyak mereka anggap perlu untuk perjalanan ke Gereja berikutnya. Jumlahnya harus mereka catat pada surat kesaksian dan hari keberangkatan pun harus mereka rekam. Gereja-gereja lain juga harus berbuat demikian, hingga mereka sampai ke tempat tujuan. Di sana mereka harus memperlihatkan surat kesaksian itu, lalu suratnya harus disobek. 47. Mereka yang berangkat dari Gerejanya sesudah bulan November yang akan datang tanpa membaw surat kesaksian, atau dengan surat yang tidak disusun sesuai dengan aturan tadi, tidak akan dipandang sebagai kawan-kawan seiman, yang kepadanya, sebagaimana diajarkan Paulus, kita terutama harus berbuat baik. Akan tetapi, bila ada yang datang dari Gereja-gereja yang hidup di bawah salib, yang belum memiliki pelayanan yang teratur, mereka itu oerlu diperiksa: apakah mereka dapat berdoa dan mempertanggungjawabkan iman mereka; apa alasan keberagkatan mereka, dan hal-hal lain sebagainya. Para Diaken bebas menentukan jumlah bantuan yang hendak diberikan kepada mereka.
51. Tidak seorang pun boleh menyuruh atau membiarkan orang lain menyuruh mencetak atau menerbitkan dengan cara lain buku karangannya sendiri atau karangan orang lain mengenai agama, kecuali setelah buku itu diperiksa dan dibenarkan oleh para Pelayan Klasis atau oleh para Gurubesar Teologi di lembaga umum yang menganut pengakuan iman kita. 52. Dalam Gereja-gereja besar sebaiknya diadakan latihan berkhotbah di tempat tertutup, agar mereka yang memberi harapan bisa melayani Gereja di masa depan mendapat latihan beriwayat. Agar ketertiban terjaga, seorang Pelayan akan mengetuai kegiatan itu. 53. Pasal-pasal ini, yang berkenaan dengan tata tertib Gereja, ditetapkan dengan kata sepakat, dengan pengertian dapat dan harus diubah-ubah, ditambah,atau dikurangi jika hal itu diperlukan demi kepentingan Gereja-gereja. Namun, hal itu tidak boleh dilakukan oleh salah satu Gereja tersendiri. Di pihak lain, semua Gereja harus sedapat-dapatnya mematuhinya sampai Sinode menetapkan lain. Emden, tanggal 12 Oktober 1571, 54 (1). Dalam rapat-rapat Klasis salah seorang Pelayan akan berkhotbah di dalam gereja. Rekan-rekannya akan memberitahukannya. Yang lain-lain akan berbuat begitu juga, masing-masing pada gilirannya, dalam rapat-rapat Klasis yang menyusul. 55 (2). Sesudah itu akan dipilih seorang Ketua, dengan suara umum rekan-rekannya. Setelah ia mengucapkan doa, ia akan menanyai tiap-tiap orang apakah dalam Gereja-gereja mereka diadakan sidang-sidang Konsistori, apakah disiplin gereja dipertahankan, apakah ada pertikaian dengan orang bidat, apakah mereka ragu-ragu mengenai salah satu pokok ajaran, apakah orang miskin diasuh dan sekolah-sekolah dipelihara, apakah mereka membutuhkan nasihat dan bantuan rekan-rekannya dalam hal pemerintahan Gereja, dan hal-hal lain sebagainya. 56 (3). Jika dalam salah satu Gereja di Klasis itu berlangsung kejadian yang tidak mungkin diselesaikan dalam Konsistori Gereja itu, halnya akan dirundingkan dan diputuskan dalam rapat Klasis. yang bersangkutan dapat naik banding lagi ke Sinode se-provinsi. Selain itu, dalam rapat-rapat Klasis orang akan membahas urusan-urusan yang menyangkut Gereja-gereja yang termasuk Klasis itu. 57 (4). Seusai itu, Ketua akan mengemukakan salah satu masalah dari pokok-pokok ajaran agama yang menjadi bahan perdebatan antara kita, orang Katolik, dan aliran lain lagi. Agar dengan cara itu orang saling mengasah dan mendorong untuk studi. 58 (5). Dalam rapat Klasis menjelang rapat Sinode se-provinsi, orang akan memilih mereka yang akan diutus untuk mewakili Klasisnya di Sinode itu. 59 (6). Dari tiap-tiap Klasis akan diutus dua Pelayan bersama Penatua dan Diaken sebanyak itu juga, atau setidak-tidaknya satu orang Pelayan bersama satu orang Penatua atau Diaken. 60 (7). Sebelum mencatat pokok-pokok yang hendak diajukan dalam Sinode se-provinsi, orang sebaiknya membaca dengan teliti notula atau keputusan-keputusan Sinode-sinode yang terdahulu, agar dalam Sinode se-provinsi dan khususnya dalam Sinode Am, hal-hal yang telah dirundingkan dan diputuskan dengan kata sepakat tidak dikemukakan sekali lagi, kecuali jika terdapat alasan baru untuk meragukan keputusan yang telah diambil lebih dulu. 61 (8). Akhirnya orang akan menentukan tempat dan waktu rapat berikut, dan mengucapkan syukur kepada Allah. Pengucapan syukur itu akan dilakukan oleh Ketua. 62 (1). Para utusan ke rapat Sinode se-provinsi harus membawa surat pengutusan dan catatan tertulis mengenai pokok-pokok yang hendak diajukan. Tidak boleh didaftarkan pokok-pokok selain yang tidak berhasil diputuskan dalam Konsistori-konsistori dan dalam rapat Klasis, atau yang menyangkut semua Gereja provinsinya, agar rapat se-provinsi tidak diperpanjang oleh mesalah-masalah yang tidak perlu. 63 (2). Setelah mereka berkumpul, Pelayan setempat, atau, kalau tidak ada, tokoh yang telah mengetuai rapat yang terdahulu, akan mengangkat doa mendahului pemilihan seorang ketua, Asesor, dan Panitera. Setelah Ketua dipilih, ia akan memanjatkan doa yang berkenaan dengan seluruh urusan sidang. Sesudah itu, ia akan mengusahakan supaya nama semua hadirindidaftarkan dan nama orang yang tidak hadir dicatat, agar mereka diminta mempertanggungjawabkan ketidakhadirannya. 64 (3). Ia akan menyuruh hadirin menyerahkan surat pengutusan atau surat kesaksian mereka, agar dibacakan, begitu pula surat instruksi atau pesan tertulis tiap-tiap orang, bersama tanda tangan dan meterainya. Ia harus mengajukan masing-masing instruksi menurut urutannya, dan meminta pendapat seluruh kumpulan, lalu mengumpulkan suara orang yang berhak memberi suara, dengan mengumumkan apa pendapat bagian yang paling besar dan paling sehat. Panitera harus mencatat semua itu, lalu membacakannya, agar disetujui dengan suara bulat. 65 (4). Hal-hal yang menyangkut ajaran akan dibacakan dan dicatat lebih dulu, sesudah itu hal-hal yang menyangkut disiplin Gereja, akhirnya urusan-urusan khusus. 66 (5). Ketua bertugas menyuruh orang mengangkat bicara pada gilirannya, memerintahkan orang yang bernada tajam dan yang suka bertengkar agar bungkam, dan kalau mereka tidak berdiam diri, memerintahkan mereka keluar dari kumpulan, supaya mereka kena tindakan disiplin yang patut, menurut penilaian saudara-saudara. Jabatan Ketua berakhir bersama Sinode. Tetapi, rapat se-provinsi berikutnya bebas memilih orang yang sama atau seorang lain sebagai Ketua. 67 (6). Para Penatua atau Diaken yang diutus ke rapat-rapat ini harus memberi suara dalam semua sidang bersama dengan para Pelayan Gereja-gerejanya. Akan tetapi, di antara Penatua tempat sinode berkumpul hanya dua orang yang mendapat hak memberi suara, kendati Penatua lainnya boleh hadir dan mengeluarkan pendapat. 68 (7). Ketua akan membuka semua sidang dengan doa, dan menutupnya dengan pengucapan syukur. Semua pasal yang telah ditetapkan dan dicatat secara tertulis akan dibacakan sekali lagi, agar dibenarkan dan ditandatangani oleh semua orang. Tiap-tiap orang akan membawa satu eksemplar, yang ditandatangani oleh Ketua dan Panitera, untuk dibacakan dalam Konsistori tiap-tiap Gereja. 69 (8). Dengan suara bulat seluruh rapat se-provinsi haruslah dipilih Gereja yang diserahi wewenang dan tugas menetapkan tempat dan waktu rapat se-provinsi yang berikut, dengan meminta pendapat Pelayan-pelayan lain dalam Klasisnya. 70 (9). Semua perkara rumit yang muncul dalam Gereja-gereja lain dan yang tidak berhasil diputuskan dalam Konsistori dan dalam rapat-rapat Klasis, atau yang begitu berat sehingga menyangkut seluruh provinsi, haruslah dikirim kepada Gereja itu secara teratur dan pada waktu yang cukup dini. 71 (10). Setelah tempat dan waktu rapat se-provinsi yang berikut ditentukan, Gereja tersebut harus memberitahukannya kepada Gereja-gereja lainnya tiga bulan sebelumnya, sambil mengirimkan sati eksemplar semua pokok atau pasal yang telah dikirim kepadanya. Dengan demikian, tiap-tiap Gereja sempat memikirkannya matang-matang dan mengeluarkan pendapat tentangnya dalam rapat Klasis, agar orang-orang yang diutus atas nama Klasis itu mengemukakannya setelah dipertimbangkan matang-matang dan dirundingkan oleh semua Gereja anggota Klasis itu. 72 (11). Akan tetapi, Gereja yang diberi tugas menentukan tempat dan waktu pengumpulan Sinode se-provinsi yang berikut, tidak boleh dibebani lebih daripada yang wajar dengan pekerjaan berat menulis surat-surat kepada tiap-tiap Gereja dalam semua Klasis provinsi itu. Karena itu, di tiap-tiap Klasis harus dipilih satu Gereja, lalu kepada Gereja itu harus ditulisnya, dengan maksud supaya gereja itu meneruskan apa yang diterimanya kepada para Pelayan se-Klasisnya. 73 (12). Orang-orang yang diutus ke Sinode akan menghadiri Sinode itu atas biaya bersama Klasisnya masing-masing. 74 (13). Seusai urusan Sinode orang akan merayakan Perjamuan Kudus, yaitu para Pelayan dan Penatua yang telah berkumpul dalam Sinode itu, bersama warga gereja tempat Sinode diadakan, sejauh keadaan tempat itu membiarkannya. 75 (14). Gereja tempat Sinode diadakan bertugas membawa atau mengirim notula atau ketetapan-ketetapan Sinode itu ke Sinode yang berikut. 76. Hal-hal yang sama harus dipatuhi dalam Sinode-sinode Am. Sinode-sinode ini akan dihadiri oleh Pelayan-pelayan dan Penatua yang diutus bukan oleh Klasis-klasis, melainkan oleh provinsi-provinsi, dengan dilengkapi surat-surat kesaksian dan pesan-pesan yang menyangkut hal ajaran, disiplin gereja, dan urusan-urusan khusus, yang tidak berhasil diputuskan dalam rapat-rapat se-provinsi atau yang menyangkut semua Gereja. Komentar |
Publikasi e-Reformed |